BAB II KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini menggunakan teori keagenan (agency theory) sebagai grand theory dan teori kontingensi (contingency theory) sebagai supporting theory atau teori pendukung. Penjelasan teori-teori tersebut dan bagaimana perannya akan diuraikan pada bab ini. 2.1 Teori Keagenan Teori Keagenan merupakan landasan teori dalam penelitian ini yang menjelaskan tentang konsep corporate government. Teori keagenan berkaitan dalam
menyelesaikan
permasalahan
atas
pendelegasian
kewenangan
pengambilan keputusan yang terjadi dalam hubungan keagenan antara prinsipal dan agen. Hubungan prinsipal dan agen dapat mengarah pada kondisi ketidakseimbangan informasi karena agen memiliki lebih banyak informasi dibandingkan
prinsipal.
Individu-individu
cenderung
memaksimalkan
kepentingan pribadi dan dengan informasi yang dimiliki agen akan berprilaku menyembunyikan beberapa informasi dari prinsipal. Eisenhardt (1989) menyatakan 3 (tiga) sifat dasar asumsi manusia: (1) manusia pada dasarnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya terbatas pada persepsi masa mendatang (Buonded ratio), (3) manusia selalu menghindari resiko. Berdasarkan tiga asumsi sifat dasar manusia taersebut maka selalu dipertanyakan realibilitas informasi yang disampaikan oleh individu yang satu pada individu lainnya. 17
18
Menurut Jensen dan Meckling (1976) teori keagenan menganalisis susunan kontraktual diantara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Pihak prinsipal adalah pihak yang mengambil keputusan dan memberikan mandat kepada pihak agen dalam melaksanakan kegiatan atas nama agen. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agen) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian
wewenang).
Lupia
dan
McCubbins
(2000)
menyatakan
pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (prinsipal) memilih orang atau kelompok lain (agen) untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Hubungan prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memiliki dampak pada orang lain (Stiglitz, et al 1987 dalam Halim dan Abdullah,
2009).
Ketergantungan
ini
diwujudkan
dalam
kesepakatan-
kesepakatan dalam struktur institusional pada berbagai tingkatan, seperti norma perilaku dan konsep kontrak. Bergman dan Lane (1990) dalam Halim dan Abdullah (2009) menyatakan bahwa rerangka hubungan prinsipal agen merupakan suatu pendekatan yang sangat penting untuk menganalisis komitmenkomitmen kebijakan publik. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses anggaran sektor publik meliputi hubungan keagenan antara Kepala Dinas/Kantor/Badan sebagai prinsipal yang memberikan mandat kepada Kepala Seksi/Kepala Sub Bagian sebagai agensi dalam membantu memimpin, mengendalikan dan mengkoordinasikan perumusan
19
kebijakan teknis dan pelaksanaaan urusan pemerintahan yang meliputi sumbersumber pendapatan, anggaran belanja dan pembiayaan. Kepala seksi/ kepala sub bagian membantu Kepala Dinas/Kantor/Badan dalam penyiapan RKA-SKPD dalam proses penganggaran. Perangkat
daerah
(Dinas/Kantor/Badan) bertanggung jawab dalam
pelayanan masyarakat (Kencana, 2010). Kencana (2010) mengutip pernyataan Mardiasmo (2001) bahwa
slack yang diciptakan oleh perangkat daerah
cenderung adalah slack yang positif, karena menjaga hubungannya dengan kepala
daerah
dan mengamankan pekerjaan dan posisi atau jabatan di
pemerintahan. 2.2 Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Dalam Negeri (Permendagri) No.59 Tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, tahapan penyusunan APBD adalah sebagai berikut. 1) Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Untuk menyusun APBD, pemerintah daerah menyusun RKPD yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan anggaran yang baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
20
2) Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Berdasarkan RKPD, pemerintah daerah kemudian menyusun KUA. KUA memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk setiap urusan pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasari. Rancangan KUA disampaikan kepada DPRD paling lambat pertengahan bulan Juni sebelum tahun anggaran dan disepakati bersama oleh Pemda dan DPRD menjadi KUA paling lambat minggu pertama bulan Juli. 3) Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) Berdasarkan KUA yang telah disepakati, Pemda dan DPRD menyusun PPA. PPA disepakati paling lambat bulan Juli sebelum tahun anggaran. KUA dan PPA yang telah disepakati kemudian dituangkan kedalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama oleh pihak kepala daerah dan pimpinan DPRD. Berdasarkan nota kesepakatan tersebut pemerintah daerah menerbitkan surat edaran tentang pedoman penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkatdaerah (RKA-SKPD). Surat edaran tersebut diterbitkan paling lambat awal bulan Agustus sebelum tahun anggaran dimulai. 4) Penyusunan Rencana Kerjadan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) Berdasarkan surat edaran yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, masing-masing SKPD, kemudian menyusun RKA SKPD bersama SKPD. Surat edaran tersebut memuat memuatarah dan kebijakan umumAPBD, strategi dan prioritas APBD, standar biaya, standar pelayanan minimal, dan formulir
21
RKA-SKPD. Formulir RKA-SKPD merupakan dokumen yang
memuat
rancangan anggaran unit kerja yang disampaikan oleh setiap unit kerja. RKASKPD memuat pernyataan mengenai: a) Visi dan misi unit kerja. b) Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) unit kerja. c) Rencana program dan kegiatan unit kerja beserta tolak ukur dan target kinerjanya. RKA-SKPD kemudian disampaikan kepada tim anggaran pemerintah daerah untuk dievaluasi. Tim anggaran pemerintah daerah mengevaluasi dan menganalisis: a) Kesesuaian antara rancangan anggaran unit kerja dengan program dan kegiatan berdasarkan yang direncanakan unit kerja. b) Kesesuaian program dan kegiatan berdasarkan tugas pokok dan fungsi unit kerja. c) Kewajaran antara anggaran dengan target kinerja berdasarkan Standar Analisa Biaya (SAB) yang telah diperhitungkan. 5) Penyusunan RAPBD Rencana kerja dan anggaran masing-masing SKPD yang telah dievaluasi oleh tim anggaran pemerintah daerah selanjutnya dirangkum menjadi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
22
6) Penetapan APBD Pemerintah daerah menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober sebelum tahun anggaran untuk dibahas. RABPD ditetapkan menjadi APBD setelah mendapatkan persetujuan bersama dari pemerintah daerah dan DPRD paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran dimulai.
2.3 Pendekatan Teori Kontinjensi Pendekatan universalistik menyatakan bahwa desain pengendalian yang optimal dapat diterapkan pada semua setting organisasi dan perusahaan. Teoriteori kontijensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Ketidak konsistenan penelitian terdahulu kemungkinan dipengaruhi oleh faktor kontingensi sebagai moderasi. Sesuai Govindarajan dan Hopwod dalam (Shields, dkk 2000) bahwa untuk menyelesaikan perbedaan dari berbagai hasil penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontigensi dimana pendekatan kontigensi tersebut memungkinkan adanya variabel-variabel lain yang
dapat bertindak sebagai variabel moderating yang mempengaruhi
hubungan partisipasi dalam penyusunan anggaran. Penelitian ini akan menggunakan faktor kontingensi untuk mengevaluasi keefektifan antara partisipasi terhadap budgetary slack. Faktor kontigensi yang dipilih dalam penelitian ini adalah etika, budaya organisasi, opportunistic behavior dan ketidakpastian lingkungan. Faktor tersebut akan berperan sebagai
23
moderasi dalam hubungan antara partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack.
2.4 Partisipasi penganggaran Partisipasi penganggaran adalah suatu proses dimana atasan memilih kontrak kompenasasi dimana bawahan diijinkan memilih nilai spesifik setiap parameter dalam kontrak yang tertuang (Young,1985;830). Anggaran adalah suatu pernyataan formal organisasi tentang rencanarencana yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam suatu periode tertentu, yang akan digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan selama periode tersebut (Hanson, 1966). Dari pengertian ini, anggaran yang telah disusun memiliki peranan: 1) Anggaran berperan sebagai perencanaan, yaitu bahwa anggaran tersebut berisi tentang ringkasan rencana-rencana keuangan organisasi di masa yang akan datang. 2) Anggaran mengukur kinerja, yaitu anggaran dipakai sebagai sistem pengendalian untuk mengukur kinerja manajerial. Partisipasi penganggaran merupakan anggaran yang dibuat oleh lebih dari seorang individu, yang menegaskan bahwa anggaran disusun dengan melibatkan banyak pihak yang berkompeten didalamnya. Partisipasi sendiri oleh Siegel dalam Rahayu (1997) didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan bersama oleh dua belah pihak atau lebih yang mempunyai dampak dimasa yang akan datang bagi pembuat keputusan tersebut. Milani dalam Rahayu (1997)
24
mendefinisikan partisipasi penganggaran sebagai tingkat pengaruh dan keterlibatan yang dirasakan individu dalam proses perancangan anggaran. Menurut Nouri dan Parker (1996), dalam Darlis (2002), menyatakan individu berkomitmen tinggi akan menghindari budgetary slack. Bawahan berkomitmen tinggi akan menggunakan informasinya agar anggaran menjadi lebih akurat. Sebaliknya individu berkomitmen rendah cenderung tidak memberikan informasi yang mereka miliki kepada atasan karena bawahan tidak bersungguh-sungguh memenuhi tujuan organisasi. Adapun karakteristik penganggaran partisipatif menurut Milani (1975): 1) Sejauh mana angggaran dipengaruhi oleh keterlibatan para atasan 2) Alasan atasan dalam merevisi anggaran 3) Keinginan memberikan pendapat kepada atasan tanpa diminta 4) Sejauh mana atasan memiliki pengaruh dalam anggaran akhir 5) Pentingnya kontribusi bawahan dalam proses pengganggaran 6) Seringnya atasan meminta pendapat saat anggaran disusun Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa partisipasi penganggaran
adalah
menekankan
pada
setiap
atasan
sebagai
pusat
pertanggungjawaban dalam proses penyusunan anggaran dimana atasan harus memperhatikan keterlibatan bawahan secara maksimal untuk tujuan organisasi. Dengan adanya partisipasi bawahan dalam penyusunan anggaran maka akan terjadi pertukaran informasi yang baik antara atasan dengan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi.
25
2.5 Pengertian Budgetary slack Budgetary slack telah banyak dipelajari dengan perspektif yang berbeda dalam akuntansi manajemen dan akuntansi perilaku. Definisi yang dibuat pada sektor swasta oleh Young (1985:831) dalam Miyati (2014) budgetary slack sebagai suatu tindakan dimana agen melebihkan kemampuan produktif dengan mengestimasikan pendapatan lebih rendah dan biaya lebih tinggi ketika diberi kesempatan untuk memilih standar kerja sehingga dapat meningkatkan kinerjanya. Menurut Lubis (2011:241) mendefinisikan budgetary slack sebagai selisih antara sumber daya yang sebenarnya diperlukan secara efisien dan jumlah sumberdaya yang lebih besar untuk menyelesaikan suatu tugas tersebut. Selain itu, definisi yang dibuat pada sektor publik oleh Yuhertiana (2005) budgetary slack adalah proses yang terjadi saat perencanaan anggaran, dimana ketika individu
dilibatkan
dalam pembuatan anggaran akan cenderung meng-
overestimate-kan cost atau meng-underestimate-kan revenue. Dalam proses penganggaran, budgetary slack adalah ketidaksesuaian antara penggunaan dana yang lebih besar dari anggaran yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan tingginya budgetary slack akan mengakibatkan dua kemungkinan
yaitu
penambahan dana diluar rencana anggaran semula atau tetap sesuai dengan rencana anggaran dana yang ditetapkan tetapi menurunkan kinerja pelaksana anggaran. Dalam penganganggaran partisispatif keterlibatan bawahan sangat dibutuhkan berdasarkan Agency Theory bawahan akan membuat target anggaran yang lebih mudah dicapai, dengan cara membuat target anggaran yang rendah pada sisi pendapatan dan mengajukan biaya yang lebih tinggi (Maskun,2008).
26
2.6 Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kementerian
Dalam
Negeri
telah mengeluarkan UU No.32/2004
tentang pemerintah daerah, Permendagri No.13/2006, Peraturan Pemerintah No.58/2005, dan Permendagri No.37/2012 sebagai pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lembaga-lembaga yang berperan penting dalam perencanaan dan penganggaran daerah berdasarkan UU.No.17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU.No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) adalah Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), (DPRD).
Kepala Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pelaksanaan
otonomi
daerah
menimbulkan
berbagai
praktek
penyimpangan pengelolaan keuangan negara. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah pusat untuk mengatasi hal tersebut adalah
dengan menerapkan
sistem penganggaran yang disebut dengan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK). Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) adalah proses penyusunan APBD diorganisasi sektor publik untuk tata kelola pemerintahan, yakni proses pembangunan yang efisien dan partisipatif, serta terjadi reformasi anggaran, yaitu penggunaan sistem anggaran berbasis kinerja (performance budget system) untuk menggantikan sistem anggaran tradisional (traditional budget system). Proses pembangunan ini melibatkan
pengambilan
kebijakan
pemerintahan,
pelaksanaan
kegiatan
pemerintahan, dan dalam tahap tertentu melibatkan masyarakat sebagai penerima manfaat dari kegiatan pelayanan publik. Salah satu kunci utama penyusunan anggaran berbasis kinerja adalah penentuan kinerja, adanya ukuran kinerja yang
27
jelas dan dapat diverifikasi terhadap outcome, output maupun kewajaran dana yang dikeluarkan dengan output yang dicapai (Mahsun dkk, 2007).
2.7 Prinsip Penyusunan APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berdasarkan Permendagri No.37/2012 adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Tahun anggaran daerah meliputi masa satu tahun terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Prinsip penyusunan APBD berdasarkan pada Permendagri No.37/2012 adalah: 1) APBD
disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintah
daerah; 2) APBD harus disusun secara tepat waktu sesuai dengan tahapan dan jadwal; 3) Penyusunan APBD dilakukan secara transparan, yaitu memudahkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan aksesi nformasi yang seluasluasnya tentang APBD; 4) Penyusunan APBD harus melibatkan partisipasi masyarakat; 5) APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan; 6) Substansi APBD dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan peraturan daerah lainnya.
28
2.8 Etika Menurut Stoner, et al (1995) etika didefinisikan sebagai studi bagaimana keputusan yang kita ambil akan mempengaruhi orang lain. Selain itu, etika juga didefinisikan sebagai studi mengenai hak dan kewajiban manusia, penalaran moral yang diterapkan orang dalam membuat keputusan,dan sifat alami hubungan antar manusia. Menurut Widodo (2001), etika sektor publik didefinisikan sebagai pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan publik, dan dapat digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparatur pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan publik dapat dikatakan baik atau buruk. Menurut Kartasasmita (1997) dalam Widodo (2001), pendekatan etika dalam sektor publik dibedakan menjadi dua macam pendekatan, yaitu: 1) Pendekatan Teleologi Pendekatan teleologi merupakan pendekatan etika sektor publik yang berasumsi bahwa apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnya dilakukan oleh aparat pemerintah adalah “nilai kemanfaatan” yag akan diperoleh. Pendekatan teleologi dibedakan menjadi dua macam pendekatan : pendekatan ethicalegoisme dan utilitarianisme. Pendekatan ethicalegoisme berupaya mengembangkan kebaikan bagi dirinya sendiri. Pendekatan utilitarianisme umum.
berupaya
mengembangkan kebaikan bagi kepentingan
29
2) Pendekatan Deontologi Pendekatan deontologi merupakan pendekatan etika sektor publik yang mengutamakan penegakan moral, karena kebenaran yang ada dalam dirinya, dan tidak terkait dengan akibat atau konsekunsi dari keputusan tindakan yang dilakukan Menurut Widodo (2001) nilai etika sektor publik yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewenangannya antara lain : 1) Nilai Efisiensi Nilai efisiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber dana dan daya yang dimiliki secara tepat, tidak boros,dan dapat dipertanggungjawabkan. 2) Nilai Membedakan Milik Pribadi dengan Milik Kantor Nilai yang mengarahkan aparatur pemerintah dalam membedakan mana milik kantor dan mana mlik pribadi. 3) Nilai Impersonal Nilai impersonal lebih menonjolkan unsur“rasio” daripada unsur “perasaan” dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan yang ada dalam organisasi. 4) Nilai Merytal System Nilai Merytal System berkaitan dengan sistem penarikan atau promosi pegawai yang
tidak didasarkan pada hubungan kekerabatan, patrimonial
(anak, keponakan, famili, alumni, daerah, golongan, dan lain-lain), akan tetapi didasarkan pada pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill),
30
kemampuan (capable), dan pengalaman (experience) yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan. 5) Nilai responsibel (responsible) Nilai responsibel menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar dan telah ditetapkan. 6) Nilai akuntabilitas (accountability) Nilai akuntabilitas menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholders dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. 7) Nilai Responsivitas Nilai responsivitas berkaitan dengan daya tanggap yang tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan,keluhan,dan aspirasi publik.
2.9 Budaya Organisasi Budaya organisasi (organizational culture) mengacu pada sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini, ketika dicermati secara lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang, secara keseluruhan, merupakan hakikat budaya sebuah organisasi. 1) Inovasi dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
31
2) Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail. 3) Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. 4) Orientasi
orang.
Sejauh
mana
keputusan-keputusan
manajemen
mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada dalam organisasi. 5) Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim ketimbang pada individu-individu. 6) Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai. 7) Stabilitas.
Sejauh
mana
kegiatan-kegiatan
organisasi
menekankan
dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan. Masing-masing karakteristik ini berada di suatu kontinum mulai dari rendah sampai tinggi. Karenanya, menilai organisasi berdasarkan ketujuh karakteristik ini akan menghasilkan suatu gambaran utuh mengenai budaya sebuah organisasi berdasarkan pengamatan orang lain dan pengamatannya sendiri. Schein (1985) mengemukakan bahwa ada beberapa pengertian yang sama yang berkaitan dengan budaya antara lain: 1) Keteraturan perilaku yang diamati (observed behavioral regularities) ketika orang-orang berinteraksi, misalnya bahasa yang digunakan dan upacara yang dilakukan sehubungan dengan rasa hormat dan cara bertindak/ bersikap.
32
2) Norma yang berkembang dalam kelompok kerja. 3) Nilai dominan yang didukung oleh sebuah organisasi, seperti mutu produk dan sebagainya. 4) Falsafah yang menjadi landasan kebijaksanaan organisasi yang berkaitan dengan karyawan dan atau pelanggan. 5) Peraturan pergaulan dalam organisasi, cara-cara/seluk-beluk untuk diterima sebagai warga organisasi. 6) Rasa atau iklim yang disampaikan dalam sebuah organisasi oleh tata letak fisik dan cara interaksi para warga organisasi dengan para pelanggan atau orang luar yang lain.
2.10 Opportunistic Behaviour Pengertian perilaku oportunistik adalah tentang pribadi, sifat atau dinamika kelompok dalam menghadapi suatu kondisi dimana dalam posisi tertentu merasa mempunyai kesempatan atau peluang lebih untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan. Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan
dengan
segala
cara
bahkan
cara
ilegal
sekalipun
(Havid,
2014;Megasari 2015). Faktor yang mempengaruhi perilaku oportunistik adalah kekuatan (power) dan kemampuan. Perilaku oportunistik mengarah
pada
terjadinya adverse selection (menyembunyikan informasi) dan moral hazard (penyalahgunaan wewenang). Moral hazard adalah permasalahan yang muncul karena agen tidak melaksanakan kesepakatan bersama yang tertuang dalam kontrak kerja. Adverse selection adalah kondisi dimana prinsipal tidak
33
mengetahui keputusan yang diambil oleh agen dalah keputusan yang diambil sesuai dengan informasi yang diterima oleh prinsipal atau terjadi kelalaian dalam bertugas (Sandrya,2013). Teori prinsipal-agen menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses penganggaran memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan utilitasnya melalui pengalokasian sumberdaya dalam anggaran yang ditetapkan (Magner & Johnson, 1995). Didalam partisipasi penganggaran keterlibatan bawahan sangat dibutuhkan berdasarkan Agency Theory. Bawahan ketika diberikan kewenangan dalam penyusunan anggaran cenderung akan melebihkan target anggaran biaya dan merendahkan target anggaran pendapatan agar lebih mudah dicapai (Yuhertiana, 2005). Pemanfaatan kesempatan dalam penyusunan anggaran akan menimbulkan kemungkinan adanya penambahan dana diluar rencana anggaran awal atau tetap sesuai rencana anggaran awal namun terjadi penurunan kinerja pelaksana anggaran ( Miyati, 2014).
2.11 Ketidakpastian lingkungan Ketidakpastian lingkungan merupakan kondisi lingkungan yang yang tidak pasti yang membuat individu melakukan budgetary slack. Hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan informasi yang didapatkan untuk memprediksi masa depan. Lingkungan organisasi bergerak sangat cepat dan dinamis (Darlis,2000). Ketidakpastian lingkungan adalah situasi seseorang yang memprediksi situasi di
terkendala untuk
sekitar sehingga mencoba untuk melakukan sesuatu
untuk menghadapi ketidakpastian lingkungan tersebut (Luthans,1998). Pada
34
kondisi ketidakpastian tinggi, maka individu sulit memprediksi kegagalan dan keberhasilan dari keputusan yang dibuatnya (Fisher,1996).
2.12 Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian terdahulu yang telah menguji pengaruh partisipasi anggaran terhadap budgetary slack menyatakan hasil yang tidak konsisten, antara lain Ahmad, et al (2003), Yuen (2004), Stede (2001), Elmassri (2011), Parra, et al (2005), Steven (2002), Miyati (2014), Falikhatun (2007), Suhendro (2006), Little, et al (2002), Grediani (2010), Latifah (2010), bahwa partisipasi anggaran yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya budgetary slack. Berbeda dengan temuan tersebut, penelitian Hardiwinoto (2010), Baiman (1982), Schift dan Lewin (1970), Onsi (1973), Camman (1976), Dunk (1993), Ardanari (2014), Supanto (2010), menyatakan bahwa partisipasi anggaran yang tinggi dapat menurunkan terjadinya budgetary slack. Maskun (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh partisipasi pengangggaran terhadap budgetary slack dengan faktor etika, budaya birokrasi, tekanan sosial dan kapasitas individu sebagai mediasi.
Penelitian
dilakukan pada Badan Koordinator Wilayah II Jawa Timur. Penelitian ini adalah penenlitian explanatory dan hasil penelitian menunjukan etika berpengaruh positif dan signifikan terhadap budgetary slack diantara budget eksekutif, budaya birokrasi berpengaruh negatif dan signifikan pada budgetary slack diantara budget eksekutif. Tekanan sosial berpengaruh positif dan signifikan pada budgetary slack diantara budget eksekutif, kapasitas individu tidak berpengaruh
35
pada budgetary slack diantara budget eksekutif. Miyati (2014) melakukan penelitian untuk memberi bukti empiris pengaruh pastisipasi penganggaran pada budgetary slack dengan pertimbangan etika sebagai pemoderasi. Penelitian ini adalah penelitian deskriftif dengan metode pengumpulan data berupa kuesioner. Penelitian dilakukan pada SKPD kabupaten Kulon Progo. Hasil penelitian menunjukan partisipasi penganggaran berpengaruh positif signifikan pada budgetary slack dan pertimbangan etika berpengaruh negatif pada budgetary slack. Sandrya (2013) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack dengan asimetri informasi, komitmen organisasi, budaya organisasi dan kapasitas individu sebagai pemoderasi. Penelitian dilakukan pada SKPD Kabupaten Badung dengan metode purposive
sampling.
Hasil
penelitian
menunjukan
bahwa
partisipasi
penganggaran berpengaruh positif pada budgetary slack, asimetri memperkuat pengaruh patisipasi penganggaran pada budgetary slack, komitmen organisasi dan budaya organisasi maemperlemah pengaruh partisipasi penganggaran pada budgetary slack, kapasitas individu tidak memoderasi pengaruh partisipasi penganggaran pada budgetary slack. Utami (2012) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh interaksi budaya organisasi dan group cohesiveness dalam hubungan partisipasi penganggaran pada budgetary slack. Penelitian dilakukan pada kantor regional Darmasraya. Hasil penelitian menunjukan partisipasi penganggaran berpengaruh positif dan signifikan pada budgetary slack, budaya organisasi tidak berpengaruh
36
pada budgetary slack, group cohesiveness tidak mempengaruhi hubungan partisipasi penganggaran pada budgetary slack. Stiawan (2013) meneliti tentang pengaruh kapasitas individu, komitmen organisasi, ketidakpastian lingkungan pada kinerja manajerial. Hasil penelitian menunjukan hasil bahwa kapasitas individu, komitmen organisasi, ketidakpastian lingkungan secara simultan berpengaruh pada kinerja manajerial. Kartika (2010) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh komitmen organisasi dan ketidakpastian lingkungan pada hubungan partisipasi penganggran terhadap budgetary slack. Penelitian dilakukan pada RSU semarang dengan 83 responden dengan metode pengumpulan data berupa kuesioner. Hasil menunjukan ketidakpastian lingkungan tinggi dikaitkan dengan budgetary slack rendah. Latifah
(2010)
melakukan
penelitian
tentang
adakah
perilaku
opportunistik dalam agensi teori sektor publik. Prinsipal harus mengeluarkan biaya (costs) untuk memonitor kinerja agen dan menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien. Hasil penelitian menunjukan adanya asimetri informasi di antara agen dan prinsipal menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran. Ahmad, et al (2003) yang melakukan penelitian pada 162 perusahan di Malaysia tentang kegunaan penganggaran pada perusahaan dengan responden para manager perusahaan dan hasil dari penelitian ini adalah penganggaran partisipatif berpengaruh pada budgetary slack. Yuen (2004) melakukan penelitian pada 108 hotel di Macau dengan responden manager hotel. Penelitian ini membandingkan hubungan antara
37
karakteristik goal dan kemungkinan penciptaan slack anggaran oleh manager. Hasil dari penelitian anggaran partisipatif berpengaruh positif pada budgetary slack, komunikasi dan sistem reward dapat menghasilkan kejelasan tujuan perusahaan dan membantu memecahkan masalah anggaran. Stede (2001) meneliti dua faktor situasi penting dalam perusahaaan yaitu diversifikasi perusahaan dan strategi unit bisnis. Penelitian dilakukan pada 37 firms dan 153 unit bisnis. Hasil penelitian menunjukan bahwa diversifikasi perusahaan berhubungan positif dengan budgetary slack dalam unit bisnis sehingga angggaran yang ketat dan insentif yang tinggi efektif mengurangi penciptaan budgetary slack. Elmassri (2011) melakukan penelitian dalam bentuk studi kasus tentang proses pengaturan budget dan pencipataan budgetary slack pada perusahaan minyak. Studi ini menemukan bahwa slack diciptakan oleh manager dalam hierarki organisasi namun tidak selalu dalam konteks negatif. Parra, et al (2005) meneliti tentang bagaimana perusahaan memasukan lebih banyak slack pada proses permintaan bisnis. Penelitian dilakukan pada perusahaan manufaktur selama 24 bulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa budgetary slack tidak hanya dibangun pada proses penganggaran namun juga pada sistem penganggaran dibawah asumsi akuntansi. Steven (2002) melakukan penelitian untuk mengetahui efek budgetary slack pada dua control perilaku oportunistik yaitu reputasi dan etika. Hasil penelitian menunjukan anggaran partisipatif berpengaruh positif pada budgetary slack, etika berpengaruh negatif pada budgetary slack, reputasi sebagai kontrol di mediasi secara sosial sedangkan etika adalah kontrol iternal dari perilaku
38
opportunistik. Falikhatun (2007) melakukan penelitian pada middle management level di RSUD se-Jawa Tengah. Hasil dari penelitian menunjukan anggaran partisipatif berpengaruh positif signifikan pada budgetary slack, asimetri informasi dan group cohesiveness memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack, budaya organisasi tidak memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack. Suhendro (2006) meneliti hubungan partisipasi anggaran pada budgetary slack di pemerintahan daerah se-provinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukan anggaran partisipatif berpengaruh positif dan signifikan pada budgetary slack. Tekanan sosial berpengaruh signifikan secara marginal terhadap hubungan anggaran partisipatif dengan budgetary slack. Little, et al (2002) melakukan penelitian pada 149 manager di 96 perusahaan manufaktur. Hasil menunjukan perilaku positif manager pada prosedur formal anggaran dan prosedur keadilan anggaran, anggaran partisipatif berpengaruh positif signifikan pada prestaasi kerja, jika prosedur keadilan tinggi maka perilaku organisasi positif dan mengurangi budgetary slack. Grediani (2010) melakukan penelitian untuk mengetahui apakah tekanan ketaatan dari atasan langsung dan tanggung jawab persepsian mempengaruhi budgetary slack. Penelitian dilakukan pada 63 mahasiswa program Magister Sains dan program sarjana
jurusan
Akuntansi,
Fakultas
Ekonomi
dan
Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan desain eksperimen yang mendapat treatment tekanan ketaatan. Hasil penelitian menunjukan mayoritas partisipan dengan tekanan ketaatan melanggar penciptaan budgetary slack,
39
partisipan yang membuat slack tidak memegang tanggung jawab mereka dibanding partisipan yang tidak membuat slack, partisipan yang menciptakan slack dengan tujuan kedudukan mereka.penelitian mereka menyatakan bahwa partisipasi anggaran yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya budgetary slack. Berbeda dengan temuan tersebut, penelitian Hardiwinoto (2010) melakukan penelitian dengan tujuan menegetahui pengaruh kecenderungan manager dalam penciptaan slack; persepsi kewajaran dan prosedural distributif kepercayaan managerial dan komitmen tujuan anggaran sebagai faktor intervening. Hasil penelitian menunjukan partisipasi penganggaran berdampak pada persepsi kewajaran dan prosedural distributif kepercayaan managerial, berdampak signifikan pada komitmen tujuan anggaran dan berpengaruh negatif pada kecenderungan manager dalam penciptaan budgetary slack. Baiman (1982) melakukan penelitian tentang pengaruh partisipasi penganggaran pada budgetary slack. Alat analisis data menggunakan regresi linier sederhana. Hasil dari penelitian ini adalah penganggaran partisipatif cenderung mengurangi penciptaan budgetary slack. Schift dan Lewin (1970) melakukan penelitian pada tiga divisi independen pada 100 perusahaan. Alat analisis data menggunakan regresi linier sederhana. Hasil dari penelitian menunjukan penganggaran partisipatif cenderung mengurangi penciptaan budgetary slack. Onsi (1973) melakukan penelitian pada 107 manager divisi dari 7 perusahaan manufaktur. Teknik analisis data menggunakan regresi linier sederhana. Hasil dari penlitian ini menunjukan budgetary slack menurun sejak partisipasi mengarah pada komunikasi positif,
40
anggaran partisipatif berpenggaruh negatif pada budgetary slack, Camman (1976) melakukan penelitian tentang pengaruh partisipasi penganggaran pada budgetary slack. Teknik analisis data menggunakan regresi linier sederhana. Hasil penelitian menunjukan anggaran partsisipatif dapat mengurangi penciptaan budgetary slack. Dunk (1993) melakukan penlitian pada 73 manager pada perusahaan manufaktur,. Teknik analisis data menggunakan analisis regresi linier sederhan. Hasil penelitian menunjukan anggaran partisipatif, asimetri informasi dan penekanan anggaran berpengaruh negatif pada budgetary slack. Anggaran partisipatif berpengaruh negatif pada budgetary slack. Asimetri informasi berpengaruh positif pada hubungan anggaran partisipatif dan budgetary slack. Jika budget emphasis tinggi maka budgetary slack akan tinggi dan sebaliknya. Ardanari (2014) melakukan penelitian dengan tujuan mengenai pengaruh partisipasi penganggaran, asimetri informasi, dan self esteem pada budgetary slack dengan dimoderasi oleh budget emphasis. Sampel penelitian adalah 12 hotel berbintang 3 keatas di Bali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipasi penganggaran dan self esteem berpengaruh negatif terhadap budgetary slack, sedangkan asimetri informasi berpengaruh positif terhadap budgetary slack. Selain itu, budget emphasis juga mampu memoderasi hubungan partisipasi penganggaran, asimetri informasi, dan self esteem terhadap budgetary slack, dimana budget emphasis memperlemah pengaruh partisipasi penganggaran, asimetri informasi, dan self esteem terhadap budgetary slack. Supanto (2010) melakukan penelitian studi kasus pada politeknik Negeri Semarang tentang
41
pengaruh partisipasi penganggaran pada budgetary slack dengan asimetri informasi, motivasi dan budaya organisasi sebagai pemoderasi. Hasil penelitian menunjukan anggaran partisipatif berpengaruh negatif dan signifikan pada budgetary slack, asimetri infomasi memoderasi pengaruh anggaran partsisipatif pada budgetary slack, motivasi dan budaya organisasi tidak dapat memoderasi pengaruh partisipasi penganggaran pada budgetary slack. Penelitian mereka menyatakan bahwa partisipasi anggaran yang tinggi dapat menurunkan terjadinya budgetary slack. Berdasarkan hasil penelitian- penelitian terdahulu yang tidak konsisten sehingga peneliti termotivasi untuk menguji pengaruh partisipasi penganggaran pada budgetary slack dengan faktor kontijensi yaitu etika, ketidakpastian lingkungan, opportunistic behaviour dan budaya organisasi sebagai variabel moderasi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Pemilihan Kabupaten Jembrana didasarkan pada data awal yang diterima.