ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA
OLEH WINSIH H14103043
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
WINSIH. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Manufaktur Indonesia (dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS).
Sektor industri mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Secara umum sektor ini memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan penerimaan devisa. Besarnya kontribusi sektor industri terhadap pembentukan PDB memberikan arti bahwa perekonomian nasional sampai saat ini (2000-2005) didominasi oleh sektor industri pengolahan. Bila sektor industri tersebut kinerjanya terganggu, maka secara langsung perekonomian nasional juga ikut terganggu. Permasalahan yang terjadi dalam industri manufaktur didasari permasalahan pada tingkat produksi. Komponen yang digunakan dalam proses produksi industri manufaktur sampai saat ini masih diimpor, sehingga biaya produksi yang digunakan lebih mahal. Ini akan berpengaruh langsung pada nilai tambah yang dihasilkan oleh industri manufaktur. Permasalahan lainnya pada industri manufaktur adalah pada tingkat ekspor hasil komoditi. Selama ini ekspor yang terjadi dalam industri manufaktur di Indonesia hanya terpusat pada industri tertentu yaitu industri makanan dan minuman (kode 15), industri tekstil (kode 17) dan industri batu bara, pengilangan minyak bumi, pengolahan gas bumi dan bahan bakar nuklir (kode 23), sehingga kekuatan pasar (market share) didominasi oleh kelompok industri tersebut. Keadaan seperti ini akan menghambat pelaku bisnis dari luar untuk masuk dan bersaing dalam industri manufaktur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri manufaktur di Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri manufaktur di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rasio konsentrasi (CR), nilai output, nilai input, nilai tambah, upah, nilai produksi, nilai ekspor dan nilai impor. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Metode yang digunakan adalah pendekatan Structure Conduct Performance (SCP) untuk menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri manufaktur dan pendekatan panel data digunakan untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja industri menufaktur Indonesia. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan software Microsoft Office Excel 2003 dan E-Views 5. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari hasil analisis SCP didapatkan bahwa industri manufaktur mempunyai struktur pasar pada industri manufaktur di Indonesia adalah oligopoli, dimana tingkat oligopolinya bervariasi antara oligopoli ketat, sedang dan longgar. Dari segi kinerja industri manufaktur dapat dilihat dari margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) dan nilai efisiensi-X
(XEFF). Perilaku pasar dalam industri manufaktur dapat dilihat dari strategi harga, strategi produk dan promosi, strategi distribusi dan perilaku kolusi. Berdasarkan hasil analisis panel data dengan menggunakan Hausman test, pemilihan model pada penelitian ini dengan menggunakan model efek tetap (fixed effect). Dasar statistik pemilihan model efek tetap ini digunakan untuk mengestimasi Price Cost Margin (PCM). Berdasarkan hasil estimasi dengan model efek tetap yang diperoleh bahwa variabel yang mempunyai pengaruh terbesar dalam peningkatan kinerja adalah produktivitas (PROD) dan efisiensi-X (XEFF). Sedangkan variabel konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4), pertumbuhan nilai produksi (GROWTH), ekspor (EX) dan impor (IM) tidak signifikan terhadap peningkatan keuntungan. Dengan terbentuknya struktur pasar oligopoli dalam industri manufaktur di Indonesia, yang merupakan bentuk persaingan tidak sempurna, maka saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah pemerintah dapat memberikan pengawasan yang ketat terhadap perilaku-perilaku tidak sehat seperti kolusi, misalnya melalui pengawasan dari Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Bagi para produsen dalam industri manufaktur harus dapat meningkatkan produksi dan mengurangi biaya input yang digunakan, karena pertumbuhan tingkat produksi industri manufaktur di Indonesia dirasakan masih rendah dari pertumbuhan nilai inputnya. Untuk penelitian selanjutnya, perlu menganalisa daya saing industri manufaktur di pasar luar negeri karena selama ini industri manufaktur sudah menjadi perioritas utama dalam rencana pembangunan nasional bagi kebanyakan negara berkembang.
ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA
Oleh WINSIH H14103043
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Winsih
Nomor Registrasi Pokok
: H14103043
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Penelitian
: Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Manufaktur Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Ir. Rina Oktaviani, MS, Ph.D NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2007
Winsih H14103043
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Winsih, lahir pada tanggal 19 Mei 1984 di Subang, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Sanaji dan Rastem. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari tingkat sekolah dasar SDN Patimura di desa Cigugur (1990-1997). Kemudian melanjutkan pendidikan pada sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTPN 1 Pusakanagara di kecamatan Pusakanagara (1997-2000) dan pendidikan lanjutan menengah atas di SMUN 1 Pamanukan di kecamatan Pamanukan. Penulis diterima sebagai mahasiswa Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai kegiatan pelatihan dan kepanitiaan. Pelatihan yang pernah diikuti penulis antara lain, pelatihan Peningkatan kemampuan Penguasaan Komputer Bagi Mahasiswa TPB dalam rangka DUE-Like IPB Batch III (tahun 2003), anggota Agri Farma-Faperta (tahun 2005), kepanitiaan dalam kegiatan HIPOTEX-R (tahun 2005) dan pelatihan Kewirausahaan Syariah (tahun 2006).
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam, Rabb yang selalu menjawab doa hamba-hambanya dan selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya, atas rahmat dan karunia-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul ”Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Manufaktur Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana struktur, perilaku dan kinerja industri manufaktur di Indonesia, serta melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri manufaktur selama periode 2000-2004. Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada: 1. Orang tua tercinta, Ayahanda Sanaji (Almarhum) dan Ibunda Rastem, terimakasih atas unlimited support yang diberikan kepada penulis (menjelang detik-detik seminar dan sidang), kebebasan untuk memilih, kesabaran dalam mendidik dan membesarkan penulis sampai saat ini. Untuk Nono dan Nata yang dengan cara-caranya sendiri selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. Untuk ayahanda tercinta ini merupakan bingkisan yang tidak sempat tersampaikan untuk ayah. 2. Muhammad Firdaus Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat kepada penulis, serta memberikan masukan-masukan bagi penulis untuk penyusunan skripsi ini. 3. Alla Asmara, M.Si dan Sahara, SP, M.Si selaku dosen penguji utama dan dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan banyak saran dan kritik demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. 4. Teman-teman terbaik penulis (Rany, Lia, Sari, Ema, Ari, Eni-ASMI dan LilikUPI), atas support dan semangatnya yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
ii
5. Teman 284 tercinta (Extris, Nana, Eka-Rara), atas kebersamaan selama satu tahun di Asrama A-3 284. Saat-saat kita pertama kali jauh dari orang tua dan saat-saat kita pertama kali mengenal kota Bogor. 6. Kepandean Rangers (Bambang, Angga, Didik, Mila dan Dai), atas kebersamaan kalian selama dua bulan di desa Kepandean, kecamatan Dukuh Turi, Tegal. Kita adalah satu tim KKP yang terkompak dalam segala hal (makan, tidur, jalan-jalan, ngejayus, terkecuali ikutan program KKP). 7. Teman seperjuangan-sebimbingan (Heri dan Ryan), atas kebersamaan dan masukan yang telah kalian berikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 8. Semua teman-teman IE angkatan 40 (Efa-Oma, Uut, Arum, Ana, Wilma, Heni, Sri, Opie, Aji, Hendri, Lea, Any, Kiki, Rima, Windy, Mega), atas bantuannya selama penulisan skripsi ini. 9. Ka Ade, atas waktu dan kesempatannya untuk mengajarkan panel. 10. Untuk semua pihak yang belum disebutkan satu per satu yang telah membantu penulisan skripsi ini baik langsung maupun tidak langsung, kebersamaan kalian semua membuat segalanya mudah dan indah. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangannya, oleh karena itu saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini sangat diharapkan penulis. Akhirnya semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor. Juli 2007
Winsih H14103043
iii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... viii I. PENDAHULUAN .......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .....................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................
2
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................
6
1.4 Manfaat Penelitian ..............................................................................
7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................
7
II. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
8
2.1 Penelitian Terdahulu tentang Industri Manufaktur .............................
8
2.2 Penelitian Terdahulu tentang Structure Conduct Performance (SCP) ...................................................................................................
9
2.3 Penelitian Terdahulu yang Menggunakan Panel Data ........................ 10 III. KERANGKA PEMIKIRAN ....................................................................... 11 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .............................................................. 11 3.1.1 Konsep Dasar Ekonomi Industri ............................................... 11 3.1.2 Pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri .................. 12 3.1.2.1 Struktur Industri .......................................................... 13 3.1.2.2 Perilaku Industri .......................................................... 17 3.1.2.3 Kinerja Industri ........................................................... 18 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ....................................................... 19 3.3 Hipotesis Penelitian ............................................................................. 21 IV. METODE PENELITIAN ........................................................................... 24 4.1 Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 24 4.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data ............................................... 24 4.2.1 Analisis Struktur Industri ......................................................... 25 4.2.2 Analisis Perilaku Industri ......................................................... 26
iv
4.2.3 Analisis Kinerja Industri .......................................................... 26 4.2.4 Analisis Panel Data .................................................................. 28 4.2.5 Pemilihan Model antara Fixed Effect dengan Random Effect .. 31 4.2.6 Evaluasi Model ........................................................................ 32 4.3 Definisi Operasional ........................................................................... 34 V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA ........ 36 5.1 Sejarah Industri Manufaktur Indonesia ............................................... 36 5.2 Perkembangan Industri Manufaktur Indonesia ................................... 37 5.2.1 Pertumbuhan Tingkat Produksi Industri Manufaktur Indonesia .................................................................................. 37 5.2.2 Perkembangan Nilai Ekspor Industri Manufaktur Indonesia ... 38 5.2.3 Perkembangan Nilai Impor Industri Manufaktur Indonesia .... 39 5.3 Kondisi Investasi Industri Manufaktur Indonesia ............................... 41 5.4 Kebijakan Industri di Indonesia .......................................................... 43 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 46 6.1 Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Manufaktur ............. 46 6.1.1 Analisis Struktur Industri .......................................................... 46 6.1.1.1 Analisis Rasio Konsentrasi ......................................... 46 6.1.1.2 Analisis Hambatan Masuk Pasar ................................. 48 6.1.2 Analisis Perilaku Industri dalam Industri Manufaktur .............. 50 6.1.2.1 Strategi Harga ............................................................. 50 6.1.2.2 Strategi Produk dan Promosi ....................................... 51 6.1.2.3 Strategi Distribusi ....................................................... 52 6.1.2.4 Kolusi .......................................................................... 53 6.1.3 Analisis Kinerja Industri Manufaktur ....................................... 55 6.2 Analisis Panel Data ............................................................................ 56 6.2.1 Indikator Kebaikan Model ...................................................... 57 6.2.2 Hasil Estimasi ......................................................................... 59 VII. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 62 7.1 Kesimpulan ........................................................................................ 62 7.2 Saran ................................................................................................... 63
v
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 64 LAMPIRAN ....................................................................................................... 67
vi
DAFTAR TABEL
Nomor 1.1
Halaman Produk Domestik Bruto atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun 2000-2005 (Milyar Rupiah) ........
1
3.1
Tipe-tipe Pasar ........................................................................................ 15
4.1
Kerangka Identifikasi Autokorelasi ........................................................ 33
5.1
Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang Disetujui Pemerintah Menurut Sektor di Indonesia Tahun 2000-2005 (Milyar Rupiah) ...................................................................................... 41
5.2
Rencana Penanaman Modal Asing (PMA) yang Disetujui Pemerintah Menurut Sektor di Indonesia Tahun 2000-2005 (Juta US $) .................. 42
6.1
Tipologi Struktur Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004 ..... 47
6.2
Klasifikasi MES Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004 ....... 49
6.3
Hasil Estimasi dengan Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) ............ 57
6.4
Pertumbuhan Rata-rata Nilai Produksi dan Nilai Input Industri Manufaktur IndonesiaTahun 2000-2004 ................................................ 60
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.1
Halaman Pertumbuhan Rata-rata Indikator Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004 ...................................................................................
3
3.1
Pendekatan Structure Conduct Performance (SCP) .............................. 13
3.2
Skema Penelitian Operasional ............................................................... 21
5.1
Pertumbuhan Rata-rata Nilai Produksi Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004 ................................................................................... 38
5.2
Perkembangan Nilai Rata-rata Ekspor Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004 ................................................................................... 39
5.3
Perkembangan Nilai Rata-rata Impor Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004 ................................................................................... 40
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1. 2.
Halaman Kode Klasifikasi Industri Manufaktur Indonesia Menurut ISIC Golongan Pokok (Division) 2 Digit........................................................ 68 Pertumbuhan Nilai Produksi Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) ........................................................................................... 69
3.
Pertumbuhan Nilai Tambah Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) ........................................................................................... 70
4.
Pertumbuhan Ekspor Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) ....... 71
5.
Nilai Ekspor (EX) Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) ............ 72
6.
Nilai Impor (IM) Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004)............... 73
7.
Nilai CR4 Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) ......................... 74
8.
Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) ........................................................................................... 75
9.
Nilai Price Cost Margin (PCM) Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) ............................................................................................ 76
10.
Nilai Efisiensi-X (XEFF) Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) ............................................................................................ 77
11.
Nilai Produktivitas (PROD) Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) ............................................................................................ 78
12.
Hasil Estimasi dengan Menggunakan Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) .............................................................................. 79
13.
Hasil Hausman Test ............................................................................... 79
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam perekonomian
Indonesia. Secara umum sektor ini memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan penerimaan devisa. Sektor industri diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Produk industri selalu memiliki term of trade yang tinggi serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk-produk lain. Hal ini disebabkan karena sektor industri memiliki variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat yang tinggi kepada pemakainya (Dumairy, 2000). Tabel 1.1.
Produk Domestik Bruto atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun 2000-2005 (Milyar Rupiah)
Lapangan Usaha
2000
Pertanian, peternakan, 216.831,4 kehutanan dan perikanan Pertambangan 167.692,2 dan penggalian Industri 385.597,9 pengolahan Listrik, gas dan 8.393,7 air minum 76.573,4 Bangunan Perdagangan, hotel dan 224.452,0 restoran Pengangkutan 65.012,1 dan komunikasi Keuangan, persewaan dan 115.463,1 jasa perusahaan 129.754,5 Jasa-jasa Total 1.389.770,3 Sumber: BPS, 2006
2001
2002
2003
2004
2005
225.685,7
232.973,5
240.387,3
247.163,6
253.726,0
168.244,3
169.932,0
167.603,8
160.100,5
165.085,4
398.323,8
419.388,1
441.754,9
469.952,4
491.421,8
9.058,3
9.868,2
10.349,2
10.897,6
11.584,1
80.080,4
84.469,8
89.621,8
96.334,4
103.483,7
234.273,1
243.409,3
256.516,6
271.142,2
293.877,2
70.276,1
76.173,1
85.458,4
96.896,7
109.467,1
123.085,5
130.928,1
140.374,4
151.123,3
161.384,3
133.957,4 1.442.984,6
138.982,3 1.506.124,4
145.104,9 1.577.171,3
152.906,1 1.556.516,8
160.626,5 1.750.656,1
2
Pada Tabel 1.1 kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB lebih besar dibandingkan dengan kontribusi dari sektor pertanian. Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB hampir seperempat dari pendapatan nasional berasal dari pendapatan industri pengolahan. Besarnya kontribusi sektor industri terhadap pembentukan PDB memberikan arti bahwa perekonomian nasional sampai saat ini (2000-2005) didominasi oleh sektor industri pengolahan. Bila sektor
industri
tersebut
kinerjanya
terganggu,
maka
secara
langsung
perekonomian nasional juga ikut terganggu. Adanya pergeseran beberapa kegiatan dari sektor pertanian ke sektor perdagangan, manufaktur dan jasa, ini merupakan dampak dari semakin tinggi tingkat pembangunan ekonomi suatu negara. Ini akan berakibat pada peranan sektor pertanian yang semakin menurun, sedangkan peran sektor industri semakin besar. Hal ini berarti alokasi sumber daya dan dana lebih banyak dialokasikan pada sektor industri.
1.2
Perumusan Masalah Salah satu yang menjadi ukuran baik buruknya kinerja suatu industri
adalah dilihat dari tingkat produksi yang dihasilkan oleh industri tersebut. Permasalahan yang terjadi dalam industri manufaktur didasari pada permasalahan tingkat produksi. Pada Lampiran 2 rata-rata pertumbuhan produksi industri manufaktur Indonesia selama periode 2000-2004 tercatat sebesar 25,55 persen per tahun. Pertumbuhan produksi pada tahun 2000 sebesar 22,90 persen kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2001 sebesar 31,81 persen dan 35,08 persen pada tahun 2002. Sementara pada tahun 2003 pertumbuhan produksi mengalami
3
penurunan sebesar 2,09 persen. Pertumbuhan nilai produksi setiap tahunnya dapat dilihat pada Gambar 1.1. Ketidakstabilan politik, bencana dan kenaikan harga bahan bakar dunia merupakan faktor yang menyebabkan pertumbuhan produksi pada industri manufaktur Indonesia mengalami penurunan. Kenaikan harga bahan bakar dapat menambah biaya produksi industri karena sampai saat ini komponen yang digunakan dalam proses produksi industri manufaktur masih diimpor dari luar negeri, sehingga kenaikan biaya produksi ini akan berpengaruh langsung pada kinerja industri manufaktur Indonesia. Namun pada tahun 2004 pertumbuhan produksi pada industri manufaktur mengalami peningkatan kembali sebesar 0,36
Pertumbuhan Nilai rata-rata per tahun (persen)
persen.
70 60 50 Nilai Produksi
40
Nilai Tambah
30
Nilai ekspor
20 10 0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
Gambar 1.1. Pertumbuhan Rata-rata Indikator Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004 Jenis industri yang mengalami peningkatan produksi tiap tahunnya adalah industri makanan dan minuman (kode 15), industri kayu, barang dari kayu (tidak termasuk furnitur) dan barang-barang anyaman (kode 20), industri batu bara,
4
pengilangan minyak bumi, pengolahan gas bumi dan bahan bakar nuklir (kode 23), industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia (kode 24), industri radio, televisi dan peralatan komunikasi serta perlengkapannya (kode 32) dan industri furnitur dan industri pengolahan lainnya (kode 36). Perkembangan yang pesat dari kelompok industri-industri tersebut disebabkan oleh dua faktor, yaitu sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, permintaan pasar domestik untuk barang-barang konsumsi berkembang pesat setiap tahunnya mengikuti pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat yang mendorong pertumbuhan industriindustri di dalam negeri yang memproduksi barang-barang tersebut. Sementara dari sisi penawaran, pengadaan sarana dan prasarana untuk menunjang industri barang-barang konsumsi jauh lebih mudah serta aspek teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dibutuhkan untuk membuat barang-barang konsumsi jauh lebih sederhana. Nilai tambah merupakan ukuran untuk melihat efisiensi kinerja dalam sebuah industri dalam rangka meminimumkan biaya, sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh industri semakin besar. Pada Lampiran 3 rata-rata pertumbuhan nilai tambah industri manufaktur selama periode 2000-2004 sebesar 24,36 persen per tahun. Pertumbuhan rata-rata nilai tambah dapat dilihat pada Gambar 1.1, pada tahun 2000 nilai rata-rata yang dihasilkan sebesar 29.62 persen. Pada tahun 2001 mengalami penurunan sebesar 25,56 persen. Sementara pada tahun 2002 rata-rata pertumbuhan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri manufaktur mengalami peningkatan kembali sebesar 41,10 persen. Namun pada tahun 2003
5
pertumbuhan kembali mengalami penurunan sebesar 13.84 persen dan sebesar 11.67 persen pada tahun 2004. Penurunan tersebut disebabkan biaya yang dikeluarkan, baik biaya produksi maupun biaya non produksi, lebih besar dari pada biaya penggunaan output yang digunakan dalam proses produksi pada industri manufaktur, sehingga nilai tambah yang dihasilkan menurun. Kegiatan ekspor sangat terkait erat dengan kinerja sebuah industri di dalam negeri. Untuk memperkuat daya saing di sektor industri perlu adanya kerjasama dan didukung oleh kebijakan yang dapat mendorong industri untuk dapat bersaing di pasar internasional, karena pangsa pasar merupakan hal terpenting bagi pelaku usaha di sektor industri. Industri manufaktur merupakan salah satu industri penyumbang devisa terbesar. Ini dapat dilihat dari perkembangan ekspor industri manufaktur selama periode 2000-2004.
Pada
Lampiran 4 rata-rata pertumbuhan ekspor industri manufaktur selama periode tersebut tercatat sebesar 15,07 persen per tahun. Pada tahun 2000 pertumbuhan ekspor tercatat sebesar 59,35 persen, namun dari tahun 2001 sampai tahun 2003 pertumbuhan ekspor pada industri manufaktur mengalami penurunan yang cukup tajam. Penurunan tersebut terjadi karena adanya penurunan tingkat produksi pada industri manufaktur sehingga biaya penggunaan nilai input lebih besar dari tingkat produksinya. Namun pada tahun 2004 pertumbuhan ekspor industri manufaktur melaju lebih cepat yaitu tumbuh sebesar 29,70 persen. Pertumbuhan nilai ekspor dapat dilihat pada Gambar 1.1. Permasalahan yang terjadi pada tingkat ekspor hasil komoditi industri manufaktur adalah selama ini ekspor yang terjadi dalam industri manufaktur di
6
Indonesia hanya terpusat pada industri tertentu (dapat dilihat pada Lampiran 5) yaitu industri makanan dan minuman (kode 15), industri tekstil (kode 17) dan industri batu bara, pengilangan minyak bumi, pengolahan gas bumi dan bahan bakar nuklir (kode 23) yang memiliki pangsa 50 persen dari total ekspor manufaktur. Sehingga kekuatan pasar (market share) didominasi oleh kelompok industri tersebut. Keadaan seperti ini akan menghambat pelaku bisnis dari luar untuk masuk dan bersaing dalam industri manufaktur. Sehingga tingkat keuntungan yang dihasilkan oleh industri manufaktur akan menurun. Hal ini secara langsung akan berpengaruh pada kinerja industri yang ada. Oleh karena itu studi tentang struktur, perilaku dan kinerja industri manufaktur Indonesia perlu dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang dapat dikaji dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana struktur, perilaku dan kinerja industri manufaktur
di
Indonesia? 2.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja industri manufaktur di Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah : 1.
Menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri manufaktur di Indonesia
7
2.
Menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kinerja
industri
manufaktur di Indonesia
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah sebagai
regulator dalam menetapkan kebijakan yang mendukung kinerja industri manufaktur Indonesia, bagi pihak-pihak terkait seperti para pelaku usaha industri manufaktur untuk meningkatkan kinerja industri manufaktur Indonesia di masa mendatang dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan sebagai bahan tambahan informasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian tentang struktur, perilaku dan kinerja industri
manufaktur Indonesia ini hanya menganalisis kategori industri besar dan sedang berdasarkan kode Internasional Standard Industrial Classification (ISIC) 2 digit revisi 2000 yaitu meliputi kode 15 sampai kode 36. Daftar klasifikasi industri manufaktur berdasarkan kode ISIC dapat dilihat pada Lampiran 1.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Terdahulu tentang Industri Manufaktur Hasil penelitian Azhari (2005) menunjukan bahwa sektor industri
pengolahan cenderung memiliki struktur pasar yang bersifat oligopoli, dimana tingkat oligopolinya bervariasi antara oligopoli ketat, sedang dan longgar. Pengaruh konsentrasi terhadap penyesuaian harga memiliki hubungan yang positif dimana ketika konsentrasi meningkat maka koefisien penyesuaian harga juga akan meningkat. Irawan (2005) menyatakan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi pendapatan nasional pada sektor industri pengolahan adalah pendapatan nasional tahun sebelumnya dan faktor yang sangat mempengaruhi kesempatan kerja sektor industri pengolahan adalah PDB dan kesempatan kerja tahun sebelumnya. Pengaruh sektor industri pengolahan terhadap pendapatan nasional cukup besar. Terlihat dari sumbangan sektor industri pengolahan terhadap pendapatan nasional dimana hampir seperempat dari pendapatan nasional berasal dari pendapatan nasional industri pengolahan. Pengaruh sektor industri pengolahan terhadap kesempatan kerja tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan oleh sektor industri pengolahan lebih padat modal dibandingkan dengan sektor lain. Upaya pemerintah dalam meningkatkan pandapatan nasional atau pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan produksi dan distribusi, ekspor-impor, dan menciptakan kondisi yang mendorong pertumbuhan atau pembangunan ekonomi.
9
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian tentang industri manufaktur di analisis dari struktur, perilaku dan kinerja industri. Industri manufaktur yang di analisis adalah industri besar dan sedang industri berdasarkan kode ISIC 2 digit yaitu dari kode 15 sampai kode 36. Klasifikasi kode industri dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.2
Penelitian Terdahulu tentang Structure Conduct Performance (SCP) Hasil penelitian Safitri (2006) menunjukan bahwa struktur pasar pada
industri besi dan baja adalah oligopoli ketat namun ada perusahaan yang mendominasi pasar. Variabel XEF dan CR4 mempunyai pengaruh terbesar dalam meningkatkan kinerja (PCM). Sedangkan dalam penurunan PCM variabel yang memiliki pengaruh terbesar adalah variabel DUMMY, MES dan GROWTH. Berdasarkan analisis perilaku dari perusahaan pada industri besi baja di Indonesia diduga ada beberapa perilaku dari struktur pasar terhadap kinerja pada industri besi baja di Indonesia. Perilaku yang terjadi antara lain adalah strategi harga, produk, promosi dan distribusi. Berdasarkan penelitian terdahulu, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri manufaktur dapat dilihat dari tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4), tingkat rasio Efisiensi-X (XEFF), produktivitas (PROD), pertumbuhan nilai produksi (GROWTH), nilai ekspor (EX) dan nilai impor (IM). Untuk melihat perilaku pasar dalam industri manufaktur melalui strategi harga, strategi produk, strategi promosi dan strategi distribusi dan perilaku pasar.
10
2.3
Penelitian Terdahulu yang Menggunakan Panel Data Handriyas (2002) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pendekatan
pengaruh tetap dengan pembobot merupakan pendekatan yang terbaik dalam analisis data panel pada kasus pendugaan permintaan mobil. Hal ini disebabkan permintaan mobil antar propinsi yang beragam (heterogen) sehingga pembobotan dengan ragam (heterogen) cross section akan menghasilkan dugaan parameter model yang lebih efisien. Hasil penelitian Sembiring (2005) menunjukan bahwa untuk menganalisis kategori Bank berdasarkan aset menggunakan model efek tetap (fixed effect). Dari hasil estimasi menunjukan koefisien variabel yang sama untuk setiap individu dan intersep yang berbeda untuk setiap individu. Variabel penjelas signifikan secara statistik untuk SEC (pertumbuhan surat-surat berharga), DEF (pertumbuhan saving deposit), AR(1). Sedangkan SBI (pertumbuhan suku bunga SBI), DSBI1 (dummy slope kategori 1), DSBI3 (dummy slope kategori 3) dan DSBI4 (dummy slope kategori 4) tidak signifikan pada α=10 persen. Pada penelitian ini, analisis panel data dilakukan untuk melihat faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja industri manufaktur Indonesia. Pendekatan panel data yang digunakan pada penelitian ini untuk memilih antara model fixed effect dengan random effect adalah menggunakan uji Hausman (Hausman Test) dengan hipotesis, jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari X2-Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol yaitu random effect model, sehingga model yang digunakan adalah fixed effect model, begitu juga sebaliknya.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Konsep Dasar Ekonomi Industri Menurut Shepherd (1990) yang dimaksud dengan ekonomi industri atau
disebut juga dengan organisasi industri adalah cabang dari ilmu mikroekonomi atau aplikasi teori mikroekonomi yang menganalisis pasar, perusahaan dan industri. Sebagai cabang dari ilmu ekonomi mikro, tujuan yang ingin dicapai oleh para pelaku ekonomi (perusahaan) diasumsikan adalah bagaimana menggunakan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas (Stigler dalam Daryanto, 2003). Jaya (2001) mengemukakan bahwa ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi. Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku dan kinerja pasar. Dalam ekonomi industri terdapat dua sisi yang menarik. Pertama, ekonomi industri merupakan seperangkat konsep dan analisis mengenai persaingan dan monopoli dengan berbagai macam pasar yang berada di antara keduanya. Kedua, ekonomi industri juga berkaitan erat dengan pasar riil yang sangat diramaikan oleh adanya persaingan antar perusahaan. Pengertian industri sendiri terbagi menjadi dua lingkup, yaitu mikro dan makro. Secara mikro, industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen atau barang-barang yang mempunyai
12
sifat substitusi. Dari segi pembentukan pendapatan yang cenderung bersifat makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah. Dengan kata lain, industri merupakan kumpulan dari perusahaan yang sejenis (Hasibuan, 1993).
3.1.2
Pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Untuk mengamati hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja dalam
ekonomi industri menurut Hasibuan (1993), dapat dilihat dari hubungan struktur dan kinerja industri, pengamatan kinerja dan perilaku yang kemudian dikaitkan lagi dengan struktur menelaah kaitan struktur terhadap perilaku dan kemudian baru diamati, oleh karena telah dijawab dari hubungan struktur dan perilakunya. Struktur pasar menggambarkan pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan. Struktur pasar merupakan kunci penting dari pola konsep konvensional dalam ekonomi industri. Struktur pasar juga mempengaruhi perilaku dari perusahaan. Struktur dan perilaku akhirnya akan mempengaruhi kinerja pasar. Hal utama dari struktur, perilaku dan kinerja adalah determinan-determinan yang membentuk struktur itu sendiri, yaitu skala ekonomi dan disekonomi. Dasar paradigma SCP sendiri dicetuskan oleh Edward S. Mason, seorang dosen di University of Harvard tahun 1939, mengemukakan bahwa struktur (structure) suatu industri akan menentukan bagaimana para pelaku industri berperilaku (conduct) yang pada akhirnya menentukan keragaan atau kinerja (performance) industri tersebut. Struktur biasanya diukur dengan rasio konsentrasi. Perilaku antara lain dilihat dari tingkat persaingan ataupun kolusi antar produsen. Keragaan atau kinerja suatu industri diukur antara lain dari derajat
13
inovasi, efisiensi dan profitabilitas. Hubungan SCP dapat digambarkan sebagai berikut:
Structure
Gambar 3.1.
Conduct
Performance
Pendekatan Structure Conduct Performance (SCP)
Sumber: Mason, 1939
3.1.2.1 Struktur Industri Menurut Hasibuan (1993) pasar secara sederhana disebut sebagai pertemuan antara penjual dengan pembeli. Pengertian penjual disini telah mencakup setiap individu perusahaan dalam industri, sedangkan pengertian pembeli telah tergabung dalam sejumlah pembeli. Pengertian pasar dapat dipandang secara nyata dan dapat pula secara abstrak. Secara abstrak dapat dinyatakan bahwa pasar adalah ratusan atau ribuan perusahaan dalam suatu industri yang melakukan transaksi dalam suatu waktu, sedangkan secara nyata yang dapat dilihat pada suatu lokasi adalah terjadinya transaksi jual beli. Sehingga pengertian dari industri adalah kumpulan dari permasalahan-permasalahan yang menghasilkan barang-barang yang mempunyai sifat saling mengganti (substitusi). Melalui pengertian pasar inilah, struktur pasar dapat dinilai dan dikaji secara mendalam. Jaya (2001) mengemukakan bahwa struktur pasar menjadi ukuran penting dalam mengamati variasi perilaku dan kinerja industri, karena secara strategis dapat mempengaruhi kondisi persaingan serta tingkat harga barang dan jasa.
14
Dengan demikian, pengaruh itu akhirnya sampai pada kesejahteraan manusia. Struktur pasar juga menunjukan atribut pasar yang mempengaruhi sifat proses persaingan. Dalam struktur pasar terdapat tiga elemen pokok yang dapat dijelaskan yaitu pangsa pasar (market share), konsentrasi pasar (market contcentration) dan hambatan-hambatan untuk masuk pasar (barrier to entry). a.
Pangsa Pasar (Market Share) Pangsa pasar adalah pangsa dari pendapatan penjualan total. Pangsa pasar
merupakan indikator yang paling penting dalam menentukan derajat kekuasaan monopoli, dalam skala ordinal (dibandingkan dari pangsa pasar yang tinggi atau paling rendah dalam pasar yang sama). Semakin tinggi pangsa pasar maka kekuasaan monopoli semakin besar sedangkan jika pangsanya rendah maka kekuatan monopoli yang dimiliki akan semakin kecil atau bahkan tidak ada sama sekali (Shepherd, 1990). Pangsa pasar sering digunakan sebagai indikator proksi untuk melihat adanya kekuatan pasar dan menjadi indikator tentang seberapa penting perusahaan di dalam industri. Pangsa pasar yang besar biasanya menandakan kekuatan pasar yang besar dalam menghadapi persaingan dan sebaliknya. Pangsa pasar dapat dihitung dengan beberapa cara yaitu berdasarkan nilai penjualan, unit penjualan, unit produksi dan kapasitas produksi. Pada produk yang bersifat homogen biasanya pangsa pasar diukur dengan menggunakan unit atau volume penjualan sedangkan pada pasar yang produknya heterogen pangsa pasar dihitung terhadap total penjualan. Beberapa tipe pasar dengan kondisi pangsa pasar dapat dilihat pada Tabel 3.1.
15
Tabel 3.1. Tipe-tipe Pasar Tipe Pasar
Kondisi Utama
Monopoli murni
Suatu perusahaan yang memiliki 100 persen dari pangsa pasar Perusahaan yang Suatu perusahaan yang memiliki 50-100 dominan persen dari pangsa pasar dan tanpa pesaing yang kuat Oligopoli ketat Penggabungan empat perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar 60-100 persen, kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga relatif mudah Oligopoli longgar Penggabungan empat perusahaan terkemuka yang memiliki 40 persen atau kurang dari pangsa pasar, kesepakatan mereka untuk mendapatkan harga sebenarnya tidak mungkin Persaingan Banyak pesaing yang efektif, tidak satu monopolistik pun yang memiliki lebih dari 10 persen pangsa pasar Persaingan murni Lebih dari 50 pesaing yang mana tidak satu pun yang memiliki pangsa pasar yang berarti
Contoh PLN, TELKOM, PAM Surat kabar lokal atau nasional, film kodak, batu baterai Bank-bank lokal, siaran TV, bola lampu, sabun, toko buku, rokok kretek dan semen Kayu, perkakas rumah tangga, mesin-mesin kecil, perangkat keras, majalah, batu baterai, obat-obatan Pedagang eceran, penjual pakaian Sapi dan unggas
Sumber: Jaya, 2001
b.
Konsentrasi (Concentration) Konsentrasi atau pemusatan merupakan gabungan pangsa pasar dari
perusahaan-perusahaan oligopoli dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan. Kombinasi pangsa pasar perusahaan membentuk suatu tingkat pemusatan dalam pasar. Konsentrasi menunjukan tingkatan dari oligopoli dimana pangsa pasar merupakan indikator tunggal yang menunjukan tingkatan kekuatan monopoli dalam skala ordinal dimana membandingkan pangsa pasar yang lebih besar atau lebih kecil pada industri yang sama. Pangsa pasar yang lebih tinggi besarnya mengarah pada kekuatan monopoli, sedangkan pangsa pasar yang lebih kecil menunjukan hal yang sebaliknya (Jaya, 2001).
16
Menurut Greer dalam Andiani (2006), konsentrasi disebabkan oleh lima faktor yaitu pertama, adanya kesempatan dan keberuntungan. Kedua, adanya penyebab teknis (berupa besar pasar yang dimasuki, skala ekonomi, kemudahan memperoleh sumber daya dan tingkat pertumbuhan pasar). Ketiga, adanya kebijakan pemerintah (berupa peraturan, pemberian paten, lisensi, tarif dan kuota). Keempat, kebijakan usaha (berupa merger dan adanya predatory pricing/exclusive dealing). Kelima, berupa differensiasi produk. Konsentrasi dapat diukur dengan menggunakan indeks konsentrasi yaitu statistik yang dikembangkan untuk menghasilkan ukuran ringkasan struktur pasar. Ukuran pasar konsentrasi yang umumnya digunakan adalah persentase dari seluruh jumlah pengiriman yang dipasok oleh empat perusahaan terbesar. Ukuran lain adalah Hirschmann-Herfindahl Index (HHI) yang menimbang pangsa pasar rata-rata dari semua perusahaan dalam sebuah industri (Asia Development Bank, 2001 dalam Puspasari, 2006). c.
Hambatan Untuk Masuk (Barrier to Entry) Bentuk pesaing bermunculan untuk berpacu dalam mencapai target
keuntungan yang diinginkan dan merebut pangsa pasar. Persaingan yang terjadi adalah persaingan yang potensial dimana perusahaan-perusahaan di luar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang sebenarnya. Konsep persaingan potensial dan kemudahan untuk masuk merupakan intuisi sederhana serta telah lama digunakan. Hambatan-hambatan ini mencakup seluruh cara dengan menggunakan perangkat tertentu yang sama (contoh: paten, dan franchise). Pada intinya, hambatan untuk masuk mencakup
17
segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan kecepatan pesaing baru (Jaya, 2001). Ada tiga hal hambatan memasuki suatu pasar, yaitu: pertama, hambatanhambatan timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, baik dalam bentuk perangkat legal maupun dalam kondisi-kondisi berubah dengan cepat. Kedua, hambatan yang terbagi dalam beberapa tingkat yaitu hambatan rendah, sedang serta tinggi. Ketiga, hambatan merupakan sesuatu yang kompleks. Menurut Shepherd (1990), ada dua jenis barrier to entry, yaitu hambatan eksogen dan hambatan endogen. Hambatan eksogen merupakan hambatan untuk ke dalam pasar yang bersifat dari luar perusahaan. Hambatan eksogen ini terdiri dari modal (capital requirement), skala ekonomi, differensiasi produk, differsifikasi intensitas penelitian dan pengembangan, investasi yang besar dan integrasi vertikal. Sedangkan hambatan endogen dapat berupa kebijakan harga dari establish firm, strategi penguasaan produk, strategi penguasaan bahan baku, strategi pemasaran produk dan image dari loyalitas merek suatu produk itu sendiri.
3.1.2.2 Perilaku Industri Menurut teori ekonomi industri, perilaku industri menganalisis tingkah laku serta penerapan strategi yang digunakan oleh perusahaan dalam suatu industri untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan pesaingnya. Perilaku industri ini terlihat dalam penentuan harga, promosi, koordinasi kegiatan dalam pasar dan juga dalam kebijakan produk. Perilaku industri terbagi menjadi tiga
18
jenis antara lain, perilaku dalam strategi harga, perilaku dalam strategi produk dan perilaku dalam strategi promosi. Dalam perilaku industri dapat dijelaskan mengenai harga dan jumlah yang ditetapkan oleh perusahaan, kolusi dan persaingan yang terjadi antara perusahaan, diskriminasi harga, differensiasi produk, pengeluaran iklan dan promosi serta pengeluaran riset dan pengembangan.
3.1.2.3 Kinerja Industri Menurut Jaya (2001), kinerja industri adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri. Menurut para ekonom, kinerja industri biasanya memusatkan pada tiga aspek pokok yaitu efisiensi, kemajuan teknologi dan kesinambungan dalam distribusi. a.
Efisiensi Efisiensi adalah menghasilkan suatu nilai output yang maksimum dengan
menggunakan sejumlah input tertentu, baik secara fisik maupun nilai ekonomis (harga). Efisiensi terdiri dari dua kategori, yaitu efisiensi internal (efisiensi-X) dan efisiensi alokasi. Efisiensi internal biasanya menggambarkan perusahaan yang dikelola dengan baik, menggambarkan usaha yang maksimum dari para pekerja dan menghindari kejenuhan dalam pelaksanaan jalannya perusahaan. Sedangkan efisiensi alokasi menggambarkan sumber daya ekonomi yang dialokasikan sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi perbaikan dalam berproduksi yang dapat menaikan nilai dari output.
19
b.
Kemajuan Teknologi Melalui penemuan dan pembaharuan teknologi, orang dapat membuat
suatu karya yang baru serta meningkatkan produktivitas suatu produksi barang yang telah ada. Kemajuan teknologi dapat berpengaruh pada produksi, biaya dan harga. c.
Kesinambungan dalam Distribusi (Keadilan/Equity) Keadilan dalam pendistribusian sangat erat kaitannya dengan efisiensi
dalam
pengalokasian.
Keadilan
mempunyai
tiga
dimensi
pokok
yaitu
kesejahteraan, pendapatan dan kesempatan. Kesejahteraan dan pendapatan berkaitan dengan nilai uang. Sementara kesempatan berkaitan dengan peluang yang dimiliki setiap orang.
3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Pada alur kerangka operasional (Gambar 3.2) digambarkan bentuk bagan
alur yang saling berkaitan antara struktur, perilaku dan kinerja industri. Kerangka pemikiran ini mengacu pada kerangka Structure Conduct Performance (SCP), dimana satu industri tidak terlepas dari adanya struktur, perilaku dan kinerja industri itu sendiri. Pada model analisis SCP dikatakan bahwa struktur pasar suatu industri mempengaruhi perilaku perusahaan yang ada didalamnya, kemudian perilaku tersebut akan mempengaruhi kinerja dari industri tersebut. Pendekatan ini dimulai dengan menganalisis struktur industri manufaktur melalui market share, concentration ratio dan barrier to entry. Hal ini disebabkan karena struktur mempunyai pengaruh utama terhadap kinerja industri.
20
Di samping itu, struktur pasar yang ada akan mempengaruhi perilaku industri manufaktur. Dalam penelitian ini, perilaku dianalisis secara deskriptif karena secara umum untuk menganalisis perilaku pasar tidak dapat diukur secara kuantitatif. Analisis perilaku ini dilihat dari bagaimana strategi perusahaan dalam menetapkan harga jual, produk, melakukan promosi untuk memasarkan produknya dan strategi distribusi. Perilaku ini selanjutnya akan dapat mempengaruhi kinerja industri manufaktur. Analisis kinerja industri dilihat dari bagaimana perkembangan tingkat keuntungan perusahaan melalui nilai Price Cost Margin (PCM) dan nilai efisiensi. Sementara variabel struktur seperti konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4), efisiensi-X (XEFF), produktivitas (PROD), pertumbuhan nilai produksi (GROWTH), nilai ekspor (EX) dan nilai impor (IM), digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri manufaktur Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri manufaktur Indonesia dianalisis dengan menggunakan pendekatan panel data yang diestimasi melalui tiga pendekatan yaitu pooled (model kuadrat terkecil), fixed effect model (model efek tetap) dan random effect model (model efek acak). Untuk memperoleh keputusan penggunaan model fixed effect model ataupun random effect model ditentukan dengan menggunakan spesifikasi uji Hausman (Hausman test).
21
Industri Manufaktur di Indonesia
Perilaku
Struktur Market Share Concentration Ratio Barrier to Entry
Strategi Harga Strategi Produk Strategi Promosi
Kinerja Price Cost Margin Efficiency
Hubungan Struktur-Perilaku-Kinerja Industri
Pendekatan Panel Data Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Kinerja Industri Manufaktur Gambar 3.2.
3.3
Skema Penelitian Operasional
Hipotesis Penelitian Penelitian mengenai pengaruh struktur terhadap kinerja industri telah
banyak dilakukan oleh para peneliti ekonomi, terutama oleh pengamat industri. Hubungan variabel-variabel struktur dan kinerja dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya penggunaan proksi yang berbeda oleh para peneliti. Berdasarkan pengamatan teori dan penelitian terdahulu yang mendasari penelitian ini, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) memiliki pengaruh positif terhadap PCM. Semakin tinggi konsentrasi suatu perusahaan maka
22
semakin besar pula tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan. Sementara tingkat konsentrasi memiliki pengaruh negatif dengan persaingan, dimana ketika tingkat konsentrasi meningkat maka tingkat persaingan akan menurun dan sebaliknya. 2.
Efesiensi-X (XEFF) memiliki pengaruh positif terhadap PCM. Semakin efisien suatu perusahaan maka tingkat produksi suatu perusahan lebih sedikit untuk memproduksi komoditi karena efisiensi merupakan pengurangan biaya sehingga biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam jangka panjang lebih murah. Adanya efisiensi maka tingkat keuntungan perusahaan akan meningkat.
3.
Produktivitas memiliki pengaruh positif terhadap PCM. Produktivitas merupakan perbandingan antara nilai output dengan nilai input tenaga kerja. Semakin tinggi nilai output akan meningkatkan nilai produktivitas suatu perusahaan. Produktivitas yang meningkat menunjukan kinerja yang meningkat pula maka akan menambah penghasilan dan keuntungan bagi perusahaan.
4.
Pertumbuhan nilai produksi mempunyai pengaruh positif terhadap PCM. Pertumbuhan nilai produksi merupakan perbandingan nilai barang yang dihasilkan tahun ini dikurangi dengan nilai barang yang dihasilkan tahun sebelumnya dibagi dengan nilai barang yang dihasilkan tahun sebelumnya. Jika pertumbuhannya semakin meningkat maka tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan juga meningkat.
23
5.
Ekspor memiliki pengaruh positif terhadap PCM. Kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspor yang tinggi dapat meningkatkan keuntungan perusahaan.
6.
Impor memiliki pengaruh negatif terhadap PCM. Keberadaan barang impor dapat mendorong produsen dalam negeri untuk menurunkan harga sehingga tingkat keuntungan yang diterima perusahaan akan menurun.
IV. METODE PENELITIAN
4.1
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder
dalam bentuk time series dan cross section (panel data) dengan periode waktu tahunan yaitu dari tahun 2000 hingga tahun 2004. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rasio konsentrasi (CR), nilai output, nilai input, nilai tambah, upah, nilai produksi, nilai ekspor dan nilai impor. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.
4.2
Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis perilaku industri manufaktur. Metode kuantitatif dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan SCP untuk menganalisis struktur dan kinerja industri manufaktur dan pendekatan panel data digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri menufaktur Indonesia. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan software Microsoft Office Excel 2003 dan E-Views 5.
25
4.2.1
Analisis Struktur Industri
a.
Pangsa Pasar (MS) Setiap perusahaan mempunyai pangsa pasar yang berbeda-beda berkisar
antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Pangsa pasar menggambarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dari hasil penjualannya. MS i =
Si x 100 S tot
……………..…………………..………….. (3.1)
dimana: MSi
= pangsa pasar perusahaan i (%)
Si
= penjualan perusahaan i (rupiah)
Stot
= penjualan total seluruh perusahaan (rupiah)
b.
Rasio Konsentrasi (CR) Tingkat konsentrasi dapat dihitung melalui Concentration Ratio (CR).
Rasio konsentrasi merupakan persentase dari total output industri atau pendapatan penjualan. Rasio sejumlah perusahaan mengukur pangsa pasar relatif dari total output industri yang dipertanggungjawabkan oleh perusahaan-perusahaan itu. m
CR m = ∑ MS i i =1
..…....………………………….……………… (3.2)
Semakin besar angka persentasenya (mendekati 100) berarti semakin besar konsentrasi industri dari produk tersebut. Jika rasio konsentrasi suatu industri mencapai 100 persen berarti bentuk pasarnya adalah monopoli. c.
Barrier to Entry Hambatan masuk pasar dapat dilihat dengan banyaknya pesaing yang
bermunculan untuk berpacu dalam mencapai target keuntungan yang diinginkan
26
dan merebut pangsa pasar. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat hambatan masuk pasar adalah dengan mengukur skala ekonomis yang didekati melalui output perusahaaan. Nilai output tersebut kemudian dibagi dengan output total industri. Perhitungan ini disebut sebagai Minimum Efficiency Scale (MES). MES =
4.2.2
Output Perusahaan Terbesar Output Total
………………….……... (3.4)
Analisis Perilaku Industri Perilaku industri dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk
memperoleh informasi mengenai perilaku perusahaan dalam industri manufaktur. Perilaku industri menganalisis tingkah laku serta penerapan strategi yang digunakan oleh perusahaan dalam suatu industri untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan pesaingnya. Analisis ini sengaja dilakukan karena variabel yang mencerminkan perilaku sifatnya kualitatif yang sulit dikualitatifkan.
4.2.3
Analisis Kinerja Industri Analisis kinerja industri dilakukan dengan menggunakan analisis PCM.
PCM ini digunakan untuk menganalisis hubungan struktur pasar terhadap kinerja perusahaan. Variabel endogen yang digunakan adalah proksi dari keuntungan industri yaitu PCM dan variabel eksogennya adalah rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar, nilai efisiensi-X, produktivitas, pertumbuhan nilai produksi, nilai ekspor dan nilai impor. PCM it = α 0 + β1 CR4it + β 2 XEFit + β 3 Pr od it + β 4 Growthit + β 5 EX it + β 6 IM it + ε it
…. (3.5)
27
dimana: PCMit
= rasio keuntungan industri pada unit industri ke-i dan tahun ke-t (%)
CR4it
= konsentrasi industri dari empat perusahaan terbesar pada unit industri ke-i dan tahun ke-t (%)
XEFit
= efisiensi-X pada unit industri ke-i dan tahun ke-t (%)
Prodit
= produktivitas industri pada unit industri ke-i dan tahun ke-t (rupiah)
Growthit = pertumbuhan nilai produksi pada unit industri ke-i dan tahun ke-t (%) EXit
= nilai komoditi yang diekspor pada unit industri ke-i dan tahun ke-t (rupiah)
IMit
= nilai komoditi yang diimpor pada unit industri ke-i dan tahun ke-t (rupiah)
α0
= intersep
βn
= slope masing-masing peubah bebas (independen)
εit
= errror/simpangan pada unit industri ke-i dan tahun ke-t Penggunaan variabel PCM sebagai proksi dari keuntungan telah dilakukan
oleh Sentosa (2005), PCM merupakan salah satu indikator kinerja yang digunakan sebagai perkiraan kasar dari keuntungan industri. PCM dalam penelitian ini digunakan dengan menggunakan proksi nilai tambah yang diperoleh. Artinya semakin tinggi nilai tambah maka semakin efisien kinerja industri tersebut dalam rangka meminimumkan biaya sehingga keuntungan industri semakin besar. PCM juga didefinisikan sebagai persentase keuntungan dari kelebihan penerimaan atas biaya langsung, PCM dapat dirumuskan sebagai berikut: PCM =
Nilai tambah − Upah total Nilai output
..…………………….……. (3.6)
28
Tingkat konsentrasi dalam model persamaan diukur dengan rasio konsentrasi. Rasio konsentrasi yang digunakan menunjukan besarnya kontribusi nilai penjualan output perusahaan terbesar terhadap total nilai produksi industri. Formulasi dari rasio konsentrasi dapat dilihat pada persamaan 3.2. Efisiensi
dan
produktivitas
sebagai
variabel
independen
yang
mempengaruhi PCM didasarkan pada penelitian Puspasari (2006), variabelvariabel ini dimasukan karena kinerja yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya efisiensi dan banyaknya output yang dihasilkan. Efisiensi menunjukan perbandingan antara nilai tambah dan nilai input yang diperoleh, sedangkan produktivitas mengindikasikan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan output pada periode waktu tertentu. Efisiensi dan Produktivitas dapat ditulis dalam persamaan berikut: Efisiensi− X =
Nilai tambah nilai input
Pr oduktivitas =
4.2.4
Nilai output Nilai input tenaga ker ja
…………………..…… (3.7) …………………..…… (3.8)
Analisis Panel Data Dalam ekonometrika dikenal tiga bentuk data yaitu data deret waktu (time
series), data kerat lintang (cross section) serta data panel (pooled data). Data
panel merupakan gabungan antara data time series dan data cross section. Hal ini dikarenakan panel data menyediakan informasi yang cukup kaya untuk perkembangan teknik estimasi dan hasil teoritikal. Dalam bentuk praktis, peneliti telah dapat menggunakan data time series dan cross section untuk menganalisis
29
masalah yang tidak dapat diatasi jika hanya menggunakan salah satunya saja. Banyak keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan panel data, diantaranya adalah sebagai berikut (Baltagi, 1995): 1.
Mampu mengontrol heterogenitas individu.
2.
Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of freedom dan lebih efisien.
3.
Lebih baik untuk study of dynamic adjustments.
4.
Mampu mengidentifikasai dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section murni atau data time series murni.
5.
Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Dalam pengelolaan panel data ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan,
yaitu pooled (OLS), fixed effect model (LSDV) dan random effect model (GLS). Ketiga pendekatan ini dapat diterapkan pada dua jenis pembobotan yaitu dengan pembobot (cross section weights) atau tanpa pembobot (no weighting). Dan untuk memperoleh keputusan penggunaan model efek tetap atau model efek acak ditentukan dengan menggunakan spesifikasi uji Hausman (Hausman test).
1.
Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square) Model pooled yaitu model yang didapatkan dengan mengkombinasikan
atau mengumpulkan semua data cross section dan time series. Model data ini kemudian diduga dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS), yaitu:
Yit = α + βXit + εit
…………………………….……….… (3.9)
30
dimana: Yit
= variabel endogen pada unit industri (cross-section) ke-i dan tahun ke-t
Xit
= peubah bebas ke-k pada unit industri (cross-section) ke-i dan tahun ke-t
α
= intersep
β
= slope
i
= industri ke-i,
ε
= errror/simpangan
2.
t = periode tahun ke-t
Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect ) Model
efek
mempertimbangkan
tetap
yaitu
bahwa
model
yang
didapatkan
peubah-peubah
yang
dihilangkan
dengan dapat
mengakibatkan perubahan dalam intersep-intersep cross section dan time series. Peubah dummy dapat ditambahkan ke dalam model untuk memungkinkan perubahan-perubahan intersep ini lalu model diduga dengan OLS yaitu: n
Yit = α 0 + βX it + ∑ α i Di + ε it i =2
…...………….…… (3.10)
Dimana: Yit
= variabel endogen pada unit industri (cross-section) ke-i dan tahun ke-t
Xit
= peubah bebas pada unit industri (cross-section) ke-i dan tahun ke-t
α0
= intersep model
α1
= intersep industri ke-i
Di
= variabel dummy
β
= slope
i
= industri ke-i, t = periode tahun ke-t
ε
= errror/simpangan
31
3.
Pendekatan Efek Acak (Random Effect) Keputusan untuk memasukan variabel dummy akan menimbulkan
konsekuensi (trade off). Penambahan variabel dummy ini akan mengurangi banyaknya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi, hal inilah yang disebut sebagai model efek acak. Dalam model ini parameter-parameter antar daerah maupun antar waktu dimasukan kedalam error. Oleh karena itu, model efek acak sering disebut juga model komponen error (Error component model). Bentuk model efek tetap dapat ditulis dalam persamaan berikut:
Yit = α + ∑ βX it + ε it
ε it = ui + vt + wit
……..……...………….……… (3.11)
dimana:
u t ~ N (0, δ u )
= Komponen cross section error
v t ~ N (0, δ v )
= Komponen time series error
wt ~ N (0, δ w )
= Komponen error kombinasi
2
2
2
dengan mengasumsikan error industri dan error kombinasinya tidak saling berkorelasi.
4.2.5
Pemilihan Model Antara Fixed Effect dengan Random Effect Hausman-test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam
memilih apakah menggunakan fixed effect model atau random effect model. Seperti yang telah dijelaskan diatas, Penggunaan fixed effect model mengandung
32
suatu unsur trade off yaitu hilangnya derajat kebebasan dengan memasukan variabel dummy. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0 : Random effect model H1 : Fixed effect model Sebagai dasar penolakan hipotesa nol tersebut digunakan dengan menggunakan pertimbangan statistik chi square (X2) Tabel. Hausman test dapat dilakukan dengan bahasa pemprograman Eviews sebagai berikut: “jika hasil dari Hausman test signifikan (probability dari Hausman < α) maka H0 ditolak, artinya fixed effect digunakan”. Statistik Hausman dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut:
m = (β −b)1(M0 − M1)−1(β −b) ≈ X 2(k)
................................ (3.12)
dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, Mo adalah matriks kovarian untuk dugaaan random effect model dan M1 adalah matriks kovarian untuk dugaan fixed effect model. Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari X2-Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah fixed effect model, begitu juga sebaliknya.
4.2.6
Evaluasi Model
•
Multikolinearitas Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil t dan F statistik
hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F hitungnya signifikan, maka patut diduga adanya
33
multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan memberi perlakuan cross section weights, sehingga baik t statistik maupun F hitung menjadi signifikan.
•
Autokorelasi Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk
mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW) dalam Eviews. Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW Tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel di bawah ini. Tabel 4.1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi Nilai DW
Hasil
4-dl < DW < 4
Tolak H0, korelasi serial negatif
4-dl < DW < 4-dl
Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4-du
Terima H0, tidak ada korelasi serial
du < DW < 2
Terima H0, tidak ada korelasi serial
dl < DW < du
Hasil tidak dapat ditentukan
0 < D W < dl
Tolak H0, korelasi serial positif
Sumber: Gujarati, 1995
Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Jika ditemukan korelasi serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Cara mengatasi masalah ini adalah dengan menambahkan AR (1) atau AR (2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model regresi yang kita gunakan.
•
Heteroskedastisitas Dalam regresi linier berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar
taksiran parameter dalam model tersebut BLUE adalah Var (ui) = σ2 (konstan),
34
semua varian mempunyai variasi yang sama. Pada umumnya heteroskedastisitas diperoleh pada data cross section. Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka hasil regresi akan terjadi “misleanding”. Untuk mendeteksi ada tidaknya gejala heteroskedastisitas digunakan uji White Heteroscedasticity yang diperoleh dalam program Eviews. Dengan uji White, dibandingkan Obs*R-Squared dengan X2-Tabel. Jika nilai Obs*R-Squared lebih kecil dari pada X2-Tabel, maka tidak ada heteroskedastisitas pada model. Data panel dalam Eviews yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section wights) maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Square Resid Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistics
<
Sum
Square
Resid
Unweighted
Statistics
maka
terjadi
heteroskedastisitas. Untuk mengatasinya bisa mengestimasi GLS dengan White Heteroscedasticity.
4.3
Definisi Operasional Variabel-variabel bebas (eksogen) dan terikat (endogen) yang tercakup
dalam model ini meliputi: 1.
PCM digunakan sebagai indikator dari kinerja industri. PCM merupakan rasio keuntungan industri yang mencerminkan kelebihan atas biaya langsung.
PCM
didasarkan
pada
kemampuan
perusahaan
meningkatkan nilai tambah dan meminimumkan biaya-biaya.
untuk
35
2.
CR4 adalah rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar yang memimpin pasar. Rasio konsentrasi ini merupakan salah satu pengukur indeks konsentrasi industri yang mempunyai pengertian yang lebih nyata.
3.
Efisiensi-X merupakan efisiensi internal perusahaan-perusahaan dalam industri. Efisiensi dalam model ini dinyatakan sebagai perbandingan antara nilai tambah dan nilai input industri. Efisiensi-X mengindikasikan kinerja perusahaan dikelola dengan baik dan optimal.
4.
Produktivitas merupakan produktivitas yang dihasilkan oleh industri. Produktivitas dapat dinyatakan sebagai perbandingan nilai output dan nilai input tenaga kerja.
5.
Growth adalah pertumbuhan nilai produksi yang dihasilkan oleh suatu industri.
6.
Nilai ekspor merupakan jumlah produk/komoditi yang dijual ke luar negeri.
7.
Nilai impor adalah jumlah komponen (bahan baku, input perantara dan barang modal) pada industri manufaktur yang dibeli dari luar negeri.
V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA
5.1
Sejarah Industri Manufaktur Indonesia Proses industrialisasi di Indonesia mulai dilaksanakan pada awal dekade
1970-an, pada saat REPELITA 1 dimulai. Namun jauh sebelumnya, sebelum kemerdekaan, Indonesia sudah memiliki sejumlah industri manufaktur seperti industri makanan dan minuman, industri tekstil, industri rokok dan industri semen, yang pada kolonialisasi Belanda berkembang dengan baik. Akan tetapi baru pada masa orde baru pemerintah Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan diperdagangan luar negeri yang secara eksplisit ditujukan pada upaya pembangunan sektor industri manufaktur nasional. Pada awalnya, kebijakan mengurangi ketergantungan ekonomi nasional terhadap ekspor komoditas-komoditas primer, melainkan lebih berorientasi ke dalam yakni membangun berbagai macam industri, khususnya industri-industri hilir untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik agar tidak tergantung pada impor. Pada waktu itu dengan menetapkan kebijakan substitusi impor dengan proteksi yang tinggi, pemerintah berharap industri manufaktur di dalam negeri dapat berkembang dengan baik dan dalam waktu yang tidak lama lagi Indonesia dapat segera mengurangi ketergantungan terhadap barang-barang impor, khususnya barang-barang konsumsi. Baru pada awal dekade 1980-an setelah periode oil boom kedua berakhir dan sebagai proses terhadap menurunnya harga dari sejumlah komoditas primer, termasuk minyak mentah di pasar dunia,
37
pemerintah Indonesia mengubah orientasi kebijakan industrialisasinya dari substitusi impor ke promosi ekspor. Proses industrialisasi di Indonesia sejak 1985 terkesan cepat. Laju pertumbuhan output disektor industri manufaktur mulai menurun sejak tahun 1993, empat tahun sebelum krisis ekonomi. Proses industrialisasi yang cepat tersebut ternyata tidak membuat sektor industri manufaktur nasional berkembang dengan baik. Hal ini terlihat jelas pada saat terjadinya krisis ekonomi. Pada tahun 1998, sektor industri manufaktur mengalami pertumbuhan negatif sekitar 12 persen. Penyebab utamanya adalah tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap impor barang modal, input perantara, bahan baku dan juga terhadap utang luar negeri. Pada saat nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang besar terhadap dolar AS, banyak perusahaan manufaktur di dalam negeri terpaksa harus mengurangi volume produksi atau sama sekali menghentikan kegiatan produksi mereka.
5.2
Perkembangan Industri Manufaktur Indonesia
5.2.1 Pertumbuhan Tingkat Produksi Industri Manufaktur Indonesia Terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 yang berkelanjutan menjadi krisis ekonomi, berdampak negatif terhadap hampir semua sektor perekonomian, termasuk pada sektor industri. Hal ini berakibat pula pada pertumbuhan produksi sektor industri yang semakin menurun. Menurut BPS (2002), pada tahun 1998 pertumbuhan produksi mengalami titik terendah, kemudian sejak tahun 1999 sampai tahun 2000 mulai menunjukan indikasi kearah perbaikan meskipun sebenarnya pertumbuhan tingkat produksi masih di bawah tingkat produksi
38
sebelum terjadinya krisis ekonomi. Pertumbuhan rata-rata nilai produksi industri manufaktur selama periode 2000-2004 sebesar 25,55 pesen per tahun. Rata-rata pertumbuhan nilai produksi setiap tahun selama periode tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.1. Peningkatan produksi dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan produk industri terutama permintaan dari dalam negeri yang diduga menjadi penyebab kenaikan usaha industri. Peningkatan tersebut menandakan ada optimisme yang cukup baik bagi dunia industri di Indonesia untuk pembangunan nasional. Sementara pada tahun 2003 angka rata-rata pertumbuhan menurun. Hal ini disebabkan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak pada tahun 2003 yang
Nilai (persen)
menyebabkan angka pertumbuhannya menurun sebesar 2,09 persen (Lampiran 2).
40 35 30 25 20 15 10 5 0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
Gambar 5.1.
5.2.2
Pertumbuhan Rata-rata Nilai Produksi Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004
Perkembangan Nilai Ekspor Industri Manufaktur Indonesia Pada Gambar 5.2 perkembangan nilai ekspor Indonesia selama periode
2000-2004 mengalami fluktuasi. Rata-rata nilai ekspor industri manufaktur selama periode tersebut tercatat sebesar Rp 18,7 milyar. Selama tahun 2000 sampai tahun
39
2003 rata-rata nilai ekpor industri manufakur mengalami penurunan. Penurunan tersebut terjadi karena adanya penurunan tingkat produksi pada industri manufaktur yang disebabkan oleh biaya penggunaan nilai input lebih besar dari tingkat produksinya. Namun pada tahun 2004 kegiatan ekspor industri manufaktur di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan nilai rata-rata
Nilai Rata-rata (milyar rupiah)
tersebut tercatat sebesar Rp 21,8 milyar (Lampiran 5).
25000 20000 15000 10000 5000 0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
Gambar 5.2. Perkembangan Nilai Rata-rata Ekspor Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004
5.2.3
Perkembangan Nilai Impor Industri Manufaktur Indonesia Dalam kondisi ekonomi yang masih belum stabil seperti saat ini, kegiatan
industri harus tetap mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya industri pada sektor riil yang menjadi sumber perekonomian Indonesia. Sektor riil harus tumbuh karena dapat diandalkan untuk meningkatkan devisa negara sehingga memberikan sumbangan berarti bagi penguatan keseimbangan sektor eksternal, apalagi potensi pasar di dalam negeri tergolong besar.
40
Untuk memenuhi kebutuhan dari sektor industri tersebut Indonesia masih perlu mengimpor barang-barang terutama bahan baku yang belum dapat diproduksi dan dipenuhi sepenuhnya oleh industri di dalam negeri. Selama periode 2000-2004, nilai rata-rata impor industri manufaktur tercatat sebesar Rp 11,3 milyar. Pada Lampiran 6, jika dilihat menurut golongan barang ISIC ada 2 golongan industri yang menyerap impor terbesar di Indonesia yaitu industri batu bara, pengilangan minyak bumi, pengolahan gas bumi dan bahan bakar nuklir (kode 23) dan industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia (kode 24). Perkembangan rata-rata nilai impor industri manufaktur dari tahun 2000 sampai tahun 2004 dapat dilihat pada Gambar 5.3. Peningkatan nilai impor pada tahun 2002 sebesar Rp 12,34 milyar. Peningkatan tersebut disebabkan oleh tidak adanya suplai domestik dan industri-industri pendukung serta lemahnya keterkaitan
N ilai R ata-rata (m ily ar rupiah)
produksi antar industri di dalam negeri.
20000 15000 10000 5000 0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
Gambar 5.3.
Perkembangan Nilai Rata-rata Impor Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004
41
5.3
Kondisi Investasi Industri Manufaktur Indonesia Selama enam tahun terakhir nilai total Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Rancana PMDN yang disetujui oleh pemerintah jika dilihat menurut sektor menunjukan bahwa sektor industri menjadi sektor unggulan bagi para investor dalam negeri untuk menanamkan modalnya. Meskipun nilai investasi sektor industri berfluktuasi namun setiap tahunnya masih menempati urutan pertama. Oleh karena itu sebagian besar dana pembangunan oleh pemerintah dialokasikan untuk sektor tersebut. Pada Tabel 5.1 rencana PMDN yang disetujui pemerintah untuk sektor industri mencapai Rp 26.807,9 milyar atau meningkat sebesar 29,94 persen dengan nilai kontribusi sekitar 53,00 persen dari total PMDN. Tabel 5.1.
Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang Disetujui Pemerintah Menurut Sektor di Indonesia Tahun 2000-2005 (Milyar Rupiah)
Sektor Pertanian, kehutanan dan perikanan Pertambangan Industri Angkutan Listrik, perdagangan dan jasa Lainnya Total
2000
2001
2002
2003
2004
2005
4.137,8 (4,48) 36,4 (0,04) 83.059,5 (89,96) 1.992,8 (2,16) 1.845,9 (2,00) 1.255,3 (1,36) 92.327,7 (100,00)
1.378,1 (2,35) 1.198,2 (2,04) 43.966,6 (74,93) 1.489,0 (2,54) 1.635,2 (2,79) 9.006,9 (15,35) 58.674,0 (100,00)
1.153,7 (5,75) 786,7 (3,11) 15.853,5 (62,76) 3.117,7 (12,34) 1.612,6 (6,36) 2.438,1 (9,65) 25.262,3 (100,00)
1.929,1 (3,98) 752,8 (1,55) 40.442,7 (83,41) 2.022,0 (4,17) 633,4 (1,31) 2.704,8 (5,58) 48.484,8 (100,00)
1.847,9 (5,03) 662,4 (1,80) 20.631,6 (56,15) 1.885,1 (5,13) 9.695,4 (26,38) 2.025,2 (5,51) 36.747,6 (100,00)
4.494,1 (8,89) 982,3 (1,94) 26.807,9 (53,00) 2375,1 (4,70) 10.330,4 (20,42) 5.587,6 (11,05) 50.577,4 (100,00)
Sumber: BI, 2006 Catatan: Angka dalam kurung menunjukan persentase terhadap jumlah PMDN
Investasi asing di Indonesia masih tergolong rendah. Keadaan ini disebabkan karena kondisi dalam negeri yang kurang mendukung untuk menarik
42
minat investor asing. Hal ini disebabkan rendahnya SDM yang dimiliki Indonesia, sehingga tidak mampu menyerap teknologi yang ada. Para investor asing sangat berhati-hati dan selektif untuk melakukan investasi dan kegiatan ekonomi di Indonesia. Hal ini terlihat dari rencana Penanaman Modal Asing (PMA) yang disetujui oleh pemerintah menunjukan pergerakan yang fluktuatif dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 (Tabel 5.2). Tabel 5.2.
Rencana Penanaman Modal Asing (PMA) yang Disetujui Pemerintah Menurut Sektor di Indonesia Tahun 2000-2005 (Juta US $)
Sektor Pertanian, kehutanan dan perikanan Pertambangan Industri Angkutan Listrik, perdagangan dan jasa Lainnya Total
2000
2001
2002
2003
2004
2005
443,3 (2,60) 2,4 (0,02) 10.702,7 (69,44) 1.218,7 (7,91) 2.259,4 (14,66) 786,6 (5,10) 15.413,1 (100,00)
391,7 (2,60) 118,7 (0,79) 5.144,4 (34,20) 373,3 (2,48) 1.899,1 (12,62) 7.116,7 (47,31) 15.043,9 (100,00)
458,9 (4,71) 49,2 (0,50) 3.208,2 (32,92) 3.713,2 (38,11) 1.764,9 (18,11) 549,7 (5,64) 9.744,1 (100,00)
178,9 (1,35) 17,8 (0,13) 6.457,4 (48,89) 4.160,2 (31,50) 1.106,7 (8,38) 1.286,2 (9,74) 13.207,2 (100,00)
329,7 (3,21) 66,3 (0,64) 6.334,3 (61,63) 586,5 (5,71) 1.079,7 (10,51) 1.880,8 (18,30) 10.277,3 (100,00)
606,0 (4,67) 775,9 (5,98) 6.028,0 (46,44) 3.107,3 (23,94) 301,0 (2,32) 2.161,1 (16,65) 12.979,3 (100,00)
Sumber: BI, 2006 Catatan: Angka dalam kurung menunjukan persentase terhadap jumlah PMA
Jika dilihat menurut sektor, rencana PMA banyak terserap di sektor industri. Pada tahun 2000 sektor industri mampu menyerap investor asing sebesar US $ 10.702,7 juta. Namun pada tahun 2001 sektor lainnya (gabungan sektor bangunan, sektor perhotelan, dan sektor perumahan dan perkantoran) menduduki peringkat pertama dengan nilai investasi sebesar US $ 7.116,7 juta. Pada tahun 2002 sektor industri kembali menempati posisis pertama dalam menarik para investor asing dengan nilai investasi senilai US $ 3.208,2 juta. Sampai tahun 2005
43
sektor industri masih menjadi sektor unggulan bagi investor asing untuk menanamkan modalnya, dengan nilai investasi sebesar US $ 6.457,4 juta (tahun 2003), US $ 6.334,3 juta (tahun 2004) dan US $ 6.028,0 juta (tahun 2005).
5.4
Kebijakan Industri di Indonesia Pengembangan sektor industri pengolahan sering mendapat perioritas
utama dalam rencana pembangunan nasional kebanyakan negara berkembang. Begitu pula dengan Indonesia pada awal 1970-an menempuh strategi substitusi impor untuk mencapai pertumbuhan sektor industri yang pesat. Strategi ini diambil dengan harapan sektor industri akan tumbuh lebih pesat dari pertumbuhan permintaan masyarakat (Wie, 1988). Strategi substitusi impor ini tampaknya merupakan alternatif paling menarik bagi sebuah negara yang memulai industrialisasi dari jenjang yang rendah, karena masih bersandar pada pasar dalam negeri yang lebih mudah ditembus dari pada pasar luar negeri yang penuh persaingan. Strategi substitusi impor dimulai dengan produksi dalam negeri dari barang-barang konsumsi yang sebelumnya diimpor dari luar negeri. Tahap awal industrialisasi substitusi impor ini adalah industri yang merakit barang akhir dari bahan baku yang diimpor. Pada tahap selanjutnya diharapkan bahan baku yang sebelumnya diimpor dapat dihasilkan dalam negeri. Dengan kata lain dimulai dengan membangun industri hilir yang kemudian diteruskan ke pembangunan industri hulu. Langkah kebijakan utama yang diambil untuk menunjang strategi substitusi impor adalah proteksi berupa tarif bea masuk yang tinggi atas barang-
44
barang jadi yang diimpor dan pengurangan bahkan pembebasan tarif bea masuk atas barang-barang antara lain yang diperlukan untuk perakitan barang jadi, serta hambatan impor. Adanya struktur tarif yang demikian, maka nilai tambah domestik yang dihasilkan sangat tinggi. Di samping itu masih banyak lagi subsidi terselubung berupa suku bunga yang rendah atas pinjaman modal dan keringanan pajak. Strategi substitusi impor kurang berhasil dalam membangun industri dengan daya saing internasional yang kuat, karena suatu industri harus mempunyai pasar yang lebih luas, yang mencakup pasar luar negeri, agar industri ini dapat mencapai skala ekonomi yang paling efisien. Harga minyak bumi yang memburuk awal 1980-an membuat strategi substitusi impor tidak dapat diteruskan. Pemerintah harus melakukan langkahlangkah penyesuaian guna memulihkan kestabilan perekonomian makro, sekaligus merombak kebijakan-kebijakan yang telah direncanakan sebelumnya agar ketergantungan pada migas sebagai sumber devisa dapat dikurangi. Oleh sebab itu, kecondongan anti ekspor harus dikurangi dengan merubah rejim perdagangan yang bersifat proteksionis menjadi rejim perdagangan yang mengikuti kekuatan pasar. Tetapi sampai tahun 1985 belum terjadi perubahan besar dalam perdagangan luar negeri, melainkan hanya tindakan untuk memulihkan stabilitas makro ekonomi, deregulasi keuangan dan kebijakan devaluasi. Selama periode ini, pembentukan industri dasar pengolahan sumber daya tidak segera ditinggalkan. Padahal biaya pendirian industri ini sangat tinggi. Setelah
diberlakukan
pembebasan
dan
pengembalian
pajak
bagi
perusahaan berorientasi ekspor pada Mei 1986, sesudah harga minyak bumi
45
semakin merosot, tindakan untuk beralih ke strategi promosi ekspor mulai dilakukan. Pemberlakuan paket deregulasi Mei 1986, yang mencakup deregulasi untuk mendorong sektor swasta semakin efisien. Tercakup pula pembaharuan kebijakan perdagangan luar negeri untuk mengurangi bias anti ekspor. Pemerintah memberikan kesempatan pada eksportir untuk memperoleh input dengan harga internasional, baik barang input yang diperoleh dari impor, maupun yang merupakan barang muatan lokal. Paket ini juga memberikan keringanan pajak atas barang-barang input yang diimpor kepada perusahaan yang mengekspor paling tidak 85 persen dari outputnya. Selain pembaharuan perdagangan, peralihan ke strategi promosi ekspor didukung pula oleh kebijakan nilai tukar mata uang sehat. Menyusul devaluasi, Bank Indonesia menempuh kebijakan nilai tukar mengambang terkendali. Kebijakan ini mencakup depresiasi rupiah sempat sampai lima persen per tahun untuk menyeimbangkan angka inflasi Indonesia dengan angka inflasi mitra dagang utamanya. Kebijakan ini Bank Indonesia berhasil mempertahankan nilai tukar riil pada tingkat yang kompetitif. Berbagai kebijakan di atas ternyata berhasil mendorong ekspor hasil industri Indonesia, khususnya produk padat karya, seperti garmen dan produk elektronika rumah tangga. Sebetulnya, sejak tahun 1987 untuk pertama kalinya dalam sejarah ekonomi Indonesia modern, ekspor hasil industri dan sektor swasta menjadi mesin utama pertumbuhan industri.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1
Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Manufaktur
6.1.1 Analisis Struktur Industri Analisis struktur pasar pada industri manufaktur dapat diketahui dengan melihat pangsa pasar dari perkembangan penjualan masing-masing industri, konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) dan besarnya hambatan masuk pasar. Namun karena adanya keterbatasan data penjualan setiap industri manufaktur yang tidak dapat disajikan, maka pangsa pasar dari masing-masing industri manufaktur tidak dapat ditentukan.
6.1.1.1 Analisis Rasio Konsentrasi Konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaanperusahaan ”oligopolis” dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan. Untuk menganalisis struktur pasar pada pembahasan kali ini adalah dengan menggunakan rasio konsentrasi. Pengukuran rasio konsentrasi dilakukan pada empat perusahaan terbesar (CR4) dalam industri manufaktur di Indonesia. Pengelompokan empat perusahaan didasarkan pada nilai output yang dihasilkan oleh empat perusahaan terbesar dalam industri manufaktur. Rasio konsentrasi diperoleh dengan mengukur besarnya kontribusi output yang dihasilkan oleh empat perusahaan terbesar terhadap total output industri. Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran 7, rata-rata rasio empat perusahaan terbesar (CR4) dalam industri manufaktur selama periode 2000-2004 adalah sebesar 37,52 persen. Jika dilihat dari rata-rata rasio empat perusahaan
47
terbesar (CR4) tiap industri selama periode tersebut, terdapat variasi struktur pasar yang terjadi dalam industri manufaktur di Indonesia. Industri yang memiliki rasio konsentrasi diatas 60 persen sebanyak 5 industri, untuk industri yang memiliki rasio konsentrasi di bawah 40 persen terdapat 13 industri dan industri yang memiliki rasio konsentrasi antara 40-60 persen dalam industri manufaktur ada 4 industri. Tipologi struktur industri manufaktur untuk masing-masing industri dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1.
Tipologi Struktur Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004
Tipologi Struktur Industri Oligopoli ketat
Oligopoli longgar
Oligopoli Sedang
Jenis Industri Industri tembakau (kode 16), industri batu bara, pengilangan minyak bumi, pengolahan gas bumi dan bahan bakar nuklir (kode 23), industri mesin dan peralatan kantor, akuntansi dan pengolahan data (kode 30), industri peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam dan lonceng (kode 33) dan industri alat angkut, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih (kode 35). Industri makanan dan minuman (kode 15), industri tekstil (kode 17), industri pakaian jadi (kode 18), industri kulit dan barang dari kulit (kode 19), industri kayu, barang dari kayu (tidak termasuk furnitur) dan barang-barang anyaman (kode 20), industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia (kode 24), industri furnitur dan industri pengolahan lainnya (kode 25), industri barang galian bukan logam (kode 26), industri barang-barang dari logam kecuali mesin dan peralatannya (kode 28), industri mesin dan perlengkapannya (kode 29), industri mesin listrik lainnya dan perlengkapannya (kode 31), industri radio, televisi dan peralatan komunikasi serta perlengkapannya (kode 32) dan industri karet dan barang dari karet (kode 36). Industri kertas dan barang dari kertas (kode 21), industri penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman (kode 22), industri logam dasar (kode 27) dan industri kertas dan barang dari kertas (kode 34)
48
Menurut jaya (2001) menyatakan bahwa gabungan empat perusahaan terbesar yang memiliki rasio konsentrasi di atas 60 persen dikatakan memiliki struktur pasar yang bersifat ologopoli ketat, dimana kesepakatan diantara mereka untuk menetapkan harga relatif lebih mudah. Sementara gabungan empat perusahaan terbesar yang memiliki rasio konsentrasi di bawah 40 persen memiliki struktur pasar yang bersifat ologopoli longgar, dimana kesepakatan diantara mereka untuk menetapkan harga sangat sulit dilakukan. Untuk industri yang memiliki rasio konsentrasi antara 40-60 persen menurut Utton dalam Azhari menyebutkan sebagai industri yang memiliki struktur pasar yang bersifat oligopoli sedang, artinya kesepakatan mereka untuk menetapkan harga mungkin saja terjadi jika kerjasama yang dilakukan diantara mereka sangat baik.
6.1.1.2 Analisis Hambatan Masuk Industri Hambatan masuk pasar merupakan segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan, kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru. Masuknya perusahaan pendatang baru akan menimbulkan sejumlah implikasi bagi perusahaan yang sudah ada, misalnya kapasitas yang menjadi bertambah, terjadinya perebutan pasar (market share) serta perebutan sumber daya produksi yang terbatas. Kondisi ini menimbulkan ancaman bagi perusahaan yang sudah ada (Jaya, 2001). Salah satu yang dapat menjadi hambatan masuk pasar adalah keberadaan perusahaan terbesar yang telah ada sebelumnya dalam sebuah industri. Hal ini dapat dilihat dari nilai MES.
Nilai MES diperoleh dari persentase output
49
perusahaan terbesar terhadap total output industri manufaktur. Tingginya MES dapat menjadi penghalang bagi pesaing baru untuk memasuki pasar suatu industri. Berdasarkan hasil analisis, didapat nilai rata-rata MES dalam industri manufaktur Indonesia pada tahun 2000 sampai tahun 2004 sebesar 78,31 persen. Pada Lampiran 8 dapat dilihat bahwa hambatan masuk yang terjadi dalam industri manufaktur bervariasi. Industri yang memiliki nilai MES lebih dari 10 persen dalam industri manufaktur terdapat 15 industri dan industri yang memiliki nilai MES di bawah 10 persen ada 7 industri. Klasifikasi MES untuk setiap industri manufaktur indonesia dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Tabel 6.2.
Klasifikasi MES Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004
Klasifikasi MES Tinggi
Jenis Industri Industri tembakau (kode 16), industri kertas dan barang dari kertas (21), industri penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman (kode 22), industri batu bara, pengilangan minyak bumi, pengolahan gas bumi dan bahan bakar nuklir (kode 23), industri karet dan barang dari karet (kode 25), industri barang galian bukan logam (kode 26), industri logam dasar (kode 27), industri barang-barang dari logam kecuali mesin dan peralatannya (kode 28), industri mesin dan perlengkapannya (kode 29), industri mesin dan peralatan kantor industri akuntansi dan pengolahan data (kode 30), industri mesin listrik lainnya dan perlengkapannya kode (31), industri radio, televisi dan peralatan komunikasi serta perlengkapannya (kode 32), industri peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam dan lonceng (kode 33), industri kendaraan bermotor (kode 34), industri alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih (35)
Rendah
Industri makanan dan minuman (kode 15), industri tekstil (kode 17), industri pakaian jadi (kode 18), industri kulit dan barang dari kulit (kode 19), industri kayu, barang dari kayu (tidak termasuk furnitur) dan barang-barang anyaman (kode 20), industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia (kode 24), industri furnitur dan industri pengolahan lainnya (kode 36)
50
Menurut Comanor dan Wilson (1967) dalam Alistair (2004), MES yang lebih besar dari 10 persen menggambarkan hambatan masuk yang tinggi pada suatu industri. Nilai MES yang tinggi tersebut dapat menjadi penghalang bagi masuknya perusahaan baru ke dalam pasar industri manufaktur di Indonesia. Menurut umar (2000) ada beberapa faktor yang bisa menghambat masuknya pendatang baru ke dalam suatu industri, yaitu skala ekonomi, kecukupan modal, biaya peralihan, akses kesaluran distribusi, ketidakunggulan biaya independen dan peraturan pemerintah.
6.1.2
Analisis Perilaku Industri dalam Industri Manufaktur Perilaku perusahaan di pasar merupakan kebijakan perusahaan tentang
produk dan jasa dari barang yang dijual tersebut sebagai akibat dari struktur pasar yang dihadapinya, termasuk didalamnya kemungkinan adanya perubahan kebijakan yang dibuat sebagai reaksi terhadap kebijakan produk dan harga yang dibuat oleh pesaing. Analisis perilaku pasar dilakukan secara deskriptif dengan mengacu pada struktur pasar yang telah ada. Berdasarkan hasil analisis, struktur pasar dalam industri manufaktur di Indonesia adalah bersifat oligopoli. Hal ini akan menimbulkan beberapa perilaku yang dilakukan oleh para pelaku industri pada industri manufaktur di Indonesia. Perilaku yang dilakukan tersebut antara lain adalah strategi harga, produk, promosi, distribusi dan perilaku kolusi.
6.1.2.1 Strategi Harga Pada umumnya, strategi dalam penentuan harga dimiliki oleh setiap perusahaan yang bersaing dalam suatu industri. Pada industri manufaktur,
51
perusahaan bersifat ”price takers”, harga produk yang ditetapkan merupakan harga pasar (kesepakatan penjual dan pembeli). Adanya penetapan harga tersebut maka produsen harus bersaing secara sehat, namun pada saat yang sama juga tersedia kesempatan untuk bekerja sama melakukan kolusi. Berdasarkan hasil analisis struktur pasar (MES) dikatakan bahwa di dalam industri manufaktur terdapat perusahaan yang mendominasi pasar. Dengan adanya perusahaan dominan tersebut hal ini akan menyebabkan perusahan lain tidak bisa menentukan harga melainkan hanya mengikuti harga yang ditetapkan oleh perusahaan dominan tersebut, karena jika menetapkan harga yang lebih tinggi maka perusahan tersebut akan kehilangan konsumen. Perusahaan dominan juga dapat melakukan pemotongan harga bagi pelanggan baru atau konsumen yang membeli dalam jumlah yang sangat besar.
6.1.2.2 Strategi Produk dan Promosi Keistimewaan yang dimiliki oleh barang yang diproduksi oleh perusahaan oligopolis merupakan sumber lain perilaku pasar yang dapat menghambat new entry. Pada strategi harga yang menjadi pokok permasalahan hanyalah perusahaan yang menaikkan, menurunkan atau bahkan tidak merubah harga, maka strategi produk dan promosi mencakup banyak alternatif yang tersedia. Strategi produk yang dilakukan perusahaan dominan pada industri manufaktur dalam rangka meningkatkan keuntungan perusahaan adalah peningkatan mutu melalui pengembangan kualitas produk yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), melakukan inovasi, menciptakan produk baru (desain produk) serta memberikan ketersediaan produk dalam jumlah yang cukup.
52
Setiap alternatif strategi produk akan dapat menimbulkan reaksi yang bermacammacam dari perusahaan pesaing, namun seringkali reaksi dari perusahaan pesaing akan timbul lebih lama bila dibandingkan dengan strategi harga sehingga jarang dapat membalas dengan cepat. Persaingan akan berjalan dengan sempurna apabila pembeli dapat membandingkan barang yang satu dengan yang lain, sehingga perusahaan dalam sebuah industri harus dapat membedakan produknya dari produk pesaing untuk merebut pasar. Dengan adanya differensiasi produk persaingan akan menjadi tidak efektif, karena perbandingan produk yang satu dengan yang lain menjadi sulit untuk dilakukan karena berbeda. Differensiasi produk sangat erat kaitannya dengan kegiatan promosi yang dilakukan oleh perusahaan dalam meningkatkan penjualannya. Strategi produk akan lebih efektif apabila terdapat homogeneous produk dalam industri, sebab dana yang dibutuhkan relatif besar. Promosi produk dilakukan oleh produsen yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada para konsumen tentang adanya suatu produk di pasar, untuk meningkatkan penjualan serta untuk merebut pangsa pasar dari produsen lain. Strategi promosi dalam industri manufaktur dapat dilakukan melalui advertensi di berbagai media seperti media elektronik (televisi dan internet) dan media cetak (majalah dan koran), free samples, pelayanan yang lebih baik dan lain-lain.
6.1.2.3 Strategi Distribusi Distribusi produk merupakan suatu cara yang dilakukan dalam menyampaikan barang atau produk yang diinginkan oleh pembeli. Strategi
53
distribusi yang dilakukan dalam industri manufaktur adalah berdasarkan kesepakatan antara produsen dan konsumen. Cara yang dilakukan dalam mendistribusikan produknya antara lain dengan mengantar produk yang dipesan sampai gudang pembeli dan jika jumlah yang ingin dibeli kurang dari batasan pesanan minimum maka yang berperan adalah distributor, sehingga konsumen yang ingin membeli dalam jumlah sedikit tidak pindah ke perusahaan lain.
6.1.2.4 Kolusi Kolusi sangat tidak diinginkan oleh sebagian besar masyarakat khususnya para konsumen. Lain halnya dengan para produsen, mereka berharap dengan adanya kolusi dapat meningkatkan keuntungan. Di dalam pasar oligopoli, kolusi dapat terjadi jika terbentuk suatu kondisi yang mendukung terjadinya kolusi. Menurut Jaya (2001), Kondisi pasar yang dapat menimbulkan terjadinya kolusi tersebut antara lain seperti, terjadinya pemusatan kekuatan pasar, kesamaan biaya dalam produksi, kesamaan permintaan dari masyarakat, titik pusat, persaingan bukan harga dan informasi. Pemusatan perusahaan merupakan salah satu kondisi yang dapat menimbulkan kolusi. Hal ini disebabkan ada sedikit penjual utama yang terdapat pada industri tersebut, sehingga mereka cepat mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaan lain. Menurut Jaya (2001), terdapat perbedaan perilaku pada setiap tingkat konsentrasi (pemusatan) yang dapat menimbulkan kolusi. Pada struktur pasar oligopoli ketat, penggabungan empat perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar 60 sampai 100 persen, kesepakatan diantara mereka untuk menetapkan harga relatif mudah dan pada struktur oligopoli longgar,
54
penggabungan empat perusahaan terkemuka yang memiliki 40 persen atau kurang dari pangsa pasar, maka kesepakatan diantara mereka untuk menetapkan harga sebenarnya tidak mungkin. Kesamaan biaya dalam produksi turut mendukung pembentukan kolusi. Kesamaan biaya dalam produksi membuat kerjasama lebih mudah karena harga yang ditetapkan relatif sama. Kondisi pasar lainnya yang mendukung adanya kolusi adalah adanya kesamaan permintaan dari masyarakat. Hal ini akan menyebabkan pergeseran permintaan yang tajam karena dapat menjebak pelaku oligopolis dalam mengontrol pasar dan memusatkan ekspektasi pada tingkat harga yang sama, misalnya produsen akan terdorong untuk memotong harga penjualan (diskon). Titik pusat merupakan harga atau lokasi yang diketahui dan disetujui oleh semua pesaing, meliputi standar kenaikan harga, lokasi dan batas-batas geografis. Pada suatu industri yang sudah mapan, masing-masing pihak sudah mengetahui para pesaing sehingga hal ini akan mempermudah adanya kolusi, sebab tindakan dari tiap-tiap perusahaan akan lebih mudah diprediksi. Suatu harga yang dianjurkan atau lokasi yang telah ditentukan dapat menjadi dasar dalam kerjasama yang erat, sementara batas geografi seringkali menjadi dasar untuk membagi pasar dan koordinasi pasar menjadi lebih mudah. Persaingan bukan harga dapat menjadi substitusi bagi kompetisi harga. persaingan bukan harga dapat dilakukan jika harga di pasar sudah stabil dan terdapat kesepakatan harga, biasanya persaingan ini dilakukan dalam bentuk wujud rancang produk, advertensi dan sebagainya. Kondisi terakhir yang dapat
55
menyebabkan terjadinya kolusi adalah informasi. Informasi dapat mempermudah kerjasama antar perusahaan, semakin baik informasi semakin cepat perusahaan dapat mendeteksi adanya pemotongan harga yang dilakukan perusahaan lain. Sistem informasi yang baik juga dapat membantu mempertahankan harga yang sudah ditetapkan.
6.1.3
Analisis Kinerja Industri Manufaktur Kinerja suatu industri mencerminkan bagaimana pengaruh kekuatan pasar
terhadap harga dan efisiensi. Tingkat keuntungan suatu perusahaan dapat dilihat dari kinerja perusahaannya. Tingkat keuntungan dapat dilihat melalui Price Cost Margin (PCM) dan tingkat efisiensi dapat dilihat melalui efisiensi-X (XEFF). Nilai PCM diperoleh melalui perbandingan selisih antara nilai tambah dan upah dengan nilai output total dalam industri manufaktur. Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran 9, diketahui bahwa selama periode 2000-2004 rata-rata tingkat keuntungan yang diperoleh industri manufaktur mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Rata-rata tingkat keuntungan yang diperoleh tersebut adalah sebesar 32,36 persen. Tingkat keuntungan terbesar yang diperoleh selama periode tersebut adalah sebesar 34,08 persen pada tahun 2000 dan tingkat keuntungan terendah yang diterima sebesar 29,67 persen pada tahun 2001. Penurunan tersebut disebabkan adanya peningkatan biaya input yang digunakan dalam proses produksi industri, sehingga meskipun tingkat produksi mengalami peningkatan pada tahun 2001 tetapi penggunaan biaya input yang digunakan lebih besar dari penggunaan output sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh industri manufaktur mengalami penurunan. Namun pada tahun 2002
56
sampai tahun 2004 tingkat keuntungan tersebut mengalami peningkatan kembali meskipun peningkatannya tidak sebesar tahun 2000. Pengukuran XEFF diperoleh dari perbandingan nilai tambah dengan nilai input dalam industri manufaktur. Pada Lampiran 10 dapat dilihat nilai rata-rata XEFF dari tahun 2000 sampai 2004 sebesar 78,54 persen. Nilai XEFF tertinggi pada industri manufaktur berada pada tahun 2003 sebesar 85,40 persen. Nilai XEFF yang
tinggi
tersebut
mencerminkan
kemampuan
industri
untuk
meminimumkan jumlah biaya input yang digunakan untuk proses produksi, artinya perusahaan dikelola dengan baik.
6.2
Analisis Panel Data Analisis panel data digunakan untuk melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja dalam industri manufaktur. Estimasi ini dilakukan dengan menggunakan program software Eviews 5 dan metode panel data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model efek tetap (fixed effect model). Pemilihan model efek tetap ini dimaksud untuk melihat heterogenitas tiap individu dari industri manufaktur, membiarkan intersep bervariasi antar individu dan perbedaan nilai konstanta diasumsikan sebagai perbedaan antar unit individu. Dasar statistik pemilihan model efek tetap yang digunakan untuk mengestimasi PCM yaitu Uji Hausman (Hausman Test). Berdasarkan Uji Hausman maka didapatkan nilai statistik Hausman sebesar 28,32 (nilai X2 sebesar 12,59) dengan nilai probabilitas (P-Value) sebesar 0,00 yang berarti kita tolak hipotesis untuk memilih model efek acak. Berdasarkan hasil pengujian tersebut
57
maka model efek tetap digunakan untuk mengestimasi PCM. Hasil estimasi dengan menggunakan model efek tatap dijelaskan dalam Tabel 6.1. Tabel 6.3. Hasil Estimasi dengan Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) Variabel Koefisien Standar Error t-Statistik Probabilitas C -50,96 77,23 -0,66 0,51 CR4 0,03 0,02 1,28 0,21 XEFF 0,25 0,02 12,18 0,00 LOG(PROD) 7,07 2,94 2,40 0,02 GROWTH -1,87 0,29 -6,39 0,00 LOG(EX) -0,73 1,59 -0,46 0,65 LOG(IM) 0,27 0,19 1,44 0,16 AR(1) -0,41 0,12 -3,49 0,00 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0,99 Mean dependent var 53,05 Adjusted R-squared 0,99 S.D. dependent var 40,38 S.E. of regression 4,41 Sum squared resid 1147,79 F-statistic 258,26 Durbin-Watson stat 2,01 Prob(F-statistic) 0,00 Unweighted Statistics R-squared 0,90 Mean dependent var 31,92 Sum squared resid 1472,59 Durbin-Watson stat 1,83 6.2.1 Indikator Kebaikan Model Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh pada Tabel 6.1, menurut Gujarati (1995), model ekonometrika yang baik harus memenuhi kriteria ekonometrika dan kriteria statistik. Berdasarkan kriteria ekonometria, model harus sesuai dengan asumsi klasik yang artinya harus terbebas dari gejala multikolinearitas, autokoralasi dan heteroskedastisitas. Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji koefisien determinasi (R2), uji F dan uji t. Nilai R-Square (R2) atau koefisien determinasi sebesar 0.99 yang menunjukan bahwa 99 persen keragaman PCM pada industri manufaktur dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya (CR4, XEFF, PROD, GROWTH, EX dan IM),
58
sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Hal ini diperkuat dengan probabilitas F-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen dan tingkat α = 5 persen yaitu sebesar 0,00 yang berarti bahwa minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Untuk uji signifikan individu (uji-t) maka menggunakan t-statistik dengan taraf nyata α = 5 persen dengan derajat bebas 131 yang memiliki t kritis sebesar 1,64 dan membandingkan dengan nilai mutlak t-statistik dari hasil estimasi fungsi PCM. Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil probabilitas tstatistik dalam regresi. Model pada Tabel 6.1 menunjukan tidak terdapat multikolinearitas. Berdasarkan hasil estimasi PCM terdapat 4 variabel dari 7 variabel penjelas yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Kriteria ekonometrika kedua adalah Autokorelasi, pada Tabel 6.1 tidak ditemukan adanya autokorelasi dimana nilai Durbin Watson, 2
dalam mengestimasi
model diberi perlakuan Cross Section Weights, serta White Heteroskedasticity, maka adanya heteroskedastisitas dapat diabaikan.
59
6.2.2
Hasil Estimasi Berdasarkan hasil estimasi model PCM yang diperoleh, variabel bebas
XEFF, PROD, GROWTH dan AR(1) berpengaruh nyata pada taraf 5 persen (α = 0,05) terhadap PCM. Hasil estimasi menunjukan bahwa variabel CR4, XEFF, PROD dan IM, berpengaruh positif, sedangkan variabel GROWTH dan EX mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat keuntungan (PCM) pada industri manufaktur di Indonesia. Nilai koefisien dapat dilihat pada Tabel 6.1. Untuk variabel yang mempunyai pengaruh terbesar dalam meningkatkan kinerja (PCM) adalah produktivitas (PROD) dan efisiensi-X (XEFF). Sementara variabel konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4), pertumbuhan nilai produksi (GROWTH), ekspor (EX) dan impor (IM) tidak signifikan terhadap peningkatan keuntungan pada industri manufaktur. Variabel CR4 tidak signifikan terhadap peningkatan PCM pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05). Hal ini disebabkan semakin banyak perusahaan yang masuk ke dalam pasar atau industri maka keuntungan yang diperoleh akan semakin berkurang karena semakin banyak yang ikut menikmati keuntungan tersebut. Sehingga peningkatan CR4 tidak berpengaruh terhadap peningkatan keuntungan dan peningkatan kinerja dalam industri manufaktur. Nilai koefisien Efisiensi-X (XEFF) signifikan pada taraf 5 persen dengan nilai koefisien sebesar 0,25 menunjukan bahwa setiap peningkatan efisiensi-X sebesar satu persen, maka tingkat keuntungan yang dihasilkan akan meningkat sebesar 0,25 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa semakin efisien suatu perusahaan maka memungkinkan perusahaan tersebut untuk memproduksi
60
sebuah produk dengan sumber daya yang lebih sedikit atau sama, karena efisiensi merupakan pengurangan biaya sehingga biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam jangka panjang akan lebih murah. Dengan adanya efisiensi maka tingkat keuntungan perusahaan akan meningkat. Produktivitas (PROD) signifikan pada taraf 5 persen dengan nilai koefisien sebesar 7,07 menunjukan bahwa setiap peningkatan produktivitas sebesar satu persen maka tingkat keuntungan yang dihasilkan oleh industri manufaktur akan meningkat sebesar 7,07 persen. Hal ini berarti bahwa Produktivitas yang meningkat menunjukan kinerja yang meningkat pula maka akan menambah penghasilan dan keuntungan bagi perusahaan itu sendiri. Variabel Pertumbuhan produksi (GROWTH) signifikan terhadap PCM pada taraf 5 persen, namun tidak sesuai dengan hipotesis awal, bahwa peningkatan pertumbuhan produksi akan meningkatkan keuntungan industri manufaktur. Kondisi ini diduga karena rata-rata pertumbuhan nilai produksi lebih kecil dari rata-rata pertumbuhan nilai biaya input (Tabel 6.2). Jadi walaupun
produksi
mengalami pertumbuhan tetapi pertumbuhan biaya input lebih tinggi dari pertumbuhan nilai produksinya, sehingga biaya yang dihasilkan justru akan menurun. Tabel 6.4.
Pertumbuhan Rata-rata Nilai Produksi dan Nilai Input Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2000-2004 Tahun Pertumbuhan Nilai Produksi Pertumbuhan Nilai Input 2000 0,23 0,41 2001 0,32 0,28 2002 0,35 0,73 2003 0,02 0,16 2004 0,36 0,31 Rata-rata 0,26 0,38
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
61
Volume koefisien Ekspor (EX) tidak signifikan terhadap PCM pada taraf 5 persen. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal, bahwa peningkatan ekspor akan meningkatkan keuntungan industri manufaktur, karena bahan baku yang tersedia dalam negeri tidak mencukupi untuk kegiatan produksi industri maka komponen bahan baku yang digunakan pada industri manufaktur masih diimpor sehingga biaya produksi menjadi lebih mahal. Oleh karena itu peningkatan ekspor tidak berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh industri. Variabel impor (IM) tidak signifikan terhadap peningkatan PCM pada taraf 5 persen. Hal ini dikarenakan dengan adanya peningkatan biaya produksi maka akan berdampak pada kenaikan harga jual produk, sehingga bisa menyebabkan terbukanya peluang barang-barang impor yang lebih murah. Adanya peningkatan jumlah impor yang beredar di pasar dalam negeri akan meningkatkan persaingan bagi industri lokal dan keuntungan yang diperoleh menjadi semakin kecil.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada industri manufaktur di
Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan untuk menjawab tujuan penelitian yaitu sebagai berikut: 1.
Berdasarkan hasil analisis Stucture Conduct Performance didapatkan bahwa industri
manufaktur
mempunyai
struktur
oligopoli,
dimana
tingkat
oligopolinya bervariasi antara oligopoli ketat, sedang dan longgar. Dari segi kinerja industri manufaktur dapat dilihat dari margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) dan nilai efisiensi-X (XEFF). Perilaku pasar dalam industri manufaktur dapat dilihat dari strategi harga, strategi produk dan promosi, strategi distribusi dan perilaku kolusi. 2.
Berdasarkan hasil analisis panel data dengan menggunakan Hausman test, pemilihan model pada penelitian ini adalah dengan menggunakan model efek tetap (fixed effect model). Pemilihan model efek tetap ini digunakan untuk mengestimasi PCM. Berdasarkan hasil estimasi dengan model efek tetap yang diperoleh bahwa variabel yang mempunyai pengaruh terbesar dalam peningkatan kinerja (PCM) adalah produktivitas (PROD) dan efisiensi-X (XEFF). Sedangkan variabel konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4), pertumbuhan nilai produksi (GROWTH), ekspor (EX) dan impor (IM) tidak signifikan terhadap peningkatan keuntungan.
63
7.2
Saran Dari kesimpulan yang diperoleh, maka saran yang dapat dituliskan untuk
peningkatan kinerja industri manufaktur di Indonesia adalah sebagai berikut: 1.
Terbentuknya struktur pasar oligopoli dan adanya perusahaan dominan dalam industri manufaktur di Indonesia, merupakan bentuk persaingan yang tidak sempurna. Hal ini memerlukan pengawasan yang ketat dari pemerintah untuk menghindari perilaku-perilaku yang tidak sehat seperti adanya kolusi misalnya melalui pengawasan dari Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).
2.
Bagi para produsen dalam industri manufaktur harus dapat meningkatkan produksi dan mengurangi biaya input yang digunakan. Hal ini disebabkan pertumbuhan tingkat produksi industri manufaktur di Indonesia dirasakan masih
rendah
dari
pertumbuhan
nilai
inputnya.
Misalnya
dengan
menggunakan mesin yang berteknologi tinggi dalam proses produksi. 3.
Untuk penelitian selanjutnya, perlu menganalisis daya saing industri manufaktur di pasar luar negeri karena selama ini industri manufaktur sudah menjadi perioritas utama dalam rencana pembangunan nasional bagi kebanyakan negara berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Andiani, I. 2006. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Susu di Indonesia, [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Azhari. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Harga Pada Industri Pengolahan di Indonesia Tahun 1983-2002 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2006. Indikator Ekonomi Oktober 2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2005. Laporan Perekonomian Indonesia 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2004. Statistik Industri Besar dan Sedang 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2003. Statistik Industri Besar dan Sedang 2003. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2002. Statistik Industri Besar dan Sedang 2002. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2001. Statistik Industri Besar dan Sedang 2001. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2000. Statistik Industri Besar dan Sedang 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2000. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 1999. Indeks Harga Perdagangan Besar 1999-2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Baltagi, H. B. 1995. Econometric Analysis of Panel Data. Biddles Ltd, Great Britain. Bank Indonesia. 2006. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia Februari 2006. Bank Indonesia, Jakarta.
65
Daryanto, A. 2003. Contestable Market & Bogasari [Bahan Kuliah Ekonomi Industri]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Departemen Perindustrian. 1984. Undang-undang No 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. www.depperin.go.id. [19 Juli 2007]. Dumairy. 2000. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Sumarno dan Zain [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Handriyas. 2002. Model Pendugaan Fungsi Permintaan Untuk Tipe Data Panel (Studi Kasus : Fungsi Permintaan Mobil ) [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi. LP3ES, Jakarta. Irawan. 2005. Pengaruh Sektor Industri Pengolahan terhadap Pendapatan Nasional dan Kesempatan Kerja di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jaya, W. K. 2001. Ekonomi Industri. Edisi Ke-2. BPFE, Yogyakarta. Lipsey, et al. 1997. Pengantar makroekonomi. Jilid 2. Jaka Wasana dan Kirbrandoko [Penerjemah]. Binarupa-Aksara, Jakarta. Mason, E. 1939. Price and Production Policies of Large-Scales Enterprises. American Economic Review Volume 29, PP 61-74. Puspasari, C. 2006. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mie Instan di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Safitri, S. 2006. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sembiring, I. R. 2006. Pengaruh Aset Bank Terhadap Efektivitas Kebijakan Moneter: Relevansi terhadap Konsolidasi Arsitektur Perbankan di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Shepherd, W. G. 1990. The Economics of Industrial Organization. Third Edition. Prentice Hall, New Jersey.
66
Tambunan, T. H. 2001. Industrialisasi di Negara Berkembang: Kasus Indonesia.. Ghalia Indonesia, Jakarta. Tasrif, A. S. 2005. Analisis Derajat Kolusi Industri Manufaktur Indonesia Periode 1990-1992 [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok. Universitas Indonesia. 2006. Pelatihan Data Panel. Laboratorium Computasi Pengolahan Data Panel, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok. Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wie, T.K. 1988. Industrialisasi Indonesia, Analisis dan Catatan Kecil. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
LAMPIRAN
68
Lampiran 1. Kode ISIC 15 16 17 18 19 20
Kode Klasifikasi Industri Manufaktur Indonesia Menurut ISIC Golongan Pokok (Division) 2 Digit Industri
Makanan dan minuman Tembakau Tekstil Pakaian jadi Kulit dan barang dari kulit Kayu, barang dari kayu (tidak termasuk furnitur) dan barang-barang anyaman
21 22 23
Kertas dan barang dari kertas Penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman Batu bara, pengilangan minyak bumi, pengolahan gas bumi dan bahan bakar nuklir
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Kimia dan barang-barang dari bahan kimia Karet dan barang dari karet Barang galian bukan logam Logam dasar Barang-barang dari logam kecuali mesin dan peralatannya Mesin dan perlengkapannya Mesin dan peralatan kantor, akuntansi dan pengolahan data Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya Radio, televisi dan peralatan komunikasi serta perlengkapannya Peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam dan lonceng
34 35 36
Kendaraan bermotor Alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih Furnitur dan industri pengolahan lainnya
Sumber: BPS, 2000
69
Lampiran 2. ISIC 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 Rata-rata
Pertumbuhan Nilai Produksi Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) Pertumbuhan Produksi (%) 2000 2001 2002 2003 2004 3,64 6,45 11,00 18,78 1,52 4,42 50,50 -18,35 -5,64 -11,01 -4,02 -19,37 3,17 4,84 12,31 2,44 3,56 -10,84 4,07 -6,81 1,98 8,45 23,32 -14,34 -15,09 -0,36 -2,47 -1,45 6,73 -9,65 106,46 13,65 26,75 -19,32 2,50 3,86 -72,15 34,54 6,77 48,75 18,13 -69,48 109,68 87,43 -12,48 11,36 27,56 -5,32 -5.,05 -2,66 18,37 -14,17 12,27 2,94 42,85 39,86 8,06 -7,05 2,68 37,93 25,96 34,46 -17,39 6,56 28,22 51,87 -44,34 694,98 -81,40 30,38 26,78 512,16 -69,24 -9,76 21,94 -94,09 324,17 -42,00 -11,19 387,56 -3,76 21,97 -23,32 13,70 89,90 58,98 -48,48 9,52 18,77 90,85 -23,13 -27,54 -35,26 40,64 -10,22 201,91 -16,58 74,91 -45,46 77,04 49,79 6,40 -11,58 35,31 -22,93 3,34 -2,93 13,52 -11,08 8,29 22,90 31,81 35,08 2,09 35,87
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
70
Lampiran 3.
Pertumbuhan Nilai Tambah Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) Pertumbuhan Nilai Tambah (%) ISIC 2000 2001 2002 2003 2004 15 9,20 28,69 16,59 4,85 19,04 16 7,05 34,20 24,94 1,20 -2,41 17 8,09 -27,56 35,41 4,06 12,34 18 6,42 0,82 39,33 0,39 -3,70 19 -0,16 17,39 1,71 11,67 -14,90 20 2,31 40,34 5,41 -3,81 -4,57 21 32,23 90,09 27,20 11,87 2,02 22 30,03 -82,27 179,38 11,70 47,78 23 27,27 -81,43 370,26 82,73 -51,89 24 12,25 17,70 11,32 20,53 -11,36 25 15,00 -2,12 13,41 15,70 66,61 26 41,74 61,04 0,70 2,46 21,73 27 16,07 55,93 -8,89 -9,17 9,09 28 46,02 -36,47 26,79 31,69 16,10 29 73,10 552,21 -66,84 -18,30 32,50 30 -73,80 17,33 77,17 77,21 -2,80 31 65,99 -27,36 -20,75 7,02 52,47 32 80,64 -40,37 68,11 5,31 13,07 33 13,59 -44,60 -34,41 10,14 15,73 34 203,51 35,79 38,73 -25,38 53,44 35 32,58 -57,88 83,94 52,26 -20,77 36 2,41 10,98 14,69 10,35 7,14 Rata-rata 29,62 25,56 41,10 13,84 11,67
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
71
Lampiran 4.
Pertumbuhan Ekspor Industri Manufaktur Indonesia (20002004) Pertumbuhan Ekspor (%) ISIC 2000 2001 2002 2003 2004 15 4,22 -8,94 15,02 6,84 43,22 16 14,55 35,34 -23,62 -19,42 33,73 17 29,24 4,51 -23,52 -5,42 18,68 18 38,18 0,44 -22,10 -2,74 19,85 19 28,64 -3,31 -41,72 2,76 33,22 20 10,08 -0,17 -18,53 -9,18 12,43 21 36,78 -7,34 -4,66 -5,89 8,04 22 36,70 15,48 -25,37 -5,99 32,69 23 74,21 -9,23 -14,92 10,69 28,67 24 32,65 -9,23 -8,51 5,85 28,01 25 27,05 0,34 6,95 27,08 45,25 26 31,32 6,38 -16,53 -2,42 25,72 27 32,88 -6,49 -22,71 18,41 84,51 28 38,32 4,25 -28,78 -1,57 20,42 29 46,71 -12,05 -4,22 -2,00 27,93 30 360,02 -61,99 35,10 -54,43 12,92 31 79,37 6,23 -12,27 7,85 43,16 32 228,93 -6,40 -9,06 -15,73 34,53 33 40,26 10,02 -24,71 -12,24 12,85 34 70,50 12,43 33,99 22,64 71,27 35 19,78 -19,71 4,32 10,19 -5,70 36 25,22 -2,41 -16,71 -2,36 21,90 Rata-rata 59,35 -2,36 -10,12 -1,23 29,70
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
72
Lampiran 5. ISIC
Nilai Ekspor (EX) Industri Manufaktur Indonesia (20002004 Ekspor (rupiah) 2000
2001
2002
2003
2004
15
41.835.951.644.010
38.095.660.772.000
43.817.634.203.100
46.813.115.632.655
16
2.057.557.115.630
2.784.770.175.200
2.126.960.064.240
1.713.997.584.870
2.292.189.953.630
17
38.886.802.210.165
40.639.759.056.000
31.081.171.040.640
29.396.895.352.620
34.887.145.332.660
18
26.020.284.907.745
26.136.028.016.800
20.360.258.458.080
19.803.042.780.445
23.733.381.054.880
19
8.509.078.390.900
8.227.793.392.000
4.794.780.687.840
4.926.913.137.320
6.563.806.505.880
20
30.899.535.708.615
30.846.927.498.400
25.131.651.238.740
22.825.035/861.725
25.662.580.608.910
21
26.255.235.293.185
24.328.532.571.200
23.194.782.233.580
21.827.821.378.705
23.582.795.134.320
22
1.442.680.778.605
1.665.943.323.200
1.243.291.977.540
1.168.772.437.120
1.550.810.059.720
23
79.023.640.271.920
71.727.064.437.600
61.023.138.970.740
67.549.019.477.410
86.912.743.333.430
24
29.509.661.290.765
26.785.480.477.600
24.505.147.401.480
25.938.812.889.475
33.203.527.746.150
25
15.133.668.874.185
15.185.645.248.800
16.241.467.860.000
20.639.238.928.495
29.977.998.740.090
26
7.980.563.233.055
8.489.434.272.800
7.086.511.326.300
6.914.880.066.265
8.693.120.147.650
27
17.787.069.051.570
16.633.341.264.800
12.855.174.901.380
15.221.939.131.255
28.086.403.944.810
28
5.359.212.274.670
5.586.921.142.400
3.979.150.328.100
3.916.652.751.830
4.716.386.385.220
29
4.830.536.554.095
4.248.531.861.600
4.069.424.177.340
3.987.881.816.000
5.101.499.006.080
30
5.596.665.103.275
2.127.140.620.800
2.873.719.229.760
1.309.581.930/525
1.478.837.475.500
31
12.343.151.186.185
13.112.588.164.000
11.503.612.523.820
12.406.421.434.945
17.760.604.748.470
32
48.712.924.065.870
45.597.263.556.000
41.468.376.819.180
34.946.250.783.605
47.014.194.501.620
33
3.034.207.947.850
3.338.288.085.600
2.513.325.935.700
2.205.710.693.360
2.489.084.889.150
34
663.839.881.090
746.354.159.200
1.000.064.669.580
1.226.455.799.825
2.100.547.073.160
35
4.217.868.774.980
3.386.668.064.000
3.532.852.627.680
3.893.017.591.470
3.671.237.379.860
67.047.086.725.770
36
24.048.278.328.125
23.469.293.390.400
19.547.178.152.880
19.086.473.538.355
23.266.729.555.910
Rata-rata
19.734.018.767.568
18.779.974.070.473
16.543.167.037.623
16.714.451.409.013
21.808.759.559.221
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
73
Lampiran 6. ISIC
Nilai Impor (IM) Industri Manufaktur Indonesia (20002004) Impor (rupiah) 2000
2001
2002
2003
2004
15
19.725.757.511.820
21.380.706.422.400
43.817.634.203.100
19.250.606.485.425
23.469.618.009.250
16
1.121.085.240.365
1.215.141.896.800
2.126.960.064.240
821.287.124.475
1.146.996.575.960
17
8.112.903.968.870
8.793.559.278.400
31.081.171.040.640
3.744.578.339.615
4.574.142.996.140
18
174.102.512.755
188.709.341.600
20.360.258.458.080
71.772.305.545
186.858.353.960
19
2.872.587.733.710
3.113.591.707.200
4.794.780.687.840
1.483.024.777.710
1.628.034.466.740
20
354.555.341.930
384.301.777.600
25.131.651.238.740
388.108.517.510
708.187.197.700
21
12.395.938.481.675
13.435.931.236.000
23.194.782.233.580
7.601.997.685.660
10.812.379.770.530
22
313.067.089.655
339.332.749.600
1.243.291.977.540
259.067.151.755
330.385.184.410
23
33.918.741.806.800
36.764.451.776.000
61.023.138.970.740
30.591.628.632.665
55.114.525.685.580
24
40.837.798.272.865
44.264.002.296.800
24.505.147.401.480
31.775.521.540.595
52.159.357.185.870
25
3.739.550.751.970
4.053.291.070.400
16.241.467.860.000
2.972.249.516.115
3.729.450.340.700
26
1.812.386.721.485
1.964.442.095.200
7.086.511.326.300
1.868.961.472.495
2.803.775.807.680
27
20.659.884.973.570
22.393.205.182.400
12.855.174.901.380
15.750.101.344.645
32.548.778.263.490
28
5.069.811.146.970
5.495.157.470.400
3.979.150.328.100
4.514.349.310.995
5.987.997.869.220
29
23.912.188.672.290
25.918.370.212.800
4.069.424.177.340
18.691.467.214.015
30.258.502.272.820
30
239.295.068.605
259.371.413.600
2.873.719.229.760
695.020.086.285
764.588.980.140
31
4.988.043.506.875
5.406.529.700.000
11.503.612.523.820
5.226.016.166.845
7.829.030.408.840
32
6.005.215.444.155
6.509.040.189.600
41.468.376.819.180
8.164.325.231.600
13.843.244.035.630
33
4.091.989.484.875
4.435.298.660.000
2.513.325.935.700
1.648.562.872.455
2.532.222.363.140
34
3.423.648.253.460
3.710.885.027.200
1.000.064.669.580
3.726.083.220.370
7.520.143.259.880
35
14.512.098.326.345
15.729.632.370.400
3.532.852.627.680
8.261.459.862.245
11.193.979.312.860
36
1.538.456.993.965 9.537.232.150.228
1.667.530.248.800 10.337.385.551.055
19.547.178.152.880 16.543.167.037.623
1.838.670.528.120 7.697.493.608.506
2.353.065.549.240 12.340.693.813.172
Rata-rata
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
74
Lampiran 7. ISIC 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 Rata-rata
Nilai CR4 Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) CR4 (%) 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata 11.84 10.72 10.45 14.29 13.97 12.25 67.63 63.16 65.70 64.42 62.63 64.71 14.15 14.32 14.14 15.17 20.37 15.63 6.95 11.85 6.60 9.36 7.99 8.55 24.45 26.63 21.08 23.96 25.99 24.42 9.22 8.28 8.04 15.61 9.69 10.17 50.14 47.40 53.58 38.31 37.53 45.39 80.77 36.21 44.38 48.26 33.23 48.57 56.98 44.20 76.40 67.70 60.33 61.12 15.92 18.85 7.67 18.13 15.79 15.27 20.86 15.63 15.07 13.16 12.91 15.52 23.88 30.55 33.04 33.48 35.20 31.23 48.52 52.93 41.04 38.78 39.97 44.25 35.12 7.75 49.81 24.10 26.25 28.61 32.27 25.87 12.40 33.44 32.07 27.21 89.96 86.55 84.80 92.71 94.48 89.70 50.22 30.68 21.07 25.70 39.66 33.47 26.11 42.50 42.67 35.89 38.92 37.22 70.23 69.40 69.20 61.91 68.87 67.92 59.24 52.84 63.41 48.31 57.99 56.36 75.80 74.96 72.76 75.06 70.89 73.89 9.91 8.94 19.49 12.77 18.42 13.91 40.01 35.46 37.85 36.84 37.42 37.52
Sumber: BPS (2000-2004), diolah
75
Lampiran 8. ISIC 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 Rata-rata
Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata 4.98 3.91 3.36 4.18 5.10 4.31 40.65 28.04 37.20 41.59 16.89 32.87 4.86 4.31 3.85 4.24 10.27 5.51 2.05 4.30 2.07 3.03 2.49 2.79 8.24 7.97 6.02 6.99 9.16 7.67 2.64 2.65 2.36 6.97 2.83 3.49 22.84 14.22 31.28 11.82 11.88 18.41 71.83 16.72 12.98 14.90 13.76 26.04 24.21 25.47 34.36 22.06 35.94 28.41 4.26 6.76 2.12 5.15 4.73 4.60 7.91 6.95 6.30 3.90 4.61 5.93 6.73 10.40 9.42 9.25 14.71 10.10 30.89 33.34 23.80 18.92 27.24 26.84 18.59 2.56 20.78 16.34 16.79 15.01 13.67 10.49 3.38 12.35 16.17 11.21 41.09 71.64 46.86 44.84 49.52 50.79 33.97 10.49 7.84 11.73 16.37 16.08 10.78 16.21 15.92 14.16 12.77 13.97 23.60 19.91 39.17 25.96 29.48 27.62 33.13 29.72 41.53 30.98 18.80 30.83 36.77 29.23 54.09 42.90 56.74 43.95 2.66 2.26 11.65 3.61 5.36 5.11 89.26 71.51 83.27 71.17 76.32 78.31
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
76
Lampiran 9. ISIC 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 Rata-rata
Nilai Price Cost Margin (PCM) Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) PCM (%) 2000 2001 2002 2003 2004 22,70 22,69 26,69 22,59 25,44 62,17 48,53 66,29 67,92 69,68 28,31 21,23 26,34 25,21 24,81 24,02 19,27 29,95 26,71 25,52 28,02 30,97 20,19 31,09 21,75 29,20 37,22 36,45 31,74 30,84 20,91 31,27 30,07 37,46 38,25 50,38 17,98 35,65 32,12 35,92 27,63 18,86 46,46 37,52 20,24 33,98 28,41 30,44 36,56 30,61 23,61 22,28 18,60 -0,20 26,73 35,17 46,94 46,30 43,88 40,54 25,68 23,03 26,96 19,96 17,43 33,23 24,51 4,40 31,41 27,28 31,00 30,14 23,74 23,58 30,37 41,39 41,61 52,85 57,95 44,39 37,97 31,95 25,41 23,09 20,52 30,50 26,34 42,83 34,82 21,01 46,89 30,66 22,53 15,56 24,27 45,80 64,68 45,86 61,79 54,99 43,58 19,57 41,83 45,23 41,80 27,53 14,58 23,43 28,05 26,97 34,08 29,67 32,88 33,37 31,79
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
77
Lampiran 10. ISIC 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 Rata-rata
Nilai Efisiensi-X (XEFF) Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) XEFF (%) 2000 2001 2002 2003 2004 41,26 46,41 43,52 35,40 41,85 193,14 102,99 246,46 263,69 287,33 51,56 39,22 49,50 46,88 44,93 59,28 48,20 80,77 66,56 67,36 69,00 69,39 44,81 64,92 57,13 58,10 83,57 83,84 64,52 65,35 30,73 51,87 46,92 72,11 73,98 117,16 41,95 97,83 86,20 72,58 47,34 35,23 114,08 80,49 34,96 65,36 49,39 54,16 73,74 57,76 43,05 43,68 37,94 41,91 48,71 78,66 125,92 127,34 114,76 83,32 42,18 46,35 43,04 31,26 26,16 64,37 64,48 6,13 62,77 48,99 67,31 67,61 61,86 48,56 61,87 151,09 205,23 228,47 202,29 200,61 72,27 59,17 51,86 45,58 32,44 53,54 52,46 88,06 66,32 30,37 126,00 67,81 57,89 37,64 50,13 95,11 222,98 92,25 207,32 139,83 83,36 28,35 79,50 92,56 79,65 68,00 68,13 56,03 73,25 64,66 76,27 73,65 81,47 85,40 75,91
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
78
Lampiran 11. ISIC 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 Rata-rata
Nilai Produktivitas (PROD) Industri Manufaktur Indonesia (2000-2004) Produktivitas (rupiah) 2000 2001 2002 2003 2004 55.630,67 60.832,41 63.041,91 70.275,86 63.376,27 51.510,02 76.355,05 60.754,89 57.718,44 54.230,92 36.752,33 32.190,82 34.678,35 37.809,35 42.275,58 17.857,38 18.077,90 17.561,62 19.928,54 18.422,44 19.450,64 20.458,71 26.598,45 24.121,09 23.386,74 32.176,11 32.046,39 30.825,62 37.535,36 34.484,10 124.014,83 133.681,64 184.121,06 132.774,57 129.937,64 72.438,59 24.745,19 32.925,43 40.270,45 65.062,48 116.065,57 33.987,98 59.263,16 96.413,06 92.543,98 112.322,12 125.509,08 133.990,30 121.362,65 123.157,69 41.543,79 32.064,72 34.808,31 37.297,15 54.171,54 39.406,73 44.089,84 41.332,37 43.619,83 60.022,61 185.140,52 238.962,48 215.647,94 236.453,34 285.770,33 60.701,68 32.712,46 252.559,75 52.404,82 58.668,09 45.491,10 97.283,59 34.577,80 47.400,34 49.620,69 15.543,02 6.489,49 11.440,19 8.300,48 8.797,72 102.233,85 90.042,06 60.562,29 64.131,21 117.386,65 99.879,03 110.278,77 110.654,66 93.270,12 157.582,27 35.406,03 29.490,36 22.959,49 28.463,81 31.769,05 198.280,66 172.362,06 258.016,18 122.772,76 184.929,77 176.608,70 141.490,96 120.216,52 151.309,26 141.563,39 15.209,20 15.228,59 18.386,07 16.900,51 19.090,40 75.166,48 71.290,02 82.951,02 70.024,23 82.556,83
Sumber: BPS, 2000-2004 (diolah)
79
Lampiran 12.
Hasil Estimasi dengan Menggunakan Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) Dependent Variable: PCM Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/04/07 Time: 09:53 Sample (adjusted): 2001 2004 Cross-sections included: 22 Total panel (balanced) observations: 88 Iterate coefficients after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Convergence achieved after 28 total coef iterations Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C CR4 XEFF LOG(PROD) GROWTH LOG(EX) LOG(IM) AR(1)
-50.95778 0.020007 0.247634 7.072731 -1.874730 -0.733184 0.274075 -0.410581
77.22718 0.015715 0.020339 2.941628 0.293466 1.590926 0.189876 0.117412
-0.659843 1.273103 12.17526 2.404359 -6.388241 -0.460853 1.443436 -3.496933
0.5119 0.2080 0.0000 0.0194 0.0000 0.6466 0.1542 0.0009
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.991907 0.988066 4.410693 258.2580 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
53.04740 40.37547 1147.798 2.009275
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.904513 1472.593
Mean dependent var Durbin-Watson stat
Lampiran 13.
Hasil Hausman Test Alpha (α) Chi-Square (X2) Nilai H P-Value
0,05 1,59 28,32 0,00
31.92498 1.832437