Bab 3 Analisis Data
Perubahan dan perkembangan Kimono era Taisho yang mendapat pengaruh dari Barat selalu berkaitan dengan nilai akulturasi budaya dan asimilasi budaya. Keterkaitan ini dilatar belakangi oleh adanya dua kebudayaan yang bercampur menjadi satu, apabila dua kebudayaan bercampur menjadi satu maka dapat dikatakan kebudayaan tersebut mengalami proses akulturasi budaya atau asimilasi budaya. Dengan adanya keterkaitan nilai akulturasi budaya dan asimilasi budaya dengan proses pencampuran dua kebudayaan yang berbeda maka pada bab 3 dalam menganalisis data penulis membagi menjadi dua sub bab yang berbeda. Pembagian sub bab tersebut adalah pada sub bab 3.1 penulis akan menganalisis mengenai perubahan Kimono yang ditinjau dari segi akulturasi budaya, kemudian pada sub bab 3.2 penulis akan menganalisis mengenai perubahan pemakaian Kimono yang ditinjau dari segi asimilasi budaya.
3.1 Analisis Perubahan Kimono Ditinjau dari Segi Akulturasi Budaya. Kimono adalah pakaian nasional negara Jepang yang pada dasarnya dalam pembuatan pola Kimono terdiri dari dua helai kain. Dua helai kain tersebut terbentang di atas bahu dan di sepanjang bagian punggung dan bagian samping tubuh. Bagian lengannya juga merupakan potongan kain yang terjahit satu sama lain sehingga membentuk celah untuk lubang tangan, selain itu juga terdapat potongan kain di bagian depan yang memungkinkan Kimono untuk dilipat dan potongan yang dapat digunakan sebagai
kerah.
Tinggi
Kimono
disesuaikan
dengan
menaikan
Kimono
dan 21
membiarkannya terjuntai diatas ikat pinggang, kemudian ditutup oleh Obi yaitu ikat pinggang luar yang menyatukan Kimono secara keseluruhan. Bagian dari Kimono yaitu bagian lengan dan bagian badan, bagian tersebut dapat dibuat lebih sempit atau dibuat lebih lebar kemudian juga dapat dibuat lebih panjang atau dibuat lebih pendek disesuaikan dengan bentuk tubuh atau perkembangan fesyen. Mengenai bentuk pola Kimono dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 3.1 Pola Kimono
Sodetsuke : lubang lengan bagian dalam Miyatsukuchi : bagian terbuka dibawah lengan Furi : lapisan lengan dibawah lubang lengan Ushiromigoro : bagian belakang utama Fuki : keliman Yuki : panjang pundak Sode-guchi Sode Tamoto Eri Doura Okumi Maemigoro Susomawashi Tomoeri Uraeri
: lubang lengan bagian dalam : lengan : kantung lengan : kerah : lapisan atas : sisi lipatan dalam bagian luar : sisi utama bagian depan : lapisan bagian bawah : kerah bagian luar : kerah bagian dalam 22
Dari bagian- bagian Kimono yang telah disebutkan di atas Kimono memiliki komponen pendukung yaitu Obi yang merupakan pembungkus pinggang atau disebut juga sebagai ikat pinggang. Obi adalah komponen Kimono yang dipakai melingkari pinggang untuk menutup Kimono, selain Obi Kimono tidak memiliki penutup lain seperti kancing atau semacamnya. Motif dan warna Kimono bermacam- macam jenisnya yang dapat memperindah Kimono. Motif dan warna Kimono tersebut memiliki makna tersendiri bagi pemakainya, begitu pula dengan warna yang dapat membangkitkan suasana hati. Menurut analisis penulis Kimono merupakan suatu nilai budaya yang dimiliki oleh Jepang. Menurut penulis Kimono adalah hasil karya yang dihasilkan oleh masyarakat Jepang yang dijadikan miliknya dalam kehidupan, sehingga Kimono dapat dikatakan sebagai budaya Jepang. Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (2005: 72) budaya merupakan suatu karya yang dihasilkan manusia (dalam hal ini adalah Kimono) dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar. Wujud budaya dalam empat lingkaran konsentris menurut Koentjaraningrat (2005: 74-75), keempat lingkaran konsentris tersebut terdiri dari lingkaran paling luar adalah lingkaran yang melambangkan budaya sebagai benda- benda fisik, lingkaran berikutnya kebudayaan melambangkan suatu sistim tingkah laku yang berpola, kemudian lingkaran yang berikutnya adalah lingkaran yang melambangkan kebudayaan sebagai sistim gagasan, dan lingkaran yang paling dalam adalah lingkaran yang merupakan inti dari keseluruhan dan melambangkan kebudayaan sebagai suatu sistim gagasan yang ideologis. Dari teori tersebut penulis menganalisis bahwa budaya yang dimiliki Jepang yaitu Kimono termasuk kedalam lingkaran yang letaknya berada paling luar, yaitu kebudayaan yang diwujudkan sebagai benda- benda fisik. 23
Seiring berjalannya waktu Kimono mengalami perubahan dan perkembangan yang disebabkan oleh adanya pengaruh- pengaruh yang datang dari luar, berkaitan dengan hal ini penulis akan menganalisis perubahan dan perkembangan Kimono era Taisho yang mendapat pengaruh dari negara Barat. Perubahan dan perkembangan yang dipengaruhi oleh negara Barat tersebut merupakan wujud dari akulturasi budaya dan asimilasi budaya. Mengenai wujud akulturasi budaya yang terjadi pada Kimono era Taisho akan penulis analisis pada sub bab 3.1 berikut ini, kemudian wujud asimilasi budaya yang terjadi pada Kimono era Taisho akan penulis analisis pada sub bab 3.2.
3.1.1
Analisis Perubahan Pemakaian Obi. Salah satu yang menjadi komponen pelengkap penting pada saat memakai
Kimono adalah 帯 (Obi). Pemakaian Obi pada Kimono ini saling memiliki hubungan yang erat, hubungan tersebut dipercaya memiliki makna yang bisa memberikan semangat dan cinta karena antara Obi dan Kimono saling membentuk simpul 結び (Musubu). Apabila pemakai Kimono ingin terlihat lebih cantik dapat dengan menonjolkan Obi yang dipakainya. Pemakaian Obi setelah masuknya pengaruh Barat mengalami perubahan. Hal tersebut dapat dilihat dari gambar 3.2 ”Pemakaian Obi Sebelum Mendapat Pengaruh Budaya Barat” dan gambar 3.3 ”Pemakaian Obi Setelah Mendapat Pengaruh Budaya Barat Pada Era Taisho”.
24
Gambar 3.2 Pemakaian Obi Sebelum Mendapat Pengaruh Budaya Barat
Gambar 3.3 Pemakaian Obi Setelah Mendapat Pengaruh Dari Budaya Barat Pada Era Taisho
Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat adanya perbedaan pemakaian Obi sebelum mendapat pengaruh dari Barat dan setelah mendapat pengaruh dari Barat yakni pada era Taisho. Pada gambar 3.2 menunjukan pemakaian Obi sebelum mendapat pengaruh dari Barat letaknya berada di pinggang dan memiliki ukuran yang lebih kecil, sedangkan pada gambar 3.3 menunjukan pemakaian Obi yang telah mendapat pengaruh dari Barat letaknya menjadi lebih tinggi ke atas dan memiliki lebar yang lebih besar. Menurut Stevens, dan Wada (1996) mengatakan bahwa ”wanita pada awal abad ke-20 menganggap bentuk tubuh yang ideal adalah bentuk tubuh yang memiliki lekuk tubuh seperti huruf S” (lampiran gambar 9). Jenis lekuk tubuh seperti ini memiliki korset yang pada bagian pinggang memapat sehingga menyebabkan bagian dada membusung ke depan, dengan model pakaian seperti ini menonjolkan bentuk tubuh serta membuat bentuk tubuh si pemakai terlihat seperti huruf S.
25
Menurut analisis penulis dari artikel tersebut tata cara berpakaian ini mempengaruhi tata cara pemakaian Kimono di Jepang, tetapi perubahan yang terjadi hanya pada letak Obi yang menjadi lebih tinggi dan Obi yang lebih lebar. Dengan perubahan bentuk Obi yang lebih besar membuat perut tertutup dan lebih memapat sehingga dengan bentuk Obi ini dapat membentuk bagian perut agar terlihat lebih ramping dan memperlihatkan lekuk tubuh si pemakai. Kemudian cara pemakaian Obi yang lebih tinggi dimaksudkan agar lekuk tubuh yang telah diperlihatkan dengan menggunakan bentuk Obi yang lebih besar dapat memperlihatkan bagian pinggul yang sangat mendukung tubuh agar bisa berbentuk seperti lekukan huruf S. Menurut penulis adanya perubahan pemakaian Obi menunjukan bahwa wanita Jepang juga memiliki ketertarikan untuk menonjolkan lekuk tubuh mereka pada saat memakai Kimono, seperti yang dilakukan oleh wanita Barat pada saat mengenakan pakaian yang selalu ingin menonjolkan lekuk tubuh. Pernyataan ini sesuai dengan konsep masyarakat Jepang pada era Taisho yang penulis kutip dari Stevens, dan Wada (1996). mengatakan bahwa: The ideal body of the Western woman in the early 20th century was S- curve. How ever, a very subtle penetration of this idealized form did occur in the shape of ladies Wafuku even as Japanese women determined not to wear Western style dress. During this time period, a Boxy style of Obi came into style, which is worn higher, and the shape is larger. Thus the Kimono silhouette was very similar to the idealized Western silhouette. Bentuk ideal tubuh bagi wanita Barat pada awal abad ke-20 adalah yang menyerupai lekuk huruf S. Bagaimanapun juga masuknya budaya Barat yang secara perlahan mempengaruhi bentuk pakaian wanita Jepang, meskipun sebagai wanita Jepang tidak menetapkan untuk memakai pakaian ala Barat. Selama periode ini Obi dengan gaya Boxy menjadi tren, dimana pemakaian Obi menjadi lebih tinggi, dan bentuk yang lebih lebar. Bayangan bentuk Kimono seperti ini sangat menyerupai dengan bayangan idealnya pakaian Barat.
26
Berdasarkan pada konsep masyarakat Jepang pada era Taisho tersebut dapat diketahui bahwa adanya ketertarikan masyarakat Jepang dalam berpakaian yang juga ingin menonjolkan lekuk tubuh seperti wanita Barat. Perubahan yang terjadi dengan mengubah pemakaian Obi yang dinamakan Boxy Style of Obi. Jenis Kimono yang mengalami perubahan pemakaian Obi adalah Homongi (lampiran gambar 5), Omeshi (lampiran gambar 6), Yukata (lampiran gambar 6), Tomesode (lampiran gambar 7), Furisode (lampiran gambar 7). Menurut penulis berdasarkan analisis gambar yang ada pada lampiran tersebut menunjukan bahwa Kimono Homongi, Omeshi, Yukata, Tomesode dan Furisode memakai Boxy Style Obi.
Kimono jenis Uchikake tidak mengalami
perubahan karena jenis Kimono ini merupakan jubah dan tidak memakai Obi (lampiran gambar 5) Unsur budaya Barat yang digunakan orang Jepang kedalam salah satu budaya yang dimilikinya yaitu Kimono merupakan wujud diterimanya unsur budaya asing, kemudian budaya asing tersebut diolah ke dalam kebudayaan Jepang namun tidak menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri. Sehingga pengaruh yang diberikan oleh budaya Barat terhadap Kimono dapat dikatakan sebagai akulturasi budaya. Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (2005:155) mengenai akulturasi budaya, akulturasi merupakan proses sosial dimana kebudayaan asing (budaya Barat) diterima oleh suatu kebudayaan tertentu (dalam hal ini adalah budaya Jepang yaitu Kimono) tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan asli. Menurut analisis penulis teori akulturasi budaya ini menggambarkan bahwa orang Jepang dengan Kimono yang mereka miliki telah dihadapi oleh unsur kebudayaan barat yaitu tata cara pemakaian pakaian Barat yang membentuk lekuk tubuh seperti huruf S. Tata cara pemakaian pakaian Barat yang menonjolkan lekuk tubuh tersebut lambat laun 27
diterima oleh masyarakat Jepang yang kemudian diolah kembali sehingga hasilnya tampak pada letak pemakaian Obi yang menjadi lebih tinggi di atas dan lebar Obi menjadi lebih besar. Pemakaian Obi seperti ini dimaksudkan agar dapat memperlihatkan lekuk tubuh pada saat memakai Kimono, namun perubahan ini tidak menyebabkan hilangnya kepribadian dari Kimono itu sendiri yang tetap mempertahankan bentuk Kimono yang lurus.
3.1.2
Analisis Perkembangan Motif Pada Kimono. Faktor dari motif dan warna yang serasi akan membuat Kimono terlihat menjadi
lebih indah yang dapat membuat pemakai Kimono menjadi lebih cantik. Motif Kimono itu sendiri dapat memberikan makna penting bagi pemakainya seperti makna keberuntungan dan fleksibilitas. Motif yang melambangkan keberuntungan bagi pemakainya adalah motif yang bergambar kura- kura atau burung bangau yang bermakna umur panjang. Kemudian contoh motif yang bermakna fleksibilitas adalah motif pohon cemara, motif ini dapat melambangkan kesetiaan bagi pemakainya. Motif- motif pada Kimono ini terus berkembang, perkembangan motif ini juga terjadi pada Kimono era Taisho. Motif yang berkembang pada era Taisho adalah motif abstrak, menurut Stevens, dan Wada (1996) mengatakan bahwa “the patterns during Taisho period (1912-1926) are no longer only of natural beauty, like trees and birds but are often abstrac design.” Apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah “pola yang digunakan pada era Taisho (1912- 1926) tidak lagi hanya seputar keindahan alam seperti pepohonan, burung tetapi juga banyak digunakan motif abstark.” Perkembangan motif yang terjadi pada era Taisho dapat dilihat pada gambar di bawah ini, yaitu gambar 3.4 “Motif Kimono Sebelum Mendapat Pengaruh Budaya Barat” 28
dan gambar 3.5 “Motif Kimono Setelah Mendapat Pengaruh Budaya Barat Pada Era Taisho”.
Gambar 3.4 Motif Kimono Sebelum Mendapat Pengaruh Dari Budaya Barat
Gambar 3.5 Motif Kimono Setelah Mendapat Pengaruh Dari Budaya Barat Pada Era Taisho
Orang Jepang memiliki kedekatan dengan alam hal ini dapat dilihat melalui motif Kimono yang dipakainya. Motif yang menggambarkan bahwa orang Jepang memiliki kedekatan dengan alam adalah motif pemandangan alam, berbagai macam jenis bunga, pepohonan, ataupun binatang. Motif Kimono pada masa sebelum mendapatkan pengaruh dari Barat banyak menggambarkan keindahan alam, seperti contoh gambar 3.4 yang pada motif Kimono tersebut menggambarkan bunga. Perkembangan motif yang terjadi pada era Taisho tidak terlalu merubah kesenangan orang Jepang akan motif yang menggambarkan pemandangan alam, hanya saja bentuknya sedikit berubah yaitu menjadi lebih abstrak. Hal ini jelas dapat dilihat pada gambar 3.5 Kimono tetap menampilkan motif keindahan alam yaitu bunga namun bentuk dari bunga tersebut menjadi abstrak.
29
Motif abstark pada era Taisho yang digunakan oleh orang Jepang dalam Kimono berasal dari Barat, hal ini sesuai dengan konsep abstrak ekspresionisme yang penulis dapat dari The Free Encyclopedia, “Abstract Expressionism” ( 2006). Konsep abstrak ekspresionisme ini mengatakan bahwa: Abstract expressionism was an American post- World War I art movement. It was the first specifically American movement to achieve worldwide influence and also the one that put New York City at the art world, a role formerly filled by Paris. Abstrak ekspresionisme adalah kemajuan seni Amerika pada Perang Dunia I. Hal ini merupakan kemajuan spesifik Amerika pertama untuk mencapai pengaruhnya di dunia dan juga untuk menempatkan kota New York sebagai pusat seni dunia yang sebelumnya diperankan oleh Paris. Menurut penulis berdasarkan konsep abstrak ekspresionisme tersebut menjelaskan bahwa motif abstrak datang dari negara Barat yang dibawa masuk ke Jepang pada masa Perang Dunia I. Kata abstrak itu sendiri berdasarkan artikel yang penulis dapat dari The Free Encyclopedia, “Abstarct Art” (2006) memiliki arti: Abstract art is now generally understood to mean art that does not depict objects in the natural world, but instead uses color and form in a non- representational or subjective way. In the very early 20th century, the term was more often used to describe art, such as Cubist and line art, that depicts real form in a simplified by keeping only an allusion of the original natural subject. Seni abstrak pada umumnya dipahami sebagai seni yang tidak menggambarkan obyek naturalnya, tapi sebaliknya menggunakan warna dan bentuk dalam gambaran yang tidak seperti aslinya atau membuat dengan cara subyektif. Pada awal abad ke-20, di masa ini lebih sering digunakan untuk menjabarkan seni, seperti seni kubus dan garis yang menggambarkan bentuk aslinya menjadi lebih simpel dengan hanya membuat kiasan dari obyek natural aslinya. Menurut penulis dari gambar 3.5 pada Kimono motif yang digunakan adalah bentuk kiasan dari bentuk obyek aslinya yaitu bunga. Berdasarkan pengertian seni abstrak yang telah penulis jelaskan sebelumnya dapat dilihatbahwa motif pada gambar 3.5 menampilkan motif abstrak yang merupakan pengaruh dari Barat, karena dalam 30
menggambarkan obyeknya tidak menunjukan obyek naturalnya tetapi hanya menunjukan obyek kiasan dari obyek aslinya. Selain motif abstrak, pada era Taisho juga berkembang motif garis- garis. Seperti dalam artikel yang penulis dapat dari Immortal Geisha, “Taisho Kimono”( 2006), yang mengatakan motif garis- garis dan motif vertikal lainnya sangat populer pada era Taisho. Motif garis- garis yang dipakai pada Kimono dapat dilihat pada gambar 3.6 ”Motif GarisGaris Pada Kimono Era Taisho”.
Gambar 3.6 Motif Garis- Garis Pada Kimono Era Taisho.
Menurut penulis motif garis- garis yang digunakan pada Kimono era Taisho juga merupakan pengaruh yang datang dari Barat, karena ada keterkaitan antara seni garis dan abstrak yang berasal dari Barat. Pernyataan ini didukung oleh kutipan pengertian seni abstrak yang penulis dapat dari The Free Encyclopedia, “Abstract art” (2006), yang mengatakan bahwa “Pada awal abad ke-20 di masa ini abstrak lebih sering diartikan sebagai seni kubus dan seni garis”. Dari kutipan tersebut menjelaskan bahwa motif garisgaris yang ada di Jepang juga merupakan pengaruh yang datang dari Barat. 31
Menurut analisis penulis perkembangan motif pada Kimono era Taisho yang menjadi motif abstrak ini dilatarbelakangi oleh terlibatnya Jepang pada Perang Dunia I.. Terlibatnya Jepang pada Perang Dunia I ini menyebabkan masuknya budaya Barat yaitu seni abstrak yang mulai disebarkan pengaruhnya oleh Amerika pada saat Perang Dunia I keseluruh dunia termasuk Jepang. Perluasan pengaruh dalam dunia seni abstrak ini membeerikan dampak di negara Jepang, karena Jepang juga ikut ambil bagian dalam Perang Dunia I bersama dengan negara- negara Barat lainnya. Ikut ambil bagian Jepang dalam Perang Dunia I sesuai dengan konsep masyarakat Jepang pada era Taisho yang telah penulis jelaskan sebelumnya pada bab 2. Perkembangan motif ini terjadi pada Kimono jenis Homongi (gambar 3.5), Omeshi (lampiran gambar 8), Yukata (lampiran gambar 8) dan Furisode (lampiran gambar8). Menurut penulis berdasarkan analisis gambar yang ada pada lampiran tersebut menunjukan bahwa motif Kimono Homongi, Omeshi, Yukata dan Furisode mengalami perkembangan menjadi motif abstrak. Kimono jenis Tomosode tidak mengalami perubahan karena ciri khas dari Tomosode adalah motif yang indah pada Suso yaitu bagian bawah sekitar kaki yang selalu menggambarkan keindahan alam. Adanya perkembangan motif Kimono ini menurut analisis penulis merupakan suatu proses akulturasi budaya. Akulturasi merupakan proses sosial dimana kebudayaan asing (motif yang berasal dari Barat) diterima oleh suatu kebudayaan tertentu (dalam hal ini adalah motif yang telah dimiliki Jepang sebelumnya) tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan asli. Proses akulturasi budaya yang terjadi pada motif Kimono ini dimulai dari datangnya tren motif abstrak yang dibawa oleh bangsa Barat ke Jepang, kemudian oleh orang Jepang motif ini mulai digemari dan lambat laun diterima lalu diolah kedalam 32
motif Kimono. Masuknya motif Barat ini tidak menghilangkan ciri khas motif Kimono Jepang yang banyak menggambarkan kedekatan dengan alam, karena meskipun bentuk motifnya berubah menjadi abstark tetapi obyek yang dijadikan motif Kimono tetap menggambarkan unsur alam.
3.1.3
Analisis Perkembangan Warna Pada Kimono. Di samping motif Kimono yang mengalami perkembangan pada era Taisho,
warna pada Kimono juga mengalami perkembangan. Pemilihan warna yang tepat pada Kimono dapat membangkitkan rasa dan suasana hati, warna juga dapat memberikan makna kiasan tersendiri bagi pemakainya seperti warna merah yang melambangkan sensualitas, warna ungu yang melambangkan konotasi cinta yang tidak pernah mati, dan lain- lain. Warna Kimono pada masa sebelum masuknya budaya Barat banyak didominasi dengan warna- warna lembut kalaupun ada warna yang lebih cerah hanya dikenakan oleh wanita yang berusia muda, wanita yang berusia sekitar tiga puluh tahun tidak mau mengenakan Kimono dengan warna cerah. Wanita di atas usia tiga puluh tahun tidak mau mengenakan Kimono berwarna cerah karena mereka menganggap warna- warna cerah hanya cocok untuk kaum muda saja, sedangkan menurut mereka warna- warna lembutlah yang cocok untuk wanita yang berusia tiga puluh tahun keatas. Pernyataan ini didukung oleh artikel yang penulis dapat dari Stevens, dan Wada “Japanese Adoption Western Dress” (2006) yang mengatakan bahwa: For Japanese woman, a woman over thirty did not wear red or bright colors. Clothes with bright colors only suitable to be worn by young women to show their cheerfulnessin living the live, while soft colors always give wonderful performance to Japanese women in the age of thirty or above.
33
Bagi wanita jepang, wanita yang berusia diatas 30 tahun tidak memakai pakaian berwarna merah atau warna cerah. Pakaian dengan warna cerah hanya dipakai oleh kaum muda yang menunjukan keceriaan kehidupan mereka, sementara itu warna lembut memberikan penampilan yang cantik kepada wanita Jepang yang berusia di atas tiga puluh tahun. Seiring dengan berkembangnya zaman warna Kimono pada era Taisho juga mengalami perkembangan. Warna- warna cerah mulai banyak mendominasi warna Kimono yang tidak lagi hanya untuk kaum muda saja, melainkan kaum wanita usia paruh baya juga mulai menggemari warna- warna cerah untuk Kimono mereka. Perkembangan warna pada Kimono yang menjadi lebih cerah dapat dilihat pada gambar 3.7 dan 3.8.
Gambar 3.7 Warna Pada Kimono Sebelum Mendapat Pengaruh Budaya Barat.
Gambar 3.8 Warna Pada Kimono Setelah Mendapat Pengaruh Budaya Barat Pada Era Taisho.
Perkembangan warna yang terjadi di era Taisho terlihat jelas pada gambar 3.9 yang menunjukan warna Kimono setelah masuknya budaya Barat menjadi lebih berani dengan dominasi penggunaan warna cerah, sedangkan pada gambar 3.8 menunjukan warna yang digunakan pada Kimono sebelum masuknya kebudayaan barat yang berwarna lebih lembut atau warna pastel. 34
Warna- warna cerah ini mencerminkan tren yang dibawa oleh Barat masuk ke Jepang. Pernyataan ini didukung oleh data yang penulis dapat dari Wilson, “Bright Color” (2006) yang mengatakan bahwa: Focusing on the 20th century “Fashion in Colors” in Europe accompanied by a brigth colors. It becomes trend in European which has a symbol of purity, color of mourning in the east. Fokus pada abad ke-20 “Mode Warna” di Eropa disertai dengan warna cerah/ menyala. Hal ini menjadi tren di kalangan orang Eropa yang memberikan simbol kemurnian, seperti warna pagi hari di Timur. Menurut penulis berdasarkan data tersebut mengenai tren warna yang ada di Eropa pada abad ke-20, menjelaskan bahwa warna menyala merupakan ciri khas warna dari Eropa yang dibawa masuk ke Jepang dan kemudian menjadi tren pada Kimono. Dalam artikel mengenai perkembangan warna Kimono pada era Taisho menurut Stevens, dan Wada (2006) mengatakan bahwa “Bagi orang Barat tidak ada hubungan yang spesial antara warna dan usia seseorang, dalam berpakian mereka bebas mengenakan warna apa saja”. Selain dari artikel tersebut penulis juga mengambil dari artikel lain Marmallett, “textile” (2006) mengenai perkembangan warna pada Kimono era Taisho. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa warna cerah pada Kimono mencerminkan gaya hidup yang sibuk serta ekspresi diri yang dituangkan kedalam pemilihan warna yang lebih cerah. Perubahan warna ini terjadi pada Kimono jenis Tomesode yang dipakai oleh wanita usia paruh baya yang sudah menikah, sebelumnya Tomesode tidak berwarna cerah hanya berwarna hitam disebut Kuro Tomesode (lampiran ganbar 7). Namun berdasarkan analisis penulis di atas Tomesode tidak lagi terbatas pada warna hitam atau warna lembut saja tetapi juga berkembang menjadi warna cerah yang disebut Iro Tomesode (gambar 3.8). 35
Menurut analisis penulis dengan adanya pemikiran Barat bahwa tidak ada hubungan yang spesial antara usia dan warna serta kebebasan orang Barat dalam memilih warna saat berpakaian memberikan pengaruh kepada orang Jepang. Pengaruh ini membuat orang Jepang juga berpikir bahwa setiap orang dapat bebas memilih warna pakaian yang disukainya dalam berpakaian. Kebebasan yang juga dimiliki Jepang ini didukung oleh kutipan dari Fukuzawa (1985:60) yang mengatakan bahwa “Sebagai makhluk ciptaan tuhan untuk mendayagunakan seluruh potensi yang terdapat di bumi untuk memenuhi kebutuhan mereka akan sandang dengan bebas”. Berdasarkan pendapat tersebut jelas bahwa masyarakat Jepang juga memiliki kebebasan dalam hal sandang, yaitu pakaian termasuk unsur didalamnya adalah pemilihan warna. Perkembangan warna yang menjadi lebih berani dalam menggunakan warnawarna cerah pada Kimono menurut analisis penulis juga merupakan wujud akulturasi budaya. Akulturasi budaya dapat terjadi jika kebudayaan tertentu (budaya Jepang yang membatasi usia dalam memilih warna pakaian) yang dihadapkan pada unsur- unsur kebudayaan asing (budaya kebebasan memilih warna yang dimiliki Barat), kemudian setelah mengalami proses kemudian kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima oleh kebudayaan itu sendiri tanpa menghilangkan kepribadian dari kebudayaan asli (Koentjaraningrat, 2005: 155). Pengaruh budaya Barat dalam hal kebebasan memilih warna yang tidak dihubungkan dengan usia seseorang mulai diterima dan diolah oleh orang Jepang ke dalam kebudayaan yang mereka miliki yaitu Kimono. Budaya Barat yang diterima dan diolah oleh orang Jepang pada Kimono hanya diapliklasikan pada warna saja tidak merubah struktur atau bentuk Kimono itu sendiri. Menurut analisis penulis hal ini jelas menandakan adanya akulturasi budaya . 36
3.1.4
Analisis Perkembangan Bahan Yang Digunakan Pada Kimono. Jenis bahan yang digunakan untuk membuat Kimono terdiri dari bermacam-
macam jenis seperti katun, linen, atau sutra. Namun seiring berkembangnya zaman pemakaian jenis bahan pada Kimono juga mengalami perubahan sesuai dengan masanya. Dalam artikel yang penulis ambil dari The Free Encyclopedia, ”Zaman Meiji dan Zaman Taisho” (2006) yang mengatakan bahwa setelah peraturan pemakaian benang sutera dinyatakan tidak berlaku lagi, kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain. Pada saat yang bersamaan, industri pemintalan benang sutera didirikan di banyak tempat di Jepang. Sesuai pesatnya perkembangan industri pemintalan, berkembang pula industri tekstil yang menggunakan benang sutera. Produk industri tekstil pada zaman ini adalah berjenis-jenis kain sutera seperti silk crepe, rinzu, omeshi, dan meisen. Peraturan pemakaian benang sutra yang dimaksud adalah peraturan yang berasal dari Bakufu (pemerintahan era Edo) untuk menguasai petani, karena pajak yang dikumpulkan dari petani merupakan sumber pendapatan utama Bakufu. Peraturan Bakufu tersebut didukung oleh Surajaya (2001: 74) yang mengatakan bahwa: 幕府の最も重要な問題は、総人口の約80パーセントを占める農民をど のように支配するかであった。それは、農民から集める税(年貢)が幕府 の主な財源だからである。家康は、「百姓どもをば死なないように、生き ないようによく考えて税をとれ」と言ってある。幕府や各藩は、規則(慶 長の御触書)をつくって農民の日常性活を細かく指示し、制限した。そこ では、「米は税(年貢米)として納めるものであるから、たくさん食べな いように麦や大根などをいれて食べること、酒や茶を買って飲まないこと、 着る物は麻や木綿のほかは着ないこと」などとしている。 Masalah yang sangat penting bagi Bakufu adalah bagaimana menguasai jumlah petani yang meliputi hampir 80% dari total jumlah penduduk. Hal tersebut adalah dikarenakan pajak yang dikumpulkan dari petani merupakan sumber pendapatan utama Bakufu. Ieyasu mengatakan, pikir baik- baik dan tariklah pajak dari petani sehingga petani tidak mati dan tidak hidup. Baik Bakufu maupun tiap- tiap Han 37
membuat peraturan yang membatasi dan mengarahkan dengan jelas kehidupan petani sehari- hari. Dalam peraturan tersebut beras dikumpulkan sebagai pajak, karena itu agar tidak banyak memakan beras maka dimasukanlah lobak, gandum dan sebagainya. Tidak diperbolehkan membeli dan meminum sake maupun teh, serta tidak boleh memakai pakaian selain yang terbuat dari linen dan katun. Penulis juga mengambil artikel dari The Free Encyclopedia, ”Zaman Edo periode Lanjut” (2006), yang membahas mengenai peraturan yang melarang pemakaian jenis kain sutra pada masa sebelum mendapat pengaruh Barat. Dalam artikel dikatakan bahwa: Pemerintah Bakufu berusaha kembali memaksakan cara berpakaian dan gaya potongan rambut yang sesuai dengan kelas-kelas di dalam masyarakat. Kali ini pemerintah Bakufu berhasil memaksakan keinginannya. Bahan pakaian orang kota tidak lagi dibuat dari kain sutera yang dikontrol oleh pemerintah, melainkan dari kain katun atau kain serat rami. Hal ini ternyata menumbuhkan kreativitas masyarakat agar kimono yang dibuat dari kain katun atau serat rami terlihat bagus dipakai. Penulis menganalisis bahwa pada masa sebelum mendapat pengaruh dari Barat, bahan yang digunakan untuk membuat Kimono oleh orang Jepang adalah jenis kain katun dan linen. Setelah masuknya pengaruh Barat membuat pemakaian jenis bahan pada Kimono berkembang, tidak hanya memakai jenis bahan katun dan linen saja tetapi juga mulai digunakan jenis bahan kain sutra. Penulis juga menganalisis bahwa setelah tidak berlakunya peraturan yang dibuat pada masa sebelum mendapat pengaruh dari Barat oleh Bakufu menjadi latar belakang digunakannya jenis kain sutra untuk membuat Kimono. Selain tidak berlakunya lagi peraturan oleh Bakufu, pemakaian jenis kain sutra pada Kimono ini juga disebabkan oleh berkembangnya industri pemintalan benang sutra serta berkembangnya industri teksil yang menggunakan benang sutra pada era Taisho. Mulai berkembangnya industriindustri di Jepang menurut penulis adalah salah satu dampak dari modernisasi. Modernisasi itu sendiri merupakan kemajuan yang mendapat pengaruh Barat dan dapat disebut juga sebagai Westernisasi. 38
Keterkaitan antara modernisasi dengan westernisasi menurut penulis sesuai dengan konsep modernisasi oleh Kuwabara Takeo mengenai modernisasi terdiri dari enam elemen, salah satu dari enam elemen itu mengatakan bahwa pergantian barang buatan tangan dan sistem pabrik pra modern menjadi produksi pabrik disertai dengan pengetahuan, teknologi, dan mekanisasi yang maju adalah proses modernisasi. Kemudian modernisasi menjadi sinonim dengan westernisasi, karena menjadikan negara Barat sebagai acuan dalam proses modernisasi. Pada konsep modernisasi tersebut menurut analisis penulis berhubungan dengan keadaan yang terjadi pada era Taisho yang industri- industrinya mulai banyak berkembang. Perkembangan industri ini juga terjadi pada industri benang sutra yang juga menjadi latar belakang digunakannya kain sutra untuk membuat Kimono. Penggunaan kain sutra yang merupakan buatan pabrik pada Kimono menunjukan adanya perubahan barang buatan tangan menjadi industri pabrik. Perubahan dari barang buatan tangan menjadi buatan pabrik dapat dikatakan sebagai proses modernisasi yang terkait dengan westernisasi, karena yang menjadi acuan dalam kemajuan Jepang adalah negara Barat. Perkembangan jenis pemakaian bahan ini terjadi pada Kimono jenis Homongi, Omeshi, Tomesode, dan Furisode. Kimono jenis Yukata tidak ikut mengalami perubahan karena menurut analisis penulis jenis Kimono ini merupakan Kimono santai pada musim panas yang hanya terbuat dari kain katun, oleh sebab itu Yukata pada masa sebelum era Taisho dan pada masa era Taisho tetap tidak berubah yaitu memakai bahan katun. Analisis penulis ini didukung oleh data yang penulis dapat dari “Kimono”, The free Encyclopedia (2006) yang mengatakan bahwa “Yukata adalah jenis Kimono santai yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis yang dipakai untuk kesempatan santai di musim panas”. 39
Berkembangnya pemakaian jenis kain pada pembuatan Kimono dari masa sebelumnya yang hanya diperbolehkan menggunakan kain katun dan linen buatan tangan, hingga pada era Taisho banyak digunakan kain sutra untuk membuat Kimono menurut analisis penulis merupakan perkembangan yang mendapat pengaruh dari Barat.
3.1.5
Analisis Perubahan Jumlah Lapisan Yang Dikenakan Pada Kimono. Lapisan Kimono merupakan komponen Kimono yang kurang terlihat jika
dibandingkan dengan Obi, motif, corak ataupun model Kimono. Bentuknya yang monoton membuat lapisan Kimono menjadi kurang terlihat, lain halnya dengan motif, corak, Obi, ataupun model Kimono yang memiliki berbagai macam variasi. Meskipun demikian lapisan Kimono tetap memegang peranan penting pada saat memakai Kimono. Pada sub bab ini penulis akan menganalisis mengenai lapisan Kimono pada era Taisho. Pada era Taisho pemakaian lapisan Kimono mengalami perubahan. Sebelum masuknya budaya Barat lapisan Kimono yang dipakai berjumlah lima lapis, kemudian setelah mendapat pengaruh budaya Barat lapisan yang dipakai berjumlah dua lapis. Perubahan
pemakaian
jumlah
lapisan
ini
dapat
dilihat
pada
gambar
3.9 ”Pemakaian Lapisan Kimono Berjumlah Lima Lapis Sebelum Mendapat Pengaruh Budaya Barat” dan gambar 3.10 ”Pemakaian Lapisan Kimono Berjumlah Dua lapis Pada Era Taisho”.
40
Gambar 3.9 Pemakaian Lapisan Kimono Berjumlah Lima Lapis Sebelum Mendapat Pengaruh Budaya Barat.
Gambar 3.10 Pemakaian lapisan Kimono Berjumlah Dua Lapis Pada Era Taisho
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat perbedaan penggunaan lapisan pada saat mengenakan Kimono..Pada gambar 3.9 terlihat lapisan pada Kimono sebelum mendapatkan pengaruh dari Barat. Pemakaian lapisan tersebut berjumlah lima buah lapisan. Kemudian pada gambar 3.10 terlihat lapisan Kimono pada era Taisho yang telah mendapat pengaruh dari Barat, pemakaian lapisan tersebut menjadi dua buah lapisan saja. Mengenai berkurangnya jumlah lapisan yang dikenakan pada era taisho terdapat di dalam sebuah artikel yang penulis ambil dari Immortal Geisha, ”Taisho Kimono” (2006). Di dalam artikel tersebut dikatakan bahwa “Taisho Kimono (大正 30 Juli 191225 Desember 1926) less layers are worn (often just one Kimono and one Juban)”. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah “Kimono era Taisho (大正 30 july 1912- 25 December 1926) lapisan yang dipakai lebih sedikit (satu lapisan Kimono dan satu lapisan Juban)”.
41
Pada era sebelum masuk Negara Barat pemerintah bakufu membuat sistim golongan masyarakat yang disebut Shinokosho. Pernyataan penulis ini didukung oleh kutipan pendapat dari Surajaya (2001) yang mengatakan bahwa: 幕府は、少しの武士がおおぜいの農民や町人を支配するために、士農工商 (武士、農民、職人、商人)という身分制度をつくった。(商人の下には さらに、「えた非人」とよばれる階級をおいて差別した。) Bakufu membuat sistim golongan masyarakat yang disebut Shinokosho (kaum militer, petani, pekerja, dan pedagang) dan kaum militer yang jumlahnya sedikit untuk menguasai kaum petani dan masyarakat kota yang jumlahnya banyak. Di bawah golongan Shomin (pedagang), ada kelompok masyarakat lainnya yang disebut Eta dan Hinin. Adanya pembagian golongan masyarakat (Shinokosho) yang dibuat oleh pemerintah Bakufu berdampak pula pada cara berpakaian yang menunjukan kelas masing- masing di dalam masyarakat. Cara berpakaian pada masa pemerintahan Bakufu itu menggunakan Kimono yang berlapis bagi kaum bangsawan saja (seperti yang terlihat pada gambar 3.10), untuk kalangan rakyat biasa umumnya memakai Kosode sebagai pakaian mereka. Kosode itu sendiri bagi kaum bangsawan merupakan pakaian lapisan dalam. Dengan adanya perbedaan pemakaian jumlah lapisan dapat menunjukan perbedaan asal kelas masing- masing. Penulis menganalisis bahwa pembagian kelas yang dibuat oleh pemerintahan Bakufu menjadi latar belakang dikenakannya lapisan Kimono yang lebih dari satu lapis. Pada era Taisho dimana kebudayaan Barat banyak mepengaruhi Jepang membuat pemakaian lapisan dalam jumlah banyak tidak lagi berlaku. Pada era ini masyarakat hanya mengenakan dua lapisan saja yaitu Hadajuban sebagai lapisan dalam dan Juban sebagai lapisan luar. Pada era Taisho ini pembagian kelas berdasarkan peraturan pemerintah Bakufu sudah tidak berlaku lagi, Jepang menerapkan pemikiran barat dalam 42
hal meniadakan peraturan sistim Shinokosho yang dibuat oleh pemerintah Bakufu. Penerapan pemikiran Barat yang dilakukan oleh Jepang sesuai dengan yang dikatakan oleh Surajaya (2001) yang mengatakan bahwa: 思想では、自由主義、個人主義などの欧米の近代思想が入り、人間はみな 自由評等で、幸福を求める権利があるという考えが広まった。 Dibidang pemikiran diterapkan pemikiran dari Barat yaitu: manusia semuanya bebas dan sederajat, dan mempunyai hak yang sama untuk menuntut pemikiran untuk mendapat keadilan dalam mencapai kebahagiaan dan kebebasannya sehingga pemikiran ini akhirnya meluas di masyarakat. Menurut analisis penulis peraturan penetapan kelas- kelas masyarakat yang tidak berlaku lagi mendapat pengaruh dari pemikiran Barat. Pemikiran dari Barat bahwa manusia semua bebas dan sederajat tersebut menjadi latar belakang pemakaian lapisan Kimono tidak lagi berlapis- lapis melainkan hanya dua lapis. Penulis menganalisis bahwa perubahan pemakaian jumlah lapisan Kimono ada pada Kimono jenis Homongi (gambar 5), Omeshi (gambar 6), Furisode (gambar 7) dan Tomesode (gambar7). Kimono jenis Uchikake tidak mengalami perubahan karena Kimono jenis ini pemakaiannya tidak hanya terdiri dari dua lapis saja. Kimono ini dipakai oleh wanita pada saat menikah yang berfungsi sebagai jubah untuk melapisi Kimono bagian dalam yang sudah terdiri dari dua buah lapisan. (lampiran gambar 5). Kimono jenis Yukata juga tidak mengalami perubahan. Berdasarkan data dari “Kimono”, The free Encyclopedia (2006) mengatakan bahwa “Yukata adalah jenis Kimono santai yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis yang dipakai untuk kesempatan santai di musim panas”. Penulis menganalisis bahwa Kimono Yukata sebelum era Taisho maupun pada saat era Taisho tidak memiliki lapisan sehingga tidak mengalami perubahan.
43
Perubahan pemakaian jumlah lapisan pada Kimono ini menurut analisis penulis merupakan suatu proses akulturasi budaya. Hal ini terlihat dari timbulnya suatu proses sosial bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu (dalam hal ini adalah Jepang yang sebelumnya menganut sisitm hirarki) dihadapkan dengan unsurunsur dari kebudayaan asing (dalam hal ini adalah pemikiran Barat yang menganggap bahwa manusia sederajat dan mempunyai hak yang sama) dengan sedemikian rupa, sehingga unsur- unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 2005: 155). Dengan diterimanya pemikiran barat ke dalam pemikiran Jepang untuk kemudian diterapkan di dalam kehidupan Jepang dalam bermasyarakat merupakan wujud akulturasi budaya.
3.2
Analisis Perubahan Pemakaian Kimono Ditinjau Dari Segi Asimilasi Budaya. Setiap zamannya Kimono yang merupakan pakaian nasional Jepang mengalami
perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan tersebut dapat meliputi cara pemakaian Kimono, motif dan corak Kimono, bentuk Kimono, maupun keberadaan Kimono ditengah- tengah masyarakat Jepang sebagai pemakai Kimono. Perkembangan dan perubahan Kimono ini ada pada setiap zamannya, kejadian- kejadian penting pada setiap Jaman yang berbeda- beda mempengaruhi sejauh mana Kimono berkembang dan berubah. Keberadaan Kimono pada masa sebelum masuknya kebudayaan Barat dapat dirasakan setiap saat oleh masyarakat Jepang. Keberadaan Kimono yang dapat dirasakan oleh masyarakat Jepang disebabkan oleh karena dalam aktifitas sehari- hari orang Jepang selalu memakai Kimono sebagai pakaian mereka.
44
Pada era Taisho keberadaan Kimono di antara masyarakat Jepang mengalami perubahan. Perubahan keberadaan Kimono di antara masyarakat Jepang berawal dari bertemunya budaya Barat dengan budaya Jepang, kemudian budaya Barat yang mampu mendominasi menyebabkan terjadinya proses yang disebut dengan asimilasi budaya. Proses asimilasi budaya inilah yang menyebabkan perubahan keberadaan Kimono diantara masyarkat Jepang, karena kecenderungan banyaknya masyarakat Jepang yang menyerap dan meniru budaya Barat. Keberadaan budaya Barat di Jepang menimbulkan dualisme di antara masyarakat Jepang, yaitu pilihan di antara menolak atau menerima budaya Barat yang masuk ke Jepang. Namun seiring dengan proses sejarah yang terus berlangsung dan tuntutan untuk membuat negara menjadi lebih maju dan mengikuti peradaban, membuat budaya Barat menjadi diterima ditengah- tengah masyarakat Jepang. Budaya Barat yang diterima dan diolah oleh masyarakat Jepang membuat Kimono yang pada masa sebelum budaya Barat masuk ke Jepang selalu dikenakan untuk aktifitas sehari- hari, kini dirasakan sudah mulai berkurang. Intensitas pemakaian Kimono yang mulai berkurang untuk aktifitas sehari- hari terjadi pada era Taisho.
3.2.1 Analisis Perubahan Pemakaian Kimono Pada Saat Pergi Sekolah. Pada masa sebelum masa sebelum datangnya budaya Barat ke Jepang, pakaian yang dikenakan pada saat ke sekolah untuk wanita adalah Andon Hakama. Namun seiring berkembangnya zaman dan keberadaan budaya Barat di Jepang, pakaian Kimono yang dikenakan sehari- hari termasuk untuk beraktifitas ke sekolah berubah menjadi seragam berupa setelan rok dan baju blus yang mirip dengan pakaian yang di pakai oleh tentara
45
angkatan laut Inggris (lampiran gambar 10), pakaian ini disebut Serafuku. Andon Hakama dapat dilihat pada gambar 3.11 dan gambar 3.12 Sailorfuku.
Gambar 3.11 Andon Hakama Dipakai Oleh Wanita Untuk Pergi Ke Sekolah Sebelum Mendapat Pengaruh Budaya Barat.
Gambar 3.12 Sailorfuku Pakaian Seragam Sekolah Wanita Pada Era Taisho.
Berdasarkan gambar 3.12 dan 3.13 terlihat perbedaan antara pakaian seragam sekolah yang dikenakan pada masa sebelum masuknya budaya Barat ke Jepang dengan pakaian seragam sekolah setelah masuknya budaya Barat ke Jepang yaitu pada era Taisho. Selain pakaian wanita untuk aktifitas ke sekolah yang berubah, pakaian pria untuk aktifitas ke sekolah juga mengalami perubahan. Pakaian yang dikenakan oleh kaum pria untuk aktifitas ke sekolah adalah Kimono untuk laki- laki. Kemudian setelah mendapat pengaruh dari budaya Barat telihat adanya perubahan pada pakaian Kimono yang semula dikenakan untuk ke sekolah oleh pria berubah menjadi pakaian seragam yang ditiru dari model seragam tentara angkatan darat (lampiran gambar 11). Pakaian seragam sekolah untuk pria pada masa sebelum masuknya budaya Barat ke Jepang dapat dilihat pada gambar 3.13 “Kimono Yang Dipakai Pria Untuk Pergi Ke 46
Sekolah Sebelum Mendapatkan Pengaruh Budaya Barat” Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa pria pada saat pergi ke sekolah masih mengenakan Kimono. Setelah masuknya budaya Barat pada era Taisho, pria yang hendak pergi kesekolah tidak lagi mengenakan Kimono melainkan memakai seragam sekolah dengan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak. Pakaian seragam ini disebut juga Stand up Collar yang mengikuti model seragam tentara Angkatan Darat Inggris. Pakaian seragam pria ini dapat dilihat pada gambar 3.14 “Stand Up Collar Yang Merupakan Seragam Sekolah Pria Pada Era Taisho”.
Gambar 3.13 Kimono Yang Dipakai Pria Untuk pergi Ke Sekolah Sebelum Mendapat Pengaruh Budaya Barat
Gambar 3.14 Stand up Collar Yang Merupakan Seragam Sekolah Pria Pada Era Taisho
Dalam artikel yang penulis kutip dari The Free Encyclopedia, “Zaman Meiji dan Zaman Taisho” (2006) mengatakan bahwa:
Pada zaman Taisho periode lanjut, seiring dengan kebijakan pemerintah yang memiliterisasi seluruh negeri, seragam anak sekolah perempuan yang selama ini berupa Andon Hakama (kimono dengan celana Hakama) diganti dengan pakaian ala Barat yang disebut Serafuku, yakni setelan rok dan baju blus yang mirip yang sering dipakai oleh pelaut.
47
Selain itu dalam artikel yang penulis dapat dari Japanese School Uniform, ”Sailor Fuku” (2005) yang mengatakan bahwa:
The reason for these militaristic uniforms (apart from the fact that they look kawaii, an important factor in Japan) goes back to the 19th century, when Japan was opening up to Western ideas, and had decided that modernising the country to western standards was first priority. Japan had close ties to European countries like Germany, Holland and Britain, and the first sailor suits atau (sailor fuku) were modelled after the British Royal Navy uniform. Yang menjadi alasan seragam bergaya militer (bagian dari kenyataan bahwa mereka terlihat cantik, yang merupakan faktor penting di Jepang) kembali ke awal abad ke-19 ketika Jepang membuka diri dari pemikiran Barat dan memutuskan untuk memodernisasikan negeri dengan Negara Barat sebagai standar prioritas. Jepang memiliki ikatan yang kuat dengan Negara Eropa seperti Jerman, Belanda dan Inggris. Pakaian Sailor pertama (Sailor Fuku) merupakan model dari seragam Angkatan Laut Inggris (lampiran gambar 10). Untuk perubahan seragam sekolah yang dipakai oleh pria penulis mengutip dari The Free Encyclopedia, ”Zaman Meiji dan Zaman Taisho” (2006): Model seragam sekolah anak laki- laki ditiru dari model seragam tentara Angkatan Darat. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh kepundak. (Stand up Collar) persis model kerah seragam tentara Angkatan Darat Inggris.
Dari pernyataan dalam artikel tersebut penulis menganalisis bahwa perubahan yang terjadi pada pakaian yang dikenakan untuk aktifitas sekolah dilatar belakangi oleh kebijakan pemerintah untuk memiliterisasi seluruh negri. Pada era Taisho Jepang terlibat perang, seperti Perang Dunia I yang bersekutu dengan tentara Inggris. Akibat dari interaksi dengan tentara Inggris, Jepang mengadopsi pakaian jenis militernya untuk dijadikan model seragam sekolah
Perubahan pakaian yang dikenakan untuk aktifitas sekolah menurut analisis penulis merupakan proses asimilasi budaya. Seperti teori yang dikatakan oleh 48
Koentjaraningrat (2005:160) asmilasi dapat terjadi jika adanya dua kebudayaan yang berbeda biasanya merupakan golongan mayoritas dan minoritas, kemudian kedua budaya yang berbeda ini bertemu dan saling bergaul secara intensif . Dalam prosesnya kebudayaan minoritas yang menyesuaikan dengan kebudayaan mayoritas, sehingga kebudayaan minoritas menyatu dengan kebudayaan mayoritas. Berdasarkan teori tersebut penulis menganalisis bahwa unsur- unsur budaya Barat yang merupakan golongan mayoritas mampu membuat kebudayaan Jepang yang merupakan golongan minoritas menyesuaikan diri dengan budaya Barat. Unsur budaya Barat dalam hal ini adalah pakaian seragam militer yang ditiru oleh masyarakat Jepang untuk model pakaian seragam sekolah. Dalam proses asimilasi budaya ini jelas terlihat bahwa kebudayaan Jepang sebagai golongan minoritas berinteraksi dengan budaya Barat yang merupakan golongan mayoritas, kemudian lambat laun budaya Jepang menyesuaikan diri dengan budaya Barat. Dengan adanya penyesuaian budaya Jepang dengan budaya Barat menyebabkan perubahan pemakaian Kimono menjadi pakaian seragam sekolah dengan meniru model pakaian tentara barat untuk aktifitas sekolah. Masuknya pengaruh Barat ke Jepang membuat masyarakat Jepang mengadopsi pakaian dari Barat. Hal tersebut membuat pemakaian Kimono untuk aktifitas sehari- hari jarang terlihat, orang Jepang lebih menggemari pakaian Barat untuk melakukan aktifitas mereka. Ada sembilan alasan mengapa orang Jepang tidak mengenakan Kimono yang dikemukakan oleh Yamanaka pendiri sebuah akademi Kimono. Mengenai kesembilan belas alasan tersebut Yamanaka (1964) mengatakan bahwa: Kesembilan alasan mengapa orang Jepang tidak mengenakan Kimono adalah pertama, mereka tidak tahu nilai- nilai tradisional Kimono kemudian yang kedua, 49
mereka umumnya tidak tahu bagaimana menghargai dan menikmati pada saat memakainya yang ketiga, wanita Jepang beralasan mereka tidak dapat menjahit Kimono keempat, mereka tidak tahu bagaimana memilih Kimono yang baik yang kelima, karena Kimono mahal mereka tidak sanggup membelinya kemudian yang keenam, karena tidak dapat mengenakan Kimono sendiri yang ketujuh, tidak ada yang mengajarkan bagaimana cara mengenakan Kimono kedelapan, tidak ada tempat yang menyewakan Kimono kemudian yang terakhir mereka beralasan tidak ada tempat untuk menyimpan Kimono. Menurut analisis penulis berdasarkan kesembilan alasan yang telah dikemukakan oleh Yamanaka, orang- orang Jepang mulai memberikan perhatian besar kepada pakaian Barat. Karena kesembilan alasan tersebut orang- orang Jepang merasa rumit dan sulit jika masih harus mengenakan Kimono untuk aktifitas sehari- hari mereka, oleh sebab itu untuk melakukan aktifitas orang Jepang mengenakan pakaian Barat. Meskipun demikian orang Jepang tidak begitu saja meninggalkan Kimono atau tidak mengenakan Kimono sama sekali, orang Jepang tetap menghormati Kimono sebagai pakaian nasional mereka dengan cara mengenakannya pada acara- acara seremonial. Pakaian Barat yang dipakai dan berkembang di Jepang serta budaya Barat yang mempengaruhi Kimono baik dalam segi bentuk, motif, bahan, dan lain- lain. Menurut analisis penulis merupakan wujud dari praktek penjajahan bangsa Barat terhadap budaya Jepang. Hal ini sesuai dengan teori politik kebudayaan yang dikemukakan oleh Hall (2003) yaitu bahwa adanya kaitan Cultural Studies (pembelajaran budaya) dengan persoalan kekuasaan dan politik, yang diantara kaitan tersebut juga berhubungan dengan kebutuhan akan perubahan dari kelompok sosial yang terpinggirkan. Masuknya negara Barat ke Jepang bukan untuk menjajah atau merebut teritori Jepang dari pemerintah Jepang, melainkan untuk melakukan hubungan dagang yang diharapkan dapat saling menguntungkan. Seiring berjalannya waktu berinteraksi dengan negara Barat, Jepang memiliki hubungan politik dengan Inggris. Hubungan itu bertujuan 50
untuk memenuhi kebutuhan masing- masing akan menjajah negara lain, sehingga Jepang mau bersekutu dengan Inggris. Meskipun secara fisik tidak saling berperang namun budaya Inggris telah menjajah Jepang. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Hall (2003) mengenai politik kebudayaan, penulis menganalisis bahwa hubungan politik yang telah dijalin oleh Jepang dengan Inggris juga mempengaruhi kebudayaan Jepang pada masa itu. Inggris merupakan salah satu negara Barat yang dipandang dimata dunia karena kekuasaan dan kekuatan politiknya serta kemajuan yang dimiliki oleh Inggris, hal inilah yang membuat Jepang sadar akan perlunya perubahan yang mengacu pada negara Barat. Perubahan kebudayaan yang dilakukan oleh Jepang dengan meniru budaya Barat, menurut analisis penulis merupakan hal yang menunjukan bahwa adanya kekuasaan negara Barat terhadap Jepang dalam hal budaya. Adanya kekuatan serta kekuasaan dan kemajuan yang dimiliki oleh negara Barat membuat Jepang mau melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap budaya yang lebih berkuasa dan dianggap lebih maju serta modern. Pembelajaran budaya dilakukan oleh Jepang terhadap negara Barat yang memiliki kekuasaan serta merupakan negara yang modern. Pembelajaran yang dilakukan Jepang terhadap negara Barat ini berdasarkan teori politik kebudayaan menunjukan bahwa kekuasaan serta kekuatan politik suatu negara mampu membuat negara lain ingin menyerap dan meniru kebudayaan yang dimiliki oleh negara yang kuat atau yang dianggap lebih modern.
51