Bab 3 Analisis Data
Pada bab tiga ini, penulis akan menganalisis sisi eksplisit dan implisit dari budaya siswa. Kemudian dari data analisis akan dihubungkan dengan fenomena futoukou. 3.1. Analisis Timbulnya Futoukou Dari Sisi Eksplisit Budaya Siswa Seperti yang telah dijelaskan dalam bab dua, Tomari dan Kudomi ( 2007: 5 – 7 ) menjelaskan bahwa sisi eksplisit dari budaya siswa terdapat empat bagian, yaitu nilai akademis siswa, peraturan sekolah, bimbingan masa depan, dan kegiatan spesial sekolah. Akan tetapi, penulis hanya akan membahas dua bagian saja, yaitu nilai akademis siswa dan peraturan sekolah untuk menghubungkan dengan fenomena futoukou. Sebelum menganalisis kedua sisi tersebut, peneliti menemukan hasil survey yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Jepang mengenai alasan yang menyebabkan siswa SD, SMP, dan SMA menjadi futoukou pada tahun 2009.
Tabel 3.1. Alasan Murid SD dan SMP Menjadi Futoukou Tahun 2009
sumber: http://www.mext.go.jp/b_menu/houdou/22/12/__icsFiles/afieldfile/2011/03/14/13007 46_2.pdf
Tabel 3.2. Alasan Murid SMA Menjadi Futoukou Tahun 2009
sumber: http://www.mext.go.jp/b_menu/houdou/22/12/__icsFiles/afieldfile/2011/03/14/13007 46_2.pdf Dari tabel 3.1. menunjukkan jumlah futoukou pada siswa SD dan SMP di Jepang. Penulis hanya mengambil tujuh alasan yang berhubungan dengan kondisi sekolah. Siswa diperbolehkan memilih lebih dari satu alasan yang disediakan oleh Departemen Pendidikan Jepang pada saat mengisi survey. Alasan yang diberikan adalah: 1.
Ijime;
2.
Permasalahan di dalam persahabatan, kecuali faktor ijime;
3.
Permasalahan dengan guru;
4.
Nilai akademis buruk;
5.
Tidak dapat beradaptasi dalam kegiatan klub, dan semacamnya;
6.
Permasalahan dengan peraturan sekolah; dan
7.
Tidak dapat beradaptasi pada saat memasuki sekolah baru, transfer ke sekolah baru. Di antara ketujuh alasan yang di atas, siswa yang memilih alasan mendapatkan
nilai akademis yang buruk sehingga menjadi futoukou adalah dengan total 12.581 siswa dengan jumlah siswa SD sebanyak 1.540 siswa dan siswa SMP sebanyak 11.041 siswa. Sedangkan siswa yang memilih alasan memiliki masalah dengan peraturan sekolah terdapat total 5.004 siswa, dengan jumlah siswa SD sebanyak 208 siswa dan siswa SMP sebanyak 4.796 siswa. Kemudian, pada tabel 3.2, merupakan alasan yang menyebabkan siswa SMA di Jepang memilih menjadi futoukou. Dari 15 pilihan yang disediakan oleh Departemen Pendidikan Jepang, penulis hanya mengambil delapan pilihan yang memiliki hubungannya dengan sekolah. Kedelapan alasan tersebut terdiri dari: 1.
Ijime;
2.
Permasalahan di dalam persahabatan, kecuali faktor ijime;
3.
Permasalahan dengan guru;
4.
Nilai akademis buruk;
5.
Khawatir terhadap masa depan;
6.
Tidak dapat beradaptasi dalam kegiatan klub, dan semacamnya;
7.
Permasalahan dengan peraturan sekolah; dan
8.
Tidak dapat beradaptasi pada saat memasuki sekolah baru, transfer ke sekolah baru. Dari kedelapan alasan di atas, penulis hanya menfokuskan pada permasalahan
dengan guru dan nilai akademis buruk saja. Siswa SMA yang memilih alasan karena bermasalah dengan guru sebanyak 376 siswa. Sedangkan siswa yang memilih alasan karena nilai akademis buruk sebanyak 6.804 siswa.
3.1.1. Analisis Hubungan Nilai Akademis Siswa Sebagai Pemicu Futoukou Setelah Jepang membenah dari sebagai akibat dari Perang Dunia Kedua, sistem pendidikan Jepang mengalami perubahan. Perubahan tersebut berupa perluasan wajib belajar bagi anak – anak. Dari sebelumnya sistem pendidikan wajib belajar sembilan tahun menjadi dua belas tahun, yaitu enam tahun di sekolah dasar ( SD ), tiga tahun di sekolah menengah pertama ( SMP ) dan tiga tahun di sekolah menengah atas ( SMA ) (Okano & Tsuchiya, 1999: 30). Untuk menilai prestasi siswa dalam sekolah, dikenallah sistem nilai akademis. Nilai akademis diperoleh dengan cara mengerjakan tugas atau pun ujian sekolah. Sistem pengajaran dari guru dan motivasi siswa sendiri dalam belajar mempengaruhi nilai sekolah mereka. Penulis melihat adanya keterkaitan antara nilai akademis dengan munculnya futoukou. Selain itu, cara mengajar dan motivasi siswa pun secara tidak langsung mempengaruhi kemunculan futoukou. Dalam subbab ini, penulis akan membagi menjadi dua anak subbab, yaitu analisis sistem pengajaran terhadap munculnya futoukou dan analisis motivasi siswa dalam belajar terhadap munculnya futoukou.
3.1.1.1. Analisis Sistem Pengajaran Terhadap Munculnya Futoukou
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru menerapkan sistem pengajaran kepada siswa – siswa. Menurut artikel Japanese School dalam Education Japan ( 2011 ) menerangkan bahwa sistem pengajaran yang diterapkan dapat berupa sama maupun berbeda, tergantung dari setiap guru. Namun, dikarenakan guru mendapatkan pelatihan di lembaga – lembaga pelatihan guru, sering kali pelatihan yang diajarkan di antara satu tempat dengan tempat lainnya adalah sama. Faktor budaya Jepang yang menerapkan satu untuk semua pun yang menyebabkan pelatihan yang diterapkan di tiap lembaga memiliki pola yang sama. Dalam praktiknya, tidak jarang gaya mengajar yang diterapkan oleh satu guru dengan guru yang lainnya dalam satu sekolah terkesan monoton. Tentu bagi siswa yang memiliki karakter psikologi yang mudah merasa bosan dengan hal yang sama, akan membuat mereka merasa jenuh dengan rutinitas kegiatan belajar mengajar yang monoton. Walaupun mata pelajaran yang diajarkan memiliki topik yang menarik, siswa tetap akan merasa bosan dan tidak akan berusaha untuk mengikuti pelajaran. Sikap mereka yang tidak berusaha untuk mengikuti pelajaran akan menimbulkan keinginan membolos. Hal ini sesuai dengan konsep futoukou yang dijelaskan oleh Monbukagakushou, bahwa faktor psikologis mempengaruhi siswa untuk tidak bersekolah. Jika siswa tersebut membolos selama lebih dari 30 hari, maka dia akan dianggap sebagai futoukou. Bentuk pengajaran monoton yang diterapkan oleh guru di Jepang, dipaparkan oleh Rohlen dan LeTendre ( 1999: 157 ), yaitu metode pengajaran yang diterapkan adalah bersifat intens, memberikan tekanan yang tinggi dan bersifat keras terhadap anak – anak dalam pembelajaran. Menurut penulis, maksud dari intens adalah guru lebih menekankan pada hapalan dalam pelajaran yang diajarkan kepada siswa secara terus menerus. Mendengarkan ceramah – ceramah dari guru, membuat kelompok belajar untuk menyelesaikan tugas dari guru dan siswa menerima latihan – latihan
soal setiap hari merupakan bentuk kepatuhan yang bersifat pasif dari siswa. Bentuk kepatuhan pasif yang dimaksudkan adalah tidak adanya interaksi dari siswa kepada guru. Siswa hanya duduk diam saja mendengarkan apa yang diajarkan oleh guru. Sukmadinata ( 1997 ) memaparkan empat jenis teori pendidikan, yaitu pendidikan klasik, pendidikan pribadi, teknologi pendidikan dan pendidikan interaksional. Menurut penulis, salah satu dari keempat jenis teori pendidikan yang telah dijelaskan pada bab dua sangat sesuai dengan bentuk pengajaran yang diterapkan oleh guru di Jepang, yaitu teori pendidikan klasik. Teori pendidikan klasik lebih menekankan pada isi pelajaran yang diajarkan oleh guru kepada siswa. Bagi penganut teori pendidikan klasik, proses dalam kegiatan belajar mengajar tidaklah terlalu penting jika dibandingkan dengan ilmu yang harus diturunkan dari yang lebih tua ( dalam proses kegiatan belajar mengajar, yang dimaksudkan adalah guru ) kepada yang lebih muda ( yang dimaksudkan adalah siswa ). Peran guru dalam mengajarkan pelajaran lebih aktif dari pada siswa. Guru sebagai sumber informasi yang harus menyalurkan ilmunya kepada anak didik, siswa bertugas untuk menampung ilmu – ilmu yang diajarkan oleh pengajar. Hal itu sesuai dengan bentuk pengajaran yang diterapkan oleh guru – guru di Jepang, di mana guru lebih dominan dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Siswa harus diam, duduk manis dan mendengarkan ceramah dari guru di dalam kelas. Kemudian, sistem pengajaran yang hanya mendominankan sisi guru, ketimbang sisi siswa adalah sistem pengajaran satu arah. Sistem pengajaran satu arah yang penulis maksudkan adalah guru lebih banyak memberikan kontribusi dalam kegiatan belajar mengajar. Tetapi siswa tidak ikut serta memberikan kontribusi. Bentuk kontribusi dari guru adalah menjelaskan pelajaran. Dan bentuk kontribusi dari siswa adalah siswa secara aktif berdiskusi dengan guru mengenai pelajaran yang sedang
dibahas oleh guru. Siswa juga aktif bertanya dan bersikap kritis terhadap pelajaran. Akan tetapi, dalam sistem pengajaran yang diterapkan, kontribusi dari siswa sama sekali tidak ada. Mereka hanya menjawab pertanyaan dari guru pada saat ditunjuk saja. Pertanyaan yang diberikan oleh guru hanya seputar hal yang telah diajarkan sebelumnya ( Benjamin, 1998: 44 ). Tentu maksud dari pertanyaan guru tersebut hanya bersifat repetisi, pengulangan tentang pelajaran yang sudah dibahas. Tujuannya adalah supaya guru mengetahui apakah siswa tersebut memperhatikan atau tidak memperhatikan pelajaran yang sedang berlangsung. Akan tetapi, tidak dipungkiri terkadang ada beberapa pertanyaan yang ditujukan guru untuk mengetahui pengetahuan siswa mengenai mata pelajaran yang sedangatau dan yang akan diajarkan. Menurut penulis, bentuk pengajaran yang hanya bersifat satu arah akan membuat siswa merasa bosan. Terutama jika kegiatan tersebut dilakukan terus menerus atau monoton. Perasaan bosan akan membuat siswa menjadi tidak fokus terhadap kegiatan belajar di kelas. Sebab setiap hari siswa hanya melakukan rutinitas duduk diam, mendengarkan, mengerjakan tugas atau latihan. Mereka dituntut untuk menghapalkan semua pelajaran yang telah dijelaskan oleh guru. Maka dari itu, penulis dapat melihat bahwa sistem pengajaran yang hanya bersifat satu arah merupakan sistem pengajaran yang tidak efektif. Siswa yang tidak sesuai dengan sistem belajar yang dipraktekkan oleh guru, tentu tidak akan mengerti dengan pelajaran. Walaupun guru berusaha menjelaskan sedetail mungkin, karena setiap siswa memiliki daya tangkap yang berbeda – beda, tentu yang ditangkap oleh siswa mengenai penjelasan guru akan berbeda. Santrock ( 2009: 7 ) menjelaskan bahwa sistem pengajaran yang tidak efektif
adalah sistem pengajaran yang tidak
menerapkan “satu hal cocok untuk semua”. Hal itu dikarenakan setiap siswa
memiliki variasi individu yang berbeda. Oleh karena itu, jika guru mengajar dengan satu cara pengajaran saja, yaitu hapalan, selain menimbulkan rasa bosan, siswa pun menjadi tidak mengerti dengan pelajaran meskipun mereka tetap mendengarkan dan mengikuti pelajaran. Tentu efek lanjutannya adalah siswa menjadi tidak mampu menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru pada saat mengerjakan latihan maupun ujian. Nilai yang diperoleh pun menjadi buruk. Nilai buruk dapat mempengaruhi psikologis siswa. Hal itu dikarenakan masyarakat jepang percaya bahwa nilai bagus menentukan masa depan anak. Sehingga pada saat siswa menerima kenyataan bahwa nilai yang diperolehnya buruk, mereka menjadi minder. Khususnya siswa yang memiliki perasaan cemas dan khawatir akan pengaruh nilainya dengan masa depannya. Timbullah perasaan gagal menjadi siswa yang memiliki masa depan yang baik sehingga memicu keinginan siswa untuk membolos sekolah. Dalam kepatuhan pasif yang dituntut oleh guru terhadap siswa, selain menimbulkan siswa merasa bosan terhadap pelajaran, tak jarang siswa menjadi stress. Seperti yang dijelaskan oleh Rohlen dan LeTendre ( 1999: 157 ) bahwa guru Jepang bersikap keras dan memberikan tekanan terhadap siswa dalam kelas. Sikap guru yang keras membuat siswa menjadi tidak aktif dalam kegiatan belajar mengajar. ChiHung Ng dan Renshaw ( 2008: 242 – 251 ) mengungkapkan bahwa dalam survey tanya jawab yang diberikan kepada siswa – siswa SMA, mayoritas memberikan jawaban bahwa mereka tidak diberikan kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka kepada guru. Perasaan stress dari tekanan guru mampu menimbulkan efek buruk pada psikologis siswa. Mereka dapat merasa bahwa siswa tidak dihargai oleh guru di dalam sekolah. Mereka dipaksa untuk mempelajari mata pelajaran yang sama sekali tidak mereka sukai, hanya untuk mengejar nilai dalam ujian saja. Siswa tidak
dapat merasakan perasaan menikmati proses belajar ( Chi-Hung Ng dan Renshaw, 2008: 248 ). Sehingga perasaan stress yang dialami oleh siswa membuat mereka menolak untuk bersekolah.
3.1.1.2. Analisis Motivasi Siswa dalam Belajar Terhadap Munculnya Futoukou Pada tahun 2004, Jepang memperoleh laporan menurunnya jumlah siswa yang lancar membaca, menulis dan berhitung. Dalam ajang debat mengenai menurunnya jumlah siswa yang lancar membaca, menulis dan berhitung tersebut, banyak yang berpendapat bahwa sistem pendidikan yang diterapkan pada saat ini mengakibatkan menurunnya kemampuan siswa. Sistem pendidikan yang dimaksudkan adalah siswa memiliki waktu yang kurang untuk mengembangkan kemampuan mereka di sekolah. Sebab terjadi penurunan waktu bersekolah di Jepang, di mana dalam satu minggu kegiatan belajar mengajar berlangsung hanya selama lima hari saja ( Chi-Hung Ng & Renshaw, 2008: 240 ). Penurunan kemampuan siswa memiliki kaitannya dengan nilai akademis dari siswa – siswa Jepang. Akan tetapi, penulis melihat adanya faktor lain yang menyebabkan menurunnya kemampuan siswa dalam membaca, menulis dan berhitung. Faktor tersebut pula yang menyebabkan terjadinya futoukou pada siswa. Mengenai menurunnya kemampuan siswa dalam menulis, membaca dan berhitung, menurut penulis penyebabnya adalah kurangnya motivasi siswa untuk belajar secara ortodidak. Sebab pada zaman sekarang, untuk mendapatkan informasi tidak lagi hanya berasal dari sekolah saja. Buku – buku dengan informasi yang tepercaya dengan mudah dapat diperoleh dalam toko buku maupun perpustakaan nasional. Selain itu, di era teknologi tinggi seperti sekarang, untuk mendapatkan informasi secara mudah dapat diakses melalui internet. Sehingga tanpa bantuan dari
guru pun siswa dapat belajar sendiri. Mengingat salah satu peran guru adalah sebagai pembimbing siswa di dalam sekolah. Selain itu, penulis menemukan adanya survey yang membahas motivasi dari siswa untuk mengerjakan tugas mereka. Survey yang dilakukan pada tahun 2009 tersebut dipublikasikan oleh Monbukagakushou dalam situs mereka. Survey tersebut menjelaskan secara singkat bahwa mayoritas siswa Jepang menunjukkan perilaku kurangnya kemauan atau motivasi diri untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Dari data terakhir yang penulis dapatkan yaitu pada tahun 2007, rasio siswa yang merasa senang mempelajari matematika dan sains adalah 40% dan 59%. Kemudian rata – rata waktu yang dihabiskan siswa untuk mengerjakan pekerjaan rumah adalah satu jam per hari. Dengan motivasi yang rendah dari siswa untuk belajar menyebabkan mereka mendapatkan nilai yang rendah pula. Hal yang menyebabkan siswa memiliki motivasi yang rendah dalam belajar adalah siswa merasa ragu dengan pelajaran yang mereka terima di sekolah akan berguna pada saat lulus dari sekolah (Tomari dan Kudomi, 2007: 6). Selain itu, siswa dari keluarga dengan ekonomi rendah cenderung memiliki nilai akademis yang rendah juga. Dikarenakan adanya faktor lingkungan siswa yang menyebabkan mereka tidak termotivasi untuk belajar. Siswa sadar dengan keadaan ekonomi keluarganya yang tidak memungkinkan mereka untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi lagi. Dalam survey yang dipublikasikan oleh Monbukagakushou ( 2009 ), tercatat jumlah rata – rata uang yang dihabiskan oleh orang tua siswa untuk menyekolahkan anak mereka dari TK sampai universitas. Tabel 3.3. Jumlah Rata – Rata Biaya Untuk Menyekolahkan Anak Tahun 2008 Kategori
Total (Yen)
Lulus dari sekolah umum dari TK sampai SMA dan
9.871.572
universitas negeri Lulus dari semua sekolah umum
9.425.172
Lulus dari sekolah umum tetapi TK dan universitas swasta
12.700.439
Lulus terutama dari sekolah swasta dan dari sekolah umum
14.083.663
SD dan SMP Lulus terutama dari sekolah swasta dan dari sekolah umum
16.349.048
SD Lulus dari semua sekolah swasta
22.866.032
sumber: http://www.mext.go.jp/b_menu/hakusho/html/hpab200901/detail/1305849.htm
Tabel di atas, dapat dilihat jumlah rata – rata biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua untuk anak mereka bersekolah dari TK sampai universitas. Jumlah biaya terendah yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa untuk menyekolahkan anak mereka adalah 9.425.172 yen jika anak mereka bersekolah di seluruh sekolah umum, mulai dari TK sampai universitas. Sedangkan jumlah rata – rata biaya yang paling tinggi untuk menyekolahkan anak mereka adalah 22.866.032 yen jika anak mereka lulus dari seluruh sekolah swasta. Kemudian, Monbukagakushou ( 2009 ) juga menemukan fakta bahwa keluarga yang memiliki pendapatan rata – rata empat juta yen atau kurang per tahun, hanya 20,4 % yang menjawab ingin anak mereka lulus dari universitas. Selebihnya, mereka menginginkan anak mereka lebih cepat terjun ke dalam lapangan pekerjaan. Siswa dengan keinginan yang ingin bekerja setelah lulus dari sekolah tanpa melanjutkan pendidikan di universitas, tentu akan menganggap bahwa pelajaran yang mereka terima di sekolah belum tentu bermanfaat di dunia
kerja. Oleh karena itu, mereka menjadi malas untuk mengerjakan tugas atau belajar sehingga memberi dampak pada nilai akademis mereka. Perlahan – lahan murid memutuskan untuk membolos sekolah
Dari analisis yang telah dilakukan oleh penulis dalam kedua sub bab di atas, penulis dapat mengambil simpulan bahwa nilai akademis yang disebabkan oleh bentuk pengajaran dan kurangnya motivasi dari siswa untuk belajar mempengaruhi terhadap munculnya futoukou.
3.1.2. Analisis Hubungan Peraturan Sekolah Sebagai Pemicu Futoukou Siswa adalah warga sekolah dengan jumlah mayoritas dibandingkan dengan guru. Dengan jumlah banyak seperti itu, dibutuhkan peraturan untuk membantu guru dalam menertibkan siswa – siswa, baik di dalam sekolah maupun di dalam kelas. Duiker dan Spielvogel ( 2010: 771 ) mengatakan bahwa siswa di Jepang hidup dalam lingkungan yang sangat teratur, seperti berseragam berwarna hitam dan putih. Menteri Pendidikan Jepang juga berpendapat bahwa peraturan sekolah di Jepang mungkin bersifat keras. Akan tetapi memiliki keunikannya tersendiri. Peraturan yang berlaku di satu sekolah belum tentu juga berlaku di sekolah lainnya. Terutama jika sekolah tersebut adalah sekolah swasta. Tentu akan berbeda dengan sekolah negeri. Meskipun tidak dipungkiri bahwa terdapat beberapa peraturan yang juga berlaku di beberapa sekolah. Salah satu contoh peraturan yang berbeda antara satu sekolah dengan sekolah yang lain adalah seragam sekolah. Duiker dan Spielvogel ( 2010: 771 ) merangkum peraturan sekolah yang berlaku di Jepang ke dalam 12 poin ( lihat di lampiran ).
Dari kedua belas peraturan yang terdapat dalam lampiran, penulis melihat bahwa peraturan – peraturan tersebut menekankan pada keteraturan dalam segi fisik. Terlebih lagi, peraturan tersebut amat ketat. Salah satunya adalah siswa tidak diperbolehkan memiliki rambut keriting atau gelombang permanen atau mengecat rambut, wanita tidak diperbolehkan menggunakan aksesoris rambut, juga tidak diperbolehkan menggunakan pengering rambut. Peraturan tersebut sangatlah ketat. Mengingat pada saat siswa wanita memasuki usia puber, mereka mulai memperhatikan penampilan fisik mereka ( Arvin, 1996: 76 ). Salah satunya dengan cara merias diri. Tentu tindakan merias diri dengan menggunakan aksesoris atau mengubah potongan rambut akan berlawanan dengan peraturan sekolah di mana melarang siswa memakai aksesoris atau memiliki model rambut berbeda dari ketentuan. Sehingga beberapa siswa menolak untuk sekolah karena mereka merasa peraturan tersebut terlalu ketat. Terutama pada saat usia puber, secara psikologis siswa ingin merias diri tetapi terhalangi oleh peraturan sekolah. Dengan peraturan yang ketat, guru pun dituntut untuk mengawasi siswa agar tidak ada yang melanggar peraturan sekolah. Penulis melihat bahwa beberapa guru di Jepang tidak memberikan sosialisasi bahwa peraturan diciptakan untuk kebaikan siswa. Peraturan disosialisasikan hanya untuk menciptakan sebuah komunitas masyarakat yang homogen ( Benjamin, 1998: 217 – 218). Padahal di beberapa peraturan terdapat unsur mendidik siswa demi kebaikan mereka. Seperti peraturan yang melarang rambut siswa laki – laki menyentuh alis mata, telinga dan kerah baju. Jika dilihat dari sisi positif peraturan tersebut, rambut yang mengenai alis tentu akan sedikit mengganggu pandangan siswa dalam belajar. Siswa akan mengalihkan perhatian mereka ke rambut. Selain itu, siswa juga dilarang untuk menggunakan peralatan merias rambut seperti gel pengeras rambut. Dengan rambut yang panjang,
tentu membuat siswa terlihat berantakan. Hal itu tentu akan mengganggu konsentrasi pada saat belajar dan penampilan siswa. Tetapi guru tidak menjelaskan sisi positif peraturan tersebut dibuat. Sehingga siswa hanya mengerti bahwa peraturan sekolah dibuat hanya untuk dipatuhi saja. Siswa yang memiliki karakter pemberontak, tentu akan terus menerus mengulangi pelanggaran peraturanatau disiplin sekolah jika mereka tidak diberikan pengertian oleh guru. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan disiplin siswa yang diungkapkan oleh Komensky dalam Albertoes ( 2007: 234 ), bahwa terhadap pelanggar peraturan hendaknya dididik dengan cara yang lunak dan diberikan pengertian mengenai sisi positif dari peraturan tersebut. Dengan demikian siswa menjadi paham dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Pada saat siswa siswa terus menerus mengulangi kesalahan sebagai akibat dari tidak adanya sosialisasi dari guru mengenai kebaikan dari peraturan, siswa akan merasa jenuh dengan hukuman yang terus menerus mereka terima. Dan akhirnya mereka memilih untuk membolos atau tidak masuk sekolah agar tidak dikenai hukuman lagi. Penulis menemukan pada saat mendisiplinkan siswa, sekolah di Jepang menerapkan hukuman fisik. Hukuman fisik yang diberikan oleh guru dapat berupa pukulan, berdiri di koridor, tendangan, lari keliling lapangan, push – up dan lain sebagainya. Namun terkadang hukuman fisik yang diberikan oleh guru dapat menyebabkan kejadian traumatis terhadap siswa, bahkan dapat menyebabkan kematian. Dalam situs Fact and Details ( 2009 ) menuliskan bahwa pada tahun 1995 seorang guru di perfektur Akita menendang, mendorong ke papan tulis dan membanting siswa, berumur 13 tahun, di atas meja sebanyak 40 kali dikarenakan tidak mengerjakan tugas rumahnya. Kemudian situs Asian Off Beat memberitakan pada tahun 2008, seorang guru SD kelas 5 menampar seluruh siswa yang ada di kelasnya dikarenakan beberapa siswa tidak mengikuti instruksinya untuk memulai
kegiatan belajar mengajar. Akibatnya guru tersebut menjadi marah dan gelap mata. Kasus hukuman fisik yang menyebabkan kematian adalah pada tahun 1995, seorang siswa perempuan berumur 16 tahun meninggal setelah kepalanya dibanting ke pilar gedung oleh wali kelasnya sehingga menyebabkan otak mengalami pendarahan. Tindakan itu dilakukan karena siswa tersebut menggunakan rok yang lebih pendek dari ketentuan peraturan sekolah ( factsanddetails.com ). Penulis menemukan faktor yang menyebabkan hukuman fisik menjadi pilihan yang sering dilakukan oleh para guru dalam mendisiplinkan siswa. Sebuah survey yang dilakukan oleh situs Blog x Channel Jepang pada tahun 2008 terhadap 427 orang dari umur 20 –an, 30 –an dan 40 –an, untuk menanyakan perlu tidaknya hukuman fisik kepada siswa. Mayoritas mengatakan bahwa mereka setuju dengan adanya hukuman fisik, dengan perbandingan 3 dari 5 orang. Lebih dari setengah menjawab mereka mendapatkan hukuman fisik pada saat sekolah. Dari data tersebut, penulis dapat mengambil simpulan bahwa masyarakat Jepang yakin dengan adanya hukuman fisik akan menimbulkan efek jera kepada siswa. Akan tetapi dapat menimbulkan pengaruh buruk lainnya terhadap siswa. Mereka menjadi menolak untuk bersekolah karena merasa terluka dengan hukuman yang mereka terima. Sehingga menimbulkan efek traumatis terhadap siswa. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Komensky ( Albertoes, 2007: 234 ), bahwa dalam mendisiplinkan siswa dengan kekerasan akan menimbulkan perasaan anti dan membenci terhadap hal yang berhubungan dengan sekolah. Lebih dari itu, hukuman yang diberikan guru juga menimbulkan efek kematian terhadap siswa. Tentu dengan hasil dari hukuman bagi pelanggar yang seperti itu membuat siswa lain menjadi takut untuk melanggar peraturan. Tetapi peraturan yang berlaku bagi siswa pun sangat keras ( Duiker dan
Spielvogel, 2010: 771 ). Siswa pun mengalami stress dan mulai menolak untuk masuk sekolah. Dari analisis yang telah dilakukan, penulis dapat mengambil simpulan bahwa peraturan sekolah memang dapat menimbulkan munculnya futoukou pada siswa di Jepang. Terutama jika peraturan sekolah tersebut menerapkan bentuk pendisiplinan siswa dengan cara yang keras. Sehingga dapat menimbulkan efek traumatis terhadap siswa.
3.2. Analisis Timbulnya Futoukou dari Sisi Implisit Budaya Siswa Dalam bab dua,permasalahan dalam sisi implisit yang terkandung di dalam budaya siswa terdiri dari empat hubungan yang terjalin oleh siswa, yaitu teman sekelas, sahabat, ijime, dan hubungan senpai – kouhai. Di antara keempat hubungan implisit tersebut, yang paling menonjol adalah ijime ( Tomari dan Kudomi, 2007: 12 ) dan penulis akan mengaitkan permasalahan ijime dengan munculnya kasus futoukou pada siswa sekolah. Dalam tabel 3.1. jumlah siswa SD yang mengalami ijime sehingga menyebabkan mereka menjadi futoukou sebanyak 473 siswa, sedangkan pada siswa SMP terdapat 2.694 siswa. Kemudia pada tabel 3.2. jumlah siswa yang menjadi futoukou akibat dari ijime pada siswa SMA di tabel 3.1. terdapat 368 siswa. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang sangat setia terhadap kelompoknya. Mereka juga dikenal sebagai masyarakat homogen. Hal itu dikarenakan masyarakat Jepang tidak mengenal perbedaan dalam satu kelompok. Sebab jika terdapat perbedaan, maka mereka akan berusaha bersama – sama untuk menghilangkan perbedaan tersebut ( Hays, 2009 ). Menurut penulis, usaha dari masyarakat Jepang untuk menghilangkan perbedaan di dalam kelompoknya, sangat
sesuai dengan teori solidaritas mekanik yang dipaparkan oleh Durkheim ( Sunarto, 2004: 132 ). Durkheim menyatakan bahwa solidaritas mekanik adalah bentuk dari kesadaran seluruh anggota masyarakatnya untuk bertindak dan berperilaku sama. Perbedaan tidak diperbolehkan di dalamnya. Oleh karena itu, penyebab munculnya ijime dikarenakan adanya siswa yang memiliki kemampuan menonjol di dalam kelompoknya. Kemampuan menonjol yang penulis maksudkan adalah siswa yang pintar dalam belajar dan olahraga, supel, atau memiliki fisik yang lebih dari teman – temannya. Sehingga menimbulkan rasa iri bagi anggota lainnya. Hal ini sesuai dengan faktor munculnya ijime yang dijelaskan oleh Scaglione ( 2006 ) dalam Sastra ( 2009: 13 – 14 ), di mana salah satu faktor munculnya ijime dikarenakan pelaku memiliki rasa iri kepada korban. Selain dikarenakan seorang siswa memiliki kemampuan yang menonjol, siswa yang memiliki kekurangan yang menonjol dalam lingkungan kelas pun dapat menjadikan mereka sebagai korban ijime. Contohnya adalah anak yang lemah, yaitu anak yang tidak dapat melawan jika diserang, pemurung, pendiam, pemalu, dan berkemauan lemah; anak yang tidak menyenangkan, yaitu anak yang sifatnya menentang, suka berbicara buruk, sombong, mau menang sendiri, dan memiliki sifat yang anehatau tidak seperti teman – teman di kelasnya; anak yang inferior, yaitu anak yang tidak mampu melakukan sesuatu, pelupa, tidak pandai, kotor, dan dari keluarga miskin; dan yang terakhir adalah anak yang cacat, yaitu baik cacat secara fisik, berwajah aneh, dan lemah dalam olahraga ( Nuryanti, 2005: 27 – 28 ). Menurut penulis, siswa yang memiliki kekurangan kerap menjadi bahan olok – olokan oleh teman – temannya. Pengolok – olokan sering terjadi pada anak SD di mana anak – anak sering melakukan hal tersebut hanya untuk bercanda. Akan tetapi semakin lama, intensitas siswa mengolok – olok siswa yang memiliki kekurangan semakin sering
dan berakhir dengan munculnya ijime. Akan tetapi pada saat memasuki tingkatan SMP dan SMA, pengolok – olokan hanya untuk sekedar bercanda atau dengan maksud meng-ijime semakin sulit ditentukan. Karena pelaku ijime umumnya menyembunyikan perbuatan ijimenya dari orang lain. Hal ini sesuai dengan salah satu karakter ijime yang terjadi di Jepang yang dipaparkan oleh Morita, yaitu aksi ijime tidak terlihat oleh orang lain maupun guru. Sehingga terkadang terdapat siswa yang membolos sekolah secara tiba – tiba dan menjadi futoukou padahal tidak terlihat memiliki masalah dengan teman – teman di sekitarnya. Akan tetapi sebenarnya dia menjadi korban ijime oleh teman – temannya. Selain adanya perbedaaan, baik kelebihan maupun kekurangan dalam siswa yang mengakibatkan munculnya ijime, faktor dari luar siswa juga memicu munculnya ijime. Salah satunya adalah tekanan dari sekolah untuk belajar memicu stress pada siswa. Sehingga siswa membutuhkan pelampiasan akan stress yang mereka hadapi di sekolah. Oleh karena itu, tidak jarang pelaku ijime bisa terjadi di antara sahabat dekat. Bahkan bisa terjadi pada siapa saja De Mente ( 2006: 165 ) juga menyatakan bahwa pendidikan yang dijalani oleh siswa difokuskan untuk mempersiapkan mereka dalam ujian. Sehingga tidak jarang siswa menjadi stress dan mulai meng – ijime teman – teman di kelasnya, maupun sahabatnya sendiri. Departemen Pendidikan Jepang melakukan survey terhadap bentuk ijime yang kerap terjadi pada siswa. Pada tabel di bawah ini tercatat bentuk – bentuk ijime yang terjadi dengan jumlah kasus yang terjadi pada setiapnya di tahun 2008 dan 2009. Tabel ini dapat dilihat pada website MEXT pada tahun 2009.
Tabel 3.4. Bentuk – Bentuk Ijime yang Dialami Siswa
sumber: http://www.mext.go.jp/b_menu/houdou/22/12/__icsFiles/afieldfile/2011/03/14/13007 46_2.pdf Dari tabel di atas tercatat ada delapan macam bentuk ijime yang terjadi dalam lingkungan sekolah SD, SMP, SMA dan sekolah khusus di Jepang. Bentuk ijime yang pertama adalah tindakan mengejek, menggoda, berkata kasar, dan mengancam; yang kedua adalah dengan cara mengucilkan korban; yang ketiga adalah memukul dengan ringan, ditendang, dipukul, dan mengatakan hanya bermain – main saja; yang keempat adalah dipukul dan ditendang dengan keras; yang kelima adalah dimintai uang secara paksa atau dipalak; yang keenam adalah uang korban disembunyikan, dicuri, dan dibuang; yang ketujuh adalah korban disuruh untuk melakukan hal – hal yang buruk, berbahaya maupun hal yang memalukan; yang kedelapan adalah difitnah dan dijelek – jelekkan melalui ponsel dan komputer; dan yang terakhir adalah lain –
lainnya. Siswa yang menjawab survey ini diperbolehkan untuk memilih lebih dari satu bentuk ijime yang pernah diterima oleh korban. Jika dilihat secara keseluruhan, bentuk ijime yang paling sering diterjadi dalam kasus ijime adalah pada pilihan pertama, yaitu mengejek, menggoda, berkata kasar dan mengancam. Jumlah kasus tersebut yang terjadi di lingkungan siswa SD pada tahun 2008 terdapat 26.925 kasus dan pada tahun 2009 terdapat 23.055 kasus; pada siswa SMP di tahun 2008 terdapat 23.332 kasus dan pada tahun 2009 terdapat 20.785 kasus; pada siswa SMA di tahun 2008 terdapat 3.842 kasus dan pada tahun 2009 terdapat 3.157 kasus; dan pada siswa sekolah khusus di tahun 2008 terdapat 173 kasus dan tahun 2009 terdapat 120 kasus. Kasus terbanyak kedua terjadi pada bentuk ijime dengan cara mengucilkan korban. Pada siswa SD tahun 2008 terjadi 9.999 kasus, pada tahun 2009 terjadi 8.334 kasus; pada siswa SMP di tahun 2008 terjadi 7.721 kasus, pada tahun 2009 terjadi 6.303 kasus. Akan tetapi pada siswa SMA dan sekolah khusus, bentuk ijime yang paling banyak kedua adalah bentuk ijime yang ketiga, yaitu memukul dengan ringan, ditendang, dipukul, dan mengatakan hanya bermain – main saja, di mana pada siswa SMA di tahun 2008 terjadi 1.491 kasus dan tahun 2009 terjadi 1.338 kasus, lalu pada siswa sekolah khusus di tahun 2008 terjadi 47 kasus dan tahun 2009 terjadi 70 kasus. Berbeda dengan bentuk ijime kedua, yaitu mengucilkan korban, pada siswa SMA hanya terjadi 1.054 kasus pada tahun 2008 dan 842 kasus pada tahun 2009; di lingkungan siswa sekolah khusus terjadi 30 kasus di tahun 2008 dan 22 kasus di tahun 2009. Jumlah kasus bentuk ijime mengucilkan yang terjadi pada siswa SD menunjukkan angka yang berdekatan dengan bentuk ijime memukul secara ringan, yaitu 9.338 kasus pada tahun 2008 dan 8.119 kasus pada tahun 2009. Kemudian bentuk ijime berupa menfitnah dan menjelek – jelekkan korban melalui ponsel dan komputer banyak terjadi pada siswa SMP dan SMA, akan tetapi sangat
sedikit terjadi di dalam lingkungan siswa SD. Hal ini dikarenakan penggunaan komputer pada siswa SD masih sedikit meskipun di rumah mereka memiliki komputer desktop. Orang tua siswa sering melarang anaknya menggunakan komputer disebabkan oleh banyaknya virus yang akan menyerang komputer jika anak mereka tidak mengerti tentang situs yang memungkinkan adanya virus pada saat menjelajahi dunia maya ( Shariff, 2008: 48 ). Berbeda dengan anak – anak SMP dan SMA, hampir atau sebagian besar setiap siswa memiliki ponsel. Di dalam ponsel mereka terdapat fasilitas untuk berinternet. Orang tua siswa tidak melarang anak – anak mereka menggunakan ponsel karena ponsel tersebut adalah properti anak – anaknya. Berbeda dengan komputer yang terpasang di rumah yang penggunanya adalah seluruh anggota keluarga. Oleh karena itu, penggunaan ponsel untuk melakukan aksi ijime lebih populer dibandingkan menggunakan komputer. Dari semua bentuk ijime yang ada di atas, mengejek, mengolok – olok, berkata kasar, mengancam, memukul dan mengucilkan adalah bentuk ijime yang paling sering dilakukan oleh pelaku ijime. Hal ini sesuai dengan definisi dari Monbukagakushou ( 2009 ) yang menjelaskan bahwa ijime terjadi dengan penyerangan secara fisik maupun mental kepada korban sehingga menyebabkan penderitaan. Akibat dari penderitaan secara mental yang diderita korban, korban merasa takut untuk bersekolah menghadapi pelaku ijime. Mereka tidak tahu penderitaan apa lagi yang akan dideritanya jika bersikukuh masuk sekolah. Di dalam ketakutan korban akan ijime, korban pun menolak untuk bersekolah. Sehingga pada saat korban membolos lebih dari 30 hari, maka dia dianggap sebagai futoukou. Dari analisis telah ditulis di atas, penulis dapat mengambil simpulan bahwa ijime dapat menyebabkan korban menolak untuk bersekolah. Bentuk ijime yang paling banyak dilakukan oleh pelaku ijime adalah melalui verbal.