ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA INDUSTRI BESI BAJA DI INDONESIA
OLEH SARI SAFITRI H14102044
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
SARI SAFITRI. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia (dibimbing oleh IDQAN FAHMI).
Sektor industri diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Produk-produk industrial selalu memiliki dasar tukar yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk-produk sektor lain. Hal ini disebabkan karena sektor industri memiliki variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marginal yang tinggi kepada pemakainya (Dumairy, 2000). Pada tahun 2004, sektor industri pengolahan merupakan sektor utama dalam perekonomian Indonesia (BPS,2004). Salah satu industri pengolahan yang perlu mendapatkan perhatian adalah industri logam, khususnya industri besi baja. Industri besi baja merupakan industri strategis karena merupakan salah satu penggerak utama pembangunan suatu negara. Semua segmen kehidupan, mulai dari peralatan dapur, transportasi, generator pembangkit listrik, sampai kerangka gedung dan jembatan menggunakan baja . Pentingnya peranan industri besi baja dalam pembangunan suatu negara dan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat menyebabkan perlunya kinerja yang baik pada industri ini. Jumlah perusahaan pada industri baja dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan, jumlahnya mencapai 109 buah perusahaan pada tahun 2003 (BPS, 2003). Namun demikian, meningkatnya jumlah perusahaan besi baja tidak menunjukkan adanya persaingan yang tinggi. Pada industri besi baja, pasar didominasi oleh satu perusahaan yakni PT Krakatau Steel yang telah mampu berproduksi dalam jumlah cukup besar sehingga dapat memenuhi kebutuhan besi baja dalam negeri, bahkan sampai ekspor. Adanya dominasi pasar oleh satu perusahaan diduga dapat menimbulkan perilaku yang menggambarkan persaingan tidak sempurna pada industri ini, sehingga penting untuk menganalisa struktur, perilaku dan kinerja pada industri besi baja ini. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa struktur pasar dan kinerja pada industri besi baja di Indonesia, kemudian menganalisa hubungan struktur pasar dengan kinerja yang ada dan menganalisa perilaku pasar yang terjadi pada industri besi baja di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari BPS, Departemen Perindustrian serta instansi terkait lainnya. Semua data yang diperoleh diolah dengan menggunakan Microsoft Office Excel dan software Eviews 4.1. Metode analisis yang digunakan yaitu Metode Kuadrat Terkecil Biasa atau Ordinary Least Square (OLS) untuk mengetahui hubungan struktur pasar dengan kinerja pada industri besi baja di Indonesia dan analisis deskriptif dilakukan untuk melihat perilakuperilaku yang terjadi pada industri ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar pada industri besi baja adalah oligopoli ketat. Meskipun struktur pasar berbentuk oligopoli ketat dan ada persaingan dalam merebut pangsa pasar antara perusahaan, tetapi merupakan kondisi nyata bahwa memang ada perusahaan yang mendominasi pasar. Dilihat dari segi kinerja, industri besi baja menerima margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) rata-rata sebesar 36.68 persen sedangkan efisiensi-X yang dicapai (XEF) rata-rata adalah 71.70 persen. Hubungan antara struktur pasar (CR4 dan MES) dengan tingkat keuntungan yang diproksi oleh PCM adalah adanya pengaruh yang nyata pada taraf 10 persen dari struktur pasar terhadap kinerja, begitu pula dengan faktor lain yaitu XEF, GROWTH dan DUMMY. Variabel CR4 dan XEF berpengaruh positif terhadap PCM, sedangkan variabel yang lain (MES, GROWTH dan DUMMY) berpengaruh negatif terhadap PCM. Pengaruh negatif dari hambatan masuk pasar (MES) dan pertumbuhan produksi (GROWTH) tidak sesuai dengan hipotesis. Ketidaksesuaian hubungan antara MES dengan PCM diduga terjadi karena nilai MES ini tidak tepat untuk dijadikan proksi dari hambatan masuk pasar pada industri besi baja di Indonesia. Pengaruh negatif dari GROWTH diduga terjadi karena rata-rata pertumbuhan nilai produksi lebih kecil dari pada rata-rata pertumbuhan nilai biaya input, sehingga dengan meningkatnya GROWTH, maka keuntungan yang dihasilkan justru akan menurun. Berdasarkan analisis perilaku perusahaan pada industri besi baja di Indonesia diduga ada beberapa perilaku dari perusahaan dominan yang dapat menjelaskan pengaruh positif dari struktur pasar terhadap kinerja pada industri besi baja di Indonesia. Perilaku yang terjadi antara lain adalah strategi harga, produk, promosi dan distribusi. Dari hasil penelitian tersebut maka diajukan beberapa masukan bagi produsen besi baja dan penelitian lebih lanjut, yakni: Pertama, produsen besi baja di Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi untuk meningkatkan keuntungan industri, karena berdasarkan penelitian ini variabel tersebut memiliki pengaruh yang paling besar terhadap peningkatan keuntungan (PCM). Kedua, penelitian lebih lanjut disarankan untuk menganalisa lebih mendalam (dilakukan studi kasus) mengenai perilaku-perilaku oleh perusahaan dominan dalam industri besi baja di Indonesia dalam rangka meningkatkan kinerja pada industri ini.
ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA INDUSTRI BESI BAJA DI INDONESIA
Oleh SARI SAFITRI H14102044
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Sari Safitri
Nomor Pokok
: H14102044
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Ir. Idqan Fahmi, M.Ec. NIP. 131 803 657
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP.131 846 872 Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
September 2006
Sari Safitri H14102044
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama Sari Safitri lahir di Serang pada tanggal 10 Juli 1984. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Iton Ace Ahmad dan Juarni. Pendidikan penulis dari SD hingga SMU dilalui di Kota Cilegon. Penulis mengawali pendidikan di SDN Krenceng II dan tamat pada tahun 1996, selanjutnya penulis melanjutkan sekolah ke SLTPN I Cilegon dan tamat pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMUN I Cilegon dan tamat pada tahun 2002. Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif di beberapa organisasi, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Komisariat FEM dan Formasi FEM.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Industri besi baja merupakan industri strategis karena merupakan salah satu penggerak utama pembangunan suatu negara. Pentingnya peranan industri besi baja dalam pembangunan suatu negara dan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat menyebabkan perlunya kinerja yang baik pada industri ini. Berdasarkan hal itulah penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai struktur, perilaku dan kinerja pada industri ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia”. Penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec. selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama proses pembuatan skripsi ini, sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Dr. Sri Mulatsih selaku penguji utama atas saran dan kritiknya demi perbaikan skripsi ini. 3. Tanti Novianti M.Si. selaku Komisi Pendidikan Departemen Ilmu Ekonomi atas saran dan kritinya demi perbaikan skripsi ini. 4. Pak Agus dan Pak Kurnia yang telah membantu penulis dalam pengambilan data di BPS dan GAPBESI. 5. Teman satu bimbingan skripsi, Mike dan Rona yang bersama-sama berjuang untuk saling memperbaiki dan menasehati dalam penulisan skripsi. 6. Kedua orang tua (Mama dan Bapak), kakak, adik dan keponakanku (Teh amel, Teh Ira, Mia, Martin dan Kiran) serta keluarga besar penulis atas kasih sayang, doa serta dorongan motivasi yang sangat besar artinya bagi penulis. 7. Sahabatku Ipa, Aan, Jun, Hasni dan May (F2NE) atas motivasi, doa, keceriaan dan persahabatan. Teman-teman kos, Ati, Ruth, Rheny, Viena, Diana, Widi,
Irma, Indah, Uwie, Nana dan Erna dan teman-teman di Pondok Rizqi atas motivasi dan kenangan yang diberikan selama tinggal bersama. 8. Teman-teman IE 39 atas kebersamaan selama di IPB serta orang-orang terdekat penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Hanya اﻠﻟﻪsemata yang dapat membalas kebaikan mereka semua. Penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membaca atau memerlukannya.
Bogor,
September 2006
Sari Safitri H14102044
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv I.
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .........................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................
6
1.4. Manfaat Penelitian ...........................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .................
8
2.1. Tinjauan Pustaka ..............................................................................
8
2.1.1. Pengertian Industri .................................................................
8
2.1.2. Klasifikasi Industri .................................................................
9
2.1.3. Struktur Pasar .........................................................................
10
2.1.4. Perilaku Pasar .........................................................................
12
2.1.5. Kinerja Pasar ..........................................................................
13
2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................
14
2.3. Kerangka Pemikiran .........................................................................
16
2.4. Hipotesis Penelitian ..........................................................................
18
III. METODE PENELITIAN ........................................................................
20
3.1. Jenis dan Sumber Data .....................................................................
20
3.2. Metode Analisis ...............................................................................
20
3.2.1. Analisis Struktur Pasar Industri Besi Baja di Indonesia ........
21
3.2.2. Analisis Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia ...................
22
II.
3.2.3. Analisis Hubungan Struktur Pasar dengan Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia ...........................................................
22
3.2.4. Analisis Perilaku Pasar pada Industri Besi Baja di Indonesia
30
3.3. Spesifikasi Data ................................................................................
31
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI ........................................................
32
4.1. Sejarah Industri Besi Baja di Indonesia ...........................................
32
4.2. Perkembangan Jumlah Produksi dan Utilitas Kapasitas Produksi Besi Baja di Indonesia .....................................................................
33
4.3. Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Besi Baja di Indonesia .
34
HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
36
5.1. Analisis Struktur Pasar Industri Besi Baja di Indonesia ..................
36
5.1.1. Analisis Rasio Konsentrasi (CR4) Industri Besi Baja di Indonesia ............................................................................
36
5.1.2. Analisis Hambatan Masuk Pasar pada Industri Besi Baja di Indonesia ............................................................................
37
5.2. Analisis Kinerja Industri Besi Baja Indonesia .................................
39
5.3. Analisis Hubungan Struktur Pasar dengan Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia ..............................................................................
41
5.3.1. Validitas Model ......................................................................
41
5.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja pada Industri Besi Baja di Indonesia ...........................................................
44
5.4. Analisis Perilaku Perusahaan pada Industri Besi Baja di Indonesia .
47
5.4.1. Strategi Harga ........................................................................
47
5.4.2. Strategi Produk .......................................................................
48
5.4.3. Strategi Promosi .....................................................................
49
5.4.4. Strategi Distribusi ..................................................................
49
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
51
6.1. Kesimpulan ......................................................................................
51
6.2. Saran .................................................................................................
52
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
53
LAMPIRAN .....................................................................................................
55
V.
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2002 -2004 ........................................................................................................
2
1.2. Persebaran Industri Besi Baja, Non Ferro dan Logam Hilir di Indonesia
4
4.1. Perkembangan Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1998-2003 .................................................................
32
4.2. Perkembangan Volume Produksi Beberapa Produk Besi Baja Tahun 2002-2004 ................................................................................................
33
4.3. Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Besi Baja tahun 2001-2004 ..
34
4.4. Perkembangan Ekspor Beberapa Produk Besi Baja Indonesia Tahun 2001-2004 ................................................................................................
34
5.1. CR4 dan CR1 Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 ...........
36
5.2. Price Cost Margin (PCM) Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 19812003 .........................................................................................................
39
5.3. Hasil Estimasi Model PCM Industri Besi Baja di Indonesia Periode 1981-2003 ................................................................................................
40
5.4. Pertumbuhan Nilai Produksi dan Pertumbuan Biaya Input Taun 19822003 .........................................................................................................
45
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual ..............................................................
18
5.1. Perkembangan Nilai MES .........................................................................
37
5.2. Perkembangan Nilai XEF .........................................................................
39
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Perkembangan Jumlah Perusahaan dalam Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 .......................................................................................
55
2. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) Indonesia dengan Tahun Dasar 1993 (1993=100) .........................................................................................
56
3. Price Cost Margin (PCM) Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 19812003 ...........................................................................................................
57
4. Rasio Konsentrasi (CR4 dan CR1) Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 .................................................................................................
58
5. Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 ..................................................................................................
59
6. Nilai Efisiensi-X Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 .......
60
7. Tingkat Pertumbuhan Produksi (GROWTH) Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 ......................................................................
61
8. Hasil Estimasi Model PCM .......................................................................
62
9. Hasil Uji Multikolinear Variabel Bebas pada Model PCM ......................
62
10. Hasil Uji Autokorelasi dan Uji Heteroskedastisitas pada Model PCM ....
62
11. Hasil Uji Normalitas .................................................................................
63
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Industrialisasi merupakan proses yang tak terelakkan menuju masyarakat
industrial untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimiliki suatu masyarakat dalam upaya mencapai kehidupan yang lebih baik dari waktu ke waktu (Basri, 2002). Sektor industri diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Produk-produk industrial selalu memiliki dasar tukar (terms of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk-produk sektor lain. Hal ini disebabkan karena sektor industri memiliki variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marginal yang tinggi kepada pemakainya (Dumairy, 2000). Pada saat Indonesia mulai membangun (tahun 1969), peran sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) secara persentase adalah 49,3 persen sedangkan sektor-sektor di luar sektor pertanian memiliki persentase yang lebih rendah, yakni sektor industri pengolahan 4,7 persen, bangunan 2,8 persen, perdagangan dan jasa 30,7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum Indonesia melaksanakan pembangunan melalui Repelita, struktur ekonomi didominasi oleh sektor pertanian. Melalui tahapan pembangunan (Repelita) terlihat bahwa tahun demi tahun, peran sektor pertanian semakin menurun. Sebaliknya sektor-sektor di luar sektor pertanian (non pertanian) menunjukkan peningkatan peranannya terhadap PDB (Djamin, 1995).
2
Selama tahun 1994 sampai 2004, sektor industri pengolahan adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Indonesia. Pada tahun 2004, sektor ini merupakan sektor utama dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2004 peran sektor industri pengolahan mencapai lebih dari seperempat, yaitu 28,34 persen dari komponen pembentukan PDB (atas dasar harga berlaku), sementara sektor pertanian memberi andil sekitar 15,38 persen (BPS, 2004). Artinya secara tidak langsung perekonomian akan terganggu apabila kinerja industri pengolahan terganggu. Sektor industri pengolahan turut berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan Tabel 1.1, diketahui bahwa sektor industri pengolahan pada tahun 2002-2004 menyerap tenaga kerja terbanyak ketiga setelah sektor pertanian dan perdagangan, walaupun pertumbuhan tenaga kerja yang terserap belum seperti yang diharapkan. Tabel 1.1. Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2002-2004 Lapangan Usaha 2002 Pertanian 40.633.627 Industri Pengolahan 12.109.997 Bangunan 4.273.914 Perdagangan 17.795.030 Angkutan 4.672.584 Keuangan 991.745 Jasa 10.360.188 Lainnya 810.081 Jumlah 91.647.166 Sumber : BPS, Sakernas (2002-2004)
2003 42.001.437 10.927.342 4.106.597 16.845.995 4.976.928 1.294.832 9.746.381 885.403 90.784.915
2004 40.608.019 11.070.498 4.540.102 19.119.156 5.480.527 1.125.056 10.513.093 1.265.585 93.722.036
Salah satu industri pengolahan yang perlu mendapatkan perhatian adalah industri logam, khususnya industri besi baja. Industri besi baja seperti industri logam lainnya merupakan industri yang memiliki keterkaitan yang sangat erat
3
antar sektor industrinya baik secara horizontal (variasi produk) maupun vertikal (inovasi produk). Sebagaimana industri manufaktur (pengolahan) hulu lainnya, industri ini umumnya memiliki karakter padat modal, padat karya, padat teknologi serta pemakaian energi yang relatif tinggi. Namun karena sifat produknya yang berkaitan erat dengan industri lain dan bahan baku yang digunakan juga tersedia dalam jumlah relatif banyak, maka pengembangan industri ini dirasakan perlu mendapat perhatian khusus (Fitri, 2000). Industri besi baja merupakan industri strategis karena merupakan salah satu penggerak utama pembangunan suatu negara. Keberadaan baja dalam kehidupan sehari-hari, sering diabaikan karena kebanyakan dilapisi bahan lain. Pada bidang konstruksi dan tata kota, kekuatan baja yang dapat menyangga beban berat digunakan untuk kerangka bangunan pencakar langit sampai ketinggian 450 meter, seperti Petronas Twin Towers di Malaysia. Baja juga tahan terhadap perpatahan sehingga dapat melindungi dari gangguan gempa. Ratusan ton baja juga digunakan untuk pembangunan jembatan antarpulau sampai berjarak lebih dari satu kilometer seperti jembatan Kanmonbashi di Jepang. Semua segmen kehidupan, mulai dari peralatan dapur, transportasi, generator
pembangkit
listrik,
sampai
kerangka
gedung
dan
jembatan
menggunakan baja. Jadi, baja telah menyatu dalam kehidupan manusia dan menjadi penopang utama seluruh aktivitas dalam proses produksi sehingga tidak dapat dipisahkan dari masyarakat industri. Suatu bangsa tidak akan dapat membangun kekuatan industri tanpa memiliki industri baja dan teknologinya (Rochman, 2003).
4
Permintaan produk besi baja makin meningkat seiring dengan makin meningkatnya jumlah penduduk dan taraf hidup masyarakat. Kebutuhan akan baja yang besar membuat keberadaan industri baja di Indonesia cukup tersebar. Jawa Barat merupakan proponsi yang memiliki perusahaan baja terbanyak yakni 74 buah. Penyebaran industri logam termasuk besi baja dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Persebaran Industri Besi Baja, Non Ferro dan Logam Hilir di Indonesia Propinsi Bali Banten Bangka Belitung D.I. Yogyakarta D.K.I. Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kepulauan Riau Lampung Riau Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Sumatera Selatan Sumatera Utara Total Sumber : Departemen Perindustrian (2005)
Besi Baja 42 2 37 71 22 61 1 1 3 1 9 5 1 1 2 11 270
Non Ferro 22 2 12 14 1 27 1 5 84
Logam Hilir 2 91 88 153 18 86 1 1 9 3 6 3 1 23 485
Permintaan produk besi baja dapat ditunjukkan oleh jumlah konsumsi produk ini. Pada tahun 1996 konsumsi besi baja mencapai 4,42 juta metrik ton (MT) dan tahun 1997 mencapai 3,94 juta MT, tahun 1998, konsumsi besi baja pun turun menjadi hanya 2,42 juta MT dan mencapai titik terendah tahun 1999
5
sebesar 2,04 juta MT. Potensi pasar produk baja sebenarnya cukup besar. Hal itu terlihat dari berbagai proyek pembangunan yang mulai berjalan. Dari proyek jalan tol, proyek instalasi minyak dan gas bumi, jembatan, apartemen, pusat perbelanjaan, maupun permintaan industri lain pengguna bahan baku produk baja. Tingkat konsumsi sebesar 2,70 juta MT tahun 2000, industri baja dapat dikatakan mulai bergerak kembali (rebound). Pada tahun 2002, industri besi baja dapat dikatakan mulai mengarah pada pemulihan (Kompas, 2003). Baja dengan nilai ekonomi tinggi dan berfungsi vital masih belum mendapat perhatian dengan baik oleh pemerintah sehingga daya dukung baja terhadap kinerja proses produksi menjadi sangat lemah. Dampaknya, produkproduk Indonesia belum bisa berkompetisi dengan produk dari negara lain baik dalam jumlah produksi, kualitas, dan ketepatan waktu penyebarannya (Rochman, 2003). Pentingnya peranan industri besi baja dalam pembangunan suatu negara dan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat menyebabkan perlunya kinerja yang baik pada industri ini.
1.2
Perumusan Masalah Pada model kerangka analisis Structure-Conduct-Performance (SCP)
dikatakan bahwa struktur pasar (structure) suatu industri mempengaruhi perilaku (conduct) perusahaan yang ada di dalamnya, kemudian perilaku tersebut akan mempengaruhi kinerja (performance) dari industri tersebut. Jumlah perusahaan pada industri baja dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan, misalnya pada periode 1981-1991 jumlah perusahaan meningkat dari 22
6
perusahaan pada tahun 1981 menjadi 74 perusahaan pada tahun 1991 dan jumlah ini mencapai 109 buah perusahaan pada tahun 2003 (BPS, 2003). Namun demikian, meningkatnya jumlah perusahaan besi baja tidak menunjukkan adanya persaingan yang tinggi. Pada industri besi baja, pasar didominasi oleh satu perusahaan besi baja yakni PT Krakatau Steel yang mampu berproduksi dalam jumlah cukup besar sehingga dapat memenuhi kebutuhan besi baja dalam negeri, bahkan sampai ekspor. Adanya dominasi pasar oleh satu perusahaan diduga dapat menimbulkan perilaku yang menggambarkan persaingan tidak sempurna pada industri ini, sehingga penting untuk menganalisa struktur, perilaku dan kinerja pada industri besi baja ini. Beberapa masalah yang akan diuraikan sehubungan dengan judul, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur pasar dan kinerja pada industri besi baja di Indonesia? 2. Bagaimana hubungan struktur pasar dengan kinerja industri besi baja di Indonesia? 3. Bagaimana perilaku pasar yang terjadi pada industri besi baja di Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian adalah
sebagai berikut: 1. Menganalisa struktur pasar dan kinerja pada industri besi baja di Indonesia. 2. Menganalisa hubungan struktur pasar dengan kinerja industri besi baja di Indonesia. 3. Menganalisa perilaku pasar yang terjadi pada industri besi baja di Indonesia.
7
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak,
antara lain: 1. Meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca tentang struktur pasar, perilaku dan kinerja industri besi baja di Indonesia. 2. Dapat menjadi dasar pertimbangan dan bahan masukan bagi perusahaan maupun
pemerintah
dalam
pengambilan
kebijakan
sebagai
upaya
pengembangan industri besi baja nasional. 3. Dapat digunakan sebagai data dasar bagi penelitian lebih lanjut yang tertarik dalam masalah yang sama, yaitu terkait dalam industri besi baja.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengertian Industri Kumpulan perusahaan sejenis disebut industri. Perusahaan (firm) adalah unit produksi yang bergerak dalam bidang tertentu. Bidang ini dapat merupakan bidang pertanian, bidang pengolahan dan bidang jasa (Djojodipuro, 1994). Perusahaan industri adalah suatu unit usaha yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar menjadi barang jadi atau barang setengah jadi atau dari barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya yang terletak di suatu bangunan atau pada lokasi tertentu yang mempunyai catatan administrasi sendiri mengenai produksi dan struktur biaya, serta ada orang yang bertanggung jawab terhadap resiko usaha (BPS, 1990). Hasibuan (1993) mengungkapkan bahwa pengertian industri sangat luas, dapat dalam lingkup makro dan mikro. Secara mikro, sebagaimana dijelaskan dalam teori ekonomi mikro, industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen, atau barang-barang yang menpunyai sifat saling menggantikan secara erat. Namun demikian, dari segi pembentukkan pendapatan, yakni cenderung bersifat makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah. Istilah industri memiliki dua arti. Pertama, industri dapat berarti himpunan perusahaan-perusahaan sejenis. Dalam konteks ini sebutan industri kosmetika, misalnya, berarti himpunan perusahaan penghasil produk-produk kosmetik.
9
Kedua, industri dapat pula merujuk ke suatu sektor ekonomi yang di dalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi. Kegiatan pengolahan itu sendiri dapat bersifat masinal, elektrikal, bahkan manual (Dumairy, 2000).
2.1.2 Klasifikasi Industri Dumairy (2000) mengungkapkan bahwa untuk keperluan perencanaan anggaran negara dan analisis pembangunan, pemerintah membagi sektor industri pengolahan menjadi tiga sub sektor. Pertama, subsektor industri pengolahan nonmigas. Kedua, subsektor pengilangan minyak bumi dan Ketiga, subsektor pengolahan gas alam cair. Sedangkan untuk keperluan pengembangan sektor industri sendiri (industrialisasi), serta berkaitan dengan administrasi departemen perindustrian dan perdagangan, industri di Indonesia digolongkan berdasarkan hubungan arus produknya menjadi industri hulu dan industri hilir. Industri hulu terdiri atas industri kimia dasar dan industri mesin, logam dasar serta elektronika. Industri hilir terdiri atas aneka industri dan industri kecil. BPS (1990) menggolongkan sektor industri ke dalam empat golongan berdasarkan banyaknya pekerja, yaitu : 1. Industri besar, dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih. 2. Industri sedang, dengan tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang. 3. Industri kecil, dengan tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang. 4. Industri rumah tangga, dengan tenaga kerja satu sampai empat orang. BPS mengembangkan sistematik klasifikasi kelompok industri yang dikenal dengan nama Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia atau disingkat KLUI.
10
KLUI mempergunakan sistem lima digit. Digit pertama menunjukkan sektor, kedua subsektor, ketiga golongan pokok, keempat golongan dan kelima subgolongan. Sektor yang dicakup sebanyak sepuluh, antara lain: (1) sektor pertanian dalam arti luas (2) sektor pertambangan dan galian (3) sektor industri pengolahan (4) sektor gas, listrik dan air minum (5) sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan (6) sektor kegiatan yang belum jelas batasannya. Keuntungan penggunaan KLUI adalah tidak memungkinkan interpretasi yang berbeda dan uraian tidak makan tempat yang banyak (Djojodipuro, 1994).
2.1.3
Struktur Pasar Menurut Hasibuan (1993) Struktur pasar menjadi ukuran penting dalam
mengamati variasi perilaku dan kinerja industri, karena secara strategis dapat mempengaruhi kondisi persaingan serta tingkat harga barang dan jasa. Dengan demikian, pengaruh itu akhirnya sampai pada kesejahteraan manusia. Struktur pasar menunjukkan atribut pasar yang mempengaruhi sifat proses persaingan. Terdapat tiga elemen pokok dalam struktur pasar yaitu : pangsa pasar (market share), pemusatan (concentration), hambatan masuk (barrier to entry). 1. Pangsa Pasar Setiap perusahaan memiliki pangsa pasarnya sendiri dan berkisar antara nol hingga seratus persen dari total penjualan seluruh pasar. Pangsa pasar dalam praktik bisnis merupakan tujuan atau motivasi perusahaan. Perusahaan dengan pangsa pasar yang lebih baik akan menikmati keuntungan dari penjualan produk dan kenaikan harga sahamnya. Peranan pangsa pasar adalah sebagai sumber keuntungan bagi perusahaan. Hipotesa umum menyatakan adanya hubungan
11
antara tiap pangsa pasar perusahaan dengan tingkat keuntungannya, dituliskan dalam bentuk rumus sederhana: Rate of Capital = a + bM = π
(1)
Dimana M adalah pangsa pasar, π merupakan return perusahaan atas modal yang ditanamkannya dan a adalah rate of return yang bersaing, serta b merupakan sudut atau kemiringan garis. Nilai a sesungguhnya merupakan biaya modal bagi perusahaan (Jaya, 2001). Pangsa pasar adalah pangsa dari pendapatan penjualan total. Pangsa pasar merupakan indikator yang paling penting dalam menentukan derajat kekuasaan monopoli, dalam skala ordinal (dibandingkan dari pangsa pasar yang tinggi atau paling rendah dalam pasar yang sama). Semakin tinggi pangsa pasar maka kekuasaan monopoli semakin besar, sedangkan jika pangsanya rendah maka kekuasaan monopoli yang dimiliki akan semakin kecil atau bahkan tidak ada sama sekali (Shepherd, 1990). 2. Konsentrasi Shepherd (1990) mengemukakan bahwa concentration (pemusatan) merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan utama, dimana jumlahnya paling sedikit dua perusahaan dan paling banyak delapan perusahaan. Kombinasi pangsa pasar membentuk suatu tingkat pemusatan dalam pasar. Penerimaan (return) rata-rata industri yang terkonsentrasi adalah lebih tinggi daripada penghasilan jenis industri yang kurang terkonsentrasi.
12
Pemusatan merupakan tingkat oligopoli. Para oligopolis dapat merupakan koordinasi secara ketat seakan-akan mereka monopolis sejati, sehingga persaingan hebat bisa terjadi diantara mereka atau mungkin mengikuti pola lebih lanjut. Kombinasi kekuatan pasar mereka perlahan mengurangi pengaruh perusahaan yang mempunyai pangsa pasar utama. Pemusatan dapat menghasilkan suatu bentuk industri yang secara rasio dapat diterima (Jaya, 2001). 3. Hambatan Masuk Menurut Jaya (2001) segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan, kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru merupakan hambatan untuk masuk. Hambatan-hambatan ini mencakup seluruh cara dengan menggunakan perangkat tertentu yang sah (seperti paten, hak mineral dan franchise), seperti hambatan-hambatan ekonomi yang umum lainnya. Shepherd (1990) mengungkapkan bahwa dengan adanya hambatan masuk akan menghalangi pesaing yang potensial untuk memasuki pasar dan menjadi pesaing yang sesungguhnya. Apapun yang mengurangi kemungkinan skala atau kecepatan dari masuknya perusahaan disebut sebagai hambatan masuk.
2.1.4
Perilaku Pasar Hasibuan (1993) menyatakan bahwa dalam menilai derajat persaingan
suatu pasar perlu diperhatikan perilaku dari perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri yang bersangkutan. Perilaku dalam hal ini adalah pola tanggapan dan penyesuaian suatu industri di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Suatu industri melakukan penyesuaian untuk melakukan peranannya di dalam pasar sehingga tercapai tujuannya. Perilaku ini jelas terlihat pada penentuan harga,
13
promosi, koordinasi kegiatan dalam pasar dan juga kebijaksanaan produk. Dalam pengertian koordinasi terjadi sangat luas seperti kolusi. Perilaku merupakan tindakan apa yang perusahaan lakukan dengan harga produk, tingkat produksi, produk, promosi dan variabel kunci lainnya. Perilaku dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu harga dan non harga. Kategori non harga termasuk iklan, kemasan, kualitas produk dan sebagainya (Greer, 1992). Pada kondisi pasar oligopoli perilaku setiap perusahaan akan sulit diperkirakan. Banyak hal yang dapat mempengaruhi kebijakan yang akan diambil oleh suatu perusahaan. Berbeda halnya dengan kondisi pasar persaingan sempurna dimana perusahaan hanya bersifat sebagai penerima harga. Pada kondisi pasar oligopoli yang dipimpin oleh beberapa perusahaan dominan, pada umumnya perusahaan yang mendominasi pasar akan berlaku seperti halnya perusahaan monopoli yang akan menaikkan harga untuk memperoleh keuntungan lebih dan menggunakan diskriminasi harga. Sedangkan pada pasar oligopoli, tindakan yang mereka lakukan terkait oleh strategi dimana pilihan tindakannya seringkali tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pesaing terdekat (Jaya, 2001).
2.1.5
Kinerja Pasar Kinerja (performance) didefinisikan dan diakibatkan dari nilai yang
dihasilkan oleh perilaku pasar. Kinerja berhubungan dengan pencapaian atau hasil akhir dari fungsi pasar. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa struktur dan perilaku berhubungan dengan bagaimana (how) suatu pasar berfungsi dalam batasan kondisi pasar, sementara kinerja berhubungan dengan seberapa baik (how
14
well) pasar berfungsi. Komponen-komponen dalam kinerja adalah efisiensi, keadilan, dan kemajuan (Shepherd, 1990). Menurut Jaya (2001), kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek, namun pemusatan hanya pada tiga aspek pokok yaitu: 1. Efisiensi Secara sederhana, pengertian efisiensi adalah menghasilkan suatu nilai ouput yang maksimum dengan menggunakan sejumlah output tertentu. Baik secara kuantitas fisik maupun nilai ekonomis (harga). Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa sejumlah input yang sifatnya boros dihindarkan, sehingga tidak ada sumber daya yang terbuang. 2. Kemajuan teknologi Melalui penemuan dan pembaharuan teknologi, orang dapat membuat suatu karya yang baru serta meningkatkan produktivitas suatu produksi barang yang telah
ada.
Proses
pembaharuan
tidak
dapat
menghindari
masalah
ketidakpastian. Karena itu ide-ide yang baru membutuhkan suatu penelitian dan percobaan terlebih dahulu. 3. Keseimbangan dalam distribusi Menurut istilah ekonomi, keseimbangan dalam distribusi disebut dengan keadilan
(equity).
Keadilan
mempunyai
tiga
dimensi
pokok
yaitu
kesejahteraan, pendapatan dan kesempatan.
2.2
Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang dilakukan dalam ekonomi industri membahas
tentang struktur perilaku dan kinerja suatu industri. Putri (2004) melakukan
15
penelitian pada Industri Rokok Kretek dengan judul Analisis Struktur-PerilakuKinerja Industri Rokok Kretek di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa struktur pasar industri rokok kretek adalah oligopoli ketat dan tidak memiliki hambatan masuk bagi perusahaan baru untuk masuk pasar. Dalam menganalisa hubungan struktur dan kinerja industri rokok kretek di Indonesia diperlihatkan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat keuntungan (PCM) yang diperoleh industri rokok kretek adalah CR4, MES dan X-Eff, sedangkan CU tidak memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan. Perilaku yang terjadi pada industri rokok kretek menggambarkan adanya peran pemerintah dalam penerapan harga dan promosi. Penelitian lain dilakukan oleh Sentosa (2005) mengenai Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja pada Industri Elektronik Indonesia Pasca Deregulasi Penanaman Modal Asing. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa industri elektronik Indonesia pra dan pasca deregulasi Penanaman Modal Asing (PMA) memiliki struktur pasar oligopoli yang menyebabkan perusahaan-perusahaan dominan berusaha mempertahankan pangsa pasar yang dimiliki dengan menerapkan berbagai strategi seperti: strategi produk, kebijakan harga dan tempat serta menggencarkan jaringan distribusi dan promosi. Variabel-variabel yang digunakan dalam model penelitiannya adalah PCM sebagai variabel terikat sedangkan CR4, Efisiensi Internal (X-Eff), produktivitas industri, PMA dan teknologi sebagai variabel bebas. Penelitiannya menyimpulkan bahwa CR4, PMA dan teknologi menunjukkan hubungan yang negatif terhadap kinerja, sedangkan
16
variabel X-Eff dan produktivitas menunjukkan hubungan yang positif terhadap kinerja yang diproksi melalui PCM. Ada pula penelitian oleh Puspitasari (2005) mengenai keragaan industri susu olahan di Indonesia. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa struktur pasar pada industri susu olahan di Indonesia adalah oligopoli dan menguji hubungan antara tingkat keuntungan (PCM) dengan variabel-variabel independen yang terdiri dari rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4), produktivitas dan utilitas kapasitas produksi. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pengaruh produktivitas dan utilitas kapasitas produksi pada industri susu olahan terhadap tingkat keuntungan industri adalah positif dan secara statistik signifikan. Sedangkan pengaruh rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar berpengaruh negatif dan secara statistik signifikan terhadap tingkat keuntungan pada industri susu olahan. Pada penelitian kali ini, digunakan beberapa variabel bebas yang juga digunakan dalam penelitian-penelitian terdahulu. Variabel terikat digunakan Price Cost Margin (PCM) sebagai proksi dari tingkat keuntungan industri, sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah rasio konsentrasi empat perusahaan (CR4) dan hambatan masuk (MES) yang menggambarkan struktur pasar, efisiensi (XEF), pertumbuhan produksi (GROWTH) dan pengaruh krisis tahun 1997 (DUMMY).
2.3
Kerangka Pemikiran Industri baja merupakan industri strategis karena merupakan salah satu
penggerak utama pembangunan suatu negara dan tanpa industri baja industri lain
17
sulit untuk berjalan. Kinerja industri ini harus mendapat perhatian agar pembangunan suatu negara dapat berjalan dengan baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja suatu industri adalah struktur pasar. Jumlah industri baja dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan, misalnya pada periode 1981-1991 jumlah perusahaan meningkat dari 22 perusahaan pada tahun 1981 menjadi 74 perusahaan pada tahun 1991 dan jumlah ini mencapai 109 buah perusahaan pada tahun 2003 (BPS, 2003). Namun demikian, meningkatnya jumlah perusahaan pada industri tidak membuat tingkat persaingan menjadi tinggi dalam industri ini. Berdasarkan latar belakang itulah menarik untuk menganalisa struktur pasar yang ada dalam industri besi baja di Indonesia yang akhirnya akan mempengaruhi
kinerja industri melalui perilaku perusahaan pada industri
tersebut. Hal pertama yang akan dilakukan adalah menganalisa struktur pasar yang ada pada industri baja, dengan melihat rasio konsentrasi (CR4) dan hambatan masuk pasar (MES). Kemudian akan dianalisa kinerja industri besi baja di Indonesia. Kinerja Industri yang dianalisa adalah tingkat keuntungan atau Price-Cost Margin (PCM) dan Efficiency (XEF), selanjutnya akan dilihat hubungan antara struktur pasar (CR4 dan MES) dan faktor lain (XEF, GROWTH dan DUMMY) dengan kinerja pada industri ini. Terakhir, akan dianalisa perilaku pasar yang terjadi, terkait hubungan antara struktur pasar dan kinerja industri besi baja di Indonesia. Kerangka konseptual penelitian (Gambar 2.1) merupakan gambaran pemikiran
18
dari masalah yang akan dibahas, yakni struktur, perilaku dan kinerja pada industri besi baja di Indonesia. Industri Besi Baja
Struktur Pasar Rasio Konsenterasi (CR4) Hambatan Masuk (MES)
Kinerja Price-Cost Margin (PCM) Efficiency (XEF)
Perilaku Pasar Strategi Harga Strategi Produk Strategi Promosi Strategi Distribusi
Analisis Hubungan CR4, MES, XEF, GROWTH dan DUMMY dengan PCM
Faktor Lain GROWTH dan DUMMY
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Konseptual
2.4
Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan
sebelumnya, dapat dirumuskan hipotesis penelitian dari kerangka analisis adalah sebagai berikut: 1. Struktur pasar yang ada pada Industri besi baja Indonesia diduga berbentuk perusahaan dominan dan diduga pula bahwa kinerja industri besi baja memiliki efisiensi serta perolehan tingkat keuntungan yang cukup tinggi. 2. Mengenai hubungan antara struktur pasar dengan kinerja industri besi baja diduga variabel struktur pasar (CR4 dan MES) berpengaruh positif terhadap PCM. Faktor lain yang mempengaruhi keuntungan (PCM) yakni XEF dan
19
GROWTH diduga berpengaruh positif terhadap PCM, sedangkan krisis tahun 1997 diduga berpengaruh negatif terhadap PCM. 3. Diduga ada perilaku-perilaku dari perusahaan dalam industri besi baja baik dalam strategi harga, produk, promosi dan distribusi yang menjelaskan hubungan yang terjadi antara struktur pasar dan kinerja.
III. METODE PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder
dari industri besi baja di Indonesia. Data tersebut diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan industri baja seperti Biro Pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian, Gabungan Asosiasi Produsen Besi Baja Indonesia (GAPBESI), Perpustakaan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Perpustakaan Universitas Indonesia (UI). Data yang digunakan merupakan data time series tahunan dari tahun 1981 sampai dengan 2003.
3.2
Metode Analisis Analisis dilakukan dengan menggunakan kerangka analisis Structure-
Conduct-Performance (SCP) untuk meneliti struktur, perilaku dan kinerja industri baja di Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan analisis kualitatif (deskriptif). Analisis kuantitatif digunakan Microsoft Office Excel dan perangkat lunak (software) Eviews 4.1, sedangkan analisis kualitatif dilakukan dengan didukung oleh fakta yang diperoleh dari data sekunder yang didapat dari sejumlah literatur pustaka dan lembaga terkait. Data statistik yang diperoleh harus disesuaikan dalam bentuk riil agar dapat menunjukkan keadaan yang sebenarnya pada saat ini, yaitu dengan cara membagi data nominal dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Nilai riil =
Nilai Nominal IHPB
x 100%
(2)
21
IHPB adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya perubahan harga perdagangan besar atau harga grosir dari komoditas-komoditas yang diperdagangkan di suatu negara atau daerah (BPS, 2003). IHPB yang digunakan dalam penelitian ini adalah IHPB Indonesia dengan tahun dasar 1993 (1993=100) yang diperoleh dari BPS (Lampiran 2).
3.2.1
Analisis Struktur Pasar Industri Besi Baja di Indonesia Struktur pasar pada industri baja dapat diketahui dengan melakukan
analisis deskriptif kuantitatif. Struktur pasar industri besi baja dapat dilihat dengan menghitung rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) dan hambatan masuk pasar (MES). CR4 adalah suatu alat ukur yang digunakan untuk mengetahui besarnya tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar dari suatu pasar atau industri tertentu. CR4 dapat dirumuskan sebagai berikut : Jumlah penjualan 4 perusahaan terbesar CR4 =
Total Penjualan Industri
x 100%
(3)
Besarnya nilai CR4 dapat menunjukkan bentuk struktur pasar industri besi baja di Indonesia. Semakin besar angka persentasenya (mendekati 100 %) maka struktur pasarnya monopoli, sedangkan jika nilainya mendekati lebih besar dari 60 persen, berarti industri tersebut merupakan pasar oligopoli. Namun, jika nilainya mendekati nol berarti struktur pasar industri tersebut persaingan sempurna. Melihat peluang masuknya perusahaan baru ke dalam pasar atau hambatan yang ada di dalam pasar, dapat pula dilakukan untuk mengukur struktur pasar industri. Hambatan masuk pasar dapat diproksi dari kekuatan perusahaan terbesar dalam menguasai pasar, sehingga menghalangi pesaing potensial yang
22
mempunyai kemungkinan untuk masuk pasar dan menjadi pesaing sebenarnya. Untuk mengukur hambatan masuk ini adalah dengan mengukur skala efisiensi minimum (MES) yang dirumuskan sebagai berikut: MES =
3.2.2
Output Perusahaan Terbesar Total Output Industri
x 100 %
(4)
Analisis Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia Untuk menjelaskan kinerja suatu industri, akan dilakukan secara
kuantitatif dan deskriptif. Variabel yang digunakan dalam menganalisa kinerja industri adalah Price-Cost Margin (PCM) dan efisiensi (XEF). Variabel PCM digunakan sebagai indikator kinerja industri, yang merupakan perkiraan kasar dari keuntungan pada industri tersebut. Efisiensi menunjukkan kemampuan dari perusahaan dalam industri untuk menekan biaya produksi yang harus dikeluarkan.
3.2.3
Analisis Hubungan Struktur Pasar dengan Kinerja Industri Baja di Indonesia Untuk melihat hubungan struktur pasar dengan kinerja industri baja di
Indonesia dilakukan dengan analisis kuantitatif dengan menggunakan Metode Kuadrat Terkecil Biasa atau Ordinary Least Square (OLS). Variabel PCM digunakan sebagai variabel dependen karena lebih menggambarkan kinerja industri yaitu merupakan proksi dari tingkat keuntungan, sehingga lebih relevan untuk mewakili kinerja industri, sedangkan variabel kinerja yang lain dapat digunakan sebagai variabel independen yang memiliki pengaruh terhadap tingkat keuntungan (PCM).
23
Selain variabel struktur pasar (CR4 dan MES) sebagai variabel independen, variabel XEF digunakan dalam model persamaan karena kemampuan perusahaan dalam menekan biaya produksi, dapat menciptakan kontribusi terhadap nilai tambah yang diperoleh. Pada akhirnya, nilai tambah tersebut akan memberikan keuntungan bagi perusahaan. Variabel lain yang diduga mempengaruhi tingkat keuntungan industri adalah
pertumbuhan
produksi
(GROWTH)
karena
variabel
ini
dapat
menggambarkan permintaan pasar (market demand). Jika permintaan suatu barang meningkat, maka perusahaan akan meningkatkan produksinya untuk memenuhi permintaan yang ada. Adanya peningkatan jumlah produksi akan berdampak terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan. Krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 diduga berpengaruh juga terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh industri besi baja dalam negeri. Hal ini dapat terjadi karena dengan adanya krisis akan menurunkan tingkat permintaan akan produk besi baja yang akhirnya akan mengurangi keuntungan industri besi baja itu sendiri. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditulis sebagai berikut : PCMt = β0 + β1CR4t + β2 MESt + β3 XEFt + β4GROWTH + β5DUMMY + ut
(5)
Dimana : PCM
= Proksi keuntungan total industri (%)
CR4
= Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar dalam industri (%)
MES
= Skala Efisiensi Minimum, proksi hambatan masuk pasar (%)
24
XEF
= Efisiensi internal dalam industri besi baja di Indonesia (%)
GROWTH
= Pertumbuhan produksi, proksi dari permintaan pasar besi baja di Indonesia (%)
DUMMY
= Dummy krisis (D=0 sebelum krisis, tahun 1981 sampai 1996 dan D=1 setelah krisis, tahun 1997 sampai 2003)
t
= Tahun 1981 sampai 2003
ut
= Unsur gangguan
β0
= Nilai konstanta
β1,β2,β3,β4,β5
= Nilai koefisien masing-masing variabel bebas
Estimasi tanda dari koefisien bebas diduga adalah β1,β3,β2 dan β4>0 yang artinya, masing-masing variabel bebas (CR4, MES, XEF dan GROWTH) memiliki hubungan positif terhadap PCM. Sedangkan β5<0 artinya DUMMY diduga memiliki hubungan negatif dengan PCM. PCM merupakan salah satu indikator kinerja yang digunakan sebagai perkiraan kasar dari keuntungan industri. Pada model ini PCM ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: PCM =
Nilai tambah – Pengeluaran upah pekerja Nilai produksi industri
x 100 %
(6)
Tingkat konsentrasi dalam model persamaan diukur dengan rasio konsentrasi. Rasio konsentrasi yang digunakan menunjukkan besarnya kontribusi nilai penjualan empat perusahaan terbesar terhadap total nilai penjualan industri. Formulasi dari rasio konsentrasi adalah: CR4 =
Jumlah penjualan 4 perusahaan terbesar Total penjualan industri
x 100 %
(7)
25
Hambatan masuk pasar dapat diukur dengan skala efisiensi minimum (MES) yang menunjukkan penguasaan pasar oleh perusahaan terbesar dalam industri besi baja di Indonesia. Rumus dari MES adalah: Output Perusahaan Terbesar
MES =
Total Output Industri
x 100 %
(8)
Variabel efisiensi dimasukkan ke dalam model PCM, karena kinerja yang tinggi
dapat
disebabkan
oleh
adanya efisiensi. Efisiensi menunjukkan
perbandingan antara nilai tambah dan nilai input yang dapat diperoleh melalui rumus berikut: Nilai Tambah
XEF =
(9)
x 100 %
Biaya Input
GROWTH menunjukkan nilai pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun pada suatu industri yang dapat menggambarkan permintaan pasar. Pertumbuhan ini dapat dihitung dengan rumus berikut: GROWTH =
Nilai produksi tahun t –Nilai produksi tahun t-1 Nilai produksi tahun t-1
x 100 %
(10)
Pengujian Model Ekometrika Menurut Gujarati (1995), model ekonometrika yang baik harus memenuhi tiga kriteria yaitu kriteria ekonometrika, kriteria statistik dan kriteria ekonomi. Berdasarkan kriteria ekonometrika, model harus sesuai dengan asumsi klasik, artinya
harus
terbebas
dari
gejala
multikolinearitas,
autokorelasi
dan
heteroskedastisitas. Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji koefisien determinasi (R2), uji F dan uji t. Berdasarkan kriteria ekonomi, tanda
26
dan besarnya parameter variabel-variabel bebas dalam model harus sesuai dengan hipotesis, kecuali pada kondisi-kondisi tertentu yang bisa dijelaskan. 1. Uji Multikolinearitas Uji Multikolinearitas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan linear diantara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi. Gejala multikolinearitas dalam suatu model akan menimbulkan beberapa konsekuensi diantaranya adalah:
Meskipun penaksir OLS mungkin bisa diperoleh namun kesalahan standarnya mungkin akan cenderung semakin besar dengan meningkatnya tingkat korelasi antara peningkatan variabel.
Standart error dari parameter diduga sangat besar sehingga selang keyakinan untuk parameter yang relevan cenderung lebih besar.
Jika multikolinearitasnya tinggi kemungkinan probabilitas untuk menerima hipotesis yang salah menjadi besar.
Kesalahan standar akan semakin besar dan sensitif bila ada perubahan data.
Tidak mungkinnya mengisolasi pengaruh individual dari variabel yang menjelaskan (Gujarati, 1995). Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinear, salah
satunya adalah melalui correlation matrix, dimana batas terjadinya korelasi antara sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari │0,80│. Selain melalui correlation matrix, dapat pula digunakan Uji Klein dalam mendeteksi multikolinearitas (Gujarati, 1995). Apabila terjadi nilai korelasi yang lebih dari │0,80│, maka
27
menurut Uji Klein multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tidak lebih dari nilai R-squared. 2. Uji Autokorelasi Autokorelasi
merupakan
gejala
adanya
korelasi
antara
anggota
serangkaian observasi yang diurutkan melalui deret waktu (time series). Adanya gejala autokorelasi pada suatu persamaan akan menyebabkan suatu persamaan memiliki selang kepercayaan yang semakin lebar dan pengujian menjadi kurang akurat, mengakibatkan hasil dari uji-t, uji-F menjadi tidak sah dan penaksiran regresi akan menjadi sensitif terhadap fluktuasi penyampelan (Gujarati, 1995). Pada penelitian ini digunakan uji Breusch and Godfrey Serial Correlation LM-Test untuk mendeteksi ada atau tidaknya gejala autokorelasi. Apabila nilai Probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari tarif nyata tertentu (yang digunakan), maka persamaan ini dinyatakan tidak mengalami autokorelasi. Apabila nilai Obs*R-squared yang diperoleh lebih kecil dari pada taraf nyata tertentu maka persamaan tersebut mengandung autokorelasi. 3. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi pokok dalam model regresi linear klasik adalah bahwa varian setiap disturbance term yang dibatasi oleh nilai tertentu mengenai variabelvariabel bebas adalah berbentuk suatu nilai konstan yang sama dengan σ2. Inilah yang disebut asumsi heteroskedasticity atau varian yang sama. E ﴾μi2 ﴿ = σ2 (11)
i = 1, 2, 3, ..., N
28
Dalam
heteroskedastisitas
menunjukkan
disturbance
yang
dapat
ditunjukkan dengan adanya conditional variance Yi bertambah pada waktu X bertambah. Dapat dikatakan bahwa heteroskedastisitas menyebabkan penaksiran koefisien-koefisien regresi menjadi tidak efisien. Hasil taksiran dapat menjadi kurang dari semestinya, melebihi dari semestinya dan menyesatkan. Salah
satu
heteroskedastisitas
cara
untuk
mendeteksi
maka
dapat
dilakukan
ada dengan
atau
tidaknya
gejala
menggunakan
White
Heteroskedasticity Test (Gujarati, 1995). Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probabilitas Obs*R-squared. Apabila nilai probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata tertentu maka persamaan tersebut tidak mengandung gejala heteroskedastisitas, begitu juga sebaliknya. 4. Uji Normalitas Uji ini dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30, karena jika sampel lebih dari 30 maka error term akan terdistribusi secara normal. Uji ini disebut Jarque-Bera Test. Hipotesis: H0 : error term terdistribusi normal H1 : error term tidak terdistribusi normal Jika Jarque Bera (J-B) > Χ 2 df = k atau Probability (P-Value) < α (taraf nyata yang digunakan) maka tolak H0, artinya error term tidak terdistribusi normal. Jika Jarque Bera (J-B) < Χ
2
df = k
atau Probability (P-Value) > α maka terima H0,
artinya error term terdistribusi normal. 5. Uji Koefisien Determinasi (R2)
29
Pengujian R2 digunakan untuk menjelaskan persentase variasi total peubah tidak bebas yang disebabkan oleh peubah bebas. Tujuannya adalah mengukur sampai sejauhmana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. R2 ini memiliki dua sifat diantaranya R2 merupakan besaran non negatif dan besarannya adalah 0 ≤ R2 ≥ 1 (Gujarati, 1995). Jika R2 sebesar satu maka berarti suatu kecocokan yang sempurna, sedangkan jika nilainya nol maka berarti tidak ada hubungan antar variabel tak bebas dengan variabel bebas. Berdasarkan metode OLS dengan menggunakan software Eviews 4.1, R2 dijelaskan dengan nilai R-Square yang diperoleh pada hasil estimasi. Nilai RSquare menunjukkan besarnya persentase variasi variabel terikat yang bisa dijelaskan oleh variabel bebasnya. Sisanya (100 % dikurangi nilai R-Square) dijelaskan oleh variabel lain di luar model. 6. Uji F-Statistik Uji serentak merupakan pengujian terhadap dugaan persamaan secara keseluruhan. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji F-statistik. Uji F digunakan untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh peubah bebas terhadap peubah tidak bebas secara bersamaan. Berdasarkan metode OLS dengan menggunakan software Eviews 4.1, dapat dilihat nilai probabilitas dari F statistiknya. Jika nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka secara keseluruhan variabel bebas mempengaruhi variabel terikat (PCM) artinya minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh terhadap PCM.
30
7. Uji t-statistik Uji t-statistik digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari variabel independen secara individu, yaitu apakah masing-masing variabel bebasnya berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebas. Berdasarkan metode OLS, dapat dilihat nilai probabilitas t statistik pada masing-masing variabel bebas. Jika nilai probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya. Kesesuaian model dengan kriteria ekonomi dapat dilihat dari tanda parameter dugaan. Tanda tersebut diharapkan sesuai dengan hipotesis. Tanda positif pada koefisien variabel bebas (independen) menunjukkan bahwa perubahan pada variabel bebas tersebut akan berpengaruh positif terhadap perubahan variabel terikat (dependen). Sedangkan tanda negatif pada koefisien variabel bebas menunjukkan pengaruh negatif antara variabel bebas dengan variabel terikatnya. Adanya perbedaan hasil dan hipotesis dapat diterima jika dapat dijelaskan dan didukung dengan alasan yang sesuai dengan teori dan kondisi sosial yang terjadi.
3.2.4
Analisis Perilaku Pasar pada Industri Besi Baja di Indonesia Analisis perilaku pasar pada industri baja di Indonesia akan dilakukan
secara deskriptif. Analisis ini dilakukan karena variabel yang mencerminkan perilaku memang bersifat kualitatif dan sulit untuk dikuantitatifkan, sehingga data kuantitatif yang dibutuhkan tidak tersedia. Perilaku yang akan diteliti antara lain adalah strategi harga, produk, promosi dan distribusi.
31
3.3
Spesifikasi Data
1. Concentration Ratio (CR4) merupakan alat untuk mengukur besarnya konsentrasi penjualan empat perusahaan terbesar dalam total penjualan industri besi baja. Namun, karena data mengenai nilai penjualan tidak tersedia maka didekati dengan nilai produksi. Diasumsikan hasil produksi terjual semua. Nilai penjualan besi baja digunakan untuk menghitung CR4 karena terkait dengan kemampuan perusahaan-perusahaan untuk bersaing dalam produk besi baja, sehingga yang dilihat adalah seberapa besar perusahaanperusahaan tersebut mendominasi pasar pada produk besi baja. 2. Minimum Efficiency Scale (MES) merupakan kontribusi output perusahaan terbesar terhadap total output industri besi baja di Indonesia, yang menggambarkan hambatan masuk yang ada pada industri tersebut. Digunakannya nilai output dalam menghitung MES adalah untuk mengetahui seberapa efisien perusahaan menghasilkan produk (termasuk produk yang tidak terkait dengan besi baja). Nilai output merupakan penjumlahan dari nilai barang yang dihasilkan (produk besi baja), nilai tenaga listrik yang terjual, nilai jasa industri yang diberikan kepada pihak lain, selisih nilai stok barang setengah jadi dan penerimaan lain di jasa non industri. 3. Efisiensi (XEF) adalah kemampuan industri besi baja untuk menghasilkan nilai tambah terhadap biaya input, diukur dengan perbandingan antara nilai tambah dengan biaya input.
32
4. GROWTH adalah pertumbuhan nilai produksi pada industri besi baja di Indonesia, yang menggambarkan tingkat permintaan pada produk ini.
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI
4.1
Sejarah Industri Besi Baja di Indonesia Keberadaan pabrik besi baja di negara berkembang sangat diperlukan
sebagai pendorong laju kecepatan pembangunan. Pada tahun1956 muncul gagasan untuk mendirikan pabrik baja yang saat itu dimotori oleh Perdana Menteri Republik Indonesia. Alternatif kota yang akan dijadikan lokasi berdirinya pabrik baja pertama di Indonesia antara lain: Lampung, Cilegon, Merak dan Probolinggo. Akhirnya dipilihlah kota Cilegon sebagai lokasi yang didirikan pabrik besi baja. Alasan dipilihnya kota ini dikarenakan pusat perekonomian saat itu masih tersentralisasi di Jakarta, disamping dekat dengan sarana pelabuhan kapal laut karena untuk memudahkan impor bahan baku (pellet). Tahun 1962 realisasi pembangunan pabrik besi baja tersebut dilaksanakan dan direncanakan akan selesai pada tahun 1968, namun terhenti pada tahun 1965 akibat meletusnya pemberontakan G30S PKI. Untuk melanjutkan program pembangunan pabrik tersebut maka pada tanggal 20 Desember 1967 dikeluarkan Instruksi Presiden untuk merubah Proyek Baja Trikora menjadi bentuk Perseroan Terbatas, dengan nama PT Krakatau Steel yang diresmikan berdiri pada tanggal 27 Oktober 1971 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 tanggal 31 Agustus 1970 (GAPBESI, 2006). Sejak munculnya perusahaan besi baja mendorong munculnya perusahaanperusahaan baru yang bergerak dibidang industri besi baja. Jumlah perusahaan besi baja ini dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan yang cukup
33
besar. Pada tahun 2003 jumlahnya telah mencapai 109 perusahaan dan pada tahun yang sama industri ini telah menyerap tenaga kerja dengan jumlah 36.936 orang (BPS, 2003). Perkembangan jumlah perusahaan dan tenaga kerja pada Industri besi baja dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Perkembangan Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1998-2003 Tahun
Jumlah Perusahaan (buah)
Jumlah Tenaga Kerja (orang)
1998
106
31.098
1999
107
30.656
2000
98
30.660
2001
128
37.571
2002
119
32.553
2003
109
36.936
Sumber: BPS (1998-2003)
4.2
Perkembangan Jumlah Produksi dan Utilitas Kapasitas Produksi Besi Baja di Indonesia Industri besi baja sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia, sehingga
secara tidak langsung, peningkatan jumlah manusia (populasi) membuat industri ini meningkatkan produksinya dikarenakan jumlah kebutuhan manusia yang semakin banyak. Namun, beberapa tahun terakhir peningkatan jumlah produksi tidak tersalurkan dengan baik karena adanya politik dumping dari negara luar sehingga konsumen lebih memilih untuk membeli barang dumping tersebut. Hal ini sangat merugikan produsen besi baja dalam negeri. Perkembangan volume produksi berdasarkan jenisnya produk besi baja dapat dilihat pada Tabel 4.2.
34
Tabel 4.2. Perkembangan Volume Produksi Beberapa Produk Besi Baja Indonesia Tahun 2002-2004 (dalam ribu ton) No. Kelompok 2002 2003 2004 1 Besi Spons 1.478,0 1.171,0 1.367,0 2 Slab Baja 1.291,7 1.002,3 1.190,0 3 Billet 976,3 1.042,2 1.198,5 4 Besi Beton 1.141,1 1.212,5 1.423,9 5 Batang Kawat Baja 625,3 578,4 651,1 6 HRC & Plate 2.032,1 1.928,0 2.441,6 7 Pipa Las Lurus/Spiral 405,2 435,6 459,6 8 CRC/Sheet 754,6 680,0 680,0 9 BjLS/warna 437,5 460,5 491,7 10 Tin Plate 88,0 89,6 92,7 Sumber: Departemen Perindustrian (2005)
Utilitas kapasitas produksi industri besi baja juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga dapat diartikan bahwa kinerjanya semakin baik. Namun peningkatan tidak terjadi setiap tahun, seperti pada tahun 2003 persentasenya lebih kecil daripada tahun sebelumnya. Perkembangan utilitas kapasitas produksi tahun 2001-2004 masing-masing adalah 50,8 persen, 52,1 persen, 51,3 persen dan 53,1 persen (Departemen Perindustrian, 2005). 4.3
Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Besi Baja di Indonesia Pentingnya peranan besi baja dalam pembangunan suatu negara membuat
kebutuhan akan barang ini terus meningkat, disertai dengan meningkatnya jumlah populasi. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi terjadi di seluruh negara di dunia. Hal ini dapat dilihat melalui nilai ekspor dan impor Industri besi baja dari tahun 2001 sampai tahun 2004 yang mengalami peningkatan. Nilai ini dapat menyimpulkan bahwa terjadi kenaikan konsumsi besi baja baik di dalam negeri maupun di dunia. Walaupun sama-sama terjadi peningkatan, namun nilai
35
ekpor masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai impor. Nilai ekspor dan impor tahun 2001-2004 dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Perkembangan Ekspor dan Impor Besi Baja Indonesia Tahun 2001-2004 Tahun Nilai Ekspor (US$ Juta) Nilai Impor (US$ Juta) 2001
451
1.547
2002
476
1.695
2003
578
1.738
2004
883
3.400
Sumber: Departemen Perindustrian (2005)
Perkembangan nilai ekspor dapat pula dilihat secara rinci, yakni berdasarkan jenis besi baja (Tabel 4.4). Berdasarkan jenisnya tersebut dapat diketahui bahwa jenis baja berlapis merupakan ekspor tertinggi pada tahun 2001 dan 2002, yaitu sebesar 116,6 juta (US $) dan 115,2 juta (US $). Pada tahun 2003 dan 2004 posisi ekspor tertinggi oleh produk HRC, yakni 151,8 juta (US $) dan 261,6 juta (US $). Tabel 4.4. Perkembangan Ekspor Beberapa Produk Besi Baja Indonesia Tahun 2001-2004 (dalam US $ Juta) No. Uraian 1 HRC 2 CRC 3 Baja Berlapis (Seng, aluminium dll) 4 Pipa Las 5 Batang Kawat Baja 6 Besi Beton 7 Pipa Tanpa Kampuh 8 Produk Besi Baja lainnya Sumber: Departemen Perindustrian (2005)
2001 73,1 28,5 116,6 37,7 64,4 14,5 56,8 59,9
2002 106,6 43,8 115,2 44,6 61,6 9,0 44,9 50,6
2003 151,8 54,4 126,2 64,5 50,8 10,9 21,2 98,2
2004 261,6 120,0 158,1 41,6 96,0 20,5 46,7 138,1
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Analisis Struktur Pasar Industri Besi Baja di Indonesia Analisis struktur pasar pada indutri besi baja di Indonesia dapat diketahui
dengan melihat rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) dan besarnya hambatan masuk. Rasio konsentrasi diperoleh dengan mengukur besarnya kontribusi penjualan empat perusahaan terbesar terhadap total penjualan industri, sedangkan hambatan masuk dapat diproksi berdasarkan persentase output perusahaan terbesar terhadap total output industri besi baja di Indonesia.
5.1.1
Analisis Rasio Konsentrasi (CR4) Industri Besi Baja di Indonesia Pengukuran rasio konsentrasi dilakukan pada empat perusahaan terbesar
dalam industri besi baja di Indonesia. Pengelompokkan empat perusahaan didasarkan klasifikasi besi baja secara umum yang artinya klasifikasi besi baja ini tidak berdasarkan jenis baja. Perusahaan-perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang memproduksi bermacam-macam jenis besi baja. Namun daftar nama perusahaan yang memimpin pasar pada Industri besi baja di Indonesia tidak dapat dituliskan dalam penelitian ini karena data mengenai hal tersebut tidak dipublikasikan. Berdasarkan data yang diperoleh, nilai konsentrasi rasio dari tahun 1981 sampai dengan 2003 berkisar antara 46 persen hingga 88 persen dan rasio konsentrasi tersebut menunjukkan angka rata-rata sebesar 71,67 persen (Tabel 5.1). Melihat angka rata-rata tersebut dapat disimpulkan bahwa struktur pasar pada Industri besi baja di Indonesia adalah oligopoli ketat. Dalam pasar oligipoli
37
ketat, kondisi yang terjadi adalah penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar 60-100 persen dan kesepakatan harga di antara mereka untuk menetapkan harga relatif mudah (Jaya, 2001). Tabel 5.1. CR4 dan CR1 Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992
CR4 83,95 72,04 79,17 84,79 87,37 88,93 88,99 84,05 80,96 69,02 69,10 65,14
CR1 58,67 48,09 36,60 46,61 55,65 60,79 54,65 48,81 52,59 46,72 54,28 52,84
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Rata-rata
CR4 63,02 64,30 65,27 71,20 63,33 72,02 71,48 67,69 62,89 46,41 47,21
CR1 41,64 42,35 42,68 54,66 42,81 55,64 56,62 49,16 41,74 33,85 26,53
71,67
48,00
Sumber: Lampiran 4
Berdasarkan hasil perhitungan CR4 memang terlihat bahwa bentuk pasar pada industri besi baja di Indonesia adalah oligopoli ketat. Namun kondisi yang terbentuk adalah adanya dominasi pasar oleh satu perusahaan yang ditunjukkan dengan nilai CR1 yang tinggi (hampir mencapai 50 %). Jadi, meskipun struktur pasar berbentuk oligopoli ketat tetapi merupakan kondisi nyata bahwa ada perusahaan yang mendominasi pasar.
5.1.2
Analisis Hambatan Masuk Pasar pada Industri Besi Baja di Indonesia Segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan
masuknya pesaing potensial merupakan hambatan masuk. Pesaing potensial adalah perusahaan-perusahaan di luar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk pasar dan menjadi pesaing sebenarnya.
38
Keberadaan perusahaan terbesar yang telah ada sebelumnya dalam sebuah industri merupakan salah satu hal yang dapat menjadi hambatan masuk. Untuk melihat bagaimana hambatan masuk dapat diproksi dengan Minimum Efficiency Scale (MES). Tingginya MES dapat menjadi penghalang bagi pesaing baru untuk memasuki pasar suatu industri. Berdasarkan hasil penelitian, didapat nilai rata-rata MES industri besi baja Indonesia pada tahun 1981 sampai tahun 2003 yaitu sebesar 47,80 persen (Lampiran 5). Perkembangan skala minimum efisiensi
70 60 50 40 30 20 10 0
19 81 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03
Persen
(MES) sejak tahun 1981 sampai 2003 dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Tahun Sumber: BPS (1981-2003), diolah
Gambar 5.1. Perkembangan Nilai MES MES yang lebih besar dari 10 persen menggambarkan hambatan masuk yang tinggi pada suatu industri (Comanor dan Wilson dalam Alistair, 2004), sehingga dapat dikatakan bahwa hambatan masuk pada industri besi baja termasuk tinggi. Nilai MES yang tinggi tersebut dapat menjadi penghalang bagi masuknya perusahaan baru ke dalam pasar industri besi baja di Indonesia. Namun demikian, pada tahun yang diteliti jumlah perusahaan yang masuk pasar dalam industri besi baja tergolong banyak (Lampiran 1). Diduga hal ini
39
terjadi karena tidak adanya kebijakan pemerintah mengenai batasan investasi dalam mendirikan perusahaan besi baja. Selain itu, nilai output yang besar pada perusahaan (MES) disebabkan oleh faktor kepemilikan modal sehingga dengan modal yang besar perusahaan tersebut dapat memproduksi dalam jumlah yang besar pula, faktor kepercayaan juga mempengaruhi tingkat produksi dan pangsa pasar pada industri ini.
5.2
Analisis Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia Salah satu indikator utama yang dapat menunjukkan kinerja industri
adalah keuntungan yang diperoleh dalam industri tersebut. Dalam menganalisa industri besi baja Indonesia, kendala yang dihadapi adalah tidak tersedianya data laba perusahaan maupun industri sehingga untuk menghitung tingkat keuntungan industri diproksi dengan menggunakan Price Cost Margin (PCM). PCM dihitung dengan membagi selisih nilai tambah dan pengeluaran tenaga kerja dengan total nilai output. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5.2, diketahui bahwa pada tahun 1996 tingkat keuntungan yang diraih industri besi baja Indonesia merupakan nilai tertinggi selama tahun yang diteliti yaitu sebesar 60,55 persen. Saat terjadi krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997, nilai ini mengalami penurunan yang cukup tajam yakni 26,42 persen sehingga nilainya menjadi 34,13 persen dan terus menurun sampai dengan tahun 1998. Setelah tahun 1998, tingkat keuntungan mulai meningkat walaupun tidak banyak. Namun, angka ini kembali berfluktuasi dan mencapai nilai terendah pada tahun 2003 dengan nilai 19,26 persen. Banyaknya produk-produk dumping yang masuk ke Indonesia membuat
40
konsumen besi baja lebih memilih untuk membeli produk dumping tersebut, hal inilah yang diduga menyebabkan tingkat keuntungan pada tahun 2003 menjadi rendah. Tabel 5.2. Price Cost Margin (PCM) Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 Tahun
PCM
Tahun
PCM
Tahun
PCM
1981
29,36
1989
42,11
1997
34,13
1982
22,15
1990
42,26
1998
20,78
1983
30,65
1991
28,63
1999
23,03
1984
48,36
1992
40,20
2000
21,55
1985
47,47
1993
45,30
2001
19,44
1986
52,49
1994
42,85
2002
28,13
1987
55,97
1995
45,23
2003
19,26
1988
43,67
1996
60,55
Rata-rata
36,68
Sumber : Lampiran 3.
Untuk mengukur kinerja dalam suatu industri, dapat juga dilihat dari efisiensi internal pada Industri. XEF dihitung dengan cara membagi nilai tambah dengan biaya input yang dikeluarkan. Perkembangan nilai efisiensi internal (XEF) industri besi baja di Indonesia selama tahun 1984 sampai dengan tahun 2003 dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Persen
200.00 150.00 100.00 50.00
Tahun
Sumber: BPS (1981-2003), diolah
Gambar 5.2. Perkembangan Nilai XEF
2003
2001
1999
1997
1995
1993
1991
1989
1987
1985
1983
1981
0.00
41
Berdasarkan nilai efisiensi pada tahun 1981 sampai tahun 2003 maka diperoleh rata-rata nilai efisiensi industri besi baja yaitu sebesar 71,70 persen. Nilai XEF yang tinggi pada industri ini mencerminkan kemampuan industri untuk meminimumkan jumlah biaya input yang digunakan untuk produksi, artinya perusahaan telah dikelola dengan baik.
5.3
Analisis Hubungan Struktur Pasar dengan Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia
5.3.1
Validitas Model Dalam menganalisis hubungan antara struktur pasar terhadap kinerja
industri besi baja di Indonesia dilakukan dengan menggunakan Metode Kuadrat Terkecil Biasa atau Ordinary Least Square (OLS). Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2003 dan hasil olahan tersebut selanjutnya diestimasikan dengan menggunakan perangkat lunak (software) Eviews 4.1. Hasil estimasi model PCM Industri Besi Baja di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Hasil Estimasi Model PCM Industri Besi Baja di Indonesia Periode 1981-2003 Variabel C CR4 MES XEF GROWTH DUMMY R-squared Adjusted R-squared Sumber: Lampiran 8
0,959249 0,947264
Koefisien
Probabilitas
17,76421 0,209846 -0,306342 0,303679 -0,063353 -4,962378
0,0026 0,0573 0,0333 0,0000 0,0302 0,0159 80,03441 0,000000
F-statistic Prob(F-statistic)
Menurut Gujarati (1995), model ekonometrika yang baik harus memenuhi kriteria ekonometrika dan kriteria statistik. Berdasarkan kriteria ekonometrika,
42
model harus sesuai dengan asumsi klasik, artinya harus terbebas dari gejala multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji koefisien determinasi (R2), uji F dan uji t. Uji Multikolinearitas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan linear diantara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi. Pada penelitian ini, uji multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan Correlation Matrix, dimana batas terjadinya korelasi antara sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari │0,80│. Berdasarkan Lampiran 9, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini tidak mengandung gejala multikolinearitas karena nilai korelasi antara variabel-variabel bebasnya lebih kecil dari │0,80│. Pengujian masalah autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Nilai probabilitas Obs*R-squared dari uji ini adalah sebesar 0,163006 dengan taraf nyatanya yaitu 0,10 (α = 10 %). Nilai probabilitas Obs*R-squared yang diperoleh lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (α =10 %), sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan model PCM pada penelitian ini tidak terdapat gejala autokorelasi. Pada penelitian ini, pengujian masalah heteroskedastisitas menggunakan White Heteroskedasticity Test. Nilai probabilitas Obs*R-squared yang diperoleh yaitu 0,211611 sedangkan taraf nyatanya bernilai 0,10 (α = 10 %). Dapat disimpulkan bahwa persamaan model PCM pada penelitian ini tidak terdapat gejala heteroskedastisitas karena probabilitas Obs*R-squared memiliki nilai yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (α =10 %)
43
Untuk menguji apakah sampel yang digunakan memiliki error term yang terdistribusi secara normal atau tidak maka dapat menggunakan Jarque-Bera Test. Berdasarkan Lampiran 11, nilai probability (P-Value) yaitu sebesar 0,533533 sedangkan taraf nyatanya bernilai 0,10 (α = 10 %). Karena P-Value = 0,533533 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (α =10 %) sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat keyakinan 90 persen dapat dikatakan error term terdistribusi normal. Berdasarkan hasil estimasi model PCM industri besi baja Indonesia pada Tabel 5.3, diperoleh nilai R-squared sebesar 0,959249 atau 95,92 persen. Artinya, rata-rata variasi variabel PCM (tingkat keuntungan) dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas (CR4, MES, XEF, GROWTH dan DUMMY) yaitu sebesar 95,92 persen dan sisanya sebesar 4,08 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai probabilitas (F-statistik) adalah 0,000, nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 (α =10 %). Artinya ada paling sedikit satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap PCM dan persamaan tersebut dinyatakan telah lulus uji F-statistik (Tabel 5.3). Uji t-statistik digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari masing-masing variabel bebas secara individu berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebas. Apabila nilai probabilitas yang didapatkan lebih kecil dari taraf nyata (α =10 %) maka dapat dikatakan bahwa variabel bebas tersebut berpengaruh nyata terhadap PCM pada tingkat kepercayaan 90 persen, sedangkan jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka
44
dapat dikatakan variabel bebas tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap PCM. Hasilnya dapat dilihat pada nilai probabilitas pada Tabel 5.3, bahwa seluruh variabel bebas (CR4, MES, XEF, GROWTH dan DUMMY) secara nyata berpengaruh terhadap PCM pada tingkat kepercayaan 90 persen.
5.3.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja pada Industri Besi Baja di Indonesia Berdasarkan Tabel 5.3, dapat dilihat bahwa variabel bebas CR4, MES,
XEF, GROWTH dan DUMMY berpengaruh nyata pada taraf 0,10 (α = 10 %) terhadap PCM. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel CR4 dan XEF berpengaruh positif, sedangkan variabel MES, GROWTH dan DUMMY mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat keuntungan industri besi baja (PCM). Nilai koefisien masing-masing variabel dapat dilihat pada Tabel 5.3, sehingga didapatkan persamaan regresi model PCM sebagai berikut: PCM = 17,76421 + 0,209846 CR4t – 0,306342 MESt + 0,303679 XEFt – 0,063353 GROWTH – 4,962378 DUMMY (12) Berdasarkan persamaan tersebut, didapat bahwa variabel yang mempunyai pengaruh terbesar dalam meningkatkan kinerja (PCM) adalah XEF, kemudian disusul dengan CR4, sedangkan dalam penurunan PCM variabel DUMMY memiliki pengaruh terbesar, yang kemudian diikuti oleh variabel MES dan GROWTH. Tanda positif sebesar 0,209846 pada koefisien CR4 mempunyai arti bahwa bila CR4 meningkat 1 persen maka tingkat keuntungan yang dihasilkan industri besi baja juga meningkat sebesar 0,209846 persen, dengan asumsi ceteris paribus
45
(variabel lain dianggap konstan). Variabel CR4 memberikan pengaruh yang nyata secara statistik terhadap peningkatan keuntungan industri besi baja pada tingkat kepercayaan 90 persen (α = 0,10). Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, bahwa peningkatan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar akan meningkatkan keuntungan pada industri besi baja di Indonesia. Koefisien MES sebesar –0,306342 mempunyai arti bahwa jika MES meningkat sebesar 1 persen maka keuntungan yang dihasilkan akan menurun sebesar 0,306342 persen, dengan asumsi ceteris paribus. MES memberikan pengaruh nyata secara statistik terhadap penurunan keuntungan industri besi baja pada tingkat kepercayaan 90 persen (α = 0,10). Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal, bahwa MES (hambatan masuk) akan meningkatkan keuntungan pada industri besi baja di Indonesia. Ketidaksesuaian ini diduga terjadi karena nilai MES ini tidak tepat untuk dijadikan proksi dari hambatan masuk pada industri besi baja di Indonesia. Nilai koefisien XEF sebesar 0,303679 mempunyai arti bahwa jika efisiensi (XEF) meningkat sebesar 1 persen maka keuntungan yang dihasilkan akan meningkat sebesar 0,303679 persen, dengan asumsi ceteris paribus. Efisiensi memberikan pengaruh nyata secara statistik terhadap peningkatan keuntungan industri besi baja pada tingkat kepercayaan 90 persen (α = 0,10). Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, bahwa efisiensi akan meningkatkan keuntungan pada industri besi baja di Indonesia. GROWTH berpengaruh nyata secara statistik terhadap penurunan keuntungan industri besi baja Indonesia pada tingkat kepercayaan 90 persen (α =
46
0,10). Koefisien GROWTH menunjukkan nilai negatif sebesar -0,063353. artinya, jika pertumbuhan produksi (GROWTH) naik sebesar 1 persen, maka keuntungan industri besi baja di Indonesia akan menurun sebesar 0,063353 persen, dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal, bahwa peningkatan pertumbuhan produksi (GROWTH) akan meningkatkan keuntungan pada industri besi baja di Indonesia. Kondisi ini diduga terjadi karena rata-rata pertumbuhan nilai produksi lebih kecil dari pada rata-rata pertumbuhan nilai biaya input (Tabel 5.4). Jadi, walaupun
produksi
mengalami
pertumbuhan
tetapi
pertumbuhan
biaya
produksinya lebih tinggi dari pertumbuhan nilai produksinya sehingga keuntungan yang dihasilkan justru akan menurun. Tabel 5.4. Pertumbuhan Nilai Produksi dan Pertumbuhan Biaya Input Tahun 1982-2003 Growth Nilai Growth Produksi Biaya Input 1982 5,54 18,03 1983 102,81 79,05 1984 47,21 9,97 1985 5,15 24,04 1986 36,58 3,88 1987 13,47 6,37 1988 10,68 47,54 1989 25,04 33,09 1990 11,57 7,67 1991 -9,14 10,60 1992 -6,09 -21,40 Rata-rata Sumber: BPS (1981-2003), diolah Tahun
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Growth Nilai Produksi 36,38 17,75 23,67 44,24 -28,96 -38,38 11,39 31,51 67,40 -22,15 5,67 17,79
Growth Biaya Input 30,27 23,81 17,54 -0,66 21,37 -28,85 12,67 22,20 70,61 -51,65 109,19 20,24
Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh (Tabel 5.3) maka dapat disimpulkan bahwa krisis ekonomi (DUMMY) yang terjadi sejak tahun 1997 memberikan pengaruh nyata secara statistik terhadap penurunan keuntungan industri besi baja di Indonesia pada tingkat kepercayaan 90 persen (α = 0.10).
47
Adanya krisis tahun 1997 mengurangi keuntungan (PCM) sebesar 4,962378 persen, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, bahwa krisis akan menurunkan keuntungan pada industri besi baja di Indonesia.
5.4.
Analisis Perilaku Perusahaan pada Industri Besi Baja di Indonesia Berdasarkan hasil analisis hubungan struktur pasar (CR4) dengan kinerja
(Tabel 5.3), dapat disimpulkan bahwa struktur pasar secara signifikan (pada taraf kepercayaan 90 persen) berpengaruh nyata positif terhadap kinerja (PCM). Hubungan yang signifikan ini diduga terjadi karena adanya perilaku-perilaku yang menggambarkan persaingan tidak sempurna dalam industri besi baja di Indonesia. Untuk itu, perlu dianalisa perilaku-perilaku yang menyebabkan hubungan signifikan antara struktur pasar (CR4) dan kinerja. Struktur pasar pada industri besi baja Indonesia (CR4) adalah oligopoli ketat, namun ada perusahaan yang mendominasi pasar. Diduga melalui berbagai perilaku yang dilakukan oleh perusahaan dominan pada industri besi baja (PT. Krakatau Steel), struktur pasar mempengaruhi secara positif terhadap kinerja industri. Adapun perilaku yang dilakukan oleh perusahaan dominan antara lain adalah strategi harga, produk, promosi dan distribusi.
5.4.1. Strategi Harga Bahan baku besi baja masih tergantung pada impor sehingga harganya pun mengikuti perkembangan harga bahan baku dunia. Bahan baku ini merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui sehingga jumlahnya
semakin
menurun. Pengaruh tingginya permintaan negara-negara yang sedang melakukan
48
pembangunan, juga menyebabkan harga bahan baku besi baja dunia mengalami peningkatan sehingga harga produk besi baja di Indonesia turut meningkat. Pada umumnya, strategi dalam penentuan harga dimiliki oleh setiap perusahaan yang bersaing dalam suatu industri. Pada industri besi baja di Indonesia, perusahaan-perusahaan pada industri ini menyatakan bahwa harga produk yang ditetapkan merupakan harga pasar (kesepakatan antara penjual dan pembeli) sehingga para produsen harus bersaing secara sehat dan adanya asosiasi tidak berperan dalam kesepakatan harga antar perusahaan dalam industri besi baja, tetapi lebih kepada kesepakatan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar kualitas produk dan melindungi produsen dalam negeri terhadap kebijakan atau masalah-masalah yang mengganggu seperti adanya produk-produk dumping dan produk yang tidak sesuai SNI. Namun demikian, berdasarkan hasil analisis struktur pasar dan kinerja diketahui bahwa struktur pasar pengaruh nyata terhadap peningkatan keuntungan. Diduga, adanya perusahaan yang mendominasi pasar pada industri ini menyebabkan perusahaan lain tidak bisa menentukan harga melainkan hanya mengikuti harga yang ditetapkan oleh perusahaan dominan, karena jika menetapkan harga yang lebih tinggi maka perusahaan tersebut akan kehilangan konsumen. Perusahaan dominan juga dapat melakukan pemotongan harga bagi pelanggan baru atau konsumen yang membeli dalam jumlah yang sangat besar. Oleh karena itu, kinerja (keuntungan) industri diduga sangat ditentukan oleh perusahaan dominan tersebut.
49
5.4.2. Strategi Produk Selain strategi harga, ada juga strategi produk yang dilakukan oleh perusahaan dominan pada industri besi baja dalam rangka meningkatkan keuntungan perusahaan. Dengan modal besar yang dimiliki, perusahaan dominan dapat melakukan strategi produk, antara lain dengan memodifikasi fisik produk, mengembangkan kualitas produk yang disesuaikan dengan SNI, melakukan inovasi, menerima pesanan produk dengan berbagai ukuran dan jenis produk besi baja serta memberikan jaminan ketersediaan produk dalam jumlah yang cukup.
5.4.3. Strategi Promosi Strategi promosi produk oleh perusahaan dominan dalam industri besi baja dilakukan untuk meningkatkan volume penjualan dan menarik pelanggan. Dengan kepemilikan modal yang besar, perusahaan dominan dapat melakukan berbagai cara promosi untuk menyebarkan informasi tentang produk yang dijual, baik jenis produk maupun kualitas produk. Promosi yang dilakukan antara lain adalah dengan memasang iklan di media, khususnya media cetak seperti pada majalah industri dan Yellow Pages. Promosi ini, dapat meningkatkan penjualan dan akhirnya meningkatkan keuntungan. Promosi di media elektronik seperti televisi tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa produk besi baja ini tidak dikonsumsi langsung oleh masyarakat luas melainkan dikonsumsi oleh industri hilirnya, baik yang menggunakan produk ini sebagai bahan baku maupun pelengkap. Promosi juga dilakukan dengan melakukan kunjungan-kunjungan kepada perusahaan hilirnya
50
untuk memberikan informasi secara langsung tentang produk besi baja yang dijual.
5.4.4. Strategi Distribusi Distribusi produk adalah suatu cara yang dilakukan dalam menyampaikan barang atau produk yang diinginkan oleh pembeli. Strategi distribusi yang dilakukan oleh perusahaan dominan pada industri besi baja adalah berdasarkan kesepakatan antar produsen dan konsumen. Cara yang dilakukan dalam mendistribusikan produknya, antara lain dengan mengantar produk yang dipesan sampai gudang pembeli dan jika jumlah yang ingin dibeli kurang dari batasan pesanan minimum maka yang berperan adalah distributor, sehingga konsumen yang ingin membeli dalam jumlah sedikit tidak pindah ke perusahaan lain. Selain itu, dengan memiliki pelabuhan sendiri, perusahaan dominan pada industri besi baja dapat lebih mudah dalam melakukan proses distribusi.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada industri besi baja mengenai
struktur, perilaku dan kinerjanya, diperoleh beberapa kesimpulan yang menjawab tujuan penelitian yaitu: 1. Berdasarkan hasil perhitungan CR4, dapat dikatakan bahwa struktur pasar pada industri besi baja adalah oligopoli ketat. Meskipun struktur pasar berbentuk oligopoli ketat dan ada persaingan dalam merebut pangsa pasar antara perusahaan, tetapi merupakan kondisi nyata bahwa ada perusahaan yang mendominasi pasar. Dilihat dari segi kinerja, industri besi baja menerima margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) rata-rata sebesar 36.68 persen sedangkan efisiensi-X yang dicapai (XEF) rata-rata adalah 71.70 persen. Nilai ini menggambarkan kemampuan industri dalam meminimumkan biaya input produksi. 2. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang nyata pada taraf 10 persen dari seluruh variabel bebas yang digunakan, dimana variabel CR4 dan XEF berhubungan positif terhadap PCM, sedangkan variabel yang lain (MES, GROWTH dan DUMMY) berpengaruh negatif terhadap PCM. Variabel XEF yang mempunyai pengaruh terbesar dalam meningkatkan kinerja (PCM), kemudian disusul dengan CR4, sedangkan dalam penurunan PCM variabel DUMMY memiliki pengaruh terbesar, yang kemudian diikuti oleh variabel MES dan GROWTH.
52
3. Ada beberapa perilaku dari perusahaan dominan yang diduga menjadi penyebab hubungan positif yang terjadi antara struktur pasar dan kinerja pada industri besi baja Indonesia. Perilaku yang terjadi antara lain:
Dalam strategi harga, diduga ada unsur kepemimpinan harga oleh perusahaan dominan, sehingga dapat meningkatkan keuntungan industri.
Strategi produk oleh perusahaan dominan, diduga dapat meningkatkan keuntungan industri, karena dengan modal yang besar perusahaan tersebut dapat memodifikasi fisik produk, mengembangkan kualitas produk yang disesuaikan dengan SNI dan melakukan inovasi produk.
Dengan kepemilikan modal yang besar, perusahaan dominan dapat melakukan berbagai cara promosi untuk menyebarkan informasi tentang produk,
sehingga
dapat
meningkatkan
penjualan
dan
akhirnya
meningkatkan keuntungan.
Strategi distribusi yang dilakukan oleh perusahaan dominan pada industri besi baja adalah berdasarkan kesepakatan antar produsen dan konsumen.
6.2
Saran Dari hasil penelitian yang diperoleh maka diajukan beberapa masukan baik
bagi produsen besi baja, pemerintah Indonesia maupun penelitian lebih lanjut yang tertarik untuk meneliti industri besi baja di Indonesia yaitu: 1. Produsen besi baja di Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi untuk meningkatkan keuntungan industri, karena berdasarkan penelitian ini variabel tersebut memiliki pengaruh yang paling besar terhadap peningkatan keuntungan (PCM). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
53
meningkatkan efisiensi, antara lain dengan meningkatkan volume produksi melalui penggunaan kapasitas produksi secara efisien dan efektif (dengan asumsi perusahaan dapat menguasai pasar baik di dalam negeri maupun di dunia sehingga produk tersebut terjual semua). Selain itu, untuk meningkatkan efisiensi perusahaan harus dapat menekan biaya input seminimal mungkin dalam memproduksi besi baja. 2. Munculnya struktur pasar oligopoli dan perusahaan dominan, yang merupakan bentuk persaingan yang tidak sempurna memerlukan pengawasan yang ketat dari pemerintah melalui KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha) agar tidak muncul perilaku-perilaku yang tidak sehat, yang dapat merugikan sebagian produsen besi baja di Indonesia. 3. Penelitian lebih lanjut perlu menganalisa lebih mendalam (dilakukan studi kasus) mengenai perilaku-perilaku oleh perusahaan dominan dalam industri besi baja di Indonesia dalam rangka meningkatkan kinerja (PCM) industri.
DAFTAR PUSTAKA
Alistair, A. 2004. Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja pada Industri Tepung Terigu di Indonesia Pasca Pengapusan Monopoli Bulog. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. IPB, Bogor. Arief, S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. UI-Press, Jakarta. Basri, F. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Erlangga, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1981-2003. Statistik Industri Sedang dan Besar . BPS, Jakarta. --------------------------. 1981-2003. Indeks harga Perdagangan Besar (IHPB). BPS, Jakarta. --------------------------. 1998-2003. Indikator Industri Sedang dan Besar. BPS, Jakarta. --------------------------. 2002-2004. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta. Departemen Perindustrian. 2005. Perindustrian, Jakarta.
Profil
Industri
Logam.
Departemen
Djamin, Z. 1995. Struktur Perekonomian dan Strategi Pembangunan Indonesia. UI-Press, Jakarta. Djojodipuro, M. 1994. Pengantar Ekonomi untuk Perencanaan. UI-Press, Jakarta. Dumairy. 2000. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Fitri, A. 2000. Optimalisasi Struktur Industri dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Industri Nasional (Kajian Penelusuran Pohon Industri Pertokimia dan Besi Baja). [Tesis]. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. UI, Jakarta. Gabungan Asosiasi Produsen Besi Baja Indonesia. 2006. Gambaran Umum. GAPBESI, Jakarta. Greer, D F. 1992. Industrial Organization and Public Policy. Third Edition. Macmillan Publishing Company. Singapore. Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Zain, Somarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
55
Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri : Persaingan, Monopoli dan Regulasi. LP3ES, Jakarta. Hipotesa. 2005. E-Views Training 2005. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. Jaya, W K. 2001. Ekonomi Industri. Edisi Kedua. BPFE, Yogyakarta. Kompas, 2003. Industri Baja Tak "Sekuat" Baja Itu Sendiri. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/13/ekonomi/309106.htm. [20 Februari 2006]. Puspitasari, E. 2005. Analisis Keragaan Industri Susu Olahan Di Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. IPB, Bogor. Putri, I. 2004. Analisis Struktur,Perilaku, dan Kinerja Industri Rokok Kretek di Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. IPB, Bogor. Rochman, N T. 2003. Baja dan Baja Super, Pilar Masyarakat Berbasis Industri. Kompas Online. www.nano.lipi.go.id/utama.artikel&1112532268&1. [20 Februari 2006]. Shepherd, W G. 1990. The Economics of Industrial Organization. Third Edition. Prentice-Hall.Inc. New Jersey. Sentosa, R N. 2005. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja pada Industri Elektronik Indonesia Pasca Deregulasi Penanaman Modal Asing. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. IPB, Bogor. Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN
57
Lampiran 1. Perkembangan Jumlah Perusahaan dalam Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1984-2003 Jumlah Perusahaan (buah) 1981 22 1982 23 1983 24 1984 26 1985 30 1986 30 1987 32 1988 40 1989 42 1990 62 1991 74 1992 81 1993 87 1994 93 1995 101 1996 103 1997 117 1998 106 1999 107 2000 98 2001 128 2002 119 2003 109 Sumber: BPS (1981-2003), diolah Tahun
58
Lampiran 2. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) Indonesia dengan Tahun Dasar 1993 (1993=100) Tahun IHPB 1981 36,97 1982 38,22 1983 42,40 1984 45,99 1985 47,61 1986 46,51 1987 54,59 1988 67.95 1989 74,31 1990 81,43 1991 89,64 1992 93,68 1993 100,00 1994 103,67 1995 107,26 1996 107,21 1997 134,20 1998 272,12 1999 235,44 2000 232,56 2001 257,95 2002 280,21 2003 306,72 Sumber: BPS (1981-2003), diolah
59
Lampiran 3. Price Cost Margin (PCM) Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 Pengeluaran Tahun Tenaga Kerja (Rp.000) 1981 220.987.812 24.859.423 1982 185.690.364 29.515.447 1983 486.531.564 48.235.816 1984 1.076.684.908 58.669.971 1985 1.111.243.671 60.423.339 1986 1.691.960.735 105.192.668 1987 2.000.293.415 80.453.282 1988 1.770.080.487 112.003.775 1989 2.122.387.545 123.062.899 1990 2.364.143.754 125.742.951 1991 1.521.796.706 143.866.451 1992 2.013.865.224 196.913.977 1993 3.002.391.383 210.380.687 1994 3.340.000.615 229.823.117 1995 4.327.055.175 267.616.304 1996 8.117.837.635 278.130.687 1997 3.389.701.937 250.903.391 1998 1.483.678.567 306.101.169 1999 1.759.171.049 305.628.700 2000 2.129.269.226 340.560.120 2001 4.121.859.175 1.420.071.008 2002 3.297.739.740 253.806.557 2003 2.638.960.239 437.098.338 Rata-rata Sumber: BPS (1981-2003), diolah Nilai Tambah (Rp.000)
Barang yang Dihasilkan (Rp.000) 668.056.173 705.091.512 1.429.968.002 2.105.053.096 2.213.441.899 3.023.020.568 3.430.343.244 3.796.766.397 4.747.349.950 5.296.679.581 4.812.676.062 4.519.407.374 6.163.472.553 7.257.612.338 8.975.627.294 12.946.546.500 9.196.837.263 5.667.327.930 6.312.580.504 8.301.937.973 13.897.564.620 10.819.405.316 11.432.601.123
PCM (%) 29,36 22,15 30,65 48,36 47,47 52,49 55,97 43,67 42,11 42,26 28,63 40,20 45,30 42,85 45,23 60,55 34,13 20,78 23,03 21,55 19,44 28,13 19,26 36,68
60
Lampiran 4. Rasio Konsentrasi (CR4 dan CR1) Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 Produksi 4 Perusahaan Terbesar (Rp.000) 560.860.652 507.939.084 1.132.061.587 1.784.868.702 1.933.947.792 2.688.416.616 3.052.727.904 3.191.266.508 3.843.308.282 3.655.942.673 3.325.683.198 2.943.925.919 3.884.049.233 4.666.576.897 5.858.654.612 9.217.584.108 5.824.366.969 4.081.356.642 4.512.268.628 5.619.828.712 8.740.635.046 5.021.012.461 5.397.235.424
Produksi Tahun Perusahaan Terbesar (Rp.000) 1981 391.928.155 1982 339.108.260 1983 523.374.031 1984 981.209.889 1985 1.231.787.916 1986 1.837.756.854 1987 1.874.537.461 1988 1.853.156.733 1989 2.496.433.858 1990 2.474.714.479 1991 2.612.103.971 1992 2.388.097.780 1993 2.566.210.000 1994 3.073.474.760 1995 3.831.224.015 1996 7.076.217.115 1997 3.936.974.022 1998 3.153.020.726 1999 3.574.086.307 2000 4.080.921.634 2001 5.801.327.217 2002 3.662.254.654 2003 3.033.257.136 Rata-rata Sumber: BPS (1981-2003), diolah
Total Produksi Industri (Rp.000) 668.056.173 705.091.512 1.429.968.002 2.105.053.096 2.213.441.899 3.023.020.568 3.430.343.244 3.796.766.397 4.747.349.950 5.296.679.581 4.812.676.062 4.519.407.374 6.163.472.553 7.257.612.338 8.975.627.294 12.946.546.500 9.196.837.263 5.667.327.930 6.312.580.504 8.301.937.973 13.897.564.620 10.819.405.316 11.432.601.123
CR4
CR1
83,95 72,04 79,17 84,79 87,37 88,93 88,99 84,05 80,96 69,02 69,10 65,14 63,02 64,30 65,27 71,20 63,33 72,02 71,48 67,69 62,89 46,41 47,21 71,67
58,67 48,09 36,60 46,61 55,65 60,79 54,65 48,81 52,59 46,72 54,28 52,84 41,64 42,35 42,68 54,66 42,81 55,64 56,62 49,16 41,74 33,85 26,53 48,00
61
Lampiran 5. Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 Output* Perusahaan Terbesar Total Output* Industri MES (%) (Rp.000) (Rp.000) 1981 58,29 393.242.329 674.616.987 1982 47,03 339.108.260 721.112.656 1983 36,22 523.374.031 1.445.184.913 1984 46,05 981.209.889 2.130.961.479 1985 57,17 1.382.877.675 2.418.926.826 1986 60,41 1.842.647.261 3.050.322.866 1987 54,41 1.874.537.461 3.445.140.691 1988 48,93 1.909.132.581 3.901.879.416 1989 51,66 2.561.900.051 4.959.583.129 1990 46,35 2.511.629.621 5.419.079.515 1991 53,30 2.612.103.971 4.900.622.480 1992 51,56 2.407.728.437 4.669.522.750 1993 40,74 2.632.890.000 6.461.972.004 1994 40,43 3.081.982.801 7.623.267.970 1995 41,16 3.853.783.632 9.361.817.376 1996 53,70 7.045.405.931 13.119.486.454 1997 42,14 3.986.629.760 9.460.000.000 1998 55,04 3.194.134.940 5.802.838.964 1999 54,53 3.612.891.098 6.625.456.084 2000 50,80 4.102.820.499 8.075.881.760 2001 40,88 5.832.458.047 14.267.102.048 2002 44,81 3.676.121.802 8.203.316.214 2003 23,74 3.063.169.672 12.900.935.673 Rata-rata 47,80 Sumber: BPS (1981-2003), diolah Ket: * Penjumlahan dari nilai barang yang dihasilkan, nilai tenaga listrik yang terjual, nilai jasa industri yang diberikan kepada pihak lain, selisih nilai stok barang setengah jadi dan penerimaan lain di jasa non industri. Tahun
62
Lampiran 6. Nilai Efisiensi-X Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Nilai Tambah (Rp.000) 220.987.812 185.690.364 486.531.564 1.076684..908 1.111.243.671 1.691.960.735 2.000.293.415 1.770.080.487 2.122.387.545 2.364.143.754 1.521796..706 2.013.865.224 3.002.391.383 3.340.000.615 4.327.055.175 8.117.837.635 3.389.701.937 1.483.678.567 1.759.171.049 2.129.269.226 4.121.859.175 3.297.739.740 2.638.960.239 Rata-rata Sumber: BPS (1981-2003), diolah
Biaya Input (Rp.000) 453.629.175 535.422.292 958.653.349 1.054.276.571 1.307.683.155 1.358.362.131 1.444.847.276 2.131.798.929 2.837.195.583 3.054.935.761 3.378.825.774 2.655.657.526 3.459.580.621 4.283.267.355 5.034.762.201 5.001.648.818 6.070.298.063 4.319.160.397 4.866.285.035 5.946.612.533 10.145.242.873 4.905.576.474 10.261.975.434
XEF (%) 48,72 34,68 50,75 102,13 84,98 124,56 138,44 83,03 74,81 77,39 45,04 75,83 86,78 77,98 85,94 162,30 55,84 34,35 36,15 35,81 40,63 67,22 25,72 71,70
63
Lampiran 7. Tingkat Pertumbuhan Produksi (GROWTH) Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 1981-2003 Tahun Produksi Tahun t Produksi tahun t-1 GROWTH 1981 668.056.173 669.803.903 -0,26 1982 705.091.512 668.056.173 5,54 1983 1.429.968.002 705.091.512 102,81 1984 2.105.053.096 1.429.968.002 47,21 1985 2.213.441.899 2.105.053.096 5,15 1986 3.023.020.568 2.213.441.899 36,58 1987 3.430.343.244 3.023.020.568 13,47 1988 3.796.766.397 3.430.343.244 10,68 1989 4.747.349.950 3.796.766.397 25,04 1990 5.296.679.581 4.747.349.950 11,57 1991 4.812.676.062 5.296.679.581 -9,14 1992 4.519.407.374 4.812.676.062 -6,09 1993 6.163.472.553 4.519.407.374 36,38 1994 7.257.612.338 6.163.472.553 17,75 1995 8.975.627.294 7.257.612.338 23,67 1996 12.946.546.500 8.975.627.294 44,24 1997 9.196.837.263 12.946.546.500 -28,96 1998 5.667.327.930 9.196.837.263 -38,38 1999 6.312.580.504 5.667.327.930 11,39 2000 8.301.937.973 6.312.580.504 31,51 2001 13.897.564.620 8.301.937.973 67,40 2002 10.819.405.316 13.897.564.620 -22,15 2003 11.432.601.123 10.819.405.316 5,67 Rata-rata 17,00 Sumber: BPS (1981-2003), diolah
64
Lampiran 8. Hasil Estimasi Model PCM Dependent Variable: PCM Method: Least Squares Date: 07/08/06 Time: 11:53 Sample: 1981 2003 Included observations: 23 Variable Coefficient C 17,76421 CR4 0,209846 MES -0,306342 XEF 0,303679 GROWTH -0,063353 DUMMY -4,962378 R-squared 0,959249 Adjusted R-squared 0,947264 S.E. of regression 2,882510 Sum squared resid 141,2507 Log likelihood -53,50857 Durbin-Watson stat 1,428656
Std. Error t-Statistic 5,044247 3,521678 0,102926 2,038808 0,132235 -2,316644 0,021978 13,81740 0,026795 -2,364385 1,852604 -2,678596 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0,0026 0,0573 0,0333 0,0000 0,0302 0,0159 36,67696 12,55212 5,174658 5,470874 80,03441 0,000000
Lampiran 9. Hasil Uji Multikolinear Variabel Bebas pada Model PCM CR4 MES XEF GROWTH DUMMY
CR4 1,000000 0,651481 0,421334 0,279441 -0,575943
MES 0,651481 1,000000 0,333954 -0,284020 -0,259940
XEF 0,421334 0,333954 1,000000 0,151212 -0,562768
GROWTH 0,279441 -0,284020 0,151212 1,000000 -0,203921
DUMMY -0,575943 -0,259940 -0,562768 -0,203921 1,000000
Lampiran 10. Hasil Uji Autokorelasi dan Uji Heteroskedastisitas pada Model PCM Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 1,478960 Obs*R-squared 1,946116
Probability Probability
0,241575 0,163006
White Heteroskedasticity Test: F-statistic
1,584078
Probability
0,218362
Obs*R-squared
12,03022
Probability
0,211611
65
Lampiran 11. Hasil Uji Normalitas 5 Series: Residuals Sample 1981 2003 Observations 23
4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3
2
3.09E-15 0.435943 3.639174 -6.278679 2.533868 -0.566233 2.830837
1 Jarque-Bera Probability
0 -7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
1.256467 0.533533