BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Teori Keagenan Dalam Sektor Publik Teori keagenan (agency theory) merupakan landasan teori dalam penelitian
ini, karena dapat menjelaskan Implementasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran terhadap Akuntabilitas Publik dan Transparansi. Akuntabilitas dan transparansi memiliki karakter yang berbeda namun penerapan akuntabilitas memiliki kaitan dengan transparansi (Shende, 2004). Menurut Jensen (1976), teori keagenan adalah konsep yang menjelaskan hubungan kontraktual antara prinsipal dan agen, yaitu antara dua atau lebih individu, kelompok atau organisasi. Pihak prinsipal adalah pihak yang mengambil keputusan dan memberikan mandat kepada pihak lain (agen), untuk melakukan semua kegiatan atas nama prinsipal. Inti dari teori ini adalah kontrak kerja yang didesain dengan tepat untuk menyelaraskan kepentingan antara prinsipal dengan agen (Supanto, 2010). Entitas di Indonesia terdiri dari dua sektor, yaitu entitas sektor publik dan non publik/swasta. Anggaran sektor publik berhubungan dengan proses penentuan jumlah dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter yang menggunakan dana milik rakyat, serta bersifat terbuka untuk publik. Sedangkan anggaran pada sektor swasta tertutup untuk publik dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja
11
12
perusahaan. Meskipun berbeda, tetapi kedua sektor memiliki kesamaan sifat yakni terbagi dalam dua pihak, yaitu prinsipal dan agen. Organisasi sektor publik khususnya pemerintah daerah hubungan keagenannya
muncul antara pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Pemerintah daerah sebagai agen sedangkan DPRD sebagai prinsipal. Jika ditelusuri lebih lanjut, maka DPRD itu sendiri merupakan agen dari publik/warga sebagai prinsipal yang memberikan otoritas kepada DPRD (agen) untuk mengawasi Implementasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Daerah. Akuntabilitas menjadi konsekuensi logis adanya hubungan antara agen dan prinsipal. Gray (1993) mendefinisikan akuntabilitas sebagai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atas pengelolaan tersebut kepada pihak yang dipercayakan untuk bertanggungjawab. Gregory (1995) sebagaimana yang dikutib oleh Jacobs (2000) menjelaskan bahwa akuntabilitas didefinisikan sebagai the need to give an account of one’s actions. Menurut Eisenhardt (1989) ada tiga asumsi mengenai teori keagenan, yaitu: 1) asumsi tentang sifat manusia, yaitu sifat manusia yang mengutamakan kepentingan sendiri (self interest), keterbatasan rasionalitas atau daya pikir terhadap persepsi masa depan (bounded rationality), dan cendrung untuk menghindari risiko; 2) asumsi tentang keorganisasian, adalah konflik antar anggota organisasi, efisiensi, dan asimetri informasi yang terjadi antara prinsipal dan agen; dan 3) asumsi tentang informasi, adalah informasi dianggap sebagai barang komoditi yang dapat diperjualbelikan. Jensen (1976) menyatakan permasalahan tersebut, antara lain: 1) moral hazard adalah permasalahan yang muncul karena agen tidak melaksanakan
13
hal-hal yang telah disepakati bersama sesuai kontrak kerja; dan 2) adverse selection adalah prinsipal tidak mengetahui bahwa keputusan yang diambil oleh agen merupakan keputusan yang sesuai dengan informasi yang telah diterima oleh prinsipal atau terjadi kelalaian dalam bertugas. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses anggaran sektor publik terdiri dari tiga katagori utama yaitu: eksekutif, legislatif, dan masyarakat. Hubungan keagenan dalam penganggaran daerah, adalah: 1) Hubungan Masyarakat (Publik atau Voters) sebagai prinsipal dan Legislatif sebagai agen. Legislatif adalah lembaga perwakilan rakyat yang keberadaannya telah dipilih oleh rakyat (voters). Rakyat berdasarkan asas demokrasi adalah prinsipal utama dan legislatif berperan sebagai agen yang mewakili rakyat sebagai prinsipal. Rakyat melakukan pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara social pressure, yaitu rakyat berperan sebagai parliament watch, media dan aksi langsung dengan kekuatan massa melalui demontrasi (Kencana, 2010). Legislatif berperan penting dalam penganggaran daerah, karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pengesah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam tahap ratifikasi. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, DPRD dan Gubernur, Bupati atau Walikota menetapkan APBD. Sehingga, DPRD perlu untuk mendengarkan aspirasi rakyat melalui berbagai komponen yang mewakili rakyat, yaitu: Lembaga Sosial Masyarakat, Perguruan Tinggi, kuisioner, kotak pos, media massa, dan lain sebagainya (Kencana, 2010). 2) Hubungan Legeslatif sebagai prinsipal dan Eksekutif (Pemerintah Daerah) sebagai agen. Hubungan keagenan antara legeslatif sebagai prinsipal dan eksekutif sebagai
14
agen berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, terjadi perubahan posisi luasnya kekuasaan antara legeslatif sebagai prinsipal terhadap eksekutif sebagai agen. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak menjadi satu kesatuan dengan Kepala Daerah beserta perangkatnya. Hubungan keagenan terjadi dalam konteks pembuatan kebijakan, yang mana legeslatif memberikan kewenangan kepada agen untuk membuat usulan kebijakan baru dan berakhir setelah usulan tersebut diterima atau ditolak. 3) Hubungan Kepala Daerah sebagai prinsipal dan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai agen. Hubungan keagenan antara Kepala Daerah dan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah Kepala Daerah berperan sebagai prinsipal dan Kepala SKPD sebagai agen. Eksekutif akan menyampaikan dokumen rancangan APBD kepada legeslatif untuk diteliti dan disahkan. SKPD akan mengajukan daptar usulan kegiatan daerah dan daptar usulan proyek daerah yang akan dibahas oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah kemudian tim anggaran pemerintah daerah membahas bersama DPRD tahap selanjutnya DPRD dan Kepala Daerah memberi persetujuan. Penyampaian Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang telah mendapat persetujuan dari DPRD dengan Kepala Daerah dievaluasi ke Pemerintah Provinsi. Penyempurnaan RAPBD hasil evaluasi Gubernur selanjutnya disampaikan ke Badan Anggaran DPRD untuk mendapatkan persetujuan, penyempurnaan RAPBD menjadi APBD. Penetapan Perda APBD dan Peraturan Bupati tentang penjabaran APBD kemudian Buku APBD di distribusikan ke seluruh SKPD yang akan digunakan sebagai Dokumen Pelaksanaan Anggaran oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah.
15
2.2
Dokumen Pelaksanaan Anggaran Pada dasarnya Dokumen Pelaksanaan Anggaran dibuat oleh masing-masing
Satuan Kerja Perangkat Daerah yang merupakan dokumen untuk melaksanakan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah yang dibuat sebelumnya. Pembuatan Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang disesuaikan dengan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Dokumen Pelaksanaan Anggaran merupakan dokumen yang memuat pendapatan dan belanja setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna anggaran. Dokumen Pelaksanaan Anggaran merupakan dokumen yang memuat pendapatan, belanja dan pembiayaan yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh pengguna anggaran (Permendagri, 2006). Dokumen Pelaksanaan Anggaran merupakan dokumen yang memuat pendapatan dan belanja setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna anggaran (Permendagri, 2011). Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Dokumen Pelaksanaan Anggaran merupakan tahapan kegiatan yang dibuat oleh masing-masing pelaksana anggaran dalam rangka penyelenggaraan kegiatan, maka dengan disusunnya Dokumen Pelaksanaan Anggaran berarti bahwa program dan rencana kegiatan
16
tahunan yang dianggarkan akan mulai dilaksanakan dengan baik dan transparan sesuai aturan.
2.3
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah adalah rencana keuangan tahunan
pemerintah daerah yang ada di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Wikipedia Indonesia, 2008). APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah terdiri atas: 1)
Anggaran pendapatan Daerah, terdiri atas : (1) Pendapatan Asli Daerah, yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penerimaan lainlain daerah yang sah (2) Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus (3) Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat, Dana bagi hasil pajak dari Provinsi kepada Kabupaten/Kota, Dana penyesuaian dan Dana Otonomi Khusus, Bantuan keuangan dari Provinsi dan dari Pemerintah Daerah lainnya.
2)
Anggaran belanja Daerah yaitu : (1) Belanja Tidak Langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yaitu
17
Belanja Pegawai, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial, Belanja bagi hasil, Bantuan Keuangan dan Belanja Tak Terduga. (2) Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan secara langsung terkait dengan pelaksanaan program dan kegiatan yaitu Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, Belanja Modal.
2.4
Transparansi Transparency (transparansi) merupakan kondisi adanya keterbukaan secara
penuh, juga merupakan salah satu elemen penopang akuntabilitas. Dengan demikian transparansi merupakan kunci untuk membangun lingkungan yang memiliki akuntabilitas (Mahsun, 2006). Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah (2002) menyatakan bahwa Transparansi merupakan prinsip yang menjamin akses atau
kebebasan
penyelenggaraan
bagi
setiap
pemerintahan,
orang yakni
untuk
memperoleh
informasi
tentang
informasi
tentang
kebijakan,
proses
pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik (Meuthia, 2000). Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik. Transparansi terdiri dari 2
18
aspek penting, yaitu (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang baik adalah titik awal dari transparansi. Transparansi memiliki arti keterbukaan (openness) yaitu keterbukaan pemerintah memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi.(Mahmudi, 2006). Pemerintah berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Transparansi harus seimbang, juga dengan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-informasi yang mempengaruhi hak privasi individu. Karena pemerintahan menghasilkan data pada jumlah besar, maka dibutuhkan petugas informasi professional, bukan untuk membuat dalih atas keputusan pemerintah, tetapi untuk menyebarluaskan keputusan-keputusan yang penting kepada masyarakat serta menjelaskan alasan dari setiap kebijakan tersebut. Krina (2003) menyatakan transparasi dapat diukur melalui sejumlah indikator sebagai berikut: 1)
Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua proses-proses pelayanan publik
2)
Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses pada sektor publik.
19
3)
Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik pada kegiatan pelayanan. Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik akan membuat pemerintah menjadi bertanggung jawab kepada semua stakeholders yang berkepentingan dengan proses maupun kegiatan pada sektor publik.
2.5
Pengaruh
Penerapan
Dokumen
Pelaksanaan
Anggaran
Pada
Akuntabilitas Publik dan Transparansi Penelitian yang dilakukan oleh Antoro (2006) menunjukkan bahwa penerapan anggaran berbasis kinerja sebagai bentuk perwujudan reformasi anggaran mampu meningkatkan akuntabilitas publik Pemerintah Daerah. Teodorus (2007) menyatakan penerapan anggaran berbasis kinerja melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah berpengaruh positif terhadap akuntabilitas publik dan transparansi. Reformasi manajemen keuangan negara membawa perubahan sistem penganggaran dari sistem penganggaran tradisional ke sistem penganggaran berbasis kinerja. Pelaksanaan sistem penganggaran sudah mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut (Bastian, 2006): 1)
Demokratis, mengandung makna bahwa anggaran negara harus ditetapkan melalui suatu proses yang mengikutsertakan sebanyak mungkin unsur masyarakat, selain harus dibahas dan mendapatkan persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat.
20
2)
Adil, berarti bahwa anggaran Negara haruslah diarahkan secara optimum bagi kepentingan orang banyak dan secara proporsional, dialokasikan bagi semua kelompok masyarakat sesuai dengan kebutuhannya.
3)
Transparan,
yaitu
proses
perencanaan,
pelaksanaan,
serta
pertanggungjawaban anggaran negara harus diketahui tidak saja oleh wakil rakyat, tetapi juga oleh masyarakat umum. 4)
Bermoral Tinggi, berarti bahwa pengelolaan anggaran negara harus berpegang pada peraturan perundangan yang berlaku, dan juga senantiasa mengacu pada etika dan moral yang tinggi.
5)
Berhati-hati, berarti bahwa pengelolaan anggaran negara harus dilakukan secara berhati-hati, karena jumlah sumber daya yang terbatas dan mahal harganya.
6)
Akuntabel, berarti bahwa pengelolaan keuangan negara haruslah dapat dipertanggungjawabkan setiap saat secara intern maupun ekstern kepada rakyat. Pelaksanaan penganggaran menekankan beberapa prinsip yang dikenal
dengan konsep good governance. Pengertian good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. World Bank mendifinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administrasi menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo, 2005). United Nation Development Program (UNDP) memberikan karakteristik yang menjadi prinsip pada pelaksanaan good governance, meliputi (Mardiasmo, 2005):
21
1)
Participation. Keterlibatan masyarakat pada pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya.
2)
Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.
3)
Transperency. Transparansi dibangun atas kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
4)
Responsiveness. Lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap melayani stakeholder.
5)
Consensus orientation. Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
6)
Equity. Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
7)
Efficiency and Effectiveness. Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
8)
Accountability. Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
9)
Strategic vision. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan. Dari sembilan karakteristik tersebut, paling tidak ada sejumlah prinsip yang
dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance. UndangUndang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU no 1 tahun 2004
22
tentang Perbendaharaan Negara dan UU no 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara. Pelaksanaan anggaran menekankan prinsip-prinsip sebagai berikut (Bastian, 2006): 1)
Akuntabilitas hasil untuk DPR dan masyarakat
2)
Transparansi menyeluruh pada seluruh transaksi pemerintah
3)
Pemberdayaan pemimpin yang professional untuk mencapai kinerja lembaga yang optimal
4)
Pengawasan yang kuat, professional, dan independensi oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan penghapusan duplikasi pada fungsi-fungsi pemeriksaan. Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan juga mengemukakan bahwa syarat agar terwujudnya kepemerintahan yang baik pada pengelolaan keuangan negara adalah dengan melaksanakan akuntabilitas publik dan transparansi. Apabila suatu lembaga pemerintahan memiliki akuntabilitas dan transparansi yang baik akan menopang peningkatan prinsip-prinsip lainnya. Dokumen Pelaksanaan Anggaran merupakan dokumen yang memuat pendapatan, belanja dan pembiayaan yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh pengguna anggaran (Permendagri, 2006). Dengan demikian Implementasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran juga harus mencerminkan prinsipprinsip tersebut, supaya pelaksanaan good governance melalui prinsip akuntabilitas publik dan transparansi dapat terwujud.
2.6
Penelitian Terdahulu
23
Penelitian mengenai implementasi anggaran yang dilakukan oleh Antoro (2006) memperoleh hasil bahwa penerapan anggaran berbasis kinerja sebagai bentuk perwujudan reformasi anggaran mampu meningkatkan akuntabilitas publik Pemerintah Daerah. Anugriani (2014) membuktikan transparansi berpengaruh positif terhadap kinerja anggaran berkonsep value for money. Auditya (2013) menyatakan akuntabilitas pengelolaan keuangan berpengaruh positif pada kinerja pemerintah daerah sedangkan transparansi pengelolaan keuangan berpengaruh positif pada kinerja
pemerintah
Provinsi
Bengkulu.
Dwiningsih
(2006)
penelitiannya
menghasilkan pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan keuangan daerah belum sepenuhnya terlaksana. Penelitian yang dilakukan Ismiarti (2013) menyatakan bahwa implementasi akuntabilitas pada pengelolaan keuangan daerah mampu meningkatkan kinerja. Meutia (2011) menunjukkan variabel akuntabilitas, transparansi, partisipasi masyarakat, efisiensi dan efektivitas berpengaruh terhadap penyusunan anggaran berbasis kinerja. Rahmannurrasjid (2008) memperoleh hasil penerapan azas akuntabilitas
dan
transparansi
dalam
penyelenggaraan
pemerintah
daerah
mengharuskan pemerintah memberikan pertanggungjawaban dan informasi kepada masyarakat terkait pengelolaan pemerintahan sehingga pemerintah berusaha untuk memberikan yang terbaik (kinerja terbaik) kepada masyarakat. Teodorus (2007) hasil penelitiannya menyatakan penerapan anggaran berbasis kinerja melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah berpengaruh positif terhadap akuntabilitas publik dan transparansi. Werimon (2007) menunjukkan bahwa implementasi akuntabilitas dan transparansi menyebabkan kontrol yang besar
24
dari masyarakat menyebabkan pengelola pemerintahan akan bekerja sesuai dengan ketentuan yang ada, dan pada akhirnya akan mampu menghasilkan kinerja pemerintahan dengan baik.