BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN
4.1
Sejarah Hubungan Insentif Pajak dan Investasi Indonesia Sejak jaman penjajahan, Indonesia sudah mengenal istilah investasi. Kegiatan
investasi pada masa itu menggunakan pendekatan dengan cara penjajahan, yang dilakukan secara sepihak. Berbeda dengan masa sekarang dimana investasi dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak negara. Investasi di Indonesia pertama kali dikenalkan melalui masuknya modal asing Eropa dimana pada saat itu Indonesia sedang dijajah oleh Belanda. Belanda mengijinkan investor dari Eropa yang memiliki hubungan dengan pemerintah Belanda untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sampai tahun 1900 invetasi dari Eropa terus menerus masuk ke Indonesia, bahkan investasi dari Inggris dan Amerika mulai berdatangan dan perekonomian Indonesia pun semakin berkembang. Namun sejak dimulainya penjajahan Jepang, pada tahun 19421945, investasi di Indonesia terhenti. Terjadi penurunan aset yang signifikan. Perekonomian Indonesia mulai rapuh karena teknologi industri dan sumber daya manusia dikirim keluar Indonesia serta adanya pelarangan impor. Pada era kemerdekaan yakni tahun 1945, Indonesia mulai melakukan penataan kembali iklim investasi. Akan tetapi hingga tahun 1949 kegiatan investasi di Indonesia tetap stagnan. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) dengan tujuan untuk melaksanakan pembangunan dan perekonomian dengan harapan mulai adanya lagi kegiatan investasi di Indonesia. Menurut Budhivaja (2012:33) dalam
64
buku Pokok-Pokok Hukum Investasi, yang dikutip dari Glass Burner dalam Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik, LP3ES (1991:25) dijelaskan tujuan adanya RUP adalah: “rencana tersebut sebagai usaha yang bercorak nasionalistik, untuk mengurangi ketergantungan bangsa terhadap ekonomi asing. Disamping itu, Yahya Muhaimin sendiri juga berpendapat bahwa RUP tersebut merupakan program yang menginginkan pendekatan secara pragmatis, dan bertujuan ganda ialah untuk meningkatkan industri kecil dan para pengusaha pribumi”. Namun niat baik tersebut mendapat pertentangan dari berbagai pihak. Pada tahun 1953, pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (RUU PMA) untuk menarik penanam modal asing masuk ke Indonesia untuk bidang usaha tertentu. Sampai pada tahun 1958 RUU PMA disetujui oleh parlemen menjadi UndangUndang No.78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing. Akan tetapi UU PMA tersebut tidak efektif lagi karena pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi secara sepihak kepada perusahaan-perusahaan Belanda, Malaysia, Inggris, dan Amerika. Pada akhirnya perekonomian
Indonesia mengalami stagnansi kembali
dikarenakan investor lokal belum mampu menjalankan industrinya sendiri dan mengakibatkan tidak adanya penanam modal asing yang mau menanamkan modalnya di Indonesia. Untuk kembali menarik penanam modal asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia, pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan setahun kemudian diterbitkan juga UndangUndang No.6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Selain memberikan rangsangan berupa undang-undang, pemerintah juga memberikan fasilitas keringanan pajak. Fasilitas tersebut tertuang dalam Pasal 15 dan Pasal 16 UU No.1 Tahun 1967.
65
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pemerintah mengatur tentang pembebasan pajak perseroan dan keringanan pajak perseroan yang diberikan kepada penanam modal asing. Undang-undang tersebut kemudian disempurnakan dengan UU No.11 Tahun 1970 tentang PMA dan UU No.12 Tahun 1970 tentang PMN. Namun kebijakan tersebut gagal karena tidak dapat mencapai target pemeerintah. Melalui UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang berlaku 1 Januari 1984, ketentuan mengenai Tax Holiday dan Tax Allowance tersebut dicabut. Penyebab kegagalan kebijakan tersebut adalah karena buruknya infrastruktur, birokrasi, dan faktor lainnya. Pada era tersebut, infrastruktur Indonesia masih jauh dari yang diharapkan sehingga sekalipun pemerintah memberikan fasilitas keringanan pajak investasi, investor tetap tidak akan tertarik menanamkan modalnya. Menurut Fadilla Indi Chairani (2012:77) menjelaskan terjadinya kegagalan tersebut karena: “Pertama, memang pada periode tersebut sebenarnya Tax Holiday belum terlalu diperlukan dikarenakan kondisi perekomian negara yang belum “menuntut” untuk menggunakannya dan karena pangsa pasar negara yang belum terlalu potensial dengan penduduk yang belum banyak. Kedua, pelaksanaan Tax Holiday itu sendiri pelaksanaannya kenyataannya tidak efektif. Hal ini diduga karena perkembangan situasi dan kondisi sosial, ekonomi, politik, yang tidak mendukung keberhasilan pelaksanaaan kebijakan ini. Kondisi keamanan dan kestabilan politik dalam negeri Indonesia merupakan faktor utama yang dipertimbangkan oleh investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia”. Kini Indonesia mengeluarkan kembali kebijakan Tax Holiday dan Tax Allowance melalui Pasal 18 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
66
Pemerintah berharap dengan dikeluarkannya kebijakan insentif pajak investasi tersebut, iklim investasi di Indonesia akan semakin baik dan semakin menarik dimata investor, sehingga para investor, khususnya investor asing, mau menanamkan modalnya di Indonesia.
Pasal 18 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah dapat memberikan fasilitas berupa pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan (Tax Holiday dan Tax Allowance) dalam jumlah dan waktu tertentu kepada penanaman modal baru dengan syarat sebagai berikut: FASILITAS PENANAMAN MODAL Pasal 18 (1)
Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal.
(2)
Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman modal yang : a.
Melakukan peluasan usaha; atau
b.
Melakukan penanaman modal baru.
(3)
Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah yang sekurang – kurangnya memenuhi salah satu kriteria berikut ini: a.
Menyerap tenaga kerja;
b.
Termasuk skala prioritas tinggi;
c.
Termasuk pembangunan infrastruktur;
d.
Melakukan alih teknologi;
67
e.
Melakukan industri pionir;
f.
Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu;
g.
Menjaga kelestarian lingkungan hidup;
h.
Melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
i.
Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menegah atau koperasi; atau
j.
Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri.
(4)
Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat berupa: a. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu; b. Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; c. Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu; d. Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau perlatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; e. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
68
(5) Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, member nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. (6)
Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung yang melakukan penggantian mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan fasilitas berupa keringanan atau pembebasan bea masuk.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
4.2
Insentif Pajak Penghasilan Untuk Kegiatan Penanaman Modal di Indonesia
4.2.1
Tax Holiday Untuk Industri Pionir Menurut Direktorat Jenderal Pajak dalam bukunya yang berjudul Fasilitas dan
Insentif Pajak Penghasilan Indonesia (2012:1): Yang berhak mendapatkan Tax Holiday adalah: Wajib Pajak (WP) badan baru atau yang berdiri paling lama 12 bulan sebelum 15 Agustus 2011, dengan syarat: 1. Merupakan industri pionir, yaitu industri logam dasar, pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam, permesinan, sumber daya terbarukan, dan/atau peralatan komunikasi; 2. Investasi minimal Rp 1 Triliun;
69
3. Menempatkan dana di perbankan Indonesia minimal 10% dari total rencana investasi. Dengan mempertimbangkan kepentingan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas untuk industri pionir lainnya.
Bentuk fasilitas pajak (insentif pajak) yang diterima: 1. Pembebasan PPh Badan (Tax Holiday) 5 s.d 10 tahun, sejak dimulainya produksi komersial. 2. Pengurangan PPh Badan 50% selama 2 tahun setelah periode Tax Holiday. 3. Dengan mempertimbangkan kepentingan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas dengan jangka waktu lebih panjang.
Prosedur untuk mendapatkan Tax Holiday: 1. Permohonan Wajib Pajak kepada Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk dilakukan penelitian mengenai: a. Ketersediaan infrastruktur di lokasi investasi; b. Penyerapan tenaga kerja domestik; c. Pemenuhan kriteria industri pionir; d. Rencana tahapan alih teknologi; e. Ketentuan Tax Sparing di negara domisili.
70
2. Berdasarkan penelitian tersebut, permohonan Wajib Pajak akan diteruskan kepada Menteri Keuangan. 3. Apabila disetujui, Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas akan diterbitkan.
Kewajiban Wajib Pajak yang telah disetujui permohonannya: Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan berkala kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Komite Verifikasi mengenai: 1. Penggunaan dana triwulanan dilampiri Rekening Koran; dan 2. Realisasi penanaman modal triwulanan (tidak wajib audit) dan laporan tahunan yang diaudit. Waktu pemanfaatan Tax Holiday: 1. Seluruh penanaman modal telah direalisasikan; dan 2. Telah berproduksi secara komersial (SMB).
Untuk penetapan Saat Mulai Berproduksi (SMB), Wajib Pajak mengajukan permohonan ke Dirjen Pajak, dengan melampirkan: a. Fotokopi akta pendirian; b. Fotokopi keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas Tax Holiday; c. Laporan keuangan 3 tahun terakhir yang telah diaudit; d. Surat kuasa khusus dalam hal permohonan disampaikan oleh kuasa Wajib Pajak; dan
71
e. Dokumen terkait transaksi penjualan hasil produksi minimal terdiri dari faktur penjualan, faktur pajak, dan bukti pengiriman barang.
Berdasarkan UU No.25 Tahun 2007 dan PP No. 94 Tahun 2010 maka pemerintah mengatur kebijakan Tax Holiday dalam PMK No.130 Tahun 2011 Tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, sebagai berikut:
Pasal 2 (1) Kepada Wajib Pajak badan dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) UndangUndang Penanaman Modal dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. (2) Pembebasan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Tahun Pajak dan paling singkat 5 (lima) Tahun Pajak, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya produksi komersial. (3) Setelah berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan terutang selama 2 (dua) Tahun Pajak. (4) Dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat
72
memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dengan jangka waktu melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 3 (1) Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah Wajib Pajak badan baru yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. merupakan Industri Pionir; b. mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan
dari
instansi yang
berwenang
paling
sedikit
sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); c. menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal sebagaimana dimaksud pada huruf b, dan tidak boleh ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan d. harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sebelum Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku atau pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini. (2) Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:
a. Industri logam dasar;
73
b. Industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam; c. Industri permesinan; d. Industri di bidang sumberdaya terbarukan; dan/atau e. Industri peralatan komunikasi.
Gambar 4.1 Skema Perumusan Peraturan Tax Holiday
Sumber: DJP
74
4.2.2
Investment Allowance untuk Penanaman Modal Bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah Tertentu Menurut Direktorat Jenderal Pajak dalam bukunya yang berjudul Fasilitas dan Insentif Pajak Penghasilan Indonesia (2012:5): Yang berhak mendapatkan Tax Allowance: 1. Wajib Pajak Badan berbentuk PT atau Koperasi yang melakukan penanaman modal pada: a. 52 bidang usaha pada lampiran 1 atau; b. 77 bidang usaha di daerah tertentu pada lampiran 2 dalam PP No. 52 tahun 2011. 2. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud di atas termasuk Wajib Pajak yang telah memiliki izin penanaman modal sebelum berlakunya PP No. 52 tahun 2011, dengan syarat: a. Rencana penanaman modal minimal Rp 1 Triliun; dan b. Belum beroperasi secara komersial pada saat PP No. 52 tahun 2011 berlaku.
Prosedur untuk mendapatkan Tax Allowance: 1. Permohonan Wajib Pajak harus disampaikan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), untuk kemudian diusulkan kepada Menteri Keuangan melalui Dirjen Pajak dengan melampirkan: a. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); b. Izin prinsip penanaman modal baru atau perluasan, termasuk rinciannya.
75
2. Usulan yang diterima oleh Dirjen Pajak akan diteliti untuk kemudian diterbitkan keputusan mengenai pemberian/penolakan dalam waktu selambatnya 10 hari kerja setelah usulan diterima.
Waktu pemanfaatan Tax Allowance: Fasilitas dapat dimanfaatkan setelah Wajib Pajak merealisasikan rencana penanaman modal minimal 80% kecuali bagi Wajib Pajak yang telah mendapat fasilitas berdasarkan PP No.1 tahun 2007 atau PP No.62 tahun 2008.
Bedasarkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, maka pemerintah mengeluarkan PP No. 1 Tahun 2007, sebagaimana yang telah diubah dengan PP No. 62 Tahun 2008 kemudian diubah lagi dengan PP No. 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang – Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah – Daerah Tertentu (Tax Allowance) sebagai berikut:
Pasal 2 (1) Kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi yang melakukan penanaman modal pada: a. bidang bidang usaha tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah ini; atau b. bidang bidang usaha tertentu dan daerah – daerah tertentu sebagaimana ditetapkan dalam lampiran II Peraturan Pemerintah ini, dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
76
(2) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing – masing sebesar 5% (lima persen) per tahun; b. penyusutan dan amortisasi dipercepat, sebagai berikut: Kelompok Aktiva Tetap Berwujud
Masa Manfaat Menjadi
Tarif Penyusutan dan Amortisasi Berdasarkan Metode Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan: Kelompok I
2 tahun
50 %
Kelompok II Kelompok III Kelompok IV II. Bangunan: Permanen Tidak Permanen
4 tahun 6 tahun 8 tahun
25 % 12,5 % 10 %
100 % (dibebankan sekaligus) 50 % 25 % 20 %
10 tahun 5 tahun
10 % 20 %
-
c. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan d. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun dengan ketentuan : 1) tambahan 1 tahun
: apabila penanaman modal baru pada bidang usaha yang diatur pada ayat (1) huruf a dilakukan di kawasan industri dan kawasan berikat;
2) tambahan 1 tahun
: apabila memperkerjakan sekurang – kurangnya 500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut – turut; 77
3) tambahan 1 tahun
:
apabila
penanaman
modal
baru
memerlukan
investasi/pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); 4) tambahan 1 tahun
:
apabila
mengeluarkan
pengembangan
di
dalam
biaya
penelitian
negeri
dalam
dan
rangka
pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau 5) tambahan 1 tahun
: apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahunu ke 4 (empat).
(2a) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan setelah Wajib Pajak merealisasikan rencana penanaman modal paling sedikit 80% (delapan puluh persen). (3)
Menteri Keuangan menerbitkan keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan setelah mempertimbangkan usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
78
Gambar 4.2 Skema Perumusan Peraturan Tax Allowance
Sumber: DJP
79
4.3
Peran
Tax
Holiday
dan
Tax
Allowance
Dalam
Mempengaruhi
Perkembangan Iklim Investasi di Indonesia Investasi adalah motor penggerak bagi pertumbuhan perekonomian. Dinamika investasi mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, hal ini mencerminkan marak lesunya pembangunan. Dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap negara senantiasa berusaha menciptakan iklim yang dapatkan menggairahkan investasi. Investasi dalam bentuk penciptaan nilai tambah ekonomi akan mendorong pembukaan dan perluasan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan pada gilirannya akan menstimulus konsumsi masyarakat dan kemudian memperdalam pasar domestik. Karena itulah komponen investasi seringkali dijadikan patokan dalam menilai kualitas pertumbuhan ekonomi. Iklim investasi Indonesia sangat baik pada masa penjajahan. Saat itu arus investasi dari dalam dan luar negeri sangat kuat sekali. Penggairahan iklim investasi pun dilakukan dengan dikeluarkannya UU. No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Penggairahan iklim investasi tidak berhenti dalam setahun, tetapi terus berlanjut. Setelah mengalami keterpurukan, Indonesia sempat mengalami kebangkitan investasi pada tahun 1986-1993. Deregulasi investasi yang dilakukan pada saat itu memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada saat itu, Muhammad Lutfi mengungkapkan realisasi investasi Indonesia pada saat itu mencapai 37 Miliar Dollar Amerika Serikat. Angka itu mengalahkan angka investasi China yang saat itu nilainya sekitar 32 Miliar Dollar Amerika Serikat. Akan tetapi, adanya krisis ekonomi pada tahun 1997 mengakibatkan
80
iklim investasi Indonesia kembali mengalami keterpurukan. Setelahnya, nilai investasi Indonesia mengalami naik turun sampai menjelang kemunculan kebijakan insentif pajak pada tahun 2006 dan 2007.
Tabel 4.1. Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA) & Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Indonesia (Setelah Berlakunya UU No. 25 Tahun 2007) PMA
PMDN
Nilai Investasi US$. Ribu
Nilai Investasi Rp. Juta
2007
10.180.599,8
38.023.210,0
2008
14.572.414,6
23.548.961,2
2009
10.117.963,2
45.751.191,7
2010
16.214.772,3
60.626.307,9
2011
19.474.531,5
76.000.694,3
2012
24.600.000,0
92.200.000,0
Tahun
Sumber : BKPM
Pada tahun 2007, pemerintah mengeluarkan kembali paket kebijakan ekonomi yang tertuang dalam Instruksi Presiden No.6 Tahun 2007 tentang Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dimana paket kebijakan ini lebih berfokus pada percepatan realisasi investasi, dan pemerintah juga mengeluarkan UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan PP No.1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu (kebijakan tersebut dikenal dengan sebutan Tax Allowance), serta PMK No.16/PMK.03/2007 tentang
81
Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu. Untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam hal Tax Allowance maka DJP mengeluarkan Peraturan DJP yaitu PER-67/PJ/2007 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu. Payung hukum untuk kebijakan dalam bidang investasi dan insentif pajak investasi tersebut sudah sangat dinanti-nantikan oleh para investor, karena diyakini dapat memberikan kemudahaan birokrasi dalam hal investasi. Dengan diterbitkannya payung hukum tersebut sudah seharusnya terjadi peningkatan investasi. Terbukti, di tahun 2008 nilai investasi Indonesia meningkat. Seperti yang dilansir Medan Talk, hal tersebut dikatakan oleh Kepala BKPM Muhammad Luthfi ketika ditemui di Gedung DPD Senayan (12/1/2009) bahwa tahun 2008 investasi asing di Indonesia kira-kira tumbuh 15,5% dibanding tahun 2007, dengan pertumbuhan sebesar 15,5% tersebut maka pada tahun 2008 nilai investasi Indonesia tertinggi di kawasan Asia tenggara. Nilai investasi Indonesia di tahun 2008 diangka US$ 17 Miliar, sedangkan Singapura hanya US$ 12 Miliar. Pendiri Certified Wealth Managers Association (CWMA) Maikel Sajang Bati mengatakan, meskipun tengah terjadi krisis ekonomi global yang melanda dunia pada 2008, namun iklim investasi di Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Di tahun 2008 pemerintah memperbaharui UU tentang Pajak Penghasilan dengan UU No.36, dan PP tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu (Tax Allowance) dengan PP No.62. Dalam UU Pajak Penghasilan tersebut, dijelaskan salah
82
satu arah dan tujuan penyempurnaan UU Pajak Penghasilan adalah untuk lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. Dan perubahaan PP Tax Allowance adalah dalam rangka lebih meningkatkan kegiatan investasi langsung guna mendorong pertumbuhan ekonomi, serta pemerataan pembangunan dan percepatan pembangunan. Akan tetapi penyempurnaan kedua peraturan tersebut tidak memberikan dampak peningkatan investasi asing di tahun 2009, karena adanya krisis finansial global di tahun tersebut. Nilai investasi Indonesia tahun 2009 mengalami penurunan 12,3% dibanding tahun 2008. Direktur Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM, Widyati dalam workshop bertema “Membangun Komitmen Peningkatan Investasi Berbasis Sumber Daya Lokal” di Riau menyatakan, jika dihitung berdasarkan presentasi maka untuk PMDN naik 85,7% sedangkan PMA turun 27,2% dibanding tahun sebelumnya. Penyempurnaan UU Pajak Penghasilan dan PP Tax Allowance yang baru telah memberikan kepastian iklim insentif pajak investasi bagi pengusaha lokal, sehingga diduga mengakibatkan naiknya nilai PMDN di tahun 2009. Di tahun 2009 BKPM meluncurkan Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dalam Keputusan Presiden No.27 Tahun 2009. Program ini bertujuan memotong kerumitan birokrasi sehingga dapat mempercepat proses perizinan usaha bagi para investor. Berkat adanya PTSP tersebut, realisasi investasi Indonesia di tahun 2010 naik hingga 54,2% dibanding tahun sebelumnya.
83
Perbaikan iklim kebijakan insentif pajak investasi terus dilakukan pemerintah. Di tahun 2010, pemerintah menerbitkan kebijakan PP No.94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, di dalamnya terdapat Pasal yang mengatur fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam rangka penanaman modal, yaitu Pasal 29 dan Pasal 30. Kebijakan ini menjadi dasar bagi penerbitan kebijakan Tax Holiday di tahun 2011. Keberhasilan PTSP dan penerbitan kebijakan yang menjadi dasar akan diberlakukannya Tax Holiday di tahun 2011, mampu membawa realisasi investasi meningkat sebesar 20,5% dibanding tahun 2010. Di tahun 2011 pemerintah memberikan kepastian hukum untuk kebijakan insentif pajak berupa Tax Holiday bagi para investor. Kebijakan tersebut tertuang dalam PMK
No.130/PMK.011/2011
tentang
Pemberian
Fasilitas
Pembebasan
atau
Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Untuk mendukung kebijakan pemerintah tersebut, maka DJP pun mengeluarkan PER-44/PJ/2011 tentang Tata Cara Pelaporan Penggunaan Dana dan Realisasi Penanaman Modal Bagi Wajib Pajak Yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, dan PER-45/PJ/2011 tentang Tata Cara Penetapan Saat Dimulainya Berproduksi Secara Komersial Bagi Wajib Pajak Badan Yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Ditahun yang sama pemerintah juga menyempurnakan kembali kebijakan Tax Allowance dengan menerbitkan PP No.52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di BidangBidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu. Hal tersebut membawa Indonesia kepada puncak kesuksesan investasi sepanjang sejarah di tahun 2012.
84
Investasi Indonesia tahun 2012 mencapai rekor tertinggi yakni 110,5% dari target yang direncanakan. Ini artinya terjadi peningkatan sebesar 24,6% dibandingkan dengan tahun 2011. Baik PMA maupun PMDN, sama-sama menunjukan pencapaian yang menggembirakan.
Iklim investasi Indonesia saat ini menunjukan trend positif yang cukup solid, bahkan di saat perekonomian global mengalami perlambatan, investasi mampu menjadi komponen utama penopang pertumbuhan ekonomi. Perkembangan positif tersebut tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, perlu kerja keras dan waktu yang cukup lama untuk dapat menciptaan iklim investasi yang lebih baik. Iklim investasi yang baik memerlukan peran serta kepastian hukum dari pemerintah, melalui peraturan perundangan berupa insentif fiskal dan non fiskal. Insentif non fiskal dilakukan dalam bentuk
pemberian
kemudahaan
pelayanan
investasi,
khususnya
dalam
hal
penyederhanaan birokrasi. Sedangkan insentif fiskal dilakukan dalam bentuk pemberian Tax Holiday dan Tax Allowance, dengan tujuan meningkatkan kuantitas investasi, dan juga kualitas investasi dalam bentuk mengarahkan investasi pada sektor-sektor potensial yang dipandang strategis bagi penguatan struktur industri nasional. Dapat dilihat bahwa perbaikan iklim kebijakan insentif pajak investasi dari waktu ke waktu mampu memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi perkembangan iklim investasi Indonesia kearah yang lebih baik. Walaupun pada awalnya kebijakan insentif pajak investasi ini memberikan hasil yang mengecewakan, namun pada akhirnya dapat memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Terutama sejak dikeluarkannya kebijakan Tax holiday, Indonesia mampu mencapai kesuksesan
85
nilai investasi tertinggi sepanjang sejarah. Sekretariat Kabinet RI, dalam situs resminya menyatakan bahwa kebijakan insentif pajak bagi penanam modal merupakan salah satu dari lima besar faktor yang menyebabkan investasi pada tahun 2012 mencapai nilai tertinggi sepanjang sejarah. Melirik pada batalnya dua investasi asing di Batam, yakni investasi lensa kontak dan investasi karpet, karena tidak ada kebijakan Tax Holiday, disisi lain PT. Krakatau Posco yang sejak 2011 mengajukan permohonan Tax Holiday hingga kini belum mendapat persetujuan sehingga perusahaan tersebut beralih mengajukan permohonan Tax Allowance karena dinilai Tax Allowance mampu memberikan keuntungan yang lebih baik ketimbang Tax Holiday. Dalam acara First Heating Up Ceremony of Coke Plant di pabrik Krakatu Posco di Cilegon, Panggah mengatakan: “Kalau dapat Tax Holiday selama 10 tahun, mereka lebih memilih Tax Allowance, soalnya lebih baik tawarannya”. Kedua hal tersebut dapat menunjukan bahwa Tax Holiday merupakan komponen penting hanya bagi segelintir investor tertentu saja, sedangkan bagi sejumlah investor lainnya yang terpenting adalah adanya kebijakan pajak untuk meringankan pajak bagi penanam modal, apapun itu bentuknya, sudah dirasa cukup. Perlu diketahui bahwa hubungan insentif pajak dengan investasi tidaklah konsisten, tidak selamanya insentif pajak akan menambah investasi. Hal ini dikarenakan ada faktor selain insentif pajak yang lebih menentukan investasi. Faktor tersebut diantaranya adalah, besaran pasar domestik, tingkat upah dan produktivitas buruh, ketersediaan infrastruktur, pertumbuhan pengeluaran pemerintah, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, resiko investasi dan berbagai hal lainnya.
86
Dilihat dari tingginya investasi dalam lima tahun terakhir, menunjukan bahwa saat ini Indonesia berada pada momentum iklim investasi yang baik. Pada acara Indonesia Investment Forum (IIF) 2013 yang diselenggarakan Investor Daily bulan Mei lalu di Singapore, Bambang Permadi Brodjonegoro selaku Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan menyatakan, dengan kondisi moneter yang stabil dan fiskal yang prudent, tenaga kerja terampil yang semakin tersedia, kehidupan demokrasi yang membaik, dan kekuatan konsumsi masyarakat yang terus membesar, pertumbuhan ekonomi akan terus berkesinambungan dan Indonesia akan tetap menjadi tujuan favorit investasi dunia. Apalagi jika kita melihat ke masa depan, yakni 10-20 tahun ke depan, iklim investasi Indonesia akan berada pada posisi masa keemasan. Hal ini dikarenakan 10-20 tahun ke depan akan terjadi ledakan bonus demografi yakni penduduk berusia produktif. Lonjakan penduduk berusia produktif sangatlah penting dalam menopang dunia usaha, baik sebagai pekerja terampil maupun sebagai konsumen. Bonus demografi tersebut mulai terasa saat ini, terlihat dari tingkat konsumsi masyarakat yang terus meningkat. Ledakan bonus demografi tidak datang dalam kurun waktu yang singkat, namun dalam waktu yang sangat lama yakni hanya sekali dalam beberapa ratus tahun. Oleh karena itu Indonesia harus mempertahankan momentum iklim investasi yang baik ini dan Indonesia harus segera membenahi diri dalam berbagai hal agar Indonesia semakin aktraktif dimata investor. Negara teroris, sarang koruptor, dan miskin infrastruktur menjadi “pekerjaan rumah” yang utama yang harus segera diselesaikan Indonesia agar masa depan investasi yang gemilang dapat diraih.
87
4.4
Evaluasi Pelaksanaan Tax Holiday dan Tax Allowance di Indonesia Indonesia memang termasuk tiga negara, di luar Tiongkok dan India, yang
mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi dalam masa krisis global. Namun, tingkat pertumbuhan tersebut dinilai sangat rapuh karena hanya mengandalkan konsumsi masyarakat. Dengan mengalirnya Foreign Direct Investment (FDI) diharapkan tercipta kualitas pertumbuhan yang lebih baik. Ini mengingat multipier effect investasi dalam jangkah menegah dan panjang cukup besar, bukan hanya pada penciptaan lapangan kerja, namun juga pada ekspor, sektor finansial, dan tentunya pada penerimaan negara. Menstimulus FDI dengan memberikan insentif pajak investasi berupa Tax Holiday dan Tax Allowance sudah menjadi trend negara-negara di dunia. Indonesia pun tidak ketinggalan. Sejak dahulu hingga sekarang, kebijakan Tax Holiday dan Tax Allowance menuai pro dan kontra. Pihak yang pro memberikan penjelasan bahwa, keberadaan investor asing sangat penting bagi Indonesia karena investor asing mampu memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi investor lokal seperti dalam hal modal, teknologi, dan sebagainya, disisi lain kebijakan Tax Holiday mampu menarik investasi permanen dalam jangka waktu panjang dimana nantinya akan berdampak pada peningkatan penerimaan pajak jangka panjang pula, selain itu Tax Holiday dan Tax Allowance diharapkan mampu mendukung pertumbuhan sektor-sektor potensial yang nantinya dapat menjadi kekuatan indsutri nasional dan mampu mengembangkan daerahdaerah di luar Jawa yang masih tertinggal jauh dalam hal pembangunan dan kualitas sumber daya manusianya serta sosial dan ekonomi. Jika dibandingkan dengan investor lokal, investor asing dalam menanamkan modalnya lebih mengedepankan kualitas
88
sumber daya manusianya. Investor asing mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam negeri karena kebanyakan investor asing memberikan pendidikan dalam bentuk pelatihan kepada para pekerjanya sehingga kualitas pekerjanya meningkat. Disisi lain, pihak yang kontra menjelaskan bahwa, Indonesia dianggap masih belum perlu memberikan kebijakan Tax Holiday dan Tax Allowance karena tanpa adanya kebijakan tersebut Indonesia tetap menarik dimata investor, Tax Holiday dan Tax Allowance dapat menyebabkan berkurangnya penerimaan pajak negara dalam jangka pendek, Tax Holiday dan Tax Allowance tidak selamanya dapat meningkatkan investasi. Bahkan, pengamat ekonomi UGM Anggito Abimanyu mengatakan, pemberian tax holiday bagi industri baru tidak dibutuhkan karena fasilitas insentif perpajakan di Indonesia sudah cukup banyak bagi investor. Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu ini mencontohkan keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diterapkan pada lima wilayah dan Free Trade Zone (FTZ) pada tiga wilayah di Indonesia, sebagai fasilitas sejenis tax holiday. Meskipun menuai pro dan kontra namun pemerintah tetap pada pendiriannya. Tax Holiday dan Tax Allowance tetap dijalankan namun dengan sikap yang penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Pemerintah tidak mau Tax Holiday dan Tax Allowance justru akan menjadi bumerang bagi Indonesia, oleh karenanya Tax Holiday dan Tax Allowance diberikan secara selektif.
Dimulai pada tahun 1967 pemerintah mengeluarkan kebijakan Tax Holiday dan Tax Allowance bagi penanam modal asing, yang pada saat itu lebih dikenal dengan
89
sebutan pembebasan dan keringanan pajak perseroan. Pembebasan dan keringanan pajak perseroan tersebut berupa: 1. Pajak perseroan atas keuntungan jangka waktu tertentu yang tidak melebihi jangka waktu 5 tahun terhitung dari saat usaha tersebut mulai berproduksi; 2. Pajak devisa atas bagian laba yang dibayarkan kepada pemegang saham, selama laba tersebut diperoleh tidak melebihi jangka waktu 5 tahun; 3. Bea masuk pada waktu perusahaan barang-barang perlengkapan tetap ke dalam wilayah Indonesia; 4. Bea materai modal atau penempatan modal yang berasal dari penanaman modal asing. Hasil dari kebijakan tersebut tidak sesuai dengan target pemerintah. Kebijakan tersebut dinilai gagal karena kurang efektif sehingga dicabut pada tahun 1983. Fiskal Departement Keuangan dalam situs resminya menjelaskan kegagalan tersebut mungkin dikarenakan aliran modal asing pada masa tersebut memang sangat kecil sedangkan banyak sekali negara yang memperebutkannya. Dalam kurun waktu lima belas tahun pemberlakuan Tax Holiday, jumlah foreign direct investment (Penanaman Modal Asing) yang disetujui hanya sekitar 473 proyek atau rata-rata 28 proyek per tahun. Realisasi proyek yang disetujui hanya mencapai 75 persen, alias 355 proyek terealisasi atau 21 proyek per tahun. Memasuki tahun 2007, pemerintah memunculkan kembali fasilitas pembebasan dan keringanan pajak bagi penanam modal yang tertuang dalam Pasal 18 UU No.25/2007, PP No.1/2007, PMK No.16/2007, dan PER-67/2007. Jika dahulu fasilitas tersebut hanya diberikan kepada penanam modal asing saja, berbeda dengan sekarang di
90
mana penanam modal asing maupun penanam modal lokal dapat menikmati fasilitas tersebut.
Tabel 4.2. Rekapitulasi Persetujuan Fasilitas Tax Allowance Di Indonesia Usulan yang
Usulan yang
Usulan yang
masuk ke DJP
disetujui/diterima
Tidak disetujui
2007
184
52
132
2008
8
5
3
2009
14
10
4
2010
10
5
5
2011
34
5
29
2012
37
1
36
Tahun
Sumber: BKPM
Dari Tabel 4.3 dapat terlihat banyaknya usulan yang masuk ke DJP namun hanya sedikit yang disetujui mendapatkan Tax Allowance. Jumlah penerima Tax Allowanve boleh dikatakan tinggi pada tahun 2007 dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya, namun menurut pemerintah realisasi penerima Tax Allowance tahun 2007 masih dikatakan sepi peminat. Kemudian pada tahun 2008 pemerintah menyempurnakan PP No.1/2007 dengan PP No.62/2008, di mana pada PP terbaru tersebut diperluas jumlah bidang usaha yang mendapat insentif pajak, yang semula hanya 15 bidang usaha dan 9 bidang usaha di daerah tertentu menjadi 23 bidang usaha dan 15 bidang usaha di daerah tertentu. Namun sayang, upaya pemerintah tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, jumlah investor yang menerima Tax Allowance justru semakin sedikit. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofjan Wanandi, menuturkan bahwa
91
fasilitas yang diberikan pemerintah tidak tepat sasaran, insentif pajak yang dibutuhkan pengusaha berbeda dengan insentif pajak yang dikeluarkan pemerintah. Ekonom Universitas Indonesia, M Chatib Basri menjelaskan ada sejumlah kemungkinan yang membuat pelaku usaha tidak memanfaatkan insentif pajak yang ditawarkan pemerintah, pertama situasi ekonomi sudah membaik sehingga pelaku usaha tidak membutuhkan insentif, kemungkinan kedua adalah proyek sudah dimulai sebelum kebijakan insentif pajak tersebut diberlakukan, ketiga mungkin memang ada permasalahan lain. Menurut Kepala Kebijakan Fiskal, Bambang Brodjonegoro, perusahaan yang memanfaatkan Tax Allowance relatif kecil. Bambang juga mengakui minimnya promosi dan sosialisasi menjadi penyebab sepinya peminat insentif pajak investasi tersebut. Selain masalah promosi dan sosialisasi, Bambang menilai kalangan pengusaha kemungkinan juga tidak membutuhkan fasilitas keringanan pajak tersebut karena para pengusaha memiliki nilai dan pertimbangan sendiri apakah mau menggunakan fasilitas itu atau tidak. Melihat sepinya peminat Tax Allowance, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih menarik lagi yakni Tax Holiday. Kebijakan tersebut diatur dalam PMK130/2011 dan PER-44/2011 serta PER-45/2011. Ditahun yang sama pemerintah juga menyempurnakan peraturan Tax Allowance dengan menerbitkan PP No.52/2011 agar Tax Allowance semakin aktraktif dimata investor. Hasilnya dapat dikatakan sedikit cukup mempengaruhi minat investor, hal tersebut dapat dilihat dari Tabel 4.3 yang menunjukan adanya peningkatan permohonan Tax Allowance di tahun 2011. Namun disisi lain, dilihat dari Table 4.3, jumlah persetujuan Tax Allowance semakin tahun semakin sedikit, bahkan belum ada satu pun perusahaan yang mendapatkan Tax Holiday.
92
Tabel 4.3. Perusahaan Yang Mendapatkan Fasilitas Tax Holiday Tahun
Nama Perusahaan
Nilai Investasi
Payung Hukum
Desember
PT. Unilever Oleochemical
Rp 1,2 Triliun
KMK No. 462
2012
(anak usaha dari PT.
Tahun 2012
Unilever Indonesia Tbk.) Desember
PT. Petrokimia Butadiene
2012
(anak usaha PT. Chandra
Rp 1,3 Triliun
KMK No. 463 Tahun 2012
Asri Petrochemical) Sumber: www.bkpm.go.id Di tahun 2012 pemerintah menyempurnakan kembali peraturan Tax Allowance dengan diterbitkannya PMK-144/2012, namun tidak memberikan pengaruh yang berarti bagi peminatnya. Di akhir tahun 2012 pemerintah akhirnya menyetujui dua perusahaan yang mendapatkan Tax Holiday, dapat dilihat pada Tabel 4.4 di atas.
Tabel 4.4. Rekapitulasi Jenis Perusahaan Yang Mendapatkan Fasilitas Tax Allowance Tahun
Jenis Perusahaan PMDN
PMA
2007
24
28
2008
0
5
2009
4
6
2010
1
5
2011
0
5
2012
0
1
Sumber: BKPM
93
Tabel 4.5 menunjukan insentif pajak investasi lebih banyak diberikan kepada investor asing dibandingkan kepada investor lokal. Hal ini dirasa wajar karena investor asing memiliki sejumlah kelebihan yang tidak dapat dipenuhi oleh investor dalam negeri.. Peran investor asing mencapai 70% dari total pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan investasi di Indonesia dibandingkan dengan peran investor dalam negeri yaitu secara kumulatif mencapai 30%.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat dirasakan bahwa kebijakan Tax Holiday dan Tax Allowance belum efektif dan efesien dari sisi pengusaha maupun investor. Namun dari sisi iklim investasi, kebijakan tersebut dapat dikatakan cukup efektif dan efesien. Dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Mengapa pelaksanaan Tax Holiday dan Tax Allowance belum efektif dan efesien, dilihat dari sudut pandang kepentingan investor bahwa, belum efektif karena yang mendapatkan insentif pajak investasi masih sangat sedikit, sedangkan belum efesien karena proses untuk mendapatkan insentif pajak investasi tersebut tidak mudah karena birokrasi yang rumit. Dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Investor belum sepenuhnya memiliki minat terhadap fasilitas insentif pajak tersebut. Ada tiga alasannya, yang pertama Tax Holiday dan Tax Allowance memang bukan faktor utama bagi investor atau pengusaha untuk menanamkan modalnya. Alasan kedua adalah karena fasilitas insentif pajak tersebut mewajibkan pelaporan akuntanbilitas. Alasan ketiga adalah karena iklim ekonomi yang sudah baik sehingga investor merasa tidak memerlukan kebijakan tersebut.
94
b. Syarat yang diajukan untuk mendapatkan Tax Holiday dan Tax Allowance cukup berat. Salah satu syarat yang cukup memberatkan bagi investor lokal adalah harus menanamkan modal minimal Rp 1 Triliun, padahal kita tahu bahwa investor atau pengusaha lokal minim modal. Ini menunjukan implementasi kebijakan tersebut sulit diikuti oleh investor maupun pengusaha lokal. Dan kebijakan ini sepertinya menganaktirikan investor lokal karena syarat yang diajukan lebih sesuai untuk investor asing. c. Nilai investasi yang tinggi tidak sebanding dengan prospek bisnisnya. Contohnya di bidang usaha keramik, misalnya bahan baku keramik berlimpah di Kalimantan, disisi lain Kalimantan miskin infrastruktur maka yang terjadi adalah biaya distribusi menjadi tinggi sehingga harga keramik menjadi tinggi. Jika harga menjadi tinggi tentu kosumennya akan beralih ke pihak lain yang mampu memberikan harga yang lebih murah. Dan tidak dapat dipungkiri jika kegiatan ekspor tidak dapat berjalan karena harga yang tidak kompetitif dibandingkan negara lain yang lebih kompetitif. d. Menurut investor lokal, kebijakan Tax Holiday dan Tax Allowance tidak tepat sasaran. Kebijakan yang dibutuhkan pengusaha lokal berbeda dengan kebijakan yang diberikan pemerintah. e. Daerah tertentu yang menjadi syarat untuk mendapatkan insentif pajak investasi tidak atau kurang menarik karena adanya permasalahan infrastruktur, keamanan, dan sebagainya. f. Perusahaan telah berinvestasi jauh sebelum dikeluarkannya kebijakan tersebut.
95
g. Kurangnya promosi dan sosialisasi mengenai kebijakan tersebut. Bagaimana kebijakan tersebut dapat menarik minat investor jika promosi dan sosialisasi tidak ada?. Minimnya promosi dan sosialisasi jelas akan menyebabkan ketidaktahuan investor. Jika investor tidak tahu bahwa ada kebijakan tersebut, lalu bagaimana bisa pemerintah mengaharapkan mereka memanfaatkan kebijakan itu. h. Birokrasi pemerintah yang rumit mengakibatkan banyak pengusaha, terutama pengusaha lokal, enggan untuk mengajukan insentif pajak tersebut. 2. Mengapa pelaksanaan kebijakan Tax Holiday dan Tax Allowance cukup efektif dan efesien, dilihat dari sudut pandang perkembangan iklim investasi di Indonesia bahwa, dapat dikatakan efektif karena semakin banyak investor asing yang menunjukkan minatnya untuk menanamkan modal di Indonesia karena mereka melihat perubahaan iklim investasi yang terasa semakin baik, sedangkan dapat dikatakan cukup efesien karena kebijakan yang dapat dengan cepat menarik minat investor asing adalah Tax Holiday dan Tax Allowance. Dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kebijakan insentif pajak bagi penanam modal mampu membuat Indonesia menjadi negara yang kian aktraktif dimata investor, khususnya investor asing. Hal ini tentunya memberikan dampak positif bagi perkembangan investasi di Indonesia. Meskipun Tax Holiday dan Tax Allowance bukanlah faktor penentu utama meningkatknya investasi di Indonesia, namun perannya mampu memberikan kontribusi yang cukup baik bagi iklim investasi di Indonesia.
96
Dengan adanya kebijakan tersebut, Indonesia dipandang semakin matang dalam membentuk iklim investasi yang kondusif melalui kepastian hukum tersebut. b. Saat ini memang saat yang tepat bagi Indonesia untuk memberikan gebrakan kebijakan menarik investasi ke Indonesia melalui Tax Holiday dan Tax Allowance. Karena 10-20 tahun ke depan Indonesia akan berada pada masa keemasan akibat adanya bonus ledakan demografi penduduk berusia produktif. Penduduk berusia produktif ini tidak hanya banyak jumlahnya, namun juga memiliki daya beli yang tinggi dan rajin berkonsumsi. Hal ini akan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, di mana para pengusaha akan memanen laba besar akibat konsumsi yang tinggi. Bonus ledakan demografi ini datang sekali dalam ratusan tahun, dan sudah mulai terasa saat ini yang terlihat dari adanya peningkatan
konsumsi
masyarkat,
sehingga
Indonesia
memang
sudah
seharusnya memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan investasi. c. Sudah banyak teori yang menyatakan bahwa Tax Holiday dan Tax Allowance merupakan cara yang paling cepat untuk menarik investor asing. Seperti diketahui, sekarang ini, Tax Holiday sudah menjadi trend di berbagai negaranegara dalam rangka menarik investor asing, termasuk kawasan Asia Tenggara.
4.5
Kebijakan Untuk Mengatasi Berkurangnya Penerimaan Pajak Negara
Akibat Tax Holiday dan Tax Allowance Pendapatan negara yang selama ini didominasi sektor perpajakan, kini berpotensi berkurang dengan diberlakukannya kebijakan Tax Holiday dan Tax Allowance. Hadirnya Tax Holiday dan Tax Allowance dapat menyebabkan pajak
97
penghasilan badan berkurang dalam jangka pendek dan menengah. Hingga saat ini belum ada upaya khusus yang dilakukan pemerintah untuk menutupi berkurangnya pendapatan pajak tersebut. Namun sejak diberlakukannya Tax Holiday pada tahun 2011, pada saat yang sama pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Sensus Pajak Nasional. Memang kebijakan tersebut dibuat bukan karena adanya Tax Holiday dan Tax Allowance namun lebih kepada karena masih sedikitnya masyarakat yang membayar pajak. Dengan kegiatan tersebut diharapkan semua orang atau badan yang belum melaksanakan kewajiban membayar pajak dengan benar, dapat melaksanakannya sesuai kondisi atau potensi yang sebenarnya, sehingga pendapatan pajak negara dapat meningkat dan berkurangnya potensi pendapatan negara akibat adanya Tax Holiday dan Tax Allowance dapat sedikit tertutupi. Tidak adanya tindakan khusus dari pemerintah untuk menutupi berkurangnya pendapatan pajak penghasilan badan tersebut dikarenakan potensi pajak yang hilang tersebut dapat kembali dengan sendirinya melalui pembayaran pajak penghasilan oleh para pekerja yang diciptakan perusahaan investor tersebut. Berdasarkan analisis Points of Tax Impact ini Circular Flow (dikemukakan oleh Musgrave’s), yang menjelaskan bahwa kebijakan pembebasan atau penurunan tarif pajak dalam jangka panjang tidak akan menurunkan penerimaan negara secara aggregate, bahkan sebaliknya akan meningkatkan penerimaan negara dari jenis-jenis pajak lainnya. Karena dengan banyaknya investasi, penerimaan pegawai atau tenaga kerja juga besar sehingga penerimaan pajak bertambah seiring dengan jumlah tenaga kerja yang di rekrut. Selain itu pembebasan pajak penghasilan yang diterapkan kepada perusahaan dapat menjadi saving bagi mereka, maka penerimaan negara dari pajak atas capital market akan
98
meningkat. Selain sebagai saving, dana tersebut dapat mereka manfaatkan untuk ekspansi perusahaan mereka sehingga secara tidak langsung pertumbuhan produksi Indonesia juga akan meningkat.
99