BAB II KAJIAN TEORI
2.1
Dasar Teori 2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory) Agency teory (teori keagenan) membahas mengenai perbedaan kepentingan yang dapat muncul antara principal dan agent (Putra Astika, 2010:64). Manajemen dapat dikatakan sebagai agent sedangkan pemegang saham bertindak sebagai principal. Seorang agent adalah orang yang sengaja dipekerjakan oleh principal dalam menjalankan usahanya. Sedangkan principal adalah orang yang mempekerjakan agent. Agent bertanggungjawab untuk memberikan informasi dalam bentuk laporan keuangan kepada principal. Namun disini terjadi perbedaan kepentingan antara agen dengan prinsipal yang masing-masing memiliki tujuan yang berbeda. Agen menginginkan agar laporan yang dihasilkan dapat memperoleh laba setinggi-tingginya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan bonus manajeman. Di pihak yang berbeda, prinsipal justru mengutamakan laporan keuangan yang lebih berorientasi pada keberlangsungan perusahaan. Perbedaan ini didukung dengan asimetri informasi yang terjadi diantara kedua belah pihak. Manajemen selaku agen yang secara langsung terjun untuk melakukan pekerjaan lapangan lebih banyak mengetahui tentang informasi mengenai perusahaan jika dibandingkan dengan principal. Disinilah diperlukan auditor yang independen sebagai pihak ketiga yang menengahi konflik yang terjadi antara manajemen dengan pemegang saham. Auditor independen mempunyai tanggung jawab utama dalam melaksanakan fungsi pengauditannya terhadap laporan keuangan yang diterbitkan oleh klien agar memiliki karakteristik reliabel dan relevance (Ade dan Made, 2015).
6
2.1.2 Auditing Auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataanpernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaiannya hasilhasilnya kepada pemakai yang berkepentingan (Mulyadi, 2009:9). Menurut Mulyadi (2009:9), auditing secara umum memiliki unsur-unsur penting yang dapat diuraikan sebagai berikut: (a) Suatu proses sistematik. Yaitu berupa suatu rangkaian langkah atau prosedur yang logis, bererangka, dan terorganisasi. Auditing dilaksanakan dengan suatu urutan langkah yang direncanakan, terorganisasi, dan bertujuan. (b) Untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif. Ditujukan untuk memperoleh bukti yang mendasari pernyataan yang dibuat oleh individu atau badan usaha, serta untuk mengevaluasi tanpa memihak atau berprasangka terhadap bukti-bukti tersebut. (c) Pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi. Yang dimaksud adalah hasil proses akuntansi. Proses akuntansi ini menghasilkan suatu pernyataan yang disajikan dalam laporan keuangan. (d) Menetapkan tingkat kesesuaian. Merupakan pengumpulan bukti mengenai pernyataan dan evaluasi terhadap hasil pengumpulan bukti, dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. (e) Kriteria yang telah ditetapkan. Standar yang dipakai sebagai dasar untuk menilai pernyataan.
7
(f) Penyampaian hasil. Penyampaian hasil auditing sering disebut dengan atestasi (attestation). Penyampaian hasil ini dilakukan secara tertulis dalam bentuk laporan audit (audit report). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa auditor merupakan orang yang sangat memegang peranan penting dalam aktivitas audit dan memiliki kemampuan dalam melaksanakan audit sesuai dengan standar profesionalnya.
2.1.3 Independensi Auditor Dalam melaksanakan pemeriksaan, akuntan publik memperoleh kepercayaan dari klien dan para pemakai laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh klien. Oleh karena itu, dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa harus bersikap independen terhadap kepentingan klien, para pemakai laporan keuangan, maupun terhadap kepentingan akuntan publik itu sendiri. Independensi didefinisikan dalam IESBA Code of Ethics for Professional Accountants sebagai berikut: (a) Independence of mind Hal-hal yang ada dalam benak (the state of mind) auditor yang memungkinkannya memberikan pendapat (opinion) tanpa dipengaruhi oleh halhal
yang
mengompromikan
(compromise)
kearifan
profesional
atau
professional judgement, dan dengan demikian orang dapat bertindak dengan integritas penuh, tidak berpihak, dan melaksanakan skeptisme profesional (professional skepticism).
8
(b) Independence in appearance Penghindaran fakta dan keadaan yang begitu signifikan yang bagi pihak ketiga yang layak dan mempunyai cukup informasi (reasonable and informed third party) akan menyimpulkan bahwa integrity, objectivity, atau professional skepticism dari anggota tim (assurance team) diragukan atau tercemar (Tuanakotta, T.M., 2014:xvi) Standar ini mengharuskan auditor bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan dalam hal ia berpraktik sebagai auditor intern). Dengan demikian, ia tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapa pun, sebab bagaimana pun sempurnanya keahlian teknis yang ia miliki, ia akan kehilangan sikap tidak memihak, yang justru sangat penting untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya. Penggunaan kata “Independensi” yang berdiri sendiri dapat menimbulkan kesalahpahaman yang dapat menyebabkan pengamat beranggapan bahwa seseorang yang menggunakan pertimbangan profesioanal harus bebas dari semua pengaruh hubungan ekonomi, hubungan keuangan, maupun hubungan lainnya. Namun demikian, kondisi seperti itu mustahil terjadi, karena setiap anggota masyarakat memiliki hubungan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, signifikasi setiap hubungan ekonomi, hubungan keuangan, maupun hubungan lainnya harus dievaluasi, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang menyebabkan pihak ketiga yang rasional dan memiliki pengetahuan mengenai semua informasi yang relevan menyimpulkan tidak dapat diterimanya hubungan tersebut (Jusup, 2014:138). Anggota tim assurance, KAP, atau Jaringan KAP harus menerapkan kerangka kerja konseptual sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Selain mengidentifikasi hubungan antara anggota tim assurance, pertimbangan mengenai ada tidaknya
9
ancaman terhadap independensi yang timbul dari hubungan antara pihak-pihak di luar tim assurance dengan klien assurance harus dilakukan juga. Sifat setiap ancaman terhadap independensi dan penerapan pencegahan yang tepat untuk menghilangkan ancaman tersebut atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima sangat beragam, tergantung dari karakteristik perikatan assurance, seperti perikatan audit laporan keuangan atau perikatan assurance selain perikatan audit laporan keuangan. Selain itu dalam perikatan assurance selain perikatan audit laporan keuangan, sifat ancaman terhadap independensi dan penerapan pencegahan yang tepat akan tergantung dari tujuan, informasi hal pokok, dan pengguna laporan keuangan yang dituju. Oleh karena itu, KAP atau jaringan KAP harus mengevaluasi setiap situasi, sifat perikatan assurance, dan ancaman terhadap independensi yang relevan. Ancaman-ancaman terhadap independensi dalam perikatan assurance yaitu; kepentingan keuangan, pinjaman dari penjaminan yang diberikan oleh klien assurance serta simpanan yang ditempatkan pada klien assurance, hubungan bisnis yang dekat dengan klien assurance, hubungan keluarga dan hubungan pribadi dengan klien assurance, personil KAP yang bergabung dengan klien assurance, personil klien assurance yang bergabung dengan KAP, rangkap jabatan personil KAP sebagai direktur atau pejabat klien assurance, keterkaitan yang cukup lama antara personil senior KAP dengan klien assurance, dan imbalan jasa profesional (Jusup, 2014:141). Independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan publik. Dalam menjalankan tugas auditnya, seorang auditor tidak hanya dituntut untuk memiliki keahlian saja, tetapi juga dituntut untuk bersikap independen. Walaupun seorang auditor mempunyai keahlian tinggi, tetapi dia tidak independen, maka pengguna laporan keuangan tidak yakin bahwa informasi yang disajikan itu bebas dari kata wajar.
10
Menurut Elisha dan Icuk (2010), jika seorang auditor bersikap independen, maka ia akan memberi penilaian yang senyatanya terhadap laporan keuangan yang diperiksa, tanpa memiliki beban apapun terhadap pihak manapun. Maka penilaiannya akan mencerminkan kondisi yang sebenarnya dari sebuah perusahaan yang diperiksa. Dengan demikian maka jaminan atas keandalan laporan yang diberikan oleh auditor tersebut dapat dipercaya oleh semua pihak yang berkepentingan. Berdasarkan pembahasan mengenai pentingnya independensi akuntan publik tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa independensi merupakan syarat penting bagi auditor dalam melaksanakan prosedur audit yang bertujuan untuk menilai kewajaran laporan keuangan. Selain itu akuntan publik juga dipercaya oleh pemakai laporan keuangan sebagai pihak independen untuk memberikan jaminan memadai mengenai laporan keuangan yang telah diauditnya
2.1.4 Kompetensi Auditor Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP, 2011) menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor, sedangkan standar umum ketiga (SA seksi 230 dalam SPAP, 2011) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalitasnya dengan cermat dan seksama (due professional care). Menurut Lilis Ardini (2010), kompetensi dapat diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman, kompetensi yang dapat meyakinkan bahwa kualitas jasa audit yang diberikan memenuhi tingkat profesionalisme tinggi. Dalam melaksanakan audit, auditor harus bertindak sebagai seseorang yang ahli di bidang akuntansi dan auditing. Kompetensi auditor bisa juga diukur melalui banyaknya ijazah/sertifikat yang
11
dimiliki serta jumlah/banyaknya keikutsertaan yang bersangkutan dalam pelatihanpelatihan, seminar, atau simposium. Semakin banyak sertifikat yang dimiliki dan semakin sering mengikuti pelatihan/seminar diharapkan auditor yang bersangkutan akan semakin cakap dalam melaksanakan audit (Sem Paulus, 2013). Kompetensi profesional dibagi menjadi dua fase yang terpisah (Mulyadi, 2009:58): (a) Pencapaian Kompetensi Profesional Pencapaian kompetensi profesional pada awalnya memerlukan standar pendidikan umum yang tinggi, diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan, ujian profesional dalam subyek-subyek yang relevan, dan pengalaman kerja. Hal ini harus menjadi pola pengembangan yang normal untuk auditor. (b) Pemeliharaan kompetensi profesional Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui komitmen untuk belajar dan melakukan peningkatan profesional secara berkesinambungan selama kehidupan profesional auditor. Pemeliharaan kompetensi profesional memerlukan kesadaran untuk terus mengikuti
perkembangan
profesi
akuntansi,
termasuk
diantaranya
pernyataan-pernyataan akuntansi, auditing, dan peraturan lainnya, baik nasional maupun internasional yang relevan. Auditor harus menerapkan suatu program yang dirancang untuk memastikan terdapat kendali mutu atas pelaksanaan jasa profesional yang konsisten dengan standar nasional dan internasional. Kompetensi menunjukkan terdapat pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang auditor untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam penugasan profesional melebihi
12
kompetensi, auditor wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap auditor bertanggungjawab untuk menentukan kompetensi masing-masing atau menilai apakah pendidikan, pengalaman, dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk tanggungjawab yang harus dipenuhinya (Mulyadi, 2009:58). Demikian pula auditor harus memiliki kompetensi di audit dan akuntansi, termasuk pelatihan yang memadai dan pengalaman dalam semua aspek pekerjaan seorang auditor. Lebih lanjut, saat ini profesi auditor juga telah melakukan peningkatan pada audit dan program pendidikan akuntansi profesional untuk auditor untuk memastikan bahwa mereka tetap mengikuti ide-ide terbaru dan teknik di bidang audit dan akuntansi. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan pengalaman yang cukup dapat melakukan audit secara obyektif, cermat dan seksama.
2.1.5 Skeptisisme Profesional Dalam pelaksanaan pemeriksaan serta penyusunan laporan hasil pemeriksaan, seorang auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama. Kemahiran profesional menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisme profesional. Auditor menggunakan pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dituntut oleh profesinya untuk melaksanakan pengumpulan bukti dan evaluasi obyektif mengenai kecukupan, kompetensi dan relevansi bukti. Karena bukti dikumpulkan dan dievaluasi selama pemeriksaan, skeptisme profesional harus digunakan selama pemeriksaan. Ini mengartikan bahwa seorang auditor harus memiliki sikap skeptisme
13
profesional dalam melakukan audit. Istilah “skeptisisme” berasal dari kata yunani skeptomai yang secara harfiah pertama-tama berarti “saya pikirkan dengan seksama” atau “saya lihat dengan teliti”, kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni “saya meragukan”. Para filsuf Yunani Kuno dibuat bertanya-tanya oleh adanya beberapa gejala pengalaman keindraan, seperti ilusi, mimpi, halusinasi yang kadang sulit dibedakan dari persepsi keindraan yang ”normal” terhadap benda-benda fisik. Pengalaman-pengalaman yang secara statistis tidak biasa seperti itu menimbulkan pertanyaan dalam benak mereka tentang keandalan persepsi indrawi dan dengan demikian memunculkan keraguan tentang pengalaman perceptual yang kebanyakan orang begitu juga mengandaikan kebenarannya (Luluk Masruroh 2010:05). (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2010) menyatakan skeptisme berasal dari kata skeptis yang memiliki arti kurang percaya atau bersikap ragu-ragu. Sedangkan SA Seksi 230, dalam SPAP, (2011) menyatakan bahwa skeptisisme profesional harus digunakan dalam proses pengumpulan dan penilaian bukti selama proses audit. Menurut Tuanakotta, T.M., (2014:321) skeptisisme profesional adalah kewajiban auditor untuk menggunakan dan mempertahankan skeptisisme profesional, sepanjang periode penugasan. Terutama kewaspadaan atas kemungkinan terjadinya kecurangan. Beberapa petunjuk mengenai kewaspadaan profesional dalam menghadapi kecurangan adalah: (a) Sadari, manajemen selalu bisa membuat kecurangan
Manajemen berada dalam posisi meniadakan (override) pengendalian intern yang baik.
Anggota tim audit harus mengesampingkan keyakinan/kepercayaan mereka bahwa manajemen dan TCWG jujur dan punya integritas,
14
sekalipun pengalaman dalam audit yang lalu menunjukkan mereka jujur dan punya integritas. (b) Sikap berpikir yang senantiasa mempertanyakan
Buat penilaian kritis (critical assessments) tentang sah atau validnya bukti audit yang diperoleh.
(c) Waspada
Apakah bukti audit bertentangan dengan atau mempertanyakan keandalan.
Dokumen dan tanggapan terhadap pernyataan auditor.
Semua informasi lain yang diperoleh dari manajemen/TCWG.
(d) Terapkan kehati-hatian
Jangan abaikan/sepelekan situasi aneh/luar biasa.
Jangan menggeneralisasi kesimpulan mengenai pengamatan audit.
Jangan menggunakan asumsi keliru dalam menentukan sifat, waktu pelaksanaan, dan luasnya prosedur audit, dan dalam mengevaluasi hasil/temuannya.
Jangan
terima
bukti
audit
yang
kurang
persuasif,
dengan
harapan/kepercayaan manajemen dan TCWG jujur dan punya integritas.
Jangan terima representasi dari manajemen sebuah subtitusi/pengganti dari bukti audit yang cukup dan tepat yang seharusnya diperoleh.
Menurut Ade dan Made (2015), rendahnya sikap skeptisme professional yang dimiliki akan mengurangi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan sehingga auditor tidak mampu memenuhi tuntutan untuk menghasilkan laporan yang berkualitas. Jika auditor mampu mendeteksi adanya temuan dan keadaan yang sesungguhnya dalam laporan keuangan klien maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin baik. Sikap skeptis yang harus dimiliki auditor tidak hanya dapat digunakan dalam
15
pelaksanaan audit dan penyusunan laporan, namun dalam melakukan pekerjaan lapangan serta untuk mendapatkan bukti audit kompeten yang cukup maka seorang auditor pun wajib untuk menjunjung skeptisme guna meningkatkan kualitas dari laporan yang dihasilkan. Berdasar uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa skeptisisme profesional auditor adalah sikap seorang auditor yang seimbang antara curiga dan percaya atas informasi yang didapatnya selama proses audit yang dilakukan.
2.1.6 Etika Auditor Dalam menjalankan pekerjaannya, seorang auditor dituntut untuk mematuhi etika profesi yang telah ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi persaingan diantara para akuntan yang menjurus pada sikap curang. Dengan diterapkannya etika profesi diharapkan seorang auditor dapat memberikan pendapat yang sesuai dengan laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan. Jadi semakin tinggi etika dijunjung oleh auditor, maka kualitas audit juga akan semakin baik. Ketidaktaatan auditor pada prosedur dalam Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) tidak hanya merugikan Kantor Akuntan Publik secara ekonomis, juga dapat mengurangi reputasi akuntan publik dimata masyarakat, dan menghilangkan kepercayaan kreditor dan investor dipasar modal (Ade dan Made, 2015). Herawaty dan Susanto, (2009) menyatakan bahwa etika profesi yang dimaksud adalah kode etika akuntan Indonesia, yaitu norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan publik dengan kliennya, antara akuntan publik dengan rekan sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat. Etika profesi terdiri dari lima dimensi yaitu kepribadian, kecakapan profesional, tangung jawab, pelaksanaan kode etik, penafsiran
16
dan penyempurnaan kode etik. Dalam menjalankan jasa profesionalnya auditor seharusnya berpedoman pada kode etik profesi akuntan publik sebagai aturan dasar dalam melaksanakan audit. Hal ini disebabkan karena penerapan kode etik profesi akuntan publik yang baik akan mempengaruhi kualitas audit yang dihasilkan (Ade dan Made, 2015). Setiap auditor wajib mematuhi prinsip dasar etika profesi (SA Seksi 100, dalam SPAP, 2011): (a) Prinsip integritas. Setiap auditor harus tegas dan jujur dalam menjalin hubungan profesional dan hubungan bisnis dalam melaksanakan pekerjaannya. (b) Prinsip objektivitas. Setiap auditor tidak boleh membiarkan subjektivitas, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak layak (undue influence) dari pihak-pihak lain memengaruhi pertimbangan profesional atau pertimbangan bisnisnya. (c) Prinsip kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional. Setiap auditor wajib memelihara pengetahuan dan keahlian profesionalnya pada suatu tingkatan yang dipersyaratkan secara berkesinambungan, sehingga klien dapat menerima jasa profesional yang diberikan secara kompeten berdasarkan pertimbangan terkini dalam praktik, perundang-undangan, dan metode pelaksanaan pekerjaan. Setiap auditor harus bertindak secara profesional dan sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku dalam memberikan jasa profesionalnya. (d) Prinsip kerahasiaan Setiap auditor wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari hubungan profesional dan hubungan bisnisnya, serta tidak boleh
17
mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari klien
atau
pemberi
kerja,
kecuali
jika
terdapat
kewajiban
untuk
mengungkapkan sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan lainnya yang berlaku. Informasi rahasia yang diperoleh dari hubungan profesional dan hubungan bisnis tidak boleh digunakan oleh auditor untuk kepentingan pribadinya atau pihak ketiga. (e) Prinsip perilaku profesional Setiap auditor wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku dan harus menghindari semua tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kepercayaan masyarakat akan profesionalisme seorang akuntan publik sangat tergantung dari kualitas jasa yang mereka berikan kepada masyarakat tersebut. Oleh sebab itu seorang akuntan profesional harus mentaati peraturan kode etiknya dalam setiap perilakunya karena hal tersebut dapat berpengaruh pada kualitas jasa yang diberikan.
2.1.7 Kualitas Audit Kualitas audit menurut Alim dkk (2007), yaitu sebagai probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Kualitas audit adalah sikap auditor dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam hasil pemeriksaan yang dapat diandalkan sesuai dengan standar yang berlaku (Elisha dan Icuk, 2010). Menurut Lauw, Elyzabet, dan Santy (2012) kualitas audit merupakan segala kemungkinan (probability) dimana auditor pada saat mengaudit laporan keuangan klien dapat menemukan pelanggaran yang terjadi dalam sistem akuntansi klien dan
18
melaporkannya dalam laporan keuangan auditan, dimana dalam melaksanakan tugasnya tersebut auditor berpedoman pada standar auditing dan kode etik akuntan publik yang relevan. Sehingga berdasarkan definisi di atas dapat terlihat bahwa auditor dituntut oleh pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk memberikan pendapat tentang kewajaran pelaporan keuangan yang disajikan oleh manajemen perusahaan. Tetapi dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen ingin operasi perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil, salah satunya tergambar melalui laba yang lebih tinggi dengan maksud untuk menciptakan penghargaan. Berdasarkan uraian di atas, audit memiliki fungsi sebagai proses untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan para pemegang saham dengan menggunakan pihak luar untuk memberikan pengesahan terhadap laporan keuangan. Para pengguna laporan keuangan terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada laporan yang telah dibuat oleh auditor. Hal ini berarti auditor mempunyai peranan penting dalam pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Oleh karena itu auditor harus menghasilkan audit yang berkualitas sehingga dapat mengurangi ketidakselarasan yang terjadi antara pihak manajemen dan pemegang saham.
2.2
Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian yang sebelumnya telah membahas mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kualitas audit. Penelitian Lilis Ardini (2010) dilakukan pada semua auditor yang ada di Surabaya yang tercatat di direktori IAI Surabaya. Penelitian ini menguji apakah ada hubungan antara kompetensi,
19
independensi, akuntabilitas, dan motivasi terhadap kualitas audit. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kompetensi, independensi, akuntabilitas dan motivasi secara bersama-sama berpengaruh terhadap kualitas audit adalah signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa naik turunnya kualitas audit dipengaruhi oleh tingkat kompetensi, independensi, akuntabilitas dan motivasi yang dimiliki oleh auditor. Penelitian yang dilakukan oleh Indira Januarti (2010) menguji hubungan antara moral reasoning dan skeptisisme profesional terhadap kualitas audit. Hasil penelitian menyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap kualitas audit dapat diterima. Hasil ini konsisten dengan statistik deskriptif yang mengindikasikan bahwa responden menunjukkan sikap skeptisisme yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Lauw, Elyzabet, dan Santy (2012) menguji tentang pengaruh kompetensi dan independensi auditor terhadap kualitas audit. Penelitian ini menggunakan kompetensi dari sudut auditor individual, hal ini dikarenakan auditor adalah subyek yang melakukan audit secara langsung dan berhubungan langsung dalam proses audit sehingga diperlukan kompetensi yang baik untuk menghasilkan audit yang berkualitas. Dari hasil penelitian yang mereka lakukan dapat diketahui bahwa kompetensi auditor berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit. Sedangkan independensi auditor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit. Tetapi secara keseluruhan kompetensi dan independensi memiliki pengaruh pada kualitas audit. Penelitian Ade Wisteri Sawitri Nandari dan Made Yenni Latrini (2015) meneliti hubungan antara pengaruh sikap skeptis, independensi, penerapan kode etik, dan akuntabilitas terhadap kualitas audit pada 43 auditor yang tersebar di Kantor Akuntan Publik wilayah Bali dan terdaftar pada Institut Akuntan Publik Indonesia.
20
Dari hasil penelitian, sikap skeptis tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit. Hal yang sama terjadi pada independensi auditor dan akuntabilitas juga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit. Sedangkan untuk kode etik berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas audit dengan tingkat signifikasi. Artinya semakin tinggi kode etik akuntan publik yang ditaati dan diterapkan maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin tinggi.
2.3
Pengaruh Antar Variabel dan Hipotesis 2.3.1 Independensi Auditor dan Kualitas Audit Standar Profesional Akuntan Publik
menekankan betapa esensialnya
kepentingan publik yang harus dilindungi sifat independensi dan kejujuran seorang auditor dalam berprofesi. Seluruh auditor harus independen terhadap klien ketika melaksanakan tugas. Selain itu, auditor harus mengambil keputusan yang konsisten dengan kepentingan publik dalam melakukan pemeriksaan. Dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya, auditor mungkin menghadapi tekanan dan atau konflik dari objek yang diperiksa, berbagai tingkat jabatan, dan pihak lainnya yang dapat mempengaruhi independensi auditor. Dalam menghadapi tekanan atau konflik tersebut, auditor harus profesional, berdasarkan fakta, dan tidak berpihak. Auditor harus bersikap jujur dan terbuka kepada entitas yang diperiksa dan para pengguna laporan hasil pemeriksaan. Oleh sebab itu, independensi diperlukan agar auditor dapat mengemukakan pendapat, simpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak kepada pihak mana pun. Alim dkk (2007) menemukan bahwa independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Auditor harus dapat mengumpulkan setiap informasi yang
21
dibutuhkan dalam pengambilan keputusan audit dimana hal tersebut harus didukung dengan sikap independen. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis yang dibangun adalah: H1: Independensi auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
2.3.2 Kompetensi Auditor dan Kualitas Audit Kompetensi
auditor
adalah
auditor
yang
dengan
pengetahuan
dan
pengalamannya yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama. Kompetensi yang dibutuhkan dalam melakukan audit yaitu pengetahuan dan kemampuan. Auditor harus memiliki pengetahuan untuk memahami entitas yang diaudit, kemudian auditor harus memiliki kemampuan untuk bekerja sama dalam tim serta kemampuan dalam menganalisa permasalahan. Dengan memiliki kompetensi atau keahlian dalam jasa profesionalnya, maka akan mempengaruhi kualitas audit yang dikerjakannya. Dalam penelitian yang dilakukan Lilis Ardini (2010) mengemukakan bahwa Kompetensi berpengaruh terhadap kualitas audit adalah signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa naik turunnya kualitas audit dipengaruhi oleh tingkat kompetensi yang dimiliki auditor. Berdasarkan penjelasan diatas maka hipotesis yang dibangun adalah: H2: Kompetensi auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
22
2.3.3 Skeptisisme Profesional dan Kualitas Audit Skeptisme professional adalah suatu sikap yang penuh dengan pertanyaan di dalam benaknya serta sikap penilaian kritis atas setiap bukti audit yang diperoleh. Sikap skeptisisme auditor diperlukan terutama untuk menjaga citra profesi akuntan publik. Skeptisisme profesional mewajibkan bahwa audit harus dirancang sedemikian rupa agar dapat memberikan keyakinan yang tinggi dan memadai untuk mendeteksi balik kekeliruan maupun kemungkinan terdapat kecurangan yang bersifat material dalam laporan keuangan (Sem Paulus, 2013). Indira Januarti dan Faisal (2010) menguji hubungan moral reasoning dan skeptisisme profesional auditor pemerintah terhadap kualitas audit laporan keuangan pemerintah daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara skeptisisme profesional dan kualitas audit. Berdasarkan uraian ringkas tersebut maka hipotesis yang akan dibangun adalah: H3: Skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
2.3.4 Etika Auditor dan Kualitas Audit Etika auditor merupakan ilmu tentang penilaian hal yang baik dan hal yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Profesional dalam etika profesi mengisyaratkan suatu kebanggaan, komitmen pada kualitas, dedikasi pada kepentingan klien dan keinginan tulus dalam membantu permasalahan yang dihadapi klien sehingga profesi tersebut dapat menjadi kepercayaan masyarakat. Guna meningkatkan kinerja auditor, maka auditor dituntut untuk selalu menjaga standar perilaku etis. Kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis berhubungan dengan adanya tuntutan masyarakat terhadap peran profesi akuntan, khususnya atas kinerja akuntan publik. Masyarakat sebagai pengguna jasa profesi
23
membutuhkan akuntan profesional. Maka dari itu diperlukan etika auditor yang sesuai dengan prinsip etika profesi dan kode etik untuk menunjang kinerja auditor. Apabila seorang auditor memiliki etika yang tidak baik, maka hal tersebut akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi auditor. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Annisa dan Abdul (2014) menunjukkan etika auditor berpengaruh terhadap kualitas audit. Untuk meningkatkan kualitas audit, auditor dituntut dapat menjunjung tinggi etika dan menjaga profesionalisme sesuai standar dan kode etik profesi. Berdasarkan penjelasan diatas maka hipotesis yang dibangun adalah: H4: Etika auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit.
2.4
Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Independensi Auditor
H1 (+)
Kompetensi Auditor
H2 (+)
Kualitas Audit Skeptisisme Profesional Etika Auditor
H3 (+)
H4 (+)
24