5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Desain Kapal Pancing Tonda Desain kapal merupakan proses penentuan spesifikasi yang menghasilkan gambar suatu obyek untuk keperluan pembuatan dan pengoperasian kapal. Berbeda jenis kapal yang dibangun maka desain dan konstruksinya juga berbeda sesuai fungsi dan persyaratan teknis pengoperasian kapal tersebut. Banyak faktor yang perlu mendapat pertimbangan dalam mendesain suatu jenis kapal. Khusus untuk kapal ikan, Fyson (1985) mengelompokkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi desain. Faktor-faktor tersebut adalah meliputi: 1) ketersediaan sumberdaya ikan, 2) alat tangkap dan metode penangkapan, 3) karakteristik daerah penangkapan, 4) kelaiklautan kapal dan keselamatan awak kapal, 5) peraturanperaturan tentang desain kapal, 6) pemilihan material untuk konstruksi kapal, dan 7) pertimbangan ekonomi. Mengingat banyak faktor yang menentukan spesifikasi tersebut maka untuk mendapatkan desain kapal yang tepat diperlukan kelengkapan perencanaan yang terdiri dari gambar rancangan umum (general arrangement), gambar rencana garis (lines plan), tabel offset, gambar rencana konstruksi dan spesifikasinya (construction profile and plan) termasuk perencanaan tentang dimensi utama kapal, rasio dimensi utama, bentuk badan kapal dan koefisien bentuk, yang merupakan langkah paling penting dalam proses pembangunan kapal ikan moderen. Pembangunan kapal pancing tonda di Kabupaten Buton pada umumnya masih dilakukan dengan cara-cara tradisional berdasarkan pengetahuan dan metode yang diwariskan secara turun-temurun atau dari generasi ke generasi berikutnya tanpa menggunakan gambar desain dan perencanaan-perencanaan lain yang dibutuhkan, melainkan hanya berpatokan pada kapal-kapal yang dibangun sebelumnya disertai dengan beberapa modifikasi sesuai keinginan pemesan. Para pengrajin kapal pancing tonda daerah ini kebanyakan berasal dari Suku Bajo yang terkenal sebagai ”tukang perahu alam” yang cukup terampil dalam membangun kapal. Kapal-kapal pancing tonda yang dibangun telah tersebar di berbagai daerah di Sulawesi Tenggara hingga Nusa Tenggara Timur dan Maluku Tengah.
50
Ada beberapa tahap kegiatan yang umum dilakukan pengrajin dalam proses pembangunan kapal pancing tonda di Kabupaten Buton. Tahap-tahap kegiatan tersebut meliputi: persiapan, permulaan pekerjaan, proses pembuatan kapal, dan upacara peluncuran. Pada tahap persiapan, dilakukan perencanaan yang meliputi ukuran kapal, bentuk lambung, dan tata ruang interior kapal. Pekerjaan pertama dimulai dengan pemilihan jenis kayu yang akan dipergunakan sebagai material konstruksi antara lain: jenis Bolongita (Octoatmeles sumatrana), Kuru (Terminalia microcarpa), Teo (Artocarpus elasticus), Wasanoni (Litsea firma), Salawaku (Paraserianthes falcataria) dan Wasaponta (Litsea angulata). Proses pembuatan kapal dilakukan setelah material kayu dan bahan lainnya terkumpul, dan diawali dengan suatu ”upacara” sederhana dimana dalam proses ini ada beberapa aturan dan pantangan yang harus dipatuhi oleh para pembuat kapal. Ada dua proses yang berbeda dalam pembuatan kapal pancing tonda yaitu antara ”bodi susun” dan ”bodi batang”. Bodi susun dibuat dengan jalan menyusun lembaran papan yang diawali dengan peletakan lunas dan linggi haluan, kemudian dilanjutkan dengan pemasangan papan mulai dari dasar kapal yang berhubungan dengan lunas hingga seluruh bagian kulit lambung. Bodi batang dibuat tanpa didahului dengan pemasangan lunas, melainkan dibentuk dari belahan batang pohon yang dipakai sebagai dasar untuk penyambungan papan kulit lambung berikutnya. Kesamaan kedua proses pembuatan kapal tersebut adalah keduanya mendahulukan penyelesaian kulit lambung kemudian pemasangan gadinggadingnya. Perbedaannya, bodi susun kekuatan utamanya terletak pada gadinggading sehingga kulit lambung relatif tipis, sedangkan bodi batang seringkali tidak memakai gading-gading dan kekuatan konstruksi hanya mengandalkan ketebalan kulit lambung bagian dasar kapal. Tahap akhir dari proses pembangunan kapal tradisional ini adalah upacara peluncuran. Upacara ini diadakan setelah menyelesaikan seluruh tahapan dalam proses pembuatan konstruksi hingga pemasangan mesin penggerak yang dilanjutkan dengan acara peluncuran dan uji kelayakan operasi di laut. Desain bentuk dan dimensi utama kapal pancing tonda di Kabupaten Buton biasanya ditentukan berdasarkan tipe dan kapasitas mesin penggerak yang dipakai. Tipe mesin penggerak dapat dibedakan atas: mesin dalam (inboard
51
engine) dan mesin tempel (outboard engine). Kapasitas mesin yang digunakan bervariasi sesuai ukuran kapal. Untuk tipe mesin dalam berkisar antara 16 – 30 HP, sedangkan mesin tempel antara 5,5 – 40 HP. Selain berbeda tipe dan tenaga, kedua tipe mesin tersebut juga memiliki poros baling-baling yang berbeda, hal ini berpengaruh pada pengaturan ruang interior kapal. Tipe inboard engine, memiliki poros baling-baling panjang (long-tail) sehingga posisi ruang mesin berada di bagian midship, dan tipe outboard engine dengan poros baling-baling pendek (short-tail) penempatannya tepat pada ujung buritan (after perpendicular). 5.1.1 Dimensi utama kapal Dimensi utama kapal merupakan besaran skalar yang menentukan besar kecilnya ukuran sebuah kapal. Parameter dimensi utama ini terdiri dari panjang kapal keseluruhan (length over all - LOA) yang diukur dari ujung haluan hingga ujung buritan; lebar kapal (breadth - B) diukur dari sisi kanan dan kiri terluar; tinggi kapal (depth - D) diukur dari sisi terrendah hingga badan kapal terbawah; dan sarat air (draft - d) diukur dari batas garis air hingga badan kapal terbawah atau bagian atas lunas. Parameter-parameter tersebut mempunyai pengaruh terhadap bentuk dan karakteristik kapal. Panjang kapal (L) berpengaruh terhadap kecepatan dan kekuatan memanjang kapal; lebar kapal (B) terhadap tinggi metacentre (GM); tinggi kapal (D) berpengaruh terhadap tinggi titik berat kapal (centre of grafity KG), kekuatan memanjang dan ruangan dalam kapal; dan sarat air kapal (d) terhadap tinggi titik gaya apung (centre of buoyancy KB). Oleh karena itu, penentuan dimensi utama kapal merupakan hal penting dalam mendesain sebuah kapal ikan, karena dimensi utama kapal erat kaitannya dengan penggunaan mesin penggerak serta kemampuan kapal tersebut dalam melakukan aktifitas penangkapan sesuai metode dan kondisi daerah penangkapan. Pengukuran terhadap seluruh sampel kapal pancing tonda di tujuh lokasi penelitian, diperoleh enam kelompok dimensi utama yang terdiri dari dua tipe kapal yaitu tipe yang menggunakan mesin dalam (inboard) dan tipe yang menggunakan mesin tempel (outboard). Hasil pengukuran dimensi utama kapal sampel yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 5. Dari tabel tersebut terlihat bahwa tiap sampel memiliki spesifikasi ukuran tersendiri sesuai dengan kapasitas mesin penggeraknya. Semakin besar ukuran kapal maka mesin penggerak yang dipakai
52
juga lebih besar. Kapal tipe inboard (PT-1, PT-2, PT-3) umumnya menggunakan mesin penggerak merek Dong Feng dan Jiang Dong dengan kapasitas horse power sebesar 16, 24 dan 30 HP, sedangkan tipe outboard (PT-3, PT-4, PT-5) menggunakan mesin penggerak merek Yamaha berkapasitas 5,5; 15 dan 40 HP. Tabel 5 Dimensi utama kapal pancing tonda Kabupaten Buton Sampel kapal PT-1 PT-2 PT-3 PT-4 PT-5 PT-6
Tenaga mesin (HP) 16 24 30 5,5 15 40
LOA (m) 9,17 9,60 10,60 7,50 8,65 9,75
B (m) 1,06 1,26 1,30 0,80 1,04 1,13
D (m) 0,62 0,73 0,92 0,60 0,70 0,80
Dari enam kelompok dimensi utama kapal sampel di atas, terdapat dua kelompok yang paling dominan mewakili masing-masing tipe kapal, yaitu PT-1 mewakili tipe kapal inboard dan PT-5 mewakili tipe outboard. Berdasarkan hal tersebut maka dalam tulisan ini hanya diambil dua kelompok ukuran kapal sampel untuk dianalisis lebih lanjut, dimana kelompok kapal PT-1 disebut tipe inboard dan kelompok kapal PT-5 disebut tipe outboard. 5.1.2 Rasio dimensi utama Rasio dimensi utama merupakan hal penting dalam proses pendesainan kapal. Nilai rasio tersebut dapat diketahui dengan membandingkan parameter panjang dengan lebar (L/B), panjang dengan tinggi (L/D), dan lebar dengan tinggi (B/D). Kesesuaian nilai rasio dimensi utama sangat menentukan kemampuan sebuah kapal ikan. Menurut Muckle and Taylor (1987) bahwa nilai L/B berpengaruh terhadap kemampuan olah gerak kapal; nilai L/D berpengaruh terhadap kekuatan memanjang kapal; dan nilai B/D berpengaruh terhadap stabilitas kapal. Hasil perhitungan rasio dimensi utama kedua tipe kapal pancing tonda di Kabupaten Buton dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Rasio dimensi utama kapal pancing tonda Kabupaten Buton Tipe Kapal Inboard Outboard
L/B 8,65 8,32
L/D 14,79 12,36
B/D 1,71 1,49
53
Jika nilai-nilai tersebut dibandingkan dengan nilai rasio dimensi utama beberapa jenis kapal ikan di Indonesia yang diterakan pada Tabel 7, menunjukkan bahwa nilai rasio dimensi utama kedua tipe kapal pancing tonda sampel berada dalam kisaran nilai rasio semua jenis kapal pembanding. Hal ini mengindikasikan adanya kesesuaian desain antara kapal pancing tonda Kabupaten Buton dengan beberapa jenis kapal penangkap ikan di Indonesia, baik yang menggunakan metode operasi static gear, encircling gear, towed gear, maupun multipurpose gear. Dengan kata lain, dimensi utama kedua tipe kapal pancing tonda tersebut cukup ideal dan cenderung dapat digunakan untuk beberapa metode operasi penangkapan. Pada kenyataannya, kapal pancing tonda yang dipakai menangkap tuna dan cakalang umumnya terdiri dari dua metode operasi yaitu, menggunakan pancing dalam keadaan diam (static gear) maupun yang ditarik atau ditonda (towed/dragged gear). Tabel 7 Kisaran nilai rasio dimensi utama jenis kapal ikan di Indonesia Metode operasi L/B 2,83 – 11,12 Static gear 2,60 – 9,30 Encircling gear 2,86 – 8,30 Towed/dragged gear 2,88 – 9,42 Multipurpose gear Sumber: Iskandar dan Pujiyati (1995).
L/D 4,58 – 17,28 4,55 – 17,43 7,20 – 15,12 8,69 – 17,15
B/D 0,96 – 4,68 0,55 – 5,00 1,25 – 4,41 0,35 – 6,09
Dilihat dari nilai rasio L/B, L/D, dan B/D masing-masing tipe kapal pancing tonda berturut-turut sebesar 8,65, 14,79, dan 1,71 untuk tipe inboard dan 8,32, 12,36, dan 1,49 untuk tipe outboard, ternyata lebih sesuai dengan nilai-nilai rasio dimensi utama kapal towed/dragged gear yang berkisar antara 2,86 – 8,30 (L/B), 7,20 – 15,12 (L/D), dan 1,25 – 4,41 (B/D). Dengan demikian, kapal pancing tonda yang dibangun pengrajin di Kabupaten Buton memiliki kesesuaian rasio dimensi utama dengan kapal penangkap ikan di daerah lain yang mempunyai metode operasi yang sama (towed/dragged gear). Hasil perbandingan antara nilai rasio dimensi utama kapal pancing tonda dengan nilai rasio dimensi utama kapal ikan towed gear di Indonesia, menunjukkan bahwa nilai L/B dan L/D kedua tipe kapal pancing tonda berada pada kisaran nilai atas kapal pembanding (towed gear) sedangkan nilai B/D berada pada kisaran nilai bawah.
54
Nilai L/B yang besar mempunyai pengaruh yang positif terhadap kecepatan dan olah gerak kapal. Dengan demikian, semakin besar nilai rasio L/B suatu kapal maka kecepatan yang dihasilkan juga semakin tinggi, begitu pula dengan kemampuan olah geraknya. Nilai rasio L/B kapal pancing tonda yang berada pada kisaran nilai atas kapal pembanding, cukup menguntungkan karena akan menghasilkan kecepatan dan olah gerak yang tinggi sesuai peruntukannya sebagai kapal penangkap tuna dan cakalang yang dikenal memiliki kecepatan renang yang tinggi, melakukan olah gerak (manuver) mengikuti pergerakan gerombolan ikan. Kecepatan yang tinggi juga diperlukan untuk perjalanan dari dan ke daerah penangkapan yang jaraknya dapat mencapai 60 mil laut. Nilai L/D yang besar berpengaruh negatif terhadap kekuatan memanjang kapal, yang berarti semakin besar nilai rasio L/D maka kekuatan memanjang kapal akan semakin rendah. Nilai L/D yang berada pada kisaran atas kapal pembanding, kurang menguntungkan bagi kapal pancing tonda karena akan mengurangi kekuatan transversal kapal terhadap pengaruh gaya-gaya luar yang bekerja pada kapal. Kapal pancing tonda Kabupaten Buton yang umumnya mempunyai daerah jelajah yang luas dan kemungkinan besar berpapasan dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, akan lebih baik jika dilakukan penambahan dimensi tinggi (D). Penambahan nilai tersebut akan mengurangi nilai rasio L/D sehingga kekuatan memanjang kapal dapat dinaikkan. Selain itu, penambahan nilai D juga menambah ruang kerja dalam kapal. Nilai B/D yang kecil akan berpengaruh negatif terhadap stabilitas kapal. Jika nilai rasio B/D semakin kecil maka akan menghasilkan stabilitas kapal yang buruk. Walaupun nilai B/D kapal pancing tonda berada pada kisaran nilai bawah, tetapi nilai rasio tersebut masih berada dalam kisaran nilai rasio kapal pembanding yang memungkinkan stabilitas dan kemampuan olah gerak (propulsive ability) yang baik. Untuk memperbaiki stabilitas kapal pancing tonda dapat dilakukan dengan menambah dimensi lebar (B). Pada kondisi ini nilai rasio B/D akan membesar sehingga berpengaruh positif terhadap stabilitas. Terkait dengan proses penambahan, Sugiyanto (2005), Tarkono (2006) menyatakan bahwa. kelebihan ukuran 0,1 cm adalah sebagai toleransi pada saat pengematan untuk mendapatkan ukuran yang sebenarnya.
55
Berdasarkan hasil dan uraian di atas, dapat diketahui bahwa nilai rasio dimensi utama (L/B, L/D, dan B/D) kapal pancing tonda yang dibangun secara tradisional masuk dalam kisaran nilai kapal pembanding dan cenderung sama untuk tiap daerah pembangunan kapal. Nilai L/B dan L/D berada pada nilai kisaran atas sedangkan nilai B/D berada pada kisaran nilai bawah. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kapal pancing tonda di Kabupaten Buton memiliki ukuran panjang (L) yang lebih besar dibanding lebar (B) dan tinggi kapal (D). Kapal seperti ini menggambarkan sebuah prototip kapal long boat yang ramping. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa desain kapal yang dilakukan galangan tradisional telah memperhatikan efisiensi pemakaian tenaga penggerak untuk mendapatkan kecepatan yang maksimal. 5.1.3 Bentuk badan kapal Bentuk badan kapal bergantung pada dimensi utama, rasio dimensi utama, dan koefisien bentuk kapal sebagai faktor penciri. Hasil penelitian diketahui bahwa secara umum, badan kapal pancing tonda yang ada di Kabupaten Buton memiliki bentuk V-bottom pada bagian haluan (6a), sedangkan pada bagian midship hingga buritan tiap tipe kapal memiliki bentuk tersendiri yang lebih spesifik dengan penggunaan tipe mesin penggerak. Kapal yang menggunakan tipe mesin dalam (inboard engine) memiliki bentuk U-V bottom (6b) sedangkan yang menggunakan tipe mesin tempel (outboard engine) memiliki bentuk hard chin bottom (6c). Ketiga bentuk tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. V-bottom memiliki bentuk yang lancip pada bagian lunas menyerupai huruf V. UV-bottom memiliki bentuk hampir menyerupai huruf U yang ramping sehingga cenderung berbentuk huruf V. Hard chin bottom juga menyerupai huruf U, akan tetapi pada bagian bawah lambung dan lunas membentuk sudut lekukan yang menyerupai dagu (chin).
6a V-bottom
6b UV-bottom
6c Hard chin bottom
Gambar 6 Bentuk badan kapal pancing tonda Kabupaten Buton.
56
Pemilihan bentuk V-bottom pada bagian haluan dimaksudkan agar kapal
dapat membelah air dengan baik dan mengurangi resistensi yang terjadi pada haluan kapal sehingga kecepatan yang dihasilkan lebih maksimal. Bentuk UV-bottom menguntungkan dari segi kecepatan dan olah gerak tetapi lemah dalam hal stabilitas.
Bentuk hard chin bottom berperan positif terhadap stabilitas, tetapi
negatif terhadap kecepatan kapal. Untuk mendapatkan bentuk yang ideal, diperlukan modifikasi agar keunggulan yang dimiliki masing-masing bentuk dapat dioptimalkan. Bentuk badan yang ideal untuk kapal pancing tonda adalah bentuk yang memungkinkan kapal tersebut memiliki kecepatan dan olah gerak yang tinggi. 5.1.4 Rencana garis kapal Rencana garis suatu kapal merupakan gambar lines plan kapal pada setiap garis air dan ordinat yang tertuang dalam tiga bentuk gambar dengan sudut pandang yang berbeda yaitu: gambar tampak samping (profil plan), tampak atas (half breadth plan), dan tampak depan (body plan). Penggunaan gambar rencana garis tersebut sangat penting bukan saja pada desain bentuk kapal, tetapi juga untuk pengaturan ruang kapal, dan perhitungan parameter hidrostatik, stabilitas, hull speed, dan sebagainya. Pembangunan kapal pancing tonda tradisional di Kabupaten Buton umumnya tidak menggunakan kelengkapan desain berupa gambar konstruksi khususnya gambar rencana garis (lines plan) tetapi hanya mengandalkan naluri dan pengalaman turun-temurun. Untuk mendapatkan gambar rencana garis tersebut maka hasil pengukuran terhadap kapal sampel yang telah diperoleh, dimasukkan ke dalam tabel offset seperti yang disajikan pada Lampiran 2 dan 3. Nilai-nilai dari tabel ini selanjutnya dipakai sebagai patokan untuk pembuatan rencana garis. Gambar rencana garis kapal pancing tonda sampel tipe inboard dan tipe outboard masing-masing dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. Dalam gambar profil plan, kapal dibagi menjadi sepuluh bagian yang sama (ordinat 0 – 10) membujur sepanjang kapal mulai dari after perpendicular (AP) hingga fore perpendicular (FP), dan beberapa garis air (water line) mulai dari batas atas lunas (base line) hingga draft tertinggi (load water line). Mengingat adanya perubahan bentuk baik dari midship ke AP maupun FP maka antara ordinat 0 – 1 dan ordinat 9 – 10 dibagi menjadi empat bagian, dan antara
57
ordinat 1 – 3 serta ordinat 7 – 9 dibagi lagi menjadi empat bagian yang sama. Jumlah water line untuk tiap kapal ditetapkan sesuai batas garis air maksimum dengan jarak masing-masing water line 5 cm. Jarak antar water line ini menunjukkan posisi kapal terhadap permukaan air jika bagian kapal terbenam ke dalam air setinggi waterline tersebut. Waterline pertama berada pada posisi terbawah dekat base line, dan water line terakhir pada posisi teratas yang merupakan draft kapal pada kondisi muat penuh. Gambar half breadth plan merupakan gambar yang menunjukkan water line kapal jika dilihat dari atas pada masing-masing buttock line. Buttock line digambarkan sebagai garis yang memotong water line menjadi beberapa bagian yang sama dan dibuat sejajar dengan center line. Pada gambar half breadth plan ini jumlah buttock line adalah sebanyak 2 buah dengan jarak yang sama. Water line yang terlihat pada gambar tersebut menunjukkan lebar badan kapal pada masing-masing ordinat sehingga dari gambar half breadth plan dapat diketahui lebar kapal pada setiap tinggi kapal mulai dari base line hingga DWL tertinggi. Gambar body plan merupakan gambar haluan dan buritan kapal pada masing-masing ordinat. Bentuk haluan dan buritan yang digambar adalah separuh dari bentuk seluruhnya. Ordinat 0 – 5 menunjukkan bentuk badan kapal mulai dari after perpendicular hingga midship, sedangkan ordinat 5 – 10 menunjukkan bentuk badan kapal dari midship hingga fore perpendicular. Dengan demikian dari gambar body plan dapat diketahui bentuk badan kapal secara keseluruhan mulai dari bentuk haluan, tengah (midship) dan buritan. 5.1.5 Rancangan umum kapal Rancangan umum (general arrangement) dari suatu kapal dapat diartikan sebagai penataan ruangan kapal untuk segala kegiatan atau fungsi dan peralatan yang dibutuhkan sesuai dengan letak dan jalan untuk mencapai ruangan tersebut. Rancangan umum untuk kapal ikan biasanya dipertimbangkan dari suatu platform perencanaan yang meliputi tujuan penangkapan, proses penangkapan dan penyimpanan hasil tangkapan. Rancangan ini biasanya dibuat dalam bentuk gambar yang terdiri dari dua bagian yaitu, gambar tampak samping dan gambar tampak atas. Khusus untuk kapal ikan yang memiliki dek, gambar tampak samping menunjukkan tata ruang di bawah dek, sedangkan gambar tampak atas menunjukkan tata ruang di atas dek.
58
Skala
Gambar 7 Gambar rencana garis (lines plan) kapal pancing tonda tipe inboard.
: 1 : 51
59
Skala
Gambar 8 Gambar rencana garis (lines plan) kapal pancing tonda tipe outboard.
: 1 : 49
60
Kapal pancing tonda Kabupaten Buton umumnya tidak mempunyai dek karena ukuran dalam/depth kapal tidak memungkinkan pembagian ruangan atas dan bawah dek, sehingga penataan ruangan kapal hanya dilakukan secara horisontal-longitudinal menjadi beberapa ruangan yang ditata sesuai fungsi ruang dan kelancaran operasi penangkapan. Secara umum pembagian ruang interior kapal pancing tonda terdiri dari: ruang tempat mesin, ruang kemudi, tempat penyimpanan bahan bakar minyak (BBM), tempat penyimpanan hasil tangkapan, bak umpan hidup, dan ruang tempat pemancingan. Rancangan umum kedua tipe kapal pancing tonda pada dasarnya sama. Perbedaan keduanya terletak pada pengaturan ruangan antara after perpendicular dan midship yang disebabkan oleh perbedaan posisi mesin, dimana untuk tipe inboard posisi mesinnya terletak pada bagian midship sedangkan tipe outboard tepat pada after perpendicular. Perbedaan letak posisi mesin tersebut berpengaruh terhadap penataan ruangan lain terutama penentuan posisi bak umpan hidup, ruang kemudi, dan tempat pemancingan. Rancangan umum kapal pancing tonda tipe inboard dan outboard masing-masing dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. Tempat pemancingan pada kapal pancing tonda umumnya ditentukan berdasarkan pertimbangan kelancaran operasi penangkapan dan penataan ruangan lain yang menunjang proses pemancingan. Oleh karena itu, tempat pemancingan pada tipe kapal inboard memiliki posisi yang berbeda dengan tipe outboard. Tempat pemancingan 1 untuk kedua tipe kapal berada pada posisi yang sama yaitu di bagian buritan, sedangkan tempat pemancingan 2 tipe kapal inboard berada pada posisi ke-5 di bagian tengah kapal dan tipe outboard pada posisi ke-6 dibagian haluan. Penataan ruangan seperti ini dimaksudkan untuk memudahkan proses pemancingan tanpa harus melewati ruangan lain yang dapat berakibat pada lost momentum untuk proses pemancingan berikutnya. Ruang mesin, untuk tipe inboard berada di bagian midship di posisi ke-4 antara ruang kemudi dengan tempat penyimpanan BBM. Ruangan sekitar mesin dan poros baling-baling biasanya dimanfaatkan untuk menyimpan kelengkapan yang berhubungan dengan penggunaan mesin dan kebutuhan lain yang tidak disediakan tempat khusus, termasuk alat bantu penangkapan, air tawar dan akomodasi lain.
61
Sedangkan untuk tipe outboard posisi tempat mesinnya berada di ujung buritan kapal (after penpendicular). Ruang kemudi, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa untuk tipe kapal inboard ruang kemudi berada pada posisi ke-5 di bagian tengah kapal, dan tipe outboard berada pada posisi ke-1 di bagian buritan. Ruang kemudi pada posisi-posisi tersebut juga dipakai sebagai tempat pemancingan. Jika jumlah nelayan yang mengoperasikan satu unit kapal pancing tonda terdiri dari 2 orang, maka salah satu diantaranya merangkap pekerjaan sebagai jurumudi juga sebagai pemancing. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelancaran aktivitas pemancingan sekaligus mengendalikan posisi kapal dari pengaruh angin dan arus untuk tetap mengikuti pola pergerakan ikan. Pada tipe kapal inboard nelayan yang berperan seperti itu adalah ABK-2 sedangkan pada tipe outboard berada di tangan ABK-1. Bak umpan hidup, dilengkapi dengan lubang sirkulasi air agar umpan tetap hidup selama beroperasi di daerah penangkapan. Oleh karena itu maka posisi bak umpan harus berada pada bagian dasar lambung kapal yang paling rendah sehingga volume air dalam bak tersebut cukup menjamin kelangsungan hidup ikan umpan. Pada tipe kapal inboard posisi bak umpan hidup berada tepat pada bagian midship di posisi ke-6 karena bagian ini merupakan lambung terendah yang banyak menerima suplai air laut saat kapal bergerak maju. Kondisi seperti itu juga terjadi pada tipe kapal outboard yang menempatkan bak umpan hidup pada posisi ke-4 di bagian belakang midship. Untuk tipe outboard, bagian ini juga merupakan bagian lambung yang banyak menerima suplai air laut terutama pada saat kapal melakukan operasi penangkapan. Tempat penyimpanan hasil tangkapan, merupakan bagian paling penting untuk menjaga mutu hasil tangkapan. Bagian ini hendaknya memiliki persyaratan untuk menyimpan dan menjaga kondisi ikan dengan baik. Kapal pancing tonda yang ada di Kabupaten Buton umumnya tidak mempunyai tempat penyimpanan hasil tangkapan yang memenuhi syarat. Tempat penyimpanan hanya berupa lantai dasar yang ditutup dengan papan agar hasil tangkapan terhindar dari cahaya matahari. Ikan hasil tangkapan umumnya diletakkan di atas lunas tanpa dilakukan penanganan yang baik.
62
Tampak Samping
1
2
3
4
5
6
7
8
Tampak Atas Keterangan :
Principal particulars :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
• • • • •
Tempat pemancingan 1 Tempat alat bantu penangkapan Tempat penyimpanan BBM Ruang mesin Ruang kemudi dan tempat pemancingan 2 Bak umpan hidup, tempat alat tangkap & perbekalan Palkah/tempat penyimpanan hasil tangkapan Tempat pemancingan 3
LOA : 9.17 m B : 1.06 m D : 0.62 m dmax : 0.40 m Engine : 16 HP Skala
Gambar 9 Gambar rancangan umum (general arrangement) kapal pancing tonda tipe inboar
: 1 : 46
63
Tampak Samping
0
1
2
3
4
5
6
`
Tampak Atas Keterangan : 0. Tempat mesin 1. Tempat kemudi & pemancingan 1 2. Tempat tengki mesin 3. Tempat penyimpanan BBM 4. Bak umpan hidup 5. Tempat penyimpanan hasil tangkapan 6. Tempat pemancingan 2
Principal particulars : • LOA : 8.65 m • B : 1.04 m • D : 0.70 m • dmax : 0.50 m • Engine: 15 HP Skala
: 1 : 46
Gambar 10 Gambar rancangan umum (general arrangement) kapal pancing tonda tipe outboard
64
5.1.6 Parameter hidrostatik kapal Dalam membangun sebuah kapal ikan, data hidrostatik diperlukan untuk perhitungan draft dan trim, pengaruh densitas air terhadap daya apung yang secara keseluruhan dapat memberikan petunjuk tentang kelayakan desain suatu kapal. Nilai-nilai parameter hidrostatik tersebut meliputi nilai volume displacement, ton displacement, waterplan area, midship area, coefficient of fineness, ton per centimetre immersion, longitudinal centre of buoyancy, jarak maya pusat gaya apung, jari-jari metacentre vertikal dan longitudinal, dan jarak maya titik metacentre vertikal dan longitudinal. Nilai-nilai dari parameter hidrostatik ini menggambarkan keragaan kapal secara statis (Gillmer and Johnson 1982; Rawson and Tupper 1985; Fyson 1985). Hasil perhitungan berdasarkan data pada tabel offset dan gambar rencana garis, serta data hasil eksperimen yang dilakukan terhadap kedua tipe kapal pancing tonda sampel, diperoleh nilai-nilai parameter hidrostatik seperti pada Lampiran 4 dan 5. Kurva hidrostatik kedua tipe kapal pancing tonda sampel dapat dilihat pada Gambar 11. Nilai-nilai yang diperoleh dari hasil perhitungan pada Lampiran 4 dan 5 menunjukkan nilai parameter hidrostatik pada garis air tertentu (WL terendah hingga draft maksimum). Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan nilai parameter hidrostatik pada setiap garis air, dimana nilai parameter hidrostatik semakin besar seiring dengan bertambahnya garis air (water line). Tipe inboard
Tipe outboard 0.5
0.4 0.35
Immersion (TPc) KML KMt
0.25
0.15
KB LCF
0.3 0.2
LCB WPA Wet. Area
0.1
0.1
0.05 Disp. 0 0
0.25
0.5
0.75
1
1.25 1.5 Displacement tonne
1.75
2
2.25
2.5
2.75
0
2
4
6
8
10
14
16
18
20
22
12
Immersion (TPc)
0.4
D ra ft m
D ra ft m
0.3
0.2
MTc
MTc
KML KMt KB LCF LCB WPA Wet. Area
Disp. 0 0 0.4
0.8
1.2
1.6
0
4
6
8
2
2 2.4 2.8 Displacement tonne 10
Gambar 11 Kurva hidrostatik kapal pancing tonda Kabupaten Buton
12
14
3.2 16
65
Volume displacement (V) menunjukkan volume badan kapal yang berada di bawah garis air dan nilainya sama dengan volume air laut yang dipindahkan pada saat kapal terbenam pada garis air tertentu. Nilai volume displacement terbesar yang diperoleh pada saat draft maksimum, untuk tipe inboard adalah 1,739 m3 pada WL 0,40 m dan tipe outboard sebesar 2,246 m3 pada WL 0,50 m. Nilai-nilai tersebut merupakan kapasitas muatan maksimum yang dapat ditampung kapal. Ton displacement (Δ) menunjukkan besarnya berat badan kapal di bawah garis air atau menggambarkan berat air yang dipindahkan oleh badan kapal yang terbenam. Semakin besar nilai ton displacement sebuah kapal maka bagian kapal yang terbenam di bawah permukaan air juga semakin tinggi. Nilai ton displacement yang terdapat pada garis air maksimum untuk kapal tipe inboard adalah sebesar 1,807 ton, sedangkan kapal tipe outboard sebesar 2,309 ton. Nilai-nilai tersebut sama dengan berat air yang dipindahkan oleh kapal dalam kondisi muat penuh (draft maksimum). Waterplane area (Aw) menunjukkan luas area kapal pada garis air tertentu secara horizontal-longitudinal. Besarnya nilai waterplane area tersebut tergantung dari tinggi garis air, dimana semakin tinggi garis air maka luas area kapal yang terbenam juga semakin besar. Nilai waterplane area terbesar pada tipe kapal inboard dan outboard masing-masing sebesar 6,917 dan 6,748 m2. Midship area (A ) menunjukkan luas area di bagian tengah kapal pada suatu garis air (WL) secara melintang. Nilai midship area terbesar untuk kapal tipe inboard berada pada ketinggian garis air 0,40 m yaitu sebesar 10,027 m2, dan untuk tipe inboard pada garis air 0,50 m adalah 11,329 m2. Ton per centimeter (TPc) menunjukkan berat yang dibutuhkan untuk merubah draft sebesar 1 cm. Berdasarkan perhitungan diketahui bahwa semakin tinggi garis air (WL) maka nilai TPc semakin meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi garis air maka beban yang dibutuhkan untuk merubah draft sebesar 1 cm semakin besar. Oleh karena itu TPc berfungsi untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan muatan di atas kapal, baik dengan penambahan atau pengurangan muatan terhadap perubahan ketinggian draft. Nilai TPc kapal pancing tonda sampel tipe inboard adalah 0,071 ton/cm dan tipe outboard sebesar 0,069 ton/cm, yang berarti bahwa penambahan atau pengurangan muatan sebesar nilai tersebut ke atau dari dalam kapal akan menambah atau mengurangi sarat air kapal sebesar 1 cm.
66
Coefficient of fineness yang biasa disebut sebagai koefisien kegemukan kapal, merupakan salah satu parameter hidrostatik yang mencerminkan bentuk badan kapal. Gillmer and Johnson (1982) menyatakan bahwa kelayakan desain sebuah kapal dapat dilihat dari nilai coefficient of fineness yang meliputi: coefficient of block (Cb), coefficient of waterplane (Cw), coefficient of prismatic (Cp), coefficient of vertical prismatic (Cvp), dan coefficient of midship (C ). Cb menunjukkan perbandingan antara nilai volume displacement kapal dengan volume bidang balok yang mengelilingi badan kapal. Cw menunjukkan besarnya luas area penampang membujur tengah kapal dibandingkan dengan bidang empat persegi panjang yang mengelilingi luas area tersebut. Cp menunjukkan perbandingan antara volume displacement kapal dengan volume yang dibentuk oleh luas area penampang melintang tengah kapal dan panjang kapal pada garis air tertentu. Cvp menunjukkan perbandingan antara volume displacement kapal dengan volume yang dibentuk oleh luas area kapal pada garis air tertentu secara horizontal-longitudinal dan draft kapal. C menunjukkan perbandingan antara luas penampang melintang tengah kapal secara vertikal dengan bidang empat persegi panjang yang mengelilingi luas area tersebut. Dari beberapa coefficient of fineness, nilai Cb yang paling sering dipakai dalam menentukan tingkat kegemukan kapal, karena nilai ini lebih mencerminkan bentuk badan kapal yang terbenam dalam air. Nilai Cb bergerak dari 0 – 1, dimana semakin mendekati nilai 1 berarti badan kapal semakin gemuk dan bila nilai Cb mencapai 1 maka bagian badan kapal yang terbenam di dalam air berbentuk balok atau empat persegi panjang. Hasil perhitungan parameter hidrostatik di Lampiran 4 dan 5, diperoleh nilai-nilai coefficient of fineness kedua tipe kapal pancing tonda seperti terlihat pada Tabel 8 dan koefisien bentuk lambung kapal masing-masing diterakan pada Gambar 12. Tabel 8 Nilai coefficient of fineness kapal pancing tonda Kabupaten Buton Tipe kapal Inboard Outboard
Cb 0,554 0,568
Cw 0,870 0,848
Cp 0,783 0,752
Cvp 0,63 0,67
C 0,713 0,759
67
Tipe inboard
Tipe outboard
0.45
0.55
0.4
0.5 0.45
0.35
Waterplane Area
Waterplane Area
0.4
0.3
D ra ft m
D r a ft m
0.35
0.25
Midship Area
0.2
Midship Area
0.3 Block
0.25
Block
0.15
0.2
0.1 0.05 0 0
Prismatic
0.15
Prismatic
0.1
0.1
0.2
0.3
0.4 0.5 Coefficients
0.6
0.7
0.8
0.9
0.050.2
0.3
0.4
0.5 0.6 Coefficients
0.7
0.8
Gambar 12 Koefisien bentuk badan kapal pancing tonda Kabupaten Buton Bila nilai coefficient block (Cb) kapal pancing tonda di atas dibandingkan dengan kisaran nilai Cb beberapa jenis kapal ikan di Indonesia seperti yang terlihat pada Tabel 9, ternyata nilai Cb kapal pancing tonda berada dalam kisaran nilai tersebut. Nilai Cb pada draft maksimum sebesar 0,554 dan 0,568 ini berarti kedua kapal pancing tonda sampel memiliki bentuk fine type (tingkat kegemukan rendah) dimana volume badan kapal yang terbenam dalam air kecil. Kapal ikan dengan tipe kegemukan rendah dianggap kurang menguntungkan dari segi ketahanan, kenyamanan kerja dan pengaturan ruangan. Kapal ikan yang mengoperasikan jenis pancing sebaiknya memiliki tingkat kegemukan sedang (good type) dengan nilai Cb berkisar antara 0.61 – 0.72 (Fyson 1985). Tabel 9 Nilai kisaran coefficient of fineness kapal ikan di Indonesia berdasarkan metode pengoperasian alat tangkap Metode Operasi Encircling Gear Towed/Dragged Gear Static Gear Multipurpose
Cb 0.56-0.67 0.40-0.60 0.39-0.70 -
Cw 0.78-0.88 0.66-0.77 0.65-0.85 -
Sumber: Iskandar dan Pujiati (1995)
Cp 0.60-0.79 0.51-0.62 0.56-0.80 -
Cvp 0.68-0.86 0.60-0.85 0.53-0.82 -
C 0.84-0.96 0.69-0.98 0.63-0.91 -
68
Longitudinal centre buoyancy (LCB) menunjukkan posisi titik apung dari midship sepanjang longitudinal kapal. Nilai LCB pada kapal yang diteliti semakin menurun seiring dengan bertambahnya garis air kapal. Hal ini menunjukkan letak titik apung secara longitudinal bergerak ke arah buritan. Oleh karena itu, sebaiknya penempatan muatan sebagian besar diletakkan pada daerah midship sampai buritan. Jarak KB menunjukkan posisi titik buoyancy dari lunas kapal secara vertikal. Semakin tinggi garis air maka jarak KB akan semakin bertambah. Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya garis air sehingga berakibat semakin besar gaya apung yang bekerja ke atas. Jarak BM (radius metacentre) menunjukkan jarak antara titik buoyancy terhadap titik metacentre secara vertikal. Nilainya mengalami fluktuasi karena BM merupakan parameter yang berpengaruh pada kestabilan kapal, dimana semakin jauh jarak titik B terhadap titik M maka akan berpengaruh positif terhadap kestabilan kapal. Jarak BML menunjukkan posisi BM secara longitudinal dihitung dari midship kapal. Jarak KM menunjukkan jarak antara titik metacentre terhadap lunas kapal secara vertikal. Nilai KM selalu mengalami fluktuasi, karena KM merupakan parameter yang berpengaruh terhadap kestabilan kapal, dimana semakin jauh jarak titik K terhadap titik metacentre (M) sehingga berpengaruh positif terhadap kestabilan kapal. KML menunjukkan posisi KM secara longitudinal dihitung dari midship kapal. Jarak KG menunjukkan posisi titik berat (G) dari lunas kapal. Semakin kecil nilai KG akan berpengaruh positif terhadap stabilitas kapal. Jarak GM (tinggi metacentre) menunjukkan jarak antara titik berat (G) terhadap titik metacentre. Semakin besar nilai GM akan berpengaruh positif terhadap stabilitas kapal. 5.2 Konversi Material Kapal Berdasarkan data hasil pengukuran kapal kayu sampel yang dituangkan dalam bentuk tabel offset, kemudian dibuat gambar rencana garis yang dipakai sebagai patokan untuk membuat cetakan (mould) kapal fiberglass. Proses konversi tersebut menghasilkan kapal fiberglass yang memiliki desain bentuk dan dimensi utama kapal sepadan dengan kapal kayu desain tradisional. Dengan demikian, antara kapal kayu dan kapal fiberglass memiliki kesamaan tabel offset, rencana garis, parameter hidrostatik, dan lain-lain sebagaimana telah dijelaskan
69
pada kapal kayu di atas. Perbedaan yang mungkin terjadi di antara keduanya disebabkan oleh perbedaan beberapa sifat material yang dapat mengakibatkan perbedaan karakteristik kapal di laut. Hasil perhitungan parameter hidrostatik antara kapal kayu dengan kapal fiberglass berdasarkan empat kondisi distribusi muatan kapal yang disajikan pada Lampiran 8 dan 9, diperoleh nilai-nilai parameter hidrostatik yang berbeda antara kedua kapal. Hal ini ditunjukkan dengan perubahan nilai parameter hidrostatik pada setiap kondisi pemuatan. Dalam kondisi kosong, berangkat, beroperasi, dan pulang nilai ton displacement (Δ) kapal kayu tipe inboard berturut-turut sebesar 0,504; 0,717; 0,881; dan 0,854 ton, yang ternyata lebih besar dibanding kapal fiberglass tipe yang sama yaitu sebesar 0,360; 0,573; 0,737; dan 0,710 ton. Kondisi demikian juga terjadi pada kapal tipe outboard, dimana untuk kapal kayu berturut-turut sebesar 0,348; 0,560; 0,717; dan 0,699 ton, lebih besar dibanding kapal fiberglass yaitu 0,258; 0,470; 0,628; dan 0,608 ton. Berdasarkan nilai-nilai ton displacement (Δ) yang ditunjukkan pada setiap kondisi muatan kapal di atas, mengindikasikan bahwa kapal fiberglass memiliki bobot (weight lightship) lebih rendah dibanding kapal kayu. Hal ini akan berpengaruh terhadap parameter hidrostatik lainnya yang secara keseluruhan dapat mempengaruhi karakteristik unjuk kerja kapal seperti stabilitas dan kecepatan baik dalam kondisi kosong, berangkat, beroperasi, maupun pulang. 5.2.1 Kajian stabilitas kapal Stabilitas dapat diartikan sebagai kemampuan kapal untuk kembali ke posisi semula setelah mengalami kemiringan akibat gaya-gaya yang bekerja padanya. Hal ini erat kaitannya dengan parameter dimensi utama kapal dan koefisien bentuk lambung kapal (coefficient of fineness). Selain itu stabilitas juga dipengaruhi oleh displacement ton dan distribusi muatan yang ada pada kapal. Pada saat kondisi kapal kosong, kapal berangkat ke daerah penangkapan, melakukan operasi penangkapan sampai kembali ke pangkalan, muatan yang ada padanya selalu mengalami perubahan, sehingga letak titik berat kapal dapat berbeda untuk setiap kondisi pemuatan. Perbedaan kondisi distribusi muatan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan nilai KG yang selanjutnya akan mempengaruhi nilai GZ yang terbentuk.
70
Ada dua cara yang dipakai untuk mengetahui stabilitas kapal. Cara pertama adalah dengan melakukan percobaan kestabilan (inclining experiment), dan cara kedua dengan menggunakan perhitungan secara matematis. Dalam penelitian ini cara kedua yang digunakan untuk menghitung stabilitas kapal, tetapi dicocokkan dengan cara pertama. Perhitungan stabilitas kapal diawali dengan perkiraan terhadap perubahan nilai KG pada setiap kondisi perubahan muatan dengan membuat perubahan jarak vertikal-horisontal. Perhitungan sudut keolengan biasanya sampai dengan 900 dan dihitung untuk beberapa kondisi pemuatan yang berarti untuk beberapa letak titik berat kapal yang berbeda. Perkiraan berat muatan (%) pada setiap kondisi pemuatan dapat dilihat pada Tabel 10, dan distribusi muatan pada masing-masing kompartemen yang ditata berdasarkan rancangan umum (general arrangement) kapal disajikan pada Gambar 13. Tabel 10 Perkiraan berat muatan (%) pada berbagai kondisi muatan kapal No. 1 2 3 4
Kondisi muatan Kapal kosong Kapal berangkat Kapal beroperasi Kapal pulang
BBM 0 100 66 33
Umpan hidup 0 0 100 0
Ikan 0 0 50 100
Perkiraan terhadap perubahan nilai KG pada empat kondisi distribusi muatan di atas dilakukan berdasarkan data existing sesuai jenis dan berat masing-masing muatan yang umum terdapat pada kapal pancing tonda dengan asumsi-asumsi sebagai berikut: 1) Pada kondisi distribusi muatan kapal kosong; berat total kapal terdiri dari berat lightship (kasko) dan berat mesin utama, sedangkan muatan berupa bahan bakar minyak, umpan hidup, dan ikan hasil tangkapan 0%. 2) Pada kondisi distribusi muatan kapal berangkat; berat total kapal terdiri dari berat kasko dan mesin utama ditambah dengan bahan bakar minyak yang dibawa 100%, sedangkan umpan hidup dan ikan tangkapan masih 0%. 3) Pada kondisi distribusi muatan kapal beroperasi; total berat kapal terdiri dari berat kasko dan mesin utama, bahan bakar minyak tersisa 66%, umpan hidup menjadi 100% (berat air dalam bak umpan), dan ikan hasil tangkapan menjadi 50%. 4) Pada kondisi distribusi muatan kapal pulang; total berat kapal terdiri dari berat kasko dan mesin utama, bahan bakar minyak tersisa 33%, umpan hidup 0% (air dalam bak umpan dikeluarkan), dan ikan hasil tangkapan menjadi 100% (sesuai kapasitas muat boks ikan).
71
Tipe inboard
Tipe outboard
1. Kondisi kosong
1. Kondisi kosong
2. Kondisi berangkat
2. Kondisi berangkat
3. Kondisi beroperasi
3. Kondisi beroperasi
4. Kondisi pulang
4. Kondisi pulang
Gambar 13 Empat kondisi distribusi muatan pada kapal pancing tonda 5.2.1.1 Nilai KG berdasarkan kondisi muatan Perhitungan nilai KG yang dibuat berdasarkan hasil pengukuran masingmasing kompartemen muatan kapal yang disajikan pada Lampiran 8, dan perkiraan berat kapal pada empat kondisi distribusi muatan yang diterakan pada Lampiran 9 dan 10, diperoleh hasil perhitungan nilai KG, ton displacement (Δ) dan GM kapal pada masing-masing kondisi pemuatan seperti terlihat pada Tabel 11 dan 12. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya perbedaan nilai ton displacement pada setiap kondisi muatan baik antara kapal kayu dengan kapal fiberglass maupun antara tipe inboard dengan tipe outboard.
72
Tabel 11 Hasil perhitungan nilai KG, ton displacement (Δ) dan GM pada empat kondisi distribusi muatan kapal tipe inboard Kondisi muatan Kosong Berangkat Beroperasi Pulang
Δ (ton) 0,5040 0,7169 0,8813 0,8542
Kapal kayu KG (m) GM (m) 0,016 0,409 0,032 0,428 0,043 0,441 0,041 0,439
Kapal fiberglass Δ (ton) KG (m) GM (m) 0,3602 0,006 0,395 0,5730 0,021 0,417 0,7374 0,034 0,430 0,7102 0,031 0,428
Tabel 12 Hasil perhitungan nilai KG, ton displacement (Δ) dan GM pada empat kondisi distribusi muatan kapal tipe outboard Kondisi muatan Kosong Berangkat Beroperasi Pulang
Kapal kayu Δ (ton) KG (m) GM (m) 0,348 0,121 0,597 0,560 0,111 0,549 0,717 0,102 0,524 0,699 0,103 0,526
Kapal fiberglass Δ (ton) KG (m) GM (m) 0,258 0,123 0,607 0,470 0,115 0,565 0,628 0,107 0,536 0,608 0,107 0,539
Perbedaan nilai ton displacement tersebut disebabkan karena adanya perbedaan weight tonne lightship, dan jumlah muatan pada setiap kondisi. Kapal kayu umumnya memiliki nilai weight tonne lightship lebih besar dibanding kapal fiberglass, demikian pula untuk tipe inboard relati lebih besar dibanding tipe outboard. Perhitungan nilai weight tonne pada setiap kondisi muatan, dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10. Umumnya nilai ton displacement terbesar terdapat pada kondisi beroperasi yaitu pada kondisi dimana bahan bakar minyak diasumsikan lebih dari setengah penuh (60%), umpan hidup penuh (100%), dan ikan hasil tangkapan setengah penuh (50%). Hasil analisis di atas juga menunjukkan adanya perubahan nilai KG dan GM kapal pada setiap perubahan kondisi distribusi muatan. Nilai KG dan GM yang diperoleh pada kapal pancing tonda tipe inboard berbanding terbalik dengan nilai KG dan GM pada kapal tipe outboard. Pada kapal tipe inboard, jika nilai ton displacement bertambah maka nilai KG dan GM kapal akan semakin besar, sedangkan pada tipe outboard nilai ton displacement bertambah maka nilai KG dan GM akan menjadi lebih kecil. Selain itu, pada tipe inboard, kapal kayu memiliki nilai KG dan GM lebih besar dibanding kapal fiberglass, dan sebaliknya pada tipe outboard, nilai KG dan GM tersebut lebih besar pada kapal fiberglass dibanding kapal kayu. Selanjutnya, nilai KG dan GM tertinggi pada kapal tipe
73
inboard dicapai pada kondisi distribusi muatan kapal beroperasi, sementara pada tipe outboard adalah pada kondisi kapal kosong. Namun pada umumnya, kapal pancing tonda tipe outboard dengan bentuk hard chin bottom memiliki nilai KG maupun GM yang lebih tinggi dibanding kapal tipe inboard dengan bentuk UVbottom. Hal ini selain disebabkan karena bentuk dasar lambung kapal tipe outboard yang cenderung lebar, kapal tipe outboard juga memiliki nilai ton displacement yang lebih besar sehingga tipe ini memiliki stabilitas yang lebih baik dibanding tipe inboard. Taylor (1977) dan Hind (1982) menyatakan bahwa stabilitas sebuah kapal dipengaruhi oleh letak tiga titik konsentrasi gaya yang bekerja pada kapal tersebut yaitu: titik B (centre of buoyancy), titik G (centre of grafity) dan titik M (metacentre). Selanjutnya Hind (1982) mengemukakan bahwa posisi titik G bergantung dari distribusi muatan dan posisi titik B bergantung pada bentuk kapal yang terbenam dalam air. Saat kapal berangkat menuju daerah penangkapan, muatan pada kapal terdiri atas perbekalan dan perlengkapan alat tangkap serta bahan bakar yang terisi penuh, saat beroperasi bak umpan hidup terisi penuh ditambah sebagian hasil tangkapan, dan pada saat kembali muatan-muatan tersebut akan berkurang tetapi palka ikan akan terisi penuh. Hal ini menyebabkan perubahan titik berat pada kapal, sehingga letak titik G (centre of grafity) kapal akan berubah. Titik berat (G) pada sebuah kapal merupakan titik tangkap dari sebuah titik pusat seluruh gaya berat yang menekan ke bawah. Letak titik G dapat ditentukan dengan meninjau semua pembagian berat yang berada di atas kapal terhadap lunas kapal. Letak titik berat di atas lunas (KG) akan mempengaruhi besar kecilnya nilai lengan penegak GZ yang terbentuk pada saat kapal mengalami keolengan. Berdasarkan hasil perkiraan perubahan distribusi muatan pada kedua tipe kapal yang telah diuraikan sebelumnya memperlihatkan nilai ton displacement, nilai KG dan GM kapal berubah jika terjadi perubahan berat dan distribusi muatan. Hal ini juga dijelaskan oleh Hind (1982) bahwa penambahan dan perpindahan muatan pada kapal dapat mengakibatkan perubahan nilai displacement, draft, posisi G, posisi B, posisi M dan trim fore perpendicular (FP) dan after perpendicular (AP).
74
Dari Tabel 9 dan 10, juga diketahui bahwa perubahan nilai ton displacement berpengaruh terhadap nilai KG kapal tetapi tidak menentukan peningkatan dan penurunan nilai tersebut. Peningkatan dan penurunan nilai KG bergantung kepada distribusi muatan yang ada di atas kapal. Hasil penelitian Iskandar (1997) juga menjelaskan bahwa tinggi rendah nilai KG tidak bergantung pada nilai ton displacement kapal tetapi pada kondisi penempatan muatan di atasnya. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh bahwa nilai ton displacement berpengaruh terbalik terhadap nilai tinggi metacentre (GM) yang terbentuk dimana semakin tinggi nilai ton displacement kapal maka tinggi metacentre akan menurun. Hal ini dapat dijelaskan pada Gambar 14 bahwa, jika sebuah beban w (ton) meningkatkan draft kapal maka centre of grafity kapal akan meningkat sehingga terjadi sebuah posisi GGI yang baru, sehingga tinggi metacentre akan menurun. Nilai KG tertinggi pada keseluruhan kapal sampel berada pada saat kondisi kapal beroperasi. Tingginya nilai KG pada kondisi tersebut karena bertambahnya muatan hasil tangkapan dan umpan hidup tetap 100%. Perubahan nilai KG pada kapal akan mengakibatkan perubahan jarak tinggi metacentre (GM), dimana semakin tinggi nilai KG maka nilai tinggi metacentre akan semakin kecil. Nilai GM kapal selanjutnya akan berpengaruh terhadap stabilitas kapal pada saat beroperasi.
Gambar 14 Penambahan beban pada kapal
75
5.2.1.2 Nilai lengan penegak GZ kapal Stabilitas kapal sampel diukur dengan menghitung nilai lengan penegak (GZ) yang terbentuk pada kurva GZ. Pada kurva GZ ditunjukkan nilai GZ pada berbagai sudut keolengan. Kurva stabilitas kapal pancing tonda sampel pada berbagai kondisi distribusi muatan disajikan pada Gambar 15 dan 16. Nilai-nilai GZ yang didapatkan pada kurva tersebut menunjukkan kemampuan kapal untuk kembali ke posisi semula setelah mengalami kemiringan akibat gaya-gaya luar yang mempengaruhinya. Nilai lengan penegak GZ yang terbentuk pada kurva GZ berbanding terbalik dengan nilai KG. Pada kurva tersebut terlihat bahwa semakin tinggi nilai KG maka nilai GZ akan semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Dari bentuk kapal yang ada, kapal tipe outboard dengan bentuk badan hard chin bottom memiliki nilai GZ yang lebih tinggi dibanding kapal tipe inboard dengan bentuk badan UV-bottom. Nilai lengan penegak GZ menunjukkan nilai stabilitas suatu kapal. Nilai ini memiliki standar kriteria yang ditetapkan oleh International Maritime Organization (IMO) seperti yang telah dijelaskan pada Gambar 3. Hasil perhitungan stabilitas kapal pancing tonda sampel yang disajikan pada Lampiran 11 sampai 14, diperoleh nilai lengan penegak GZ seperti pada Tabel 13 sampai 16. Jika membandingkan nilai GZ pada kapal kayu dengan kapal fiberglass maka nilai GZ kapal kayu cenderung lebih tinggi dibanding nilai GZ pada kapal fiberglass. Ini berarti bahwa kapal kayu memiliki stabilitas yang lebih baik dibanding kapal fiberglass, meskipun secara keseluruhan menunjukkan bahwa seluruh nilai lengan penegak GZ kapal pancing tonda baik yang bermaterial kayu maupun fiberglass ternyata lebih kecil atau berada di bawah standar kriteria yang ditetapkan IMO. Walaupun lengan penegak GZ yang terbentuk pada empat kondisi distribusi muatan kapal pancing tonda berada di bawah standar yang ditetapkan IMO namun semuanya bernilai positif. Ini berarti nilai lengan penegak GZ yang dihasilkan masih dapat mengembalikan kapal pancing tonda ke posisi semula setelah mengalami keolengan. Kondisi kapal seperti ini sangat diperlukan terutama saat nelayan hendak menaikkan ikan hasil tangkapan berukuran besar, dimana salah satu sisi kapal harus dimiringkan hingga dekat permukaan air agar ikan mudah dinaikkan ke atas kapal.
76
Tabel 13 Nilai stabilitas kapal kayu tipe inboard dan nilai standar IMO Kriteria A B C D E F
( 0 - 30º ) ( 0 - 40º ) ( 30 - 40º ) ( GZmax pada 30o ) ( Sudut GZmax ) ( Initial GMt )
Standar IMO 3.151 m.deg 5.157 m.deg 1.719 m.deg 0.200 m 25.0 deg 0.150 m
Kosong 0.877 F 1.708 F 0.831 F 0.198 F 67.00 P 0.098 F
Kondisi Distribusi Muatan Berangkat Beroperasi 1.137 F 0.933 F 2.132 F 1.789 F 0.995 F 0.856 F 0.178 F 0.143 F 63.00 P 61.00 P 0.131 F 0.108 F
Pulang 1.172 F 2.210 F 1.037 F 0.182 F 63.00 P 0.139 F
Keterangan: F= Fail; dan P = Pass Tabel 14 Nilai stabilitas kapal fiberglass tipe inboard dan nilai standar IMO Kriteria A B C D E F
( 0 - 30º ) ( 0 - 40º ) ( 30 - 40º ) ( GZmax pada 30o ) ( Sudut GZmax ) ( Initial GMt )
Standar IMO 3.151 m.deg 5.157 m.deg 1.719 m.deg 0.200 m 25.0 deg 0.150 m
Kosong 0.864 F 1.665 F 0.800 F 0.199 F 69.00 P 0.097 F
Kondisi Distribusi Muatan Berangkat Beroperasi 1.116 F 0.876 F 2.110 F 1.689 F 0.994 F 0.813 F 0.180 F 0.142 F 64.00 P 61.00 P 0.133 F 0.099 F
Pulang 1.152 F 2.175 F 1.023 F 0.189 F 64.00 P 0.135 F
Keterangan: F= Fail; dan P = Pass Tabel 15 Nilai stabilitas kapal kayu tipe outboard dan nilai standar IMO Kriteria A B C D E F
( 0 - 30º ) ( 0 - 40º ) ( 30 - 40º ) ( GZmax pada 30o ) ( Sudut GZmax ) ( Initial GMt )
Standar IMO 3.151 m.deg 5.157 m.deg 1.719 m.deg 0.200 m 25.0 deg 0.150 m
Kosong 1.416 F 2.278 F 0.862 F 0.176 F 73.00 P 0.252 P
Kondisi Distribusi Muatan Berangkat Beroperasi 1.693 F 1.360 F 2.804 F 2.295 F 1.111 F 0.936 F 0.211 P 0.177 F 68.00 P 65.00 P 0.254 P 0.190 F
Pulang 1.609 F 2.728 F 1.119 F 0.211 P 68.00 P 0.220 P
Keterangan: F= Fail; dan P = Pass Tabel 16 Nilai stabilitas kapal fiberglass tipe outboard dan nilai standar IMO Kriteria A B C D E F
( 0 - 30º ) ( 0 - 40º ) ( 30 - 40º ) ( GZmax pada 30o ) ( Sudut GZmax ) ( Initial GMt )
Standar IMO 3.151 m.deg 5.157 m.deg 1.719 m.deg 0.200 m 25.0 deg 0.150 m
Keterangan: F= Fail; dan P = Pass
Kosong 1.419 F 2.297 F 0.878 F 0.169 F 78.00 P 0.286 F
Kondisi Distribusi Muatan Berangkat Beroperasi 1.842 F 1.400 F 3.055 F 2.324 F 1.213 F 0.924 F 0.224 P 0.178 F 69.00 P 66.00 P 0.279 P 0.209 P
Pulang 1.673 F 2.802 F 1.128 F 0.217 P 69.00 P 0.237 P
77
Gambar 15 Kurva stabilitas kapal tipe inboard
78
Gambar 16 Kurva stabilitas kapal tipe outboard
79
Hasil analisis di atas juga menunjukkan adanya perubahan nilai KG dan GM kapal pada setiap perubahan kondisi distribusi muatan. Nilai KG dan GM yang diperoleh pada kapal pancing tonda tipe inboard berbanding terbalik dengan nilai KG dan GM pada kapal tipe outboard. Pada kapal tipe inboard, jika nilai ton displacement bertambah maka nilai KG dan GM kapal akan semakin besar, sedangkan pada tipe outboard nilai ton displacement bertambah maka nilai KG dan GM akan menjadi lebih kecil. Selain itu, pada tipe inboard, kapal kayu memiliki nilai KG dan GM lebih besar dibanding kapal fiberglass, dan sebaliknya pada tipe outboard, nilai KG dan GM tersebut lebih besar pada kapal fiberglass dibanding kapal kayu. Selanjutnya, nilai KG dan GM tertinggi pada kapal tipe inboard dicapai pada kondisi distribusi muatan kapal beroperasi, sementara pada tipe outboard adalah pada kondisi kapal kosong. Namun pada umumnya, kapal pancing tonda tipe outboard dengan bentuk hard chin bottom memiliki nilai KG maupun GM yang lebih tinggi dibanding kapal tipe inboard dengan bentuk UVbottom. Hal ini selain disebabkan karena bentuk dasar lambung kapal tipe outboard yang cenderung lebar, kapal tipe outboard juga memiliki nilai ton displacement yang lebih besar sehingga tipe ini memiliki stabilitas yang lebih baik dibanding tipe inboard. Tabel 17 Nilai maksimum dan kisaran nilai stabilitas kapal tipe inboard No .
Kondisi Kapal
1 2 3 4
Kapal kosong Kapal berangkat Kapal beroperasi Kapal pulang
Maksimum Stabilitas Sudut ( º ) GZ (m) Kayu Fiber Kayu Fiber 67 69 0,198 0,204 63 64 0,178 0,180 61 61 0,143 0,142 63 64 0,182 0,189
Sudut Kisaran Stabilitas ( º ) Kayu Fiber 0-119 0 - 140 0-118 0 - 155 0-113 0 - 146 0-122 0 - 134
Tabel 18 Nilai maksimum dan kisaran nilai stabilitas kapal tipe outboard
No. 1 2 3 4
Kondisi Kapal Kapal kosong Kapal berangkat Kapal beroperasi Kapal pulang
Maksimum Stabilitas Sudut ( º ) GZ (m) Kayu Fiber Kayu Fiber 73 78 0,176 0,169 68 70 0,211 0,216 65 66 0,177 0,178 68 69 0,211 0,217
Sudut Kisaran Stabilitas ( º ) Kayu Fiber 0-123 0 - 138 0-129 0 - 178 0-124 0 - 170 0-131 0 - 180
80
Pada dasarnya ada dua gaya yang mengatur kestabilan kapal di laut, yaitu gaya berat (forces of grafity,G) yang selau bergerak vertikal ke bawah dan gaya apung (forces of buoyancy, B) yang bergerak vertikal ke atas. Pada saat kapal dalam kondisi tenang kedua gaya ini berada pada satu garis vertikal yang sama. Pada saat kapal mengalami keolengan, gaya berat dan gaya apung kapal akan bergerak ke arah yang berlawanan. Jarak perpendicular yang dibentuk oleh kedua garis gaya ini disebut lengan penegak (Gillmer dan Johnson 1982). Nilai lengan GZ kapal sampel yang disajikan pada Tabel 13 sampai 16 memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan nilai minimum yang ditetapkan oleh IMO. Hal ini dapat dilihat dari nilai margin yang positif (Tabel 17 dan 18). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada keempat kondisi pemuatan, kapal dapat menghasilkan momen kopel yang positif untuk mengembalikan kapal ke posisi semula setelah terjadi oleng akibat gaya yang bekerja padanya. Nilai GZ akan menjadi negatif jika sudut keolengan lebih besar dari batas nilai maksimum kisaran stabilitas (Tabel 17 dan 18), yang mengakibatkan kapal tidak lagi menghasilkan lengan GZ yang positif. Bila hal ini terjadi kapal akan terbalik karena saat terjadi keolengan pada sudut tersebut. Kapal dengan lengan GZ negatif akan meneruskan geraknya ke arah kemiringannya dan tidak kembali ke posisi semula. Pada Gambar 13 dan 14, disajikan grafik kriteria stabilitas kapal sampel berdasarkan nilai yang diperoleh pada Tabel 13 sampai 16. Dari gambar tersebut terlihat bahwa nilai kriteria stabilitas (A, B, C, D, E dan F) pada kapal sampel berturut-turut pada tiap kondisi pemuatan semakin kecil, dimana kapal tipe outboard memiliki nilai GZ yang lebih besar sehingga nilai kriteria stabilitasnya lebih baik dibandingkan kapal tipe inboard. Hal ini disebabkan karena bentuk hard chin bottom yang dimiliki tipe outboard cenderung lebih lebar dibanding UV-bottom yang dimiliki tipe inboard. Hind (1982) dan Derret (1990) mengatakan bahwa selain tinggi titik G, nilai lengan penegak GZ juga dipengaruhi oleh nilai lebar badan kapal dimana pertambahan nilai lebar akan meningkatkan nilai lengan penegak GZ yang terbentuk. Hasil perhitungan stabilitas kapal pancing tonda sampel yang diterakan pada Tabel 13 sampai 16, terlihat bahwa seluruh nilai lengan penegak GZ kapal
81
berada di bawah batas kriteria yang ditetapkan IMO. Hal ini menunjukkan bahwa stabilitas kapal pancing tonda sampel memiliki kualitas stabilitas yang rendah atau dengan kata lain kemampuan kapal untuk kembali ke posisi semula setelah miring sangat rendah sehingga stabilitas kapal seperti ini dapat menggangu keselamatan maupun kenyamanan kerja di atas kapal. 5.2.2 Kajian kecepatan dan resistensi Kecepatan dan resistensi kapal selain dipengaruhi oleh bentuk badan kapal juga dipengaruhi oleh tenaga penggerak yang digunakan (Fyson, 1985). Ukuran utama, koefisien kemontokan, trim, jenis mesin dan sebagainya merupakan faktor yang menentukan kecepatan kapal (Nomura, 1975). Selain itu kecepatan kapal juga dipengaruhi langsung oleh besarnya tenaga mesin yang dipakai. Pemakaian mesin yang sesuai sangat penting untuk efisiensi eksploitasi kapal ikan. Tenaga mesin yang terlalu besar memerlukan biaya yang lebih besar, pemakaian bahan bakar yang banyak serta pemeliharaan yang lebih besar. Sebaliknya, tenaga mesin yang terlalu kecil akan menghasilkan pekerjaan yang mengecewakan. Oleh karena itu, tenaga mesin haruslah seimbang dengan ukuran, bentuk, dan tipe kapal. Sejalan dengan itu, Dolfi (2006) menyatakan bahwa penggunaan daya mesin yang kurang sesuai dengan ukuran kapal dapat menurunkan kecepatan kapal ikan tuna. Hasil analisis kecepatan dan resistensi berdasarkan input datum water line (DWL) setiap kondisi muatan kapal pada Lampiran 15 sampai 18 yang dilanjutkan dengan analisis kecepatan dan resistensi pada Lampiran 19 sampai 22, diperoleh nilai kecepatan dan resistensi sebagaimana disajikan pada Tabel 19 dan 20. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya perbedaan kecepatan dan resistensi antara kapal kayu dan kapal fiberglass pada setiap kondisi muatan, baik pada kapal tipe inboard maupun pada kapal tipe outboard. Hal ini mengindikasikan bahwa kecepatan dan resistensi kapal turut dipengaruhi oleh kondisi muatan yang ada pada kapal, karena bobot dan distribusi muatan yang ada pada kapal akan menetukan tinggi rendahnya nilai DWL dan displacement kapal. Bertambahnya nilai DWL kapal akibat pertambahan bobot muatan, menyebabkan bagian badan kapal yang tercelup dalam air (immersed depth) akan bertambah dan resistensi yang terjadi pada lambung kapal akan menjadi lebih besar sehingga kecepatan kapal yang dihasilkan akan lebih tinggi dan sebaliknya.
82
Tabel 19 Hasil analisis kecepatan dan resistensi kapal tipe inboard antara kapal kayu dan kapal fiberglass berdasarkan kondisi distribusi muatan Kondisi muatan Kosong Berangkat Beroperasi Pulang
Kapal kayu Resist. (kN) Speed (Kts) 0,82 16,65 0,94 15,24 0,98 14,37 0,96 14,50
Kapal fiberglass Resist. (kN) Speed (Kts) 0,81 18,07 0,89 16,20 0,95 15,17 0,92 15,33
Tabel 20 Hasil analisis kecepatan dan resistensi kapal tipe outboard antara kapal kayu dan kapal fiberglass berdasarkan kondisi distribusi muatan Kondisi muatan Kosong Berangkat Beroperasi Pulang
Kapal kayu Resist. (kN) Speed (Kts) 0,79 17,17 0,82 15,62 0,90 14,79 0,88 15,03
Kapal fiberglass Resist. (kN) Speed (Kts) 0,78 17,20 0,81 16,20 0,88 15,24 0,86 15,33
Dilihat dari nilai kecepatan dan resistensi pada kedua tabel di atas, kapal fiberglass umumnya memiliki kecepatan yang relatif lebih tinggi dibanding kapal kayu tipe yang sama. Umumnya, resistensi gerak kapal terbesar terjadi pada kondisi kapal beroperasi. Pada kondisi tersebut kapal kayu tipe inboard dengan resistensi sebesar 0,98 kN menghasilkan kecepatan hanya 14,37 knot sedangkan kapal fiberglass tipe yang sama dengan nilai resistensi yang tidak jauh berbeda yaitu 0,95 kN dapat memperoleh kecepatan sebesar 15,17 knot. Begitu pula pada kapal kayu tipe outboard dengan resistensi 0,90 kN kecepatannya 14,79 knot, dan kapal fiberglass dengan resistensi 0,88 kN kecepatannya mencapai 15,24 knot. Kurva yang memperlihatkan perbedaan kecepatan antara kapal kayu dengan kapal fiberglass dalam kajian ini diterakan pada Gambar 15 dan 16. Kecepatan yang dibutuhkan kapal pancing tonda untuk melakukan perjalanan dari dan ke daerah penangkapan dan melakukan operasi penangkapan, minimal 15 knot. Bila berpatokan pada kecepatan tersebut maka kapal kayu dengan kecepatan di bawah 15 knot akan selalu mengalami lost momentum pada setiap upaya untuk menemukan, menangkap, dan membawa ikan tepat waktu. Upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk mendapatkan kecepatan dinas tertentu yaitu dengan jalan menambah daya mesin (HP) yang lebih besar atau dengan menambah efisiensi (%) penggunaan daya mesin yang ada.
83
Kondisi kosong 200
Keterangan :
Power hp
175 150
Fiber
125
Kayu
100 75 50 25 0 0
5
0
10 0.4
Holtrop = 16.033 hp
15
20 Speed kts
0.8
25
1.2 Froude Number
Speed = 16.656 kts
30 1.6
35
40
2
Holtrop = 16.062 hp
Speed = 18.071 kts
Kondisi berangkat 240
Keterangan :
200
Fiber
Power hp
160
Kayu
120 80 40 0 0
5
0
10 0.4
Holtrop = 16.088 hp
15 0.8
20 Speed kts Froude Number
Speed = 15.241 kts
25
1.2
30 1.6
35
40
2
Holtrop = 16.060 hp
Speed = 16.206 kts
Kondisi beroperasi 300
Keterangan :
250
Fiber Power hp
200
Kayu
150 100 50 0 0
5
0
10 0.4
Holtrop = 16.072 hp
15
20 Speed kts
0.8
25
1.2 Froude Number
Speed = 14.373 kts
30 1.6
35
40
2
Holtrop = 16.001 hp
Speed = 15.177 kts
Kondisi pulang 300
Keterangan :
250
Fiber
Power hp
200
Kayu
150 100 50 0 0 0
Holtrop = 16.051 hp
5
10 0.4 Speed = 14.502kts
15
20 Speed kts
0.8
1.2 Froude Number
25
30 1.6
Holtrop = 16.024 hp
35 2 Speed = 15.338 kts
Gambar 17 Kurva hubungan antara tenaga mesin penggerak dengan kecepatan kapal kayu dan kapal fiberglass tipe inboard.
40
84
Kondisi kosong 170
Keterangan :
150
Fiber ayu Kayu ayu
Power hp
125 100 75 50 25 0 0
5
0
10 0.4
Holtrop = 15.038 hp
15
20 Speed kts
0.8
25
1.2 Froude Number
Speed = 17.170 kts
30 1.6
35
40
2
Holtrop = 15.003 hp
Speed = 17.203 kts
Kondisi berangkat 240
Keterangan :
200
Fiber
Power hp
160
Kayu
120 80 40 0 0
5
0
10 0.4
Holtrop = 15.050 hp
15
20 Speed kts
0.8
25
1.2 Froude Number
Speed = 15.627 kts
30 1.6
35
40
2
Holtrop = 15.008 hp
Speed = 16.206 kts
Kondisi beroperasi 240
Keterangan :
200
Fiber Power hp
160
Kayu
120 80 40 0 0
5
0
10 0.4
Holtrop = 15.085 hp
15
20 Speed kts
0.8
25
1.2 Froude Number
Speed = 14.791 kts
30 1.6
35
40
2
Holtrop = 15.048 hp
Speed = 16.241 kts
Kondisi pulang 240
Keterangan :
200
Fiber
Power hp
160
Kayu
120 80 40 0 0 0
Holtrop = 15.040 hp
5
10 0.4 Speed = 15.026 kts
15
20 Speed kts
0.8
1.2 Froude Number
25
30 1.6
Holtrop = 15.048 hp
35 2 Speed = 16.241 kts
Gambar 18 Kurva hubungan antara tenaga mesin penggerak dengan kecepatan kapal kayu dan kapal fiberglass tipe outboard.
40
85
Hasil analisis kecepatan pada Lampiran 19 sampai 22 menunjukkan bahwa kecepatan kapal juga ditentukan oleh badan kapal dan mesin penggerak yang dipakai. Badan kapal yang dimaksud meliputi bentuk lambung, kedalaman lambung, volume dan ton displacement kapal yang tercelup dalam air. Sedangkan mesin penggerak meliputi tenaga/daya mesin (HP) dan efisiensi (%) penggunaannya. Bila efisiensi tenaga mesin yang digunakan berbeda akan menghasilkan kecepatan yang berbeda pada setiap kondisi muatan kapal. Semakin tinggi efisiensi tenaga mesin yang digunakan maka kecepatan kapal yang dihasilkan juga akan semakin tinggi. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 21 dan 22 di bawah ini. Tabel 21 Hasil analisis kecepatan kapal kayu dan fiberglass tipe inboard berdasarkan kondisi muatan dan efisiensi penggunaan tenaga mesin yang berbeda No .
Kondisi muatan
1. 2. 3. 4.
Kapal kosong Kapal berangkat Kapal beroperasi Kapal pulang
Kecepatan kapal (knot) pada Efisiensi 60% Efisiensi 70% Efisiensi 80% Kayu Fiber Kayu Fiber Kayu Fiber 16,65 18,07 17,62 19,10 18,48 20,03 15,24 16,20 16,14 17,13 16,94 18,00 14,37 15,17 15,21 16,10 16,04 16,91 14,50 15,33 15,37 16,23 16,17 17,07
Tabel 22 Hasil analisis kecepatan kapal kayu dan fiberglass tipe outboard berdasarkan kondisi muatan dan efisiensi penggunaan tenaga mesin yang berbeda No .
Kondisi muatan
1. 2. 3. 4.
Kapal kosong Kapal berangkat Kapal beroperasi Kapal pulang
Kecepatan kapal (knot) pada Efisiensi 60% Efisiensi 70% Efisiensi 80% Kayu Fiber Kayu Fiber Kayu Fiber 17,17 17,20 18,13 18,19 19,03 19,10 15,62 16,20 16,52 17,13 17,36 18,00 14,79 15,24 15,65 16,14 16,46 16,94 15,03 15,33 15,91 16,23 16,71 17,10
Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa kecepatan kapal turut ditentukan oleh besarnya efisiensi tenaga mesin yang digunakan. Semakin besar efisiensi penggunaan tenaga mesin maka semakin tinggi kecepatan kapal yang dihasilkan. Pada efisiensi penggunaan tenaga yang sama, kapal fiberglass memiliki kecepatan yang lebih tinggi dibanding kapal kayu, baik pada tipe inboard maupun outboard. Selain itu, kecepatan kapal juga ditentukan oleh kondisi muatan yang ada padanya, karena muatan kapal dapat mempengaruhi ton displacement dan DWL
86
kapal. Pertambahan nilai DWL menyebabkan immersed depth bertambah sehingga resistensi gerak pada lambung kapal yang berada di bawah garis air menjadi lebih besar. Hasil perhitungan pada Lampiran 15 dan 16 menunjukkan nilai DWL dan ton displacement kapal kayu lebih tinggi dibanding kapal fiberglass. Umumnya nilai DWL dan ton displacement tertinggi terjadi pada kondisi kapal beroperasi. Pada kondisi demikian kecepatan kapal kayu cenderung menurun hingga berada di bawah batas kecepatan dinas yang dibutuhkan kapal pancing tonda, sedangkan kapal fiberglass masih berada dalam batas kecepatan yang diinginkan yaitu Kapal pancing tonda membutuhkan kecepatan yang tinggi terutama saat berangkat ke daerah penangkapan atau kembali ke pangkalan, dan saat mengejar pergerakan gerombolan ikan, tetapi sewaktu mengoperasikan alat tangkap hanya diperlukan kecepatan yang lebih rendah, bahkan mesin dimatikan saat menarik ikan atau sedang menggunakan alat dengan cara tertentu dalam mengoperasikannya. Jarak daerah penangkapan tuna dengan tempat nelayan di Kabupaten Buton minimal 60 mil laut. Jarak ini ditandai dengan adanya rumpon yang digunakan untuk penangkapan umpan hidup sebelum melakukan penangkapan tuna, maka dengan kecepatan dinas minimal 15 knot dapat ditempuh dalam waktu 4 jam. Dengan pertimbangan waktu operasi penangkapan yang terbaik adalah pagi hari antara pukul 7.00 - 8.00, ditambah dengan waktu untuk melakukan penangkapan umpan hidup yang diperlukan dalam penangkapan tuna, maka nelayan harus berangkat menuju daerah penangkapan antara pukul 2.00 – 4.00 dini hari. Operasi penangkapan berlangsung hingga siang hari pukul 12.00 – 13.00, karena pada waktu tersebut selain aktivitas makan dari ikan tuna mulai menurun juga pertimbangan waktu kembali ke pangkalan harus membawa hasil tangkapan dalam kondisi segar. Umumnya nelayan yang mendarat di pangkalan dan menjual hasilnya lebih awal mendapatkan harga jual lebih baik dibanding yang terlambat, apalagi hasil tangkapan yang didaratkan masih dalam bentuk gelondongan tanpa es. Kenyataannya, banyak nelayan kembali ke pangkalan dan menjual hasil tangkapannya antara pukul 16.00 – 19.00, ini berarti waktu yang dipakai untuk perjalanan pulang sekitar 4 - 6 jam.
87
Berdasarkan hasil analisis kecepatan terhadap kondisi kapal berangkat, kapal beroperasi, dan kapal pulang dengan distribusi muatan yang ada pada masing-masing kapal, diperoleh bahwa kapal tipe inboard dengan daya mesin sebesar 16 HP dapat menghasilkan kecepatan 15 knot dengan efisiensi 70 - 80 %, sedangkan kapal tipe outboard dengan daya mesin 15 HP untuk mendapatkan kecepatan yang sama dibutuhkan efisiensi yang lebih besar yaitu 80% atau lebih. Umumnya kapal fiberglass memiliki kecepatan lebih tinggi dibanding kapal kayu baik tipe inboard maupun outboard. 5.3 Modifikasi dan Redesain Bertolak dari hasil kaji banding stabilitas antara kapal kayu dan kapal fiberglass yang cenderung berbeda, bila dibandingkan dengan nilai standar yang ditetapkan IMO, maka nilai stabilitas yang diperoleh dari kedua pasangan kapal tersebut berada di bawah standar kelayakan. Namun berdasarkan hasil uji kecepatan, ternyata kapal fiberglass memiliki kecepatan yang lebih tinggi dibanding kapal kayu. Untuk mendapatkan desain kapal fiberglass yang memiliki unjuk kerja yang baik sesuai dengan peruntukannya maka perlu dilakukan modifikasi maupun redesain. Berbagai cara dapat ditempuh untuk memodifikasi dan meredesain kapal antara lain dengan cara merubah dimensi utama dan rasio dimensi utama kapal, memperbaiki rancangan umum (general arrangement) kapal, dan menambah antiroll device seperti bilge keel, controllable fins, antirolling tanks, dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki kualitas kerja kapal apabila kapal tersebut kurang memenuhi keinginan pengguna sesuai dengan pengalamannya. Berdasarkan hasil-hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya dan sesuai dengan hasil pengujian di lapangan ditambah dengan saran dan informasi yang diterima dari berbagai pihak yang berpengalaman dalam bidang desain kapal ikan serta pertimbangan kearifan lokal yang telah membudaya pada kalangan desainer tradisional tentang dimensi utama kapal yang selalu menjadi patokan. Oleh karena itu maka dalam penelitian ini dilakukan modifikasi terhadap bentuk kapal tanpa merubah dimensi utamanya, serta meredesain rancangan umum dan menambah beberapa kompartemen yang dianggap dapat memperbaiki kinerja kapal maupun kelancaran aktifitas kerja serta keselamatan nelayan di atas kapal.
88
5.3.1 Modifikasi bentuk kapal Kapal pancing tonda Kabupaten Buton yang terdiri dari dua bentuk lambung (hull form) yaitu U-V bottom dan hard chin bottom. Berdasarkan hasil kaji banding yang dilakukan untuk melihat kelayakan stabilitas antara kapal kayu dengan kapal fiberglass hasil konversi, ternyata keduanya memiliki nilai stabilitas di bawah standar kriteria yang ditetapkan IMO. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua bentuk kapal pancing tonda sampel desain tradisional baik yang terbuat dari material kayu maupun yang terbuat dari material fiberglass dianggap tidak layak dari aspek stabilitas. Upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas stabilitas tersebut salah satunya adalah dengan memodifikasi bentuk lambung kapal yang sudah dikonversi, karena bentuk lambung merupakan salah satu faktor penciri dan penentu stabilitas suatu kapal. Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kelemahan yang dimiliki kedua bentuk kapal sampel sesuai hasil kaji banding yang dilakukan sebelumnya, maka ada dua cara yang dapat ditempuh untuk modifikasi bentuk tersebut. Cara pertama yaitu mengikuti standar kriteria IMO dan cara kedua adalah dengan mengkombinasikan dua bentuk kapal yang ada pada nelayan yaitu bentuk UV-bottom dan hard chin bottom, kemudian diuji kembali untuk menemukan bentuk kapal yang ideal. Modifikasi bentuk tersebut dilakukan dengan merubah lines plan kapal yang sudah ada dengan menggunakan piranti lunak dari program maxsurf, microsoft excel, dan microsoft visio. Badan kapal yang dimodifikasi dengan cara pertama ternyata menghasilkan bentuk lambung yang menyerupai huruf U, sedangkan yang dimodifikasi dengan cara kedua menghasilkan bentuk yang menyerupai kurva melengkung (round) sampai pada garis air terbawah dan runcing (sharp) pada bagian dasar (bottom) hingga lunas kapal. Untuk memudahkan pemahaman dalam kajian selanjutnya maka bentuk modifikasi dengan cara pertama disebut U-bottom, dan bentuk modifikasi dengan cara kedua disebut round sharp bottom. Kedua bentuk kapal modifikasi tersebut dapat dilihat dalam gambar lines plan kapal tipe inboard dan outboard pada Gambar 17 sampai 20, sedangkan kurva hidrostatik dan koefisien bentuk kapal hasil modifikasi, masing-masing diterakan pada Gambar 21 sampai 24.
89
Gambar 19 Rencana garis (lines plan) kapal tipe inboard yang dimodifikasi dengan bentuk U-bottom
90
PROFIL PLAN DAN BODY PLAN
HALF BREADTH PLAN
LO A B D dm ax
Gambar 20 Rencana garis (lines plan) kapal tipe inboard yang dimodifikasi dengan bentuk RSB
: : : :
9.17 1.06 0.62 0.40
m m m m
91
Gambar 21 Rencana garis (lines plan) kapal tipe ouboard yang dimodifikasi dengan bentuk U-bottom
92
PROFIL PLAN DAN BODY PLAN
HALF BREADTH PLAN
LOA B D dmax
Gambar 22 Rencana garis (lines plan) kapal tipe outboard yang dimodifikasi dengan bentuk RSB
: : : :
8.65 1.04 0.70 0.50
m m m m
93
0.45 0.4 MTc
0.35
Immersion (TPc)
D ra ft m
0.3
KML KMt
0.25
KB
0.2
LCF LCB
0.15
WPA
0.1
Wet. Area
0.05 Disp. 0
0
0.4
0.8
1.2
1.6
2 2.4 Displacement tonne
2.8
3.2
3.6
4
4.4
(A) 0.6
0.5 MTc Immersion (TPc)
0.4
Draft m
KML KMt 0.3 KB LCF 0.2 LCB WPA 0.1
Wet. Area Disp.
0 0
0.5
1
1.5
2 2.5 Displacement tonne
3
3.5
4
(B) Keterangan: (A) Kurva hidrostatik kapal tipe inboard (B) Kurva hidrostatik kapal tipe outboard Gambar 23 Kurva hirdostatik kapal tipe inboard dan outboard yang dimodifikasi dengan bentuk U-bottom
4.5
94
0.45 0.4 0.35 Waterplane Area
Draft m
0.3 0.25
Midship Area
0.2 Block
0.15 0.1
Prismatic 0.05 0
0
0.1
0.2
0.3
0.4 0.5 Coefficients
0.6
0.7
0.8
0.9
(A)
0.6
0.5
Waterplane Area
Draft m
0.4
Midship Area
0.3
0.2
Block
0.1
Prismatic
0 0
0.1
0.2
0.3
0.4 0.5 Coefficients
0.6
0.7
0.8
0.9
(B) Keterangan: (A) Kurva koefisien bentuk kapal tipe inboard (B) Kurva koefisien bentuk kapal tipe outboard Gambar 24 Kurva koefisien bentuk kapal tipe inboard dan outboard yang dimodifikasi dengan bentuk U-bottom
95
0.45 0.4 MTc
0.35
Immersion (TPc)
D ra ft m
0.3
KML KMt KB
0.25 0.2
LCF 0.15 LCB WPA Wet. Area
0.1 0.05 Disp. 0 0
0.25
0.5
0.75
1
1.25 1.5 1.75 Displacement tonne
2
2.25
2.5
2.75
3.2
3.6
4
4.4
(A)
0.6 0.5 MTc Immersion (TPc)
0.4
D ra ft m
KML KMt
0.2
LCB WPA Wet. Area
0.3
KB LCF
0.1 Disp. 0 0
0.4
0.8
1.2
1.6
2 2.4 Displacement tonne
2.8
(B) Keterangan: (A) Kurva hidrostatik kapal tipe inboard (B) Kurva hidrostatik kapal tipe outboard Gambar 25 Kurva hirdostatik kapal tipe inboard dan outboard yang dimodifikasi dengan bentuk RSB
96
0.45 0.4 0.35
Waterplane Area
Draft m
0.3 Midship Area 0.25 Block 0.2 Prismatic
0.15 0.1 0.050.2
0.3
0.4
0.5 0.6 Coefficients
0.7
0.8
(A) 0.55 0.5
Draft m
0.45
Waterplane Area
0.4 Midship Area 0.35 Block 0.3 Prismatic
0.25 0.20.2
0.3
0.4
0.5 0.6 Coefficients
0.7
0.8
(B) Keterangan: (A) Kurva koefisien bentuk kapal tipe inboard (B) Kurva koefisien bentuk kapal tipe outboard Gambar 26 Kurva koefisien bentuk kapal tipe inboard dan outboard yang dimodifikasi dengan bentuk RSB
97
5.3.2 Redesain rancangan umum Redesain rancangan umum (general arrangement) yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah menyempurnakan dan memperbaiki tata letak ruangan kapal sesuai dengan fungsi masing-masing ruangan serta menambah beberapa kompartemen yang dapat meningkatkan kinerja kapal maupun kelancaran dalam melakukan aktifitas kerja di atas kapal. Pengaturan ruangan tersebut juga dimaksudkan untuk memudahkan pergerakan saat pemancingan tanpa harus melewati ruangan lain yang berakibat lost momentum untuk proses pemancingan berikutnya. Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas maka redesain rancangan umum kapal pancing tonda yang dapat dilakukan antara lain menambah sekat pada setiap ruangan, mengatur volume dan sirkulasi air pada bak umpan hidup, menambah dek pada haluan dan tengah kapal, membuat boks ikan/es, menambah cadangan buoyancy dan dasar ganda (double bottom). Rancangan umum kapal pancing tonda setelah diredesain dapat dilihat pada Gambar 25 dan 26. Penambahan sekat pada setiap ruangan dimaksudkan agar muatan yang ada pada tiap ruangan tidak berpindah ke ruangan lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan distribusi muatan dalam kapal. Jika hal ini terjadi maka akan berpengaruh terhadap stabilitas kapal secara keseluruhan. Selain itu penambahan sekat juga dapat menghindari terjadinya kontaminasi antara bahan bakar minyak dengan umpan hidup maupun ikan hasil tangkapan. Kebanyakan kapal pancing tonda tidak menggunakan gading-gading untuk kekuatan konstruksi menyamping kapal, sehingga dengan penambahan sekat pada setiap ruangan tersebut maka dengan sendirinya telah menggantikan fungsi gading-gading. Pengaturan volume dan sirkulasi air pada bak umpan hidup yaitu dengan menambah tinggi sekat dan mengatur keseimbangan antara debit air yang masuk dan keluar melalui dua lubang yang dibuat pada sisi kiri dan kanan lambung dekat lunas. Pengaturan volume dan sirkulasi air pada bak umpan hidup dimaksudkan agar umpan tetap hidup selama operasi penangkapan berlangsung. Penempatan posisi bak umpan hidup disesuaikan dengan bagian kapal yang banyak menerima masukan air dari luar saat kapal bergerak maju melakukan operasi penangkapan. Untuk kapal tipe inboard posisi bak umpan hidup tepat pada bagian midship, sedangkan tipe outboard berada pada bagian belakang midship.
98
Kapal pancing tonda umumnya tidak mempunyai dek karena ukuran depth kapal tidak memunginkan. Meskipun demikian peranan dek kapal sangat penting dalam rancangan umum sebuah kapal. Selain menambah ruang kerja, aktifitas kerja di atas kapal juga menjadi lancar, karena dek dapat dipakai sebagai sarana mobilisasi di atas kapal tanpa harus melangkahi ruangan satu per satu saat melakukan aktifitas penangkapan. Mengingat pentingnya peranan dek dalam menjamin kelancaran operasi penangkapan maka rancangan umum kapal pancing tonda diredesain dengan menambah dek yang dapat dibongkar pasang (dek knock down). Dek ini dipasang sepanjang ruangan yang ada di bagian tengah kapal dengan maksud agar aktifitas penangkapan dapat dilakukan di atas dek tanpa melewati ruangan dan muatan lain yang dapat menghambat kelancaran operasi penangkapan. Palkah ikan merupakan bagian paling penting untuk menjaga mutu hasil tangkapan. Bagian ini hendaknya memiliki persyaratan untuk menyimpan dan menjaga kondisi ikan dengan baik. Kapal pancing tonda umumnya tidak mempunyai tempat penyimpanan hasil tangkapan yang memenuhi syarat. Ikan hasil tangkapan umumnya diletakkan di atas dasar kapal tanpa dilakukan penanganan yang baik. Oleh karena itu maka dalam redesain tersebut diterapkan penggunaan boks ikan dan es yang dibuat secara portable. Boks ikan dan es ini dibuat dari bahan fiberglass yang dilengkapi dengan styrofoam di bagian dalamnya. Boks-boks tersebut ditempatkan pada dasar ganda di bawah dek knock down yang telah dijelaskan sebelumnya. Keberadaan boks ikan yang terletak di bawah dek selain berfungsi untuk menjaga mutu hasil tangkapan juga dimaksudkan untuk menurunkan nilai KG kapal. Dengan menurunkan nilai KG maka tinggi metacentre (GM) kapal akan bergerak naik sehingga dengan demikian stabilitas kapal menjadi lebih baik. Penggunaan boks ikan dan es dengan sistem insulasi yang baik dapat menjadi alternatif bagi perluasan daerah penangkapan dan penambahan hari operasi bagi kapal pancing tonda sesuai dengan kapasitas tampung (carrying capasity) kapal. Penambahan hari operasi kapal pancing tonda dari satu hari (one day fishing) menjadi beberapa hari per trip diharapkan dapat menjadi alternatif untuk menghemat bahan bakar karena kapal tidak perlu kembali ke fishing base setiap hari. Penghematan bahan bakar pada pengoperasian kapal pancing tonda juga dapat dilakukan dengan mengubah sistem pencarian sumberdaya ikan dari
99
sistem hunting menjadi harvesting, misalnya dengan memakai rumpon. Dengan adanya rumpon maka kapal pancing tonda tidak perlu mencari dan mengejar sumberdaya ikan sehingga sistem pengoperasian kapal dapat menjadi lebih efektif. Kasus tenggelam yang banyak terjadi pada kapal fiberglass membuat desainer di bidang kapal ini mencari berbagai alternatif pemecahannya. Salah satu alternatif yang sering dipakai adalah dengan menggunakan ruang hampa udara yang dirancang pada bagian dalam kapal. Banyak kelemahan yang dijumpai terkait penggunaan ruang hampa udara diantaranya terdapat pori-pori atau lubang kecil sehingga kurang berfungsi sebagaimana layaknya alat pengapung. Karenanya, dalam redesain kapal pancing tonda dalam kajian ini ditambahkan cadangan buoyancy dan dasar ganda (double bottom). Penambahan kompartemen ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya apung dan untuk mengatasi kecelakaan tenggelam apabila kapal tersebut mengalami kebocoran atau peristiwa lain yang menyebabkan kapal berada di bawah garis air. Cadangan buoyancy merupakan kompartemen kedap air yang diisi bahan polyurethan, ditempatkan pada ujung haluan, buritan, dan tengah kapal. Sedangkan dasar ganda (double bottom) merupakan plat dasar yang dipasang sejajar base line mengikuti garis air setinggi draftmin kapal dalam kondisi kosong atau sepanjang after perpendicular (AP) hingga fore perpendicular (FP). Selain beberapa redesain yang telah dilakukan terhadap rancangan umum (general arrangement) kapal pancing tonda sampel yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini juga dilakukan redesain dengan memasang dek haluan yang permanen pada bagian ujung haluan kapal dengan maksud selain untuk mencegah masuknya air dari haluan kapal juga untuk penyimpanan alat tangkap dan perbekalan lain di salah satu sisi dek. Pada dek tersebut juga terdapat cadangan buoyancy yang dikonstruksikan langsung dengan lembaran dek haluan. Tempat alat bentu penangkapan dibuat portable dengan maksud agar dapat dipindah-pindahkan ke posisi lain sesuai kondisi stabilitas kapal dan posisi pemancing. Alat bantu penangkapan tersebut berupa batu yang digunakan untuk menurunkan mata pancing pada kedalaman tertentu yang diduga merupakan swimming layer ikan. Penggunaan alat bantu tersebut dilakukan jika tidak diperoleh umpan hidup sehingga digunakan mata pancing yang dilengkapi dengan umpan buatan. Alat bantu yang dibawa setiap hari dapat mencapai 30 – 40 kg, cukup untuk dijadikan balance.
100
Tampak Samping
Tampak Atas
Keterangan: Cadangan Buoyancy Ruang Mesin
Dasar Ganda Bak Umpan Hidup
Alat Bantu Penangkapan Ruang Alat Tangkap
Tanki BBM Boks ikan/es
Gambar 27 Gambar rancangan umum (general arrangement) kapal tipe inboard setelah rekondisi
Ruang Perbekalan
101
Tampak Samping
Tampak Atas
Keterangan : Ruang Mesin Boks ikan/es
Cadangan Buoyancy Dasar Ganda Tangki BBM Bak Umpak Hidup Alat Bantu Penangkapan Ruang Alat Tangkap Ruang Perbekalan
Gambar 28 Gambar rancangan umum (general arrangement) kapal tipe outboard setelah redesain
102
5.3.3 Evaluasi stabilitas dan kecepatan Peristiwa kembali tegaknya kapal dari kemiringan tertentu merupakan momen penting dalam ukuran stabilitas kapal. Taylor (1977) dan Hind (1982) menyatakan bahwa stabilitas sebuah kapal dipengaruhi oleh letak ketiga titik konsentrasi gaya yang bekerja pada kapal tersebut. Ketiga titik itu adalah titik B (centre of buoyancy), titik G (centre of gravity) dan titik M (metacentre). Selanjutnya Hind (1982) mengemukakan bahwa posisi titik G bergantung dari distribusi muatan dan posisi titik B bergantung pada bentuk kapal yang terendam di dalam air. Berdasarkan hal itu, maka modifikasi dilakukan pada perubahan bentuk badan kapal yang terendam air kedalam bentuk U-bottom dan RSB. Nilai-nilai tabilitas kapal
yang dimodifikasi dengan bentuk U-bottom diterakan pada Tabel 23. Tabel 23 Stabilitas kapal tipe inboard yang dimodifikasi dengan bentuk U-bottom Kriteria A ( 0 - 30º ) B ( 0 - 40º ) C ( 30 - 40º ) D ( GZmax pada 30o ) E ( Sudut GZmax ) F ( Initial GMt ) Keterangan : P = Pass
Kosong 3.565 P 5.513 P 1.948 P 0.223 P 54.00 P 0.726 P
Kondisi Distribusi Muatan Berangkat Beroperasi 3.413 P 3.457 P 5.410 P 5.485 P 1.997 P 2.028 P 0.247 P 0.252 P 59.00 P 59.00 P 0.544 P 0.551 P
Pulang 3.372 P 5.320 P 1.948 P 0.242 P 59.00 P 0.555 P
Dari Tabel 23 diketahui bahwa, stabilitas kapal inboard yang dimodifikasi dengan bentuk U-bottom memiliki nilai yang tinggi dari standar ketentuan IMO (pass) pada kriteria A, B, C, D, E, dan F. Hal ini terjadi pada semua kondisi distribusi muatan kapal baik dalam kondisi kosong, berangkat, beroperasi maupun pulang. Sebelum dimodifikasi, kriteria yang pass hanya di ditunjukkan oleh sudut GZmax (Tabel 14). Ini menunjukkan bahwa eksisting desain tradisional kapal pancing tonda berbahan dasar fiberglass di Kabupaten Buton dapat ditingkatkan stabilitasnya dengan modifikasi bentuk lambung ke dalam bentuk U-bottom. Stabilitas kapal hasil modifikasi kedalam bentuk RSB menunjukkan hasil yang berbeda dengan bentuk U-bottom. Kenyataan ini disajikan pada Tabel 24.
103
Tabel 24 Stabilitas kapal tipe inboard yang dimodifikasi dengan bentuk RSB Kondisi Distribusi Muatan Kosong Berangkat Beroperasi A ( 0 - 30º ) 1.618 F 1.765 F 1.819 F B ( 0 - 40º ) 2.864 F 3.190 F 3.282 F C ( 30 - 40º ) 1.246 F 1.425 F 1.464 F o D ( GZmax pada 30 ) 0.240 P 0.231 P 0.216 P E ( Sudut GZmax ) 67.00 P 68.00 P 66.00 P F ( Initial GMt ) 0.208 P 0.219 P 0.226 P Keterangan: P = Pass (layak); F = Fail (tidak layak) Kriteria
Pulang 2.096 F 3.670 F 1.573 F 0.214 P 66.00 P 0.264 P
Dari Tabel 24, diketahui bahwa, modifikasi lambung kapal pancing tonda ke dalam bentuk round sharp bottom (RSB) mampu meningkatkan nilai stabilitas tiga kriteria yang ditetapkan IMO. Ketiga kriteria tersebut adalah pada kriteria D (GZmax pada 30o), E (sudut GZmax), dan F (initial GMt). Khusus untuk kriteria E (sudut GZmax), bentuk RSB memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding bentuk Ubottom. Menurut Fahrun (2010) bahwa GZmax merupakan sudut terbesar kemiringan kapal tanpa terjadinya nilai GZ negatif. Tingginya nilai GZmax pada kapal hasil modifikasi dengan RSB menunjukkan bahwa tingkat kembali tegaknya kapal bentuk RSB lebih tinggi dibanding kapal bentuk U-bottom ketika mengalami momen kemiringan mencapai sudut maksimum. Momen seperti ini sangat dibutuhkan dalam pengoperasian kapal pancing tonda terutama dalam pengangkatan ikan hasil tangkapan secara manual kedalam kapal. Dengan demikian, kapal fiberglass dengan bentuk lambung RSB lebih sesuai untuk operasi penangkapan ikan secara manual dibanding bentuk U-bottom. Berdasarkan kedua tabel di atas (Tabel 23 dan 24), diketahui bahwa ada perubahan positif dari nilai stabilitas kapal sebelum dimodifikasi dan sesudah modifikasi. Salah satu diantaranya, nilai stabilitas kapal dalam kondisi kosong, dimana sebelum modifikasi terdapat sebesar 0,864; 1,665; 0,800; 0,199; 69,00 dan 0,097, berubah positif menjadi 3,565; 5,513; 1,948; 0,223; 54,00 dan 0,726 pada masing-masing kriteria A, B, C, D, E dan F setelah di modifikasi kedalam bentuk U-bottom. Cenderung sama dengan itu, modifikasi dengan bentuk RSB mampu meningkatkan nilai stabilitas menjadi 1,618; 2,864; 1,246; 0,240; 67,00 dan 0,208. Hal ini disebabkan oleh bekerjanya gaya berat dan gaya apung kearah yang berlawanan pada saat kapal mengalami keolengan. Mendukung pernyataan
104
Gillmer dan Johnson (1982) bahwa, timbulnya jarak perpendicular yang dibentuk oleh kedua gaya (berat dan apung) akan membentuk lengan penengak kapal. Selain kapal tipe inboard, dilakukan pula modifikasi terhadap kapal tipe outboard baik kedalam bentuk U-bottom maupun RSB. Sebagai hasilnya, diperoleh bahwa stabilitas kapal outboard hasil modifikasi menunjukkan kecenderungan yang sama dengan stabilitas tipe kapal inboard modifikasi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 25 dan 26. Tabel 25 Stabilitas kapal tipe outboard yang dimodifikasi dengan dengan bentuk Ubottom Kriteria A ( 0 - 30º ) B ( 0 - 40º ) C ( 30 - 40º ) D ( GZmax pada 30o ) E ( Sudut GZmax ) F ( Initial GMt ) Keterangan: P = Pass
Kosong 4.213 P 6.266 P 2.052 P 0.213 P 47.00 P 0.937 P
Kondisi Distribusi Muatan Berangkat Beroperasi 3.714 P 3.492 P 5.755 P 5.454 P 2.041 P 1.962 P 0.243 P 0.232 P 59.00 P 58.00 P 0.629 P 0.558 P
Pulang 3.703 P 5.722 P 2.019 P 0.238 P 59.00 P 0.633 P
Tabel 26 Stabilitas kapal tipe outboard yang dimodifikasi mengikuti bentuk RSB Kriteria
Kosong A ( 0 - 30º ) 2.425 F B ( 0 - 40º ) 4.134 F C ( 30 - 40º ) 1.709 F o D ( GZmax pada 30 ) 0.268 P E ( Sudut GZmax ) 61.00 P F ( Initial GMt ) 0.458 P Keterangan: F = Fail; P = Pass
Kondisi Distribusi Muatan Berangkat Beroperasi 2.537 F 2.513 F 4.121 F 4.099 F 1.584 F 1.586 F 0.251 P 0.243 P 62.00 P 62.00 P 0.427 P 0.396 P
Pulang 2.475 F 3.981 F 1.507 F 0.245 P 61.00 P 0.433 P
Perubahan positif berikutnya akibat modifikasi bentuk lambung adalah kecepatan. Besar kecilnya kecepatan ditentukan oleh daya dorong mesin dan resistensi dari lambung kapal yang masuk ke badan air. Semakin besar lambung kapal yang masuk ke dalam air, maka resistensi akan semakin besar, akhirnya akan mengurangi kecepatan. Sebaliknya semakin kecil daya dorong mesin, maka kecepatan kapal juga semakin kecil. Hasil analisis kecepatan dan besarnya resistensi kapal diterakan pada Tabel 27 dan 28.
105
Tabel 27 Kecepatan kapal tipe inboard yang dimodifikasi dengan bentuk U-bottom dan bentuk round sharp bottom (RSB) Kondisi muatan Kosong Berangkat Beroperasi Pulang
Bentuk U-bottom Resist. (kN) Speed (Kts) 0,91 16,07 0,95 14,57 0,95 14,57 0,93 14,65
Bentuk RSB Resist. (kN) Speed (Kts) 0,86 17,07 0,89 15,66 0,92 14,88 0,90 15,01
Tabel 28 Kecepatan kapal tipe outboard yang dimodifikasi dengan bentuk U-bottom dan bentuk round sharp bottom (RSB) Kondisi muatan Kosong Berangkat Beroperasi Pulang
Bentuk U-bottom Resist. (kN) Speed (Kts) 0,78 16,95 0,94 15,16 0,90 14,83 0,89 15,21
Bentuk RSB Resist. (kN) Speed (Kts) 0,74 17,84 0,87 15,88 0,87 15,53 0,85 16,23
Berdasarkan Tabel 27 dan 28, diketahui bahwa kecepatan kapal dapat berubah sesuai dengan perubahan bentuk lambung yang masuk kedalam badan air sebagai bentuk tahanan. Djatmiko (1983), menyatakan bahwa tahanan tekanan adalah suatu tahanan yang timbul karena adanya pengaruh dari bentuk pada bagian lambung kapal yang berada di bawah air. Selanjutnya, Muckle dan Taylor (1987) menyatakan bahwa tahanan dari bentuk lambung yang timbul dipengaruhi oleh koefisien bentuk, luas permukaan kapal yang terbenam di dalam air. Dalam hal ini, semakin besar gaya berat yang dibebankan diikuti oleh peningkatan nilai resistensi dan berbanding terbalik dengan nilai kecepatan. Fenomena tersebut berlaku untuk semua jenis kapal baik tipe inboard maupun outboard. Hadi (2009) menyatakan bahwa perubahan nilai resistensi kapal bersifat konstan pada kecepatan tertentu dan mengalami perubahan setelah dipengaruhi oleh nilai komponen hambatan. Mendukung itu, hasil penelitian diperoleh bahwa kapal dengan bentuk lambung U-bottom memiliki resistensi yang lebih besar dibading bentuk RSB, baik pada tipe inboard maupun outboard. Hal ini disebabkan oleh adanya komponen hambatan pada bentuk lambung besar. Oleh karena itu, bentuk RSB lebih cocok diterapkan bagi kapal-kapal yang memerlukan kecepatan tinggi. Sejalan dengan itu, Novita dan Rahman (2007) menyatakan bahwa kecepatan kapal penangkap ikan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam operasi penangkapan.
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Profil Kabupaten Buton merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara. Terletak antara 1200 00l - 1230 34l BT dan 040 96I - 060 25l LS, meliputi sebagian Pulau Muna, Pulau Buton, Pulau Kabaena dan beberapa pulau-pulau kecil yang tersebar di sekitarnya. Berbatasan di sebelah utara dengan Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten Muna, sebelah timur dengan Kabupaten Wakatobi dan sebelah barat dengan Kabupaten Bombana (Gambar 5). Wilayah Kabupaten Buton berhubungan langsung dengan perairan-perairan: -
Laut Banda di sebelah timur
-
Laut Flores di sebelah selatan
-
Teluk Bone di sebelah barat.
Gambar 5 Peta Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara
40
Kurang lebih 89% luas wilayah Kabupaten Buton terdiri dari lautan dengan panjang garis pantai sekitar 538 km. Daerah ini memiliki sumberdaya laut yang potensial bagi pengembangan beberapa jenis usaha perikanan seperti usaha perikanan tangkap, budidaya laut dan usaha pengolahan hasil perikanan. Di samping kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan, Kabupaten Buton juga memiliki letak yang sangat strategis dan merupakan pintu gerbang bagi kegiatan usaha agribisnis di bidang kelautan dan perikanan yang menghubungkan wilayah Indonesia Bagian Timur sebagai daerah produksi dengan wilayah Indonesia Bagian Barat sebagai daerah pemasaran bagi sebagian besar produk-produk hasil laut dan perikanan dalam bentuk segar, setengah jadi maupun olahan. Secara keseluruhan jumlah penduduk Kabupaten Buton pada tahun 2007 tercatat mencapai 282.524 jiwa, terdiri dari laki-laki 138.766 jiwa dan perempuan 143.758 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3 % per tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 % berdomisili di wilayah pesisir yang tersebar di 21 kecamatan. Jumlah nelayan dari 7.603 Rumah Tangga Perikanan (RTP) diperkirakan sebanyak 30.790 orang yang sebagian besar (64%) merupakan nelayan asli, selebihnya (22,13%) adalah sambilan utama, dan (13,87%) sambilan tambahan. 4.2
Kondisi Oseanografi Ditinjau dari posisi Kabupaten Buton di antara Laut Banda, Laut Flores
dan Teluk Bone maka dapat dipastikan bahwa kondisi oseanografi di wilayah ini sangat bergantung pada fenomena alam yang berkembang di antara ketiga perairan tersebut. Pada perairan sebelah selatan yang berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah timur dengan Laut Banda, kondisi perairannya sangat ditentukan oleh pola pergerakan arus dan gelombang yang terjadi antara Laut Banda dan Laut Flores. Pada musim timur, arus bergerak dari Laut Banda memasuki Selat Makassar, sebaliknya pada musim barat terjadi pergerakan arus dari Selat Makassar masuk ke Laut Flores dan terus ke Laut Banda. Kawasan Buton bagian selatan meliputi Kecamatan Pasarwajo, Wabula, Wolowa, Siontapina, Lasalimu Selatan, Batauga, Lapandewa, Sampolawa, Batuatas, siompu dan Kadatua, suhu air berkisar antara 25 – 31,5 oC, kecerahan 4,8 – 8,5 m, kecepatan arus permukaan 0,01 - 0,07 m/detik, salinitas 28 – 35 ppt,
41
pH 6,5 – 8,5, DO 5,11 – 6,0 ppm, nitrat 0,025 – 0,039 ppm, posfat 0,015 – 0,028 ppm. Sedangkan di kawasan Buton bagian utara meliputi Kecamatan Lasalimu, Kapontori, Gu, Lakudo, Sangiawambulu, Mawasangka Timur, Mawasangka Tengah, Mawasangka dan Talaga Raya, suhu air antara 26 – 33,5 oC, kecerahan 2,8 – 11 m, kecepatan arus permukaan 0,02 – 0,14 m/detik, salinitas 27,5 – 35 ppt, pH 6,5 – 8, DO 3 – 6,5 ppm, nitrat 0,01 – 0,04 ppm, fosfat 0,02 – 0,029 ppm. Kedalaman perairan di Kabupaten Buton umumnya bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, bahkan di sekitar Batuatas dan Siompu kedalam dapat mencapai 2.029 meter. 4.3
Kondisi Sumberdaya Perikanan Kabupaten Buton merupakan daerah kepulauan dengan wilayah laut
yang begitu luas dibanding daratan, di dalamnya terkandung potensi perikanan yang sangat beragam. Selain memiliki potensi sumberdaya perikanan laut seperti ikan pelagis besar (tuna, cakalang), pelagis kecil (layang, tongkol dan teri), ikan demersal (lencam, babara/kueh), ikan karang (kerapu, napoleon, lobster), moluska, kerang mutiara dan rumput laut, perairan ini juga mempunyai prospek bagi pengembangan potensi wisata bahari. Beberapa ekosistem yang memiliki potensi sumberdaya perikanan cukup tinggi di wilayah pesisir antara lain meliputi ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan ekosistem hutan bakau. Salah satu ekosistem yang belum banyak diusahakan adalah ekosistem lepas pantai. Umumnya ikan-ikan yang berada di perairan ini bermigrasi cukup jauh seperti tuna, cakalang, tengiri, dan sebagainya. Sedangkan ikan pelagis kecil seperti layang, kembung merupakan ”shared stock” karenanya usaha pengelolaan jenis-jenis ini harus dilakukan secara terpadu dengan daerah-daerah lain. Produksi perikanan Kabupaten Buton dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Pada tahun 2005 produksi perikanan tercatat sebesar 104.914,88 ton yang terdiri dari perikanan tangkap sebesar 89.842,28 ton dan budidaya laut 15.072,60 ton, pada tahun 2007 naik menjadi 138.686,47 ton yang terdiri dari perikanan tangkap sebesar 119.825,63 ton dan budidaya laut 18.860,84 ton, dengan kenaikan rata-rata per tahun sebesar 16,1%.
42
4.4
Sumberdaya Pelagis Besar Pengelompokan sumberdaya ikan pelagis besar adalah jenis ikan yang
hidup di permukaan, di perairan lepas pantai, mengadakan ruaya jarak jauh dengan kecepatan 27 km/jam sampai yang cepat 75 km/jam, dapat hidup pada kedalaman laut 40 meter bahkan sampai 200 meter. Termasuk di antaranya adalah madidihang (Thunnus albacares), mata besar (Thunnus obesus), albacora (Thunnus alalunga), sirip biru (Thunnus macoyii), dan abu-abu, long tail tuna (Thunnus tonggol) serta ikan pelagis ukuran sedang seperti cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus affinis) dan lisong (Auxis rochel). Jenis-jenis ikan pelagis besar yang banyak ditangkap dengan pancing tonda di Kabupaten Buton adalah madidihang (Thunnus albacares) dan cakalang (Katsuwonus pelamis), sedangkan jenis-jenis lainnya seperti diantaranya mata besar (Thunnus obesus) dan sirip biru (Thunnus macoyii), sangat jarang tertangkap. 4.5
Sumberdaya Pelagis Kecil Jenis ikan pelagis kecil adalah jenis-jenis ikan yang berada di sekitar
permukaan laut atau di bagian bawah/dekat permukaan maupun di lapisan tengah laut, berenang bergerombol atau sendiri-sendiri. Jenis ikan ini umumnya berada di perairan pantai dan dapat beruaya ke daerah lainnya tetapi tidak sejauh ikan pelagis besar. Pada umumnya jenis ikan ini dieksploitasi oleh nelayan tradisional dengan alat tangkap yang sangat sederhana. Tingkat pengusahaan ikan pelagis ini relatif masih kecil dibanding dengan pengusahaan ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Buton. 4.6
Sumberdaya Demersal Ikan yang dikelompokkan ke dalam jenis-jenis ikan demersal adalah jenis
ikan yang berada di sekitar dasar, yaitu di dekat/atas permukaan dasar atau membenamkan dirinya di dalam lapisan dasar laut. Ikan demersal yang sering tertangkap di perairan Kabupaten Buton secara ekonomis dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori, yakni: ikan demersal yang memiliki nilai komersial utama
43
antara lain kerapu (Serranidae), Bawal putih (Pampus spp), Kakap (Lates calcarifer), manyung (Ariidae), Bambangan (Lutjanidae), Jenaha (Lutjanus johni), kuwe (Carangoides spp), nomei (Harpodonidae). Ikan demersal kelompok komersial kedua, antara lain: gerot-gerot (Pommadasys spp), bawal hitam (Fornio niger), kurisi (Nempteridae), gulamah (Sciannidae), Lencam (Lethrinus spp), layur (Trichiurus spp), kuro (Polynemus sp)., Eleutheronema sp), ketang-ketang (Drepanidae), beronang (Siganus spp), pari dan cucut. Kelompok komersial ketiga, antara lain: petek (Leiognathidae), beleso (Syndontidae), kuniran (Mullidae), mata besar (Priancanthrus spp), kerongkerong (Therapon spp), gabus laut (Pachycentron spp), besot (Silago spp). Selain itu juga ditemukan berbagai jenis udang yang bernilai ekonomis tinggi, antara lain: udang jerbung (Banana shrimp)/udang putih ((Pennaeus merguinsis), udang windu (Tiger shrimp)/Black tiger shrimp (Pennaeus monodon) dan kelompok-kelompok krustasea lainnya. 4.7
Peluang Usaha di Bidang Penangkapan Peluang usaha penangkapan ikan di daerah ini sangat besar karena
adanya kultur masyarakat yang telah dikenal sebagai pelaut atau pelayar yang ulung di Indonesia. Dengan demikian memiliki prospek pengembangan usaha penangkapan, baik usaha penangkapan ikan pelagis besar (tuna hand line, long line, pole and line dan pancing tonda), usaha penangkapan ikan pelagis kecil (purse seine, gill net, payang dan bagan apung) serta demersal (bubu, pancing ulur dan gill net dasar). Secara umum pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di daerah ini masih terkonsentrasi di daerah pantai, sehingga pengembangannya cukup besar melalui upaya pemanfaatan sumberdaya lepas pantai dengan skala usaha yang lebih besar. Beberapa jenis usaha penangkapan ikan dengan pancing yang dikembangkan masyarakat pesisir di 21 kecamatan dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan data satuan sarana perahu/kapal penangkap ikan disajikan pada Tabel 4.
44
Tabel 3 Jumlah jenis alat tangkap pancing di Kabupaten Buton tahun 2007 No
Nama kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Pasarwajo Sampolawa Batauga Siompu Kadatua Lakudo Talag Raya Batuatas Gu Mawasangka Mawasangka Timur Kapontori Lasalimu Lasalimu Selatan Wabula Siontapina Wolowa Lapandewa Sangiawambulu Siompu Barat Mawasangka Tengah Jumlah
Keterangan :
- PL - RT - RD
PL 3 3 6
RT 173 60 59 82 374
Alat tangkap pancing RD PT PU 100 8 171 156 10 399 435 41 609 698 108 19 20 12 187 174 79 340 39 48 172 203 232 7 86 37 14 412 12 59 27 8 167 99 85 26 30 40 203 1.880 3.286
Jumlah
PL 139 203 66 110 256 106 195 12 20 1.107
250 500 844 650 698 127 219 516 340 259 66 313 239 342 157 666 83 117 170 204 96 6.856
= Pole and Line - PT = Pancing Tonda = Rawai Tuna - PU = Pancing Ulur = Rawai Dasar - PL = Pancing Lainnya
Tabel 4 Jumlah sarana perahu/kapal ikan di Kabupaten Buton tahun 2007 No.
Nama Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Pasarwajo Sampolawa Batauga Siompu Kadatua Lakudo Talaga Raya Batuatas Gu Mawasangka Mawasangka Timur Kapontori Lasalimu Lasalimu Selatan Wabula Siontapina Wolowa Lapandewa Sangiawambulu Siompu Barat Mawasangka Tengah Jumlah
Jumlah perahu/kapal Perahu tanpa motor Motor tempel 194 166 285 121 417 60 285 113 282 145 98 305 28 204 104 43 307 101 365 440 74 29 127 200 288 114 186 128 241 209 123 107 15 99 30 240 53 257 83 222 52 4.415 2.525
Kapal motor 4 286 3 2 52 1 86 10 17 10 4 21 42 86 3 4 4 635
Jumlah 393 725 499 479 560 449 232 293 465 926 236 426 517 364 302 555 169 253 420 425 282 8.970
45
4.8
Keragaan Perikanan Tangkap Sektor perikanan dan kelautan Kabupaten Buton memiliki prospek yang
cerah untuk dibangun menjadi suatu kegiatan ekonomi yang tangguh, strategis dan berkelanjutan. Hal ini didukung oleh potensi sumberdaya perikanan yang relatif besar, di samping itu ada beberapa faktor yang mendukung sektor perikanan untuk berkembang dan menjadi leading sektor dari pembangunan daerah ini seperti potensi sumberdaya perikanan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Potensi sumberdaya perikanan yang dapat dimanfaatkan secara lestari yakni meliputi: ikan pelagis besar 19.590 ton/tahun, ikan pelagis kecil 88.800 ton/tahun, ikan demersal 2.610 ton/tahun, udang 39 ton/tahun, cumicumi 50 ton/tahun, kerang-kerangan 10.000 ton/tahun, dan rumput laut 25.000 ton/tahun (BPS, 2008). Perikanan tangkap merupakan salah satu prime mover karena kontribusinya cukup besar yaitu sebesar 86,44 % dari total produksi, dengan berbagai jenis hasil tangkapan berupa ikan konsumsi bernilai ekonomis penting diantaranya ikan pelagis besar seperti madidihang (Thunnus albacares), cakalang
(Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus affinis) dan berbagai
jenis ikan pelagis kecil seperti layang (Decapterus spp), kembung (Rastreliger kanagurta), tembang (Sardinella spp), selar (Selaroides spp), dan teri (Stolephorus spp). Beberapa jenis ikan demersal yang diusahakan oleh masyarakat nelayan antara lain adalah kerapu (Ephinepelus spp), ekor kuning (Caesio spp), beronang (Siganus spp) dan lain-lain. Jenis-jenis ikan pelagis besar yang menjadi komoditi unggulan subsektor perikanan tangkap Kabupaten Buton
adalah ikan cakalang
(Katsuwonus pelamis) dan madidihang (Thunnus albacares). Hal ini dapat terlihat dari data volume produksi hasil tangkapan ikan cakalang dan madidihang yang menempati urutan teratas, yakni cakalang 3.470 ton dan madidihang 2.197 ton, dibanding jenis ikan tenggiri, paruh panjang dan lainlain. Sebagian besar produksi perikanan tersebut merupakan hasil usaha perikanan tradisional yang umumnya menggunakan kapal berukuran kecil dengan alat tangkap pancing tonda (BPS, 2008).
46
4.9
Daerah dan Musim Penangkapan Daerah penangkapan untuk ikan pelagis besar khususnya tuna dan
cakalang di Kabupaten Buton adalah di perairan sekitar Lasalimu, Pulau Siompu, Pulau Kadatua, Pulau Batu Atas, Pasarwajo hingga Kepulauan Wakatobi. Musim penangkapan untuk pelagis besar dapat dilakukan sepanjang tahun dengan musim puncak adalah pada saat sebelum dan sesudah musim timur yakni bulan Februari hingga April dan September hingga November. 4.10 Sarana dan Prasarana Perikanan 1) Sarana Perikanan Jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Buton rata-rata dimiliki nelayan skala kecil yang terdiri dari armada tanpa motor, armada motor tempel dan armada motor dalam.
Berdasarkan data dari Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buton tahun 2007, armada yang dimiliki nelayan masih didominasi oleh armada motor tempel sebanyak 1623 unit atau sebesar 37,01 % dari total armada sebanyak 4385 unit. Armada motor tempel khususnya beroperasi untuk memanfaatkan ikan-ikan pelagis kecil, ikan karang dan ikan demersal lainnya dengan menggunakan alat tangkap gill net, hand line, dan payang. Adapun armada tanpa motor menempati urutan kedua, yaitu sebanyak 1614 unit atau sebesar 36,81 % dari total armada. Armada tanpa motor mempunyai daerah operasi pada wilayah pesisir dengan sasaran pemanfaatan berorientasi pada jenis-jenis ikan pelagis kecil dan jenis-jenis ikan karang di daerah pesisir dengan menggunakan alat tangkap handline dan gillnet. Armada penangkapan yang menggunakan motor dalam atau kapal motor berjumlah sekitar 1148 unit atau sebesar 26,18 % dari total armada. Armada kapal motor dikhususkan pada pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan yang berorientasi pada jenis-jenis ikan pelagis besar, demersal dengan menggunakan alat tangkap pole and line dan jenis long line dengan bobot rata-rata armada penangkapan antara 10 – 30 GT. Total armada penangkapan ikan di Kabupaten Buton sebanyak 435 unit yang didominasi oleh motor tempel sebanyak 155 unit (35,63 %), diikuti oleh armada kapal motor sebanyak 142 unit (32,64 %) dan terakhir adalah perahu tanpa
47
motor sebanyak 138 unit (31,72 %). Khusus untuk kapal motor didominasi oleh kapal motor yang berukuran 5 – 10 GT. 2) Prasarana Perikanan Prasarana perikanan yang ada di Kabupaten Buton sampai saat ini terdiri dari (1) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPT) yang sekarang telah dinaikkan statusnya menjadi Palabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di Pasarwajo, memiliki luas lahan keseluruhan berkisar 40.000 m2 dengan fasilitas yang tersedia berupa: perkantoran dan perumahan karyawan, dermaga sepanjang 560 m2, cold storage, pabrik es kapasitas 5 ton, bengkel seluas 200 m2, balai pertemuan nelayan seluas 100 m2, tempat pelelangan ikan dengan luas 500 m2 dan fasilitas lainnya. (2) Pangkalan pendaratan ikan (PPI) di Pasarwajo, memiliki luas lahan yang cukup memadai yaitu seluas 60.000 m2 dengan fasilitas antara lain: perkantoran dan mess operator, dermaga sepanjang 462 m, tempat pelelangan ikan seluas 270 m2, fasilitas pendukung dari PT. Usaha Mina seperti cold storage, bengkel, docking, brain freezer. (3) (3)Pangkalan Pendaratan Ikan di Sampolawa, memiliki luas lahan keseluruhan 30.000 m2 dengan fasilitas yang tersedia berupa: perkantoran dan rumah dinas, dermaga sepanjang 240 m, tempat pelelangan ikan seluas 200 m2, balai pertemuan nelayan sebesar 80 m2 dan 1 buah bengkel seluas 50 m2. (4) Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan sebanyak 1 buah di Kota Bau-Bau. (5) Perusahaan BUMN maupun swasta nasional yang memiliki prasarana perikanan di Kabupaten Buton berupa cold storage dan pabrik es untuk penangkapan.