BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Agency Theory Penelitian ini menggunakan teori keagenan sebagai grand theory.Teori keagenan (agency theory) mengungkapkan adanya hubungan antara principal (pemilik perusahaan atau pihak yang memberikan mandat) dan agent (manajer perusahaan atau pihak yang menerima mandat) yang dilandasi dengan adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan, pemisahan penanggung risiko, pembuatan keputusan dan pengendalian fungsi-fungsi (Jensen and Meckling,
1976).
Pihak
principal
juga
dapat
membatasi
divergensi
kepentingannya dengan memberikan tingkat insentif yang layak kepada agent dan bersedia mengeluarkan biaya pengawasan untuk mencegah kecurangan yang dilakukan oleh agent. Adanya pemisahan antara fungsi kepemilikan (ownership) dan fungsi pengendalian (control) dalam hubungan keagenan sering menimbulkan masalah-masalah keagenan (agency problems). Masalah-masalah keagenan tersebut timbul karena adanya konflik atau perbedaan kepentingan antara principal dan agent. Adanya perbedaan kepentingan ini membuat masing-masing pihak berusaha memperbesar keuntungan bagi diri sendiri. Principal menginginkan pengembalian yang sebesar-besarnya dan secepatnya atas investasi yang salah satunya dicerminkan dengan kenaikan porsi deviden dari tiap saham yang dimiliki. Agen
menginginkan kepentingannya diakomodir dengan pemberian kompensasi atau bonus atau insentif yang “memadai” dan sebesar-besarnya atas kinerjanya. Principal menilai prestasi Agen berdasarkan kemampuannya memperbesar laba untuk dialokasikan pada pembagian deviden. Makin tinggi laba, harga saham dan deviden, maka Agen dianggap berhasil atau berkinerja baik sehingga layak mendapat insentif yang tinggi. Sebaliknya Agen pun memenuhi tuntutan Principal agar mendapatkan kompensasi yang tinggi. Sehingga bila tidak ada pengawasan yang memadai maka sang Agen dapat memainkan beberapa kondisi perusahan agar seolah-olah target tercapai. Permainan tersebut bisa atas prakarsa dari Principal ataupun inisiatif Agen sendiri. Maka terjadilah Creative Accounting yang menyalahi aturan seperti adanya piutang yang tidak mungkin tertagih yang tidak dihapuskan, kapitalisasi beban yang tidak semestinya, pengakuan penjualan yang tidak semestinya yang kesemuanya berdampak pada besarnya nilai aset dalam neraca dengan tujuan “mempercantik” laporan keuangan walaupun bukan nilai yang sebenarnya dan dapat juga dengan membagi keuntungan ke periode lain agar setiap tahun kelihatan perusahaan meraih keuntungan, padahal kenyataannya merugi atau laba turun. Kegiatan memainkan laba seperti ini dikenal dengan istilah manajemen laba. Teori keagenan (agency theory) berusaha menjelaskan penentuan kontrak yang paling efisien yang bisa membatasi konflik atau masalah keagenan (Jensen and Meckling, 1976). Teori keagenan juga berperan dalam menyediakan informasi sehingga akuntansi memberikan umpan balik (feedback) selain nilai
prediktifnya. Teori keagenan menyatakan bahwa perusahaan yang menghadapi biaya kontrak dan biaya pengawasan yang rendah cenderung akan melaporkan laba lebih rendah atau dengan kata lain akan mengeluarkan biaya-biaya untuk kepentingan manajemen. Salah satu biaya yang dapat meningkatkan reputasi perusahaan di mata masyarakat adalah biaya-biaya yang terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan). Corporate governance merupakan suatu mekanisme pengelolaan yang didasarkan pada teori agensi. Penerapan konsep corporate governance diharapkan memberikan kepercayaan terhadap agen (manajemen) dalam mengelola kekayaan pemilik (pemegang saham), dan pemilik menjadi lebih yakin bahwa agen tidak akan melakukan suatu kecurangan untuk kesejahteraan agen sehingga dapat meminimumkan konflik kepentingan dan meminimumkan biaya keagenan.
2.1.2. Stakeholder Theory Stakeholder adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perushaan. Dengan demikian, stakeholder merupakan pihak internal maupun eksternal, seperti : pemerintah, perusahaan pesaing, masyarakat sekitar, lingkungan internasional, lembaga di luar perusahaan (LSM dan sejenisnya), lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusaahaan, kaum minoritas dan lain sebagainya yang keberadaanya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan.
Ghozali dan Chariri (2007) menyatakan bahwa dalam teori stakeholder, perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi para stakeholder-nya (pemegang saham kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut. Stakeholder dapat dibagi menjadi dua berdasarkan karakteristiknya yaitu stakeholder primer dan stakeholder sekunder (Clarkson, 1995). Stakeholder primer adalah seseorang atau kelompok yang sangat berpengaruh dalam perusahaan dan tanpa mereka perusahaan tidak dapat bertahan untuk going concern, meliputi : pemegang sahamdan investor, karyawan, konsumen dan pemasok, bersama dengan yang didefinisikan sebagai kelompok stakeholder publik, yaitu : pemerintah dan komunitas. Kelompok stakeholder sekunder didefinisikan sebagai mereka yang mempengaruhi, atau dipengaruhi perusahaan, namun mereka tidak berhubungan dengan transaksi dengan perusahaan dan tidak esensial kelangsungannya. Menurut Januarti dan Apriyanti (2005), ada beberapa alasan yang mendorong perusahaan perlu memperhatikan kepentingan stakeholders, yaitu: 1. Isu lingkungan melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat yang dapat mengganggu kualitas hidup mereka, 2. Dalam era globalisasi telah mendorong produk-produk yang diperdagangkan harus bersahabat dengan lingkungan,
3. Para investor dalam menanamkan modalnya cenderung untuk memilih perusahaan yang memiliki dan mengembangkan kebijakan dan program lingkungan, 4. LSM dan pencinta lingkungan makin vokal dalam mengkritik perusahaan-perusahaan yang kurang peduli terhadap lingkungan.
Teori stakeholder adalah teori yang menggambarkan kepada pihak mana saja perusahaan bertanggungjawab (Freeman, 2001). Perusahaan harus menjaga hubungan
dengan stakeholder-nya dengan mengakomodasi keinginan dan
kebutuhan stakeholder-nya, terutama stakeholder yang mempunyai power terhadap ketersediaan sumber daya yang digunakan untuk aktivitas operasional perusahaan, misalnya tenaga kerja, pasar atas produk perusahaan dan lain-lain (Chariri dan Ghozali, 2007). Salah satu strategi yang digunakan perusahaan untuk menjaga hubungan dengan para stakeholder-nya adalah dengan pengungkapakan informasi sosial dan lingkungan. Dengan pengungkapan ini, diharapkan perusahaan mampu memenuhi kebutuhan informasi yang dibutuhkan serta dapat mengelola stakeholder agar mendapatkan dukungan oleh para stakeholder yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan.
2.1.3. Corporate Social Responsibility 2.1.3.1. Konsep dan Definisi Corporate Social Responsibility Menurut The World Business Council for Sustainable Devolepment (WBCSD), Corporate Social Responsibility adalah komitmen bisnis untuk
memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan. Pada dasarnya, CSR merupakan sebuah konsep tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat dan stakeholder lainnya. Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para stakeholder-nya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR berusaha memberikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya. Definisi CSR dalam ISO 26000 (www.csrindonesia.com) adalah sebagai berikut : Responsibility of an organization for the impact of its decisional andactivities on society and the environment through transparent and ethical behaviour that is consistent with sustainable development and welfare of society; takes into account the expectation of stakeholders;is in compliance with applicable law and consistent international norms of behavior; and is integrated throughout the organization. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa CSR merupakan tanggung jawab perusahaan atau organisasi atas dampak yang ditimbulkan dari keputusan dan aktivitas yang telah diambil dan dilakukan oleh organisasi tersebut, melalui perilaku yang transparan dan etis.
Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan tanggung jawab sosial perusahaan hendaknya terintegrasi pada seluruh aktivitas organisasi yang mencakup isu-isu pokok berikut ini: 1. Pengembangan masyarakat 2. Konsumen 3. Praktik kegiatan institusi yang sehat 4. Lingkungan 5. Ketenagakerjaan 6. Hak Asasi Manusia 7. Organizational Governance
Dengan demikian, jika suatu perusahaan hanya berfokus pada isu-isu tertentu saja, misalnya perusahaan hanya peduli terhadap isu lingkungan dan mengabaikan isu mengenai ketenagakerjaan atau isu-isu lainnya, maka perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara utuh dan menyeluruh.
2.1.3.2. Manfaat Corporate Social Responsibility Banyak sekali manfaat yang akan diterima dari pelaksanaan CSR ini, baik bagi perusahaan, masyarakat, lingkungan, maupun Negara. Menurut Ambadar (2008) mengemukakan beberapa motivasi dan manfaat yang diharapkan perusahaan dengan melakukan tanggung jawab sosial perusahaan meliputi:
1.
Perusahaan terhindar dari reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan akibat dari perilaku buruk perusahaan.
2. Kerangka kerja etis yang kokoh dapat membantu para manajer dan karyawan menghadapi masalah seperti permintaan lapangan kerja di lingkungan dimana perusahaan bekerja 3. Perusahaan mendapat rasa hormat dari kelompok inti masyarakat yang membutuhkan keberadaan perusahaan khususnya dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan. 4. Perilaku etis perusahaan aman dari gangguan lingkungan sekitar sehingga dapat beroperasi secara lancar Gond dan Haerrbach (dalam Utami, 2007:8), juga berpendapat bahwa pelaporan CSR tidak hanya bermanfaat bagi pihak eksternal, tetapi juga bermanfaat bagi pihak perusahaan. Dengan membuat laporan CSR perusahaan akan melakukan self assessment sehingga dapat mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan perusahaan terkait dengan aktivitas CSR di perusahaan tersebut. Dengan demikian, laporan tersebut merupakan alat pembelajaran organisasi, yang dapat menyebabkan perubahan dinamis terhadap individu maupun perusahaan tersebut, yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan kinerja organisasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaporan CSR yang akuntabel akan mendorong pelaksanaan kegiatan CSR, yang pada akhirnya akan meningkatkan tidak saja nilai perusahaan, tetapi juga kesejahteraan masyarakat
2.1.3.3. Pengungkapan Corporate Social Responsibility Pemerintah Indonesia sadar betul makna ramah lingkungan dan upaya pengurangan global warming, sehingga sepakat membuat aturan main yang menjadi dasar pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan dan lingkungan, yaitu diterbitkan Undang-undang No. 40 tahun 2007. Pasal 74 ayat 1 UU. 40 tahun 2007 tersebut menyatakan bahwa Perseroan yang menjalankan usahanya di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Undang-undang tersebut tentu bukan hanya sekedar kewajiban melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan, melainkan juga mewajibkan melaporkan pelaksanaan tanggungjawab sosial. Laporan tanggungjawab tersebut harus dilaporkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), terutama bagi perusahaan berbasis BUMN dan perusahaan lain yang bergerak di bidang eksploitasi sumber daya alam dan perusahaan yang usahanya bersinggungan atau berkaitan dengan sumber daya alam. Laporan
tanggungjawab
sosial
merupakan
laporan
aktivitas
tanggungjawab sosial yang telah dilakukan perusahaan baik berkaitan dengan perhatian masalah dampak sosial maupun lingkungan. Laporan tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan laporan tahunan (annual report) yang dipertanggunjawabkan direksi di depan sidang RUPS. Laporan ini berisi laporan program–program sosial dan lingkungan perseroan yang telah dilaksanakan selama tahun buku terakhir.
Perusahaan perlu mengungkapkan tanggung jawab sosialnya untuk memenuhi akuntabilitasnya terhadap publik. Pengungkapan (disclosure) yang dilakukan perusahaan bertujuan untuk menyediakan informasi bermanfaat pada pihak yang membutuhkan. Surat keputusan BAPEPAM No. Kep-38/PM/1996, menyebutkan bahwa pengungkapan informasi dalam laporan tahunan dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama adalah pengungkapan wajib (mandatory disclosure), yaitu informasi yang harus diungkapkan oleh emiten yang diatur oleh peraturan pasar modal di suatu negara. Kedua adalah pengungkapan sukarela (voluntary disclosure), yaitu pengungkapan yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh standar yang ada. Penjelasan mengenai corporate social responsibility yang menjelaskan kontribusi perusahaan terhadap sosial dan lingkungannya dapat ditemukan pada voluntary disclosure. Pengungkapan tanggung jawab sosial adalah proses pengkomunikasin efek-efek sosial dan lingkungan atas tindakan-tindakan ekonomi perusahaan pada kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat dan pada masyarakat secara keseluruhan (Gray et.al., 1987 dalam Waryanto, 2010). Dengan mengungkapakan informasi-informasi mengenai operasi perusahaan sehubungan dengan lingkungan diharapkan perusahaan bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat bahwa dalam melaksanakan aktivitasnya, perusahaan tidak hanya berfokus pada keuntungan semata melainkan perusahaan juga memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Selain itu, Darwin (2007) dalam Waryanto (2010) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial bertujuan untuk menjalin hubungan
komunikasi yang baik dan efektif antara perusahaan dengan publik dan stakeholder lainnya tentang bagaimana perusahaan telah mengintegrasikan CSR dalam setiap aspek kegiatan operasinya. Pengungkapan kinerja lingkungan, sosial, dan ekonomi di dalam laporan tahunan atau laporan terpisah adalah untuk mencerminkan tingkat akuntabilitas, responsibilitas, dan transparasi perusahaan kepada investor dan stakeholder lainnya. Menurut Darwin, saat ini berkembang pelaporan perusahaan mengenai kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berdiri sendiri dan terpisah dari laporan tahunan perusahaan, yang dikenal dengan Sustainability Report (SR). Perusahaan-Perusahaan di Indonesia yang sudah membuat sustainability report antara lain adalah PT Astra Internasional, PT Aneka Tambang, dan PT Bukit Asam. Sustainability report merupakan sebuah laporan yang tidak hanya berpijak pada single bottom line, yaitu kondisi keuangan perusahaan saja tetapi berpijak pada triple bottom line, yaitu selain informasi keuangan juga menyediakan informasi sosial dan lingkungan. Laporan
keberlanjutan
(sustainability
report)
harus
benar-benar
menunjukkan bahwa perusahaan yang melaporkannya diyakini telah berada pada kondisi keberlanjutan atau minimal telah berada di jalan yang tepat menuju ke kondisi tersebut. Tentu saja, untuk mengetahui apakah perusahaan telah sampai atau berada di jalan menuju keberlanjutan, diperlukan pemahaman atas apa itu perusahaan yang berkelanjutan.
2.1.4. Manajemen laba Manajemen laba merupakan tindakan yang dilakukan pihak manajemen untuk memanipulasi laporan keuangannya. Menurut Schipper (1989), dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007), manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Tujuan manajemen melakukan manajemen laba didorong oleh beberapa faktor diantaranya yaitu untuk menarik investor, rencana bonus, motivasi politik, motivasi perpajakan dsb. Healy dan Wahlen (1999) dan Schipper (1989) dalam Subekti dkk. (2010) menyatakan bahwa “manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan judgment dalam penyusunan laporan keuangan dan penstrukturan transaksinya untuk merubah laporan keuangannya dan untuk mengelabui (mislead) para pemangku kepentingan perusahaan tentang kinerja ekonomi perusahaan atau mempengaruhi hasil kontrak (contractual outcomes) yang menggantungkan pada angka-angka laporan akuntansi. Ini artinya bahwa manajemen laba dapat dilakukan oleh para manajer melalui kebijakan metoda akuntansi (akun akrual) dan atau
transaksi
riil
perusahaan.
Dengan
demikian, manajer
dapat
mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
Sugiri (1998) membagi definisimanajemen laba menjadi dua, yaitu: 1. Definisi Sempit Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansimanajemenlaba dalam artian sempit ini di definisikan sebagai prilaku manajer untuk "bermain" dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya earnings. 2. Definisi Luas Manajemenlabamerupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit di mana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut. Utami (2005) menyatakan bahwa untuk mendeteksi ada tidaknya manajamen laba, maka pengukuran atas akrual adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Total akrual adalah selisih antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi. Total akrual dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (1) bagian akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses penyusunan laporan keuangan, disebut normal accruals atau non discretionary accruals, dan (2) bagian akrual yang merupakan manipulasi data akuntansi yang disebut dengan abnormal accruals atau discretionary accruals.
2.1.4.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen laba yang diajukan oleh Watt dan Zimmerman sebagaimana dikutip oleh Sugiri (1998:118): 1. Hipotesis Bonus Plan Bahwa pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metodeakuntansi yang akan meningkatkan income saat ini. 2. Debt To Equity Hypothesis Bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka manajerperusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang akanmeningkatakan pendapatan atau laba. 3. Political Cost Hypothesis Bahwa pada perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh sebagianbesar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang dilaporkan. Scott (2006) mengidentifikasikan adanya empat pola yang dilakukan manajemen untuk melakukan pengelolaan atas laba sebagai berikut: (1) Taking a bath, yaitu ketika perusahaan melaporkan adanya kerugian, maka manajemen melakukan kebijakan untuk melaporkan kerugian dengan jumlah yang besar sekaligus; (2) Income minimization; kebijakan ini dilakukan ketika laba yang diperoleh perusahaan tinggi atau meningkat. Hal yang umum dilakukan manajemen dalam praktek ini adalah dengan meminimalkan laba, contohnya adalah dengan membebankan beban penelitian dan pengembangan lebih besar di periode berjalan; (3) Income maximization, kebijakan ini dilakukan ketika
laba yang diperoleh perusahaan rendah atau menurun. Hal yang umum dilakukan manajemen dalam praktek ini adalah dengan memaksimalkan laba, contohnya adalah dengan mengalokasikan pendapatan tahun mendatang di periode berjalan; (4) Income smoothing, kebijakan ini dilakukan karena adanya motivasi manajemen untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan.
2.1.4.2. Cara Mendeteksi Manajemen Laba 1. Model Akrual Tat = ∆CAt - ∆Casht - ∆CLt + ∆ DCLt - DEPt Dimana, ∆CAt adalah perubahan dalam aktiva tahun berjalan di tahun t , ∆Casht adalah perubahan dalam kas dan setara kas di tahun t, ∆CLt adalah perubahan daalm hutang tahun berjalan di tahun t , dan ∆ DCLt adalah perubahan dalam hutang tahun berjalan di tahun t , serta DEPt adalah beban penyusutan dan amortisasi dalam tahun t. Berdasarkan atas temuan bahwa studi – studi yang didasarkan pada pendekatan neraca tradisional untuk menghitung total akrual mengalami kelemahan akibat potensi kontaminasi dari perhitungan akrual total
2. Model Akrual Pilihan a. Model De Angelo Porsi pilihan dalam Model de Angelo adaalh perbedaan anatar akrual total di tahun peristiwa t disimbolkan dalam aktiva total ( At
– 1
).
Perhitungan akrual bukan pilihan ( NDAt ) bergantung pada akrual
total di periode sebelumnya ( TAt-1 ) disimbolkan dengan aktiva total keseluruhan ( At-2 ) denagn kata lain : NDAt = TAt-1 / At-2
b. Model Hearly Dalam model Hearly, akrual bukan pilihan ( NDAt ) adalah nilai rata – rata dari akrual total Tat yang dilambangkan dengan total aktiva keseluruhan (At-1) dari periode estimasi. dengan kata lain : NDAt = 1 / n Ʃ y ( TAy / Ay )
c. Model Jones Tujuan utama dari Model Jones adalah untuk mengendalikan pengaruh perubahan dalam kondisi perusahaan pada akrual bukan pilihan. NDAt = α1( 1/At – 1 ) +α2 ( ∆ REVt / At-1 ) + α3(PPEt/At1) Dimana, NDAt : akrual bukan pilihan di tahun t disimbolkan dengan aktiva total keseluruhan ∆REVt : pendapatan di tahun t dikurangi pendapatan di tahun t-
1
PPEt : aktiva tetap kotor di tahun t – 1 α1,α2,α3
: parameter spesifik perusahan
d. Model Jones yang Dimodifikasi TAC = Nit – CFOit…………………………………………(1) Nilai total accrual (TA) yang diestimasi dengan persaman regresi OLS sebagai berikut : TAit/Ait-1 = ß1 (1 / Ait-1) + ß2 (ΔRevt / Ait-1) + ß3 (PPEt / Ait-1) + e……………...(2) Dengan menggunakan koefisien regresi diatas nilai non discretionary accruals (NDA) dapat dihitung dengan rumus : NDAit = ß1 (1 / Ait-1) + ß2 (ΔRevt / Ait-1 - ΔRect/ Ait-1) + ß3 (PPEt / Ait-1)….......(3) Selanjutnya discretionary accrual (DA) dapat dihitung sebagai berikut: DAit = TAit / Ait-1 – NDAit..……………..………….….(4) Keterangan : DAit = Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke t NDAit = Non Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke t TAit = Total akrual perusahaan i pada periode ke t Nit = Laba bersih perusahaan i pada periode ke-t CFOit = Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode ke t Ait-1 = Total aktiva perusahaan i pada periode ke t-1 ΔRevt = Perubahan pendapatan perusahaan i pada periode ke t PPEt = Aktiva tetap perusahaan pada periode ke t ΔRect = Perubahan piutang perusahaan i pada periode ke t e = error
e. Model Indutri Model indutri melonggarkan asumsi bahwa akrual bukan pilihan adalah konstan dari tahun ke tahun. Alih-alih mencoba suatu model untuk menentual akrual bukan pilihan secara langsung. Model secara berasumsi bahwa variasi dalam penentuan akrual bukan pilihan adalah umum terjadi di antara perusahaan industry yang sama. persamaan : NDAt = β1 + β2 median (TAt / At-1) Dimana NDAt dihitung dengan model jones dan median TAt / At-1 adalah nilai medial dari akrual total di tahun t yang disimbolkan dengan aktiva total keseluruhan untuk seluruh perusahaan yang tidak diambil contoh didalam indutri klasifikasi industry standar. Parameter spesifik β1 dan β2 dihasilkan dari suatu regresi rata-rata biasa dalam suatu pengamatan diperiode estimasi
2.1.5. Corporate Governance 2.1.5.1. Definisi Corporate Governance Pengertian corporate governance menurut Turnbull Report di Inggris adalah sebagai berikut : “Corporate governance is a company’s system of internal control, which has as its principal aim the management of risks that are significant to the fulfilment og its business objectives, with a view to safeguarding the company’s assets and enchancing over time the value of shareholders investment.”
Berdasarkan pengertian di atas, corporate governance didefinisikan sebagai suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengamanan aset perusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang. Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan good corporate governance (GCG) sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah – kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber – sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. Berdasarkan dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Corporate Governance pada intinya adalah mengenai suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan yang digunakan untuk mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan sehingga dapat mendorong kinerja perusahaan untuk bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. Pasal 1 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002 Tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN menyatakan bahwa corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna
mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memerhatukan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya, berdasarkan peraturan perundangan dan nilai – nilai etika. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, GCG secara singkat dapat diartikan sebagai seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) bagi para pemangku kepentingan. Hal ini disebabkan karena GCG yang mendorong terbentuknya pola kerja manajemen yang Bersih, Transparan, dan Profesional (BTP).
2.1.5.2. Prinsip-prinsip Corporate Governance Prinsip – prinsip GCG sesuai pasal 3 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MUB/2002 Tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN adalah sebagai berikut : 1. Transparansi Keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan pengungkapan informasi materiil yang relevan mengenai perusahaan. 2. Pengungkapan Penyajian informasi kepada para pemangku kepentingan, baik diminta maupun tidak diminta, mengenai hal – hal yang berkenaan dengan kinerja operasional, keuangan, dan risiko usaha perusahaan 3. Kemandirian Suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa konflik kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun
yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip – prinsip korporasi yang sehat 4. Akuntabilitas Kejelasan fungsi, pelaksanaan serta pertanggungjawaban manajemen perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif dan ekonomis 5. Pertanggungjawaban Kesesuaian pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang – undangan yang berlaku dan prisip – prinsip korpoorasi yang sehat 6. Kewajaran Keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak – hak pemangku kepentingan yang timbul sebagi akibat dari perjanjian dan peraturan perundang – undangan yang berlaku
2.1.5.3. Mekanisme Corporate Governance Mekanisme Corporate Governance merupakan suatu aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan kontrol di mana selanjutnya dilakukan pengawasan terhadap keputusan tersebut. Mekanisme Corporate Governance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi jalannya sistem governance dalam sebuah organisasi (Walsh dan Schward, 1990 dalam Sabeni, 2005). Menurut Lins dan Warnock (2004) dalam Fala (2007), secara umum mekanisme yang dapat mengendalikan perilaku manajemen atau sering disebut
mekanisme corporate governance dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok. Pertama Internal mechanisms adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal seperti rapat umum pemegang saham (RUPS), komposisi dewan direksi, komposisi dewan komisaris dan pertemuan dengan board of director. Sedangkan yang kedua external mechanisms adalah cara mempengaruhi perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal, seperti pengendalian oleh perusahaan dan pengendalian pasar.
2.1.5.3.1. Board of Commissioner Dewan komisaris memegang peranan penting dalam pelaksanaan GCG. Secara teori dan praktik, tugas utama dari dewan komisaris adalah melakukan fungsi pengawasan terhadap manajemen untuk memastikan bahwa mereka melakukan segala aktivitas dengan kemampuan terbaiknya bagi kepentingan
perseroan,
serta
menggagalkan
keputusan
yang
tidak
menguntungkan. Hal ini sejalan dengan esensi corporate governance. Yaitu meningkatkan nilai perusahaan melalui supervise atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap shareholders dan stakeholders lain.
2.1.5.3.2. Audit Committee Dewan komisaris dapat membentuk komite yang berfungsi untuk menunjang tugas dari dewan komisaris. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, sekurang-kurangnya harus membentuk komite audit, sedangkan komite lain dibentuk sesuai dengan kebutuhan (KNKG, 2006). Keputusan Menteri BUMN Nomor : Kep-103/MBU/2002, pengertian komite audit adalah suatu badan yang berada di bawah komisaris yang beranggotakan minimal satu orang anggota komisaris dan dua orang ahli yang bukan merupakan anggota BUMN yang bersangkutan yang bersifat mandiri baik dalam pelaksanaan tugasnya maupun pelaporannya dan bertanggungjawab langsung kepada komisaris atau dewan pengawas. Komite Audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa: (1) laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, (2) struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, (3) pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan (4) tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen (KNKG, 2006).
2.1.5.3.3. Management Management dalam hal ini yaitu dewan direksi dapat meningkatkan kualitas laba dengan membatasi tingkat manajemen laba melalui fungsi monitoring atas pelaporan keuangan. Fungsi monitoring yang dilakukan oleh dewan komisaris dipengaruhi oleh jumlah atau ukuran dewan komisaris. Dewan direksi dalam hal ini dilihat dalam ukurannya, jumlah saham yang dimiliki, dan hubungan keluarga diantara dewan direksi, dewan komisaris dan pemegang saham mayoritas. Hal ini karena dewan direksi adalah orang yang menjalankan operasional perusahaan.
2.1.5.3.4. Shareholder Shareholder dalam penelitian ini merupakan jumlah saham yang dimiliki oleh institusi lain. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk
pemegang saham, pengaruh
kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal.
Tingkat kepemilikan
institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih
besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer.
2.2. Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan sumber dan bahan masukan karena tema penelitian tersebut berkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini. Penelitian oleh Sembiring 2005 meneliti tentang pengaruh Size, profitabilitas, profil perusahaan, ukuran dewan komisaris, dan leverage terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR). Hasil dari penelitian ini adalah Ukuran perusahaan, profil perusahaan dan ukuran dewan komisaris berpengaruh secara positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR), sedangkan variabel profitabilitas dan leverage tidak menunjukkan adanya hubungan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR). Penelitian lain yang juga serupa tetapi terbaru yaitu oleh Wulan (2012) mengungkap
pengaruh
mekanisme
corporate
governance
terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR). Sampel yang digunakan adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2010. Dalam penelitian ini mekanisme corporate governance menggunakan beberapa indikator
yaitu
kepemilikan
institusional,
kepemilikan
manajemen,
kepemilikan saham asing, dan komposisi dewan komisaris independen. Hasil dari penelitian ini adalah kepemilikan institusi, kepemilikan
manajemen dan
proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial (CSR). Sedangkan variabel kepemilikan asing terbukti berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR). Desie (2011) meneliti pengaruh manajemen laba dan mekanisme corporate governance terhadap corporate environmental disclosure. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa jumlah rapat komite audit dan profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap corporate environmental disclosure. Sementara itu, manajemen laba, proporsi dewan komisaris independen, ukuran perusahaan, leverage, dan tipe industri tidak berpengaruh signifikan terhadap corporate environmental disclosure. Handayani dkk (2008) meneliti pengaruh manajemen laba dan struktur corporate governance terhadap pengungkapan CSR. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh antara manajemen laba dan corporate governance terhadap pengungkapan CSR. Penelitian terbaru oleh Titan (2012) meneliti pengaruh manajemen laba dan mekanisme corporate governance terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Yang membedakan penelitian Titan dengan penelitian ini yaitu alat ukur yang digunakan untuk mengukur mekanisme coporate governace dan manajemen laba. Hasil penelitiannya yaitu manajemen laba, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, komposisi komisaris independen dan komite audit tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Sedangkan komposisi dewan komisaris berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian lain oleh Dilling (2009) meneliti pengaruh Sektor industri, longterm growth,
corporate governance, financial performance terhadap
Sustainability Report (SR) dengan menggunakan data Annual report dan Sustainability report perusahaan di Eropa. Hasil dari penelitian ini yaitu Sektor industri berhubungan positif dengan sustainability disclosure, longterm growth in revenue berhubungan negatif dengan sustainability disclosure, tidak ada hubungan antara variabel corporate governance dengan variabel sustainability disclosure. Said et.al. (2009) meneliti pengaruh Board size, independensi dewan, dualiatas CEO, komite audit, kepemilikan manajerial, foreign ownership, government shareholding terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR). Hasil penelitiannya yaitu Government ownership dan komite audit berpengaruh positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR). Prior et al. (2008) meneliti hubungan antara CSR, CFP dan manajemen laba. Sampel yang digunakan adalah 593 perusahaan dari 26 negara yang diambil dari database Sustainable Investment Research International Company (SIRI) dari tahun 2002 hingga 2004. Variabel yang digunakan adalah manajemen laba dan CFP sebagai variabel independen dan CSR sebagai variabel independen. Penelitian ini juga menggunakan variabel kontrol, yaitu investasi R&D, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan institusional, tingkat risiko manajerial, ukuran perusahaan, leverage, dan sumber daya keuangan. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa kombinasi manajemen laba dan kegiatan CSR adalah kegiatan yang mahal bagi perusahaan dan dibenarkan bahwa praktik manajemen laba memiliki dampak negatif terhadap kinerja keuangan. Dengan kata lain, Prior et al. (2008) menemukan bahwa hubungan
antara CSR dan kinerja keuangan diperlemah dengan adanya praktik manajemen laba. Gargouri et al. (2010) meneliti hubungan antara kinerja sosial perusahaan atau corporate social performance (CSP) dan manajemen laba di mana variabel yang digunakan sebagai pengukuran CSP adalah CG, lingkungan, dan karyawan. Dengan variabel kontrol adalah ukuran perusahaan, tingkat utang, bonus, market to book ratio, konsentrasi kepemilikan, auditor eksternal, dan jenis industri. Populasi yang diambil adalah perusahaan yang tercatat dalam database CSID MJRA sejak tahun 2004 sampai 2005, sedangkan sampel yang digunakan sebanyak 109 perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi CSP tentang lingkungan dan karyawan berhubungan signifikan positif terhadap manajemen laba. Hal ini menyatakan bahwa biaya yang ditanggung perusahaan yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup dapat mengurangi kinerja keuangan dan memberikan insentif bagi manajer untuk mengelola pendapatan. Tabel 1 Ringkasan Penelitian Terdahulu Peneliti (Tahun) Sembiring (2005)
Variabel - Independen: Size, profitabilitas, profil perusahaan, ukuran dewan komisaris, dan leverage
Alat Analisis Regresi Berganda
Hasil Penelitian Ukuran perusahaan, profil perusahaan dan ukuran dewan komisaris berpengaruh secara positif terhadap pengungkapan
- Dependen: Pengungkapan CSR
Wulan (2012)
- independen :
CSR, sedangkan variabel profitabilitas dan leverage tidak menunjukkan adanya hubungan dengan pengungkapan CSR. Regresi Berganda
kepemilikan institusi, kepemilikan manajemen dan proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Sedangkan variabel kepemilikan asing dan ukuran perusahaan terbukti berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR.
Regresi Berganda
jumlah rapat komite audit dan profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap corporate environmental disclosure. manajemen laba, proporsi dewan komisaris independen, ukuran
kepemilikan institusi, kepemilikan manajemen, proporsi dewan komisaris independen, kepemilikan asing, ukuran perusahaan - dependen : pengungkapan CSR
Desie (2011)
- independen : manajemen laba dan corporate governance - dependen : Corporate Environmental Disclosure
Handajani (2008)
Earning management, struktur corporate governance, CSR disclosure, profil perusahaan, tipe industri, leverage
Regresi berganda
Dilling (2009)
Independen: Sektor industri, longterm growth, corporate governance, financial performance Dependen: Pengungkapan Sustainability Report (SR)
Multivariate Logistic Regression
perusahaan, leverage, dan tipe industri tidak berpengaruh signifikan terhadap corporate environmental disclosure. terdapat pengaruh positif antara earning management, komite audit sebagai proksi corporate governance, profil perusahaan, dan tipe industri terhadap CSR disclosure. Sektor industri berhubungan positif dengan sustainability disclosure, longterm growth in revenue berhubungan negatif dengan sustainability disclosure, tidak ada hubungan antara
variabel corporate governance dengan variabel sustainability disclosure. Government ownership dan komite audit berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR.
Said et.al. (2009)
Independen: Board size, independensi dewan, dualiatas CEO, komite audit, kepemilikan manajerial, foreign ownership, government shareholding Dependen: Pengungkapan CSR
Regresi Berganda
Prior et al. (2008)
Independen: manajemen laba dan CFP Dependen: CSR Kontrol: investasi R&D, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan institusional, tingkat risiko, ukuran perusahaan, leverage, sumber daya keuangan atau financial resources
Regresi Berganda
Perusahaan dengan aktivitas CSR yang tinggi sangat mungkin terlibat dalam praktik manajemen laba.
Gargouri et al. (2010)
Dependen : CG, lingkungan, dan karyawan Independen :
Regresi berganda
CSP tentang lingkungan dan karyawan berhubungan
manajemen laba Variabel kontrol adalah ukuran perusahaan, tingkat utang, bonus, market to book ratio, konsentrasi kepemilikan, auditor eksternal, dan jenis industri
signifikan positif terhadap manajemen laba
2.3. Rerangka Pemikiran
Manajemen Laba -
Short-term Accruals Long-term Accruals
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial
Mekanisme Corporate Governance
Gambar 1. Rerangka Pemikiran
2.4. Perumusan Hipotesis Hipotesis adalah proposisi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris. Dalam skripsi ini meneliti tentang pengaruh manajemen laba melalui short-term accruals dan long-term accruals serta mekanisme corporate governance terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan manufaktur yang terdafatar di Bursa Efek Indonesia. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu dan teori-teori yang relevan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1 : Manajemen laba melalui Short-term accruals berpengaruh secara signifikan terhadap Pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR) H2 : Manajemen laba melalui Long-term accruals berpengaruh secara signifikan terhadap Pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR) H3 : Mekanisme Corporate Governance berpengaruh secara signifikan terhadap Pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR)