BAB IV ANALISIS
Pada bagian ini, dilakukan analisis terhadap pemanfaatan metode Monte Carlo untuk analisis perubahan lahan secara spasial. Analisis yang dilakukan dalam hal ini terbagi menjadi dua bagian, yakni analisis terhadap data tutupan lahan yang digunakan sebagai data masukan didalam pemodelan, dan analisis terhadap hasil pemodelan yang diperoleh yakni, hasil prediksi alokasi (distribusi luas tiap kelas lahan) dan hasil prediksi lokasi (citra prediksi) pada tahun prediksi 2001. Analisis terhadap data dilakukan untuk melihat sejauh mana kualitas dari data yang digunakan yang mempengaruhi proses prediksi perubahan lahan. Sementara analisis hasil pemodelan dilakukan untuk melihat pola perubahan lahan yang terjadi pada Wilayah Bandung di tahun prediksi 2001 seberapa besar tingkat ketepatan hasil pemodelan yang diperoleh. 4.1 Analisis terhadap Data Tutupan Lahan Pada penelitian ini digunakan tiga buah data tutupan lahan Wilayah Bandung, yakni data tutupan lahan tahun 1994, tahun 1997, dan tahun 2001. Dari ketiga data tutupan lahan tersebut, data yang digunakan untuk membentuk model prediksi hanya dua data tutupan lahan saja yakni, data tahun 1994 dan tahun 1997. Sementara data tutupan lahan tahun 2001 digunakan untuk validasi hasil prediksi penggunaan lahan. Hal pertama yang perlu diperhatikan terkait dengan data adalah jumlah baris dan jumlah kolom dari data tutupan lahan Wilayah Bandung tahun 1994 dan tahun 1997 yang digunakan harus sama. Proses pembentukan citra prediksi dengan memanfaatkan metode Monte Carlo tidak dapat dilakukan apabila jumlah baris dan kolom pada kedua data tersebut tidak sama.
Hal tersebut dikarenakan
perhitungan crosstab tidak dapat dilakukan apabila jumlah baris dan kolom data tahun 1994 dan data tahun 1997 tidak sama. Setelah dilakukan perhitungan jumlah baris dan kolom pada data tahun 1994, menunjukan bahwa data tahun 1994 memiliki jumlah baris sebanyak 2471 baris 43
dan jumlah kolom sebanyak 2902 kolom. Sementara pada data tahun 1997 memiliki jumlah baris sebanyak 2471 baris dan 2902 kolom. Dari data ini membuktikan bahwa kedua data memiliki jumlah baris dan kolom yang sama. Dengan demikian kedua data tutupan dapat digunakan sebagai input dalam pembentukan model prediksi perubahan lahan. Pada kedua data yang digunakan untuk membentuk model prediksi terdapat unsur-unsur yang bukan merupakan fenomena perubahan lahan yang ikut berubah menjadi kelas lain yakni kelas region_0, awan, dan bayangan awan. Pada kasus region-0, terdapat piksel-piksel yang terletak pada daerah
di tepi area studi
(piksel-piksel yang tepat bersebelahan dengan region_0) memiliki posisi piksel yang tidak persis sama. Seperti yang telah dikemukan pada BAB III (Gambar 3.5), bahwa piksel dengan baris ke-i dan kolom ke-j di area studi pada data tahun 1994 berada pada area studi sementara pada piksel dengan posisi yang sama pada data tahun 1997 berada di luar area studi atau sebaliknya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kedua data tutupan lahan tersebut tidak tepat bertampalan pada area studi. Hal ini dapat dibuktikan dengan menghitung jumlah piksel yang tidak tepat bertampalan dengan menggunakan data hasil perhitungan crosstab pada tabel 3.4. Hasil perhitungan mebuktikan bahwa terdapat sebanyak 1990 piksel pada data tahun 1994 dan 1349 piksel pada data tahun 1997. Berarti total jumlah piksel yang tidak tepat bertampalan adalah sebanyak 3339 piksel. Dari hasil yang diperoleh dari crosstab pada tabel 3.4 juga diketahui bahwa luas total area studi adalah sebesar 3527922 piksel. Maka dapat dihitung prosentase jumlah piksel yang tidak tepat bertampalan dengan jumlah total piksel keseluruhan adalah 0,09 %. Hasil perhitungan prosentase menunjukan bahwa hasil yang diperoleh nilainya relatif kecil. Dengan demikian kedua data dapat dikatakan bertampalan dan dapat digunakan sebagai data masukkan dalam pembentukan model prediksi penggunaan lahan. Hal ini berarti, dari jumlah prosentase sebesar 0,09% tersebut, dapat diangap bahwa banyaknya jumlah piksel yang tidak tepat bertampalan pengaruhnya kecil sekali pada sistem.
44
Walapun pengaruhnya dianggap kecil, namun pada proses perhitungan crosstab perlu dilakukan suatu tahapan “normalisasi”. Seperti yang dijelaskan pada BAB III, bahwa proses normalisasi dilakukan karena region_0 bukan merupakan fenomena perubahan lahan. Demikian halnya pada unsur awan dan bayangan awan yang memiliki posisi yang berbeda pada masing-masing citra juga perlu dilakukan proses normalisasi terlebih dahulu sebelum dilakukan perhitungan crosstab. 4.2 Analisis erhadap Hasil Pemodelan Prediksi Perubahan Lahan Setelah dilakukan analisis terhadap data tutupan lahan yang digunakan sebagai data inputan dalam pembentukan model prediksi perubahan lahan dan kemudian dilakukan analisis terhadap proses pengerjaan, maka tahapan selanjutnya adalah menganalisis hasil prediksi yang diperoleh.
Gambar 4.1 Diagram Perbandingan Distribusi Luas Lahan 1997 – Prediksi Lokasi
Hasil prediksi lokasi menunjukkan bahwa kelas lahan yang mengalami pertumbuhan luas adalah kelas lahan pemukiman dan kelas lahan semak & lahan kering. Untuk kelas lahan lainnya yakni kelas lahan jalan, sawah, kebun, perairan menunjukkan adanya penurunan luas lahan. Kelas lahan jalan tampak mengalami laju penurunan yang paling tinggi apabila dibandingkan dengan kelas lahan lainnya yakni sekitar 64 % dari total luas kelas lahan jalan pada tahun 1997. Sementara kelas lahan semak & lahan kering menjadi kelas lahan yang memiliki
45
laju pertumbuhan yang paling tinggi apabila dibandingkan dengan kelas lahan lainnya yakni sebesar 6 % dari total luas kelas semak dan lahan kering pada tahun 1997. Meningkat atau menurunnya laju perubahan suatu kelas lahan sangat dipengaruhi oleh keadaan piksel sekelilingnya. Artinya apabila terjadi perubahan kelas lahan pada suatu piksel maka kelas lahan tersebut pasti merupakan salah satu dari kelas lahan piksel-piksel sekitarnya. Penurunan jumlah luas kelas lahan jalan ini ternyata menyebakan peningkatan luas beberapa kelas lainnya. Hal ini dimungkinkan karena piksel yang semula adalah kelas jalan dikarena pada saat windowing dan kondisi sekitarnya didominasi kelas lahan lainnya menyebabkan piksel tersebut kelas lahannya berubah. Selain itu pada saat pembentukan tag number probabilitas perubahan kelas lahan jalan menjadi kelas-kelas lahan lain yang terdapat dalam satu window menyebabkan semakin banyak kelas lahan jalan yang berubah. Hal ini sesuai seperti apa yang telah dijelas pada bagian 3.2 dimana perubahan nilai kelas lahan suatu piksel itu dipengaruhi besar probailitas perubahan setiap kelas dan banyaknya jumlah piksel dari setiap kelas lahan tersebut dalam area window. Penurunan jumlah luas kelas lahan jalan dari hasil prediksi lokasi yang diperoleh, menyebabkan peningkatan kelas lahan lain sekitarnya terutama kelas lahan pemukiman, kelas lahan sawah, dan kelas lahan semak & lahan kering seperti yang diperlihatkan pada gambar 4.7 berikut ini.
Gambar 4.2 Laju Perubahan Kelas Jalan menjadi Kelas Lainnya
46
Perubahan kelas jalan menjadi kelas pemukiman terjadi pada area Wilayah Bandung yakni pada daerah kotamadya Bandung dalam hal ini memang kelas jalan umumnya berada pada kawasan pemukiman yang memang sudah cukup padat. Kelas lahan semak dan lahan kering memiliki laju pertumbahan yang paling besar. Hal tersebut dikarenakan persebaran lokasi dari kelas lahan semak dan lahan kering cukup merata ditambah dengan jumlah piksel dari kelas ini adalah yang terbanyak dibanding kelas lahan lainnya. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.10 berikut yang menunjukkan persebaran kelas lahan semak dan lahan kering pada tahun 1997 yang merupakan data base condition.
Tahun 1997
Tahun 2001
Gambar 4.3 Kelas Semak dan Lahan Kering
Gambar 4.10 menunjukan bahwa kelas lahan semak dan lahan kering di Wilayah Bandung yang paling sedikit berada di barat daya Wilayah Bandung dan didaerah lainnya persebarannya cukup merata. Kondisi ini menyebabkan banyak piksel kelas lain yang berada selain daerah barat daya Wilayah Bandung cenderung berubah menjadi kelas semak dan lahan kering. Hal ini dapat terlihat pada gambar 4.11 yang menunjukkan pola sebaran lokasi kelas lahan semak dan lahan kering hasil prediksi di tahun 2001. Adapun kelas lahan lain yang sebagian besar berubah menjadi kelas lahan semak dan lahan kering antara lain adalah kelas lahan jalan, kelas lahan sawah, kelas lahan pemukiman, dan kelas lahan kebun yang memiliki kesamaan pola perubahan yakni perubahan terjadi secara merata di seluruh Wilayah Bandung kecuali di barat daya Wilayah Bandung laju pertumbuhannya relatif kecil.
47
Gambar 4.4 Distribusi Luas saat Kondisi Ekuilibrium Tercapai
Dari gambar 4.4 terlihat bahwa pada kondisi ekuilibrium, luas area perkebunan adalah luas yang paling besar dibandingkan dengan luas lahan kelas lainnya. Hal ini menunjukan bahwa hampir sebagian besar Wilayah Bandung diliputi dengan area perkebunan. Area perairan menunjukkan perubahan yang kondisinya semakin memburuk dan jelas diperlukan tindakan-tindakan antisipatif di wilayah-wilayah sekitar DAS agar terbebas dari segala macam aktifitas sehingga luas area perairan dimasa datang tidak berkurang. Hal yang menarik dari gambar 4.4, adalah area semak dan lahan kering yang cukup luas bahkan lebih luas dari hutan. Hal ini menunjukkan bahwa area tersebut dapat upayakan pengalihan fungsi lahannya menjadi kelas lahan yang produktif. Sebagai contoh area tersebut dapat upayakan untuk digunakan menjadi area persawahan baru untuk meningkatkan produksi beras sehingga Wilayah Bandung mengalami swasembada beras. Alternatif lainnya adalah dengan mereboisasikan area semak dan lahan kering tersebut, sehingga Wilayah Bandung memiliki area resapan air yang cukup luas.
48
Gambar 4.5 Diagram Perbandingan Distribusi Luas Lahan 2001 – Prediksi
Perbandingan antara luas kelas lahan pada data existing dengan hasil prediksi alokasi dan prediksi lokasi yang ditunjukan oleh gambar 4.5 diatas menunjukkan prosentase perbedaan luas prediksi alokasi dan existing yang cukup buruk dimiliki kelas lahan jalan dan kebun berturut sebesar 63% dan 91%. Sementara untuk kelas lahan lainya yakni kelas lahan pemukiman sebesar 23%, untuk kelas lahan sawah sebesar 32%, untuk kelas lahan semak dan lahan kering sebesar 15%, untuk kelas lahan perairan sebesar 41%, dan kelas lahan hutan sebesar 8%. Dari data ini, kelas lahan hutan merupakan kelas lahan dengan tingkat akurasi yang baik dimana prosentase yang dimilikinya merupakan prosentase yang paling kecil diantara kelas-kelas lahan lainnya. Sementara pada hasil prediksi lokasi perbedaan luas dengan data existing juga menunjukkan hasil yang kecenderungannya sama dimana kelas lahan jalan dan kebun prosentase perbedaan luas yang besar berturut-turut sebesar 86% dan 53%. Sementara untuk kelas lahan lainya yakni kelas lahan pemukiman sebesar 23%, untuk kelas lahan sawah sebesar 23%, untuk kelas lahan semak dan lahan kering sebesar 2%, untuk kelas lahan perairan sebesar 19%, dan kelas lahan hutan sebesar 5%. Dari data ini, kelas lahan semak dan lahan kering merupakan kelas lahan dengan tingkat akurasi yang baik dimana prosentase yang dimilikinya merupakan prosentase yang paling kecil diantara kelas-kelas lahan lainnya.
49
Pada bagian 3.2 telah disebutkan bahwa hasil pemodelan prediksi lokasi perubahan lahan dengan memanfaatkan metode Monte Carlo berupa citra prediksi yang dapat memberikan pola distribusi perubahan lahan secara spasial di Wilayah Bandung. Prosentase tingkat akurasi secara keseluruhan dari citra prediksi yang dihasilkan untuk iterasi ke-n adalah dengan menghitung jumlah piksel pada posisi yang sama pada cita prediksi dan data existing tahun 2001 yang memiliki kelas lahan yang sama atau disebut dengan piksel identik dibagi dengan jumlah total piksel keseluruhan area studi, kemudian hail yang diperoleh dikalikan dengan 100%, seperti pada persamaan berikut (4.1) Banyaknya jumlah piksel yang tepat sama secara lokasi adalah sebanyak : 2.058.498 piksel. Artinya dicapai tingkat akurasi
yang dicapai citra prediksi
secara keseluruhan adalah sekitar 59,81%. Pemodelann dilakukan dengan menggunakan ukuran window
3 x 3.
Ukuran window 3 x 3 dipilih untuk digunakan di dalam penelitian ini dikarenakan pada pemodelan perubahan lahan menggunakan Rantai Markov ukuran ini memiliki selisih ukuran yang terdekat dengan data kondisi lahan tahun 2001 dibandingkan dengan data lainnya (Juliandri, 2006). Dengan hasil ini dan juga dalam penerapan metode Monte Carlo juga menggunakan konsep rantai Markov maka dipilihlah ukuran 3 x 3 untuk mewakili hasil pemodelan prediksi perubahan lahan. Seperti yang telah diuraikan pada bagian dapat diketahui berapa jumlah piksel yang tepat sama secara lokasi. Apabila dilakukan perulangan proses pembentukan model prediksi lokasi maka akan dihasilkan suatu kecenderungan bahwa trend yang dihasilkan memiliki tingkat repeatability yang baik. Artinya setiap hasil prediksi yang diperoleh memiliki prosentase tingkat ketepatan prediksi secara keseluruhan yang relatif sama seperti ditunjukkan pada gambar 4.6.
50
Gambar 4.6 Tingkat Repeatability
Gambar 4.6 menunjukan bahwa pada proses pembentukan model prediksi yang dilakukan dengan menggunakan ukuran window 3 x 3 secara berulang sebanyak 100 kali menunjukkan trend yang relatif konstan yakni memiliki rata-rata prosentase sebesar 59.34%.
51