ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT INDONESIA
OLEH RESTI ANDITYA H14070076
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
RESTI ANDITYA. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Penyamakan Kulit (dibimbing oleh IDQAN FAHMI).
Kondisi perekonomian suatu negara dapat dilihat dari nilai pendapatan nasional negara tersebut yang dipengaruhi oleh sektor-sektor usaha di dalamnya. Industri pengolahan merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi besar terhadap PDB Indonesia. Industri pengolahan terdiri dari dua jenis industri, yaitu industri pengolahan migas dan industri pengolahan non-migas. Industri nonmigas memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan nasional, yaitu sebesar 510.101,7 miliar rupiah. Salah satu industri pengolahan yang ikut berkontribusi dalam pendapatan nasional adalah industri penyamakan kulit. Industri ini mengolah kulit mentah menjadi kulit setengah jadi dan kulit jadi. Kulit mentah merupakan salah satu bahan baku bagi industri-industri yang memproduksi barang dari dari kulit. Kulit mentah yang digunakan berasal dari kulit hewan, seperti sapi, kerbau, biri-biri, babi, dan lain-lain. Industri penyamakan kulit telah mengalami perkembangan yang signifikan. Nilai tambah yang diberikan oleh industri ini cukup tinggi sehingga kulit dijadikan sebagai bahan baku bagi industri hilir barang-barang kulit. Tingginya nilai tambah ini membuat nilai ekspor kulit dan barang kulit dari Indonesia juga tinggi, yaitu mencapai 2,4 miliar Dollar Amerika pada tahun 1995 dan menjadi penyumbang devisa terbesar ketiga untuk kategori ekspor non-migas. Namun pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi. Krisis tersebut membuat industri penyamakan kulit terpuruk. Hal ini ditandai dengan penurunan jumlah produksi dan pengurangan tenaga kerja. Pada tahun 1996, jumlah tenaga kerja pada industri penyamakan kulit berjumlah 7358 orang. Saat krisis jumlah tenaga kerja menurun menjadi 7102 orang. Penurunan jumlah produksi dan jumlah tenaga kerja membuat banyak pabrik tutup. Penutupan tersebut dan ditambah kurangnya bahan baku membuat kinerja dari industri penyamakan tersebut menurun. Hal ini berpengaruh terhadap struktur, perilaku, dan kinerja industri penyamakan kulit Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa struktur, perilaku, dan kinerja industri penyamakan kulit Indonesia serta menganalisa hubungan struktur dan faktor-faktor lainnya dengan kinerja industri penyamakan kulit. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Structure, Conduct, and Performance (SCP) untuk menganalisis struktur,perilaku, dan kinerja industri penyamakan kulit. Sedang untuk menganalisa hubungan struktur dan faktor-faktor lainnya dengan kinerja digunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Variabel yang digunakan adalah rasio konsentrasi (CR4), efisiensi internal (XEF), pertumbuhan produksi (GROWTH), jumlah tenaga kerja (TK), produktivitas (PROD), dan volume ekspor (EKS).
Hasil menunjukkan bahwa rata-rata struktur pasar industri penyamakan kulit dari tahun 1990 hingga 2008 sebesar 51,03 persen sehingga industri penyamakan kulit bersifat oligopoli sedang. Hambatan masuk pasar pada industri penyamakan kulit tinggi yaitu dengan rata-rata 23,97 persen. Perilaku pasar pada industri penyamakan kulit dilihat dari strategi produk, distribusi, dan strategi bisnis. Strategi produk dengan cara menghasilkan produk yang lebih berkualitas. Strategi distribusi dilakukan dengan memasarkan produk ke pasar luar negeri. Sedangkan strategi bisnis dengan melakukan kemitraan dengan perusahaanperusahaan yang menggunakan kulit sebagai bahan bakunya. Kinerja industri penyamakan kulit dilihat dari tingkat keuntungan (PCM) dan nilai efisiensi internal (X-Eff). Nilai rata-rata PCM periode 1990-2008 adalah sebesar 31,74 persen. Efisiensi internal (X-Eff) industri penyamakan kulit pada tahun 1990-2008 memiliki rata-rata sebesar 43,92 persen. Pertumbuhan produksi industri penyamakan kulit pada tahun 1990-2008 memiliki rata-rata sebesar 25,46 persen. Berdasarkan hasil analisis menggunakan metode OLS diperoleh variabel yang memiliki pengaruh terhadap peningkatan kinerja (PCM) adalah efisiensi internal (XEF), produktivitas (PROD), dan ekspor (EKS). Sedangkan variabel konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4), pertumbuhan produksi (GROWTH), dan jumlah tenaga kerja (TK) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kinerja. Saran yang dapat dirumuskan adalah untuk meningkatkan kinerja perlu dilakukan peningkatkan efisiensi, produktivitas, dan ekspor. Pelaku industri diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dengan memanfaatkan teknologi yang canggih dan menerapkan produksi bersih. Sedangkan utnuk meningkatkan produktivitas, diharapkan adanya pelatihan bagi pekerja. Untuk meningkatkan ekspor, industri disarankan untuk meningkatkan kualitas dan tidak hanya memproduksi kulit setengah jadi dan kulit jadi tetapi juga memproduksi barangbarang kulit.
ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT INDONESIA
OLEH RESTI ANDITYA H14070076
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2011
Resti Anditya H14070076
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Resti Anditya, lahir pada tanggal 8 Juli 1989 di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan H. Andi Satria Darwin dan Hj. Harneliza. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari tingkat sekolah dasar SDN Gunung Gede di kota Bogor. Kemudian melanjutkan pendidikan pada sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTPN 5 Bogor dan lulus pada tahun 2004. Setelah itu penulis melanjutkan ke tingkat pendidikan lanjutan menengah atas di SMUN 3 Bogor dan lulus tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi dan diterima sebagai mahasiswa Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kepanitiaan seperti ECONOMIC CONTEST 2009 dan Hipotex-R 2010.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas curahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Penyamakan Kulit Indonesia”. Penulis sadar bahwa pencapaian ini bukan karya yang luar biasa, namun melalui karya ini penulis berharap agar dalam proses penyusunan hingga hasil yang dicapai dapat dijadikan pembelajaran bagi penulis sendiri maupun pembaca. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda H. Andi Satria Darwin dan Ibunda Hj. Harneliza serta Fadli Rizkiandi yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa kepada penulis . 2. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc., Agr. sebagai dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. 4. Tanti Novianti, M.Si selaku komisi pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik. 5. Sahabat-sahabat tersayang Wahyu Putri Pamungkas, Ranty Purnamasari, Dyah Pramita Raharti, Sari Maulidyawati, Putri Nilam Kencana, Hilman Kurniawan, Winda Aprianti, dan Nurul Hasmy Malallahi yang telah memberikan dukungan dan doa serta kenangan yang berharga baik suka maupun duka. 6. Teman-teman satu bimbingan (Ainur Sukmawati, Feri Nur Oktaviani, dan Rani Meistika) atas kerjasamanya selama ini dalam penyusunan skripsi ini. 7. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 44 yang telah memberikan doa, semangat dan dukungan selama penulis menyusun skripsi. 8. Staf Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi atas kerja sama dalam kelancaran pelaksanaan seminar dan sidang.
9. Staf Badan Pusat Statistik, Kementrian Perindustrian, dan Kementrian Perdagangan atas bantuan selama proses pengambilan data. 10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Juli 2011
Resti Anditya H14070076
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.………………………………………………………………..
i
DAFTAR TABEL.…………………………………………………………..
iv
DAFTAR GAMBAR.……………………………………………………….
v
DAFTAR LAMPIRAN.……………………………………………………..
vi
I. PENDAHULUAN ………………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang.……………………………………………………..
1
1.2 Perumusan Masalah.………………………………………………...
4
1.3 Tujuan Penelitian.…………………………………………………...
5
1.4 Manfaat Penelitian.………………………………………………….
6
1.5 Ruang Lingkup.……………………………………………………..
6
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN……………
7
2.1 Konsep Ekonomi Industri...................................................................
7
2.2 Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja.……………...……………...
8
2.2.1. Struktur Pasar…………………………...………………......
9
2.2.2. Perilaku Pasar………...............…………........……………...
12
2.2.3. Kinerja Pasar………………………………………………...
13
2.3 Penelitian Terdahulu.……………………………………………….
14
2.4 Kerangka Pemikiran.………………………………………………..
16
2.5 Hipotesis Penelitian.………………………………………………...
17
III. METODE PENELITIAN…..……………………………………………
19
3.1 Jenis dan Sumber Data.……………………………………………..
19
3.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data.……………………………..
19
3.2.1. Analisis Struktur Pasar…………………………………........
20
3.2.2. Rasio Konsentrasi (CR)………………………………….......
20
3.2.3. Hambatan Masuk Pasar……………………………………...
21
3.3 Analisis Perilaku Pasar……………………………………………...
21
3.4 Analisis Kinerja Industri.…………………………………………...
21
3.5 Hubungan Struktur dan Faktor-Faktor Lainnya dengan Kinerja…...
23
ii
3.6 Definisi Operasional………………………………………………...
24
3.7 Uji Hipotesis..……………………………………………………….
25
3.7.1. Uji-F..………………………………………………………
25
3.7.2. Uji-t………………………………………………………...
26
3.7.3. Koefisien Determinasi.…………………………………….
27
3.8 Uji Asumsi.………………………………………………………….
28
3.8.1. Uji Heteroskedastisitas……….……………………………
28
3.8.2. Uji Multikolinieritas.………………………………………
29
3.8.3. Uji Autokolerasi.…………………………………………...
29
3.8.4. Uji Normalitas.......................................................................
30
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT……........
31
4.1 Jenis Kulit untuk Industri Penyamakan Kulit....................................
31
4.2 Sejarah dan Perkembangan Industri Penyamakan Kulit Indonesia…
32
4.3 Produksi Kulit Indonesia……………………………………………
34
4.4 Ekspor Kulit………………………………………………………...
36
V. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………
38
5.1. Analisis Struktur Industri Penyamakan Kulit...………………..........
38
5.1.1 Rasio Konsentrasi.....................................................................
38
5.1.2. Hambatan Masuk Pasar………………………………………
40
5.2 Analisis Kinerja Industri Penyamakan Kulit......................................
42
5.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Industri Penyamakan Kulit……..
46
5.3.1. Hasil Uji Ekonometrika………………………………………
46
5.3.2. Hasil Estimasi………………………………………………...
48
5.4 Analisis Perilaku Industri Penyamakan Kulit……………………….
51
5.4.1. Strategi Produk.………………………………………………
52
5.4.2. Strategi Distribusi…………………………………………….
52
5.4.3. Strategi Bisnis………………………………………………..
53
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………...
54
6.1 Kesimpulan …………………………………………………………
54
6.2 Saran ………………………………………………………………..
55
iii
DAFTAR PUSTAKA.………………………………………………………..
57
LAMPIRAN .....................................................................................................
59
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
No. 1.1
Produk Domestik Bruto (PDB) atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun 2008…………………..
1.2
Persentase Peran Sub-Sektor Industri Pengolahan Terhadap PDB Nasional Tahun 2008…………………………………………………..
1.3
1
2
Negara Tujuan Utama Ekspor Indonesia (juta dollar)…..........................................................................................
3
1.4
Pertumbuhan Ekspor dan Impor Kulit dan Barang Kulit Indonesia…...
4
2.1
Tipe-Tipe Pasar Berdasarkan Kondisi Utama………….........................
9
4.1
Kulit Jadi untuk Alas Kaki (dalam juta kaki persegi)………….............
33
4.2
Perkembangan Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Penyamakan Kulit Indonesia (2000-2008)…………….........................
34
4.4
Ekspor Kulit Indonesia Tahun 1996-2008.…………………………….
36
5.1
Hasil Estimasi Persamaan PCM Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008)….........................................................................................
46
v
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
2.1
Hubungan Struktur-Perilaku-Kinerja……………………….………….
9
2.2
Kerangka Pemikiran……………………...…………………………….
17
4.1
Nilai Produksi Kulit Tahun 1990-2008………………………….……..
35
5.1
Perkembangan Nilai CR4 Industri Penyamakan Kulit Indonesia (19902008)………………………………………...…………………………. 40
5.2
Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008)…………………………………………………
5.3
Perkembangan Nilai PCM Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008)…………………………………………......……………...
5.4
43
Perkembangan Nilai Efisiensi Internal Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008)………………………………………………....
5.5
42
44
Perkembangan Nilai Pertumbuhan Produksi Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008)………………………………...................
45
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No. 1.
Halaman Rasio Konsentrasi Industri Penyamakan Kulit Indonesia Tahun 19902008……………...................................................................................
2.
Data Hambatan Masuk Pasar Industri Penyamakan Kulit (19902008)......................................................................................................
3.
66
Data Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja pada Industri Penyamakan Kulit (1990-2008)............................................................
9.
65
Data Volume Ekspor Industri Penyamakan Kulit Indonesia Tahun 1990-2008..............................................................................................
8.
64
Data Nilai Produktivitas Industri Penyamakan Kulit Indonesia (19902008)......................................................................................................
7.
63
Data Pertumbuhan Produksi (Growth) Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008)...........................................................................
6.
62
Data X-Efisiensi Industri Penyamakan Kulit Indonesia Tahun19902008.......................................................................................................
5.
61
Tingkat Keuntungan Industri Penyamakan Kulit Indonesia Tahun 1990-2008..............................................................................................
4.
60
67
Hasil Estimasi dengan Menggunakan Ordinary Least Square (OLS).....................................................................................................
68
10.
Hasil Uji Kormogorov Smirnov.............................................................
68
11.
Uji White................................................................................................
69
12.
Uji Multikolinearitas.............................................................................
69
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kondisi perekonomian suatu negara dapat dilihat dari nilai pendapatan nasional negara tersebut yang dipengaruhi oleh sektor-sektor usaha di dalamnya. Industri pengolahan merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi besar terhadap PDB Indonesia. Tabel 1.1 menunjukkan bahwa nilai PDB Indonesia pada tahun 2008 mencapai 2.082,3 triliun rupiah dan sektor industri pengolahan memberikan kontribusi sebesar 557.764, miliar rupiah. Tabel 1.1 Produk Domestik Bruto (PDB) atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun 2008 Lapangan Usaha PDB (Miliar Rupiah) Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan
284.620,7
Pertambangan dan penggalian Industri Pengolahan a. Industri pengolahan migas b. Industri pengolahan non-migas Listrik, gas, dan air minum Bangunan Perdagangan, hotel, dan restoran Transportasi dan komunikasi Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Jasa-jasa
172.442,7 557.764,4 47.662,7 510.101,7 14.993,6 130.951,6 363.813,5 165.905,5 198.799,6 193.024,3
Total
2.082.315,9
Sumber: BPS (2008)
Industri pengolahan terdiri dari dua jenis industri, yaitu industri pengolahan migas dan industri pengolahan non-migas. Berdasarkan Tabel 1.2, industri non-migas memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan nasional, yaitu sebesar 510.101,7 miliar rupiah. Salah satu industri yang
2
memberikan kontribusi adalah industri tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki yaitu sebesar 50.994 miliar rupiah. Tabel 1.2 Persentase Peran Sub-Sektor Industri Pengolahan Terhadap PDB Nasional Tahun 2008 Industri Pengolahan Non-Migas PDB (miliar rupiah) Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 139,921.9 Industri Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 50,994.0 Industri Kayu dan Produk Lainnya 20,335.8 Industri Produk Kertas dan Percetakan 25,477.2 Industri Produk Pupuk, Kimia dan Karet 68,389.6 Industri Produk Semen dan Penggalian Bukan Logam 15,990.7 Industri Logam Dasar Besi dan Baja 8,044.7 Industri Peralatan, Mesin dan PerlengkapanTransportasi 177,178.3 Produk Industri Pengolahan Lainnya 3,769.5 Total 510,101.7 Sumber: BPS 2008
Salah satu industri pengolahan yang ikut berkontribusi dalam pendapatan nasional adalah industri penyamakan kulit. Industri ini mengolah kulit mentah menjadi kulit setengah jadi dan kulit jadi. Kulit mentah merupakan salah satu bahan baku bagi industri-industri yang memproduksi barang dari dari kulit. Kulit mentah yang digunakan berasal dari kulit hewan, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, dan lain-lain. Industri penyamakan kulit telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Menurut Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI), nilai tambah yang dihasilkan kulit cukup tinggi yang menjadikannya bahan baku potensial untuk kepentingan industri hilir barang-barang kulit. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan nilai ekspor kulit dan barang kulit dari Indonesia setiap tahunnya. Sebagai contoh pada tahun 1995, ekspor mencapai 2,4 miliar Dollar Amerika dan menjadi penyumbang devisa terbesar ketiga untuk kategori ekspor non-migas.
3
Negara-negara tujuan ekspor kulit dan barang kulit dari Indonesia, antara lain Amerika Serikat, China, Hongkong, Itali, Jepang, Malaysia, Singapura, Thailand, Republik Korea, dan India. Negara pengimpor terbesar adalah Amerika Serikat diikuti oleh China, Hongkong, Itali, dan Jepang. Berdasarkan Tabel 1.3, Amerika Serikat memberikan share paling besar pada tahun 2008 yaitu sebesar 25,60 persen dan di urutan kedua adalah China yaitu sebesar 12,87 persen. Hongkong memberikan kontribusi sebesar 11,89 persen di posisi ketiga. Tabel 1.3 Negara Tujuan Utama Ekspor Kulit dan Barang Kulit Indonesia Tahun 2006-2008 (juta dollar) %trend %share Negara 2006 2007 2008 (2006-2008) (2008) Total Amerika Serikat China Hongkong Italia Jepang Malaysia Singapura Thailand Rep. Korea India Lainnya
300,700
362,679
354,837
8.63
100
79,788
91,898
90,823
6.69
25.6
25,547 28,781 11,055 16,303 23,658 18,925 9,334 5,541 11,740 70,027
39,033 33,990 20,574 19,734 28,934 20,234 13,050 9,090 13,215 72,837
45,668 42,191 23,820 18,916 18,273 15,343 11,592 10,764 10,664 66,783
33.7 21.08 46.79 7.72 -12.12 -9.96 11.44 39.38 -4.69 -2.34
12.87 11.89 6.71 5.33 5.15 4.32 3.27 3.03 3.01 18.82
Sumber: Kementrian Perdagangan (2008)
Nilai ekspor kulit dan barang kulit dari Indonesia terus meningkat dari tahun 2004 hingga tahun 2007. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.4, pada periode 2004-2008, nilai ekspor kulit dan produk kulit Indonesia mengalami peningkatan dengan tren sampai 12,9 persen per tahun. Pada tahun 2008, tercatat nilai ekspor kulit sebesar 354,83 juta dollar. Pada tahun 2008 mengalami penurunan dimana sebelumnya nilai ekspor kulit terus meningkat.
4
Tabel 1.4 Pertumbuhan Ekspor dan Impor Kulit dan Barang Kulit Indonesia Tahun 2004-2008 (juta dollar) %trend 2004 2005 2006 2007 2008 2004-2008 Ekspor 230,684 252,996 300,700 362,679 354,837 12.99 Impor 122,635 108,077 123,886 145,007 415,843 31.47 Neraca 108,050 144,919 176,814 217,672 -61,006 Perdagangan Sumber: Badan Pusat Statistik (2008)
Namun pertumbuhan industri penyamakan kulit tidak berlangsung lama. Beberapa tahun terakhir industri penyamakan kulit mengalami penurunan kinerja. Hal ini ditandai dengan adanya penurunan nilai produksi dan jumlah tenaga kerja yang terlibat sehingga banyak pabrik-pabrik yang harus gulung tikar. Penurunan kinerja ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti krisis moneter, kurangnya bahan baku, dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak terhadap industri.
1.2 Rumusan Masalah Industri dikatakan maju apabila memiliki kinerja yang baik. Baik atau tidaknya kinerja suatu industri dapat dilihat dari tingkat keuntungan industri tersebut. Industri penyamakan kulit merupakan industri yang menyuplai bahan baku bagi industri kulit dan barang kulit. Setiap tahunnya jumlah industri penyamakan kulit mengalami peningkatan. Pertumbuhan industri penyamakan kulit meningkat cukup pesat sejak tahun 1970. Hal ini karena industri penyamakan kulit memproduksi kulit yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri kulit dan alas kaki. Nilai tambah yang dihasilkan oleh kulit cukup besar. Dengan besarnya nilai tambah yang dihasilkan oleh kulit tersebut membuat kulit banyak diekspor. Peningkatan ini membuat
5
banyaknya pesaing-pesaing baru yang bergabung dalam industri penyamakan kulit. Namun hal tersebur tidak berlangsung lama. Industri penyamakan kulit mengalami penurunan kinerja pada beberapa tahun terakhir yang disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya krisis ekonomi, kurangnya bahan baku, bahkan peraturan pemerintah yang tidak berpihak terhadap industri penyamakan kulit. Hal tersebut mengakibatkan adanya penurunan jumlah produksi, pengurangan tenaga kerja, serta penurunan volume ekspor kulit. Seperti yang terjadi pada tahun 1996, jumlah tenaga kerja pada industri penyamakan kulit berjumlah 7358 orang. Saat krisis jumlah tenaga kerja menurun menjadi 7102 orang. Penurunan jumlah produksi dan jumlah tenaga kerja membuat banyak pabrik tutup. Hal ini berpengaruh terhadap struktur, perilaku, dan kinerja industri penyamakan kulit Indonesia. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur, perilaku, dan kinerja industri penyamakan kulit Indonesia? 2. Bagaimana hubungan struktur dan faktor-faktor lainnya dengan kinerja industri penyamakan kulit Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
6
1. Menganalisa struktur, perilaku, dan kinerja industri penyamakan kulit Indonesia. 2. Menganalisa hubungan struktur dan faktor-faktor lainnya dengan kinerja industri penyamakan kulit.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui struktur, perilaku, dan kinerja dari industri penyamakan kulit Indonesia. 2. Mengetahui hubungan struktur dan faktor-faktor lainnya dengan kinerja industri penyamakan kulit. 3. Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk meneliti lebih lanjut mengenai industri penyamakan kulit di Indonesia.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengenai struktur, perilaku, dan kinerja dari industri penyamakan kulit di Indonesia serta hubungan antara struktur dengan faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja. Penelitian ini hanya dibatasi pada industri penyamakan kulit dengan kode ISIC 19112 dan kode HS 41. Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari 1990 hingga 2008.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Konsep Ekonomi Industri Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi yang membantu menjelaskan mengapa pasar perlu diorganisir dan bagaimana pengorganisasiannya memengaruhi cara kerja pasar industri. Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku, dan kinerja pasar (Jaya, 2001). Menurut Dumairy (1996), sektor industri dianggap sebagai sektor yang dapat memimpin sektor lain dalam perekonomian. Produk industri memiliki terms of trade yang tinggi dan memiliki nilai tambah yang lebih besa dibandingkan produk-produk dari sektor lainnya. Terdapat lima alasan pentingnya ekonomi industri untuk dipelajari, yaitu: 1. Praktek-praktek struktur pasar yang semakin terkonsentrasi dalam kegiatan bisnis telah dikenal sejak lama. 2. Semakin tinggi konsentrasi industri cenderung mengurangi persaingan antar perusahaan yang kemudian membawa perilaku yang kurang efisien. 3. Konsentrasi industri yang tinggi membawa konsentrasi kekayaan yang melemahkan usaha-usaha pemerataan pendapatan, kesempatan kerja, maupun kesempatan berusaha. 4. Kaitan struktur industri dengan penyelesaian masalah-masalah ekonomi membawa lebih jauh intervensi pemerintah.
8
5. Kajian-kajian tentang struktur, perilaku, dan kinerja industri tidak terlepas dari masalah-masalah apa yang diproduksi, bagaimana, dan untuk siapa suatu barang dan jasa diproduksi.
2.2 Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja Dalam teori organisasi industri, terdapat konsep SCP (Structure, Conduct, and Performance) merupakan teori yang digunakan untuk melihat kondisi struktur pasar dan persaingan yang terjadi pada pasar. Teori ini menjelaskan bahwa kinerja suatu industri sangat dipengaruhi oleh struktur pasar. Struktur pasar akan memengaruhi perilaku dan strategi perusahaan dalam suatu industri dan perilaku akan memengaruhi kinerja. Jika struktur memengaruhi kinerja pasar, maka hal ini akan menentukan posisi pasar setiap perusahaan. Setiap perusahaan memiliki posisi tersendiri dalam suatu industri. Sebagian memiliki pangsa pasar kecil dan berada dibawah tekanan persaingan, dan sebagiannya lagi memiliki pangsa pasar yang luas dan menghadapi persaingan yang relatif kecil. Kinerja seluruh pasar merupakan kinerja setiap perusahaan secara agregat, sehingga kinerja pasar merupakan fungsi dari rasio konsentrasi perusahaan di dalam industri. Pendekatan struktur, perilaku, dan kinerja pasar dapat dilihat pada Gambar 2.1 Structure, mengacu pada struktur pasar yang didefinisikan oleh rasio konsentrasi pasar. Rasio konsentrasi pasar adalah rasio yang mengukur distribusi pangsa pasar dalam industri. Conduct, merupakan perilaku perusahaan dalam industri. Perilaku ini bersifat persaingan (competitive) atau kerjasama (collusive),
9
seperti misalnya dalam penetapan harga, iklan, produksi dan predation. Performance atau kinerja adalah ukuran efisiensi sosial yang biasanya didefinisikan oleh rasio market power (semakin besar kekuatan pasar semakin rendah efisiensi sosial). Struktur Jumlah penjual dan pembeli Struktur biaya Diferensiasi produk Integrasi vertikal Hambatan Masuk Skala ekonomi Diversifikasi
Perilaku Strategi harga Strategi produk Tingkat kerjasama
Iklan Riset dan inovasi
Kinerja Efisiensi Full employment Pertumbuhan Pemerataan Kemajuan teknologi Sumber : Hasibuan (1993)
Gambar 2.1. Hubungan Struktur-Perilaku-Kinerja 2.2.1. Struktur Pasar Struktur pasar dapat menunjukkan lingkungan persaingan antara penjual dan pembeli melalui proses terbentuknya harga dan jumlah produk yang ditawarkan dalam pasar (Jaya, 2001). Struktur pasar menjadi ukuran penting dalam mengamati variasi pelaku dan kinerja industri, karena secara strategis dapat memengaruhi kondisi persaingan serta tingkat harga barang dan jasa. Dengan demikian, pengaruh tersebut akhirnya sampai pada kesejahteraan manusia. Struktur juga menunjukkan atribut pasar yang memengaruhi sifat proses
10
persaingan. Struktur pasar memiliki beberapa elemen-elemen penting, yaitu pangsa pasar, konsentrasi, dan hambatan masuk pasar. a. Pangsa Pasar Pangsa pasar adalah persentase pendapatan perusahaan dari total pendapatan industri yang dapat diukur dari 0 sampai 100 persen (Jaya, 2001). Semakin tinggi pangsa pasar, maka semakin tinggi pula kekuatan pasar yang dimiliki perusahaan tersebut. Peranan pangsa pasar adalah sebagai sumber keuntungan bagi perusahaan. Perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang tinggi akan menciptakan monopoli yang mengejar keuntungan semaksimal mungkin. Apabila setiap perusahaan pangsa pasarnya rendah maka akan tercipta persaingan yang efektif. Tabel 2.1 menjelaskan tipe-tipe pasar yang tercipta berdasarkan kondisi utamanya. Tabel 2.1 Tipe-Tipe Pasar Berdasarkan Kondisi Utama Tipe Pasar Kondisi Utama Monopoli murni Perusahaan menguasai 100 persen pangsa pasar. Perusahaan yang dominan Perusahaan minimal menguasai 50 persen dari pangsa pasar dan tanpa pesaing yang kuat. Oligopoli ketat Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar 60 persen sampai dengan 100 persen. Kesempatan diantara mereka untuk menetapkan harga lebih mudah Oligopoli sedang Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar sebesar 40 persen sampai 60 persen. Oligopoli longgar Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar dibawah 40 persen. Persaingan monopolistik Banyak pesaing yang efektif dan tidak ada satupun yang memiliki pangsa pasar lebih dari 10 persen. Persaingan murni Terdapat lebih dari 50 pesaing dan tidak ada satupun yang memiliki pangsa pasar yang berarti Sumber : Jaya (2001)
11
b. Rasio Konsentrasi Konsentrasi adalah kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan (Jaya, 2001). Kombinasi pangsa pasar membentuk suatu tingkatan pemusatan dalam pasar. Penerimaan (return) rata-rata industri yang terkonsentrasi akan lebih tinggi daripada penghasilan dari jenis industri yang kurang terkonsentrasi. Terdapat empat indeks konsentrasi, yaitu: 1. Rasio konsentrasi yang standar memerlukan data mengenai ukuran pasar secara keseluruhan dan ukuran-ukuran perusahaan yang memimpin pasar. 2. Indeks Hirschman-Herfindahl merupakan penjumlahan kuadrat pangsa pasar semua perusahaan dalam suatu industri. 3. Indeks Rosenbluth didasarkan pada peringkat setiap perusahaan dan pangsa pasarnya. 4. Indeks entropi mengukur pangsa pasar semua perusahaan. Teori ekonomi memperkirakan bahwa kekuatan pasar lebih berlaku di dalam pasar yang menunjukkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Kekuatan pasar dicerminkan oleh sedikitnya perusahaan yang menguasai pasar atau adanya perusahaan yang dominan dalam suatu industri. c. Hambatan Masuk Pasar Pesaing yang potensial adalah perusahaan-perusahaan di luar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang sebenarnya. Segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru merupakan hambatan untuk masuk. Hambatan-
12
hambatan ini mencakup seluruh cara dengan menggunakan perangkat tertentu yang sah seperti paten dan franchise (Jaya, 2001). Menurut Shepherd (1990) bahwa dengan adanya hambatan masuk akan menghalangi pesaing yang potensial untuk memasuki pasar dan menjadi pesaing yang sesungguhnya. Apapun yang mengurangi kemungkinan skala atau kecepatan dari masuknya perusahaan disebut sebagai hambatan masuk. Hambatan masuk dibagi menjadi dua jenis, yaitu hambatan eksogen dan hambatan endogen. Hambatan eksogen merupakan hambatan untuk masuk ke dalam pasar yang sifatnya berada diluar kontrol dari leading firms dan merupakan suatu penyebab fundamental yang tidak dapat diubah. Sedangkan hambatan endogen adalah hambatan untuk masuk yang bersumber dari dalam perusahaan itu sendiri, seperti kebijakan harga dari establish firm, penciptaan kelebihan kapasitas, image dari loyalitas merk suatu produk, strategi penguasaan produk, dan strategi bahan baku. Faktor lain dari hambatan masuk adalah dengan pengukuran Minimum Efficiency Scale (MES). Jika MES relatif besar terhadap pasar, perusahaan baru tidak akan dapat membuka pabrik yang beroperasi secara efisien tanpa meningkatkan output industri. Perusahaan yang berada di bawah MES tidak akan dapat bersaing dengan perusahaan yang telah ada di dalam pasar. 2.2.2. Perilaku Pasar Menurut Hasibuan (1993), perilaku pasar adalah pola tanggapan dan penyesuaian yang dilakukan suatu perusahaan di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Biasanya perilaku dilakukan dengan melihat kondisi pasar yang akan dimasuki atau kondisi pasar ketika mereka berusaha. Suatu industri melakukan
13
penyesuaian untuk melakukan peranannya di dalam pasar sehingga tercapai tujuannya. Perilaku ini jelas terlihat pada penentuan harga, promosi, koordinasi kegiatan dalam pasar dan juga kebijaksanaan produk. Dalam pengertian koordinasi terjadi sangat luas seperti kolusi. Pada pasar monopoli, perilaku dalam menetapkan harga dan jumlah produk bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Monopoli juga menetapkan tingkat harga bukan melalui mekanisme pasar. Perilaku setiap perusahaan akan sulit diperkirakan pada kondisi pasar oligopoli. Pada pasar oligopoli, tindakan yang dilakukan terkait dengan kebijakan yang diambil oleh pesaing terdekat (Jaya, 2001). 2.2.3. Kinerja Pasar Kinerja pasar adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku pasar (Hasibuan, 1993). Kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek namun biasanya dipusatkan pada tiga aspek pokok, yaitu efisiensi, kemajuan teknologi, dan keseimbangan dalam industri (Jaya, 2001). 1. Efisiensi Efisiensi adalah menghasilkan suatu nilai output yang maksimum dengan menggunakan sejumlah input tertentu, baik secara kuantitas maupun nilai ekonomis dan tidak ada nilai sumberdaya yang terbuang. Tingkat efisiensi terbagi dua, yaitu efisiensi internal (efisiensi-X) dan efisiensi eksternal. Tingkat efisiensi internal menggambarkan perusahaan yang dikelola dengan baik. Efisiensi internal diperoleh melalui pengelolaan yang baik dalam perusahaan. Pengukuran inefisiensi-X secara sederhana didapat dari kelebihan biaya yang tidak diinginkan
14
dan dinyatakan dalam suatu presentase dari biaya yang terjadi/sesungguhnya (Jaya, 2001). Efisiensi alokasi menggambarkan alokasi sumberdaya ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi perbaikan dalam produksi yang dapat menaikkan nilai output. 2. Kemajuan Teknologi Melalui penemuan dan pembaharuan teknologi, orang dapat membuat suatu karya yang baru serta meningkatkan produktivitas suatu produksi barang yang sudah ada. Jika hal ini bekerja dengan baik, produksi-produksi baru ditawarkan, biaya-biaya menurun, dan harga-harga yang turun akan memperbesar keuntungan konsumen (Jaya, 2001). 3. Keadilan Keadilan dalam pendistribusian sangat erat kaitannya dengan efisiensi dalam
pengalokasian.
Keadilan
mempunyai
tiga
dimensi
pokok
yaitu
kesejahteraan, pendapatan dan kesempatan. Kesejahteraan dan pendapatan berkaitan dengan nilai uang. Sementara kesempatan berkaitan dengan peluang yang dimiliki setiap orang.
2.3 Penelitian Terdahulu Winsih (2007) dalam penelitiannya mengenai struktur, prilaku, dan kinerja industri manufaktur di Indonesia menjelaskan bahwa struktur manufaktur di Indonesia adalah oligopoli. Penelitian ini menggunakan metode panel data dengan variabel produktivitas, efisiensi internal, CR4, pertumbuhan nilai produksi, ekspor, dan impor. Dari seluruh variabel yang digunakan, variabel produktivitas dan
15
efisiensi internal memberikan pengaruh yang besar dalam peningkatan kinerja. Sedangkan rasio konsentrasi, ekspor, dan impor tidak signifikan terhadap peningkatan keuntungan. Pada penelitian struktur, perilaku, dan kinerja pertambanagan non-migas di Indonesia oleh Maisarah (2010) menjelaskan bahwa sektor pertambangan nonmigas memiliki struktur oligopoli. Perilaku pasar di sektor pertambangan nonmigas dilihat dari stategi harga dimana perusahaan dalam sektor ini sebagai price taker. Penelitian ini menggunakan model efek tetap (Fixed Effect Model). Hasil dari estimasi diperoleh variabel yang berpengaruh besar dalam peningkatan kinerja adalah efisiensi internal, dan ekspor. Variabel konsentrasi dua perusahaan terbesar dan produktivitas juga berpengaruh signifikan terhadap peningkatan keuntungan. Solehah (2008) meneliti struktur, perilaku, dan kinerja pada industri telekomunikasi seluler Indonesia. Hasil penenelitiannya menjelaskan bahwa industri seluler di Indonesia bersifat oligopoli ketat. Perilaku pasar pada penelitian ini dapat dilihat dari strategi harga, produk, promosi, dan distribusi serta perilaku kolusi. Kinerja tiga operator seluler terbesar tergolong baik dilihat dari sisi output, dimana jangkauan dari tiga operator seluler ini begitu luas sehingga pelanggan dapat menikmati fasilitas komunikasi dengan baik. Penelitian ini menggunakan analisis panel data. Pada pengukuran kinerja digunakan pendekatan NIM (Net Income Margin).
16
Penelitian terdahulu di atas banyak menggunakan analisis data panel maka pada penelitian ini digunakan analisis OLS (Ordinary Least Square). Indikator pengukuran kinerja yang digunakan adalah PCM (Price Cost Margin).
2.4 Kerangka Pemikiran Industri penyamakan kulit merupakan industri yang menghasilkan bahan baku bagi industri barang kulit. Dalam penelitian mengenai industri penyamakan kulit ini akan dijelaskan mengenai struktur pasar, perlaku, kinerja, dan hubungan antara struktur dengan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja. Struktur pasar dianalisis menggunakan tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4), dan hambatan masuk pasar. Sedangkan untuk menganalisis kinerja dilihat melalui PCM, efisiensi internal, Growth, ekspor, produktivitas, dan jumlah tenaga kerja. Penelitian ini juga akan membahas mengenai hubungan antara struktur dan faktorfaktor lain yang memengaruhi kinerja industri penyamakan kulit. Perilaku industri dianalisis dengan melihat strategi produk, promosi, distribusi, dan bisnis. Variabel yang digunakan untuk melihat hubungan struktur dengan kinerja adalah tingkat keuntungan (PCM), rasio konsentrasi (CR4), pertumbuhan produksi (GROWTH), efisiensi internal (XEF), produktivitas (PROD), jumlah tenaga kerja (TK), dan volume ekspor (EKS). Analisis faktor-faktor tersebut menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Ilustrasi kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.2.
17
CR4
Strategi produk
MES
Strategi distribusi
X-eff Growth Ekspor
Strategi bisnis TK Produktivitas CR4
Struktur
Perilaku
Kinerja PCM
Strategi dalam mengembangkan industri penyamakan kulit Indonesia Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
2.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan sebelumnya maka hipotesis yang diuji melali penelitian ini meliputi: 1. Konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) memiliki pengaruh positif terhadap PCM. Semakin tinggi konsentrasi suatu perusahaan maka semakin besar tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan. Sementara tingkat
18
konsentrasi memiliki pengaruh negatif dengan persaingan. Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka tingkat persaingan akan menurun dan sebaliknya. 2. Efisiensi internal (X-eff) memiliki pengaruh positif terhadap PCM. Semakin efisien suatu perusahaan maka tingkat keuntungan perusahaan akan meningkat. Efisien suatu perusahaan untuk memproduksi sebuah produk dengan sumber daya yang lebih sedikit atau sama karena efisiensi merupakan pengurangan biaya sehingga biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam jangka panjang lebih murah. 3. Pertumbuhan output (Growth) memiliki pengaruh yang positif terhadap PCM. Semakin tinggi permintaan pasar dalam pertumbuhan nilai produksi (Growth) maka tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan juga akan semakin meningkat karena adanya dorongan perusahaan untuk meningkatkan output. 4. Produktivitas memiliki pengaruh positif terhadap PCM. Semakin tinggi nilai output akan meningkatkan nilai produktivitas suatu perusahaan. Produktivitas yang meningkat menunjukan kinerja yang meningkat pula maka akan menambah penghasilan dan keuntungan bagi perusahaan.
5. Jumlah tenaga kerja memiliki pengaruh negatif terhadap PCM. Semakin banyak tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan akan menurunkan keuntungan bagi perusahaan, ceteris paribus. 6. Volume ekspor memiliki pengaruh positif terhadap PCM. Semakin tinggi volume ekspor maka tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan akan semakin meningkat.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapat dari beberapa sumber, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, dan instansi terkait lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Selain itu, data yang digunakan juga didapatkan dari penelusuran internet dan literatur terkait. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dengan data dari tahun 1990 hingga 2008. Adapun data-data yang diperlukan yaitu nilai input, nilai output, nilai tambah, tingkat upah pekerja.
3.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan melihat pengaruh variabel-variabel yang saling berhubungan. Metode kuantitatif dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan SCP (StructureConduct-Performance) dan pendekatan OLS untuk menganalisis hubungan antara struktur dan kinerja industri penyamakan kulit. Data sekunder diolah menggunakan program komputer Minitab 14 dan kemudian hasil outputnya akan diinterpretasikan.
20
3.2.1. Analisis Struktur Pasar Setiap perusahaan memiliki pangsa pasar yang berbeda-beda berkisar antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Pangsa pasar menggambarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dari hasil penjualannya. Si MSi =
x 100%
(3.1)
Stotal dimana: MSi
: pangsa pasar perusahaan i (%)
Si
: jumlah pelanggan perusahaan i (juta)
Stotal
: total jumlah pelanggan seluruh perusahaan (juta)
3.2.2. Rasio Konsentrasi (CR) Tingkat konsentrasi dapat dihitung melalui Concentration Ratio (CR). Rasio konsentrasi merupakan persentase dari total output industri atau pendapatan penjualan. Rasio sejumlah perusahaan mengukur pangsa pasar relatif dari total output industri yang dipertanggungjawabkan oleh perusahaan-perusahaan itu. CRm =
(3.2)
dimana: CRm
: rasio konsentrasi perusahaan terbesar
MSi
: pangsa pasar perusahaan i (%)
Semakin besar angka persentasenya (mendekati 100) berarti semakin besar konsentrasi industri dari produk tersebut. Jika rasio konsentrasi suatu industri mencapai 100 persen berarti bentuk pasarnya adalah monopoli.
21
3.2.3. Hambatan Masuk Pasar Hambatan masuk pasar dapat dilihat dengan banyaknya pesaing yang bermunculan untuk berpacu dalam mencapai target keuntungan yang diinginkan dan merebut pangsa pasar. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat hambatan masuk pasar adalah dengan mengukur skala ekonomis yang didekati melalui output perusahaan. Nilai output tersebut kemudian dibagi dengan output total industri. Output perusahaan terbesar MES =
x 100%
(3.3)
Output total
3.3 Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar dianalisis secara deskriptif dengan tujuan utnuk memperoleh informasi mengenai perilaku perusahaan dalam industri itu sendiri. Perilaku industri penyamakan kulit akan dianalisis dengan melihat strategi produk, strategi distribusi dan strategi bisnis.
3.4 Analisis Kinerja Industri Analisis kinerja dilakukan dengan menggunakan analisis Price-Cost Margin (PCM), efisiensi internal (X-eff), produktivitas dan pertumbuhan output (Growth). Efisiensi internal menunjukkan kemampuan perusahaan dalam suatu industri dalam menekan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Semakin efisien suatu perusahaan, semakin besar pula keuntungan yang akan diperoleh. Untuk
22
mengukur tingkat efisiensi internal adalah dengan membagi nilai tambah dengan input industri tersebut (Jaya, 2001). Nilai tambah X-eff =
x 100%
(3.4)
Nilai input Variabel yang digunakan sebagai indikator kinerja yang lainnya adalah proksi dari keuntungan Price Cost Margin (PCM). PCM dinyatakan sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga di atas biaya produksi. PCM juga diidentifikasikan sebagai persentase keuntungan dari kelebihan penerimaan atas biaya langsung. Tingkat PCM yang tinggi dapat tercipta jika terdapat rasio konsentrasi pasar yang tinggi. PCM diperoleh dengan membagi selisih antara nilai tambah dikurangi upah terhadap output yang dihasilkan (Jaya, 2001). Nilai tambah – Upah total PCM =
x 100%
(3.5)
Nilai barang yang dihasilkan Variabel pertumbuhan output (Growth) diduga dapat mempengaruhi kinerja industri karena variabel ini dapat menunjukkan permintaan pasar. Untuk mengukur tingkat pertumbuhan output (Growth) adalah dengan membagi selisih antara output pada tahun ke-i dan output tahun sebelumnya dengan output tahun sebelumnya. Sedangkan produktivitas mengindikasikan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan output pada periode waktu tertentu. Output tahun(t) – Output tahun (t-1) Growth =
x 100% Output tahun (t-1)
(3.6)
23
Nilai output Produktivitas =
x100%
(3.7)
Input TK 3.5 Hubungan Struktur dan Faktor-Faktor Lain dengan Kinerja Hubungan struktur pasar dengan faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kinerja dilihat menggunakan analisis regresi linier berganda. Analisis regresi adalah studi dalam menjelaskan dan mengevaluasi hubungan antara suatu variabel bebas (independent variable) dengan variabel tak bebas (dependent variable) dengan tujuan untuk mengestimasi nilai variabel tak bebas yang didasarkan pada nilai variabel bebas yang diketahui (Gujarati, 1999). Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah PCM, CR4, efisiensi internal, growth, produktivitas, dan jumlah tenaga kerja. Secara sistematis dapat ditulis sebagai berikut: PCMt = α0 + α1CR4t + α2GROWTHt + α3XEFt + α4PRODt α6lnEKSt + Ut
+
α5lnTKt + (3.7)
dimana: PCMt
: rasio keuntungan perusahaan pada tahun ke t (%)
CR4t
: rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar pada tahun ke t (%)
GROWTHt
: pertumbuhan output pada tahun ke t (%)
XEFt
: efisiensi internal pada tahun ke t (%)
PRODt
: produktivitas pada tahun ke t
TKt
: jumlah tenaga kerja pada tahun ke t (orang)
EKSt
: volume ekspor tahun ke t (kg)
Ut
: galat
24
α0
: intersep Parameter yang digunakan untuk menganalisis adalah metode Ordinary
Least Square (OLS). Dengan asumsi-asumsi tertentu, metode Ordinary Least Square (OLS) memiliki beberapa sifat statistik yang menjadikannya menjadi salah satu metode analisis regresi yang kuat. Beberapa kelebihan metode OLS adalah sebagai berikut: 1. Hasil estimasi OLS bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). 2. Tata cara pengolahan data dengan metode OLS relatif lebih mudah dibanding metode ekonometrik yang lain. 3. Mekanisme pengolahan data dengan metode OLS mudah dipahami. Beberapa sifat penduga yang utama agar metode OLS dapat digunakan adalah tidak bias, efisien,dan varian minimum.
3.6 Definisi Operasional Dalam
perumusan
model
analisis
struktur
dan
kinerja
industri
penyamakan kulit menggunakan beberapa variabel. Definisi operasional dari variabel-variabel tarsebut adalah sebagai berikut: 1. PCM digunakan sebagai indikator dari kinerja industri. PCM merupakan rasio keuntungan industri yang mencerminkan kelebihan atas biaya langsung. 2. CR4 adalah rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar yang memimpin pasar 3. Efisiensi- X adalah efisiensi internal perusahaan-perusahaan dalam industri. Efisiensi internal mengindikasikan kinerja perusahaan dikelola dengan baik dan optimal.
25
4. Growth adalah pertumbuhan nilai produksi yang dihasilkan oleh suatu industri. 5. Produktivitas merupakan produktivitas yang dihasilkan oleh industri. Produktivitas dapat dinyatakan sebagai perbandingan nilai output dan nilai input tenaga kerja dalam hal ini adalah upah TK. 6. Jumlah TK adalah jumlah tenaga kerja yang bekerja pada industri tersebut baik tenaga kerja produksi maupun tenaga kerja lainnya. 7. Nilai ekspor merupakan nilai dari penjualan barang yang dilakukan oleh suatu negara ke negara lain.
3.7 Uji Hipotesis Uji hipotesis bertujuan untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang digunakan signifikan atau tidak. Dikatakan signifikan jika suatu nilai dari parameter regresi secara statistik tidak sama dengan nol. Jika nilai koefisien sama dengan nol, maka dapat dikatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menyatakan suatu variabel bebas tersebut berpengaruh terhadap variabel tak bebasnya. 3.7.1. Uji F Uji F dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara keluruhan. Pengujian pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dilakukan melalui pengujian besar perubahan dari variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh perubahan nilai semua variabel independen. Analisis pengujian tersebut adalah sebagai berikut :
26
Perumusan Hipotesis H0 : β1 = β2 = β3 = βk = 0 H1 : Minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol Uji statistik yang digunakan : e2/(k-1) Fhitung =
(1-e2)/(n-k)
Dimana : e2
= Jumlah kuadrat regresi
(1- e2) = Jumlah kuadrat sisa n
= Jumlah pengamatan
k
= Jumah parameter
Fhitung > Ftabel,(k-1)(n-k) maka tolak H0 Jika tolak H0 berarti secara bersama-sama variabel bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, demikian pula sebaliknya. 3.7.2. Uji t Uji t dilakukan untuk melihat apakah variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Hipotesis : H0 : β k = 0 H1 : β k ≠ 0
27
Uji statistik yang digunakan, bi thitung = S(bi) ttabel = tα (n-k) dimana,
thitung
S(bi)
= Standar deviasi parameter untuk bi
bi
= Koefisien ke-i yang diduga
n
= Jumlah pengamatan
k
= Jumlah parameter
> ttabel,(n-k) maka tolak H0 Jika tolak H0 berarti secara variabel bebas dalam model berpengaruh nyata
terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, demikian pula sebaliknya. 3.7.3. Koefisien Determinasi Koefisien determinasi (R2) adalah angka yang mengukur keragaman pada variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variasi pada model regresi. Nilai ini berkisar antara nol sampai satu (0
R2 = 1-
(Yi -Y)2
R2-adjusted digunakan untuk membandingkan dua model karena R2adjusted telah mengalami koreksi terhadap derajat bebas model sehingga dua model yang berbeda derajat bebasnya dapat dibandingkan secara adil.
28
(Yi -Ŷ)2/ (n-1) 2
R -adjusted = 1-
(Yi -Y)2/ (n-k)
Dimana, R2- adjusted
= koefisien determinasi yang telah disesuaikan
k
= jumlah variabel bebas
n
= jumlah observasi
3.8 Uji Asumsi Beberapa asumsi dalam membuat persamaan adalah homoskedastisitas, multikolinieritas, autokorelasi, normalitas. 3.8.1. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas merupakan kondisi yang melanggar asumsi dari regresi linear klasik. Heteroskedastisitas menunjukkan nilai varian dari variabel bebas yang berbeda, sedangkan asumsi yang dipenuhi linear klasik adalah mempunyai varian yang sama atau homoskedastisitas. Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan uji White Heteroskedastisity Test (Gujarati, 1995). H0 : δ = 0 H1 : δ ≠ 0 Taraf nyata = α Pengujian ini dilakukan dengan melihat probabilitas obs*R-squarednya. Pengambilan kesimpulan dapat dilakukan dengan melihat apakah nilai probabilitas dari obs*R-squared lebih kecil atau lebih besar dibandingkan dengan
29
taraf nyata α. Jika lebih kecil, maka tolak H0 yang artinya mengalami masalah heteroskedastisitas. 3.8.2. Uji Multikolinieritas Multikolinearitas adalah kondisi terdapatnya hubungan linier atau korelasi yang tinggi antara masing-masing variabel independen dalam model regresi. Multikolinearitas biasanya terjadi ketika sebagian besar variabel yang digunakan saling
terkait
dalam
suatu
model
regresi.
Oleh
karena
itu
masalah
multikolinearitas tidak terjadi pada regresi linier sederhana yang hanya melibatkan satu variabel independen. Tingkat multikolinieritas dilihat melalui besarnya nilai VIF (Variance Inflation Factor). Jika nilai VIF sangat besar (mendekati sepuluh) maka terjadi hubungan linier antar variabel (multikolinieritas). 1 VIF = 1-Rj2 j = 1,2,...,k dimana, VIF
= Variance Inflation Factor
Rj2
= Koefisien determinasi dari regresi variabel bebas ke-j
Model yang mengalami masalah multikolinearitas umumnya memiliki nilai R2 tinggi tetapi banyak varian Xi yang tidak nyata. 3.8.3. Uji Autokorelasi Asumsi ini menyatakan bahwa dalam pendugaan regresi tidak terjadi masalah autokorelasi. Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah hubungan diantara galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Autokorelasi cenderung
30
akan mengestimasi standar eror lebih kecil dibandingkan nilai sebenarnya, sehingga nlai t-statistic akan lebih besar. Akhirnya uji F dan t tidak valid dan peramalan menjadi tidak efisien. Pengujian ada atau tidaknya autokorelasi dapat menggunakan metode Durbin Watson (DW). 3.8.4. Uji Normalitas Uji ini dilakukan jika jumlah sampel yang digunakan kurang dari 30 (n<30). Uji ini untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal. Hipotesis pengujiannya sebagai berikut: H0: α = 0, error term terdistribusi normal H1: α ≠ 0, error term tidak terdistribusi normal Wilayah penolakan H0 adalah saat p < α, jika H0 ditolak maka disimpulkan error term tidak terdistribusi normal.
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT
4.1 Jenis Kulit untuk Industri Penyamakan Kulit Kulit merupakan hasil ikutan (by product) dari rumah potong hewan yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Kulit digunakan sebagai bahan baku bagi beberapa industri, seperti industri penyamakan kulit, industri alas kaki, garmen, tas, sarung tangan, dan kerajinan dari kulit lainnya. Berdasarkan tingkat olahan, bahan baku kulit untuk industri dapat digolongkan menjadi lima jenis kulit, adalah sebagai berikut: 1. Kulit mentah garaman Kulit mentah garaman adalah kulit hewan segar yang diawetkan dengan proses perendaman dalam larutan garam yang mengandung 2 persen sodium karbonat dalam waktu sekurang-kurangnya 28 hari. 2. Kulit asam (wet pickled) Kulit asam adalah kulit mentah yang diawetkan yang telah lepas bulu dan epidermisnya. Kulit ini telah diasamkan dengan asam dan garam sebagai penahan dengan derajat keasaman (pH) 2-3,5 dan berwarna putih. 3. Kulit samak (wet blue) Kulit samak merupakan kulit asam yang sudah melalui proses penyamakan krom tetapi belum diolah lebih lanjut dan berwarna biru. 4. Kulit kras (crust) Kulit kras adalah kulit hewan yang disamak dengan dua macam atau lebik zat penyamak namun belum diolah menjadi kulit jadi.
32
5. Kulit jadi (finished leather) Kulit jadi adalah kulit yang sudah disamak sampai proses penyelesaian dan siap dipergunakan untuk bahan baku membuat berbagai produk kulit.
4.2 Sejarah dan Perkembangan Industri Penyamakan Kulit Indonesia Sejak tahun 1970 hingga 2005 industri penyamakan kulit mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dalam penggunaan teknologi untuk merubah kulit mentah dan wet blue menjadi kulit jadi yang digunakan sebagai bahan baku pada industri barang-barang kulit. Dapat dilihat dari jumlah pabrik yang berdiri sejak tahun 1970 yaitu 37 pabrik hingga tahun 1995 sebanyak 70 pabrik. Kulit memberikan nilai tambah yang cukup tinggi karena kulit menjadi bahan baku bagi industri hilir barang-barang kulit, seperti alas kaki, tas, jaket, dan lain-lain. Banyaknya pabrik-pabrik yang muncul mengakibatkan terbentuknya sentra-sentra industri baru, seperti di Magetan, Garut, dan Madiun. Munculnya pabrik-pabrik baru juga menyebabkan meningkatnya kapasitas terpasang dari 40.000 ton menjadi 70.000 ton per tahun. Selain pabrik-pabrik baru yang bermunculan, teknologi yang digunakan oleh industri penyamakan kulit juga semakin maju. Pewarnaan kulit yang semula dilakukan secara tradisional diganti dengan mesin pewarnaan yang otomatis, yang bisa membuat warna lebih merata, dan campuran warna yang lebih stabil sesuai dengan yang trend yang disukai.
33
Saat terjadi krisis tahun 1997, industri penyamakan mengalami krisis dengan berkurangnya nilai produksi dan jumlah tenaga kerja sehingga banyak perusahaan penyamakan harus gulung tikar. Kondisi ini diperparah dengan adanya ekspor kulit mentah atau wet blue padahal pasokan kulit tersebut masih sangat dibutuhkan di dalam negeri. Produksi kulit domestik telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Seperti pada Tabel 4.4, dari tahun 2004 hingga tahun 2006, produksi kulit jadi untuk alas kaki meningkat 49 persen dari 45 juta kaki persegi di tahun 2002 menjadi 67 juta di tahun 2004. Akan tetapi, dalam dua tahun terakhir, tingkat produksi telah menurun sebesar 15 persen dari 67 juta di tahun 2004 menjadi 57 juta kaki persegi di tahun 2006. Penurunan ini menyebabkan terjadinya defisit karena jumlah yang dikonsumsi lebih besar daripada produksi kulit itu sendiri. Defisit ini ditangani melalui impor dari negara lain, seperti Cina, India, dan Itali. Tabel 4.1. Kulit Jadi untuk Alas Kaki (dalam juta kaki persegi) Tahun Produksi Konsumsi Ekspor 2002 60 45 18 2003 64 56 19 2004 68 67 24 2005 66 62 22 2006 69 57 12
Impor 33 27 25 23 24
Sumber: Asosiasi Persepatuan Indonesia (2007)
Tahun 2010, industri penyamakan kulit mengalami kekurangan bahan baku dan banyak diantaranya berasal dari impor. Kekurangan tersebut menyebabkan utilisasi industri penyamakan kulit nasional hanya berkisar 50 hingga 60 persen. Kapasitas terpasang industri penyamakan kulit tahun 2010
34
mencapai 150 juta square feet atau setara dengan lima juta lembar kulit sapi dan 100 juta lembar kulit domba. Industri penyamakan kulit dikategorikan sebagai industri skala besar dan menengah. Perusahaan penyamakan kulit selalu mengalami perubahan setiap tahunnya. Dapat dilihat dari tahun 2000 hingga 2008, jumlah perusahaan penyamakan kulit berkisar dari 40 hingga 60 perusahaan (Tabel 4.2). Perusahaanperusahaan tersebut sebagian tergabung dalam Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia. Tabel 4.2. Perkembangan Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Penyamakan Kulit Indonesia Tahun 2000-2008 Tahun Jumlah Perusahaan Jumlah Tenaga Kerja (perusahaan) (Orang) 2000 65 7262 2001 50 5607 2002 52 6574 2003 47 5697 2004 54 6437 2005 56 6432 2006 44 6774 2007 48 6363 2008 50 7428 Sumber : Badan Pusat Statistik (2008)
4.3 Produksi Kulit Indonesia Kulit di Indonesia di produksi oleh industri penyamakan kulit. Kulit yang diproduksi oleh industri penyamakan kulit berasal dari kulit hewan ternak, seperti sapi, kerbau, dan kambing. Salah satu hambatan industri pengolahan adalah minimnya suplai bahan baku. Begitu pula yang terjadi dengan industri kulit dan barang kulit. Industri kulit dan barang kulit mengalami kesulitan bahan baku karena hasil produksi dari industri penyamakan kulit sedikit.
35
Produksi kulit di Indonesia mengalami fluktuasi selama periode tahun 1990 hingga 2008. Berdasarkan Gambar 4.1, nilai produksi kulit di Indonesia cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya dari tahun 1990 hingga tahun 2002. Nilai produksi pada tahun 2002 mencapai Rp. 1,903,357,937. Setelah tahun 2002, produksi kulit terus mengalami penurunan hingga tahun 2004. Pada tahun 2005,
nilai
produksi
kulit
kembali
mengalami
peningkatan
menjadi
Rp.3,798,504,923. Pada tahun 2006, nilai produksi kembali mengalami penurunan menjadi Rp. 955,646,093. Tahun 2007 nilai produksi kembali naik menjadi Rp. 1,316,650,832 namun hanya bertahan satu tahun dan kemudian tahun 2008 nilai produksi turun menjadi Rp. 1,203,544,593. Penurunan nilai produksi yang terjadi disebabkan karena adanya kelangkaan ternak yang disebabkan adanya wabah penyakit ternak dan tingginya permintaan ternak untuk dikonsumsi.
Sumber : Badan Pusat Statistik Gambar 4.1. Nilai Produksi Kulit Tahun 1990-2008
36
4.4 Ekspor Kulit Industri penyamakan kulit menghasilkan kulit yang menjadi bahan baku bagi industri kulit dan barang kulit. Kulit yang dihasilkan memiliki nilai tambah dan kualitas yang baik. Nilai tambah yang cukup tinggi dan kualitas kulit mentah yang baik menarik konsumen luar negeri untuk membeli kulit dari Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan nilai ekspor kulit dan barang-barang kulit setiap tahunnya. Beberapa negara tujuan ekspor kulit mentah adalah Cina, Hongkong, dan Vietnam. Berdasarkan Tabel 4.4, terlihat bahwa ekspor kulit meningkat setiap tahun dari tahun 1996 hingga tahun 2000. Pada tahun 1996, volume kulit yang diekspor sebanyak 1,436,344 kg dan terus meningkat hingga 30,161,059 kg pada tahun 1999. Namun ekspor kulit menurun pada tahun 2000 yaitu sebesar 17,164,263 kg. Setelah tahun 2000, ekspor kulit mengalami fluktuasi. Tabel 4.4. Ekspor Kulit Indonesia Tahun 1996-2008 Tahun Volume (kg) 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
1,436,344 7,730,105 8,874,539 30,161,059 17,164,263 8,309,713 8,723,625 9,403,142 13,095,921 9,846,591 10,463,279 9,374,107 7,669,017
Sumber : Badan Pusat Statistik (2008)
Pada tahun 2005 pemerintah menetapkan pajak ekspor masing-masing 15 persen untuk pickled dan 25 persen untuk wet blue. Penetapan pajak ekspor
37
tersebut mengakibatkan turunnya volume ekspor pada tahun 2005 menjadi 9,846,591. Pada tahun 2006 volume ekspor kembali meningkat menjadi 10,463,279 kg. Tahun 2007 volume kulit menurun menjadi 9,374,107 kg dan mencapai 7,669,017 kg di tahun 2008 (Tabel 4.4).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Struktur Industri Penyamakan Kulit Analisis struktur industri penyamakan kulit Indonesia dapat dilihat melalui rasio konsentrasi dari empat perusahaan terbesar dan besarnya hambatan masuk pasar pada industri tersebut. Rasio konsentrasi diperoleh dengan mengukur besarnya pangsa pasar empat perusahaan terbesar dalam industri penyamakan kulit. Sedangkan hambatan masuk dilihat dari persentase output empat perusahaan terbesar terhadap total output pada industri penyamakan kulit. 5.1.1. Rasio Konsentrasi Konsentrasi atau pemusatan merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan “oligopolis” dimana perusahaan-perusahaan tersebut menyadari adanya saling ketergantungan diantara mereka. Pengukuran rasio konsentrasi dilakukan pada empat perusahan terbesar (CR4) dalam industri penyamakan kulit Indonesia. Rasio konsentrasi diperoleh dengan mengukur besarnya kontribusi output yang dihasilkan oleh empat perusahaan terbesar terhadap total output yang dihasilkan oleh industri penyamakan kulit. Berdasarkan Gambar 5.1, rasio konsentrasi pada industri penyamakan kulit Indonesia mengalami fluktuasi setiap tahunnya selama periode 1990 hingga 2008. Pada tahun 1990, industri penyamakan kulit memiliki jumlah perusahaan sebanyak 56 perusahaan dengan rasio sebesar 39,71 persen. Ini berarti struktur pasar pada tahun 1990 adalah struktur oligopoli longgar. Oligopoli longgar merupakan penggabungan empat perusahaan terbesar yang memiliki pangsa pasar
39
di bawah 40 persen. Namun tahun 1991 dan 1992 struktur pasar industri ini berubah menjadi oligopoli sedang dengan rasio konsentrasi 49,7 persen dan 42,05 persen. Oligopoli sedang merupakan penggabungan empat perusahaan terbesar yang memiliki pangsa pasar antara 40 hingga 60 persen. Pada tahun 1993 rasio konsentrasi industri penyamakan kulit sebesar 37,55 persen. Pada tahun 1993, struktur pasar industri penyamakan kulit adalah oligopoli longgar. Tahun 1994 hingga tahun 1996, rata-rata rasio konsentrasi industri penyamakan kulit Indonesia sebesar 47,09 persen. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pasar industri penyamakan kulit pada tahun tersebut adalah oligopoli sedang. Industri penyamakan kulit mengalami struktur pasar oligopoli ketat pada tahun 1997 dengan rasio konsentrasi sebesar 70,34 persen. Oligopoli ketat merupakan penggabungan empat perusahaan terbesar dengan pangsa pasar berada diantara 60 hingga 100 persen. Struktur pasar industri penyamakan kulit pada tahun 1998 hingga 2001 kembali menjadi oligopoli sedang dengan rata-rata sebesar 49,48 persen. Pada tahun 2002 dan 2003 struktur pasar industri penyamakan kulit adalah oligopoli ketat dengan rata-rata sebesar 63,62 persen. Rasio konsentrasi industri penyamakan kulit pada tahun 2004 adalah 56,92 persen. Hal ini berarti struktur pasar pada tahun 2004 adalah oligopoli sedang. Tahun 2005 dan 2006 industri penyamakan kulit memiliki rata-rata rasio konsentrasi sebesar 62,45 persen yang berarti struktur pasarnya adalah oligopoli ketat. Pada tahun 2007 struktur pasar industri penyamakan kulit kembali menjadi oligopoli sedang dengan rasio konsentrasi sebesar 45,82 persen. Sedangkan pada tahun 2008 rasio konsentrasi
40
industri penyamakan kulit turun menjadi 36,11 persen sehingga struktur pasar menjadi oligopoli longgar. Selama periode 1990 hingga 2008 didapatkan rata-rata rasio konsentrasi industri penyamakan kulit Indonesia yaitu sebesar 51,03 persen. Ini berarti ratarata struktur industri penyamakan kulit adalah oligopoli sedang. Dikatakan oligopoli sedang karena pangsa pasar empat perusahaan terbesar berkisar antara 40 persen hingga 60 persen.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008 (diolah)
Gambar 5.1. Perkembangan Nilai CR4 Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008) 5.1.2. Hambatan Masuk Pasar Hambatan masuk pasar merupakan segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru. Masuknya perusahaan baru tersebut akan menimbulkan sejumlah implikasi bagi perusahaan yang sudah ada, misalnya kapasitas yang bertambah, perebutan pasar, dan perebutan sumberdaya yang terbatas. Kondisi ini menimbulkan ancaman bagi
41
perusahaan yang sudah ada (Jaya, 2001). Keberadaan perusahaan yang telah ada sebelumnya juga merupakan salah satu hal yang dapat menjadi hambatan masuk pasar. Hambatan masuk pasar dapat dilihat melalui nilai MES. Nilai MES diperoleh dari persentase output perusahaan terbesar terhadap total output pada industri penyamakan kulit. Menurut Comanor dan Wilson (1967) dalam Winsih (2007), hambatan masuk yang tinggi pada suatu industri ditandai oleh nilai MES yang lebih besar dari 10 persen. Tingginya nilai MES dapat menjadi penghalang bagi perusahaan baru yang akan masuk ke dalam pasar industri penyamakan kulit. Berdasarkan Gambar 5.2 dari tahun 1990 hingga tahun 1997 rata-rata nilai MES pada industri penyamakan kulit adalah sebesar 20,89 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa hambatan masuk pasar pada periode 1990 hingga 1997 cukup tinggi. Namun pada tahun 1998 hingga tahun 2000, rata-rata nilai MES industri penyamakan kulit turun menjadi 13,58 persen. Hal ini dikarenakan industri penyamakan kulit yang terkena imbas dari krisis ekonomi sehingga banyak perusahaan-perusahaan yang gulung tikar. Setelah tahun 2000, rata-rata nilai MES meningkat. Peningkatan ini terjadi hingga tahun 2005. Rata-rata nilai MES dari tahun 2001 hingga tahun 2005 adalah sebesar 36,88 persen. Tahun berikutnya yaitu tahun 2006 hingga tahun 2008 rata-rata MES yang dihasilkan menurun menjadi 21,03 persen. Secara keseluruhan rata-rata nilai MES pada periode tahun 1990 hingga tahun 2008 adalah 23,97 persen. Nilai ini lebih dari 10 persen sehingga hambatan masuk industri penyamakan kulit dapat dikatakan cukup tinggi.
42
Beberapa cara yang dilakukan oleh industri penyamakan kulit untuk menghambat pesaing baru untuk masuk adalah dengan membuat klaster industri melalui sentra-sentra industri seperti sentra industri penyamakan kulit yang ada di Garut dan Yogyakarta. Menurut Marshal dalam Kuncoro (2007), klaster membuat perusahaan yang ada dapat berspesialisasi lebih baik dan meningkatkan efisiensi produksi. Klaster dapat memfasilitasi perusahaan untuk meningkatkan inovasi dalam sebuah industri. Selain melalui pembentukan klaster, keberadaan dari perusahaan terbesar yang telah ada lebih dulu juga merupakan salah satu hal yang menjadi halangan bagi perusahaan lain untuk masuk dalam industri.
Sumber: BPS, 1990-2008 (diolah)
Gambar 5.2. Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008)
5.2 Analisis Kinerja Industri Penyamakan Kulit Kinerja adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri dimana hasil bisa diidentikkan dengan besarnya penguasaan pasar yang berpengaruh terhadap besarnya keuntungan suatu perusahaan di dalam suatu
43
industri. Analisis kinerja industri alas kaki dapat dilihat dari tingkat keuntungan, efisiensi internal, dan pertumbuhan produksi dari suatu industri. Tingkat keuntungan dapat diperoleh dari nilai PCM (Price Cost Margin). PCM adalah perbandingan selisih nilai tambah dan nilai upah dengan nilai barang yang dihasilkan dalam industri penyamakan kulit. Pada Gambar 5.3 ditunjukkan bahwa tingkat keuntungan pada industri penyamakan kulit selama periode tahun 1990 hingga tahun 2008 berfluktuatif dengan nilai yang tidak terlalu besar. Ratarata nilai PCM yang didapatkan oleh industri penyamakan kulit dar tahun 1990 hingga 2008 adalah sebesar 31,74 persen. Industri penyamakan kulit mengalami tingkat keuntungan terbesar pada tahun 2004 dengan tingkat keuntungan sebesar 63,24 persen. Sedangkan tingkat keuntungan terendah sebesar 17,66 persen yaitu pada tahun 2002. Rendahnya keuntungan pada tahun 2002 diduga karena adanya penurunan volume ekspor. Selain itu besarnya biaya input yang dikeluarkan juga membuat rendahnya tingkat keuntungan industri penyamakan kulit.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008 (diolah)
Gambar 5.3. Perkembangan Nilai PCM Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008)
44
Selain PCM, untuk mengukur kinerja suatu industri penyamakan kulit dapat pula dilihat melalui efisiensi internal dari industri tersebut. X-Eff dihitung dengan cara membagi nilai tambah dengan biaya input yang dikeluarkan. Efisiensi internal industri penyamakan kulit juga mengalami fluktuasi setiap tahunnya dengan rata-rata X-Eff sebesar 43,92 persen. X-Eff mengalami peningkatan pada tahun 1991 yaitu menjadi 62,30 persen. Namun setelah tahun 1991 hingga tahun 2002 efisiensi terus mengalami penurunan. Hal ini karena biaya input yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan dengan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri penyamakan kulit tersebut. Pada tahun 2004 nilai efisiensi meningkat tajam menjadi 92,75 persen dan kemudian turun kembali pada tahun 2005 menjadi 22,80 persen. Perkembangan efisiensi internal dari industri penyamakan kulit Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008 (diolah)
Gambar 5.4. Perkembangan Nilai Efisiensi Internal Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008)
45
Untuk mengukur kinerja juga dilihat dari pertumbuhan industri penyamakan kulit itu sendiri. Berdasarkan Gambar 5.5 terlihat bahwa pertumbuhan industri penyamakan kulit mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan nilai produksi yang dihasilkan oleh industri tidak meningkat setiap tahunnya namun terdapat penurunan dibeberapa tahun. Hal ini diduga karena sulitnya bahan baku kulit yang digunakan untuk memproduksi kulit mentah itu sendiri. Bahan baku kulit tersebut berasal dari kulit hewan seperti sapi dan kerbau. Adanya kelangkaan produksi hewan ternak tersebut akhirnya berimbas pada produksi kulit. Selain bahan baku, kesulitan modal juga membuat produksi kulit mengalami fluktuasi. Rata-rata pertumbuhan produksi pada industri penyamakan kulit selama periode 1990 hingga 2008 adalah sebesar 25,46 persen.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008 (diolah)
Gambar 5.5. Perkembangan Nilai Pertumbuhan Produksi Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008)
46
5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Industri Penyamakan Kulit Indonesia Dalam menganalisis hubungan antara struktur pasar terhadap kinerja industri penyamakan kulit dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Hasil estimasi model PCM industri penyamakan kulit Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Hasil Estimasi Persamaan PCM Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008) Dependen Variabel : PCM Variabel Koefisien Probabilitas VIF C 0.0834 0.927 CR4 -0.3417 0.063 2.1 GROWTH -0.02544 0.347 1.6 XEF* 0.56809 0,000 1.2 TK -0.06770 0.501 1.3 PROD* 0.09659 0.039 2.7 EKSPOR* 0.026806 0.004 1.1 R-Squared 84.8 Durbin-Watson Stat 2.00841 Prob (F-Statistic) 0.000 F-statistic 11.20 Keterangan : * Signifikan pada taraf nyata 5 persen.
5.3.1. Hasil Uji Ekonometrika Setelah melakukan uji model maka didapatkan model persamaan terbaik yang digunakan untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi hubungan struktur dengan kinerja. Faktor-faktor tersebut adalah rasio konsentrasi (CR4), efisiensi internal (XEF), pertumbuhan produksi (GROWTH), jumlah tenaga kerja (TK), produktivitas (PROD), dan ekspor (EKS). Keenam variabel tersebut harus terbebas dari masalah autokorelasi, multikolinearitas, dan heteroskedastisitas agar mendapatkan hasil regresi yang baik. Untuk itu perlu dilakukan pengujian pada variabel-variabel tersebut.
47
Uji normalitas dilakukan terhadap model karena data yang digunakan kurang dari 30. Uji normalitas dilakukan menggunakan uji Kolmogrov Smirnov. Hasil estimasi menunjukkan bahwa p-value yaitu lebih besar dari 0,150. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen (α = 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa residual terdistribusi normal maka model ini layak untuk digunakan (Lampiran 10). Uji heteroskedastisitas dilakukan agar kesalahan pengganggu tidak konstan pada semua variabel independen. Pengujian heteroskedastisitas menggunakan uji White. Uji White digunakan untuk melihat apakah terdapat heteroskedastisitas dalam hasil regresi. Nilai p-value dasi hasil uji t dan uji F menghasilkan nilai lebih besar dari taraf nyata 5 persen (α = 0,05), sehingga terima H0 yaitu homoskedastisitas (Lampiran 11). Uji multikolinearitas dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan linear antara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi. Pengujian multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai VIF. Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa tidak terjadi gejala multikolinearitas karena nilai VIF dari masing-masing variabel adalah lebih kecil dari 10 (Lampiran 12). Pengujian autokorelasi dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Autokorelasi dapat dilihat dengan menggunakan uji Durbin Watson dalam Tabel 5.1. Hasil estimasi menunjukkan Durbin-Watson statistic adalah 2.00841 dimana nilai ini mendekati 2 sehingga model tersebut dikatakan tidak mengalami autokorelasi.
48
Berdasarkan Tabel 5.1, diperoleh nilai R-Squared sebesar 84.8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa 84.8 persen keragaman PCM pada industri penyamakan kulit dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya, yaitu CR4, Growth, X-eff, TK, PROD, dan EKS. Sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model yaitu sebesar 15,2 persen. Nilai probabilitas (F-statistik) adalah 0,000 dimana nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (α = 0,05). Artinya paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap PCM dan persamaan tersebut telah lulus uji F (Tabel 5.1). Uji t-statistik digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari masing-masing variabel bebas secara individu berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebas. Apabila nilai probabilitas lebijh kecil dari taraf nyata 5 persen maka dikatakan bahwa variabel bebas tersebut berpengaruh nyata terhadap PCM pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sedangkan jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen maka variabel bebas tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap PCM. Hasil yang didapat dari Uji-t tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.1 bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap PCM hanya XEF, PROD, dan EKS. Sedangkan yang lainnya tidak berpengaruh nyata. 5.3.2. Hasil Estimasi Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa variabel bebas, XEF, PROD, dan EKS berpengaruh nyata pada taraf 0,05 (α = 5%) terhadap PCM. Sedangkan variabel bebas CR4, GROWTH, dan TK tidak memiliki pengaruh yang nyata
49
terhadap PCM. Nilai koefisien masing-masing variabel dapat dilihat pada Tabel 5.1. Persamaan regresi model PCM yang didapat adalah sebagai berikut: PCMt = 0.083 + 0.568 XEFt - 0.0254 GROWTHt - 0.342 CR4t - 0.0677 TKt + 0.0966 PRODt + 0.0268 EKSt
(5.1)
Dari hasil estimasi pada Tabel 5.1 terlihat bahwa variabel CR4 tidak signifikan terhadap peningkatan PCM pada taraf nyata 5 persen dengan koefisien sebesar -0.3417. Hasil estimasi tersebut tidak sesuai dengan hipotesis awal. Hal ini diduga karena tidak terdiferensiasinya pasar sehingga persaingan menjadi tinggi. Tidak terdiferensiasinya pasar diakibatkan oleh produk yang dihaslikan oleh industri penyamakan kulit tidak memilki merek yang dikenal oleh masyarakat sehingga persaingan di pasar menjadi tinggi. Karena hal tersebut, CR4 tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan keuntungan dan secara langsung tidak memengaruhi kinerja industri penyamakan kulit. Berdasarkan hasil estimasi model pada Tabel 5.1, variabel GROWTH tidak signifikan terhadap peningkatan keuntungan. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis bahwa growth memiliki hubungan yang positif terhadap peningkatan nilai PCM. Hal ini diduga karena pertumbuhan nilai yang diproduksi selalu berfluktuatif dan cenderung kecil sehingga cenderung menurunkan persentase pertumbuhan produksi industri penyamakan kulit di Indonesia. Variabel XEF atau efisiensi internal memiliki pengaruh yang signifikan terhadap PCM. Koefisien yang dimiliki oleh XEF sebesar 0.568. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan efisiensi-X sebesar satu persen maka akan meningkatkan keuntungan sebesar 0.568 persen, asumsi ceteris paribus. Hal
50
ini sesuai dengan hipotesis yaitu semakin efisien suatu perusahaan maka akan memungkinkan suatu perusahaan untuk memproduksi sebuah produk dengan sumberdaya yang lebih sedikit atau sama. Semakin efisien perusahaan maka kinerjanya akan semakin baik dan keuntungan yang didapat juga semakin meningkat. Variabel TK atau jumlah tenaga kerja tidak signifikan terhadap peningkatan PCM dengan koefsien sebesar -0.0677. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis karena semakin banyak tenaga kerja yang dipekerjakan oleh industri penyamakan kulit maka akan menyebabkan semakin besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja tersebut. Banyaknya biaya tersebut akan mengurangi tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan. Variabel PROD atau produktivitas memiliki pengaruh yang nyata terhadap PCM dengan koefisien yang dimiliki variabel ini yaitu sebesar 0.0966. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yaitu apabila terjadi peningkatan produktivitas sebesar satu persen maka keuntungan yang dihasilkan akan meningkat sebesar 0.0966, asumsi ceteris paribus. Semakin besar produktivitas yang dihasilkan maka keuntungan bagi industri penyamakan kulit akan meningkat. Variabel EKS signifikan terhadap peningkatan PCM dengan koefisien sebesar 0.0268. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa peningkatan satu kilogram ekspor akan meningkatkan 0.0268 persen keuntungan, asumsi ceteris paribus. Ekspor memiliki pengaruh positif karena industri penyamakan kulit melakukan ekspor dan mengakibatkan meningkatnya keuntungan pada industri penyamakan kulit.
51
5.4 Analisis Perilaku Industri Penyamakan Kulit Analisis perilaku dapat dilakukan secara deskriptif dengan mengacu pada struktur pasar yang telah ada. Berdasarkan hasil analisis, struktur pasar pada industri penyamakan kulit Indonesia bersifat oligopoli sedang namun hasil produk dari industri penyamakan kulit tidak memiliki merek dagang yang sudah dikenal oleh masyarakat sehingga pasar yang dihasilkan tidak terdiferensiasi dengan baik. Tidak terdiferensisasinya pasar pada industri penyamakan kulit membuat persaingan menjadi tinggi sehingga rasio konsentrasi tidak memengaruhi kinerja industri. Industri penyamakan kulit memproduksi kulit yang berasal dari kulit hewan ternak, seperti sapi, kerbau, domba. Industri penyamakan kulit mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku yang diakibatkan oleh berkurangnya jumlah ternak sehingga bahan baku untuk membuat kulit setengah jadi dan kulit jadi didapatkan dari impor. Besarnya biaya impor membuat industri penyamakan kulit kesulitan dalam memproduksi kulit ditambah dengan adanya penutupan keran impor oleh pemerintah membuat industri penyamakan kulit lebih sulit untuk memproduksi kulit. Hal ini yang membuat pertumbuhan produksi industri penyamakan kulit cenderung kecil dan berfluktuatif sehingga tidak memengaruhi kinerja industri penyamakan kulit. Dalam memproduksi outputnya, industri penyamakan kulit menggunakan tenga kerja dalam proses produksi. Industri penyamakan kulit merupakan industri yang pada karya dimana memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak dalam proses produksi. Namun pada industri penyamakan kulit upah yang dikeluarkan
52
akan mengurangi keuntungan apabila menggunakan tenaga kerja yang banyak. Oleh karena itu, tenaga kerja yang digunakan hanya tenaga kerja yang dapat menguasai teknologi yang digunakan dalam proses produksi kulit. Selain perilaku-perilaku tersebut, perilaku industri penyamakan kulit juga dapat dilihat melalui strategi-strategi yang digunakan dalam menjalakan industrinya. Strategi-strategi yang dilakukan adalah strategi produk, strategi promosi, strategi distribusi, dan stategi bisnis. 5.4.1. Strategi Produk Strategi yang dilakukan oleh industri penyamakan kulit dalam rangka meningkatkan keuntungan perusahaan adalah dengan meningkatkan mutu produk melalui pengembangan kualitas produk. Industri penyamakan kulit memproduksi kulit setengah jadi dan kulit jadi yang berkualitas menggunakan teknologi khusus untuk memproduksi kulit. Selain menggunakan teknologi khusus, industri penyamakan kulit juga menggunakan bahan-bahan kimia yang aman bagi kulit sehingga tidak mengurangi kualitas kulit yang dihasilkan. 5.4.2. Strategi Distribusi Distribusi produk merupakan suatu cara yang dilakukan untuk menyampaikan produk kepada konsumen. Industri penyamakan kulit tidak hanya memenuhi permintaan kulit dari konsumen domestik. Permintaan juga datang dari konsumen luar negeri. Industri penyamakan kulit pun melakukan ekspor kulit ke luar negeri, seperti Hongkong, Cina, Vietnam, dan Thailand. Sedangkan didalam negeri, industri penyamakan kulit mendistribusikan hasil produksinya ke
53
produsen-produsen yang menghasilkan barang-barang dari kulit, seperti produsen alas kaki. 5.4.3. Strategi Bisnis Strategi bisnis yang dilakukan oleh industri penyamakan kulit yaitu dengan melakukan kerjasama dengan beberapa pihak. Beberapa perusahaan dalam industri penyamakan kulit melakukan kerjasama dengan RPH (Rumah Potong Hewan) dalam menjalakan usahanya. Produsen melakukan kerjasama dengan peternak dalam penyediaan bahan baku untuk proses produksi kulit. Selain melakukan kerjasama dengan peternak, perusahaan juga bekerjasama dengan perusahaan yang menghasilkan barang-barang kulit, seperti pabrik sepatu, tas, aksesoris, serta barang-barang dari kulit lainnya.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pada industri penyamakan kulit Indonesia dari tahun 1990 hingga 2008 maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Struktur pasar pada industri penyamakan kulit bersifat oligopoli sedang dengan rata-rata struktur pasar industri penyamakan kulit dari tahun 1990 hingga 2008 sebesar 51,03 persen. Hambatan masuk pasar pada industri penyamakan kulit tinggi yaitu dengan rata-rata 23,97 persen. 2. Perilaku pasar pada industri penyamakan kulit dilihat dari strategi produk, strategi distribusi, dan strategi bisnis. Strategi produk dilakukan dengan cara menghasilkan kulit setengah jadi dan kulit jadi yang lebih berkualitas. Strategi distribusi dilakukan dengan ekspor kulit ke luar negeri, seperti Hongkong, Cina, dan Vietnam. Strategi bisnis dilakukan dengan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang menggunakan kulit sebagai bahan bakunya dan juga melakukan kerjasama dengan Rumah Potong Hewan (RPH) untuk mendapatkan bahan baku bagi industri. 3. Kinerja industri penyamakan kulit dilihat dari tingkat keuntungan (PCM) dan nilai efisiensi internal (X-Eff). Nilai rata-rata PCM periode 1990-2008 adalah sebesar 31,74 persen dengan PCM tertinggi terjadi pada tahun 2004 dengan nilai PCM sebesar 63,24 persen. Efisiensi internal (X-Eff) industri penyamakan kulit pada tahun 1990-2008 memiliki rata-rata sebesar 43,92.
55
Rata-rata pertumbuhan produksi pada industri penyamakan kulit adalah sebesar 25,46 persen. 4. Variabel–variabel yang memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap peningkatan PCM adalah variabel efisiensi dengan koefisien sebesar 0,568, variabel produktivitas dengan koefisien sebesar 0,0966, dan variabel ekspor dengan koefisien sebesar 0,0268. Variabel-variabel yang tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan PCM adalah rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar, pertumbuhan produksi, dan jumlah tenaga kerja.
6.2 Saran Dari kesimpulan yang diperoleh maka saran yang dapat diberikan untuk peningkatan kinerja industri penyamakan kulit Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan kinerja industri penyamakan kulit dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi. Upaya meningkatkan efisiensi, dapat dilakukan dengan meningkatkan produksi dengan memanfaatkan teknologi yang canggih agar hasil produksi lebih berkualitas. Selain itu, dapat juga dengan menerapkan produksi bersih dalam proses produksi 2. Untuk meningkatkan kinerja juga dapat melalui peningkatkan produktivitas yaitu dengan cara menyelenggarakan pelatihan-pelatihan bagi para pekerja mengenai teknologi-teknologi yang digunakan dalam proses produksi. 3. Untuk meningkatkan kinerja industri penyamakan kulit juga dapat dilakukan dengan peningkatkan ekspor yaitu dengan meningkatkan kualitas produknya agar ekspor kulit dapat meningkat. Selain itu, industri penyamakan kulit tidak
56
hanya memproduksi kulit sebagai bahan baku tapi juga memproduksi barang kulit, seperti alas kaki, tas, dan sarung tangan agar nilai tambah dari produk tersebut semakin tinggi dan nilai ekspor akan meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Agribusiness Online. 2001. Industri Kulit Kekurangan Bahan Baku. http://suharjawanasuria.tripod.com/industri_kulit_01.htm. [4April 2011]. Agustina, S. E. 2009. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Pakan Ternak Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia. 2007. Profil Spesifikasi Kulit Tersamak Indonesia. http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNADQ564.pdf. [4 April 2011] Badan Pusat Statistik. 1990-2008. Statistik Industri Besar dan Sedang 1990-2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________. 2000. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLU) Industri Besar dan Sedang. Jakarta. Bina
UKM. 2010. Karakteristik Industri Kulit di Indonesia. http://binaukm.com/2010/07/karakteristik-industri-kulit-di-indonesia/htm. [4 April 2011].
Business News. 2011. Industri Penyamakan Kulit Butuh Perhatian Pemerintah. http://www.businessnews.co.id/featured/industri-penyamakan-kulit-butuhperhatian-pemerintah.php/htm. [3 April 2011]. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga. Jakarta. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi. LP3ES. Jakarta. Jaya, W. K. 2001. Ekonomi Industri. BPFE. Yogyakarta. Juanda, B. 2003. Metodologi Penelitian. Diktat Kuliah Metodologi Penelitian. Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Leather Indonesia Blognews. Permintaan Lokal Tingkatkan Produksi PenyamakanKulit.http://leatherindonesia.wordpress.com/2009/10/06/perm intaan-lokal tingkatkan-produksi-penyamakan-kulit/htm. [4 April 2011].
58
Putra, E, J. 2009. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Pulp dan Kertas di Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Safitri, S. 2006. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Solehah, F. 2008. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Telekomunikasi Seluler Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Winsih. 2007. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Manufaktur Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
60
Lampiran 1. Rasio Konsentrasi Industri Penyamakan Kulit Indonesia Tahun 1990-2008 Tahun CR4 (%) Struktur Pasar 1990 39.71 Oligopoli Longgar 1991 49.72 Oligopoli Sedang 1992 42.05 Oligopoli Sedang 1993 37.55 Oligopoli Longgar 1994 41.11 Oligopoli Sedang 1995 45.44 Oligopoli Sedang 1996 54.74 Oligopoli Sedang 1997 70.35 Oligopoli Ketat 1998 51.67 Oligopoli Sedang 1999 47.13 Oligopoli Sedang 2000 43.81 Oligopoli Sedang 2001 55.32 Oligopoli Sedang 2002 64.62 Oligopoli Ketat 2003 62.63 Oligopoli Ketat 2004 56.92 Oligopoli Sedang 2005 66.12 Oligopoli Ketat 2006 58.78 Oligopoli Sedang 2007 45.82 Oligopoli Sedang 2008 36.12 Oligopoli Longgar Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008 (diolah)
61
Lampiran 2. Data Hambatan Masuk Pasar Industri Penyamakan Kulit (1990-2008) Tahun Output Empat Perusahaan Output Total MES (%) Terbesar (000 Rp) (000 Rp) 1990 15,293,800 132,567,196 11.54 1991 63,350,000 252,340,218 25.1 1992 41,773,941 250,887,426 16.65 1993 53,268,950 337,839,871 15.77 1994 41,919,013 332,558,732 12.6 1995 72,649,606 379,764,536 19.13 1996 107,152,132 410,520,225 26.1 1997 275,198,000 682,806,300 40.3 1998 94,390,989 591,223,687 15.96 1999 88,058,882 658,289,578 13.37 2000 87,399,950 764,580,512 11.43 2001 378,178,134 1,447,447,733 26.13 2002 523,179,397 2,174,226,510 24.06 2003 418,227,842 1,461,798,698 28.61 2004 800,984,959 1,889,884,873 42.38 2005 3,795,507,574 6,001,015,421 63.25 2006 343,288,952 1,006,909,420 34.09 2007 278,920,111 1,445,174,470 19.3 2008 138,683,735 1,428,829,409 9.71 Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008 (diolah)
62
Lampiran 3. Tingkat Keuntungan Industri Penyamakan Kulit Indonesia Tahun 1990-2008 Nilai Tambah Upah Nilai Barang PCM Tahun (000 Rp) (000 Rp) yang Dihasilkan (%) (000 Rp) 1990 42,868,138 5,247,859 125,977,659 29.86 1991 101,864,351 7,736,845 246,744,647 38.15 1992 84,312,233 9,632,442 248,339,829 30.07 1993 110,350,560 12,340,255 326,467,177 30.02 1994 105,685,549 14,420,322 320,244,670 28.49 1995 122,042,463 17,219,907 366,164,352 28.63 1996 129,996,097 15,791,126 395,950,200 28.84 1997 145,747,544 19,681,794 665,930,648 18.93 1998 262,599,397 19,424,400 548,703,562 44.32 1999 243,561,290 23,273,229 633,893,337 34.75 2000 283,740,863 27,176,800 575,997,609 44.54 2001 402,387,339 33,081,273 1,241,309,734 29.75 2002 378,033,774 41,844,199 1,903,357,937 17.66 2003 493,097,293 31,444,608 1,375,175,282 33.57 2004 909,417,461 45,662,054 1,365,749,456 63.24 2005 1,112,773,662 40,756,971 3,798,504,923 28.22 2006 298,936,803 22,561,313 955,646,093 28.92 2007 347,826,813 81,940,164 1,316,650,832 20.19 2008 352,516,777 56,117,269 1,203,544,593 24.63 Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008 (diolah)
63
Lampiran 4. Data X-Efisiensi Industri Penyamakan Kulit Indonesia Tahun1990-2008 Tahun Nilai Tambah Input X-Eff (000 Rp) (000 Rp) (%) 1990 42,868,138 89,699,058 1991 101,864,351 163,491,545 1992 84,312,233 178,393,299 1993 110,350,560 227,489,311 1994 105,685,549 228,045,790 1995 122,042,463 268,686,552 1996 129,996,097 280,524,128 1997 145,747,544 324,121,057 1998 262,599,397 573,621,363 1999 243,561,290 686,935,595 2000 283,740,863 757,152,325 2001 402,387,339 1,045,060,394 2002 378,033,774 1,796,192,736 2003 493,097,293 968,701,405 2004 909,417,461 980,467,412 2005 1,112,773,662 4,880,377,580 2006 298,936,803 820,328,932 2007 347,826,813 1,097,347,657 2008 352,516,777 1,081,067,005 Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008 (diolah)
47.79 62.30 47.26 48.51 46.34 45.42 46.34 44.97 45.78 35.45 37.47 38.50 21.05 50.90 92.75 22.80 36.44 31.69 32.61
64
Lampiran 5. Data Pertumbuhan Produksi (Growth) Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008) Nilai Barang yang Growth Tahun Dihasilkan (%) (000 Rp) 1989 119,533,233 1990 125,977,659 5.39 1991 246,744,647 95.86 1992 248,339,829 0.64 1993 326,467,177 31.46 1994 320,244,670 -1.91 1995 366,164,352 14.34 1996 395,950,200 8.13 1997 665,930,648 68.18 1998 548,703,562 -17.60 1999 633,893,337 15.53 2000 575,997,609 -9.13 2001 1,241,309,734 115.50 2002 1,903,357,937 53.33 2003 1,375,175,282 -27.75 2004 1,365,749,456 -0.68 2005 3,798,504,923 178.13 2006 955,646,093 -74.84 2007 1,316,650,832 37.77 2008 1,203,544,593 -8.59 Sumber : Badan Pusat Statistik, 1989-2008 (diolah)
65
Lampiran 6. Data Nilai Produktivitas Industri Penyamakan Kulit Indonesia (1990-2008) Tahun Output Input TK Produktivitas (000 Rp) (000 Rp) 1990 132,567,196 5,247,859 25.26 1991 252,340,218 7,736,845 32.61 1992 250,887,426 9,632,442 26.04 1993 337,839,871 12,340,255 27.37 1994 332,558,732 14,420,322 23.06 1995 379,764,536 17,219,907 22.05 1996 410,520,225 15,791,126 25.99 1997 682,806,300 19,681,794 34.69 1998 591,223,687 19,424,400 30.43 1999 658,289,578 23,273,229 28.28 2000 764,580,512 27,176,800 28.13 2001 1,447,447,733 33,081,273 43.75 2002 2,174,226,510 41,844,199 51.96 2003 1,461,798,698 31,444,608 46.48 2004 1,889,884,873 45,662,054 41.38 2005 6,001,015,421 40,756,971 147.23 2006 1,006,909,420 22,561,313 44.62 2007 1,445,174,470 81,940,164 17.63 2008 1,428,829,409 56,117,269 25.46 Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008 (diolah)
66
Lampiran 7. Data Volume Ekspor Industri Penyamakan Kulit Indonesia Tahun 1990-2008 Tahun Volume Ekspor (Kg) 1990 1,626,933 1991 1,395,631 1992 1,565,163 1993 11,547,398 1994 1,291,514 1995 1,084,949 1996 1,436,344 1997 7,730,105 1998 8,874,539 1999 30,161,059 2000 17,164,263 2001 8,309,713 2002 8,723,625 2003 9,403,142 2004 13,095,921 2005 9,846,591 2006 10,463,279 2007 9,374,107 2008 7,669,017 Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008 (diolah)
67
Lampiran 8. Data Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja pada Industri Penyamakan Kulit (1990-2008) Tahun Jumlah Perusahaan Jumlah Tenaga Kerja (Orang) 1990 56 5917 1991 56 4845 1992 57 6686 1993 62 9072 1994 69 7478 1995 70 7563 1996 67 7358 1997 63 7102 1998 60 6771 1999 68 7580 2000 65 7262 2001 50 5607 2002 52 6574 2003 47 5697 2004 54 6437 2005 56 6432 2006 44 6774 2007 48 6363 2008 42 7428 Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008
68
Lampiran 9. Hasil Estimasi dengan Menggunakan Ordinary Least Square (OLS) Dependen Variabel : PCM Variabel Koefisien Std. Error Probabilitas VIF C 0.0834 0.8879 0.927 CR4 -0.3417 0.1668 0.063 2.1 GROWTH -0.02544 0.02597 0.347 1.6 XEF 0.56809 0.08344 0.000 1.2 TK -0.06770 0.09763 0.501 1.3 PROD 0.09659 0.04168 0.039 2.7 EKSPOR 0.026806 0.007617 0.004 1.1 R-Squared 84.8 Durbin-Watson Stat 2.00841 Prob (F-Statistic) 0.000 F-statistic 11.20
Lampiran 10. Hasil Uji Kormogorov-Smirnov Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90 80
Percent
70 60 50 40 30 20 10 5
1
-0.10
-0.05
Sumber : Diolah, 2011
0.00 RESI1
0.05
0.10
5.697197E-17 0.04079 19 0.129 >0.150
69
Lampiran 11. Uji White Dependen Variabel : PCM Variabel Koefisien C -0.7015 CR4 0.08879 GROWTH -0.00761 XEF 0.00536 TK 0.08268 PROD -0.00569 EKSPOR -0.001496
Std. Error 0.5288 0.09935 0.01547 0.04969 0.05814 0.02482 0.004536
Probabilitas 0.209 0.389 0.632 0.916 0.181 0.823 0.747
Probabilitas 0.927 0.063 0.347 0,000 0.501 0.039 0.004 Durbin-Watson Stat F-statistic
VIF
Sumber : Diolah, 2011
Lampiran 12. Uji Multikolinesaritas Dependen Variabel : PCM Variabel Koefisien C 0.0834 CR4 -0.3417 GROWTH -0.02544 XEF 0.56809 TK -0.06770 PROD 0.09659 EKSPOR 0.026806 R-Squared 84.8 Prob (F-Statistic) 0.000 Sumber : Diolah, 2011
2.1 1.6 1.2 1.3 2.7 1.1 2.00841 11.20