ANALISIS GENDER DALAM KINERJA PENYULUH DI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN BOGOR
IKA PUSPITASARI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ANALISIS GENDER DALAM KINERJA PENYULUH DI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN BOGOR
Oleh: IKA PUSPITASARI I34050360
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama : Ika Puspitasari NIM : I34060360 Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi : Analisis Gender dalam Kinerja Penyuluh di Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor. dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS NIP. 19511121 197903 2 003
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS GENDER DALAM KINERJA PENYULUH DI BADAN PELAKSANA
PENYULUHAN
KEHUTANAN
(BP4K)
PERTANIAN,
KABUPATEN
PERIKANAN
BOGOR”
BELUM
DAN
PERNAH
DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH
GELAR
AKADEMIK
TERTENTU.
SAYA
JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2010
Ika Puspitasari I34060360
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Yogyakarta, 4 Juni 1987 sebagai anak tertua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Wagino Hadi Suwito dan Ibu Maryah. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar hingga SMU di Pekanbaru, Riau. Pendidikan yang ditempuh penulis adalah SD Negeri 028 Hangtuah pada tahun 1993-1999, SMP Negeri 1 Siakhulu pada tahun 1999-2002, dan SMA Negeri 2 Siakhulu pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan setelah melewati satu tahun di Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis berhasil diterima pada mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dan minor Perkembangan Anak di Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan diantaranya: sebagai Sekretaris Komisi Eksternal Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Ekologi Manusia periode 2006-2007, Staf Departemen Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB periode 2007-2008, Sekretaris Menteri Pengembangan Sumberdaya Manusia BEM KM IPB periode 2009, dan ketua divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia Forum Silaturahmi Mahasiswa 165 (FOSMA) komisariat IPB. Selain di kelembagaan, penulis juga aktif pada berbagai kegiatan kepanitiaan, baik di dalam maupun di luar kampus. Penulis tercatat menjadi asisten matakuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) selama dua semester pada tahun 2009 dan mata kuliah Pendidikan Orang Dewasa pada tahun 2010. Prestasi yang pernah diraih penulis diantaranya Finalis Lomba Karya Tulis Alqur’an pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 2009 di Universitas Brawijaya, Malang. Penulis juga mengikuti pendidikan non formal di bidang keguruan yaitu Sekolah Guru Ekselensia Indonesia pada tahun 2009-2010 dan sebagai tindak lanjutnya, saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Al Hikmah Bogor.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Gender dalam Kinerja Penyuluh di Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor”. Terimakasih yang setulus-tulusnya penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini. Terimakasih kepada Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan bimbingan baik moril dan materil, meluangkan waktu, dan berbagi ilmu sehingga penulis dapat lebih memahami topik bahasan dan dapat menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga BP4K Kabupaten Bogor khususnya Bapak Endang SN Ristiana, Bapak Kobarsih DA, Bapak Asep Kurnia, Bapak Sunarto dan Ibu Eroh Rohayati atas kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Skripsi ini bertujuan mengetahui profil BP4K Kabupaten Bogor baik dalam hal struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi, serta profil sumberdaya baik penyuluh, khususnya karakteritik individu dan rumahtangga mereka. Selain itu juga untuk mengetahui relasi gender di lingkungan BP4K. Selanjutnya skripisi ini bertujuan untuk mengetahui kinerja penyuluh sesuai kategori jabatan fungsional yakni Penyuluh Pertanian Terampil dan Penyuluh Pertanian Ahli menurut perspektif gender dalam hubungannya dengan pelaksanaan penyuluhan pertanian yang meliputi tahapan persiapan pelaksanaan dan
evaluasi, serta dalam
pengembangan profesi mereka dan permasalahan yang dihadapi oleh penyuluh dalam melaksanakan tupoksi mereka. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyadari skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan dari berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut telah membantu penulis dengan menyumbangkan pemikiran, memberikan masukan, dan mendukung penulis baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS., selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, motivasi, saran, mencurahkan waktu dan pemikirannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Ir. Dwi Sadono, MS selaku dosen Pembimbing Akademik dan atas kesediaanya menjadi dosen penguji utama. 3. Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS yang telah berkenan menjadi dosen penguji dari Departemen Sains KPM. 4. Dosen-dosen pada Departemen Sains KPM yang telah memberikan pengajaran kepada penulis selama perkuliahan. 5. Keluarga besar BP4K Kabupaten Bogor yang dengan keramahannya telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam melengkapi data-data yang diperlukan selama penelitian. 6. Pemerintah Provinsi Riau yang telah memberikan beasiswa selama penulis menempuh pendidikan di IPB. 7. Keluarga penulis, Mamak, Bapak, De’ Iwan, De’ Ningrum dan De’ Ikhsan. Terima kasih atas doa, kasih sayang dan kesabaran yang tak berujung. 8. Gilang dan Lingga selaku rekan sebimbingan atas semangat dan motivasi yang diberikan. 9. Keluarga Besar Wisma Vamdi, BEM KM IPB GEMILANG, KPM 42, Sahabat 165. Terima kasih atas kerjasama, semangat dan motivasi yang diberikan. 10. Pihak-pihak lain yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. 11. Mbak Maria, Mbak Icha, Bu Susi, Bu Neni Dokis, seluruh tenaga kependidikan pada Departemen SKPM-FEMA, yang sangat membantu
penulis terkait masalah administrasi dan kepustakaan selama penulis menyelesaikan studi. Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
ABSTRACT IKA PUSPITASARI. GENDER ANALYSIS ON EXTENSION WORKER PERFORMANCE IN BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN BOGOR. (Supervised by SITI SUGIAH MUGNIESYAH).
Agriculture sector has central position in economic development in Indonesia. However, its development is facing obstacles such as low quality of human resources. According to government acknowledgment, cooperative extension system has been less function. Recent study also acknowledged about the extension worker performance. However, those studies did not include analysis of extension worker performance based on gender perspective whereas it was mentioned in President Instruction No. 9 Year 2000 that all stakeholders should include gender mainstreaming in policy and development programs. It is also stated in Law of Agriculture Extension No. 16 Year 2006 about agriculture extension with gender equality strategy. Based on these reasons, research on agriculture extension performance with gender perspective has been conducted. The purposes of this study were to: analyze the profile of BP4K Kabupaten Bogor on organization structure, job description and function and also human resources profile; extension worker performance based on gender perspective and; problems faced by extension worker to do their duties. This research involved 49 respondent consist of 42 male extension workers and seven female extension workers. This research used quantitative approach with survey method. Field observation was also conducted to see extension worker performance. Generally, skilled extension worker and expert extension worker have access toward all extension programs. It was found that the majority of all extension workers did not participate in PUAP and Prima Tani project. The problems faced by extension workers were low amount of extension worker resource, minimum facilities and inappropriate of PEMENPAN No. 2 Year 2008 with actual condition. Keywords: Gender Analysis, extension worker performance, cooperative extension system.
RINGKASAN IKA PUSPITASARI. ANALISIS GENDER DALAM KINERJA PENYULUH DI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN BOGOR. (Di bawah bimbingan SITI SUGIAH MUGNIESYAH).
Sektor pertanian menempati posisi sentral dalam pembangunan ekonomi Indonesia mengingat sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencaharian di bidang pertanian. Namun demikian, sebagaimana diketahui pembangunan pertanian
di
Indonesia
masih
menghadapi
permasalahan
sebagaimana
dikemukakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009. Permasalahan tersebut antara lain masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang tercermin dari pengakuan pemerintah bahwa lembaga penyuluhan pertanian sudah kurang berfungsi sehingga menurunkan efektivitas pembinaan, dukungan dan diseminasi teknologi dalam rangka meningkatkan penggunaan teknologi dan efisiensi usaha petani. Hal tersebut di atas diperkuat dengan hasil studi-studi terdahulu mengenai kinerja penyuluh. Namun demikian, studi-studi terdahulu tampaknya belum menganalisis dari perspektif gender, padahal melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 pemerintah menginstruksikan kepada departemen-departemen untuk melaksanakan
pengarusutamaan
gender
(PUG)
di
dalam
perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Hal tersebut diperkuat dengan Undang-Undang Penyuluhan Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 7 yang menjelaskan bahwa strategi penyuluhan disusun dan ditetapkan oleh pemerintah meliputi kesetaraan gender. Sehubungan dengan hal di atas, diperlukan studi tentang kinerja penyuluh menurut perspektif gender, khususnya di lingkungan BP4K Kabupaten Bogor. Adapun tujuan studi ini adalah untuk menganalisis profil BP4K Kabupaten Bogor baik dalam hal struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi, serta profil sumberdaya baik penyuluh, khususnya karakteristik individu dan rumahtangga mereka serta menganalisis relasi gender di lingkungan BP4K. Tujuan selanjutnya adalah untuk menganalisis kinerja penyuluh sesuai kategori jabatan fungsional yakni Penyuluh Pertanian Terampil dan Penyuluh Pertanian Ahli dalam
penyelenggaraan pelaksanaan penyuluhan pertanian yang meliputi tahapan persiapan pelaksanaan dan evaluasi, serta dalam pengembangan profesi mereka. Terakhir, dalam studi ini ingin dianalisisi permasalahan yang dihadapi oleh penyuluh dalam melaksanakan tupoksi mereka. Sesuai dengan kebutuhan penelitian ini, maka populasi yang diteliti adalah tenaga penyuluh pertanian PNS yang ada BP4K dan BP3K di Kabupaten Bogor. Berdasarkan data dari lapangan, responden penelitian ini berjumlah 49 orang yang terdiri dari 42 orang penyuluh laki-laki dan tujuh orang penyuluh perempuan. Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Survei dilakukan di BP4K dan 12 BP3K di Kabupaten Bogor. Penulis melakukan pengamatan berpartisipasi dan magang dalam melihat kinerja penyuluh. Sesuai dengan pasal empat PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008, terdapat empat kegiatan penyuluhan pertanian yaitu persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan serta pengembangan penyuluhan pertanian. Analisis gender dalam dalam kinerja penyuluh akan dijelaskan berikut ini. Secara umum, baik PPT maupun PPA laki-laki dan perempuan akses terhadap seluruh kegiatan pada persiapan. Selanjutnya, persentase PPT yang akses terhadap pelaksanaan lebih tinggi dibandingkan dengan PPA. Pada kategori penyuluh terampil tidak satupun penyuluh perempuan yang akses terhadap Evaluasi dan Pelaporan, sedangkan pada kategori penyuluh ahli hanya satu orang PPAP yang akses terhadap kegiatan ini. Secara umum, mayoritas penyuluh laki-laki maupun perempuan tidak berpartisipasi pada PUAP dan Prima Tani. Diduga hal ini karena tidak semua wilayah menerima proyek PUAP dan Prima Tani pada tahun 2009. Selanjutnya secara umum manfaat yang diterima baik pada penyuluh laki-laki maupun penyuluh perempuan pada semua jenjang berada di atas rata-rata, yakni antara Rp2.847.199,- sampai dengan Rp3.476.600,-. Adapun permsalahan yang dihadapi penyuluh di Kabupaten Bogor adalah kurangnya sumberdaya penyuluh, minimnya fasilitas, tidak sesuainya aturan dalam PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 dengan kondisi di lapangan dan lemahnya administrasi penyuluh.
ix
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8
Tabel 9 Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Luas Lahan Menurut Ketinggian di Kabupaten Bogor Tahun 2009 .............................................................................................. Jumlah dan Persentase Luas Lahan Menurut Tipe Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 ...................................... Jumlah dan Persentase Penduduk Kabupaten Bogor Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009.................................................................................... Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat Kesejahteraan Keluarganya di Kabupaten Bogor Tahun 2009.................................................................................... Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 ................................................ Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Lapangan Usaha dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 ......................... Perbandingan IPM, IPG dan IDG Jawa Barat dan Kabupaten Bogor, Tahun 2004-2007 .............................................................. Distribusi Kelembagaan BP3K Menurut Wilayah Kerja dan Distribusi Penyuluhnya di Kabupaten Bogor, Tahun 2010 ................................................................................... Distribusi Penyuluh Menurut Jenjang Jabatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 (dalam persen) ........................ Distribusi Penyuluh Menurut Kelompok Umur, Jenjang Jabatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 (dalam persen) ........................................................................................... Distribusi Penyuluh Menurut Tingkat Pendidikan, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 (dalam persen) ............................................................................... Distribusi Penyuluh Menurut Golongan Kepangkatan, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 (dalam persen) ............................................................................... Distribusi Penyuluh Menurut Bidang Keahlian, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 (dalam persen) ............................................................................... Distribusi Responden Penyuluh Menurut Jenis Kelamin dan Jabatan Fungsional di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) ............................................................................... Distribusi Responden Penyuluh Menurut Kelompok Umur, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) ...............................................
23 24
26
27 27 28 30
38 40
41
41
42
43
46
46
x
Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Tabel 20
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23
Tabel 24
Tabel 25
Tabel 26
Tabel 27
Tabel 28
Tabel 29
Distribusi Responden Penyuluh Menurut Frekuensi Menikah, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) ............................................. Distribusi Responden Penyuluh Menurut Umur Perkawinan Pertama, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) ............................ Distribusi Responden Penyuluh Menurut Tingkat Pendidikan, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun2010 (dalam persen) .............................................. Distribusi Responden Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor Menurut Tingkat Pendidikan, Jenjang Jabatan dan Jenis Kelamin, Tahun 2010 (dalam persen) ........................................... Distribusi Responden Penyuluh Menurut Golongan Kepangkatan, Jenjang Jabatan dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) .......................... Distribusi Responden Penyuluh Menurut Lama Bekerja, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) ........................................................... Distribusi Responden Penyuluh Menurut Bidang Keahlian, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) ............................................... Distribusi Responden Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor Menurut Frekuensi Mengikuti Pelatihan, Tahun 2009 (dalam persen) ........................................................................................... Distribusi Responden Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor Menurut Frekuensi Mengikuti Seminar, Tahun 2009 (dalam persen) ........................................................................................... Distribusi Responden Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor Menurut Frekuensi Mengikuti Forum Komunikasi Penyuluh, Tahun 2009 (dalam persen) ........................................................... Distribusi Responden Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor Menurut Jumlah Penghargaan yang Diterima, Tahun 2009 (dalam persen) ............................................................................... Distribusi Responden Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor Menurut Karya Ilmiah yang Dibuat Selama Masa Kerja, Tahun 2009 (dalam persen) ...................................................................... Anggota Rumahtangga Penyuluh Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) ........................................................................................... Anggota Rumahtangga Penyuluh Menurut Jabatan Fungsional, Jenis Pekerjaan dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) ...........................................................
47
48
49
50
51
51
52
53
54
54
55
55
57
58
xi
Tabel 30
Tabel 31
Tabel 32
Tabel 33
Tabel 34
Tabel 35
Tabel 36
Tabel 37
Tabel 38
Tabel 39
Tabel 40
Tabel 41 Tabel 42
Tabel 43
Anggota Rumahtangga Penyuluh Menurut Jabatan Fungsional, Status Perkawinan dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) ............................................... Anggota Rumahtangga Penyuluh Menurut Jabatan Fungsional, Tingkat Pendidikan Formal dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) ............................ Rumahtangga Responden Penyuluh Menurut Jabatan Fungsional, Penguasaan Lahan Usahatani dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 .......................................... Persentase Responden Penyuluh Menurut Akses, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin dalam Persiapan Penyuluhan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 .......................................... Persentase Responden Penyuluh Menurut Akses, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin dalam Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 ...................... Persentase Responden Penyuluh Menurut Akses, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin dalam Evaluasi dan Pelaporan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 .......................................... Persentase Responden Penyuluh Menurut Akses, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin dalam Pengembangan Penyuluhan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 .................. Persentase Responden Penyuluh Menurut Penentu Keputusan, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin dalam Persiapan Penyuluhan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 .................. Persentase Responden Penyuluh Menurut Penentu Keputusan, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin dalam Pelaksanaan Penyuluhan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 .................. Persentase Responden Penyuluh Menurut Penentu Keputusan, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin dalam Evaluasi dan Pelaporan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 ..................... Persentase Responden Penyuluh Menurut Penentu Keputusan, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin dalam Pengembangan Penyuluhan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 .................. Persentase Responden Penyuluh Menurut Partisipasi dalam PUAP, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin, Tahun 2009 ........ Persentase Responden Penyuluh Menurut Partisipasi dalam Prima Tani, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin, Tahun 2009.................................................................................... Persentase Responden Penyuluh Menurut Kategori Manfaat, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin, Tahun 2009 ....................
59
60
62
64
66
69
71
72
73
74
75 76
77 78
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman Teks
Gambar 1
Keadaan Umum Lokasi Penelitian ...........................................
Gambar 2
Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Kabupaten
22
Bogor ........................................................................................
33
Gambar 3
Lampiran...................................................................................
91
Gambar 4
Lampiran...................................................................................
92
Gambar 5
Lampiran...................................................................................
93
Gambar 6
Lampiran...................................................................................
94
vi
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................... DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
vi ix xii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian ................................................................
1 1 2 3 3
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ...................................................... 2.1 Kinerja dan Kompetensi .......................................................... 2.2 Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja ....................................... 2.3 Tupoksi Penyuluh Pertanian Menurut PERMENPAN Nomor Tahun 2008 .............................................................................. 2.4 Definisi Gender dan Peranannya ............................................. 2.5 Gender dalam Pembangunan Pertanian ................................... 2.6 Hasil-hasil Studi Mengenai Kinerja Penyuluh di Indonesia .... 2.7 Kerangka Pemikiran................................................................. 2.8 Definisi Operasional ................................................................
5 5 6 7 8 11 13 14 15
BAB III PENDEKATAN LAPANG ...................................................... 3.1 Metode Penelitian ..................................................................... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 3.3 Penentuan Responden ............................................................... 3.4 Teknik Pengolahan dan Analisa Data .......................................
18 18 19 19 19
BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN......................... 4.1 Sejarah Bogor............................................................................ 4.2 Lokasi dan Kondisi Geografis .................................................. 4.3 Keadaan Penduduk Kabupaten Bogor ...................................... 4.4 Hasil Pembangunan Sumberdaya Manusia Kabupaten Bogor .
21 21 22 25 29
BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR ........................................................... 5.1 Organisasi Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor .............. 5.2 Profil Penyuluh di Lingkungan BP4K di
32 32
vii
Kabupaten Bogor ..................................................................... 5.2.1 Distribusi Penyuluh Menurut Jabatan dan Jenis Kelamin ................................................................ 5.2.2 Distribusi Penyuluh Menurut Kelompok Umur .......... 5.2.3 Distribusi Penyuluh Menurut Tingkat Pendidikan ....... 5.2.4 Distribusi Penyuluh Menurut Golongan Kepangkatan ................................................................ 5.2.5 Distribusi Penyuluh Menurut Bidang Keahlian ............ 5.3 Relasi Gender di BP4K Kabupaten Bogor................................ BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PENYULUH PERTANIAN DI BP4K KABUPATEN BOGOR ........................................................... 6.1 Karakteristik Individu Penyuluh ................................................. 6.1.1 Distribusi Penyuluh Menurut Jenjang Jabatan ............. 6.1.2 Distribusi Penyuluh Menurut Jabatan Fungsional dan Kelompok Umur ................................................... 6.1.3 Distribusi Penyuluh Menurut Status Perkawinan. ........ 6.1.4 Distribusi Penyuluh Menurut Tingkat Pendidikan ................................................................... 6.1.5 Distribusi Penyuluh Menurut Golongan Kepangkatan ................................................................. 6.1.6 Distribusi Penyuluh Menurut Lama Bekerja ................ 6.1.7 Distribusi Penyuluh Menurut Bidang Keahlian ............ 6.1.8 Distribusi Penyuluh Menurut Motivasi ......................... 6.2 Karakteristik Rumahtangga Penyuluh ...................................... 6.2.1 Rata-rata Jumlah Anggota Rumahtangga ..................... 6.2.2 ART Penyuluh Menurut Kelompok Umur ................... 6.2.3 ART Penyuluh Menurut Jenis Pekerjaan ...................... 6.2.4 ART Penyuluh Menurut Status Perkawinan ................. 6.2.5 ART Penyuluh Menurut Tingkat Pendidikan Formal ... 6.2.6 ART Penyuluh Menurut Tingkat Kekayaan ................. 6.2.7 ART Penyuluh Menurut Luas Lahan Usahatani ........... BAB VII ANALISIS GENDER DALAM KINERJA PENYULUH DI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN BOGOR ......................................................... 7.1 Akses Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor dalam Penyelenggaraan Penyuluhan ............................................... 7.1.1 Persiapan .......................................................................
37 37 38 39 40 41 41
43 43 43 44 45 47 48 49 50 50 54 54 54 56 57 57 58 59
61 61 61
viii
7.1.2 Pelaksanaan .................................................................. 7.1.3 Evaluasi dan Pelaporan ................................................. 7.1.4 Pengembangan Penyuluhan Pertanian .......................... 7.2 Kontrol Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor dalam Penyelenggaraan Penyuluhan .................................................... 7.2.1 Persiapan ....................................................................... 7.2.2 Pelaksanaan .................................................................. 7.2.3 Evaluasi dan Pelaporan ................................................. 7.2.4 Pengembangan Penyuluhan Pertanian .......................... 7.3 Partisipasi Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor ........................ 7.3.1 Partisipasi Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor dalam Kegiatan Pendampingan Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) ............................. 7.3.2 Partisipasi Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor dalam Kegiatan Prima Tani ......................................... 7.4 Manfaat Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor dalam Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian ............................................. 7.5 Penyuluh dalam Menjalankan Tupoksinya ................................. 7.6 Permasalahan yang Dihadapi Penyuluh dalam Menjalankan Tupoksi Sesuai Jenjang Jabatan ..........................
64 67 68 69 70 71 72 73 74
74 75 75 77 78
BAB VIII PENUTUP.............................................................................. 8.1 Kesimpulan ................................................................................ 8.2 Saran...........................................................................................
81 81 84
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. LAMPIRAN ............................................................................................
86 89
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian menempati posisi sentral dalam pembangunan ekonomi Indonesia mengingat sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencaharian di bidang pertanian. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, diketahui sekitar 60,6 juta rumahtangga atau 88 persen masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian. Namun demikian, sebagaimana diketahui pembangunan pertanian di Indonesia masih menghadapi permasalahan sebagaimana dikemukakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009. Permasalahan tersebut antara lain masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang tercermin dari pengakuan pemerintah bahwa lembaga penyuluhan pertanian sudah kurang berfungsi sehingga menurunkan efektivitas pembinaan, dukungan dan diseminasi teknologi dalam rangka meningkatkan penggunaan teknologi dan efisiensi usaha petani. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, salah satu permasalahan pembangunan pertanian di Indonesia adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Hal ini diperkuat dengan hasil studi Hadiyanti (2002) yang menemukan bahwa pengetahuan penyuluh mengenai metode dan programa penyuluhan, pembinaan kelompok tani serta akses penyuluh terhadap jaringan komunikasi masih tergolong rendah. Selain itu, permasalahan yang dihadapi adalah banyaknya penyuluh pertanian yang sudah berumur lanjut (Leiliani 2002). Hal senada juga ditemukan pada studi Suhanda (2008) bahwa dari total 2.502 orang penyuluh yang ada di Jawa Barat, 70 persen diantaranya sudah hampir memasuki masa pensiun. Studi-studi mengenai kinerja penyuluh di Indonesia sebenarnya sudah banyak dilakukan. Studi-studi tersebut antara lain mengukur kinerja penyuluh dan menganalisis hubungan karakteristik penyuluh dengan kinerja, Namun demikian studi-studi yang telah dilakukan masih memiliki beberapa kekurangan diantaranya hampir semua studi tidak mengukur kinerja berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) menurut setiap kategori jabatan fungsional penyuluh. Padahal,
menurut
Peraturan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
2
(PERMENPAN) Nomor 2 Tahun 2008 maupun peraturan sebelumnya seperti Surat Keputusan Menteri Negara Bidang Pengawasan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 19 Tahun 1999 telah dijelaskan Tupoksi masing-masing jenjang jabatan penyuluh, sehingga pengukuran kinerja seharusnya dilakukan sesuai dengan kriteria jabatan fungsional penyuluh. Di pihak lain, studi terdahulu antara lain mengukur kinerja hanya berdasarkan aspek pengetahuan penyuluh, belum sampai pada pelaksanaannya. Studi-studi terdahulu tampaknya juga belum menganalisis dari perspektif gender, padahal melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 pemerintah menginstruksikan
kepada
departemen-departemen
untuk
melaksanakan
pengarusutamaan gender (PUG) di dalam perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Hal tersebut diperkuat dengan Undang-Undang Penyuluhan Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 7 yang menjelaskan bahwa strategi penyuluhan disusun dan ditetapkan oleh pemerintah meliputi kesetaraan gender. Sehubungan dengan hal di atas, diperlukan studi tentang kinerja penyuluh menurut perspektif gender, khususnya di lingkungan BP4K Kabupaten Bogor. 1.2 Perumusan Masalah Lembaga penyuluhan di tingkat kabupaten sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Sistem Penyuluhan Nomor 16 Tahun 2006 adalah Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) dan di Jawa Barat telah dibentuk di Kabupaten Bogor. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diketahui bagaimana profil BP4K Kabupaten Bogor, baik dalam struktur organisasi maupun profil SDMnya?
Di pihak lain, merujuk pada perspektif
gender, apakah ada kesetaraan gender bagi penyuluh dalam menduduki posisi di lingkungan BP4K ? Dalam hal sumberdaya manusia penyuluh, mereka memiliki karakteristik individu dan rumahtangga. Sehubungan dengan itu, bagaimanakah karakteristik individu dan rumahtangga penyuluh? Jabatan penyuluh pertanian telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 2 Tahun 2008, tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Beserta Angka Kreditnya yang meliputi Penyuluh Pertanian Terampil dan Penyuluh Pertanian Ahli. Di pihak lain, sejalan
3
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang SP3K, Pasal 7 berkenaan strategi penyuluhan yang berkesetaraan dan berkeadilan gender. Sehubungan dengan itu, bagaimanakah kinerja kedua kategori penyuluh tersebut menurut perspektif gender? Adakah permasalahan yang berhubungan dengan kinerja mereka? 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah penelitian tersebut di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis: 1. Profil BP4K Kabupaten Bogor baik dalam hal struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi, serta profil sumberdaya baik penyuluh, khususnya karakteritik individu dan rumahtangga mereka. Selain itu juga untuk mengetahui relasi gender di lingkungan BP4K. 2. Kinerja penyuluh sesuai kategori jabatan fungsional yakni Penyuluh Pertanian Terampil dan Penyuluh Pertanian Ahli menurut perspektif gender dalam hubungannya dengan pelaksanaan penyuluhan pertanian yang meliputi tahapan persiapan pelaksanaan dan evaluasi, serta dalam pengembangan profesi mereka. 3. Permasalahan yang dihadapi oleh penyuluh dalam melaksanakan tupoksi mereka. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1.
Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dalam menerapkan berbagai konsep dan teori berkenaan gender dan pembangunan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat BP4K.
2.
Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi studi terdahulu mengenai kinerja penyuluh dan menjadi bahan rujukan guna penelitian lebih lanjut.
3.
Bagi pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
untuk
meningkatkan
kualitas
sumberdaya
pertanian,
4
khususnya penyuluh pertanian serta bagi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang berwawasan gender.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Kinerja dan Kompetensi Bernandin dan Russel dalam Hadiyanti (2002) mendefinisikan kinerja sebagai catatan output yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan atau kegiatan tertentu dalam waktu tertentu. Menurut Rivai dan Basri (2005), kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral dan etika. Selain itu, terdapat beberapa definisi mengenai kinerja yang didefinisikan oleh beberapa ahli (www. wikipedia.com): 1. Kinerja atau
prestasi kerja
adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seseorang
dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2000). 2. Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya (Sulistiyani 2003 ). 3. Kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu (Hasibuan 2001). 4. Kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang, kinerja adalah suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan (Whitmore 1997). Hickerson dan Middleton dalam Hadiyanti (2002) menyatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki kinerja yang baik bila berkaitan dan memenuhi standar tertentu. Apabila telah terpenuhi, maka seseorang dikatakan profesional dalam bidangnya. Lebih lanjut, Hadiyanti mengutip pendapat Gilley dan Eggland (1989) bahwa profesional identik dengan kompetensi. Kompetensi dalam konsep yang luas harus berhubungan dengan praktek di tempat yang realistik dan harus diekspresikan sebagai hasil (Hickerson dan Middleton dalam Mugniesyah, forthcoming).
6
2.2 Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Terdapat definisi motivasi dari beberapa ahi sebagaimana dikutip Mugniesyah (forthcoming), diantaranya dikemukakan bahwa menurut Heller. motivasi merupakan kemauan untuk bertindak, sementara menurut Krench et al. motivasi merupakan pikiran dan tindakan individu yang merefleksikan keinginankeinginan (wants) dan tujuan (goals). Dirgagunarsa menyebutnya sebagai Tingkah Laku Bermotivasi, dan mengartikannya sebagai perilaku yang dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan diarahkan pada pencapaian suatu tujuan,
agar dengan demikian suatu kebutuhan terpenuhi dan kehendak
terpuaskan. Adapun Lussier dan Poulos (1998) menggambarkan proses motivasi terjadi ketika di dalam diri seseorang terdapat kebutuhan, hal tersebut akan menimbulkan kekuatan atau dorongan untuk melakukan sesuatu. Perilaku yang ditampilkan akibat dorongan tersebut akan menimbulkan kepuasan atau ketidakpuasan. Dalam hal kebutuhan individu manusia, menurut David McClelland (Mugniesyah,
forthcoming),
terdapat
tiga
kebutuhan
manusia.
Pertama,
disebutnya sebagai need for achievement (n-Ach) yang merupakan kebutuhan untuk berprestasi. Individu yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi dicirikan oleh keinginan untuk mengambil tanggung jawab memecahkan secara pribadi, berorientasi pada tujuan dan realistikdalam menyusun tujuan. Mereka adalah individu yang senang mencari tantangan, pekerja keras serta menghendaki umpan balik kinerja mereka secara konkret. Kedua, disebut sebagai need for affiliation (n-Aff) yang merupakan kebutuhan untuk berafiliasi. Dinyatakan bahwa individu yang memiliki kebutuhan untuk berafiliasi tinggi adalah mereka yang menyenangi kehidupan sosial dan menghendaki disenangi oleh orang lain, sehingga mereka cenderung juga senang mengikuti berbagai perkumpulan atau organisasi. Adapun yang ketiga disebutnya sebagai need for power (n-Pow) yang merupakan kebutuhan akan kekuasaan. Individu dengan n-Pow menghendaki memiliki kontrol terhadap situasi dan orang lain serta menyenangi konfrontasi dengan orang lain dan senang berkompetisi.
7
2.3
Tupoksi Penyuluh Pertanian Menurut PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 Definisi penyuluh pertanian juga diatur dalam PERMENPAN Nomor 2
Tahun 2008. Penyuluh pertanian dinyatakan sebagai jabatan fungsional yang memiliki ruang lingkup tugas, tanggung jawab, dan wewenang penyuluhan pertanian yang diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil yang diberi hak serta kewajiban secara penuh oleh pejabat yang berwenang. Berdasarkan peraturan tersebut, diatur pula mengenai klasifikasi jabatan fungsional penyuluh pertanian yaitu Penyuluh Pertanian Terampil dan Penyuluh Pertanian Ahli. Pada setiap kategori jabatan fungsional terdapat masing-masing empat jenjang jabatan, dari yang terendah sampai yang tertinggi. pada Penyuluh Pertanian Terampil berturut-turut dari yang terendah ke tertinggi mencakup: a) Penyuluh Pertanian Pemula, b) Penyuluh Pertanian Pelaksana, c) Penyuluh Pertanian Pelaksana Lanjutan, dan d) Penyuluh Pertanian Penyelia. Adapun pada Penyuluh Pertanian Ahli meliputi: a) Penyuluh Pertanian Pertama, b) Penyuluh Pertanian Muda, c) Penyuluh Pertanian Madya, d) Penyuluh Pertanian Utama. Kemajuan pertanian salah satunya dapat dilihat berdasarkan kinerja penyuluh. Penilaian kinerja merupakan cerminan bahwa seorang individu telah mampu melakukan tugas dan fungsi yang diamanahkan institusi kepadanya. Pada prinsipnya penilaian kinerja merupakan proses mengkategorikan hasil kerja dari setiap individu (Sapar, 2009). Kinerja penyuluh dapat dilihat berdasarkan sejauhmana seorang penyuluh melaksanakan Tupoksi yang telah diatur dalam peraturan pemerintah. Merujuk pada PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008, terdapat empat tugas pokok Penyuluh Pertanian yakni: 1. Persiapan, meliputi identifikasi potensi wilayah, memandu penyusunan rencana usaha petani (RUK, RKK, RKD, RKPD/PPP), penyusunan programa penyuluhan pertanian (tim) dan penyusunan rencana kerja tahunan penyuluh pertanian. 2. Pelaksanaan, meliputi penyusunan materi, perencanaan penerapan metode penyuluhan pertanian dan penumbuhan/pengembangan kelembagaan petani.
8
3. Evaluasi dan Pelaporan, meliputi evaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian dan evaluasi dampak penyuluhan pertanian. 4. Pengembangan
Penyuluhan
pedoman/juklak/juknis
Pertanian,
penyuluhan
meliputi
pertanian,
kajian
penyusunan kebijakan
pengembangan penyuluhan pertanian dan pengembangan metode/sistem kerja penyuluhan pertanian.
2.4 Definisi Gender dan Peranannya Menurut Mugniesyah (2007) istilah gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Konsep gender terkait dengan status dan peran laki-laki dengan perempuan yang berhubungan dengan budaya masyarakat, sementara seks atau jenis kelamin merupakan ciri-ciri biologis yang melekat pada seseorang, merupakan kodrat yang sejatinya tidak dapat dirubah. Selain perbedaan yang bersifat genital, laki-laki berbeda dengan perempuan karena berhubungan dengan aspek genetik (kromosom) serta hormonal. Kebanyakan laki-laki memiliki struktur kromosom XY, karena mereka mewarisi kromosom X dari ibu mereka dan kromosom Y dari ayah mereka. Adapun kebanyakan perempuan mempunyai struktur kromosom XX karena mereka mewarisi kromosom X dari kedua orang tuanya. Dengan demikian, hanya perempuan yang mewarisi kromosom X dari kedua orangtuanya, sementara laki-laki hanya mewarisi kromosom X dari ibunya.
Terdapat 3 hormon utama yang dimiliki setiap individu manusia, baik lakilaki maupun perempuan, yaitu androgen (testosteron), estrogen dan progesteron; hanya saja menunjukkan tingkat keragaman tertentu. Selanjutnya Mugniesyah juga mengutip pendapat Arliss (1994) yang menyatakan bahwa secara etimologi, androgen berasal dari kata andro yang maknanya laki-laki, sementara estro berasal dari kata estrus yang menunjuk pada
lamanya periode waktu yang
dibutuhkan mamalia perempuan untuk berovulasi dan “mate” (kawin). Berdasar asal kata tersebut, maka androgen tampaknya dominan ditemukan pada laki-laki, sementara estrogen dan progestogen ada pada perempuan. Laki-laki selamanya memiliki tingkat androgen yang lebih tinggi daripada perempuan, sebaliknya perempuan lebih tinggi dalam estrogen dan progestogen. Dengan demikian jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara biologis dan fisiologis berbeda, terbentuk
9
pada saat pembuahan terjadi, dimiliki sejak lahir, bersifat alamiah dan tidak bisa diubah. Permasalahannya adalah bahwa di dalam masyarakat, seringkali perbedaan seks mempengaruhi seseorang dalam mempersepsikan laki-laki dan perempuan, sehingga mengakibatkan perbedaan peranan gender. Fakih sebagaimana dikutip Mugniesyah
mengemukakan bahwa dalam rumahtangga laki-laki berperan
sebagai pencari nafkah, sedangkan perempuan sebagai ibu rumahtangga yang bekerja pada ranah domestik. Perbedaaan tersebut memunculkan ketidakadilan gender. Perempuan seringkali menjadi pihak yang dirugikan, karena perbedaan biologis seolah-olah menjadi legitimasi atas diskriminasi yang diterima oleh kaum perempuan. Perempuan dengan segala perannya di sektor publik justru memiliki beban kerja yang lebih berat dibandingkan dengan laki-laki yang hanya bekerja di sektor publik semata. Stereotipi tersebut menyebabkan laki-laki memiliki akses yang lebih besar untuk berkuasa, memimpin dan mengambil putusan. Kondisi ini menjadikan perempuan tersubordinasi, dan bersamaan dengan beban kerja yang tinggi dan stereotipe peran gender akan berimplikasi pada munculnya tindak kekerasan yang diterima perempuan. Terdapat sejumlah definisi yang dikemukakan oleh Mugniesyah (2007), diantaranya adalah sebagai berikut: a. Gender adalah perbedaan-perbedaan (dikotomi) sifat perempuan dan lakilaki yang tidak hanya berdasarkan biologis semata
tetapi
lebih pada
hubungan-hubungan sosial-budaya antara laki-laki dan perempuan dan lakilaki yang dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang lebih luas, masyarakat dan bernegara (Donnel 1998, Eviota 1993).Gender adalah sifatsifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya (Fakih 1994 ). b. Gender mengacu pada perbedaan-perbedaan dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang dipelajari, bervariasi secara luas diantara masyarakat dan budaya dan berubah sejalan dengan perkembangan waktu/zaman (ILO 2000). c. Gender adalah suatu konstruksi sosial yang bervariasi lintas budaya, berubah sejalan perjalanan waktu dalam suatu kebudayaan tertentu, bersifat
10
relasional, karena feminitas dan maskulinitas memperoleh maknanya dari fakta dimana masyarakat kitalah yang menjadikan mereka berbeda (Wood 2001). Dengan demikian, peranan gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai
status, lingkungan, budaya dan struktur
masyarakatnya. Moser dalam Mugniesyah (2007) mengemukakan tiga kategori peranan gender (triple roles), yaitu; a. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan laki-laki dan perempuan untuk memperoleh upah secara tunai atau sejenisnya. Termasuk produksi pasar dengan suatu nilai tukar, dan produksi rumahtangga/subsistem dengan suatu nilai guna, tetapi juga suatu nilai tukar potensial. Contohnya, kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal. b. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan keluarga. Misalnya, melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air, memasak, membersihkan rumah dan lain-lain. c. Peranan pengelolaan masyarakat dan politik. Peranan ini dibedakan menjadi peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), yaitu peranan yang mencakup semua aktifitas dalam tingkatan komunitas sebagai kepanjangan dari peran reproduktif, bersifat volunter tanpa upah. Peranan berikutnya adalah peranan pengelolaan masyarakat politik (kegiatan politik), biasanya dibayar (langsung atau tidak langsung) dan meningkatkan kekuasaan atau status. Peranan yang dilakukan berhubungan dengan apa yang disebut Agarwal dalam Mugniesyah (2007) sebagai relasi gender, yang diartikan sebagai hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang terlihat dalam lingkup gagasan (ide), praktek dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan. Menurut Mugniesyah, relasi gender merupakan peranan yang dilakukan laki-laki dan perempuan sesuai status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. Peranan dan relasi gender bersifat dinamis. Perubahan peranan gender sering terjadi sebagai respon terhadap
11
perubahan situasi ekonomi, sumberdaya alam dan politik. Namun demikian, tidak semua perubahan peranan bermakna perubahan dalam relasi gendernya. Itu sebabnya, banyak ahli gender dan pembangunan mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Adapun keadilan gender (gender equity) diartikan sebagai keadilan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan berdasar pada kebutuhan-kebutuhan mereka, mencakup perlakuan setara atau perlakuan yang berbeda, akan tetapi dalam koridor pertimbangan kesamaan dalam hak-hak, kewajiban, kesempatankesempatan dan manfaat. Adapun kesamaan gender (gender equity) adalah suatu konsep yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan keduanya memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa adanya pembatasan oleh seperangkat stereotipe, prasangka dan peranan gender yang kaku. 2.5 Gender dalam Pembangunan Pertanian Melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 diinstruksikan untuk melakukan pengarusutamaan gender pada proses pembangunan nasional. Hal ini lebih diperkuat dengan arah kebijakan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 pembangunan pertanian yang tertuang dalam Bab 19 mengenai Revitalisasi Pertanian. Revitalisasi pertanian ditempuh dengan empat langkah pokok yaitu peningkatan kemampuan petani dan penguatan lembaga
pendukungnya,
pengamanan
ketahanan
pangan,
peningkatan
produktivitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan serta pemanfaatan hutan untuk diversifikasi usaha dan mendukung produksi pangan dengan tetap memperhatikan kesetaraan gender dan kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan-kebijakan mengenai pengarusutamaan gender dalam tata cara implementasi belum sepenuhnya terlaksana. Berikut ini akan disajikan data mengenai kesenjangan-kesenjangan yang masih ada dalam pembangunan nasional. Pertama, berdasarkan data dari Pusat Penyuluhan Pertanian (1998), dari 11,8 juta orang anggota kelompok Taruna Tani, hanya 11 persen anggotanya perempuan. Selanjutnya, studi kasus yang dilakukan oleh Mizuno dan
12
Mugniesyah menunjukkan bahwa dari 170 rumahtangga lahan dalam petani, lakilaki akses terhadap sumberdaya lahan sawah maupun lahan kering. Secara umum, perempuan dan laki-laki akses pada bentuk gono-gini, yaitu pemilikan lahan secara membeli yang dilakukan pasangan suami-istri (bukan warisan), sementara rata-rata pemilikan lahan sawah pada perempuan (istri) sedikit lebih tinggi dibanding laki-laki pada pemilikan lahan kering. Dalam hal rumahtangga nelayan, adanya sumber kelautan dan pesisir memungkinkan masyarakat di sekitarnya memanfaatkan sumberdaya alam kelautan, tambak dan perairan umum sebagai sumber nafkah atau pendapatan. Perempuan nelayan akses dalam hal budi daya produksi, penangkapan dan pasca panen sekunder (pengolahan hasil panen atau tangkapan) dan bakulan. Namun karena ada anggapan bahwa laut itu “keras”, banyak hasil penelitian mengemukakan bahwa pekerjaan penangkapan ikan di laut hampir sepenuhnya dilakukan laki-laki, kecuali penangkapan ikan kecil yang nilai jualnya rendah; bahkan perempuan tidak mewarisi mantera-mantera yang diperlukan dalam penangkapan ikan sekalipun. Analisis gender dalam pembangunan perlu dilakukan untuk menjamin tercapainya tujuan kesetaraan gender, baik sebagai pelaku dalam proses pembangunan, maupun sebagai penikmat hasil pembangunan (Prasodjo dkk 2003). Lebih lanjut, analisis gender didefinisikan sebagai analisis sosial yang melihat perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi situasi dan posisi perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. Merujuk pada Longwe (1991) dan Rosalin dkk (2001), analisis gender dilakukan dengan memperhatikan empat faktor utama guna mengidentifikasi ada tidaknya kesenjangan gender. Keempat faktor tersebut adalah: 1. Faktor akses: apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses yang sama terhadap sumber-sumber daya pembangunan? 2. Faktor kontrol: apakah perempuan dan laki-laki memiliki kontrol (penguasaan) yang sama terhadap sumber-sumber daya pembangunan ?. 3. Faktor partisipasi: bagaimana perempuan dan laki-laki berpartisipasi dalam program-program pembangunan?, dan
13
4. Faktor manfaat: apakah perempuan dan laki-laki menikmati manfaat yang sama dari hasil pembangunan ? Dengan teknik analisis gender dapat diidentifikasi kesenjangan gender (gender gap) dan permasalahan gender (gender issues), yang akan menjadi dasar untuk memperkecil atau menghapus kesenjangan gender tersebut. 2.6 Hasil-Hasil Studi Mengenai Kinerja Penyuluh di Indonesia Studi mengenai kinerja penyuluh telah dilakukan antara lain oleh Rohmani (2001), Hadiyanti (2002), Leiliani (2006) dan Suhanda (2008). Rohmani (2001) menyatakan bahwa kinerja penyuluh hanya mencapai persentase 40,7 persen dari kinerja yang seharusnya. Kinerja penyuluh berbeda nyata dengan kinerja yang dituntut oleh jabatan fungsional penyuluh pertanian terampil. Faktor internal dan eksternal yang berpengaruh secara nyata terhadap kinerja penyuluh pertanian adalah jenjang jabatan fungsional, umur, golongan, masa kerja penyuluh, dan komoditas dominan di wilayah dominan. Sebesar 40,1 persen penyuluh pertanian memiliki motivasi yang tinggi dalam melaksanakan fungsi tugasnya, akan tetapi motivasi ini tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Akan tetapi, kinerja penyuluh berdasarkan tugas pokoknya berbeda sangat nyata dengan kinerja penyuluh menurut petani. Hadiyanti (2002) dalam studinya mengenai kinerja penyuluh menyatakan bahwa kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur umumnya masih tergolong rendah. Penelitian ini didasarkan atas pengetahuan penyuluh mengenai pengujian teknologi, programa penyuluhan, dan pembinaan kelompok tani, pengetahuan, mengenai prinsip penyuluhan pertanian,
sumber teknologi, dan
metode penyuluhan. Dari skala seratus persen, rata-rata pengetahuan penyuluh hanya mencapai 15,2 persen. Hanya tingkat keinovatifan penyuluh yang berada pada skor tinggi yaitu 63,1 persen. Adapun faktor internal dan eksternal yang terbukti berhubungan secara nyata dengan tingkat kinerja penyuluh adalah sikap tangung jawab, intensitas hubungan interpersonal dan tingkat ketersediaan sarana dan prasarana penyuluhan oleh lembaga penyuluhan. Selanjutnya, Leiliani (2006) menerangkan bahwa kinerja penyuluh dalam pelaksanaan tugas pokoknya cukup baik. Kinerja ini dipengaruhi oleh beberapa karakteristik penyuluh natara lain; lama masa kerja, jumlah tanggungan keluarga
14
(1-2 anak), tingkat pendidikan diploma tiga, berasal dari PTN, bidang keahlian tanaman pangan, mengikuti pelatihan lebih dari lima kali, memiliki motivasi kerja yang cukup, penghasilan relatif tinggi, sering melakukan kontak pribadi dengan petani dan tokoh masyarakat, sering menghadiri pertemuan antar PPL, bekerja di desa yang dekat dengan khalayak sasaran dan bekerja pada lembaga yang jelas kedudukannya baik tingkat kecamatan maupun kabupaten. Studi Suhanda (2008) di Jawa Barat menerangkan bahwa kinerja penyuluh secara umum termasuk dalam kategori sedang. Skor kinerja pada penyuluh yang bekerja di Kantor Penyuluhan (KP) lebih tinggi dari skor kinerja penyuluh pada organisasi non-KP. Bidang kerja yang menjadi prioritas utama pelaksanaan oleh penyuluh antara lain pelibatan masyarakat, penumbuhkembangan kelompok tani, penyusunan rencana kerja,
penerapan metode penyuluhan dan penyusunan
programa. Karakteristik penyuluh yang meliputi usia, masa kerja, jenis kelamin, jabatan, pendidikan formal dan pelatihan berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh. 2.7 Kerangka Pemikiran Penelitian yang berjudul “Analisis Gender dalam Kinerja Penyuluh di Badan Penyelenggara Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor” ini mengacu kepada beragam konsep, pendekatan-pendekatan, dan teori–teori dalam gender dan pembangunan serta dari beberapa hasil penelitian berkenaan dengan kinerja penyuluh dalam pelaksanaan tugas pokoknya sebagaimana telah dijelaskan di atas. Merujuk pada Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Sistem Penyuluhan Nomor 16 Tahun 2006 mengenai strategi penyuluhan pertanian berperspektif gender dan pembentukan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten, dalam penelitian ini akan dilihat profil BP4K dalam hal struktur organisasi, profil SDM dan relasi gendernya. Merujuk pada pendekatan analisis gender (Rosalin dkk 2001) dan PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008, akan dilihat kinerja penyuluh yang mencakup empat aspek, yaitu Akses, Kontrol, Partisipasi dan Manfaat yang diperoleh Penyuluh baik laki-laki maupun perempuan dalam hubungannya dengan penyelenggaraan programa penyuluhan pertanian, yang mencakup tahap
15
persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan serta pengembangan penyuluhan pertanian. Merujuk pada sejumlah penelitian berkenaan kinerja penyuluh pertanian, profil penyuluh pertanian akan dipelajari dari karakteristik pribadi dan rumahtangganya. Pada karakteristik pribadi, diantaranya dianalisis dari aspek jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, jenjang jabatan, dan jenjang kepangkatan. Dalam hal karakteristik rumahtangga mereka, merujuk pada Purwaningtyas (2008) dalam penelitian akan dianalisis rata-rata jumlah anggota rumahtangga, kelompok umur, jenis pekerjaan, status perkawinan, tingkat pendidikan, tingkat kekayaan dan luas lahan pertanian. Selain itu akan dilihat permasalahan yang dihadapi penyuluh dalam pelaksanaan tugas pokoknya. 2.8 Definisi Operasional 1. Akses penyuluh dalam penyelenggaraan programa penyuluhan adalah akumulasi semua aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh (laki-laki dan perempuan) dalam penyelenggaraan persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan, serta pengembangan penyuluhan pertanian sesuai Tupoksi PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 yang dilakukan dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Setiap butir kegiatan yang dilakukan penyuluh diberi skor 1. 2. Kontrol penyuluh dalam penyelenggaraan programa penyuluhan adalah peranserta penyuluh (laki-laki dan perempuan) dan pihak lainnya (khususnya sesuai struktur dalam BP4K) dalam
proses pengambilan
keputusan dalam semua aktivitas atau kegiatan dalam penyelenggaraan persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan, serta pengembangan penyuluhan pertanian sesuai Tupoksi PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 yang dilakukan dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Adapun kontrol ditentukan oleh atasan langsung, kepala badan, sendiri dan lainnya. 3. Mengacu pada Longwe (1991) dan Rosalin dkk (2001), partisipasi penyuluh adalah keikutsertaan penyuluh pertanian dalam beragam kegiatan proyek yang diselenggarakan oleh BP4K, dalam hal ini PUAP dan Prima Tani.
16
4. Manfaat yang diperoleh penyuluh adalah jumlah gaji dan semua tunjangan (dalam rupiah) yang diperoleh penyuluh sesuai kinerjanya dalam melaksanakan Tupoksi penyuluhan pertanian sesuai PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008. Manfaat dibedakan menjadi di atas rata-rata dan di bawah rata. 5. Motivasi adalah dorongan untuk melakukan sesuatu/berprestasi yang diukur berdasarkan jumlah penghargaan yang diperoleh penyuluh, karya ilmiah yang dihasilkan dan frekuensi mengikuti pelatihan, seminar serta forum komunikasi penyuluh. 6. Merujuk pada PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008, penghargaan adalah tanda kehormatan yang diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Negara Asing, atau organisasi ilmiah nasional /regional /internasional yang diakui oleh masyarakat ilmiah. Setiap penghargaan yang diperoleh diberi skor 1. 7. Karya tulis ilmiah adalah tulisan hasil pokok pikiran, pengembangan dan hasil kajian/penelitian yang disusun oleh perorangan atau kelompok, yang membahas suatu pokok bahasan ilmiah dengan menuangkan gagasan tertentu
melalui
identifikasi,
tinjauan
pustaka,
diskripsi,
analisis
permasalahan, kesimpulan dan saran-saran pemecahannya (PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008). Setiap karya ilmiah yang dibuat diberi skor 1. 8. Frekuensi mengikuti pelatihan atau seminar adalah frekuensi seorang penyuluh dalam mengikuti pelatihan atau seminar dalam kurun waktu satu tahun terakhir (tahun 2009) yang relevan dengan pekerjaan sebagai penyuluh pertanian. Setiap penyuluh mengikuti pelatihan diberi skor 1. 9. Frekuensi mengikuti Forum Komunikasi Penyuluh adalah frekuensi seorang penyuluh mengikuti kegiatan koordinasi dan sejenisnya dalam kurun waktu satu tahun terakhir (tahun 2009) dimana setiap kegiatan yang dilakukan diberi skor 1. 10. Jenis Kelamin adalah seks penyuluh dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. 11. Merujuk Badan Pusat Statistik (2000), status perkawinan dibedakan ke dalam belum kawin, kawin, cerai hidup, dan cerai mati.
17
12. Kondisi Perumahan adalah keadaan rumah penyuluh yang meliputi status pemilikan rumah, jenis atap, jenis dinding,
jenis lantai dan lain-lain.
Pemberian skor mengikuti keragaman jawaban responden. Jika kondisi rumah responden semakin menjauhi kriteria kemiskinan menurut BPS, maka kondisi rumah dikatakan layak. 13. Tingkat Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang telah diikuti oleh penyuluh, dibedakan ke dalam: SPMA, Diploma III, Diploma IV, dan Sarjana, 14. Masa Kerja adalah jumlah tahun yang sudah dialami penyuluh dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai penyuluh pertanian di lingkungan BP4K Kabupaten Bogor. 15. Tingkat Kepangkatan adalah posisi/jenjang jabatan seorang penyuluh, dibedakan ke dalam: III/a, III/b,III/c, III/d, IV/a dan IV/b.
BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, dimana metode yang digunakan adalah survei. Merujuk pada Singarimbun dan Efendi (1989) penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Survei dilakukan kepada penyuluh (PNS) di BP4K dan BP3K yang terdapat Kabupaten Bogor. Kuesioner di didistribusikan secara bertahap ke BP4K dan 12 kantor BP3K yang ada diseluruh Kabupaten Bogor yang meliputi BP3K wilayah Parung Panjang, Cigudeg, Ciseeng, Leuwiliang, Cibungbulang, Dramaga, Caringin, Cibinong, Ciawi, Gunung Putri, Jonggol dan Cariu. Metode survei dipilih karena metode ini berguna untuk pencarian fakta baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Terdapat tiga buah kuesioner, yaitu kuesioner A, B dan C. Kuesioner A adalah kuesioner yang memuat sejumlah pertanyaan berkenaan data profil rumahtangga penyuluh pertanian. Kuesioner ini disusun dengan cara mengadopsi dan
mengadaptasi
kuesioner
sejenis
yang
digunakan
dalam penelitian
Pemberdayaan Wanita Dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan untuk Meningkatkan Ekonomi dan Ketahanan Pangan Rumahtangga (Mugniesyah dkk 2003). Kuesioner B memuat sejumlah pertanyaan berkenaan data pribadi penyuluh dan tupoksi penyuluhan pertanian sesuai jenjang jabatan. Kuesioner C mencakup sejumlah pertanyaan berkenaan dengan partisipasi penyuluh dalam Kegiatan Pendampingan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) dan Prima Tani. Selain itu, penulis melakukan pengamatan berpartisipasi dan magang dalam melihat kinerja penyuluh. Data dalam penelitian ini mencakup data primer dan sekunder. Data primer terdiri atas profil rumahtangga penyuluh dan mencakup semua variabel penelitian. Adapun data sekunder berupa dokumen yang mencakup semua data dan informasi berkenaan dengan kondisi umum daerah penelitian, profil BP4K dan data tentang pelaksanaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Bogor, yang tertulis dalam beragam bentuk publikasi seperti Kabupaten Bogor dalam Angka, Laporan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian, Programa Penyuluhan Pertanian Kabupaten
19
Bogor serta Laporan Potensi dan Peluang Pengembangan Pertanian Kabupaten Bogor 2009. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di BP4K dan BP3K di Kabupaten Bogor dengan responden yang dipilih secara sengaja (purposive). Lokasi ini dipilih karena kebutuhan presisi data. Selain itu, Kabupaten Bogor merupakan wilayah yang paling dekat dengan Institut Pertanian Bogor dimana kerjasama sering dilakukan sehingga diharapkan studi ini dapat meningkatkan kerjasama antara kedua pihak. Pelaksanaan penelitian berlangsung selama dua bulan, dimulai bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2010. 3.3 Penentuan Responden Sesuai dengan kebutuhan penelitian ini, maka populasi yang diteliti adalah tenaga penyuluh pertanian PNS yang ada BP4K dan BP3K di Kabupaten Bogor yang tidak menduduki jabatan struktural di BP4K. Responden penelitian ini berjumlah 49 orang yang terdiri dari 42 orang penyuluh laki-laki dan tujuh orang penyuluh perempuan. Jumlah ini tidak sesuai dengan rencana penelitian yaitu 170 orang diakibatkan karena banyaknya kuesioner yang tidak valid. Hal ini karena tidak memungkinkan bagi penulis untuk melakukan wawancara kepada semua responden yang wilayah kerjanya tersebar di seluruh Kabupaten Bogor. Selain itu, dimungkinkan responden kurang memahami pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner sehingga banyak bagian kuesioner yang tidak terisi. Ketimpangan jumlah antara responden laki-laki dan perempuan disebabkan karena memang jumlah penyuluh perempuan di Kabupaten Bogor hanya 30 orang. Selain itu, banyak diantara penyuluh yang sedang menjalani tugas belajar sehingga tidak dapat ditemui untuk mengisi kuesioner. Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah organisasi dan individu, baik penyuluh laki-laki maupun penyuluh perempuan. 3.4 Teknik Pengolahan dan Analisa Data Data primer yang telah dikumpulkan melalui survei dientry ke dalam Program Microsoft Excel 2007. Dengan menggunakan software yang sama, selanjutnya data diolah ke dalam bentuk tabel-tabel frekuensi dan tabel silang
20
untuk melihat distribusi penyuluh sesuai aspek yang dikaji. Selanjutnya data dianalisis dengan mengacu pada konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini.
BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Bab ini mendeskripsikan mengenai sejarah singkat, keadaan umum Kabupaten Bogor yang meliputi lokasi dan kondisi geografis, klasifikasi dan tataguna lahan, keadaan umum produksi pertanian, keadaan umum penduduk, serta karakteristik hasil pembangunan sumberdaya manusia (SDM), khususnya mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) dan Indeks Kemiskinan Kabupaten Bogor. 4.1 Sejarah Bogor Cikal bakal masyarakat Bogor bermula dari sembilan kelompok pemukiman yang digabungkan oleh Gubernur Baron Van Inhof. Pada waktu itu Demang Wartawangsa berupaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kesejahteraaan rakyat yang berbasis pertanian dengan menggali terusan dari Ciliwung ke Cimahpar dan dari Nanggewer sampai ke Kalibaru/Kalimulya. Penggalian untuk membuat terusan kali dilanjutkan di sekitar pusat pemerintahan, namun pada tahun 1754 pusat pemerintahan yang terletak di Tanah Baru kemudian dipindahkan ke Sukaati (sekarang Empang). Terdapat banyak pendapat mengenai lahirnya nama Bogor. Ada yang mengatakan bahwa Bogor berasal dari kata Bahai atau Baqar yang berarti sapi. Hal ini dibuktikan dengan adanya patung sapi di Kebun Raya Bogor. Namun demikian, berdasarkan catatan sejarah bahwa pada 7 April 1952 dalam dokumen tertulis berjudul Hoofd Van De Negoricj Bogor telah muncul Kota Bogor. Perjalanan sejarah Kabupaten Bogor memiliki keterkaitan yang erat dengan zaman kerajaan yang pernah memerintah di wilayah tersebut.
Empat abad
sebelumnya Sri Baduga Maharaja dikenal sebagai raja yang mengawali kerajaan Pajajaran. Raja tersebut terkenal dengan “ajaran dari leluhur yang dijunjung tinggi yang mengejar kesejahteraan”.
Pelantikan Sri Baduga Maharaja dari
Pajajaran menjadi salah satu perhatian khusus. Saat itu upacara Kuwedabhakti dilangsungkan pada tanggal 3 Juni 1482 yang kemudian tanggal tersebut dijadikan sebagai hari jadi Bogor yang secara resmi dikukuhkan melalui sidang pleno DPRD Kabupaten Bogor pada tanggal 26 Mei 1972.
22
Pada tahun 1975, pemerintah pusat menginstruksikan bahwa Kabupaten Bogor harus memiliki pusat pemerintahan di wilayah sendiri. Atas dasar tersebut pemerintah Daerah Tingkat II Bogor mengadakan penelitian di beberapa wilayah untuk dijadikan calon ibukota sekaligus berperan sebagai pusat pemerintahan. Alternatif lokasi yang dipilih diantaranya adalah wilayah Kecamatan Ciawi, Leuwiliang, Parung dan Cibinong. Pada akhirnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1982 ditetapkan bahwa ibukota Kabupaten Bogor berkedudukan di Cibinong. 4.2 Lokasi dan Kondisi Geografis Kabupaten Bogor merupakan salah satu dari 17 kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten ini memiliki wilayah seluas 298.838,304 hektar yang terletak antara 6,19°-6,47° Lintang Selatan dan 106°1’-107°103’ Bujur Timur. Secara geografis, wilayah Kabupaten Bogor berbatasan dengan sejumlah kabupaten dan dua kota di Provinsi Jawa Barat, yaitu dengan: (a) Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi di sebelah Selatan, (b) Kabupaten Lebak di sebelah barat, (c) Kabupaten Tangerang di sebelah barat daya, (d) Kabupaten Purwakarta di sebelah timur, (e) Kabupaten Bekasi di sebelah timur laut, (f) Kabupaten Cianjur di sebelah tenggara, (g) Kota Depok di sebelah utara dan (h) Kota Bogor di tengah. Kabupaten Bogor merupakan wilayah administratif terluas ke enam di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil PODES tahun 2008, Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 428 desa/kelurahan, 3658 Rukun Warga (RW) dan 14.400 Rukun Tangga (RT). Desa-desa di Kabupaten Bogor terdiri dari desa swakarya dan desa swasembada. Sebanyak 351 desa di Kabupaten Bogor terklasifikasi sebagai desa Swakarya dan sebanyak 77 desa sudah merupakan desa swasembada. Adapun berdasarkan klasifikasi daerah yang dilihat dari aspek potensi lapangan usaha, aspek kepadatan penduduk dan aspek sosial, di Kabupaten Bogor terdapat 96 desa perkotaan dan 332 desa pedesaan. Pada Gambar 1 disajikan peta Kabupaten Bogor.
23
Gambar 1 Peta Kabupaten Bogor
Sumber: www.bogorkab.go.id Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi wilayah yang bervariasi, mulai dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan.
Bagian utara Kabupaten Bogor merupakan dataran rendah (lembah
Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane), sedangkan bagian selatan berupa pegunungan yaitu: Gunung Halimun (1.764 m), Gunung Salak (2.211 m), dan Gunung Gede Pangrango (3.018 m). Gunung Gede Pangrango merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Barat.1 Luas lahan Kabupaten Bogor menurut ketinggian diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1
Luas Lahan Menurut Ketinggian di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 (dalam persen dan absolut)
Ketinggian (mdpl) 15-100 >100-500 >500-1.000 >1.000-2.000 >2.000-2.500 Jumlah Sumber: www.bogorkab.go.id
Luas (Ha) 87559,6 127305,1 58273,5 25102,4 597,7 298.838,3
Persen 29,3 42,6 19,5 8,4 0,2 100,0
Pada Tabel 1 diketahui bahwa Kabupaten Bogor terletak pada ketinggian 15 sampai 2500 meter di atas permukaaan laut. Sebanyak 42,6 persen wilayah di Kabupaten berada pada ketinggian antara 100-500 meter dpl, ini berarti mayoritas 1
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kabupaten_Bogor
24
wilayah di Kabupaten Bogor berada pada ketinggian tersebut. Sedangkan persentase terkecil atau 0,2 meter dpl merupakan wilayah pada ketinggian di atas 2.000-2.300 meter dpl. Mayoritas desa di Kabupaten Bogor berada pada ketinggian kurang dari 500 m dari permukaan laut dan 49 desa berada pada kisaran 500 meter dari permukaan laut. Kondisi udara di Bogor relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26 °C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70 persen. Hampir setiap hari turun hujan di kota ini dalam setahun sehingga dijuluki "Kota Hujan". Keunikan iklim lokal ini dimanfaatkan oleh para perencana kolonial Belanda dengan menjadikan Bogor sebagai pusat penelitian botani dan pertanian, yang diteruskan hingga sekarang. Kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung, yang terdiri dari andesit, tufa dan basalt. Gabungan batu tersebut termasuk dalam sifat jenis batuan relatif lulus air, dimana kemampuannya dalam meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi. Selanjutnya, jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan Andosol. Oleh karena itu beberapa wilayah di Kabupaten Bogor rawan terhadap tanah longsor. Adapun penggunaan lahan di Kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah dan Persentase Luas Lahan Menurut Tipe Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persen Lahan Pertanian Lahan Sawah 48.849 Lahan Bukan Sawah 110.264,4 Sub Total 159.15,0 Lahan Non-Pertanian Bangunan Rumah dan Halaman 43.186 Hutan Negara 79.436 Rawa-rawa 153 Lainnya 16.949,2 Sub-total 140.3 Total 298.838 Sumber : Buku Saku Potensi Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor , 2009
16,3 36,9 53,2 14,5 26,6 0,1 5,7 46,8 100,0
25
Berdasarkan luasan masing-masing penggunaan lahan di Kabupaten Bogor, diketahui bahwa sebagian besar lahan digunakan sebagai areal pertanian. Hal ini dimungkinkan karena Kabupaten Bogor memiliki curah hujan dan iklim yang cukup baik untuk mengembangkan sektor pertanian. Berdasarkan data Stasiun Klimatologi dan Geofisika Dramaga, Kabupaten Bogor memiliki tiga iklim yaitu: iklim basah, kering dan sedang. Disamping itu, Kabupaten Bogor merupakan hulu dari enam Daerah Aliran Sungai (DAS) yang meliputi DAS Cidurian, Cimanceuri, Cisadane, Ciliwung, Bekasi dan Citarum.
Sungai-sungai pada
masing-masing DAS tersebut memiliki fungsi antara lain sebagai sumber air irigasi pertanian. 4.3 Keadaan Penduduk Kabupaten Bogor Berdasarkan data Kabupaten Bogor dalam Angka (2009), tercatat bahwa total penduduk di Kabupaten Bogor sebanyak 3.975.035 jiwa atau sekitar sepuluh persen dari total penduduk di Jawa Barat, terdiri dari 51 persen penduduk laki-laki dan sisanya yakni 49 persen penduduk perempuan. Dengan merujuk pada total rumahtangga yang ada di desa ini, maka rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Kabupaten Bogor sekitar empat orang. Diduga hal ini berhubungan dengan tingginya kesadaran warga Kabupaten Bogor untuk mengikuti program Keluarga Berencana. Adapun kepadatan penduduk Kabupaten Bogor 1.427 jiwa per km. Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor merupakan yang tertinggi di Jawa Barat. Berdasarkan data dari BPS, jumlah penduduk di Kabupaten Bogor lebih tinggi tiga persen atau sebanyak 1.285.970 jiwa jika dibandingkan dengan Kabupaten Bandung.
Lebih lanjut, jika dibandingkan Kabupaten Purwakarta
yang merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terendah di Jawa Barat, jumlah penduduk di Kabupaten Bogor lebih tinggi 81,6 persen atau sebanyak 3.592.064 jiwa. Secara umum penduduk di Kabupaten Bogor tergolong mereka yang ada dalam kategori usia produktif, yaitu sebesar 91 persen. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda jika dilihat menurut jenis kelamin dimana persentase penduduk berjenis kelamin perempuan lebih tinggi sekitar satu persen.
Di antara mereka yang
tergolong usia produktif ini, ada yang masih menikmati pendidikan di tingkat
26
sekolah menengah (SMP dan SLTA). Adapun data penduduk Kabupaten Bogor selengkapnya menurut kelompok umur disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah dan Persentase Penduduk Kabupaten Bogor Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 Kelompok Umur (tahun)
Laki-laki Jumlah (jiwa)
Persen
Perempuan Jumlah (jiwa)
0-4 195.879 9,6 203.399 5-9 214.636 10,6 199.247 10-14 234.120 11,5 235.485 15-19 225.641 11,1 188.997 20-24 168.933 8,3 156.244 25-29 157.318 7,7 168.526 30-34 164.635 8,1 170.181 35-39 155.402 7,7 155.547 40-44 122.620 6 120.239 45-49 109.612 5,4 107.928 50-54 93.845 4,6 73.926 55-59 64.054 3,2 46.516 60-64 41.435 2 37.544 65-69 32.085 1,6 27.149 70-74 27.962 1,4 27.004 75+ 22.474 1,1 26.452 Jumlah 2.030.651 100 1.944.384 Sumber: Kabupaten Bogor dalam Angka Tahun 2009
Total
Persen 10,5 10,2 12,1 9,7 8 8,7 8,8 8 6,2 5,6 3,8 2,4 1,9 1,4 1,4 1,4 100
Jumlah (jiwa) 399.278 413.883 469.605 414.638 325.177 325.844 334.816 310.949 242.859 217.540 167.771 110.570 78.979 59.234 54.966 48.926 3.975.035
Persen 10 10,4 11,8 10,4 8,2 8,2 8,4 7,8 6,1 5,5 4,2 2,8 2 1,5 1,4 1,2 100
Sedikit berbeda dengan jumlah penduduk Kabupaten Bogor secara umum dimana persentase penduduk laki-laki lebih tinggi dibandingkan penduduk perempuan, pada usia balita persentase penduduk perempuan lebih tinggi sekitar satu persen. Jumlah penduduk usia sekolah di Kabupaten Bogor sebanyak 32,6 persen dari total seluruh penduduk, dimana persentase penduduk laki-laki dan perempuan berturut-turut sebanyak 33,2 persen dan 32 persen. Pada Tabel 4 disajikan data rumahtangga di Kabupaten Bogor menurut tingkat kesejahteraan keluarga/rumahtangga menggunakan kriteria Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana (BKKBN). Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa umumnya masyarakat Kabupaten Bogor tergolong sebagai Keluarga Sejahtera II.
Persentase keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I di
Kabupaten Bogor adalah 48,8 persen sehingga dapat disimpulkan bahwa
27
masyarakat di Kabupaten Bogor tergolong keluarga miskin sebesar 48,8 persen. Hal ini berarti hampir separuh masyarakat Kabupaten Bogor merupakan keluarga miskin. Tabel 4 Jumlah dan Persentase Rumahtangga Menurut Tingkat Kesejahteraan Keluarganya di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 Tingkat Kesejahteraan Jumlah (RT) Keluarga Pra-sejahtera 235.810 Keluarga Sejahtera I 260.587 Keluarga Sejahtera II 344.950 Keluarga Sejahtera III 146.858 Keluarga Sejahtera III Plus 30.188 Total 1.018.120 Sumber: Kabupaten Bogor dalam Angka, 2009
Persen 23,2 25,6 33,9 14,4 3,0 100,0
Tabel 5 menyajikan jumlah dan persentase penduduk Kabupaten Bogor menurut tingkat pendidikannya. Tabel 5
Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Bogor, Tahun 2009
Tingkat Pendidikan
Laki-laki Jumlah (orang)
Tidak Berijazah 396.464 SD/Sederajat 561.563 SMP/Sederajat 315.913 SMA/ Sederajat 200.203 SM Kejuruan 98.548 Diploma I/II 8.769 Diploma III 8.914 Diploma/S1 27.381 S2/S3 2.381 Total 1.620.136
Perempuan
Persen
Jumlah (orang)
24,5 540.688 34,7 522.682 19,5 242.480 12,4 141.318 6,1 60.627 0,5 9.727 0,6 10.511 1,7 10.453 0,1 3.252 100,0 1.541.738
Persen
Total Jumlah (orang)
35,1 937.152 33,9 1.084.245 15,7 558.393 9,2 341.521 3,9 159.175 0,6 18.496 0,7 19.425 0,7 37.834 0,2 5.633 100,0 3.161.874
Persen 29,6 34,3 17,7 10,8 5,0 0,6 0,6 1,2 0,2 100,0
Sumber: Kabupaten Bogor dalam Angka, 2009
Secara umum dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk di Kabupaten Bogor tamat Sekolah Dasar. Selain itu, Tabel 5 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin menurun persentase penduduk yang dapat mengakses jenjang pendidikan tersebut. Persentase yang cukup tinggi (29,6 persen) juga ditunjukkan pada golongan penduduk tidak berijazah. Hal ini juga
28
menunjukkan bahwa masih banyak penduduk di Kabupaten Bogor yang sama sekali tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal. Berdasarkan jenis kelamin, secara umum penduduk laki-laki lebih akses terhadap pendidikan dibandingkan dengan penduduk perempuan. Hal ini ditunjukkan Tabel 5 dimana sebesar 75,6 persen penduduk laki-laki dan 64,9 persen penduduk perempuan akses terhadap pendidikan formal dari jenjang Sekolah dasar hingga Perguruan Tinggi. Lebih lanjut, penduduk perempuan yang tidak memiliki ijazah lebih tinggi 10,6 persen dibandingkan penyuluh laki-laki. Pada jenjang SD hingga SMA/sederajat. Pada jejang perguruan tinggi Diploma hingga S3, penduduk yang akses sebanyak tiga persen dan dua persen masingmasing penduduk laki-laki dan penduduk perempuan. Fakta-fakta tersebut semakin menunjukkan bahwa penduduk perempuan di Kabupaten Bogor kurang akses terhadap pendidikan formal. Data penduduk Kabupaten Bogor menurut jenis mata pencaharian mereka disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Lapangan Usaha dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan Industri Pengolahan Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel Jasa Kemasyarakatan Lainnya
Laki-laki Jumlah Persen (jiwa)
Perempuan Jumlah Persen (jiwa)
Total Jumlah Persen (jiwa)
194.528
16,7
73.534
15,9
268.062
17,3
210.635
18,1
81.624
17,7
292.259
18,9
237.836
20,4
130.096
28,2
367.932
23,8
122.148
10,5
70.977
15,4
193.125
12,5
259.164
22,3
12.368
2,7
193.125
12,5
138.753
11,9
92.943
20,1
231.696
15,0
Total 1.163.064 100,0 461.542 Sumber: Kabupaten Bogor dalam Angka, 2009
100,0
1.546.199
100,0
Pengangguran
Seperti terlihat pada Tabel 6, secara umum mayoritas penduduk Kabupaten Bogor bekerja di sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel,
29
diikuti oleh sektor
industri pengolahan serta sektor pertanian, kehutanan,
perburuan dan perikanan. Hal ini cukup menarik sebab sebagaimana dijelaskan pada Tabel 2, bahwa mayoritas atau lebih dari separuh lahan di Kabupaten Bogor digunakan sebagai lahan pertanian. Seharusnya tenaga kerja yang terserap pada sektor pertanian lebih besar. Diduga hal tersebut disebabkan oleh banyaknya penduduk pendatang yang kemudian berwirausaha. Sebagaimana dengan lapangan kerja penduduk Kabupaten Bogor pada umumnya, sebanyak 28,2 persen penduduk perempuan di Kabupaten Bogor juga bekerja pada perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel.
Angka
pengangguran di Kabupaten Bogor menurut data di atas adalah sebesar 15 persen. Berdasarkan jenis kelamin, persentase pengangguran penduduk perempuan lebih tinggi 8,2 persen dibandingkan penduduk laki-laki. Jika dideskripsikan dengan jumlah, angka pengangguran penduduk perempuan lebih tinggi sebanyak 2.170 jiwa dibandingkan penduduk laki-laki.
Hal ini diduga berhubungan dengan
rendahnya akses pendidikan mayoritas penduduk perempuan di Kabupaten Bogor. Pada Tabel 5 terlihat persentase penduduk perempuan yang tidak memiliki ijazah sebanyak 35,1 persen. 4.4 Hasil Pembangunan Sumberdaya Manusia Kabupaten Bogor Pada sub bab ini akan dibahas mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) di Kabupaten Bogor. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. Indeks Pembangunan Manusia digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.2 Adapun IPM merupakan suatu indeks yang menunjukan tentang aspek-aspek yang memadai,serta hidup layak. Secara tegas IPM tersebut merupakan kemudahan dalam memperoleh akses terhadap aspek sosial, budaya dan aspek ekonomi. Selanjutnya, IPM sangat perlu dievaluasi dalam rangka pembangunan suatu daerah, karena IPM dapat 2
id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Pembangunan_Manusia
30
memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, kesehatan dan kemampuan ekonominya. peluang hidup panjang dan sehat, mempunyai pengetahuan dan keterampilan.3 Adapun Indeks Pembangunan Gender (IPG) adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang sama seperti IPM dengan memperhitungkan ketimpangan gender. IPG dapat digunakan untuk mengetahui kesenjangan pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender terjadi apabila nilai IPM sama dengan IPG. Selanjutnya, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) adalah indeks komposit yang mengukur peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik. Peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik mencakup partisipasi berpolitik, partisipasi ekonomi dan pengambilan keputusan serta penguasaan sumber daya ekonomi.4 Pada Tabel 7 berikut ini akan disajikan gambaran IPM, IPG dan IPM Kabupaten dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2007. Tabel 7 Perbandingan IPM, IPG dan IDG Jawa Barat dan Kabupaten Bogor, Tahun 2004-2007 Provinsi/Kabupaten
2004 2005 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Barat 69,1 69,9 Bogor 68,3 69,2 Indeks Pembangunan Gender (IPG) Jawa Barat 58,2 59,8 Bogor 52,9 54 Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Jawa Barat 49,2 53 Bogor 37,7 41,7 Sumber: www.mennegpp.go.id
2006
2007
70,3 69,7
70,71 70,08
60,8 58,6
61,4 60,7
54,4 47,3
55,3 49,3
Berdasarkan data pada Tabel 7, terlihat IPM, IPG dan IDG baik di Jawa Barat maupun Kabupaten Bogor mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Sedangkan kenaikan IPG dan IDG menunjukkan bahwa kesenjangan antara lakilaki dan perempuan semakin menurun serta partisipasi perempuan dalam pembangunan semakin meningkat. Jika diamati, nilai indeks tertinggi berada 3
http://www.bandungkab.bps.go.id http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_docman&task=doc_details&gid =280&Itemid=109
4
31
pada tahun 2007 dimana IPM dan IPG Jawa Barat dan Kabupaten Bogor hanya berbeda kurang dari satu persen. Ini artinya, IPM dan IPG Kabupaten Bogor sudah mendekati Jawa Barat. Namun demikian, masih terdapat perbedaan pada nilai IPM dan IPG di Jawa Barat maupun Kabupaten Bogor. Merujuk pada definisi dari Menneg PP mengenai kesetaraaan gender, hal ini menunjukkan belum adanya kesetaraan gender baik di Jawa Barat maupun di Kabupaten Bogor. Sedangkan IDG Kabupaten Bogor, masih tertinggal sekitar enam poin dari IDG Jawa Barat. Hal ini berarti partisipasi perempuan dalam politik, ekonomi dan pengambilan keputusan serta penguasaan sumber daya ekonomi di Bogor belum baik. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bogor mengalami kenaikan yang cukup signifikan tahun 2009 lalu.5 Indikator kenaikan IPM ini menunjukan Pemerintah Kabupaten Bogor telah berhasil meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakatnya sejak setahun lalu. Keberhasilan tersebut ditunjukan dengan peningkatan dari Indek Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bogor yaitu dari 70,76 poin pada tahun 2008 menjadi 71,63 poin pada akhir tahun 2009, yang berarti ada kenaikan sebesar 0,87 poin dibandingan tahun lalu. Kenaikan IPM pada tahun pertama dari target RPJMD itu telah melampui rata-rata IPM selama periode lima tahun lalu, yaitu rata-rata 0,44 poin. Namun demikian nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bogor angka IPM sebesar 71,63 poin itu menunjukan bahwa penduduk Kabupaten Bogor masih termasuk dalam klasifikasi masyarakat dengan taraf kesejahteraan menengah atas, tetapi belum termasuk dalam taraf masyarakat maju, sebab standar yang ditetapkan pemerintah pusat, provinsi dan dunia adalah 80 poin. Salah cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan IPM adalah dengan menggunakan dana PNPM untuk kegiatan kesehatan, dalam rangka menekan angka kematian bayi yang mencapai 307 per 100 ribu kelahiran.6
5 6
http://bataviase.co.id/node/160931 http://www.radar-bogor.co.id/index.php?rbi=berita.detail&id=57823
BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR Bab ini menjelaskan berbagai aspek berkenaan kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Bogor yang meliputi: Organisasi Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor, Profil Penyuluh di Lingkungan BP4K Kabupaten Bogor dan Penyelenggaraan Programa Penyuluhan Pertanian Kabupaten Bogor. 5.1 Organisasi Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (selanjutnya ditulis UU No.16 Tahun 2006 SP3K), khususnya pada Bab V Bagian Kesatu Pasal 8 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c menyatakan bahwa salah satu kelembagaan penyuluhan adalah kelembagaan penyuluhan pemerintah dan bahwa kelembagaan penyuluhan pemerintah pada tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan. Selanjutnya, pada pasal 13 ayat yang sama ayat 2 dinyatakan bahwa badan pelaksana penyuluhan pada tingkat kabupaten dipimpin oleh pejabat setingkat eselon II yang bertanggung jawab kepada bupati yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati. Sebagaimana diamanatkan undang-undang tersebut, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor dibentuk pada bulan Maret 2009 melalui Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 15 Tahun 2008. Dalam Perda Nomor 15 Tahun 2008 Pasal empat dinyatakan bahwa BP4K bertugas membantu Bupati dalam melaksanakan urusan Pemerintah Daerah di bidang penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan, khususnya dalam menyusun kebijakan, program dan kebijakan penyuluhan yang sejalan dengan program penyuluhan provinsi dan nasional, penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan penyuluhan yang mendukung kebijakan; program dan kegiatan pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan daerah; pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan mekanisme, tata kerja, dan metode penyuluhan; pengumpulan, pengolahan, pengemasan, dan penyebaran materi penyuluhan bagi
33
pelaku utama dan pelaku usaha; pembinaan pengembangan kerjasama, kemitraan, pengelolaan kelembagaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, serta pembiayaan penyuluhan; penumbuhkembangan dan fasilitasi kelembagaan dan forum kegiatan bagi pelaku utama dan pelaku usaha; dan peningkatan kapasitas Penyuluh Pegawai Negeri Sipil, swadaya, dan swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan.
Dalam menjalankan fungsinya tersebut, BP4K berkoordinasi
dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan serta Dinas Peternakan dan Perikanan. Visi BP4K Kabupaten Bogor adalah “Terwujudnya Pelaku Utama dan Pelaku Usaha yang Tangguh, Mandiri dan Berdaya Saing”.6 Adapun misi BP4K Kabupaten Bogor adalah meningkatkan kapabilitas sumberdaya manusia dan kelembagaan penyuluhan serta meningkatkan jejaring kerja dan alih inovasi teknologi. Adapun struktur organisasi BP4K disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Struktur Organisasi BP4K Kepala Badan
Komisi Penyuluhan
Sekretariat
Kelompok Jabatan Fungsional Umum
Kelompok Penyuluh Pertanian
Kelompok
Penyuluh Kehutanan
Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
Sub Bagian Perencanaan dan Keuangan
Kelompok Penyuluh Peternakan
Kelompok Penyuluh Perikanan
BP3K
6
Pelaku utama adalah petani, pekebun, dan peternak, beserta keluarga intinya sedangkan pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanian.
34
Sebagaimana terlihat pada Gambar 2, organisasi BP4K dipimpin oleh Kepala Badan (selanjutnya ditulis Kepala BP4K), Sekretariat, Kelompok Penyuluh Pertanian, Kelompok Penyuluh Kehutanan Kelompok Penyuluh Peternakan, Kelompok Penyuluh Perikanan Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan serta Kelompok Jabatan Fungsional Umum. Kepala BP4K bertugas membantu Bupati dalam memimpin, mengoordinasikan dan mengendalikan kebijakan teknis BP4K dalam melaksanakan urusan di bidang penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan. Dalam menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan Daerah, Bupati dibantu oleh Komisi Penyuluhan yang dikoordinasikan oleh BP4K. Komisi Penyuluhan mempunyai tugas memberikan masukan kepada Bupati melalui BP4K sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan Daerah. Berikut ini disajikan bagan struktur organisasi BP4K Kabupaten Bogor. Kepala BP4K membawahi sejumlah subsistem, yang mencakup: Sekretariat, Kelompok Penyuluh Pertanian, Kelompok Penyuluh Kehutanan Kelompok Penyuluh Peternakan, Kelompok Penyuluh Perikanan Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan serta Kelompok Jabatan Fungsional Umum. Sekretariat bertugas membantu dan bertanggungjawab kepada Kepala BP4K dalam melaksanakan pengelolaan ketatausahaan BP4K.
Adapun fungsi
sekretariat adalah sebagai berikut: pengelolaan administrasi umum dan kepegawaian BP4K, pengelolaan administrasi perencanaan dan keuangan Badan; pengelolaan pelaporan, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan kegiatan Badan dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala BP4K sesuai dengan bidang tugasnya. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Sekretariat dipimpin oleh seorang Sekretaris yang dibantu oleh Sub Bagian Umum dan Kepegawaian serta Sub Bagian Perencanaan dan Keuangan.
Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
mempunyai tugas membantu Sekretaris dalam melaksanakan pengelolaan administrasi umum dan kepegawaian BP4K khususnya dalam pengelolaan administrasi program kerja BP4K, urusan rumah tangga, surat menyurat, kearsipan, perjalanan dinas, pengadaan, pemeliharaan, inventarisasi perlengkapan, hubungan masyarakat, penyiapan materi hukum, dan ketatalaksanaan BP4K;
35
pengelolaan administrasi kepegawaian, meliputi analisis kebutuhan pegawai, jenjang karir, usulan kenaikan pangkat, penghargaan, dan penilaian angka kredit jabatan fungsional; pengelolaan dan pengadaan sarana prasarana penyuluhan; serta pengendalian dan pelaporan administrasi umum dan kepegawaian BP4K. Sub Bagian Perencanaan dan Keuangan mempunyai tugas membantu Sekretaris dalam melaksanakan pengelolaan perencanaan dan administrasi keuangan BP4K yang meliputi pengkoordinasian penyusunan program penyuluhan; pengelolaan data statistik penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan; pelaksanaan evaluasi dan pengendalian penyelenggaraan penyuluhan; pengelolaan anggaran Badan; dan pengelolaan administrasi keuangan BP4K. Kelompok Penyuluh dipimpin oleh seorang Koordinator yang bertugas membantu Kepala Badan dalam melaksanakan pengoordinasian penyuluhan pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan. Selanjutnya, BP4K membawahi sejumlah Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) di tingkat kecamatan-sebelumnya dikenal sebagai Balai Penyuluhan Pertanian (BPP)- yang dipimpin oleh seorang Kepala yang secara langsung bertanggung jawab kepada Kepala BP4K. Fungsi BP3K meliputi: penyusunan program penyuluhan pada tingkat kecamatan sejalan dengan program penyuluhan daerah; pelaksanaan penyuluhan berdasarkan program penyuluhan; penyediaan dan menyebarkan informasi teknologi, sarana produksi, pembiayaan, dan pasar; fasilitator pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha; fasilitator peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swadaya, penyuluh swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan serta pelaksanaan proses pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan model usaha tani bagi pelaku utama dan pelaku usaha. Meskipun di Kabupaten Bogor terdapat 40 kecamatan, namun jumlah BP3K di kabupaten ini hanya sebanyak 12 BP3K. Hal ini diduga berhubungan dengan distribusi sumberdaya penyuluh dan pertimbangan luas wilayah kerja yang dicakupnya. Data tentang kelembagaan BP3K di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 8.
36
Tabel 8 Distribusi Kelembagaan BP3K Menurut Wilayah Kerja dan Distribusi Penyuluhnya di Kabupaten Bogor, Tahun 2010 Nama BP3K Caringin Jonggol Gunung Putri Ciawi
Cibinong
Cibungbulang Leuwiliang
Wilayah Kerja Caringin, Cigombong, Cijeruk Jonggol, Sukamakmur, Cileungsi Gn. Putri, Citeureup, Klapanunggal Ciawi, Cisarua, Megamendung Cibinong, Bojonggede, Tajurhalang, Sukaraja, Babakan Madang Cibungbulang, Pamijahan, Ciampea, Tenjolaya Leuwiliang, Rumpin, Leuwisadeng, Nanggung
Cariu
Cariu, Tanjungsari
Dramaga
Dramaga, Ciomas, Tamansari Ciseeng, Parung, Gn. Sindur, Kemang, Rancabungur Cigudeg, Jasinga, Sukajaya
Ciseeng Cigudeg Parung Panjang
Parung Panjang, Tenjo Jumlah
Jumlah Penyuluh PNS
Jumlah Penyuluh THL7
lakilaki
Perempuan
lakilaki
Perempuan
lakilaki
Perempuan
30
11
2
6
5
17
7
36
10
3
3
4
13
7
33
10
0
5
2
15
2
34
8
2
7
3
15
5
50
13
3
1
5
14
8
49
15
0
5
5
20
5
42
15
0
6
3
21
3
20
8
2
7
2
15
4
29
9
2
4
5
13
7
44
11
4
4
7
15
11
39
9
0
7
1
16
1
20
3
0
9
1
12
1
426
122
18
64
43
186
61
Jumlah desa
Total
Keterangan: PNS: Pegawai Negeri Sipil THL: Tenaga Harian Lepas Sumber: Daftar Pegawai BP3K se-Kabupaten Bogor Tahun 2009
7
Tenaga Harian Lepas merupakan penyuluh bukan PNS. Oleh karena terdapat perbedaan tugas dengan penyuluh PNS, maka THL tidak menjadi responden dalam penelitian kali ini.
37
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa di Kabupaten Bogor terdapat 247 orang penyuluh pertanian yang terdiri dari 140 orang penyuluh PNS dan 107 orang penyuluh THL. Jumlah ini belum termasuk penyuluh PNS yang berkantor di BP4K Kabupaten Bogor sebanyak 30 orang dimana terdapat 20 orang penyuluh laki-laki dan 10 orang penyuluh perempuan. Sementara itu terdapat 426 desa yang menjadi wilayah sasaran penyuluhan. Dengan total penyuluh yang ada saat ini, satu orang penyuluh bertanggung jawab atas satu sampai dua desa binaan. Hal ini berarti bahwa target pemerintah yang menyatakan satu desa satu penyuluh belum tercapai. Lebih lanjut, baik pada penyuluh PNS maupun THL terlihat bahwa jumlah penyuluh laki-laki relatif lebih banyak dibandingkan dengan peyuluh perempuan. 5.2 Profil Penyuluh di Lingkungan BP4K Kabupaten Bogor 5.2.1. Distribusi Penyuluh Menurut Jabatan dan Jenis Kelamin Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya penyuluh tersebar ke BP4K dan seluruh BP3K di Kabupaten Bogor. Berdasarkan Laporan
BP4K (2009),
penyuluh pertanian di Kabupaten Bogor secara keseluruhan berjumlah 170 orang yang terdiri 141 orang penyuluh laki-laki (83 persen) dan 29 orang penyuluh perempuan (17 persen). Lebih tingginya jumlah dan persentase penyuluh laki-laki tampaknya berhubungan dengan masih adanya bias gender yang mengedepankan penyuluh laki-laki dalam rekrutmen penyuluh di kabupaten ini. Pada Tabel 8 ditunjukkan data distribusi penyuluh. Sebagaimana PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 terdapat dua Jabatan Fungsional fungsional penyuluh yakni Penyuluh Terampil dan Penyuluh Ahli. Jabatan fungsional Penyuluh Pertanian Terampil meliputi empat jenjang jabatan, yaitu: Penyuluh Pertanian Pelaksana Pemula, Penyuluh Pertanian Pelaksana, Penyuluh Pertanian Pelaksana Lanjutan dan Penyuluh Pertanian Penyelia. Adapun jabatan fungsional Penyuluh Pertanian Ahli juga meliputi empat jenjang jabatan yakni, Penyuluh Pertanian Pratama Penyuluh Pertanian Muda, Penyuluh Pertanian Madya dan Penyuluh Pertanian Utama. Tabel 9 menyajikan data tentang distribusi penyuluh menurut Jabatan dan Jenis Kelamin. Diketahui bahwa dari total penyuluh PNS di Kabupaten Bogor, tidak terdapat mereka yang memiliki jenjang Penyuluh Pelaksana Pemula dan
38
Penyuluh Utama. Menurut Jabatan Fungsionalnya, mayoritas (57,8 persen) merupakan Penyuluh Pertanian Terampil. Adapun data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9
Distribusi Penyuluh Menurut Jenjang Jabatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 (dalam persen)
Laki-laki Perempuan Total Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Penyuluh Pertanian Terampil Penyuluh Terampil Pelaksana 4 2,8 1 3,4 5 2,9 Penyuluh Terampil Pelaksana Lanjutan 33 23,4 2 6,9 35 20,6 Penyuluh Terampil Penyelia 52 36,9 8 27,6 60 35,3 Sub-total 89 63,1 11 37,9 100 58,8 Penyuluh Pertanian Ahli Penyuluh Ahli Pratama 11 7,8 8 27,6 19 11,2 Penyuluh Ahli Muda 29 20,6 3 10,3 32 18,8 Penyuluh Ahli Madya 12 8,5 7 24,1 19 11,2 Sub total 52 36,9 18 62,1 70 41,2 Jumlah 141 100 29 100 170 100 Sumber: Daftar Pegawai BP4K Kabupaten Bogor Tahun 2009 Jabatan
Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, penyuluh laki-laki mayoritas merupakan penyuluh pertanian terampil, sedangkan penyuluh perempuan – meskipun jumlahnya sedikit- mayoritas merupakan penyuluh pertanian ahli. Diduga, hal ini berhubungan dengan tingkat pendidikan penyuluh perempuan yang lebih tinggi dibandingkan penyuluh laki-laki. Perlu diketahui bahwa data pada Tabel 9 belum termasuk penyuluh THL. Sebagaimana terlihat pada Tabel 8, terdapat 107 orang THL yang terdiri dai 64 orang THL laki-laki dan 43 orang THL perempuan. Namun demikian, oleh karena THL memiliki tupoksi yang berbeda dengan penyuluh PNS maka tidak menjadi fokus penelitian ini. 5.2.2 Distribusi Penyuluh Menurut Kelompok Umur Berikut ini akan dipaparkan mengenai distribusi penyuluh menurut kelompok umur. Sebagaimana terlihat pada Tabel 10, baik penyuluh laki-laki maupun perempuan, umumnya berada pada kelompok umur 50-59 tahun. Tabel 10 juga menunjukkan bahwa persentase penyuluh pada kelompok umur 55-59 tahun cukup tinggi. Merujuk pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 1986 Tentang Batas Usia Pensiun Pegawai Negeri Sipil yang Menjabat Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Penyuluh Pertanian dimana usia pensiun
39
Penyuluh Pertanian pada setiap jenjang adalah 60 tahun, diketahui bahwa 24 persen
penyuluh di Kabupaten Bogor akan segera mencapai masa pensiun.
Distribusi Penyuluh di Kabupaten Bogor Menurut Kelompok umur, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin selengkapnya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Distribusi Penyuluh Menurut Kelompok Umur, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 (dalam persen) Penyuluh Pertanian Penyuluh Pertanian Total Terampil Ahli Kelompok LakiLakiLakiUmur Perempuan Perempuan Perempuan laki laki laki (n=29) (n=18) (n=11) (n=141) (n=52) (n=89) 25-29 0,0 0,0 1,4 0,0 1,4 0,0 30-34 0,0 0,0 0,7 10,3 0,7 10,3 35-39 0,0 0,0 0,7 13,8 0,7 13,8 40-44 2,1 6,9 0,7 10,3 2,8 17,2 45-49 12,1 3,4 7,1 3,4 19,1 6,9 50-54 31,2 17,2 16,3 10,3 47,5 27,6 55-59 16,3 10,3 8,5 13,8 24,8 24,1 60 1,4 0,0 1,4 0,0 2,8 0,0 Jumlah 63,1 37,9 36,9 62,1 100,0 100,0 Sumber: Daftar Pegawai BP4K Kabupaten Bogor Tahun 2009
5.2.3 Distribusi Penyuluh Menurut Tingkat Pendidikan Tabel 11 mengemukakan distribusi penyuluh di Kabupaten Bogor menurut tingkat pendidikan formal yang mereka tamatkan. Tabel 11
Distribusi Penyuluh Menurut Tingkat Pendidikan, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin Kabupaten Bogor, Tahun 2009 (dalam persen)
Penyuluh Pertanian Penyuluh Pertanian Total Terampil Ahli Pendidikan LakiLakiLakiTerakhir Perempuan Perempuan Perempuan laki laki laki (n=29) (n=18) (n=11) (n=141) (n=52) (n=89) SPMA/Sederajat 24,1 13,8 0,0 0,0 24,1 13,8 DIII 31,2 24,1 3,5 6,9 34,8 31,0 DIV 0,0 0,0 4,3 0,0 4,3 0,0 S1 7,8 0,0 29,1 48,3 36,9 48,3 S2 0,0 0,0 0,0 6,9 0,0 6,9 Jumlah 63,1 37,9 36,9 62,1 100,0 100,0 Sumber: Daftar Pegawai BP4K Kabupaten Bogor Tahun 2009
Berdasarkan data pada Tabel 11 diketahui secara umum tingkat pendidikan penyuluh berada pada jenjang Strata 1, dimana persentase penyuluh perempuan
40
lebih tinggi sekitar sebelas persen dibandingkan penyuluh laki-laki. Tidak ditemukan lagi penyuluh yang berpendidikan SPMA/sederajat pada penyuluh perempuan. Hal ini menarik sebab justru perempuan lebih akses pada pendidikan. Berdasarkan Jabatan Fungsional fungsional, umumnya tingkat pendidikan penyuluh laki-laki adalah Diploma III, merupakan Penyuluh Pertanian Terampil. Adapun penyuluh perempuan umumnya merupakan lulusan S1 dan berada pada Jabatan Fungsional Penyuluh Ahli dengan jenjang Jabatan Penyuluh Petanian Pratama. Saat ini pemerintah telah menetapkan standar minimal pendidikan bagi penyuluh yaitu jenjang Strata 1. Sehubungan dengan hal tersebut maka pemerintah mewajibkan bagi seluruh penyuluh di BP4K dan BP3K yang belum menamatkan pendidikan hingga jenjang S1 untuk mengikuti tugas belajar. 5.2.4 Disitribusi Penyuluh Menurut Golongan Kepangkatan Distribusi penyuluh di Kabupaten Bogor menurut golongan kepangkatan, Jabatan Fungsionaldan jenis kelamin disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Distribusi Penyuluh Menurut Golongan Kepangkatan, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 (dalam persen) Penyuluh Pertanian Penyuluh Pertanian Total Terampil Ahli Golongan LakiLakiLakiKepangkatan Perempuan Perempuan Perempuan laki laki laki (n=11) (n=18) (n=29) (n=89) (n=52) (n=141) II/c 1,4 0,0 0,0 0,0 1,4 0,0 II/d 1,4 0,0 0,0 0,0 1,4 0,0 III/a 2,8 6,9 4,3 31,0 7,1 37,9 III/b 19,9 3,4 3,5 0,0 23,4 3,4 III/c 25,5 10,3 8,5 3,4 34,0 13,8 III/d 12,1 17,2 9,2 6,9 21,3 24,1 IV/a 0,0 0,0 11,3 20,7 11,3 20,7 Jumlah 63,1 37,9 36,9 62,1 100,0 100,0 Sumber: Daftar Pegawai BP4K Kabupaten Bogor Tahun 2009
Umumnya penyuluh di Kabupaten Bogor berada pada golongan pangkat III/c. Hal ini sesuai dengan jenjang jabatan mayoritas penyuluh yakni Penyuluh Pertanian Penyelia. Merujuk pada Pasal 7 PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 yang menjelaskan bahwa jenjang pangkat pada golongan ruang III/c antara lain merupakan Penyuluh Penyuluh Pertanian Penyelia. Dilihat dari jenis kelamin,
41
mayoritas penyuluh laki-laki berada pada golongan III/c, sedangkan perempuan dominan pada golongan III/a. Diduga hal ini berhubungan dengan tuntutan affirmative action bahwa seharusnya SDM perempuan dalam organisasi itu sedikitnya 30 persen. 5.2.5 Distribusi Penyuluh Menurut Bidang Keahlian Tabel 13 menyajikan distribusi penyuluh di di Kabupaten Bogor menurut bidang keahlian, Jabatan Fungsional dan jenis kelamin. Tabel 13 Distribusi Penyuluh Menurut Bidang Keahlian, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, Tahun 2009 (dalam persen)
Bidang Keahlian
Penyuluh Pertanian Penyuluh Kehutanan Penyuluh Perikanan/peternakan
Penyuluh Penyuluh Pertanian Total Pertanian Ahli Terampil LakiPerem- LakiPeremLakiPeremlaki puan laki puan laki puan (n=89) (n=11) (n=52) (n=18) (n=141) (n=29) 44,0 34,5 32,6 58,6 76,6 93,1 13,5 3,4 0,7 0,0 14,2 3,4 5,7
0,0
3,5
3,4
9,2
3,4
63,1 37,9 36,9 62,1 Sumber: Daftar Pegawai BP4K Kabupaten Bogor Tahun 2009
100,0
100,0
Jumlah
Data sebagaimana terlihat pada Tabel 12 menunjukkan bahwa penyuluh pertanian sangat dominan. Hal ini tampaknya berhubungan dengan kondisi wilayah dan penduduk di Kabupaten Bogor. Luas lahan pertanian di Kabupaten Bogor yaitu seluas 159,2 hektar atau 53 persen dari total wilayah pertanian di Kabupaten Bogor, sedangkan luas kolam di Kabupaten Bogor sekitar 2.351 hektar atau 1,5 persen dari total wilayah pertanian di Kabupaten Bogor. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa Bogor kekurangan tenaga penyuluh, hal ini diperkuat dengan pernyataan Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) seKabupaten
Bogor
mengeluhkan
minimnya
tenaga
penyuluh
pertanian
(www.poskota.com). 5.3 Relasi Gender di Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, diketahui jumlah penyuluh perempuan di Kabupaten Bogor hanya sebesar 17 persen. Lebih tingginya jumlah dan persentase penyuluh tampaknya berhubungan dengan masih adanya bias
42
gender yang mengedepankan penyuluh laki-laki dalam rekrutmen penyuluh di kabupaten ini. Namun demikian, jika diamati penyuluh perempuan memiliki tingkat pendidikan yang jauh lebih baik. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 11, tidak satupun penyuluh perempuan yang latar belakang pendidikannya SPMA. Lebih lanjut, terdapat penyuluh perempuan yang tingkat pendidikannya adalah S2 (6,9 persen), sementara umumnya tingkat penyuluh laki-laki merupakan tamatan Diploma III. Hal ini berdampak pada golongan pangkat penyuluh perempuan yakni IV/a dengan jabatan fungsional Penyuluh Pertanian Madya. Berdasarkan laporan diketahui bahwa dua posisi tertinggi di BP4K, yakni Kepala BP4K dan Wakil Kepala BP4K ditempati oleh perempuan. Selain itu perempuan juga menempati jabatan Koordinator Penyuluh Perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa siapapun, baik laki-laki maupun perempuan yang dinilai kompeten dan mampu dapat menjadi pemimpin. Merujuk pada definisi kesetaraan gender dari Menneg PP yang menyatakan bahwa kesetaraan gender adalah hasil dari ketiadaan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atas dasar kesempatan, alokasi sumberdaya atau manfaat dan akses terhadap pelayanan, dapat disimpulkan bahwa telah ada kesetaraan gender pada level BP4K. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa kepala BP3K diangkat oleh Bupati atas usulan BP4K. Demikian halnya, saat BP4K belum dibentuk, calon ketua BPP diangkat oleh Bupati atas usulan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Belum ada syarat tertulis yang bagi calon ketua BP3K, namun minimal calon ketua BP3K harus senior dan terampil pada bidangnya. Mengingat bahwa 71 persen penyuluh baik laki-laki maupun perempuan sudah senior dan terdapat dua orang penyuluh perempuan yang tamat S2, sementara di BP3K seluruhnya dikepalai oleh laki-laki, dinilai belum ada kesetaraan gender pada level BP3K.
BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PENYULUH PERTANIAN DI BP4K KABUPATEN BOGOR Bab ini mendeskripsikan karakteristik individu dan rumahtangga dari sebanyak 49 orang penyuluh di BP4K (BP3K) Kabupaten Bogor khususnya yang menjadi responden dalam penelitian ini. Merujuk pada pendekatan analisis gender, deskripsi karakteristik individu dan rumahtangga penyuluh disajikan sebagai data yang terpilah menurut jenis kelamin (sex-disaggregated data). Selanjutnya,
merujuk
pada PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya, dibedakan menurut kategori jabatan fungsional mereka:
penyuluh
Penyuluh Pertanian
Terampil dan Penyuluh Pertanian Ahli. Beberapa aspek berkenaan karakteristik individu yang dijelaskan dalam bab ini meliputi: jumlah penyuluh menurut jenis kelamin, kelompok umur, jenis pekerjaan, status perkawinan, tingkat pendidikan formal, golongan kepangkatan, lama bekerja dan bidang keahlian. Adapun pada karakteristik rumahtangga akan dijelaskan hal-hal yang meliputi kondisi anggota rumahtangga (ART) para penyuluh, khususnya dalam: rata-rata jumlah ART, jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, status perkawinan, tingkat kekayaan dan luas lahan usaha tani. 6.1 Karakteristik Individu Penyuluh 6.1.1 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Kategori Jabatan Fungsional Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, di BP4K Kabupaten Bogor terdapat 175 orang penyuluh, 32 orang atau sekitar 18 persen diantaranya penyuluh perempuan.
Dalam penelitian ini diperoleh data dan
informasi dari 49 orang penyuluh yang berasal dari survei yang dilakukan di BP4K dan BP3K. Mayoritas responden terdiri atas penyuluh laki-laki (85,7 persen), sisanya penyuluh perempuan (tujuh orang atau 15,3 persen dari total penyuluh). Terhadap total penyuluh yang ada di BP4K, diketahui bahwa distribusi responden kurang proporsional. Terhadap total penyuluh laki-laki responden penyuluh laki-laki sekitar 29 persen, sementara terhadap total penyuluh perempuan sekitar 22 persen.
Namun demikian, data dan informasi ini
diharapkan masih dapat merepresentasikan kondisi yang mendekati populasi
44
penyuluh di BP4K. Tabel 14 menyajikan data distribusi penyuluh menurut jenis kelamin dan kategori jabatan fungsional mereka. Tabel 14 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Jenis Kelamin dan Jabatan Fungsional di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam jumlah dan persen) Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
Penyuluh Pertanian Terampil Jumlah Persen (orang) 28 66,6 2 28,5
Penyuluh Pertanian Ahli Jumlah Persen (orang) 14 33,3 5 71,4
Total Jumlah (orang) 42 7
Persen 100,0 100,0
Sebagaimana terlihat pada Tabel 14, mayoritas penyuluh laki-laki terdiri atas Penyuluh Pertanian Terampil (selanjutnya disingkat PPT) dengan persentase dua kali lipat dari mereka yang tergolong Penyuluh Pertanian Ahli (selanjutnya disingkat PPA), sebaliknya di kalangan penyuluh perempuan. Hal ini tampaknya mendekati kecenderungan yang dijumpai pada populasi penyuluh di lingkungan BP4K yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Kondisi ini tampaknya
berhubungan dengan jenjang pendidikan formal yang diikuti oleh mereka sebagaimana dapat dilihat pada penjelasan berikut ini. 6.1.2 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Jabatan Fungsional dan Kelompok Umur Distribusi penyuluh menurut kategori jabatan fungsional dan kelompok umur disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Kelompok Umur, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) Kelompok Umur 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 Total
Penyuluh Pertanian Terampil PeremLaki-laki puan (n= 28) (n=2) 0,0 0,0 0,0 14,3 7,1 0,0 38,1 0,0 19,0 14,3 2,4 0,0 66,7 28,6
Penyuluh Pertanian Ahli PeremLaki-laki puan (n=14) (n=5) 0,0 14,3 2,4 0,0 11,9 0,0 9,5 42,9 7,1 14,3 2,4 0,0 33,3 71,4
Total Lakilaki (n=42) 0,0 2,4 19,0 47,6 26,2 4,8 100
Perempuan (n=7) 14,3 14,3 0,0 42,9 28,6 0,0 100,0
45
Data pada Tabel 15 menunjukkan kecenderungan yang relatif sama, yakni baik penyuluh laki-laki maupun penyuluh perempuan mayoritas berada pada kelompok umur 50-59 tahun. Terlihat juga bahwa persentase penyuluh pada kelompok umur 55-59 tahun cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan kecenderungan pada populasi penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor, dimana sekitar 24 persen penyuluh sudah mendekati masa pensiun. Padahal saat ini telah ada kebijakan satu desa satu penyuluh. Dengan kondisi penyuluh yang ada saat ini -dimana terdapat 426 desa sasaran penyuluh- kebijakan tersebut belum mampu dilaksanakan dengan optimal, terlebih lagi jika banyak penyuluh yang akan segera pensiun. Hal ini tentunya menjadi permasalahan, sebab saat ini pengangkatan THL menjadi penyuluh pertanian juga jarang dilakukan. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2010 hanya dua orang THL yang diangkat menjadi penyuluh. Kondisi ini memperkuat pernyataan Kepala Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor yang menyatakan bahwa Kabupaten Bogor kekurangan penyuluh sebanyak 285 orang. 6.1.3 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Status Perkawinan Tabel 16 dan Tabel 17 menyajikan distribusi penyuluh yang berhubungan dengan status perkawinan mereka. Tabel 16 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Frekuensi Menikah, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) Frekuensi Menikah (kali) 1 2 Total
Penyuluh Pertanian Terampil PeremLaki-laki puan (n= 28) (n=2) 64,3 28,6 2,4 0,0 66,7 28,6
Penyuluh Pertanian Ahli PeremLaki-laki puan (n=14) (n=5) 33,3 57,1 0,0 14,3 33,3 71,4
Total Lakilaki (n=42) 97,6 2,4 100,0
Perempuan (n=7) 85,7 14,3 100,0
Terlihat pada Tabel 16 bahwa mayoritas penyuluh, baik laki-laki maupun perempuan dari dua kategori jabatan fungsional menikah sebanyak satu kali. Hal ini tampaknya berhubungan dengan peraturan tentang perkawinan Nomor 10 Tahun 1983 yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat, sementara Pegawai Negeri Sipil wanita
tidak diizinkan untuk menjadi
46
isterikedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil. Namun demikian, baik pada penyuluh laki-laki maupun pada penyuluh perempuan terdapat pula mereka yang menikah sebanyak dua kali dimana masing-masing karena bercerai dan karena meninggal. Tabel 17 menyajikan data umur pertama kali penyuluh menikah. Baik penyuluh laki-laki maupun penyuluh permpuan keduanya menikah rata-rata pada usia 20-29 tahun. Namun demikian, terdapat pula responden yang menikah pada usia 35-44 tahun. Mengacu pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai syarat-syarat perkawinan, usia perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Dalam hal ini penyuluh telah memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh UndangUndang Perkawinan. Tabel 17 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Umur Perkawinan Pertama, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) Umur Perkawinan Pertama 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 Total
Penyuluh Pertanian Terampil LakiPeremlaki puan (n= 28) (n=2) 0,0 0,0 14,3 28,6 45,2 0,0 4,8 0,0 0,0 0,0 2,4 0,0 66,7 28,6
Penyuluh Pertanian Ahli LakiPeremlaki puan (n=14) (n=5) 0,0 14,3 4,8 28,6 21,4 14,3 4,8 0,0 2,4 0,0 0,0 0,0 33,3 71,4
Total Lakilaki (n=42) 0 19,0 66,7 9,5 2,4 2,4 100
Perempuan (n=7) 14,3 57,1 14,3 0,0 0,0 0,0 100
Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa secara umum penyuluh laki-laki menikah pada usia 25-29 tahun, sedangkan penyuluh perempuan menikah pada usia 20-24 tahun. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada kategori jabatan fungsional dimana mayoritas PPT maupun PPA. Ini artinya terdapat kecenderungan bahwa perempuan lebih cepat menikah dibandingkan laki-laki. Diduga, hal ini berhubungan dengan budaya Sunda bahwa perempuan harus menikah lebih cepat. Selain itu, alasan perempuan untuk cepat menikah juga terkait dengan reproduksi, karena jika terlambat menikah akan sulit memperoleh keturunan.
47
6.1.4 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Tingkat Pendidikan Distribusi penyuluh menurut tingkat pendidikan formal yang mereka ikuti disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Tingkat Pendidikan, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) Tingkat Pendidikan SPMA/Sederajat DIII DIV S1 Total
Penyuluh Pertanian Terampil LakiPeremlaki puan (n= 28) (n=2) 7,1 0,0 50 28,5 0,0 0,0 9,5 0,0 66,7 28,5
Penyuluh Pertanian Ahli PeremLaki-laki puan (n=14) (n=5) 0,0 0,0 2,4 14,3 2,4 14,3 28,6 42,9 33,3 71,4
Total Lakilaki (n=42) 7,1 52,4 2,4 38,1 100,0
Perempuan (n=7) 0,0 42,9 14,3 42,9 100,0
Secara umum diketahui bahwa mayoritas penyuluh laki-laki adalah tamatan Diploma III (52,4 persen), lebih tinggi sekitar 14 persen dibandingkan mereka yang berpendidikan Sarjana. Mereka umumnya menyelesaikan progam Diploma dari Universitas Terbuka, sementara pendidikan Sarjana diselesaikan di Sekolah Tinggi
Ilmu
Pertanian
(STIPER).
Adapun
penyuluh
perempuan
yang
berpendidikan Diploma III dan Sarjana menunjukkan persentase yang sama. Hal yang menarik adalah bahwa penyuluh perempuan yang berpendidikan DIV dan Sarjana menunjukkan persentase lebih tinggi dibanding penyuluh laki-laki, berturut-turut sekitar 12 persen dan lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas SDM penyuluh perempuan lebih baik dibanding penyuluh laki-laki. Adapun data distribusi penyuluh menurut tingkat pendidikan, jenjang jabatan dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 19. Sebagaimana yang terlihat pada Tabel 19, dapat diketahui bahwa masih terdapat jenjang Penyuluh Pertanian Pelaksana pada penyuluh laki-laki dan penyuluh perempuan lulusan DIII. Lebih jauh pada tingkat pendidikan S1 masih terdapat PPTL pada jenjang jabatan Penyuluh Penyelia. Sementara pada PPAP, dengan tingkat pendidikan yang sama, PPAP merupakan Penyuluh Pertanian Muda dan Penyuluh Pertanian Madya. Diduga hal ini diakibatkan karena penyuluh belum mengurus kenaikan pangkat.
48
Tabel 19 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Tingkat Pendidikan, Jenjang Jabatan dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) Laki-laki Jenjang Jabatan Penyuluh Pertanian Pelaksana Penyuluh Pertanian Pelaksana Lanjutan Penyuluh Pertanian Penyelia Penyuluh Pertanian Pratama Penyuluh Pertanian Muda Penyuluh Pertanian Madya Jumlah
SMA DIII
Perempuan
Total Laki- Peremlaki puan
DIV
S1
DIII
DIV
S1
2,4
0,0
0,0
14,3
0,0
0,0
2,4
14,3
0,0 11,9
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
11,9
0,0
7,1 35,7
0,0
9,5
14,3
0,0
0,0
52,4
14,3
0,0
0,0
0,0
4,8
0,0
0,0 14,3
4,8
14,3
0,0
2,4
2,4 11,9
0,0
14,3 14,3
16,7
28,6
0,0
0,0
0,0 11,9
14,3
0,0 14,3
11,9
28,6
7,1 52,4
2,4 38,1
42,9
14,3 42,9 100,0
100,0
0,0
6.1.5 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Golongan Kepangkatan Data pada Tabel 20 menunjukkan bahwa penyuluh laki-laki memiliki golongan kepangkatan yang terdistribusi mulai dari Golongan II/a sampai dengan IV/a, sementara tidak ada penyuluh perempuan yang kepangkatannya pada Golongan III/b dan III/c. Hal yang menarik adalah bahwa umumnya penyuluh laki-laki merupakan Golongan lII/c, sementara penyuluh perempuan umumnya berada pada golongan III/d (42,9 persen). Hal ini berhubungan dengan proses pengurusan kenaikan pangkat. Di samping itu, hal ini juga berhubungan dengan kualitas pendidikan keduanya yang berbeda (Tabel 18). Tabel 20 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Golongan Kepangkatan, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) Golongan Kepangkatan III/a III/b III/c III/d IV/a Total
Penyuluh Pertanian Terampil LakiPeremlaki puan (n= 28) (n=2) 4,8 14,3 0,0 9,5 0,0 38,1 14,3 0,0
14,3 0,0
66,7
28,6
Penyuluh Pertanian Ahli LakiPeremlaki puan (n=14) (n=5) 4,8 14,3 0,0 00,0 0,0 9,5 7,1 11,9 33,3
28,6 28,6 71,4
Total Lakilaki (n=42) 9,5 9,5 47,6 21,4 11,9 100,0
Perempuan (n=7) 28,6 0,0 0,0 42,9 28,6 100,0
49
Sebagaimana diketahui mayoritas penyuluh laki-laki berpendidikan Diploma tiga tahun (DIII), sehingga diduga hal ini menjadi kendala bagi mereka untuk memenuhi angka kredit yang diperlukan mereka dalam mengurus kenaikan pangkat. Sebaliknya, fakta bahwa penyuluh perempuan yang berpendidikan DIV dan Sarjana menunjukkan persentase lebih tinggi memungkinkan mereka lebih lancar dalam mengurus kenaikan pangkat mereka. 6.1.6 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Lama Bekerja Fakta bahwa sebagian besar penyuluh berada pada kelompok umur 50-59 tahun tampaknya berhubungan dengan distribusi penyuluh menurut lama mereka bekerja (Tabel 21). Berdasarkan informasi pada Tabel 21, diketahui bahwa ratarata masa kerja penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor selama 27 tahun. Selanjutnya, masa kerja terendah penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor selama sepuluh tahun sedangkan masa kerja tertinggi selama 37 tahun. Tabel 21 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Lama Bekerja, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) Lama Bekerja (tahun) 10-15 16-30 31-37 Total
Penyuluh Pertanian Terampil Laki-laki Perempuan (n= 28) (n=2) 0,0 14,3 45,2 0,0 21,4 14,3 66,7 28,6
Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki Perempuan (n=14) (n=5) 2,4 14,3 21,4 28,6 9,5 28,6 33,3 71,4
Total Laki-laki (n=42) 2,4 66,7 31,0 100,0
Perempuan (n=7) 28,6 28,6 42,9 100,0
Sebagaimana ditunjukkan Tabel 21, secara umum meskipun penyuluh lakilaki dan perempuan keduanya terdistribusi pada ketiga kategori lamanya bekerja, namun penyuluh laki-laki mayoritas tergolong mereka yang telah bekerja selama 16-30 tahun, sementara penyuluh perempuan meskipun mayoritas lebih banyak yang telah bekerja selama 31-37 tahun, namun persentase mereka pada kelompok umur dibawahnya menunjukkan distribusi yang merata. Namun demikian, jika dilihat menurut kategori jabatannya, kecuali pada mereka pada kategori PPA, tidak dijumpai adanya penyuluh perempuan pada kelompok umur 16-30 tahun.
50
6.1.7 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Bidang Keahlian Pada Tabel 22 disajikan data penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor sesuai bidang keahlian mereka. Tabel 22 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Bidang Keahlian, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) Bidang Keahlian
Penyuluh Pertanian Penyuluh Kehutanan Penyuluh Perikanan/Peternakan Jumlah
Penyuluh Pertanian Terampil PeremLakipuan laki (n=2) (n= 28) 57,1 28,6 7,1 0,0
Penyuluh Pertanian Ahli PeremLakipuan laki (n=5) (n=14) 28,6 71,4 2,4 0,0
Total Lakilaki (n=42) 85,7 9,5
Perempuan (n=7) 100,0 0,0
2,4
0,0
2,4
0,0
4,8
0,0
66,7
28,6
33,3
71,4
100,0
100,0
Dapat dilihat pada Tabel 22, kecuali pada penyuluh laki-laki, tidak seorangpun pada penyuluh perempuan yang bidang keahliannya
sebagai
penyuluh kehutanan dan perikaan/perternakan. Hal ini dimungkinkan karena dari mereka yang menjadi responden tidak termasuk mereka yang berkeahlian kehutanan dan perikaan/peternakan. Namun demikian, seperti telah djelaskan sebelumnya, di BP4K Kabupaten Bogor secara umum jumlah penyuluh kehutanan dan penyuluh perikanan sangat terbatas. Hal ini diperkuat oleh Fatchia (2010) yang menyatakan bahwa hanya 13 orang penyuluh berlatarbelakang perikanan, hanya lima orang yang ditempatkan di lapangan, padahal di Kabupaten Bogor terdapat sebanyak 12.953 rumahtangga perikanan atau pembudidaya ikan, sehingga rasionya sangat kecil, yaitu 1:996. 6.1.8 Distribusi Responden Penyuluh Menurut Motivasi Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, motivasi adalah dorongan untuk melakukan sesuatu/berprestasi. Dalam penelitian ini motivasi diukur berdasarkan keikutsertaan penyuluh pada pelatihan dan seminar yang relevan dengan profesi penyuluh, keikutsertaan dalam forum komunikasi penyuluh, penghargaan yang diperoleh penyuluh dan karya ilmiah yang dihasilkan. Pada Tabel 23 disajikan data-data yang mengukur motivasi penyuluh pada penelitian kali ini.
51
Tabel 23 Distribusi Responden Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor Menurut Frekuensi Mengikuti Pelatihan, Tahun 2009 (dalam persen) Frekuensi Mengikuti Pelatihan
Penyuluh Pertanian Terampil Laki-laki (n= 28)
Perempuan (n=2)
40,5 16,7 7,1 2,4 66,7
14,3 14,3 0,0 0,0 28,6
0 1 2 4 Jumlah
Penyuluh Pertanian Ahli Lakilaki (n=14) 26,2 2,4 2,4 2,4 33,3
Perempuan (n=5) 71,4 0,0 0,0 0,0 71,4
Total Lakilaki (n=42) 66,7 19,0 9,5 4,8 100,0
Perempuan (n=7) 85,7 14,3 0,0 0,0 100,0
Data pada Tabel 23 menunjukkan bahwa sampai penelitian ini dilakukan, mayoritas penyuluh belum mengikuti pelatihan selama tahun 2009. Baik pada PPTP maupun PPAP, tidak satupun responden mengikuti pelatihan sebanyak lebih dari satu kali. Bahkan PPAP sama sekali tidak mengikuti pelatihan. Diduga hal ini berhubungan dengan jenjang jabatan mayoritas penyuluh perempuan yang dan masa kerja yang lama sehingga merasa lebih berpengalaman. Oleh karena itu penyuluh perempuan jarang mengikuti pelatihan. Rendahnya persentase penyuluh dalam mengikuti pelatihan diduga berhubungan dengan penerapan sistem kerja LAKU. Merujuk pada sistem laku, latihan bagi penyuluh pertanian diselenggarakan di BPP/BP3K atau di tempat lain dengan jadwal sekali dalam dua minggu. Latihan tersebut diselenggarakan secara teratur, terarah dan berkelanjutan. Proses latihan (belajar-mengajar) difasilitasi oleh penyuluh pertanian yang menguasi materi, maupun tenaga ahli dari lembaga lainnya. Selanjutnya disajikan data distribusi penyuluh menurut frekuensi mengikuti seminar yang relevan dengan pekerjaan sebagai penyuluh pertanian. Setiap penyuluh mengikuti pelatihan selama kurun waktu satu tahun terakhir (2009). Secara umum diketahui mayoritas penyuluh tidak mengikuti seminar hanya sekitar lima persen PPTL yang mengikuti satu kali pelatihan. Selanjutnya, terdapat satu orang PPAL yang mengikuti tiga kali seminar sedangkan satu orang PPAP mengikuti dua kali seminar. Adapun data tersebut di atas selengkapnya disajikan pada Tabel 24.
52
Tabel 24 Distribusi Responden Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor Menurut Frekuensi Mengikuti Seminar, Tahun 2009 (dalam persen) Frekuensi Mengikuti seminar
Penyuluh Pertanian Terampil Laki-laki (n= 28)
0 1 2 3 Jumlah
Perempuan (n=2)
61,9 4,8 0,0 0,0
28,6 0,0 0,0 0,0
61,9
28,6
Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki (n=14) 28,6 2,4 0,0 2,4 31,0
Perempuan (n=5)
Total Perempuan (n=7)
Laki-laki (n=42)
57,1 0,0 14,3 0,0 71,4
90,5 7,1 0,0 0,0 92,9
85,7 0,0 14,3 0,0 100,0
Distribusi penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor menurut frekuensi mengikuti forum komunikasi penyuluh disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Distribusi Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor Menurut Frekuensi Mengikuti Forum Komunikasi Penyuluh, Tahun 2009 (dalam persen) Frekuensi Mengikuti Forum Komunikasi Penyuluh 0 1 2 3 4 Jumlah
Penyuluh Pertanian Terampil Lakilaki (n= 28) 35,7 26,2 4,8 0,0 0,0 66,7
Perempuan (n=2) 14,3 14,3 0,0 0,0 0,0 28,6
Penyuluh Pertanian Ahli Lakilaki (n=14) 19,0 2,4 7,1 2,4 2,4 33,3
Perempuan (n=5) 42,9 0,0 28,6 0,0 0,0 71,4
Total Lakilaki (n=42) 54,8 28,6 11,9 2,4 2,4 100,0
Perempuan (n=7) 57,1 14,3 28,6 0,0 0,0 100,0
Pada Tabel 25 terlihat bahwa forum komunikasi penyuluh diikuti oleh hampir separuh penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor, Pada PPTP, hanya satu orang responden yang mengikuti forum komunikasi penyuluh sebanyak satu kali, sementara terdapat PPTL yang mengikuti forum komunikasi penyuluh sebanyak dua kali. Selanjutnya PPAP, forum komunikasi diikuti sebanyak dua kali. Hal ini menunjukkan rendahnya partisipasi penyuluh perempuan pada forum komunikasi penyuluhan. Yang menarik, terdapat PPAL yang mengikuti forum komunikasi penyuluh hingga empat kali. Diduga, PPAL tersebut memiliki jabatan sehingga sering terlibat dalam forum ini.
53
Tabel 26 menyajikan data mengenai distribusi penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor menurut jumlah penghargaan yang diterima selama masa kerja. Tabel 26 Distribusi Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor Menurut Jumlah Penghargaan Selama Masa Kerja, Tahun 2009 (dalam persen)
Jumlah Penghargaan
0 1 2 3 4 7 Jumlah
Penyuluh Pertanian Terampil Laki-laki (n= 28) 35,7 16,7 7,1 2,4 2,4 2,4 66,7
Perempuan (n=2) 0,0 0,0 28,6 0,0 0,0 0,0 28,6
Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki (n=14) 16,7 2,4 4,8 7,1 2,4 0,0 33,3
Perempuan (n=5) 57,1 14,3 0,0 0,0 0,0 0,0 71,4
Total Laki-laki (n=42)
Perempuan (n=7)
52,4 19,0 11,9 9,5 4,8 2,4 100,0
57,1 14,3 28,6 0,0 0,0 0,0 100,0
Sebagaimana terlihat pada Tabel 26, prestasi Penyuluh Pertanian Terampil di BP4K dapat dikategorikan cukup baik. Hal ini mengingat terdapat Penyuluh Pertanian Terampil yang memperoleh penghargaan hingga tujuh kali, padahal penyuluh ahli maksimal hanya memperoleh empat kali penghargaan. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, penyuluh laki-laki dapat dikatakan lebih berprestasi dibandingkan penyuluh perempuan. Hal ini diduga berkaitan antara lain dengan frekuensi mengikuti pelatihan dimana penyuluh laki-laki lebih banyak sering mengikuti pelatihan dibandingkan penyuluhan perempuan (Tabel 23). Berikutnya akan disajikan data distribusi penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor menurut karya ilmiah yang dibuat selama masa kerja (Tabel 27). Tabel 27 Distribusi Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor Menurut Karya Ilmiah yang Dibuat Selama Masa Kerja, 2009 (dalam persen) Penyuluh Pertanian Terampil Karya Ilmiah yang Dibuat
0 1 2 4 5
Laki-laki (n= 28) 61,9 2,4 2,4 0,0 66,7
Perempuan (n=2) 28,6 0,0 0,0 0,0 28,6
Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki (n=14) 28,6 2,4 0,0 2,4 33,3
Perempuan (n=5) 57,1 0,0 0,0 14,3 71,4
Total Laki-laki (n=42)
Perempuan (n=7)
90,5 4,8 2,4 2,4 100,0
85,7 0,0 0,0 14,3 100,0
54
Secara umum mayoritas penyuluh di BP4K belum pernah menulis karya ilmiah. Sebagaimana Tabel 27, hanya sekitar sepuluh persen penyuluh yang melakukan penulisan ilmiah. Pada PPTP, tidak satupun responden yang melakukan penulisan karya ilmiah, sedangkan PPTL menulis hingga dua judul. Sementara itu, PPAP dan PPAL sama-sama membuat empat buah karya ilmiah dimana persentase PPAP lebih tinggi sekitar 12 persen dibandingkan PPAL. Berdasarkan pernyataan salah satu ketua BP3K di Kabupaten Bogor, menulis memerlukan konsentrasi sehingga akan menyita waktu yang cukup banyak, sementara penyuluh lebih banyak menghabiskan di lapangan dalam menjalankan tugas pokoknya dan masih harus disibukkan dengan berbagai administrasi penyuluhan. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa untuk menerbitkan sebuah karya memerlukan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, meskipun angka kredit yang didapatkan cukup besar, hanya sedikit penyuluh yang melakukan penulisan karya ilmiah. 6.2. Karakteristik Rumahtangga Penyuluh 6.2.1 Rata-rata Jumlah Anggota Rumahtangga Dari total 49 rumahtangga penyuluh responden di BP3K Kabupaten Bogor, terdapat sebanyak 212 ART yang terdiri dari 191 orang laki-laki dan 21 orang perempuan. Dengan perkataan lain, rata-rata terdapat sekitar empat ART per rumahtangga penyuluh. Hal ini juga dapat diartikan bahwa setiap rumahtangga penyuluh, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki dua orang anak. Diduga kondisi ini berhubungan dengan berhasilnya Program Keluarga Berencana yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Hal ini juga dimungkinkan karena latar belakang pendidikan penyuluh yang mayoritas tinggi sehingga tingkat kesadaran mereka akan pentingnya menerapkan KB juga tinggi. Lebih lanjut diketahui bahwa, persentase ART laki-laki sekitar 51,4 persen atau 2,8 persen lebih tinggi dibanding ART perempuan. Hal ini sesuai dengan kondisi umum penduduk di Kabupaten Bogor, dimana persentase penduduk laki-laki juga lebih tinggi sekitar 2,8 persen dibanding penduduk perempuan. 6.2.2 ART Penyuluh Menurut Kelompok Umur Tabel 23 menyajikan data ART Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor menurut kelompok umur.
55
Tabel 28 Anggota Rumahtangga Penyuluh Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, 2010 (dalam persen) Kelompok Umur (tahun) <15 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-61 Jumlah
Penyuluh Pertanian Terampil PeremLaki-laki puan (n= 66) (n=56) 12,0 4,8 11,5 4,8 9,9 14,3 6,8 0,0 0,5 0,0 1,0 0,0 3,7 4,8 7,3 4,8 13,6 9,5 4,2 4,8 0,5 4,8 71,2 52,4
Penyuluh Pertanian Ahli PeremLaki-laki puan (n=41) (n=49) 6,3 4,8 3,7 0 3,1 9,5 1,0 4,8 0,5 0,0 1,0 4,8 3,7 4,8 4,7 0 2,1 9,5 2,1 9,5 0,5 0,0 28,8 47,6
Total Laki-laki (n=107) 18,3 15,2 13,1 7,9 1,0 2,1 7,3 12,0 15,7 6,3 1,0 100,0
Perempuan (n=105) 9,5 4,8 23,8 4,8 0,0 4,8 9,5 4,8 19,0 14,3 4,8 100,0
Sebagaimana terlihat pada Tabel 23, mayoritas ART penyuluh tergolong pada usia produktif (15-65 tahun) dimana persentase ART perempuan lebih tinggi sekitar sepuluh persen dibandingkan ART laki-laki. Sementara itu, persentase ART yang bukan usia produktif (di bawah 15 tahun) lebih rendah sekitar sembilan persen dibanding ART laki-laki. Lebih lanjut, merujuk pada rumus Rusli (1996), diketahui bahwa rasio ketergantungan (dependency ratio)8 pada rumahtangga penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor tergolong rendah yakni sekitar 0,2 atau kurang dari satu, yang artinya bahwa ART usia kerja lebih banyak daripada ART yang bukan usia kerja (ART usia muda dan tua atau lanjut usia). Selengkapnya data ART penyuluh disajikan pada Tabel 23. Secara umum, ART laki-laki berada pada kelompok umur <15 tahun, sedangkan ART perempuan berada pada kelompok umur 20-24 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa masih ART laki-laki maupun perempuan mayoritas masih berada pada usia sekolah. Pada ART PPTL diketahui mayoritas berada pada usia 50-54 tahun, diikuti dengan ART dengan usia <15 tahun, sedangkan pada ART PPTP mayoritas berada pada kelompok umur 20-24 tahun. Pada PPTL, sebanyak 28,2 persen responden merupakan mereka yang masih berada pada usia sekolah, 8
Rumus dependency ratio= Jumlah penduduk umur 0-14 tahun dan 65+ tahun Jumlah penduduk umur 15-64 tahun
56
sedangkan pada PPTP responden usia sekolah diketahui sebanyak 19 persen. Tidak satupun responden pada PPTP yang berada pada kelompok umur 25-39 tahun. Kondisi yang tidak berbeda jauh terlihat pada PPA dimana persentase ART PPAL pada kelompok umur <15 tahun, sementara pada PPAP, persentase ART relatif menyebar pada kelompok umur 20-24 tahun dan 50-59 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa persentase ART berusia lanjut cukup tinggi. 6.2.3 ART Penyuluh Menurut Jenis Pekerjaan Pada Tabel 24 disajikan data mengenai kondisi rumahtangga menurut pekerjaannya. Tabel 29 Anggota Rumahtangga Penyuluh Menurut Jabatan Fungsional, Jenis Pekerjaan dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) Pekerjaan Utama
Tidak Bekerja PNS Industri Industri Rumahtangga Dagang Mengelola usahatani milik orang lain Lainnya Jumlah
Penyuluh Pertanian Terampil PeremLaki-laki puan (n= 66) (n=56) 41,4 23,8 22,0 28,6 1,0 0,0 0,0 0,5 0,0 1,6 0,0 0,5 4,2 71,2
0,0 52,4
Penyuluh Total Pertanian Ahli PeremLakiPeremLakipuan laki puan laki (n=107) (n=105) (n=49) (n=41) 15,7 19,0 57,1 42,9 11,5 28,6 33,5 57,1 0,0 0,5 1,6 0,0 0,0 0,5 1,0 0,0 0,0 0,0 1,6 0,0 0,0 0,0 0,5 0,0 0,5 28,8
0,0 47,6
4,7 100
0,0 100
Pada umumnya pekerjaaan ART baik laki-laki maupun perempuan didominasi oleh PNS, meskupun pada ART penyuluh laki-laki, jenis pekerjaaan relatif lebih beragam. Hal ini dimungkinkan terdapat penyuluh laki-laki dan perempuan yang pasangannya juga PNS. Kemungkinan juga terdapat anggota keluarga yang berprofesi sebagai penyuluh. Persentase yang cukup tinggi pada ART tidak bekerja ditunjukkan pada semua kategori jabatan, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini diduga berhubungan dengan kategori umur penyuluh yang masih produktif sehingga dimungkinkan memiliki anak yang masih dalam usia balita dan sekolah. Hal ini juga dimungkinkan karena ART perempuan dewasa pada rumahtangga penyuluh mengaku hanya berstatus sebagai ibu rumahtangga.
57
6.2.4 ART Penyuluh Menurut Status Perkawinan Pada Tabel 25 disajikan data mengenai profil ART penyuluh menurut status perkawinannya. Terlihat bahwa baik persentase PPTL maupun PPAL yang belum menikah termasuk lebih tinggi dibandingkan dengang PPT/PPA yang sudah menikah. Sebaliknya persentase PPTP dan PPAP yang belum menikah labih rendah. Hal ini diduga berhubungan dengan masih banyaknya ART yang tergolong usia balita dan sekolah dimana jumlah ARTL yang berstatus anak lebih tinggi dibandingkan jumlah ARTP. Tabel 30 Anggota Rumahtangga Penyuluh Menurut Jabatan Fungsional, Status Perkawinan dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) Status Perkawinan
Kawin Belum Kawin Total
Penyuluh Pertanian Terampil PeremLaki-laki puan (n= 136) (n=11) 32,5 28,6 38,7 23,8 71,2 52,4
Penyuluh Pertanian Ahli LakiPeremlaki puan (n=55) (n=10) 14,1 33,3 14,7 14,3 28,8 47,6
Total Lakilaki (n=191 46,6 53,4 100,0
Perempuan (n=21) 61,9 38,1 100,0
Pada ART penyuluh laki-laki dijumpai masih ART yang berumur pada usia sekolah dan balita relatif tinggi, yakni sekitar 33 persen atau lebih tinggi sekitar 19 persen dibanding ART penyuluh perempuan. Hal yang menarik adalah bahwa ART perempuan yang berstatus belum kawin ditemukan pada mereka yang berada pada kategori kelompok umur 25-34 tahun. Hal ini dimungkinkan karena ART berasal dari keluarga yang berpendidikan sehingga orang tua lebih menekankan pada pendidikan dan karir. 6.2.5 ART Penyuluh Menurut Tingkat Pendidikan Formal Pada Tabel 26 disajikan data ART penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor menurut tingkat pendidikan formal mereka. Jika dilihat secara agregat, diketahui mayoritas tingkat pendidikan ARTL penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor berada pada jenjang perguruan tinggi, diikuti oleh mereka yang berpendidikan SMU dan akademi, mayoritas ARTP merupakan mereka yang tingkat pendidikannya perguruan tinggi dan Diploma. Data tersebut mengingat banyak ART penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor yang masih berusia sekolah sehingga dimungkinkan persentase tertinggi merupakan anak-anak penyuluh. Data menunjukkan bahwa
58
tidak satupun ARTP penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor yang memiliki anak pada usia Balita maupun Sekolah Dasar. Tabel 31 Anggota Rumahtangga Penyuluh Menurut Jabatan Fungsional, Tingkat Pendidikan Formal dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) Penyuluh Pertanian Terampil Tingkat Pendidikan
Belum Sekolah SD Belum Tamat SD Tamat SMP/Sederajat SMU/Sederajat Akademi Perguruan tinggi Total
Laki-laki (n= 136) 2,1 1,6 6,3 11,0 16,8 17,8 15,7 71,2
Perempuan (n=11) 0,0 0,0 4,8 4,8 4,8 19,0 19,0 52,4
Penyuluh Pertanian Ahli Lakilaki (n=55) 2,1 1,0 1,0 2,6 5,8 2,1 14,1 28,8
Perempuan (n=10) 0,0 0,0 4,8 0,0 0,0 4,8 38 47,6
Total Lakilaki (n=19 1 4,2 2,6 7,3 13,6 22,5 19,9 29,8 100,0
Perempuan (n=21) 0,0 0,0 9,5 4,8 4,8 23,8 57,1 100,0
6.2.6. Rumahtangga Penyuluh Menurut Tingkat Kekayaan Tingkat kekayaan rumahtangga dihitung berdasarkan nilai rupiah dari kepemilikan barang-barang berharga mencakup kepemilikan barang elektronik, kendaraan bermotor, meja kursi tamu, dan ternak. Dari keseluruhan kepemilikan barang berharga tersebut, kekayaan rata-rata rumahtangga penyuluh pertanian di Kabupaten Bogor sebesar Rp41.024.857,-, sedangkan kekayaan minimum penyuluh sebesar Rp1.450.000,-. Dari total 49 rumahtangga penyuluh, sebanyak 47,6 dan 28,6 persen PPT laki-laki dan perempuan memiliki kekayaan di bawah rata-rata. Sementara pada kategori penyuluh ahli sebanyak 23,8 persen PPAL dan 71,4 PPAP memiliki kekayaan di bawah rata-rata. Responden yang memiliki kekayaan di atas rata-rata telah bekerja selama hampir 30 tahun dengan Golongan IV/a. Kekayaan tertinggi yang dimiliki oleh rumahtangga penyuluh mencapai lebih dari Rp350.000.000,-. Hal ini karena responden memiliki aset berupa kebun pasir dan sawah. Dalam hal kepemilikan barang elektronik, tidak semua rumahtangga responden memiliki barang-barang elektronik seperti televisi, kulkas, telepon genggam, komputer dan kendaraan bermotor. Adapun status kepemilikan barang
59
berharga akan dijelaskan secara rinci berikut ini. Diketahui hanya sebanyak tujuh orang penyuluh laki-laki yang memiliki mobil, sementara motor dimiliki oleh dua orang penyuluh perempuan dan 22 orang penyuluh laki-laki dimana enam diantaranya memiliki dua unit motor. Selanjutnya lima orang penyuluh perempuan dan 16 penyuluh laki-laki memiliki radio. Diketahui hanya satu orang responden yang tidak memiliki televisi. Terdapat tiga orang penyuluh perempuan dan 21 penyuluh laki-laki yang memiliki DVD player. Komputer dimiliki oleh dua orang penyuluh perempuan dan 25 orang penyuluh laki-laki. Kamera dimiliki oleh dua orang penyuluh perempuan serta 15 orang penyuluh laki-laki. Terakhir, terdapat tiga orang penyuluh laki-laki yang menyatakan tidak memiliki telepon genggam. Diduga hal ini tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya mengingat dewasa ini telepon genggam telah menjadi sarana komunikasi yang penting terlebih bagi penyuluh yang dalam menjalankan tugasnya akan berhubungan dengan berbagai pihak. Berdasarkan data, diketahui seluruh rumahtangga penyuluh pertanian di Kabupaten Bogor menggunakan listrik sebagai penerangan. Sebanyak 48 rumahtangga penyuluh atau sebanyak 97,9 persen memiliki rumah milik sendiri, berupa bangunan tunggal, berdinding tembok, berlantai keramik dan beratap dari genting dengan rata-rata luas bangunan 102,16 m2 dan rata-rata luas kamar per individu 3x5 m2. Rumahtangga penyuluh menggunakan sumber air minum yang beragam, antara lain ledeng, sumur pompa, mata air dan sungai. Fasilitas MCK yang dimiliki oleh rumahtangga penyuluh dapat dikatakan sudah memadai. Dalam hal kepemilikan ternak, hanya satu rumahtangga penyuluh yang memiliki kambing. Sebanyak lima rumahtangga memiliki domba dimana jumlah domba yang mereka ternakkan sebanyak 20 ekor. Selanjutnya sembilan rumah tangga berternak ayam dengan jumlah ternak terbanyak 46 ekor dan terendah tiga ekor. Terakhir, satu rumahtangga memelihara bebek. Sebagian besar dari rumahtangga penyuluh pertanian memilih untuk memelihara bebek dan ayam dengan alasan mudah dilakukan. 6.2.7 Rumahtangga Penyuluh Menurut Luas Lahan Usahatani Diketahui tidak semua rumahtangga memiliki lahan pertanian. Dari total 49 rumah tangga hanya terdapat 18 rumahtangga yang terdiri dari 16 rumah tangga
60
penyuluh laki-laki dan dua rumahtangga penyuluh perempuan yang memiliki lahan sawah, kebun pasir dan kolam. Luas lahan usahatani yang dimiliki rumahtangga penyuluh berkisar berkisar antara 0,001-3,39 hektar, dengan ratarata luas lahan 0,69 hektar. Menurut jenis lahannya rata-rata luas lahan sawah yang dimiliki penyuluh adalah 0,69 hektar, sementara rata-rata kebun pasir seluas 0,4 hektar dan rata-rata luas kolam adalah 0,05 hektar. Dari hasil penelitian, diperoleh sebagian besar penyuluh tergolong lapisan rendah menurut kriteria luas lahan usahatani Sayogyo (1983) yaitu <0,25 hektar. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Rumahtangga Penyuluh Menurut Jabatan Fungsional, Penguasaan Lahan Usahatani dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 (dalam persen) Kriteria Luas Lahan (Ha) <0,25 0,25-0,5 >0,5 Total
Penyuluh Pertanian Terampil
Penyuluh Pertanian Ahli
Lakilaki
Lakilaki
25 6,25 25 56,25
Perempuan 0,0 0,0 50,0 50,0
Perempuan
18,75 12,5 12,5 43,75
50,0 0,0 0,0 50,0
Total Lakilaki 43,75 18,75 37,5 100,0
Perempuan 50,0 0,0 50,0 100,0
Jika dilihat menurut jenis kelamin, secara umum tidak satupun PPT dan PPA perempuan yang memiliki luas lahan antara 0,25-0,5 hektar. Selanjutnya diketahui tidak terdapat PPTP yang memiliki luas lahan di bawah 0,5 hektar, sementara pada PPAP tidak satupun responden yang memiliki luas lahan antara 0,25-0,5 hektar. Mayoritas penyuluh laki-laki atau sebanyak tujuh orang memiliki luas lahan <0,25 hektar. Persentase PPTL relatif sebanding pada luas lahan <0,25 dan>0,5 hektar, sedangkan pada PPAL sebanding pada luas lahan 0,25-0,5 hektar dan >0,5 hektar. Mayoritas responden merupakan penyuluh pertanian penyelia, dengan masa kerja rata-rata 26 tahun dan Golongan III/a. Hal yang lebih menarik adalah lahan seluas >0,5 hektar dimiliki oleh Penyuluh Pertanian Pelaksana dengan masa kerja 20 tahun dan Golongan III/a.
BAB VII ANALISIS GENDER DALAM KINERJA PENYULUH DI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN BOGOR Bab berikut ini mendeskripsikan mengenai Akses, Kontrol, Partisipasi dan Manfaat yang didapatkan dari penyuluh di Kabupaten Bogor dalam menjalankan tupoksi sesuai dengan jenjang jabatan masing-masing. Jumlah responden yang diteliti adalah 49 orang penyuluh, yang terdiri dari 42 orang penyuluh laki-laki dan tujuh orang penyuluh perempuan. Responden adalah penyuluh pertanian dan penyuluh kehutanan di Kabupaten Bogor. 7.1 Akses Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor dalam Penyelenggaraan Penyuluhan Akses merupakan akumulasi semua aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh (laki-laki dan perempuan) dalam penyelenggaraan persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan, serta pengembangan penyuluhan pertanian sesuai Tupoksi PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 yang dilakukan dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Akses dilihat dengan merujuk pada sistem Latihan dan Kunjungan (LAKU) yang sejak tahun 1976 digunakan sebab sangat efektif dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan petani. Selain dari kuesioner, berikut juga dilaporkan akses satu orang penyuluh laki-laki dan satu orang penyuluh perempuan berdasarkan laporan kegiatan penyuluhan periode Juli sampai dengan September tahun 2008 di BP3K Dramaga. Adapun akses penyuluh di Kabupaten Bogor selengkapnya akan disajikan berikut ini. 7.1.1 Persiapan Pada Tabel 33 disajikan akses penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor pada Persiapan menurut kategori jabatan dan jenis kelamin. Secara umum, baik PPT maupun PPA laki-laki dan perempuan akses terhadap seluruh kegiatan pada persiapan. Pada kegiatan identifikasi potensi wilayah, persentase PPA relatif lebih tinggi dibandingkan dengan PPT. Ini berarti lebih banyak PPA yang akses terhadap kegiatan identifikasi potensi wilayah. Responden pada kegiatan ini adalah semua penyuluh kecuali pada jenjang Penyelia dan Madya sehingga data
62
pada identifikasi potensi wilayah sebenarnya hanya menggambarkan akses Penyuluh Pelaksana, Pelaksana Lanjutan, Penyuluh Pratama dan Penyuluh Muda. Tabel 33 Persentase Responden Penyuluh Menurut Akses, Jabatan Fungsional dan Jenis kelamin dalam Persiapan Penyuluhan Pertanian di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010
Persiapan
Penyuluh Penyuluh Pertanian Pertanian Ahli Terampil Laki- Perem- Laki- Peremlaki puan laki puan
Identifikasi potensi wilayah (nPPTL=6, nPPTP=1, nPPAL=7, 46,2 nPPAP=2) Memandu penyusunan RUK, RKK,RKD, RKPD (nPPTL=1, 100,0 nPPTP=1) Penyusunan programa penyuluhan pertanian (nPPTL=24, nPPTP=2, 72,7 nPPAL=9, nPPAP=3) Penyusunan rencana kerja tahunan penyuluh pertanian (nPPTL=24, 68,6 nPPTP=2, nPPAL=11, nPPAP=5) Keterangan: PPTL: Penyuluh Pertanian Terampil Laki-Laki PPTP: Penyuluh Pertanian Terampil Perempuan PPAL:Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki PPAP: Penyuluh Pertanian Ahli Perempuan
Total Lakilaki
Perempuan
33,3
53,8
66,7 100,0
100,0
100,0
0,0
0,0 100,0
100,0
40,0
27,3
60,0 100,0
100,0
28,6
31,4
71,4 100,0
100,0
Mayoritas responden pada PPT merupakan Penyuluh Pertanian Pelaksana Lanjutan, sedangkan pada PPA adalah jenjang Penyuluh Pertanian Muda. Pada Tabel 33 terlihat bahwa jumlah PPTL yang akses pada kegiatan identifikasi potensi wilayah lebih tinggi sekitar 12 persen dibandingkan dengan PPTP, sebaliknya pada PPA, dengan selisih yang sama PPAP yang akses pada kegiatan ini lebih tinggi. Hal ini diduga karena PPAP memiliki masa kerja yang relatif lebih lama sehingga lebih berpengalaman. Baik pada penyuluh laki-laki dan perempuan keduanya mayoritas merupakan Penyuluh Pertanian Muda. Pada kegiatan memandu penyusunan rencana usaha petani, diketahui tidak satupun responden yang merupakan PPA. Responden merupakan satu orang PPTL dan PPTP Pelaksana karena kegiatan memandu penyusunan rencana usaha petani hanya terdapat pada jenjang pelaksana. Diketahui kedua responden memandu penyusunan rencana usaha petani.
63
Kegiatan penyusunan programa penyuluhan pertanian dan penyusunan rencana kerja tahunan dilakukan oleh seluruh responden pada penelitian ini. Pada kegiatan penyusunan programa, persentase PPTL lebih tinggi sekitar 30 persen dibanding PPTP dan sebaliknya PPAP lebih tinggi
sekitar 32 persen
dibandingkan PPAL. Pada PPT mayoritas responden berasal dari jenjang Penyelia, sedangkan pada PPA mayoritas responden adalah penyuluh pada jenjang Madya. Berdasarkan hasil wawancara, programa penyuluhan pertanian dibuat oleh setiap BP3K yang dalam perumusannya disesuaikan dengan programa daerah dan musyawarahkan dalam rapat di BP3K masing-masing. Dengan melihat fakta bahwa hanya sedikit penyuluh yang berpartisipasi dalam penyusunan programa penyuluhan pertanian, diduga karena setiap BP3K memiliki tim khusus penyusunan programa yang ditunjuk dengan Surat Keputusan Kepala BP4K sehingga menjadi wajar jika tidak semua penyuluh terlibat. Persentase PPAP yang lebih tinggi diduga karena responden memiliki jabatan, baik di BP3K maupun di BP4K sehingga memungkinkan bagi responden tersebut untuk berpartisipasi dalam penyusunan programa penyuluhan pertanian. Kegiatan berikutnya pada persiapan adalah penyusunan Rencana Kerja Tahunan Penyuluh (RKTP) yang merupakan rencana tertulis yang dibuat oleh penyuluh pertanian untuk suatu wilayah kerja tertentu dalam bentuk kegiatan penyuluhan pertanian. Pada kegiatan penyusunan rencana kerja tahunan persentase PPTL relatif jauh lebih tinggi dibandingkan PPTP yakni sebesar 40 persen. Demikian halnya persentase PPAP lebih tinggi dari PPAL. Responden yang paling banyak melakukan kegiatan ini adalah PPT Penyelia. Kegiatan ini dilakukan oleh seluruh PPT Perempuan yang menjadi responden pada penelitian ini. Berdasarkan data dari lapangan diketahui bahwa penyusunan rencana kerja merupakan kewajiban bagi setiap penyuluh. Penyusunan RKTP harus dibuat seorang penyuluh dua kali dalam setahun atau paling kurang sekali setahun. Berdasarkan data pada Tabel 33, dari total 49 responden hanya terdapat 42 orang penyuluh yang membuat rencana kerja tahunan. Ini artinya baru sekitar 86 persen penyuluh yang memiliki rencana kerja tahunan. Meskipun persentasenya tinggi, namun belum mencapai target yang seharusnya yakni 100 persen. Diduga hal ini
64
diakibatkan karena masih lemahnya kemampuan administrasi penyuluh di Kabupaten Bogor. Selain rencana kerja tahunan, merujuk pada sistem kerja LAKU, penyuluh juga diharuskan membuat rencana kerja dwi mingguan. Unsur-unsur di dalam rencana kegiatan terdiri atas tanggal kunjungan, kelompok tani sasaran, desa dan kegiatan yang akan dilakukan. Berdasarkan laporan, diketahui penyuluh laki-laki maupun perempuan membuat rencana kerja bulanan. Adapun contoh rencana kerja bulanan penyuluh, dapat dilihat pada Lampiran 5. 7.1.2 Pelaksanaan Adapun data mengenai akses penyuluh dalam Pelaksanaan penyuluhan pertanian disajikan pada Tabel 34. Tabel 34
Persentase Responden Penyuluh Menurut Akses, Jabatan Fungsional dan Jenis kelamin dalam Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010
Pelaksanaan
Penyuluh Penyuluh Pertanian Pertanian Ahli Terampil Laki- Perem- Laki- Peremlaki puan laki puan
Penyusunan materi (nPPTL=24, nPPTP=1 85,7 50,0 nPPAL=4, nPPAP=1) Perencanaan penerapan metode penyuluhan pertanian 66,7 28,6 (nPPTL=28, nPPTP=2, nPPAL=14, nPPAP=5) Menumbuhkan/ Mengembangkan 26,7 0,0 kelembagaan petani (nPPTL=4, nPPTP=1, nPPAL=11, nPPAP=2) Keterangan: PPTL: Penyuluh Pertanian Terampil Laki-Laki PPTP: Penyuluh Pertanian Terampil Perempuan PPAL:Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki PPAP: Penyuluh Pertanian Ahli Perempuan
Total Lakilaki
Perempuan
14,3
50,0
100,0
100,0
33,3
71,4
100,0
100,0
73,3
100,0
100,0
100,0
Data pada Tabel 34 menunjukkan persentase PPT yang akses terhadap Pelaksanaan lebih tinggi dibandingkan dengan PPA. Mayoritas responden pada PPT merupakan penyuluh jenjang Penyelia, sedangkan pada PPA mayoritas responden merupakan penyuluh jenjang Muda. Pada kegiatan penyusunan materi
65
yang merupakan tupoksi setiap kategori jabatan kecuali PPT Pelaksana dan PPA Madya, persentase PPTL lebih tinggi sekitar 35 persen dibandingkan PPTP, Dengan jumlah selisih persentase yang sama, akses PPAP lebih tinggi dibandingkan PPAL. Namun demikian, meskipun persentase PPAP lebih tinggi, jumlah PPAL yang akses terhadap penyusunan materi lebih banyak sebab penyuluh perempuan pada kegiatan penyusunan materi hanya dua orang. Kegiatan ini merupakan tupoksi setiap kategori jabatan kecuali PPT Pelaksana dan PPA Madya. Materi yang disusun oleh penyuluh antara lain berbentuk seri foto, buklet dan poster. Pada umumnya penyuluh tidak membuat materi dalam bentuk multimedia seperti film pendek dan VCD/DVD. Hal ini dimungkinkan karena minimnya fasilitas di BP4K/BP3K. Meskipun sebenarnya penyuluh telah diberi pelatihan multimedia namun tidak tersedianya fasilitas menjadi hambatan yang cukup berarti. Disisi lain, penyuluh yang mayoritas sudah tua diduga kurang akses terhadap teknologi misalnya komputer. Hal ini juga terlihat dari jumlah penyuluh yang memiliki komputer yakni 27 orang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah seorang penyuluh di BP3K Ciseeng yakni NK berikut ini: ‘Penyuluh itu ibaratkan orang yang ditinggalkan di hutan tanpa perbekalan. Dia harus mencari sendiri apa yang dibutuhkannya.’ Berdasarkan laporan BP3K Dramaga, diketahui penyuluh laki-laki dan perempuan memberikan materi antara lain mengenai pemupukan, pengolahan tanah, penanggulangan hama dan dinamika kelompok. Adapun metode yang digunakan oleh penyuluh laki-laki lebih bervariasi dibandingkan penyuluh perempuan yakni, demonstrasi plot, demonstrasi cara, ceramah dan kursus. Sementara penyuluh perempuan menggunakan demonstrasi cara dan kursus. Penyuluh perempuan lebih banyak memberi materi yang bersifat menambah pengetahuan petani, sedangkan penyuluh laki-laki lebih banyak memberikan materi yang dalam bentuk praktek. Diduga, hal ini disebabkan karena penyuluh perempuan lebih senior dibandingkan penyuluh laki-laki sehingga penyuluh perempuan cenderung tidak mau ke lapangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah seorang penyuluh di BP3K wilayah Cigudeg bahwa penyuluh yang sudah tua cenderung lebih “malas” ke lapangan.
66
Pada perencanaan penerapan metode penyuluhan pertanian persentase PPTL lebih tinggi dibandingkan PPTP dan persentase PPAP lebih tinggi dari PPTP sekitar 31 persen. Adapun metode yang digunakan meliputi demonstrasi farm, demonstrasi cara, demonstrasi plot dan demonstrasi area. Terakhir, pada kegiatan penumbuhan dan pengembangan kelembagaan petani, PPTP tidak akses terhadap kegiatan tersebut, sedangkan persentase PPAP lebih tinggi sekitar 26 persen dibandingkan PPAL. Adapun kegiatan penumbuhan dan pengembangan kelembangan petani diantaranya penumbuhan kelompok tani dan GAPOTAN. Laporan dari BP3K periode Juli-September 2008 menunjukkan bahwa penyuluh laki-laki membina delapan kelompok tani, sedangkan penyuluh perempuan membina tiga kelompok tani. Baik penyuluh laki-laki maupun perempuan melakukan kunjungan pada dua sampai empat kelompok tani secara rutin dengan rata-rata peserta yang hadir masing-masing sembilan dan enam orang. Kedua penyuluh melakukan pertemuan di rumah ketua kelompok tani maupun di saung. Pada dasarnya waktu kunjungan dapat diatur secara fleksibel, tergantung kesepakatan antara petani dan penyuluh. Merujuk pada sistem kerja LAKU, setiap penyuluh harus membina delapan sampai 16 kelompok tani dan dijadwalkan mengunjungi setiap kelompok sekali dalam dua minggu. Dengan kunjungan kerja ini diharapkan seorang penyuluh pertanian dapat mempengaruhi 100 orang petani per kelompok tani. Melihat fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa penyuluh perempuan belum memenuhi aturan Sistem Kerja LAKU dalam hal jumlah kelompok tani yang dibina. Sementara target dapat mempengaruhi 100 orang petani per kelompok tani juga belum dapat dicapai baik oleh penyuluh lakilaki, maupun penyuluh perempuan. Penyuluh laki-laki melakukan 15 kali kunjungan dan penyuluh perempuan melakukan 14 kali kunjungan, dimana masing-masing melakukan satu kali latihan dan satu kali kegiatan koordinasi di BP3K. Hal ini sesuai dengan sistem kerja LAKU yang menyatakan bahwa latihan bagi penyuluh pertanian diselenggarakan di BPP atau ditempat lain dengan jadwal sekali dalam dua minggu. Latihan tersebut diselenggarakan secara teratur, terarah dan berkelanjutan. Proses latihan (belajar-mengajar) difasilitasi oleh penyuluh pertanian yang menguasi materi, maupun tenaga ahli dari lembaga lainnya.
67
7.1.3 Evaluasi dan Pelaporan Kegiatan selanjutnya dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian adalah Evaluasi dan Pelaporan. Dari hasil evaluasi penyuluhan pertanian dapat diketahui sejauhmana perubahan perilaku petani, hambatan yang dihadapi petani, efektivitas program penyuluhan pertanian serta seberapa jauh pemahaman masalah dan penyempurnaan kegiatan. Evaluasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian merupakan proses yang sistematis, sebagai upaya penilaian atas suatu kegiatan oleh evaluator melalui pengumpulan dan analisis informasi secara sistematik mengenai perencanaan, pelaksanaan, hasil dan dampak kegiatan penyuluhan pertanian. Hasil evaluasi ini untuk menilai relevansi, efektifitas dan efisiensi hasil suatu kegiatan, untuk selanjutnya digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan
pada
perencanaan
dan
pengembangan
kegiatan
selanjutnya. Adapun akses penyuluh dalam evaluasi selengkapnya disajikan pada Tabel 35. Tabel 35 Persentase Responden Penyuluh Menurut Akses, Jabatan Fungsional dan Jenis kelamin dalam Evaluasi dan Pelaporan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010
Evaluasi dan Pelaporan
Penyuluh Pertanian Terampil Laki- Peremlaki puan
Evaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian 81,8 0,0 (nPPTL=9, nPPAL=2) Evaluasi dampak pelaksanaan penyuluhan pelaksanaan 50,0 0,0 (nPPTL=4, nPPAL=4, nPPAP=2) Keterangan: PPTL: Penyuluh Pertanian Terampil Laki-Laki PPTP: Penyuluh Pertanian Terampil Perempuan PPAL:Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki PPAP: Penyuluh Pertanian Ahli Perempuan
Penyuluh Pertanian Ahli Lakilaki
Perempuan
Total Lakilaki
Perempuan
18,2
0,0 100,0
0,0
50,0
100,0 100,0
100,0
Pada Tabel 35 diketahui pada kategori penyuluh terampil tidak satupun penyuluh perempuan yang akses terhadap Evaluasi dan Pelaporan, sedangkan pada kategori penyuluh ahli hanya satu orang PPAP yang akses terhadap kegiatan ini. Sebagaimana yang terlihat di atas, persentase PPTL jauh lebih tinggi dibandingkan PPAP. Meskipun data di atas memperlihatkan tidak semua
68
penyuluh melakukan evaluasi, namun berdasarkan laporan BP3K Dramaga tahun 2008, diketahui penyuluh membuat laporan rutin setiap bulan berupa matriks kegiatan dan laporan yang lebih rinci lagi dibuat per tiga bulan. Terlebih, mulai tahun 2010 telah ada aturan yang mewajibkan seluruh penyuluh untuk membuat laporan kegiatan secara rinci setiap bulan. Pada Laporan Pelaksanaan Penyuluhan di BP3K Dramaga (2008) dapat dilihat bahwa baik penyuluh laki-laki maupun penyuluh perempuan membuat laporan kegiatan penyuluhan dalam bentuk matriks kegiatan yang dilaporkan setiap satu bulan sekali, dan laporan triwulan secara lebih rinci dilaporkan ke Dinas Pertanian. Dalam laporan tersebut terdapat rencana kerja bulanan, matriks laporan kegiatan, resume kegiatan dan daftar hadir petani. Adapun contoh resume dan daftar hadir petani dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8. Berdasarkan hasil wawancara, penyuluh menggunakan hari Jum’at untuk menyelesaikan kegiatan administrasi yang meliputi pembuatan rencana kerja dan matriks kegiatan. Rencana kegiatan tersebut harus dievaluasi dan dilaporkan dalam bentuk matriks kunjungan kepada BP4K setiap bulan. Mulai tahun 2010, kegiatan penyuluhan secara lebih rinci harus dilaporkan ke BP4K setiap bulan. Umumnya penyuluh lemah dalam administrasi sehingga seringkali pelaporan terlambat dilakukan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh ketua BP3K wilayah Cibungbulang dan salah seorang penyuluh di BP3K wilayah Cigudeg. Demikian halnya yang terjadi di BP3K wilayah Dramaga, dari sebelas orang penyuluh PNS, baru empat orang penyuluh yang melaporkan kegiatan pada bulan Juni. Namun demikian, matriks laporan kunjungan tersedia setiap bulan. Penyuluh laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan penghasilan di luar gaji pokok berupa honorarium pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang terdiri atas uang pembinaan dan pertemuan bulanan. Baik laki-laki maupun perempuan memperoleh jumlah honor yang sama. Namun demikian, pada pelaksanaan penyuluhan pertanian, terlihat kinerja yang berbeda antara penyuluh laki-laki dan penyuluh perempuan. 7.1.4 Pengembangan Penyuluhan Pertanian Data mengenai akses penyuluh dalam Pengembangan Penyuluhan Pertanian disajikan pada Tabel 36.
69
Tabel 36
Persentase Penyuluh Menurut Akses, Jabatan Fungsional dan Jenis kelamin dalam Pengembangan Penyuluhan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 Penyuluh Pertanian Ahli LakiPeremlaki puan
Pengembangan Penyuluhan
Total Lakilaki
Perempuan
Penyusunan pedoman/juklak/juknis penyuluhan pertanian (nPPAL=2, nPPAP=1)
100,0
100,0
100,0
100,0
Kajian kebijakan pengembangan penyuluhan pertanian (nPPAL=2)
100,0
0,0
100,0
0,0
Pengembangan metode/sistem kerja penyuluhan pertanian (nPPAL=2)
100,0
0,0
100,0
0,0
Keterangan: PPAL:Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki PPAP: Penyuluh Pertanian Ahli Perempuan
Kegiatan Pengembangan Penyuluhan Pertanian merupakan tupoksi PPA, sehingga tabel di atas hanya mencantumkan data pada PPA. Sebagaimana terlihat pada Tabel 36, dari total 12 penyuluh laki-laki dan empat orang penyuluh perempuan seluruhnya melaksanakan penyusunan juklak dan juknis penyuluhan. Diketahui hanya PPAL yang terlibat pada kajian kebijakan pengembangan penyuluhan pertanian dan pengembangan metode/sistem kerja penyuluhan pertanian. Hal ini dimungkinkan karena responden merupakan kepala BP3K di Kabupaten Bogor dengan jenjang jabatan Penyuluh Muda sehingga sangat wajar jika responden terlibat dalam kegiatan tersebut. 7.2
Kontrol Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor dalam Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian Kontrol penyuluh dalam penyelenggaraan programa penyuluhan adalah
peranserta penyuluh (laki-laki dan perempuan) dan pihak lainnya (khususnya sesuai struktur dalam BP4K) dalam
proses pengambilan keputusan
dalam
semua aktivitas atau kegiatan dalam penyelenggaraan persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan, serta pengembangan penyuluhan pertanian sesuai Tupoksi PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 yang dilakukan dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
70
7.2.1 Persiapan Kontrol penyuluh dalam persiapan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 37 di bawah ini. Tabel 37 Persentase Responden Penyuluh Menurut Penentu Keputusan, Kategori Jabatan dan Jenis Kelamin dalam Persiapan Penyuluhan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 Penentu Keputusan
Penyuluh Pertanian Terampil
Penyuluh Pertanian Ahli
Lakilaki
Lakilaki
Perempuan
Perem -puan
Total Lakilaki
Identifikasi potensi wilayah (nPPTL=6, nPPTP=1, nPPAL=7, nPPAP=2) Sendiri 30,8 0,0 38,5 33,3 69,2 Atasan langsung 15,4 33,3 15,4 33,3 30,8 Sub Total 46,2 33,3 53,8 66,7 100,0 Memandu penyusunan rencana usaha petani(nPPTL=1, nPPTP=1) Atasan langsung 100,0 100,0 0,0 0,0 100,0 Sub Total 100,0 100,0 0,0 0,0 100,0 Penyusunan programa penyuluhan pertanian (nPPTL=24, nPPTP=2, nPPAL=9, nPPAP=3) Sendiri 9,1 20,0 6,1 0,0 15,2 Atasan langsung 54,5 20,0 21,2 60,0 75,8 Kepala Badan 6,1 0,0 0,0 0,0 6,1 Atasan langsung, sendiri 3,0 3,0 0,0 0,0 0,0 dan lainnya Sub Total 72,7 40,0 27,3 60,0 100,0 Penyusunan rencana kerja tahunan penyuluh pertanian (nPPTL=24, nPPTP=2, nPPAL=9, nPPAP=3) Sendiri 8,6 0,0 20,0 14,3 28,6 Atasan langsung 60,0 28,6 11,4 57,1 71,4 Sub Total 68,6 28,6 31,4 71,4 100,0 Keterangan: PPTL: Penyuluh Pertanian Terampil Laki-Laki PPTP: Penyuluh Pertanian Terampil Perempuan PPAL:Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki PPAP: Penyuluh Pertanian Ahli Perempuan
Pere mpuan 33,3 66,7 100,0 100,0 100,0
20,0 80,0 0,0 0,0 100,0
14,3 85,7 100,0
Sebagaimana terlihat pada Tabel 37 secara umum penentu keputusan dalam persiapan adalah atasan langsung kecuali pada PPT/PPA laki-laki dalam kegiatan identifikasi potensi wilayah dan PPTP pada penyusunan programa penyuluhan pertanian. Hal ini mengingat responden bekerja di BP3K sehingga segala keputusan ditentukan oleh Kepala BP3K. Namun demikian, baik penyuluh laki-laki maupun penyuluh perempuan keduanya melakukan kontrol pada seluruh
71
kegiatan kecuali pada penyusunan rencana usaha petani. Hal ini diduga terkait dengan penerapan sistem LAKU yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga penyuluh harus melaksanakan sebagai pedoman yang ada. Selain itu, terdapat PPTL yang mengaku bahwa penentu keputusan pada penyusunan programa adalah Kepala Badan. Hal ini juga terkait adanya aturan bahwa tim penyusun programa penyuluhan pertanian harus ditunjuk melalui SK. 7.2.2 Pelaksanaan Adapun kontrol penyuluh dalam Pelaksanaan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38 Persentase Responden Penyuluh Menurut Penentu Keputusan, Kategori Jabatan dan Jenis Kelamin dalam Pelaksanaan Penyuluhan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 Penyuluh Penyuluh Pertanian Pertanian Ahli Terampil Penentu Keputusan Laki- Perem- Laki- Peremlaki puan laki puan Penyusunan materi (nPPTL=24, nPPTP=1 nPPAL=4, nPPAP=1)
Total Lakilaki
Perempuan
Sendiri
17,9
0,0
14,3
50,0
32,1
50,0
Atasan langsung
64,3
50,0
0,0
0,0
64,3
50,0
3,6
0,0
0,0
0,0
3,6
0,0
85,7
50,0
14,3
50,0
100,0
100,0
Kepala Badan, sendiri Sub Total
Perencanaan penerapan metode penyuluhan pertanian (nPPTL=28, nPPTP=2, nPPAL=14, nPPAP=5) Sendiri
23,8
0,0
4,8
14,3
28,6
14,3
Atasan langsung
40,5
28,6
28,6
57,1
69,0
85,7
2,4
0,0
0,0
0,0
2,4
0,0
Sub Total 66,7 28,6 33,3 71,4 100,0 Menumbuhkan/ Mengembangkan kelembagaan petani (nPPTL=4, nPPTP=1, nPPAL=11, nPPAP=2) Sendiri 0,0 0,0 26,7 33,3 26,7
100,0
Kepala Badan, sendiri
Atasan langsung Kepala Badan, sendiri Sub Total
33,3
20,0
33,3
46,7
33,3
66,7
66,7
6,7
0,0
0,0
0,0
6,7
0,0
26,7
33,3
73,3
66,7
100,0
100,0
Keterangan: PPTL: Penyuluh Pertanian Terampil Laki-Laki PPTP: Penyuluh Pertanian Terampil Perempuan PPAL:Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki PPAP: Penyuluh Pertanian Ahli Perempuan
72
Seperti terlihat pada Tabel 38, kontrol PPT dan PPA baik laki-laki maupun perempuan pada setiap kegiatan pada pelaksanaan dilakukan oleh atasan langsung. Persentase tertinggi penyuluh laki-laki dan perempuan terdapat pada perencanaan penerapan metode penyuluhan pertanian. Pada penyusunan materi baik PPAL maupun PPAP keduanya sama-sama melakukan kontrol sendiri. Hal ini dimungkinkan karena penyuluh yang mengetahui kondisi objek penyuluhan sehingga penyusunan materi dilakukan sesuai karakteristik objek penyuluhan tersebut. 7.2.3 Evaluasi dan Pelaporan Data mengenai
kontrol penyuluh dalam Evaluasi dan Pelaporan
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39 Persentase Responden Penyuluh Menurut Penentu Keputusan, Kategori Jabatan dan Jenis Kelamin dalam Evaluasi dan Pelaporan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010 Penentu Keputusan
Penyuluh Pertanian Terampil Lakilaki
Perempuan
Penyuluh Pertanian Ahli Lakilaki
Perempuan
Total Laki-laki
Perempuan
Evaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian (nPPTL=9, nPPAL=2) Sendiri
63,6
0,0
9,1
0,0
72,7
0,0
Atasan langsung Sub Total
18,2 81,8
0,0 0,0
9,1 18,2
0,0 0,0
27,3 100,0
0,0 0,0
Evaluasi dampak pelaksanaan penyuluhan pelaksanaan (nPPTL=4, nPPAL=4, nPPAP=2) 0,0 Sendiri 25,0 25,0 50,0 50,0 0,0 Atasan langsung 25,0 25,0 50,0 50,0 Sub Total 50,0 0,0 50,0 Keterangan: PPTL: Penyuluh Pertanian Terampil Laki-Laki PPTP: Penyuluh Pertanian Terampil Perempuan PPAL:Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki PPAP: Penyuluh Pertanian Ahli Perempuan
100,0
100,0
50,0 50,0 100,0
Sebagaimana terlihat pada Tabel 39, mayoritas penentu keputusan penyuluh dalam Evaluasi dan Pelaporan dilakukan sendiri oleh penyuluh dan atasan langsung. Selanjutnya penentu keputusan PPT dan PPA laki-laki maupun perempuan untuk melakukan evaluasi dampak pelaksanaan penyuluhan pertanian
73
seimbang antara dilakukan sendiri atau ditentukan atasan langsung kecuali pada PPTL dalam kegiatan evaluasi pelaksanaan penyuluhan. Berdasarkan hasil magang diketahui bahwa sebenarnya kontrol penyuluh laki-laki dan perempuan baik pada PPT maupun PPA dilakukan oleh atasan langsung. Hal ini terlihat dari laporan yang harus dibuat setiap bulan oleh setiap penyuluh untuk diserahkan kepada BP4K. 7.2.4 Pengembangan Penyuluhan Berikut ini disajikan data kontrol penyuluh dalam Pengembangan Penyuluhan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Pengembangan Penyuluhan hanya terdapat pada jenjang jabatan PPA Muda dan Madya. Adapun data tersebut dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40
Persentase Responden Penyuluh Menurut Penentu Keputusan, Kategori Jabatan dan Jenis Kelamin dalam Pengembangan Penyuluhan di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2010
Penentu Keputusan
Penyuluh Pertanian Ahli
Total
PeremPeremLaki-laki puan puan Penyusunan pedoman/juklak/juknis penyuluhan pertanian (nPPAL=2, nPPAP=1) Laki-laki
Sendiri
0,0
0,0
0,0
0,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Sub Total 100,0 100,0 100,0 Kajian kebijakan pengembangan penyuluhan pertanian (nPPAL=2) Sendiri 0,0 0,0 0,0 Atasan langsung 100,0 0,0 0,0 Sub Total 100,0 0,0 100 Pengembangan metode/sistem kerja penyuluhan pertanian (nPPAL=2) Sendiri 0,0 0,0 0,0 Atasan langsung 100,0 0,0 0,0 Sub Total 100,0 0,0 100,0
100,0
Atasan langsung
0,0 0,0 100 0,0 0,0 100,0
Keterangan: PPAL:Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki PPAP: Penyuluh Pertanian Ahli Perempuan
Data pada Tabel 40 mewakili masing-masing dua orang PPAL dan satu orang PPAP pada jenjang PPA Muda, kecuali pada kegiatan pengembangan metode/sistem kerja penyuluhan pertanian hanya diwakili oleh satu orang PPAL
74
dari jenjang jabatan yang sama. Sebagaimana terlihat pada Tabel 34, kontrol dalam seluruh kegiatan pada pengembangan penyuluhan baik PPAL maupun PPAP dilakukan oleh atasan langsung. 7.3 Partisipasi Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor 7.3.1 Partisipasi Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor dalam Kegiatan Pendampingan Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) Berikut ini akan dideskripsikan mengenai partisipasi penyuluh yakni keikutsertaan penyuluh dalam kegiatan Pendampingan Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) Tahun 2009. Partisipasi penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor pada PUAP akan disajikan pada Tabel 41. Tabel 41 Persentase Responden Penyuluh Menurut Partisipasi dalam PUAP, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2009 Partisipasi dalam PUAP Tidak Ya Jumlah
Penyuluh Pertanian Terampil PeremLaki-laki puan (n= 28) (n=2) 42,9 28,6 23,8 0,0 66,7 28,6
Penyuluh Pertanian Ahli PeremLakipuan laki (n=5) (n=14) 14,3 42,9 19,0 28,6 33,3 71,4
Total Laki-laki (n=42) 57,1 42,9 100,0
Perempuan (n=7) 71,4 28,6 100,0
Sebagaimana terlihat pada Tabel 41 secara umum, persentase penyuluh lakilaki maupun perempuan yang berpartisipasi pada PUAP tidak mencapai 50 persen. Persentase penyuluh laki-laki yang berpartisipasi pada PUAP lebih tinggi 14 persen dibandingkan dengan penyuluh perempuan. Jika dilihat dari kategori jabatannya, tidak satupun PPTP yang berpartisipasi pada PUAP, sedangkan persentase PPTL sekitar 24 persen. Selanjutnya, persentase PPAP lebih tinggi sekitar sepuluh persen. Diduga, tidak semua penyuluh berpartisipasi pada PUAP karena tidak semua wilayah menerima proyek PUAP pada tahun 2009. Berdasarkan laporan, diketahui hanya delapan BP3K yang memperoleh proyek PUAP yakni: BP3K wilayah Leuwiliang, Cibungbulang, Jonggol, Cigudeg, Dramaga, Parung Panjang, Ciawi dan Ciseeng. Dengan demikian, data tersebut hanya menggambarkan penyuluh yang wilayah binaannya memperoleh proyek PUAP pada tahun 2009.
75
7.3.2 Partisipasi Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor dalam Kegiatan Prima Tani Secara umum diketahui bahwa mayoritas penyuluh di BP4K kabupaten Bogor tidak berpartisipasi pada Prima Tani. Pada PPTP tidak satupun penyuluh yang berpartisipasi pada Prima Tani. Persentase PPTA lebih tinggi sekitar 12 persen. Berdasarkan laporan diketahui bahwa terdapat 25 Gapoktan yang mewakili tiga BP3K yakni BP3K wilayah Leuwiliang, Cibungbulang dan Cigudeg. Dengan demikian, data tersebut hanya menggambarkan penyuluh yang wilayah binaannya memperoleh proyek PUAP pada tahun 2009. Partisipasi penyuluh di BP4K dalam Kegiatan Prima Tani disajikan pada Tabel 42. Tabel 42 Persentase Responden Penyuluh Menurut Partisipasi pada Prima Tani Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun 2009
Partisipasi pada Prima Tani Tidak Ya Jumlah
Penyuluh Pertanian Terampil PeremLaki-laki puan (n= 28) (n=2) 52,4 14,3 66,7
28,6 0,0 28,6
Penyuluh Pertanian Ahli PeremLakipuan laki (n=5) (n=14) 16,7 16,7 33,3
Total Laki-laki (n=42)
42,9 28,6 71,4
69,0 31,0 100,0
Perempuan (n=7) 71,4 28,6 100,0
Baik pada PUAP maupun Prima Tani, diketahui penyuluh yang berpartisipasi mayoritas memiliki jabatan antara lain sebagai Koordinator Penyuluhan. Status penyuluh perempuan yang terlibat dalam kedua proyek kebanyakan sebagai narasumber. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan dalam partisipasi antara penyuluh laki-laki dan perempuan sehingga perempuan tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. 7.4
Manfaat Penyuluh di BP4K Kabupaten Bogor dalam Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian Manfaat diukur berdasarkan gaji pokok dan semua tunjangan yang
dibayarkan kepada penyuluh setiap bulan sesuai dengan jenjang jabatan masingmasing. Pada Tabel 43 di bawah ini akan dijelaskan mengenai manfaat berdasarkan kategori jabatan dan jenis kelamin.
76
Tabel 43 Persentase Responden Penyuluh Menurut Kategori Manfaat, Jabatan Fungsional dan Jenis Kelamin di BP4K Kabupaten Bogor, Tahun Penyuluh Pertanian Terampil Manfaat Laki-laki
Perempuan
Di bawah rata15 2 rata Di atas rata13 0 rata 28 2 Jumlah Keterangan: Pendapatan minimum:Rp1.905.700,Pendapatan rata-rata: Rp2.847.199,Pendapatan maksimum: Rp3.476.600,-
Penyuluh Pertanian Ahli Laki-laki
Perempuan
Total Lakilaki
Perempuan
4
1
19
3
10
4
23
4
14
5
42
7
Data pada Tabel 43 memperlihatkan bahwa secara umum manfaat yang diterima baik pada penyuluh laki-laki maupun penyuluh perempuan pada semua jenjang berada di atas rata-rata, yakni antara Rp2.847.199,- sampai dengan Rp3.476.600,-. Pada PPTL diketahui sebanyak 15 orang penyuluh mendapat
manfaat di bawah rata-rata atau antara Rp1.905.700,- sampai dengan Rp2.847.199,-. Hal ini wajar mengingat mayoritas responden merupakan Penyuluh Penyelia. Demikian halnya, tidak satupun PPTP yang memperoleh manfaat di atas rata-rata. Hal ini diduga karena terdapat responden perempuan yang baru bekerja selama 15 tahun, sedangkan responden yang lain hanya tinggal bersama suami sehingga tunjangan anak tidak diperoleh. Hal ini juga turut mengurangi jumlah tunjangan pangan sehingga pendapatan mereka di bawah rata-rata. Pada jenjang Penyuluh Ahli, baik laki-laki maupun perempuan memperoleh manfaat dalam kategori di atas rata-rata dimana jumlah PPAL lebih banyak dibandingkan PPAP. Hal ini wajar sebab tinggi rendahnya manfaat antara lain dipengaruhi oleh tunjangan yang diterima. Semakin tinggi jenjang jabatan, maka semakin tinggi tunjangan yang diterima. Pada jenjang terampil mayoritas manfaat yang diperoleh penyuluh termasuk dalam kategori rendah. Selain itu, manfaat yang diterima juga dipengaruhi oleh lama bekerja. Oleh karena rata-rata lama bekerja penyuluh ahli lebih tinggi dibandingkan dengan penyuluh terampil, dengan sendirinya manfaat yang diterima semakin tinggi pula.
77
7.5 Penyuluh dalam Menjalankan Tupoksinya Berikut ini akan digambarkan mengenai kegiatan penyuluh pertanian dalam jangka waktu satu hari berdasarkan hasil magang yang dilakukan oleh penulis. Oleh karena magang hanya dilakukan pada penyuluh laki-laki, maka berikut ini dilaporkan kegiatan Penyuluh Pertanian Pelaksana dan Penyuluh Pertanian Madya laki-laki. Penyuluh berangkat menuju lokasi pertemuan sekitar pukul 08.00 WIB dari BP3K Dramaga. Pada saat itu akan diadakan pertemuan dengan Kelompok Tani Harjaloka. Persiapan yang dilakukan oleh penyuluh sebelum melakukan kunjungan antara lain administrasi berupa daftar hadir dan berita acara, persiapan materi, metode dan alat peraga penyuluhan. Perjalanan menuju lokasi pertemuan ditempuh selama 30 menit. Sesampainya di lokasi, terlebih dahulu penyuluh berbincang–bincang dengan Ketua Kelompok Tani. Pertemuan baru akan dimulai ketika semua anggota kelompok tani sudah berkumpul. Sekitar pukul 09.50 WIB, pertemuan yang dimulai. Setiap kali pertemuan, mayoritas dihadiri oleh kaum laki-laki. Topik pertemuan kali ini adalah mengenai sosialisasi bantuan Jaringan Irigasi Desa (JIDES) yang akan diterima oleh Kelompok Tani Harjaloka. Sosialisasi disampaikan penyuluh dan dibantu oleh Petugas Unit Pelaksana Teknis Pengembangan Teknologi Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Kehutanan (UPT PTTPHK). Penyuluhan dilakukan dengan menggunakan bahasa Sunda. Menurut penyuluh, hal ini penting untuk mencipatakan suasana kekeluargaan sehingga penyuluhan berjalan dengan baik. Suasana penyuluhan yang dibangun adalah suasana informal, sebab petani harus merasa bahwa penyuluh adalah rekan. Mengingat tidak semua petani senang jika dikunjungi penyuluh, maka penyuluh harus menyesuaikan waktu penyuluhan sesuai dengan kesepakatan dengan petani. Dalam menyampaikan materi, penyuluh menggunakan media antara lain dengan menggunakan leaflet. Adapun penyuluhan dilakukan hingga menjelang waktu Dzuhur. Oleh karena sudah tidak ada jadwal kunjungan, penyuluh kembali kantor BP3K Dramaga untuk melaksanakan kegiatan administrasi. Pada kasus penyuluh lainnya, kunjungan dilakukan hingga pukul 16.30 WIB. Berdasarkan
78
informasi dari penyuluh, idealnya dalam satu hari minimal kunjungan dilakukan kepada dua Kelompok Tani, namun jika hal tersebut tidak dapat dilakukan kunjungan dilakukan minimal pada satu kelompok tani. Waktu ideal untuk melakukan kunjungan adalah setelah Dzuhur, sebab pada saat itu petani umumnya sudah menyelesaikan pekerjaannya. 7.6 Permasalahan yang dihadapi Penyuluh dalam Menjalankan Tupoksi Sesuai Kategori Jabatan Terdapat beberapa permasalahan dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Bogor. Data dari BP4K Kabupaten Bogor menunjukkan terdapat 170 orang penyuluh PNS yang terdiri atas 141 penyuluh laki-laki dan 29 orang penyuluh perempuan. Sementara itu terdapat 426 desa yang menjadi wilayah sasaran penyuluhan. Fakta di atas menunjukkah bahwa Kabupaten Bogor kekurangan penyuluh. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kepala BP4K Kabupaten Bogor dan Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) se-Kabupaten Bogor. Lebih lanjut, hal ini juga berarti bahwa target pemerintah yang menyatakan satu desa satu penyuluh belum tercapai dapat terealisasi. Pada Bab V dijelaskan bahwa umumnya penyuluh berada pada kelompok umur 50-59 tahun. Lebih lanjut data menunjukkan bahwa persentase penyuluh pada kelompok umur 55-59 tahun cukup tinggi. Merujuk pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 1986 Tentang Batas Usia Pensiun Pegawai Negeri Sipil yang Menjabat Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Penyuluh Pertanian dimana usia pensiun Penyuluh Pertanian pada setiap jenjang adalah 60 tahun, diketahui bahwa 24 persen penyuluh di Kabupaten Bogor akan segera mencapai masa pensiun. Di sisi lain pengangkatan penyuluh jarang sekali dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara, pengangkatan penyuluh terakhir kali dilakukan pada tahun 2006 oleh Pemda Kabupaten Bogor sebanyak 11 orang penyuluh. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab V, terlihat bahwa jumlah penyuluh laki-laki relatif lebih banyak dibandingkan dengan peyuluh perempuan. Lebih tingginya jumlah dan persentase penyuluh laki-laki diduga berhubungan dengan masih adanya bias gender yang mengedepankan penyuluh laki-laki dalam rekrutmen penyuluh di kabupaten ini.
79
Permasalahan lain yang dihadapi oleh penyuluh adalah ketidaksesuaian PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 dengan kondisi di lapangan. Sebagai ilustrasi penyuluh yang wilayah kerjanya di kecamatan dan kabupaten diharuskan menyusun programa penyuluhan di tingkat provinsi. Selanjutnya pada Tupoksi Penyuluh Pertanian Madya terlihat bahwa porsi penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan di lapangan sudah sangat berkurang. Mengacu pada PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008, seharusnya Penyuluh Pertanian Madya berperan sebagai konseptor antara lain: metode penyuluhan, teknik evaluasi penyuluhan dan pengembangan penyuluhan. Namun pada kenyataannya, Tupoksi seluruh penyuluh pada setiap jenjang adalah melaksanakan kunjungan. Sementara itu, kenaikan pangkat penyuluh sepenuhnya mengacu pada PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008. Sehubungan dengan begitu banyak butir kegiatan yang tidak sesuai bila diterapkan di lapangan, penyuluh mengalami kesulitan dalam memperoleh angka kredit. Hal ini dinyatakan oleh salah satu pejabat struktural di lingkungan BP4K. Terlebih lagi, usulan kenaikan pangkat untuk penyuluh pertanian harus diajukan ke Sekretaris Daerah, padahal penyuluh perikanan/peternakan dan penyuluh kehutanan cukup mengajukan ke BP4K. Hal ini juga cukup menghambat kenaikan pangkat penyuluh. Masalah selanjutnya adalah kurangnya akses penyuluh terhadap teknologi. Berdasarkan laporan, pada umumnya penyuluh tidak membuat materi dalam bentuk multimedia seperti film pendek dan VCD/DVD. Hal ini dimungkinkan karena minimnya fasilitas di BP4K/BP3K. Meskipun sebenarnya penyuluh telah diberi pelatihan multimedia namun tidak tersedianya fasilitas menjadi hambatan yang cukup berarti. Disisi lain, penyuluh yang mayoritas sudah tua diduga kurang akses terhadap teknologi misalnya komputer. Umumnya penyuluh lemah dalam administrasi sehingga seringkali pelaporan terlambat dilakukan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang ketua BP3K dan salah seorang penyuluh di BP3K wilayah Cigudeg. Demikian halnya yang terjadi di BP3K wilayah Dramaga, dari sebelas orang penyuluh PNS, baru empat orang penyuluh yang melaporkan kegiatan pada bulan Juni. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa setiap bulan penyuluh memperoleh pendapatan tambahan berupa Uang Jalan Tugas sebesar Rp350,000,-,
80
yang terdiri atas honor pembinaan dan honor kegiatan koordinasi. Uang tersebut baru dapat diambil oleh penyuluh saat laporan bulanan telah diserahkan. Meskipun banyak penyuluh yang kurang disiplin dalam membuat laporan kegiatan penyuluhan, namun belum ada regulasi yang jelas yang memungkinkan penyuluh mendapatkan sanksi atas keterlambatan laporan. Laporan bulanan tersebut diperiksa oleh tim di BP4K, namun sejauh ini pemeriksaan baru sebatas ada tidaknya laporan, belum masuk kepada substansi laporan.
BAB VIII PENUTUP 8.1 Kesimpulan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor dibentuk pada bulan Maret 2009. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. BP4K merupakan badan otonom yang dalam menjalankan fungsinya berkoordinasi dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan serta Dinas Peternakan dan Perikanan. Organisasi Struktur BP4K terdiri atas Kepala Badan, Sekretariat, Kelompok Penyuluh Pertanian, Kelompok Penyuluh Kehutanan Kelompok Penyuluh Peternakan, Kelompok Penyuluh Perikanan Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan serta Kelompok Jabatan Fungsional Umum. Berdasarkan data yang diperoleh dari BP4K, penyuluh pertanian di Kabupaten Bogor secara keseluruhan berjumlah 170 orang yang terdiri dari 141 orang penyuluh laki-laki dan 29 orang penyuluh perempuan. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya penyuluh tersebar ke BP4K dan seluruh BP3K di Kabupaten Bogor. Mayoritas penyuluh tersebut merupakan Penyuluh Terampil pada jenjang jabatan Penyelia sebesar 39 persen, sedangkan persentase terendah merupakan jenjang Pelaksana sebesar 2,4 persen. Baik pada penyuluh laki-laki maupun perempuan, mayoritas berada pada rentang usia 50-59 tahun. Jenjang pendidikan penyuluh mencakup SPMA/sederajat, DIII, DIV, S1 dan S2 dengan mayoritas penyuluh laki-laki tamatan DIII, sedangkan tingkat pendidikan penyuluh perempuan mayoritas adalah S1. Berdasarkan bidang keahliannya, mayoritas penyuluh PNS di Kabupaten Bogor adalah penyuluh pertanian. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Lebih tingginya jumlah dan persentase penyuluh laki-laki tampaknya berhubungan dengan masih adanya bias gender yang mengedepankan penyuluh laki-laki dalam rekrutmen penyuluh di kabupaten ini. Namun demikian, jika diamati penyuluh perempuan memiliki tingkat pendidikan yang jauh lebih baik. Berdasarkan laporan diketahui bahwa dua posisi tertinggi di BP4K, yakni Kepala BP4K dan Wakil Kepala BP4K ditempati oleh perempuan. Selain itu perempuan juga menempati jabatan
82
Koordinator Penyuluh Perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa siapapun, baik laki-laki maupun perempuan yang dinilai kompeten dan mampu dapat menjadi pemimpin. Merujuk pada definisi kesetaraan gender dari Menneg PP, dapat disimpulkan bahwa di telah ada kesetaraan gender pada level BP4K. Namun demikian, meskipun mayoritas penyuluh perempuan merupakan Penyuluh Pertanian Madya, di BP3K se-Kabupaten Bogor seluruhnya dikepalai oleh lakilaki. Dengan demikian dinilai belum ada kesetaraan gender pada level BP3K. Responden pada penelitian ini berjumlah 49 orang yang terdiri dari 42 orang penyuluh laki-laki dan tujuh orang perempuan dan mayoritas merupakan penyuluh pertanian. Sebagaimana profil penyuluh di Kabupaten Bogor, responden dalam penelitian ini mayoritas adalah PPT Penyelia dengan persentase 47 persen dan persentase terendah merupakan PPT Pelaksana dengan persentase 4,1 persen. Mayoritas penyuluh laki-laki sudah bekerja selama 16-30 tahun, sedangkan penyuluh perempuan telah bekerja selama lebih dari 30 tahun. Hal ini berhubungan dengan usia para penyuluh yang mayoritas mencapai 50-59 tahun. Tingkat pendidikan mayoritas penyuluh laki-laki adalah DIII sedangkan tingkat pendidikan perempuan mayoritas adalah DIII dan S1. Sebagaimana penyuluh di Kabupaten Bogor, pada penyuluh perempuan tidak ditemukan lagi mereka yang berpendidikan SPMA/sederajat. Sesuai dengan pasal empat PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008, terdapat empat kegiatan penyuluhan pertanian yaitu persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan serta pengembangan penyuluhan pertanian. Analisis gender dalam dalam kinerja penyuluh akan dijelaskan berikut ini. Secara umum, baik PPT maupun PPA laki-laki dan perempuan akses terhadap seluruh kegiatan pada persiapan. Selanjutnya, persentase PPT yang akses terhadap pelaksanaan lebih tinggi dibandingkan dengan PPA. Mayoritas responden pada PPT merupakan penyuluh jenjang Penyelia, sedangkan pada PPA mayoritas responden merupakan penyuluh jenjang Muda. Pada kategori penyuluh terampil tidak satupun penyuluh perempuan yang akses terhadap Evaluasi dan Pelaporan, sedangkan pada kategori penyuluh ahli hanya satu orang PPAP yang akses terhadap kegiatan ini. Sebagaimana yang terlihat di atas, persentase PPTL jauh lebih tinggi dibandingkan PPAP. Meskipun
83
data di atas memperlihatkan tidak semua penyuluh melakukan evaluasi, namun berdasarkan laporan BP3K Dramaga tahun 2008, diketahui penyuluh membuat laporan rutin setiap bulan berupa matriks kegiatan dan laporan yang lebih rinci lagi dibuat per tiga bulan. Terlebih, mulai tahun 2010 telah ada aturan yang mewajibkan seluruh penyuluh untuk membuat laporan kegiatan secara rinci setiap bulan. Secara umum, mayoritas penyuluh laki-laki maupun perempuan tidak berpartisipasi pada PUAP dan Prima Tani. Diduga hal ini karena tidak semua wilayah menerima proyek PUAP dan Prima Tani pada tahun 2009.. Secara umum manfaat yang diterima baik pada penyuluh laki-laki maupun penyuluh perempuan pada semua jenjang berada di atas rata-rata, yakni antara Rp2.847.199,- sampai dengan Rp3.476.600,-. Pada jenjang Penyuluh Ahli, baik laki-laki maupun perempuan memperoleh manfaat dalam kategori di atas rata-rata dimana jumlah PPAL lebih banyak dibandingkan PPAP. Hal ini wajar sebab tinggi rendahnya manfaat antara lain dipengaruhi oleh tunjangan yang diterima. Semakin tinggi jenjang jabatan, maka semakin tinggi tunjangan yang diterima. Terdapat beberapa permasalahan dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Bogor. Data menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor kekurangan penyuluh. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kepala BP4K Kabupaten Bogor dan Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) se-Kabupaten Bogor. Lebih lanjut, hal ini juga berarti bahwa target pemerintah yang menyatakan satu desa satu penyuluh belum tercapai dapat terealisasi. Lebih lanjut data menunjukkan bahwa persentase penyuluh pada kelompok umur 55-59 tahun cukup tinggi. Merujuk pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 1986 diketahui bahwa 24 persen penyuluh di Kabupaten Bogor akan segera mencapai masa pensiun. Di sisi lain pengangkatan penyuluh jarang sekali dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara, pengangkatan penyuluh terakhir kali dilakukan pada tahun 2006 oleh Pemda Kabupaten Bogor sebanyak 11 orang penyuluh. Masalah lain yaitu lebih tingginya jumlah dan persentase penyuluh laki-laki diduga berhubungan dengan masih adanya bias gender yang mengedepankan penyuluh laki-laki dalam rekrutmen penyuluh di kabupaten ini.
84
Permasalahan selanjutnya adalah ketidaksesuaian PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 dengan kondisi di lapangan. Sebagai ilustrasi penyuluh yang wilayah kerjanya di kecamatan dan kabupaten diharuskan menyusun programa penyuluhan di tingkat provinsi dan nasional. Selain itu, kenaikan pangkat penyuluh sepenuhnya mengacu pada PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 menyebabkan penyuluh mengalami kesulitan dalam memperoleh angka kredit. Terlebih lagi, usulan kenaikan pangkat untuk penyuluh pertanian harus diajukan ke Sekretaris Daerah, padahal penyuluh perikanan/peternakan dan penyuluh kehutanan cukup mengajukan ke BP4K. Hal ini juga cukup menghambat kenaikan pangkat penyuluh. Selain itu umumnya penyuluh lemah dalam administrasi sehingga seringkali pelaporan terlambat dilakukan. 8.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, terdapat beberapa saran yang diberikan guna studi yang lebih baik di masa yang akan datang. Studi yang dilakukan pada tingkat kabupaten ini mengukur kinerja dengan mengacu kepada PERMENPAN Nomor 2 Tahun 2008 yang di dalamnya mengatur mengenai kegiatan penyuluhan pertanian termasuk juga tugas pokok dan fungsi penyuluh pertanian sesuai dengan jenjang jabatan masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan terdapat butir-butir tupoksi setiap jenjang penyuluh pertanian yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Sebagai ilustrasi, butir kegiatan pada Penyuluh Pertanian Muda mengenai penyusunan instrumen identifikasi potensi wilayah di tingkat nasional. Hal ini tentu tidak relevan mengingat wilayah kerja responden penelitian berada di tingkat kabupaten. Selanjutnya pada tupoksi penyuluh pertanian muda, seorang penyuluh harus dapat menyusun materi dalam bentuk film,Video,VCD dan DVD. Berdasarkan kondisi di lapangan, mayoritas penyuluh tidak dapat melaksanakan penyusunan materi sebagaimana tersebut di atas karena minimnya fasilitas. Di sisi lain, penyuluh juga dituntut untuk dapat melaksanakan penyuluhan lewat website. Hal ini perlu dicermati mengingat sasaran penyuluhan terutama adalah petani yang umumnya tinggal di pedesaan dengan latar belakang pendidikan rendah dan kurang akses terhadap teknologi. Oleh karenanya, implementasi PERMENPAN perlu disesuaikan pelaksanaannya pada setiap tingkat daerah, sehingga pada masa
85
yang akan datang penyuluh dapat melaksanakan tupoksi sesuai jenjang jabatan dan tingkat daerah dimana penyuluh tersebut bekerja. Studi ini juga menunjukkan bahwa mayoritas penyuluh di Kabupaten Bogor sudah mendekati masa pensiun. Hal ini semakin memperkuat hasil-hasil studi yang sebelumnya telah dilakukan, oleh karena itu perlu adanya regenerasi penyuluh dengan memperbaiki mekanisme perekrutan/pengangkatan penyuluh pertanian. Mengingat jumlah penyuluh laki-laki dan perempuan yang timpang, perekrutan penyuluh sebaiknya dilakukan secara seimbang baik penyuluh laki-laki maupun penyuluh perempuan. Dalam hal metodologi, pada studi selanjutnya menjadi penting bagi peneliti untuk menggunakan metode wawancara dimana peneliti mendatangi masingmasing
penyuluh
untuk
menggali
informasi
sebanyak-banyaknya
guna
memperkaya informasi kualitatif. Jika hal tersebut tidak dimungkinkan, sebaiknya peneliti mengumpulkan penyuluh di masing-masing BP3K kemudian memberikan petunjuk pengisian setiap kuisioner dengan rinci dan jelas. Sebab berdasarkan pengalaman peneliti pada studi kali ini, meskipun penyuluh memiliki latar pendidikan yang relatif tinggi ternyata mereka masih kesulitan dalam memahami pertanyaan dalam kuisioner. Umumnya responden menginginkan pertanyaan yang sederhana dan singkat. Pada studi berikutnya, metode magang perlu dipertahankan dan ditingkatkan sebab memungkinkan peneliti untuk melakukan wawancara mendalam kepada responden. Mengingat responden pada studi ini terdiri dari penyuluh pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan, maka diperlukan studi mengenai kinerja yang lebih fokus terhadap masing-masing bidang keahlian penyuluh. Hal ini untuk mengetahui kinerja masing-masing penyuluh menurut bidang keahliannya. Selain itu proporsi antara responden lakilaki dan perempuan harus diperhatikan sehingga dapat merepresentasikan implementasi PUG dalam penyuluhan pertanian di lokasi/instansi dimana penelitian akan dilakukan.
86
DAFTAR PUSTAKA Annisa, D. 2008. Gender dalam Program Penanggulangan Kemiskinan: Kasus Pelaksanaan P2KP di Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. 2010. Programa Penyuluhan Pertanian Kabupaten Bogor. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K), Bogor .2009. Daftar Nama Penyuluh di Kabupaten Bogor Beserta Wilayah Kerjanya. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K), Bogor Badan Pusat Statistik. 2008. Kabupaten Bogor dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Bogor. Departemen Pertanian. Modul Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Penyuluh Pertanian. Badan Pengembangan Sumberdaya Pertanian. Dinas Pertanian. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2009. Laporan Kegiatan Pendampingan Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) dan Prima Tani. Dinas Pertanian dan Kehutanan, Bogor. . 2009. Potensi dan Peluang Pengembangan Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Dinas Pertanian dan Kehutanan, Bogor. Fatchiya Anna. 2010. Pola Pengembangan Kapasitas Pembudidaya Ikan Kolam Air Tawar di Provinsi Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hadiyanti, P. 2002. Kinerja Penyuluh Kehutanan dalam Pelaksanaan Tugas Pokoknya (Kasus di Kabupaten Cianjur). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Keputusan Presiden Republik Indonesianomor 63 Tahun 1986 Tentang Batas Usia Pensiun Pegawai Negeri Sipil Yang Menjabat Jabatan Fungsional Widyaiswara Dan Penyuluh Pertanian Kementerian Pemberdayaan Perempuan. (n.d) Indeks Pemberdayaan Gender Indonesia Tahun 2005-2008. . Indeks Pembangunan Gender Indonesia Tahun 2005-2008. . Indeks Pembangunan Manusia, Indek Pembangunan Gender dan Indek Pemberdayaan Gender Menurut Provinsi, dan Kabupaten/Kota Tahun 2004-2007 Leiliani, A. 2006. Hubungan Sejumlah Karakteristik Para Penyuluh Pertanian dengan Kinerja Mereka dalam Pelaksanaan Tugas Pokok di Beberapa Kabupaten Propinsi Jawa Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.
87
Mugniesyah, S.S. 1986. Kepemimpinan Wanita dalam Pembangunan Desa; Studi Kasus di Dua Desa di Kecamatan Purwa Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana IPB, Bogor. Mugniesyah, SS (forthcoming). 2006. Materi Bahan Ajar Ilmu Penyuluhan. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. . 2007. Materi Bahan Ajar Pendidikan Orang Dewasa. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. .2007. Gender, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan dalam Adiwibowo (Ed.). Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor, Bogor Mugniesyah, S.S dan Pamela Fadhilah. 2001. Analisis Gender dalam Pembangunan Pertanian: Aplikasi (Gender Analysis Pathway GAP). Bappenas. Nikodemus. 2009. Seri Membongkar Misteri Microsoft Excel 2007. Penerbit Andi dan MADCOMS, Yogyakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesianomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 130 Tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka Kreditnya. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 273 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Tunjangan Beras dalam Bentuk Natura dan Uang. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kesebelas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 57 Tahun 2009 Tentang Tunjangan Beras dalam Bentuk Natura Dan Uang. Prasodjo dkk (unpublished). 2003. Modul Mata Kuliah Gender dan Pembangunan. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
88
Purwaningtyas, E.S. 2008. Studi Gender dalam Program Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Bagi Rumahtangga Miskin (Kasus Desa Cinta Mekar Kecamatan Serangpanjang Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Radar Bogor. 15 November 2008. IPB Jadi Tempat Kursus Penyuluh Petani Ikan se-Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2009. Rivai, V dan Ahmad Fauzi Basri. 2005. Performance Appraisal : Sistem yang Tepat untuk Menilai Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Grafindo, Jakarta. Rohmani, S.A. 2001. Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Pelaksaan Tugas Pokoknya. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Rosalin, L.M. dkk. 2001. Gender Analysis Pathway (GAP). Alat Analisis Gender Untuk Perencanaan Pembangunan. Sardjunani, N. (Ed.) CIDA, Bappenas RI. dan WSP-II. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (Editor). 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. 1989. Situs Ensiklopedia bebas www.wikipedia.com (Diakses pada 14 Desember 2009) Situs Pemerintah Kabupaten Bogor www.bogorkab.go.id (Diakses pada 24 Maret 2010). Situs Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_docman&t ask=doc_download&gid=4&Itemid=65 (Diakses tanggal 9 Agustus 2010) Suhanda, N.S. 2008. Hubungan Karakteristik Penyuluh dengan Kinerja Penyuluh Pertanian di Propinsi Jawa Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Wahyuni, E.S. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
91
Gambar 3 Rencana Kunjungan PPL RENCANA KERJA KUNJUNGAN PPL
UPTD PENYULUHAN
:
DRAMAGA
BULAN
:
AGUSTUS 2008
NAMA PPL
:
TS
NO
Tanggal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
4 Agustus 2008 5 Agustus 2008 6 Agustus 2008 7 Agustus 2008 12 Agustus 2008 13 Agustus 2008 14 Agustus 2008 19 Agustus 2008 20 Agustus 2008 22 Agustus 2008 26 Agustus 2008 27 Agustus 2008 28 Agustus 2008 29 Agustus 2008
Lokasi Kunjungan Kelompok Sugih Mukti Mawar Badak Putih Tani Raharja Silihasih Kasih Ibu Mawar Kotamakmur Mitra Tani Tani Raharja Badak Putih Mawar Sugih Mukti Tani Raharja
Desa
Kecamatan
Parakan Parakan Kota Batu Parakan Parakan Parakan Parakan Kota Batu Parakan Parakan Kota Batu Parakan Parakan Parakan
Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas
Mengetahui Kepala UPTD Penyuluhan
Bogor, PPL Wilbin Parakan
Ir.Irma Villayanti NIP. XXX
Tatang Supriatna NIP. XXX
92
Gambar 4 Contoh Daftar Hadir DAFTAR HADIR Nama Kelompok Tani Desa Tanggal Kegiatan
Nama Saleh Ajum H. Ansar Darsih Komar Solehudin Nadi Surip
Jabatan Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
: Sugih Mukti : Parakan : 4 Agustus 2008 : Pertemuan
Alamat Kp. Parakan Kp. Parakan Kp. Parakan Kp. Parakan Kp. Parakan Kp. Parakan Kp. Parakan Kp. Parakan
Tanda tangan 1................... 2................... 3................... 4................... 5................... 6................... 7................... 8................... 9................... 10................. 11................. 12................. 13................. 14................. 15................. 16................. 17................. 18................. 19................. 20.................
Ketua Kelompok Tani
H. Adnan
93
Gambar 5 Contoh Matriks Laporan Kunjungan MATRIKS LAPORAN KUNJUNGAN PENYULUHAN PERTANIAN KELOMPOK TANI WILBIN: PARAKAN KEC. CIOMAS BULAN AGUSTUS 2008 UPTD Penyuluhan Dramaga Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Jumlah Peserta yang Hadir L P Jumlah 8 8 7 7
No
Tanggal
1 2
04-08-08 05-08-08
Nama Desa/Kelompok Tani Sugih aMurti Mawar
3
06-08-08
Badak Putih
6
-
9
Saung
4
07-08-08
Tani Raharja
6
-
6
5
11-08-08
UPTD
17
9
6 7
12-08-08 13-08-08
Silih Asih Kasih Ibu
7 -
8
14-08-08
Mawar
9
19-08-08
10
Tempat Pertemuan Balai Desa/Saung
Topik/Materi Kunjungan
Masalah
Rumah ketua
Pestisida Nabati Pestisida organik hantu Pengolahan tanah padi sawah Jagung hibrida
26
UPTD
Pertemuan penyuluh
7
7 7
8
-
8
Rumah ketua Rumah ketua Rumah ketua
Pupuk organik Pupuk cair hantu Kedalaman pengolaham tanah Produksi hasil panen Laporan kegiatan penyuluh Sistem legowo Komposisi bahan Varietas unggul padi hibrida
Kota Makmur
6
-
6
20-08-08
Mitra Tani
7
-
7
11
22-08-08
Tani Raharja
19
3
22
Rumah ketua
Pembukaan khusus
12
25-08-08
UPTD
17
9
26
UPTD
Pertemuan penyuluh
13 14 15 16
26-08-08 27-08-08 28-08-08 29-08-08
Badak Putih Mawar Sugih Mukti Tani Raharja
6 7 8 15
3
6 7 8 18
Mengetahui Kepala UPTD Penyuluhan Dramaga
Saung Rumah ketua
Rumah ketua Rumah ketua
Rumah ketua Rumah ketua Rumah ketua Rumah ketua
SLPTT Padi Bokasi Sosialisasi PTT Padi Hibrida Fungsi pengurus kelayakan petani Pengurus keluarga tani
Pestisida nabati Pestisida nabati Pestisida nabati Kebutuhan pupuk berimbang
Hasil/RTL
Tanda Tangan Pengurus Kelompok Tani
Demplot Demplot Berlumpur dan rata
Demplot Demplot
Pengurus dan anggota Dinamika Penyelenggaraan kursus tani Program kegiatan penyuluh Komposisi bahan Pupuk organik Pupuk organik Dosis pemupukan
Bogor, Penyuluh Wilbin Parakan
Kursus tani
Demonstrasi
Kursus tani
Agustus 2008
94
Gambar 6 Contoh Resume Pertemuan
1
1 Juli 2008
Kelompok Tani Tani Mulya
2
2 Juli 2008
Saluyu
No
Tanggal
Peserta yang Hadir 6
Tempat Pertemuan Rumah ketua
Topik pertemuan Pola tanaman
5
Rumah ketua
Pola tanaman
Resume Dalam berusaha tani pola tanam sangat penting baik dilihat dari segi teknis maupun ekonomi • Keuntungan pola tanam yang baik dilihat dari segi teknis adalah 1. Menjaga kesuburan tanah baik tekstur maupun struktur tetap terjaga 2. Dapat memutuskan siklus hama dan penyakit yang menyerang tanaman tertentu 3. Lahan yang diusahakan akan optimal disesuaikan dengan sumber daya alam yang dimiliki • Keuntungan pola tanam di;ihat dari segi ekonomi adalah 1. Produksi maupun produktivitas akan optimal sehingga nilai jual yang diterima akan lebih tinggi 2. Menekan biaya produksi 3. Tanaman yang diusahakan tidak satu komoditas sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar Dalam berusaha tani pola tanam sangat penting baik dilihat dari segi teknis maupun ekonomi • Keuntungan pola tanam yang baik dilihat dari segi teknis adalah 1. Menjaga kesuburan tanah baik tekstur maupun struktur tetap terjaga 2. Dapat memutuskan siklus hama dan penyakit yang menyerang tanaman tertentu 3. Lahan yang diusahakan akan optimal disesuaikan dengan sumber daya alam yang dimiliki • Keuntungan pola tanam di;ihat dari segi ekonomi adalah 1. Produksi maupun produktivitas akan optimal sehingga nilai jual yang diterima akan lebih tinggi 2. Menekan biaya produksi 3. Tanaman yang diusahakan tidak satu komoditas sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar
95