Bab 3 Analisis Data
3.1. Analisis Kasus Perceraian di Jepang Secara Umum Perceraian di Jepang secara umum mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Hal ini bisa dilihat dari grafik di bawah yang didapat dari news.bbc.co.uk ( 2006 ). Grafik 1. 1
Perubahan Tahunan Persentase dan Banyaknya Perceraian
Sumber: http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6515193.stm
Keterangan : 人口千対
= Jumlah penduduk per 1.000 pasangan
離婚件数
= Banyaknya perceraian
昭和
= Tahun Showa ( 1926 – 1989 )
平成
= Tahun Heisei ( 1989 – sekarang )
離婚率
= Persentase perceraian
万組
= Jumlah per 10.000 pasangan
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa perubahan tahunan perceraian di Jepang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan regulasi – regulasinya selama ini. Tingginya jumlah perceraian di Jepang sudah dimulai dari tahun 1900-an, yang dikarenakan biaya pernikahan yang sangat murah pada saat itu. Karena banyaknya pernikahan yang terjadi, hal itu juga berakibat pada jumlah perceraian yang juga tinggi. Namun pada tahun 1930-an sampai 1940-an jumlah perceraian secara subtansial menurun dan relatif stabil sampai pada tahun 1960-an. Hal itu dikarenakan undang – undang kode sipil Meiji, perceraian menjadi lebih sulit dan lebih memakan biaya. Jumlah perceraian yang relatif stabil pada tahun 1940-an sampai pada 1960-an dikarenakan Jepang yang pada waktu itu sedang mengalami masa pemulihan setelah kalah pada Perang Dunia II. Namun jumlah
perceraian
kemudian
merangkak
naik
seiring
dengan
pertumbuhan
perekonomian di Jepang, dan puncaknya terjadi pada tahun 2002. Pada tahun 2002 jumlah perceraian di Jepang mencapai lebih dari 290.000 kasus. Bagaimanapun angka perceraian tersebut menurun sampai pada 260.000 kasus pada tahun 2005, dan 235.000
kasus pada tahun 2006. Penurunan angka perceraian tersebut bukan diakibatkan karena peningkatan perekonomian maupun kualitas hubungan pernikahan yang membaik di Jepang, namun hal itu dikarenakan undang – undang perceraian yang baru di Jepang. Undang – undang tersebut membolehkan istri untuk mengklaim sampai dengan setengah dari uang pensiun suami. Karena undang – undang tersebut para istri menunggu untuk mengajukan perceraian sampai dengan undang – undang tersebut diberlakukan (Terrie, 2007). Perceraian yang terjadi di kalangan pasangan suami – istri yang sudah menikah lebih dari 30 tahun telah meningkat drastis sejak lama. Hal ini telah dinyatakan oleh koseisho dalam Sakurai (2000), dimana dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1997, angka dari kasus perceraian pada pasangan yang telah menikah lebih dari 30 tahun meningkat lebih dari 8 kali lipat. Meningkatnya kasus perceraian pada usia lanjut mulai dari 820 kasus pada tahun 1973 meningkat menjadi 6790 kasus pada tahun 1997. Jika peningkatan tersebut terus semakin meningkat, maka kebanyakan para pria yang sudah beristri di Jepang akan beresiko menghadapi kasus perceraian usia lanjut di masa tua mereka. Kasus tersebut terjadi, karena mereka sering bekerja hingga lembur dan juga memiliki kewajiban untuk menemani atasan mereka pergi minum – minum. Hal tersebut mengakibatkan para pria sering pulang ke rumah hingga larut malam sekitar jam 21.00 - 22.00. Sedangkan keseharian dari para istri di Jepang lebih banyak disibukkan dengan keadaan rumah, anak – anak serta hobi mereka yang hampir tidak pernah diketahui oleh para suaminya. Setelah bertahun – tahun telah lewat, anak – anak mereka telah menjadi dewasa dan meninggalkan rumah, dan masa pensiun yang
mendekat, pasangan tersebut menghadapi masa tua dimana mereka tidak dapat saling membagi impian mereka kecuali jika mereka berpisah ( Sakurai, 2000 ). Kebanyakan keputusan perceraian yang disebabkan oleh keadaan seperti pada kasus umum di atas, dimana mereka merasa takut untuk tidak dapat saling membagi impian mereka di masa tua bersama – sama merupakan salah satu ciri dari gejala stress yaitu emotive symptoms. Emotive symptoms merupakan perasaan yang mudah berubah – ubah. Ciri yang paling umum dari emotive symptoms adalah anxiety (kecemasan), rasa ketidakpastian, fear (rasa takut), rasa frustasi, dan rasa kehilangan kontrol. Selanjutnya akan di jabarkan kasus - kasus dan analisis perceraian usia lanjut yang didapat penulis.
3.2. Analisis Kasus Perceraian yang Dipengaruhi oleh Perselingkuhan 3.2.1 Analisis Kasus Perceraian Yuji Tanaka Kasus perceraian Yuji Tanaka merupakan kasus pertama yang diangkat penulis dari artikel “Japan Enters The Age of Silver Divorces” oleh Justin McCurry, Guardian Unlimited, 18 Oktober 2007. Artikel tersebut mengenai seorang pria bernama Yuji Tanaka (nama yang disamarkan) yang berumur 60 tahun yang bercerita tentang istrinya yang berselingkuh selama suaminya pergi bekerja ke luar kota. Yuji Tanaka adalah seorang pria yang bekerja sebagai ilmuwan biologi kelautan. Dia sering pergi melakukan penelitian ke luar kota setidaknya selama dua minggu dalam sebulan atau dua bulan, termasuk pada waktu musim panas dan pernah selama 14 kali musim panas berturut – turut dia jauh dari keluarga.
Sewaktu dia melamar istrinya dia berjanji untuk membantu dalam mengurus urusan rumah tangga, membesarkan anak dan juga akan membicarakan masalah – masalah yang ada sekecil apapun. Pekerjaannya sebagai ilmuwan mengharuskan dia untuk sering pergi ke lapangan untuk mengadakan penelitian. Hal itu membuatnya jauh dari rumah lebih dari 100 hari setiap tahunnya. Hal ini membuat istrinya hampir seperti menjadi seorang single parent (orang tua tunggal), yang membesarkan anak mereka sendirian. Walaupun Yuji mencoba sesering mungkin untuk memasak dan meyiapkan bentō ( 弁 当 ) atau makanan siang untuk anak - anaknya di sekolah, istrinya merasa bahwa selama ini dia dan Yuji hidup terpisah, dan mereka tidak pernah mendiskusikan persoalan keluarga mereka dalam berbagai kesempatan makan malam bersama. Istri Yuji juga memiliki pekerjaan sampingan selain mengurus rumah tangga, sehingga membuatnya memiliki banyak kebebasan untuk bersosialisasi dengan siapapun. Pada suatu hari dalam perjalanan pulang menuju rumah dari liburan keluarga untuk merayakan silver wedding atau pernikahan selama 25 tahun mereka, istrinya mengatakan kepada Yuji bahwa selama ini dia telah berselingkuh dengan pria lain. Mendengar pengakuan istrinya bahwa dia telah berselingkuh selama dia pergi kerja keluar kota. Yuji merasa sangat frustasi karena tidak percaya apa yang telah dilakukan istrinya, dia menjadi sangat depresi dan terkhianati, sehingga dia mulai mengunjungi seorang terapis untuk menangani depresinya. Setelah setahun terapi, ahli terapinya memberikan ijin kepada Yuji untuk memulai proses perceraian. Istrinya menolak untuk mengakui
bahwa dia adalah istri yang suka berzina, karena menurut dia pernikahan mereka telah berakhir sejak bertahun – tahun yang lalu.
Analisis : Dalam kasus ini, pada masa awal pernikahannya, Yuji mengira bahwa perkawinannya akan menjadi sebuah perkawinan yang bahagia, karena pada saat ia melamar istrinya, ia berjanji akan membantu dalam hal urusan rumah tangga mereka berdua dan akan membicarakan segala masalah yang ada bersama-sama. Akan tetapi kehidupan perkawinan mereka tidak berjalan sebagaimana yang dibayangkan olehnya. Karena yang terjadi adalah sang istri sering ditinggal pergi oleh suaminya untuk pergi bekerja ke luar kota selama hampir berminggu – minggu. Pola hubungan suami istri mereka sesuai dengan pola home-centered, dimana ayah diharapkan sebisa mungkin memperhatikan keluarga dan ibu diharapkan membuat sebuah rumah yang bahagia ( Ishikawa, 1990: 208 ). Karena pada awal masa pernikahan mereka, Yuji menjanjikan akan membantu istrinya dalam menangani segala permasalahan yang timbul dalam kehidupan mereka berumahtangga. Untuk menciptakan sebuah lingkungan keluarga yang baik untuk anak – anaknya tumbuh, istri Yuji telah berusaha untuk mengatasi permasalahan rumah tangga mereka sebaik mungkin dan berusaha untuk mengerti kesibukan suaminya dalam pekerjaannya. Akan tetapi, setelah beberapa tahun istri Yuji merasa terbebani dengan segala permasalahan yang harus dihadapinya sendiri dalam kehidupan rumah tangga mereka tanpa kehadiran Yuji sebagai suaminya. Hal ini membuat istri Yuji mencari kebahagiaannya di luar
rumah dengan berselingkuh dan istri Yuji bertahan hanya untuk anak – anak mereka. Agar anak – anak mereka tetap merasa memiliki keluarga yang harmonis dan tidak terbebani dengan permasalahan yang apa yang sebenarnya terjadi didalam kehidupan rumah tangga mereka. Selain mengurusi rumah tangganya, istrinya juga mempunyai pekerjaan sampingan karena dia merasa dia sebagai wanita juga bisa melakukan hal yang lain selain mengurus rumah tangga dan anak – anak. Dia menolak untuk mengakui bahwa dia adalah istri yang suka berzina, karena menurut dia pernikahan mereka telah berakhir sejak bertahun – tahun yang lalu. Dia merasa bebas melakukan apa yang terbaik untuknya, seperti melakukan pekerjaan lain dan bersosialisasi dengan teman kerjanya yang pada akhirnya berakhir pada suatu hubungan perselingkuhan. Tindakan Istri Yuji tersebut merupakan tindakan dari seorang feminis postmodern. Feminisme postmodern menerangkan
bahwa
wanita
berhak
untuk
mendapatkan
hak
untuk
bebas
mengkonstruksi diri sendiri seperti yang dimiliki laki – laki dan bebas mendefinisikan dirinya sendiri ( Tong, 1998: 99 ). Dalam kasus ini diceritakan bahwa istri Yuji Tanaka sering berselingkuh dengan pria lain sewaktu suaminya pergi bekerja keluar kota. Menurut saya, terdapat dua hal yang bisa menyebabkan sang istri melakukan perselingkuhan di saat suami tidak ada, yaitu : a) Dia mengalami salah satu gejala stress yaitu behavioral symptoms, ditandai dengan sikap avoidance atau penarikan diri. Karena dia merasa diacuhkan, ditinggal pergi suami maka dia menarik diri dari sang suami yang tidak bisa menepati janjinya pada waktu melamar dia.
b) Dia mengalami suatu faktor internal yang mendorongnya untuk berselingkuh, yaitu hasrat untuk mengisi kekosongan yang ada pada pernikahannya yang sekarang (Vaughan, 2003: 207). Dia merasa kebutuhannya sebagai seorang wanita tidak sepenuhnya dia dapat dari suami karena absennya sang suami. Dia merasa hampa tanpa kehadiran sang suami, karena merasa ada kebutuhannya yang tidak terpenuhi, maka dia mencari kebutuhannya tersebut pada pria lain. Dan di pihak suami (Yuji Tanaka), setelah dia tahu bahwa istrinya sering berselingkuh dia menjadi sangat depresi, karena kelakuan istrinya tersebut, dia merasa bahwa dia telah gagal menjadi seorang suami yang baik yang dia janjikan sewaktu dia melamar istrinya tersebut. Depresi yang dialaminya merupakan salah satu ciri dari gejala stress yang ada, yaitu emotive symptoms. Emotive symptoms merupakan perasaan yang mudah berubah – ubah atau perasaan depresi (Rice, 1999: 121).
3.2.2. Analisis Kasus Perceraian Yamada Masih dalam artikel yang sama yaitu Japan Enters The Age of Silver Divorces oleh Justin McCurry, Guardian Unlimited, 18 Oktober 2007. Kasus ini bercerita tentang seorang ibu rumah tangga bernama Yamada yang berumur 62 tahun, dimana selama pernikahan mereka dia telah dikhianati oleh karena sang suami berselingkuh selama dia bekerja. Suaminya sering berselingkuh dengan teman wanitanya di kantor dan juga dengan pekerja seks di klub. Klub itu sering dia kunjungi dengan teman – teman kantornya ketika selesai bekerja.
Yamada (62 tahun), merupakan suatu cerminan dari keadaan seorang ibu rumah tangga biasa di Jepang saat ini, dimana pekerjaan sehari – harinya mengurus rumah tangga dan melayani setelah sang suami pulang kantor. Suaminya bekerja seperti kebanyakan pria Jepang lainnya, yaitu sebagai seorang salaryman atau pegawai kantoran dan dia menjabat sebagai buchō ( 部長 ) atau kepala divisi di kantornya. Selama ini Yamada sudah mengetahui bahwa suaminya telah berselingkuh dengan wanita lain, sehingga banyak teman – temannya menyarankan Yamada untuk bercerai, namun Yamada berpikir mungkin suaminya akan berhenti bersikap tidak setia seiring dengan bertambahnya umur perkawinan mereka, dan ternyata 30 tahun telah berlalu yang pada kenyataannya suaminya tetap berselingkuh sampai dia pensiun. Setelah dia pensiun, dia tetap tidak mendekatkan dirinya dengan sang istri. Yang dia lakukan hanyalah mendikte istrinya seperti dia masih bekerja dulu, seakan istrinya adalah barang kepunyaannya yang harus patuh kepadanya. Yang seharusnya dia membantu istri dalam urusan rumah tangga, namun setiap hari pekerjaannya selain memerintah istrinya, dia hanya menonton televisi dan minum sake. Dan dengan adanya undang – undang perceraian kouseinenkin no bunkatsuseido yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Jepang mengenai pembagian uang pensiun sang suami, Yamada berkata pada dirinya, inilah saat yang tepat untuk membalas atas segala perlakuan ketidaksetiaan sang suami kepada dirinya.
Analisis : Tipe hubungan suami istri mereka sesuai dengan pola the outer/inner allotment pattern, hal ini bisa dilihat dari sikap suami yang sepenuhnya mendedikasikan dirinya
pada pekerjaannya, dan istri mendedikasikan dirinya untuk tugas – tugas rumah tangga (Ishikawa, 1990: 208). Sehingga selama suami sibuk bekerja dan mempertahankan pekerjaannya agar dapat menghidupi keluarganya, sang istri bekerja keras mengurus rumah tangga mereka dengan tekun dan giat agar tidak menambah beban sang suami. Suaminya menganggap bahwa Yamada adalah barang kepunyaannya atau ( properties ), karena selama masa pernikahannya dia tidak berusaha untuk mendekatkan dirinya dengan Yamada dan dia menuntut kepatuhan dari istrinya yang harus patuh terhadap segala perintahnya hingga setelah lebih dari 20 tahun menikah Yamada merasa sadar dan memutuskan untuk bercerai. Hal ini didukung dengan paham feminisme marxis menurut Tong (1998: 98), feminisme marxis sering dikritik oleh masyarakat karena dianggap ingin menghancurkan keluarga. Feminisme marxis merupakan salah satu bentuk pergerakan wanita yang beranggapan bahwa mereka hanya ingin menghancurkan keluarga sebagai relasi ekonomi karena dalam paham ini biasanya wanita ditempatkan sebagai ‘properties’ atau barang kepunyaan laki – laki, sementara laki – laki dianggap sebagai ‘propertied’ atau pemilik, dan bukan sebagai ikatan emosional. Yang pada akhirnya Yamada merasa sadar, kemudian seiring dengan penerapan undang – undang perceraian yang baru dia memberanikan dirinya dengan mengajukan perceraian. Dalam kasus ini, Yamada sudah berusaha untuk sabar menanti suaminya, namun di luar rumah ada beberapa hal yang menarik suaminya untuk berselingkuh seperti kekuasaan yang dia miliki sebagai pimpinan di perusahaannya dan rasa ingin tahunya dengan wanita lain selain istrinya. Perselingkuhan yang dilakukannya merupakan salah satu faktor eksternal yang menarik orang kepada perselingkuhan. Seperti ketertarikan
(seks, companionship, admiration, kekuasaan); kesenangan baru, excitement, resiko dan tantangan, rasa ingin tahu, meningkatkan self-image, dan jatuh cinta (Vaughan, 2003: 207).
3.2.3 Analisis Kasus Perceraian Junko Yasukawa Masih dalam artikel yang sama yaitu Japan Enters The Age of Silver Divorces oleh Justin McCurry, Guardian Unlimited, 18 Oktober 2007. Pada kasus ini Junko Yasukawa, adalah seorang wanita karir yang berumur 54 tahun. Dia telah menikah selama 27 tahun dengan suaminya. Dan selama mereka menikah, Junko merasa pernikahannya tidak bahagia, karena selama ini dia selalu tidak mengacuhkan ketidaksetiaan sang suami kepadanya selama bertahun – tahun, sehingga akhirnya dia menyadari bahwa satu – satunya bukti dari pernikahan mereka yang tersisa hanyalah sertifikat perkawinan mereka. Keluarga Yasukawa merupakan keluarga yang mapan dimana sang istri dan sang suami bekerja. Suami Junko (61 tahun) juga bekerja sebagai seorang salaryman, dan dia sering pulang malam setelah minum – minum dengan teman kantornya. Junko sadar bahwa selama bertahun – tahun suaminya sudah sering berselingkuh. Namun Junko tidak menegur perbuatan suaminya tersebut, yang dia lakukan hanya mengacuhkan perbuatan suaminya tersebut. Dalam artikel ini Junko mengatakan, “Dalam sebuah hubungan, adalah suatu hal yang penting untuk mengetahui perbedaan anda dalam berhubungan dan bagaimana cara anda mencoba untuk menutupi jurang pemisah karena perbedaan tersebut, namun
saya tidak berusaha untuk mengenal suami saya secara lebih jauh, jadi saya merasa bahwa saya juga bersalah atas perpecahan yang terjadi dalam pernikahan kami”. Dia juga mengatakan, “Orang – orang dalam generasi saya dibesarkan untuk percaya bahwa yang paling ingin diinginkan oleh seorang wanita adalah dicintai oleh suami mereka dan sebagai balasannya mendukung suami mereka dalam setiap tindakan suami mereka. Untuk menjadi sebagai bayangan sang suami, selalu mendengarkan sang suami tanpa membantah, dan tidak melawan. Akan tetapi saya merasa tidak bahagia hidup sebagai bayangannya”.
Analisis : Pola hubungan suami istri mereka merupakan pola pasangan independen (the independent-partner pattern), dimana suami dan istri masing – masing ditarik dalam pekerjaan dan kepentingan mereka sendiri (Ishikawa, 1990: 208). Sikap tak acuh yang ditunjukkan Junko diawali dengan kurangnya komunikasi antar keduanya, dikarenakan pasangan tersebut saling sibuk dengan pekerjaannya masing – masing. Karena kurang komunikasi tersebut, suami merasa tidak diperhatikan oleh sang istri, hal itu mendorong dia untuk berselingkuh. Perbuatan Junko yang tidak mengacuhkan suaminya merupakan salah satu gejala dari faktor eksternal yang mendorong suaminya untuk berselingkuh, yaitu suaminya mengharapkan perhatian lebih dari sang istri (Vaughan, 2003: 207). Dalam kasus ini terjadi pertentangan perasaan yang dihadapi oleh Junko karena ia mengetahui bahwa suaminya telah berselingkuh, tapi Junko ingin tetap mempertahankan kehidupan keluarganya. Karena keluarganya telah menjadi suatu hal yang terpenting bagi hidupnya
saat ini. Oleh karena itu Junko mengambil keputusan untuk tidak mengacuhkan tindakan perselingkuhan yang dilakukan oleh sang suami, akan tetapi tindakan ini malah dianggap sang suami sebagai kesempatan untuk tetap melanjutkan tindakan perselingkuhannya. Junko mengatakan dia merasa tidak bahagia hidup sebagai bayangan sang suami, selalu mendengarkan suami tanpa membantah dan tidak melawan dan mendukung suami dalam setiap tindakan apapun. Dia menunjukkan sikap sebagai seorang feminis liberal, dikarenakan dia ingin mengubah tradisi yang ada selama ini. Seorang feminis liberal adalah seseorang yang ingin mengubah hukum, adat kebiasaan, dan nilai – nilai sosial masyarakat (Crawford, 2001: 130).
3.3. Analisis Kasus Perceraian yang Dipengaruhi oleh Stress 3.3.1 Analisis Kasus Perceraian Yoshiko Yamauchi Kasus ini diambil dari artikel yang berjudul Divorce Fears for Japan Baby Boomers oleh Chris Hogg, BBC News Tokyo, 5 April 2007. Pada kasus ini Yoshiko Yamauchi, adalah seorang wanita berumur 59 tahun. Dia hanyalah seorang ibu rumah tangga, yang dimana selama kehidupan pernikahannya dia terbiasa tanpa campur tangan sang suami. Yoshiko kuatir setelah pensiun sang suami akan terlalu ikut campur dan mengatur pada Yoshiko. Karena hal itu Yoshiko merasa sangat stress. Keluarga Yamauchi bukan keluarga mapan ataupun kekurangan. Sama seperti pada kasus sebelumnya, suami Yoshiko juga seorang salaryman namun hanya seorang pegawai biasa. Setiap hari selama mereka menikah, Yoshiko mengurus segala kebutuhan rumah dan anak mereka,
sang suami pergi bekerja dari pagi hingga petang, dan juga seringkali pulang malam. Seiring dengan anak mereka tumbuh dewasa dan sudah mempunyai tempat tinggal sendiri, Yoshiko mencari kegiatan di luar rumah, yaitu grup menari wanita flamenco, yang anggotanya rata – rata usia lanjut 45 tahun ke atas. Kegiatan tersebut sudah menjadi hobi baginya. Suami Yoshiko mengerti akan kekuatiran sang istri maka dia menyetujui untuk bercerai, dia mengerti jika mereka menjadi saling terlalu terlibat satu sama lain itu akan memberikan terlalu banyak tekanan dalam kehidupan mereka setelah pensiun. Karena selama mereka menikah, mereka tidak saling terlibat dalam tindakan mereka satu sama lain. Karena Yoshiko sangat kuatir akan sikap sang suami setelah dia pensiun, maka dia mengajukan perceraian yang akan diproses pada bulan April 2007.
Analisis : Pola hubungan suami-istri mereka sesuai dengan pola bagian sebelah luar dan sebelah dalam ( the outer/inner allotment pattern ), dikarenakan istrinya mendedikasikan diri sepenuhnya untuk tugas – tugas rumah tangga dan sang suami pada pekerjaannya mencari uang (Ishikawa, 1990: 208). Teori ini serupa dengan pola hubungan yang terdapat pada kasus 2, jadi selama pernikahannya Yoshiko berusaha untuk menjadi istri yang baik dengan mendedikasikan dirinya untuk segala urusan rumah tangga yang ada. Dan suaminya memfokuskan dirinya kepada pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Yoshiko merasa suaminya akan terlalu ikut campur dan mengaturnya setelah dia pensiun. Sikap yang dirasakan oleh Yoshiko merupakan salah satu gejala stress yang
ditimbulkan yaitu rasa takut. Rasa takut akan suami yang akan mengaturnya setelah pensiun. Menurut Vilisides dalam Rice (1999: 121); fear (rasa takut), rasa frustasi, rasa ketidakpastian merupakan salah satu dari gejala stress yang ada yaitu emotive symptoms atau perasaan yang mudah berubah – ubah atau perasaan depresi. Pengajuan perceraian oleh Yoshiko, dimana dia sebagai seorang wanita feminis liberal, dia merasa tidak akan bahagia hidup dengan suami yang akan mengaturnya setelah pensiun. Dia menunjukkan sikap sebagai seorang feminis liberal, dikarenakan dia ingin mengubah tradisi yang ada selama ini. Seorang feminis liberal adalah seseorang yang ingin mengubah hukum, adat kebiasaan, dan nilai – nilai sosial masyarakat (Crawford, 2001: 130).
3.3.2. Analisis Kasus Perceraian Tomoko Kasus ini diambil dari artikel pada As Japan’s Women Move Up, Many Are Moving Out oleh Howard W. French, New York Times, 23 Maret 2003. Tomoko Masunaga (60 tahun) adalah seorang ibu rumah tangga dari golongan menengah. Mula – mula kehidupan pernikahan mereka merupakan pernikahan yang bahagia pada sepuluh tahun pertama mereka menikah. Dimana mereka mempunyai dua orang anak kecil pada waktu itu, dan Tomoko jauh dari sibuk pada pekerjaan rumah tangganya. Suaminya adalah seorang executive pada suatu perusahaan surat kabar di Jepang. Dia berjanji pada Tomoko akan mendukung dalam tindakan apapun asal itu membuatnya bahagia, termasuk akan mendukung sepenuhnya jika Tomoko memutuskan akan bekerja suatu hari.
Pertama – tama Tomoko menyibukkan dirinya pada asosiasi guru – murid lokal pada sekolah anak – anaknya. Yang dimana pada akhirnya dia bekerja menulis artikel untuk perkumpulan guru – guru dan suatu grup lingkungan masyarakatnya. Dan pada waktu anak – anaknya beranjak dewasa, Tomoko berbicara pada suaminya bahwa dia ingin bekerja di suatu perusahaan, dan suaminya berjanji akan mencarikannya pekerjaan. Namun sepuluh tahun terlewat dan dia tetap tidak mencarikan istrinya suatu lowongan di perusahaannya, karena dia takut jika bekerja satu perusahaan dengan istrinya bisa menghambat karirnya. Tomoko berkata, “Bagi dirinya perusahaannya adalah segalanya”, “Setiap hari yang dia lakukan pulang ke rumah setelah lelah bekerja, hanya duduk menonton TV sambil meminum birnya”. “Saya sering tidak tahan dengan sikapnya itu selama ini”. Sebagai akibatnya dia sering bertengkar kecil dengan suaminya. Pada akhirnya, setelah lebih dari dua puluh tahun menikah, Tomoko dengan berani memutuskan untuk melepaskan ketidakbahagiaanya dan mengambil langkah yang mengejutkan suaminya, dengan mengajukan perceraian. Dan setelah bercerai, Tomoko sekarang bekerja sebagai guru bahasa Inggris dan menulis sebuah buku populer tentang pengalaman pernikahannya.
Analisis : Hubungan suami istri mereka sesuai dengan pola pasangan independen (the independent-partner pattern), pada pola ini ayah dan ibu secara antusias ditarik dalam pekerjaan dan kepentingan mereka sendiri (Ishikawa, 1990: 208). Pasangan suami istri ini saling mendedikasikan dirinya kepada pekerjaan dan kewajibannya masing – masing.
Karena sibuk dengan pekerjaan mereka masing – masing membuat mereka kurang melakukan komunikasi satu sama lain, oleh karena itu mereka tidak saling mengerti mengenai kepribadian pasangannya sehingga lebih mementingkan ego mereka masing – masing. Perasaan Tomoko yang sudah tidak tahan lagi dengan sikap suaminya merupakan salah satu gejala stress yang ada yang berkaitan dengan emosi seseorang yaitu emotive symptoms. Emotive symptoms merupakan perasaan yang mudah berubah – ubah atau perasaan depresi. Yang salah satu gejalanya adalah rasa depresi dan lekas marah ( Rice, 1999: 121 ), gejala tersebut ditunjukkan oleh Tomoko yang sering bertengkar kecil dengan suaminya. Secara keseluruhan dari kasus tersebut, Tomoko sebagai seorang wanita menunjukkan salah satu tindakan dari seorang feminis liberal. Karena selain dia bekerja, dia juga mengajukan perceraian kepada suaminya. Karena dia merasa dia sebagai wanita juga berhak mendapat kesamaan hak secara hukum. Dia merasa sebagai wanita dia juga mampu bekerja seperti suaminya.