37
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Ekologi Ekosistem Minawana 5.1.1. Fauna Perairan Pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian ditemukan ikan, udang dan kepiting, baik yang khusus dibudidayakan maupun yang hidup secara liar. Jenis fauna yang ditemukan di lokasi penelitian ditemukan 15 jenis ikan, 3 jenis udang, dan 2 jenis kepiting. Secara detail jenis ikan dan udang ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 11. Foto jenis flora dan fauna yang ditemukan di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil disajikan pada Lampiran 7. Tabel 11 Jenis ikan dan udang yang ditemukan di ekosistem minawana Nama lokal/umum Ikan Bandeng Belut Betok Blanak Blodok Boso Gabus Kakap/pelak Kerong-kerong Kipper Lundu/keting Mujair Nila Udang Api
Nama ilmiah
Chanos chanos Synbranchus bengalopsis Anabas testudineus Mugil cephalus Periophthalmus koelreuteri Ophiocara porocephala Channa striata Lates calcalifer Terapon jarbua Scatophagus argus Mystus wickii Oreochromis mosambicus Oreochromis niloticus Penaeus plebejushess Penaeus monodon Penaeus penicillatus
Mangrove
Minawana
x
x x
x x
Budidaya Liar
x x
x x x
x x
Liar Liar Liar
x
x
Liar
x x x x x
x x x x x x
Liar Liar Liar Liar Liar Budidaya
x
x
Budidaya
x
x
Liar
x x
Budidaya Liar
x
x
Tambak murni
Bago/windu x Peci/putih x x Kepiting Kepiting Bakau Scylla serrata x x Wideng Sesarma spp. X x Sumber: Hasil pengamatan (2012) x menunjukkan kehadiran (ditemukan)
Keterangan
Liar Liar
38
5.1.2. Hubungan Luas Tutupan Mangrove Terhadap Produksi Perikanan 5.1.2.1. Mangrove dan Keberadaan Udang Harian Hasil analisis dengan Anara Rancangan Acak Lengkap (Anara RAL) pada hasil tangkapan harian menunjukan bahwa penutupan mangrove memberikan kontribusi yang nyata terhadap tangkapan harian udang (selang kepercayaan 99%). Setelah dilakukan uji lanjut dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara penutupan mangrove yang tinggi dengan tambak murni. Hasil perhitungan juga didapatkan adanya perbedaan nyata antara penutupan mangrove yang tinggi dengan yang lebih rendah (sedang dan rendah) pada selang kepercayaan 99%. Untuk lebih jelas hasil uji Anara RAL dan uji lanjut BNT di sajikan pada Tabel 12 dan Lampiran 9-10. Tabel 12 Hasil tangkapan udang harian di lokasi penelitian. Hasil Tangkapan Harian (kg/ha/hari) Minimal Maksimal Rata-Rata Tinggi 1.10 2.20 1.55a Sedang 1.03 1.67 1.19 b Rendah 0.53 1.05 0.83 c Tambak murni 0.17 0.60 0.31 d Total 2.83 5.52 3.88 a,b, c, d Keterangan: huruf menunjukkan ada perbedaan nyata Sumber: Hasil analisis (2012) Kerapatan Mangrove
Hal yang sama diperoleh oleh Saladin (1995); Pradana (2012) dan Maifitri (2012) menunjukkan bahwa hasil tangkapan udang penaeid pada tambak dengan penutupan tinggi (70-80%) di RPH Pamanukan dan Tegal-Tangkil menghasilkan udang tangkapan harian yang lebih tinggi dibanding penutupan yang lebih rendah. 5.1.2.2. Mangrove dan Produksi Udang Windu Hasil produksi udang pada tambak bervariasi pada setiap tingkat salinitas, begitu juga terdapat variasi hasil produksi pada setiap tutupan mangrove yang berbeda. Perbedaan hasil produksi udang windu pada setiap tambak dipengaruhi oleh banyak hal, diduga perbedaan hasil produksi udang windu salah satunya dipengaruhi oleh letak tambak terhadap laut (perbedaan nilai salinitas) dan luas tutupan mangrove. Pradana (2012) dan Maifitri (2012) menyebutkan luasan mangrove berpengaruh terhadap hasil produksi budidaya. Selanjutnya dijelaskan bahwa pengaruh tutupan mangrove terhadap hasil produksi tidak secara langsung.
39
Akan tetapi melalui siklus bahan organik, yang akan meningkatkan populasi plankton sebagai makanan ikan. Berdasarkan hasil penelitian Halidah et al. (2007) menyebutkan bahwa populasi plankton paling tinggi ditemukan pada tambak minawana dengan proporsi 60% mangrove dan 40% tambak. 5.1.2.3. Mangrove dan Produksi Ikan Bandeng Hasil produksi ikan bandeng tertinggi terdapat pada tambak dengan luas tutupan mangrove sedang yaitu senilai 101.75 kg/ha/musim. Luas tutupan mangrove yang paling cocok bagi kelangsungan hidup ikan bandeng adalah luas tutupan mangrove sedang yaitu sekitar 30 – 60 % dari luas tambak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Nur (2002) Halidah et al. (2007) dan Hastuti (2010) didapatkan bahwa kondisi optimum bagi produksi ikan bandeng dengan sistem minawana adalah 60% mangrove dan 40% tambak. 5.1.2.4. Mangrove dan Keberadaan Kepiting dan Wideng Hasil tangkapan kepiting di lokasi penelitian per orang mencapai 2 – 3 kg/hari. Secara umum total hasil tangkapan kepiting di lokasi penelitian mencapai 400 kg/hari dengan rata-rata 130 kg/hari.
Hasil tangkapan wideng di lokasi
penelitian mencapai 800 kg/hari dengan rata-rata 400 kg/hari, lebih tinggi dibanding dengan kepiting bakau. Hasil wawancara dengan penangkap kepiting didapatkan informasi, pada saat musim penangkapan kepiting pada tambak minawana mencapai 1 kg/ha. Selain itu, para penangkap kepiting lebih memilih tambak minawana dengan penutupan mangrove yang lebih tinggi. Hal ini karena keterikatan kepiting bakau pada mangrove. Hasil penelitian Sihannenia (2008) mendapatkan bahwa kepadatan kepiting bakau lebih tinggi ditemukan pada mangrove yang lebih padat dibanding dengan mangrove yang jarang. Jumlah hasil tangkapan kepting dan wideng serta pendapatan disajikan pada Tabel 13 dan secara rinci disajikan pada Lampiran 11.
40
Table 13 Jumlah hasil tangkapan kepiting dan wideng serta rata-rata pendapatan/orang Uraian Jumlah penangkapan Jumlah hasil tangkap Harga Nilai Biaya operasional Biaya investasi Pendapatan Rata-rata pendapatan/orang Sumber: Hasil analisis 2012
Satuan Orang Kg/Tahun Rp/Kg Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun
Penangkap Kepiting 15 13,056.00 15,000.00 195,840,000.00 56,736.000.00 6,850,000.00 132,940,666.67 8,862,711.11
Penangkap Wideng 10 49,104.00 1,500.00 73,656,000.00 24,516,000.00 1,160,000,00 48,033,333.33 4,803,333.33
5.1.2.5. Mangrove dan Keberadaan Belut Hasil tangkapan belut di kawasan minawana mencapai 160.00 kg/hari dengan rata-rata 70 kg/hari. Rata-rata hasil tangkapan penangkap belut perhari mencapai 3 kg. Jika dilihat dari nilai hasil tangkapan menunjukan bahwa rata-rata pendapatan penangkap belut mencapai Rp 7,493,644.44 /tahun. Secara umum hasil tangkapan dan pendapatan penangkap belut di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 14 dan Lampiran 12. Tabel 14 Jumlah hasil tangkapan belut serta rata-rata pendapatan/orang Uraian Jumlah penangkapan Jumlah hasil tangkap Harga Nilai Biaya operasional Biaya investasi Pendapatan Rata-rata pendapatan/orang Sumber: Hasil analisis 2012
Satuan Orang Kg/Tahun Rp/Kg Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun
Penangkap Belut 15 15,378.00 15,000.00 169,158,000.00 55,380,000.00 1,440,000.00 112,404,666.67 7,493,644.44
Berdasarkan hasil diskusi dengan penangkap belut didapatkan informasi bahwa, penangkap belut lebih menyukai tambak yang memiliki tegakan mangrove dari pada yang sedikit (jarang). Hal ini dikarenakan belut menyukai daerah dengan kandungan bahan organik tinggi dan banyak terdapat pembusukan serasah. Foto alat tangkap disajikan pada Lampiran 7, foto komoditas (fauna) yang ditangkap disajikan pada Lampiran 6, dan foto kegiatan di lapangan disajikan pada Lampiran 8.
41
5.1.3. Kualitas Perairan Hasil pengukuran beberapa kualitas air in situ di kawasan tambak minawana di lokasi penelitian memperlihatkan bahwa kondisi kualitas air di minawana (baik yang berpenutupan tinggi, sedang maupun rendah) dan tambak murni secara umum tidak jauh berbeda. Hal ini karena air yang masuk ke pertambakan berasal dari sumber yang sama. Secara umum pengelolaan kualitas air oleh penggarap tambak hampir sama yaitu dengan sistem sirkulasi terbuka sehingga air laut bebas keluar-masuk dari tambak. Hasil penelitian terhadap parameter logam berat (kadmium, tembaga, dan timbal) baik pada air maupun pada biota menunjukkan bahwa logam berat terdeteksi di semua lokasi pengamatan baik di air laut, sungai maupun di tambak. Secara detail hasil pengukuran kualitas air disajikan pada Lampiran13. Walaupun hasil pengukuran beberapa kualitas air in situ di kawasan tambak minawana di lokasi penelitian memperlihatkan masih baik dan layak, akan tetapi hasil pengukuran terhadap logam berat baik pada air, sedimen dan biota didapatkan bahwa di lokasi penelitian telah terkontaminasi logam berat. Oleh karena itu perlu adanya sistem tandon untuk memperbaiki kualitas air sebelum masuk ke kawasan pertambakan. Sistem tandon ini akan memperbaiki kualitas air untuk budidaya sehingga mengurangi tingkat kematian dan keamanan pangan (komoditas budidaya terhindar dari kontaminasi logam berat). 5.2. Analisis Bioteknik Sistem Minawana 5.2.1. Kondisi Eksisting Pada umumnya tahapan budidaya ikan dan udang yang dilakukan oleh masyarakat masih sederhana dengan input teknologi yang sangat rendah. Keduk teplok merupakan kegiatan persiapan sebelum benih/benur di tebar tanpa di lakukan pengeringan dan atau pemberian kapur. Setelah benih/benur ditebar, kegiatan yang dilakukan adalah pemberian katalis/perangsang. Jenis perangsang yang umum diberikan antara lain: Lodan, Linex, Ursal, dan raja bandeng. Saat ini umumnya budidaya yang dilakukan adalah polikultur antara udang windu, bandeng dan nila/mujair (3 komoditas), polikultur antara udang windu dengan bandeng (2 komoditas), dan polikultur antara bandeng dengan nila/mujair. Komoditas yang dibudidayakan tersebut menyebar diseluruh kawasan. Padahal
42
sebaran salinitas di lokasi penelitian tidak merata. Oleh karena itu perlu perwilayahan komoditas budidaya di kawasan minawana sesuai dengan salinitas yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan organisme (komoditas) perairan.Secara umum teknis budidaya yang dilakukan oleh penggarap tambak saat ini disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sistem budidaya dan pengelolaan tambak di lokasi penelitian Komponen A. Sistem Budidaya 1. Sirkulasi 2. Pengisian Air 3. Ketersediaan Pengolahan Air 4. Ketersediaan Kincir Air 5. Sistem tendon B. Komoditas 1. Polikultur/ Monokultur 2. Perwilayahan Komoditas C. Pengelolaan Tambak 1. Pemilihan Lokasi 2. Konstruksi Tambak 3. Persiapan Lahan dan Air 4. Pemilihan dan Penebaran benih 5. Pengelolaan Kualitas Air dan Pakan
Kondisi saat ini
Kondisi yang seharusnya dilakukan
Terbuka Mengikuti pasang – surut Tidak ada
Tertutup Sesuai siklus hidup ikan/udang Adanya sistem penampungan sebelum ke tempat pembesaran (sistem tendon) Tidak ada atau 1 kincir air untuk meningkatkan kandungan oksigen Harus dibuat sistem tandon
Tidak ada Tidak ada Polikultur Tidak ada
Disamakan Banyak mangrove ditebang Pengangkatan lumpur Tidak dilakukan pemilihan benur/nener - Pemantauan kualitas air jarang dilakukan - Tidak diberikan pakan
6. Pengelolaan Tidak dilakukan Kesehatan 7. Panen Dan Paska Panen dilakukan pada pagi Panen hari 8. Laporan Harian Tidak ada Sumber: Hasil analisis (2012)
Monokultur/polikultur (disesuaikan dengan kondisinya) Harus disesuaikan dengan salinitas tambak
Disesuaikan dengan kondisinya Mangrove dipertahankan Pengeringan, pengangkatan lumpur, pemberian kapur dan pemupukan Dilakukan pemilihan benur/nener -
Pemantauan kualitas air dilakukan tiap hari bahkan malam - Pemberian pakan dilakukan sesuai siklus hidup Dilakukan pengecekan kondisi ikan/udang, terutama malam hari Panen dilakukan pada pagi hari dan sesegera mungkin dikirim ke penampungan Harus dibuat laporan kegiatan harian
Hasil panen udang windu (udang bago) di lokasi penelitian, menunjukkan bahwa hasil panen pada tambak murni lebih tinggi (83.50 kg/ha/musim panen) dibanding pada tambak minawana (hanya mencapai 49.42 kg/ha/musim panen). Hasil panen ikan bandeng pada sistem minawana menunjukkan produksi yang lebih tinggi dibanding tambak murni. Hasil produksi tambak murni hanya sekitar 116.67 kg/ha/musim panen, sedangkan pada sistem minawana mencapai 176.15 kg/ha/musim panen (penutupan sedang). Secara umum hasil panen di lokasi
43
penelitian disajikan pada Tabel 16, 17, dan 18. Kondisi umum responden disajikan pada Lampiran Tabel 16 Rata-rata hasil panen udang windu di lokasi penelitian Kompoenen
Satuan
Produksi Kg/ha Size panen ekor/kg Jumlah ekor/ ekor panen Survival rate % Harga udang Rp/Kg Nilai jual Rp/panen Sumber: Hasil analisis (2012)
Tinggi
Minawana dengan penutupan Sedang Rendah 49.42 40.28 38.50 29.33 30.00 28.30
Tambak murni 83.50 28.75
1,454.89
1,232.50
1,165.15
2,660.34
10.67 65,000.00 3,212,300.00
8.29 65,000.00 2,618,200.00
9.42 65,000.00 2,502,500.00
16.11 65,000.00 5,427,500.00
Tabel 17 Rata-rata hasil ikan bandeng di lokasi penelitian Kompoenen
Satuan
Produksi Kg/ha Size panen ekor/kg Jumlah ekor/ ekor/ha panen Survival rate % Harga bandeng Rp/Kg Nilai jual Rp/panen Sumber: Hasil analisis (2012)
Minawana dengan penutupan Tinggi Sedang Rendah 146.11 176.15 123.84 6.28 5.59 8.65 917.22 40.43 15,000.00 2,191,650.00
943.10
948.28
42.01 15,000.00 2,642,250.00
46.42 15,000.00 1,857,600.00
Tambak murni 111.67 8.86 734.52 36.07 15,000.00 1,675,050.00
Tabel 18 Rata-rata hasil panen ikan mujair/nila di lokasi penelitian Kompoenen
Satuan
Produksi Kg/ha Size panen ekor/kg Jumlah ekor/ha ekor/panen Survival rate % Harga Rp/Kg Nilai jual Rp/panen Sumber: Hasil analisis (2012)
Tinggi
Minawana dengan penutupan Sedang Rendah 650.00 216.67 103.75 10.00 15.00 15.00
Tambak murni 167.95 7.80
6,500.00
3,250.00
1,556.00
1,021.19
311.11 8,000.00 5,200,000.00
325.00 8,000.00 1,733,360.00
368.75 8,000.00 830,000.00
72.42 8,000.00 1,343,600.00
Hasil panen ikan nila/mujair pada tambak sistem minawana rata-rata mencapai 650.00 kg/ha/musim panen (penutupan tinggi). Hasil panen ikan nila/mujair pada tambak murni sekitar 167.65 kg/ha/musim panen. Jika dibandingkan dengan hasil pengamatan dari Primavera (2000) pada system minawana di pesisir utara Jawa Barat didapatkan produksi ikan mujair/tilapia mencapai 750 kg/ha/musim panen, ikan bandeng 250 – 350 kg/ha/musim panen dan udang windu mencapai 125 – 1,000 kg/ha/musim panen.
44
5.2.2. Pemulihan Kawasan Minawana Untuk meningkatkan dan mengoptimalkan hasil perikanan di kawasan minawana, maka perlu dilakukan perbaikan sistem minawana. Perbaikan tersebut mencakup pola minawana, perbaikan jalur hijau, pembuatan tendon, perbaikan akses jalan, perbaikan saluran, perwilayahan komoditas,dan pengembangan pengelolaan budidaya perikanan. 5.2.2.1. Perbaikan Pola Minawana Pola minawana yang awalnya digunakan adalah pola empang parit. Untuk itu, perlu dilakukan pola dan konstruksi minawana untuk mengembalikan fungsi mangrove. Dengan demikian, produksi perikanan dapat meningkat terutama hasil tangkapan
udang
harian.
Adapun
yang
menjadi
permasalahan
adalah
perbandingan luasan antara mangrove dan tambak yang tepat, apakah 80 : 20; 70 : 30 atau 50 : 50. Hasil penelitian didapatkan bahwa tutupan mangrove optimal bagi pertumbuhan udang windu dan ikan bandeng adalah luas tutupan mangrove sedang yaitu sekitar 40-60 % dari luas tambak. Selanjutnya semakin tinggi tutupan mangrove hasil produksi akan menurun. Sementara itu, hasil tangkapan udang harian akan semakin tinggi seiring dengan semakin tingginya penutupan mangrove. Dengan demikian, proporsi tambak dan mangrove ditetapkan adalah 60% mangrove dan 40% tambak/empang. Proporsi ini juga sesuai dengan hasil penelitian Nur (2002) yang mendapatkan bahwa perbandingan empang parit 60% mangrove
dan
40%
tambak/empang
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, dengan perbandingan 60:40 ekosistem mangrove tetap terjaga. Hasil penelitian Halidah et al. (2007) dan Hastuti (2010) juga memperoleh perbandingan mangrove 60% dan 40% tambak didapatkan pertumbuhan yang optimal bagi ikan bandeng. Jadi, perbaikan minawana di RPH Tegal-Tangkil pola empang parit dengan perbandingan 60:40 dapat dijadikan dasar untuk pengembangan kawasan minawana. Dengan demikian, penggarap tambak diwajibkan menanam kembali mangrove di tambak yang sudah gundul atau dapat menebang (mengurangi mangrove) hingga mencapai 60% mangrove dan 40% tambak. Adapun mangrove yang ditanam sebaiknya adalah jenis Avicennia sp. karena lebih sesuai untuk
45
dijadikan tambak disekelilingnya. Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5 tahun, tajuk tanaman sudah saling menutup. Setelah tanaman membesar, dapat dijarangkan menjadi 3 x 3 meter, 2 x 4 meter atau 4 x 3 meter. Jumlah pohon total mangrove pada luas 6.000 m2 (60%) adalah 1.000 pohon. Nantinya jika pohon tersebut sudah besar dapat dipangkas dan bukan ditebang. Tampilan perbaikan pola minawana disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Tampilan petak minawana pola 60% mangrove dan 40% tambak (Sumber: Modifikasi pribadi 2012)
5.2.2.2. Perbaikan Jalur Hijau Perbaikan jalur hijau (sempadan pantai dan sungai) perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan pantai dan sungai. Selain itu, adanya sempadan pantai dan sungai sebagai habitat berbagai organisme. Hingga saat ini sempadan pantai dan sempadan sungai tidak ada di lokasi penelitian. Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang sempadan pantai sebaiknya lebar 130 m dari bibir pantai dan 50 m untuk sungai. Oleh karena itu perlu diatur untuk kawasan
sempadan
pantai
dan
sempadan
sungai.
Untuk
itu
rencana
pengembangan kawasan minawana terkait perbaikan jalur hijau di RPH TegalTangkil yang harus dilakukan adalah : 1. Pembuatan sempadan pantai minimal selebar 130 m dari bibir pantai, sepanjang 8 km. Luas untuk sempadan pantai 130 m x 8,000 m = 1,040,000.00 m2 atau 104 ha
46
2. Pembuatan sempadan sungai minimal selebar 50 m dari bibir Sungai Blanakan dan Sungai Gangga, sepanjang 3.5 km. Luas sempadan sungai adalah 50 m x 3,500 m x 4 = 700,000.00 m2 atau 70 ha. Adapun penanaman mangrove pada jalur hijau sebaiknya dengan sistem banjar harian (Gambar 12). Jenis mangrove yang ditanam adalah jenis Rhizophora. Jarak tanamnya adalah 1 x 1 meter dengan jumlah bibit 5.500/ha. Jadi jumlah bibit yang dibutuhkan adalah 572,000 bibit untuk sempadan pantai dan 385,000 untuk sempadan sungai. Adapun nantinya, penanaman dan pemeliharaan mangrove pada jalur hijau ini diserahkan pada anggota LMDH kelompok ikan dan biota lainnya. Pola Tampilan perbaikan jalur hijau di kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 12 Pola tanam banjar secara merata (sumber: Permenhut no. 3 Tahun 2004)
greenbelt 100 m
Muara sungai
50 m Saluran sejajar sungai
50 m Saluran sejajar pantai
Gambar 13 Tampilan perbaikan jalur hijau di kawasan minawana di RPH TegalTangkil (Sumber: Modifikasi pribadi 2012)
47
5.2.2.3. Pembuatan Bak Penampung Air (Tandon) Sistem budidaya yang dilaksanakan penggarap tambak minawana di RPH Tegal-Tangkil saat ini adalah tradisional. Sumber air langsung masuk ke pelataran tambak tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kualitas air yang masuk ke pelataran harus dibuat sistem tandon (kolam penampungan). Air yang masuk seluruhnya ditampung sementara di kolam penampungan untuk paling tidak satu minggu, sebelum dialirkan ke kolam pembesaran. Bila kolam penampungan ini hanya tersedia satu saja, sebaiknya dibagi menjadi dua bagian yang bisa dipakai bergantian. Pada kolam penampungan inilah salinitas air dapat dikontrol dan disesuaikan. Kolam penampungan juga membantu mengurangi, kalaupun tidak menghilangkan sama sekali, adanya inang dan pembawa penyakit dari jenis udang-udangan. Air yang dimasukkan dari kolam penampungan ke kolam pembesaran melewati bak saringan untuk mencegah spesies lain masuk. Luas kolam penampungan ini paling sedikit 25% dari kolam pembesaran. . Tandon air terdapat pada setiap 2 ha tambak dengan ukuran 25 x 100 m (2500 m2). Dengan demikian luas mangrove pada masing-masing 1 ha tambak mnjadi 75x70 m (5250 m2) dan pelataran tambaknya menjadi 3500 m2. Pembuatan dan perawatan tandon menjadi tanggung jawab penggarap tambak.
Gambar 14 Ilustrasi sistem tandon dalam mengairi tambak (Sumber: Modifikasi pribadi 2012)
48
5.2.2.4. Perbaikan Akses Jalan Pengadaan dan perbaikan akses jalan diperlukan sehingga memudahkan dalam kegiatan pemanfaatan kawasan minawana. Jalan dibuat 10% dari luas lahan sehingga untuk jalan ini disediakan lahan seluas 262.60 ha. Perbaikan jalan ini mencakup jalan primer dan sekunder. Jalan primer yang dibuat setidaknya dapat dilalui oleh kenderaan roda 4. Jalan primer tersebut dibuat dengan lebar minimal 3 m, sedangkan jalan sekunder dengan lebar 2 m. Jalan primer yang dibutuhkan minimal 4 jalur. Jalan primer ini yakni 2 jalur sejajar garis pantai dan 2 jalur sejajar sungai yang ditempatkan ditengah pelataran tambak. 5.2.2.5. Perbaikan Saluran Pembuatan/perbaikan kanal air yang baik sehingga air yang masuk ke tambak dapat dipantau dengan baik. Menurut Setiawan dan Sidabutar (2007) untuk perbedaan pasang surut yang kurang dari 1,5 m maka lebar salurannya adalah 5-7 m per 20 ha. Jadi jumlah saluran yang dibutuhkan adalah 131 saluran yang dibagi kedalam 3 saluran sejajar pantai dan 44 saluran sejajar sungai. Luas saluran keseluruhan adalah 93.80 ha. Jadi luas keseluruhan yang dikembangkan menjadi tambak minawana RPH Tegal-Tangkil setelah dikurangi untuk sempadan pantai, sempadan sungai, saluran, jalan dan tandon adalah 1,513.04 ha. Adapun penanggung jawab perbaikan
saluran
dan
akses
jalan
adalah
LMDH.
Dana
untuk
perbaikan/pembuatan saluran dan jalan serta prasarana lainnya adalah dari iuran anggota dan atau bantuan dari Perum Perhutani. Selain itu, dana tersebut dapat berasal dari pihak lain yang ingin berkontribusi, baik dalam bentuk dana hibah ataupun dana sosial dari perusahaan. 5.2.2.6. Pengembangan Sistem Budidaya Sistem budidaya yang dilaksanakan penggarap tambak minawana di RPH Tegal-Tangkil saat ini adalah sistem polikultur. Ikan yang dibudidayakan cenderung sama baik pada salinitas tinggi maupun rendah. Berdasarkan hasil penelitian tahun 2011 didapatkan bahwa terdapat perbedaan salinitas di kawasan pertambakan Jayamukti. Adanya perbedaan salinitas tersebut, maka apabila ingin
49
meningkatkan produksi tambak perlu penyesuain terhadap biota yang dipelihara (Rahmadya 2012). Untuk pengembangan sistem minawana di RPH Tegal-Tangkil di buat perwilayahan komoditas yakni ikan nila/mujair dan ikan bandeng pada wilayah hulu dan tengah. Pada wilayah dekat laut komoditas yang dibudidayakan adalah ikan bandeng dan udang windu (bago). Hasil estimasi pengembangan budidaya didapatkan bahwa luas wilayah untuk budidaya ikan bandeng dan nila/mujair mencapai 1,009.06 ha dan untuk komoditas bandeng dan udang hanya 504.53 ha. Selain itu, didalam tambak juga dapat dibudidayakan jenis kerang (seperti Anadara sp.) sesuai dengan perwilayahan komoditas yang ditetapkan. Kerang ini nantinya dapat meningkatkan relung ekologi dan harapannya menjadi tambahan bagi petambak karena bernilai ekonomi. 5.2.2.6. Pengembangan Pengelolaan Budidaya Perikanan Pengelolaan budidaya di kawasan minawana masih tergolong tradisional. Untuk persiapan saja banyak masyarakat yang tidak melakukan tahapan kegiatan budidaya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Oleh karena itu, selain perbaikan konstruksi tambak, perlu juga perbaikan pengelolaan tambak mulai dari tahap persiapan sampai tahap pemasaran. Hal yang perlu diperhatikan juga adanya pencatatan data setiap kegiatan untuk dapat dievaluasi secara tepat. Pengelolaan budidaya tambak seharusnya mengikuti standar baku "Tata cara budidaya perikanan yang baik“ (Good Aquaculture Practices/GAP). GAP dicirikan dengan: menggunakan teknologi yang dianjurkan, ramah lingkungan, dan produk yang dihasilkan berkualitas baik. Dengan demikian, pedoman ini diharapkan menjadi arahan tertatanya proses penerapan pengembangan budidaya tambak udang yang terencana, maju, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Tahapan budidaya ini juga nantinya diharapkan untuk mendapatkan produksi optimal sistem minawana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil. Oleh karena itu, pengelolaan tahapan budidaya yang seharusnya dijalankan di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil ini mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak. Selain itu, Wetland International Indonesia Programme juga mengeluarkan buku Pedoman Praktis
50
Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan. Secara rinci uraian tahapan pengelolaan budidaya ditambak ini disajikan pada Lampiran 15. Penerapan meningkatkan
budidaya
pendapatan
secara
polikultur
masyarakat
secara
sehingga
tepat
mampu
diharapkan
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar. Hal ini sesuai pendapat Fitzgerald dan William (2002) in Shilman (2012), bahwa penerapan sistem tambak minawana harus berdasarkan pada alasan yang tepat. Prinsip dasarnya adalah keberlanjutan pembangunan dan pertimbangan manajemen harus menjadi utama dalam pembangunan. Selain budidaya ikan dan udang di kawasan minawana, budidaya kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan hal yang dapat dikembangkan kedepan karena tersedianya lahan mangrove yang berada pada pelataran tambak. Penerapan minawana dengan baik diharapkan juga berkorelasi positif terhadap peningkatan hasil usaha tangkap saat ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nelayan dan pengepul/pengumpul hasil perikanan bahwa telah terjadi penurunan hasil tangkap sejak terjadi kerusakan terhadap ekosistem mangrove. Selain itu dengan semakin baiknya mangrove di kawasan RPH Tegaltangkil dapat juga meningkatkan hasil tangkap kerang dan udang di laut. Estimasi pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil disajikan pada Tabel 19 dan Tabel 20. Tabel 19 Estimasi Hasil produksi dan nilai produksi tambak minawana di RPH Tegal-Tangkil (polikultur ikan bandeng dan Nila/Mujair) Kondisi Satuan Estimasi pengembangan minawana C. chanos Oreochromus sp. Komoditas Luas Kawasan Tambak ha 961.39 Jumlah Petak Unit 480.70 Jumlah Petambak Orang 481 Luas Tambak yang Operasional ha 961.39 Persentase Tambak Operasional % 100.00 Total Produksi Kg/thn 1,538,229.33 1,311,778.00 Rata-rata Produksi pertahun Kg/thn/ha 1,600.00 1.300.00 Rata-rata Produksi persiklus Kg/ha 800.00 650.00 Harga Jual Rata-rata Rp/kg 15,000.00 10.000.00 Nilai Produksi Rp/tahun 23,073,440,000.00 13,117,780.000.00 Penerimaan dari retribusi 1,5% Rp/tahun 346,101,600.00 196,766,700.00 Total Produksi (Rp/tahun) 35,571.553,333.33 Total penerimaan retribusi (Rp/tahun) 533,573,300.00 Keterangan: 30% dari luas total kawasan RPH Tegal tangkil pada daerah dekat laut dangan sebaran salinitas 21‰-30‰ sehingga cocok dibudidayakan udang dan bandeng Sumber: Hasil perhitungan 2012
51
Tabel 20 Estimasi Hasil produksi dan nilai produksi tambak minawana di RPH Tegal-Tangkil (polikultur ikan bandeng dan udang) Kondisi Satuan Estimasi pengembangan minawana Komoditas P. monodon C. chanos 480.70 Luas Kawasan Tambak ha Jumlah Petak Unit 240.35 Jumlah Petambak Orang 240 480.70 Luas Tambak yang Operasional ha Persentase Tambak Operasional % 100.00 Total Produksi Kg/tahun 127,865.31 769,114.67 Rata-rata Produksi pertahun Kg/tahun/ha 266.00 1,600.00 Rata-rata Produksi persiklus Kg/ha 133.00 800.00 Harga Jual Rata-rata Rp/kg 65,000.00 15,000.00 Rp/tahun 8,311,245,366.67 11,536,720,000.00 Nilai Produksi Penerimaan Dari Retribusi 1,5% Rp/tahun 124,668,680.50 173,050,800.00 Total Produksi (Rp/tahun) 19,847,965,366.67 Total penerimaan retribusi (Rp/tahun) 297,719,480.50 Keterangan: 30% dari luas total kawasan RPH Tegal tangkil pada daerah dekat laut dangan sebaran salinitas 21‰-30‰ sehingga cocok dibudidayakan udang dan bandeng Sumber: Hasil perhitungan 2012
5.3. Analisis Ekonomi Sistem Minawana 5.3.1. Analisis Ekonomi Eksisting 5.3.1.1. Analisis Usaha Hasil analisis usaha pada kegiatan tambak di kawasan minawana menunjukkan bahwa usaha tambak di kawasan tersebut layak diusahakan. Akan tetapi dilihat dari hasil R/C didapatkan bahwa kegiatan budidaya pada sistem minawana dengan penutupan sedang-tinggi merupakan usaha yang paling layak arena R/C lebih dari 1,50. Pada sistem minawana dengan modal yang rendah didapatkan keuntungan yang lebih besar dibanding dengan sistem tambak murni. Pada tambak murni untuk mencapai titik impas diperlukan minimal pendapatan Rp 3,567,921.59 Rp/Ha/tahun. Hasil analisis usaha pada tambak murni dan minawana di kawasan RPH Tegal-tangkil dapat dilihat pada Tabel 21 dan secara rici pada Lampiran 16. Hasil pengujian dengan ANARA RAL terhadap perbedaan R/C antara tambak murni dan sistem minawana diperoleh bahwa ada pengaruh mangrove terhadap nilai BCR pada taraf 95%. Uji lanjut dengan uji BNT didapat bahwa ada perbedaan nyata antara tambak dengan penutupan tinggi dengan rendah dan tambak murni pada selang kepercayaan 95%. Berdasarkan uraian tentang tentang kondisi ekologi dan ekonomi kawasan minawana, menunjukkan bahwa konsep
52
minawana memberikan nilai ekologi dan ekonomis yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tabel 21 Analisis usaha tambak eksisting Komponen
Penutupan tinggi
Keuntungan bersih 53,979,380.82 (Rp/Ha/tahun) R/C 11.41 Break Even Point 906,731.63 (Rp/Ha/tahun) Sumber: Hasil analisis (2012)
Minawana Penutupan sedang
Penutupan Rendah
Tambak murni
30,561,733.67 11.23
22,544,718.77 4.86
15,446,994.67 2.65
693,321.25
1,090,421.29
3,567,921.59
5.3.1.2. Analisis Kelayakan Usaha Hasil perhitungan kelayakan usaha terhadap kegiatan tambak murni didapatkan bahwa secara umum kegiatan budidaya tambak murni layak dijalankan. Hal ini dapat dilihat dari BCR dari kegiatan tambak murni berkisar antara 1.26 – 6,41, dengan rata-rata 2.93. Masa pengembalian modal sangat bervariasi mulai 0.70 tahun - 22.24 dengan rata-rata 5.81 tahun. Akan tetapi jika dibandingkan dengan kegiatan usaha dari sistem wanamian terutama pada penutupan tinggi dan sedang lebih baik dibanding sistem tambak murni. Hal ini dapat dilihat dari masa pengembalian modalnya yang lebih cepat berkisar antara 1.24
tahun – 5.46 tahun. Analisis kelayakan usaha pada tambak murni dan
minawana disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Analisis kelayakan usaha pada tambak murni dan sistem minawana Penutupan tinggi 53,979,380.82
Minawana Penutupan sedang 30,561,733.67
0.87
Cash flow
Komponen
Penutupan Rendah
Tambak murni
22,544,718.77
15,446,994.67
0.87
0.87
0.87
54,039,103.05
30,583,863.29
22,544,718.77
Net Present Value
46,938,592.02
26,575,420.58
19,604,103.28
PV Revenue
80,383,120.20
58,541,304.35
48,418,206.52
99,795,652.17
PV Cost
33,955,803.17
24,329,883.61
21,535,896.74
34,583,333.33
PV of Net Benefit
46,427,317.03
34,211,420.73
26,882,309.78
65,212,318.84
110.82%
91.59%
69.95%
148.08%
2.40 1.24
2.24 2.33
1.99 5.46
2.93 5.81
Keuntungan bersih Discount factor
Internal Rate of Return Benefit-Cost Ratio Payback Period Sumber: Hasil analisis (2012)
25,355,262.11 13,432,169.28
53
5.3.2. Analisis Pengembangan Ekonomi Minawana Berdasarkan uraian kondisi ekosistem mangrove dan manfaat ekonomi tambak (sistem wanammina) seperti dijelaskan di atas, maka adanya analisis kelayakan pengembangan kegiatan minawana menjadi sangat penting karena analisis ini akan mengasumsikan pelaksanaan tambak sistem konvensional yang telah dilaksanakan saat ini. Perhitungan ini diharapkan meningkatkan motivasi petambak yang telah sepakat secara persepsi, dan membuktikan bahwa penerapan sistem ini secara ekonomi tetap menguntungkan. Berdasarkan uraian di atas tentang bioteknis dimana ada perwilayahan komoditas berdasarkan sebaran salinitas, maka ada beberapa skenario yang akan dibuat terhadap pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil terkait dengan jenis/komoditas yang akan dibudidayakan. Pada bagian hulu dan tengah komoditas yang dibudidayakan adalah ikan bandeng dan nila/mujair, dan pada bagian dekat dengan laut adalah udang windu dengan ikan bandeng. Masingmasing dari skenario budidaya ini akan dihitung analisis usaha dan kelayakan usahanya. Pada penelitian ini estimasi pengembangan minawana mengacu pada hasil penelitian Shilman (2012). Secara rinci pada analisis usaha dan kelayakan usaha pengembangan ekonomi minawana Lampiran 17. Berdasarkan hasil perhitungan nilai ekonomi baik langsung maupun lansung yang dihitung oleh Fahrudin (1996) didapatkan bahwa nilai eknomi kawasan mangrove di RPH Tegal-Tangkil adalah Rp 15,030,595.76/ha. Jika kawasan mangrove dijadikan tambak minawana dengan proporsi tambak 40% maka nilai manfaat mangrove yang akan hilang adalah Rp 6,012,238.30. Pada saat yang sama biaya pengelolaan hutan mangrove adalah Rp 698,250.00/ha, maka nilai manfaat mangrove yang hilang adalah Rp 5,732,938.30 atau nilai tersebut pada tahun 2012 adalah Rp 9,543,082.77 . 5.3.2.1. Analisis Usaha 5.3.2.1.1. Struktur Biaya Biaya yang digunakan dan manfaat yang diperoleh dalam usaha tambak sistem minawana RPH Tegal-Tangkil dikelompokkan ke dalam beberapa bagian yaitu: modal investasi, biaya penambahan investasi, biaya perawatan, nilai sisa investasi, biaya operasional, dan penerimaan. Pada penelitian ini analisis ekonomi
54
dilakukan untuk 20 (duapuluh) tahun periode analisis, yaitu berdasarkan nilai ekonomi dari investasi yang dilakukan. Dalam usaha tambak udang dan ikan bandeng yang akan dilaksanakan RPH Tegal-Tangkil, nilai investasi yang cukup besar adalah pembangunan konstruksi kolam yaitu sebesar Rp 21,810,000.00 berupa kegiatan rehabilitasi kolam dan pembuatan bangunan pendukung. Umur ekonomis konstruksi tambak ini sekitar 20 (tujuh) tahun. Sedangkan investasi lainnya berupa pengadaan peralatan pendukung dengan nilai investasi sebesar Rp 6,050,000.00 dan umur ekonomis berkisar 4 sampai 5 tahun. 1) Modal investasi Modal investasi yang digunakan dalam usaha tambak sistem minawana adalah sama dengan tambak konvensional yang ada. Investasi dilakukan dengan cara revitalisasi/ pembangunan kembali tambak yang sudah ada, serta dilakukan pembelian beberapa peralatan untuk proses produksi. Penanaman bibit mangrove sebanyak 5,000 batang untuk tiap petak pada pelataran tambak merupakan bentuk investasi yang khas pada sistem minawana, komponen investasi ini sebagai bagian dari upaya rehabilitasi ekosistem mangrove. Penanaman mangrove ini dilakukan dengan jarak tanam 5 x 5 m. Luasan untuk tambak berdasarkan hasil penelitian Nur (2002) agar budidaya dan hasil tangkapan cukup untuk keberlanjutan sistem ekologi di minawana adalah 60% mangrove dan 40% tambak. Oleh karena itu luasan tambak dari 2 ha tambak adalah 8,000 m2 dan mangrove 12,000 m2. Jumlah investasi tambak sistem minawana adalah Rp 27,820,000.00. Mengenai jenis investasi tambak sistem minawana secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 17. 2) Nilai sisa (residual value) Seringkali pada akhir suatu periode proyek diperkirakan adanya nilai sisa, yaitu tidak semua modal investasi habis digunakan selama periode proyek sehingga tersisa suatu nilai yang disebut “nilai sisa” (residual value). Oleh karena itu nilai sisa dari suatu perincian kapital dianggap sebagai “manfaat” proyek selama tahun terakhir dari periode analisis (Gittinger et al. 2008). Jumlah nilai sisa yang terjadi pada tahun terakhir periode analisis dapat dilihat pada Lampiran 17.
55
3) Biaya perawatan Menurut Gittinger et al (2008), untuk memudahkan perhitungan biaya perawatan bangunan dan peralatan, maka dapat digunakan pedoman biaya perawatan konstruksi sebesar 1%/tahun dari nilai investasi dan biaya perawatan mesin sebesar 5 %/tahun dari nilai investasi. Yang digolongkan kedalam konstruksi adalah semua bangunan dan peralatan yang tidak menggunakan mesin. Rincian biaya perawatan konstruksi dan peralatan dapat dilihat pada Lampiran 17. 4) Biaya pengganti Pada pelaksanaan proyek ada beberapa jenis investasi yang harus diganti sebelum periode proyek selesai. Oleh karena itu diperlukan biaya penggantian investasi pada saat proyek membutuhkannya. Perlakuan terhadap biaya penggantian investasi adalah dengan memasukkan biaya-biaya tersebut dalam perincian biaya modal pada tahun bersangkutan dalam analisis proyek. Penyusutan hanya merupakan persoalan pembukuan dan bukan merupakan persoalan nilai ekonomi. Penggantian investasi
terjadi seperti disajikan pada
Lampiran 17. 5) Biaya operasional Terjadi perbedaan satuan harga pada aspek finansial dan aspek ekonomi untuk harga bahan bakar dan upah tenaga kerja. Secara aspek ekonomi biaya operasional
tambak
adalah
Rp
10,563,666.67/siklus
atau
sebesar
Rp
21,127,333/33/tahun pada polikultur udang dan badeng. Pada polikultur bandeng dan nila biaya operasional mencapai Rp 17,341,250.00 /tahun atau Rp 8,670,625.00/siklus tanam. Asumsi harga bahan bakar tanpa subsidi dan upah tenaga kerja yang riil dikeluarkan. Secara aspek ekonomi jumlah biaya operasional tambak minawana dapat dilihat pada Lampiran 17. 5.3.2.1.2. Penerimaan Nilai penerimaan pada tambak sistem minawana yang akan diperoleh merupakan suatu estimasi berdasarkan data rata-rata penerimaan tambak yang dilakukan secara baik berdasarkan pedoman umum budidaya. Penerimaan tersebut merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi dikalikan harga jual rata-rata yang berlaku. Harga jual rata-rata diperoleh sebesar Rp 65,000.00/kilogram
56
udang, Rp 15,000.00/kg bandeng, dan Rp 10,000.00/kg ikan nila/mujair. Jumlah penerimaan bersih adalah penerimaan setelah dikurangi persentase retribusi yang tepat diberlakukan di lokasi penelitian, pajak yang berlaku adalah 1,5 %. Rata-rata penerimaan setelah pajak pada polikultur bandeng dan nila/mujair adalah Rp, 34,059,073.90/tahun atau Rp 17,029,536.95/sklus. Pada polikultur udang dan bandeng
rata-rata
penerimaan
bersih
dikurangi
pajak
adalah
Rp
40,713,333.33/tahun atau Rp 20,356,666.67/siklus. Estimasi nilai penerimaan hasil budidaya tambak pengembangan minawana secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 17. Selain penerimaan dari komoditas yang dibudidayakan tambak sistem minawana juga menghasilkan panen komoditas sampingan berupa jenis udang alami, ikan, dan kepiting. Dengan penerapan tambak sistem minawana lebih memberikan potensi untuk menghasilkan komoditas sampingan jika dibandingkan tambak sistem konvensional, karena pada sistem ini tersedia ekosistem mangrove sebagai habitat pada pelataran tambak. Pada penelitian ini jumlah penerimaan dari hasil sampingan diasumsikan minimal adalah sama dengan kondisi rata-rata penerimaan tambak saat ini. Penerimaan dari hasil sampingan merupakan perkalian antara jumlah panen dari hasil sampingan dikalikan harga jual masingmasing komoditas. Estimasi nilai penerimaan dari hasil sampingan adalah Rp 15,200,000.00/siklus atau Rp 30,400,000.00/tahun. Jenis dan estimasi nilai penerimaan hasil sampingan tambak minawana secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 17. 5.3.2.1.3. Keuntungan Adanya perbaikan terhadap sistem minawana baik dari segi teknik budidaya maupun manajemen budiadaya dapat meningkatkan penerimaan penggarap tambak (petambak). Peningkatan penerimaan ini tentunya akan meningkatkan keuntungan bagi penggarap tambak. Keuntungan penggarap tambak dari perbaikan sistem minawana mencapai Rp 43,259,517.52 pada komoditas bandeng dan mujair dan Rp 57,849,666.67 pada komoditas udang dan windu.
57
Adanya peningkatan keuntungan ini diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan penggarap tambak (petambak). Secara rinci keuntungan petambak dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Keuntungan dari perbaikan sistem minawana Komponen
Komoditas (Rp) Bandeng dan mujair Udang dan Bandeng
Penerimaan Hasil budidaya 34,531,184.18 Hasil sampingan 30,400,000.00 Total penerimaan 64,931,184.18 Modal operasional 21,671,666,67 Keuntungan 43,259,517.52 Sumber: Hasil analisis 2012
44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67 17,532,000.00 57,849,666.67
5.3.2.2. Analisis Kelayakan Usaha 5.3.2.2.1. Net Present Value Adapun nilai net benefit setelah masing-masing didiskoun pada tingkat discount rate sebesar 12% diperoleh nilai NPV sebesar Rp 279,249,745.83 pada polikultur udang dan bandeng serta sebesar Rp 114,147,877.30 pada polikultur bandeng dan nila/mujair. Dengan kara lain nilai NPV positif sehingga syarat yang menyatakan NPV harus bernilai positif, dapat diterima. 5.3.2.2.2. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Dari hasil perhitungan pada tahun pertama bernilai negatif dan pada tahun ke dua sampai tahun terakhir periode analisis bernilai positif. Nilai-nilai tersebut didiskon dengan discount rate sebesar 12% untuk memperoleh nilai Present Value Net Benefit (PVNB) setiap tahun dari tahun 2012 sampai dengan dua puluh tahun kedepan, dimana akan diperoleh nilai PVNB yang bersifat negatif dan positif. Nilai net B/C dapat dihitung dengan lebih dahulu menjumlahkan nilai PVNB yang bernilai positif kemudian dibagi dengan jumlah PVNB yang bernilai negatif. Net B/C pada polikultur udang dan bandeng adalah 37.4. Sedangkan Net B/C pada polikultur udang dan bandeng adalah 7.40. Nilai-nilai Net B/C ini lebih besar dari satu sehingga dapat dinyatakan proyek diterima bila nilai net B/C≥ 1 dapat dipenuhi. Analisis Cash flow, NPV, dan Net B/C secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 17.
58
5.3.2.2.3. Internal Rate Of Return (IRR) Setelah dilakukan interpolasi dengan menggunakan discount rate percobaan pertama (i’) sebesar 92% pada polikultur udang dan bandeng diperoleh NPV’ sebesar Rp 21,319,309.22 dan percobaan kedua (i”) sebesar 93% diperoleh NPV” sebesar Rp 20,933,454.06. Pada polikultur bandeng dan mujair discount rate percobaan pertama (i’) sebesar 92% didapatkan NPV’ sebesar Rp 1,784,812.66 dan percobaan kedua (i”) sebesar 93% diperoleh NPV” sebesar Rp 1,649,401.92. Dengan demikian nilai IRR dari dua kondisi tadi didapatkan sebesar 147.25 % pada polikultur udang dan bandeng serta 105,18 pada polikultur bandeng dan mujair. Nilai IRR lebih besar dari tingkat discount rate (12%,) dengan demikian proyek dinyatakan diterima bila nilai IRR lebih besar atau sama dengan tingkat discount
rate terpenuhi. Analisis IRR secara lebih rinci dapat dilihat pada
Lampiran 17. Dari hasil analisis kelayakan diketahui bahwa penerapan sistem minawana akan diterima dengan baik oleh masyarakat, karena secara ekonomi sistem ini akan layak untuk dilaksanakan dengan kriteria sebagai berikut: Nilai NPV Positif; Nilai Net B/C≥ 1 dan Nilai IRR≥ discount rate. 5.3.3. Perbandingan Sistem Minawana Pada Kondisi Eksisting dan Setelah Dikembangkan Berdasarkan hasil perhitungan analisis usaha dan kelayakan usaha pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil menunjukkan bahwa konsep minawana masih dan layak untuk dikembangkan. Selain itu, revitalisasi minawana dapat meningkatkan pendapatan penggarap tambak maupun kelompok masyarakat lainnya. Peningkatan pendapatan masyarakat dari kondisi saat ini dibanding dengan kondisi ideal (pengembangan) mencapai 509.60% pada sistem polikultur antara udang dan bandeng serta meningkat hingga 449.72% pada sistem polikultur antara bandeng dan mujair. Hal ini ini menandakan revitalisasi minawana ini akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan penggarap tambak pada khususnnya. Berdasarkan uraian tentang tentang kondisi ekologi dan ekonomi kawasan minawana, menunjukkan bahwa konsep minawana memberikan nilai ekologi dan ekonomis yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, perlu
59
suatu konsep pengelolaan agar kelestarian sumberdaya berjalan sesuai kondisi dan keinginan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu disain kelembagaan pengelolaan sumberdaya mangrove yang selanjutnya diuraikan pada sub bab berikutnya. 5.4. Analisis Kelembagaan Sistem Minawana 5.4.1. Kondisi Kelembagaan Saat Ini 5.4.1.1. Tata Aturan Pengelolaan Kawasan Minawana 1) Batas Yurisdiksi Batas
yurisdiksi
pengelolaan
kawasan
minawana
masuk
dalam
pengelolaan RPH Tegal-Tangkil, BKPH Ciasem Pamanukan, KPH Purwakarta Perum Unit III Jawa-Barat Banten. Secara administrasi masuk dalam daerah Kecamatan Blanakan dengan batas: Utara : Laut Jawa Timur : RPH Pamanukan Selatan: Kali Malang I Timur : Sungai Cilamaya, Karawang Hal lain yang perlu diperhatikan terhadap batas yurisdiksi ini adalah pada batas di utara. Berdasarkan peraturan yang ada, menyebutkan bahwa setiap lahan/tanah timbul yang berbatasan langsung dengan milik Perhutani menjadi hak perhutani. Oleh karena itu, luas wilayah RPH Tegal-Tangkil semakin bertambah tiap tahun karena adanya sedimentasi di Teluk Ciasem. Tanah timbul inilah yang menjadi sengketa oleh pihak Desa yang sebagian mengklaim tanah tersebut adalah tanah desa. Saat ini seperti dikemukakan di atas tanah timbul tersebut sudah menjadi tambak. 2) Hak dan Kewajiban Penguasaan Sejak tahun 1986, melalui program Perhutanan Sosial kawasan yang dulunya hutan menjadi kawasan minawana dimana 80% adalah mangrove dan 20% untuk budidaya dalam 1 petak ha tambak. Pada awalnya hak pengelolaan minawana adalah maksimum 2 ha/KK. Berdasarkan perjanjian awal yang tertuang dalam buku anggota pemegang hak garap disebutkan bahwa setiap penggarap tambak memiliki hak garap tambak dan hasilnya. Hak garap ini pada awalnya adalah 1 tahun dan diperpanjang setiap tahun.
60
Pada buku anggota pemegang hak garap juga disebutkan bahwa, setiap penggarap tambak memiliki kewajiban untuk membayar hak garapan yang dibayar setiap tahun dan akan diperpanjang jika masih berniat dan mampu untuk menggarap. Jika tidak mampu menggarap lagi maka, penggarap tambak wajib mengembalikan hak garapan ke Perhutani dan Perhutani akan memberikan kepada pihak lain. Hal yang menjadi masalah saat ini adalah telah terjadi penjualan hak garapan antar anggota tanpa sepengetahuan Perhutani (diketahui namun terkesan dibiarkan). Harga tambak minawana yang diperjualkan saat ini berkisar antara Rp 30 juta/ha – Rp 70 juta/ha.
Gambar 15 Buku anggota penggarap tambak di RPH Tegal – tangkil (sumber: Dokumentasi pribadi 2012)
3) Aturan/Peraturan dan Sanki Berdasarkan perjanjian awal pada saat pemberian hak garap oleh Perhutani, disebutkan bahwa tidak boleh menebang/memodifikasi tambak yang sudah ada. Bahkan disebutkan bahwa penggarap tambak wajib menjaga kelestarian hutan. Pada awalnya penggarap tambak tidak berani melakukan penebangan/modifikasi karena sanksi yang jelas yakni hak garap dicabut bahkan sampai dipenjara. Akan tetapi seiring dengan perubahan waktu penerapan aturan dan sanksi yang tidak jelas menyebabkan masyarakat berani untuk melakukan penebangan/modifikasi. 5.4.1.2. Arena Aksi Dalam Pengelolaan Kawasan Minawana Hasil identifikasi aktor dalam pengelolaan kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil dikenal 5 pemangku kepentingan dengan berbagai peran (Tabel 24). Secara garis besar identifikasi aktor dikelompokkan dalam peran
61
pemanfaatan dan peran pengaturan. Peran pemanfaatan dilakukan oleh masyarakat anggota Kelompok Penggarap tambak dan Penangkap ikan dan biota lainnya. Sementara peran pengaturan dan kontrol dilakukan oleh Perhutani (sebagai pemilik kawasan). Berdasarkan hasil pemetaan pemangku kepentingan dalam pengelolaan minawana di RPH Tegal-Tangkil maka dapat diketahui aktor pemangku kepentingan yang berperan dalam pengelolaan minawana, yaitu : 1) Subyek; ditempati oleh masyarakat anggota penggarap tambak, buruh, penangkap ikan dan biota lainnya, KUD, dan pengepul. Kelompok ini menunjukkan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan
tetapi
rendah
pengaruhnya
dalam
perumusan
kebijakan.
Ketergantungan tinggi disini terkait dengan proses hasil budidaya dan hasil tangkapan serta pemasaran hasil produksi perikanan. 2) Pemain; ditempati oleh Perhutani, yang merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan melalui perumusan berbagai kebijakan. Perhutani berhak mengatur pemanfaatan tradisional (budidaya). 3) Penonton; ditempati oleh aparat desa. Keberadaan mereka dinilai tidak telalu tergantung terhadap sumberdaya perikanan dan juga tidak terlalu berpengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan. Aparat desa mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam mencari sumber perekonomian desa selain kegiatan pemanfaatan minawana di Kecamatan Blanakan. 4) Aktor; ditempati oleh LMDH dan Dinas Kelautan dan Perikanan, yang merupakan aktor yang berpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan. Tabel 24 Identitas pemangku kepentingan dan peranannya Pemangku kepentingan Perhutani (RPH TegalTangkil) Penggarap tambak Penangkap ikan dan biota lainnya Dinas Kelautan Perikanan LMDH KUD/KPD Sumber: Hasil analisis 2012
Peranan/Pemanfaatan Penentu kebijakan (pengelola sumberdaya), pengamanan peraturan dan kontrol Lokasi budidaya / usaha Lokasi penangkapan / usaha Penyuluh budidaya/peningkatan produksi Kontrol dan pembayaran iuran Penampungan hasil produksi tambak dan wadah peningkatan produksi
62
Secara hukum pengelolaan kawasan minawana RPH tegal-Tangkil menjadi tanggung jawab Perum Perhutani, KPH Purwakarta. Berdasarkan peraturan yang ada, Perhutani diwajibkan memberikan pemanfaatan kepada masyarakat untuk berbagi peran dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan (mangrove). Untuk itu, pada tahun 2005 Perhutani membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) pada masing-masing desa administrasi di KPH Purawakarta. LMDH merupakan pengganti dari Kelompok Tani Hutan (KTH) yang dibubarkan pada akhir tahun 2004. LMDH saat ini tidak lebih sebagai perpanjangan tangan dari Perhutani, terutama pada saat pengambilan retribusi (sewa lahan) dari penggarap tambak. anggota LMDH adalah masyarakat yang memiliki hak garapan di Perum Perhutani. Selain itu, pembentukan pengurus ditunjuk oleh pihak Perhutani. Sementara itu, penggarap tambak memiliki hak garapan. Hak garapan tersebut diperoleh dari Perum Perhutani. Selain itu, banyak juga hak garapan diperoleh dari warisan orang tua, gadai, maupun jual beli hak garapan. Hasil produksi ikan dari tambak dijual di KUD. Persyaratan menjadi anggota KUD adalah memiliki tambak (milik maupun perum/minawana) di desa yang menjadi wilayah administrasi tambak. KUD selain tempat pemasaran ikan/udang juga berperan dalam kegiatan perbaikan jembatan atau saluran/kalen di kawasan minawana. KUD juga menyediakan unit Simpan Pinjam bagi anggota. Untuk peningkatan produksi dan kesejahtraan dari anggota, KUD sering bekerjasama dengan DKP Kabupaten Subang. Kerjasama tersebut adalah penyuluhan tentang budidaya mupun pengolahan ikan. Selain itu, DKP Kabupaten Subang seringkali juga memberikan bantuan bibit kepada penggarap tambak melalui KUD. Sebenarnya di kawasan minawana, selain penggarap tambak ada kelompok masyarakat yang memanfaatkan kawasan tersebut. Kelompok ini adalah penangkap ikan dan biota lainnya. Kelompok ini memang tidak terdaftar di Perum Perhutani dan bukan juga anggota LMDH maupun KUD. Mereka memanfaatkan kawasan ini baik sebagai pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan. Kelompok ini boleh melakukan penangkapan di dalam tambak selain ikan atau udang yang dibudidayakan oleh penggarap tambak. Secara ringkas arena
63
aksi dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil kondisi eksisting disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16 Arena aksi dalam pengelolaan kawasan minawana RPH TegalTangkil kondisi eksisting (sumber: Hasil analisis 2012) 5.4.1.3. Pola Interaksi Antar Aktor Dalam Pengelolaan Minawana di RPH Tegal-Tangkil Berdasarkan aksi dan situasi yang ada saat ini
terhadap pengelolaan
minawana terdapat pola interaksi yang sinergis maupun kontradiktif. Pola interakasi yang sinergis adalah antara penggarap tambak dengan KUD dan DKP Subang. Penggarap tambak sangat mengharapkan produksi yang semakin meningkat, sehingga memperluas areal budidaya, dengan harapan produksi akan meningkat. KUD dan DKP Subang memberikan bantuan berupa bantuan modal maupun bibit kepada penggarap tambak. Sementara itu, pola interaksi yang kontradiktif adalah antara penggarap tambak dengan Perhutani dan kelompok penangkap ikan dan biota lainnya. Pihak Perhutani sebagai aktor yang memiliki wawasan menginginkan mangrove yang semakin banyak (konservasi). Disisi lain penggarap tambak menginginkan luasan tambak untuk meningkatkan produksinya. Selain itu kelompok masyarakat penangkap ikan dan biota lainnya berharap mangrove tetap luas karena berpengaruh terhadap tangkapan mereka. Sebenarnya, pihak Perum Perhutani memiliki hak untuk mencabut hak garapan dari penggarap tambak jika terbukti melakukan pelanggaran. Akan tetapi, rendahnya pelaksanaan aturan dan sanksi dari pihak Perhutani sebagai pemegang
64
kekuasaan menyebabkan penggarap tambak berani untuk melakukan penebangan. Demikian juga dengan peranan LMDH yang seharusnya membantu Perum Perhutani untuk melindungi mangrove. Akan tetapi karena kewenangan dan fungsi LMDH yang tidak jelas sehingga tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan peraturan. 5.4.1.4. Luaran/Dampak Dalam Terhadap Sumberdaya Berdasarkan pola interaksi yang terjadi antar pemangku kepentingan di RPH Tegal-Tangkil menunjukkan bahwa pola interaksi kontradiktif yang paling menonjol. Dengan demikian, hasil akhir yang terjadi adalah tingginya penebangan mangrove untuk memperluas areal budidaya. Kondisi menyebabkan semakin rusaknya ekosistem mangrove. 5.4.2. Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan Minawana RPH TegalTangkil Pada pengelolaan ekosistem mangrove bagian yang sangat penting dalam keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove adalah bagaimana perilaku masyarakat dalam memanfaatkan ekosistem tersebut terutama penggarap tambak. Perilaku masyarakat ini juga sangat berkaitan dengan persepsi atau pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove. Hal ini disebabkan oleh aktivitas masyarakat setempat yang tergantung dengan potensi dan kondisi sumberdaya yang ada di ekosistem mangrove. Adanya aktivitas masyarakat di sekitar kawasan mangrove akan memberikan dampak pada ekosistem mangrove. Dengan kata lain keberlanjutan pengelolaan mangrove sangat tergantung dari peran serta masyarakat.
Persentase
persepsi
dan
pemahaman
masyarakat
terhadap
pengelolaan ekosistem mangrove dan persepsi penerapan minawana di lokasi penelitian disajikan dalam angka antara 0 % sampai 100 % yang menunjukan pandangan sangat buruk (0 %) sampai dengan sangat baik (100 %). Berdasarkan hasil wawancara, 100 % responden menyatakan bahwa mereka mengetahui dan memahami arti dan maksud mangrove dan empang. Selanjutnya 96.77% responden menyatakan mengetahui dan memahami fungsi dan manfaat fungsi dan manfaat mangrove. Akan tetapi masyarakat yang mengetahui dan memahami hutan lindung hanya sebesar 32.26%. Sementara itu
65
pengetahuan dan pemahaman responden terhadap LMDH dan PHBM pun sangat rendah yakni hanya 11.29%. Secara rinci persepsi masyarakat dan pengetahuan masyarakat (petambak) terkait mangrove disajikan pada Tabel 25.
Gambar 17 Kegiatan wawancara terhadap responden (sumber: Dokumentasi pribadi 2012)
Tabel 25 Persentase pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang mangrove, empang, PHBM dan LMDH Komponen
% responden
Pengetahuan tentang mangrove
100.00
Pengetahuan tentang empang
100.00
Pengetahuan tentang fungsi dan manfaat mangrove
96.77
Pengetahuan tentang hutan lindung
32.26
Pengetahuan tentang PHBM
11.29
Pengetahuan tentang LMDH
11.29
Sumber: Hasil analisis 2012
Berdasarkan Tabel 25 didapatkan suatu informasi bahwa masyarakat terutama penggarap tambak di sekitar RPH Tegal-Tangkil memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang PHBM dan LMDH sangat rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat (Tabel 8) ataupun karena kurangnya sosialisasi dari pihak Perum Perhutani akan PHBM dan LMDH. Hal ini juga memungkinkan karena pembentukan LMDH sendiri bukan atas inisiatif masyarakat, tetapi dibentuk oleh Perum Perhutani. Lebih parah lagi pengurus LMDH diangkat dan diberhentikan oleh Perum Perhutani. Padahal, seharusnya pengurus diangkat dan diberhentikan oleh anggota LMDH sendiri. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap PHBM dan LMDH secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap
66
keberhasilan program-program yang dibuat oleh Perum Perhutani. Keberhasilan program Perhutani dalam rangka menjaga kelestarian hutan mangrove menjadi tidak berhasil. Hal ini terbukti dengan semakin maraknya penebangan hutan mangrove untuk memperluas areal budidaya. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap PHBM dan LMDH juga menyebabkan rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan fungsi dan manfaat LMDH. Hasil wawancara dengan masyarakat diperoleh informasi bahwa hanya 4.84% masyarakat yang mengetahui akan fungsi dan manfaat LMDH yaitu sebagai fungsi penanaman dan pemeliharaan mangrove (Tabel 26). Hal ini karena peran LMDH yang tidak melakukan pendekatan secara rutin terhadap anggota dalam himbauan untuk menjaga kelestarian hutan. Melihat peran LMDH yang sangat rendah akan kelestarian mangrove, sehingga ada beberapa kelompok masyarakat membentuk Kelompok Pecinta Mangrove. Kelompok ini bertujuan untuk melakukan rehabilitasi mangrove di kawasan minawana maupun di kawasan tambak milik. Walaupun baru berumur 2 tahun kelompok ini cukup dikenal masyarakat karena malakukan aksi langsung rehabilitasi mangrove di tambak milik (bukan milik Perum Perhutani). Saat ini kelompok ini memiliki tambak percontohan rehabilitasi mangrove di tambak milik. Dengan demikian, Kelompok Cinta Mangrove ini lebih dikenal masyarakat dibanding LMDH karena aksi nyata dilapangan dan adanya sosialisasi rutin dari masyarakat (Tabel 26). Tabel 26 Persentase pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan manfaat KUD, LMDH dan Kelompok Cinta Mangrove Organisasi LMDH - Penanaman mangrove - Pengawasan mangrove Kelompok Cinta Mangrove - Penanaman mangrove - Pengawasan mangrove KUD - simpan pinjam - pemasaran - perbaikan jalan/jembatan - santunan - komisi Sumber: Hasil analisis 2012
% responden 4.84 4.84 20.97 20.97 75.81 100.00 100.00 100.00 100.00
67
Berdasarkan Tabel 26 dapat diketahui bahwa hampir seluruh masyarakat mengetahui dan memahami akan fungsi dan keberadaan KUD. Hal ini tidak terlepas dari fungsi dan manfaat yang sangat besar terhadap masyarakat terutama penggarap tambak sebagai tempat menampung dan memasarkan hasil panen anggota (harian maupun musiman). KUD selain tempat pemasaran ikan/udang juga berperan dalam kegiatan perbaikan jembatan atau saluran/kalen di kawasan minawana. KUD juga menyediakan unit Simpan Pinjam bagi anggota dan santunan bagi anggota jika sakit ataupun mengalami musibah. 5.5. Perbaikan Pengelolaan Minawana Perbaikan ekologi dan penerapan (improvement) bioteknis pengelolaan minawana merupakan hal yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ekosistem mangrove. Untuk menjamin perbaikan ekologi dan penerapan
bioteknis
diperlukan perbaikan pengelolaan minawana. Dengan demikian diperlukan desain kelembagaan yang adaptif didasarkan pada karakteristik sumberdaya, lingkungan maupun pengelolaannya. Dengan demikian, untuk mewadahi kepentingan masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat, maka perlu diperbaiki kelembagaan yang ada. Setidaknya ada tiga hal penting yang harus mendapatkan kesepakatan dari para pemangku kepentingan tersebut yaitu format lembaga, mekanisme pengambilan keputusan, dan kewenangan lembaga (Rudiyanto 2011): Berdasarkan uraian diatas, maka perlu disusun suatu pola pengelolaan (kelembagaan) kawasan minawana yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya. Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana menjadi langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Organisasi pengelolaan ini terkait dengan pihak/lembaga apa saja yang terlibat dalam pengelolaan. Selain itu, masing-masing pihak yang terlibat memiliki fungsi dan peran masing-masing di dalam pengelolaan. 5.5.1. Format Lembaga Sesuai
Keputusan
Ketua
Dewan
Pengawas
Perum
Perhutani
No.136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Pada program PSDHBM ini masyarakat desa hutan
68
(MDH) dan Perum Perhutani diberikan kesempatan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya hutan. PSDHBM ini kemudian diperbaharui dengan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyrakata. PHBM ini berdasarkan Keputusan Direksi Perum Perhutani No.682/KPTS/DIR/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat. LMDH dan Perhutani bekerjasama dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang diikat dengan akta kerjasama yang diaktenotariskan. Oleh karena itu, LMDH memiliki peran penting dalam pelaksanaan pengelolaan di lapangan (operasional) yang tentunya anggota dan pengurusnya diangkat oleh masyarakat. LMDH adalah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa yang berada didalam atau disekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya (Awang et al. 2008). Selain itu, LMDH mangrove berbeda dengan LMDH yang lainnya yang berbasis daratan. LMDH mangrove ini memiliki keunikan sumberdaya yang akan dikelola, yaitu hutan mangrove dan sumber daya perairan (tambak). Keunikan ini didasarkan pada, keterikatan yang kuat antar satu lokasi dengan lokasi lainnya. Misalnya, jika terjadi pencemaran di satu tempat, maka kemungkinan besar akan berdampak ditempat lainnya. Dengan demikian, jika salah satu yang rusak maka akan sangat berdampak ke lokasi yang lain. Selama ini (di lokasi kajian) anggota LMDH adalah terbatas pada anggota masyarakat yang memiliki hak garapan di RPH Tegal-Tangkil. Demikian juga dengan pengurus diangkat dan diberhentikan oleh Perhutani. Hal ini berbeda dengan konsep yang diajukan oleh Awang et al. (2008) bahwa keanggotaan LMDH seharusnya melibatkan berbagai pihak yang baik secara langsung berhubungan dengan pemanfaatan hutan (mangrove) ataupun tidak. Pihak yang terlibat menurut Awang et al. (2008) antara lain: Masyarakat Desa Hutan, Pemerintah Desa, Perum Perhutani, dan Dinas/instansi terkait. Untuk itu, selain perbaikan struktur organisasi pengelolaan, perbaikan LMDH mutlak diperlukan. Langkah-langkah dalam perbaikan LMDH RPH Tegal-Tangkil adalah: 1) Seleksi Masyarakat Pengguna Hutan Penyeleksian terhadap masyarakat pengguna hutan penting dilakukan untuk mengetahui kelompok masyarakat yang memiliki ketergantungan hidup
69
terhadap ekosistem mangrove. Masyarakat yang memanfaatkan ekosistem mangrove di RPH tegal-tangkil dibagi kedalam 2 kelompok yaitu: kelompok penggarap tambak dan kelompok penangkap ikan dan biota lainnya. Kelompok penggarap tambak merupakan masyarakat yang memiliki hak garapan empang yang diperoleh baik langsung dari Perum Perhutani maupun hak yang diturunkan dari orang tua ataupun penggadaian dan bahkan dari proses jual beli. Kelompok penangkap ikan dan biota lainya terdiri dari kelompok penangkap kepiting, penangkap wideng, penangkap belut, penangkap ular, penangkap burung dan lain-lain. Selama ini anggota LMDH adalah kelompok penggarap tambak. 2) Perbaikan Visi dan Misi Bersama Perbaikan visi dan misi diperlukan untuk menyatukan tujuan bersama dalam pengelolaan minawana RPH Tegal-tangkil. Dengan demikian, masyarakat (anggota LMDH) memiliki visi dan tujuan yang sama terhadap pemanfaatan dan pengelolaan minawana 3) Perbaikan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Sebagai organisai yang sah dan memiliki aspek kekuatan hukumdalam pengelolaan minawana maka perlu adanya Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Perbaikan AD/ART ini diperlukan untuk menjamin dan menetapkan peranan masing-masing anggota terhadap pengelolaan minawana. Selain itu, didalam AD/ART diatur hal-hal yang mendasar dalam sebuah organisasi, termasuk keanggotaan dan kepengurusan LMDH serta hak dan kewajiba masing-masing anggota dan pengurus. 4) Penataan Administrasi Penataan administrasi sangat penting, sehingga organisasi berjalan sesuai dengan AD dan ART serta program-program yang dibuat. Dengan penataan administrasi ini, diharapakan LMDH ini akan memiliki tata administrasi yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. 5) Membangun Pusat Informasi Pusat informasi sangat penting sebagai media untuk menyebarluaskan program yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Saat ini pusat informasi pada masing-masing LMDH di RPH Tegal-Tangkil tidak ada. Bahkan, kantor
70
ataupun papan informasi tentang LMDH tidak ada. Untuk itu, perlu membangun pusat informasi pada masing-masing LMDH di RPH TegalTangkil yang berupa pembangunan/pembuatan: a) Saung LMDH. Saung ini nantinya sebagai tempat untuk melakukan diskusi, penyuluhan atau kegiatan lain terkait dengan pengelolaan kawasan minawana. Saung dapat dibangun dimasing-masing petak tambak tempat biasa para masyarakat berkumpul. b) Papan informasi, berisi: monografi LMDH, foto kegiatan, data potensi, informasi dan agenda kegiatan LMDH, papan pengumuman, dll. c) Poster, berisi foto dan slogan d) Kalender lembaga, berisi: profil, kegiatan internal, peran para pihak, potensi pangkuan, kegiatan ekonomi produktif, kontribusi LMDH. Pada kalender juga ditulis visi dan lambang LMDH. e) Leaflet, berisi: profil LMDH dan perjalanan LMDH 6) Pendidikan dan Latihan Organisasi Pendidikan dan latihan (diklat) merupakan satu bentuk pelatihan untuk mengetahui pemahaman anggota tentang manajemen organisasi. Diklat dilakukan dalam berbagai permainan yang memuat nilai atau aspek dalam manajemen organisasi. Diklat menjadi penggambaran aktivitas pengelolaan LMDH yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan individu ataupun kelompok. 7) Pengembangan Ekonomi Pengembangan ekonomi LMDH adalah suatu usaha pengembangan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan ekonomi lembaga dan masyarakat. Manfaatnya
untuk
mendorong
peningkatan
kekayaan
lembaga
dan
meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Mengingat, di RPH tegal-Tangkil sudah ada KUD pada masing-masing desa, maka LMDH memerlukan kerjasama yang baik dengan KUD. Berdasarkan uraian diatas, maka perbaikan organisasi LMDH juga perlu diperbaiki. Perbaikan Organisasi LMDH disajikan pada Gambar 18.
71
Rapat Anggota
Pemerintah Desa
Perhutani/KPH Purwakarta
Ketua FK PHBM Desa
Instansi/lembaga terkait
Sekretaris
Sie Perencanaan Program
Bendahara
Sie Humas dan Organisasi
Sie Bagi Hasil
Sie Keamanan
Sie Budidaya
Anggota komando koordinasi
Gambar 18. Struktur organisasi LMDH (Sumber: modifikasi Awang et al. 2008)
5.5.2. Mekanisme Pengambilan Keputusan LMDH sebagai sebuah lembaga yang melibatkan banyak orang, tentu memiliki kepentingan masing-masing. Untuk itu, perlu ditetapkan mekanisme pengambilan
keputusan
dan
dicantumkan
dalam
AD/ART.
Mekanisme
pengambilan keputusan dapat berupa musyawarah-mufakat, pemungutan suara atau kombinasi keduanya. Pengambilan keputusan diusahakan secara musyawarah mufakat dan jika tidak dicapai kemufakatan maka keputusan diambil dengan suara terbanyak. Jika, suara seimbang keputusan diserahkan kepada kebijaksanaan pimpinan sidang. Selain itu, ada hal lain yang perlu dijelaskan sejak awal bahwa siapa sajakah yang dapat mengambil keputusan dan hal-hal apa saja yang dapat diputuskan. Dengan demikian, pengambilan keputusan dibagi kedalam 3 kelompok yaitu: Rapat Umum Anggota (RUA), pengurus dan ketua. RUA merupakan pertemuan antara anggota, pengurus, pembina dan undangan. Pengambilan keputusan pada tingat RUA adalah: 1) perubahan AD/ART,
72
2) pemilihan ketua dan pertanggung jawaban ketua 3) iuran anggota. 4) meninjau dan mengevaluasi jalannya program kerja pengurus 5) menetapkan program kerja yang dibuat oleh pengurus 6) RUA dilaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan dalam AD/ART. Pengambilan keputusan pada tingkat pengurus adalah: 1) Pembuatan/perbaikan saluran, jalan, jembatan, dan prasarana lainnya 2) Pegangkatan dan pemberhentian anggota 3) Penanaman mangrove atas persetujuan Perum Perhutani Sementara itu, pengambilan keputusan pada ketua LMDH terkait dengan: 1) Susunan dan tugas pengurus 2) Kerjasama dengan pihak asing, seperti pengadaan benih/benur, pupuk dan atau kegiatan penyuluhan yang terkait dengan pengelolaan/pemanfaatan minawana 3) Penyediaan bibit mangrove 5.5.3. Kewenangan LMDH Sebagai pemilik penuh kawasan minawana, Perhutani tentunya memiliki otoritas penuh terhadap kebijakan pengelolaan. Untuk itu, Perhutani melalui KPH Purwakarta memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil dan menetapkan kebijakan pengeloaan sesuai amanat PP No.72 Tahun 2010 pada pasal 3. Akan tetapi, melalui peraturan pemerintah tersebut Perhutani juga memiliki kewajiban untuk melibatkan masyarkat untuk ambil bagian dalam pengelolaan yang ditetapkan oleh Perhutani (Pasal 7 ayat 6). Oleh karena itu, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya pemberian wewenang (delegasi kekuasaan) terhadap Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Pemberian kewenangan ini seharusnya dituangkan dalam struktur organisasi pengelolaan yang jelas antara Perhutani dengan LMDH sebagai organisasi resmi yang mengatur pengelolaan di lapangan. Walaupun LMDH yang memiliki kewenangan pengelolaan di RPH TegalTangkil, akan tetapi kekuatan lokal sepenuhnya yang akan diikuti penggarap tambak adalah anjuran dari KUD. Hal ini dikarenakan ketergantungan masyarakat terutama penggarap tambak terhadap KUD. Hal ini didasarkan pada peran KUD
73
yang sangat besar terhadap peningkatan ekonomi penggarap tambak. Hal ini terkait dengan peran KUD yang menampung hasil produksi dari kegiatan minawana. Selain itu, KUD juga merupakan wadah untuk kegiatan simpan pinjam, perbaikan jalan, pemberian santunan dan komisi yang didapatkan oleh penggarap tambak pada setiap tahun. Akan tetapi, kedepan KUD hanya memiliki kewenangan terhadap kegiatan pemasaran dari hasil produksi minawana. Terkait dengan perbaikan jalan ataupun saluran dan bahkan penyediaan penyuluhan kegiatan budidaya menjadi tanggung jawab LMDH.
Untuk itu, penulis
mengusulkan skematik organisasi pengelolaan kawasan minawana RPH TegalTangkil seperti terlihat pada Gambar 17.
Gambar 19 Organisasi pengelolaan kawasan minawana (sumber: Hasil analisis 2012).
5.6. Perbaikan Pengelolaan Kawasan Minawana Perbaikan pengelolaan kawasan minawana adalah perbaikan dalam aturan main pengelolaan. Aturan main ini terkait dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap pengelolaan minawana. Selain itu, tentunya sanksi atau imbalan apa yang diperoleh jika melanggar aturan yang ditetapkan. Berdasarkan studi kasus pola pengelolaan perikanan yang berbasisi masyarakat di Vietnam, maka pola pengelolaan yang baru ini mengadopsi dari Ruddle (1998). Pola pengelolaan ini sendiri terdiri dari 5 komponen pola pengelolaan pesisir, yaitu: kewenangan (authority), tata aturan (rules), hak (right), pemantauan dan kontrol (monitoring), kewajiban dan tanggung jawab (accountability), pelaksanaan
74
(enforcement), dan sanksi (sanctions). Secara rinci kelima komponen tersebut akan diuraikan pada pembahasan berikut ini. 5.6.1. Kewenangan Pengelolaan (authority) Pada pengelolaan suatu sumberdaya alam, diperlukan suatu kejelasan pihak atau lembaga yang memiliki kewenangan dalam pemanfataan atau perlindungan sumberdaya alam agar tetap lestari termasuk pengelolaan mangrove. Hutan mangrove di kawasan pantai Subang bagian utara berada di bawah otoritas pengelolaan RPH Tegal-Tangkil BKPH Ciasem-Pamanukan, KPH Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat - Banten. Sejak tahun 1986 BPKH Ciasem Pamanukan telah menerapkan strategi Perhutanan Sosial (PS). Pelaksanaan Perhutanan Sosial dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif sebagai penggarap tambak. Disisi lain penggarap tambak wajib memelihara ekosistem mangrove. Pola ini kemudian disempurnakan pada tahun 1988 dengan program minawana (Perum Perhutani 1984). Sejak tahun 2001, sebagai keberlanjutan dari program Perhutanan Sosial dilanjutkan dengan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan maupun dengan pihak lain yang berkepentingan (stakeholder). PHBM ini dengan maksud berbagai peran antara Perum Perhutani dengan LMDH. Dengan demikian, kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Dasar Hukum Perum Perhutani sendiri ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978,
kemudian
disempurnakan/diganti
berturut-turut
dengan
Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1986, Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2001, dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2003. Saat ini pengelolaan perusahaan Perum Perhutani dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Beradasarakan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perusahaan untuk melakukan Pengelolaan Hutan di Hutan Negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten,
75
kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (pasal 3 ayat 1). Pada pasal 7 PP No 72 Tahun 2010 ayat (1) disebutkan Perusahaan menyelenggarakan kegiatan Pengelolaan Hutan sebagai ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, dan ekonomi, bagi perusahaan dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan nasional dan daerah, yang dituangkan dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) yang disusun oleh Perusahaan dan disetujui oleh Menteri Teknis atau pejabat yang ditunjuk. Upaya melibatkan masyarakat sekitar hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan dengan cara : a) memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan, pendampingan, pelayanan, bantuan teknik, pendidikan, dan/atau pelatihan; b) menyebarluaskan informasi mengenai proses pengelolaan hutan kepada masyarakat secara terbuka; dan c) masyarakat dilibatkan pada pelaksanaan pengelolaan hutan, sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara, maka pengelolaan hutan merupakan kegiatan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi, dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam. Oleh karena itu, ekosistem mangrove (hutan bakau) di wilayah pantai utara Subang (termasuk RPH Tegal-Tangkil) menjadi wilayah pengelolaan Perum Perhutani dalam hal ini KPH Purwakarta, BKPH Ciasem-Pamanukan. Hasil wawancara tentang pemahaman dan pengetahuan petambak terhadap kewenangan pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil sepenuhnya dibawah kewenangan Perhutani/BKPH Ciasem-Pamanukan (100%). Akan tetapi walaupun
masyarakat
mengakui
bahwa
kawasan
minawana
merupakan
kewenangan Perhutani, boleh melakukan kegiatan budidaya (bagi yang memiliki hak garapan) dan melakukan penangkapan kepiting, wideng, belut, ular dan burung. Bahkan penggarap tambak banyak yang melakukan penebangan dan
76
modifiksi terhadap tambak. Selain itu, banyak terjadi jual beli hak garapan diluar sepengetahuan pihak Perhutani. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1) Pada awalnya empang dijadikan sebagai jaminan oleh penggarap tambak kepada orang lain (penggadai) untuk meminjam uang. Akan tetapi jika tidak terbayar empang tersebut menjadi hak garapan pihak penggadai yang tidak dilaporkan kepada pihak Perhutani 2) Penggarap tambak dengan sengaja menjual hak garapan kepada pihak lain tanpa sepengetahuan oleh pihak Perhutani Pada umumnya penggarap tambak memperoleh hak garapan tambak berasal dari jual beli (44.44%) dan hak yang diturunkan oleh orang tua (37.04%). Penggarap tambak yang langsung memperoleh izin garapan dari Perhutani hanya 11.11%% sedangkan sisanya diperoleh melalui hasil gadaian dari pihak lain (7.41%). Untuk selengkapnya perolehan hak garapan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Perolehan hak garapan empang di RPH Tegal-Tangkil Perolehan empang Langsung dari Perhutani Hak yang diturunkan dari orang tua Jual-beli empang Gadai Total Sumber: Hasil analisis 2012
% responden 11.11 37.04 44.44 7.41 100.00
Perolehan hak garapan dari pembelian ataupun warisan memberikan dampak yang berbeda jika diperoleh langsung dari Perhutani. Penggarap tambak yang memperoleh hak garapan dari Perhutani pada umumnya berkomitmen untuk tetap mempertahankan mangrove dibanding dengan jika didapatkan dari warisan atau dari proses jual-beli. Oleh karena itu, penebangan atau modifikasi empang biasanya dilakukan oleh penggarap tambak yang memperoleh empang dari jual beli. Hal ini dikarenakan mereka merasa empang tersebut adalah miliknya, walaupun masih mengakui tanah tersebut milik Perhutani. Selain itu, maraknya penebangan dan modifikasi empang adalah ketidaktahuan masyarakat tentang fungsi dan peranan Perhutani terhadap pengelolaan hutan Negara. Oleh karena itu, melihat permasalahan yang terjadi saat ini, hal yang perlu dilakukan oleh pihak Perhutani antara lain:
77
1) Sosialisasi mengenai fungsi dan peranan Perhutani terhadap kelestarian mangrove. 2) Sosialisasi
bagaimana
peranan
(kontribusi)
masyarakat
terhadap
pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya mangrove. 3) Sosialisasi fungsi dan peranan LMDH terhadap pengelolaan ekosistem mangrove. 4) Pemberian kewenangan kepada LMDH sebagai mitra Perhutani dalam pengelolaan minawana di RPH Tegal-Tangkil mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi bersama Perhutani (Kep. Dir Perum Perhutani N0. 682/KPTS/DIR/2009). 5) Perbaikan organisasi LMDH baik dari keaggotaan, AD/ART, visi/misi atau hal lainnya sesuai standar organisasi yang memiliki badan hukum. 6) Pengangkatan pengurus LMDH oleh masyarakat bukan oleh Perhutani. Perhutani hanyalah kontrol terhadap kinerja pengurus LMDH terkait dengan kelestarian mangrove. Jika misalnya suatu kawasan mangrove adalah bukan milik Negara, maka kewenangan pengelolaan seharusnya diserahkan kepada kelompok masyarakat. Pemberian kewenangan kepada kelompok masyarakat tersebut harus dituangkan (dilegalkan) dalam peraturan. Pada dalam peraturan tersebut harus dituangkan dengan jelas fungsi dan peranan kelompok masyarakat terhadap pengelolaan. Selain itu, dituangkan kontrol (peranan) pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya tersebut. Hal ini untuk memperkuat posisi kelompok pengelola terhadap pengelolaaan sumberdaya mangrove. 5.6.2. Sistem Tata Aturan (rules) Aturan/regulasi merupakan salah satu sistem kelembagaan yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan minawana RPH TegalTangkil. Pada kasus penelitian ini aturan main dalam pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya mangrove (minawana) adalah aturan yang yang dibuat oleh Perhutani sebagai pihak yang memiliki kewenangan penuh terhadap kawasan minawana. Tentunya aturan tersebut juga disosialisasikan dan disepakati dengan masyarakat (LMDH). Masyarakat sebagai rekanan perhutani dalam memanfaatkan kawasan
78
minawana hanya dapat memanfaatkan kawasan sesuai dengan peruntukannya. Masyarakat tidak dilibatkan dalam pembuatan sistem aturan karena wilayah minawana tersebut adalah tanah Negara yang dikuasakan pengelolaannya kepada Perhutani. Jadi masyarakat penggarap tambak wajib untuk mengikuti aturan yang ada baik suka maupun tidak jika ingin memperoleh hak garapan. Berdasarkan perjanjian awal pada saat pemberian hak garap oleh Perhutani, disebutkan bahwa tidak boleh menebang/memodifikasi tambak yang sudah ada. Bahkan disebutkan bahwa penggarap tambak wajib menjaga kelestarian hutan. Pada buku anggota pemegang hak garap juga disebutkan bahwa setiap
penggarap tambak memiliki kewajiban untuk membayar hak garapan.
Pembayaran dilakukan setiap tahun dan akan diperpanjang jika masih berniat dan mampu untuk menggarap. Jika tidak mampu menggarap lagi maka, penggarap tambak wajib mengembalikan garapan ke Perhutani dan Perhutani akan memberikan kepada pihak lain. Hal yang menjadi masalah saat ini adalah telah terjadi penjualan hak garapan antar anggota tanpa sepengetahuan Perhutani (diketahui namun terkesan dibiarkan). Harga tambak minawana yang diperjualkan saat ini berkisara antara Rp 30 juta/ha – Rp 70 juta/ha. Selain itu terjadi penebangan tanaman mangrove baik sengaja maupun tidak sengaja oleh penggarap. Sebanyak 66.67 % responden mengakui melakukan penebangan mangrove. Penebangan ini terkait dengan memperluas areal budidaya dengan harapan meningkatkan produksi perikanan. Penggarap tambak yang melakukan modifikasi dan jual-beli masing-masing mencapai 66.67% dan 44,44%. Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap sistem aturan main di RPH Tegal-Tangkil disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Kondisi dan persepsi penggarap terhadap sistem aturan main di RPH Tegal-Tangkil Aturan main Pembayaran iuran
Kondisi lapangan Pembayaran iuran dilakukan oleh penggarap tambak setiap tahun Tidak boleh melakukan Beberapa penggarap tambak melakukan penebangan penebangan mangrove untuk memperluas areal budidaya Tidak boleh melakukan Beberapa penggarap tambak melakukan modifikasi modifikasi empang untuk memperluas areal budidaya Tidak boleh melakukan Beberapa penggarap tambak melakukan jual-beli empang jual-beli untuk mendapatkan hak garapan tanpa sepengetahuan pihak Perhutani Sumber: Hasil analisis 2012
%responden 100.00 66.67 66.67 44.44
79
Berdasarkan uraian diatas untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam keberlanjutan pengelolaan mangrove antara lain dapat dilakukan dengan: 1) Mempertegas penegakan hukum dan penerapan sanksi 2) Perbaikan terhadap proporsi luasan mangrove terhadap tambak. Proporsi yang ditetapkan adalah perbandingan empang parit 60% mangrove dan 40% tambak/empang. Perbaikan proporsi mangrove dan tambak menjadi tanggung jawab masing-masing penggarap tambak, yang dikoordinasikan oleh LMDH masing-masing. Adapun bibit mangrove disediakan oleh LMDH yang bekerjasama dengan Perum Perhutani. Untuk itu, penggarap tambak wajib memlihara mangrove tersebut dan hanya diperbolehkan untuk memangkas bukan untuk menebang. Penebangan pohon dapat dilakukan setelah umur 25 tahun dan wajib ditanam kembali. 3) Penetapan kawasan jalur hijau. Adapun jalur hijau pada sempadan pantai adalah minimal 130 m dari bibir pantai dan sempadan sungai minimal 50 m dari bibir sungai. Penanaman mangrove pada jalur hijau diserahkan kepada kelompok penangkap ikan dan biota lainnya yang dikoordinasikan oleh LMDH. Dengan demikian, kelompok penangkap ikan dan biota lainnya wajib untuk memlihara mangrove dan berhak untuk memanfaatkan hasil perikanannya seperti udang, kepiting, ular, belut, dll. Untuk mempermudah koordinasi seharusnya dibuat kelompok kecil sesuai dengan petak tambak dan masing-masing sub kelompok memiliki koordinator kelompok. Adapun bibit mangrove disediakan oleh LMDH yang bekerjasama dengan Perum Perhutani. 4) Perbaikan kanal air, jalan, jembatan dan prasarana lainnya menjadi tanggung jawab LMDH. Perbaikan kanal air, hendaknya dilakukan minimal sekali dalam 5 tahun. Perbaikan jalan, jembatan dan prasarana lainnya tergantung kondisi dan kebutuhan. Dana untuk perbaikan/pembuatan saluran dan jalan serta prasarana lainnya adalah dari iuran anggota dan atau bantuan dari Perum Perhutani. Selain itu, dana tersebut dapat berasal dari pihak lain yang ingin berkontribusi, baik dalam bentuk dana hibah ataupun dana sosial dari perusahaan 5) Pembuatan bak penampungan air (tandon), penerapan GAP dan perwilayahan komoditas harus dilakukan untuk meningkatkan produksi. Pembuatan bak
80
penampungan air (tandon) serta perawatannnya, penerapan GAP dan perwilayahan komoditas menjadi tanggung jawab masing-masing penggarap tambak. LMDH memiliki hak untuk memaksakan pembuatan tandon, penetapan GAP dan penerapan perwilayahan komoditas. LMDH juga memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan/mengadakan penyuluhan (bimtek/diklat) terkait peningkatan produksi perikanan. Segala kegiatan yang berhubungan dengan penyuluhan (bimtek/diklat) terhadap anggota LMDH harus diketahui/disetujui oleh pengurus LMDH 6) Pelibatan masyarakat terhadap program kelestarian mangrove. Mangrove yang ditanam di sekitar empang menjadi tanggung jawab masing-masing penggarap tambak. Mangrove yang ditanam pada sempadan pantai dan sungai (green belt) menjadi tanggung jawab penangkap ikan dan biota lainnya. Masingmasing penggarap tambak dan penangkap ikan dan biota lainnya dibuat dalam kelompok petak tambak yang dibawah koordinasi LMDH. 7) Segala kegiatan yang dilakukan oleh pihak asing terhadap kegiatan di kawasan minawana harus seijin dari pengurus LMDH. Selanjutnya harus disampaikan kepada Perhutani 8) Tidak boleh melakukan jual-beli dan penggadaian hak garapan. Jika sudah tidak sanggung untuk mengelola tambak diserahkan ke Perhutani, kemudian Perhutani yang menentukan siapa yang berhak untuk mengelola tambak. Jika pemindahan hak garapan karena meninggal harus sepengetahuan dan persetujuan Perhutani. 9) Tidak boleh melakukan penebangan, modifikasi dan kegiatan yang merusak mangrove dan perairan sekitarnya. 10) Setiap masyarakat yang memanfaatkan kawasan minawana dikenakan biaya/pajak, kecuali kegiatan penelitian. Nilai dan besaran biaya/pajak ditentukan oleh rapat anggota. Dalam hal ini, Perhutani juga menetapkan biaya sewa sesuai keputusan dewan direksi. 5.6.3. Sistem Hak (right) Kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil merupakan sumberdaya yang dikuasai oleh pemerintah (Negara). Oleh karena itu, kawasan ini merupakan sumberdaya yang dimiliki oleh Negara dalam hal ini hak pengelolaannya
81
diserahkan pada Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten. Seperti yang diungkapkan oleh Nikijuluw (2002), kawasan yang dikelola oleh pemerintah
akan
memunculkan berbagai konflik di masyarakat, seperti terjadinya kerusakan sumberdaya, konflik antar kelas sosial masyarakat, kemiskinan yang terus dirasakan oleh masyarakat pesisir, dan lain-lain. Melihat hal tersebut sejak tahun 1986 oleh Perhutani, kawasan yang dulunya hutan mangrove dijadikan tambak yang berdampingan dengan hutan yang disebut empang-parit (minawana). Sejak saat itu, masyarakat di sekitar hutan diberikan hak garap untuk memanfaatkan empang parit dimana masyarakat dapat melakukan budidaya tanpa merusak hutan (mangrove). Pada awalnya hak pengelolaan minawana (hak garap) adalah maksimum 2 ha/KK. Berdasarkan perjanjian awal yang tertuang dalam buku anggota pemegang hak garap disebutkan bahwa setiap penggarap tambak memiliki hak garap tambak dan hasilnya. Hak garap ini pada awalnya adalah 1 tahun dan diperpanjang setiap tahun. Dengan demikian masyarakat dapat memanfaatkan empang dengan tidak merusak mangrove. Hasil wawancara dengan penggarap tambak didapatkan bahwa 100 % penggarap tambak mengakui memperoleh hak garapan berupa hasil perikanan baik budidaya maupun udang harian. Kondisi dan persepsi masyarakat terhadap sistem hak disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap sistem hak di RPH Tegal-Tangkil Hak Memperoleh hasil perikanan Luas garapan maksimal 2 ha
Kondisi lapangan Penggarap tambak memperoleh hasil perikanan dari kegiatan budidaya dan udang harian Banyak penggarap tambak yang memiliki luas garapan lebih dari 2 ha, yang diperoleh dari proses jual beli hak garapan tanpa sepengetahuan Perhutani Banyak penggarap tambak yang berasal dari luar desa terdekat
%responden 100.00
Hak garapan diperoleh oleh penduduk domisili desa terdekat Sumber: Hasil analisis 2012
48.15
30.00
Pada saat ini, ada beberapa penggarap tambak yang memiliki tanah garapan
hingga
20
ha.
Hal
ini
terjadi
karena
penggarap
tambak
menjual/menggadaikan tanah garapannya kepada pihak lain tanpa sepengetahuan pihak Perhutani. Selain itu, tanah timbul di pantai (hasil sedimentasi) sudah dijadikan tambak yang seharusnya menjadi sempadan pantai. Oleh karena itu,
82
dilakukan upaya perbaikan oleh Perhutani terkait dengan hak-hak masyarakat terhadap wilayah mangrove, antara lain: 1) Melakukan pendataan terhadap penggarap tambak terkait kondisi dan luasan lahan garapan. 2) Pembatasan hak guna garap dan domisili penggarap tambak. Seperti konsep awal masing-masing penggarap tambak hanya dapat tanah garapan maksimal 2 ha dan berdomisili pada desa administrasi lahan minawana. 3) Masyarakat penggarap tambak berhak melakukan budidaya ikan/udang sesuai dengan perwilayahan komoditas dan GAP yang telah ditetapkan. Penggarap tambak juga berhak untuk hasil tangkapan udang harian dari tambak yang dikelolanya. 4) Masyarakat non penggarap tambak berhak melakukan penangkapan kepiting, wideng, belut, ular, burung, dan biawak. Penangkapan terhadap kepiting, wideng, belut, ular, burung, dan biawak dengan cara yang tidak merusak lingkungan, baik mangrove maupun perairan sekitarnya. Khusus penangkapan terhadap burung adalah burung yang tidak dilindungi. Masyarakat yang boleh melakukan penangkapan adalah anggota LMDH yang terdaftar pada masingmasing wilayah LMDH. 5) Penampungan dan pemasaran hasil produksi dan hasil tangkapan dilakukan di KUD
masing-masing
administrasi
LMDH.
Hal
ini
dengan
tujuan
mengendalikan harga pada saat panen maupun paceklik. Selain itu, untuk mempermudah evaluasi terhadap hasil produksi dan hasil tangkapan di kawasan minawana setempat. 6) Pengurus dan anggota LMDH berhak untuk menegur, melaporkan ke pihak yang berwajib dan mencegah pihak-pihak yang akan melakukan perusakan mangrove dan perairan sekitarnya. 5.6.4. Sistem Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi merupakan aktivitas pengamatan yang dilakukan secara terus-menerus terhadap pelaksanaan aturan yang telah dibuat. sistem monitoring akan memberikan kontrol yang berkualitas dalam pelaksanaan pengelolaan suatu sumberdaya, mengidentifikasi tantangan operasional dan melaporkan keberhasilan atau kegagalan dari intervensi pengelolaan untuk
83
menyelesaikan masalah (Ostrom 2011). Pemanfaatan sumberdaya pesisir biasanya dikontrol oleh kewenangan tradisi yang secara alami mencerminkan organisasi masyarakat dan pemilik hak (ownership). Agar hak-hak dapat diterapkan perlu adanya monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan aturan. Sedangkan bagi yang melanggar akan terkena sanksi hukumnya. Selanjutnya
Ostrom (2011)
mengemukakan bahwa pemantauan haruslah bertujuan menciptakan kepastian hukum dan alat kendali pelaksanaan kegiatan. Lebih lanjut Ruddle (1998) mengemukakan bahwa pemantauan merupakan kontrol terhadap pelaksanaan sistem aturan yang ditetapkan. Pelaksanaan pemantauan terhadap aturan di kawasan RPH Tegal-Tangkil dilaksanakan oleh Perhutani sebagai pemegang otoritas dan hak pengelolaan. Pemantauan ini dilakukan oleh Asisten Perhutani (Asper) yang ditempatkan disetiap BKPH. Pada dasarnya pemantauan ini dilakukan terhadap kegiatan yang merusak mangrove, terutama kegiatan penebangan baik dari penggarap tambak maupun masyarakat pencari kayu di sekitar hutan. Petugas lapangan yang melakukan pemantauan, terdiri dari 3 orang mandor yaitu mandor tanam, mandor tebang dan mandor keuangan. Ketiga mandor tersebut dibantu oleh pengurus LMDH yang ditunjuk oleh Perhutani Mandor
tanam
bertugas
mengawasi/memantau
terhadap
program
rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh Perhutani maupun penggarap tambak termasuk pihak luar/swasta (perorangan maupun kelompok) yang bersedia berkontribusi terhadap rehabilitasi mangrove. Mandor tebang berfungsi untuk memantau/mengawasi masyarakat terhadap kegiatan penebangan mangrove. Mandor keuangan lebih fokus pada pengambilan uang sewa garapan lahan minawana. Pada awalnya pemantauan dilakukan hampir setiap hari dan bekerjasama dengan KTH (LMDH zaman dulu). Akan tetapi seiring dengan perubahan waktu hingga saat ini pemantauan sangat jarang dilakukan oleh mandor sehingga sangat sering terjadi pelanggaran di lapangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan penggarap tambak terhadap kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh pihak Mandor, menyebutkan bahwa tidak ada responden (0.00%) yang melihat mandor melakukan pemantauan langsung dilapangan setiap hari ataupun setioap minggu. Responden hanya melihat mandor
84
melakukan pemantauan sesekali tiap bulan dan itupun hanya 5,56 % yang menyatakan melihat mandor melakukan pemantuan. Pemantauan yang rutin dilakukan oleh para mandor adalah setiap tahun, ketika akan mengambil retribusi dari penggarap tambak. Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap pemantauan yang dilakukan oleh mandor di lapangan disajikan pada Tabel 30. Tabel 30
Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap pemantauan yang dilakukan oleh mandor di lapangan
Monitoring Kondisi lapangan Setiap hari Tidak dilakukan Setiap minggu Tidak dilakukan Setiap bulan Sangat jarang dilakukan Setiap tahun Hal ini dilakukan pada saat pengambilan retribusi Sumber: Hasil analisis 2012
% responden 0.00 0.00 5.56 100.00
Dengan melihat permasalahan diatas, hal-hal yang harus dilakukan oleh pengelola terkait dengan monitoring antara lain: 1) Pemberian kewenangan kepada LMDH (melibatkan pengurus LMDH) terkait dengan pemantauan pelaksanaan aturan yang berkaitan dengan kelestarian mangrove, seperti: reboisasi, penebangan dan modifikasi empang dan pemindahan hak garap. 2) Pemantauan dan kontrol terhadap pelaksanaan GAP dan perwilayahan komoditas menjadi tanggung jawab LMDH 3) Pemantauan dan kontrol terhadap penangkapan kepiting, wideng, belut, ular, dan burung menjadi tanggung jawab LMDH 4) Para mandor hendaknya berkoordinasi dengan LMDH terkait dengan permasalahan empang dan produksi perikanan. 5) Kegiatan pemantauan dari Asper hendaknya minimal dilakukan seminggu sekali dan dilakukan diskusi dengan penggarap tambak terkait permasalahan minawana terutama terhadap kelestarian mangrove 6) Penambahan staff (polisi hutan) untuk meningkatkan pengawasan di kawasan RPH Tegal-Tangkil 5.6.5. Sistem Sanksi (sanctions) Menurut Ostrom (2011) sistem sanksi merupakan kontrol sosial terhadap penegakan hukum atau aturan untuk keberlanjutan kelembagaan/organisasi. Untuk
85
menjaga agar nilai, norma, dan aturan‐aturan itu dapat tetap terpelihara, terjaga dan dijadikan pedoman berkehidupan bagi masyarakat pendukungnya maka pelaksanaannya disertai dengan sanksi (baik sanksi positif maupun sanksi negatif). Akan tetapi menurut Ruddle (1998) sanksi yang paling baik terhadap penyalahgunaan aturan adalah adanya sanksi moral yang dimiliki oleh masyarakat, terutama di daerah Asia Timur. Ketidaktaatan terhadap norma atau perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku menyebabkan seseorang dikenai sanksi. Bentuk sanksi terhadap pelanggaran norma dapat berupa tindakan (hukuman) dan bisa berupa sanksi sosial yang lebih sering ditunjukkan dalam bentuk sikap, seperti penolakan atau tidak melibatkan seseorang yang melanggar norma untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan komunitas (Coleman 2010). Penegakan hukum atau aturan sangat penting, karena pada akhirnya hukum/aturan yang dibuat baru mempunyai arti jikalau sudah dipraktikkan di lapangan dengan jaminan sistem sanksi yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya. Berdasarkan perjanjian awal pada saat pemberian hak garap oleh Perhutani, disebutkan bahwa tidak boleh menebang/memodifikasi tambak yang sudah ada. Bahkan disebutkan bahwa penggarap tambak wajib menjaga kelestarian hutan. Pada awalnya penggarap tambak tidak berani melakukan penebangan/modifikasi karena sanksi yang jelas yakni hak garap dicabut bahkan sampai dipenjara. Akan tetapi seiring dengan perubahan waktu penerapan aturan dan sanksi yang tidak jelas, menyebabkan masyarakat berani untuk melakukan penebangan/modifikasi. Banyak penebang kayu (mangrove) yang ditangkap dan dipenjarakan yang kemudian dikeluarkan hanya gara-gara uang bisa keluar. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat semakin berani untuk menebang mangrove karena ketidakjelasan penerapan hukum dan sanksi yang tidak jelas. Apalagi dengan faktor uang semua bisa diatur sehingga penebangan mangrove semakin tinggi. Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap pelaksanaan sistem sanksi disajikan pad Tabel 31. Tidak adanya sanksi moral yang berlaku dari masyarakat juga turut memberikan andil bagi para pelaku untuk menebangi mangrove atau memodifikasi empang. Selain itu tidak adanya sistem insentif bagi masyarakat
86
yang mempertahankan mangrove juga dapat menurunkan animo masyarakat untuk tetap mempertahankan mangrove. Padahal dengan adanya sistem insentif dan disinsentif akan mendorong masyarakat untuk menjaga kelestarian mangrove. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu dilakukan oleh pengelola terkait sistem sanksi dalam pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil antara lain: 1) Jika melakukan penebangan/modifikasi empang diberikan peringatan dan hukuman harus menanam kembali seperti sedia kala 2) Pencabutan hak garap jika tidak mengindahkan peringatan dan hukuman yang diberikan. Hendaknya dilakukan terlebih dahulu teguran (peringatan) yang jika melakukan pelanggaran 2 kali akan dicabut hak garapnya 3) Jika pelanggaran terhadap pindah garap baik jual-beli dan penggadaian adalah tidak mengakui hak garap yang baru. Perhutani selanjutnya memproses siapa yang berhak untuk mengelolanya. 4) Tindak tegas terhadap penebang liar atau kegiatan yang dapat merusak mangrove dan perairan sekitarnya. Sanksi yang diberikan mulai dari peringatan, denda ataupun atau penjara sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. 5) Pemberian insentif kepada masyarakat yang secara langsung aktif melakukan pelestarian mangrove. Misalnya: pemberian beasiswa bagi anak atau berupa santunan lainnya. Tabel 31 Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap pelaksanaan sistem sanksi Sistem sanksi
Kondisi lapangan
Teguran
Pihak Asper hanya sebatas teguran terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran Hukuman penjara bagi orang yang melakukan penebangan liar Pencabutan hak garap bagi yang melakukan pelanggaran
Penjara
Pencabutan hak garap Sumber: Hasil analisis 2012
% responden 100.00 5.56 0.00
Secara singkat pola pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil terkait kondisi saat ini dan saran perbaikan disajikan pada Tabel 32.
87
Tabel 32 Matriks permasalahan kelembagaan, kondisi ideal dan usaha yang diperlukan untuk mengurangi kesenjangan Komponen kelembagaan Kewenangan
Aturan
Kondisi Aktual
Kondisi Ideal
Kewenangan ada di pihak Perhutani (BKPH Ciasem Pamanukan), akan tetapi masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui fungsi dan peranan Perhutani dalam pengelolaan hutan negara termasuk hutan mangrove - Diperbolehkan memodifikasi empang atas persetujuan pihak Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan - Melakukan jual-beli hak garapan - Sempadan pantai dan sempadan sungai dijadikan tambak
- Kewenangan penuh ada di pihak Perhutani (BKPH Ciasem Pamanukan) - Pemberian kewenangan kepada LMDH sesuai Kep. Dir Perum Perhutani N0. 682/KPTS/DIR/2009 - Tidak boleh memodifikasi empang - Tidak boleh melakukan jualbeli hak garapan - Sempadan pantai minimal 130 m dan sempadan sungai minimal 50 m
Usaha yang perlu dilakukan -
Hak
-
-
Penggarap tambak mengelola empang termasuk memanfaatkan hasilnya Ada beberapa penggarap tambak memiliki hak garapan seluas 20 ha
- Mengelola empang termasuk memanfaatkan hasilnya - Masing-masing penggarap tambak hanya boleh memiliki hak garapan selus 2 ha - Seharusnya penggarap tambak
-
Sosialisasi tentang fungsi dan peranan Perhutani sesuai amanat PP No. 72 Tahun 2010 Sosialisasi peranan masyarakat dalam pengelolaan minawana Sosialisasi fungsi dan peranan LMDH (sejenis) terhadap pengelolaan ekosistem mangrove Pemberian kewenangan kepada LMDH sesuai Kep. Dir Perum Perhutani N0. 682/KPTS/DIR/2009 Perbaikan organisasi LMDH baik dari keaggotaan, AD/ART, visi/misi atau hal lainnya sesuai standar organisasi yang memiliki badan hukum Pengurus LMDH dipilih dan diangkat oleh anggota Mempertegas penegakan hukum dan penerapan sanksi Perbaikan terhadap proporsi luasan mangrove terhadap tambak (60% mangrove:40% tambak) Penetapan kawasan sempadan pantai minimal 130 m bibir pantai Penetapan sempadan sungai minimal 50 m bibir sungai Perbaikan kanal air jalan, jembatan dan prasarana lainnya menjadi tanggung jawab LMDH. Pembuatan bak penampungan air (tandon), penerapan GAP dan perwilayahan komoditas menjadi tanggung jawab masing-masing penggarap tambak yang diawasi oleh LMDH Pelibatan masyarakat terhadap program kelestarian mangrove. Masing-masing penggarap tambak dan penangkap ikan dan biota lainnya dibuat dalam kelompok petak tambak yang dibawah koordinasi LMDH. Segala kegiatan yang dilakukan oleh pihak asing terhadap kegiatan di kawasan minawana harus seijin dari pengurus LMDH Tidak boleh melakukan jual-beli dan penggadaian hak garapan.. Tidak boleh melakukan penebangan, modifikasi dan kegiatan yang merusak mangrove dan perairan sekitarnya Setiap masyarakat yang memanfaatkan kawasan minawana dikenakan biaya/pajak, kecuali kegiatan penelitian. Melakukan pendataan terhadap penggarap tambak terkait kondisi dan luasan lahan garapan Pembatasan hak guna garap maksimal 2 ha/KK Domisili penggarap tambak seharusnya dari desa administrasi setempat Masyarakat penggarap tambak berhak melakukan budidaya ikan/udang sesuai dengan perwilayahan komoditas dan GAP yang telah ditetapkan.
87
88
88 Tabel 32. Lanjutan…. Komponen kelembagaan
Kontrol
Kondisi Aktual -
Ada beberapa penggarap tambak dari luar wilayah adiministrasi desa terdeka t
-
Sangat jarang Kurangnya staf Asper dilapangan Rendahnya fungsi dan peranan LMDH dalam kontrol dilapangan
-
Hanya sebatas teguran untuk penebangan mangrove Ada beberapa kasus, penebang mangrove dipenjara. Akan tetapi dengan uang tebusan para pelanggar tersebut dibebaskan
-
-
Sanksi
Kondisi Ideal
-
Sumber: Hasil analisis 2012
berasal dari domisili terdekat
-
Usaha yang perlu dilakukan
- Penggarap tambak juga berhak untuk hasil tangkapan udang harian dari tambak yang dikelolanya. - Masyarakat non penggarap tambak berhak melakukan penangkapan kepiting, wideng, belut, ular, burung, dan biawak. Masyarakat yang boleh melakukan penangkapan adalah anggota LMDH yang terdaftar pada masing-masing wilayah LMDH. - Penampungan dan pemasaran hasil produksi dan hasil tangkapan dilakukan di KUD masing-masing administrasi LMDH. - Pengurus dan anggota LMDH berhak untuk menegur, melaporkan ke pihak yang berwajib dan mencegah pihak-pihak yang akan melakukan perusakan mangrove dan perairan sekitarnya - Para mandor/Asper hendaknya berkoordinasi dengan LMDH dan KUD Minimal sekali seminggu - Kegiatan pemantauan hendaknya minimal dilakukan seminggu sekali dan dilakukan diskusi Pengurus LMDH diberi dengan penggarap tambak kesempatan ikut terlibat dalam - Pemantauan dan kontrol terhadap pelaksanaan GAP dan perwilayahan komoditas menjadi kontrol 1 desa minimal 2 orang petugas tanggung jawab LMDH lapangan - Pemantauan dan kontrol terhadap penangkapan kepiting, wideng, belut, ular, dan burung menjadi tanggung jawab LMDH - Para mandor hendaknya berkoordinasi dengan LMDH dan KUD terkait dengan permasalahan empang dan produksi perikanan. - Kegiatan pemantauan dari Asper hendaknya minimal dilakukan seminggu sekali dan dilakukan diskusi dengan penggarap tambak terkait permasalahan minawana terutama terhadap kelestarian mangrove - Penambahan staff (polisi hutan) untuk meningkatkan pengawasan di kawasan RPH TegalTangkil Pencabuatan hak garap jika - Jika melakukan penebangan diberikan peringatan dan hukuman harus menanam kembali terbukti pelanggaran seperti semula - Pencabutan hak garap jika tidak mengindahkan peringatan dan hukuman yang diberikan - Jika pelanggaran terhadap pindah garap tanpa sepengetahuan pihak Perhutani adalah tidak mengakui hak garap tersebut - Tindak tegas terhadap penebang liar berupa denda atau penjara - Pemberian insentif kepada penggarap tambak/masyarakat yang secara langsung aktif melakukan pelestarian mangrove.