BAB II KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini menggunakan teori keagenan (agency theory) sebagai teori pemayung (grand theory) dan teori kontijensi (contingency theory) sebagai teori pendukung (supporting theory). Disamping itu, bab ini juga menjelaskan pemahaman tentang anggaran dan slack serta penjelasan lainnya yang saling berhubungan. 2.1 Teori Keagenan Teori keagenan merupakan konsep
yang menjelaskan hubungan
kontraktual antara prinsipal dan agen. Pihak prinsipal adalah pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk melakukan semua kegiatan atas nama prinsipal dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan. Hubungan keagenan ini akan menciptakan dua masalah yaitu; 1) terjadinya asimetri informasi, dan 2) konflik kepentingan, yang terjadi karena perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal sehingga agen tidak selalu bertindak sesuai kepentingan pemilik (Wendy, 2010). Menurut Eisenhardt (1989), teori keagenan dilandasi oleh tiga asumsi, yaitu; 1) asumsi tentang sifat manusia, mengemukakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan menghindari risiko (risk aversion);
2) asumsi tentang keorganisasian, mengemukakan adanya konflik
antar anggota organisasi, efisien sebagai kriteria produktivitas dan adanya
10
11
asimetris informasi antara pemilik perusahaan dan manajemen; 3) asumsi tentang informasi, menerangkan bahwa informasi dipandang sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan. Konflik kepentingan antara agen dan prinsipal akan terus meningkat, karena prinsipal tidak dapat memonitor kegiatan agen setiap hari, sedangkan agen memiliki lebih banyak informasi penting mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan organisasinya secara keseluruhan. Hal inilah yang menimbulkan asimetri informasi, yaitu ketidakseimbangan informasi antara prinsipal dan agen. Hal ini dapat terjadi misalnya, jika dalam melakukan kebijakan pemberian rewards perusahaan kepada bawahan didasarkan pada pencapaian anggaran. Bawahan cenderung memberikan informasi yang bias agar anggaran mudah dicapai dan mendapatkan rewards berdasarkan pencapaian anggaran tersebut, kondisi ini akan menyebabkan terjadinya budgetary slack (Darlis, 2002). Berdasarkan penjelasan teori keagenan tersebut, maka dalam penelitian ini yang bertindak sebagai prinsipal adalah pejabat Eselon II (Kepala Dinas, Kepala Inspektorat, Kepala Badan Daerah dan Kepala Biro), sedangkan yang bertindak sebagai agen adalah pejabat Eselon III (Kepala Bidang pada Badan Daerah, Dinas Daerah dan Inspektorat, Sekretaris pada Badan Daerah, Dinas Daerah dan Kepala Bagian di Lingkungan Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Bali), dan pejabat Eselon IV (Kepala Seksi dan Kepala Sub.Bagian) yang ikut berpartisipasi dalam penyusunan anggaran.
12
2.2 Pendekatan Teori Kontijensi Pendekatan
kontijensi
merupakan
sebuah
aplikasi
konsep
yang
menyatakan bahwa tidak ada suatu sistem kontrol terbaik yang dapat diterapkan untuk semua organisasi dan penerapan sistem yang tepat harus memandang adanya keterlibatan variabel konstektual dimana organisasi tersebut berada. Teori kontinjensi dapat digunakan untuk menganalisis desain dan sistem akuntansi manajemen untuk memberikan informasi yang dapat digunakan perusahaan untuk berbagai macam tujuan dan untuk menghadapi persaingan ( Otley, 1980 ). Hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya ketidakonsistenan antara penelitian satu dengan penelitian lainnya, kemungkinan adanya variabel lain yang mempengaruhi hubungan antara partisipasi anggaran dengan budgetary slack. Ghozali (2007) mengatakan kemungkinan belum adanya kesatuan hasil penelitian mengenai anggaran dan implikasinya, disebabkan adanya faktor-faktor tertentu (situational factors) atau yang lebih dikenal dengan variabel kontijensi (contingency variables). Selain itu, Govindarajan (1986) menyatakan bahwa perbedaan hasil penelitian tersebut dapat diselesaikan melalui pendekatan kontinjensi (contingency approach). Hal ini dilakukan dengan memasukkan variabel lain yang mungkin mempengaruhi partisipasi anggaran dengan budgetary slack. Banyak penelitian terdahulu yang menggunakan variabel-variabel moderating untuk penelitian partisipasi penganggaran dan budgetary slack.
Desmiyati (2009) menyatakan bahwa anggaran partisipatif
berpengaruh negatif dan signifikan pada budgetary slack, interaksi anggaran partisipatif dan komitmen organisasi berpengaruh negatif dan signifikan pada
13
budgetary slack. Sudarba (2010) menguji interaksi budgetary slack, anggaran partisipatif,
komitmen
organisasi
dan
ketidakpastian
lingkungan.
Hasil
menunjukkan bahwa anggaran partisipatif yang tinggi akan meningkatkan budgetary slack, komitmen organisasi berpengaruh signifikan pada budgetary slack. Hasil penelitian menunjukkan ketidakonsistenan antara peneliti yang satu dengan peneliti yang lainnya, sehingga para peneliti berkesimpulan terdapat variabel lain yang mempengaruhi antara partisipasi anggaran dengan budgetary slack. Dalam penelitian ini, pendekatan kontijensi akan diadopsi untuk mengevaluasi keefektifan antara partisipasi terhadap budgetary slack . Faktor kontijensi yang dipilih dalam penelitian ini adalah komitmen organisasi, internal locus of control dan ketidakpastian lingkungan. Faktor tersebut akan berperan sebagai variable moderasi dalam hubungan antara penganggaran partisipatif pada budgetary slack. 2.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah telah mengeluarkan berbagai instrumen hukum untuk mendukung reformasi penganggaran daerah. Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan UU No.32/2004 tentang pemerintah daerah, Permendagri No.13/2006, Peraturan Pemerintah No.58/2005, dan Permendagri No.37/2012 sebagai pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lembaga-lembaga yang berperan penting dalam perencanaan dan penganggaran daerah berdasarkan UU.No.17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU.No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
14
adalah Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Kepala daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan praktek-praktek penyimpangan pengelolaan keuangan negara. Salah satu penanggulangan yang dilakukan pemerintah pusat adalah memperbaiki sistem keuangan negara dengan menerapkan sistem penganggaran yang disebut dengan anggaran berbasis kinerja. Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) merupakan proses penyusunan APBD di organisasi sektor publik untuk tata kelola pemerintahan, yakni proses pembangunan yang efisien dan partisipatif, serta terjadi reformasi anggaran, yaitu penggunaan sistem anggaran berbasis kinerja (performance budget system) untuk menggantikan sistem anggaran tradisional (traditional budget system). Proses pembangunan ini melibatkan pengambilan kebijakan pemerintahan, pelaksanaan kegiatan pemerintahan, dan dalam tahap tertentu melibatkan masyarakat sebagai penerima manfaat dari kegiatan pelayanan publik. Salah satu kunci utama penyusunan anggaran berbasis kinerja adalah penentuan kinerja, adanya ukuran kinerja yang jelas dan dapat diverifikasi terhadap outcome, output maupun kewajaran dana yang dikeluarkan dengan output yang dicapai (Mahsun, dkk.,2007).
15
2.3.1 Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Dalam Negeri (Permendagri) No.59 Tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, tahapan penyusunan APBD adalah sebagai berikut. 1. Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Untuk menyusun APBD, pemerintah daerah menyusun RKPD yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. 2. Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Berdasarkan RKPD, pemerintah daerah kemudian menyusun KUA, yang memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk setiap urusan pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasari. Rancangan KUA disampaikan kepada DPRD paling lambat pertengahan bulan Juni sebelum tahun anggaran dan disepakati bersama oleh Pemda dan DPRD menjadi KUA paling lambat minggu pertama bulan Juli.
16
3. Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) Berdasarkan KUA yang telah disepakati, Pemda dan DPRD menyusun PPA, yang disepakati paling lambat bulan Juli sebelum tahun anggaran. KUA dan PPA yang telah disepakati kemudian dituangkan kedalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama oleh pihak kepala daerah dan pimpinan DPRD. Berdasarkan nota kesepakatan tersebut pemerintah daerah menerbitkan surat edaran tentang pedoman penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat daerah (RKA-SKPD). Surat edaran tersebut diterbitkan paling lambat awal bulan Agustus sebelum tahun anggaran dimulai. 4. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) Berdasarkan surat edaran yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, masingmasing SKPD kemudian menyusun RKA-SKPD. Surat edaran tersebut memuat arah dan kebijakan umum APBD, strategi dan prioritas APBD, standar biaya, standar pelayanan minimal, dan formulir RKA-SKPD. Formulir RKA-SKPD merupakan dokumen yang memuat rancangan anggaran unit kerja yang disampaikan oleh setiap unit kerja. RKA-SKPD memuat pernyataan mengenai: a. Visi dan misi unit kerja. b. Deskripsi Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) unit kerja. c. Rencana program dan kegiatan unit kerja beserta tolak ukur dan target kinerjanya.
17
RKA-SKPD kemudian disampaikan kepada tim anggaran pemerintah daerah untuk dievaluasi. Tim anggaran pemerintah daerah mengevaluasi dan menganalisis: 1) Kesesuaian antara rancangan anggaran unit kerja dengan program dan kegiatan berdasarkan yang direncanakan unit kerja. 2) Kesesuaian program dan kegiatan berdasarkan tugas pokok dan fungsi unit kerja. 3) Kewajaran antara anggaran dengan target kinerja berdasarkan Standar Analisa Biaya (SAB) yang telah diperhitungkan. 5. Penyusunan RAPBD Rencana kerja dan anggaran masing-masing SKPD yang telah dievaluasi oleh tim anggaran pemerintah daerah selanjutnya dirangkum menjadi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). 6. Penetapan APBD Pemerintah daerah menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober sebelum tahun anggaran untuk dibahas. RABPD ditetapkan menjadi APBD setelah mendapatkan persetujuan bersama dari pemerintah daerah dan DPRD paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran dimulai.
2.4 Penganggaran Partisipatif Penganggaran partisipatif adalah tingkat seberapa besar keterlibatan dan pengaruh para pejabat Eselon III dan Eselon IV dalam proses menentukan dan
18
menyusun anggaran yang ada dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah, baik secara periodik maupun tahunan. Partisipasi penganggaran diperlukan karena bawahan yang lebih mengetahui kondisi langsung bagiannya (Suprasto, 2006). Dengan demikian, tujuan perusahaan akan lebih dapat diterima jika seluruh anggota organisasi dapat bersama-sama dalam suatu kelompok untuk saling bertukar pendapat dan informasi mengenai tujuan perusahaan dan terlibat dalam menentukan langkahlangkah untuk mencapai tujuan tersebut. Murray (1990) menyatakan bahwa partisipasi dari bawahan dalam penyusunan anggaran mempunyai konsekuensi terhadap sikap dan perilaku anggota organisasi yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja dari anggota organisasi tersebut.
2.5 Budgetary slack Anthony dan Govindarajan (2007) mendefinisikan budgetary slack sebagai perbedaan antara anggaran yang dilaporkan dengan anggaran yang sesuai dengan estimasi yang sesungguhnya, tujuannya agar target dapat lebih mudah dicapai oleh bawahan, karena itu dapat disimpulkan bahwa budgetary slack, yaitu suatu tindakan bagian dalam menyusun anggaran cenderung menurunkan tingkat penjualan dari biaya yang seharusnya dicapai, sehingga anggaran yang dihasilkan lebih mudah dicapai. Menurut Ikhsan (2007), slack adalah selisih antara sumber daya yang sebenarnya diperlukan untuk efisien menyelesaikan suatu tugas dan jumlah sumber daya yang lebih besar yang diperuntukkan bagi tugas tersebut.
19
Budgetary slack juga digambarkan sebagai dysfunctional behavior karena manajer berusaha untuk memuaskan kepentingannya yang nantinya akan merugikan organisasi. Merchant (1985), Lukka (1988), dan Young (1985) mempunyai pengertian yang sama mengenai slack anggaran, yaitu sebagai pengungkapan yang dimasukkan dalam anggaran yang memungkinkan mudah dicapai. Jika anggaran lebih mudah dicapai karena adanya slack atau faktor-faktor lain sebagai akibat adanya partisipasi dalam penyusunan anggaran, yang terjadi adalah
menurunnya
atau
menghilangnya
keuntungan
motivator
yang
sesungguhnya. Budgetary slack disebabkan oleh empat kondisi, yaitu; 1) terdapat informasi asimetri antara manajer (bawahan) dengan atasan mereka; 2) kinerja manajer tidak pasti, jika terdapat kepastian dalam kinerja, maka atasan dapat menduga usaha manajer melalui output mereka sehingga senjangan anggaran sulit untuk dilakukan; 3) manajer mempunyai kepentingan pribadi; 4) adanya konflik tujuan antara manajer dengan atasan mereka (Fitri, 2007).
2.6 Komitmen Organisasi Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Sopiah (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai derajat dimana karyawan percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasinya. Komitmen karyawan yang
20
tinggi maupun rendah akan berdampak pada; 1) karyawan itu sendiri, misalnya terhadap pengembangan karir karyawan itu di organisasi atau perusahaan; 2) organisasi,
karyawan
yang
berkomitmen
tinggi
pada
organisasi
akan
menimbulkan kinerja organisasi yang tinggi, tingkat obsensi berkurang, loyalitas karyawan dan lain-lain (Sopiah, 2008). Pada konteks pemerintahan daerah, aparat yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi, akan menggunakan informasi yang dimilki untuk membuat anggaran menjadi relatif lebih tepat. Adanya komitmen organisasi yang tinggi budgetary slack dapat dihindari.
2.7 Locus of Control Rotter (1990) mendefinisikan locus of control sebagai suatu variabel kepribadian tentang keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny) dirinya sendiri. Konsep Locus of control didasarkan pada teori pembelajaran sosial (theory social learning). Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa pilihan dibuat oleh individu dari berbagai macam perilaku potensial yang tersedia untuk mereka (Reiss dan Mitra, 1998). Locus of control didefinisikan Tsui dan Gul (1996) sebagai sejauh mana seseorang merasakan hubungan kontijensi antara tindakan dan hasil yang mereka peroleh. Seseorang yang percaya bahwa mereka memiliki pengendalian atas takdir mereka disebut internal. Dalam hal ini, mereka mempercayai bahwa pengendalian itu terletak dalam diri mereka sendiri. Pihak, eksternal adalah orang yang percaya bahwa hasil mereka ditentukan oleh agen atau faktor ekstrinsik diluar mereka sendiri. Sebagai
21
contoh, oleh takdir, keberuntungan, kekuatan yang lain atau sesuatu yang tidak dapat diprediksi. Berdasarkan pada teori locus of control, bahwa perilaku seorang manajer dalam penyusunan anggaran akan dipengaruhi oleh karakteristik locus of controlnya. Ciri pembawaan internal locus of control adalah mereka yang yakin bahwa suatu kejadian selalu berada dalam kendalinya dan akan selalu mengambil peran dan tanggung jawab dalam penentuan benar atau salah. Sebaliknya, orang dengan eksternal locus of control percaya bahwa kejadian dalam hidupnya berada di luar kontrolnya dan percaya bahwa hidupnya dipengaruhi oleh takdir, keberuntungan, dan kesempatan serta lebih mempercayai kekuatan di luar dirinya. Penelitian Singer (2001) mencoba untuk mengungkapkan eskalasi komitmen yang berbedabeda pada individu yang sensitizer dan repressor dan individu yang internal locus of control dan eksternal locus of control. Hasil mengungkapkan bahwa individu yang repressor cenderung mengalami eskalasi lebih besar daripada individu yang sensitizer, demikian juga dengan individu yang cenderung internal locus of control mengalami eskalasi lebih besar daripada individu yang cenderung eksternal locus of control.
2.8 Ketidakpastian Lingkungan Ketidakpastian lingkungan merupakan salah satu faktor yang sering menyebabkan organisasi melakukan penyesuaian terhadap kondisi organisasi dengan lingkungan. Ketidakpastian merupakan persepsi dari anggota organisasi.
22
Seseorang mengalami ketidakpastian karena dia merasa tidak memiliki informasi yang cukup untuk meprediksi masa depan secara akurat. Bagi suatu organisasi, sumber utama ketidakpastian berasal dari lingkungan, yang meliputi pesaing, konsumen, pemasok, regulator,dan teknologi yang dibutuhkan (Govindarajan,1986). Individu akan mengalami ketidakpastian lingkungan yang tinggi jika merasa lingkungan tidak dapat diprediksi dan tidak dapat memahami bagaimana komponen lingkungan akan berubah, sedangkan dalam ketidakpastian lingkungan yang rendah (lingkungan relatif stabil), individu dapat memprediksi keadaan di masa datang sehingga langkah-langkah yang akan dilakukannya dapat direncanakan dengan lebih akurat ( Darlis, 2002). Kondisi yang relatif stabil ini dapat dimanfaatkan oleh anggota organisasi untuk membantu organisasi membuat perencanaan yang akurat.
2.9 Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian terdahulu yang telah menguji pengaruh penganggaran partisipatif pada budgetary slack menyatakan hasil yang tidak konsisten antara lain, Schift dan Lewin (1970) meneliti pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack, objek penelitiannya adalah tiga divisi dari 100 perusahaan dengan menggunakan teknik analisis regresi linier sederhana. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh negatif pada budgetary slack. Onsi (1973) meneliti pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack, objek penelitiannya adalah 7 perusahaan manufaktur dengan 107 responden.
23
Teknik analisis yang digunakan regresi linier sederhana. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh negatif pada budgetary slack. Common (1976) meneliti pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack yang menyatakan bahwa anggaran partisipatif dapat mengurangi terjadinya budgetary slack. Penelitian ini didukung oleh penelitian Baiman (1982) yang meneliti
pengaruh
anggaran
partisipatif
pada
budgetary
slack
dengan
menggunakan teknik analisis regresi linier sederhana. Hasil penelitian menunjukan bahwa anggaran partisipatif cenderung mengurangi budgetary slack. Fitri (2007) meneliti tentang budgetary slack, anggaran partisipatif, asimetri informasi dan komitmen organisasi, dengan menggunakan teknik path analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh negatif tetapi signifikan pada budgetary slack melalui asimetri informasi dan komitmen organisasi. Anggaran partisipatif berpengaruh positif dan signifikan pada komitmen organisasi. Asimetri informasi, anggaran partisipatif dan komitmen organisasi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap budgetary slack. Asimetri informasi berpengaruh tidak signifikan terhadap budgetary slack. Asimetri informasi berpengaruh negatif dan signifikan pada anggaran partisipatif dan komitmen organisasi. Komitmen organisasi melalui asimetri informasi dan anggaran partisipatif berpengaruh negatif dan signifikan pada budgetary slack. Desmiyati (2009) meneliti tentang budgetary slack, anggaran partisipatif, komitmen organisasi. Responden penelitian ini adalah pejabat Eselon III dan Eselon IV di Pemda Kabupaten Indargiri Hulu, dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa anggaran
24
partisipatif berpengaruh negatif dan signifikan pada budgetary slack, interaksi anggaran partisipatif dan komitmen organisasi berpengaruh negatif dan signifikan pada budgetary slack. Supanto (2010) meneliti tentang budgetary slack, anggaran partisipatif, asimetri informasi, motivasi dan budaya organisasi. Teknik analisis menggunakan analisis regresi moderasi. Objek pada penelitian ini adalah Politeknik Negeri Semarang. Penelitian ini menunjukkan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh negatif dan signifikan pada budgetary slack, asimetri informasi dapat memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack, motivasi dan budaya organisasi tidak dapat memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack. Falikhatun (2007) meneliti tentang budgetary slack, anggaran partisipatif, asimetri
informasi,
budaya
organisasi,
dan
grup
cohesiveness
dengan
menggunakan analisis regresi moderasi, menunjukkan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh positif signifikan pada budgetary slack, asimetri informasi dan grup cohesiveness memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack budaya organisasi (employee oriented) tidak memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack. Penelitian ini ddukung oleh Lowe dan Shaw (1968), Young (1985), Lukka (1988), Dunk dan Perera (1997) menunjukkan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh positif pada budgetary slack. Sudarba (2010) meneliti tentang budgetary slack, anggaran partisipatif, komitmen organisasi dan ketidakpastian lingkungan dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggaran
25
partisipatif yang tinggi akan meningkatkan budgetary slack, komitmen organisasi dan ketidakpastian lingkungan berpengaruh signifikan pada budgetary slack. Andriyani dan Hidayati (2010) anggaran partisipatif berpengaruh positif pada budgetary slack, komitmen organisasi berpengaruh positif pada budgetary slack, kejelasan sasaran anggaran berpengaruh positif pada budgetary salck. Penelitian Reysa (2011) menunjukkan hasil bahwa anggaran partisipatif berpengaruh positif pada budgetary slack, asimetri informasi merupakan variabel yang memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack, budaya organisasi merupakan variabel yang memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack, grup cohesiveness merupakan variabel yang memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack. Sandrya (2013) meneliti tentang pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack dengan asimetri informasi, komitmen organisasi, budaya organisasi dan kapasitas individu sebagai variabel moderasi. Teknik analisis menggunakan analisis regresi moderasi. Hasil menunjukkan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh positif terhadap budgetary slack, interaksi anggaran partisipatif dengan asimetri informasi berpengaruh positif pada budgetary slack, interaksi anggaran partisipatif dengan komitmen organisasi berpengaruh negatif pada budgetary slack, interaksi anggaran partisipatif dengan budaya organisasi berpengaruh negatif pada budgetary slack, interaksi anggaran partisipatif dengan kapasitas individu berpengaruh positif pada budgetary slack. Penelitian ini didukung oleh Novia (2015) yang menunjukkan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh positif pada budgetary slack, dengan menggunakan asimetri
26
informasi, locus of control, self esteem dan kapasitas individu sebagai variabel moderasi.
asimetri
informasi
merupakan
variabel
yang
memoderasi
(memperlemah) pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack, variabel self esteem mampu memoderasi (memperlemah) pengaruh penganggaran partisipatif pada budgetary slack, variabel locus of
control mampu memoderasi
(memperlemah) pengaruh penganggaran partisipatif pada budgetary slack, variabel kapasitas individu mampu memoderasi (memperkuat) pengaruh penganggaran partisipatif pada budgetary slack. Ketidakkonsistenan hasil penelitian-penelitian terdahulu mendorong peneliti untuk menggunakan variabel kontijensi yang memoderasi hubungan antara anggaran partisipatif dan budgetary slack. Variabel kontijensi yang digunakan adalah komitmen organisasi, internal locus of control dan ketidakpastian lingkungan. Tujuannya adalah untuk mengetahui pengaruh variabel kontijensi dapat memperkuat atau memperlemah hubungan tersebut.