1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Kinerja perekonomian Indonesia yang digambarkan oleh perkembangan Produk Domestik Bruto atas dasar harga konstan 2000, pada Triwulan II-2011 meningkat sebesar 2,9 persen bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya Peningkatan ini terjadi pada semua sektor ekonomi.1Perkembangan dunia usaha secara gobal meningkatkan daya saing Indonesia terhadap negara-negara lain di dunia. Secara kumulatif Indonesia di 2011 masih mencatatkan surplus neraca perdangangan sebesar USD16,40 miliar dengan ekspor kumulatif sebesar USD116,40 miliar dan impor kumulatif sebesar USD99,64 miliar.2 Dari data tersebut tampak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat, tidak lepas dari kegiatan perdagangan yang dilakukan baik domestik maupun Internasional. Sektor perdagangan terutama perdagangan internasional secara umum berkembang kearah perdagangan yang lebih bebas dan terbuka. Kegiatan ekspor impor didasari oleh kondisi bahwa tidak ada suatu negara yang benar-benar mandiri karena satu sama lain saling membutuhkan dan saling mengisi. Setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda, baik sumber daya alam, iklim, geografi, demografi, struktur ekonomi dan struktur sosial.Perbedaan 1 1
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2011, http://www.bps.go.id/brs_file/pdb05ags11.pdf diakses tanggal 12 September 2011 2
Martin Bagya Kertiyasa, “Surplus Neraca Perdagangan RI Turun 50%” , Senin, 5 September 2011,diakses dari : http://economy.okezone.com, tanggal 12 September 2011
2
tersebut menyebabkan perbedaan komoditas yang dihasilkan, komposisi biaya yang diperlukan, kualitas dan kuantitas produk.3 Hubungan perdagangan antar pelaku usaha yang memiliki unsur asing biasanya tertuang dalam suatu kontrak komersial atau biasa disebut dengan Kontrak Bisnis Internasional.Perkembangan kontrak ini telah mengikuti lajunya kemajuan berbagai jenis bisnis yang telah dipraktekkan dalam dunia usaha.4 Kontrak dalam melakukan perdagangan internasional merupakan suatu bagian yang penting dalam transaksi internasional, oleh karena itu secara alamiah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan telah lama menjadi perhatian. Keanekaragaman peraturan nasional tiap negara memberikan suatu kebutuhan tersendiri akan adanya suatu peraturan yang bersifat universal dan internasional.Adanya perbedaan aturan di masing-masing negara akan menghambat terlaksananya transaksi bisnis internasional yang menghendaki kecepatan dan kepastian5 Kontrak komersial yang dilakukan oleh para pelaku usaha juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Seperti contohnya PT. Martina Berto Tbk (MBTO) melalui anak usahanya PT Cedefindo berhasil memperoleh kontrak manufakturing produk air refreshner dengan perusahaan asal Jepang, PT Oshimo. Perseroan telah menandatangani Memorandum of Understanding 3
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor Impor dan Imbal Beli), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 1. 4
Nengah Juliana, 2004, Kontrak Manajemen Hotel Jaringan Internasional (Management Contract of International Chain Hotel), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.3 5Huala Adolf, 2008, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika Aditama, cet. II, hal. 29. (Selanjutnya disebut Huala Adolf I)
3
(selanjutnya
disingkat
dengan
MoU)
dengan
Oshimo
untuk
kontrak
manufakturing air refreshner. Dengan perolehan kontrak itu kontribusi ekspor akan menyumbang 2,5 persen dari total penjualan melonjak ke level 15,3 persen dari Rp 566 miliar menjadi Rp 653 miliar.6 Pada dasarnya suatu kontrak berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Sehingga perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi diantara para pihak. Setelah ada kesepahaman atas kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak biasanya akan membuat ”Memorandum of Understanding” (MoU) yang memuat keinginan masing-masing pihak sekaligus adanya tenggang waktu pencapaian kesepakatan untuk terjadinya kontrak. Proses inilah yang disebut sebagai proses prakontraktual. Penggunaan MoU walaupun tergolong sebagai dokumen prakontrak mendapat tanggapan positif dari pemerintah, hal ini terbukti ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyaksikan penandatanganan 26 MoU antara perusahaan Cina dan Indonesia di Shanghai.Presiden SBY mengunjungi Cina selama 2 hari juga mengunjungi forum bisnis Indonesia-Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Shanghai Expo.Acara tersebut juga dihadiri oleh 1000 orang pengusaha yang hadir dari berbagai sektor seperti energi, perikanan, dan pertanian, dari pengusaha berskala kecil hingga pengusaha besar.7
6
Anonim,”Kontribusi Ekspor Indonesia”, http://www.jpnn.com/read/2011/06/01/93737 diakses tanggal, 22 Juli 2011 7
Prabangkara, “Forum Bisnis Indonesia dalam http://www.tribunnews.com/2010/10/26 diakses tanggal 22 Juli 2011
Kancah
Internasional”,
4
Namun MoU atau nota kesepahaman dapat pula tidak terwujud menjadi sebuah kontrak nyata yang memuat pertukaran hak dan kewajiban antara para pihak karena masih masuk kedalam tahapan prakontraktual.Dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat dengan K.U.H.Perdata) tidak terdapat suatu ketentuan yang mengatur secara khusus tentang ketentuanketentuan prakontraktual. Tidak adanya akibat hukum terhadap proses prakontratual membuat masingmasing pihak dalam beberapa hal diletakkan dalam ketidakpastian, khususnya calon mitra lokal. Adanya pemahaman tentang tidak adanya konsekuensi hukum dari proses prakontraktual membuat banyak calon investor asing tersebut secara gampang mempermainkan kesepakatan yang telah disetujuinya. Dalam pasal 1320 K.U.H.Perdata yang mengatur mengenai syarat umum sahnya suatu perjanjian di Indonesia tidak diatur mengenai proses sebelum terjadinya kontrak atau tahap prakontraktual. Adanya perbedaan sistem hukum berpengaruh terhadap proses pembentukan suatu kontrak bisnis. Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut civil law system, syarat sahnya suatu kontrak berbeda dengan syarat sahnya suatu kontrak yang dianut dalam sistem Common Law. Menurut sistem hukum Civil Law apabila telah terjadi persesuaian kehendak dan telah disepakati oleh para pihak maka MoUyang merupakan sebuah dokumen prakontraktual telah memiliki kekuatan untuk dilaksanakan dan memiliki
5
kekuatan mengikat.8Sehingga telah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak. Hal ini merupakan implementasi pinsip itikad baik. Sementara itu Pasal 1338 ayat (3) K.U.H.Perdata hanya mengatur prinsip itikad baik pada saat pelaksanaan kontrak saja.Sumber yang dapat dijadikan acuan antara lain adalah The Principles of International and Commercial Contracts oleh UNIDROIT yang menyatakan bahwa “each party must act in accordance with good faith and fair dealing”. Negosiasi bahkan nota kesepahaman tidak menjamin terwujudnya sebuah kontrak nyata yang memuat pertukaran hak dan kewajiban antara para pihak karena masih masuk dalam tahapan prakontraktual. Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak (proses perundingan) salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam uang, membeli tanah walaupun belum ada kesepakatan final antara para pihak dan apabila telah tertuang dalam nota kesepahaman, yang menjadi permasalahan apabila salah satu pihak tidak melaksanakan substansi yang tertuang dalam nota kesepahaman tersebut yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain terkait dengan apakah pihak yang merasa dirugikan tersebut berhak untuk menuntut ganti kerugian ataukah tidak. Dalam
menghadapi
sengketa
mengenai
kontrak
internasional
yang
pengaturannya didalam undang-undang tidak jelas, terlalu umum dan atau
8
Salim HS,dkk, 2008, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, hal.54 (Selanjutnya disebut Salim H.S I)
6
substansinya masih abstrak. Dalam keadaan demikian, hakim berfungsi sebagai judges as laws maker.9 Sistem peradilan di Indonesia tidak menganut sistem preseden sebagaimana sistem peradilan di negara-negara dengan sistem common law, oleh karena itu hakim di Indonesia tidak berkewajiban untuk mengikuti putusan pengadilan sebelumnya.Maka terdapat kemungkinan adanya perbedaan sikap diantara para hakim dalam menilai atau menyikapi konsep prakontraktual.Hal ini terbukti dari putusan-putusan pengadilan yang lebih mengedepankan teori hukum kontrak klasik yang cenderung menerapkan lebih mengutamakan formalitas demi tercapainya kepastian hukum. Beberapa putusan pengadilan di Indonesia tidak menerapkan asas itikad baik dalam proses prakontraktual, karena berdasarkan teori klasik jika suatu perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada suatu perjanjian sehingga belum lahir perikatan yang memiliki akibat hukum. Seperti dalam kasus N.V Aniem melawan Said Wachidin dalam Putusan No.235/1958 Tanggal 13 Agustus 1958.Dalam Putusan Hakim tersebut dinyatakan bahwa N.V Aniem sebuah perusahaan yang menyediakan listrik tidak wajib mengalirkan listrik untuk gedung bioskop milik Said Wachidin, meskipun Said Wachidin telah membayar biaya pemasangan instalasi listrik. Karena perjanjian antara Said Wachidin dan N.V Aniem belum memenuhi syarat hal tertentu, mereka belum sepakat mengenai kilowatt listrik yang harus disalurkan. Said Wachidin menuntut ganti kerugian atas hal tersebut berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan karena 9
M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum,Buku I,Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal 184
7
seharusnya tergugat memasok listrik kepada penggugat.Namun gugatan Said Wachidin telah ditolak oleh Pengadilan Tinggi Surabaya. Di negara-negara maju yang menganut civil law system, pengadilan memberlakukan asas itikad baik bukan hanya dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan saja tetapi juga dalam tahap perundingan. Dalam hukum Belgia, Perancis serta Venezuela hubungan prakontraktual umumnya diletakkan pada perbuatan melawan hukum. Di beberapa negara seperti Cheko dan Belanda hubungan kontrak tidak terlalu diperhatikan. Hal yang sama juga terjadi di Jepang, dalam yurisprudensi Jepang dijumpai bahwa kadang hubungan hukum dalam prakontraktual didasarkan pada perbuatan melawan hukum dan kadang pula didasarkan pada kontrak pendahuluan atau Quasi kontrak10 Pengadilan Negeri di Amerika Serikat telah menerapkan doktrin Promissory Estoppel, yaitu doktrin yang mencegah seseorang untuk menarik kembali janjinya dalam hal pihak yang menerima janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak melakukan satu perbuatan sehingga dia akan menderita kerugian jika pihak yang memberi janji menarik janji tersebut.11 Seperti kasus di Amerika Serikat, antara Getty Oil dan Pennzoil. Pennzoil dan Getty Oil menandatangani perjanjian penggabungan usaha dimana Pennzoil akan memperoleh Getty Oil. Pennzoil dan Getty menandatangani Memorandum Perjanjian dan mengeluarkan siaran pers. Texaco membuat tawaran alternatif untuk Getty sehingga menolak perjanjian dengan Pennzoil dan menerima tawaran
10
Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta,hal. 15 11
Suharnoko, 2007, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta, Kencana, hal 11
8
Texaco.Pennzoil menggugat Texaco karena menginterfrensi kontrak. Texaco menegaskan bahwa Memorandum itu bukan perjanjian yang mengikat karena tunduk pada persetujuan dari dewan direksi Getty dan akan berakhir dengan sendirinya jika tidak disetujui. Juri Amerika Serikat menghukum perusahaan minyak Texaco untuk membayar U$.10,530 Miliar kepada Pennzoil termasuk membayar ganti rugi hukuman sebesar U$. 300012 Hal tersebut menggambarkan bahwa di Amerika Serikat negosiasi yang terbukti dilakukan dengan itikad buruk ternyata juga memiliki akibat hukum walaupun masih dalam tahap prakontraktual.Sehingga pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi walaupun belum terdapat perjanjian final.Kontrak bisnis internasional seringkali menimbulkan sengketa sebab latar belakang hukum yang dianut oleh para pihak berbeda. Harmonisasi hukum dibidang perdagangan dan bisnis menjadi kebutuhan yang semakin mendesak, karena dalam era globalisasi transaksi bisnis internasional
semakin
meningkat
intensitasnya
maupun
kompleksitasnya.Sehingga bagi pelaku bisnis internasional diperlukan pedoman yang dapat dijadikan sebagai pegangan yang pasti dalam transaksi-transaksinya.13 Adapun peraturan-peraturan hukum yang berbeda antara satu negara dengan negara lain menimbulkan resiko-resiko tambahan tertentu dalam transaksi bisnis international. Disamping itu transaksi international berhadapan dengan berbagai
12
http:// www.lawnix.com, diakses tanggal 2 Mei 2011
13
http://www.deplu.go.id/Pages/PressRelease.aspx?IDP=120&l=id Agustus 2011.
diakses
tanggal
20
9
peraturan pemerintah lebih dari satu negara, dan transaksi bisnis international tunduk pada lebih dari satu hukum yang berbeda. Pemerintah Indonesia mempunyai komitmen yang kuat dalam batas-batas kemampuannya untuk selalu terbuka melakukan kerjasama baik dengan negara-negara lain maupun dengan organisasi international termasuk UNIDROIT, dalam upaya mewujudkan suatu unifikasi dan harmonisasi hukum, terutama dibidang hukum dan bisnis.14 Keadaan seperti yang telah diuraikan diatas merupakan sebuah permasalahan yang menarik untuk dikaji, hal inilah yang mejadi latar belakang penelitian karya ilmiah ini dengan judul“Tanggung Jawab Hukum Para Pihak Dalam Tahap Prakontraktual Pada Kontrak Bisnis Internasional”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan tersebut,maka dapat dirumuskan permasalahan antara lain : 1. Bagaimanakah kekuatan mengikat prakontratual dalam kontrak bisnis internasional? 2. Bagaimanakah tanggung jawab hukum para pihak apabila terjadi pembatalan secara sepihak dalam tahap prakontraktual? 1.3 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai sisi yuridis prakontraktual dalam kontrak bisnis internasional
14
Ibid.
10
b. Tujuan Khusus 1)
Untuk mengetahui kekuatan mengikat prakontratual dalam kontrak bisnis internasional
2)
Untuk mengetahui tanggung para pihak apabila terjadi pembatalan secara sepihak dalam tahap prakontratual
1.4 Manfaat Penelitian a) Manfaat Teoritis Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan perkembangan dibidang hukum kontrak pada khususnya yang keberadaannya sangat dibutuhkan berkaitan dengan kontrak bisnis internasional. b) Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi diseluruh kalangan.Bermanfaat bagi praktisi hukum maupun penegak hukum, serta bermanfaat terutama bagi para pelaku bisnis agar dapat menemukan solusi serta pemecahan masalah yang berkaitan dengan tahap prakontraktual yang terjadi dalam praktek bisnis.
1.5 Orisinalitas Penelitian Kontrak baik berdimensi nasional maupun internasional merupakan topik yang sangat menarik untuk dijadikan obyek penelitian karena sarat akan permasalahan hukum.
11
Pertama, penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Indonesia dengan judul “Peranan Notaris dalam tindak lanjut Memorandum Of Understanding (MoU) sebagai perjanjian pendahuluan: studi kasus perjanjian kerjasama antara pemerintah Jambi dengan PT Simota Putra Parayudha,” dengan rumusan masalah yaitu :15 1) Bagaimanakah kekuatan pembuktian formil dan materiil sebuah Memorandum Of Understanding (MoU)? 2) Bagaimanakah peranan notaris dalam tindak lanjut Memorandum Of Understanding (MoU) sebagai perjanjian pendahuluan? Penelitian ini pada dasarnya menekankan peranan notaris dalam tindak lanjut Memorandum Of Understanding (MoU) sebagai perjanjian pendahuluan namun membahas MoU yang bersifat publik, bukan MoU privat dalam Kontrak bisnis. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menganalisis peraturan perundang-undangan di Indonesia.16 Kedua, penulis juga menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Diponegoro atas nama Sylvia Christina Aswin,SH yang berjudul “Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial Elektronik” dengan rumusan masalah yaitu:17
15
Artha Puspitasari, Tesis Universitas Indonesia, Peranan Notaris dalam tindak lanjut Memorandum Of Understanding (MoU) sebagai perjanjian pendahuluan: studi kasus perjanjian kerjasama antara pemerintah Jambi dengan PT Simota Putra Parayudha, http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=123807&lokasi=lokal diakses tanggal 23 Desember 2011 16
I Putu Gede Bayangkara, 2010, “Pengaturan dan Tanggung Jawab Agen dalam Bisnis Keagenan” , Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana
12
1) Apakah kontrak elektronik yang dibuat tanpa pertemuan langsung antara para pihak dapat dikatakan sah? 2) Jika terjadi sengketa di antara para pihak, bagaimanakah kekuatan pembuktian dari kontrak elektronik? Penelitian ini pada dasarnya menekankan tentang validitas serta kekuatan pembuktian dari sebuah kontrak elektronik dengan pendekatan masalah secara yuridis normatif. Ketiga, penulis menemukan penelitian untuk skripsi di Universitas Sebelas Maret atas nama Rizky Paramitha dengan judul “Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding Sebagai Suatu Akta Yang Dapat Dipertanggungjawabkan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” dengan rumusan masalah yaitu :18 1) Bagaimanakah kekuatan hukum memorandum of understanding sebagai suatu akta? 2) Apakah kekuatan hukum memorandum of understanding dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata? Penelitian ini pada dasarnya menekankan tentang kekuatan hukum memorandum of understanding dengan pendekatan masalah secara yuridis
17
Sylvia Christina Aswin, 2010, “Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial Elektronik”, Semarang, Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, http:// www.eprints.undip.ac.id/index.php diakses tanggal 23 Oktober 2011 18
Rizky Paramitha, 2010, “Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding Sebagai Suatu Akta Yang Dapat Dipertanggungjawabkan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, diakses dari http://eprints.uns.ac.id/48/ pada tanggal 22 Desember 2011
13
normatif yang bersifat preskriptif, menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Dibandingkan dengan penelitian yang penulis lakukan tampaklah perbedaanperbedaan yang spesifik.Penekanan pada penelitian ini terletak pada kekuatan mengikat tahap prakontraktual dalam kontrak bisnis internasional dan tanggung jawab para pihak dalam tahap prakontraktual apabila terjadi pembatalan secara sepihak. Jadi tidak hanya sebatas pada kekuatan dari Memorandum of Understanding, namun juga analisa kekuatan mengikat dari tahapan negosiasi. Dalam penelitian yang terdahulu, penekanan pada penelitian ini belum pernah memperoleh kajian.Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan dapat dikemukakan masih bersifat orisinal dan layak untuk dijadikan sebagai obyek penulisan dalam bentuk tesis.
1.6 Landasan Teoritis Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian maka diperlukan landasan teori sebagai upaya untuk mengidentifikasi teori–teori hukum, konsepkonsep hukum, asas-asas hukum, serta norma-norma hukum.19 Perjanjian
dan
perikatan
merupakan
istilah
yang
terdapat
dalam
K.U.H.Perdata, pada dasarnya K.U.H.Perdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan.Namun dalam pasal 1233 K.U.H.Perdata ditegaskan bahwa perikatan dapat lahir dari undang-undang dapat pula lahir dari perjanjian.
19
Universitas Udayana,2008, Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Magister Ilmu Hukum, hal 10
14
Prof Subekti membedakan pengertian perikatan dengan perjanjian.Menurut beliau definisi perikatan adalah :“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”20 Perikatan adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua pihak, disatu pihak ada hak dan di pihaklain ada kewajiban21Perikatan berasal dari bahasa Belanda “verbitenis” sedangkan perjanjian sebagai terjemahan “agreement” dalam bahasa Inggris, atau “overeekomst” dalam bahasa Belanda.Dalam sistem hukum Indonesia, istilah kontrak telah lama diserap, pengertian kontrak dipersamakan dengan pengertian perjanjian.22 Pengertian kontrak dalam masyarakat umum adalah perjanjian yang dikenal secara lisan atau tulisan yang berhubungan dengan bidang sosial baik bidang bisnis atau perdagangan.Dalam pengertian demikian kontrak merupakan perjanjian.Namun demikian kontrak merupakan perjanjian yang berbentuk tertulis.23
20
Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, hal 23
21
J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 5. 22
Ricardo Simanjuntak,2006,Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT.Gramedia, Jakarta,hal27
23
Anonim, 12 September 2008, http://www.asiamaya.com/Konsultasi hukum/ist_hukum/kontrak.htm diakses tanggal 3 November 2011
15
Istilah kontrak sebagai terjemahan dari bahasa inggris yaitu “contract” adalah yang paling modern, paling luas dan paling lazim digunakan, termasuk pemakaiannya dalam dunia bisnis.24 Dalam kegiatan bisnis, jenis perikatan yang terpenting adalah perikatan yang lahir karena perjanjian.25Kontrak adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dua atau lebih pihak dimana masing-masing pihak yang ada di dalam kontrak tersebut dituntut untuk melakukan satu atau lebih prestasi.26 Dasar dari hukum kontrak diambil dari pengertian perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merumuskan : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih ”. Kontrak
adalah
suatu
kesepakatan
yang
diperjanjikan
(promissory
agreement) diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum.27. Pendapat Ricardo Simanjuntak dalam bukunya Teknik Perancangan Kontrak Bisnis yang mendefinisikan kontrak sebagai ”...an agreement giving rise to obligation which are enforced or recognised at law”28
24
Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya, Bandung (selanjutnya disebut Munir Fuady I) hal.9 25
Zaeni Asyhadie, 2005, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 24 26
Munir Fuady, 2005, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.9 (selanjutnya disebut Munir Fuady II) 27
Munir Fuady I, Loc cit
28
Ricardo Simanjuntak,2006,Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT.Gramedia, Jakarta,hal
28
16
Terdapat berbagai macam kontrak yang tumbuh dalam masyarakat salah satunya adalah kontrak bisnis Internasional yaitu suatu kontrak yang didalamnya ada atau terdapat unsur asing.29 Kontrak komersial atau kontrak bisnis harus diformulasikan secara tertulis dan mendetail guna menghindari konflik yang mungkin akan timbul dikemudian hari dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Dalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III K.U.H.Perdata tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen).Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis30. Di dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian dalam bahasa Belanda overeenkomst dan dalam bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement. Dari sifat dan ruang lingkup hukum yang mengikatnya, kontrak dapat berupa kontrak nasional dan kontrak internasional.Kontrak nasional adalah kontrak yang dibuat oleh dua individu (subyek hukum) dalam suatu wilayah
29
Huala Adolf ,2007,Op.Cit,hal.1
30
Peter Mahmud Marzuki, “Batas-batas Kebebasan Berkontrak”, artikel dalam Jurnal Yuridika, Volume 18 No.3, Mei Tahun 2003, hlm. 195-196.
17
negara yang tidak ada unsur asingnya. Sedangkan kontrak internasional adalah suatu kontrak yang di dalamnya ada atau terdapat unsur asing ( foreign element)31 Unsur asing dalam kontrak dapat terjadi karena perbedaan kewarganegaraan pelaku, lokasi, perbedaan hukum, orientasi pasar (market target), perbedaan bahasa, mata uang transaksi dan tradisi.32 Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi bisnis sebagai usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan. Sedangkan Black’s Law Dictionary menyebutkan bahwa “Bussines is employment, occupation, profession or commercial activity engaged in for gain or livehood. Activty or enterprise for gain, benefit, advantage or livehood..”33 Jadi hukum bisnis adalah seperangkat kaidah-kaidah hukum yang diadakan untuk mengatur serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam aktivitas antar manusia khususnya dalam bidang perdagangan. Masyarakat diseluruh belahan dunia banyak menjadikan bisnis sebagai sektor pemasukan yang mendukung perekonomian, dimana seringkali perbuatan tersebut tidak terlepas dari penggunaan kontrak, baik nasional maupun internasional. Kontrak Internasional merupakan salah satu bagian dari Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata Internasional adalah seperangkat kaidah hukum
31
Sudargo Gautama, 2002, Kontrak Dagang Internasional, Bandung, Alumni, hal.7
32
Ida Bagus Wyasa Putra, Ni Ketut Supasti Dharmawan, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata et al, Refika Aditama, Bandung, hal. 18 (selanjutnya disebut I.B Wyasa Putra I) 33
Herry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Ed, West Publishing Co., St. Paul Minn., hal.98
18
nasional yang mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsurunsur transnasional (atau unsur-unsur ekstratorial).34 Jadi apabila suatu peristiwa hukum di bidang perdata mengandung unsur asing, maka peristiwa ini termasuk dalam bidang hukum perdata internasional. Faktor-faktor yang membedakan apakah suatu peristiwa hukum perdata termasuk dalam bidang Hukum Perdata Internasional dinamakan Titik Taut Pembeda atau Titik Pertalian Primer. Sedangkan faktor yang menentukan sistem hukum mana yang berlaku untuk suatu perkara perdata internasional dinamakan Titik Taut Penentu atau Titik Pertalian Sekunder35 Titik Pertalian Primer ini antara lain: a. Kewarganegaraan b. Bendera kapal c. Domisili d. Tempat kediaman e. Tempat kedudukan pribadi hukum f. Tempat dilakukannya isi suatu perjanjian.36 Karakterisitk dari kontrak bisnis adalah ada sesuatu yang dapat dinilai dengan uang dan jumlahnya harus substansial
37
. Jadi pengertian dari kontrak bisnis
34
Bayu Seto, 2001, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.8 35
ibid
36
Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional, Rajawali Press, Jakarta, hal.83 37
Hikmahanto Juwana, Dasar-Dasar Kontrak Bisnis, Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
19
internasional adalah suatu hubungan hukum untuk melakukan transaksi bisnis lintas batas negara antara 2 (dua) pihak pelaku usaha atau lebih yang dapat menimbulkan akibat hukum. Bentuk-bentuk kontrak banyak ragamnya di Indonesia antara lain yang terdapat didalam K.U.H.Perdata ataupun kontrak diluar K.U.H.Perdata (innominaat) seperti kontrakleasing, joint venture, franchisedll Kontrak bisnis internasional sebagai suatu perjanjian, haruslah memenuhi unsur-unsur perjanjian antara lain : a. Unsur Essensialia Yaitu unsur mutlak yang harus selalu ada dalam setiap perjanjian b. Unsur Naturalia Yaitu unsur yang diatur oleh Undang-Undang dan melekat dalam perjanjian c. Unsur Accidentalia Unsur yang diatur secara khusus oleh para pihak dimana undang-undang tidak mengatur mengenai hal tersebut38 K.U.H.Perdata mengatur syarat sahnya dari suatu perjanjian, seperti yang diatur dalam pasal 1320 K.U.H.Perdata yaitu: a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan c. Suatu pokok persoalan tertentu d. Suatu sebab yang halal Sedangkan menurut sistem hukum Common Law suatu kontrak merupakan bagian dari hukum privat, khususnya tentang kewajiban (the law of obligation).Suatu kontrak dikatakan sah menurut Common Law apabila memenuhi unsur-unsur : 38
Syahmin AK, 2005, Hukum Kontrak Internasional, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.29
20
a. Merupakan agreement, yang didasarkan adanya offer-acceptance b.Terdapat an Intention to create legal relation Para pihak harus sungguh-sungguh menunjukkan bahwa mereka memang bermaksud membuat ikatan hukum dan menaati serta melaksanakan ikatan tersebut. c. Didukung dengan consideration yang cukup39 Menurut Fox sebagaimana dikutip oleh I.B Wyasa Putra, sistem hukum di dunia didunia seperti tersebut diatas memiliki kesamaan aturan pokok yaitu : 1) Diakuinya freedom of contract (party autonomy) 2) Diakuinya prinsip pacta sund servanda 3) Diakuinya kekuatan mengikat dari praktek kebiasaan dan 4) Diakuinya prinsip overmacht40 Suatu kontrak harus dibuat menurut prosedur dan teknik yang benar.Prosedur yang benar diperlukan untuk menentukan sahnya kontrak, dan teknik yang benar diperlukan untuk membuat kontrak yang efektif dan efisien, menjamin kepastian dan keamanan bisnis, namun tidak mengabaikan fleksibilitas bisnis untuk secara progresif merespon perkembangan keadaan dan kebutuhan.41 Kaidah hukum Common Law dan kaidah hukum Islam saat ini sudah banyak mempengaruhi pembangunan hukum di Indonesia. Aturan umum mengenai hukum perjanjian yang menjadi dasar hukum kontrak masih berpedoman pada aturan yang merupakan warisan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (K.U.H. Perdata) atau Burgerlijk Wetboek 39
Ida Bagus Wyasa Putra, 2005, “Konsep dan Teknik Berkontrak Menurut Tradisi Common Law”, Seminar ICCD 16 April (selanjutnya disebut I.B Wyasa Putra II) 40
ibid
41
Ida Bagus Wyasa Putra, 2000, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, hal. 67 (selanjutnya disebut I.B Wyasa Putra III)
21
(BW) khususnya Buku III tentang Perikatan. Pada tanggal 2 September 2008 Indonesia sudah mengesahkan Statuta UNIDROIT dengan Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of The International Institute For The Unification of Private Law. Hukum kontrak internasional yang terwujud dalam lex mercantoria(hukum kebiasaan dagang) dimaksudkan guna menyelaraskan berbagai sistem hukum yang ada didunia. Indonesia juga telah meratifikasi ketentuan kebiasaan internasional UNIDROIT menjadi hukum nasional Indonesia hal tersebut dapat dilihat dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2008 Peraturan Presiden Tentang Pengesahan Statute Of The International Institute For The Unification Of Private Law (Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata) yang berarti Indonesia tunduk terhadap substasi yang tertuang didalam UNIDROIT tersebut.Terdapat 12 prinsip hukum kontrak yang dipakai dalam UNIDROIT yaitu: 1) Prinsip Kebebasan Berkontrak 2) Prinsip itikad baik ( good faith) dan transaksi wajar atau jujur ( fair dealing ) merupakan prinsip dasar yang melandasi seluruh proses kontrak yaitu mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai berakhirnya kontrak, ditekankan dalam praktik perdagangan international dan bersifat memaksa 3) Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat; 4) Prinsip Kesepakatan melalui Penawaran (Offer) dan Penerimaan (Acceptance) atau Melalui Perilaku (Conduct);
22
5) Prinsip Larangan Bernegosiasi dengan Itikad Buruk; 6) Prinsip Kewajiban Menjaga Kerahasiaan atas Informasi yang diperoleh pada saat Negosiasi; 7) Prinsip Perlindungan Pihak Lemah dari Syarat-syarat Baku; 8) Prinsip Syarat Sahnya Kontrak; 9) Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar (Gross disparity); 10) Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku; 11) Prinsip menghormati kontrak ketika terjadi kesulitan ( hardship); 12) Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeur). Landasan utama dari setiap transaksi bisnis adalah prinsip itikad baik dan transaksi jujur.42 Kedua prinsip ini harus melandasi seluruh proses kontrak mulai saat negosiasi sampai pada pelaksanaan serta berakhirnya kontrak. Di Negaranegara maju yang menganut Civil Law System seperti Perancis, Belanda dan Jerman, pengadilan memberlakukan asas itikad baik dari tahap perundingan. Asas itikad baik dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarakan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak Asas itikad baik dibagi menjadi dua, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. 42
Taryana Soenandar,2004, Prinsip-Prinsip UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Sinar Gafika, Jakarta, hal.42
23
Dalam itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek, sedang itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan 43. Berdasarkan asas itikad baik, maka para pihak dalam kontrak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak. Kontrak harus dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Asas-asas hukum kontrak, seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas daya mengikat kontrak, asas pacta sunt servanda, serta itikad baik mempunyai daya kerja yang mempengaruhi kontrak yang bersangkutan. Sebagai suatu sistem, pada prinsipnya para pihak bebas membuat kontrak, menentukan isi dan bentuknya, serta melangsungkan proses pertukaran hak dan kewajiban sesuai kesepakatan masing-masing secara proporsional, serta tentunya dilandasasi spirit itikad baik pada seluruh proses dan tahapannya44. Asas-asas hukum kontrak telah berfungsi dari tahap prakontrakual, Menurut Niewenhuis sebagaimana dikutip oleh Agus Yudha Hernoko, asas-asas hukum itu berfungsi sebagai pembangun sistem, dan lebih lanjut asas-asas itu sekaligus membentuk sistem “check and balance”45 Teori keadilan oleh Arisoteles menyatakan bahwa keadilan ditandai oleh hubungan yang baik antara satu dengan yang lain, tidak mengutamakan diri
43
Salim H.S, Op.cit, hal 11
44
Agus Yudha Hernoko, 2009, “Argumentasi Baru dalam Khasanah Hukum Kontrak Kontemporer (Bagian V)” http://gagasanhukum.wordpress.com diakses tanggal 3 Juni 2011 45
ibid
24
sendiri, tapi juga pihak lain serta adanya kesamaan. Apabila prinsip keadilan dijalankan maka akan lahir bisnis yang lebih baik dan etis. 46 Teori keadilan dari Ulpianus menggambarkan keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya. John Rawls membangun teori keadilan berbasis kontrak, dengan menyebut justice as fairness yang ditandai adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. Dengan adanya jaminan kebebasan serta kesetaraan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud 47 Sebuah kontrak pasti memiliki tahapan yang harus dilewati, tahap prakontraktual merupakan tahap awal sebelum kontrak disepakati oleh para pihak.Tahap prakontraktual merupakan proses dimana kontrak dirancang dan disusun.48 Dalam tahap prakontraktual terdapat penawaran dan penerimaan dan terdapat empat hal yang harus diperhatikan yaitu : a. Identifikasi para pihak b. Penelitian awal aspek terkait c. Pembuatan MoU ( Memorandum of Understanding ) d. Negosiasi49
46
Satjipto Rahardjo,2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 44 47 Agus Yudha Hernoko,2008, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 45 48
Salim HS, op.cit, hal.86
49
Salim H.S, op.cit., hal.124
25
Terbukanya kesempatan yang begitu luas untuk membuat kontrak berlandaskan pada prinsip kebebasan berkontrak yang merupakan suatu prinsip hukum umum yang telah berlaku universal dan telah tertuang dalam pasal 1338 K.U.H.Perdata yaitu : “Semua perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Suatu kesepakatan berupa perjanjian atau kontrak pada hakikatnya adalah mengikat dalam seluruh prosesnya, baik prakontraktual maupun postkontratual. Bahkan kesepakatan tersebut memiliki kekuatan mengikat bagaikan undangundang bagi yang membuatnya. Tahap prakontraktual pada dasarnya merupakan tahap dimana terjadi penawaran serta penerimaan, menurut ketentuan UNIDROIT, kata sepakat saja sudah cukup melahirkan kontrak. Negosiasi
merupakan
tahapan
paling
penting
dalam
proses
prakontraktual,mengingat dalam negosiasi terjadi perukaran pendapat antara para pihak untuk mencapai suatu kesepakatan. Dokumen yang penting dalam proses praktontraktual antaralain adalah nota kesepahaman atau yang biasa disebut dengan MoU. Dokumen yang termasuk kedalam tahapan prakontraktual menurut Ricardo Simanjuntak antara lain :Memorandum of Understanding, Letter of Intent serta Letter of Comfort. Menurut Hikmahanto Juwana, penggunaan istilah MoU harus dibedakan dari segi teoritis dan praktis. Secara Teoritis, dokumen Mou tidak mengikat secara
26
hukum agar mengikat secara hukum harus dilanjuti dengan perjanjian.
50
.
Kesepakatan dalam MoU lebih bersifat ikatan moral. Beliau menganalogikan MoU sebagai lembaga “pertunangan” bukan lembaga “perkawinan” Sedangkan dalam segi praktis, Hikmahanto Juwana membagi pemahaman MoU menjadi dua yaitu hanya mengikat secara moral karena harus dilanjuti dengan perjanjian serta pemahaman bahwa MoU disejajarkan dengan perjanjian. Munir Fuady mengartikan MoU sebagai perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian detail lainnya.51Sama seperti pendapat I Nyoman Sudana yang menyatakan bahwaMemorandum of Understanding merupakan perjanjian pendahuluan, dalam arti akan diikuti perjanjian lainnya52 Guna menganalisis permasalahan, dalam penelitian ini dipergunakan berbagai teori yang mendukung guna menentukan kapan kesepakatan dapat dianggap lahir. Teori yang paling banyak digunakan adalah teori pengetahuan dengan sedikit koreksi dari teori penerimaan.Dalam teori pengetahuan kesepakatan terjadi apabila
pihak
yang
menawarkan
itu
mengetahui
adanya
penerimaan
penawaran.Dan dalam teori penerimaan, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawakan menerima langsung jawaban dari pihak lawan53.Maksudnya adalah 50
Hikmahanto Juwana, 2002, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Lentera Hati, Jakarta hal. 123 51
Munir Fuady I, Op cit, hal 91
52
I Nyoman Sudana dkk, 1998, Teaching Material Penyusunan Kontrak Dagang, Depok, Tanpa penerbit, hal. 9 53
Salim H.S,Op cit,hal.26
27
penerapan teori pengetahuan tidak secara mutlak digunakan sebab lalu lintas hukum menghendaki adanya gerakan yang cepat. Sedangkan teori yang banyak digunakan dalam yurisprudensi untuk menjelaskan ketidaksesuaian antara pernyataan dan kehendak adalah Teori Kehendak
54
. Berdasarkan Teori Kehendak (will theory)suatu kesepakatan
mengikat karena memang merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat.Para pihak sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri.Jadi apabila terjadi ketidaksesuaian antara kehendak dan penyataan maka kehendak dari para pihaklah yang menentukan. Teori-teori yang juga dipergunakan guna menganalisis permasalahan antara lain: 1) Teori Kesetaraan Menyatakan bahwa para pihak dalam kesepakatan tersebut telah memberikan kesetaraan (kesamaan) bagi para pihak. 2) Teori Kerugian Menyatakan bahwa kesepakatan itu mengikat karena para pihak telah menyatakan dirinya untuk mengandalkan pada pihak yang menerima janji dengan akibat adanya kerugian. Dengan kata lain pelanggaran kesepakatan akan menimbulkan kerugian. Kontrak yang merupakan persetujuan para pihak melahirkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terikat. Akibat dari pertukaran hak dan kewajiban tersebut memunculkan tanggung jawab para pihak, terkait dengan tangung jawab tersebut, terdapat teori tentang tanggung jawab
54
Salim H.S,Op cit,hal 27
28
dalam perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain dan tanggung jawab yang berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku. Dalam Hukum Internasional, setiap perbuatan yang merugikan pihak lainnya harus bertanggung jawab dengan cara membayar ganti rugi atau kompensasi55. Dikalangan para ahli hukum, tanggung jawab sering diistilahkan dengan
“responsibility”
(verantwoordelijkeheid)
atau
terkadang
disebut
dengan“liability”56. Tanggung-jawab dalam arti responsibility adalah sikap moral untuk melaksanakan kewajibannya, sedang tanggung-jawab dalam arti liability adalah sikap hukum untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran atas kewajibannya atau pelanggaran atas hak pihak lain. Tanggung jawab menurut pengertian hukum adalah kewajiban memikul pertanggungan jawab dan kerugian yang diderita bila dituntut baik dalam hukum maupun dalam administrasi.57 Pada umumnya setiap orang harus bertanggung jawab (aanspraklijk) atas perbuatannya, oleh karena itu bertanggung jawab dalam pengertian hukum berarti suatu keterikatan.Dengan demikian tanggung jawab hukum (legal responsibility) sebagai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum.Bila tanggung jawab
55
Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III, Rajawali Pers, Jakarta, hal 87 56
Agus. M Tohar , Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembanganya, Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, 1990, Denpasar-Bali, 3-14 Januari h.1 57
Asrul Azwar, Pengantar Adminitrasi Kesehatan, Jakarta, PT. Ina Pura Aksara, hal.1
29
hukum hanya dibatasi pada hukum perdata saja maka orang hanya terikat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum diantara mereka.58 “Tujuan utama dari penerapan prinsip tanggung jawab dalam sistem hukum pada masyarakat primitif adalah untuk memelihara kerukunan antara individu-inividu dengan cara penyelesaian yang dapat mencegah terjadinya pembalasan dendam. Namun, pada masyarakat modern ini dasar falsafah dan tujuan utama dari penerapan prinsip tanggung jawab adalah pertimbangan nilai-nilai dan rasa keadilan sosial secara luas baik diliat dari segi moral maupun dari segi kehidupan sosial”59 Teori liberal tentang kontrak pada prinsipnya mengajarkan bahwa setiap orang menginginkan keamanan, sehingga seseorang harus menghormati orang lain dan hartanya. Namun, setiap orang jugaperlu melakukan suatu kerja sama yang dilakukan tanpa kehilangan kebebasannya dengan kepercayaan dan perjanjian. Maka menurut teori liberal tersebut, suatu perjanjian memerlukan suatu komitmen sehingga secara moral komitmen tersebut harus dilaksanakan, padahal tanpa suatu komitmen tersebut, tidak ada kewajiban moral untuk melaksanakan kewajiban yang bersangkutan.60Terdapat dua kategori ganti rugi atas kerugian yang dialami antara lain : 1) Gugatan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban
58
Bernadette M.Waluyo, 1997, Hukum Perlindungan Konsumen, Bahan Kuliah Universitas Parahyangan, hal.15 59
H.E Saefullah, (tanpa tahun), Beberapa Masalah Pokok Tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara, Pusat Penerbitan Universitas LPPM UNISBA, Bandung, Hal.8 60
Munir Fuady II, Op.Cit hal 11
30
tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi utama. Bentuk-bentuk wanprestasi ini dapat berupa : a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali b. Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi c. Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya 2) Gugatan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum Tidak harus terdapat hubungan perjanjian sebelumnya, untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum yang harus memenuhi unsurunsur61 a. Ada perbuatan melanggar hukum b. Ada kerugian c. Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dan kerugian d. Adanya kesalahan Dasar gugatan untuk tanggung jawab dapat dilakukan atas landasan adanya: 1. Pelanggaran jaminan (breach of warranty) 2. Kelalaian (negligence) 3. Tanggung jawab mutlak (strict liability) Merupakan prinsip tanggung jawab di mana kesalahan tidak dianggap sebagai faktor yang menentukan.Dalam tanggung jawab mutlak tidak harus ada 61
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Grafindo Persada, Jakarta, hal. 127
Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja
31
hubungan antara subyek yang bertanggung jawab dan kesalahannya.Jika konsumen yang merasa dirugikan atas produk yang dihasilkan suatu produsen atau pelaku usaha, maka itu menjadi dasar untuk bisa menggugat produsen yang bersangkutan
tanpa
harus
membuktikan
kesalahan
pelaku
usaha
atau
produsennya.62 Disamping itu terdapat beberapa aliran yang berupaya memberi jawaban tentang hakikat mengikatnya suatu kontrak antara lain: 1) Mazhab Hukum Alam Sarjana pengikutnya yang terkenal adalah Hugo Grotius, menurutnya kekuatan mengikat suatu kontrak berasal dari hukum alam. Menurut hukum alam, kontrak tidak lain adalah kesepakatan timbal balik para pihak (mutual contract) yang memiliki daya mengikat dari hukum alam. Sedangkan Jhon Locke menyatakan bahwa prinsip dari janji harus dihormati tidak lain adalah prinsip yang berasal dari hukum alam. Janji orang perorangan tersebut tidaklah cukup digantungkan kepada para pihak, peran negara sangatlah perlu, karena negara harus berfungsi sebagai pengawal hukum.Untuk itu orang perorangan perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak primitif mereka kepada negara yakni pelaksanaan hak untuk menghukum secara pribadi.63 2) Mazhab Positivisme Yuridis
62
Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit PT. Gransindo, Jakarta, hal 65
63
Theo Huijbers, 2006, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah cetakan 15, Yogyakarta, Kanisius, hal. 73
32
Dikemukakan oleh Rudolf Von Jhering, berkaitan dengan kontrak, beliau melihat kontrak tidak lain daripada janji (promise) dan memiliki kekuatan hukum, kekuatan hukum ini tidak berasal dari janji para pihak, tetapi dari fungsi praktis dari janji itu sendiri. Keberhasilan gugatan ganti rugi terletak pada pembuktian adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.Pada umumnya pembuktian adanya hubungan kausal ini mendasarkan pada dua teori yaitu teori conditio sine qu non yang dikemukakan oleh Von Buri dan teori adequate atau teori adequate veroorzaking dari Von Kries Menurut teori conditio sine qu non yang dimaksud penyebab adalah tiap peristiwa, yang tanpa peristiwa tersebut, peristiwa lain tidak dapat terjadi. Dengan kata lain, semua syarat (sebab) yang tidak mungkin ditiadakan untuk adanya suatu akibat adalah senilai dan menganggap setiap syarat sebagai akibat.Sedangkan menurut teori adequate memberikan kriteria bahwa antara perbuatan dengan kerugian itu cocok atau saling bersesuaian satu dengan lainnya.Ukurannya, kerugian adalah akibat adequate (cocok) pelanggaran norma. Apabila pelanggaran norma demikian meningkatkan kemungkinan untuk timbulnya kerugian.64
1.7 Metode Penelitian 1.7.1
Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum yang 64
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit hal237
33
dilakukan
dengan
cara
meneliti
bahan
pustaka
atau
data
sekunder
belaka.65Sedangkan penelitian hukum secara umum dapat dibagi menjadi penelitian yuridis normatif serta penelitian yuridis empiris (sosiologis).66 1.7.2
Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah pendekatan
dalam
dalam penelitian ini mempergunakan beberapa
memecahkan
masalah,
yaitu
dengan
menggunakan
pendekatanlegislasi dan regulasi (the statute approach.). Disamping itu digunakan pendekatan perbandingan (comparative approach), serta dengan pendekatan kenseptual yaitu mengutip pandangan-pandangan atau pendapat para ahli yang terdapat pada buku-buku atau literatur yang relevan dengan permasalahan yang diteliti (analytical and conceptual approach) atau bahan hukum sekunder.Selain itu penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus(Case approach).Dengan demikian, tidak hanya sebatas mempelajari ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum, tetapi juga menggunakan substansi yang bersumber dari literatur dan menganalisis kasus-kasus yang telah mendapatkan putusan hukum yang tetap dalam rangka menganalisis bahan hukum yang disajikan sebagai suatu pembahasan. 1.7.3
Sumber bahan hukum. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah data sekunder. Data
sekunder tersebut antara lain bahan hukum primer (bahan-bahan hukum yang 65
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Nornatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.14 66
Ronny Hanitjio, Soemaitro, 1995, Indonesia, Jakarta, hal.141
Metodelogi Penelitian Hukum Cetakan III, Ghalia
34
bersifat mengikat), bahan hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer) dan bahan hukum tertier (bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder).67 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Konvensi Internasional UNIDROIT (International Institute for the Unification of Private Law) 3. Konvensi United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods atau CISG. 4. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of The International Institute For The Unification of Private Law. Sedangkan bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam karya ilmiah ini yaitu literatur-literatur yang memuat teori dan pandangan dari para ahli yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,serta bahan hukum tertier berupa kamus hukum, dan artikel internet yang terkait dengan masalah yang diteliti. 1.7.4
Teknik pengumpulan bahan hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah studi kepustakaan,dengan menggunakan sistem kartu (card system). Dengan cara mempelajari dokumen-dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, lalu mengutip kepustakaan yang berhubungan dengan masalah
67
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji , Op.Cit hal. 13
35
tanggung jawab para pihak dalam tahap prakontratual pada kontrak bisnis internasionalselanjutnya membuat catatan-catatan dalam kartu tersebut 1.7.5
Teknik analisis bahan hukum. Teknik
analisis
terhadap
bahan
hukum
dilakukan
dengan
cara
deskriptif,evaluatif, interpretatif dan argumentatif. Deskripsi dapat berupa penggambaran bahan-bahan hukum sebagaimana adanya. Bahan-bahan tersebut dideskripsikan Kemudian dilanjutkan dengan evaluasi berupa penilaian terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh. Untuk mendapat jawaban permasalahan permasalahan maka digunakan metode interpretasi hukum. Dalam hal ini, interpretasi yang dipergunakan yakni interpretasi sistematik dan interpretasi otentik yang selanjutnya dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan dan dikaitkan dengan permasalahan yang ada. Hasil dari analisis ini kemudian ditarik kesimpulan secara sistematis.
36
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TAHAP PRAKONTRAKTUAL DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL
2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Tahap Prakontraktual dalam Kontrak Bisnis Internasional 2.1.1 Pengertian Dan Dasar Hukum Tahap Prakontraktual Tahap prakontraktual merupakan bagian penting dalam pembentukan Kontrak Bisnis Internasional, Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa: “Precontractual is a contract that precludes a party from entering into comparable agreement with someone else”68 Jadi dalam hal ini tahapan prakontraktual dilaksanakan untuk membatasi para pihak yang telah mengadakan persetujuan untuk dapat membuat persetujuan lain yang sebanding dengan pihak ketiga. Untuk dapat menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan tersebut sudah dimulai.Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi beberapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut : 1). Prakontrak yang mencakup proses :69 36
68
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 8th edition, 1999, Thomson, West Texas, hal. 347
69
Marbun, B.N, 2009, Membuat Perjanjian yang Aman dan Sesuai Hukum, Jakarta, Puspa Swara, hal. 13
37
a. Negosiasi b. Memorandum of Understanding (MoU) c. Studi kelayakan d. Negosiasi (lanjutan). 2). Kontrak a. Penulisan naskah awal b. Perbaikan naskah c. Penulisan naskah akhir d. Penandatanganan. 3).Pascakontrak a. Pelaksanaan b. Penafsiran c. Penyelesaian sengketa. Dalam tahap prakontraktual seringkali ditandai dengan adanya berbagai proses seperti negosiasi serta pembuatan berbagai dokumen pendahuluan. Negosiasi merupakan tahapan paling penting dalam proses prakontraktual, negosiasi merupakan proses sebelum terjadinya sebuah kontrak nyata yang memuat pertukaran hak dan kewajiban para pihak secara proporsional. Dalam tahap prakontraktual terjadi proses negosiasi dimana terdapat tawar menawar diantara para pihak. Negosiasi kontrak adalah satu dialog yang terselenggara sebagai suatu rangkaian pembicaraan dan komunikasi untuk mencapai suatu kesepakatan tertulis diantara dua atau lebih pihak.
38
Dalam tahap prakontraktual belum terdapat hubungan hukum diantara para pihak. Didalam hubungan hukum tersebut terdapat pihak yang berhak meminta prestasi, serta terdapat pihak yang wajib melakukan prestasi. Sehingga hubungan hukum diantara para pihak baru muncul setelah para pihak telah mengadakan kesepakatan diantara mereka dalam sebuah perjanjian atau kontrak. Hubungan hukum adalah hubungan antara dua subyek hukum atau lebih dimana hak dan kewajiban disatu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lain. 70 Hubungan hukum dalam tahap prakontraktual dapat muncul dalam kondisi: 1) Terdapat perbuatan melanggar hukum 2) Perbuatan hukum tersebut mengakibatkan kerugian pada pihak lain 3) Terdapat kesalahan Sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan hukum dalam tahap prakontraktual dapat muncul ketika terjadi perbuatan melawan hukum. Perbuatan melanggar hukum tersebut dalam perkembangannya tidak hanya perbuatan melawan hukum dalam arti sempit yaitu perbuatan melanggar undang-undang saja, akan tetapi kemudian diperluas menjadi perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antar sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain. Untuk mengamankan transaksi bisnis mereka dalam tahap prakontraktual, para pihak cenderung untuk memakai dokumen-dokumen hukum. Dokumen yang 70
Surojo Wignojodiputro, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Gunung Agung, Jakarta, hal.38
39
termasuk kedalam tahapan prakontraktual menurut Ricardo Simanjuntak antara lain : Memorandum of Understanding (MoU), Letter of Intent serta Letter of Comfort. Dokumen-dokumen yang termasuk kedalam tahapan prakontratual tersebut disebut dengan perjanjian pendahuluan atau preliminary agreement. K.U.H.Perdata
sendiri
sebenarnya
tidak
mengenal
mengenai
perjanjian
pendahuluan tersebut, namun dalam praktek berbisnis perjanjian pendahuluan ini seringkali digunakan sebagai sarana untuk meyakinkan para pihak akan keseriusan mereka untuk mengadakan suatu hubungan hukum. Dalam praktek, tahapan prakontraktual sering dituangkan dalam bentuk MoU atau LoI, yang dibuat sebagai perwujudan dari kesepahaman, itikad atau niat para pihak sebelum memasuki tahap kontraktual. MoU adalah kesepahaman akan suatu hal tertentu antara para pihak untuk kemudian dinegosiasikan lagi melalui proses perundingan sampai terjadi kesepakatan mengenai hal-hal yang spesifik dalam mengatur bagaimana para pihak melaksanakan hak dan kewajibannya, dimana hal tersebut akan dituangkan dalam kontrak. MoU berasal dari kata memorandum dan understanding.Dalam Black’s Law Dictionary memorandum didefinisikan sebagai “a brief written statement outlining the terms of agreement or transaction” Dengan terjemahan bebasnya berarti sebuah ringkasan pernyataan tertulis yang menguraikan persyaratan sebuah perjanjian atau transaksi). Sedangkan understanding adalah: “an implied agreement resulting from the express terms of another agreement, whether written or oral; atau a valid contract engagement of a somewhat informal character; atau a loose and ambiguous terms, unless it is
40
accompanied by some expression that it is constituted a meeting of the minds of parties upon something respecting which they intended to be bound “ Yang diterjemahkan secara bebasnya, sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya; atau pengikatan kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal atau persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan hasil persetujuan atau kesepakatan pemikiran dari para pihak yang dikehendaki oleh keduanya untuk mengikat. Erman Rajagukguk mengartikan MoU sebagai “Dokumen yang memuat saling pengertian diantara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari memorandum of understanding harus dimasukkan kedalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat”71 Hingga saat ini tidak dikenal pengaturan khusus tentang MoU. Hanya saja, merujuk dari definisi dan pengertian di atas, dimana MoU tidak lain adalah merupakan perjanjian pendahuluan, maka pengaturannya tunduk pada ketentuan tentang perikatan yang tercantum dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Letter of Intent (LoI) seringkali diberikan sebagai langkah awal untuk memulai negosiasi untuk menuju kepada pembentukan kontrak. Dalam Black’s Law Dictionary menyamakan pengertian MoU dengan letter of Intent menekankan status letter of Intent yaitu sebagai berikut :“a letter of intent is not meant to be binding and does not hinder the parties from bargaining with the 71
Erman Rajagukguk ,1994, Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, hal.4
41
third party. Bussines people typically mean not to be bound by a letter of intent and courts ordinarily don’t enforce one” 2.1.2 Pengertian dan Dasar Hukum Kontrak Bisnis Internasional Tidak dapat disangkal bahwa hubungan bisnis dimulai dari adanya sebuah perjanjian. Perjanjian dan perikatan merupakan istilah yang terdapat dalam KUH Perdata, pada dasarnya KUH Perdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan.Namun dalam pasal 1233 KUH Perdata ditegaskan bahwa perikatan dapat lahir dari Undang-Undang dapat pula lahir dari perjanjian. Prof Subekti membedakan pengertian perikatan dengan perjanjian. Menurut beliau definisi perikatan adalah : “Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”72 Perikatan adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua pihak, di satu pihak ada hak dan di pihak lain ada kewajiban73 Perikatan berasal dari bahasa Belanda “verbitenis” sedangkan perjanjian sebagai terjemahan “agreement” dalam bahasa Inggris, atau “overeekomst” dalam bahasa Belanda. Dalam sistem hukum Indonesia, istilah kontrak telah lama diserap, pengertian kontrak dipersamakan dengan pengertian perjanjian.74 Istilah kontrak sebagai terjemahan dari bahasa inggris yaitu “contract” adalah yang paling modern,
72
Subekti, Op Cit,hal 23
73
J. Satrio, Op Cit,hal 5.
74
Ricardo Simanjuntak,Op Cit ,hal27
42
paling luas dan paling lazim digunakan, termasuk pemakaiannya dalam dunia bisnis.75Dalam kegiatan bisnis, jenis perikatan yang terpenting adalah perikatan yang lahir karena perjanjian.76 Bisnis merupakan salah satu aktivitas usaha utama dalam menunjang perkembangan ekonomi. Kata bisnis diambil dari bahasa inggris “bussines” yang berarti kegiatan usaha.77 Dalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III KUH Perdata tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen).Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian dalam bahasa Belanda overeenkomst dan dalam bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement.78Kontrak adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dua atau lebih
75
Munir Fuady I, Op Cit, hal.9
76
Zaeni Asyhadie, Op Cit, hal. 24
77
Johannes Ibrahim, Lindawaty Sewu,Op Cit, hal.25
78
Zulhery artha, loc.Cit
43
pihak dimana masing-masing pihak yang ada di dalam kontrak tersebut dituntut untuk melakukan satu atau lebih prestasi.79 Dasar dari hukum kontrak diambil dari pengertian perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merumuskan : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih ”. Kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum 80 Dari sifat dan ruang lingkup hukum yang mengikatnya, kontrak dapat berupa kontrak nasional dan kontrak internasional.Kontrak nasional adalah kontrak yang dibuat oleh dua individu (subyek hukum) dalam suatu wilayah negara yang tidak ada unsur asingnya. Sedangkan kontrak internasional adalah suatu kontrak yang di dalamnya ada atau terdapat unsur asing (foreign element)81 Secara teoritis, unsur asing dalam suatu kontrak nasional yaitu: 82 a. Kebangsaan yang berbeda b. Para pihak memiliki domisili hukum asing di negara berbeda c. Hukum yang dipilih adalah hukum asing termasuk aturantermasuk aturan-aturan atau prinsip-prinsip kontrak internasional terhadap kontrak tersebut d. Penyelesaian sengketa kontrak dilangsungkan diluar negeri e. Pelaksanaan kontrak tersebut diluar negeri f. Kontra tersebut ditandatangani diluar negeri g. Objek kontrak tersebut diluar negeri 79
Munir Fuady II, Op Cit, hal.9
80
Munir Fuady I, Loc cit
81
Sudargo Gautama, Op Cit, hal.7
82
Huala Adolf I, Op.Cit, hal. 4
44
h. Bahasa yang digunakan adalah bahasa asing i. Digunakannya mata uang asing dalam kontrak tersebut. Black Law’s Dictionary mengartikan kontrak sebagai “An agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do a particular thing.” Kontrak Internasional merupakan sebuah kontrak yang didalamnya terkandung unsur asing.Unsur asing dalam kontrak dapat terjadi karena perbedaan kewarganegaraan pelaku, lokasi, perbedaan hukum, orientasi pasar (market target), perbedaan bahasa, mata uang transaksi dan tradisi.83 Selanjutnya dapat dikatakan bahwa kontrak bisnis internasional adalah suatu hubungan hukum untuk melakukan transaksi bisnis lintas batas negara antara 2 (dua) pihak pelaku usaha atau lebih yang dapat menimbulkan akibat hukum.Kontrak Bisnis Internasional adalah kontrak yang dibentuk oleh dua atau lebih pihak, yang melakukan transaksi lintas batas negara, yang berkebangsaan berbeda.84 Pengertian kontrak bisnis internasional menurut Peter Mahmud Marzuki adalah “kontrak antara sebuah perusahaan atau perorangan di suatu negara dengan perusahan atau perorangan di negara lain atau dalam beberapa hal, antara perusahaan atau perorangan di suatu negara dengan pemerintah atau BUMN negara lain “85. Sedangkan hukum kontrak adalah keseluruhan kaedah-kaedah
83
Ida Bagus Wyasa Putra I, Op Cit, hal. 18
84 85
Ida Bagus Wyasa Putra III,Op.Cit, hal. 67
Peter Mahmud Marzuki, Kontrak, Diktat Kuliah Program Pascasarjana Universitas Udayana, hal.2
45
hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum86. Bentuk-bentuk kontrak banyak ragamnya di Indonesia antara lain yang terdapat didalam KUH Perdata ataupun kontrak diluar KUH Perdata (innominaat) seperti kontrakleasing, joint venture, franchise dll Pada dasarnya sistem hukum di dunia dibagi menjadi 2 kategori besar, yaitu sistem Common Law dan Civil Law.Seringkali prinsip-prinsip hukum yang dianut diantara kedua sistem hukum berbeda satu dengan lainnya. Dalam sistem hukum Civil Law yang dianut di Indonesia mengutamakan prinsip hukum tertulis dengan prinsip nasionalitas, dengan dasar pembentukan kontrak adalah KUHPerdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dengan syarat sahnya kontrak seperti yang tertuang dalam pasal 1320 KUHPerdata, dimana kontrak cenderung umum dan implisit serta lemah dari segi kemampuan konsep dan teknik. Penyimpangan antara kontrak dan pelaksanaan dapat dibicarakan dengan cara negosiasi. Sistem hukum Common Law mengutamakan sistem hukum kebiasaan dengan prinsip domisili untuk menentukan status personal seseorang, dimana bentuk kontraknya cenderung detail dan eksplisit, ketidaksesuaian antara pelaksanaan dengan kontrak menjadi tanggung jawab pihak yang salah atau lalai.87 Kontrak bisnis internasional sebagai suatu perjanjian, haruslah memenuhi unsur-unsur perjanjian antara lain : a. Unsur Essensialia Yaitu unsur mutlak yang harus selalu ada dalam setiap perjanjian 86
Salim H.S I, Op.Cit, h.4
87
I.B Wyasa Putra IV, Op Cit, hal.33
46
b. Unsur Naturalia Yaitu unsur yang lazimnya ada/sifat bawaan perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian c. Unsur Accidentalia Unsur yang secara tegas diperjanjikan, diatur secara khusus oleh para pihak dimana undang-undang tidak mengatur mengenai hal tersebut88 KUH Perdata mengatur syarat sahnya dari suatu perjanjian, seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu: a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui oleh para pihak. Unsur kesepakatan antara lain :89 2) Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan 3) Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran. Kesepakatan sangat penting untuk diketahui karena merupakan awal terjadinya sebuah kontrak. Untuk mengetahui kapan terjadinya kesepakatan, terdapat beberapa macam teori, antara lain : 1) Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan menerima penawaran itu. 2) Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada sat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
88 89
Mariam Darus Badrulzaman, 2006, KUHPerdata Buku III, Bandung , Alumni, hal 99
ibid, hal .98
47
3) Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. 4) Teori Penerimaan, mangajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.90 Bila pernyataan yang keluar tidak sama dengan kehendak yang sebenarnya maka terdapat beberapa teori yang dapat dipergunakan, antara lain :91 1) Teori Kehendak, menurut teori ini yang menentukan apakah elah terjadi kontrak adalah adanya kehendak dari para pihak 2) TeoriPernyataan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi kontrak adalah adanya pernyataan, Jika terjadi perbedaan antara kehndak dengan pernyaaan amakakontrk tetap terjadi 3) Teori Kepercayaan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi kontrak atau belum adalah pernyataan seseorang yang secara objektif dapat dipercaya Teori yang banyak digunakan dalam yurisprudensi untuk menjelaskan ketidaksesuaian antara pernyataan dan kehendak adalah Teori Kehendak
92
.
Berdasarkan Teori Kehendak (will theory) suatu kesepakatan mengikat karena memang merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu
90
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Op.Cit hal 30-31 91
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuans Aulia, Bandung, hal-93-94 92
Salim H.S,Op cit,hal 27
48
mengikat.Para pihak sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri. Yurisprudensi tentang tanggung jawab prakontraktual yang sering dirujuk berkaitan dengan terjadinya kontrak adalah kasus di Jerman Barat (Koln) pada tahun 1856. Sebuah Firma Oppenheim & Co telah mengirimkan kawat kepada Komisioner Weiler untuk membeli surat sero. Dalam kawat tersebut ada kekeliruan, Weiler menerima pesan seakan-akan untuk menjual surat sero tersebut dan
Weiler
memenuhi
perintah
tersebut.
Padahal
maksudnya
untuk
membeli.Ketika nilai saham naik, Oppenheim meminta penyelesaian transaksi, ternyata pelaksanaannya bertolak belakang. Pengadilan telah membebankan ganti rugi kepada pihak Oppenheim, karena ia telah menggunakan alat komunikasi yang tidak pasti. Teori persesuaian kehendak saat ini telah banyak ditinggalkan dan bergeser sampai pada penawaran. a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Ketentuan yang mengatur mengenai kesepakatan diatur dalam pasal 1321 sampai dengan pasal 1328 KUHPerdata “tiada sepakat yang sah apabil sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. b. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan Kecakapan para pihak diatur dalam ketentuan pasal 1329 sampai dengan 1331 KUHPerdata. Pasal 1329 menyatakan : ” Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan kecuali undang-undang menyatakan tidak cakap”
49
c. Suatu pokok persoalan tertentu Ketentuan yang mengatur mengenai suatu hal tertentu tercantum dalam pasal 1332 sampai 1334 KUHPerdata. Pasal 1332 KUHPerdata menyatakan : “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian” d. Suatu sebab yang halal Ketentuan yang mengatur tentang suatu sebab yang halal tercantum dalam pasal 1335 sampi dengan 1337 KUHPerdata. Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan : “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undangundang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum” Keempat unsur tersebut, selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan kedalam unsur subjektif dan unsur objektif. Syarat subjektif antara lain kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya serta kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan. Syarat objektif antara lain suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang halal93 Syarat sahnya suatu kontrak menurut sistem hukum Common Lawadalah : a. Adanya penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) Setiap kontrak pasti diawali dengan adanya penawaran dan penerimaan. Penawaran adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang yang ditujukan kepada setiap orang. 93
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 93
50
“A contract is said to exist the moment there is an agreement between the two parties. A person who wishes to make a contract must first make an offer,this offer must remain open for the period of time it specifies or if there is no such as a period, for reasonable timeIt must be made in circumstances such that it can reasonably be believed.”94 Sedangkan penerimaan adalah kesepakatan dari pihak penerima dan penawar tawaran untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar. “A valid offer must be communicated, so that the offeree may accept or reject it; may be communicated in writing, orally, or by conduct (there is no general requirement that an agreement must be in writing. Important exceptions include contracts relating to interests in land ; may be made to a particular person, to a group of persons, or to the whole world; must be definite in substance; must be distinguished from an invitation to treat.”95 Pasal 15 CISG menegaskan bahwa : “(1) An offer becomes effective when it reaches the offeree and (2) An offer, even if it irrevocable, may be withdrawn if the withdrawal reaches the offeree before or the same time as the offer” Berdasarkan Konvensi CISG, Jika suatu permintaan (proposal) ditujukan selain kepada satu atau lebih orang tertentu, permintaan itu hanya dianggap sebagai undangan saja untuk melakukan penawaran, kecuali apabila jelas ditujukan oleh orang yang mengajukan usulan penawaran tersebut. Sampai kontrak ditandatangani penawaran dapat ditarik kembali jika penarikan kembali itu
sampai
kepada
pihak
yang
ditawari
sebelum
ia
mengirimkan
penerimaan..Namun berdasarkan pasal 16 CISG terdapat beberapa penawaran yang tidak dapat ditarik kembali jika :
94
Charles Himawan and Mochtar Kusumaatmadja, 1984, Business Law Contract and Businnes Association , Padjajaran University Faculty Of Law, Bandung., hal.9 95
Cavendish Lawcards, 2004,Contract Law Fourth Edition, Britain, Cavending Publishing Limited, hal 2
51
4) Penawaran itu baik dengan menyatakan waktu yang pasti penerimaan maupun sebaliknya, yang menunjukkan bahwa penawaran tidak dapat ditarik kembali 5) Layak bagi pihak yang ditawari untuk menyatakan bahwa penawaran tidak dapat ditarik kembali karena sudag bertindak sesuai dengan yang diminta dalam penawaran.Penawaran berakhir ketika penolakan penawaran sampai pada pihak yang ditawarkan. Suatu pernyataan yang dibuat atau sikap ditunjukkan oleh pihak yang ditawari (the offeree) menunjukkan adanya persetujuan atas penawaran. Hal ini merupakan penerimaan (acceptance) b. Persesuaian kehendak (meeting of mind) Adanya pernyataan antara para pihak tentang objek kontrak atau perjanjian.Apabila objeknya jelas maka kontrak dianggap sah. Namun apabila dilakukan dengan adanya penipuan (fraud), kesalahan (mistake), paksaan (durres) dan penyalahgunaan keadaan, maka kontrak menjadi tidak sah dan dapat dibatalkan. Jika kontrak diterjemahkan sebagai pertemuan pikiran atau nalar, maka salah satu pihak harus paham dan setuju dengan pikian pihak yang lain. Untuk mendapatkan pemahaman apa yang dipikirkan para pihak tersebut harus digunakan bahasa untuk menyampaikan pikiran mereka.
52
Pendekatan objektif diterima dalam sistem Civil law dan Common law,namun basis yang mereka gunakan berbeda. Basis Common law adalah bargain, sedang Civil law adalah pesesuaian kehendak.96 c. Consideration Jesse S. Raphael mengartikan konsiderasi adalah “Penghentian sebuah hak (sah) oleh satu pihak dengan imbalan janji dari pihak lain. Jika seorang membuat janji dengan menghentikan salah satu hak dari yang mendapat janji, janji tadi secara sah mengikat karena ditunjang oleh konsiderasi” 97 d. Kemampuan dan keabsahan tentang objek (Competent parties and legal object matter) Kemampuan para pihak (competent parties) adalah kemampuan dan kecakapan dari subjek hukum untuk melakukan kontrak atau perjanjian.Orang yang melakukan kontrak atau perjanjian harus sudah cukup umur.Sedangkan legalitas objek yaitu keabsahan dari pokok persoalan. Suatu objek dikatakan sah apabila
tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban
umum.98 Suatu kontrak dikatakan sah menurut sistem Common law Amerika Serikat apabila
memenuhi
syarat-syarat
tertentu
yaitu:
Kesepakatan,
kapasitas
mengadakan kontrak, dan adanya objek yang halal. 99 96
Ridwan Khairandy, Op.Cit.hal 121
97
Salim H.S I, Op Cit, hal. 39
98
Salim H.S II,Op.Cit, hal 30
99
Soedjono Dirdjosisworo, 2003, Kontrak Bisnis Menurut Sistem Civil Law, Common Law dan Praktek Dagang Internasional,CV. Mandar Maju, hal.14
53
Menurut Singapore legal system elemen esensial untuk sebuah kontrak antara lain : a. Offer The concept of contractual offer is basically that a party puts a proposition forward,which could be made open either to the world at large or to an individual b. Acceptance It can be made either verbally, in writing or by other modes of communication such as telex, faximile, transmission or by other electronics means. c. Intention to create legal relations Parties must be bound in the agreement, which is legally enforceable d. Consideration It has to be something of value in the eyes of the law, normally in monetary terms but not always, so long as it is of some value.100 Dalam pemikiran Common law system, hibah bukan merupakan suatu perjanjian karena tidak mengandung consideration dan hanya mengandung kesanggupan yang cuma-cuma. Dalam sistem hukum anglo Amerika kekuatan mengikat suatu kontrak hanya bila terdapat consideration atau kontra prestasi dari pihak lawan, apabila tidak terdapat consideration maka kontrak hanya akan mengikat jika dituangkan dalam suatu deed atau biasa pula disebut contract under seal. Suatu deed adalah suatu akta yang diberi segel (dicap,distempel).“it was enough if the letter ‘LS’ (Loco Sigili), the word ‘seal’ or even the red sticker put there by the promissory or his attorney”101 Surat yang harus disegel saat ini juga sudah dihapuskan di Inggris dan digantikan dengan deed.
100
Suchitthra Vasu, 2001, Contract Law For Bussiness People 2nd Edition, Rank Book, Singapore, hal.18 101
K Zweigert H Kotz translated by Tony Weir, 1998, An Introduction to Comparative Law third edition, Oxford University Pers Inc, New York, hal. 373
54
Penerapan doktin consideration dapat mengakibatkan suatu kontrak tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara hukum karena alasan yang sifatnya teknis.Penerapan aturan-aturan consideration dengan ketat dapat menimbulkan hasil-hasil yang tidak memuaskan, tetapi hakim dalam hal tertentu menemukan upaya untuk menghindari putusan yang tidak layak.Berdasarkan Hukum Singapura definisi dari Consideration adalah : “A promise contained in an agreement is not enforceable unless it is supported by consideration or it is made in a written document made under seal. Consideration is something of value (as defined by the law), requested for by the party making the promise (the ‘promisor’) and provided by the party who receives it (the ‘promisee’), in exchange for the promise that the promisee is seeking to enforce. Thus, it could consist of either some benefit received by the promisor, or some detriment to the promisee. This benefit/detriment may consist of a counter promise or a completed act”102 Untuk menghadapi kekakuan doktrin consideration Pengadilan di Inggris dan Amerika Serikat membuat doktrin Promissory Esstopel yaitu doktrin yang mencegah seseorang untuk menarik janjinya kembali, dalam hal pihak yang menerima janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak melakukan sesuatu sehingga ia (promisee) akan menderita kerugian jika promisor menarik janjinya. 103 Tempat dimana dapat menemukan hukum yang mengatur tentang kontrak internasional disebut dengan sumber hukum kontrak internasional.Sumber hukum
102 103
http://www.singaporelaw.sg,2011, diakses tanggal 23 September 2011
Suharnoko, Op.Cit, hal 11
55
kontrak internasional dapat digolongkan menjadi tujuh bentuk hukum antara lain:104 1) Hukum nasional Kontrak tunduk terhadap salah satu sistem hukum nasional di bidang hukum komersial atau dagang suatu pihak.Hukum Nasional disini termasuk pula aturan-aturan hukum pemerintah yang terikat baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan objek kontrak itu sendiri. 2) Dokumen kontrak Disamping pilhan hukum berupa hukum nasional, muatan atau ketentuanketentuan pasal dalam dokumen kontrak merupakan undang-undang bagi yang membuatnya, hal ini merupakan yang utama dan yang terpenting bagi para pihak. Dokumen kontrak merupakan aturan lex specialist dari aturan-aturan atau prinsip-prinsip hukum.Aturan-aturan dalam dokumen kontrak memuat mengenai hak dan kewajiban para pihak merupakan aturan-aturan yang esensial dan utama. 3) Kebiasaan-kebisaaan di bidang perdagangan yang terkait dengan kontrak Sumber ini seringkali disebut dengan lex mercatoria (hukum para pedagang). Aturan kebiasaan pedagangan baru akan mengikat suatu kontrak apabila para pihak menyatakan dengan tegas menyatakannya demikian secara tertulis didalam dokumen kontrak mereka. Dalam article 9 (2) CISG menyatakan bahwa :
104
Huala Adolf I, Op Cit, hal 69
56
“The parties are considered, unless otherwise agreed, to have implied made applicable to their contract or its formation a usage of which the parties known or ought to have known and which in international trade is widely known to and regularly observed by, parties to contract of the type involved in the particular trade concerned” Contoh kebiasaan lain yang telah terkodifikasi antara lain : a. Uniform Custom for Documentary Credits (UCP) 500, dokumen kontrak yang memuat
aturan kebiasaan dibidang perbankan
berkaitan dengan kredit berdokumen. b. Incoterm 2000, syarat-syarat dalam pengangkutan yang telah dikenal dalam dunia perdagangan c. Kontrak standar di bidang konstruksi yang dikeluarkan oleh FIDIC (Federation Internationale des ingenieurs des conceils) 4) Prinsip-prinsip hukum umum mengenai kontrak Prinsip hukum umum adalah prinsip yang mendasari sistem hukum positif yang didasarkan atas asas lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian
besar
didasarkan
atas
asas
dan
lembaga
hukum
Romawi.105Prinsip-prinsip hukum umum yang dapat dipakai antara lain prinsip pacta sunt servanda, prinsip itikad baik serta prinsip keadaan kahar (force majeur) 5) Putusan pengadilan Dalam sistem hukum anglo saxon atau common law system, sumber hukum yang utama adalah putusan pengadilan. Putusan-putusan hakim dibentuk menjadi kaidah yang mengikat umum. Dalam civil law 105
Mochtar Kusumaadmatja, 1997, Pengantar Hukum Internasional Buku I, Putra A. Bardin, Bandung, hal.105
57
systemputusan pengadilan juga memiliki nilai persuasif dan menentukan walaupun tidak sama porsinya dengan putusan pengadilan di dalam sistem hukum common law. 6) Doktrin Merupakan pendapat para ahli hukum yang terkenal di bidangnya dan diakui
wibawanya
di
lingkungan
dunia
ilmu
hukum,
sehingga
pandangannya sering digunakan orrang untuk memberikan dasar ilmiah dari atau bagi keputusan-keputusan hukum yang diambil.106 7) Perjanjian Internasional Perjanjian internasional merupakan perjanjian yang bersifat mengikat secara publik, perjanjian internasional terkait hukum kontrak antara lain : Konvensi CISG tentang Jual Beli Internasional, Konvensi UNIDROIT, konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dan Konvensi Denhaag mengenai Perjanjian Pilihan Forum. Pihak-pihak yang tunduk pada sistem hukum yang berbeda seringkali berhadapan dengan sengketa dalam hubungan bisnis mereka.Maka dari itu diperlukan adanya kepastian hukum guna menyelesaikan sengketa tersebut. Setiap kontrak bisnis harus memilih hukum yang akan digunakan dalam pelaksanaan kontrak mereka. Hal ini guna menjamin kepastian hukum dalam aktivitas bisnis mereka. Namun apabila pilihan hukum tidak ditentukan oleh para pihak hukum
106
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar Edisi ke Empat, Jogjakarta,Liberty, hal108-109
58
Perdata Internasional menyediakan upaya yang berlaku haruslah didasarkan pada beberapa teori, antara lain : 1. Teori Lex Loci Contractus yaitu hukum tempat dimana kontrak tersebut dibuat. 2. Teori Lex Loci Solutionis yaitu hukum yang berlaku dimana perjanjian dilaksanakan. 3. Teori The Proper Law of Contract yaitu hukum negara yang memiliki titik taut yang paling erat dengan kontrak. 4. Teori Most Characteristic Connection yaitu hukum dari pihak yang melakukan prestasi paling berkarakter.107 Hukum kontrak bisnis merupakan sebuah kontrak dimana didalamnya terdapat unsur-unsur asing, maka hukum kontrak merupakan bagian dari Hukum Perdata Internasional (HPI) sehingga tunduk pula terhadap aturan-aturan hukum perdata internasional. Dalam hukum perdata internasional ketika terjadi conflict of law, maka sangat penting untuk dimengerti mengenai titik pertalian yang ada. Dalam HPI terdapat dua macam titik pertalian, yaitu titik pertalian primer serta titik pertalian sekunder. Titik pertalian primer adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta yang melahirkan atau menciptakan hubungan HPI.Dengan demikian titik pertalian primer merupakan alat pertama bagi pelaksana hukum untuk mengetahui apakah suatu perkara atau perselisihan merupakan pekara HPI atau bukan. Faktor-faktor yang termasuk dalam titik pertalian primer antara lain:108 1) 2) 3) 4)
kewarganegaraan bendera kapal domisili tempat kediaman (residence)
107
I.B Wyasa Putra III, op.cit, hal. 73
108
Ridwan khairandy,dkk, 1999, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Gama offset, Jogjakarta, hal 701
59
5) tempat kedudukan badan hukum (legal seat) 6) pilihan hukum dalam hubungan intern Sedangkan titik pertalian sekunder merupakan faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam hubungan HPI. Yang termasuk dalam titik pertalian sekunder antara lain : 1) tempat terletaknya benda (lex situs=lex rei sitae) 2) Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum (lex loci actus) 3) Tempat dilangsungkannya atau diresmikannya perkawinan (lex loci celebrationis) 4) Tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus) 5) Tempat dilaksanakannya perjanjian (lex loci solutionis= lex loci executionis) 6) Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lec locus deliicti commisi) 7) Pilihan hukum para pihak 2.2Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Kontrak Bisnis Internasonal Dalam menyusun suatu kontrak atau perjanjian, baik yang bersifat bilateral, multilateral baik dalam lingkup regional, nasional maupun internasional harus didasari pada prinsip dan asas-asas hukum kontrak. Menurut Peter Mahmud Marzuki, aturan-aturan hukum yang menguasai kontrak sebenarnya merupakan penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat dalam asas-asas hukum secara umum 109 Menurut Agus Yudha Hernoko, asas bukanlah norma hukum yang konkrit, tetapi sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Jadi merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, sehingga dalam pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada asas-asas hukum 110
109
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal.196
110
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal. 19
60
Dengan demikian asas hukum merupakan sumber bagi sistem hukum yang memberikan inspirasi mengenai nilai-nilai etis, moral, dan sosial masyarakat. Beberapa asas dapat dituangkan menjadi hukum positif, contohnya saja asas itikad baik yang tertuang dalam pasal 1338 KUH Perdata. Asas tersebut antara lain : a. Asas Kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 KUHPerdata. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan terhadap seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian tersebut antara lain :111 a. Bebas menentukan akan melakukan perjanjian atau tidak b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian d. Bebas menentukan bentuk perjanjian e. Kebebasan lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan Namun bebas disini tidak berarti tidak terbatas, Terdapat beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUHPerdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas. Yaitu dibatasi oleh pasal 1320, mengenai syarat sahnya kontrak,dimana sebuah kontrak haruslah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini , kebebasan berkontrak dibatasi pula oleh pasal 1337 yaitu para pihak bebas untuk dapat membuat kontrak apabila tidak dilarang
111
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4
61
oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam hukum kontrak juga berkembang paradigma yang menekankan kehendak (will) sebagai dasar sumber keterikatan para pihak di dalam kontrak.Di Perancis berkembang doktrin autonomy of the will.Di Inggris berkembang doktrin consensus ad idem.112Doktrin tersebut menekankan kehendak atau keinginan dari para pihak sebagai dasar timbulnya kewajiban bagi para pihak dalam kontrak.Penekanannya pada kehendak individu, kewajiban kontraktual dapat diciptakan oleh suatu kehendak. Sarjana
terkemuka
hukum
perdagangan
internasional,
Schmitthoff
berpendapat bahwa otonomi (kebebasan) para pihak adalah dasar bagi hukum perdagangan internasional:113 “the outonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be build. The national sovereign has, as we have seen, no objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the parties, …” Dalam doktrin klasik hukum kontrak Perancis dianut paham bahwa kontrak berkaitan dengan kehendak bebas yang merupakan penjelmaan kemauan dari para pihak.Para pihak memiliki otonomi kehendak untuk menentukan hukumnya sendiri.Doktrin otonomi kehendak menekankan kebabasan individu untuk membuat kontrak tidak bernama sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
112
Ridwan Khairandy, Op.Cit. hal 86
113
Huala Adolf I, Op.Cit., hal. 20.
62
Saat ini dalam kontrak Internasional, prinsip kebebasan berkontrak dalam UPICCs diatur secara lebih rinci, aplikatif, dan tetap memperhitungkan fleksibilitas dibandingkan dengan pengaturan yang terdapat dalam KUH Perdata.UPICCs
mengatur
kebebasan
berkontrak
agar
tidak
terjadi
distorsi.Namun, pengaturannya tidak terlalu ketat agar tidak menghilangkan makna kebebasan kontrak itu sendiri.Oleh karena itu, UPICCs berusaha mengakomodasi berbagai kepentingan yang diharapkan memberikan solusi atas perbedaan sistem hukum dan kepentingan ekonomi lainnya. Prinsip kebebasan berkontrak dalam UPICCs diwujudkan dalam 5 (lima) bentuk prinsip hukum, yaitu:114 a) kebebasan menentukan isi kontrak b) kebebasan menentukan bentuk kontrak c) kontrak mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak; d) aturan memaksa (mandatory rules) sebagai pengecualian; e) sifat internasional dan tujuan UPICCs yang harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak. Prinsip kebebasan menentukan isi kontrak dirumuskan secara sederhana dalam Article 1.1 (Freedom of contract) yang menyatakan “the parties are free to enter into a contract and to determine its content.” Sedangkan UPICCs menentukan kesederhanaan dalam pembuatan kontrak dengan menegaskan bahwa kontrak tidak perlu tertulis. Dalam Article 1.2 dinyatakan: “Nothing in these Principles requires a contract, statement or any other act to be made in or evidenced by a particular form. It may be proved by any means, including witnesses.” b. Asas Konsensualisme 114
Taryana Soenandar, Op. Cit., hlm. 37.
63
Lahirnya sebuah kontrak ialah saat terjadinya konsensus atau persesuaian kehendak dari para pihak. Dengan demikian ketika terjadinya kesepakatan antara para pihak, maka lahirlah sebuah kontrak, walaupun kontrak tersebut belum dilaksanakan. Asas konsensualisme sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata angka (1) yaitu kesepakatan telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat saja, yang ditekankan disini adalah persesuaian kehendak (meeting of mind). Hal ini berlaku dalam hukum kontrak Anglo Saxon atau Common Law System dan Civil Law System. Dalam Hukum Anglo Amerika titik tolaknya adalah bahwa kesesuaian kehendak tercapai melalui penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance). Dalam Civil Law System, para pakar banyak membahas teori tentang kapan lahirnya kesepakatan, namun dalam Common Law System masalah lahirnya kesepakatan didasarkan pada penyelesaian praktis dan pragmatis. Dalam Civil Law System teori yang digunakan untuk memecahkan masalah saat lahirnya kesepakatan antara lain : Teori Pernyataan, teori Pengiriman, Teori Penerimaan dan Teori Pengetahuan. Teori yang paling banyak dianut adalah Teori Pengetahuan, jadi kesepakatan lahir ketika terdapat penerimaan atau akseptasi sudah diketahui oleh pihak yang menawarkan . Sedangkan dalam Common law System teori-teori tersebut tidak terlalu diperhitungkan. Berdasarkan case law, yang menentukan dalam kontrak korespondensi adalah saat pengiriman akseptasi yang didasarkan pada argumen praktis, penerima harus percaya dalam praktek bahwa kontrak telah ditutup jika akseptasinya telah dikirimkan atau diposkan yang biasa disebut dengan ”mailbox rule”
64
Selanjutnya berdasarkan pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas tidak boleh terdapat unsur cacat kehendak antara lain :115 a) Kekhilafan/kekeliruan/kesesatan Sesat dianggap ada apabila pernyatan sesuai dengan kemauan tapi kemauan itu didasarkan pada gambaran yang keliru baik mengenai orangnya (eror in persona) maupun objeknya (eror in substansia) b) Paksaan/dwang Paksaan bukan karena kehendaknya sendiri namun adanya paksaan dari pihak lain. Paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. c) Penipuan/bedrag Pihak yang menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati Terdapat pula ajaran penyalahgunaan keadaan/undue influence yang pertama kali muncul pada abad 15 di Inggris yang didasarkan pada ajaran Equity.Equity ini muncul karena dalam Common law tidak mengatur paksaan secara batiniah.Yang dikenal hanya paksaan secara fisik sebagai faktor pengganggu.Di Belanda ajaran ini mulai diterapkan oleh hakim pada tahun 1957. Pada hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpu pada: 116 a) Penyalahgunaan keunggulan ekonomi dan b) penyalahgunaan kejiwaan Dalam UPICCs pada prinsipnya kata sepakat dicapai melalui penawaran dan penerimaan yang terdapat dalam pasal 2.1 yang menyatakan : “A contract may be conclude either by the acceptance of an offer or by conduct of the parties that is sufficient to show agreement”
115
Handri Raharjo,2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta ,hal.49-50 116
Salim HS I, Op.Cit, hal.38
65
Yang dalam terjemahan bebasnya berarti kontrak terjadi karena adanya akseptasi dari penawaran para pihak yang ditunjukkan melalui perilaku. c. Asas Pacta Sund Servanda Disebut dengan asas kepastian hukum, asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk dapat memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Asas ini berkaitan dengan daya mengikatnya suatu kontrak. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pengertian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan pembuat undang-undang. Namun daya berlaku kontrak hanya terbatas pada para pihak yang melakukan kontrak tersebut. Perkembangan asas pacta sund servanda dapat ditelusuri dari Hukum Kanonik. Dalam Hukum Kanonik dikenal asas nudus consensus obligat, pacta nuda servanda sunt. Pacta nuda sund servanda mempunyai pengertian bahwa suatu pactum (persesuaian kehendak) tidak perlu dilakukan di bawah sumpah atau dibuat dengan tindakan formalitas tertentu. Demikian halnya nudum pactum, yaitu suatu persesuaian kehendak saja sudah memenuhi syarat. Konsensus yang telah diwujudkan dalam suatu pactum sehingga kemudian dipandang sebagai memiliki kekuatan mengikat. Oleh karena itu dapat dipahami yang lebih menonjol adalah
66
asas pacta sund servanda yang berkaitan dengan kekuatan mengikatnya suatu perjanjian.117 UPICCs menentukan prinsip bahwa kontrak yang dibuat berdasarkan kata sepakat para pihak mengikat mereka yang membuatnya. Dalam Article 1.3 (binding character of contract) dinyatakan: “A contract validly entered into is binding upon the parties. It can only be modified or terminated in accordance with its terms or by agreement or as otherwise provided in these Principles.” Terkait dengan prinsip ini, dalam Article 1.3 secara garis besar dinyatakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Artikel ini meletakkan asas pacta sunt servanda sebagai salah satu prinsip dasar hukum kontrak. 2) Akibat wajar dari asas pacta sunt servanda adalah kontrak dapat dimodifikasi atau dihentikan kapanpun dengan persetujuan para pihak.Perubahan atau penghentian kontrak tanpa persetujuan para pihak bertentangan dengan prinsip ini, kecuali apabila perubahan atau penghentian kontrak tersebut sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama atau bila secara tegas dimungkinkan dalam Prinsip ini. 3) Dalam hal tertentu kontrak memberikan akibat hukum kepada pihak ketiga. Misalnya, penerima barang berhak menggugat pengangkut atas wanprestasi yang dilakukan oleh pengangkut yang terikat kontrak dengan pengirim.118 d. Asas Itikad baik (Goede Trouw) Asas itikad baik dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan 117
Peter Mahmud Marzuki, Op Cit. hal 198-199
118
The integral version of the 2004 edition of the UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts, available from URL http://www.unidroit.org/english/principles/contracts/principles2004/integralversionprinciples2004e.pdf> diakses tanggal 23 Juni 2011, Hal 9-10
67
substansi kontrak berdasarakan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik dibagi menjadi dua, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Dalam itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek, sedang itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan119Asas itikad baik merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarakan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak. Itikad baik dalam kontrak merupakan lembaga hukum yang berasal dari hukum Romawi yang kemudian diserap oleh Civil law. Dalam perkembangannya diserap pula dalam hukum kontrak di beberapa negara yang menganut Common Law
System,
seperti
Amerika
Serikat,
Australia,
Selandia
Baru,
dan
Kanada.Amerika Serikat telah menerima asas itikad baik dalam Uniform Commercial Code (UCC) maupun dalam putusan pengadilan. UCC menentukan : ”Every contract or duty within this Act imposes an obligation of good faith in its perfomances adn enforcement” Itikad baik selalu dipasangkan dengan fair dealing (transaksi jujur). Prinsip itikad baik dan transaksi jujur ini melandasi seluruh proses transaksi komersial mulai dari negosiasi atau tahapan prakonraktual sampai pada tahap pelaksanaan dan berakhirnya kontrak. Dalam pasal 1.7 UPICCs menyatakan :
119
Salim H.S I, Op.Cit hal 11
68
1) Each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade 2) The Parties may not exclude or limits tihis duty KUH Perdata mempergunakan istilah itikad baik dalam dua pengertian, pengertian yang pertama adalah itikad baik dalam pengertian subyektif, di dalam bahasa Indonesia disebut dengan kejujuran, pengertian tersebut terdapat dalam pasal 530 KUH Perdata yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dalam arti subyektif merupakan sikap bathin atau suatu keadaan jiwa.120 Itikad baik yang berarti kejujuran ini juga diatur dalam pasal 1386 KUH Perdata daam pasal tersebut diatur ”Pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan kepada seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah” Pengertian itikad baik yang kedua adalah itikad baik dalam arti obyektif. Didalam bahasa Indonesia itikad bai dalam pengertian ini disebut juga dengan istilah kepatutan. Obyektif disini menunjuk kepada kenyataan bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai dengan anggapn umum tentang itikad baik dan tidak semata-mata pada anggapan para pihak sendiri.121 Sampai saat ini tidak ada makna tunggal itikad baik dalam kontrak. dan masih menjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna itikad baik tersebut. Amerika Serikat telah sejak lama menerima doktrin itikad baik dalam 120
Siti Ismijati Jenie, 10 Desember 2007, “Itikad Baik Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=927 , diakses tanggal 20 November 2011 121
ibid
69
kontrak yang terefleksi dalam Uniform Commercial Codes (UCC), Restatement of Contract, mauun putusan-putusan pengadilan. Hakim-hakim di Selandia Baru, Kanada, Australia belum begitu lama mengenal doktrin itikad baik sebagai bagian hukum mereka. Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak di berbagai sistem hukum, namun asas itikad baik tersebut masih menimbulkan permasalahan berkaitan dengan keabstrakan makna itikad baik, sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari persepektif waktu, tempat serta subyeknya. 2.3 Keragaman Praktek Pembentukan Kontrak Bisnis Internasional dan Pentingnya Harmonisasi Hukum Sebelum kontrak disusun, menurut Salim H.S terdapat empat hal yang harus diperhatikan yakni identifkasi para pihak, penelitian awal aspek terkait, pembuatan Memorandum of Understanding (MoU) dan negosiasi.122 Keempat hal tersebut dijabarkan sebagai berikut : a. Identifikasi para pihak Para pihak dalam kontrak harus teridentifikasi secara jelas, perlu diperhatikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan, terutama tentang kewenanangannya sebagai pihak dalam kontrak yang bersangkutan dan apa yang menjadi dasar kewenangannya tersebut. Disamping itu, juga perlu diperhatikan syarat yang harus dipenuhi terutama dalam kaitannya dengan tindakannya sebagai wakil dari badan hukum. b. Penelitian awal aspek terkait
122
Salim H.S I, op.cit, h. 123
70
Pada dasarnya pihak-pihak berharap bahwa kontrak yang ditandatangani dapat menampung semua keinginanya, sehingga apa yang menjadi hakikat kontrak benar-benar terperinci secara jelas. Penyusunan kontrak harus menjelaskan hal-hal yang tertuang dalam kontrak yang bersangkuutan, konsekwensi yuridis, serta alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan. Pada akhirnya penyusun kontrak menyimpulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, memperhatikan hal terkait dengan isi kontrak123 c. Pembuatan MoU (Memorandum of Understanding) Sebenarnya pembuatan MoU (Memorandum of Understanding) tidak dikenal dalam hukum konvesional Indonesia.Namun dalam praktek sering terjadi.Memorandum of Understanding dianggap sebagai kontrak yang simpel dan tidak disusun secara formal serta dianggap sebagai pembuka suatu kesepakatan. Menurut Huala Adolf, bentuk kontrak ini biasannya digunakan sebagai kontrak awal sebelum masuk kedalam kontrak-kontrak turunannya yang
lebih
kompleks
dan
rinci.
Namun
MoU
(Memorandum
of
Understanding) hanya mengikat secara moral, maka dari itu MoU (Memorandum of Understanding) dipandang sebagai soft-contract bukan hard contract124 d. Negosiasi Merupakan sarana bagi para pihak untuk mengadakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan sebagai akibat adanya
123
ibid, hal.124
124
Huala Adolf II, op cit, hal. 106
71
perbedaan pandangan terhadap sesuatu hal dan dilatarbelakangi oleh kesamaan dan atau ketidaksamaan kepentingan diantara mereka. Sedangkan
menurut
Budiono
Kusumohamidjojo
seseorang
yang
bermaksud menyusun suatu kontrak, wajib memenuhi sejumlah syarat pendahuluan antara lain : a. Pemahaman akan latar belakang transaksi Pemahaman akan latar belakang transaksi sangatlah penting untuk menetapkan judul atau title dari suatu kontrak. Sebab kurangnya kemampuan, pengetahuan serta wawasan yang diperlukan dalam menyusun kontrak akan dapat menimbulkan kerugian-kerugian.125 b. Pengenalan dan pemahaman akan para pihak Pemahaman akan mitra transaksi yang akan diajak berkontrak juga diperlukan sebelum menyusun sebuah kontrak. Proses ini bertujuan untuk mengenali lebih mendalam terutama untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam bidangnya, agar dikemudian hari tidak terjadi penipuan yang dapat merugikan salah satu pihak.126 c. Pengenalan dan pemahaman akan obyek transaksi Tahap ini sudah memfokuskan pada esensi dari transaksi yang hendak dirumuskan. d. Penyusunan garis besar transaksi
125
Budiono Kusumahamidjojo, Op.Cit, h.8
126
ibid
72
Hal ini dimaksudkan agar tidak menyimpang dari tujuan awal transaksi. Karena tidak jarang, pada saat kontrak dibuat, ternyata tidak mencerminkan keinginan dari para pihak karena adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada saat proses transaksi dilakukan. Dalam proses transaksi juga perlu dirumuskan Memorandum of Understanding yang merupakan perumusan kesepakatan awal yang telah dicapai selama proses negosiasi yang didapat dari risalah hasil kesimpulan dari setiap pertemuan yang diadakan dan diterima dengan baik oleh kedua belah pihak. e. Perumusan pokok-pokok kontrak Jika semua prosedur diatas telah terlewati, maka pembentukan kontrak tidak menjadi masalah karena hakikat kontrak adalah transformasi Memorandum of Understanding (MoU) yang ditambah dengan elememelemen kontrak yang menurut kontrak satndar memang harus ada. Termasuk pilihan hukum dan penyelesaian sengketa127 Setelah semua tahapan diatas terlaksana, maka tahap yang terakhir adalah tahap pengesahan oleh para pihak.Dimana pengesahan dilakukan dengan perbuatan penandatanganan kontrak yang sepakat untuk mengikatkan diri melaksanakan klausula-klausula yang tercantum dalam kontrak. Banyak permasalahan yang sering timbul dalam bisnis internasional sehubungan dengan berbedanya sistem hukum diantara para pihak antara lain: a. Kekuatan hukum negosiasi
127
ibid, hal.11
73
Ada negara yang menganut prinsip bahwa negosiasi tidak mengikat sama sekali, ada pula yang menganut prinsip bahwa negosiasi hanya mengikat secara moral, bukan secara hukum. Namun ada pula negara yang sudah memberikan semacam ikatan hukum kepada negosiasi. b. Akseptasi yang berbeda dengan penawaran Pada tahapan awal suatu kontrak salah satu pihak melakukan penawaran (offer) dan pihak lain melakukan penerimaan (acceptance) terhadap penawaran tersebut. Karena berbagai alasan seringkali terjadi apa yang ditawarkan ternyata tidak persis sama dengan penerimaan penawaran. Hukum Indonesia menganut prinsip bahwa jika ada perbedaan antara penawaran dengan penerimaan tawaran maka kata sepakat belum terbentuk, sehingga kontrak dianggap tidak pernah ada. Akan tetapi ada negara lain seperti Amerika Serikat yang sampai batas-batas tertentu mentolerir perbedaan antara penawaran dengan penerimaan tawaran, dimana jika perbedaan tidak begitu signifikan maka kontrak itu dianggap sudah ada, bahkan penyimpangan tersebut dapat dianggap sebagai bagian dari kontrak yang bersangkutan. c. Pembatalan suatu tawaran Ada negara yang menganggap tawaran tersebut bisa dibatalkan sebelum penerimaan tawaran dilakukan oleh pihak lawan.Dengan alasan bahwa tawaran itu masih merupakan perbuatan sepihak.Namun ada pula negara yang berprinsip bahwa penerimaan penawaran sampai batas yang pantas dapat dicabut kembali. d. Perlu tidaknya suatu consideration
74
Consideration merupakan prestasi dari pihak lawan sebagai akibat adanya prestasi dari pihak yang melakukan penawaran.Salah satu syarat sahnya kontrak dari sistem Common Law adalah unsur ini. e. Keharusan kontrak tertulis Indonesia merupakan negara yang tidak mengharuskan adanya kontrak tertulis, namun ada negara lain yang mengajarkan bahwa kontrak tertentu harus dilakukan secara tertulis. f. Waktu dianggap tercapainya kata sepakat Ada negara yang menganut bahwa kata sepakat terjadi pada saat dikirimkannya penerimaan tawaran.Ada pula yang menganut bahwa kata sepakat terjadi saat diterimanya oleh pihak penawar pengiriman penerimaan tawaran.Ada juga yang menganut bahwa kata sepakat terjadi ketika pihak penawar sudah mengetahuinya secara nyata bahwa tawarannya sudah diterima oleh pihak lawan.128 Masalah-masalah seperti ini mengakibatkan timbulnya permasalahan dalam kepastian, keamanan dan jaminan perlindungan hukum yang akan diperoleh para pelaku bisnis. Menurut Huala Adolf, untuk menghadapi permasalahan tersebut ada 3 teknik yang dapat dilakukan yaitu: a. Negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya dan menerapkan hukum internasional b. Menggunakan prinsip choise of law yaitu klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak mereka. 128
Munir Fuady I, op.cit.hal. 286
75
c. Melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional129. Perbedaan sistem hukum perdata memberikan pengaruh yang signifikan kepada masing-masing negara dalam pembentukan hukum (undang-undang) yang mengatur mengenai kontrak baik dari aspek formil maupun materiilnya.Hukum kontrak pada kenyataanya sangat beragam karena adanya perbedaan sistem hukum di masing-masing negara.Kalaupun ada persamaan, hanya terkait dengan prinsip-prinsip umum yang belum dapat diaplikasikan secara nyata sebagai pedoman dalam pembentukan kontrak internasional yang lingkup obyeknya begitu luas. Upaya harmonisasi hukum kontrak dalam konteks internasional secara efektif dilakukan oleh lembaga atau organisasi internasional, baik yang sifatnya publik seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan badan kelengkapannya seperti United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) atau organisasi internasional yang independen seperti International Institute for the Unification of Private Law atau Institut International Pour L'unification Du Droit Prive yang lazim dikenal dengan UNIDROIT. UNCITRAL merupakan badan kelengkapan PBB yang didirikan pada tahun 1966 oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 2205 (XXI) 17 Desember 1966).Pertimbangan didirikannya UNCITRAL adalah untuk mengurangi atau mengatasi hambatan dalam perdagangan internasional yang disebabkan oleh adanya perbedaan pengaturan masing-masing negara di bidang perdagangan 129
Huala Adolf II, op.cit, hal.31
76
internasional.UNIDROIT adalah organisasi internasional independen yang berkedudukan di Roma, Italia yang tujuan didirikannya adalah untuk mengkaji kebutuhan dan metode-metode dalam rangka modernisasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional di antara negara maupun perserikatan negara di dunia. “International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) is an independent intergovernmental organization whose purpose is to examine ways of harmonizing and coordinating the private laws of various countries and to prepare for the adoption of uniform rules of private laws by those countries.”130 Peran yang dilakukan oleh berbagai organisasi internasional ini adalah mengeluarkan berbagai perjanjian atau kesepakatan internasional yang dapat dijadikan pedoman dalam penyusunan kontrak internasional. Dalam hal ini UNCITRAL telah mengeluarkan 1980 - United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (CISG) tentang Kontrak-Kontrak bagi Jual Beli Barang Inernasional dan UNIDROIT telah mengeluarkan UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICCs) pada tahun 1994 yang kemudian telah direvisi pada tahun 2004. Latar belakang dibuatnya konvensi semata-mata karena adanya beberapa faktor yang berpengaruh cukup penting terhadap pembentukan atau lahirnya konvensi UNIDROIT. Faktor-faktor tersebut adalah: 1) Meningkatnya transaksi perdagangan internasional. Faktor atau perkembangan yang cukup penting adalah semakin meningkatnya transaksi perdagangan oleh masyarakat bangsa-bangsa, khususnya 130
http://ra.irv.uit.no/trade_› law/nav/unidroit.html. diakses tanggal 22 September 2011
77
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Perdagangan ini yang sifatnya lintas batas dirasa perlu sebagai topik yang harus pertama-tama dibahas dalam suatu konvensi yang menyeluruh. 2) Adanya perbedaan sistem hukum di dunia. Faktor kedua adalah karena adanya berbagai macam sistem hukum yang berbeda-beda yang mengatur kontrak perdagangan. Adanya pluralisme hukum kontrak ini dipandang tidak begitu kondusif bagi perdagangan internasional. Karenanya masyarakat internasional merasakan kebutuhan adanya suatu perangkat hukum kontrak yang harmonis (seragam). Pandangan ini yang menjadi latar belakang lahirnya Konvensi tersurat dalam preamble Konvensi. Preamble antara lain menyatakan: “Being of the opinion that the adoption of uniform rules which govern contracts for the international sale of goods and take into account the different social, economic and legal system would contribute to th removal of legal barriers in international trade and promote the development of international trade, ...”. 3) Adanya kecaman terhadap 2 konvensi terdahulu tentang kontrak internasional yang telah dibuat sejak tahun 1964 (konverensi diplomatik di Den Haag) oleh the International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT), yaitu: a) Konvensi tentang hukum yang berlaku terhadap jual beli internasional (the Convention Relating to a Uniform Law of the International Sales of Goods atau ULIS), dan
78
b) Konvensi tentang pembentukan kontrak jual beli internasional (the Convention Relating to a Uniform Law on The Formation of Contracts for the International Sales of Goods). Prinsip-prinsip
yang
terdapat
dalam
UNIDROIT
2004
(UNIDROIT
Principles) terdiri dari 10 Chapter dan 184 Articles. Sistematika UNIDROIT Principles terdiri dari Preamble (Pembukaan), Chapter 1 : General Provision (Ketentuan-ketentuan Umum)131 dan Chapter 2 : Formation and Authority of Agents (Pembentukan Perjanjian dan Kewenangan Agen), Chapter 3 : Validity (Validitas/Keabsahan
Perjanjian),
Chapter
4:
Interpretation
(Penafsiran
Persyaratan Perjanjian), Chapter 5 : Content and Third Party Right (Isi Perjanjian dan Hak Pihak Ketiga), Chapter 6
: Performance (Pelaksanaan Perjanjian),
Chapter 7 : Non – Performance (Wanprestasi dan akibat-akibatnya), Chapter 8 : Set – Off (Penjumpaan Hutang), Chapter 9 : Assigment of Right, Transfer of Obligation, Assigment of Contract (Pengalihan Hak, Pengalihan Kewajiban dan Pengalihan Perjanjian), Chapter 10: Limitation Periods (Tenggang Waktu Daluarsa). Kecenderungan harmonisasi hukum sangat potensial mengingat mayoritas negara memiliki kepentingan dalam perdagangan bebas sehingga harmonisasi hukum merupakan kebutuhan sekaligus tuntutan yang dialami oleh mayoritas negara. Dengan demikian, melalui intensitas transaksi bisnis dan pembaruan 131
Ketentuan-ketentuan Umum UNIDROT Principles terdiri dari 12 artikel: 1.1 Freedom Of Contract, 1.2 No Form Required, 1.3 Binding Character Of Contract, 1.4 Mandatory Rules, 1.5 Exclusion Or Modification By The Parties, 1.6 Interpretation And Supplementation Of The Principle, 1.7 Good Faith And Fair Dealing, 1.8 Inconsistent Behavior, 1.9 Usage And Practices, 1.10 Notice, 1.11 Definitions, 1.12 Computation Of Time Set By Parties.
79
hukum, akan timbul lex mercatoria melalui kontrak, penyelesaian perselisihan, maupun pembentukan hukum.Tujuan dari harmonisasi hukum adalah berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada.132 Prinsip-prinsip lex mercatoria dikaitkan dengan hukum nasional bukanlah merupakan suatu aturan formal yang bersifat memaksa (mandatory rules) melainkan merupakan media dalam menjembatani perbedaan sistem hukum dalam pelaksanaan perdagangan atau transaksi bisnis internasional.133Dengan demikian, penyesuaian hukum kontrak nasional terhadap ketentuan atau prinsip kontrak internasional tentunya sebagai harus dipandang sebagai suatu kebutuhan yang bertujuan untuk kepentingan nasional karena dengan peningkatan perdagangan atau transaksi bisnis internasional tentunya akan memberikan keuntungan bagi negara maupun pihak swasta. Indonesia sudah mengesahkan Statuta UNIDROIT dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of The International Institute For The Unification of Private Law. Perpres tersebut telah membuka lebar pintu harmonisasi hukum bagi Indonesia dalam konteks hukum kontrak internasional untuk menghilangkan hambatan pelaksanaan perdagangan dan transaksi bisnis internasional.
132
Huala Adolf II, Loc Cit.
133
Taryana Soenandar, Op. cit., hal 5.
80
BAB III KEKUATAN MENGIKAT PRAKONTRATUAL DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL
3.1
Urgensi
Prakontraktual
Dalam
Pembentukan
Kontrak
Bisnis
Internasional Tahap prakontraktual merupakan bagian penting dalam pembentukan Kontrak Bisnis Internasional, Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa: “Precontractual is a contract that precludes a party from entering into comparable agreement with someone else”134 Jadi dalam hal ini tahapan prakontraktual dilaksanakan untuk membatasi para pihak yang telah mengadakan persetujuan untuk dapat membuat persetujuan lain yang sebanding dengan pihak ketiga. Untuk dapat menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan tersebut sudah dimulai.Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi beberapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut : 1). Prakontrak yang mencakup proses :135 a. Negosiasi
134
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 8th edition, 1999, Thomson, West Texas, hal. 347
135
Marbun, B.N, 2009, Membuat Perjanjian yang Aman dan Sesuai Hukum, Jakarta, Puspa Swara, hal. 13
81
80 b. Memorandum of Understanding (MoU) c. Studi kelayakan d. Negosiasi (lanjutan). 2). Kontrak e. Penulisan naskah awal f. Perbaikan naskah g. Penulisan naskah akhir h. Penandatanganan. 3).Pascakontrak b. Pelaksanaan c. Penafsiran d. Penyelesaian sengketa. Dalam tahap prakontraktual seringkali ditandai dengan adanya berbagai proses seperti negosiasi serta pembuatan berbagai dokumen pendahuluan. Negosiasi merupakan tahapan paling penting dalam proses prakontraktual, negosiasi merupakan tahapan sebelum terjadinya sebuah kontrak nyata yang memuat pertukaran hak dan kewajiban para pihak secara proporsional. Dalam tahap prakontraktual terjadi proses negosiasi dimana terdapat tawar menawar diantara para pihak. Negosiasi kontrak adalah satu dialog yang terselenggara sebagai suatu rangkaian pembicaraan dan komunikasi untuk mencapai suatu kesepakatan tertulis diantara dua atau lebih pihak.
82
Pencapaian kesepakatan haruslah dilakukan secara bebas dan sehat sesuai dengan prinsip good faith and fair dealing. Negosiasi berdasakan Black’s Law Dictionary adalah “ a consensual bargaining process in which the parties attempt to each agreement on a dispute or potentially dispute matter” Maka dari itu proses negosiasi menjadi sebuah langkah untuk menuju kesepakatan. Negosiasi merupakan komunikasi yang selalu dilakukan oleh pihak-pihak yang akan berkontrak dengan maksud untuk dapat mempertemukan perbedaan-perbedaan maksud dan tujuan dari masing-masing pihak untuk masuk pada adanya suatu kesepakatan (meeting of mind) sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhinya yang pada pada sisi lain akan memberikan suatu hak kepadanya. Seperti yang disampaikan oleh Roger Fisher dan William Ury dalam kata pengantar bukunya Getting to Yes: Negotiating Agreement Without Giving In, memberikan definisi
negosiasi sebagai instrumen utama untuk apa yang
diinginkan pihak lain yang ditandai dengan komunikasi yang berkelanjutan untuk mencapai kata sepakat ketika para pihak mempunyai kepentingan yang saling dipertukarkan.136 Dalam langkah negosiasi, asas kebebasan berkontrak untuk menyatakan setuju atau tidak harus dimiliki secara penuh dan mandiri oleh masing-masing pihak. Karena apabila tidak ada lagi kebebasan bagi masing-masing pihak untuk dapat menyatakan kehendaknya, maka kontrak tersebut pada dasarnya telah bertentangan dengan asas kebebasan berkonrak serta syarat sahnya kontrak seperti yang tertuang dalam pasal 1320 serta 1321 KUH Perdata yang memberikan 136
Roger Fisher dan William Ury, 2000, Getting to Yes: Negotiating Agreement Without Giving In,terjemahan oleh Yayasan obor Indonesia,Jakarta,
83
konsekuensi
bahwa
kontrak
tersebut
menjadi
cacat
hukum
dalam
pembentukannya, sehingga terbuka untuk dibatalkan. Dalam praktek hubungan timbal balik antara manusia yang dinyatakan dengan suatu kontrak, sebagian besar merupakan transaksi-transaksi di bidang bisnis dan perdagangan. Transaksi dan bisnis dan perdagangan, maksudnya adalah hubungan timbal balik diantara dua pihak atau lebih (biasanya pelaku bisnis) dibidang bisnis dan atau perdagangan tertentu, melalui penetapan dan pelaksanaan janji-janji secara bertimbal balik dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomis (economic profit) yang seoptimal mungkin bagi masing-masing pihak.137 Substansi dari transaksi bisnis yang dibuat oleh para pihak harus dirumuskan secara cermat, tepat dan benar didalam kontrak yang hendak dirancang dan hanya dengan pemahaman yang cukup tentang transaksi yang bersangkutan, serta ketelitian yang tinggi dalam merumuskan pasal-pasal kontrak, maka kontrak dapat berfungsi optimal sebagai alat untuk mewujudkan tujuan kepentingan para pihak. Apabila pelaku bisnis hendak menyatakan janji janjinya itu kedalam suatu bentuk yuridis tertentu yang mengikat mereka secara hukum, maka salah satu cara yang paling umum ditempuh adalah dengan menuangkan keinginan, persyaratan serta hak dan kewajiban mereka itu secara tertulis di dalam suatu kontrak. Dalam tahap inilah orang berbicara tentang kontrak-kontrak bisnis. Jadi kontrak bisnis
137
Elly Erawati, 2004, Perancangan Kontrak-kontrak Bisnis, Universitas Khatolik Parahyangan Bandung , Hal. 13
84
adalah kontrak yang dibuat dalam rangaka mewujudkan suatu tujuan ataupun kepentingan dalam suatu transaksi bisnis/perdagangan tertentu. Sengketa bisnis dalam kontrak komersial seringkali berawal dari kesalahan mendasar dalam proses terbentuknya kontrak dengan berbagai faktor atau penyebabnya, antara lain :138 a. Ketidakpahaman terhadap proses binsis yang dilakukan, kondisi ini muncul ketika pelaku bisnis semata mata terjebak pada orientasi keuntungan serta karakter coba-coba (gambling) tanpa memprediksi kemungkinan resiko yang akan menimpanya b. Ketidakmampuan mengenali mitra bisnisnya, tidak jarang pelaku bisnis hanya sekedar memperhatikan performa atau penampilan fisik mitra bisnisnya tanpa meneliti lebih lanjut track record dan bonafiditas. Bebarapa pelaku bisnis lokal begitu mudahnya terpaku dan tertarik untuk terlibat dengan kerjasama yang ditawarkan mitra bisnis asingnya, sematamata berasumsi ahwa orang asing selalu lebih unggul segalanya tanpa mengetahui siapa partnernya c. Tidak adanya legal cover yang melandasi proses bisnis mereka. Hal ini menunjukkan rendahnya pemahaman apresiasi hukum pelaku bisnis dalam melindungi aktifitas bisnis mereka. Oleh sebab itu, perancangan kontrak dalam tahap prakontraktual sangat penting untuk diperhatikan guna menghindari adanya sengketa dikemudian hari. Hakikat dari suatu kontrak bisnis dapat dilihat dari perumusan yang dirancang
138
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit,hal.276
85
secara tajam dan akurat mengenai hal-hal dibawah ini pada saat perancangan kontrak. a. perumusan tentang adanya kesepakatan atau kesesuaian kehendak (concensus ad idem) diantara para pihak mengenai objek perjanjian dan hak atau kewajiban utama para pihak. Dalam kaitan ini perlu dicermati praktek perancangan kontrak yang menerima prinsip bahwa kontrak terbentuk melalui penerimaan (acceptance) atas suatu penawaran (offer) sebagaimana adanya (taken for granted) dan kurang menyadari adanya masalah-masalah yang mungkin timbul dalam proses itu yang dapat mempengaruhi keberhasilan pembentukan
kontrak.
Kecendrungan
memahami pranata-pranata Letter of Memorandum of mengurangi
yang
keliru
dalam
Intent (LoI)
atau
Undestanding(MoU) dalam praktek dapat
efektifitas
pelaksanaan
transaksi
bisnis
yang
seharusnya dijaga oleh kontrak. b. Perumusan tentang janji-janji yang dibuat oleh masing-masing pihak sebagai imbalan atas janji-janji atau untuk kepentingan pihak lain. Walaupun selalu ada kemungkinan dibuatnya kontrak yang berisi perjanjian sepihak (unilateral agreement), namun diajurkan untuk selalu memahami kontrak-kontrak bisnis sebagai kontrak yang bersifat timbal balik (reciprocal), sehingga prestasi yang harus dilakukan oleh salah satu pihak selalu dipahami sebagai imbalan atas prestasi yang akan dilakukan oleh pihak yang lain.
86
c. Perumusan tentang pihak-pihak pembuat kontrak dan informasi tentang kemampuan hukum (legal capacity) dan kewenangan hukum (legal authority) dari pihak-pihak tersebut untuk melakukan tindakan hukum dan untuk mengikatkan diri dalam suatu kontrak. Dalam kontrak Internasional masalah ini berpotensi untuk menjadi lebih rumit karena adanya perbedaan-perbedaan asas hukum mengenai kemampuan dan kewenangan subjek hukum dan akibat hukum yang akan timbul dalam hukum positif negara-negara dan kaidah-kaidah hukum semacam ini biasanya bersifat memaksa. Pendekatan Hukum Perdata Internaional tidak jarang harus digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ini. d. Perumusan tentang objek dan nilai ekonomis perjanjian yang menjadi causa dari transaksi diantara para pihak. Dalam hal ini perancang kontrak harus memperhatikan dan menjamin bahwa objek perjanjian serta causa dari transaksi yang dibuat oleh para pihak tidak bertentangan dengan undang-undang, kebiasaan, kesusilaan, kepatutan dan sebagainya. e. Penggunaan bentuk, wujud atau format tertentu yang dikehendaki para pihak dan atau yang disyaratkan oleh hukum positif agar transaksi yang bersangkutan dapat memiliki kekuatan mengikat secara hukum. f. Perumusan persyaratan kontrak yang harus dapat mengekspresikan dengan baik perilaku yang hendak diaturnya. Dalam hal ini perlu
87
diperhatikan beberapa aspek tentang penggunaan bahasa dalam perancangan kontrak, antara lain: 1) Gunakan format waktu (tenses) yang tepat dalam merumuskan kalimat-kalimat dalam kotrak. Recitals dalam pembukaan kontrak umumnya menggunakan waktu lampu, persyaratan-persyaratan
kontrak
sebaiknya
dinyatakan
dalam waktu kini (present tense) sedangkan kewajibankewajiban yang akan datang menggunakan waktu akan datang (future tense). 2) Gunakan kalimat-kalimat dalam bentuk aktif, karena kalimat aktif akan lebih jelas, akurat dan dapat mengurangi ambiguitas. 3) Selaraskan perumusan kalimat yang digunakan dengan dengan tujuan dan fungsi dari persyaratan yang hendak dibuat Substansi suatu kontrak bisnis pada dasarnya tergantung pada isi dan substansi transaksi bisnis yang melatarbelakanginya.
Karena itu orang dapat
menarik kesimpulan bahwa dari substansinya, semakin banyak jenis transaksi yang dibuat orang dalam praktek bisnis dan perdagangan, semakin banyak pula dapat dijumpai jenis kontrak yang satu sama lain berbeda dari segi substansi dan jenis prestasi yang diaturnya. Beberapa contoh transaksi dari kontrak-kontrak bisnis dibawah ini:
88
a.
Kontrak Jual Beli Barang (Sale of Goods Contract), yang dilatarbelakangi oleh transaksi antara penjual barang dengan pembeli barang yang telah sepakat tentang objek jual belinya dan harga yang harus dibayarkan.
b.
Kontrak Pinjam Meminjam Uang(Loan Agreement), pada dasarnya dibuat untuk merumuskan hak dan kewajiban yang diperjanjikan antara pihak yang bersedia menyerahkan sejumlah uang atau dana pinjaman tertentu dengan pihak yang bersedia menerima uang atau dana tersebut sebagai pinjaman yang harus dikembalikan dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
c.
Kontrak Lisensi Paten(Patent License Contracr), yang dibuat untuk merumuskan hak dan kewajiban dari dua atau lebih pihak-pihak dimana salah satu pihak bersedia memberikan izin menggunakan produk tertentu yang sudah dipatenkan (dilindungi oleh hukum paten tertentu) kepada pihak lain, dengan kewajiban pada pihak yang lain itu untuk
membayarkan
sejumlah
uang
tertentu
dan
memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu. d.
Kontrak Build, Operate & Transfer (BOT), yang dibuat untuk meresmikan transaksi bisinis tertentu dimana salah satu pihak (biasanya negara atau badan usaha milik negara) berniat untuk membangun suatu kontruksi tapi dengan memamfaatkan teknologi, keahlian dan dari pihak lain (biasanya perusahaan swasta). Pihak pemilik teknologi, keahlian dan/atau dana itu berhak atas keuntungan
89
ekonomis dari pemanfaatan teknologi selama jangka waktu tertentu, dan pihak pemilik kontruksi baru akan memperoleh kekuasaan penuh atas kontruksi yang bersangkutan setelah jangka waktu tertentu yang diperjanjikan dengan pihak lain. e.
Kontrak Franchise, dibuat untuk menampung niat dan tujuan bisnis dari pihak yang memiliki suatu sistem bisnis produksi atau pemasaran barang dan atau jasa yang sudah memiliki reputasi baik untuk memberikan hak kepada pihak lain untuk menjalankan bisnis yang sama dengan menggunakan metode, merek, logo dan sebagainya yang dimiliki oleh pihak yang pertama tadi. Untuk pemberian hak itu pihak yang memberi izin penggunaan sistem bisnis itu berhak atas pembayaran sejumlah uang tertentu (fee, royalty, dan sebagainya)
f.
Kontrak Manajemen Hotel Jaringan Internasional Kontrak manajemen adalah kontrak jasa dimana perusahaan asing memberi jasa berupa keahliannya kepada pihak lainnya untuk mengeksploitasi sesuatu pekerjaan seperti yang dirumuskan oleh William F. Fox yang menyatakan bahwa Management Contract adalah: “An agreement by which a host can take advantage of foreign expertise without giving over valuable natural resources”139Jadi imerupakan kontrak untuk melakukan pengelolaan hotel lokal oleh badan hukum asing yang memiliki jaringan manajemen secara internasional.Untuk pemberian hak itu pihak yang memberi izin
139
Huala Adolf I,Op.Cit, hal.109
90
penggunaan sistem bisnis itu berhak atas pembayaran sejumlah uang tertentu (fee, royalty, dan sebagainya) Contoh-contoh tersebut diatas menggambarkan sebagian kecil saja dari kontrak-kontrak bisnis yang berkembang di dalam praktek untuk mendukung pelaksanaan dan mewujudkan tujuan bisnis dari pada pelaku bisnis dalam transaksi-transaksi bisnis. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan pula bahwa: a. tidak ada satu bentuk baku yang dapat dijadikan pegangan dalam meranacang kontrak bisnis secara umum yang dapat digunakan setiap kali orang mengadakan suatu transaksi bisnis. Keunikan dan kekhasan dari kontrak-kontrak yang dibuat untuk mendukung transaksi bisnis yang bersangkutan; b. substansi, sistimatika dan bentuk dari kontrak-kontrak bisnis yang akan dirancang akan sangat tergantung pada substansi dari kesepakatan-kesepakatan para pihak dalam transaksi bisnis yang melatarbelakanginya; c. dalam praktek seorang perancang kontrak sebaiknya tidak terpaku pada bentuk danatau jenis kontrak bisnis yang sudah ada dan sering digunakan, melainkan harus bersikap terbuka dan kreatif untuk merancang kontrak-kontrak yang khusus dirancang
untuk
mengakomodasikan
transaksi-transaksi
bisnis yang sebelumnya Adakalanya pelaku bisnis bersikap rasional ketika menghadapi sengketa bisnis karena hal tersebut dianggap sebagai bagian dari resiko bisnis.Persoalan
91
terpenting
bagi
pelaku
bisnis
adalah
bagimana
upaya
mereka
dalam
mengantisipasi atau mencegah kemungkinan terjadinya sengketa. Oleh karena itu umumnya dalam kontrak bisnis para pihak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa (“dispute settlement clause”) dalam kontrak mereka. Etika berbisnis di masing-masing Negara adalah berbeda. Di beberapa Negara, perusahaan diharapkan membayar sejumlah uang secara resmi untuk persetujuan kontrak dengan pemerintah.Pembayaran tersebut dianggap sebagai hal yang rutin, sedangkan di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Swedia hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk suap sehingga hal tersebut tidak etis dan tidak legal. Orang-Orang Jerman dan Anglo Saxon memandang suatu persetujuan sebagai suatu perjanjian lisan yang akan segera dirumuskan menjadi dokumen tertulis secara legal dan terikat kepada persetujuan tersebut. Namun orang-orang Jepang dan Eropa Selatan secara etis masih dapat menerima bila meninjau kembali halhal yang telah disepakati sebelumnya.140 Etika bisnis menyangkut penerapan prinsip-prinsip etika dalam dunia bisnis atau secara lebih kongkret lagi penerapan prinsip-prinsip etika dalam tindakan dan keputusan bisnis.Etika bisnis sangat dipengaruhi oleh sistem budaya serta kebijaksanaan ekonomi/politik suatu negara.Oleh karena itu terdapat beberapa alasan mengapa mempelajari etika sangat penting, terutama jika berbeda budaya : a. Di dalam mengambil keputusan harus memperhatikan etika karena menyangkut nilai-nilai luhur dalam bertindak dan menjadi landasan bagi perwujudan nilai-nilai tersebut dalam semua bentuk dan jenis interaksi dan hubungan antar manusia 140
Djoko Purwanto, 2005, Komunikasi Bisnis, Peneribit Erlangga, Jakarta, hal 45
92
b. Setia bentuk kerjasama oleh sekelompok orang didasarkan pada konvensi, kebiasaan dan kesepakatan bersama sehingga penerapan etika dalam semua segi kehidupan harus diperhatikan. c. Etika dapat dijadikan sebagai pedoman berperilaku serta alat pengendali d. Etika menunjukkan nilai hakiki dari kehidupan manusia141 Faktor budaya seperti yang telah disebutkan diatas mempengaruhi cara orang bernegosiasi, Mereka memiliki gaya dan cara negosiasi yang berbeda, perbedaan terjadi dalam memandang serta menyelesaikan suatu permasalahan. Untuk itulah diperlukan pengetahuan tentang budaya dari pihak lawan untuk dapat meningkatkan peluang mencapai kesepakatan dan membentuk hubungan bisnis yang akan bertahan sampai menjadi sebuah kontrak yang diinginkan oleh para pihak. Dalam budaya dimana kekuasaan tidak terpusat seperti Amerika Serikat, keputusan dapat diambil dengan cepat dan seringkali dengan satu orang saja.Namun dalam budaya dengan nilai kolektif seperti Jepang dan Cina keputusan dibuat berdasarkan konsensus dan dalam waktu yang lama.142 Dalam negosiasi internasional yang bersifat lintas budaya, konflik terlihat sangat nyata.Maka dari itu untuk dapat menjadi seorang negosiator maka diperlukan beberapa karakteristik atau atribut yang harus dimiliki dan karakteristik tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. “To be a better negotiator , in practice we should have some of characteristic and they related each other and are often interdependent : a. Authority, it can come from position, intelligence, reputation,or sheer attitude (personality) b. Power, is very much reated to authority.When u are holding the cards, you clearly have an important advantage. How you deal 141
Sondang P. siagian, 2000, Etika Bisnis, Pustaka Binaman Oressindo, Jakarta, hal. 18-19
142
ibid
93
c. d. e.
f.
with power, whether it’s on your side or your adversary’s, is as important as possessing it. Principle, is very much in the mind of the beholder. Intellectual ability, is not just your own personal wisdom. Zknowing what you don’t know is as important asknowing what you know Knowing your limitation, is a special kind of knowledge,different from intellectual ability. It can take from of knowing from the start thatoverwhelming victory may not be yours and will not be your without outside help. Sensitivity, is tied to emotion. Most Important be understanding of and sympathetic to the problems of those represent143
Keberhasilan dalam bisnis ditentukan pula oleh struktur atau bangunan kontrak yang dibuat oleh para pihak. Sebagai suatu proses, kontrak yang ideal seharusnya mampu mewadahi pertukaran kepentingan para pihak secara proporsional. Negosiasi dalam tahapan prakontraktual merupakan perwujudan penerapan asas proporsionalitas menuju tahapan kontraktual. Dalam proses negosiasi dan penyusunan kontrak para pihak harus meneliti dan mencermati fakta-fakta material yang berkaitan dengan kontrak yang bersangkutan. Pada umumnya orang Indonesia hanya menerima saja draft kontrak dari orang asing dan menandatanganinya tanpa melakukan analisa secara yuridis dan mendalam terhadap hukum yang akan dipakai. Pada hal dalam melakukan suatu hubungan bisnis para pihak mempunyai kesempatan dan hak yang sama dalam menentukan kesepakatan terhadap apa yang akan diperjanjikan. Sebagaimana menurut Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, hukum tidak boleh diterima begitu saja secara apa adanya (taken for granted) tanpa mempertimbangkan latar belakang yang bersifat non-hukum yang kemudian 143
Victor Gotbaum, Negotiating in The Real World Getting the Deal You Want, 1999, Rockefeller Center, New York, hal.23-24
94
sangat determinan dalam mempengaruhi bentuk dan isi suatu produk hukum tertentu.144 Dalam setiap proses negosiasi kontrak sasaran atau tujuan para pihak sebenarnya adalah satu yaitu mencapai kata sepakat. Menurut Anthony Klok dan Gerald S. Williams, kepustakaan tentang negosiasi pada umumnya menyebut negosiasi kontrak yang bersifat positif sebagai negosiasi yang kooperatif, sedangkan negosiasi kontrak yang bersifat negatif disebut negosiasi yang kompetitif.145 Untuk mencari kata sepakat dalam kontrak, bukanlah sekedar masalah bagaimana pandai bernegosiasi namun juga bargaining position dari para pihak. Namun akan lebih objektif apabila mencermati dan memperhatikan klausulkalusul dalam kontrak, apakah bertentangan dengan kepatutan dan keadilan146 3.2 Pengaturan Prakontraktual Dalam Perspektif Berbagai Sistem Hukum Idealnya dalam proses berbisnis terutama dalam bisnis internasional yang melibatkan latar belakang budaya hukum yang berbeda harus melalui proses prakontraktual. Perilaku etis dan tidak etis dari tiap negara berbeda satu dengan yang lain, oleh karena itu mempelajari budaya bisnis dari pihak lain sangat diperlukan.
Proses
mempelajari
budaya
tersebut
adalah
dalam
proses
prakontraktual.
144
Imam Syaukani dan A.Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta Hal. 54. 145
Budiono Kusuhamidjojo,1999, Panduan Negosiasi Kontrak, Grasindo, Jakarta, hal . 9
146
Rudhi Prasetya, “Analisa Hukum Ekonomi terhadap Kontrak Dalam menyongsong Era Globalisasi”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 2, 1997, hal.21
95
Jika diamati lebih lanjut maka dapatlah disimpulkan bahwa KUH Perdata tidak memperhatikan proses terjadinya kontrak. Padahal dalam prakteknya suatu kontrak dapat terjadi apabila didahului dengan adanya kesepakatan dan itu diperoleh melalui proses negosiasi yang dapat memakan waktu dan biaya yang bervariasi. Tahap prakontraktual pada dasarnya merupakan tahap dimana terjadi penawaran serta penerimaan awal, menurut ketentuan UNIDROIT, kata sepakat saja sudah cukup melahirkan kontrak.Tahapan prakontraktual merupakan tahapan yang yang sangat penting terutama dalam melaksanakan prinsip itikad baik dan transaksi jujur (good faith and fair dealing).Pasal 2.15 UPICCs (Unidroit Principles of International Commercial Contracts) mengatur larangan tersebut sebagai berikut : 1) 2)
A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an agreement. However, a party who negotiates or breaks off negotiations in bad faith is liable for losses to the other party. It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations when intending not to reach an agreement with the other party.
Salah satu bentuk kewajiban para pihak dalam bernegosiasi dan menyusun kontrak harus berperilaku sesuai dengan itikad baik. Negosiasi dalam tahap prakontraktual tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk. Hal ini menjadi kewajiban umum bagi para pihak dalam hubungan prakontraktual. KUH Perdata hanya mengatur prinsip itikad baik pada saat pelaksanaan kontrak seperti yang tertuang dalam pasal 1338 (3) KUH Perdata. Dalam
96
prakteknya apabila terdapat kasus maka para hakim akan menggunakan teori yang dikemukakan oleh para ahli. Beberapa negara dengan sistem Civil Law seperti Italia telah memiliki ketentuan legislasi yang mewajibkan negosiasi dan penyusunan kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Sehubungan dengan hal ini, pasal 1337 Civil Code Italia menentukan bahwa :“parties must behave in good faith during the pre-contractual bargaining and contract drafting”.147 Di
Belanda makna itikad baik sudah berkembang
walaupun tidak
dijumpai satu ketentuan pun di dalam New Burgelijk Wetboek (NBW) yang mengatur kewajiban umum itikad baik dalam hubungan prakontrakual, namun yurisprudensi telah mengakui adanya kewajiban tersebut.Seperti dalam Arrest Hoge Raad tanggal 18 Juni 1982, NJ 1983,723, Pada akhir Tahun 1974 Plas memasukkan penawaran untuk melakukan pemborongn di Kotamadya Valbrug dan dalam suatu rapat, walikota mengatakan bahwa penawaran plas dapat diterima oleh Kotmadya, namunn harus diputuskan melalui rapat Dewan Kotamadya. Akan tetapi dalam rapat Dewan Kotamadya, ternyata yang diterima adalah penawaran dari pemborong lain. Gugatan Plas dimenangkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, dengan memberikan ganti rugi dengan alasan bahwa itikad baik harus sudah ada pada tahap prakontraktual.
147
Alberto M. Musy, Desember 2000, “ The good faith principle in contract law and the precontractual duty to disclose: comparative analysis of new differences in legal cultures “, http://www.icer.it/docs/wp2000/Musy192000.pdf, diakses tanggal 23 Mei 2011
97
Hoge Raad Belanda berpendirian bahwa suatu perundingan yang sudah mencapai tingkat yang hampir final, maka dapat juga diajukan gugatan atas dasar kehilangan keuntungan yang diharapkan148 Hoge Raad ada 1957 dalam perkara Baris v. Riezenkampt,, HR 15 November 1957, NJ 1957, 67 memutuskan pula bahwa hubungan prakontrak merupakan suatu hubungan hukum yang dikuasai itikad baik. Pendekatan terhadap kewajiban prakontraktual tersebut sangat dipengaruhi oleh yurisprudensi Jerman.Mahkamah agung Jerman sangat dipengaruhi oleh doktrin yang diajarkan seorang sarjana hukum terkemuka Jerman yakni Rudolf Von Jhering yang terkenal dengan doktrinya Culpa in Contrahendo. Jhering merumuskan doktrin Culpa in Contrahendo sebagai suatu upaya hukum untuk mengatasi kondisi hukum kebiasaan saat itu yang tidak kondusif. Jhring mengajarkan bahwa pihak yang yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain baik karena kesalahan ataupun kelalaian harus bertanggung jawab. Ajaran kewajiban ini diterapkan dan diperluas dalam transaksi komersial modern untuk membebankan kewajiban tanggung jawab para pihak yang melakukan hubungan non kontraktual. Di Perancis, terjadi pula evolusi yang berkaitan dengan makin berkembangnya kewajiban menjelaskan fakta-fakta material dalam fase prakontraktual. Kewajiban tersebut tidak hanya dalam bidang tradisional saja seperti jual beli, namun telah mencakup perjanjian waralaba, tidak hanya berlaku dalam kontrak komersial saja namun juga kontrak jasa. Kewajiban untuk
148
Suharnoko, Op.Cit, hal 7
98
menjelaskan fakta material muncul melalui legislasi dan evolusi yurisprudensi. Legislasi Perancis tampaknya makin bergerak kearah pembebanan dari suatu general duty of disclosure(obligation précontractuelle de renseignement).149 Di Perancis, tanguung jawab prakontraktual merupakan sebuah Quasi kontrak atau dapat masuk klasifikasi sebagai tort atau perbuatan melawan hukum. “However for pre-contractual liability to be qualified as tort liability it should meet the following criteria (which in most cases it fails to meet). First, such liability may be imposed only for at-fault actions. Second, the defendant’s behavior at the pre-contractual stage should be violative of established mandatory rules (which, as discussed above, most legal systems are reluctant to establish in respect of pre-contractual relations “150 Di Perancis, suatu perbuatan yang dilakukan dalam tahap prakontraktual untuk dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, maka harus memenuhi beberapa kriteria antara lain : terdapat kesalahan, dan terjadi pelanggaran hukum negara. Di Spanyol, tanggung jawab hukum prakontraktual memiliki nama “Responsabilidad precontractual” yang memiliki arti “Liability without the necessity of a valid contract due to contacts preceding that contract” diatur dalam SpanishCivil Code: Article 7 (good faith) Article 1.902 (compensation of damages) atas dasar law of tort atau perbuatan melawan hukum.151
149
Alberto M. Musy,Loc.Cit
150
Alyona N. Kucher ,2004, pre-contractual liability: protecting the rights of the parties engaged in negotiation, http://www.nyu-paper.doc diakses tanggal 20 September 2011 151
Blanca Padrós Amat, “Liability in Spain”, http:// www.eurojuris.net diakses tanggal 20 September 2011
99
Kontras dengan perkembangan diatas, hukum kontrak Inggris secara tradisional menolak pembebanan kewajiban menjelaskan dalam proses negosisasi dan penyusunan kontrak. Alasan utama penolakan sarjana hukum Common Law terhadap kewajiban menjelaskan fakta material dapat dilihat dari penjelasan Marshall CJ dalam kasus Laidlaw v.Organ, 15 US (2 Wheat) 178 (1817) :152 “it would be difficult to circumscribe the contract doctrine within proper limits, where the means of intelligence are equally accessible to both parties. But at the same time, each partymust take care not to say or do anything tending impose upon the other” Secara tradisional hukum kontrak Common Law tidak mengakui keberadaan kewajiban suatu kewajiban kontraktual hingga proses negosiasi telah menjadi sebuah kontrak nyata. Robert S. Summer masih menemukan fakta bahwa pengadilan di Ameika Serikat menghalangi penerapan itikad baik dalam proses pembentukan kontrak. Section 1-203 UCC ”menyatakan “every contract or duty within this Act imposes an obligation of good faith in its performance or enforcement … the good faith is a basic principle running through this Act”.Hal ini berarti bahwa UCC sendiri hanya mengatur persyaratan umum itikad baik dalam pelaksanaan dan penegakan hukum kontrak dan mengakui tidak adanya itikad baik dalam proses negosiasi dan prakontrak153 Indonesia sendiri pada dasarnya telah memberlakukan teori modern, yakni dengan
diberlakukannya
Undang-Undang
No.
8
Tahun
1999
Tentang
Perlindungan Konsumen, dimana secara implisit menurut Pasal 9 ayat (1) bahwa : "Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu 152
Ridwan Khairandy, Op.Cit. Hal 254
153
Ibid, hal. 262
100
barang dan/atau jasa secara tidak benar, ...".dan selanjutnya pada Pasal 62 ayat (1) disebutkan bahwa:"... yang melanggar ketentuan Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah)". Dari Undang-UndangNo. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini, dapat disimpulkan bahwa asas itikad baik harus sudah ada sejak prakontraktual dan janji-janji prakontraktual akan berdampak hukum. Dengan demikian asas itikad baik yang baru diterapkan setelah perjanjian ditandatangani sebagaimana ketentuan yang tercantum didalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3) , untuk saat ini penerapannya sudah tidak sesuai lagi karena seharusnya asas itikad baik sudah harus diterapkan sejak saat perundingan atau prakontraktual. Pada negara-negara yang menganut sistim hukum "Common Law" seperti Amerika dan Inggris, juga telah melakukan pencegahan agar seseorang tidak menarik kembali janjinya, dengan teori hukum yang dikenal dengan istilah hukum "doktrin promissory estoppel". Estoppeldalam arti luas adalah : “istilah hukum yang mengacu pada serangkaian hukum dan doktrin keadilan yang mencegah seseorang dari menyangkal atau menegaskan apa pun sebaliknya dari apa yang telah ada dalam hukum, telah ditetapkan sebagai kebenaran, baik oleh tindakan legislatif atau petugas yudisial, atau dengan akta sendiri, tindakan, atau representasi, baik tersurat maupun tersirat “154 Doktrin
Promissory
Estoppel
dibuat
untuk
mengatasi
kekakuan
consideration yang mengajarkan bahwa suatu janji tidak mengikat dan tidak
154
http:// www.wikipedia.org diakses tanggal 28 Mei 2011
101
dapat dituntut pelaksanaannya. Black’s Law Dictionary mengartikan Promissory Estoppel sebagai : “The principle that a promise made without consideration may nonetheless be enforced to prevent injustice if the promisor should have reasonanbly expected the promise to rely on the promise and if the promise did actually rely on the promise and if the promise to his or her detriment” Dalam sistem Common Law, suatu janji untuk memberikan sesuatu secara cuma-cuma seperti hibah tidak dapat mengikat karena tidak ada consideration. “Promissory estoppelserves as a ‘consideration substitute’ in contract law that renders certain promises otherwise lacking in consideration binding and enforceable.(In quibus fiducia est scriptor promisee agitur ut satis liberi ratio exigere promissionem). In such cases, the promisee's reliance is treated as an independent and sufficient basis for enforcing the promise. (Estoppel pollicitationis concipi potest veluti consilio quod iure prohibetur ab promissor negando pacto haberet aspectum). Promissory estoppel can be viewed as a legal device that prohibits the promissor from denying the existence of a contract for lack of consideration.”155 Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada dasarnya menganut sistem terbuka (open system).Artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam undang-undang.Sistem hukum perjanjian yang bersifat terbuka tersebut tertuang didalam asas kebebasan berkontrak.Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak diberi kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; mengadakan perjanjian dengan siapapun; menentukan isi perjanjian; menentukan bentuk perjanjian; dan menerima atau menyimpangi hukum perjanjian yang bersifat hukum pelengkap (aanvullendrecht).
155
http:// www.lawnix.com diakses tanggal 20 Mei 2011
102
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak ada satu ketentuan pun yang mengatur secara khusus mengenai memorandum of understanding, namun dengan adanya asas kebebasan berkontrak tersebut maka dapat dijadikan pijakan untuk berlakunya memorandum of understanding. Esensi dari memorandum of understanding adalah kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian yang mengatur kerja sama diantara para pihak dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan demikian, dasar hukum yang digunakan bagi keberlakuan memorandum of understanding adalah Pasal 1320 jo. Pasal 1338 (ayat 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Secara hukum Internasional publik, yang menjadi dasar hukum adanya MoU adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.MoU menurut kehendak para pihak dibagi menjadi tiga macam yaitu sebagai berikut : a. Para pihak membuat MoU dengan maksud untuk membina ikatan moral saja diantara mereka, dan karena itu tidak ada pengikatan secara yuridis diantara mereka. Di dalam MoU ditegaskan bahwa MoU sebenarnya hanya merupakan bukti adanya niat para pihak untuk berunding dikemudian hari untuk membuat kontrak. Contoh : “para pihak sepakat bahwa MoU ini hanya dimaksudkan sebagai pernyatan bersama tentang komitmen moral diantara para pihak tanpa ikatan hukum apapun, untuk dikemudian hari melaksanakan perjanjian ekspor produk-produk buatan Hyundai Corporation Korea ke Indonesia.” b. Para pihak memang ingin mengikatkan diri dalam suatu kontrak, tetapi baru ingin mengatur kesepakatan-kesepakatan yang umum saja, dengan pengertian bahwa hal-hal yang mendetail akan diatur kemudian hari dalam kontrak yang lengkap. Sebaiknya dalam MoU dibuat pernyataan tegas bahwa dengan ditandatanganinya MoU oleh para pihak, maka para pihak telah mengikatkan diri untuk membuat kontrak yang lengkap untuk mengatur transaksi merek di kemudian hari, Contoh : “dengan ditandatanganinya MoU, pihak PT. Suryatama Madangkara telah mengikatkan diri untuk, dalam jangka waktu 360 hari kerja sejak tanggal penandatanganan memorandum ini, menunjuk PT. Nikmat Sentosa sebagai penerima franchise untuk memasarkan
103
produk-produk PT. Suryatama Madangkara di wilayah Jawa Barat dan untuk maksud tersebut para pihak akan merundingkan dan menuangkan persyaratan-persyaratan kerjasama ini dalam suatu perjanjian franchise” c. Para pihak memang berniat untuk mengikatkan diri satu sama lain dalam suatu kontrak, tapi hal itu belum dapat dipastikan, mengingat adanya keadaan-keadaan atau kondisi tertentu yang belum dapat dipastikan. Dalam MoU seperti ini haus dirumuskan klausul condition precedent atau kondisi tertentu yang harus terjadi di kemudian hari sebelum para pihak terikat satu sama lain. Contoh : “kerja sama yang pokok-pokoknya disepakati dalam MoU ini baru akan mengikat para pihak apabila izin perakitan bagi PT. Bahana Putera selaku agen diperoleh dari departemen Perdagangan Republik Indonesia”156 Memorandum of Understanding dalam pegertian idealnya sebenarnya merupakan suatu bentuk perjanjian ataupun kesepakatan awal menyatakan langkah pencapaian saling pengertian antara kedua belah pihak (preliminary understanding of parties) untuk melangkah kemudian pada penandatanganan suatu kontrak. Contohnya dalam MoU dicantumkan klausula sebagai berikut : “This Memorandum of Understanding (MoU) shall come into effect from the date hereof and continue until February 2004 in which period the parties shall negotiate the terms and conditions of the Binding Agreement to be executed by te arties within the said period unless this MoU s terminated erlier n accordance with point 12 herein.” Dari pengertian tersebut, sejak awal para pihak telah mempunyai maksud untuk memberlakukan langkah tersebut sebagai bagian kesepakatan untuk bernegosiasi (agreement to negotiate). Karena itu, seharusnya tidak dimaksudkan untuk menciptakan akibat hukum terhadap konsekuensi pelaksanaan kesepakatan dari MoU tersebut.
156
Laboratorium Fakultas Hukum, 1997, Universitas Katolik Parahyangan, hal 174-175
104
3.3 Analisis Yuridis Terhadap Kekuatan Mengikat Prakontratual dalam Kontrak Bisnis Internasional KUH Perdata yang menjadi sumber hukum primer untuk kontrak belumlah mengatur mengenai tahapan prakontraktual, KUH Perdata hanya mengatur ketika syarat sahnya sebuah kontrak yang dapat kita lihat dari pasal 1320 KUHPerdata. Momentum terjadinya kontrakpun tidak diatur dalam KUHPerdata tersebut, apabila terjadi kasus, maka hakim akan merujuk kepada teori-teori dari para ahli tentang lahirnya sebuah kontrak. Pada umumnya, kontrak telah dianggap terjadi dengan adanya persetujuan (konsensus) dari kedua belah pihak.Terdapat dua prinsip yang menjadi titik tolak pemikiran kekuatan mengikatnya suatu kontrak, yaitu prisip konsensual seperti yang dianut dalam KUH Perdata serta prinsip riil yang dianut dalam hukum Adat157 “Menurut Hukum Adat, semua persetujuan merupakan reele overeekomsten artinya perjanjian itu membutuhkan disamping persetujuan kedua belah pihak, juga tindakan nyata yang dapat dilihat. (kontate handeling). Sifat hukum adat ini tampak pada persetujuan jual beli, tukarmenukar,gadai-menggadai, sewa-menyewa dll. Hukum Adat menamakan persetujuan ini tidak seperti KUHPerdata melainkan : 1) Untuk jual beli diartikan penyerahan barang untuk selamanya dengan menerima harga dan uang. 2) Untuk tukar-menukar diartikan penyerahan barang untuk selamlamanya dengan menerima kembali barang lain 3) Untuk gadai diartikan penyerahan barang untuk sementara waktu dengan menerima uang gadai dan dengan janji barang itu dapat ditebus 4) Untuk sewa-menyewa diartikan penyerahan barang untuk sementara waktu dengan menerima uang sewa pada tiap waktu tertentu.“158
157
Wirjono Prodjodikoro, 2000, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung, Bandar Maju, hal.4-5
158
ibid, hal.164
105
Namun hukum perjanjian ataupun perikatan dalam konteks Internasional dihadapkan pada masalah yang berkaitan dengan harmonisasi hukum.Asas konsensualisme juga dianut dalam prinsip-prinsip UNIDROIT dan CISG sebagai dasar prinsip kontrak Internasional. Kontrak Internasional memang harus menganut asas konsensual , karena dalam hubungan transksi bisnis internasional, para pihak tidak selalu bertemu secara langsung, namun dapat menggunakan beragai sarana telekomunikasi. Saat ini juga telah berkembang berbagai sarana hukum kontrak yang memperjanjikan jual beli barang yang barannya sendiri belum ada namun harganya telah disepakati dan bahkan telah dibayarkan seperti contohnya Purchase Order. Mengenai daya mengikatnya kontrak menurut Hukum Romawi, perkembangannya dimulai dari yang paling sederhana sampai pada yang paling modern.Pada awal perkembangannya terjadi tahap corak kontrak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kekuatan mengikatnya kontrak pada tahap pertama disebut dengan Contracts Re, yang menitikberatkan kekuatan mengikat kontrak pada barang (chattel atau res) yang akan diserahkan, bukan pada janji (promise). Kontrak jenis ini ada empat macam yaitu : (a) Mutuum, meminjamkan barang untuk dimakan (b) Commodatum, meminjamkan barang untuk dipakai (c) Depositum, menyerahkan barang untuk dijaga (d) Pignus, menyerahkan barang sebagai jaminan pelaksanaaan kewajiban
106
Pada tahap keda, kekuatan mengikatnya suatu kontrak didasarkan pada Contracts Verbis, yaitu unsur mengikatnya kontrak digantungkan pada kata-kata (verbis) yang diucapkannya.Pada tahap ketiga baru dikenal dengan kontrak Contracts Litteris yang menekankan unsur mengikatnya kontrak pada bentuk tertulis.Pada tahap keempat, dikenal dengan istilah Contracts Consensus yang unsur mengikatnya adalah persetujuan.159 Tahap-tahap tersebut melatarbelakangi konsep mengikatnya suatu kontrak yang dapat dijadikan landasan berpihak oleh para hakim dalam memutus perkara.Apakah suatu kontrak telah mengikat ketika menandatangani sebuah kontrak, namun ternyata pihak yang menandatangani salah mengira terhadap substansi kontrak yang ditandatanganinya. Terdapat juga mazhab yang menjelaskan tentang mengikatnya suatu kontrak, antara lain: 1) Mazhab Hukum Alam Sarjana pengikutnya yang terkenal adalah Hugo Grotius, menurutnya kekuatan mengikat suatu kontrak berasal dari hukum alam. Menurut hukum alam, kontrak tidak lain adalah kesepakatan timbal balik para pihak (mutual contract) yang memiliki daya mengikat dari hukum alam. Sedangkan Jhon Locke menyatakan bahwa prinsip dari janji harus dihormati tidak lain adalah prinsip yang berasal dari hukum alam. Janji orang perorangan tersebut tidaklah cukup digantungkan kepada para pihak, peran negara sangatlah perlu, karena negara harus berfungsi sebagai pengawal hukum.Untuk itu orang perorangan perlu menyerahkan
159
Taryana Soenandar, Op.Cit. hal 102
107
sebagian dari hak-hak primitif mereka kepada negara yakni pelaksanaan hak untuk menghukum secara pribadi.160 2) Mazhab Positivisme Yuridis Dikemukakan oleh Rudolf Von Jhering, berkaitan dengan kontrak, beliau melihat kontrak tidak lain daripada janji (promise) dan memiliki kekuatan hukum, kekuatan hukum ini tidak berasal dari janji para pihak, tetapi dari fungsi praktis dari janji itu sendiri. Prinsip-prinsip dalam UNIDROIT tidak mengatur syarat sahnya kontrak berdasarkan hukum nasional dengan pertimbangan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan dari masing-masing negara.Apabila dibandingan dengan BW belanda yang baru, segi praktis terjadinya sebuah kontrak sudah diatur dengan tegas dan mengikuti prinsip-prinsip UNIDROIT. Pasal 217 New BW menyatakan :“ (1) A contracts is formed by an offer and its acceptance (2) articles 219-225 apply unless the offer, another juridical act or usage produce a different result” Asas lain yang cukup penting yang harus melandasi keseluruhan proses kontrak antara lain adalah asas itikad baik. Dalam prinsip ini kita dapat ketahui bahwa para pihak tidak hanya bebas untuk memutuskan kapan dan dengan siapa melakukan negosiasi, namun juga bebas menentukan kapan, bagaimana dan untuk berapa lama proses negosiasi dilakukan; jelas prinsip ini sesuai dengan Prinsip nomor 1 ( Pasal 1.1 ) dan tidak boleh bertentangan dengan Prinsip nomor 2 yaitu prinsip good faith dan fair dealing yang diatur dalam pasal 1.7 yang menyatakan :
160
Theo Huijbers, Op.Cit, hal. 73
108
"each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade the parties may not exclude or limit this duty." Berdasarkan prinsip tersebut maka negosiasi tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk dan menyimpang dari prinsip fair dealing.Contohnya : -
seseorang melakukan atau melanjutkan negosiasi tanpa berkeinginan mengadakan kontrak dengan maksud untuk mengalihkan perhatian lawan atau saingan bisnisnya;
-
suatu pemutusan negosiasi dimana tahap perundingan sudah mencapai suatu kondisi dimana secara timbal balik para pihak telah memberikan harapan bahwa perundingan akan menjadi kontrak;
-
apabila dengan sengaja menyesatkan pihak lain mengenai isi atau syarat kontrak,
baik
dengan
menyembunyikan
fakta
yang
semestinya
diberitahukan ataupun mengenai status pihak yang berkepentingan dalam negosiasi. Menurut teori perjanjian klasik, jika Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata, bahwa asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, maka dengan demikian, mengingat perjanjiannya belum memenuhi syarat hal tertentu, oleh karenanya janji-janji prakontraktual sama sekali tidak berdampak hukum. Akibatnya teori perjanjian yang klasik ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap prakontraktual atau pada tahap perundingan.
109
Sebaliknya menurut teori perjanjian yang modern bahwa pihak yang menderita kerugian dalam tahap prakontraktual atau pada tahap perundingan, hakhaknya juga patut untuk dilindungi, sehingga tahapan prakontraktual akan berdampak hukum bagi yang melanggarnya. Menurut teori hukum perjanjian yang modern, bahwa asas itikad baik bukan baru mulai dilaksanakan setelah ditandatangani perjanjian dan pelaksanaan perjanjian, akan tetapi harus sudah dilaksanakan sejak tahap perundingan pra kontraktual, jadi janji-janji prakontraktual sudah seharusnya mempunyai dampak (akibat) hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika janji tersebut dilanggar ataupun diingkari serta menyebabkan kerugian dipihak lain. Dan teori hukum perjanjian modern lebih cenderung untuk menghapus syarat-syarat formal bagi kepastian hukum dan lebih menekankan kepada tercerminnya atau terpenuhinya rasa keadilan. Teori hukum perjanjian yang modern yang mengedepankan asas itikad baik bahwa pelaksanaan asas itikad baik bukan baru mulai dilaksanakan setelah ditandatangani perjanjian dan pelaksanaan perjanjian, akan tetapi harus sudah dilaksanakan (ada) sejak tahap prakontrakual. Teori hukum perjanjian yang modern ini sudah diberlakukan di negara-negara yang menganut sistim hukum Civil Law seperti Perancis, Belanda dan juga Jerman. Code Civil Perancis mempengaruhi Burgelijk Wetboek Belanda dan selanjutnya berdasarkan asas konkordansi maka Burgelijk Wetboek Belanda diadopsi dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia.
110
Di Perancis pihak yang melakukan perundingan tanpa maksud sungguhsungguh untuk membuat kontrak atau pihak yang membatalkan perjanjian tanpa alasan yang tepat akan bertanggung jawab kepada pihak lain atas dasar perbuatan melawan hukum, bahkan jika perundingan sudah mencapai tingkat yang matang untuk
lahirnya
suatu
kontrak,
maka
pihak
yang
mengundurkan
diri
dariperundingan atau negosiasi yang mengakibatkan investasi rekan bisnisnya menjadi sia-sia dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum jika alasan mundur dari perundingan tersebut tidak didasarkan pada alasan yang tepat. Jika salah satu pihak membuat suatu penawaran tanpa keseriusan atau salah
satu
pihak
melakukan
kesalahan
sepihak
dalam
menyampaikan
penawarannya atau slaah satu pihak mengetahui hal yang tidak mungkin dilakukan,
perilaku
salah
ini
akan
mengakibatkan
pihak
tersebut
bertanggungjawab dari pihak yang tidak bersalah.Di Jerman, Jhering menerapkan Culpa in Contrahendo kepada situasi other than commercial setting. 161 Di
Belanda,
praktik
Pengadilan
melihat
negosiasi
dalam
tahapan
prakontrakual sebagai fase yang menentukan apakah suatu kontrak mempunyai daya kerja mengikat atau tidak, hal ini dapat dicermati dalam putusan Hoge Raad terkait perkara Plas v. Valburg tanggal 18 Juni 1982, NJ 1983,723 yang memtusukan bahwa proses negosiasi dibagi menjadi tiga tahap yaitu : a. Tahap pertama (initial stage), selama proses negosiasi berjalan kerugian yang timbul tidak menimbulkan hak gugat atas ganti kerugian
161
Ridwan Khairandy, Op.Cit. hal. 261
111
yang diderita. Pada tahap ini para pihak bebas untuk menghentikan negosiasi dan tidak ada kewajiban untuk memberikan ganti rugi b. Tahap kedua (continuing stage), memasuki tahap ini negosiasi dapat dihentikan oleh salah satu pihak dengan konsekuensi pihak yang mengehentikan proses negosiasi tersebut wajib memberikan ganti rugi c. Tahap ketiga (final stage), pada tahap ini para pihak tidak dapat menghentikan negosiasi yang bertentangan denganitikad baik. Pelanggaran terhadap kewajiban ini membawa akibat timbulnya kewajiban memberi ganti rugi kepada pihak lain (meliputi segala biaya yang telah dikeluarkan maupun kehilangan keuntungan yang diharapkan) Ketika perundingan atau negosiasi telah memasuki perjanjian pendahuluan dan menghasilkan sebuah dokumen seperti MoU, maka dokumen tersebut haruslah diteliti kembali apakah memiliki daya mengikat atau tidak. Tentang tidak mengikatnya LoI sebagai sebuah kontrak bagi para pihak dapat dilihat dalam kasus, British Steel Corporation (BSC) v. Cleveland Bridgeenggineering Co.Ltd (CBE) 1984 A11 ER 504 CBE mengadakan negosiasi dengan BSC, dimana CBE mengirimkan LoI yang menyatakan bahwa keinginannya untuk memesan produk baja yang diproduksi BSC. Kontrak yang akan ditandatangani sehubungan dengan transaksi ini akan dirancang sesuai denganstandar yang biasa dipakai BSC akan tetapi dengan penambahan suatu ketentuan bahwa CBE berhak atas ganti kerugian untuk jumlah yang tidak terbatas jika terjadi keugian akibat dari keterlambatan pengiriman produk pesanan tersebut. Selain itu dalam letter of intent tersebut CBE
112
juga meminta BSC untuk segera memulai produksi dan pengiriman pesanan tersebuut kepada CBE walapun negosiasi sedang berjalan. BSC secara tegas menolak adanya kewajiban penggantian tanpa batas (unlimited liability) seperti yang ditaarkan CBE.Hal tersebut membuat negosiasi masih berlanjut antara para pihak.Namun ketika negosiasi sedang berjalan, BSC memenuhi salah satu tuntutan CBE dalam LoI untuk segera memulai produksi produk baja tersebut dan segera melakukan pengiriman dalam beberapa tahap. Namun pengiriman yang terakhir mengalami keterlambatan akibat permasalahan yang terjadi di pabrik BSC, akibat dari permaslahan tersebut CBE menolak untuk membayar dan mengajukan klaim ganti rugi tidak terbatas akibat dari keterlamatan tersebut, dengan dalil telah terjadi kontrak dari ketentuan yang diajukan dalam LoI tersebut.Atas persoalan tersebut, BSC megajukan gugatan untuk pembayaran produk baja yang telah dikirimkan tersebut berdasarkan harga yang selayaknya dengan dalil bahwa belum ada kontrak yang mengikat antara kedua belah pihak sehingga ketetuan dalam LoI tidak mengikat. Dalam kasus ini hakim berpendapat bahwa ketentuan-ketenuan yang terdapat dalam LoI tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai kontrak yang mengikat.Karena masih terdapat beberapa poin yang belum disepakati dan negosiasi antara para pihak juga sedang berjalan. Dalam kasus ini hakim menolak dalil penuntutan ganti rugi tanpa batas yang didalilkan oleh CBE, Namun memerintahkan CBE untuk membayar nilai yang wajar dari barang yang telah diterima dan bahkan telah digunakannya tersebut.
113
Jadi dari kasus tersebut dapat dipahami bahwa selama niat dari kedua belah pihak tersebut masih masuk dalam langkah negosiasi, LoI yang menggambarkan penawaran belum dapat dikategorikan sebagai kontrak yang mengikat. Bentuk LoI pada kasus diatas lebih menyerupai bentuk pernyataan keinginan dari pembeli untuk dapat memesan barang dari penjual. Artinya walaupun keinginan tersebut diajukan dalam bentuk LoI, pihak pembeli dengan jelas telah mengajukan suatu penawaran yang akan mengikat secara hukum apabila pihak yang menerima penawaran tersebut menerimanya. Suatu penawaran dapat saja memuat syarat kontrak, akan tetapi syarat itu tidak dapat mengikat si pembuat yang menawarkan apabilla pengikatan kontrak digantungkan pada terpenuhinya beberapa syarat lain yang dibiarkan tetap terbuka dalam penawaran seperti yang tertuang dalam pasal 2.13 UPICCs Hingga saat ini tidak dikenal pengaturan khusus tentang MoU.Menurut Hikmahanto Juwana, penggunaan istilah MoU harus dibedakan dari segi teoritis dan praktis. “Secara Teoritis, dokumen MoU tidak mengikat secara hukum agar mengikat secara hukum harus dilanjuti dengan perjanjian. Kesepakatan dalam MoU lebih bersifat ikatan moral. Beliau menganalogikan MoU sebagai lembaga “pertunangan” bukan lembaga “perkawinan” Sedangkan dalam segi praktis, Hikmahanto Juwana membagi pemahaman MoU menjadi dua yaitu hanya mengikat secara moral karena harus dilanjuti dengan perjanjian serta pemahaman bahwa MoU disejajarkan dengan perjanjian.Titik terpenting bukan pada istilah yang digunakan, tetapi isi atau materi dari nota kesepahaman tersebut“162.
162
Hikmahanto Juwana, Op.Cit, hal. 123
114
Menurut pendapat yang legalistis, jika perjanjian atau kontrak mengatur mengenai hal-hal yang pokok saja, maka mengikatnya pun hanya terhadap hal-hal yang pokok tersebut. Ataupun jika suatu perjanjian hanya berlaku untuk suatu jangka waktu tertentu, maka mengikatnya pun hanya untuk jangka waktu tertentu pula, para pihak tidak dapat dipaksakan untuk membuat suatu perjanjian yang lebih rinci dari MoU tersebut. Secara teori, MoU bukanlah sebuah kontrak karena memang masih merupakan kegiatan prakontraktual, karena itu di dalamnya sengaja tidak dimasukkan unsur intention to create legal relation oleh para pihak yang melakukan kesepakatan tersebut. Dengan pengertian lain, walaupun para pihak yang melakukan kesepakatan tersebut menandatangani kesepakatan dalam bentuk MoU, akan tetapi apabila para pihak menyetujui untuk memasukkan unsur “intention to create legal relation” sebagai konsekuensi hukum atas tidak dilaksanakannya kesepakatan prakontraktual tersebut, maka MoU yang secara teori bukanlah kontrak dapat berubah menjadi kontrak bagi para pihak.163 Ketika MoU yang pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai kontrak tersebut oleh para pihak disusupi ketentuan-ketentuan ataupun perikatan yang memiliki konsekwensi hukum, maka MoU berubah pengertiannya menjadi sebuah kontrak. Dalam banyak kasus yang terjadi akibat salah satu pihak tidak melaksanakan ketentuan MoU dan membawa masalah mereka ke pengadilan, para hakim dalam putusannya tidak mencapai suatu keseragaman bahwa MoU yang
163
Ricardo Simanjuntak, Op.Cit. hal 38
115
seharusnya hanya merupakan ikatan moral, berubah menjadi sebuah kontrak yang memiliki kekuatan hukum. Seperti kasus PT. Accor dan AAPC Ltd (pemohon) melawan PT. Novotel Soechi Indonesia dan PT Tria Sumatera Corporation (termohon) dalam Putusan Peninjauan Kembali No. 078 PK/Pdt.Sus/2010 yang Menolak permohonan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali dari PT ACCOR dan AAPC Ltd dimana permasalahan timbul ketika sehubungan dengan keinginan Termohon untuk mengembangkan, memiliki dan mengoperasikan sebuah hotel tersebut maka dibuatlah Memorandum of Understanding atau Nota Kesepakatan tertanggal 23 September 1993 antara mereka (selanjutnya disebut sebagai “MOU”) di mana di dalam MOU tersebut disebutkan bahwa Termohon bermaksud agar Pemohon memberikan bantuan teknik dan jasa atas managemen hotel, seperti perekrutan personel managemen hotel dan memberikan izin kepada Termohon untuk menggunakan salah satu nama hotel terkenal milik Pemohon sehubungan dengan hotel milik Termohon, Pemohon berpendapat bahwa mereka sama-sama telah memahami sepenuhnya bahwa MoU yang ditandatangani oleh mereka bukanlah merupakan sebuah perjanjian, akan tetapi MoU atau Nota Kesepakatan tersebut adalah sebuah pra perjanjian, segera setelah penandatanganan MoU tersebut di atas Pemohon telah mengirimkan General Manager untuk membantu pengoperasian Hotel Termohon dandengan pengertian bahwa mereka tetap akan membicarakan, membuat dan menandatangani Management Services Agreement (Perjanjian Jasa Managemen), Licensing Agreement (Perjanjian Lisensi) dan Technical Assistance Agreement
116
Perjanjian Bantuan Teknikal) sebagai tersebut dan sebagai tindak lanjut dari pada MOU atau pra perjanjian yang telah ditandatangani sebelumnya. Tetapi dalam kenyataannya mereka tidak dapat mencapai kata sepakat atas pengaturan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat terkait atas perjanjian-perjanjian tersebut untuk membuat dan menandatangani Management Services Agreement (Perjanjian Jasa Managemen), Licensing Agreement (Perjanjian Lesensi). dan Technical Assistance Agreement (Perjanjian Bantuan Teknikal), atas merek “NOVOTEL” sebagaimana diatur dalam MOU yang telah disepakati.Bahwa selanjutnya para Penggugat melalui kantor perwakilannya diIndonesia telah beberapa
kali
meminta
dan
memperingatkan
kepada
termohon
untuk
memperbaiki standar Hotelnya sehingga dapat memenuhi kriteria-kriteria Hotel di bawah merek “NOVOTEL” dan/atau “NOVOTEL + logo” milik dan/atau di bawah manajemen para pemohon. Namun termohon tetap tidak mau dan/atau gagal memperbaiki hal-hal tersebut dan selanjutnya hal ini mengakibatkan para Pemohon mengambil keputusan untuk menarik kembali General Manager-nya. Pemohon merasa dirugikan karena termohon masih terus menggunakan nama hotelnya, sehingga menuntut fee dan royalty serta ganti kerugian, namun hakim berpendapat lain, MoU yang belum disepakati secara final oleh kedua belah pihak dianggap sebagai perjanjian yang mengikat. Sehingga permohonan dari pemohon ditolak oleh majelis hakim karena dianggap tidak beralasan dan mengabulkan permohonan dari termohon yang meminta ganti kerugian atas dasar wanprestasi dari pihak pemohon karena telah memutuskan MoU secara sepihak.
117
Walaupun belum dicapainya kata sepakat untuk membuat perjanjian lanjutan yang lebih rinci, namun MoU tersebut dapat dikategorikan sebagai kontrak karena menurut hakim, MoU tersebut merupakan perjanjian yang berdiri sendiri dan tidak bergantung dengan perjanjian lain. Sehingga unsur-unsur dari syarat sahnya perjanjian telah memenuhi dalam MoU tersebut sehingga MoU dapat dikategorikan sebagai perjanjian dan memiliki kekuatan mengikat. Maka dalam taraf ini MoU yang merupakan perjanjian pendahuluan dan masih masuk dalam tahap prakontraktual berubah statusnya menjadi sebuah kontrak karena telah memenuhi unsur-unsur syarat sahnya kontrak. Dari kasus tersebut dapat kita telusuri bahwa hakim di Indonesia masih berpijak terhadap doktrin klasik tentang kontrak, menurut doktrin hukum klasik yang lebih mementingkan kepastian hukum, keberadaan janji-janji prakontraktual belumlah mengikat para pihak, sehingga prinsip itikad baik hanya dapat diterapkan jika syarat sahnya perjanjian telah terpenuhi. Sebaliknya, teori hukum perjanjian modern cenderung mengutamakan kebenaran substansial demi tercapainya keadilan, sehingga lebih mengabaikan syarat-syarat formal sahnya suatu perjanjian. Pemenuhan prestasi sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban kontraktual selain ditentukan oleh faktor otonom (apa yang dikehendaki para pihak) juga ditentukan oleh faktor diluar para pihak (faktor heteronom). 164 Faktor otonom tersebut dikenal dengan otonomi para pihak (partij autonomie) yang merupakan faktor utama atau faktor penentu primer.Faktor penentu primer
164
ibid
118
merupakan faktor penentu dalam upaya mengetahui keterikatan kontraktual para pihak. Dalam sengketa kontrak, pembuktian serta pembenaran dalil-dalil para pihak, pertama dinilai pada apa yang dinyatakan di dalam kontraknya. Faktor otonom menempati urutan pertama untuk menentukan daya mengikatnya sebuah kontrak. Landasan pemikiran bahwa faktor otonom merupakan faktor penentu pimer yang bersumber pada diri para pihak, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata yang menyatakan bahwa:” Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Hal ini berarti dalam proses pembentukannya harus memperhatikan syarat sahnya kontrak dalam pasal 1320, 1335 serta 1337 KUHPerdata. Dengan kata lain kontrak yang dibuat berdasarkan ketentuan pasal 1320, 1335 serta 1337 KUHPerdata mempunyai kekuatan yang sama dengan undang-undang. Lebih lanjut pasal 1339 KUHperdata yang menyatakan bahwa : “Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat kontrak, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang” Dalam konteks hukum internasional, pasal 5 (1) UPICCs menyebutkan bahwa “The contractual obligations of the parties maybe express or implied” dan pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa :“Implied obligations stem from : a. The nature and purpose of the contract b. Practices established between the parties and usage c. Good faith and fair dealing
119
d. Reasonableness” Dalam ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkanbahwa terdapat faktor otonom dan faktor heteronom.Faktor otonom adalah bahwa kontrak tersebut mengikat para pihak karena para pihak telah secara tegas memperjanjikannya sesuai dengan kebebasan mereka, sedangkan kekuatan mengikat kontrak juga didasarkan pada sifat kontrak, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang yang biasa disebut dengan faktor heteronom. Sistem peradilan di Indonesia tidak menganut sistem preseden sebagaimana peradilan di negara-negara dengan sistem common law, hakim tidak berkewajiban untuk mengikuti putusan pengadilan sebelumnya.Maka terdapat kemungkinan adanya perbedaan sikap diantara para hakim dalam menilai atau menyikapi konsep prakontraktual. Terbukti dari putusan-putusan pengadilan yang lebih mengedepankan teori hukum kontrak klasik yang cenderung menerapkan lebih mengutamakan formalitas demi tercapainya kepastian hukum. Dasar pertimbangan utamanya, bahwa prakontraktual selama belum memenuhi unsur syarat sahnya sebuah kontrak seperti yang diatur dalam pasasl 1320 K.U.H.Perdata, maka prakontraktual adalah bukan sebagai kontrak itu sendiri, sehingga prakontraktual tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai kontrak bagi para pihak.Sehingga masing-masing pihak harus bertanggung jawab atas resiko yang terjadi pada dirinya.
120
BAB IV TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL
4.1 Akibat Hukum Terhadap Tidak Dipenuhinya Kewajiban dalam Kontrak Bisnis Internasional Suatu perjanjian yang memenuhi keabsahan memiliki kekuatan yang mengikat bagi para pihak, dan akibat hukum dari adanya perikatan tersebut adalah : a. Para pihak terikat pada isi perjanjian dan juga berdasarkan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang (pasal 1338,1339,1340) b. Perjanjian harus dilksanakan dengan itikad baik (good faith) c. Kreditur dapat memintakan pembatalan perbuatan debitur yang merugikan kreditur (action pauliana) Sebagaimana yang diketahui, di dalam kontrak timbal balik (bilateral) yang dibuat secara sah akan melahirkan perikatan yang mengikat para pihak dengan hak dan kewajiban yang saling dipertukarkan. Masalah akan menjadi kompleks ketika tidak terpenuhinya kewajiban para pihak apabila masih dalam tahap prakontraktual, dimana salah satu pihak telah banyak berharap dari janji-janji yang telah diberikan oleh pihak lainnya.Suatu perikatan pada dasarnya bertujuan untuk menghapus perikatan itu sendiri,artinya dengan pemenuhan prestasi yang diwajibkan, maka telah berakhir apa yang menjadi tujuan para pihak.
121
120 Dalam hukum kontrak pemenuhan suatu prestasi yang diwajibkan disebut juga dengan pembayaran.165 Pembayaran dalam hubungan kontraktual tidak dapat dipersamakan dengan penyerahan sejumlah uang.Dalam konteks K.U.H.Perdata, pemenuhan prestasi selain didasarkan pada kebebasan para pihak yang berkontrak, juga dibatasi pada syarat-syarat sahnya kontrak. Hal ini dimaksudkan agar prestasi yang akan dan saling dipertukarkan oleh para pihak dapat terlaksana. Terkait dengan prestasi yang menjadi pokok kontrak, pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa wujud prestasi meliputi tiga hal, yaitu : a. Memberikan sesuatu b. Berbuat sesuatu c. Tidak berbuat sesuatu Kontrak sebagai instrumen pemenuhan hak dan kewajiban diharapkan dapat berlangsung dengan baik, fair dan proposional sesuai kesepakatan para pihak, terutama pada kontrak bisnis, baik dalam tahap prakontraktual, kontraktual maupun pelaksanaannya.Terkait dengan
kegagalan pemenuhan prestasi dapat
terjadi karena faktor internal para pihak maupun faktor eksternal yang berpengaruh terhadap eksistensi kontrak yang bersangkutan. Terdapat beberapa faktor penting yang mengakibatkan kegagalan pelaksanaan kewajiban kontraktual, meliputi : a. Wanprestasi b. Overmacht(force majeure) 165
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.Hal. 216
122
c. Keadaan sulit (hardship) a. Wanprestasi Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif.Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditur untuk menuntut pemenuhan prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal, prestasi dan kontraprestasi akan bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul persitiwa yang disebut dengan wanprestasi. Pelanggaran hak-hak kontraktual tersebut menimbulkan kewajiban ganti rugi berdasarkan wanprestasi, sebagaimana diatur dalam pasal 1236 KUHPerdata (untuk prestasi memberikan sesuatu) dan pasal 1239 KUHPerdata (untuk prestasi berbuat sesuatu). Selanjutnya terkait dengan wanprestasi tersebut pasal 1243 menyatakan bahwa : ”Penggantian biaya,rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya” Pada prakteknya memang tidak mudah menyatakan bahwa seseorang itu lalai atau alpa atau melakukan wanprestasi. Debitor dinyatakan lalai apabila : (1) Tidak memenuhi prestasi (2) Terlambat memenuhi prestasi (3) Berprestasi tapi tidak sebagaimana mestinya
123
Mengenai cara untuk memperingatkan seorang debitur yang lalai atau tidak memenuhi kewajiban sesuai yang diperjanjikan, di atur dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang menyebutkan : “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus di anggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan” Dengan adanya wanprestasi pihak kreditur yang dirugikan sebagai akibat kegagalan kontrak oleh pihak debitur memiliki
hak gugat dalam upaya
menegakkan hak-hak kontraktualnya. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 1267 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : ” Pihak yang terhadapnya perikatan tidak terpenuhi, dapat memilih, memaksa pihak yang lain untuk memenuhi kontrak, jika hal itu masih dapat dilakukan atau menuntut pembatalan persetujuan dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga” Ganti rugi merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya bersifat subsider. Artinya apabila pemenuhan prestasinya bersifat subsider. Artinya apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau sudah tidak diharapkan lagi maka ganti rugi merupakan alternatif yang dapat dipilih oleh kreditur. Sesuai dengan pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : ”Penggantian biaya,rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalaimemenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya” Ada beberapa akibat yang dapat ditimbulkan dari suatu keadaan wanprestasi, yaitu antara lain :
124
a. Membayar kerugian yang di derita oleh kreditur atau ganti rugi (Pasal 1234 KUHPerdata ). b. Pembatalan perjanjian melalui hakim (Pasal 1266 KUHPerdata) c. Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata). d. Membayar biaya perkara, apabila sampai diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat (1) HIR). b. Overmacht(force majeur) Tidak ada definisi mengenai overmacht didalam KUHPerdata, namun ada hanya batasan-batasan dari overmacht itu sendiri. Kegagalan pelaksanaan kontrak oleh salah satu pihak memberikan hak gugat kepada pihak lainnya, dalam upaya menegakkan hak kontraktualnya. Hak tersebut antara lain berupa pemenuhan, pembubaran serta ganti rugi. Namun demikian dalam proses penyelesaian sengketa yang berlangsung, penegakkan hak kontraktual senantiasa berbanding terbalik dengan hak pihak yang lain. Artinya, hukum memberikan penghargaan yang sama terhadap masing-masing pihak. Buku III K.U.H.Perdata mengatur overmacht atau daya paksa secara tersebar dalam beberapa pasal, yaitu bagian IV tentang Penggantian biaya, rugi,bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan (pasal 1224-1245) dan Bagian VII Tentang Musnahnya Barang yang terutang (pasal 1444-1445).
Beranjak dari
rumusan pasal-pasal tersebut, maka overmacht dapat disimpulkan sebagai peristiwa yang tak terduga yang terjadi diluar kesalahan pihak setelah penutupan kontrak yang menghalangi salah satu pihak untuk memenuhi prestasinya, sebelum
125
ia dinyatakan lalai dan karenanya tidak dapat dipersalahkan serta tidak menanggung resiko atas kejadian tersebut. Maka dari itu untuk melepaskan diri dari gugatan pihak yang merasa dirugikan maka dalil dari adanya overmacht harus memenuhi syarat :166 1) Pemenuhan prestasi terhalang atau tercegah 2) Terhalangnya pemenuhan prestasi tersebut diluar kesalahan debitur 3) Peristiwa yang menyebabkan terhalangnya prestasi tersebut bukan merupakan resiko debitur Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai overmacht membawa akibat hukum seperti : 1) Kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi 2) Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai 3) Debitur tidak wajib membayar ganti rugi 4) Resiko telah beralih kepada debitur 5) Keditur tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal balik 6) Perikatan dianggap gugur Macam-macam keadaan memaksa didasarkan pada dua teori yaitu :167 1) Mutlak/absolut/objektif, yaitu suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan bagaimanapun juga tidak mungkin dilaksanakan 2) Relatif/nisbi/subjektif, yaitu suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan dapat dilaksanakan dengan pengorbanan yang besar
166
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. hal 243
167
Jamal Wiwoho, 2007, Pengantar Hukum Bisnis, Surakarta, Sebelas Maret University Press,
Hal.28
126
sehingga tidak lagi pantas pihak kreditur menuntut pelaksanaanya. Dalam hal ini ada dua ukuran ,yaitu : a) Subyektif : dilihat dari orang perorangan b) Obyektif : dilihat pada umumnya Terkait dengan overmachtNBW Belanda yang secara substansial sama seperti KUHPerdata, memberikan instrumen hukum bagi debitur yang mengelak dari tanggung gugat apabila kegagalan pelaksanaan prestasi yang menjadi kewajiban kontraktualnya terjadi diluar kesalahannya. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 6 : 58 NBW yang menyatakan bahwa : ” debitur adalah lalai,...kecuali terhalangnya pelaksanaan prestasi itu tidak dapat dibebankan kepada dirinya ” 168 UPICCs memberikan pengaturan overmacht dalam sistematika yang sama yaitu Bab VII tentang Non Performance , Bagian I : Non Performance in General, pasal 7.1.7 tentang Force Majeure. Substansi dari pasal tersebut berusaha mengakomodir ketentuan tradisi dari common law yang mengenal doktrin frustation dan impossibility dalam pelaksanaan kontrak, serta civil law system yang mengenal doktrin force majeure. Di Malaysia susbtansi semacam overmacht dimasukkan kedalam doktrin kekecewan yang dikaitkan dengan kontrak untuk melakukan suatu perbuatan yang mustahil. Doktrin kekecewaan yang diterapkan oleh pengadilan di Malaysia telah
168
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. hal 248
127
mengambil alih pendekatan common law Inggris yang menetapkan bahwa kekecewaan itu diartikan sebagai perubahan radikal.169 c. Hardship Perkembangan doktrin baru terkait dengan hambatan atau kendala pelaksanaan kontrak yang cukup penting dan mendasar untuk diperhatikan adalah doktrin hardship (keadaan sulit).KUHPerdata tidak mengatur keadaan apabila kontrak tidak terlaksana akibat perubahan keadaan yang fundamental, misalnya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia beberapa tahun silam telah menyebabkan banyak kontrak tidak dapat diselesaikan. Ketentuan tentang hardship dibedakan dengan ketentuan tentang force majeur. Ketentuan tentang hardship ini tertuang dalam Section 2, yang terdiri dari 3 (tiga) pasal.170Dalam Pasal 6.2.1 UNIDROIT Principles menentukan bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya dengan tunduk pada ketentuan tentang hardship.Ketentuan ini menentukan dua hal pokok, yaitu 169
Ibid, hal.250
170
Lihat ketentuan mengenai hardship dalam UNIDROIT Principles, Pasal 6.2.1 tentang Contract to be observed “Where the performance of a contract becomes more onerous for one of the parties, that party is nevertheless bound to perform its obligations subject to the following provisions on hardship”. Pasal 6.2.2 tentang Definition of hardship “There is hardship where the occurrence of events fundamentally alters the equilibrium of the contract either because the cost of a party’s performance has increased or because the value of the performance a party receives has diminished, and (a) the events occur or become known to the disadvantaged party after the conclusion of the contract; (b) the events could not reasonably have been taken into account by the disadvantaged party at the time of the conclusion of the contract; (c) the events are beyond the control of the disadvantaged party; and (d) the risk of the events was not assumed by the disadvantaged party”. Pasal 6.2.3 tentang Effects of hardship“(1) In case of hardship the disadvantaged party is entitled to request renegotiations. The request shall be made without undue delay and shall indicate the grounds on which it is based. (2) The request for renegotiation does not in itself entitle the disadvantaged party to withhold performance. (3) Upon failure to reach agreement within a reasonable time either party may resort to the court. (4) If the court finds hardship it may, if reasonable, (a) terminate the contract at a date and on terms to be fixed, or (b) adapt the contract with a view to restoring its equilibrium”.
128
sifat mengikat dari kontrak sebagai aturan umum dan perubahan keadaan yang relevan dengan kontrak jangka panjang.171 Prinsip mengikatnya kontrak bagaimana pun juga bukan suatu yang absolut.Apabila terjadi keadaan yang menimbulkan perubahan fundamental atas keseimbangan dari kontrak, keadaan itu merupakan situasi yang dikecualikan yang dimaksud dalam prinsip-prinsip ini sebagai hardship. Article 6.2.2 memberikan definisi kesulitan (hardship) adalah peristiwa yang secara fundamental telah merubah keseimbangan kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun, sementara itu: 1) peristiwa tersebut diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah kontrak terjadi 2) peristiwa tidak dapat diperkirakan oleh pihak yang dirugikan sebelum kontrak disepakati 3) peristiwa terjadi di luar kontrol pihak yang dirugikan 4) resiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan. Akibat hukum bila terjadi kesulitan diatur dalam Article 6.2.3 yang menentukan bahwa: 1) pihak yang dirugikan berhak meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain yang harus diajukan dengan menunjukan dasar-dasarnya 2) permintaan renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak 171
Taryana Sunandar, op. cit., hlm. 71.
129
3) apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, masing-masing pihak dapat mengajukannya ke pengadilan 4) apabila pengadilan membuktikan adanya kesulitan, maka pengadilan dapat memutuskan untuk: a. mengakhiri kontrak pada tanggal dan jangka waktu yang pasti b. mengubah kontrak untuk mengembalikan keseimbangannya. Dengan mencermati persamaan maupun perbedaan karakteristik antara hardship dengan overmacht, maka dalam perspektif hukum bisnis doktrin hardship dipandang lebih fleksibel dan akomodatif untuk memberikan jalan keluar ketika muncul sengketa 4.2 Tanggung Jawab Para Pihak Akibat Adanya Pembatalan Secara Sepihak Dalam Tahap Prakontraktual Secara tradisonal hukum kontrak common law tidak mengakui keberadaan suatu kewajiban prakontraktual hingga proses negosiasi telah mengkristal menjadi sebuah kontrak. Salah satu pihak yang mengadakan negosiasi setiap saat dapat menghentikan negosiasi tersebut dengan alasan apapun juga tanpa adanya suatu tanggung jawab.Tidak ada kewajiban bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul atas segala biaya yang telah dikeluarkan dan keuntungan yang diharapkan akibat penghentian negosiasi dalam tahap prakontraktual. Prinsip yang sangat memiliki pengaruh dalam tahapan prakontraktual adalah prinsip itikad baik. Walaupun tidak memiliki makna yang sama secara universal, namun banyak putusan pengadilan yang menerapkan prinsip itikad baik dalam
130
negosiasi dan penyusunan kontrak. Hal ini memperlihatkan bahwa sesungguhnya merupakan doktrin perluasan doktrin itikad baik dalam pelaksanaan kontrak. Contoh
kasus
di
Amerika
Serikat,berdasarkan
729
S.W.2d
768
Tex.Ct.App.1987.Juri Amerika Serikat telah menghukum perusahaan raksaksa minyak Texaco untuk membayar US$ 10,530 Miliar kepada Pennzoil termasuk membayar ganti rugi hukuman sebesar US $ 3,000.Inti dari kasus tersebut adalah mengenai masalah apakah suatu persetujuan antara Pennzoil dan Getty Oil pada prinsipnya merupakan kontrak yang mengikat. Apakah prakarsa negosiasi dengan Getty oleh Texaco merupakan campur tangan secara melawan hukum yang mempengaruhi hubungan hukum yang akan datang antara Pennzoil dengan Getty Oil. Kasus tersebut diakhiri dengan penyelesian sengketa secara damai bahwa Texaco setuju untuk membayar sebesar US $ 3,000 miliar kepada Pennzoil Dalam sistem hukum Civil Law telah mengakui kewajiban prakontraktual berada dibwah doktrin itikad baik.Di Jerman terdapat doktrin Culpa in Contrahendo yang telah mempengaruhi banyak sistem hukum.Dalam literatur Culpa in Contrahendo berarti “fault in negotiation” dapat diartikan sebagai kesalahan dalam negosiasi.Walaupun berasal dari Jerman, namun penerapan doktrin ini telah sampai Perancis, Swiss, Austria dan beberapa sistem Sosialis, bahkan doktrin ini memiliki pengaruh sampai ke Amerika Serikat.Civil Codes Lousiana dan Puerto Rico yang merupakan wilayah dari Amerika mengadopsi doktrin ini. “Louisiana incorporates the doctrine in Articles 1878 and 1967 of the Louisiana Civil Code. Article 1878 deals with unjust enrichment, and states: “If a contract is dissolved because of a fortuitous event that occurred after an obliger has performed in part, the obligee is bound
131
but only to the extent that he was enriched by the obligor's partial performance.” La. Civ. Code Ann. art.1878 (West 1987). Article 1967 addresses detrimental reliance and, in relevant part, provides: “A party may be obligated by a promise when he knew or should have known that the promise would induce the other party to rely on it to his detriment and the other party was reasonable in so relying.” La. Civ. Code Ann. art.1967 (West 1987). Puerto Rico has incorporated the doctrine in Article 1802 of its civil code as follows: “A person who by an act or omission causes damage to another through fault or negligence shall be obliged to repair the damage so done.”172 Pengadilan Lousiana dan Puerto Rico mengharuskan adanya tanggung jawab dari para pihak ketika salah satu pihak bersikap tidak baik dan merugikan pihak yang lain dalam tahapan prakontraktual berdasarkan hukum kontrak dan perbuatan melawan hukum. Kebebasan berkontrak menjadi prinsip utama dalam sistem hukum kontrak Common
Law
termasuk
Amerika
Serikat.
Dalam
sistem
hukum
tradisionalCommon Law, para pihak bebas untuk mengadakan negosiasi serta bebas untuk mengundurkan diri dari negosiasi tanpa adanya resiko untuk bertanggung jawab. Saat ini Pengadilan Amerika Serikat telah memberlakukan kewajiban prakontraktual dalam tiga teori, yaitu : teori pertama adalah teori restitusi, dimana disini terdapat doktrin Unjust Enrichment dalam negosiasi. Teori kedua adalah misrepresentasi atau kekeliruan, merupakan pemberian informasi yang salah selama proses negosiasi, teori yang ketiga adalah Promissory Estoppel.
172
Diane Madeline Goderre, 1997, “International Negotiations Gone Sour -Precontractual Liability under the United Nations Sales Convention”, http://www.jus.uio.no/pace/international_negotiations_gone_sour_precontractual_liability_under_t he_cisg.diane_madeline_goderre/ diakses tanggal 23 Agustus 2011
132
Dalam sistem Common law dikenal adanya suatu perikatan yang tidak bersumber dari perjanjian yang dikenal dengan namaQuasi Contract.Black’s Law Dictionary memberikan pengertian tentang Quasi Contract sebagai berikut: “ an obligation which law creates in absence of agreement,it is involved by courts where there in Unjust Enrichment”173 Yang diterjemahkan secara bebas berarti Quasi kontrak adalah suatu kewajiban yang berdasarkan hukum dan tanpa adanya kesepakatan, hal ini diakui oleh pengadilan bila terjadi penumpukan kekayaan secara tidak adil. Perikatan yang berasal dari kontrak ini adalah suatu hukum yang tidak tertulis yang berupa suatu asas hukum yang terkenal dengan sebutan Unjust Enrichment doktrin.Sedangkan Unjust Enrichment dijelaskan sebgai berikut : “general principle that one person should not be permitted unjustly to enrich himself at expense of another but sould be required to make restitution of or for property or benefits received, retained or appropriated, where it is just and equitable that such restitution be made, and where such action involves no violation or fustation of law or opposition to public policy either directly or indirectly” Yang diterjemahkan secara bebas berarti Unjust Enrichment adalah suatu prinsip umum bahwa seseorang tidak boleh memperkaya dirinya secara tidak adil yaitu dengan biaya dari pihak lain dankarena itu harus mengembalikan harta atau manfaat keuntungan yang telah diterimanya, ditahannya atau diambilnya dan pengembalian ini dirasakan adil dan layak serta tidak bertentangan atau menghalangi hukum atau berlawananan dengan kepentingan umum baik secara langsung maupun tidak langsung
173
Black’s Law, Op.Cit, hal 1245
133
Tuntutan ganti rugi yang terdapat dalam Quasi Contract disebut Quantum Meruit yang menurut Black’s Law Dictionary adalah: “Quantum Meruit as aMoUnt of recovery means ‘as much as deserved’ and measure recovery under implied contract to pay compensatition as reasonable value of service rendered” 174 Dalam Quantum Meruit ini hanyalah untuk memberikan penggantian yang sepatutnya saja atau sebanding yang menjadi haknya sajasesuai dengan manfaat yang telah diterimanya.Jadi Quantum Meruit merupakan kewajiban yang bersumber dari hukum tanpa adanya kesepakatan dari para pihak yang terikat, dengan alasan untuk keadilan dan kepatutan. Doktrin Promissory Estoppel merupakan doktrin untuk mengatasikekakuan doktrin consideration dalam sistem hukum Common Law. Dalam kasus yang terjadi di Inggris London Property Trust Ltd v. High Tress House Ltd (1947)K.B.130. Pada tahun 1937 penggugat menyewakan
a block of flates
(seperti apartemen) di London kepada tergugat untuk jangka waktu 99 tahun dengan harga 2,500 Poundsterling per tahun. Ketika terjadi perang sulit sekali bagi tergugat untuk mencari penghuni yang bersedia tinggal di flats tersebut sehingga penggugat setuju untuk menurunkan harga menjadi 1,250 Poundsterlng selama waktu perang. Setelah selesai perang penggugat menuntut agar tergugat membayar penuh uang sewa untuk seluruh periode sewa.Pengadilan memutus bahwa janji penggugat untuk mengurangi uang sewa mengikat meskipun janji tersebut diberikan tanpa consideration dari tergugat, karena berdasarkan doktrin
174
Black’s Law, Op.Cit,Hal 1243
134
Promissory
Estoppel
suatu
janji
mengikat
meskipun
diberikan
tanpa
consideration. Putusan ini mengikuti putusan sebelumnya dalam kasus Hughes V Metropolitan Railway Co. (1887)175 Dalam perkembangan selanjutnya, pengadilan Amerika Serikat menerapkan doktrin Promissory Estoppel dimana perjanjian belum memenuhi syarat suatu hal tertentu, tetapi salah satu pihak karena percaya dan menaruh pengharapan kepada janji-janji yang diberikan pihak lawannya dalam proses negosiasi, melakukan perbuatan seperti melakukan investasi. Ternyata kemudian pihak yang memberikan janji menarik kembali janji tersebut sehingga pihak yang dijanjikan tersebut menderita kerugian. Dalam kasus
Hoffman V. Red Owl Stores(1965) 26 Wis.2d.683,133
NW.2d267. Para pihak merundingkan tentang kemungkinan memberikan franchise dari tergugat suatu perusahaan supermarket yang mengoperasikan toko di berbagai wilayah kepada penggugat. Dalam proses perundingan, tergugat berjanji akan membangun toko di Chilton dan mengisinya dengan barang-barang dagangan untuk dijual oleh Hoffman, jika Hoffman bersedia menginvestasikan uangya sebesar US $ 18,00. Karena percaya kepada janji-janji tergugat, maka penggugat (Hoffman) membeli sebuah bangunan di Chilton dan menyewa rumah tempat tinggal untuk dirinya beserta keluarganya di Chilton. Akan tetapi kemudian tergugat menarik kembali janjinya dan meminta jumlah investasi yang lebih besar dan Hoffman tidak sanggup untuk memenuhinya sehingga tidak terjadi kontrak franchise antara mereka.
175
Suharnoko,Op.Cit,hal 11
135
Berdasarkan doktrin Common Law yang tradisional, pengadilan tidak dapat menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan oleh Hoffman karena Common law tidak mengenal penerapan asas itikad baik dalam proses negosiasi. Dalam kasus ini belum ada kontrak, karena para pihak belum mencapai kesepakatan mengenai fee,royalties dan jangka waktu kontrak franchise. Namun Wisconsin Supreme Court mengadopsi pandangan hukum kontrak modern dengan mengabaikan syarat kepastian hukum demi mencapai keadilan yang substansial dan memutuskan bahwa penggugat berhak menerima ganti rugi ats kerugian yang dideritanya karena percaya dan menaruh pengharapan dari janjijanji penggugat. Pengadilan nampaknya melihat bahwa tergugat tidak memiliki itikad baik dalam bernegosiasi sehingga memutuskan bahwa terugat harus membayar ganti rugi. Walaupun tidak memiliki daya mengikat, namun Pasal 2.15 UPICCs mengatur larangan bernegosiasi dengan itikad buruk, larangan tersebut sebagai berikut : 1) A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an agreement. However, a party who negotiates or breaks off negotiations in bad faith is liable for losses to the other party. 2) It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations when intending not to reach an agreement with the other party. Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi. Dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu : 1) Kebebasan negosiasi 2) Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk
136
3) Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk. Dalam prinsip ini kita dapat ketahui bahwa para pihak tidak hanya bebas untuk memutuskan kapan dan dengan siapa melakukan negosiasi, namun juga bebas menentukan kapan, bagaimana dan untuk berapa lama proses negosiasi dilakukan, jelas prinsip ini sesuai dengan Prinsip nomor 1 ( Pasal 1.1 ) dan tidak boleh bertentangan dengan Prinsip nomor 2 yaitu prinsip good faith dan fair dealing yang diatur dalam pasal 1.7 yang menyatakan : "each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade; the parties may not exclude or limit this duty." Berdasarkan prinsip tersebut maka negosiasi tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk dan menyimpang dari prinsip fair dealing, contohnya :
•
seseorang melakukan atau melanjutkan negosiasi tanpa berkeinginan mengadakan kontrak dengan maksud untuk mengalihkan perhatian lawan atau saingan bisnisnya
•
suatu pemutusan negosiasi dimana tahap perundingan sudah mencapai suatu kondisi dimana secara timbal balik para pihak telah memberikan harapan bahwa perundingan akan menjadi kontrak
•
apabila dengan sengaja menyesatkan pihak lain mengenai isi atau syarat kontrak,
baik
dengan
menyembunyikan
fakta
yang
semestinya
diberitahukan ataupun mengenai status pihak yang berkepentingan dalam negosiasi.
137
Hak untuk membatalkan negosiasi juga tunduk pada prinsip itikad baik dan transaksi jujur.Apabila penawaran telah dilakukan, penawaran dapat ditarik kembali hanya dalam batas waktu yang ditentukan dalam pasal 2.4.UPICCs Bahkan sebelum sampai pada tahap tersebut atau dalam proses negosiasi dengan urutan yang tidak tentu dari penawaran dan penerimaan, salah satu pihak tidak lagi bebas membatalkan negosiasi secara tiba-tiba tanpa adanya alasan yang sah. Apabila telah tercapai kata sepakat tentu saja penyelesaiannya tergantung pada keadaan yang dihadapi dalam kasus tersebut. Saat ini meskipun semua sistem hukum mengakui bahwa perilaku tidak adil pada tahap prakontraktual harus mengarah kepada pengenaan kewajiban prakontraktual, tidak ada persatuan di antara sistem hukum untuk sifat kewajiban prakontraktual
tersebut.
Meskipun
spesifiknya,
kewajiban
prakontraktual
memenuhi semua kriteria tanggung jawab hukum. Saat ini, semua sistem hukum mengakui bahwa dasar pengenaan kewajiban prakontraktual adalah perilaku tidak adil, atau pelanggaran tugas itikad baik, pada tahap prakontraktual. Namun, sistem hukum yang berbeda dalam bagaimana mereka menetapkan tugas itikad baik. Beberapa sistem hukum memaksakan kewajiban umum dari itikad baik para pihak memulai pembentukan kontrak, sedangkan sistem hukum lainnya mengenakan kewajiban prakontraktual hanya untuk jenis tertentu perilaku tidak adil pada tahap prakontraktual dan menjauhkan diri dari mengenakan kewajiban umum itikad baik. Namun, terlepas dari cara di mana kewajiban prakontraktual yang didirikan, semua sistem hukum mengenal dua jenis kewajiban prakontraktual:
138
(i)
kewajiban yang dikenakan ketika pihak gagal untuk masuk ke dalam perjanjian karena perilaku tidak adil dari salah satu pihak pada tahap prakontraktual
(ii)
kewajiban yang dikenakan ketika perjanjian telah selesai namun kemudian batal karena perilaku tidak adil dari salah satu pihak pada tahap prakontraktual.
Pembahasan tentang hubungan kontraktual para pihak pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dengan masalah keadilan. Kontrak sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak yang lain menuntut pertukaran kepentingan yang adil. Prinsip keadilan juga sudah harus diterapkan dalam tahap negosiasi, perilaku tidak adil dari salah satu pihak yang membatalkan negosiasi merupakan sebuah tindakan yang data mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain. Ulpianus menggambarkan keadilan sebagai “Justicia est constans et perpetua voluntas ius suum uiqe tribuendi (keadilan adalah kehendak yang terus-menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya)” 176 Menurut Thomas Aquinas, keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia (acceptio personarum) dan keluhurannya (dignitas)Dengan dasar itu maka pengakuan terhadap person harus diarahkan pada pengakuan
terhadap
kepatutan
(equity).
Dalamkonteks
keadilan
distributif,keadilan dan kepatutan (equity) tidak semata-mata dengan penetapan
176
K.Bertens, 2000, Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Jogjakarta, h.86-87
139
nilai aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal lainnya (aequalitas rei ad rem).Ada dua bentuk kesamaan yaitu :177 a. Kesamaan proporsional b. Kesamaan kuantitas (jumlah) Sejak jaman Yunani, Plato, Aristoteles hingga Romawi telah disadari bahwa equity diperlukan untuk melengkapi keberlakuan keadilan. MenurutAristoteles, “epiekeia” (equity) merupakan penjaga dari pelaksanan undang-undang, karena equity terletak diluar unang-undang yang menuntut keadilan dalam keadaan dan situasi tertentu.178 Meskipun tidak ada kesepakatan antara berbagai sistem hukum untuk kualifikasi kewajiban prakontraktual, hukum menyediakan beberapa solusi tambahan untuk melindungi hak-hak para pihak pada tahap prakontraktual, yang mungkin berlaku di samping tapi tidak bisa menggantikan solusi yang tersedia untuk para pihak sebagai akibat dari pengenaan prakewajiban kontrak. Seperti yang tersirat dalam pepatah “een man,een word een word” dengan diletakkan kepercayaan pada perkataannya, orang itu ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya sebagai manusia.Hal yang tepat dikatakan oleh Eggens bahwa ketentuan yang mengharuskan orang dapat dipegang ucapannya adalah suatu tuntutan kesusilaan, dan memang jika orang ingin diihormati sebagai manusia, ia harus dapat dipegang perkataannya.179
177
E. Sumaryono, 2002, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Jogjakarta, hal.90-91 178
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit hal 53
179
Subekti, Op.Cit, hal 6
140
Penuntutan dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip good faith dan fair dealing dari hukum UNIDROIT tersebut yang dapat ditafsirkan bahwa pihak yang dirugikan hanya dapat menuntut pengembalian atas biaya yang telah dikeluarkan dan atas kehilangan kesempatan untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga.Akan tetapi para pihak tidak dapat menuntut ganti rugi atas keuntungan yang diharapkan dari kontrak yang batal diadakan itu. Pada umumnya setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya, oleh karena itu bertanggung jawab dalam pengertian hukum berarti suatu keterikatan.Dengan demikian tanggung jawab hukum sebagai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum. Dalam hukum Indonesia, seorang hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan belum terdapat ketentuan hukum yang mengaturnya sebagaimana diatur dalam pasal 22 AB (Algemeine Van Bepalingen).Disamping itu, berdasarkan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Tidak ada kasus yang ditolak pengadilan dengan alasan tidak ada atau belum lengkap peraturannya.“In case a question does not find its answer in the Civil Code, nor in any living cutom.The Juge has to give a decision according to equity”. 180Jadi hakim dituntut untuk melakukan interpretasi terhadap suatu gejala hukum dan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.Sebab tujuan daripada
180
R. Subekti,1982, Law In Indonesia, Yayasan Proklamasi International Studies, Jakarta, hal 47
Centre for Strategic an
141
hukum sendiri adalah menghendaki adanya keseimbangan kepentingan, keadilan, ketertiban, ketentraman seluruh umat manusia. Dalam menghadapi kasus tertentu yang belum diatur kejelasannya didalam Undang-Undang diperlukan cara penyelesaian yang khusus pula. Dapat pula kasus tersebut telah diatur dalam perundang-undangan, tetapi substansinya terlalu umum dan abstrak. Dalam keadaan demikian, hakim berfungsi sebagai judges as laws maker.181 Sistem peradilan di Indonesia tidak menganut sistem preseden sebagaimana peradilan di negara-negara dengan sistem common law, hakim tidak berkewajiban untuk mengikuti putusan pengadilan sebelumnya.Maka terdapat kemungkinan adanya perbedaan sikap diantara para hakim dalam menilai atau menyikapi konsep prakontraktual. Terbukti dari putusan-putusan pengadilan yang lebih mengedepankan teori hukum kontrak klasik dimana Menurut teori klasik jika perjanjian belum lahir, maka suatu perikatan tidak memiliki akibat hukum bagi para pihak, akibatnya pihak yang merasa dirugikan karena percaya terhadap mitra bisnisnya tidak terlindungi dan tidak dapat menggugat ganti rugi.Sementara menurut teori hukum modern memiliki kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian hukum demi tercapainya keadilan yang substansial. Seperti yang terlihat dalam kasus gugatan perkara perdata antara Para Penggugat, Jeffry Binalay dkk melawan Tergugat I Kepala Staff TNI-AL (KASAL) dkk yang telah terdaftar pada register perkara perdata di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. : 319/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Ut. 181
M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum,Buku I,Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal 184
142
Dimana ringkasan ceritanya adalah Jeffry Binalay dkk adalah penghuni dari rumah dinas TNI-AL. Almarhum orang tua Jeffry Binalay dkk adalah purnawirawan TNI-AL. Mereka menghuni rumah dinas TNI-AL berdasarkan Surat Izin Perumahan (SIP) yang dikeluarkan oleh Dinas TNI-AL.Pada tahun 1992 KASAL mengeluarkan Surat Keputusannya Nomor : 1212/III/1992 tanggal 23 Maret 1992 yang menetapkan bahwa rumah Dinas TNI-AL Di Wilayah Jakarta Sebagai Rumah Dinas TNI-AL Non Strategis. Pertimbangan KASAL mengeluarkan surat keputusan Nomor : 1212 tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota TNI AL dan umumnya rumah dinas tersebut sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun dan ditempati sebagian besar oleh para Purnawirawan/Warakawuri. Surat keputusan KASAL diatas kemudian dijadikan dasar hukum untuk surat-surat keputusan dan surat-surat serta kebijakan-kebijakan
yang
lain
sebagai
pedoman
pelaksanaan
proses
pelepasan/jual beli rumah dinas. Atas surat keputusan diatas, TNI-AL mengeluarkan kebijakan untuk melepaskan rumah-rumah dinas tersebut kepada para anggota yang menghuni rumah dinas tersebut. Selanjutnya kebijakan ini telah diteruskan kepada Menhankam/Pangab. Kakanwil Dirjen Anggaran Jakarta menunjuk suratnya telah menyetujui dan Kepala BPN Jakarta Utara menunjuk suratnya, menyatakan bahwa proses pelepasan rumah dinas tersebut dapat dilaksanakan. Atas kebijakan tersebut, anggota yang menghuni rumah dinas tersebut menyambutnya dengan suka cita dan menindak lanjuti dengan menyiapkan serta melengkapi berkas-berkas yang disyaratkan oleh TNI-AL, diantaranya adalah
143
mengajukan permohonan secara tertulis kepada TNI-AL hingga melakukan pengukuran atas tanah yang dihuninya, yang dilakukan oleh TNI-AL bekerjasama dengan BPN Jakarta Utara dll. Namun hingga diawal tahun 2003 proses pelepasan rumah dinas tersebut belum juga dapat terealisasikan, bahkan dengan surat keputusannya Nomor : Skep/344/II/2003 tanggal 24 Pebruari 2003, Tentang Peraturan Pokok Perumahan Dinas TNI Angkatan Laut, KASAL mengeluarkan kebijakan, bagi anggota yang telah pensiun, selambat-lambatnya tanggal 24 Pebruari 2007 harus sudah meninggalkan rumah dinas yang dihuninya. Dengan surat keputusan diatas, maka perihal proses pelepasan rumah dinas yang sudah dilakukan menjadi tidak jelas. Atas hal-hal diataslah Para Penggugat, Jeffry Binalay dkk menggugat KASAL dkk ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dalam putusannya tanggal 8 Oktober 2007 yang diucapkan tanggal 9 Oktober 2007, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara "Menolak gugatan para Penggugat untuk seluruhnya", dimana pada salah satu pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan “... akan tetapi berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan telah ternyata bahwa antara para Penggugat dengan para Tergugat tidak ada kesepakatan atau perjanjian jual beli rumah dinas, maka menurut Majelis Hakim para Tergugat ...”. Pertimbangan Majelis Hakim perkara aquo diatas telah membuktikan bahwa Majelis Hakim perkara aquo masih menganut teori hukum perjanjian pada umumnya, dan masih banyak Hakim-Hakim di Indonesia yang masih menerapkan teori hukum perjanjian sebagaimana diatas.Dengan pertimbangan Majelis Hakim
144
perkara aquo diatas, maka dengan demikian menurut teori hukum perjanjian tersebut bahwa para anggota penghuni rumah dinas tidak dapat meminta/menuntut TNI-AL untuk memenuhi janji-janjinya atau bahkan dimintakan ganti rugi. Dari pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Indonesia sebagaimana perkara aquo diatas dan putusan-putusan perkara pada umumnya yang pertimbangannya hanya didasarkan pada penekanan pentingnya adanya suatu kepastian hukum dimana fungsi utamanya suatu perjanjian adalah untuk memberikan kepastian tentang
mengikatnya
suatu
perjanjian
antara
para
pihak
yang
membuatnya.Dengan kata lain bahwa sepanjang belum ditandatanganinya kesepakatan (termasuk juga adanya pembatalan), maka janji-janji prakontraktual sama sekali tidak berdampak hukum. Untuk menjelaskan penafsiran kewajiban kontraktual, sarjana hukum Common law biasanya mengacu kepada metode pembuktian dari bargain dan bukti yang dimungkinkan untk pembuktian maksud yang sesunggunya dari pihak tertentu terhadap bargain tersebut. Di lain pihak para sarjana civil lawakan mengacu pada adanya pernyataan kehendak sebagai perbuatan hukum sebagai basis kontrak dalam keadaan tertentu yang gagal menghubungkan dengan kehendak yang sebenarnya. Hukum Inggris sendiri tidak mengadopsi secara menyeluruh pendekatan obyektif tersebut, karena hukum Inggris belakangan mensyaratkan bahwa suatu hubungan bisnis harus dilandasi kualifikasi moral yang didasari oleh konsep fair dealing. Di Perancis, pendekatan subjektif tidak ditinggalkan Di Perancis untuk menafsirkan kontrak digunakan kombinasi antara pendekatan subyektif dan
145
obyektif. Pendekatan subjektif digunakan hakim untuk menemukanmaksud umum para pihak dan untuk melihat di balik isi kontrak guna menemukan maksud umum tersebut. Pendekatan obyektif digunakan hakim dalam menginterpretasikan kontrak mengenai kehendak umum para pihak dan mengacu pada prinsip seperti itikad baik, kepatutan dan kebiasaan dalam bisnis 182 Telah lama disadari, bahwa equity (kepatutan) diperlukan untuk melengkapi keberlakuan keadilan.Equity dapat didefinisikan sebagai kebajikan yang mendorong manusia untuk menggunakan apa yang menjadi haknya untuk berbuat secara rasional menurut akal sehatnya. Equity dalam pelaksanaannya tidak berlawanan dengan hukum, bahkan pengaruhnya semakin kuat dalam penyelesaian sengketa ketika aspek hukum tidak mengaturnya. Berdasarkan contoh kasus seperti yang telah disebut di atas, gugatan Said Wachidin melawan N.V Aniem dan memang tidak dapat dikabulkan, mengingat belum terjadi huhungan kontraktual antara mereka, sehingga gugatan atas kehilangan keuntungan yang diharapkan memang tidak dapat dikabulkan, tetapi ganti rugi atas kerugian nyata masih mungkin untuk dipertimbangkan, akan tetapi berdasarkan gugatan melawan hukum, bukan wanprestasi. Apabila pada saat belum ada kesepakatan final, salah satu pihak telah melakukan suatu perbuatan hukum terkait dengan obyek perundingan, namun pada akhirnya perundingan tersebut mengalami jalan buntu, maka di negara yang menganut teori hukum kontrak modern pihak tersebut dapat meminta menuntut ganti kerugian atas dasar wanprestasi salah satu pihak atas segala biaya yang telah
182
Ridwan Khairandy, Op.Cit, hal.122
146
dikeluarkannya kepada pihak yang lain, termasuk atas kerugian atas keuntungan yang diharapkan, karena dalam negara yang menganut hukum kontrak modern ini, itikad baik sudah terlindungi pada tahap prakontraktual. Sebaliknya negara yang menganut teori hukum klasik, termasuk Indonesia, itikad baik tidaklah terlindungi pada tahap prakontraktual, sehingga penututan ganti kerugian dengan dasar wanprestasi pada dasarnya tidak dapat dikabulkan. Ganti kerugian atas kerugian nyata yang masih mungkin untuk dipertimbangkan
adalah
berdasarkan
gugatan
melawan
hukum,
bukan
wanprestasi, mengingat karena memang belum terjadi kontrak antar para pihak, maka tidaklah mungkin apabila terjadi wanprestasi antar para pihak.Sedangkan gugatan perbuatan melawan hukum sangat dimungkinkan mengingat unsur-unsur Pasal 1365 KUHPerdata telah terpenuhi. Pasal 1365 KUHPer tersebut adalah sebagai berikut: “Setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Lebih
lanjut
perbuatan
melanggar
hukum
tersebut
dalam
perkembangannya tidak hanya perbuatan melawan hukum dalam arti sempit yaitu perbuatan melanggar undang-undang saja, akan tetapi kemudian diperluas menjadi perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antar sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad=tort) menurut Black’s Law Dictionary adalah “a civil wrong, other than breach of contract, for which a
147
remedy may be obtained,usually in the form of damages, a breach of a duty that the law imposes on persons who stand in a particular relation to one another”183 Unsur-unsur perbuatan melanggar hukum (tort) didasarkan atas ketentuan Pasal 1365 BW, yaitu: a. Adanya perbuatan melanggar hukum. Perbuatan dalam hal ini adalah perbuatan aktif. Sebelum tahun 1919, perbuatan melanggar hukum diidentikkan dengan perbuatan melanggar undang-undang. Namun setelah adanya Arrest Lindebaum-Cohen tahun 1919, maka perbuatan melanggar hukum meliputi juga:184 -
Melanggar hak orang lain.
-
Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat.
-
Berlawanan dengan kesusilaan.
-
Berlawanan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.
b. Ada kerugian. Pengertian kerugian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum orang lain. Kerugian dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu kerugian yang dialami oleh diri sendiri dan kerugian yang menimpa harta seseorang.185
183
Black’s Law Dictionary, Op.Cit, hal.1526
184
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 107. 185
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 133.
148
c. Ada kesalahan. Berdasarkan Pasal 1365 BW, salah satu syarat untuk membebani tergugat dengan tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum adalah adanya kesalahan. Kesalahan ini memiliki 3 unsur, yaitu: -
Perbuatan tersebut dapat disesalkan.
-
Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya.
-
Dapat dipertanggungjawabkan, dalam artian si pelaku dalam keadaan cakap.186
d. Ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Ada dua macam teori mengenai hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian, yaitu: -
Teori Conditio Sine Qua Non Teori ini dikemukakan oleh Von Buri, yang mengemukakan suatu hal adalah sebab dari suatu akibat dan akibat tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Dengan kata lain menurut teori ini semua sebab menimbulkan akibat.Kesimpulannya adalah semua sebab dapat dipertanggungjawabkan187
-
Teori Adequate Veroorzaking Teori ini dikemukakan oleh Von Kries, yang menyatakan bahwa suatu hal baru dapat dikatakan sebab dari suatu akibat jika menurut
186
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, CV Mandar Maju, Bandung, hal.
10-11. 187
Gunawan Widjaja dan Kartini Mulyadi, 2005, Perikatan yang lahir dari Undang-Undang, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 117-118
149
pengalaman manusia dapat diperkirakan terlebih dahulu bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat. Dengan kata lain akibat tersebut disebabkan oleh faktor yang secara yuridis relevan menimbulkan akibat itu.188 Sebagai pedoman dapat dilihat ketentuan pasal 1248 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa pembayaran ganti rugi hanya diberikan atas kerugian yang sudah dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari tidak terpenuhinya perikatan.Menurut ketentuan pasal 1246 KUHPerdata ada tiga macam ganti rugi yang dapat diajukan oleh penggugat terhadap tergugat yaitu biaya,rugi dan bunga. Ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap perbuatan melanggar hukum adalah atas kerugian nyata yang memang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut (reliance loss).Ganti rugi tersebut bertujuan untuk menempatkan penggugat pada posisinya semula seandainya tidak terdapat perbuatan melanggar hukum tersebut.Jadi bukan kehilangan keuntungan yang diharapkan atau expectation loss. Sebagai perbandingan dengan sistem hukum Common Law juga tejadi pergeseran pemikiran dari teori tradisional yang membedakan dengan tajam antara kewajiban yang lahir dari kontrak dan kewajiban berdasarkan tort (perbuatan melwan hukum) kea arah teori modern yang tidak lagi membedakan secara tajam antara gugatan berdasarkan breach of contract dan gugatan berdasarkan tort. Berdasarkan prinsip UNIDROIT, maka tanggung jawab hukum telah lahir ketika proses prakontraktual, dalam hal ini berarti para pihak yang membatalkan 188
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., h. 140.
150
negosiasi secara sepihak tanpa disertai alasan yang sah dan memiliki perilaku tidak adil, atau pelanggaran atas itikad baik, memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya. Tanggung jawab prakontraktual atas itikad buruk berdasarkan UPICCs terbatas hanya pada kerugian yang diakibatkannya terhadap pihak lain. Pihak yang dirugikan dapat meminta pengembalian biaya yang telah dikeluarkan ketika negosiasi dengan ganti rugi atas kehilangan kesempatan untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga, akan tetapi tidak ada kewajiban untuk mengganti keuntungan yang sekiranya akan diperoleh dari kontrak yang telah batal dibuat.
4.3 Penyelesaian Sengketa Dalam Tahap Prakontraktual Hubungan-hubungan bisnis internasional yang diadakan oleh para pihak tidak selalu berlangsung dengan mulus. Kadangkala timbul masalah atau sengketa. Sengketa dagang internasional adalah sengketa dagang yang timbul dari hubungan dagang internasional berdasarkan kontrak ataupun tidak. Sengketa merupakan masalah umum yang dihindari oleh para pihak karena dapat mengganggu stabilitas,efisiensi,waktu serta biaya.189 Sengketa pada umumnya muncul sebagai akibat dari adanya ketidakseakatan, perbedaan, gangguan, kompetisi atau adanya ketidakseimbangan diantara para pihak. Penyelesaian sengketa yang sifatnya efektif merupakan idaman setiap pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis. Salah satu alasan yang menjadi dasar pertimbangan demikian adalah bahwa suatu sengketa hampir mutlak
189
Ida Bagus Wyasa Putra II, Op.Cit.hal 91
151
merupakan
faktor
penghambat
perwujudan
prediksi-prediksi
dalam
berbisnis.Suatu sengketa dapat menghadirkan resiko-resiko merugikan yang tidak dikehendaki dan dapat mengacaukan prediksi-prediksi bisnis.Hal ini menjadi sangat perlu diperhatikan terutama dalam kaitan dengan visi bisnis yang mendasari kegiatan demikian, yaitu efisiensi dan keuntungan. Menurut Ronny H. Mustamu, sengketa atau konflik muncul sebagai akibat dari beberapa, antara lain: a. Scare Resource Kelangkaan sumber-sumber yang signifikan terhadap eksistensi partisipan konflik. Pada kondisi ini pendekatan yang paling sering digunakan adalah kompetisi yang bermuara pada zero-sum game (satu pihak menang, yang lain kalah) b. Ambigous Jurisdiction Kondisi dimana batas-batas (kewenangan atau hak) saling dilanggar, sehingga satu pihak mengambil keuntungan yang seharusnya juga menjadi bagian dari keuntungan pihak lain. c. Intimacy Keterdekatan yang seringkali bermuara pada konfik mndalam jika perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak dikelola dengan matang. Konflik berbasis intimacy biasanya bersifat lebih mendalam disbanding partisipan yang tidak mengenal kenal satu sama lain d. We-they Distinction
152
Terjadi dalam kondisi dimana orang menciptakan diskriminasi yang sifatnya bersebrangan Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar para pihak dapat diselesaikan secara damai.Baik itu hukum Internasional yang bersifat publik, maupun Hukum Internasional yang bersifat privat. Dalam perspektif Hukum Internasional publik seperti metode yang terdapat dalam pasal 33 (1) Piagam PBB yang dijadikan sebagai pedoman dalam bidang hukum ekonomi internasional yang berbunyi “ The parties to any dispute…shall…seek a solution by negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement resorting to regional agencies or arrangements,or other peaceful means of their own choise.” Menurut Salim HS, pada umumnya penyelesaian sengketa atau perselisihan bisnis yang timbul dalam kontrak biasanya dilakukan melalui 2 (dua) pola yaitu190: a. Melalui alternatif penyelesaian sengketa b. Melalui pengadilan Penyelesaian sengketa akan menjadi lebih kompleks dalam konteks hubungan internasional. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan diantara para pihak.Perbedaan tersebut merupakan unsur asing seperti bahasa, kewarganegaraan, domisili dan lain sebagainya. Dalam tahapan prakontraktual, walaupun belum terdapat kontrak yang dapat digunakan dalam menyelesaikan sengketa, para pihak tetap dapat memanfaatkan 190
Salim H.S I, op.cit, hal.140
153
fasilitas-fasilitas yang telah disediakan dalam hukum bisnis.Baik melalui jalur non litigasi (out of court settelement) maupun jalur litigasi (in court settelement). 4..3.1 Penyelesian sengketa bisnis melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa Seperti halnya dalam penyusunan kontrak bisnis yang perlu menekankan konsep win-win solution, maka dalam hal terjadi sengketa tentunya perlu diupayakan penyelesaian yang terbaik dan elegan, suatu penyelesian sengketa yang cepat, efektif dan esisien.Dalam penyelesaian sengket bisnis diantara mereka maka penyelesaian yang terbaik dan ideal adalah pola win-win solution terutama melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Pola ADR dipandang sebagai alternatif terbaik bagi para pihak.Melalui wadah ini keberadaan para pihak sama-sama terlindungi, kredibilitas maupun bonafiditas para pihak tetap terjaga. Selain itu ADR dipandang sebagai pilhan terbaik karena :191 1) Bersifat informal 2) Penyelesaian secara “kooperatif” oleh para pihak yang bersengketa 3) Biaya “murah” (nominal cost tau zero-cost) 4) Penyelesaian cepat 5) Menyelesaiakan sengketa serta memperbaiki hubungan masa depan 6) Penyelesaian secara kompromi 7) Hsil yang dicapai sma-sama menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa 8) Hubungan dengan partner bisnis dapat menjadi lebih harmonis 9) Tidak ada dendam 10) Pemenuhan secara sukarela
191
M.Yahya Harahap, Op.Cit, hal 169
154
Penyelesaian sengketa secara alternatif memiliki beberapa tujuan.Menurut Goldberg, terdapat empat tujuan penyelesaian sengketa alternatif, yaitu :192 1) Mengurangi kemacetan di pengadilan 2) Meningkatkan keterlibatan masyarakat dan proses penyelesaian sengketa 3) Memperlancar jalur keadilan 4) Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak. Menurut Fisher dan Ury, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu kepentingan(interest), hak (right) dan status kekuasaan (power). Para pihak yang bersengketa ingin hak-haknya terpenuhi dan status kekuasannya diperlihatkan, dimanfaatkan serta dipertahankan.ADR dapat diselesaikan dengan antara lain : 1) Negosiasi Negosiasi adalah fact of life atau keseharian.Setiap orang melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti mitra dagang dan kuasa hukum salah satu pihak yang bersengketa. Negosiasi adalah basic of means untuk mendapatkan apa yang diingingkan dari orang lain. Lebih jauh negosiasi diartikan sebagai komunikasi dua arah yang
192
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. hal.281
155
dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda193 . Pentingnya negosiasi sebagai salah satu instrumen penyelesaian sengketa bahkan secara eksplisit telah diakui dalam UPICCs pasal 1.7, 5.3 dan 6.2.3 antara lain dalam hal terjadi hardship (kesulitan). Dalam hal terdapat kesulitan dalam pelaksanaan kontrak, sebelum berujung pada sengketa yang lebih kompleks dibuka peluang untuk (re)negosiasi dengan syarat itikad baik dan kooperatif.Dalam kasus dimana terjadi pembatalan secara sepihak dalam tahap prakontraktual juga masih dimungkinkan untuk adanya (re) negosiasi ulang antara para pihak.Cara negosiasi biasanya dalah cara pertama kali yang ditempuh bila para pihak bersengketa. Namun negosiasi bukan berarti tidak memiliki kelemahan, kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesiakan sengketa adalah:194 a. Ketika para pihak berkedudukan tidak seimbang, salah satu pihak kuat dan pihak yang lain lemah.Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. b. Proses berlangsungnya negosiasi seringkali lambat dan memakan waktu lama.
193
Suyud Margono, 2000, ADR (Alternative Dispute Resolution ) dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Hal. 49. 194
Huala Adolf II, Op.Cit. Hal 300
156
c. Ketika suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Hal ini mengakibatkan (re) negosiasimenjadi tidak produktif 2) Mediasi dan konsiliasi Mediasi dan konsiliasi adalah cara penyelesaian dimana para pihak beranggapan bantuan aktif pihak ketiga sangat membantu dalam menyelesaikan sengketa secara damai. 3) Arbitrase Cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak.Pengertian arbitrase termuat dalam Pasal 1 (1) Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase
yang
dibuat
secara
tertulis
oleh
para
pihak
yang
bersengketa.Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:195 a) Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Pactum de compromitendo); atau b) Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
195
Budhy Budiman, Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap praktik Peradilan Perdata Dan undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 available from URL: .http://www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm. cited on3 Juni 2011
157
Dalam tahap prakontraktual, tidak dimungkinkan adanya arbitrase sebab kontrak diantara mereka belum terwujud.Putusan dari arbitrase bersifat final dan mengikat. Pihak asing lebih memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa dengan berbagai alasan antara lain :196 •
Tidak terdapat badan peradilan internasional yang dapat mengadili sengketa-sengketa dagang internasional
•
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase bersifat cepat dan murah. Sifat cepat berhubungan dengan proses dan prosedur arbitrase yang cenderung lebih sederhan dibandingkan dengan prosedur peradlan biasa. Sifat murah berhubungan dengan proses dan prosedur arbitrase yang sederhana dan tidak semahal peradilan biasa.
•
Tidak banyak birokrasi dan formalitas
•
Dapat terhindar dari efek negatif suatu publikasi. Hal ini sangat berkaitan dengan bonafiditas para pihak atau perusahaan mereka
•
Kekhawatiran menggunakan forum peradilan karena kualitasnya dirasa tidak memadai.
•
Pembebasan diri dari forum hakim nasional, hal ini disebabkan karena seringkali dalam kontrak para pihak sepakat untuk tunduk terhadap forum arbitrase luar negeri seperti ICC (interational Chamber of Commerce), ataupun UAR ( Uncitral Arbitration Rules)
•
196
Pencegahan pengadilan ganda
Ida Bagus Wyasa Putra I, Op.Cit, hal. 78
158
•
Pencegahan terjadinya forum shopping yaitu cara pemilihan forum penyelesaian sengketa oleh para pihak untuk menguntungkan dirinya.
Secara internasional, pengaturan pelaksanaan pengakuan dan pelaksaan putusan arbitrase asing diatur dalam Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbtrase Asing (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards) yang diratifikasi dalam Keputusan Presiden No. 4 Tahun 1981 dan ditindaklanjuti oleh Peraturan Mahkamah Agung no 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Untuk
putusan
arbitrase
internasional,
pelaksanaannya dilakukan berdasar pasal 65 – pasal 69 UU Arbitrase. Tahapannya adalah: (1) Tahap Pendaftaran. Putusan arbitrase tersebut harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (pasal 65 UU Arbitrase).Berdasarkan pasal 67 UU Arbitrase, pendaftaran putusan arbitrase asing dilakukan dengan penyerahan putusan arbitrase ke Panitera Pengadilan Jakarta Pusat oleh arbiter atau kuasanya. (2) Setelah pendaftaran ini, diajukan permohonan eksekuatur kepada PN Jakarta Pusat (pasal 67 UU Arbitrase). Terhadap permohonan ini, Ketua PN akan mengeluarkan perintah yang mengakui dan memerintahkan pelaksanaan putusan arbitrase asing ini.
159
(3) Setelah perintah Ketua PN diterima, pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri yang memiliki kompetensi relatif untuk melaksanakannya (pasal 69 ayat 1 UU Arbitrase). Tata cara pelaksanaan eksekusi sendiri dilakukan sesuai ketentuan Hukum Acara Perdata. Contoh kasus arbitrase yang terkenal adalah kasus Kartika Plaza dimana para pihak yang bersengketa adalah AMCO Asia Corporation, Pan American Development Limited dan PT. AMCO Indonesia selaku penggugat melawan Negara Indonesia sebagai tergugat yang membawa perkara mereka ke ICSID
(International Centre for Setttlement of
Investment Dispute) 4.3.2 Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Dalam suatu kontrak dagang internasional dikenal adanya choise of law dan choise of forum. Masalah pilihan hukum (choise of law) adalah masalah klasik dalam hukum kontrak internasional.Dalam hukum kontrak internasional, para pihak memiliki kebebasan dalam menentukan hukum mana yang akanberlaku untuk kontrak bisnis yang mereka buat.Para pihak juga dapat memakai perjanjian-perjanjian internasional tentang kontrak sebagai hukum yang berlaku bagi kontrak mereka, seperti konvensi CISG ataupun UNIDROIT. Dalam pembukan UPICCs secara tegas menyatakan :” Shall be applied when the parties have agreed that their contract be governed by them . Hal ini menunjukkan bahwa diakuinya kebebasan para pihak dalam memilih atau menerapkan prinsipChoise of law dan choise of forum adalah berbeda, namun
160
negara Inggris menyamakan pengertian Choise of law dengan choise of forum, pengadilan Inggris berpendapat bahwa apabila para pihak telah memilih suatu bdan hukum tertentu, maka secara otomatis hukum yang berlaku adalah hukum nasional dimana pengadilan (forum) tersebut berada.197 Pandangan serupa dianut di Pengadilan Singapura, dalam sengketa antara PT. Garuda Indonesia v Birgen Air Singapore, Court of Appeal : (2002) 1 SLR 393, pengadilan Singapura dalam putusannya antara lain bahwa karena tempat berlangsungnya arbitrase adalah Indonesia, maka hukum Indonesia yang berlaku untuk persidangan arbitrasenya. Dari bentuknya, klausul pilihan hukum dapat dinyatakan secara tegas, maupun secara diam-diam. Untuk mencari jalan keluar, Sudargo Gautama mengemukakan beberapa teori yang dapat dijadikan pegangan, antara lain :198 a. The Proper law of Contract Teori ini dipraktekan di Inggris, menurut teori ini pengadilan akan melakukan analisis dari etentuan-ketentuan, fakta-fakta sekitar kontrak yang bersangkutan, untuk menetapkan hukum yang sebenarnya telah dipikirkan oleh para pihak. b. Teori Lex Loci Contractus Suatu kontrak ditentukan oleh hukum dimana kontrak diciptakan atau dilahirkan. c. Teori Lex Loci Solutionis
197
Huala Aolf, Op.Cit, hal 138
198
Sudaro Gautama, Op.Cit, hal8-47
161
Menurut teori ini, dalam hal tidak adanya pilihan hukum maka pengadilan akan menentukn hukum mna yang berlaku berdasarkan tempat dimana perjanjian dilaksanakan d. Teori Lex Fori Hukum yang berlaku terhadap suatu kontrak adalah hukum dari pihak pengadilan e. Teori the Most Characteristic connection Menurut teori ini pengadilan akan menentukan pilihan hukum didasarkan pada salah satu pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik dari sutu transaksi Choise of Forum juga merupakan suatu klausul yang sifatnya menjadi pilhan oleh para pihak, tergantung dari kesepakatan para pihak.Klasul ini memberikan sebuah kepastian hukum bagi para pihak.Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika para pihak tidak menemukan kata sepakat dalam kontrak mereka dalam tahap prakontraktual, ataupun salah satu pihak membatalkan perundingan disaat yang hampir final, dimana hal ini berarti belum terdapat kontrak diantara mereka. Praktik pengadilan dalam menyelesaikan sengketa bisnis termasuk sengketa di bidang kontrak bisnis internasional pada dasarnya telah sejak lama menerapkan berbagai macam asas perjanjian serta prinsip hukum umum guna memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi para pihak. Penyelesaian sengketa bisnis di pengadilan umumnya didasarkan pada :
162
a. Adanya wanprestasi atau ingkar janji salah satu pihak, dimana untuk gugatan ini harus didasarkan ada adanya hubungan kontraktual diantara para pihak b. Adanya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad), dimana dalam gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului adanya hubungan kontraktual diantara para pihak, namun yang menjadi kunci adalah adanya perbuatan yang merugikan pihak lain serta terdapat hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat kesalahannya. Hal menjadi kompleks ketika terdapat unsur asing didalam hubungan kontraktual tersebut.Karena terdapat foreign element didalamnya, maka, penyelesaian sengketa bisnis internasional haruslah berdasarkan pada Hukum Perdata Internasional. Yurisdiksi pengadilan di dalam Hukum Perdata Internasional merupakan kekuasaan dan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan menentukan suatu permaslahan yang dimintakan kepadanya untuk diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum asing yang relevan. Untuk menjalankan yurisdiksi yang diakui secara internasional pengadilan suatu negara harus mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak atau harta kekayaan yang dipersengketakan. Yurisdiksi merupakan merupakan refleksi dari prinsip dasar
163
kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki yurisdiksi199 Dalam sistem hukum Common Law, terdapat beberapa kategori yurisdiksi pengadilan.Jika suatu gugatan berkaitan dengan hak-hak atau kepentingankepentingan semua orang mengenai suatu hal atau benda, pengadilan dapat secara langsung menjalankan kekuasaannya terhadap suatu hal atau benda tersebut meskipun pengadilan mungkin tidak mempunyai yurisdisi terhadap orang-orang yang dan kepentingannya tersebut berpengaruh.Hal ini disebut yurisdiksi in rem200 Yurisdiksi pengadilan didasarkan pada lokasi atau tempat objek yang terletak didalam wilayah yang akan diberlakukan yurisdiksi. Jika gugatan dimaksudkan untuk meminta tanggung jawab seseorang atau membebankan kewajiban terhadap seseorang, pengadilan memberlakukan yurisdiksi in personam dan gugatan tersebut merupakan gugatan in personam201 Di dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia yang pengaturannya terdapat Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg) tidak terdapat ketentuan khusus mengenai kompetensi pengadilan (yurisdiksi) Indonesia dalam mengadili perkara-perkara perdata yangmengandungt elemen asing. Menurut pasal 118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat bertempat tinggal (asas sequitur
199
Mirza Satria Buana, 2007, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Penerbit Nusamedia, Bandung, hal.56. 200
Ridwan Khairandi II, Op.Cit,hal 141-142
201
ibid
164
forum rei), atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat ia sebenarnya berada. Kemudian jika tergugat lebih dari satu orang dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah suatu pengadilan negeri, menurut pasal 118 HIR, gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di tempat salah seorang bertempat tinggal. Yang terpenting adalah terdapat dalam pasal 118 ayat (3) jika tergugat tidak memiliki tempat tinggal yang dikenal,maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri penggugat. Kemudian apabila gugatan tersebut berkaitan dengan benda bergerak (benda tetap), gugatan diajukan kepada pengadilan negeri dimana benda tetap itu terletak (forum sitae). Kewenangan mengadili pertama-tama didasarkan pada asas the basis of presence, yakni pada umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara teritorial atas semua orang dan benda yang berada dalam batas-batas wilayah negaranya. Forum yang dipilih oleh para pihak sebelum memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya terlebih dahulu harus meneliti apakah ia berwenang mengadili perkara tersebut. Salah satu cara untuk menentukkan berwenang atau tidaknya ia mengadili perkara yang bersangkutan adalah dengan meneliti klausula pilihan forum yang terdapat dalam kontrak yang bersangkutan. Dalam permasalahan prakontraktual, dimana terdapat salah satu pihak yang mengundurkan diri dari perundingan ketika belum menemukan kesepakatan dan salah satu pihak telah banyak berharap dari janji-janji pihak tersebut, dimana hal ini berarti mereka belum menuntup suatu kontrak, maka dalam sistem hukum
165
Indonesia walaupun belum terdapat pengaturan dari tahapan prakontratual tersebut dalam KUHPerdata, hakim tidak boleh menolak perkara tersebut. Jadi apabila tergugat menginginkan ganti kerugian yang dideritanya, maka gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum masih dimungkinkan untuk dapat dikabulkan. Permasalahan perbuatan melawan hukum akan menjadi masalah ketika didalamnya terdapat unsur asing. Pertautan antar suatu perbuatan melwan hukum dengan suatu tempat asingdapat terjadi karena :202 a) Pelaku perbuatan berdomisili atau berkewarganegaraan asing b) Perbuatan dilakukan didalam wilayah suatu negara asing c) Akibat-akibat dari perbuatan itu timbul di suatu wilayah negara asing Permasalahan Hukum Perdata Internasional juga timbul antara lain seperti berdasarkan sistem hukum mana penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum harus ditentukan dan berdasarkan sistem hukum mana penetapan ganti rugi harus ditentukan. Ada doktrin atau teori mengenai hukum yang harus dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Antara lain :203 a) Hukum tempat dimana terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti commisi) b) Hukum dimana tempat perbuatan tersebut diadili c) Proper law of the tort
202
Ridwan Khairandy II, Op.Cit hal.122
203
ibid
166
Cara penyelesaian dengan menggunakan hukum yang relevan dengan tempat dimana perbuatan tersebut menimbulkan kerugian dianut di beberapa negara eropa continental serta Amerika Serikat. Di Jerman, pihak yang dirugikan dapat memilih hukum mana yang paling menguntungkan dirinya. Sebagian besar dalam transaksi bisnis internasional memilih arbitrase luar negeri sebagai tempat penyelesaian sengketa. Menurut Syahmin, jika penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian dilakukan dihadapan badan peradilan di Indonesia, akan timbul masalah apakah badan peradilan bersangkutan dianggap mampu, akan tetapi apabila penyelesaian dilakukan dibadan peradilan diluar negeri, apakah keputusan pengadilan di luar negeri itu dapat dilaksanakan di Indonesia.204 Karena sesuai dengan prinsip hukum acara yang berlaku di Indonesia keputusan hakim asing tidak dapat serta merta dilaksanakan di Indonesia. Pengadilan di Indonesia hanya dapat menjadikan keputusan hakim asing sebagai alat bukti dalam suatu perkara yang diperiksa dan diputus sendiri. Ketentuan tersebut di atas erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan territorial dimana berdasarkan asas ini putusan hakim asing tidak bisa secara langsung dilaksanakan di wilayah negara lain atas kekuatannya sendiri. Namun demikian hal ini bukan berarti bahwa semua putusan hakim asing tertutup sama sekali kemungkinannya untuk dapat dilaksanakan di Indonesia. Sejauh mengenai pengakuan (recognition) terhadap putusan hakim asing, hingga saat ini masih diikuti pendirian dalam arrest lama dari negeri Belanda yang terkenal dengan nama Bontmantel Arrest dari tahun 1924. Luasnya pengakuan
204
Syahmin AK, et.al, op.cit hal. 337
167
terhadap suatu putusan hakim asing sepenuhnya diserahkan pada pertimbangan hakim dalam kasus demi kasus.Sedangkan eksekusi putusan hakim asing tidak diperkenankan. Oleh karenanya dalam melakukan pilihan yurisdiksi hendaknya pihak-pihak yang terikat dalam suatu kontrak bisnis internasional benar-benar waspada, yakni apakah putusan dari hakim dari negara yang yurisdiksinya dipilih itu tadi dapat dilaksanakan di negara pihak yang lain atau tidak. Kendala ini dapat diatasi jika pihak-pihak memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketanya. Sebab, dengan adanya Konvensi New York tahun 1981, maka pelaksanaan putusan arbitrase asing dipermudah (dalam arti bahwa putusan arbitrase negara anggota Konvensi New York yang satu dapat dilaksanakan di negara anggota Konvensi New York yang lain). Sekalipun harus diakui bahwa praktek di negara kita tidak selamanya demikian. Putusan asing mungkin saja dilaksanakan di Indonesia bila Indonesia telah menandatangani
perjanjian-perjanjian
internasional
mengenai
pelaksanaan
putusan hakim asing.Namun sampai saat ini belum ada perjanjian yang ditandatangani oeh Indonesia. Prosedur untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing oleh di Indonesia lebih lanjut dijelaskan oleh M. Yahya Harahap mengutip dari Pasal 436 ayat (2) Reglement op de Burgerlijke rechtvordering (Rv) Reglemen Acara Perdata, Staatsblad Tahun 1847 No. 52 jo. Staatsblad Tahun 1849 No. 63.205Bahwa satu-
205
HIR (Herziene Indonesisch Reglement) merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda, yang pada saat itu hanya berlaku untuk orang Indonesia (pribumi) di Jawa dan Madura tetapi sekarang sering diterapkan di tempat lain. Namun untuk hal tertentu yang tidak diatur di situ, sekarang digunakan juga Rbg (Reglement Buitengewesten), yang pada zaman kolonial merupakan hukum acara perdata untuk pribumi di luar Jawa dan Madura, serta Rv (Reglement op
168
satunya cara untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di pengadilan Indonesia. Kemudian, putusan pengadilan asing tersebut oleh pengadilan Indonesia dapat dijadikan sebagai alat bukti tulisan dengan daya kekuatan mengikatnya secara kasuistik, yaitu:206 a) Bisa bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat; atau b)
Hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan hakim.
de Burgerlijke Rechtsvordering), yang pada masa itu berlaku bagi orang 'Eropa' dan 'Timur Asing' yang berada di Indonesia., http://hukumpedia.com/index.php?title=Herziene_Indonesisch_Reglement diakses tanggal 2 Desember 2011 206
M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Grfika,Jakarta, hal 14
169
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan seperti yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu simpulan sebagai berikut: 1. Tahap prakontraktual tidak memiliki kekuatan mengikat sebagaimana kekuatan mengikatnya sebuah kontrak sebab belum memenuhi unsur syarat umum sahnya sebuah kontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1320 K.U.H Perdata. Tahap prakontraktual hanya mengikat para pihak secara moral dan tetap harus dilandasi oleh prinsip itikad baik dan transaksi jujur (good faith and fair dealing). 2. Jika dalam tahap prakontraktual terjadi pembatalan secara sepihak, maka pihak yang melakukan pembatalan tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya. Bentuk tanggung jawab prakontraktual tersebut hanya berupa pengembalian biaya yang telah dikeluarkan pada saat melakukan negosiasi dan ganti rugi atas kehilangan kesempatan untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga. Jadi tidak ada kewajiban untuk mengganti keuntungan yang sekiranya akan diperoleh dari kontrak yang telah batal dibuat tersebut.
169
170
5.2 Saran 1. Para pelaku kontrak harus lebih cermat dalam memahami tradisi serta ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam Common law dan Civil law system. 2. Dalam pembuatan kontrak bisnis internasional disarankan kepada para pihak untuk melibatkan seorang legal advisor serta legal drafter sejak tahap prakontraktual, hal ini sangat penting untuk menghindari masalah-masalah hukum yang kemungkinan terjadi di kemudian hari.