KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN LAYANAN HUKUM BAGI MASYARAKAT TIDAK MAMPU DI PENGADILAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM Akhmad Kholil Irfan, Sanidjar Pebrihariati, Boy Yendra Tamin Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Bung Hatta
[email protected] Abstrak
Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam negara hukum semua warga negara tanpa terkecuali memperoleh jaminan akan persamaan perlakuan dihadapan hukum (equality before the law). Tahun 2011 Undang-undang Nomor 16 tahun 2011, tentang Bantuan Hukum lahir, kemudian pada tahun 2014 lahir juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2014, tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat tidak mampu di Pengadilan. Adanya dua aturan perundang-undangan yang derajatnya berbeda akan tetapi mengatur bidang yang sama, yaitu hak orang miskin untuk mendapatkan bantuan hukum atas tanggungan negara. Adapun rumusan masalahnya adalah;(1) Bagaimana kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014, dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, (2) Apakah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014, sinkron dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2011. Metode yang digunakan yuridis normatif, inventarisasi bahan hukum primer dan sekunder, dengan melakukan sinkronisasi vertikal selanjutnya menganalisis. Hasil penelitian, Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2014, tidak masuk dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, namun diakui keberadaanya dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2014, sinkron dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011, Peraturan Mahkamah Agung bersifat melengkapi dan mengatur secara khusus substansi bantuan hukum. Kata kunci: Kedudukan, Peraturan Mahkamah Agung, Bantuan Hukum
2
POSITION OF THE SUPREME COURT REGULATION NUMBER 01 OF 2014 ON GUIDELINES FOR THE PROVISION OF LEGAL SERVICES TO THE UNDER PRIVILIGED IN COURTS AGAINS THE LAW NUMBER 16 OF 2011 ON LEGAL AID Akhmad Kholil Irfan, Sanidjar Pebrihariati, Boy Yendra Tamin Law Departement of Post Graduate Program Bung Hatta University
[email protected] Abstract
Indonesia is a State of Law, as explained in Article 1 Paragraph (3) of the Constitution of 1945. In the state of law all citizens without exception would be guaranteed equal treatment before the law (equality before the law). In 2011, Law No. 16 of 2011, on Legal Aid was born, then in 2014 was born was also the Supreme Court Regulation No. 1 of 2014, concerning Guidelines for Legal Services Work for the needy in court. The existence of two rules of law that a different degree but set the same field, namely the right of the poor to obtain legal aid at the expense of the state. The formulation of the problem is; (1) How is the position of the Supreme Court Regulation No. 1 of 2014, the legislation in Indonesia, (2) Is the Supreme Court Regulation No. 1 of 2014, in sync with the Law No. 16 of 2011. The method used normative, inventory of primary and secondary legal materials, with subsequent vertical sync analyze. Results of the study, the Position Rule Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 01 Year 2014, is not included in the hierarchy of legislation in Indonesia, but acknowledged its existence in legislation in Indonesia. Supreme Court Regulation No. 01 of 2014, in sync with the Law No. 16 of 2011, the Supreme Court Regulation are complementary and specifically regulate the substance of legal aid. Keywords: Position, Rules of the Supreme Court, Legal Aid
A.
Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam negara hukum semua warga negara tanpa terkecuali memperoleh jaminan akan persamaan perlakuan di hadapan hukum (equality before the law), diakui dan dilindungi hak asasinya sebagai manusia, dimana semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum. Di Indonesia, hak atas bantuan hukum memang tidak secara tegas dinyatakan dalam Konstitusi. Namun, bahwa Indonesia adalah negara hukum dan prinsip persamaan di hadapan hukum, menjadikan hak bantuan hukum sebagai hak konstitusional, sehinggga negara memiliki kewajiban untuk melaksanakan bantuan hukum khususnya bagi orang yang tidak mampu. Walaupun demikian, kenyataan di masyarakat masih dijumpai banyak orang tidak mampu yang terjauhkan dari akses terhadap keadilan (access to justice). Senyatanya Undangundang mengatur tentang kesamaan hak tidak didasarkan atas strata sosial dihadapan hukum adalah sama (equality before the law). Ketentuan mengenai kewajiban negara untuk fakir miskin dan anak-anak terlantar, terdapat dalam UUD 1945 Pasal 34 Ayat (1) yakni, “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Berdasar Pasal 34 Ayat (1) diatas jelas dan terang bahwa orang miskin dan juga anakanak yang terlantar yang hidup dalam Negara Indonesia menjadi tugas negara untuk memeliharanya. Jika hal tersebut dikaitkan dengan penegakan hukum di Indonesia, maka Negara patut untuk disalahkan jika orang-orang miskin dan juga anak-anak yang terlantar tidak disamakan di muka hukum, apalagi mereka sampai tidak bisa mengakses hukum atau access to justice. Didalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan, Ayat (1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum, Ayat (2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Kemudian dalam Pasal 57 Ayat (1) disebutkan: Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum, Ayat (2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuataan hukum tetap, Ayat (3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal yang sama juga diatur dalam Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009, tentang Perubahan kedua atas Undang-undang
2
Nomor 2 Tahun 1986, tentang Peradilan Umum, pada Pasal 68B, serta Pasal 68C, Undangundang Nomor 50 Tahun 2009, tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 60B, serta Pasal 60C, Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Pasal 144 C, serta Pasal 144D. Pada Tahun 2011 pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Walaupun banyak kalangan yang pesimis mengenai efektivitasnya, namun upaya memenuhi agenda global untuk memperluas akses keadilan (access to justice) tetap sangat diperlukan dalam rangka mengatasi persoalan bantuan hukum dan memberikan bantuan hukum secara optimal bagi masyarakat miskin (legal empowerment of the poor). Pemberian bantuan hukum tidak hanya diberikan kepada mereka yang dapat memperoleh pembelaan dari advokat atau pembela umum tetapi juga untuk fakir miskin dalam rangka memperoleh keadilan.1 Dari regulasi Undangundang yang ada, keberpihakan kepada pencari keadilan yang tidak mampu telah nyata adanya dan telah diwujudkan oleh 1
Adnan Buyung Nasution dalam Faris Valeryan Libert Wangge, Bantuan Hukum cuma-cuma Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011, 06 August 2012, hlm 2.
negara. Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dan badan peradilan yang ada dibawahnya perihal hak warga negara yang tidak mampu ketika berhadapan dengan masalah hukum telah jelas aturan hukumnya. Namun demikian pada tataran aplikasi di lapangan banyak dijumpai adanya pencari keadilan tidak mampu yang kurang terlayani, dikarenakan aturan hukum yang tidak aplikatif. Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu, memberi arah dan petunjuk yang jelas perihal program justice for all, yang terdiri dari perkara prodeo, sidang keliling dan Pos Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan, merupakan upaya negara dalam melindungi hakhak kaum miskin sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 34 Ayat (1). Diharapkan orang yang miskin yang hidup di bumi Nusantara tidak boleh lagi termarginalkan jika harus berhadapan dengan masalah hukum. Bahwa dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pedoman layanan Hukum Bagi Masyarakat tidak mampu di Pengadilan, merupakan tindak
3
lanjut dari tidak diberlakukannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010, tentang Bantuan Hukum. Hal tersebut bisa dilihat dalam Pasal 42 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014. Dilihat dari kronologis adanya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014, yang mana substansi lahirnya peraturan tersebut merupakan aplikasi dari bantuan hukum di Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya. Disisi lain dengan adanya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011, tentang Bantuan Hukum, dalam konsiderannya menyebutkan “Bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan”. Dengan adanya dua buah peraturan perundangundangan yang derajatnya berbeda akan tetapi mengatur bidang yang sama. Pertama Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang kedua Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu, yang keduanya berkaitan erat dengan Hak Orang Miskin atau Orang Tidak Mampu untuk mendapatkan bantuan dan layanan hukum atas tanggungan negara. Dikarenakan Undangundang lebih tinggi dari Peraturan Mahkamah Agung, dalam hal ini penulis akan menganalisis tentang
Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan taraf sinkronisisai vertikalnya, terhadap Undangundang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. B. Rumusan Permasalahan a. Bagaimana Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat tidak Mampu di Pengadilan dalam Peraturan Perundangundangan di Indonesia ? b. Apakah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat tidak Mampu di Pengadilan sinkron dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum ? C. Metode Penelitian a. Metode Pendekatan Dalam kegiatan penelitian ini, penulis melakukan pendekatan terhadap masalah yang ada dengan jalan memahami dan mempelajari hukum normatif dari suatu objek penelitian yaitu kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di
4
Pengadilan dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan sinkronisasi Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan, maka dalam hal ini penulis melakukan penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum secara vertikal. b. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum normatif atau Penelitian Hukum Doktrinal atau Penelitian Hukum Kepustakaan, untuk mengkaji masalah kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan sinkronisasi Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Dalam hal ini penulis mengumpulkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan penelitian penulis yang terdiri dari:
a.
Bahan hukum primer, meliputi : Norma dasar Pancasila, Peraturan dasar (batang tubuh UndangUndang Dasar 1945), ketetapan MPR, Peraturan Perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi misal hukum adat, Yurisprudensi dan Traktat. b. Bahan hukum sekunder terdiri dari : Rancangan peraturan perundang-undangan, hasil karya ilmiah para sarjana dan hasil-hasil penelitian.2 c. Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam penelitian normatif melakukan interprestasi dan konstruksi hukum terhadap bahan hukum, merupakan langkah analisis terhadap bahan hukum. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam proses analisis adalah : 1. Melakukan analisis terhadap kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan dalam Peraturan Perundangundangan di Indonesia, sebagaimana yang tercantung dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 2
Chairul Arsyad, 2006, Dasar Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 66-67.
5
Disamping itu juga dikaitkan dengan asas-asas yang berkaitan dengan masalah peraturan perundangundangan. 2. Melakukan klasifikasi atau mengelompokan bahan hukum secara logis dan sistematis. Dalam menempuh proses logis dan sistematis maka perlu memperhatikan hakekat hukum sebagai norma, sumber hukum yang melahirkan norma yang berjenjang dan jenis hukum yang mempunyai asas dan paradigma yang berbeda. Dengan klasifikasi bahan hukum akan membawa akibat pada penataan dan pengorganisasian bahan hukum melalui proses sinkronisasi.3 3. Analisis tentang sinkronisasi kedudukan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan terhadap Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, dengan cara analisis fact finding. 4. Penelitian fact finding adalah suatu penelitian yang hanya untuk menemukan fakta-fakta atau gejala-gejala hukum yang ada. Penelitian ini mempunyai sifat yang mendekati penelitian eksploratoris.4
5. Melakukan interprestasi Undang-undang secara ektensif, adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas arti dan makna yang terdapat dalam peraturan perundangundangan.5 Penafsiran ektensif ini dilakukan dalam rangka melihat sinkronisasi dalam Bab maupun PasalPasal yang ada dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014, dengan Undangundang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, penulis menafsirkan dengan cara memperluas makna dan cakupannya dengan tetap berpegang pada kepastian hukum dan kaidahkaidah hukum yang ada. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.
Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat tidak Mampu di Pengadilan dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Peraturan Didalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada bab III, perihal jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan Pasal 7
3
Ibid. Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 10. 4
5
Chairul Arsyad, Op. Cit., hlm 93.
6
Ayat (1) jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang d. Peraturan Pemerintah e. Peraturan Presiden f. Peraturan Daerah Propinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ayat (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 8 Ayat (1) Jenis peraturan Perundangundangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atauPemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Ayat (2)
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Di dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2), yang dimaksud dengan “hierarki” dalam ketentuan ini adalah penjenjangan setiap jenis peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan Perundangundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Hans Nawiasky dalam bukunya “Allgemeine Rechtslehre” mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen, suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang yakni norma yang dibawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Dari teori tersebut Hans Nawiasky menambahkan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokannya menjadi 4 (empat) kelompok besar yaitu : 1. Staatfundamentalnorm atau norma fundamental negara 2. Staatsgrundgezets atau aturan dasar negara 3. Formell Gezetz atau UndangUndang formal
7
4. Verordnung dan Autonome Satzung atau aturan pelaksana dan aturan otonom.6 Berdasarkan bunyi Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan, masuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan secara hierarki berada dibawah UndangUndang. Peraturan Mahlamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014, dikaitkan dengan teori Hans Nawiasky tentang Jenjang Norma Hukum, maka Peraturan Mahkamah Agung tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undangundang, karena Undang-undang dalam teori tersebut masuk ke dalam kelompok ketiga, yaitu Formell Gezetz atau Undangundang formal, sedangkan Peraturan Mahkamah Agung masuk dalam kelompok keempat, yaitu Verordnung dan Autonome Satzung atau aturan pelaksana dan aturan otonom. Didalam konsideran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014, menyebutkan bahwa sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 56 6
Maria farida, 2008, Kompendium Bidang Hukum Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, hlm 25-26.
dan 57. Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum Pasal 68 B dan 69 C. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 60 B dan 60 C, Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 144 C dan 144 D. Bahwa pasal-pasal yang disebut dalam Undang-undang diatas mengatur tentang hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu serta pembentukan pos bantuan hukum pada setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dari sini nampak jelas bagi kita sesungguhnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014, yang merupakaan aturan pelaksana dan aturan yang bersifat otonom, tidak bertentangan dengan Undangundang formal, seperti Undangundang tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang yang mengatur lembaga peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, yang merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014, mengatur perihal teknis dari pelayanan bagi masyarakat yang tidak mampu jika berhadapan dengan permasalahan hukum. Peyanan tersebut meliputi pembebasan biaya perkara
8
(prodeo), sidang keliling dan pos bantuan hukum. B. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat tidak Mampu di Pengadilan sinkron dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014, tidak masuk dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan, sebagaimna maksud Pasal 7 ayat (1) huruf (a) sampai dengan huruf (g), Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 diakui keberadaannya, akan tetapi tidak masuk dalam tata urutan hiearki, sebagaimna maksud Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi: “ Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimna dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undangundang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewan Perwakilan Daerah
Propinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014, dikaitkan dengan teori Hans Kelsen, yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky, tentang janjang norma hukum, secara hierarki berada dibawah Undang-undang. Hal tersebut bisa dilihat dari pembagian kelompok jenjang norma hukum tersebut yang dibagi menjadi 4 (empat) kelompok: 1. Kelompok Staatsfundamentaln orm (Norma Fundamental Negara) 2. Kelompok Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara) 3. Kelompok Formell Gesetz (Undang-Undang formal) 4. Kelompok Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana & aturan otonom). Berdasarkan teori tersebut maka Peraturan Mahkamah Agung termasuk dalam kelompok Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana & aturan otonom), sedangkan Undang-undang masuk dalam kelompok Formell Gesetz (Undang-Undang formal). Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan sinkron dan tidak
9
bertentangan dengan Undangundang Nomor 16 Tahun 2011, tentang Bantuan Hukum. Hal tersebut setelah dilakukan analisis pasal demi pasal dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, berdasarkan asas formil dan materiil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal (5) dan (6) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. PENUTUP A. Simpulan 1. Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2014, tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan tidak masuk dalam urutan hierarki tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, namun jika dilihat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan Mahkamah Agung tersebut diakui keberadaanya dalam Peraturan Perundangundangan di Indonesia : 2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2014, sinkron, sesuai dan selaras dengan Undangundang Nomor 16 Tahun
2011, sinkron secara vertikal, karena Peraturan Mahkamah Agung ini bersifat melengkapi dan mengatur secara khusus perihal substansi dari bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan, yang juga diatur dalam Undangundang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. B. Saran 1. Diharapkan kepada pemerintah untuk dapat mengalokasikan dana yang lebih besar baik yang berkaitan dengan program Bantuan Hukum, sebagai amanat dari Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011, maupun program Layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan sebagai amanat dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesi Nomor 1 Tahun 2014, dikarenakan akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) adalah hak setiap warga negara tanpa membedakan strata sosial. 2. Program (justice for all) atau keadilan bagi semua orang, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung melalui lembaga Peradilan yang ada dibawahnya dalam layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan yang meliputi : Layanan Pembebasan Biaya Perkara, Sidang di Luar Gedung Pengadilan dan Pos Bantuan Hukum
10
3.
4.
Pengadilan, anggarannya belum merata dan tidak semua lembaga Peradilan memperoleh semua anggaran dari ketiga layanan tersebut. Diharapkan Pemerintah lebih memprioritaskan hal tersebut, karena amanat Undang-undang mengharuskan negara menanggung semua biaya bagi masyarakat miskin yang tidak mampu ketika berhadapan dengan masalah hukum. Diharapkan kepada semua lembaga Peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung lebih meningkatkan pelayanan terhadap para pencari keadilan yang berangkat dari masyarakat tidak mampu, dengan cara mensosialisasikan ketiga program layanan pembebasan biaya tersebut, agar para pencari keadilan mendapat informasi yang benar dan falid akan program layanan tersebut. Kepada Akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat secara umum diharapkan partisipasi aktifnya di dalam mengawal program-program yang telah dicanangkan oleh pemerintah, baik program bantuan hukum maupun layanan hukum, agar tidak terjadi kebocoran dan manipulasi data dalam pelaksanaan program tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku Abdul Hakim G. Nusantara dan Mulyana W. Kusuma, 1981, Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum (Kearah Bantuan Hukum Struktural), Alumni,Bandung. Ahmad Kamil dan Wahyu Widiana, 2012, Membangun Peradilan Agama Yang Bermartabat (kumpulan Artikel), Dirjen Badilag MARI, Jakarta. Adnan
Buyung Nasution, 1982, Bantuan Hukum di Indonesia), LP3ES, Jakarta.
Bambang Sutiyoso, 2010, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta Bernard L. Tanya, 2011, Penegakan Hukum Dalam Terang Etika, Genta Publishing, Yogyakarta. Chairul Arsyad, 2006, Dasar Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Dasril Rajab, 2005, Hukum Tata Negara, PT Rineka Cipta, Jakarta Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, 2014, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika, Jakarta. Faris
Valeryan Libert Wangge, Bantuan Hukum Cuma-Cuma
11
J.S.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 tahun 2011, Makalah, 06 Agustus 2012.
, 1980, PokokPokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo, Jakarta.
Camdi, 2002, Terampil Berbicara Pembelajaran Dan Sastra Indonesia, RajaGrafindo, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Maria Farida., 1998, Kompendium Bidang Hukum Perundangundangan, Depkumham RI, Jakarta 1998, Ilmu Perundang-undangan DasarDasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta Marjohan Syam, 2011, Fungsi Peraturan Mahkamah Agung Dalam Mengisi Kekosongan Hukum atau Kekurangan Hukum Acara Sama Dengan Undang-Undang, Tanggal 08 April 2011, Yogyakarta, 02 Nomensen Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT. Intitama Sejahtera, Jakarta Salim dan Erlis Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Desertasi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1980, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali Pres, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1992, Memperkenalkan Sosiologi, CV Rajawali, Jakarta Solichin Abdul Wahab, 2011, Analisis Kebijakan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Suparman Marzuki, 2011, Tragedi Politik Hukum HAM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Suratman dan Philips Dillah, 2012, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung. Wildan Suyuti, Justice For All (Pengalaman Peradilan Agama Dalam Reformasi Peradilan dan Penerapannya, Seminar Nasional Menatap Indonesia 2014, Semarang, 31 Oktober 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007, Balai Pustaka, Jakarta.
B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Tentang Perubahan
12
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009, Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusi. C. Website http:// Id. SH Fong. Com.