BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1
Teori Kepuasan Kerja Two Factor Theory yang dikemukakan oleh Herzberg dalam
Furnham et al. (2009) menyatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan dalam pekerjaan bukanlah dua hal yang saling berlawanan, tetapi dua entitas yang terpisah yang disebabkan aspek yang berbeda dari pekerjaan yang disebut sebagai faktor “Higienis” dan “Motivator”. 1)
Faktor Higienis, yaitu faktor-faktor yang dapat menyebabkan ataupun mencegah ketidakpuasan. Faktor-faktor tersebut adalah kondisi kerja, gaji, hubungan antar pribadi, kebijaksanaan perusahaan, teknik pengawasan dan perasaaan aman dalam bekerja.
2)
Faktor Motivasi, yaitu faktor-faktor yang membawa pada pengembangan sikap positif dan merupakan pendorong pribadi. Faktor-faktor tersebut adalah keberhasilan menyelesaikan tugas, penghargaan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, prestasi, kemungkinan untuk mengembangkan diri dan kesempatan untuk maju. Darmawati (2013) menyimpulkan bahwa indikator kepuasan kerja
diantaranya adalah pekerjaan mereka, gaji, promosi, supervisi, rekan kerja, serta seluruh pekerjaan yang merekan lakukan. Kepuasan kerja terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat
1
kesukaan dan ketidaksukaan karyawan. Hal ini merupakan sikap umum yang dimiliki oleh karyawan yang erat kaitannya dengan imbalan yang mereka yakini akan diterima setelah melakukan sebuah pengorbanan (Robbins, 2003:91). Menurut Strauss & Sayler (dalam Jumari dkk., 2013), ada 5 dimensi kepuasan kerja yaitu : 1) Gaji, yaitu jumlah gaji atau upah yang diterima dan kelayakan imbalan tersebut. 2) Pekerjaan, yaitu tingkat hingga dimana tugas-tugas tersebut dianggap menarik dan memberikan peluang untuk belajar dan menerima tanggung jawab. 3) Promosi, yaitu tersedianya peluang-peluang untuk mencapai kemajuan dalam jabatan. 4) Supervisi, yaitu kemampuan supervisor untuk menunjukkan perhatian terhadap karyawan. 5) Rekan kerja, yaitu tingkat hingga dimana para rekan sekerja bersikap bersahabat dan kompeten.
2.1.2
Teori Self-Efficacy Bandura (dalam Cherian dan Jolly, 2013), mengemukakan bahwa teori
self-efficacy merupakan cabang dari Social Cognitive Theory. Social Cognitive Theory menyoroti pertemuan yang kebetulan dan kejadian yang tak terduga meskipun kejadian atau peristiwa tersebut tidak serta merta mengubah jalan hidup manusia. Beberapa asumsi awal dan mendasar dari Social Cognitive Theory
2
Bandura adalah Learning Theory (teori pembelajaran) yang berasumsi bahwa manusia cukup fleksibel dan mampu mempelajari beragam kecakapan bersikap maupun berprilaku dan bahwa titik pembelajaran terbaik dari itu semua adalah pengalaman-pengalaman tak terduga. Menurut Bandura (1997), teori kognitif sosial mengidentifikasi beberapa kondisi dimana individu dapat bekerja bervariasi bahkan dalam domain yang berbeda. Menurut Judge dan Bono (2001), selfefficacy tinggi akan menghasilkan suatu pencapain prestasi kerja dan kepuasan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan karyawan dengan self-efficacy rendah. Bandura (dalam Day dan Allen, 2004), menyatakan bahwa self-efficacy didefinisikan sebagai salah satu putusan seberapa baik seseorang dapat mengeksekusi suatu tindakan yang diperlukan dalam situasi tertentu. Philip dan Gully (dalam Engko, 2008) menyatakan bahwa Self-efficacy dapat dikatakan sebagai faktor personal yang membedakan setiap individu dan perubahan selfefficacy dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku terutama dalam meyelesaikan tugas dan tujuan. Menurut Bandura (dalam Aprian, 2012), efikasi diri pada individu dapat dianalisa berdasarkan dimensinya, meliputi : 1) Magnitude (tingkat kesulitan), yakni berhubungan dengan tingkat kesulitan tugas. 2) Generality (luas bidang perilaku), yakni menjelaskan keyakinan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu dengan tuntas dan baik.
3
3) Strength (kekuatan), yakni berhubungan dengan derajat dan kemantapan terhadap keyakinannya. Self-efficacy merupakan tingkat keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap kekuatan diri (percaya diri) dalam mengerjakan dan menjalankan suatu tugas atau pekerjaan tertentu. Self-efficacy adalah keyakinan seseorang mengenai peluangnya untuk berhasil mencapai tugas tertentu (Kreitner dan Kinicki, 2005:79). Beberapa penelitian akademik telah membuktikan bahwa self-efficacy berhubungan dengan kontrol diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, kinerja dan upaya dalam pemecahan masalah (Cherian dan Jolly, 2013). Menurut Avey et al. (2009), apabila diaplikasikan ke dalam dunia kerja self-efficacy dapat didefinisikan sebagai keyakinan seseorang tentang kemampuannya untuk mengarahkan motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan pekerjaannya. Bandura dan Adams (1997) menyatakan bahwa self-efficacy adalah suatu keyakinan individu terhadap kemampuan mereka untuk mengatur dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengarahkan situasi yang akan datang dan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi atau kondisi tertentu. Self-efficacy memiliki dampak pada pola reaksi emosional pikiran individu. Bandura (dalam Cherian dan Jolly, 2013), selfefficacy juga dapat digambarkan sebagai fungsi dari kepercayaan diri dengan mana individu dapat menyelesaikan tugas. Self-efficacy adalah persepsi bahwa seseorang mampu dan yakin terhadap kemampuan dirinya dalam melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
4
Betz dan Smith (2002), mengukur keberhasilan diri sosial, mereka digambarkan sebagai perhitungan antisipasi efikasi diri mengenai berbagai perilaku dalam konteks sosial. Jones (1986), dalam Tesis yang berjudul “Analisis Pengaruh Empowerment, Self-Efficacy dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan di PT. Mayora Tbk. oleh Chasanah (2008), mengungkapkan sumber atau indikator dari self-efficacy yang tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu : perasaan mampu melakukan pekerjaan, kemampuan yang lebih baik, senang pekerjaan yang menantang dan kepuasan terhadap pekerjaan. Penelitian lain mengenai selfefficacy dan kepuasan kerja adalah yang dilakukan oleh Klasser dan Ming Chiu (2010), yang meneliti 1.430 orang guru, dengan tujuan ingin menguji hubungan antara pengalaman kerja, karakteristik guru (gender dan tingkat pendidikan), selfefficacy , stress kerja dan kepuasan kerja. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa guru yang memiliki tingkat self-efficacy yang tinggi akan memiliki tingkat kepuasan kerja lebih tinggi dibandingkan guru dengan tingkat self-efficacy rendah. Jadi self-efficacy merupakan suatu perasaan, keyakinan dan kepercayaan seseorang terhadap kemampuan dalam dirinya untuk mengerjakan suatu tugas dan menghadapi situasi maupun kondisi tertentu yang nantinya akan berpengaruh pada cara individu mengatasi situasi tersebut.
5
2.1.3
Teori Motivasi Teori motivasi yang disebut ERG Theory yaitu Existence, relatedness, dan
growth ini dikemukakan oleh Alderfer (dalam George dan Jones, 2005). Teori ini menyebutkan bahwa ada 3 kebutuhan manusia yang perlu dipuaskan sebagai sumber motivasi karyawan yaitu : 1)
Kebutuhan akan keberadaan (Existence Needs), yaitu berhubungan dengan kebutuhan dasar termasuk didalamnya Physiological Needs dan Safety Needs
2)
Kebutuhan akan hubungan (Relatedness Needs), yaitu menekankan akan pentingnya hubungan antar individu.
3)
Kebutuhan akan pertumbuhan (Growth Needs), yaitu keinginan intrinsik dalam diri seseorang untuk maju atau meningkatkan kemampuan pribadinya. Menurut Ardana dkk (2011:199) masalah motivasi timbul dalam
organisasi apabila terdapat kesenjangan antara hasil yang dicapai dengan hasil yang diharapkan, dan kesenjangan tersebut disebabkan kurangnya usaha yang dilakukan. Masalah untuk kerja akan timbul apabila perilaku kerja seseorang berada dibawah apa yang diharapkan, dan masalah tersebut bukan disebabkan oleh rendahnya motivasi melainkan disebabkan oleh maslah komunikasi, masalah kemampuan atau keterampilan, masalah pelatihan dan masalah kesempatan untuk maju. George dan Jones (2005), menyatakan bahwa unsur–unsur motivasi adalah sebagai berikut. 1)
Arah perilaku (Direction of behavior), yaitu mengacu pada perilaku yang dipilih seseorang dalam bekerja dari banyak pilihan perilaku yang dapat mereka jalankan baik tepat maupun tidak.
6
2)
Tingkat Usaha (Level of effort), yaitu seberapa keras usaha seseorang untuk bekerja sesuai dengan perilaku yang dipilih.
3)
Tingkat kegigihan (Level of persistence),yaitu mengacu pada motivasi karyawan ketika dihadapkan pada suatu masalah, rintangan atau halangan dalam bekerja, seberapa keras seorang karyawan tersebut terus berusaha untuk mrnjalankan perilaku yang dipilih. Motivasi merupakan suatu rangsangan yang dibuat oleh perusahaan guna
meningkatkan gairah bekerja pada karyawan. Motivasi adalah kekuatan yang dihasilkan dari keinginan seseorang untuk memuaskan dan memenuhi kebutuhannya (Purwanto, 2013). Hasibuan (2010:92) menyatakan bahwa motivasi merupakan cara mendorong gairah bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilan untuk mewujudkan kebutuhan perusahaan. Motivasi merupakan kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi untuk mencapai tujuan keorganisasian yang dikondisikan oleh upaya, untuk memenuhi kebutuan individual tertentu (Robbins, 1999:50). Horwitz et al. (2003), memperkirakan bahwa karyawan mendapatkan motivasi tinggi melalui lingkungan kerja yang menantang dan dukungan dari manajemen puncak. Jika karyawan kompetitif dan ingin melakukan pekerjaan dengan efisiensi penuh, maka pekerjaan yang menantang adalah motivator terbaik. Menurut Suwanto dan Priansa (2011:171), motivasi berarti pemberian motif. Motif disini diartikan sebagai tujuan yang dapat berupa rangsangan. Tanpa adanya rangsangan para karyawan akan kurang menampakkan dan akan menyimpan kemampuan dirinya. Locke dan Latham (2004:388), telah
7
mengevaluasi efektivitas motivasi sebagai akibat dari kedua faktor internal dan eksternal yang memaksa karyawan untuk bekerja dengan lebih bersemangat yang hasilnya menjadi kepuasan kerja. Menurut Dedonno dan Demaree (2008), terkait dengan gagasan ini menunjukkan bahwa persepsi individu dengan motivasi akan berdampak pada kinerja karyawan yang akan berpengaruh pada kepuasan kerja karyawan tersebut. Penurunan motivasi karyawan dapat terjadi karena kurang disiplin yang disebabkan oleh turunnya tingkat kepuasan karyawan tersebut (Arifin dkk., 2014). Menurut Radig dkk. (dalam Brahmasari, 2008), mengemukakan bahwa pemberian dorongan sebagai salah satu bentuk motivasi, penting dilakukan untuk meningkatkan gairah kerja karyawan sehingga dapat mencapai hasil yang dikehendaki oleh manajemen. Menurut George dan Jones (2005), motivasi karyawan dapat didefinisikan sebagai suatu dorongan secara psikologis kepada seseorang yang menentukan arah dari perilaku (direction of behavior) seseorang dalam suatu organisasi, tingkat usaha (levelof effort), dan tingkat kegigihan atau ketahanan dalam menghadapi suatu halangan atau masalah (level of persistence). Menurut Ardana dkk. (2011:193) terdapat tiga jenis dari motivasi yaitu Material incentive, Semi material incentive dan Non material incentive. Ketiga jenis motivasi diatas akan dijelaskan sebagai berikut: 1)
Material Incentive yaitu, pendorong yang dapat dinilai dengan uang.
2)
Semi Material Incentive, yaitu segala sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang.
8
3)
Non Material Incentive yaitu, seluruh jenis perangsang yang tidak termasuk dalam salah satu golongan diatas seperti promosi yang objektif, pekerjaan yang terjamin dan penempatan yang tepat. Masalah motivasi karyawan akan muncul dalam suatu organisasi atau
perusahaan apabila terdapat kesenjangan antara hasil yang dicapai dengan hasil yang diharapkan oleh suatu perusahaan atau organisasi dan kesenjangan tersebut disebabkan oleh kurangnya usaha yang dilakukan. Menurut Ardana dkk. (2011:199) menyatakan beberapa prinsip dasar untuk menganalisis masalah motivasi sebagai berikut. 1)
Memberi ganjaran atas perilaku yang diinginkan adalah motivasi yang lebih efektif dari pada menghukum perilaku yang tidak dikehendaki.
2)
Faktor motivasi yang dipergunakan harus diyakini yang bersangkutan.
3)
Perilaku berganjaran cenderung akan diulangi.
4)
Perilaku tertentu lebih “reinforced” apabila ganjaran atau hukuman bersifat segera dibandingkan ditunda,
5)
Nilai motivasional dari ganjaran atau hukuman akan lebih tinggi baik yang berakibat pribadi dibandingkan dengan organisasional.
6)
Nilai motivasional dan ganjaran atau hukuman yang diantisipasi akan lebih tinggi apabila sudah pasti akan terjadi dibandingkan dengan yang masih bersifat kemungkinan. Dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas baik kinerja karyawan
maupun kepuasan kerja karyawan hendaknya perusahaan atau organisasi melakukan motivasi atau dorongan terhadap setiap karyawan berkinerja lebih baik
9
lagi dan memiliki kepuasan kerja yang tinggi terhadap pekerjaanya dalam perusahaan tersebut. Motivasi memiliki hubungan yang erat dengan sikap dan perilaku yang dimiliki oleh seseorang. Sikap yang ada pada setiap individu berinteraksi dengan nilai-nilai, emosi, peran, struktur sosial dan peristiwaperistiwa baru, yang bersama-sama emosi dapat dipengaruhi dan diubah oleh perilaku (Slamet Riyadi, 2011). Menurut Djamaludin (2009), motivasi kerja sangat dibutuhkan oleh individu untuk mendorong pencapaian hasil dari aktivitas yang dilakukan secara memuaskan. Pencapaian hasil maksimal dalam bekerja, sangat dominan dipengaruhi motivasi kerja individu. Oleh karenanya motivasi kerja karyawan yang tinggi dapat mendorong terciptanya kepuasan kerja yang lebih baik.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1
Pengaruh self-efficacy pada motivasi. Menurut Saifuddin Azwar (dalam Wulan, 2014) Tinggi rendahnya self-
efficacy
yang dipersepsikan akan memotivasi individu secara kognitif untuk
bertindak lebih persisten dan terarah, terutama apabila tujuan yang hendak dicapai lebih jelas. Individu akan yakin dengan kemampuannya menyelesaikan tugastugas atau mengahadapi segala masalah ketika tujuan yang akan dicapai jelas. Menurut Widiyanto (2013:06) dalam penelitiannya di SMK N 2 Depok terhadap 30 siswa, menyatakan bahwa self-efficacy berpengaruh terhadap motivasi, keuletan dalam menghadapi tugas, dan prestasi belajar. Individu yang memiliki self-efficacy rendah maka akan merasa mereka tidak memiliki keyakinan bahwa
10
mereka dapat menyelesaikan tugas dan akan berusaha mengindar dari tugas tersebut. Slameto (2010:80) keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas atau tantangan yang sulit dapat menyebabkan meningkatnya self-efficacy yang berpengaruh pada motivasi yang lebih kuat terhadap tantangan atau tugas tersebut, seperti ketika seseorang merasa tertantang dan mampu untuk menghasilkan uang dengan cara berdagang, lalu pada kali pertama ia berhasil memperoleh keuntungan, maka berikutnya ia akan semakin termotivasi untuk berdagang dengan barang yang lebih banyak untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Berdasarkan penelitian sebelumnya maka ditarik hipotesis yaitu : H1 : Self-Efficacy berpengaruh positif terhadap motivasi
2.2.2
Pengaruh self-efficacy pada kepuasan kerja. Bandura dalam Betz (2004) menyatakan bahwa self-efficacy adalah suatu
keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi atau kondisi tertentu. Karyawan yang memiliki self-efficacy tinggi dan percaya bahwa mereka dapat memenuhi tujuan mereka lebih mungkin untuk bekerja lebih keras untuk menetapkan tujuan, dan mencapai prestasi yang lebih tinggi sedangkan karyawan yang memiliki selfefficacy rendah akan lebih mudah putus asa dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki self-efficacy tinggi akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Lau (2012), dalam penelitiannya terhadap 224 mahasiswa pada sebuah Universitas di Amerika Serikat menunjukkan bahwa self-efficacy berhubungan positif pada kepuasan kerja. Maka dapat dikatakan semakin tinggi
11
self-efficacy seseorang semakin tinggi kepuasan kerja seseorang tersebut dan semakin rendah self-efficacy seseorang maka tingkat kepuasan kerjanya semakin menurun.
Self-efficacy
berpengaruh
terhadap
kepuasan
kerja.
Hal
ini
membuktikan bahwa sel-efficacy yang dimiliki oleh karyawan memberikan dukungan terhadap kepuasan kerjanya. Karena mereka menganggap bahwa pada dasarnya setiap orang pasti memiliki self-efficacy , tetapi self-efficacy tersebut terbentuk karena dukungandari perusahaan. Penelitian lain juga menyatakan bahwa self-efficacy berpengaruh positif pada kepuasan kerja (Samuel, 2013). Berdasarkan penelitian sebelumnya maka ditarik hipotesis yaitu : H2 : Self-efficacy berpengaruh positif pada kepuasan kerja.
2.2.3
Pengaruh motivasi pada kepuasan kerja Wright dan Pandey (2005), menyatakan bahwa dalam suatu pekerjaan
yang dilakukan seorang karyawan, ikatan emosional dan loyalitas adalah salah satu faktor yang paling penting dari motivasi karyawan yang mengikat karyawan untuk tetap berorganisasi. Locke dan Latham (2004:388) telah mengevaluasi efektivitas motivasi sebagai akibat dari kedua faktor internal dan eksternal yang memaksa karyawan untuk bekerja dengan lebih bersemangat dan penuh semangat yang hasilnya menjadi kepuasan kerja. Kartika dan Kaihatu (2010), dalam penelitiannya terhadap 72 karyawan Pakuwon Food Festival menyatakan bahwa motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Selain itu penelitian lain yang dilakukan oleh Brahmasari dan Suprayetno (2008) dalam penelitiannya terhadap 1.737 orang pegawai di PT. Pei Hai International
12
Wiratama Indonesia di Surabaya dan Jombang menyatakan bahwa motivasi berpengaruh positif pada kepuasan kerja karyawan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Djamaludin (2009) terhadap 200 orang PNS yang ada di Kota Maba menyatakan bahwa motivasi berpengaruh positif pada kepuasan kerja. Berdasarkan penelitian sebelumnya maka ditarik hipotesis yaitu: H3 : Motivasi berpengaruh positif pada kepuasan kerja.
2.2.4
Model Penelitian
Berdasarkan Penelusuran pada kajian pustaka dan hasil – hasil penelitian sebelumnya maka model penelitian ini dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.1 berikut :
Self-Efficacy (X)
H2
H1
Motivasi (Z)
Kepuasan Kerja (X) H3 e2
e1
Sumber : H1 : Saifuddin Azwar (dalam Wulan, 2014), Menurut Widiyanto (2013:06), Slameto (2010:80). H2 : Bandura (dalam Betz, 2004), Lau (2012), Samuel (2013). H3 : Wright dan Pandey (2005), Locke dan Latham (2004:388), Kartika dan Kaihatu (2010), Brahmasari dan Suprayetno (2008), Djamaludin (2009)
13