BAB 3 ANALISIS DATA
3.1 Analisis Kasus Dampak Karir Terhadap Menurunnya Angka Kelahiran di Jepang Secara Umum Istilah urenokori dan too ga tatsu adalah sebutan bagi wanita Jepang yang belum menikah pada umur 25 tahun keatas ( kira – kira pada 30 tahun yang lalu ). Pandangan masyarakat Jepang pada wanita – wanita tersebut mengakibatkan perkawinan menjadi suatu keharusan, karena masyarakat secara tidak langsung memberikan tekanan sosial bagi mereka yang belum menikah pada umur tersebut. Namun akhir – akhir ini tekanan masyarakat kepada wanita yang dianggap sudah mencapai umur yang tepat untuk menikah telah melemah ( Fujimura – 久美子, 1995 ). Menurunnya angka kelahiran di Jepang membuat semua mata tersorot pada wanita Jepang karena jumlah populasi anak – anak di Jepang setiap tahunnya semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh wanita Jepang saat ini telah menemukan hal yang mereka anggap lebih penting dan menarik daripada memiliki keluarga dan anak, yaitu karir, keuangan, kemerdekaan, dan kebebasan pribadi. Minat mereka untuk menjadi seorang istri dan seorang ibu lama – kelamaan semakin menurun. Menurunnya angka kelahiran Jepang hingga posisi 1,42 meresahkan pemerintah Jepang, karena angka kelahiran 1,42 tidak
akan
mampu
menopang
populasi
di
Jepang
sekarang
ini
( http://www.uic.edu/classes/osci/osci590/153%20Population%20Growth%20II.htm ).
15
Menurunnya populasi di Jepang dari tahun 1950, 2004 hingga perkiraan jumlah populasi di Jepang pada tahun 2050 dapat dilihat pada diagram 3.1 ( Piramida Perubahan Populasi di Jepang ). Diagram 3.1 Piramida Perubahan Populasi di Jepang
( http://www.stat.go.jp/english/data/handbook/c02cont.htm ) 2006 Dari diagram diatas, menurut analisis saya Jepang saat ini mengalami penurunan populasi anak. Diagram populasi pada tahun 1950 menunjukkan bahwa proporsi antara umur 0 – 14 tahun, 15 – 64 tahun dan diatas 65 tahun cukup seimbang, karena persentase penduduk yang muda lebih besar dibandingkan dengan persentase penduduk yang berusia lanjut. Kemudian diagram pada tahun 2004 menunjukkan suatu perubahan
16
yang sangat signifikan yaitu persentase punduduk yang berusia muda lebih kecil dibandingkan persentase penduduk yang berusia lanjut. Menurut analisis saya, menurunnya populasi anak – anak di Jepang saat ini disebabkan oleh sangat rendahnya angka kelahiran di Jepang. Hal ini disebabkan oleh banyaknya masyarakat Jepang saat ini yang memutuskan untuk menjadi single ataupun untuk tidak memiliki anak. Jika hal ini terus – menerus berlanjut maka untuk masa mendatang di Jepang akan terlihat didominasi oleh orang yang lanjut usia. Seperti yang ditunjukkan grafik perkiraan populasi pada tahun 2005, terlihat penduduk yang lanjut usia jumlahnya tiga kali lipat jumlah penduduk yang berusia muda. Tidaklah mengherankan jika pemerintah Jepang terus menerus mendorong wanita – wanita Jepang untuk melahirkan anak untuk meningkatkan angka kelahiran Jepang. Salah satu cara yang dilakukan adalah mengembangkan fasilitas perawatan anak, memberikan tunjangan tambahan kepada kariawati yang memiliki anak bahkan mensponsori perjodohan ( http://www.conectique.com/get_updated/article.php?article id=3998 ). Menurut laporan yang dikeluarkan oleh The National Institute of Population and Social Security angka kelahiran Jepang menurun sangat drastis dibandingkan dengan Amerika dan Eropa ( http://www.ipsnews.net/news.asp? idnews=31709 ). Menurut analisis saya, menurunnya angka kelahiran disebabkan oleh semakin menurunnya minat masyarakat Jepang akan perkawinan dan semakin meningkatnya usia – usia penundaan terhadap perkawinan. Pada grafik 3.1 ( Grafik Perubahan Angka Pernikahan dan Angka Perceraian) Kita dapat melihat semakin menurunnya jumlah orang yang menikah tiap tahunnya di Jepang dan tabel 3.1 ( Tabel Rata – Rata Umur Pernikahan Pertama ) kita dapat melihat semakin meningkatnya usia orang yang menikah untuk pertama kalinya di Jepang. 17
Grafik 3.1 Perubahan Angka Kelahiran dan Angka Perceraian
( http://www.stat.go.jp/english/data/handbook/c02cont.htm ) 2006 Tabel 3.1 Rata – Rata Umur Pernikahan Pertama
( http://www.stat.go.jp/english/data/handbook/c02cont.htm ) 2006
18
Dari grafik 3.1 saya menganalisis bahwa dari tahun ke tahun, jumlah pasangan yang menikah semakin berkurang dan penundaan umur pernikahan dapat kita lihat dari table 3.1 di atas, bahwa setiap tahun umur pria dan wanita Jepang yang menikah untuk pertama kalinya semakin bertambah usianya. Oleh karena itu salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya angka kelahiran adalah karena penundaan pernikahan dan semakin menurunnya minat masyarakat untuk menikah. Ketidak tertarikannya masyarakat Jepang akan pernikahan dikarenakan pernikahan yang dulunya merupakan suatu keharusan sekarang ini hanyalah menjadi sebuah pilihan. Secara tidak langsung berarti bahwa perkawinan itu sendiri tidak menjadi keharusan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Iwao ( 1993 ) yang menyatakan perkawinan hanya diartikan sebagai salah satu dari pilihan. Menurut analisis saya, menurunnya minat masyarakat untuk menikah ini dikarenakan berpindahnya minat mereka kepada karir. Mereka menjadikan karir mereka sebagai fokus utama mereka. Jika mereka memilih karir sebagai tujuan mereka, maka secara otomatis mereka akan menunda pernikahan, bahkan ada juga yang memutuskan untuk menjadi single. Terutama bagi pria Jepang yang menyadari betul bahwa pekerjaan adalah hal yang paling utama, jadi jika ia menikah ia mengharapkan seorang istri yang bertanggung jawab penuh terhadap rumah dan anak. Karena pria Jepang akan lebih mengutamakan pekerjaan dibandingkan dengan keluarga, mereka dituntut loyal terhadap tempat kerja dan wajib menomor duakan keluarga. Sedangkan semenjak berlakunya undang – undang Persamaan Kesempatan Kerja tahun 1986, kesempatan kerja yang sama antara pria dan wanita mengakibatkan banyak wanita yang menunda pernikahan dan
memilih
untuk
menjadi
single
dikarenakan
ingin
mengejar
( http://www.dawncenter.or.jp/english /publication/edawn/0212/ women.html ). 19
karirnya
Pemerintah juga menyadari betul jika ingin meningkatkan angka kelahiran di Jepang, harus ada kemudahan bagi pekerja wanita sehingga mereka dapat membentuk suatu keluarga ( http://www.ipsnews.net/news.asp?idnews=31709 ). Hal ini sesuai dengan pernyataan Iwao ( 1993 ) bahwa jika ditanya kepada pria Jepang mana yang lebih penting, keluarga atau pekerjaan maka ia akan mengatakan keluargalah yang terpenting, namun pada kenyataannya mereka sangat tunduk akan pekerjaan mereka. Hunter ( 1993 ) juga mengatakan bahwa wanita yang memiliki anak tidak dapat bekerja, karena mereka tidak akan memiliki waktu luang untuk keluarganya dan para wanita ini tidak akan mampu mengurus pekerjaan rumah tangganya secara menyeluruh. Pro dan kontra antara tugas suami sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah dan istri yang seharusnya tinggal di rumah untuk merawat keluarga tiap tahunnya mengalami perubahan, yang dapat kita lihat dari tabel 3.2 ( Tabel Perubahan Kesadaran dan Aturan Keluarga Menurut Umur dan Gender ) dalam pertanyaan ”Apakah menurut anda seorang suami harus bekerja di luar rumah dan seorang istri harus mengurus rumah tangga?” berikut ini.
20
Tabel 3.2 Perubahan Kesadaran dan Aturan Keluarga Menurut Umur dan Gender
( http://www.dawncenter.or.jp/publication/edawn/pdf/edawn2004.pdf ) 2004 Pendapat masyarakat Jepang mengenai pertanyaan ” apakah menurut anda suami harus bekerja di luar dan seorang istri harus merawat keluarganya ” memperlihatkan kepada kita bahwa pada tahun 1972 baik pria maupun wanita Jepang setuju akan pernyataan tersebut, namun sejak tahun 1984, 1992 dan 2002 ketidak setujuan akan pendapat tersebut semakin meningkat terutama bagi kaum wanita. Pendapat bahwa dulu wanita harus di rumah melakukan tugasnya sebagai seorang istri yang baik dan seorang ibu yang bijaksana atau yang biasa disebut dengan ryousaikenbo menurut Davies ( 2002 ) benar – benar terlihat pada tabel tahun 1972. Seiring dengan semakin banyaknya jumlah orang yang tidak setuju terhadap pendapat bahwa wanita sebaiknya berada di rumah saja, jumlah pekerja wanita tiap tahunnya semakin meningkat. Terlebih lagi sejak adanya peraturan mengenai kesetaraan pekerja pria dan wanita, pekerja – pekerja wanita semakin dipermudah dalam mencapai karirnya.
21
Di Jepang pekerja – pekerja wanita semakin meningkat jumlahnya, sebagian dari pekerja – pekerja ini masih ada yang tinggal bersama orang tuanya. Hal ini merupakan kesenangan sendiri bagi mereka yang masih menumpang tinggal bersama orang tuanya walaupun sudah memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup tinggi. Mereka sering disebut sebagai parasite single. Dari grafik 3.2 ( Grafik Persentase dari Pekerja Wanita Single yang Tinggal dengan Orangtuanya ) dapat dilihat jumlah pekerja wanita yang masih tinggal bersama orang tuanya meningkat tiap tahunnya. Grafik 3.2 Persentase dari Pekerja Wanita Single yang Tinggal dengan Orangtuanya
Source:Annual Report on Health and Welfare,1996 ( http://www.dawncenter.or.jp/english/publication/edawn/0212/women.html )2003 Menurut analisis saya, dari tabel diatas, kita dapat melihat persentase wanita yang bekerja cukup besar, terutama pada umur – umur produktif untuk menikah. Orang yang sudah bekerja namun masih tinggal bersama orang tuanya biasa disebut sebagai parasite single. Parasite single ini, menikmati kenyamanan hidup dengan bergantung kepada kemampuan sang ibu dalam mengurus rumah tangga dan kemampuan ekonomi sang ayah sehingga tidak heran jika parasite single ini menganggap pernikahan bukanlah hal 22
yang menarik. Mereka menggunakan gaji dari hasil bekerja untuk bersenang – senang dengan teman – teman, membeli barang – barang bermerk yang tentunya sangat mahal. Sesuai dengan pendapat 美智子 ( 2000 ) yang mengatakan bahwa para parasite single ini tidak merasakan pernikahan itu menarik. Karir, keuangan, kemerdekaan dan kebebasan pribadi yang mereka miliki saat ini akan hilang begitu saja jika mereka memutuskan untuk menikah dan mempunyai anak. Karena mereka mengetahui dengan jelas bahwa pekerjaan rumah mereka tidak akan dapat dikerjakan secara menyeluruh jika mereka bekerja sambil mengurus rumah tangga mereka ( Iwao : 1993 ). Di bawah ini adalah gambar 3.1 ( Perubahan Perbedaan di dalam Pandangan Ketenagakerjaan Berdasarkan Jenis Kelamin ) yang merupakan hasil angket yang menunjukkan sebagian besar masyarakat Jepang baik pria maupun wanita setuju jika wanita kembali bekerja sesudah anak mereka tumbuh dewasa.
23
Gambar 3.1 Perubahan Perbedaan di dalam Pandangan Ketenaga Kerjaan Berdasarkan Jenis Kelamin
( http://www.jiwe.or.jp/english/situation/working.html ) 2004 Sampai saat inipun sebagian besar wanita Jepang yang memiliki anak kembali bekerja sesudah anak mereka sudah dianggap besar. Namun bagi wanita Jepang, hal ini akan menghambat karir mereka, karena untuk beberapa waktu karir mereka akan terhenti saat mereka menikah dan mempunyai anak. Mereka harus keluar dari pekerjaan mereka untuk mengurus dan merawat keluarga mereka. Oleh karena itu mereka lebih memilih menjadi single.
24
Sesuai dengan pendapat Davies ( 2002 ), bahwa jika wanita Jepang memilih karir mereka, akan memilih untuk menjadi single, karena jika ia menikah dan memiliki anak maka saat itu ia akan mengambil cuti dari tempat ia bekerja, kemudian saat anaknya sudah cukup besar dan ia ingin kembali bekerja maka akan sulit untuk mendapatkan posisi yang sama seperti saat sebelum ia mengambil cuti. Jumlah wanita yang memutuskan untuk tidak menikah rata – rata tiap tahunnya terus meningkat hingga 10 % pertahun. Gaya hidup single yang dulunya selalu menjadi bahan perbincangan, sekarang ini perlahan – lahan sudah dapat diterima masyarakat yang umumnya berada di kota – kota besar. ( http://www.kompas.com/kesehatan/news /0503/03/123828.htm ). Ada sebagian masyarakat Jepang yang menganggap bahwa dengan kehadiran seorang bayi maka hal itu akan memberikan kerugian. Hal ini dapat kita lihat dari grafik 3.3 ( Grafik Kerugian Memiliki Bayi, Berdasarkan Responden ) yang merupakan tabel angket tentang kerugian memiliki bayi pada tahun 2002.
25
Grafik 3.3 Kerugian Memiliki Bayi
( http://www.mhlw.go.jp/english/database/db-hw/babies02/10.html ) 2002 Dari tabel di atas, saya menganalisis bahwa sebagian masyarakat Jepang merasa bahwa jika memiliki seorang bayi maka ia akan mengalami beberapa kerugian antara lain : akan memberatkan atau menambah pekerjaan mereka karena harus mengurus seorang bayi, mereka akan kecapaian, selain itu juga kehadiran seorang bayi akan memberatkan keuangan mereka, kekurangan waktu luang, kekurangan waktu dengan pasangan, keterlibatan pekerjaan, kekurangan dalam memahami orang yang umum, kelemahan bayi. Dengan adanya pernyataan dari para orang tua bahwa memiliki anak akan menimbulkan kerugian, maka hal ini secara tidak langsung mendukung para generasi muda Jepang untuk tidak memiliki anak. Dari kerugian – kerugian yang dipaparkan di atas menimbulkan ketidaktertarikan masyarakat muda Jepang untuk memiliki anak, terutama bagi mereka yang benar – benar
26
ingin mencapai kesuksessan dalam karir mereka. Maka mereka akan mengabaikan hal – hal yang dianggap dapat menjadi hambatan ( Lebra : 1976 ). Yang dimaksud dengan kesuksesan menurut mayarakat Jepang adalah seorang yang memiliki penghasilan yang tinggi dan memiliki pekerjaan yang dapat meningkatkan prestisenya. Seperti salah satu tokoh yang dianggap sukses di Jepang yaitu Kuroyanagi Tetsuko. http://www.indiana.edu/~japan/LP/LS32.html
3.2 Analisis Kasus – Kasus Mengenai Dampak Karir Terhadap Menurunnya Angka Kelahiran di Jepang Berdasarkan kasus – kasus yang ada di Jepang dari berbagai sumber yakni artikel dan internet kita dapat melihat data – data dengan jelas mengenai hubungan karir dengan menurunnya angka kelahiran di Jepang khususnya pria dan waniya yang berumur antara 25 - 40 tahun, seperti yang akan saya analisis berikut ini.
3.2.1 Kasus Pada Nishio yang Mementingkan Kemapanan Ekonomi Nishio adalah seorang lulusan matematika, berumur 38 tahun yang bekerja selama empat tahun sebagai salaryman sebelum memulai bekerja sebagai konsultan sistem komputer miliknya 10 tahun yang lalu. Dia dulunya memiliki pacar – hubungan terpanjangnya hanya bertahan satu tahun – ia akan kehilangan ketertarikan jika membicarakan tentang pernikahan. ” Saya tidak memiliki suatu rencana hidup yang terencana, ” kata Nishio. Saya tidak pernah berpikir, saya harus menikah sekarang, harus memiliki anak sebelum saya mapan, menurut saya yang terpenting adalah ekonomi. Krisis ekonomi di tahun 1992 menyebabkan saya konsentrasi pada pekerjaan saya. Saya tidak berpikir tentang hal yang lain, apalagi pernikahan. 27
Nishio tidak sendiri dalam hal memandang pernikahan dan orangtuanya yang pengangguran berkata bahwa, cinta saja sudah cukup untuk mempertahankan hubungan yang lama. Menurut Nishio cinta hanya bertahan untuk dua atau tiga tahun pertama tetapi akan mulai menurun sesudah menikah dan memiliki anak. ( http://observer.guardian.co.uk/international/story/0,6903,1499544,00.html ). Berdasarkan kasus di atas, menurut analisis saya bahwa Nishio melewati waktu yang cukup panjang dalam meniti karirnya hingga ia dapat membuka kantor konsultan sistem komputer. Bagi Nishio, perekonomian lebih penting dibandingkan dengan hal yang lainnya, termasuk hal menikah. Saya berpendapat bahwa di Jepang saat ini sudah ada pergeseran batas umur yang dianggap cukup bagi seorang pria untuk menikah. Seperti pendapat Iwao ( 1993 ) pada tahun 1990 umur rata – rata bagi seorang pria untuk menikah adalah umur 28,5 tahun, sedangkan berdasarkan kasus di atas Nishio berumur 38 tahun, dan belum berpikiran untuk menikah. Nishio tidak setuju akan pendapat orang tuanya yang mengatakan bahwa cinta akan membuat suatu hubungan dapat bertahan lama, karena orang tuanya sekarang tidak bekerja lagi, maka mereka tidak merasakan pentingnya pekerjaan tersebut bagi Nishio. Sedangkan Nishio saat ini sedang menfokuskan diri pada pekerjaan karena baginya uang adalah yang terpenting. Dia merasa ia belum mapan untuk memiliki anak. Dengan adanya keputusan Nishio yang ingin memikirkan perekonomian dan memfokuskan pada pekerjaannya serta tidak ingin memikirkan hal yang berhubungan dengan pernikahan maka hal ini membuktikan bahwa minat masyarakat Jepang untuk menikah semakin menipis, dan tentunya berdampak pada semakin menurunnya angka kelahiran di Jepang.
28
Ketidaktertarikan akan pernikahan ini sesuai dengan pendapat Iwao ( 1993 ) yaitu pernikahan itu sendiri dijadikan sebagai suatu pilihan. Mereka memilih antara pernikahan dan pekerjaan, dan jika mereka memilih untuk pekerjaan maka mereka akan mengesampingkan pernikahan itu sendiri. Terlebih lagi bagi pria Jepang yang sangat mengutamakan pekerjaan, hal ini sesuai dengan pendapat Iwao ( 1993 ) yang mengatakan bahwa pria Jepang akan lebih mendedikasikan diri mereka terhadap pekerjaan mereka.
3.2.2 Kasus pada Miki Takasu yang Berkarir dan Merasa Bahagia dengan Tidak Menikah Miki Takasu, berumur 26 tahun, cantik, mengendarai BMW dan membawa tas merk Chanel dengan harga $2,800. Ia juga memiliki dompet Gucci, Prada, dan Vuitton. Liburan yang menyenangkan ke Switzerland, Thailand, Los Angles, New York, dan Hawai. Bahagia dengan tidak menikah, tinggal bersama orang tuanya sambil bekerja sebagai teller di bank. Orang – orang seperti Miki biasa disebut sebagai parasit single. ( http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPcap/2000-02/10/101r-021000idx.html ). 10 Februari 2000. Takatsu hanya sebuah gambaran dari sekian banyak parasite single yang sekarang ini semakin meningkat di Jepang. Takasu memiliki semua yang diinginkan wanita Jepang yaitu karir, kendaraan mewah, accesories yang mewah, perjalanan luar negri. Hal ini dapat ia miliki dari pekerjaannya. Jika semua hal yang diinginkan oleh wanita sudah ia miliki maka tidak ada alasan bagi dia untuk menikah. Dengan memiliki segala sesuatu yang diinginkan wanita Jepang secara umum dan tinggal bersama orang tua sehingga tidak perlu memikirkan kredit rumah, serta makanan
29
yang senantiasa disediakan oleh ibunya, maka tentu saja pernikahan menjadi sesuatu yang
tidak
menarik
lagi
bagi
parasite
single
seperti
Takatsu
( http://www.kcn.ne.jp/~ca001 /I22.htm ). Menurut analisis saya, semakin meningkatnya pekerja yang menjadi parasite single di Jepang tentu saja mengakibatkan semakin menurunnya angka kelahiran di Jepang. Para parasite single ini hidup dengan memiliki penghasilan yang tinggi yang digunakan untuk membeli barang – barang mewah, berkumpul dengan teman – teman mereka sesama single, dan tidak perlu mengurusi pekerjaan rumah karena semuanya sudah diurus oleh ibunya sehingga bagi parasite single mereka lebih nyaman untuk bekerja dan menikmati kesenangan mereka tanpa adanya keluarga yang nantinya akan menghalangi ruang lingkupnya. Kasus diatas sesuai dengan pendapat Iwao ( 1993 ) yang mengatakan bahwa pernikahan bukanlah merupakan sumber ekonomi lagi, karena wanita Jepang sekarang sudah mendapatkan kesempatan yang sama dengan pria Jepang dalam hal pekerjaan. Saat parasite single seperti Takasu dapat memiliki semuanya tanpa menikah, maka bagi mereka pernikahan bukanlah sesuatu yang menarik lagi, hal ini sesuai dengan pendapat 美 智 子 ( 2000 ) yang mengatakan bahwa para parasite single ini tidak merasakan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang menarik, dan hal ini terjadi pada kehidupan Takasu karena ia bahagia dengan hidup bebas dan mewah tanpa ada kehadiran keluarga dan anak yang harus ia urus.
30
3.2.3 Kasus Pada Yuriko Kuramochi yang Tidak Ingin Menjadi Ibu Rumah Tangga dan Lebih Mementingkan Karir Yuriko Kuramochi berumur 26 tahun, bekerja sebagai distributor film dan dia yakin tidak ingin menjadi seorang ibu rumah tangga. Kuramochi berkata ” tidak ada wanita yang seumuran dia yang tidak ke kampus”, dan ia juga berkata ” kami pergi bekerja dan bertemu banyak orang yang berbeda, itu membuat kita lebih mengenal diri kita ”. Kuramochi juga mengatakan bahwa masalah yang berhubungan dengan pernikahan adalah bahwa para suami selalu tidak menginginkan istri – istri mereka bekerja dan bagi mereka yang bekerja, ketika memiliki anak maka akan sangat memberatkan pekerjaan mereka. ( http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPcap/2000-02/10/101r-021000idx.html ). 10 Februari 2000. Menurut analisis saya, Kuramochi menyadari perubahan yang terjadi di Jepang. Para wanita yang seumuran dia rata – rata berkuliah, dan secara otomatis hal ini mengakibatkan wanita – wanita Jepang berkarir. Karir atau pekerjaan ini merupakan tujuan mereka, dan melalui karir mereka mereka dapat mengaplikasikan hal – hal yang telah mereka dapatkan selama mereka kuliah dan dapat mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka. Menurut analisis saya, keputusan Kuramochi untuk tidak ingin menjadi seorang ibu rumah terlihat jelas pada pernyataannya yang mengatakan bahwa dengan pekerjaannya ia dapat bertemu dengan banyak orang dan lebih mengenal dirinya sendiri. Dengan karir yang telah menjadi pilihannya maka menjadikannya sebagai suatu yang mustahil untuk menjadi ibu rumah tangga.
31
Hal diatas sesuai dengan pendapat Lebra ( 1984 ) mengenai karir, yakni bahwa karir bertentangan sekali dengan aturan rumah tangga, jika seseorang sudah memilih untuk berkarir maka ia tidak akan dapat memperhatikan rumah tangganya karena karir itu sendiri menuntut komitmen seumur hidup dan merupakan sumber mata pencaharian utama. Terlebih lagi karir merupakan pengembangan diri dan tempat dimana seseorang mengumpulkan keahlian. Menurut analisis saya, ketidakinginan Kuramochi untuk menjadi ibu rumah tangga adalah karena jika ia memilih untuk menikah dan memiliki anak sementara ia masih tetap berkarir maka ia tidak dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan juga tidak dapat mengurus rumah tangganya secara baik. Karena saat memiliki anak, maka secara otomatis kewajiban merawat dan mengurus anak terletak di pundak seorang wanita. Menurut Hunter ( 1993 ) seorang wanita yang sudah memiliki anak tidak dapat bekerja karena ia akan kekurangan waktu luang untuk keluarganya dan hal itu akan mempengaruhi kehidupan keluarganya. Dengan demikian hal itu akan mengakibatkan terciptanya kondisi yang tidak sehat dalam keluarganya.
3.2.4 Kasus Pada Hiroe Shibata yang Mementingkan Karir dan Tidak Menjadikan Pernikahan Sebagai Prioritas Hidup Hiroe Shibata berumur 35 tahun. Bekerja di perusahaan farmasi multinasional. Dia berkata bahwa prioritasnya adalah karir. Ia menyukai anak – anak, namun ketika ditanya mengenai umur biologisnya, ia menjawab ” jika ia mempunyai waktu maka ia akan memikirkannya ”. Hiroe Shibata juga berkata ” jika kamu menikah, orang tuamu akan
32
mengharapkan kamu mempunyai bayi, jika kamu mempunyai bayi dan hal itu akan menjadi hal yang sukar untuk mengatur pekerjaan dan dan mendidik anak. ( http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/asia-pacific/3694230.stm ). 28 September 2004. Berdasarkan kasus diatas, saya menganalis bahwa wanita Jepang saat ini tidak terlalu mempedulikan pandangan masyarakat terhadap mereka yang memutuskan untuk terus berkarir walaupun umur mereka sudah melewati umur sewajarnya seorang wanita untuk menikah. Penghasilan yang tinggi mengakibatkan mereka sangat mandiri dalam menghadapi hidup ini. Sekarang ini pandangan tentang pernikahan yang dulunya dianggap sebagai suatu yang dapat menopang perekonomian sudah berubah. Wanita Jepang sudah mendapatkan kesetaraan dalam kesempatan bekerja sehingga mereka dapat menghasilkan uang yang kurang lebih sama dengan pria Jepang. Walaupun Shibata mengakui bahwa ia menyukai anak – anak namun saat disinggung mengenai umur biologisnya, yang secara tidak langsung mengarah tentang statusnya yang masih single, ia agak terganggu dan berkata jika ada waktu akan memikirkannya. Wanita Jepang saat ini benar – benar menyadari bahwa mereka akan menghadapi suatu hal yang sulit jika memilih untuk mempertahankan karir apabila mereka sudah menikah dan memiliki anak. Karena dengan menikah dan mempunyai anak maka mereka akan kehilangan banyak hal, salah satunya adalah karirnya. Karena akan sulit sekali membagi waktu antara pekerjaan dengan mengurus anak. Rata – rata wanita yang sudah memiliki anak akan berhenti dari bekerja, namun bagi wanita yang memilih karir maka mereka akan memutuskan untuk tidak memiliki anak bahkan untuk tidak menikah. Oleh karena itu bagi mereka yang memprioritaskan karirnya, mereka akan menganggap penikahan itu bukanlah suatu hal yang penting.
33
Hal diatas sesuai dengan pendapat Davies ( 2002 ), yang mengatakan bahwa bagi wanita yang masih single pernikahan bukanlah suatu hal yang penting, karena menurut pemikiran tradisional, pernikahan merupakan sumber ekonomi, sedangkan ia sendiri sudah bekerja dan dapat memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri. Selain itu menurut Hunter ( 1993 ), jika wanita yang bekerja ini memiliki anak maka tidak akan dapat bekerja lagi karena akan sulit dalam memperhatikan keluarga dan pekerjaan. Mereka harus memilih antara karir dan keluarga. Suzuki ( 2003 ) juga mengatakan bahwa dengan memiliki anak maka mereka akan kehilangan banyak hal di antaranya kebebasan mereka untuk berkarir, waktu luang mereka untuk bersenang – senang dan juga mereka akan kehilangan uang karena biaya seorang anak di Jepang cukup mahal. Jika pemikiran seperti ini semakin berkembang di Jepang maka tidaklah mengherankan jika angka kelahiran di Jepang tiap tahunnya mengalami penurunan
3.2.5 Kasus Pada Akiko Yahagi yang Lebih Menyukai Pekerjaan Daripada Menikah Akiko Yahagi berumur 30 tahun, lulusan hubungan internasional di Jepang, ia menghabiskan waktu 3 tahun di Amerika Serikat untuk mempelajari design. Yahagi bekerja pada bank asing. Ia mengatakan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang jauh dari mimpi,” saya terlalu sibuk menikmati pekerjaan saya untuk memulai suatu keluarga”. ( http://www.ipsnews.net/news.asp?idnews=31709 ). 2006.
34
Berdasarkan kasus diatas, saya dapat menganalisis mengenai cara pandang wanita modern Jepang saat ini. Kesibukan mereka untuk berkarir, menikmati pekerjaan mereka mengakibatkan perkawinan bukanlah pilihan mereka. Mereka hanya menganggap perkawinan adalah sebuah pilihan yang boleh diambil atau tidak. Hal ini tentu saja mengakibatkan minat akan perkawinan berkurang, dan pandangan masyarakat terhadap mereka yang single pun sudah tidak begitu buruk, sejauh mereka tidak merugikan orang lain. Menurut analisis saya, Yahagi tidak menginginkan ia harus keluar dari pekerjaan yang ia senangi dikarenakan ia menikah dan memiliki anak. Karena jika ia memiliki anak maka ia harus mengambil cuti dan saat ia ingin kembali bekerja saat anaknya sudah cukup besar maka akan sulit sekali menduduki posisi yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Iwao ( 1993 ) yang mengatakan bahwa wanita muda Jepang saat ini sedang mengaktualisasikan diri mereka kepada pekerjaan atau karir sehingga pernikahan jauh dari obsesi mereka. Menurut Davies ( 2002 ) bahwa akan ada kesulitan bagi wanita Jepang saat ia meninggalkan posisinya di kantor untuk alasan rumah tangga seperti cuti yang panjang. Mereka akan sulit mendapatkan posisi yang sama seperti saat mereka meninggalkan kantornya. Dengan bertambahnya usia, dan dengan hidup sendiri maka para single ini akan merasa sepi tanpa pasangan. Namun jika mendapatkan pasangan yang merepotkan, yang tidak dapat mengerti maka seumur hidup akan tersiksa. Hal ini menjadikan wanita menjadi serba salah ( http://www.kompas.com/kesehatan/news/0509/28/ 110259.htm).
35
Oleh karena itu menurut analisis saya, hal inilah yang mengakibatkan wanita – wanita Jepang yang sangat menyenangi pekerjaannya enggan untuk menikah karena upaya yang telah mereka lakukan akan menjadi suatu yang sia - sia.
3.2.6 Kasus Pada Mariko Kumoi yang Menganggap Pernikahan Seperti Sebuah Kontrak yang Tidak Menyenangkan Mariko Kumoi menikmati banyak hal indah dalam hidupnya sebagai wanita Jepang modern, yakni prestasi kerja dengan posisi utama, liburan luar negeri, bermalam di kota daerah hiburan di Tokyo. Pada usia 31 tahun, dia kekurangan satu hal untuk melengkapi hidupnya, yaitu seorang suami. Dulu hal ini membuat dia khawatir. Sekarang ketika saudara dan keluarganya memberi nasehat maka ia akan langsung teringat akan cerita ketidak terimakasihan suami terhadap pekerjaan rumah tangga dan bagaimana suami yang sibuk dan terfokus dengan pekerjaannya. Banyak temannya yang sudah menikah mengatakan bahwa mereka mempunyai ruangan yang terpisah dan suami mereka terlalu lelah untuk melakukan hubungan suami istri. ” Perkawinan tampak seperti kontrak, namun saya sudah mendapatkan hal – hal lain yang ingin saya lakukan sebagai gantinya ” kata Kumoi. ( http://www.time.com/time/magazine/1997/int/970901/asia.unmarried.html ) 2006. Menurut analisa saya, Kumoi memiliki hal – hal yang menyenangkan, prestasi dalam pekerjaan, kehidupan mewah yang sangat glamour dan semua hal yang dapat membuat wanita – wanita lain kagum. Dengan kemandirian dan kemapanannya ia merasa tidak memerlukan seorang suami. Mungkin dulu ia sempat khawatir, namun seiring berlalunya waktu, dengan mendengarkan cerita – cerita dari teman – temannya
36
mengenai kewajiban seorang istri yang harus mengurus rumah dan suami yang tidak menghargai hasil kerja mereka, ditambah lagi dengan suami yang hanya menfokuskan diri pada pekerjaan dan menyerahkan urusan rumah tangga kepada istri membuat Kumoi enggan untuk menikah. Menurut analisis saya, Kumoi mendapatkan semua yang ia inginkan dari hasil kerja kerasnya dan tentu saja ia tidak ingin menyerahkan semua yang ia miliki kepada perkawinan yang akan mengekangnya, ditambah dengan image perkawinan yang buruk yang didapatnya dari teman – temannya. Ia merasa semua yang ia dapatkan dari hasil pekerjaannya dapat menggantikan kedudukan sebuah perkawinan. Hal ini sesuai dengan Iwao ( 1993 ) yang mengatakan bahwa pernikahan bukan untuk tujuan sosial dan ekonomi lagi karena wanita dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Iwao juga berpendapat bahwa kebebasan yang mereka dapatkan sewaktu single akan hilang digantikan dengan rasa ketertarikan pada keluarga yang akan menuntut tenaga, waktu serta dedikasi sebagai seorang istri dan seorang ibu. Oleh karena itu menurut analisa saya, pekerjaan yang wanita jalani sekarang ini membuat semua hal menjadi lebih baik, maka tidak heran jika banyak dari mereka yang tetap ingin menjadi single karena pernikahan mengakibatkan adanya suatu batasan yang akhirnya kesenangan yang telah di dapatkan dalam pekerjaan hilang menjadi suatu beban. Dengan semakin meningkatnya para pekerja single ini mengakibatkan Jepang semakin kekurangan generasi penerus bangsa.
3.3 Analisis Pandangan Masyarakat Terhadap Single Masyarakat Jepang saat ini sudah mulai menerima mereka yang memutuskan untuk menjadi single, terutama masyarakat di kota – kota besar. Para single ini 37
mengaktualisasikan diri secara maksimal pada pekerjaan mereka dan merasa tidak leluasa dan tidak nyaman jika pasangan mereka mengontrol bahkan menghambat karir mereka. Sepanjang para single ini dapat menghidupi diri sendiri dan tidak merepotkan saudara atau orang lain, maka orang tuan dapat menerima pilihan anaknya. Orang – orang di sekitarnya juga
dapat
menerima
mereka
(
http://www.kompas.co.id/kesehatan
/news/0503/03/123828.htm ). Namun beda halnya dengan parasite single, masyarakat menganggap para parasite single ini adalah orang – orang yang merusak masyarakat. Sikap para parasite single ini dianggap memberatkan orang tuanya, karena secara jasmani dan rohani mereka sehat, dapat bekerja dan menghasilkan uang. Sudah sewajarnya bagi seseorang yang dewasa harus mandiri dan tidak bergantung pada orang tua lagi namun jumlah masyarakat Jepang yang memilih untuk tinggal bersama orang tuanya walaupun sudah mempunyai pekerjaan tiap tahunnya semakin bertambah ( http://www.kcn.ne.jp/~ca001 /I22.htm ). Seperti yang telah diungkapkan oleh Iwao ( 1993 ) bahwa pandangan masyarakat Jepang terhadap perkawinan sekarang ini telah mengalami pergeseran arti. Sekarang, menikah bukan lagi untuk tujuan sosial dan ekonomi karena masyarakat jepang khususnya wanita sudah mendapatkan kesetaraan dalam hal pekerjaan dan penghasilan dengan kaum pria.
3.4 Analisis Masalah Seks Bagi Single di Jepang Kebutuhan seks yang pastinya juga merupakan kebutuhan bagi para single ini, khususnya bagi para pria karena di Jepang banyak tersedia hal – hal yang berhubungan
38
dengan pornografi dan industri seks yang senantiasa akan memenuhi kebutuhan seks mereka di Jepang. Seorang psikoloq yang bernama Kim Myong Gan, yang memiliki klinik di daerah pinggiran Tokyo berkata bahwa pria tidak pernah menganggap seks sebagai suatu masalah jika mereka tidak melakukan seks dengan pasangannya, karena mereka memiliki hal – hal yang bersifat pornografi dan industri seks yang mampu memenuhi kebutuhannya. Sedangkan wanita yang kebutuhan seksnya tidak terpenuhi, mereka banyak yang menjadi ” sex volunteers ”. Hal ini tidak dianggap sebagai suatu hal yang jelek,
karena
kebutuhan
seks
adalah
suatu
hal
yang
wajar.
( http://trishwilson.typepad.com/blog/2005/04/japans_virgin_w.html ). Selain menjadi ” sex volunteers ” sebagian dari wanita single ini ada yang tinggal bersama lawan jenis tanpa menikah ( namun persentasenya semakin menurun ), ada yang mengalihkan ke hal – hal yang lain seperti hobi atau pekerjaan. Namun berdasarkan survey dari Durex ( salah satu merk kondom ) pada tahun 2001, Jepang menduduki angka kematian pada frekuensi berhubungan seks di antara 28 negara, yaitu 36 kali dalam satu tahun, sedangkan Amerika menduduki peringkat pertama dengan frekuensi berhubungan seks 124 kali dalam setahun. ( http://www.usatoday.com/news /world/2004-06-02-japan-women-usat_x.htm ). Para single ini sangat menikmati hidup mereka, dan mereka tidak menyerah begitu saja kepada kesenangan yang ditawarkan oleh sebuah pernikahan ( http://www.farfilm. com/peggy/articles/parasites.htm ).
39
3.5 Analisis Masa Tua para Single di Jepang Menurut analisis saya, para single ini tidak perlu khawatir akan hari tua mereka, jika suatu saat nanti mereka merasa kesepian maka mereka akan mencari cara untuk menghilangkan rasa kesepiannya dengan memelihara binatang peliharaan atau dengan membeli boneka yang menyerupai bayi yang sekarang ini sudah diproduksi di Jepang. Boneka yang menyerupai bayi ini mempunyai berat sama dengan berat seorang anak kecil. Saat menggendong boneka buatan perusahaan Tomy ( perusahaan yang terkenal di seluruh dunia dengan mainan robot bagi anak ) ini, boneka ini dapat mengatakan bahwa ia mencintai anda dan boneka ini dapat memberikan perasaan nyaman bagi wanita kesepian yang menggendongnya. Sebagian besar konsumen yang membeli boneka ini adalah pensiunan wanita yang hidup sendiri.
Gambar 3.2 Boneka Perusahaan Tomy
Boneka yang banyak dibeli oleh para single yang sudah tua ( http://www.bbc.co.uk /indonesian/indepth/story/2006/05/060502_adulttoys.shtml ). Dengan bertambahnya usia, dan dengan hidup sendiri maka para single ini akan merasa sepi tanpa pasangan. Namun jika mendapatkan pasangan yang merepotkan, yang tidak dapat mengerti maka seumur hidup akan tersiksa. Hal ini menjadikan wanita menjadi serba salah ( http://www.kompas.com/kesehatan/news/0509/28/ 110259.htm ).
40
Hal ini sesuai dengan jejak pendapat yang di adakan oleh 読 売 新 聞 ( yomiuri shinbun ) bahwa semakin tua responden semakin sedikit yang mengatakan bahagia hidup melajang. Dari survei ini, ditemukan 74 persen wanita dan pria single pada usia 20 – an merasa yakin jika wanita lebih bahagia jika menjadi single namun jumlah ini menurun menjadi 66 persen ketika ditanyakan pada responden yang berusia 30 – an, dan semakin mengecil menjadi 58 persen pada responden yang berumur 40 – an ( http://www.kompas.com/kesehatan/news/0503/03/123828.htm ). Table 3.3 Persentase Pria dan wanita Jepang yang Merasa Bahagia Dengan Menjadi Single. Umur 20 - an 30 - an 40 - an
Persentase Pria dan Wanita Jepang yang Merasa Bahagia Dengan Menjadi Single 74% 66% 58%
41