BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Teori Keagenan / Teori Agensi (Agency Theory) Martantya dan Daljono (2013) menyatakan bahwa teori keagenan (Agency
theory) mendasarkan hubungan antara principal atau pemegang saham dengan agent atau manajemen.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa
hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara satu atau lebih pemegang saham (principal) dengan pihak manajemen (agent) yang timbul pada saat pihak principal memberikan wewenang kepada manajer untuk memberikan jasanya dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan. Hubungan ini tercipta atas dasar saling membutuhkan antara kedua belah pihak untuk memenuhi peran serta kepentingan yang berbeda-beda. Teori keagenan menunjukkan bahwa pemisahan antara manajemen perusahaan dan hubungan pemilik kepada manajer merupakan hal yang penting untuk dilakukan.
Pemisahan ini bertujuan untuk menciptakan efisiensi dan
efektivitas dengan menyewa pihak yang professional untuk mengelola perusahaan,
tetapi
pemisahan
ini
ternyata
menimbulkan
permasalahan.
Permasalahan muncul ketika terjadi ketidaksamaan tujuan antara Prinsipal dan Agen. Eisenhardt (1989) mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia memiliki tiga sifat dasar yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi
19
masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic (lebih mengutamakan kepentingan pribadinya dibandingkan dengan kepentingan pemilik).
Agen akan berusaha
mencari keuntungannya sendiri untuk mendapatkan bonus dari perusahaan dengan berbagai cara termasuk memanipulasi angka-angka di dalam laporan keuangan. Adanya perbedaan kepentingan (conflict of interest) antara antara pihak pemilik (principals) dan manajemen (Agent) mengakibatkan kedua belah pihak yang saling bertentangan ini berperilaku sesuai dengan kepentingannya masingmasing yakni untuk memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Pihak Prinsipal termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya sendiri dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Mereka menginginkan laba yang tinggi dari perusahaan agar investasi yang telah ditanamkan cepat kembali karena semakin tinggi laba, maka harga saham akan semakin tinggi dan semakin besar pula deviden yang akan diterimanya. Di sisi lain, pihak Agen pun memiliki kepentingan sendiri yakni untuk mendapatkan kompensasi/bonus/insentif/remunerasi yang besar atas kinerjanya. Mereka termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Prestasi Agen dinilai berdasarkan kemampuannya memperoleh laba yang besar untuk dialokasikan pada pembagian deviden. Semakin tinggi laba, maka harga saham dan deviden pun akan turut meningkat, dan Agen pun akan dianggap berhasil/berkinerja baik sehingga layak mendapat insentif yang tinggi.
20
Namun, apabila tidak ada pengawasan yang memadai, sang Agen dapat memainkan beberapa kondisi perusahan agar seolah-olah target tercapai demi memenuhi tuntutan Prinsipal agar mendapatkan kompensasi yang tinggi. Permainan tersebut bisa terjadi atas prakarsa dari Prinsipal ataupun inisiatif dari Agen sendiri. Maka terjadilah Creative Accounting yang menyalahi aturan, misal: adanya piutang yang tidak mungkin tertagih yang tidak dihapuskan; Kapitalisasi expense yang tidak semestinya; Pengakuan penjualan yang tidak semestinya;
yang kesemuanya berdampak pada besarnya nilai aktiva dalam
Laporan Posisi Keuangan yang “mempercantik” laporan keuangan walaupun bukan nilai yang sebenarnya. Bisa juga dengan melakukan income smoothing (membagi keuntungan ke periode lain) agar setiap tahun kelihatan perusahaan meraih keuntungan, padahal kenyataannya merugi atau laba turun. Perbedaan “kepentingan ekonomis” di antara pihak Agen dan Prinsipal inilah yang mendorong terjadinya kesenjangan informasi (asymmetrical information) di antara kedua belah pihak tersebut.
Kesenjangan informasi
merupakan perbedaan informasi yang dimiliki oleh Agen dan Prinsipal karena informasi tersebut tidak terdistribusi dengan merata. Agen memiliki informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan lebih banyak dibandingkan Prinsipal. Hal ini timbul sebagai akibat dari tidak mungkinnya Prinsipal untuk mengamati secara langsung segala usaha yang dilakukan oleh Agen. Hal ini yang menimbulkan kesempatan bagi Agen untuk melakukan kecurangan. Asymmetrical information terdiri dari dua tipe, yang pertama adalah adverse selection. Pada tipe ini, pihak yang merasa memiliki informasi lebih
21
sedikit dibandingkan pihak lain tidak akan mau untuk melakukan perjanjian, dia akan membatasi dengan kondisi yang sangat ketat dan biaya yang sangat tinggi. Tipe yang kedua adalah moral hazard. Moral hazard ini terjadi pada saat Agen melakukan suatu tindakan tanpa sepengetahuan pemilik demi keuntungan pribadinya dimana tindakan tersebut sekaligus mengakibatkan turunnya kesejahteraan pemilik. Konflik kepentingan antara Agen dengan Prinsipal terjadi karena kemungkinan Agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan Prinsipal, sehingga memicu munculnya biaya keagenan (Agency cost). Masalah keagenan potensial terjadi apabila bagian kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari seratus persen (Masdupi, 2005). Dengan proporsi kepemilikan yang hanya sebagian dari perusahaan cenderung bertindak untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk memaksimumkan perusahaan.
Inilah yang nantinya akan
menyebabkan biaya keagenan (Agency cost). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan Agency cost sebagai jumlah dari biaya yang dikeluarkan Prinsipal untuk melakukan pengawasan Agen. Hampir mustahil bagi perusahaan untuk memiliki zero Agency cost dalam rangka menjamin manajer akan mengambil keputusan yang optimal dari pandangan stakeholders karena adanya perbedaan kepentingan yang besar antara mereka. Biaya keagenan ini merupakan bentuk paling mendasar sebagai indikator terjadinya masalah keagenan, baik kaitannya dengan (1) biaya pemantuan (monitoring cost), (2) biaya perikatan (bounding cost), (3) kerugian residual (residual cost) sebagai pengurang kekayaan Prinsipal.
22
2.2
Fraud 2.2.1
Konsep Fraud Fraud atau kecurangan berasal dari kata “curang” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti tidak jujur, tidak lurus hati, tidak adil. Sedangkan menurut Albrecht et al. (2011), fraud is a generic term, and embraces all the multivarious means which human ingenuity can devise, which are resorted to by one individual, to get an advantage over another by false representations. No definite and invariable rule can be laid down as a general proposition in defining Fraud, as it includes surprise, trickery, cunning and unfair ways by which another is cheated.The only boundaries defining it are those which limit human knavery. Artinya, Fraud merupakan hal yang bersifat umum dan memiliki banyak makna, yang terjadi karena kecerdikan manusia dan ditujukan untuk satu pihak untuk memperoleh keuntungan lebih dengan penyajian yang salah. Tidak ada aturan khusus yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengartikan Fraud yang terdiri dari kejutan, kecurangan, kelicikan dan cara yang tidak wajar yang digunakan sebagai cara untuk menipu orang lain. Satu-satunya cara untuk menjelaskannya adalah bahwa Fraud adalah hal yang merusak moral manusia. Menurut Black Law Dictionary dalam Rahmanti (2013), definisi fraud adalah : 1. A knowing misrepresentation of the truth or concealment of a material fact to induce another to act to his or her detriment; is usual a tort, but in some cases (esp. when the conduct is willful) it may be a crime, 2. A misrepresentation made recklessly without belief in its truth to induce another person to act, 3. A
23
tort arising from knowing misrepresentation, concealment of material fact, or reckless misrepresentation made to induce another to act to his or her detriment. Kutipan diatas dapat diterjemahkan, kecurangan adalah : 1. kesengajaan atas salah pernyataan terhadap suatu kebenaran atau keadaan yang disembunyikan dari sebuah fakta material yang dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan atau tindakan yang merugikannya, biasanya merupakan kesalahan namun dalam beberapa
kasus
(khususnya
dilakukan
memungkinkan merupakan suatu kejahatan; salah/keliru
(salah
pernyataan)
yang
secara
disengaja)
2. penyajian yang
secara
ceroboh/tanpa
perhitungan dan tanpa dapat dipercaya kebenarannya berakibat dapat mempengaruhi atau menyebabkan orang lain bertindak atau berbuat; 3. suatu kerugian yang timbul sebagai akibat diketahui keterangan atau penyajian yang salah (salah pernyataan), penyembunyian fakta material, atau penyajian yang ceroboh/tanpa perhitungan yang mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau bertindak yang merugikannya. Kecurangan atau perbuatan curang hanyalah salah satu dari berbagai tindak pidana.
Biasanya kecurangan mencakup tiga
langkah yaitu:ku (1) tindakan/ the act, (2) Penyembunyian/ the concealment dan (3) konversi/ the conversion. Kecurangan terjadi karena lemahnya sistem pengendalian internal pada entitas tersebut
24
dan adanya kekuasaan serta kesempatan untuk dapat melakukan tindak kecurangan. Albrecht et al., (2011) mengungkapkan bahwa Fraud merupakan kecurangan yang terdiri dari beberapa elemen penting, yaitu : 1. penyajian (a representation), 2. menyangkut hal-hal yang material (about a material point), 3. yang tidak benar/salah (which is false), 4. dan yang dilakukan dengan sengaja atau ceroboh (and intentionally or recklessly so), 5. yang dipercayai (which is believed), 6. dan dilakukan pada korban (and acted upon by the victim), 7. untuk kerugian korbannya (to the victim’s damage).
Menurut Rahmanti (2013) secara umum, unsur-unsur dari kecurangan adalah: 1. terdapat salah pernyataan (misrepresentation); 2. dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present); 3. fakta bersifat material (material fact); 4. dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (makeknowingly or recklessly); 5. dengan maksud (intent) untuk menyebabkan suatu pihak beraksi;
25
6. pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan tersebut (misrepresentation); 7. yang merugikannya (detriment).
2.2.2
Klasifikasi Fraud The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi professional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat. ACFE, Asosiasi yang bertujuan untuk memberantas kecurangan, menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini menggambarkan cabangcabang dari fraud dalam bentuk skema hubungan kerja, beserta ranting dan anak rantingnya.
26
Sumber : Association of Certified Fraud Examiners (2014) Gambar 2.1 Fraud Tree
27
Sistem Klasifikasi Mengenai Hal-hal yang Ditimbulkan Sama Oleh Kecurangan (Uniform Occupational Fraud Classification System), mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi berdasarkan perbuatan sebagai berikut: 1. Korupsi (Corruption) Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut ACFE, bukannya pengertian korupsi menurut UU Pemberantasan TPK di Indonesia. Korupsi merupakan jenis fraud yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan kolusi. Jenis fraud ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisme).
Menurut
ACFE, korupsi terbagi ke dalam penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion) atau dikenal sebagai pungutan liar atau upeti. Untuk mengungkap korupsi, auditor seharusnya memiliki keterampilan dan pengalaman melakukan investigasi sebab porsi teknik investigasi dalam mengungkap korupsi lebih dominan daripada auditing.
28
2. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation) Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan, penggelapan atau pencurian aset atau harta perusahaan, skimming (pencurian uang lewat peng-capture-an nomor rekening orang lain) oleh pihak di dalam dan/atau pihak lain di luar perusahaan. Jenis fraud ini merupakan fraud yang paling umum dan paling mudah dideteksi karena sifatnya yang berwujud (tangible) atau dapat diukur dan dihitung (defined value).
Asset Misapproproation
seringkali diidentikkan sebagai employee fraud atau fraud yang dilakukan
oleh
pegawai
sebab
mayoritas
pelaku
Asset
Missapropriation memang berada pada tingkat atau kedudukan sebagai pegawai.
Ada beberapa teknik yang bisa digunakan
untuk mendeteksi penyimpangan atas aset ini.
Pengungkapan
Asset Misappropriation dilakukan dengan mengkombinasikan teknik auditing dengan teknik investigasi.
Namun, pemahaman
yang baik mengenai pengendalian internal dalam pos-pos adalah teknik terbaik untuk mendeteksi kecurangan tipe ini. 3. Pelaporan yang yang dibuat salah/Kecurangan dalam Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud) Financial statement fraud meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) atau
29
mempercantik penyajian laporan keuangan untuk memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi mereka terkait dengan kedudukan dan tanggung jawabnya.
Fraud jenis ini ditandai
dengan kesengajaan untuk membuat laporan keuangan menjadi salah saji atau kesalahan jumlah dalam pengungkapan pelaporan keuangan, dengan maksud menipu pengguna laporan keuangan. Lebih khusus, kecurangan dalam laporan melibatkan manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang dipergunakan untuk pembuatan suatu laporan keuangan.
Selain bentuk tersebut, penyalahgunaan prinsip
akuntansi yang disengaja untuk memanipulasi hasil juga termasuk kecurangan.
Fraudulent Statement seringkali diidentikkan
sebagai management fraud atau fraud yang dilakukan oleh manajemen sebab mayoritas pelaku memang berada pada tingkat atau kedudukan di lini manajerial (pejabat atau eksekutif dan manajer senior).
Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau
kecurangan non finansial. ACFE menekankan bahwa pelaporan yang dibuat salah atau menipu bukan hanya pelaporan keuangan sehingga pelaporan kinerja operasional, permohonan kredit, prospektus atau pernyataan publik (press release) yang dibuat untuk mengelabui orang lain guna memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi juga termasuk fraudulent statement.
30
Menurut studi yang dilakukan oleh ACFE dalam Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse (2014), diantara ketiga cabang tersebut, asset misappropriation berada pada posisi pertama dengan jumlah kasus 86,3% di tahun 2010; 86,7% di tahun 2012; dan 85,4% di tahun 2014. Namun dengan median kerugian terendah yakni $135,000 di tahun 2010; $120,000 di tahun 2012; dan $130,000 di tahun 2014. Sementara corruption menduduki posisi kedua dengan jumlah kasus 32,8% di tahun 2010; 33,4% di tahun 2012; dan 36,8% di tahun 2014 dengan median kerugian $250,000 di tahun 2010; $250,000 di tahun 2012; dan $200,000 di tahun 2014. Financial statement fraud berada pada posisi terakhir dengan jumlah kasus terendah yakni 4,8% di tahun 2010; 7,6% di tahun 2012; dan 9,0% di tahun 2014. Namun dengan median kerugian tertinggi yakni $ 4,1 juta di tahun 2010; $1 juta di tahun 2012; dan $1 juta di tahun 2014. Selaras dengan studi yang dilakukan oleh ACFE sebelumnya, menurut studi yang dilakukan oleh ACFE dikutip dalam Wind (2014), juga disampaikan bahwa kecurangan dalam laporan keuangan, jika dibandingkan dengan bentuk kecurangan lain yang dilakukan karyawan perusahaan, biasanya memiliki dampak kerugian aset yang lebih tinggi pada perusahaan yang menjadi korban. Selain itu juga akan membawa dampak negatif bagi pemegang saham dan investasi secara umum. Menurut Hutomo (2012), ada empat jenis atau kategori fraud yang paling sering menimpa perusahaan perusahaan kecil maupun besar di
31
dunia. Yang pertama adalah pencurian data (data fraud) para pelaku pencurian data biasanya mengarah ke data-data yang lebih bersifat sensitif, misalnya data yang terkait dengan kartu kredit pelanggan. Kedua adalah penggelapan (embezzlement) ini terjadi ketika para pelaku penggelapan (biasanya pegawai) dengan sengaja menjadikan perusahaan tempatnya bekerja sebagai sasaran untuk maksud memperkaya diri sendiri.
Ketiga adalah penipuan atas jasa perbankan online (online
banking), bank untuk semua skala rentan mengalami penipuan. Keempat adalah penipuan atau penggelapan atas cek, hal ini terjadi ketika para pelaku memanipulasi cek untuk mencuri dana dari rekening perusahaan. Menurut Albrecth dan Albrecth (2003, 8) dikutip oleh Nguyen (2008), fraud diklasifikasikan menjadi lima jenis: Tabel 2.1 Jenis-jenis Fraud No. Jenis Fraud 1. Embezzlement employee atau occupational fraud
2.
Management fraud
Korban Pimpinan
Pelaku Karyawan
Pemegang saham, pemberi pinjaman dan pihak lain yang mengandalkan laporan keuangan
Manajemen Puncak
Penjelasan Karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung melakukan kecurangan pada pimpinannya. Manajemen puncak menyediakan penyajian yang keliru, biasanya pada informasi keuangan.
32
3.
Investment scams
4.
Vendor fraud
Investor
Individu
Organisasi atau perusahaan yang membeli barang atau jasa
Organisasi atau perorangan yang menjual barang atau jasa
Individu yang menipu investor menanamkan uangnya dalam investasi yang salah.
Organisasi yang memasang harga terlalu tinggi untuk barang dan jasa atau tidak adanya pengiriman barang walaupun pembayaran telah dilakukan. 5. Customer fraud Organisasi yang Pelanggan Pelanggan menipu menjual barang penjual agar atau jasa mereka mendapatkan sesuatu yang lebih dari seharusnya. Sumber: Albrecht dan Albrecth (2003, 8) dalam Nguyen (2008) 2.2.3
Faktor Pemicu Fraud Setelah dikaji, terdapat empat (4) faktor pendorong seseorang untuk melakukan fraud yang disebut dengan teori GONE, dikemukakan dalam Sihombing (2014), yaitu : 1.
Greed (keserakahan)
2.
Opportunity (kesempatan)
3.
Need (kebutuhan)
4.
Exposure (pengungkapan) Faktor greed dan need merupakan faktor intern (individu)
yang berhubungan dengan individu pelaku fraud, sedangkan faktor
33
Opportunity dan exposure merupakan faktor generik (umum) yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban dari perbuatan fraud. 1.
Faktor Generik Kesempatan untuk melakukan fraud selalu ada pada setiap kedudukan.
Risiko
terjadinya
fraud bergantung pada
kedudukan pelaku dengan objek fraud.
Secara umum,
manajemen perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan fraud daripada karyawan. 2.
Faktor Individu Faktor ini melekat dalam diri seseorang dan terdiri dari kebutuhan (need), dan keserakahan (greed). Kebutuhan (need) yang sifatnya mendesak,
terkadang membuat manusia rela
melakukan segala cara untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, sedangkan keserakahan (greed) membuat manusia bernafsu untuk memperoleh lebih dari apa yang sudah dimilikinya dengan cara yang ilegal dan tidak benar.
2.2.4 Pelaku Fraud Fraud dapat terdiri dari berbagai bentuk kejahatan atau tindak pidana. Dahulu, kecurangan banyak dilakukan oleh orangorang kelas pekerja atau yang sering disebut kejahatan kerah biru (blue collar crime). Kecurangan jenis ini berjumlah tidak terlalu
34
besar dan sangat mudah diidentifikasi. Seiring berjalannya waktu, ternyata kecurangan juga menjadi hobi bagi kalangan atas, dengan kerugian yang lebih besar dan sulit diidentifikasi. Kejahatan kelas atas ini umum disebut dengan kejahatan kerah putih (white collar crime). Kejahatan kerah putih menurut Rezaee (2002) antara lain terdiri dari pencurian, penggelapan asset, penggelapan informasi, penggelapan kewajiban, penghilangan atau penyembunyian fakta, rekayasa fakta termasuk korupsi.
2.3
Teori Fraud Triangle Teori Fraud Triangle yang dicetuskan oleh Cressey (1953) diperkenalkan
dalam literatur pofesioanal pada SAS No. 99, Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit, menggantikan SAS No. 82. Menurut teori ini, kondisi yang umumnya hadir pada saat fraud terjadi yaitu tekanan atau pressure, kesempatan atau opportunity, dan rasionalisasi atau rationalization. Fraud triangle biasanya digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai risiko kecurangan. SAS No. 99 mengharuskan auditor untuk menerapkan prosedur baru yang bertujuan untuk mengetahui lingkungan perusahaan dan untuk mengevaluasi jumlah luas informasi baru dalam upaya untuk mengidentifikasi fakta dan keadaan yang mengindikasikan adanya tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi (Skousen et al., 2008).
35
2.3.1 Konsep Fraud Triangle Fraud
Triangle
merupakan
konsep
pencegahan
dan
pendeteksian fraud yang dicetuskan oleh Donald R. Cressey pada tahun 1953 dan disebut juga Cressey’s Theory. Konsep dari fraud triangle ini diperkenalkan dalam literatur profesional pada Statement of Auditing Standard (SAS 99), Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit, diprakarsai penelitian Cressey yang berjudul Other People’s Money; A Study in the Social Psychology of Emblezzment.
Penelitian Cressey ini secara umum menjelaskan
alasan mengapa orang-orang melakukan fraud. Melalui serangkaian wawancara dengan 113 orang yang telah di hukum karena melakukan penggelapan uang perusahaan, yang disebutnya “trust violators” atau “pelanggar kepercayaan”. Cressey (1953) dalam Gagola (2011) menyimpulkan bahwa : Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika ia melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain, sadar bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasinya dengan menyalahgunakan kewenangannya sebagai pemegang kepercayaan di bidang keuangan, dan tindak-tanduk sehari-hari memungkinkannya menyesuaikan pandangan mengenai dirinya sebagai seseorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana atau kekayaan yang dipercayakan. Cressey menyimpulkan terdapat 3 kondisi yang selalu hadir dalam kegiatan kecurangan perusahaan yakni tekanan atau pressure, kesempatan atau opportunity, dan rasionalisasi atau rationalization.
36
2.3.2 Elemen Fraud Triangle Fraud triangle menjelaskan terdapat tiga faktor yang hadir dalam setiap situasi fraud: 1. Tekanan (Pressure) Tekanan (Pressure) adalah insentif/dorongan/kebutuhan yang mendorong orang untuk melakukan fraud. Menurut Wind (2014), tekanan datang dari harapan yang tidak realistis dari investor, bank, atau sumber keuangan lainnya. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal, baik yang bersifat finansial maupun non finansial. Tekanan yang bersifat finansial muncul karena adanya tuntutan gaya hidup, tuntutan ekonomi, perilaku gambling. Sedangkan tekanan yang bersifat non finansial muncul karena adanya dorongan untuk menutupi kinerja yang buruk sementara tuntutan pekerjaan adalah untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Menurut SAS No. 99, terdapat empat jenis kondisi yang umum terjadi pada pressure yang dapat mengakibatkan kecurangan. Kondisi tersebut adalah financial stability, external pressure, personal financial need, dan financial targets. 2. Kesempatan (Opportunity) Kesempatan (Opportunity) adalah situasi yang memungkinkan terjadinya fraud. Kesempatan untuk melakukan fraud muncul karena para pelaku fraud (fraudster) percaya bahwa aktivitas
37
mereka tidak akan terdeteksi. Bahkan jika aksinya diketahui, maka tidak ada tindakan serius yang akan diambil (impunitas). Kesempatan dapat terjadi karena pengendalian internal yang tidak ada atau lemah, manajemen pengawasan yang kurang baik, dan atau penyalahgunaan posisi atau otoritas. Kegagalan untuk menetapkan prosedur yang memadai untuk mendeteksi aktivitas fraud juga meningkatkan kesempatan terjadinya kecurangan. Ketiga elemen fraud triangle, opportunity memerlukan pengawasan struktur organisasi mulai dari atas. Organisasi harus membangun adanya proses, prosedur dan pengendalian yang bermanfaat dan menempatkan karyawan dalam posisi tertentu agar mereka tidak dapat melakukan kecurangan dan efektif dalam mendeteksi kecurangan seperti yang dinyatakan dalam SAS No. 99. Dengan demikian, kesempatan melakukan fraud dapat diminimalisir dan fraud dapat terdeteksi sedini mungkin. Menurut SAS No. 99, terdapat tiga jenis kondisi yang umum terjadi pada opportunity yang dapat mengakibatkan kecurangan, yaitu Nature of Industry, Ineffective Monitoring, dan Organizational Structure. 3. Rasionalisasi (Rationalization) Rasionalisasi (Rationaization) merupakan pembenaran atas perbuatan/tindakan yang dilakukan. Rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur (Skousen et
38
al., 2008). Sikap atau karakter adalah apa yang menyebabkan satu atau lebih individu untuk secara rasional melakukan fraud. Para pelaku fraud biasanya mencari berbagai alasan secara rasional untuk menjustifikasi tindakan mereka. Rasionalisasi bisa sangat sederhana, bahkan untuk kejahatan keuangan yang kompleks. Rasionalisasi atau sikap (attitude) yang paling banyak digunakan adalah meminjam (borrowing) aset yang dicuri dengan alasan bahwa tindakannya dilakukan untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya (Rini, 2012).
2.4 Fraudulent Financial Reporting 2.4.1 Konsep Fraudulent Financial Reporting National Commission on Fraudulent Financial Reporting (1987) mendefinisikan kecurangan pelaporan keuangan sebagai perilaku yang disengaja atau ceroboh, baik berupa tindakan atau kelalaian, yang menghasilkan laporan keuangan yang secara material menyesatkan (bias).
Pernyataan diatas sejalan dengan pendapat
Tuanakotta (2010) yang mengatakan bahwa kecurangan dalam pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting) diartikan sebagai kesengajaan atau kecerobohan dalam melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, yang menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan secara material. Kecurangan pelaporan keuangan dapat melibatkan banyak
39
faktor dan dalam berbagai bentuk.
Ini mungkin memerlukan
penyimpangan/distorsi kotor yang disengaja atas catatan perusahaan, seperti kartu jumlah persediaan atau pemasuan transaksi, seperti penjualan atau pesanan fiktif. Karyawan perusahaan pada tingkat manapun mungkin terlibat, dari manajemen tingkat atas, menengah sampai bawah. Jika perilaku tersebut disengaja, atau begitu ceroboh itu sama dengan perilaku yang disengaja secara hukum, dan hasil kecurangan laporan keuangan tercakup dalam definisi operasional Komisi dalam bentuk kecurangan pelaporan keuangan Menurut National Commission on Fraudulent Financial Reporting (1987), Kecurangan pelaporan keuangan (FFR) berbeda dengan penyebab lain dari laporan keuangan yang secara material menyesatkan, seperti kesalahan yang tidak disengaja. Komisi ini juga membedakan kecurangan pelaporan keuangan dari kejanggalan perusahaan lainnya, seperti penggelapan karyawan, pelanggaran peraturan keamanan lingkungan atau produk, dan kecurangan pajak, yang tidak selalu menyebabkan laporan keuangan menjadi tidak akurat secara material. ACFE (2008) dalam National Commission on Fraudulent Financial
Reporting
(1987)
mendefinisikan
FFR
sebagai
penghilangan fakta material atau data akuntansi atau salah saji yang sengaja dilakukan dengan hati-hati, untuk menyesatkan dan, bila dipertimbangkan dengan semua informasi yang tersedia, akan
40
menyebabkan pembaca mengubah penilaiannya dalam membuat keputusan, biasanya berkaitan dengan investasi. Definisi ini penting karena ACFE menekankan pada proses pengambilan keputusan investor yang bergantung pada laporan keuangan yang disediakan. Dalam prakteknya, penipuan keuangan terutama terdiri dari memalsukan
laporan
keuangan
yang
mencakup
unsur-unsur
manipulasi yang melebih-lebihkan aset, penjualan dan laba, atau mengecilkan kewajiban, biaya, atau kerugian. (Dalnial, 2014). Dalam Statement on Auditing Standards (SAS) No.99 (AU Section 316), yang berjudul Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit, yang diterbitkan oleh Auditing Standard Board (ASB) dibawah naungan American Institute of Public Accountant (AICPA) pada Oktober 2002, fraudulent financial reporting merupakan salah satu dari dua jenis kesengajaan penyalahsajian yang relevan dengan audit atas laporan keuangan dan pertimbangan auditor atas terjadinya fraud. Fraudulent financial reporting diartikan sebagai saji yang timbul dari kecurangan pelaporan keuangan adalah salah saji yang disengaja atau kelalaian dalam jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang didesain untuk untuk menipu pengguna laporan keuangan di mana efeknya menyebabkan laporan keuangan tidak disajikan, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP).
41
2.4.2 Faktor Pemicu Fraudulent Financial Reporting Menurut SAS No. 99, terdapat tiga hal penyebab kecurangan pelaporan keuangan, yaitu: a. manipulasi, falsifikasi/pemalsuan, atau alterasi/perubahan atas catatan akuntansi dan dokumen pendukung dari laporan keuangan yang disusun, b. kesalahan penyajian (misrepresentation) atau kelalaian yang disengaja dalam peristiwa, transaksi, atau informasi penting lainnya yang signifikan terhadap laporan keuangan, c. melakukan secara sengaja salah penerapan (misapplication) prinsip-prinsip akuntansi yang berhubungan dengan jumlah, klasifikasi, penyajian, dan pengungkapan. Penyebab FFR menurut Darmawati & Mediaty (2014) adalah 1) keserakahan, dalam kasus Enron dan banyak kasus di Indonesia. 2) adanya tekanan yang dirasakan oleh manajemen untuk menunjukkan prestasi.
Misalnya ketika perusahaan mengalami
penurunan pangsa pasar dan sudah terlanjur berjanji di awal tahun mengenai sasaran Earning per share (EPS) tentu saja akan berusaha berada pada janjinya itu walaupun dengan jalan fraudulent financial reporting. Studi yang dilakukan National Commission on Fraudulent Financial Reporting (1987), menyatakan bahwa FFR umumnya terjadi sebagai hasil dari tekanan lingkungan, institusi, atau individu
42
dan kesempatan.
Adanya tekanan dan kesempatan menambah
tekanan dan insentif yang mendorong individu dan perusahaan untuk melakukan FFR dan hadir pada berbagai level perusahaan.
Jika
campuran dari tekanan dan kesempatan hadir, FFR dapat terjadi. Insentif untuk melakukan FFR dalam meningkatkan tampilan keuangan
perusahaan
umumnya
adalah
keinginan
untuk
mendapatkan harga saham atau penawaran hutang yang lebih tinggi atau untuk memenuhi harapan investor.
Insentif lain mungkin
keinginan untuk menunda berurusan dengan kesulitan keuangan dan dengan demikian menghindari, misalnya, melanggar perjanjian hutang ketat.
Kali lain insentif adalah keuntungan pribadi:
kompensasi tambahan, promosi, atau melarikan diri dari hukuman untuk kinerja yang buruk. Tekanan situasional pada perusahaan atau manajer individual juga dapat menyebabkan FFR. Contoh dari tekanan situasional ini meliputi: •
pendapatan
atau
pangsa
pasar
mengalami
penurunan
mendadak. Sebuah perusahaan tunggal atau seluruh industri dapat mengalami penurunan ini, •
tekanan anggaran yang tidak realistis, terutama untuk hasil jangka pendek.
Tekanan ini dapat terjadi ketika pimpinan
sewenang-wenang menentukan target dan anggaran laba tanpa memperhitungkan kondisi yang sebenarnya,
43
•
tekanan keuangan yang dihasilkan dari rencana bonus yang bergantung pada kinerja ekonomi jangka pendek. Tekanan ini sangat akut ketika bonus adalah komponen yang signifikan dari jumlah kompensasi individu. Kesempatan untuk FFR hadir saat kecurangan lebih mudah
untuk dilakukan dan kemungkinan dideteksi kurang. Kesempatan tersebut sering muncul dari: •
tidak adanya dewan direksi atau komite audit yang waspada mengawasi proses pelaporan keuangan;
•
pengendalian akuntansi internal yang lemah atau tidak ada. Situasi ini dapat terjadi, misalnya, ketika sistem pendapatan perusahaan kelebihan beban dari ekspansi yang cepat dari penjualan, akuisisi divisi baru, atau masuk ke dalam lini bisnis baru yang asing;
•
transaksi yang tidak biasa atau kompleks.
Contohnya
termasuk konsolidasi dua perusahaan, divestasi atau penutupan operasi tertentu, dan perjanjian untuk membeli atau menjual sekuritas pemerintah dengan janji dibeli kembali; •
perkiraan
akuntansi
membutuhkan
penilaian
subjektif
signifikan oleh manajemen perusahaan. Contohnya termasuk cadangan untuk kerugian pinjaman dan provisi tahunan untuk biaya garansi;
44
•
staf audit internal tidak efektif. Situasi ini mungkin akibat dari ukuran staf yang tidak memadai dan ruang lingkup audit sangat terbatas . Sebuah iklim etika perusahaan yang lemah memperburuk
situasi ini. Kesempatan untuk FFR juga meningkat secara dramatis ketika prinsip akuntansi untuk transaksi yang tidak ada, berkembang, atau tunduk pada penafsiran yang berbeda-beda.
2.4.3 Pelaku dan Sarana yang digunakan Menurut National Commission on Fraudulent Financial Reporting (1987), individu dengan peran yang berbeda dalam perusahaan - perwakilan penjualan, manajer operasi, akuntan, dan eksekutif - telah melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Dalam sebagian
besar
kasus,
bagaimanapun,
manajemen
puncak
perusahaan, seperti CEO, presiden, dan CFO, adalah pelaku. Dalam beberapa kasus, perusahaan membuat kekeliruan yang disengaja untuk
akuntan
publik
independen,
kadang-kadang
dengan
memalsukan dokumen dan catatan. Selanjutnya, National Commission on Fraudulent Financial Reporting (1987) mengungkapkan bahwa, sementara pelaku penipuan menggunakan pelaporan keuangan dengan banyak cara yang berbeda, efek dari tindakan mereka hampir selalu untuk menaikkan atau "memper-halus" laba atau melebih-lebihkan aset
45
perusahaan. Selain itu, kecurangan pelaporan keuangan biasanya tidak tidak dimulai dengan tindakan yang disengaja terbuka untuk mendistorsi laporan keuangan. Dalam banyak kasus, kecurangan pelaporan keuangan adalah puncak dari serangkaian aksi yang dirancang untuk merespon kesulitan operasional. Awalnya, kegiatan mungkin tidak kecurangan, tetapi seiring waktu mereka bisa menjadi semakin dipertanyakan, hasil akhirnya mungkin kecurangan laporan keuangan. Skenario
ini
menggambarkan
bagaimana
kecurangan
pelaporan keuangan dapat terjadi: CEO, di bawah tekanan untuk terus meningkatkan penjualan, memiliki departemen pengiriman dengan jam bekerja lebih panjang di hari menjelang akhir kuartal. Seperti tumpukan tekanan, ia meramu situasi dengan menunda pengakuan retur penjualan, menginstruksikan perwakilan penjualan untuk "membuat kartu penjualan." Akhirnya, ia melakukan sebuah tindakan kecurangan, dengan mengakui pendapatan dari persediaan yang dikirim ke pelanggan tanpa otorisasi atau dari persediaan dikirim ke gudang publik.
Dia mungkin juga melebih-lebihkan
penjualan dengan mengakui pendapatan dari pengakuan penjualan bahwa tidak terwujud karena kondisi material tidak puas; mengakui pendapatan dari penjualan kuartal keempat diklaim meskipun pengiriman tidak terjadi sampai setelah akhir tahun; dan dengan
46
tidak
sesuai
memperlakukan
pengiriman
konsinyasi
kepada
salesman sebagai penjualan. Metode yang digunakan untuk menunda beban periode lancar atau melebih-lebihkan aset sama beragamnya.
Hal itu termasuk
mengeluarkan permintaan pembelian palsu untuk vendor, yang kemudian mengirimkan faktur palsu yang secara curang menurunkan biaya suku cadang rutin dan meningkatkan biaya kapitalisasi peralatan, gagal menghapus aset yang telah dibatalkan atau tidak bisa ditempatkan, dengan tidak sesuai mengubah umur depresiasi aset tetap perusahaan, gagal membuat cadangan yang memadai untuk kerugian yang diketahui pada persediaan usang atau pinjaman tunggakan, dan pencatatan aset tidak ada dengan memalsukan kartu hitung persediaan.
2.5 Earning Management 2.5.1 Konsep Earning Management Manajemen laba merupakan sebuah fenomena umum yang terjadi di sejumlah perusahaan.
Praktik yang dilakukan untuk
mempengaruhi angka laba dapat terjadi secara legal maupun tidak legal.
Praktik legal dalam manajemen laba berarti usaha untuk
mempengaruhi angka laba tidak bertentangan dengan aturan pelaporan keuangan yakni sesuai Prinsip-Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum, khususnya dalam Standar Akuntansi, yaitu dengan
47
cara memanfaatkan kesempatan untuk membuat estimasi akuntansi, melakukan perubahan metode akuntansi, dan menggeser periode pendapatan atau biaya. Adapun manajemen laba yang dilakukan secara illegal (disebut juga dengan financial fraud), dilakukan dengan cara-cara yang tidak diperbolehkan oleh Prinsip-Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum, yaitu dengan cara melaporkan transaksi-transaksi pendapatan atau biaya secara fiktif dengan cara menambah (mark up) atau mengurangi (mark down) nilai transaksi, atau mungkin dengan tidak melaporkan sejumlah transaksi, sehingga akan menghasilkan laba pada nilai/tingkat tertentu yang dikehendaki. Schipper (1997)
dalam
Rezaee (2002)
mendefinisikan
manajemen laba sebagai suatu intervensi terhadap proses pelaporan keuangan eksternal untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Menurut Primanita & Setiono (2006), manajemen laba (earning management) adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan untuk mempengaruhi laba (income) yang dilaporkan yang dapat memberikan informasi mengenai keuntungan ekonomis (economic advantage) yang sesungguhnya tidak dialami perusahaan dalam jangka panjang bahkan merugikan perusahaan. Menurut Scott (2006) dalam Noviana (2011), pengelolaan laba (earning management) adalah pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajemen untuk dapat mencapai beberapa tujuan tertentu. Pemilihan kebijakan akuntasi tersebut termotivasi dari tujuan
48
efisiensi maupun oportunistik.
Pengelolaan laba bersifat efisien
apabila manajemen perusahaan berusaha untuk menambah tingkat transparansi laba dalam mengkomunikasikan hal yang bersifat informasi oportunistik
internal apabila
perusahaan. manajemen
Pengelolaan perusahaan
laba berusaha
bersifat untuk
memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya pada latar belakang penelitian ini, kasus earning management secara ilegal telah terjadi pada perusahaan berskala besar seperti Enron, Xerox Corporation, WorldCom, Walt Disney Company, dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat. Di Indonesia, praktik earning management terjadi pada PT. Lippo Tbk dan PT. Kimia Farma Tbk.
2.5.2 Pola Earning Management Menurut Scott (2003), bentuk-bentuk manajemen laba yang dilakukan oleh manajer antara lain: (a) taking a bath, dilakukan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan tidak bisa dihindari pada periode berjalan, dengan cara mengakui biaya-biaya pada periode-periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan; (b) income minimization, dilakukan saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis.
Kebijakan yang diambil bisa berupa
pembebanan pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat
49
dan sebagainya. Cara ini mirip dengan taking a bath namun tidak terlalu ekstrim; (c) income maximization, yaitu memaksimalkan laba agar memperoleh bonus yang lebih besar. Demikian pula dengan perusahaan yang mendekati suatu pelanggaran kontrak hutang jangka panjang, manajer perusahaan tersebut akan cenderung untuk memaksimalkan laba; (d) income smoothing, merupakan bentuk manajemen laba yang paling sering dilakukan dan paling populer. Melalui ncome smoothing, manajer menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak berisiko tinggi.
2.5.3 Faktor Pemicu Earning Management Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positive Accounting Theory dan Agency Theory.
Watts dan Zimmerman
(1986) dalam Watts dan Zimmerman (1990) mengusulkan tiga hipotesis yang dapat dijadikan dasar tindakan manajemen laba yaitu sebagai berikut: (1) hipotesis program bonus (bonus plan hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer pada perusahaan yang menerapkan rencana pemberian bonus lebih cenderung untuk menggunakan metode atau prosedur-prosedur akuntansi yang dapat menggeser laba periode mendatang ke periode berjalan sehingga dapat menaikkan laba saat ini; (2) hipotesis perjanjian hutang (debt/equity hypotesis).
50
Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai rasio Debt/Equity tinggi atau menghadapi kesulitan hutang, maka manajer perusahaan akan cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba; (3) hipotesis biaya politis (political cost hypotesis). Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer perusahaan berskala besar dengan biaya politik yang tinggi cenderung memilih metode akuntansi yang dapat menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang. Biaya politik muncul disebabkan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen. Secara umum, metode yang digunakan untuk melakukan manajemen laba yaitu: 1. manajemen accrual; 2. manajemen waktu dalam mengadopsi kebijakan akuntansi; yang bersifat voluntary.
Adapun
3. perubahan akuntansi caranya adalah dengan
memanipulasi variabel artificial (akuntansi) melalui pemilihan metode akuntansi yang diperbolehkan/diijinkan ataupun melalui variabel riil (transaksional) dengan memanipulasi pendapatan, biaya atau aktivitas perusahaan yang tidak normal.
Manajemen laba
melalui variabel artificial misalnya dengan pemilihan teknik akuntansi yang biasa untuk menaikkan atau menurunkan laba tahun berjalan, misalnya: pemilihan metode depresiasi, tahun amortisasi, metode pencatatan persediaan, pengakuan gain and losses, dan sebagainya.
Manajemen laba dengan menggunakan variabel riil
51
(transaksional) dilakukan dengan cara memanipulasi penjualan dan biaya-biaya, misalnya: mempercepat atau menunda penjualan akhir tahun dan pencatatan biaya (Primanita & Setiono, 2006). Dasar penyusunan laporan keuangan yang telah disepakati ialah dasar akrual. Pemilihan basis akrual sebagai dasar penyusunan laporan keuangan bertujuan untuk menjadikan laporan keuangan lebih informatif yaitu laporan keuangan yang mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Earnings management tidak dapat secara langsung diamati.
Sehingga
dibutuhkan
suatu
proksi
untuk
dapat
mengindikasi terjadinya manajemen laba. Secara umum ada 3 kelompok model empiris manajemen laba yang diklasifikasikan atas dasar basis pengukuran yang digunakan, yaitu (Sulistyanto, 2008) : a. model berbasis akrual merupakan model yang menggunakan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model manajemen laba ini dikembangkan oleh Healy (1985), De Angelo (1986), Jones (1991), serta Dechow, Sloan dan Sweeney (1995); b. model yang berbasis specific accruals, yaitu pendekatan yang menghitung akrual sebagai proksi manajemen laba dengan menggunakan item laporan keuangan tertentu dari industri tertentu pula. Model ini dikembangkan oleh Mc Nichols dan
52
Wilson (1988) Petroni (1992), Beaver dan Engel (1996), Beneish (1997), serta Beaver dan Mc Nichols (1998); c. model distribution of earnings dikembangkan oleh Burgatler dan Dichey (1997), Degeorge, Patel, dan Zechauser (1999), serta Myers dan Skinner (1999). Sejauh ini hanya model berbasis agregate accruals yang diterima secara umum sebagai model yang memberikan hasil paling kuat dalam mendeteksi manajemen laba. Model berbasis aggregate accruals yang digunakan adalah Modified Jones Model.
Model
tersebut dikembangkan oleh Dechow, Sloan, dan Sweeney (1995). Komponen total accruals dalam Modified Jones Model dapat dipisahkan menjadi 2, yaitu discretionary accruals dan non discretionary
accruals.
Discretionary
accruals
merupakan
komponen total accruals yang berasal dari rekayasa manajerial dengan
memanfaatkan
kebebasan
dan
fleksibilitas
dalam
menentukan nilai estimasi pada metode akuntansi.
2.6 Penelitian Terdahulu Hingga hari ini telah banyak penelitian yang dilakukan terkait kecurangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting).
Penelitian tentang
fraudulent financial reporting yang dilakukan berkenaan dengan pendeteksian dan pengujian faktor risiko fraud triangle. Pada Tabel 2.2 berikut ini disajikan beberapa penelitian mengenai fraudulent financial reporting.
53
Tabel 2.2 Review Penelitian Terdahulu Nama No. Peneliti (Tahun) 1. Persons (1995)
Variabel Dependen
Variabel Independen
Fraudulent Financial Reporting
Financial Leverage, Profitability, Asset Composition, Liquidity, Capital Turnover, Firm Size, Overall Financial Position Pertumbuhan Tinggi, Kesalahan Perkiraan Analisis, Kerugian, Arus Kas Negatif dari Aktivitas Operasi, Leverage, Pledging, Rasio Investasi, Transaksi Pihak Istimewa, CEO, Auditor Internal, Deviation In Control Away From Cash Flow Rights, Penyajian Ulang, Pergantian Auditor, Ukuran Perusahaan Financial Distress, Earning Management, Liquidity, Financial Leverage, Capital Turnover, Firm Size dan Profitability
2.
Lou dan Wang (2009)
Fraudulent Financial Reporting
3.
Ansar (2011)
Fraudulent Financial Reporting
Anisa (2012)
Fraudulent Financial Reporting
4.
Hasil Penelitian Financial leverage, Asset Composition, Capital Turnover, Firm size berpengaruh signifikan terhadap Fraudulent Financial Reporting. Sedangkan variabel lainnya tidak. Kecurangan pelaporan berkaitan dengan salah satu kondisi berikut: Tekanan Keuangan dari sebuah perusahaan atau Supervisor perusahaan, Rasio yang lebih tinggi dari suatu transaksi yang kompleks, dipertanyakannya integritas dari manajer perusahaan, atau lebih memburuknya hubungan antara perusahaan dengan auditornya.
Capital Turnover dan Profitability memiliki pengaruh negatif terhadap Fraudulent Financial Reporting. Sementara, Financial Distress, Earning Management, Liquidity, Financial Leverage dan Firm Size tidak berpengaruh terhadap Fraudulent Financial Reporting. Keahlian Keuangan Keahlian Komite Audit Komite Audit, secara signifikan Kepemilikan Saham berpengaruh negatif 54
5.
Hutomo (2012)
Fraudulent Financial Reporting
6.
Subroto (2012)
Fraudulent Financial Reporting
7.
Dalnial (2014)
Fraudulent Financial
Manajerial, Ukuran dengan terjadinya Perusahaan, dan Kecurangan Pelaporan Tingkat Leverage Keuangan. Leverage berhubungan positif dan signifikan terhadap terjadinya Kecurangan Pelaporan Keuangan. Sedangkan Kepemilikan Manajerial dan Ukuran Perusahaan tidak mempengaruhi terjadinya Kecurangan Pelaporan Keuangan. Rasio-rasio finansial Cash ratio, return on (Cash ratio, Debt to invesment berpengaruh Total Asset, signifikan dalam Inventory turnover, mendeteksi Kecurangan Quick ratio, Pelaporan Keuangan. Receivable Turnover, Sementara quick ratio, ROI, Gross Profit inventory turnover, debt Margin, EPS, PER, to total asset, receivable ROA), turnover, gross profit Ukuran Perusahaan margin, EPS, PER, ROA (Firm Size), terbukti tidak Profit Growth berpengaruh signifikan dalam mendeteksi Kecurangan Pelaporan Keuangan. Karakteristik Leverage, ROA, Perusahaan Perubahan Total Aset, (Leverage, ROA, dan Financial Distress, dan Perubahan Total Umur Perusahaan tidak Aset, Financial berpengaruh signifikan Distress, dan Umur terhadap Kecurangan Perusahaan) dan Pelaporan Keuangan. Karakteristik Auditor Audit Firm Tenure dan Ekternal (Audit Firm Status KAP sebagai Tenure dan Status variabel moderating juga KAP) tidak dapat memoderasi Leverage, ROA, Perubahan Total Aset, Financial Distress, dan Umur Perusahaan terhadap Kecurangan Pelaporan Keuangan. Financial leverage, Rasio Finansial seperti Profitability, Asset TD/TA (proksi 55
Reporting
8.
Rachmawati Fraudulent dan Financial Marsono Reporting (2014)
9.
Rosita (2014)
Fraudulent Financial Reporting
10.
Wicaksono dan Chariri (2015)
Fraudulent Financial Reporting
Composition, Financial leverage) dan Liquidity, Capital REC/REV (proksi Turnover, Size Capital Turnover) merupakan prediktor yang signifikan untuk mendeteksi Kecurangan Pelaporan Keuangan. Kepemilikan Asing, Multijabatan Dewan Kemampuan Direksi dan Pergantian Perusahaan dalam Auditor memiliki pengaruh signifikan Memenuhi Kewajibannya, terhadap Kecurangan Pelaporan Keuangan. Target Keuangan, Efektivitas Kepemilikan Asing, Pengawasan, Leverage, Target Multijabatan Dewan Keuangan, Efektivitas Pengawasan, Transaksi Direksi, Transaksi Pihak Istimewa tidak Pihak Istimewa, berpengaruh signifikan Pergantian Auditor. terhadap Kecurangan Pelaporan Keuangan. Stabilitas Finansial, Stabilitas Finansial, Tekanan Eksternal, Target Finansial dan Kebutuhan Finansial Pengawasan yang Tidak Personal, Target Efektif berpengaruh Finansial, terhadap Kecurangan Karakteristik Pelaporan Keuangan. Industri, Pengawasan Sedangkan Tekanan yang Tidak Efektif Eksternal, Kebutuhan Finansial Personal dan Karakteristik Industri tidak berpengaruh terhadap Kecurangan Pelaporan Keuangan. Ukuran Dewan Komite Audit dan Komisaris, Efektivitas Audit Komposisi Dewan Internal berpengaruh Komisaris negatif signifikan Independen, Komite terhadap kemungkinan Audit dan Efektivitas Kecurangan dalam Audit Internal Pelaporan Keuangan, sedangkan Ukuran Dewan Komisaris dan Komposisi Dewan Komisaris Independen tidak berpengaruh secara 56
signifikan terhadap kemungkinan Kecurangan dalam Pelaporan Keuangan. Sumber: Data sekunder, diolah
Persons (1995) melakukan penelitian untuk menjawab keprihatinan publik dan pengambil keputusan dengan mengidentifikasi sepuluh rasio laporan keuangan
yang berhubungan dengan kecurangan pelaporan keuangan.
Penelitian Persons menggunakan sampel perusahaan fraud dan nonfraud. Untuk mengukur variabel
financial
leverage digunakan
rasio
TLTA (Total
Liabilities/Total Assets). Profitability diukur menggunakan rasio NITA (Net Income/Total Assets) dan RETA (Retained Earnings/Total Assets).
Asset
Composition diukur menggunakan rasio CATA (Current Assets/Total Assets), RVTA (Receivables/Total Assets), dan IVTA (Inventory/Total Assets). Liquidity diukur menggunakan rasio WCTA (Working Capital/Total Assets). Capital Turnover diukur menggunakan rasio SATA (Sales/Total Assets). Size diukur menggunakan rasio LOGTA (natural logarithm of book value of total assets at the end of the fiscal year).
Overall Financial Position diukur
menggunakan Z-Score. Sampel penelitian yang digunakan adalah perusahaan fraud dan nonfraud. Hasil penelitian dari model parsimonous stepwise-logistic menunjukkan bahwa financial leverge, capital turnover, asset composition dan firm size merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi perilaku kecurangan pelaporan keuangan.
57
Lou dan Wang (2009) melakukan penelitian untuk menguji faktor risiko dari fraud triangle. Sama seperti Persons, Lou dan Wang juga menggunakan sampel perusahaan fraud dan nonfraud. Hasil penelitiannya mengindikasikan bahwa kecurangan pelaporan berhubungan dengan salah satu kondisi berikut: tekanan keuangan dari suatu perusahaan atau supervisor perusahaan, persentase yang lebih tinggi dari transaksi yang kompleks suatu perusahaan, lebih dipertanyakannya integritas manajer sebuah perusahaan, atau memburuknya hubungan antara perusahaan dengan auditornya.
Sebuah model logistik
sederhana berdasarkan contoh faktor risiko kecurangan ISA 240 dan SAS 99 mengukur
kemungkinan
kecurangan
pelaporan
keuangan
dan
dapat
menguntungkan praktisi. Di Indonesia, Anisa (2012) meneliti fraudulent financial reporting dengan menggunakan faktor penelitian: keahlian keuangan komite audit, kepemilikan saham manajerial, ukuran perusahaan, dan tingkat leverage. Penelitian Anisa menggunakan paired sample (matched-pairs sample) antara perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan dengan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa keahlian komite audit secara signifikan berpengaruh negatif dengan terjadinya kecurangan pelaporan keuangan.
Leverage juga menunjukkan
hubungan yang positif dan signifikan terhadap terjadinya kecurangan pelaporan keuangan. Sedangkan dua faktor lain yaitu kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan tidak mempengaruhi terjadinya kecurangan pelaporan keuangan.
58
Hutomo (2012) untuk menguji secara empiris pengaruh rasio-rasio finansial (Cash ratio, Debt to total asset, Inventory turnover, Quick ratio, Receivable turnover, ROI, Gross profit margin, EPS, PER, ROA), ukuran perusahaan (firm size), profit growth untuk mendeteksi kecurangan dalam pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting). Analisis data yang digunakan meliputi statistik deskriptif, multikolonieritas, dan logistik regresi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa cash ratio, return on invesment berpengaruh signifikan dalam mendeteksi kecurangan dalam pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting). Sementara quick ratio, inventory turnover, debt to total asset, receivable turnover, gross profit margin, EPS, PER, ROA terbukti tidak berpengaruh signifikan dalam mendeteksi kecurangan dalam pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting). Subroto (2012) meneliti untuk menguji pengaruh karakteristik perusahaan (leverage, ROA, dan perubahan total aset, financial distress, dan umur perusahaan) dan karakteristik auditor ekternal (audit firm tenure dan status KAP) terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Karakteristik KAP digunakan sebagai variabel pemoderasi dalam penelitian tersebut.
Sampel yang digunakan
mencakup perusahaan yang melakukan fraud dan yang tidak.
Metode yang
digunakan adalah regresi logistik. Hasil penelitian menemukan bahwa leverage, ROA, perubahan total aset, financial distress, dan umur perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa audit firm tenure dan status KAP sebagai variabel moderating juga tidak memoderasi leverage, Return on Assets (ROA),
59
perubahan total aset, financial distress, dan umur perusahaan terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Dalnial (2014) meneliti untuk menguji kecurangan pelaporan keuangan dengan menggunakan analisis laporan keuangan. Sampel yang digunakan 130 buah dari Bursa Efek Malaysia yang terdiri dari 65 sampel perusahaan yang melakukan kecurangan dan 65 yang tidak. Variabel yang digunakan: financial leverage diukur dengan Total Debt/Total Equity (TD/TE) dan Total Debt/Total Asset (TD/TA). Profitability diukur dengan Net Profit/Revenue (NP/REV). Asset composition
diukur
dengan
Current
Assets/Total
Assets
(CA/TA),
Receivable/Revenue (REC/REV) dan Inventory/Total Assets (INV/TA). Liquidity diukur dengan Working Capital/Total Assets (WC/TA). Capital turnover diukur dengan Revenue/Total Asset (REV/TA). Size sebagai variabel kontrol diukur menggunakan Logaritma natural dari nilai buku per total aset di akhir tahun fiskal. Hasil penelitian menunjukkan sebagian rasio finansial seperti TD/TA, dan REC/REV merupakan prediktor yang signifikan untuk mendeteksi kecurangan pelaporan keuangan. Rachmawati dan Marsono (2014) menganalisis faktor segitiga kecurangan untuk mendeteksi kecurangan pelaporan keuangan.
Variabel yang digunakan
untuk faktor tekanan antara lain: Personal Financial Need diproksikan dengan kepemilikan
asing
(FOROWN),
External
Pressure
diproksikan
dengan
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya (LEV), Financial Targets diproksikan dengan target keuangan (ROA). Variabel yang digunakan untuk faktor kesempatan antara lain: Ineffective Monitoring diproksikan dengan
60
efektivitas pengawasan (IND), Organizational Structure diproksikan dengan multijabatan dewan direksi (CROSSDIR), Nature of Industry diproksikan dengan transaksi pihak istimewa (RPT).
Variabel rasionalisasi diproksikan dengan
pergantian auditor (CPA). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa multijabatan dewan direksi dan pergantian auditor berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Sedangkan variabel lainnya, yaitu kepemilikan asing, kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajibannnya, target keuangan, efektivitas pengawasan, dan transaksi pihak istimewa terbukti tidak berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Rosita (2014) untuk menganalis dan mengetahui apakah terdapat hubungan antara variabel antara stabilitas finansial, tekanan eksternal, kebutuhan finansial personal, target finansial, karakteristik industri, dan pengawasan yang tidak efektif terhadap terjadinya kecurangan pelaporan keuangan.
Dengan menggunakan
regresi logistik, maka diperoleh hasil bahwa variabel stabilitas finansial, target finansial dan pengawasan yang tidak efektif berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Sedangkan tekanan eksternal, kebutuhan finansial personal dan karakteristik industri tidak berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Wicaksono dan Chariri (2015) melakukan penelitian untuk memperoleh bukti empiris dan menganalisis pengaruh mekanisme corporate governance yang terdiri dari ukuran dewan komisaris, komposisi dewan komisaris independen, komite audit, dan efektivitas audit internal terhadap kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Ukuran perusahaan dan leverage digunakan sebagai
61
variabel kontrol dalam penelitiannya. Analisis data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif, uji multikolonieritas, dan pengujian hipotesis dengan analisis regresi logistik. Hasil analisis penelitiannya menunjukkan bahwa komite audit dan efektivitas audit internal berpengaruh negatif secara signifikan terhadap kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan, sedangkan ukuran dewan komisaris dan komposisi dewan komisaris independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Penelitian-penelitian terdahulu tersebut menggunakan variabel independen yang berbeda-beda dan hasil penelitian yang diperoleh pun berbeda pula. Perbedaan hasil penelitian tersebut menggerakkan hasrat peneliti untuk mengangkat kembali topik fraudulent financial reporting.
2.7 Kerangka Konseptual Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas, maka kerangka konseptual penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Tekanan Profitabilitas (ROA) (X1)
Kecurangan
Tingkat Leverage (LEV) (X2)
Keuangan
Pelaporan
(Fraudulent
Kesempatan
Financial
Efektivitas Pengawasan (IND) (X3)
Reporting) (Y)
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual
62
2.7.1 Pengaruh
Profitabilitas
terhadap
Kecurangan
Pelaporan
Keuangan (Fraudulent Financial Reporting) Profitabilitas sebuah perusahaan menunjukkan kesuksesan perusahaan tersebut dalam menghasilkan laba. Manajemen seringkali mendapat tekanan untuk menunjukkan bahwa aktiva perusahaan telah mampu dikelola dengan baik. Selain karena kinerjanya dinilai melalui banyaknya laba yang dihasilkan yang pada akhirnya akan meningkatkan bonus yang diterimanya, tingginya laba suatu perusahaan juga akan menghasilkan return yang tinggi pula bagi para investor sekaligus menjadi daya tarik bagi calon investor. Sebaliknya, semakin kecil laba perusahaan, maka perusahaan dianggap tidak mampu beroperasi dengan baik. Sebab, laba yang kecil atau bahkan negatif menandakan kondisi keuangan perusahaan yang buruk. Untuk menampilkan performa perusahaan yang meningkat, manajemen kerap kali berupaya menutupi kondisi keuangan yang buruk dengan menyajikan laporan keuangan yang telah dipercantik agar tampak meyakinkan untuk menarik para investor. Jadi, ketika kondisi keuangan perusahaan buruk, maka kemungkinan manajemen akan melakukan tindak kecurangan semakin tinggi. Hal ini didukung oleh Persons (1995) yang menyatakan bahwa laba yang rendah memicu manajer untuk melebihsajikan pendapatan atau menurunkan beban. Kreutzfeldt dan Wallace (1986) dalam
63
Persons 1995 juga menemukan bahwa perusahaan yang memiliki masalah profitabilitas secara signifikan lebih banyak melakukan kesalahan dalam laporan keuangannya.
2.7.2 Pengaruh Tingkat Leverage terhadap Kecurangan Pelaporan Keuangan (Fraudulent Financial Reporting) Leverage merupakan hutang yang digunakan oleh perusahaan untuk membiayai asetnya dalam rangka menjalankan aktivitas operasionalnya. Tekanan yang kerapkali dialami manajemen perusahaan adalah kebutuhan untuk mendapatkan tambahan hutang atau sumber pembiayaan eksternal agar tetap kompetitif, termasuk pembiayaan riset dan pengeluaran pembangunan atau modal. Untuk mendapatkan pinjaman dari pihak eksternal, perusahaan harus diyakini mampu mengembalikan pinjaman yang telah diperolehnya. Namun, apabila perusahaan memiliki tingkat leverage yang tinggi atau hutang yang besar dan risiko kredit yang tinggi, maka terdapat kekhawatiran bahwa nantinya perusahaan tidak mampu mengembalikan pinjaman yang telah diberikan. Karena itu, semakin tinggi
tingkat
leverage,
maka
perusahaan
akan
cenderung
melaporkan profitabilitas yang tinggi pula. Disamping itu, semakin tinggi tingkat leverage semakin besar kemungkinan perusahaan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha untuk meningkatkan laba yang tinggi pula (dalam Anisa, 2012).
64
Dengan demikian, perusahaan tetap dianggap mampu untuk mengembalikan pinjaman. Hal inilah yang dapat mendorong perusahaan melakukan manipulasi atau kecurangan pada laporan keuangan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Persons (1995), leverage yang tinggi berhubungan dengan pelanggaran perjanjian hutang dan kurangnya kemampuan mendapatkan modal melalui pinjaman. Rudyawan dan Badera (2008) dalam Subroto (2012) berpendapat bahwa Rasio leverage yang tinggi dapat berdampak buruk bagi kondisi keuangan perusahaan dan dapat menimbulkan ketidakpastian mengenai kelangsungan hidup perusahaan. George (2009) dalam Subroto (2012) menyatakan bahwa Leverage digunakan untuk mengukur efek risiko keuangan pada indikator kecurangan. Leverage ditemukan sangat signifikan dalam mengukur perilaku fraud (dalam Dalnial 2014).
2.7.3 Pengaruh
Efektivitas
Pengawasan
terhadap
Kecurangan
Pelaporan Keuangan (Fraudulent Financial Reporting) Terjadinya kecurangan merupakan akibat dari pengawasan yang lemah dan tidak efektif sehingga memberi kesempatan bagi oknum tertentu untuk berperilaku menyimpang. Adanya asimetri informasi antara prinsipal dan agen merupakan salah satu hal yang dapat menjadi celah terjadinya fraud. Pengawasan yang lemah
65
tersebut membuat pihak manajemen merasa bahwa dirinya tidak diawasi
sehingga
ia
semakin
leluasa
mencari
cara
untuk
memaksimalkan kesempatan yang ada untuk keuntungan pribadinya. Untuk menghindari atau paling tidak meminimalisasi terjadinya praktik fraud dalam perusahaan, dibutuhkan mekanisme pengawasan yang baik dan unit pengawas yang mampu memonitor jalannya perusahaan. Menurut Gunarsih dan Hartadi (2002) dalam Norbarani (2012), dewan komisaris independen dipercaya mampu memainkan
peranan
penting
khususnya
dalam
memonitor
manajemen tingkat atas. Dengan diperkerjakannya dewan komisaris independen, yang tidak memiliki hubungan dengan pemegang saham, direktur, manajemen ataupun pihak internal lainnya, diharapkan praktik kecurangan atau fraud dapat diminimalisir sebab ia akan melakukan pengawasan dengan lebih independen. Dechow et al. (1996) dan Dunn (2004) dalam Skousen et. al., 2008 yang meneliti hubungan antara komposisi dewan komisaris dengan kecurangan laporan keuangan dan memperoleh hasil bahwa perusahaan yang melakukan fraud memiliki anggota di luar Board of Director (BOD) yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan perusahaan yang tidak melakukan fraud. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kecurangan lebih sering terjadi pada perusahaan yang memiliki anggota dewan komisaris independen lebih sedikit.
66
2.8 Hipotesis Berdasarkan konseptual yang telah dipaparkan sebelumnya, maka disusun hipotesis sebagai berikut. H1 : Profitabilitas, tingkat Leverage dan efektivitas pengawasan berpengaruh
terhadap
Kecurangan
Pelaporan
Keuangan
(Fraudulent Financial Reporting) baik secara simultan maupun parsial pada perusahaan perbankan tahun 2012-2015.
67