BAB 3 ANALISIS DATA
3.1
Analisis Kasus Penundaan Perkawinan Pada Wanita Jepang Secara Umum Tiga puluh lima tahun yang lalu, seorang wanita muda diharapkan menikah antara
usia 20-24 tahun. Apabila mereka belum menikah di usia 25 tahun akan dianggap aneh oleh lingkungan sekitarnya dan akan diolok-olok sebagai urenokori (barang yang tidak laku) atau too ga tatsu yang artinya buah yang hampir busuk (Iwao, 1993:59). Jepang terkenal sebagai suatu negara yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan masyarakatnya sangat memegang nilai-nilai tradisional kebudayaannya. Sehingga apabila mereka melihat ada seorang wanita muda yang belum menikah pada usia 25 tahun, dapat menimbulkan reaksi yang berlebihan. Karena wanita pada generasi saat itu menganggap perkawinan sebagai suatu keharusan dan merupakan sumber kekuatan ekonomi. Namun, akhir-akhir ini tekanan masyarakat kepada wanita untuk menikah pada umur tertentu telah melemah (Fujimura-Fanselow, 1995:139) dan kesadaran untuk menikah pada umur layak di Jepang semakin rendah. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut.
18 Tabel 3.1 Usia Saat Pertama Kali Menikah
Tabel 3.1 A Statistical View of Marriage in Japan Sumber : Mochizuki Takashi, professor at Taisho University http://www.web-japan.org/nipponia/nipponia9/sp03.html
Dari tabel di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa pada tahun 1950 wanita menikah pada usia 23 tahun dan pria menikah pada usia 26 tahun. Kemudian pada tahun 1995 wanita baru menikah pada 27 tahun dan pria pada usia 30 tahun. Dari sini dapat dilihat bahwa adanya pergeseran nilai-nilai kesadaran untuk menikah pada usia layak nikah. Sebagian masyarakat Jepang masih memegang kuat nilai tersebut, dan sebagian lain sudah tidak begitu memperhatikan nilai-nilai tersebut. Selain itu, dari tabel tersebut, menunjukan bahwa wanita yang tidak menikah pada usia layak nikah jumlahnya mengalami peningkatan. Kecenderungan penundaan pernikahan (bankonka) mengalami peningkatan jumlahnya setelah tahun 1950, dapat dilihat pada tabel 3.2 (Persentasi pria dan wanita dari umur 50 tahun atau kurang yang belum menikah).
19 Tabel 3.2 Persentasi Pria dan Wanita dari umur 50 tahun atau kurang yang Belum Menikah
Tabel 3.2 A Statistical View of Marriage in Japan Sumber : Mochizuki Takashi, professor at Taisho University http://www.web-japan.org/nipponia/nipponia9/sp03.html Dari tabel di atas, penulis berkesimpulan bahwa jumlah kecenderungan penundaan pernikahan mengalami peningkatan dari tahun 1950 sampai 1995. Pada tahun 1950 jumlah persentasi wanita yang belum menikah sebesar 1.35% dan pria 1.46%. Kemudian pada tahun 1995 jumlah wanita yang belum menikah sebesar 5.28% dan pria 9.07%. Usia rata-rata menikah di Jepang mengalami perubahan dan jumlah kecenderungan penundaan perkawinan mengalami peningkatan yang drastis. Setelah Perang Dunia II, pemerintah Jepang selain melakukan perbaikan undangundang mengenai hak asasi manusia, juga melakukan perbaikan dalam undang-undang mengenai pendidikan, yaitu School Education Law dan Fundamental Law of Education of 1947. Perbaikan ini memungkinkan wanita mendapatkan kesempatan yang sama dengan pria dalam mengejar pendidikan. Bermacam jalur pemisahan jenis kelamin digabung menjadi struktur satu jalur. Status universitas diberikan kepada institusi yang ada, termasuk akademi untuk wanita dan sekolah guru. Pendidikan wajib diperluas dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dan struktur 6-3-3-4 diterapkan yaitu Sekolah
20 Dasar 6 tahun, SMP 3 tahun, SMU 3 tahun, dan universitas 4 tahun. Sistem Kyoogaku (pria dan wanita belajar di sekolah yang sama) juga diperluas ke seluruh tingkat pendidikan termasuk universitas, kurikulum umum diberlakukan di seluruh sekolah (Jepang Dewasa Ini, 1989:90). Kemudian pada bulan Mei 1985 Diet Nasional menyetujui undang-undang Kesempatan Bekerja Yang Sama, yang diberlakukan pada tanggal 1 April tahun 1986. Undang-undang ini melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam pendidikan dan penataran pegawai, tunjangan kesejahteraan, penerimaan gaji, tunjangan kesejahteraan, pensiun wajib, dan pemutusan hubungan kerja (Jepang Dewasa ini, 1989:83). Sejak berlakunya Undang-Undang Persamaan Kesempatan Kerja mulai bulan April 1986, maka kesempatan kerja yang sama serta perlakuan tidak berbeda antara wanita dan pria telah berjalan di beberapa sektor adanya. Hal tersebut, telah mendorong para wanita Jepang untuk melanjutkan pendidikan ke universitas karena perusahaanperusahaan mulai memperkerjakan wanita lulusan universitas (Kompas, 1989:64). Jumlah wanita yang masuk universitas dapat kita lihat pada grafik berikut.
21 Tabel 3.3 Jumlah Pendaftaran untuk Tiap-tiap Jenis Sekolah
Sumber :“Survei Sekolah Dasar”, dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. http://www.gender.go.jp/english_contents/women2004/statistics/s02.html Berdasarkan tabel di atas, penulis berpendapat bahwa jumlah pria yang masuk universitas lebih banyak daripada wanita, tetapi jumlah wanita yang melanjutkan pendidikan ke universitas juga semakin meningkat dari 15.2% tahun 1990 menjadi 34.4% di tahun 2003. Kemudian, Penulis juga berpendapat bahwa pendidikan laki-laki Jepang tidak tertinggal dari kaum wanita, hanya pria yang melanjutkan pendidikan ke akademi jumlahnya lebih rendah daripada wanita. Sedangkan wanita yang melanjutkan ke universitas, jumlahnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (lihat tabel 3.3). Sejak perusahaan-perusahaan mulai mempekerjakan wanita lulusan universitas, wanita
22 Jepang terdorong untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Selain itu, menurut penulis, adanya berbagai kemudahan yang diterima oleh wanita Jepang saat ini seperti dalam hal penerimaan kesempatan pendidikan yang sama dengan pria, dan juga kesempatan terjun dalam dunia kerja yang semakin besar telah mendorong wanita Jepang untuk lebih berpartisipasi di dalam masyarakat. Pendidikan tinggi yang mereka terima telah membuka wawasan dan mempengaruhi cara berpikir mereka termasuk dalam penentuan waktu pernikahan. Kemudian, tentang rasio wanita yang belum menikah berdasarkan usia dan riwayat pendidikan, dapat dilihat pada tabel 3.4 sebagai berikut. Tabel 3.4 Rasio wanita yang belum menikah berdasarkan usia dan riwayat pendidikan.
Sumber
Usia
SMA
Akademi
Universitas
20-24
77.4
93.1
98.6
25-29
29.4
46.3
51.3
30-34
12.7
15.5
19.4
35-39
4.2
10.2
10.3
40-44
3.2
5.6
9.4
45-49
2.9
4.4
0.0
: Organisasi Riset Pekerja Jepang tahun 1991 dalam Nihon Ryodo Kenkyu Zasshi No. 381 yang dikutip oleh Ohashi (1995:45)
Keterangan : 1.Hasil survei ini berdasarkan sample seluruh Jepang dengan obyek pria dan wanita usia 20-69 tahun, skala sample untuk wanita usia 20-49 tahun berjumlah 7,537 orang. 2.Setiap riwayat pendidikan termasuk mereka yang sedang dalam masa sekolah.
23 Dari tabel di atas, penulis berkesimpulan bahwa jumlah wanita yang belum menikah pada usia 20-35 tahun paling banyak ditingkat universitas dan akademi. Kemudian dari mereka yang usia 20-24 tahun berjumlah 98.6% sedang dalam masa kuliah atau sudah lulus dari universitas, 93.1% masih kuliah atau sudah lulus dari akademi, dan 77.4% lulusan dari SMA. Sedangkan mereka yang berusia 25-29 tahun, 51.3% lulusan dari universitas, 46.3% lulusan dari akademi dan 29.4% lulusan dari SMA. Selain itu, berdasarkan data di atas penulis juga berkesimpulan bahwa faktor pendidikan menyebabkan banyak wanita Jepang yang menunda perkawinannya karena menikah disaat masih bersekolah adalah hal yang sangat jarang terjadi di Jepang. Oleh karena itu, meningkatnya jumlah wanita yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, jumlah penundaan perkawinan pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (lihat tabel 3.2). Sumiko Iwao (1996) mengatakan bahwa kecenderungan menunda perkawinan di kalangan wanita sangat berkaitan dengan pendidikan. Bagi wanita yang berusia 25-29 tahun, 40% masih single. Sebaliknya, bagi wanita lulusan SMA di usia yang sama, hanya 25% yang masih single. (http:www.mofa.go.jp/i-info/japan/opinion/iwao.html). Berdasarkan pernyataan yang dikemukan oleh Sumiko Iwao, penulis juga berkesimpulan bahwa semakin meningkatnya wanita-wanita yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, jumlah penundaan perkawinan juga mengalami peningkatan. Dan penundaan perkawinan yang kini banyak terjadi dalam kalangan wanita Jepang juga sangat berpengaruh terhadap jumlah populasi Jepang. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.5 sebagai berikut.
24
3.5 KECENDERUNGAN DALAM KELAHIRAN DAN TOTAL ANGKA KESUBURAN
Sumber : “Angka-angka Statistik mengenai kelahiran di Jepang,” Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. http://www.gender.go.jp/english_contents/women2004/statistics/s02.html.
Jepang telah mengalami tingkat kelahiran yang rendah dan mengalami peningkatan dalam populasi usia tua. Tingkat total kesuburan (total tingkat kelahiran hidup bagi wanita dalam kelompok semua usia selama beberapa tahun ini; dengan kata lain, jumlah kelahiran per wanita selama seumur hidupnya) telah mengalami penurunan sejak menurunnya dibawah 2.000 pada tahun 1975. Hal ini sebagian besar karena persentase orang yang belum kawin telah mengalami peningkatan di Jepang. Usia rata-rata bagi perkawinan pertama telah meningkat. Sejak tahun 2002. Laki-laki Jepang menikah pada saat pertama usia 29 tahun dengan pukul rata-rata dan usia rata-rata bagi wanita Jepang yang menikah untuk pertama kali tetap pada usia antara 27 tahun.
25 Wanita pada usia 20-an berada di puncak kesuburan yang paling tinggi pada dekade yang lalu. Akan tetapi kini kira-kira setengah wanita pada usia ini masih belum menikah. Tingkat melajang dalam seumur hidupnya (persentase orang yang masih membujang pada usia 50 tahun) mengalami peningkatan secara dratis sejak tahun 1960, khususnya di kalangan laki-laki. (http://www.gender.go.jp/english_contents/women2004/statistics/s02.html) Selain itu, penulis berpendapat bahwa alasan wanita melanjutkan pendidikan ke yang lebih tinggi adalah karena agar dapat masuk dalam dunia kerja dan dapat mengembangkan karirnya dengan maksimal. Dengan mendapat pekerjaan yang baik, maka juga akan mendapatkan pendapatan yang tinggi seperti yang dikatakan oleh Fujimura Fanselow (1995:305). Setelah lulus dari akademi atau universitas, banyak wanita Jepang yang masuk dalam dunia kerja dan mengembangkan karirnya. Dengan pekerjaan yang baik dan pendapatan yang tinggi yang diterima oleh wanita, akhir-akhir ini telah membuat wanita Jepang menunda perkawinannya bahkan memilih hidup melajang. Alasan-alasan mereka melajang atau menunda perkawinannya dapat dilihat pada tabel 3.6 sebagai berikut.
26 Tabel 3.6 Alasan yang diberikan oleh wanita “Kenapa menunda perkawinan atau hidup melajang” Alasan
Persentase
Orang dapat memenuhi kebutuhannya tanpa ikatan nikah
24.1%
Wanita kini dapat mencari nafkahnya sendiri
18.6%
Saya tidak mau diganggu dengan alasan sosial dan hukum
11.9%
Sangat sulit sekali mencari seseorang yang cocok, karena banyak yang saya harapkan dari pasangan saya
9.2%
Tidak lagi nyaman untuk tetap melajang
9.1%
Sumber : 1998 Survei Mengenai Pandangan Orang dewasa Muda Mengenai Perkawinan dan Cinta, yang dikeluarkan oleh OMMG. (http://www.web-japan.org/nipponia/nipponia9/sp03.html). Dari tabel di atas, penulis berkesimpulan bahwa alasan wanita Jepang akhirakhir ini menunda perkawinannya atau bahkan memilih hidup melajang, banyak dari antara mereka yang beralasan bahwa orang dapat memenuhi kebutuhannya tanpa ikatan nikah sebesar 24.1% sebagai cermin tingkat kesuksesan. Pendidikan telah membuat pandangan wanita Jepang menjadi terbuka dan dengan adanya gaji atau pendapatan yang tinggi yang mereka terima, telah membuat mereka tidak lagi memandang bahwa perkawinan adalah sebagai sumber ekonomi. Penghasilan yang tinggi telah membuat wanita Jepang menjadi semakin mandiri dan merasa bisa dapat hidup sendiri, menghabiskan uang lebih bebas dan bergembira tanpa perlu mengambil tanggung jawab untuk mengurus seorang suami. Dengan adanya pilihan-pilihan yang tersedia membuat mereka selalu bertanya pada diri sendiri kenapa harus menikah.
27 Persentasi dari wanita single di Jepang telah melampaui persentasi di negara industri lainnya termasuk Amerika Serikat. Persentase wanita yang tidak menikah telah membumbung jauh dari angka perceraian di Jepang. Di tahun 2003, 54% wanita Jepang dalam usia senja masih lajang disbanding tahun 1980 yang hanya berkisar antara 24%. Dan sekitar 43% dari pria Jepang dalam usia 30 tahun belum menikah, telah mengalami peningkatan 2 kali lipat dari tahun 1980. Menurut ramalan dari data statistik pemerintah, pada tahun 2020, lebih dari hampir 30% dari semua urusan rumah tangga orang Jepang akan dipimpin oleh seorang yang melajang. Di Tokyo yang merupakan daerah terpadat di dunia, angka ini sudah melampaui 40%. (http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A47261-2004Aug30.html). Berdasarkan data di atas, penulis berkesimpulan bahwa hal itu dapat saja terjadi karena saat ini kaum muda Jepang semakin memilih untuk menunda perkawinannya bahkan ada sebagian yang memilih untuk tidak menikah. Bagi kaum muda Jepang saat ini beranggapan bahwa anak sebagai beban pada karir dan gaya hidup mereka khususnya bagi kaum wanita. Hal ini telah menyebabkan kaum pria mengalami kesulitan dalam mencari pasangan dan memperoleh keturunan, bahkan beberapa di antara mereka mengalami depresi karena setelah 10 kali gagal mencari pasangan hidup melalui biro jodoh. Hal ini terjadi pada kasus seorang peneliti Tata Surya “Masayuki Kado”, ia berpendapat bahwa kenyataannya saat ini rintangan yang terbesar dalam mencari pasangan bukanlah mengenai bagaimana cara berpenampilan yang baik atau karisma yang dimiliki. Sekalipun telah menikah, wanita Jepang saat ini sudah tidak ingin tinggal di rumah. Tetapi sebagian kaum pria Jepang masih mengharapkan wanita Jepang setelah menikah dapat tinggal di rumah sepenuhnya untuk mengurus suami dan anak-anak.
28 Berikut ini penulis akan menganalisis beberapa wanita Jepang yang tidak menikah sesuai dengan usia yang dianggap layak nikah bagi masyarakat Jepang yaitu antara usia 20-24 tahun. Tapi belakangan ini banyak wanita Jepang yang menikah di atas usia tersebut bahkan ada yang tidak ingin menikah. Di sini, penulis akan mengambil beberapa kasus wanita Jepang yang menikah di atas usia 24 tahun dan penulis juga akan menganalisis penyebab mereka menunda perkawinannya. 3.2
Kasus Penundaan Perkawinan Pada Putri Sayako Sayako adalah putri bungsu dari Kaisar Akihito dan Ratu Michiko, yang akrab
disapa putri Nori. Putri Sayako belajar dan lulus dari Departemen Bahasa dan Sastra Jepang dari Fakultas Sastra Universitas Gakushuin pada 1992. Pada tahun yang sama, ia menerima jabatan sebagai peneliti madya di Institut Yamashina bidang ornitologi (ilmu penelitian tentang burung). Pada 1998 ia diangkat menjadi peneliti senior pada lembaga yang sama.. Putri Sayako merupakan sosok wanita Jepang masa kini. Ia mengatakan tidak ingin terburu-buru menikah dan
mempunyai anak. Menurutnya perkawinan
merupakan sesuatu yang sakral dan harus dipertimbangkan masak-masak. Pada tanggal 15 November 2005, Putri Sayako (35 tahun) menikah dengan seorang pria dari kalangan rakyat biasa yaitu Yoshiki Kuroda (39 tahun). Hal itu menyebabkan, putri Sayako harus menanggalkan kebangsawanannya dan menjadi rakyat biasa sebagai tuntutan dari undang-undang tahun 1947 yang mewajibkan anggota Kekaisaran Jepang menanggalkan status kelahirannya, keanggotaan resmi di keluarga kekaisaran dan tunjangan-tunjangannya pada saat pernikahannya jika menikah dengan kalangan rakyat biasa. (http://202.133.81.114/article.php?sid=2726)
29 Berdasarkan kasus di atas, penulis berkesimpulan bahwa pendidikan tinggi telah membuat wawasan dan pandangan wanita Jepang menjadi lebih luas dan terbuka. Kini, mereka melihat perkawinan bukan lagi sebagai satu-satunya pilihan dalam hidupnya, melainkan perkawinan merupakan satu pilihan dari sekian banyak pilihan. Putri Sayako menunda perkawinannya sampai usia 35 tahun karena ia ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan tinggi baginya merupakan suatu hal yang harus di miliki oleh seorang putri Raja, ia tidak hanya ingin menjadi seorang putri yang hanya berdiam di istana tanpa memiliki riwayat pendidikan yang baik. Karena bagi masyarakat Jepang saat ini, riwayat pendidikan yang baik (gakureki) merupakan gambaran status dan wibawa seseorang (Amano, 1993:114). Pendidikan tinggi juga menambah nilai tambah bagi seseorang. Selain itu, penulis juga berkesimpulan bahwa kini nilai-nilai tradisional Jepang telah mengalami pergeseran. Di masa lalu, putri-putri Kaisar Jepang rata-rata menikah sebelum usianya mencapai 30 tahun. (http://202.133.81.114/article.php?sid=2726) Sayako tidak mengikuti tradisi tersebut. Keputusannya untuk menunda pernikahan sempat menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat Jepang. Dan pernikahannya dengan Yukichi Kuroda menunjukkan bahwa kepala keluarga atau orangtua tidak lagi dapat sepenuhnya campur tangan dalam memilih pasangan hidup untuk anaknya karena kini perkawinan merupakan urusan individu dan individu tersebutlah yang berhak menentukan kapan dan dengan siapa ia akan menikah. Pernikahan itu merupakan pernikahan pertama dalam 45 tahun oleh seorang putri kaisar yang berkuasa. Dari sini dapat dilihat bahwa masyarakat Jepang telah mengalami suatu
30 transformasi baik dari cara bersikap dan juga pandangannya terhadap kehidupan, terutama bagi kaum wanita dalam pandangannya terhadap perkawinan. Sebelum tahun 1946, bagi wanita Jepang yang belum menikah pada usia 20-24 tahun akan dianggap sebagai barang yang tidak laku atau dianggap aneh oleh masyarakat (Iwao, 1993:59). Tetapi saat ini, hal itu sudah dapat diterima oleh masyarakat. Kini perkawinan bagi masyarakat modern Jepang merupakan suatu hubungan yang bebas dan sama di antara individu (Yoshizumi, 1995:196).
3.3
Kasus Penundaan Perkawinan Pada Kuroyanagi Tetsuko Kuroyanagi Tetsuko adalah salah satu wanita sukses di Jepang. Ia seorang
penulis, karya novelnya yang terkenal adalah berjudul Totto-Chan, yang terjual lebih dari satu juta kopi di Jepang dan di negara lain. Ketika ia lulus dari SMA, orangtuanya menginginkan dia segera menikah. Akan tetapi, ia malah melamar pekerjaan berakting dan kemudian, ia meninggalkan Jepang dan pergi ke New York untuk belajar Bahasa Inggris dan acting. Ketika ia kembali ke Jepang, ia menjadi bintang dan menjadi orang yang sukses. Dalam satu tahun, ia dapat menghasilkan banyak uang dibandingkan dengan aktor dan aktris di Jepang. Namun, sampai hari ini dia belum menikah. (http://www.indiana.edu/-japan/LP/LS32.html) Berdasarkan kasus di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa saat ini perkawinan sudah menjadi urusan individu. Pada generasi saat ini, wanita Jepang tidak lagi menganggap perkawinan sebagai satu-satunya pilihan dalam hidupnya. Sejak adanya
perbaikan-perbaikan
dalam
undang-undang
terutama
dalam
mengenai
perkawinan dan pendidikan di Jepang telah memberikan nafas baru bagi kaum wanita.
31 Selain itu, kemudahan-kemudahan serta berbagai kesempatan yang dapat diterima oleh wanita Jepang telah memberikan banyak pilihan dalam hidupnya sehingga kini perkawinan menjadi salah satu pilihan dari sekian banyak pilihan. Saat ini banyak wanita Jepang yang menunda perkawinannya karena ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti yang dilakukan oleh Kuroyanagi Tetsuko. Hal ini dapat dibuktikan pada hasil survei sebagai respon dari pertanyaan mengapa wanita Jepang menunda pernikahannya. Dan tabel ini dibuat berdasarkan data dari Retherford sebagai berikut.
Tabel 3.7 Respon dari Pertanyaan “Mengapa Tidak ingin Menikah Sekarang” (National Survey on Family Planning 1994) Alasan
Persentase
Masih ingin belajar, bekerja, menikmati hobi Belum mendapatkan pasangan yang cocok Masih terlalu muda Pernikahan akan menghilangkan kebebasan Biaya untuk menikah dan membangun rumah tangga tinggi Mengurus orangtua atau saudara kandung adalah suatu hambatan untuk menikah
40 32 30 19 9 1
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa jawaban yang terbanyak atas pertanyaan mengapa tidak ingin menikah sekarang, jawaban terbanyak terdapat pada alasan karena masih ingin belajar,bekerja dan menikmati hobi dengan jumlah 40 persen. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa saat ini banyak wanita Jepang yang menunda perkawinannya karena masih ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Karena dengan memiliki pendidikan yang tinggi, maka kelak akan mendapat pekerjaan yang baik dan penghasilan yang tinggi seperti yang terjadi pada Kuroyanagi
32 Tetsuko. Ia tidak ingin hanya memiliki pengetahuan tentang akting hanya setengahsetengat tapi ia ingin benar-benar dapat menguasainya dengan meneruskan pendidikannya ke luar negeri dan menunda perkawinannya.
3.4
Kasus Penundaan Perkawinan Pada Nagako Motomiya Nagako Motomiya (49 tahun), adalah seorang senior administrasi di kota Tokyo.
Sampai hari ini ia belum menikah. Ia berkata bahwa “saya tidak akan pernah untuk menikah, tapi sampai hari ini dengan usia sekarang ini engkau dapat hidup dengan nyaman sebagai wanita single di Jepang.” (http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A47261-2004Aug30.html) Berdasarkan kasus di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa saat ini berkat pendidikan yang tinggi yang dimiliki telah memberikan pekerjaan yang baik dengan penghasilan yang tinggi. Penghasilan tinggi yang diperoleh oleh para wanita Jepang, telah membuat mereka menjadi wanita yang mandiri dan pandangan mereka pun terhadap perkawinan menjadi berubah. Dalam Washington Post, Sakai juga mengatakan bahwa saat ini perkawinan bukanlah suatu badan yang cocok bagi setiap orang (Iwao, 1993:61). Dengan penghasilan tinggi yang diperoleh oleh Nagako membuat dirinya menjadi wanita yang mandiri dan tanpa menikah pun ia dapat menghidupi dirinya sendiri, menghabiskan uang lebih bebas dan bergembira tanpa perlu mengambil tanggung jawab untuk mengurus seorang pria. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.4 sebagai respon atas pertanyaan mengapa wanita Jepang saat ini menunda perkawinannya atau melajang. Karena wanita Jepang modern saat ini, mereka tidak ingin lagi terikat
33 oleh nilai-nilai tradisional dengan menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk mengurus rumah tangga ( Kompas, 1989:23). Kemudian, dari wanita-wanita lajang yang diwawancarai oleh Departemen Kesehatan, 83% tidak pernah menikah: dan dari mereka itu sepertiga berada dalam kelompok usia antara 35-37 tahun. Selain itu, Riset pemerintah Metropolitan Tokyo juga menemukan bahwa mereka yang masih lajang itu berpendidikan tinggi dan mempunyai pekerjaan dengan gaji yang bagus. Berdasarkan hasil survey dan riset yang dilakukan oleh pemerintah Tokyo, penulis berpendapat bahwa pada tahun 1950 usia rata-rata wanita Jepang yang menunda perkawinannya terjadi sampai pada usia 24 tahun (lihat tabel 3.1). Akan tetapi, pada saat ini usia rata-rata wanita Jepang yang menunda perkawinannya terjadi antara usia 35 sampai 37 tahun. Hal ini menunjukan bahwa usia rata-rata penundaan perkawinan pada wanita Jepang telah mengalami peningkatan. Dan banyaknya wanita Jepang yang menunda perkawinannya bahkan tidak ingin menikah karena disebabkan oleh faktor pendidikan dan tingkat kesuksesan yang telah mereka capai seperti halnya yang terjadi pada Nagako. Selain itu, penulis juga berpendapat bahwa saat ini wanita Jepang sedang menikmati kebebasannya karena pada waktu dulu sebelum Perang Dunia II ruang gerak wanita Jepang sangat terbatas dan banyak diskriminasi dengan kaum pria. Jadi menurut penulis karena faktor itu juga yang membuat wanita Jepang juga menunda perkawinannya dan ingin lebih lama hidup melajang dengan melakukan segala aktifitas yang mereka sukai seperti melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan mengembangkan karirnya. Iwao (1993:61) juga mengatakan pada hasil wawancara yang dilakukan pada
34 tahun 1991 menunjukkan bahwa wanita-wanita muda yang menunda perkawinannya sudah merasa bebas dari nilai-nilai tradisional yang membatasi nasib wanita. Sekarang mereka tumbuh dengan nilai-nilai individualistic dan hedonistic, sebagaimana halnya pria dari generasi mereka. Dewasa ini ketika seorang wanita muda melewati usia sekitar 25 tahun, tanpa kesuksesan menemukan pasangan hidup, mereka mulai mengalihkan energi mereka keberbagai cara, serta menemukan ketertarikan dan tantangan melalui pekerjaan dan hobi. Akibatnya, perkawinan tidak lagi menjadi obsesi bagi mereka.
3.5
Kasus Penundaan Perkawinan Pada Seorang Eksekutif Wanita Jepang Berikut ini adalah hasil wawancara Anthony Faiola di Starbucks Tokyo dengan
seorang eksekutif wanita Jepang yang telah berusia 40 tahun dan masih lajang. Wanita itu mengatakan bahwa wanita lajang di Jepang sebenarnya ingin menikah atau setidaknya mau dan masih berusaha mencari pasangan yang tepat. Tetapi wanita itu berubah pikiran ketika dan menolak seorang pria yang mengejarnya karena pria itu mengharapkan untuk dia berhenti dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga dan istri sepenuhnya. Dan dia berkata “pria Jepang harus mengupdate cara berpikir mereka terhadap wanita saat ini”. (http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A47261-2004Aug30_2.html) Berdasarkan kasus di atas, penulis berkesimpulan bahwa pendidikan tinggi telah membuat pandangan wanita Jepang menjadi terbuka bahwa waktu dan hidup mereka tidak hanya dapat dihabiskan dan hanya menjadi sebagai ibu rumah tangga saja, seharian hanya memelihara anak dan suami. Akan tetapi, saat ini wanita Jepang ingin lebih terlibat dalam masyarakat dan mengembangkan potensinya secara maksimal tidak hanya
35 dalam pendidikan tetapi juga dalam karir. Dari wawancara Anthony Faiola dengan seorang eksekutif wanita Jepang tersebut, penulis berkesimpulan bahwa wanita Jepang yang masih melajang sebenarnya ingin menikah tetapi mereka tidak ingin menikah dengan pria yang masih berpikiran kuno atau tradisional yang mengharapkan wanita Jepang saat ini seperti pada generasi terdahalu yaitu menghabiskan seluruh waktunya untuk menjadi ibu yang baik dan isteri yang bijak. Selain itu, Badan Perencanaan Ekonomi juga mengatakan bahwa wanita Jepang enggan menikah dengan laki-laki yang stereotype yang memiliki peran lebih kecil dan tidak pernah mau membantu dalam urusan rumah tangga serta masih berpikiran tradisional. Penelitian pemerintah lainnya belum lama ini menunjukkan bahwa 85.5% laki-laki yang masih lajang dan tidak pernah menyingsingkan lengan bajunya untuk membantu dalam urusan rumah tangga. Kaum wanita sejak akhir tahun 1970-an, lebih senang bebas dan melajang selama mungkin dan cita-cita itu tetap kuat (Yoriko, 1994:88). Berdasarkan data di atas, penulis juga berpendapat bahwa wanita Jepang saat ini, ingin menikah dengan pria yang sudah berpikiran modern, yang menganggap isterinya sebagai partnernya dan tetap membiarkan isteri mengembangkan potensinya secara maksimal seperti halnya dalam karir disamping posisinya sebagai seorang isteri dan juga ibu rumah tangga. Tetapi, sampai saat ini masih banyak pria Jepang yang masih berpikiran kuno dan mengharap seorang wanita menghabiskan seluruh waktunya sebagai ibu rumah tangga. Jadi hal itu juga menyebabkan wanita Jepang saat ini menunda perkawinannya. Pandangan tradisional bahwa wanita harus akan menikah setidaknya pada usia 24 tahun juga terkikis.
36 Hal ini juga berhubungan dengan adanya perbaikan undang-undang dalam sistem perkawinan Jepang yang menyatakan bahwa mengenai masalah perkawinan, dilaksanakan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak (mempelai) dan suami isteri ditetapkan memiliki hak yang sama (Shigetaka Fukuchi, 1972:269). Pernyataan tersebut telah membuat wanita Jepang mengalami tranformasi terutama dalam sikap dan pandangannya terhadap perkawinan. Wanita Jepang saat ini menuntut pria juga mau membantu dalam urusan rumah tangga dan adanya kerja sama seperti dalam mendidik anak dan lain-lain yang berhubungan dengan urusan rumah tangga.
3.6
Penundaan Perkawinan Pada Matsushima Nanako Mastsushima Nanako adalah salah satu artis Jepang yang terkenal. Ia lahir pada
tanggal 13 Oktober 1973 di Yokohama, Jepang. Pada usia 18 tahun, ia memulai karirnya sebagai foto model pada perusahaan Asahi Kasei. Kemudian pada tahun 1996, ia mulai terjun dalam dunia acting dan kini banyak membintangi film drama Jepang. Kemudian, pada tahun 2001 Februari, tepat pada usianya yang ke 28 tahun, ia menikah dengan Takashi Sorimachi yang juga aktor dan sempat bermain bersama dalam drama Great Teacher Onizuka yang mengalami kesuksesan. Japan Zone (http://www.japan-zone.com/modern/matsushima_nanako.shtml) Dari kasus di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa dengan adanya berbagai kemudahan yang dapat diterima oleh wanita Jepang saat ini, perkawinan tidak lagi menjadi obsesi dalam hidup mereka. Saat ini, wanita Jepang tidak lagi ingin hidupnya tergantung sepenuhnya pada pria tapi mereka ingin menunjukkan pada kaum pria bahwa mereka juga memiliki potensi yang besar dan dapat menjadi seorang wanita yang sukses
37 dan mandiri. Hal ini dapat dilihat pada kasus Matsushima Nanako. Selain itu, menurut penulis orangtua-orangtua di Jepang saat ini sudah lebih demokrasi, dengan membiarkan anak-anaknya memilih sesuatu berdasarkan kesukaan atau bakatnya seperti yang di alami oleh Matsushima Nanako yang memutuskan terjun dalam dunia model dan akting pada usia yang tergolong masih muda (18 Tahun). Kemudian, pendapat penulis juga bahwa saat ini seorang wanita yang baru menikah pada usia lebih dari 24 tahun, tidak lagi dianggap sebagai suatu hal yang aneh oleh masyarakat Jepang. Dan penyebab Matsushima Nanako menunda perkawinannya sampai pada usia 28 tahun adalah karena faktor pekerjaan dan memilih pasangan yang benar-benar dapat memahami profesinya dan kesibukannya sebagai artis. Tetapi faktor utama yang membuat pandangan wanita Jepang berubah dan menunda perkawinannya adalah karena faktor pendidikan yang telah berkembang begitu pesat di Jepang.