BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Pemeriksaan Patologi Anatomi Anamnesa hewan yang diamati pada studi kasus ini yakni singa mengalami gangren kronis pada kaki belakang sebelah kanan. Menurut Vegad (2007) gangren adalah invasi dan pembusukan jaringan nekrotik oleh bakteri saprofit. Salah satu lokasi sering terjadinya gangren adalah daerah ekstremitas seperti kaki. Menurut Pangayoman dan Yuwono (2003) gangren pada ekstremitas pada manusia biasanya disebabkan oleh penyakit diabetes, suatu penyakit sumbatan pada buluh darah seperti trombosis baik arteri maupun vena. Infeksi oleh bakteri juga merupakan salah satu penyebab gangren. Gambaran patologi anatomi singa disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Gambaran patologi anatomi Organ
Gambaran patologi anatomi
Ruang abdominal
massa tumor berukuran 14.5 x 9.8 x 6.5 cm, berwarna putih pucat dalam ruang abdominal dengan konsistensi kenyal
Paru-paru
nodul berjumlah ± 10 (multinodular) berwarna putih, dengan garis tengah nodul terbesar ± 1.5 cm
Hati
Hati berwarna belang mulai merah gelap hingga merah terang Di lobus sinistra hati ditemukan multinodular berwarna putih, dengan garis tengah nodul terbesar ± 1.5 cm
Ginjal
Tidak ditemukan perubahan spesifik
Limpa
Tidak ditemukan perubahan spesifik
Pankreas
Tidak ditemukan perubahan spesifik
Pada saat nekropsi ditemukan massa tumor dengan ukuran 14.5 x 9.8 x 6.5 cm di dalam ruang abdominal. Massa tumor tersebut berwarna putih, memiliki konsistensi kenyal, berkapsul, dan tidak menginvasi jaringan sekitarnya. Berdasarkan pengamatan patologi anatomi ini, sifat massa tumor yang tidak menginvasi jaringan sekitarnya serta berkapsul diduga tumor bersifat jinak. Hasil pemeriksaan patologi anatomi organ lain ditemukan bahwa pada paruparu terdapat nodul berjumlah ± 10 (multinodular) berwarna putih dengan garis tengah nodul terbesar ± 1.5 cm. Pengamatan patologi anatomi pada hati menunjukkan bahwa hati berwarna belang, merah gelap dan merah terang. Di lobus sinistra hati juga ditemukan multinodular berwarna putih dengan garis
15
tengah nodul terbesar berukuran ± 1.5 cm. Pada pengamatan patologi anatomi pada organ ginjal, limpa, dan pankreas tidak ditemukan perubahan spesifik. 4.2. Gambaran Histopatologi dengan Pewarnaan Hematoksilin Eosin Terhadap Sel Tumor Gambaran histopatologi massa tumor menunjukkan bahwa sel-sel yang menyusun massa tumor tersebut berbentuk gelendong (spindle-shaped cells). Inti sel-sel tersebut berbentuk seperti cerutu (cigar-shaped nuclei) dengan ujung tumpul. Sitoplasma sel bersifat eosinofilik, serta dapat diamati perbatasan seluler (Gambar 2A). Ada beberapa jenis tumor yang berasal dari sel berbentuk gelendong yakni leiomioma (tumor jinak yang berasal dari otot polos), leiomiosarkoma (tumor ganas yang berasal dari otot polos), fibroma (tumor jinak yang berasal dari jaringan ikat fibroblast), fibrosarkoma (tumor ganas yang berasal dari jaringan ikat fibroblast), schwannoma (tumor jinak yang berasal dari sel Schwann) dan malignant schwannoma (tumor ganas yang berasal dari sel Schwann), rhabdomioma (tumor jinak yang berasal dari sel otot skelet), serta rhabdomiosarkoma (tumor ganas yang berasal dari sel otot skelet). Menurut Emer et al. (2011), pada pemeriksaan mikroskopis, serabut otot polos terdiri atas sitoplasma eosinofilik dengan inti memanjang berujung tumpul dengan sedikit atau tidak ada gelombang. Inti sel berbentuk seperti cerutu atau belut. Sel tumor otot polos diselingi dengan jaringan ikat kolagen. Morfologi dari sel-sel yang membentuk massa tumor pada ruang abdominal singa pada kasus ini mirip dengan kasus leiomioma pada jantung anjing yang dilaporkan oleh Gallay et al. (2010) yang dapat diamati pada Gambar 3A. Pada Gambar 3A dapat diamati bahwa dengan pewarnaan HE sel tumor leiomioma berbentuk gelendong dengan nukleus yang memanjang dengan ujung tumpul. Berkas tumor dipisahkan dengan kolagen.
16
A
B
* C
Gambar 2
A
D
Morfologi sel tumor. (A) Morfologi sel tumor berbentuk gelondong, inti sel berbentuk seperti cerutu dengan ujung tumpul (tanda panah). Pewarnaan HE. (B) Di antara sel-sel tumor ditemukan serabut kolagen berwarna biru kehijauan (tanda bintang) dengan pewarnaan Masson’s Trichrome. (C) Sel tumor yang diwarnai dengan pewarnaan imunohistokimia Desmin menunjukkan hasil positif dicirikan dengan warna cokelat pada sitoplasma sel (tanda panah). (D) Sel tumor yang diwarnai dengan pewarnaan imunohistokimia Proliferating Cell Nuclear Antigen (PCNA) menunjukkan hasil negatif inti tetap berwarna biru. Bar = 40 µm.
B
Gambar 3 Leiomioma pada jantung anjing (Gallay et al. 2010). (A) Sel tumor berbentuk gelondong dengan nukleus yang memanjang dengan ujung tumpul (tanda panah). Berkas tumor dipisahkan dengan kolagen (tanda bintang). Pewarnaan HE. Bar = 25 µm. (B) menunjukkan bahwa sel tumor tersusun di tengah berkas serabut kolagen yang terwarnai biru dengan pewarnaan Masson’s Trichrome. Bar = 125 µm.
17
4.3. Gambaran Histopatologi dengan Pewarnaan Khusus dan Pewarnaan Imunohistokimia Hasil pemeriksaan HP dengan pewarnaan khusus dan imunohistokimia dicantumkan dalam Tabel 4. Tabel 4
Hasil pengamatan HP dengan pewarnaan khusus dan pewarnaan imunohistokimia. Pewarnaan MT D V GFAP PCNA
Sel tumor +++ -
Kolagen + -
Keteragan: MT: Masson’s Trichrome; D. Desmin; V. Vimentin; GFAP. Glial Fibrillary Acidic Protein; PCNA. Proliferating Cell Nuclear Antigen. (-) tidak imunoreaktif; (+) sedikit terwarnai; (++) pewarnaan sedang; (+++) pewarnaan kuat.
4.3.1. Pewarnaan Khusus Masson’s Trichrome Gambaran jaringan tumor yang diwarnai dengan pewarnaan khusus Masson’s Trichrome dapat diamati pada Gambar 2B. Pada pewarnaan Masson’s Trichrome, sel otot terwarnai merah dan serabut kolagen akan terwarnai biru kehijauan. Pada massa tumor tersebut dapat ditemukan jaringan ikat kolagen diantara sel-sel tumor tersebut (Gambar 2B). Ini sesuai dengan pendapat Emer et al. (2011) bahwa pewarnaan khusus dapat digunakan untuk membedakan otot polos dari jaringan ikat kolagen karena keduanya akan terlihat merah muda hingga merah dengan pewarnaan HE, akan tetapi dengan pewarnaan Masson’s Trichrome, otot polos akan berwarna merah dan jaringan ikat kolagen akan berwarna biru kehijauan. Gambar 3B dapat digunakan sebagai pembanding dari literatur. Pada Gambar 3 dapat diamati bahwa dengan pewarnaan MT, diantara sel-sel tumor leiomioma akan ditemukan jaringan ikat kolagen berwarna biru (Gallay et al. 2010). Menurut Cooper dan Valentine (2002) pewarnaan Masson’s Trichrome digunakan untuk membedakan antara tumor fibroma dengan leiomioma secara lebih jelas. Pada kasus ini, hasil yang didapat dari pewarnaan Masson’s Trichrome yang menunjukkan bahwa ditemukan jaringan ikat kolagen berwarna biru kehijauan. Jaringan ikat kolagen tersebut bukan berasal dari sel-sel tumor
18
melainkan berada diantara sel-sel tumor akibat fibrosis. Oleh sebab itu, tumor tersebut diidentifikasi sebagai leiomioma, bukan fibroma. 4.3.2. Pewarnaan Imunohistokimia Desmin Beberapa sel tumor melepaskan substansi yang tidak terdapat pada sel normal. Substansi ini dinamakan sebagai marker tumor atau marker biologi (Fizell 2001). Marker tumor ini digunakan untuk melakukan identifikasi asal dari tumor. Marker tumor ini dapat berupa filamen intermediet dari protein struktural sitoplasma. Filamen intermediet tidak dapat diamati dengan pewarnaan HE, tetapi dapat diamati dengan pewarnaan imunohistokimia (Cooper & Valentine 2002). Contoh filamen intermediet adalah Vimentin dan Desmin (Cooper & Valentine 2002). Desmin adalah filamen intermediet yang diekpresikan oleh sel otot polos, otot lurik, dan otot jantung (Liu dan Mikaelian 2003), sedangkan Vimentin merupakan filamen intermediet dari sebagian besar sel mesenkim. Vimentin sering digunakan untuk pewarnaan imunohistokimia karena sebagian besar sel mesenkim mengandung vimentin (Cooper & Valentine 2002). Hasil pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan imunohistokimia Desmin pada kasus ini menunjukkan hasil positif. Hasil positif pewarnaan Desmin dicirikan dengan sitoplasma sel yang berwarna cokelat. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel tumor tersebut imunoreaktif terhadap antibodi anti Desmin. Menurut Cooper dan Valentine (2002), antibodi anti Desmin bereaksi pada sel otot baik otot polos, otot jantung, maupun otot lurik, oleh sebab itu Desmin digunakan untuk mengidentifikasi apakah sel-sel pada massa tumor tersebut berasal dari sel otot. Sel-sel tumor tersebut imunoreaktif terhadap pewarnaan imunohistokimia Desmin. Menurut Liu dan Mikaelian (2003) sel tumor yang imunoreaktif terhadap Desmin menunjukkan bahwa sel tumor tersebut berasal dari sel-sel otot. Sel tumor tersebut berbentuk gelondong dengan inti seperti cerutu yang menyerupai sel otot polos. Dengan pewarnaan HE, sel-sel tersebut teramati sebagai suatu sel yang memiliki inti di tengah (sitoplasma) dan tidak memiliki garis melintang serta menunjukkan gambaran jalinan fasikula (interlacing fascicle). Menurut Cooper dan Valentine (2002) gambaran jalinan fasikula merupakan gambaran normal dari otot polos. Tumor pada ruang abdominal singa ini didiagnosa tumor berasal dari
19
otot polos. Tumor yang berasal dari otot polos disebut leiomioma sehingga singa tersebut didiagnosa mengalami leiomioma. Leiomioma merupakan tumor jinak mesenkimal yang berasal dari sel otot polos dari lapis muskularis yang bersifat involunter. Menurut Montali et al. (1997) leiomioma pada hewan sering terjadi pada saluran genitalia. Tumor ini sering terjadi pada hewan domestik terutama pada anjing (Sontas et al. 2010; Schaudien et al. 2007). Spesies hewan domestik lainnya yang pernah dilaporkan mengalami leiomioma adalah kucing (Cooper et al. 2006), kambing (Uzal & Puschner 2008), domba (Corpa & Martinez 2010), babi (Munday & Stedman 2002), sapi (Sendag et al. 2008), kuda (Bailey et al. 2003), dan ayam (Manarolla et al. 2011). Leiomioma juga pernah dilaporkan pada satwa liar seperti gajah, badak, unta, macan tutul, singa, harimau, panda, serigala, opposum, marmut (Montali et al. 1997), spesies primata (Videan et al. 2011), anjing laut (Bäcklin et al. 2003), serta paus (Mikaelian et al. 2000). Selain Desmin, terdapat pewarnaan imunohistokimia lain yang akan berekspresi pada sel-sel otot seperti Muscle-Spesific Actin dan Alpha (α) Smooth Muscle Actin, tetapi kedua pewarnaan ini tidak digunakan pada studi ini. MuscleSpesific Actin adalah protein globular yang diekspresikan oleh otot polos, otot lurik, dan otot jantung.
Alpha (α) Smooth Muscle Actin adalah protein
sitoskeleton yang diekspresikan oleh otot polos dan sel mioepitel (Bailey et al. 2003). Cooper dan Valentine menyebutkan bahwa antibodi anti α Smooth Muscle Actin merupakan marker spesifik yang rutin digunakan dalam diagnosa tumor pada hewan untuk mengidentifikasi tumor asal otot polos dari tumor lain yang berasal dari otot skelet dan otot jantung. Sitoskeleton tersusun atas protein filamen termasuk aktin dan mikrotubulus. Secara normal filamen aktin menekan molekul organik ekstraseluler yang berikatan antar sel. Mikrotubul mengontrol bentuk sel, pergerakan sel, dan pembagian sel. Pada sel kanker, fungsi dari komponen tersebut berubah. Selain itu, jumlah komponen sitoplasma berkurang, dan bentuknya abnormal. Kerja sel berkurang karena terjadi pengurangan jumlah retikulum endoplasma dan mitokondrianya (Fizell 2001).
20
4.3.3. Pewarnaan Imunohistokimia Vimentin Vimentin diekspresikan oleh tumor yang berasal dari sel mesenkim. Bila digunakan untuk tumor yang diduga berasal dari otot polos, Vimentin dianggap sebagai penanda nonspesifik yang biasa disajikan dalam tumor yang kurang terdiferensiasi dan biasanya berhubungan dengan ekspresi marker lainnya (Cooper & Valentine 2002). Hasil positif pewarnaan Vimentin dicirikan dengan sitoplasma sel yang berwarna cokelat. Pada kasus ini sel-sel tumor tersebut menunjukkan hasil negatif atau tidak imunoreaktif terhadap pewarnaan imunohistokimia Vimentin. Hal ini menunjukkan bahwa sel tumor tersebut bukan sel yang berasal dari sel mesenkim. 4.3.4. Pewarnaan Imunohistokimia Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) merupakan salah satu marker tumor untuk mendiagnosa tumor yang berasal dari selubung saraf seperti sel Schwann atau astrosit (Koestner & Higgins 2002). Hasil positif pewarnaan GFAP dicirikan dengan sitoplasma sel yang berwarna cokelat. Namun, pada kasus ini sel-sel tumor yang menyusun massa tumor tidak imunoreaktif terhadap pewarnaan imunohistokimia GFAP. Hal ini menunjukkan bahwa massa tumor pada ruang abdominal tersebut bukan berasal dari sel-sel selubung saraf. 4.3.5. Pewarnaan Imunohistokimia Proliferating Cell Nuclear Antigen (PCNA) Proliferating Cell Nuclear Antigen (PCNA) merupakan salah satu pewarnaan imunohistokimia untuk mengidentifikasi proliferasi sel (Cooper & Valentine 2002). Berbeda dengan pewarnaan imunohistokimia lainnya, pada PCNA yang terwarnai bukanlah sitoplasma sel tetapi inti sel. Hasil positif pewarnaan GFAP dicirikan dengan inti sel yang berwarna cokelat. Inti sel yang sedang berproliferasi
akan menunjukkan hasil positif
pada pewarnaan
imunohistokimia PCNA. Hasil pewarnaan PCNA pada sampel jaringan tumor menunjukkan hasil negatif (Gambar 2D). Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel tumor sedang tidak melakukan proliferasi sel. Hasil yang ditunjukkan pada pewarnaan PCNA juga berbanding lurus dengan pengamatan terhadap indeks mitotik sel tumor. Pada kasus ini ditemukan bahwa indeks mitotik sel tumor bernilai kurang dari 3 dengan
21
perbesaran objektif 40x. Menurut Handharyani et al. (1999) indeks mitotik kurang dari 3 pada perbesaran objektif 40x menunjukkan bahwa tumor adalah tumor jinak. Pada tumor jinak diketahui bahwa proliferasi sel rendah. 4.4. Gambaran Histopatologi dengan Pewarnaan Hematoksilin Eosin Terhadap Beberapa Sampel Organ Gambaran histopatologi beberapa sampel organ disajikan pada tabel 5. Organ tersebut berupa paru-paru, hati, ginjal, limpa, dan pankreas. Tabel 5 Gambaran histopatologi beberapa organ dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin Sampel jaringan Paru-paru
Hati
Ginjal
Limpa
Pankreas
Gambaran histopatologi Interstisium mengalami penebalan Di daerah interstisium terdapat infiltrasi sel radang makrofag dan limfosit Epitel bronchiolus tersier mengalami proliferasi/hiperplasia sel goblet yang ditandai dengan banyaknya sel berbentuk gelembung/bulat Pada lumen bronchiolus ditemukan eritrosit dan eksudat yang menunjukkan adanya kongesti dan peradangan akut Ditemukan pula endapan amiloid di daerah interstisium (amiloidosis) Pada nodul dengan garis tengah 1.5 cm, jumlah alveol berkurang dan ukuran alveol mengecil Di daerah interstisial ditemukan sel epitel kubus sebaris dengan inti bulat (bentuk kelenjar) dalam jumlah besar yang diduga merupakan tumor adenokarsinoma karena sel-sel ini menunjukkan ketidakseragaman Pada paru-paru dapat ditemukan kongesti dan hemoragi Terdapat akumulasi pigmen karbon (antrakosis) pada paru-paru Ruang sinusoid hati mengalami pelebaran Pada ruang sinusoid hati terjadi kongesti yang dicirikan adanya akumulasi darah dalam ruang sinusoid hati Pada ruang sinusoid hati ditemukan endapan protein amiloid (amiloidosis) Pada beberapa area ditemukan sarang radang dengan infiltrasi sel radang limfosit, makrofag, dan sel plasma. Sebagian glomerulus mengalami atrofi dan kongesti. Kongesti dicirikan dengan adanya darah pada glomerulus. Terjadi degenerasi epitel tubulus Di dalam lumen tubulus ditemukan endapan protein Di daerah peritubular ditemukan edema Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dalam jumlah sedikit Terjadi pembentukan jaringan ikat Terdapat hemoragi dan endapan protein Ditemukan sel radang makrofag dan limfosit. Terjadi deplesi pulpa putih. Terdapat akumulasi lemak di antara sel-sel asinar dan pengurangan jumlah pulau Langerhans Ditemukan pula endapan protein Terjadi kongesti dicirikan dengan ditemukan adanya eritrosit
22
4.4.1. Gambaran Histopatologi Paru-Paru Gambaran histopatologi paru-paru menunjukkan bahwa masih dapat ditemukan alveol, akan tetapi terjadi emfisema pulmonum. Menurut Rao (2010) emfisema adalah udara berlebih pada alveol paru-paru yang mengakibatkan terjadinya pelebaran alveol. Emfisema terjadi karena rupturnya dinding alveol sehingga ruang alveolar saling bergabung dan membesar (Gambar 4A). Emfisema pulmonum pada hewan umumnya bersifat sekunder karena selalu terjadi setelah adanya gangguan aliran udara. Berdasarkan daerah paru-paru yang terpengaruh, emfisema diklasifikasikan menjadi emfisema alveolar dan emfisema interstitial. Emfisema alveolar dicirikan dengan distensi dan rupturnya dinding alveolar, sehingga membentuk gelembung udara dengan berbagai ukuran di parenkim paru-paru. Emfisema interstitialis terjadi saat akumulasi udara menembus dinding alveolar dan dinding bronkhioli kemudian masuk ke jaringan ikat interlobular, sehingga menyebabkan distensi dari septa interlobular (McGavin dan Zachary 2001; Rao 2010). Ditemukannya dinding alveolar yang ruptur dan membesar pada jaringan paru-paru singa secara mikroskopik menunjukkan adanya emfisema alveolar. Pada hewan, emfisema umumnya terjadi sebagai lesio sekunder akibat terhambatnya aliran udara atau sebagai lesio pada saat hewan mati. Emfisema akibat kerusakan pulmonal umumnya terjadi pada hewan yang menderita bronkopneumonia. Adanya eksudat pada bronkopenumonia menyumbat bronkus dan bronkiolus sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara udara yang masuk dan keluar dari paru-paru (McGavin dan Zachary 2001). Gambaran histopatologi dengan pewarnaan HE terhadap organ paru-paru juga menunjukkan bahwa daerah interstisium paru-paru mengalami penebalan, serta terdapat infiltrasi sel radang makrofag dan limfosit pada interstisium. Adanya infiltrasi sel radang makrofag dan limfosit dapat menunjukkan bahwa paru-paru mengalami peradangan pada interstisium atau pneumonia interstisialis. Menurut Vegad (2007) pneumonia interstisialis atau dikenal juga pneumonia lobaris adalah peradangan pada paru-paru yang dicirikan dengan penebalan septa alveol karena adanya eksudat fibrinus/sereus, dan adanya infiltrasi sel radang neutrofil atau sel radang mononuklear dan fibroblast.
23
Menurut McGavin dan Zachary (2001) kongesti yang berjalan lama juga dapat menyebabkan penebalan jaringan interstitial sehingga menimbulkan fibrosis interstitial ringan. Kongesti paru seringkali disebabkan oleh kegagalan jantung, dan bila berjalan lama akan berlanjut menjadi edema pulmonum yang terlihat dengan adanya endapan protein dalam alveolar. Epitel bronkus dan bronchiolus mengalami hiperplasia sel goblet yang ditandai dengan banyaknya sel berbentuk gelembung/bulat. Sel goblet mensekresikan eksudat mukus. Menurut Beasley et al. (2009) hiperplasia sel goblet merupakan respon dari peradangan pada bronkus (bronkitis). Pada lumen bronchiolus ditemukan eritrosit dan eksudat yang menunjukkan adanya hemoragi dan peradangan akut. Pada paru-paru juga ditemukan endapan protein amiloid di daerah interstisium. A
B
Gambar 4 Gambar histopatologi paru-paru. (A) Alveol mengalami pelebaran (emfisema) (E), terjadi penebalan lapis interstisium (I) dan akumulasi pigmen karbon (anthracosis) (An). Pewarnaan HE. Bar = 100 µm. (B) menunjukkan bahwa pada interstisial ditemukan sel epitel kubus sebaris dengan inti bulat (bentuk kelenjar) dalam jumlah besar yang diduga merupakan tumor adenokarsinoma karena sel-sel ini menunjukkan ketidakseragaman (Ad). Pewarnaan HE. Bar = 40 µm.
Pada paru-paru terdapat nodul yang memiliki garis tengah ± 1.5 cm berjumlah banyak (multinodular). Setelah dilakukan pengamatan histopatologi terhadap nodul tersebut ditemukan bahwa terjadi perubahan bentuk alveol serta terjadi pengurangan jumlah alveol. Jumlah alveol yang berkurang ini diduga disebabkan karena alveol terdesak oleh multinodular tersebut. Interstisial paruparu ditemukan sel epitel kubus sebaris dengan inti bulat (bentuk kelenjar) dalam jumlah besar yang diduga merupakan tumor adenokarsinoma karena sel-sel ini menunjukkan ketidakseragaman (Gambar 4B).
24
Menurut Price dan Wilson (2006) adenokarsinoma merupakan tumor yang memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang-kadang dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan fibrosis interstisial kronis (Price & Wilson 2006). Kemp et al. (2008) juga mengatakan bahwa lokasi adenokarsinoma adalah di perifer atau dekat dengan permukaan pleura. Lesi adenokarsinoma seringkali meluas ke pembuluh darah dan limfe di stadium dini, dan seringkali bermetastasis jauh sebelum lesi primer menyebabkan gejala (Price & Wilson 2006). Etiologi adenokarsinoma belum diketahui (Price & Wilson 2006) akan tetapi polusi udara adalah salah satu faktor yang penting. Kejadian adenokarsinoma juga berkaitan dengan aktivitas merokok (Kemp et al. 2008). Pada kasus ini kemungkinan singa terpapar polusi udara atau menjadi perokok pasif. Telah dilaporkan juga oleh Palmarini dan Fan (2001) bahwa retrovirus dapat menginduksi terjadinya adenokarsinoma pada paru-paru seekor domba. Pada jaringan interstitium paru ditemukan pigmen karbon,
yang
menunjukkan singa menderita antrakosis. Antrakosis merupakan akumulasi pigmen karbon yang masuk ke paru-paru melalui jalur inhalasi. Umumnya hewan yang menderita antrakosis hidup di lingkungan yang berpolusi. Secara mikroskopik, pigmen karbon terlihat sebagai bercak-bercak berwarna hitam yang ditemukan di dinding alveolar atau fokus hitam pada peribronkial (McGavin dan Zachary 2001). 4.4.2. Gambaran Histopatologi Hati Gambaran histopatologi jaringan hati singa menunjukkan bahwa sinusoid hati tampak meluas dan dipenuhi endapan protein yang berwarna merah dengan pewarnaan HE (Gambar 5A). Endapan protein ini adalah akumulasi amiloid pada hati atau sering disebut dengan amiloidosis. Menurut Kumar et al. (2005) endapan protein amiloid dapat bersifat sekunder akibat peradangan yang kronis. Selain itu, ditemukan pula banyaknya eritosit memenuhi sinusoid yang menandakan hati mengalami kongesti pasif (Gambar 5B). Kongesti pada sinusoid mengakibatkan sel hepatosit tertekan sehingga atrofi, yang tampak sebagai bentuk hepatosit yang tidak beraturan (Cheville 2006).
25
A
B
Gambar 5 Gambar histopatologi hati. (A) Sinusoid hati singa tersebut tampak meluas dan dipenuhi endapan protein amiloid (amiloidosis) yang berwarna merah (A). Pewarnaan HE. (B) Ditemukan banyaknya eritosit memenuhi sinusoid yang menandakan hati mengalami kongesti pasif (K). Terjadi hemoragi dicirikan dengan eritrosit yang difagosit oleh sel Kuppfer yang berwarna kuning (hemosiderofag) (H). Ditemukan juga sarang radang (SRd) pada hati yang menunjukkan hati mengalami hepatitis. Pewarnaan HE. Bar = 40µm.
Kongesti pada sinusoid mengakibatkan sel hepatosit tertekan sehingga atrofi, yang tampak sebagai bentuk hepatosit yang tidak beraturan. Degenerasi hidropis pada hepatosit ditandai dengan adanya kekeruhan pada sitoplasma, sedangkan degenerasi lemak ditandai dengan adanya rongga yang kecil dan jernih. Pada kedua jenis degenerasi tersebut dapat diamati inti masih terlihat baik. Degenerasi lemak hati terjadi akibat kondisi hipoksemia sehingga sel kekurangan oksigen. Proses degenerasi lemak terjadi akibat terhambatnya kerja enzim pada retikulum endoplasmik yang berfungsi sebagai katalisator oksidasi asam lemak sehingga mendukung sintesis dan akumulasi trigliserida. Pada hipoksemia hati, daerah yang lebih dulu terpengaruh dan mengalami degenerasi lemak adalah zona sentrilobular yaitu zona yang terdekat dengan vena sentralis (Cheville 2006). Degenerasi hidropis hepatosit dapat disebabkan oleh hipoksia, berbagai toksin, tumor, dan akumulasi pigmen empedu. Sel hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis tampak membesar dengan sitoplasma yang berongga dan inti sel yang terdorong ke tepi (Jubb et al. 2007). Mekanisme terjadinya degenerasi hidropis umumnya melibatkan kerusakan pada membran sel, kegagalan sel untuk menghasilkan energi, atau gangguan enzim yang mengatur pompa ion NatriumKalium pada membran sel. Hipoksia pada sel mengakibatkan berkurangnya produksi energi atau Adenosin Trifosfat (ATP) sehingga homeostatis sel terganggu. Pada keadaan ini, sodium dan air masuk ke dalam sel akibat kerusakan
26
pompa ion pada membran sel dan menyebabkan tekanan osmotik meningkat sehingga sel membesar. Sisterna dari retikulum endoplasmik membesar, ruptur, kemudian membentuk vakuola-vakuola yang akhirnya sel mengalami degenerasi hidropis (McGavin dan Zachary 2001). Nekrosa hepatosit dicirikan oleh sitoplasma hepatosit yang berwarna lebih gelap dan inti sel yang piknosis hingga lisis. Menurut McGavin dan Zachary (2001), nekrosa hepatosit dicirikan dengan sitoplasma yang membesar, organel sel hancur, serta robeknya membran plasma. Nekrosis pada sel hepatosit biasanya diikuti dengan reaksi fibrosis jika peradangan bersifat kronis. Respon hati lainnya terhadap peradangan adalah regenerasi dan hiperplasia buluh empedu. Nekrosa hepatosit yang terjadi pada jaringan hati singa ini membentuk nekrosa pola sentrilobular. Menurut Jubb et al. (2007), degenerasi maupun nekrosa hati dapat membentuk pola nekrosis periasinar atau sentrilobular, midzonal, periportal, parasentral, maupun nekrosa yang difus. Pada pola nekrosis sentrilobular, sebagian besar nekrosis terjadi pada hepatosit yang berada di zona sentrilobular yaitu zona yang mengelilingi vena sentralis. Zona sentrilobular merupakan daerah yang terjauh dari arteri maupun vena portal, sehingga merupakan zona terakhir yang mendapatkan oksigen dan nutrisi sehingga hepatosit rentan terhadap hipoksia. Nekrosa sentrilobular umumnya disebabkan oleh gangguan jantung yang menyebabkan kongesti pasif. Kongesti terlihat dari adanya akumulasi eritrosit baik pada vena sentralis, venula maupun sinusoid. Kongesti pasif yang berlangsung lama menyebabkan hepatosit mengalami degenerasi lemak dan sinusoid meluas berisi eritrosit yang dikenal dengan hati biji pala (Carlton et al. 2001). 4.4.3. Gambaran Histopatologi Ginjal Gambaran histopatologi pada jaringan ginjal singa menunjukkan adanya perubahan baik pada parenkim maupun interstitium. Selain itu, ditemukan pula beberapa glomerulus yang mengalami degenerasi dan nekrosis (Gambar 6A), yang terlihat dari inti kapiler yang piknotis. Di banyak lapang pandang ditemukan tubulus yang mengalami degenerasi hidropis hingga nekrosis (Gambar 6B). Nekrosis tubulus ditunjukkan dengan epitel sitoplasma yang berwarna eosinofilik dan inti yang piknosis. Pada tubulus yang mengalami nekrosis, terlihat epitel
27
tubulus terlepas dari membran basal. Pada daerah interstisium tubulus ginjal juga ditemukan infiltrasi sel radang, pembetukan jaringan ikat fibrosis, serta endapan protein amiloid (Gambar 6B). Infiltrasi sel radang ini menunjukkan terjadinya proses peradangan. Selain itu, ditemukan pula kongesti pada glomerulus (Gambar 6A) dan edema peritubular (Gambar 6B). Kongesti dan edema menunjukkan terjadinya proses peradangan.
A
B
Gambar 6 Gambar histopatologi ginjal. (A) Terdapat glomerulus yang mengalami atrofi (At) serta kongesti yang dicirikan dengan akumulasi darah pada glomerulus. Pewarnaan HE. (B) menunjukkan terdapat edema peritubular (Ed), serta endapan protein (P). Tubulus ginjal mengalami degenerasi (D). Pewarnaan HE. Bar = 40 µm.
Degenerasi hidropis pada epitel tubulus ginjal merupakan bentuk lanjut dari pembengkakan sel secara akut akibat cairan yang masuk ke dalam sitoplasma (Cheville 2006). Perubahan lain pada tubulus singa adalah adanya endapan protein
di
lumennya, namun hanya ditemukan pada beberapa tubulus saja.
Endapan protein menunjukkan adanya gangguan reabsorpsi protein oleh tubulus. Kerusakan epitel tubulus dapat berasal dari infeksi yang terbawa sirkulasi darah, infeksi ascending, toksin, dan iskemia (McGavin dan Zachary 2001). 4.4.4. Gambaran Histopatologi Limpa Limpa merupakan salah satu organ pertahanan tubuh hewan (Rao 2010). Gambaran histopatologi organ limpa menunjukkan adanya deplesi pada pulpa putih, yang terlihat dari renggangnya daerah pulpa putih sehingga terbentuk ruang-ruang kosong. Bagian pulpa merah terlihat mengalami kongesti yang ditandai dengan akumulasi eritrosit serta ditemukan infiltrasi sel radang limfosit, makrofag, dan neutrofil. Hal ini menandakan limpa mengalami peradangan atau splenitis. Akumulasi makrofag dan limfosit menunjukkan limpa mengalami
28
peradangan kronis. Akumulasi eritrosit pada pulpa merah menunjukkan adanya kongesti kronis di limpa yang dapat terjadi akibat gangguan sirkulasi. Deplesi pulpa putih pada limpa singa menunjukkan kondisi imunosupresi yaitu terjadinya pengurangan pembentukan sel-sel pertahanan (Jubb et al. 2007). Menurut McGavin dan Zachary (2001) peradangan pada limpa atau splenitis dapat terjadi akibat kondisi septikemia atau bakteriemia dimana bakteri yang masuk ke pulpa merah limpa akan difagosit oleh makrofag. Selain itu, pada organ limpa juga ditemukan endapan protein amiloid. Menurut Rao (2010) endapan protein amiloid pada limpa sebagai bagian dari amiloidosis sistemik. 4.4.5. Gambaran Histopatologi Pankreas Gambaran histopatologi organ pankreas menunjukkan adanya infiltrasi jaringan lemak dan endapan protein amiloid pada pankreas. Infiltrasi jaringan lemak di antara kelenjar eksokrin dan endokrin pada pankreas (pancreatic steatosis/pancreatic lipidosis) menyebabkan nekrosa sel-sel asinar. Menurut Kumar et al. (2007) infiltrasi jaringan lemak pada pankreas dapat terjadi karena toksin serta metaboliknya berefek pada sel asinar sehingga terjadi akumulasi lipid, hilangnya sel asinar, dan seringkali terjadi fibrosis pada parenkim pankreas.
Gambar 7
Gambar histopatologi limpa (kiri) dan pankreas (kanan). Pulpa putih limpa mengalami deplesi pulpa putih. Gambaran HP pankreas singa menunjukkan adanya akumulasi lemak (L) pada pankreas. Pewarnaan HE. Bar = 100 µm.
Singa mengalami amiloidosis sistemik, yakni terdapat endapan protein amiloid yang terlihat sebagai massa homogenous yang berwarna glossy pink ditemukan pada paru-paru, hati, ginjal, limpa dan pankreas. Amiloidosis sistemik sering terjadi pada individu berusia tua. Amiloidosis pada individu tua disebut sebagai senile systemic amyloidosis (Kumar et al. 2005).