BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1
Teori Keagenan (Agency Theory )
Penelitian ini mengggunakan teori keagenan sebagai grand theory. Teori keagenan (agency theory) merupakan para manajer diberi kekuasaan oleh pemilik perusahaan, yaitu para pemegang saham untuk membuat keputusan, dimana hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan. Hubungan keagenan (agency relationship) terjadi ketika satu atau lebih individu, yang disebut sebagai principal, menyewa individu atau organisasi lain, yang disebut agent, untuk melakukan sejumlah jasa dan mendelegasikan kewenangan untuk membuat keputusan kepada agen tersebut (Brigham dan Houston, 2006: 26-31). Pihak principal
dapat
membatasi
kepentingan
yang berlebihan dengan
lebih
meningkatkan insentif yang layak kepada agent dan bersedia mengeluarkan biaya pengawasan untuk mencegah terjadinya kecurangan yang dilakukan pihak agent. Adanya pemisah antara fungsi kepemilikan (owner) dan fungsi pengendalian (control) sering menimbulkan masalah keagenan (agency problem). Masalahmasalah tersebut muncul karena adanya konflik atau perbedaan kepentingan principal dan agent. Konflik kepentingan antara pemilik dan manajer terjadi karena kemungkinan agent tidak selalu berbuat untuk kepentingan principle, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost). Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan bahwa 8
9
teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu : (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya. Dengan adanya perbedaan kepentingan membuat masing-masing pihak berusaha memperbesar keuntungan bagi diri sendiri. Principal menginginkan pengembalian sebesar-besarnya atas investasi yang dilakukan dengan kenaikan dividen dari tiap saham yang dimiliki. Sedangkan agen menginginkan kepentingan diakomodir dengan pemberian bonus yang memadai atas kinerjanya. Principal menilai prestasi agen berdasar kemampuan untuk memperoleh laba sebesar-besarnya untuk dialokasikan pada pembagian laba. Makin tinggi laba, harga saham, dan dividen, maka agen dianggap berhasil dalam kinerjanya dan mendapat intensif yang lebih tinggi. Sebaliknya agen pun memenuhi keinginan principal agar mendapat kompensasi yang lebih tinggi. Rahmawati (2006) juga menambahkan bahwa jika agent dan principle tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agent tidak selalu bertindak untuk kepentingan principal. Teori agensi mengutamakan analisis dan usaha untuk memecahkan dua masalah yang terjadi dalam hubungan antara pemilik dengan agent (manajemen puncak), yaitu:
10
1. Masalah agensi yang muncul jika : (a) keinginan atau tujuan pemilik dan agent bertentangan atau (b) membuktikan bahwa yang sebenarnya dilakukan oleh agent adalah sulit dan mahal bagi pemilik. 2. Masalah risiko bersama yang meningkat jika pemilik dan agent memiliki sikap yang berbeda dalam menghadapi risiko itu Corporate governance adalah suatu mekanisme pengelolaan yang didasarkan pada teori agensi. Penerapan konsep corporate governance dapat diharapkan memberikan kepercayaan terhadap agen (manajemen) dalam mengelola kekayaan pemilik (pemegang saham), dan pemilik bahwa agen tidak melakukan kecurangan sehingga dapat menimumkan biaya keagenan. Corporate Governance
dapat
membantu mengurangi biaya agensi yang mencakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang saham, biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang transparan, termasuk biaya audit yang independen serta biaya yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham karena adanya pemberian opsi dan berbagai manfaat yang diberikan oleh pemegang saham dengan tujuan menyelaraskan kepentingan pemegang saham dan manajemen. Selain itu, corporate governance bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Dengan demikian penerapan corporate governance diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan yang salah satunya adalah meningkatkan kualitas laba yang dilaporkan dan dapat menekan biaya agensi (agency cost), sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan.
11
2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory) Signalling theory menekankan kepada pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak di luar perusahaan. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya. Informasi yang lengkap, relevan, akurat dan tepat waktu sangat diperlukan oleh investor di pasar modal sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan investasi. Menurut Jogiyanto (2000: 392), informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan signal bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar.
Pada waktu
informasi diumumkan dan semua pelaku pasar sudah menerima informasi tersebut, pelaku pasar terlebih dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi tersebut sebagai signal baik (good news) atau signal buruk (bad news). Jika pengumuman informasi tersebut sebagai signal baik bagi investor, maka terjadi perubahan dalam volume perdagangan saham. Menurut Sharpe (1997: 211) dan Ivana (2005:16), pengumuman informasi akuntansi memberikan signal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik di masa mendatang (good news) sehingga investor tertarik untuk melakukan perdagangan saham, dengan demikian pasar akan bereaksi yang tercermin melalui perubahan dalam volume perdagangan saham. Dengan demikian hubungan antara
12
publikasi informasi baik laporan keuangan, kondisi keuangan ataupun sosial politik terhadap fluktuasi volume perdagangan saham dapat dilihat dalam efisiensi pasar. Salah satu jenis informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan yang dapat menjadi signal bagi pihak di luar perusahaan, terutama bagi pihak investor adalah laporan tahunan. Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dapat berupa informasi akuntansi yaitu informasi yang berkaitan dengan laporan keuangan dan informasi non-akuntansi yaitu informasi yang tidak berkaitan dengan laporan keuangan. Laporan tahunan hendaknya memuat informasi yang relevan dan mengungkapkan informasi yang dianggap penting untuk diketahui oleh pengguna laporan baik pihak dalam maupun pihak luar. Semua investor memerlukan informasi untuk mengevaluasi risiko relatif setiap perusahaan sehingga dapat melakukan diversifikasi portofolio dan kombinasi investasi dengan preferensi risiko yang diinginkan. Jika suatu perusahaan ingin sahamnya dibeli oleh investor maka perusahaan harus melakukan pengungkapan laporan keuangan secara terbuka dan transparan. 2.1.3 Good Corporate Governance Pelaksanaan Good Corporate Governance sangat diperlukan untuk memenuhi kepercayaan masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perindustrian untuk berkembang baik dan sehat. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan
stakeholder
value.
Pengimplementasian
Good
Corporate
Governance memerlukan komitmen dari seluruh jajaran organisasi dan dimulai dengan kebijakan dasar serta tata tertib yang harus dianut oleh top manajemen dan penerapannya harus dipatuhi oleh semua pihak yang ada di dalamnya
13
(Murwaningsih:2009). Good Corporate Governance pertama kali dikenalkan oleh Cadbury Comitte pada tahun 1992 yang menggunakan istilah tersebut pada laporan mereka (Cadbury report). Menurut Cadbury, Good Corporate Governance adalah mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar tercapai keseimbangan antara kekuatan dan kewenangan perusahaan (Sutedi, 2011:11). Tujuan good corporate governance pada intinya adalah menciptakaan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (Arifin, 2009). Pihak-pihak tersebut adalah pihak internal yang meliputi dewan komisaris, direksi, karyawan, dan pihak eksternal yang meliputi investor, kreditur, pemerintah, masyarakat dan pihak pihak lain yang berkepentingan (stakeholders). Dalam praktiknya good corporate governance ini berbeda di setiap negara dan perusahaan, karena berkaitan dengan sistem ekonomi, hukum, struktur kepemilikan, sosial dan budaya. Perbedaan praktik ini menimbulkan beberapa versi yang menyangkut prinsip-prinsip good corporate governance, namun demikian pada dasarnya adalah mempunyai banyak kesamaan. 2.1.3.1 Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance Pelaksanaan good corporate governance dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku secara internasional. Prinsip-prinsip dasar ini diharapkan menjadi rujukan bagi para pemerintah dalam membangun framework dalam penerapan good corporate governance. Terdapat lima prinsip dasar dalam penerapan good corporate governance yang selalu menjadi acuan dalam penyelenggaraan perusahaan, yaitu :
14
1. Transparansi (Transparency) Transparansi yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan kebijakan dan mengungkapkan informasi material dan relevan dalam perusahaan. Hal ini dapat tercapai apabila perusahaan dapat menyampaikan informasi yang jelas, memadai, akurat, tepat waktu dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pihak yang berkepentingan sesuai dengan haknya di dalam perusahaan, termasuk diantaranya informasi keuangan atau lainnya yang dapat mendukung kinerja perusahaan. Prinsip keterbukaan ini tentunya tidak mengurangi kewajiban untuk menjaga kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan dan hak-hak pribadi. Informasi material dan relevan yang dimaksud di atas antara lain meliputi visi dan misi perusahaan, sasaran dan strategi perusahaan, kebijakan perusahaan yang harus dibuat secara tertulis, kondisi keuangan, susunan kepengurusan, pemilikan sahan yang mungkin saja di dalamnya termasuk anggota direksi dan anggota dewan komisaris yang berpotensi mempunyai benturan kepentingan, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan hal-hal lainnya yang dapat mempengaruhi kondisi
perusahaan.
Perusahaan
harus
memberikan
informasi
kepada
stakeholder yang cukup memadai, akurat dan tepat waktu. Dengan adanya transparansi bisa memudahkan kontrol atas jalannya aktivitas perusahaan, karena dalam prinsip ini informasi harus disiapkan, diaudit dan diungkapkan sejalan dengan pembukuan yang berkualitas.
15
2. Akuntabilitas (Accountability) Akuntabilitas
yaitu
kejelasan
fungsi,
struktur,
sistem,
dan
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Prinsip ini memuat kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh dewan komisaris dan direksi beserta kewajibankewajibannya kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya. Dewan direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Komisaris bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan wajib memberikan nasehat kepada direksi atas pengelolaan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Pemegang saham bertanggung jawab atas keberhasilan pembinaan dalam rangka pengelolaan perusahaan. 3. Keadilan (Fairness) Keadilan yaitu kepastian dalam hal sistem hukum dan penegakan hukum yang dapat memberikan perlindungan bagi hak-hak investor atau pemegang saham dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya dari berbagai kejahatan atau kecurangan dalam perusahaan. Selain itu, perusahaan juga harus membuka kesempatan pada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memberikan informasi, masukan dan pendapat demi kepentingan perusahaan, dan memberikan perlakuan yang setara dan wajar sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan, serta harus memberikan kesempatan
yang
sama
dalam
penerimaan
karyawan,
berkarir,
dan
melaksanakan tugasnya secara profesional. Prinsip ini tidak membeda-bedakan
16
antara pemegang saham satu dengan lainnya, semua dianggap sama hak dan kewajibannnya. Untuk itu diperlukan aturan dan penerapan sistem peraturan yang melindungi hak-hak yang dimiliki pemegang saham. 4. Responsibilitas (Responsibility) Kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan yang berlaku. Prinsip ini menekankan pada adanya system yang jelas untuk mengatur mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Hal tersebut untuk merealisasikan tujuan yang hendak dicapai dalam good corporate governance yaitu mengakomodasikan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan seperti masyarakat, pemerintah, asosiasi bisnis dan sebagainya. Prinsip ini menuntut perusahaan maupun pimpinan dan manajer perusahaan melakukan kegiatannya secara bertanggung jawab. 5. Kemandirian (Independency) Kemandirian yaitu keadaan dimana suatu perusahaan dijalankan secara profesional dan dapat berdiri sendiri tanpa adanya benturan kepentingan dan pengaruh dari pihak lain. Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Dalam pelaksanaannya, perusahaan harus dapat menghindari dari adanya dominasi atau intervensi dari pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara objektif.
17
Selain itu, organ perusahaan juga harus dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan anggaran dasar perusahaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak saling melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lainnya sehingga terwujud sistem pengendalian internal yang efektif. 2.1.3.2 Mekanisme Good Corporate Governance Mekanisme good corporate governance merupakan prosedur dan hubungan antara pengambil keputusan pihak pengawasan terhadap keputusan. Menurut Iskandar dan Chamlou (dalam Agustin, 2012) mekanisme dalam pengawasan Good Corporate Governance dibagi dalam dua kelompok yaitu internal dan external mechanisms. Internal mechanisms merupakan cara untuk mengendalikan perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal serta rapat umum pemegang saham (RUPS), komposisi dewan direksi, dewan komisaris, dan pertemuan board of director. Sedangkan external mechanisms merupakan cara perusahaan selain menggunakan intern mechanisms, misalnya pengendalian oleh perusahaan dan pasar. Beberapa mekanisme good corporate governance yang sering digunakan dalam penelitian untuk mengetahui pengaruh nilai perusahaan, meliputi kepemilikan manjerial, kepemilikan publik, dan dewan komisaris. Dewan komisaris memegang peranan penting dalam perusahaan,
terutama dalam
pelaksanaan good corporate governance. Dewan komisaris adalah suatu mekanisme yang mengawasi serta untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada pengelola perusahaan (FCGI, 2001). Dalam tugasnya untuk melaksanakan pengawasan atau kontrol, komposisi dewan dapat mempengaruhi kinerja
18
perusahaan dalam pencapaian tujuan yaitu dengan memaksimalkan nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial dan kepemilikan publik dapat mempengaruhi perkembangan perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu dengan memaksimalkan nilai perusahaan. 2.1.3.3 Penilaian Good Corporate Governance IICG menggunakan indeks sebagai dasar untuk penilaian Good Corporate Governance. Indeks tersebut merupakan satu-satunya indeks yang dipublikasikan dari hasil penelitian pada perusahaan di Indonesia dengan menggunakan instrumen yang telah disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan peraturan yang berlaku di Indonesia. Komponen indeks tersebut adalah prinsip-prinsip Corporate Governance yaitu transparansi, akuntabilitas, keadilan, responsibilitas dan kemandirian. Prinsip tersebut telah dijabarkan sesuai 7 bagian yaitu komitmen terhadap Corporate Governance, hak pemegang saham, tata kelola dewan komisaris, struktur direksi, pelaksanaan RUPS dan perlakuan terhadap pemegang saham minoritas, hubungan terhadap stakeholder, transparansi dan akuntabilitas. 2.1.3.4 Manfaat Good Corporate Governance Penerapan Good Corporate Governance memiliki beberapa manfaat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, antara lain sebagai berikut (Intan, 2010) : 1.
Dapat meningkatkan nilai saham perusahaan dan meningkatkan citra perusahaan.
2.
Dapat menekan biaya yang harus dikeluarkan pemegang saham sehubungan dengan adanya pelimpahan wewenang kepada menajemen untuk menjalankan perusahaan.
19
3.
Dapat menekan biaya modal perusahaan, dimana sebagai hasil dari pengelolaan perusahaan yang baik adalah menurunnya risiko perusahaan, sehingga menyebabkan menurunnya dana yang dibutuhkan atau dipinjam oleh perusahaan.
4.
Dapat meningkatkan dukungan dari para pemegang saham terhadap berbagai strategi dan kebijakan dari perusahaan yang dinilai lebih terjamin akan bermanfaat maksimal bagi perusahaan.
2.1.3.5 Kepemilikan Manajerial Teori Keagenan (agency theory) memunculkan argumentasi terhadap adanya konflik antara pemilik yaitu pemegang saham dengan para manajer. Konflik tersebut muncul sebagai akibat perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak. Jensen dan Meckling (1976) dalam Laila (2011) menyatakan bahwa: kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku opportunistik manajer akan meningkat.
Menurut Downes dan Goodman (1999) dalam Susanti (2010),
pengertian kepemilikan manajerial adalah : para pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan pada suatu perusahaan yang bersangkutan. Dalam teori keagenan dijelaskan bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham mungkin bertentangan. Hal tersebut disebabkan manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi manajer tersebut, karena pengeluaran tersebut akan
20
menambah biaya perusahaan yang menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan penurunan deviden yang akan diterima. Salah satu elemen corporate governance yang penting adalah transparansi atau keterbukaan. Keterbukaan tidak mudah dilakukan apabila manajemen memiliki kepentingan dan informasi privat yang mendukung kepentingannya. Kondisi seperti ini dapat terjadi jika dalam perusahaan terhadap manajemen yang memiliki andil sebagai pemilik (managerial ownership). Dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh manajer, diharapkan manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan para principal karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja. Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham. Jansen dan Meckling (1976) dalam Siswi (2012) menyatakan bahwa: …untuk meminimalkan konflik keagenan adalah dengan meningkatkan kepemilikan manajerial dalam perusahaan. Ross et al., (1999) dalam Laila (2011) menyatakan bahwa: …dengan kepemilikan manajerial dalam perusahaan, maka manajemen akan cenderung berusaha meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham dan kepentingannya sendiri. 2.1.3.6 Kepemilikan Institusional Jensen dan Meckling (1976) dalam Laila (2011), menyatakan bahwa: kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal
21
ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba. Kepemilikan institusional akan mendorong pemilik untuk melakukan peminjaman kepada manajemen, sehingga manajemen terdorong untuk meningkatkan kinerjanya, selanjutnya nilai perusahaan akan meningkat Sujoko dan Ugy, (2007). Kepemilikan institusional umumnya bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan. Dengan demikian proporsi kepemilikan institisional bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen (Laila, 2011). Sifat agency problem secara langsung berhubungan dengan struktur kepemilikan. Struktur kepemilikan yang tersebar tidak akan memberikan insentif kepada pemilik untuk memonitor pengelolaan manajemen. Hal ini disebabkan karena para pemilik menanggung sendiri biaya pengawasan (monitoring cost) sehingga semua pemilik akan menikmati manfaat. Investor institusi mempunyai peranan dalam menyediakan mekanisme yang dapat dipercaya terhadap penyajian informasi kepada investor. Melalui kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat
22
aktualisasi sesuai dengan kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005 dalam Siswi, 2012). 2.1.3.7 Komisaris Independen Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan, memiliki peran terhadap aktivitas pengawasan. Dewan komisaris juga bertanggung jawab atas kualitas laporan yang disajikan. Menurut Zehnder (2000:12) dalam Herawaty (2008) : dewan komisaris (merupakan inti dari corporate governance) yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi
manajemen dalam mengelola
perusahaan, serta
mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Secara teori dan praktik, tugas utama dari dewan komisaris adalah melakukan pengawasan terhadap manajemen untuk memastikan bahwa mereka melakukan segala aktivitas dengan kemampuan terbaiknya bagi kepentingan perseroan, serta menggagalkan keputusan yang tidak menguntungkan. Bentuk dewan komisaris tergantung pada sistem hukum yang dianut. Terdapat dua sistem yang berbeda, yaitu Anglo Saxon dan Kontinental Eropa (FCGI, 2001). Dalam sistem hukum Anglo Saxon, sistem yang dianut adalah sistem satu tingkat atau one tier system. Pada sistem satu tingkat, perusahaan mempunyai satu dewan direksi yang merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif) dan direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu (non-direktur eksekutif). Sistem hukum Kontinental Eropa menganut sistem dua tingkat atau two tier system. Pada sistem dua tingkat, perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi
23
bertugas mengelola dan mewakili perusahaan sesuai dengan dan pengawasaan dewan komisaris. Terdapat tiga elemen penting yang akan mempengaruhi tingkat efektivitas dewan komisaris yaitu independensi, kompetensi, dan komitmen. Praktik corporate governance mengharuskan adanya komisaris independen dalam perusahaan yang diharapkan mampu mendorong dan menciptakan iklim yang lebih independen, objektif, dan menempatkan kesetaraan sebagai prinsip utama dalam memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas dan stakeholder lainnya. Di Indonesia saat ini, keberadaan komisaris independen sudah diatur dalam Code of Corporate Governance. Setidaknya 30% dari anggota komisaris harus merupakan komisaris independen dalam rangka meningkatkan efektivitas dan
transparansi
atas
pertimbangan-pertimbangan
komisaris.
Komisaris
independen harus independen dari direksi dan pemegang saham pengendali dan tidak mempunyai kepentingan yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjalankan kewajiban secara adil atas nama perusahaan. 2.1.4
Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan merupakan suatu ukuran tertentu yang digunakan oleh entitas untuk mengukur keberhasilan dalam menghasilkan laba. Kinerja keuangan dapat diukur dengan menganalisa dan mengevaluasi laporan keuangan dan kinerja keuangan di masa lalu seringkali digunakan sebagai dasar untuk memprediksi posisi keuangan dan kinerja di masa depan serta hal lain yang langsung menarik perhatian pemakai seperti pembayaran dividen, upah, pergerakan harga sekuritas, dan kemampuan perusahaan untuk memnuhi komitmennya ketika jatuh tempo.
24
Infomasi kinerja perusahaan terutama profitabilitas diperlukan untuk menilai perubahan potensi sumber daya ekonomi yang mungkin dikendalikan di masa depan. Informasi fluktuasi kinerja bermanfaat untuk memprediksi kapasitas perusahaan dalam menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada. Pengukuran kinerja digunakan untuk melakukan perbaikan di atas kegiatan operasionalnya agar dapat bersaing dengan perusahaan lainnya. Bagi investor, informasi mengenai kinerja keuangan sangat penting untuk melihat apakah mereka akan mempertahankan investasi pengukuran dilakukan untuk memperlihatkan kepada penanam modal maupun pelanggan atau masyarakat secara umum tentang kredibilitas yang baik. 2.1.5 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya perusahaan menurut berbagai cara antara lain dengan total aktiva, log size, nilai pasar saham, jumlah penjualan, rata-rata total penjulan dan rata-rata total aktiva. Keputusan ketua Bapepam No. Kep 11/PM/1997 dalam Wulandari (2006) menyebutkan perusahaan kecil dan menengah berdasarkan aktiva (kekayaan) adalah badan hukum yang memiliki total aktiva tidak lebih dari seratus milyar rupiah, sedangkan perusahaan besar adalah badan hukum yang total aktivanya di atas seratus milyar.
25
Berdasarkan Undang-undang No. 9 Tahun 1995, ukuran perusahaan terbagi menjadi tiga, yaitu : a. Perusahaan Kecil Perusahaan kecil yang dimaksudkan di sini adalah suatu perusahaan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah tidak termasuk bangunan dan tanah, memiliki hasil penjualan minimal 1 milyar rupiah/tahun. b. Perusahaan Menengah Perusahaan menengah yang dimaksud adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih antara 1 milyar sampai 10 milyar rupiah termasuk bangunan dan tanah, memiliki hasil penjualan lebih besar dari 1 milyar rupiah dan kurang dari 50 milyar rupiah. c. Perusahaan Besar Perusahaan besar yang dimaksud adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih lebih dari 10 milyar termasuk bangunan dan tanah, memiliki hasil penjualan lebih dari 50 milyar rupiah/tahun. Perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah bertambah dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan besar relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan aset yang kecil (Widiastuti, 2008). Dalam penelitian ini akan digunakan total aktiva untuk mengukur ukuran perusahaan karena nilai aktiva relatif lebih stabil dibandingkan penjualan (Sudarmadji dan Sularto, 2007).
26
Menurut Marhamah (2013), perusahaan yang mempunyai total aset yang relatif besar dapat beroperasi dengan tingkat efisiensi yang yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang total asetnya rendah. Oleh karena itu perusahaan dengan total aset yang lebih besar akan lebih mampu untuk menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Besar kecilnya suatu perusahaan ditentukan dengan beberapa hal antara lain: Total penjualan, total asset, rata-rata tingkat penjualan dan rata-rata total asset. Total asset yang besar secara tidak langsung berdampak pada kegiatan operasional perusahaan yang besar sehingga kemampuan perusahaaan menghasilkan laba akan semakin besar juga. Tingkat pengembalian yang besar kepada pemegang saham akan meningkatkan nilai pemegang saham dan nilai perusahaan. Penilaian terhadap perusahaan dipergunakan langsung oleh investor untuk mengukur seberapa layak perusahaan tersebut dapat ditanamkan investasi. Ukuran perusahaan yang sebenarnya menunjukkan kemampuan perusahaan untuk bertahan dan memanfaatkan peluang bisnis. Perusahaan yang kokoh dan besar harus bisa memanfaatkan peluang bisnis yang ada dan menjaga kestabilan pengelolaan dana dalam perusahaan. Semakin besar perusahaan maka semakin besar dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasional perusahaan. Perusahaan yang memiliki total aktiva dengan jumlah besar atau disebut dengan perusahaan besar akan lebih banyak mendapatkan perhatian dari investor, kreditor maupun para pemakai informasi keuangan lainnya dibandingkan dengan perusahaan kecil. Jika perusahaan memiliki total aktiva yang besar maka pihak manajemen akan lebih leluasa dalam menggunakan aktiva yang ada di perusahaan
27
tersebut. Kemudahan dalam mengendalikan aktiva perusahaan inilah yang akan meningkatkan nilai perusahaan. Dalam menghadapi goncangan ekonomi, biasanya yang lebih kokoh berdiri adalah perusahaan yang berukuran besar, meskipun tidak menutup kemungkinan dialaminya kebangkrutan, sehingga investor akan lebih cenderung menyukai perusahaan berukuran besar daripada perusahaan kecil. Perusahaan yang besar relatif mudah akses ke pasar modal. Kemudahan ini mengindikasikan bahwa perusahaan besar relatif mudah memenuhi sumber dana dari hutang melalui pasar modal. Semakin besar perusahaan maka semakin banyak dana yang digunakan untuk menjalankan operasi perusahaan. Salah satu sumber untuk memperoleh dana adalah melalui hutang di pasar modal. 2.1.6
Nilai Perusahaan
Perusahaan didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan. Menurut Fama (1978) dalam Wahyudi dan Pawestri (2006), nilai perusahaan akan tercermin dari harga sahamnya. Semakin tinggi harga saham maka semakin tinggi nilai perusahaan. Harga saham didasarkan pada penilaian dari eksternal perusahaan terhadap asset perusahaan serta pertumbuhan pasar saham. Harga pasar dari saham perusahaan yang terbentuk antara pembeli dan penjual di saat terjadi transaksi disebut nilai pasar perusahaan, karena harga pasar saham dianggap sebagai cerminan dari nilai aset perusahaan sesungguhnya. Jadi nilai perusahaan dapat didefinisikan dari nilai harga sahamnya, yang berarti semakin tinggi harga saham, semakin tinggi pula nilai perusahaan.
28
Nilai perusahaan yang tinggi mengindikasikan kemakmuran pemegang saham, yang berarti tujuan utama perusahaan didirikan yaitu untuk memakmurkan pemilik (pemegang saham) telah tercapai. Memakmurkan pemilik (pemegang saham) menjadi tujuan utama perusahaan didirikan. Tujuan ini dapat diwujudkan dengan cara memaksimalkan nilai perusahaan. Memaksimalkan nilai perusahaan sama
dengan
memaksimalkan
harga
saham
(Atmaja,
2002).
Dengan
meningkatnya harga saham maka kekayaan pemilik perusahaan (pemegang saham) semakin bertambah yang menandakan pemilik perusahaan semakin makmur. Memaksimalkan nilai perusahaan tidak sama dengan memaksimalkan keuntungan/laba (Indriyo, 2002). Memaksimalkan nilai perusahaan meliputi aspek yang lebih luas dari memaksimalkan keuntungan/laba. Hal ini berdampak pada peningkatan nilai perusahaan. Salah satu alternatif yang digunakan dalam menilai perusahaan adalah dengan menggunakan price to book value (PBV) merupakan rasio untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan. Rasio ini mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi sebagai perusahaan yang terus tumbuh. Price to book value juga menunjukan seberapa jauh suatu perusahaan mampu menciptakan nilai peusahaan yang relatif terhadap jumlah modal yang diinvestasikan. Semakin tinggi rasio price to book value dapat diartikan semakin berhasil perusahaan menciptakan nilai bagi pemegang saham.
29
2.2
Rerangka Pemikiran Berdasarkan tinjauan teoritis diatas maka dapat digambarkan rerangka
pemikiran dalam gambar 1 sebagai berikut : Agency Theory
Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan Institusional
Kinerja Keuangan
Komisaris Independen
ROA
Ukuran Perusahaan
ROE
Signalling Theory
Reaksi Pasar Membeli
Menjual
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
Menahan
30
2.3 Penelitian Terdahulu 1. Penelitian Nuraina (2012) yang berjudul “Pengaruh Kepemilikan Institusional dan Ukuran Perusahan Terhadap Kebijakan Hutang dan Nilai Perusahaan”, Hasilnya adalah kepemilikan institusional dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh terhadap kebijakan hutang perusahaan. 2. Penelitian Topowijono et al. (2010) yang berjudul “ Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Struktur Modal dan keputusan Investasi Terhadap Nilai Perusahaan”, hasilnya adalah ukuran perusahaan, profitabilitas, Struktur Modal dan Keputusan Investasi berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Profitabilitas dan Keputusan Investasi berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap. Stuktur Modal berpengaruh signifikan dengan arah negatif, dan Ukuran Perusahaan tidak berpengaru signifikan dengan arah positif terhadap Nilai Perusahaan. 3. Penelitian dengan judul “Analisis Good Corporate Governance di Sektor Manufaktur : Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance, Return On Assets dan Ukuran Perusahaan Terhadap Nilai Pasar Perusahaan” oleh Zulfikar (2006), penelitian ini memberikan hasil bahwa hal tersebut tidak memberikan pengaruh yang positif signifikan terhadap nilai pasar perusahaan. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya sosialisasi terhadap pentingnya penerapan Good Corporate Governance oleh pihak yang berwenang sehingga
31
tidak dilaksanakan dengan baik dan investor belum menjadikannya sebagai dasar utama dalam pengambilan keputusan investasi. 4. Penelitian yang dilakukan Darmawati (2003) pada perusahaan manufaktur dan Sukmawati (2004) pada perusahaan sektor keuangan menemukan bukti yang berlawanan yaitu bahwa pelaksanaan Good Corporate Governance tidak memberikan pengaruh negatif terhadap nilai pasar perusahaan. Hal ini dianggap cukup wajar mengingat di samping faktor empat prinsip penerapan Good Corporate Governance masih banyak faktor lain yang menentukan nilai pasar. 5. Nurhayati (2012) meneliti pengaruh kinerja keuangan, good
corporate
governance, dan corporate social responbility terhadap nilai perusahaan. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan yang masuk dalam kategori LQ45 di BEI. Hasilnya yaitu brpengaruhnya ROE, GCG dan CSR terhadap nilai perusahaan secara keseluruhan pada uji serentak secara teoritis terbukti benar dalam mengevaluasi nilai perusahaan. 2.4 Perumusan Hipotesis 2.4.1
Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Nilai Perusahaan
Menurut agency theory, pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan konflik keagenan. Konflik keagenan disebabkan prinsipal dan agen mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang saling bertentangan karena agen dan prinsipal berusaha memaksimalkan utilitasnya masing-masing. Jika kepemilikan saham oleh manajer semakin meningkat, manajer
memiliki
kecenderungan
untuk
menurunkan
nilai
perusahaan.
32
Kusumaningrum (2013) menyatakan jika proporsi kepemilikan perusahaan yang dimiliki oleh manajer semakin meningkat, maka keputusan yang diambil oleh manajer cenderung akan menguntungkan dirinya dan secara keseluruhan akan merugikan perusahaan sehingga kemungkinan nilai perusahaan akan cenderung mengalami penurunan. Stulz (1988) dalam Chen et al. (2003) menyatakan bahwa kepemilikan saham oleh manajer pada level tinggi, manajer cenderung mengamankan (entrenched) posisinya yang mengakibatkan nilai perusahaan turun.. Penelitian yang dilakukan Siallagan dan Machfoedz (2006) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q. H1 : Kepemilikan Manajerial berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan 2.4.2 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Nilai Perusahaan Kepemilikan institusional, umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen (Faizal, 2004). Semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan. Menurut Xu and Wang (1997), (dalam Tarjo, 2008), bahwa kepemilikan institusional berpengaruh secara positif terhadap nilai perusahaan dan kinerja perusahaan. Hal ini berarti menunjukkan bahwa kepemilikan institusional menjadi mekanisme
yang handal
sehingga mampu
memotivasi
manajer
dalam
meningkatkan kinerjanya yang pada akhirnya dapat meningkatkan nilai
33
perusahaan. Shleifer dan Vishny (dikutip oleh Haruman, 2007) menyatakan bahwa jumlah pemegang saham besar mempunyai arti penting dalam memonitor perilaku manajer dalam perusahaan. Dengan adanya kepemilikan institusional akan dapat memonitor tim manajemen secara efektif dan dapat meningkatkan nilai perusahaan. H2 : Kepemilikan Institusional berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan 2.4.3 Pengaruh Komisaris Independen terhadap Nilai Perusahaan Board independent atau dewan komisaris independen adalah jumlah dewan komisaris independen dalam perusahaan. Jumlah dewan komisaris independen yang semakin banyak menandakan bahwa dewan komisaris independen melakukan fungsi pengawasan dan koordinasi dalam perusahaan yang semakin baik. Dewan komisaris memegang peranan penting dalam perusahaan terutama dalam pelaksanaan GCG. Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin strategi perusahaan, mengawasi manajer
dalam
mengelola
perusahaan,
serta
mewajibkan
terlaksananya
akuntabilitas. Karena dewan komisaris bertanggung jawab untuk mengawasi manajemen yang bertugas meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan, maka dewan komisaris merupakan pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan. Dewan komisaris juga harus memantau efektivitas praktik good corporate governance yang diterapkan perseroan, serta melakukan penyesuaian bilamana diperlukan. Tuntutan akan transparansi dan independensi terlihat dari adanya tuntutan agar perusahaan memiliki lebih banyak komisaris independen yang mengawasi tindakan-tindakan para eksekutif (Lastanti, 2004).
34
Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance. Kusumawati dan Riyanto (2005) berpendapat dengan adanya asumsi bahwa cross directorships dewan akan menguntungkan bagi perusahaan untuk dapat meningkatkan nilai perusahaan di mata investor. Hubungan antara jumlah anggota dewan dengan nilai perusahaan didukung oleh perspektif fungsi service dan kontrol yang dapat diberikan oleh dewan. Fungsi service menyatakan bahwa dewan (komisaris) dapat memberikan konsultasi dan nasehat kepada manajemen (dan direksi). Fungsi kontrol yang dilakukan oleh dewan (komisaris) diambil dari teori agensi. Dari perspektif teori agensi, dewan komisaris mewakili mekanisme internal utama untuk mengontrol perilaku opportunistic manajemen sehingga dapat membantu menyelaraskan kepentingan pemegang saham dan manajer (Young et al, 2001 dalam Kusumawati dan Riyanto, 2005). Hal tersebut didukung oleh Lastanti (2004) yang membuktikan, bahwa independensi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q. Dewan komisaris bertanggung jawab dan mempunyai kewenangan untuk mengawasi kebijakan dan kegiatan yang dilakukan direksi dan manajemen atas pengelolaan sumber daya perusahaan agar dapat berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis dalam rangka mencapai tujuan organisasi, serta memberikan nasihat bilamana diperlukan. Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan perusahaan, memiliki peran terhadap aktivitas pengawasan. Fungsi monitoring yang dilakukan oleh dewan komisaris dipengaruhi oleh jumlah atau ukuran dewan komisaris (Siallagan dan Machfoedz, 2006).
35
H3 : Komisaris Independen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. 2.4.4 Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Nilai Perusahaan Para investor melakukan overview suatu perusahaan dengan cara melihat rasio keuangan sebagai alat evaluasi investasi. Karena nilai perusahaan tercermin pada rasio keuangannya. Jika investor ingin melihat seberapa besar perusahaan menghasilkan return atas investasi yang akan ditanamkan, pertama kali yang dilihat yaitu rasio profitabilitas, terutama ROE, karena rasio ini mengukur seberapa efektif perusahaan menghasilkan return bagi para investor. Semakin tinggi rasio ini, maka semakin besar nilai perusahaan, yang pada akhirnya dapat menjadi sinyal positif bagi investor dalam melakukan investasi untuk memperoleh return tertentu. Tingkat return tersebut menggambarkan seberapa baik nilai perusahaan di mata investor. Apabila perusahaan ini berhasil membukukan tingkat keuntungan yang besar, maka hal ini akan memotivasi para investor untuk menanamkan modalnya pada saham, sehingga harga saham dan permintaan akan meningkat juga meningkat. Hal ini selaras dengan penlitian Wahyuni (2005) yang menunjukkan bahwa rasio profitabilitas ROE berpengaruh secara positif terhadap harga saham. Semakin baik kinerja keuangan manajemen perusahaan dalam menghasilkan pendapatan optimal dari modal yang ditanamkan maka semakin tinggi keuntungan yang dicapai yang juga akan meningkatkan nilai perusahaan. H4 : Return On Equity berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Kinerja keuangan perusahaan merupakan gambaran dari setiap hasil ekonomi yang mampu diraih oleh perusahaan pasa suatu periode tertentu baik menyangkut
36
aspek penghimpun dana maupun penyalur dana, yang biasanya diukur dengan indikator kecukupan
modal, likuiditas, profitabilitas (Jumingan, 2006:239).
Return On Asset yaitu kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang dihasilkan perusahaan dan menggunakan aset secara efisien maka akan meningkatkan nilai perusahaan. Untuk dapat melangsungkan aktivitas operasi perusahaan, harus berada dalam keadaan yang menguntungkan (profitable). Tanpa adanya keuntungan akan sulit bagi perusahaan untuk menarik modal dari luar. Perusahaan yang mempunyai tingkat profitabilitas yang tinggi akan diminati sahamnya oleh investor. Sehingga dengan demikian profitabilitas dapat mempengaruhi nilai perusahaan (Mardiyati et al., 2012). Hasil penelitian Wardoyo dan Theodora (2013) bahwa Return On Asset berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. H5 : Return On Asset berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan 2.4.5 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Nilai Perusahaan Ukuran perusahaan dapat menentukan tingkat kemudahan perusahaan untuk memperoleh dana dari pasar modal.
Untuk memperoleh dana umumnya
perusahaan kecil kekurangan akses ke pasar modal yang terorganisir. Selain itu ukuran perusahaan juga dapat menentukan kekuatan tawar menawar dalam kontrak keuangan. Perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai kedewasaan, dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam waktu yang relatif lama, selain itu juga ukuran perusahaan mencerminkan bahwa perusahaan relatif stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibandingkan perusahaan dengan total asset lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa investor
37
mempertimbangkan
ukuran
perusahaan
dalam
membeli
saham.
Ukuran
perusahaan dapat dijadikan patokan bahwa perusahaan tersebut mempunyai kinerja yang bagus. Menurut Sujoko dan Ugy (2007) ukuran perusahaan besar menunjukkan daya saing perusahaan lebih tinggi dibanding pesaing utamanya. Investor akan merespon positif sehingga nilai perusahaan akan meningkat H6 : Ukuran Perusahaan berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.