5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Deskripsi Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang 5.1.1 Presentasi Penutupan Karang Hidup Hasil pengamatan secara langsung menunjukkan tipe terumbu karang di rataan karang pulau Gili Trawangan, Gili Indah dan Gili Air dikategorikan sebagai terumbu karang tepi fringing reef. Terumbu karang tepi merupakan terumbu karang yang berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 meter (Nybakken, 1998). Dari hasil pemantauan dengan metode manta tow digambarkan bahwa terumbu karang di Gili Indah bervariasi. Pada kedalaman 10 meter, hampir 100% terumbu karang dalam kondisi buruk. Di kedalaman 3-5, 20% terumbu karang termasuk kategori sedang. Rata-rata penutupan karang hidup di ketiga pulau termasuk dalam kategori buruk sampai sedang.
1. Gili Trawangan Persentasi penutupan karang hidup di Pulau Gili Trawangan berkisar antara 43,72% sampai dengan 11,79%. Penutupan karang hidup terbesar (44,89%) di jumpai di stasiun 1 bagian timur serta persentasi terkecil di jumpai di stasiun 3 (barat) dengan persentasi terbesar 11,79%. Histogram persentasi penutupan karang hidup di Gili trawangan disajikan dalam Gambar 7.
persentase karang hidup (%)
50
44,89 35,01
40 30 20
11,79
14,33
3
4
10 0 1
2 stasiun
Gambar 7 Histogram presentasi penutupan karang hidup di Gili Trawangan.
Pada stasiun 1 (timur) dijumpai persentasi soft coral sebesar 44,89%, serta penutupan pasir sebesar 3,18% dan sisanya ditutupi oleh rubble (52,03%). Stasiun 2 (utara) dijumpai coral enscrusting dengan persentasi 13,27% serta coral massive dengan persentasi 11,56%. Penutupan karang Acopora digitate, acropora tabulate dan coral submassive secara berturut-turut sebesar 4,82%; 2,47% dan 2,03%. Stasiun 3 (barat) merupakan bagian dengan persentasi
karang hidup terkecil yaitu sebesar 11,79%. Sebagian besar pada stasiun 3 dijumpai penutupan rubble (88,21%), sedangkan penutupan karang hidup hanya sebesar 2,78% (Acropora digitate); 4,71% (coral massive) dan 4,30% (soft coral). Stasiun 4 (selatan) merupakan daerah persentasi penutupan karang hidup rendah (14,30%) tetapi memiliki variasi lifeform cukup besar yaitu Acopora digitate, Acropora tabulate, coral encrusting, coral massive, coral submassive dan coral foliose, tetapi persentasi penutupan dari kelima lifeform sangatlah kecil hanya berkisar 0, 28% (Acroporal digitate) hingga 3,65% (coral foliose).
2. Gili Meno Persentasi karang hidup pada Gili Meno berkisar antara 30,78% hingga 2,77% Persentasi terbesar dijumpai pada stasiun 5 (timur) (30,78%) serta yang terkecil dijumpai pada stasiun 8 (selatan) (2,77%). Persentasi penutupan karang hidup pada stasiun 6 (utara) dan stasiun 7 (barat) sebesar 8,82% dan 9,92%. Pada Stasiun 5 Pulau Gili Meno dijumpai penutupan soft coral yang cukup besar yaitu sebesar 21,47%. Selain itu penutupan coral submassive, coral foliose, dan coral massive sebesar 4,87%, 1,65%, dan 2,21%. Stasiun 6 yang merupakan daerah coral berpasir memiliki penutupan coral foliose sebesar 5,99%, penutupan coral foliose merupakan yang terbesar pada daerah ini. Lifeform lainya yang dapat dijumpai pada stasiun 6 adalah Acropora digitate (0,10%) dan coral submassive (0,78%). Stasiun 7 hanya memiliki persentasi karang hidup coral massive (5,21%) dan coral submassive (2,59%). Pada stasiun 8 rataan karang hanya disusun oleh tiga lifeform yang terdiri dari
Acropora
tabulate (0,40%), coral massive (0,87%) dan coral submassive (1,47%).
persentase penutupan karang hidup (%)
Histogram persentasi karang hidup pada Gili Meno disajikan dalam Gambar 8. 32 28 24 20 16 12 8 4 0
30,78
9,92
8,82
2,77
5
6
7
8
stasiun
Gambar 8 Histogram presentasi penutupan karang hidup di Gili Meno.
3. Gili Air Persentasi penutupan karang hidup terbesar Gili Air dijumpai pada stasiun 12 (bagian selatan) sebesar 19,34% dan terkecil pada stasiun 9 (timur) sebesar 2,63% Secara keseluruhan kondisi ekosistem terumbu karang Gili Air digolongkan ke dalam kategori buruk. Persentasi penutupan karang hidup
karang hidup (%)
persentase penutupan
terbesar Gili Air disajikan dalam Gambar 9. 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
19,34 16,73 11,85
2,63
9
10
11
12
st a si u n
Gambar 9 Histogram persentasi penutupan karang hidup di Gili Air.
Komposisi penutupan subtrat dasar di Gili Air merupakan daerah dengan penutupan karang hidup terendah, bagian ini merupakan daerah yang berpasir. Soft coral yang dijumpai hanya memiliki persentasi penutupan sebesar 1,31%, coral massive 1,03%, dan submassive 0,27%. Persentase penutupan karang hidup pada stasiun 10 (utara) sebesar 11,85% yang termasuk dalam kategori buruk. Persentasi penutupan terbesar pada bagian ini adalah coral submassive sebesar 6,75% diikuti coral massive 2,75% dan lifeform lainnya dibawah 2%. Stasiun 11 adalah penutupan karang hidup sebesar 16,73%. Penutupan karang paling tinggi di stasiun 11 memiliki persentasi coral massive sebesar 12, 98%, kemudian Acropora digitate sebesar 8,01%. Penutupan karang terkecil adalah coral encrusting sebesar 4,27%, sedangkan penutupan soft coral pada bagian hanya sebesar 4,50%. Stasiun 12 yang merupakan daerah sedikit berpasir memiliki persentasi penutupan soft coral sebesar 11,12%, penutupan soft coral merupakan yang terbesar pada daerah ini. Lifeform lainnya yang dapat dijumpai pada bagian ini adalah Acropora digitate 0,28%, coral massive 4,17%, coral submassive 2,72%, coral foliose 0,68% dan Acropora tabulate 0,39%. Dari gambaran kondisi terumbu karang diatas diperoleh bahwa tingkat kerusakan paling tinggi terdapat di Gili Air, dengan penutupan karang hidup sebesar 2,63% dibandingkan Gili Trawangan dan Gili Meno. Peningkatan jumlah wisatawan dan penduduk akan meningkatkan intensitas pemanfaatan dan konflik
pemanfaatan yang secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan peningkatan tekanan terhadap ekosistem (Kunzmann, 2001; Growrie,2004). Tekanan
terhadap
ekosistem
menyebabkan
penurunan
produktivitas,
keanekaragaman dan kemelimpahan biota penyusun ekosistem. Penyebaran penduduk di desa Gili Indah tidak merata, jumlah penduduk yang terbanyak terdapat di dusun Gili Air dengan mayoritas mata pencaharian sebagai nelayan sedangkan yang paling sedikit adalah penduduk gili Meno (Monografi Desa Gili Indah, 2004). Hal ini dapat menunjukkan bahwa rusaknya terumbu karang diperkirakan sebagai akibat sebagian besar kelompok penduduk lokal secara sosial dan ekonomi tergolong tidak berdaya (miskin). Peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas pemanfaatan ini menyebabkan meningkatnya tekan terhadap ekosistem yang ada. Degradasi ekosistem terumbu karang yang terjadi di kawasan TWAL Gili Indah akan berdampak secara langsung dan tidak langsung pada keberlanjutan pemanfaatan atau aktivitas perekonomian di kawasan TWAL Gili Indah Lombok. Pengembangan pariwisata pada lingkungan fisik paling dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di Gili Trawangan. Adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan sebelum dan sesudah pengembangan pariwisata membuat
suatu
perubahan
dalam
social
life
masyarakat.
Berdasarkan
wawancara dari responden, maka 96% responden menjawab adanya perubahan lingkungan, yaitu mulai bertumbuhnya kesadaran dan kepedulian masyarakat akan pentingnya melestarikan lingkungan sebagai suatu potensi dalam mendukung pariwisata. Mereka mulai menyadari bahwa pendapatan mereka sebagian besar bergantung pada pariwisata, sehingga mulai ada keinginan masyarakat itu sendiri untuk menjaga dan memperbaiki kondisi terumbu karang, melalui terumbu buatan. Kesadaran ini terbukti dari kondisi penutupan terumbu karang saat ini yang mengalami perbaikan khususnya di kawasan Gili trawangan. Jika dibandingkan
dengan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Unit
Konservasi
Sumberdaya Alam NTB di dalam Laporan Inventarisasi kerusakan terumbu karang pada kawasan konservasi Gili Indah tahun 2001, penutupan karang hidup meningkat dari 30% menjadi 47,88%. Hal ini tidak lepas adanya perubahan pola pikir maryarakat di Gili Trawangan akan pentingnya pariwisata bagi kehidupan mereka dibandingkan dengan dua gili lainnya. Menurut mereka, apabila terumbu karang rusak, apa yang dapat dijual sebagai potensi Gili Trawangan? Dan jika
pariwisata menurun, maka pendapatan mereka dari mana?. Pada akhirnnya masyarakat mulai mengurangi penangkapan ikan dengan jaring muroami dan bom, bahkan masyarakat mau berikan konpensasi kepada masyarakat nelayan yang berasal dari gili lainnya berupa uang sebagai bukti pentingnya konservasi terumbu karang. Berdasarkan pengamatan
di kawasan gili Indah, secara umum
ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan terumbu karang yaitu : a) Penggunaan bom dan potasium Sebelum pariwisata berkembang seperti sekarang ini penduduk desa Gili Indah terkenal sebagai pengebom. Mereka melakukan cara penangkapan ikan dengan cara ini karena dianggap sangat efektif, mudah dilakukan, tidak tergantung musim dan modal yang diperlukan untuk melakukan kegiatan tersebut relatif tidak terlalu besar. Ini sejalan dengan hasil studi tim Peneliti COREMAP tahun 1996 yang menunjukkan bahwa metode penangkapan dengan bom maupun bahan kimia (potas) itu dilakukan kerena dianggap sangat efektif, mudah dilakukan, tidak tergantung musim dan modal yang diperlukan untuk melakukan kegiatan tersbut relatif tidak terlalu besar. Namum demikian, faktor eksternal seperti kesempatan bekerja dan berusaha dibidang lain sebagai alternatif, maupun alternatif teknologi lainnya yang tersedia tentu juga berpengaruh. b). Pembuangan jangkar/sauh kapal dan Nelayan Penyebab kerusakan terumbu karang lainnya yang cukup dominan adalah pembuangan jangkar. Pembuangan jangkar ini dilakukan oleh para pengendara perahu (Boatman). Mereka sering membuang jangkar di berbagai tempat disekitar ke tiga pulau ini, baik ketika menurunkan penumpang maupun untuk menambat/memarkir kapal.
Salah satu faktor yang menyebabkan
pembuangan jangkar sembarangan ini adalah belum tersedianya tempat menambatkan perahu yang baik, seperti mouring buoy, di daerah perairan ini. Pelabuhan yang baik dan memadai di masing-masing gili juga belum tersedia. Akibatnya sering kali perahu-perahu tersebut menurunkan penumpang di berbagai tempat. Dari segi pengetahuan para pengendara perahu, sebenarnya telah mengetahui bahwa pembuangan jangkar ini akan merusak karang. Bagi perahu milik anggota koperasi, penyuluhan tentang dampak pembuangan jangkar tersebut terhadap karang sudah diberikan, demikian pula pengaturan zonasi mengenai lokasi mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan pembuangan jangkar sudah diatur dalam awiq-awiq. Namun kurangnya
kesadaran para pemilik kapal merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masih terjadinya pembuangan jangkar disembarang tempat. Selain itu para pemilik boat yang berasal dari luar Desa Gili Indah juga paling banyak yang melakukan pembuangan jangkar pada zona yang dilarang. c) Budidaya Rumput Laut Kegiatan budidaya rumput laut turut pula menyebabkan kerusakan karang, meski terbatas pada areal budidaya itu sendiri. Hal ini terjadi karena kadang-kadang karang itu harus dibongkar untuk membentuk lokasi budidaya rumput laut yang baik. Dari hasil pengamatan yang kami lakukan di lapangan, karang-karang yang dirusak dilokasi budidaya rumput laut adalah karang yang sudah mati, sehingga tidak berguna lagi. Mereka tahu kalau kegiatan itu merusak, tetapi karena karang tersebut telah mati maka bagi mereka hal itu tidak apa-apa. d). Penggunaan Jaring Muroami Seperti dijelaskan oleh salah seorang tokoh masyarakat, penggunaan jaring muroami juga dapat merusak karang. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat ini dapat merusak karang terutama karena nelayan memburu ikan-ikan karang dengan cara menumbuk karang tersebut dengan batu. Jumlah kelompok jaring muroami saat ini berjumlah 4 kelompok namun yang masih aktif melakukan kegiatan penangkapan ikan adalah 2 kelompok sedangkan 2 kelompok lainnya tidak dapat beroperasi karena untuk mengoperasikan jaring muroami diperlukan tenaga kerja yang disebut dengan “Sawi” sebanyak 30 orang dan 3 buah perahu. Dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh alat ini tidak terlalu besar akan tetapi jika dilakukan secara terus menerus maka akan menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap kerusakan terumbu karang. e) Pengambilan Karang Penyebab kerusakan karang lainnya adalah kegiatan pengambilan karang secara langsung. Menurut kepala desa Gili Indah, dulu di daerah ini dilakukan pengambilan karang secara besar-besaran untuk dibakar. Namun sekarang kegiatan ini sudah tidak dijumpai lagi. f) Aktivitas Snorkeling dan Penyelaman (Diving) Kegiatan snorkeling dan diving yang dilakukan dalam jumlah besar sering menyebabkan kerusakan terumbu karang karena terinjak-injak atau terbentur oleh penyelam. Keadaan tersebut antara lain disebabkan perbandingan antara pemandu selam atau snorkeling dengan pesertanya terlalu kecil sehingga pengawasan menjadi lemah. Faktor lainnya adalah kemampuan, keterampilan dan skill peserta snorkeling atau diving masih rendah sehingga cenderung menginjak atau menabrak karang.
5.1.2 Kepadatan Ikan Karang Jumlah total ikan yang teramati di seluruh stasiun pengamatan adalah 1529 ekor yang terdiri 15 famili serta 69 spesies (Lampiran 1 dan 2). Dari gambar 11 memperlihatkan kepadatan di ketiga pulau berkisar antara 659 ind/250m2 sampai 306 ind/250m2. Kepadatan ikan karang tertinggi di Gili Trawangan, secara empiris dapat dihubungkan dengan persentase penutupan terumbu karang yang dimiliki oleh Gili Trawangan cukup baik jika dibandingkan dengan kedua gili lainnya. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan tingkat penutupan terumbu karang terhadap keberadaan ikan-ikan karang. Hal ini juga didukung oleh
Hodijah dan Begen (1999) yang mengemukakan bahwa ada hubungan
yang erat antara kondisi terumbu karang terhadap keberadaan ikan karang suatu perairan. Jumlah total ikan yang teramati di seluruh stasiun pengamatan
kepadatan ikan karang ind/250m2
disajikan dalam Gambar 10. 700
659
624
600 500 400
306
300 200 100 0 Gili Traw angan
Gili Meno
Gili Air
lokasi pengukuran
Gambar 10 Histogram rata-rata kepadatan ikan karang di Gili Indah.
Dari seluruh stasiun pengamatan, Pomacentridae memiliki kepadatan terbesar di
ketiga pulau dengan persentase 70,48% dari jumlah total ikan.
Spesies dari famili Pomacentridae yang memiliki kepadatan terbesar di ketiga gili adalah Chysiptera parasema, Chromis xanthura dan Abudefduf vagiensis. Labridae dengan persentase sebesar 10,59% dengan jumlah terbesar pada jenis Leptojulis cyanopleura, Anampses lennardi dan Thallasoma purpureum. Acanthuridae memiliki persentase sebesar 6,45% dengan jumlah terbesar pada jenis Acanthurus gramophilus,
Acanthurus nigricauda dan Acanthurus
olivacenatus. Kelimpahan dan keanekaragaman ikan karang berhubungan dengan keadaan terumbu karang (Gambar 11), sehingga apabila persentase penutupan karang disuatu tempat kecil maka kelimpahan dan keanekaragaman ikan di
daerah tersebut akan kecil juga. Hal lain yang mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman ikan karang adalah pemilihan tempat oleh ikan dalam melakukan pemijahan dan meletakkan telurnya serta kelimpahan larva ikan disuatu perairan. 3
2.7 2.5
2.5 2
1.8
H' E
1.5
C 1
0.7
0.7
0.6
0.5
0.4 0.1
0.1
0 Trawang
Meno
Air
Gambar 11 Histogram keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C) komunitas ikan karang di kawasan Gili Indah.
Gambar 11 memperlihatkan indeks keanekaragaman ikan karang di ketiga pulau. Nilai keanekaragaman yang diperoleh berkisar antara 2,8 sampai 1,8. Nilai keanekaragaman tertinggi terdapat di Pulau Gili Trawangan serta yang terkecil terdapat di Pulau Gili Air. Semakin kecil jumlah spesies dan variasi jumlah individu atau ada beberapa individu yang jumlahnya lebih besar maka keanekagaraman suatu ekosistem akan mengecil. Pada lokasi penelitian kepadatan tiap spesies tidak merata, ada beberapa spesies yang jumlahnya jauh lebih besar sehingga nilai keanekaragaman kecil. Nilai keseragaman menunjukkan pola sebaran dan komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Nilai keseragaman berkisar anatara 0 sampai 1, apabila nilai keseragaman mendekati 1 maka komposisi individu tiap jenis tidak berbeda banyak. Nilai keseragaman ikan karang dari seluruh stasiun pengamat berkisar antara 0,4 hingga 0,7. Nilai keseragaman yang diperoleh mendekati 1, hal ini menunjukkan komposisi tiap jenis yang terdapat di dalam komunitas tidak berbeda, walaupun ada beberapa individu yang dijumpai dalam jumlah besar dibandingkan dengan jenis lainnya. Nilai dominasi digunakan untuk mengetahui apakah ada spesies tertentu yang mendominasi suatu komunitas. Nilai dominasi pada semua stasiun pengamatan mendekati 0 yaitu berkisar antara 0.4 sampai 0,1. Hal ini menyatakan relatif tidak ada dominasi dari spesies tertentu yang mendominasi komunitas di seluruh stasiun pengamatan. Nilai komunitas 0.4 termasuk kedalam
kategori
sedang
yang
berarti
ada
kecenderungan
satu
spesies
yang
mendominasi komunitas. Spesies yang mendominasi di Pulau Gili Air adalah Chrysiptera parasema. Dominasi Chrysiptera parasema di Pulau Gili Air mungkin disebabakan oleh tidak adanya pemangsa ikan tersebut. Keadaan habitat terumbu karang di Pulau Gili termasuk kedalam daerah bersubtrat pasir karena besarnya penutupan pasir tersebut. Menurut Bell and Galzin (1985) pada daerah bersubtrat pasir pemangsaan lebih berpengaruh terhadap kelimpahan ikan karang daripada persentase penutupan terumbu karang. Secara umum keadaan komunitas ikan karang di TWAL Gili Indah dalam keadaan labil kecuali keadaan komunitas ikan karang di Pulau Gili Air yang termasuk ke dalam keadaan tertekan. Rendahnya kestabilan komunitas ikan karang disebabkan oleh gangguan atau tekanan dari lingkungan seperti rusaknya terumbu karang dan penangkapan ikan yang merusak di kawasan TWAL Gili Indah. Menurut Bell dan Galzin (1985), famili Pomacentridae biasanya merupakan famili yang paling sering dijumpai di terumbu karang dan memiliki kelimpahan terbesar dibandingkan dengan famili yang lain. Besarnya kelimpahan dari famili Pomacentridae disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan untuk konsumsii (Acanthuridae) atau ikan hias untuk akuarium (Chetodontidae) oleh nelayan. Beberapa jenis ikan yang tergolong ikan target ditemukan di stasiun penelitiian, yang terdiri dari famili siganidae (Siganus javus), Scridae (Scarus ghoban, Scarus oviceps), Serranidae ( Ephinephelus macrospilis, Ephinephelus caureleupunctalus), Caesionidae (Caesio xanthonata). Selain ikan target, dalam penelitian ini juga ditemukan Ikan major group yang terdiri dari beberapa famili: famili Serranidae, Labridae, Acanthuridae, Pomacentridae. Kondisi ikan target yang ditemukan dalam penelitian ini tergolong rendah, hasil ini dipengaruhi oleh kondisi terumbu karang yang rusak atau tidak stabil dalam mendukung komunitas ikan karang. Seperti yang dilaporkan oleh Lalamentik (2001), untuk jenis ikan target dapat diketahui kehadirannya apabila didukung oleh habitat terumbu karang termasuk beberapa komponen seperti karang batu, algae, sponge maupun karang lunak. Jadi dapat disampaikan bahwa apabila ekosistem terumbu karang kurang baik maka kehadiran dari ikan karang akan meningkat sebaliknya apabila ekosistem terumbu karang tidak baik maka kehadiran ikan karang akan menurun. Hal ini terjadi pada kawasan Gili Indah tersebut disebabkan tingkat kerusakan cukup tinggi sehingga mempengaruhi ekosistem
terumbu karang. Sedangkan ikan indikator berupa jenis ikan karang kepe-kepe yang sangat jarang ditemukan baik pada daerah rataan terumbu maupun di daerah tubir. Situasi ini merepleksikan bahwa
spesies dari ikan indikator
mempunyai ’niche’ ekologi yang luas dan tidak dipengaruhi oleh perubahanperubahan komposisi habitat.
5.1.3
Aktivitas Kegiatan Perikanan Masyarakat nelayan di desa Gili Indah dalam aktivitas penangkapan ikan
menggunakan alat tangkap mourami, pancing dan panah. 1. Jaring Muroami Menurut informasi dari masyarakat alat tangkap tersebut telah dikenal sejak tahun 1956 dan dibawa oleh Daeng Makdag dari Sulawesi Selatan (COREMAP dan LIPI, 1996). Pada saat ini di TWAL Gili Indah (Dusun Gili Air) terdapat 3 kelompok nelayan yang memiliki jaring mourami. Setiap kelompok memiliki anggota 34 orang dengan tiga sub perahu dan 3 mesin. Seorang diantaranya bertindak sebagai pemimpin (pungawa), yaitu nelayan yang sudah menguasai seluk beluk laut, sedangkan yang lainnya bertindak sebagai anggota (sawi). Panjang tali pemberat sekitar 15-20 meter dan batu seberat 5 kg. Jenis alat tangkap ini potensial untuk merusak terumbu karang karena dalam pengoperasiannya ikan-ikan yang ada di terumbu karang dipaksa untuk keluar menuju jaring menggunakan batu yang sudah dipersiapkan di bawah jaring dan waktu digunakan untuk melaut selama 7 jam. Sistem bagi hasil yang berlaku pada alat tangkap jaring muroami adalah dengan cara nilai hasil penjualan (nilai produksi) dikurangi dengan biaya operasional (bahan bakar dan pembekalan). Selanjutnya hasil bersih dibagi dua yaitu satu bagian untuk anggota kelompok dan satu bagian untuk jaring. Ratarata pendapatan setiap kali penangkapan sebesar Rp 600.000/34 orang. Jenis ikan yang ditangkap adalah jenis ikan ekor kuning (caesio spp), kerapu ((Epinephelus spp), Sunglir (Elagaris bipinulatus), Lemsam (Lithirinus spp). 2. Pancing Aktivitas penangkapan lebih banyak dilakukan oleh nelayan Gili Meno dan Air
Kegiatan tersebut dilakukan bersamaan alat tangkap jaring dan sebagian
dilakukan tersendiri. Aktivitas memancing ini dibagi dalam, dua kelompok berdasarkan jenis pancing yang digunakan : (a) pancing dalam dimana panjang tali dapat mencapai 20-50 meter dengan jumlah mata kail 2 buah. Umpan yang
digunakan dapat berupa udang maupun ikan, (b) pancing biasa, dimana pancing dikaitkan dengan sebatang bambu atau semacam aluminium yang panjangnya 5 meter. Kemudian panjang kail dapat mencapai 8-10 meter, dan memakai mata kail sebanyak satu buah. Adapun umpan yang digunakan dapat berupa udang, lumut, dan ikan kecil.
3. Panah Kegiatan memanah ikan dilakukan oleh masyarakat Gili Indah disekitar pantai yang memikili terumbu karena yang masih baik. Kondisi terumbu karang yang baik tersenut cenderung memilki banyak ikan. Waktu yang paling baik untuk memanah pada sore sampai malam hari, karena menurut pendapat mereka, ikan karang pada saat itu sedang beristirahat di sekitar terumbu dan mencari makan di permukaan air. Jika memanah pada malam hari maka diperlukan alat perlengkapan tambahan seperti lampu dan tenda. Kegiatan ini memerlukan fisik yang kuat karena pemanah akan masuk ke dalam dasar air untuk mencari ikan yang
bersembunyi
di
terumbu
karang.
Bagi
pemanah
yang
sudah
berpengalaman kadang-kadang tidak memerlukan peralatan selam. Tidak heran beberapa orang yang melakukan aktivitas tersebut banyak yang mengidap penyakit rematik, karena dilakukan pada malam hari. Aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan jaring muroami hampir tidak lagi beroperasi di kawasan Gili Indah. Jumlah kelompok jaring muroami saat ini berjumlah 3 kelompok, namun yang masih aktif melakukan kegiatan penangkapan ikan adalah 2 kelompok. Hal ini disebabkan semakin mahalnya biaya operasi dibandingkan hasil tangkapan yang diperoleh. Dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh alat cukup besar menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap kerusakan terumbu karang. Kebanyakan
hasil
tangkapan
nelayan
kecil
hanya
cukup
untuk
dikomsumsii sendiri dan apabila hasilnya cukup banyak maka dijual ke restoranrestoran terdekat yang ada di kawasan Gili Indah atau dibawa ke luar kawasan Gili Indah. Menurut wawancara secara informal dengan nelayan yang menggunakan pancing yang ada di kawasan Gili Meno, bahwa semakin hari hasil tangkapan mereka semakin berkurang, bahkan kadang tidak mendapatkan hasil. Masih dari sumber yang sama disebutkan, hal ini dipengaruhi oleh terjadinya kerusakan pada terumbu karang sebagai habitat berbagai biota laut termasuk ikan-ikan konsumsi.
5.2 Kesesuaian Lingkungan Perairan untuk Budidaya Ikan Karang Sistem Sea Ranching Keberhasilan budidaya dengan sistem sea ranching ditentukan oleh faktor kesesuaian
lingkungan
yang
merupakan
suatu
tahapan
yang
harus
dipertimbangkan dalam penentuan kawasan untuk sea ranching. Oleh karena itu strategi perencanaan spasial haruslah didasarkan pada konsep keberlanjutan yang dilakukan secara sistematis dan terpadu. Melalui penilaian secara menyeluruh dengan mempertimbangkan segenap aspek biofisik, keserasian dan keseimbangan
lingkungan berasaskan kelestarian, aspek sosial ekonomi
dengan memperhatikan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) sehingga dapat dihindari terjadinya konflik kepentingan. Kesesuaian kawasan yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan kesesuaian aktual atau kesesuaian pada saat ini (current suitability), dimana tingkat kesesuaiannya hanya didasarkan
pada data yang tersedia. Hasil
kesesuaian lingkungan perairan ini belum mempertimbangkan asumsi atau usaha perbaikan serta tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai kendala fisik atau faktor-faktor penghambat yang ada. Analisis spasial dengan teknik tumpang susun (overlay) dilakukan secara serempak terhadap parameter tersebut yang akhirnya menghasilkan peta kesesuaian untuk budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching di kawasan TWAL Gili Indah (Trawangan, Meno, Air) disajikan pada Gambar 12. Hasil akhir dari analisis spasial dengan menggunakan model kesesuaian maka diperoleh letak dan luasan lahan yang sesuai untuk budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching di TWAL Gili Indah (Tabel 13).
Gambar 12 Peta lokasi kesesuaian lingkungan perairan untuk budidaya ikan karang sistem sea ranching di TWAL Gili Indah.
1. Kelas sangat Sesuai dan Sesuai Daerah yang termasuk dalam kategori sangat sesuai dan sesuai dicirikan dengan tidak adanya faktor pembatas yang berarti terhadap penggunaannya secara berkelanjutan, atau dengan kata lain memiliki faktor pembatas yang bersifat minor dan tidak akan menurunkan produktivitas secara nyata. Seluruh atau mayoritas parameter fisik yang ada membuat daerah ini sangat sesuai untuk pengembangan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching, hal ini juga disebabkan kegiatan sea ranching bisa overlaping dengan kegiatan lainnya.
Tabel 14
no 1 2 3
Luas kesesuaian lingkungan perairan untuk budidaya ikan karang sistem sea ranching di TWAL Gili Indah
Dusun Gili Trawangan Gili Meno Gili Air Total
Sangat Sesuai 69.3 40,2 56,1 165,6
Luas (ha) Sesuai 503,4 296,2 427,3 1226,9
Tidak Sesuai 360,1 326,3 268,5 954,9
Total luasan perairan yang termasuk kategori dalam kelas Sangat Sesuai sekitar 165.6 ha, dan kriteria Sesuai dengan luasan 1226,9 ha terdistribusi pada daerah pesisir pulau yang dikelilingi oleh terumbu karang dengan kedalamam 335 m. Negelkerken (1991) menyatakan bahwa habitat yang sesuai memegang peranan penting dalam keberadaan suatu jenis ikan karang. Selanjutnya menurut Muchsin (2001), terumbu karang merupakan habitat ikan yang bernilai ekonomis tinggi (ekor kuning, baronang, lencam,kakap, dan kerapu). Pada lokasi Sangat Sesuai ini merupakan kawasan yang ditumbuhi terumbu karang, dimana profil dasar ketiga pulau relatif sama, yang pada dasarnya dibagi menjadi dua tipe, yaitu rataan terumbu dengan dan tanpa gudus. Rataan karang terumbu karang tanpa gudus terdapat di pantai yang berada pada selat antara Gili Air dan Pulau Lombok. Rataan terumbu yang menghadap ke arah utara-selatan umumnya mempunyai gadus yang berada dekat tubir. Lebar rataan terumbu karang pada setiap gili bervariasi antara 100-400 meter yang terdiri atas rataan terumbu karang pantai dengan pasir halus dan sampai kasar dan terdiri atas pecahan karang dan didominasi oleh pertumbuhan lamun. Dengan demikian memungkinkan lokasi ini dilakukannya penerapan sea ranching dengan terumbu karang yang sebagai pembatas ekologi habitat alami bagi keberadaan ikan karang yang akan di restocking.
Kondisi lingkungan perairan
baik langsung maupun tidak langsung
akan berpengaruhi produkvitas perairan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap pengelompokkan ikan (Widodo, 1998).
Jika kondisi lingkungan
memburuk jenis ikan pelagis masih mampu beruaya ke daerah perairan baru yang lebih baik kondisinya, sedangkan jenis ikan demersal seperti ikan karang tidak mampu
menghindar, sehingga dapat mengakibatkan penurunan
kelimpahan ikan karang. Beberapa studi mengungkapkan bahwa parameter fisik mempunyai pengaruh yang penting dalam menentukan distribusi organisme perairan, terutama arus, kedalamam dan subtrat (McGehee,1994). Dalam penelitian ini
arus dan kedalaman yang merupakan faktor pembatas berada
pada kisaran yang masih memenuhi kelayakan untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan karang. Berdasarkan hasil pengamatan biofisik di kawasan Gili Indah
seperti
suhu, salintas, arus subtrat dasar, DO, pH serta kecerahan menunjukkan bahwa seluruh peubah kualitas air yang diukur masih dalam toleransi yang layak untuk kelangsungan hidup pertumbuhan biota kultur dan tidak ada perbedaan yang signifikan dari ketiga lokasi (Gili Trawangan, Meno, Air). Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan dari massa air perairan tersebut dapat dikatakan normal dan saling
mempengaruhi,
menjadikan
kawasan
ini
memiliki
potensi
untuk
pengembangan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching yang diikuti dengan restocking. Kegiatan sea ranching ini diharapkan agar antara kegiatan wisata bahari dan budidaya laut dapat berjalan secara sinergi sehingga masyarakat lokal mendapat alternatif usaha sehingga tekanan terhadap sumberdaya alam (penangkapan) dapat ditekan dan usaha konservasi secara tidak langsung dapat dilaksanakan. Menurut Effendi (2002), menyatakan bahwa khususnya ada tiga komoditas yang dapat dikembangkan sebagai usaha budidaya laut yang secara ekonomis bernilai tinggi yaitu rumput laut, ikan kerapu dan teripang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan profitable. Dengan demikian kawasan ini tetap lestari, dimana fungsi ekonomi dan ekologis menjadi optimal tentunya tetap bernilai jual tinggi sebagai objek wisata. Berdasarkan wawancara
dengan
masyarakat termasuk nelayan, wisatawan
mancanegara dan wisatawan nusantara setuju dengan sistem budidaya sistem sea ranching diterapkan di kawasan TWAL Gili Indah. Selain itu, masyarakat Gili Indah sudah memiliki aturan-aturan lokal seperti awig-awig untuk melestarikan
lingkungan dan perlakuan sanksi terhadap orang yang menangkap ikan dengan bom.
Hal ini membuktikan
bahwa tingkat kesadaran dan kepeduliaan
masyarakat dan stakeholders demi manfaat bersama sudah cukup tinggi. Lebih lanjut dikatakan bahwa hal ini dapat terlaksana apabila adanya dukungan dari pemerintah pengusaha hotel dan restoran, LSM, wisatawan dan sebagainya dalam hal pengadaan dana.
2. Kelas Tidak Sesuai Kategori ini mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari. Pembatas tersebut mengurangi produkvitas lahan dan kelangsungan hidup ikan karang. Berdasarkan analisis spasial di peroleh total luasan untuk kriteria kelas tidak sesuai sebesar 954,9 ha. Ketidaksesuaian ini dipengaruhi oleh subtrat dasar perairan dan kedalaman menjadi faktor pembatas yang mempengaruhi kelangsungan hidup perikanan karang.
Wilayah ini
mempunyai kedalaman kira-kira 40-60m, sementara untuk tumbuh dan berkembang ikan karang mampu berdaptasi pada kedalaman 3-40 m. Hal ini terkait dengan kandungan oksigen dan preferensi ikan karang terhadap habitat. Kandungan oksigen terlarut dalam air sangat diperlukan untuk kehidupan sebagian besar organisme laut. Jumlah oksigen terlarut berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan hidup ikan (Sumich, 1992). Selanjutnya
Pingguo
(1989)
mengatakan
bahwa
oksigen
terlarut
juga
berpengaruh terhadap tingkah laku ikan , terutama kecepatan renang serta migrasi dan distribusi. Preferensi
habitat
dan
kompetisi
berpengaruh
terhadap
struktur
komunitas dan distribusi organisme, pengaruh tersebut berhubungan dengan lingkungan fisik. Studi mengungkapkan bahwa parameter fisik mempunyai pengaruh yang penting dalam menentukan pola distribusi organisme perairan terutama arus, kedalaman (McGehee, 1994). Disamping itu tipe subtrat juga mempengaruhi kehidupan ikan karang, karena keadaan dasar mempengaruhi organisme yang hidup di dasar perairan. Ikan-ikan karang umumnya dapat hidup dengan baik di daerah yang subtrat karang berpasir dan lumpur berpasir. Di samping faktor tersebut, Galzin (1985) menyatakan bahwa rugositas (kontur) subtratum, lokasi geografik, geomorfologi dan tingkat kerusakan habitat, merupakan faktor yang menerangkan fenomena sebaran spasial ikan terkait dengan keterbatasan oksigen tidak boleh diabaikan.
Sebuah sistem pengembangan terhadap usaha budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching terdapat keterkaitan antara lingkungan biofisik perairan, terumbu karang, dan ikan karang melalui suatu siklus keseimbangan. Jika salah satu mengalami gangguan, maka akan mempengaruhi ketiganya. Siklus keterkaitan lingkungan biofisik perairan mempengaruhi keberadaan terumbu karang, sedangkan terumbu karang membentuk sebuah ekosistem yang mempengaruhi keberadaan ikan-ikan karang. Hodijah dan Bengen (1999) mengemukakan bahwa semakin beragam bentuk pertumbuhan karang maka kekayaan jenis dan kelimpahan terhadap spesies ikan karang akan semakin tinggi. Secara sederhana dapat disimpulkan jika kondisi terumbu karang dalam keadaan baik maka dengan sendirinya keberadaan ikan-ikan karang akan baik pula. Hal tersebut menyangkut fungsi terumbu karang sebagai tempat berlindung sekaligus sumber makanan bagi ikan karang yang berasosiasi di dalamnya. Melihat kondisi terumbu karang di Kawasan TWAL Gili Indah yang sangat buruk maka dalam upaya peningkatan produktivitas perikanan karang dengan sistem
sea ranching di kawasan ini diperlukan
perbaikan habitat atau
menciptakan habitat tiruan dengan artficial reef yang dapat memberikan peluang untuk berkembangnya organisme yang akhirnya
dapat memberikan peluang
untuk berkembangnya organisme yang akhirnya menciptakan lingkungan yang disukai oleh ikan, udang, kerang-kerangan, sebagai tempat memijah (spawning ground) maupun tumbuh dan berlindung sehingga kelimpahan dalam perairan tersebut dapat meningkat. Terkait dengan pembuatan artificial reef maka diperlukan pemahaman yang baik tentang pengetahuan ekologi terumbu karang dan hubungannya dengan AR tersebut.
5.3 Pemilihan Komoditas Ikan Karang Dalam proses hirarki pemilihan komoditi jenis ikan dalam sistem budidaya ikan karang dengan sea ranching dijadikan level pertama yang merupakan tujuan (goal) dalam AHP. Penentuaan kriteria didasarkan pada hasil pengamatan lapangan dan berdasarkan referensi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan
sea ranching di kawasan Gili Indah, yakni
terdiri dari: 1)
kesesuaian lingkungan/lahan, 2) Ketersediaan lahan, 3) teknologi sea ranching 4) Kondisi pasar. Penentuan alternatif (jenis ikan) diletakkan pada level paling bawah pada proses hirarki jenis ikan yaitu : 1) kerapu, 2) kakap, 3) Lobster, 4) teripang.
Analisis terhadap empat kriteria untuk pemilihan jenis ikan untuk sea ranching, menunjukkan bahwa ketersediaan benih mempunyai nilai prioritas tertinggi dengan bobot (0,30541). Selanjutnya berturut-turut, kondisi pasar (0,28596), kesesuaian lingkungan dengan bobot (0,27847) dan yang terendah adalah teknologi budidaya dengan bobot (0,13016). Bobot setiap kriteria selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Hasil perbandingan antar kriteria pemilihan komoditas ikan karang dengan sistem sea ranching No Kriteria bobot 1. Ketersediaan benih 0,30541 2. Kondisi pasar 0,28596 3. Kesesuaian lahan/lingkungan 0,27847 4. Teknologi budidaya sea ranching 0,13016 Tinggginya bobot untuk kriteria ketersediaan benih (0,30541) disebabkan ketersediaan benih merupakan faktor yang sangat menentukan kontinuitas usaha budidaya dengan sistem sea ranching. Sistem budidaya ini selain dilakukan perbaikan habitat biasanya diikuti oleh kegiatan restocking ikan dalam rangka meningkatkan produktivitas perikanan. Ketersedian benih menjadi faktor pembatas bagi usaha restocking benih ikan karang. Dalam pengadaan benih untuk restocking, terdapat Loka Budidaya Sekotong, NTB yang sudah berhasil memproduksi benih seperti kerapu dan saat ini untuk lobster masih diperoleh dari penangkapan dari alam. Loka Budidaya ini dapat dicapai melalui angkutan darat maupun laut dengan waktu perjalanan kira-kira 2 jam, sehingga dengan jarak tempuh yang tidak
jauh, kerentanan benih ikan terhadap resiko kematian lebih kecil.
Pelaksanaan kegiatan restoking agar mencapai sasaran perlu direncanakan dan dikoordinasikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi/Kabupaten/Kota, mulai dari tingkat persiapan, pelaksanaan penebaran, pembinaan, pengendalian, pengelolaan, pembinaan, pemantauan dan pengawasan. Kondisi pasar dengan bobot (0,28596) merupakan kriteria yang menjadi prioritas kedua dalam kriteria pemilihan jenis ikan yang akan di restocking. Harga jual yang tinggi merupakan
faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan
komoditas jenis ikan untuk sea ranching karena harga jual untuk setiap jenis ikan karang sangat bervariasi Akan tetapi dari segi pangsa pasar, semua jenis
ikan karang sangat ekonomis mempunyai prospek pasar yang tinggi, khususnya untuk kebutuhan pariwisata setiap tahunnya akan terus meningkat. Prioritas berikut yang mempengaruhi pemilihan komoditi budidaya dengan sistem sea ranching adalah kesesuaian lahan/lingkungan (0,27847). Kesuaian lingkungan menjadi prioritas ketiga dalam kriteria pemilihan jenis ikan karang karena tidak semua jenis ikan karang dapat dibudidayakan pada semua kondisi lingkungan perairan. Dari faktor kesesuaian perairan bahwa seluruh peubah kualitas air yang diukur masih dalam toleransi yang layak untuk kelangsungan hidup pertumbuhan biota kultur saat dilakukan pengamatan. Tidak terdapatnya perbedaan yang nyata untuk kriteria pertumbuhan ikan karang maka bobot prioritas kriteria kesesuaian lingkungan perairan lebih rendah dibandingkan dengan ketersediaan benih serta kondisi pasar Tekonologi budidaya sea ranching (0,13016) merupakan bobot prioritas yang paling rendah, karena penerapan teknologi sea ranching secara umum relatif hampir sama untuk setiap jenis ikan. Perbedaan pengelolaan hanya terletak pada perbedaan karakteristik hidup dari setiap jenis ikan dan dapat dilakukan penyesuaian dengan memodifikasi secara teknis melalui perbaikan habitat melalui sistem transplantasi karang ataupun pembuatan rumpon dan lainlain. Hal ini dilakukan, mengingat bahwa kondisi terumbu karang di kawasan ini dalam kondisi buruk sampai sedang.
Analisis Perbandingan antar Alternatif terhadap Kriteria Analisis alternatif jenis ikan diperoleh melalui perbandingan alternatif terhadap kriteria. Perbandingan ini dilakukan untuk melihat perbandingan relatif antar alternatif setiap kriteria yang ditetapkan. Hasil analisis perbandingan antar alternatif terhadap setiap kriteria dalam proses hirerki adalah sebagi berikut:
1. Kesesuaian Lingkungan Perairan Analisis empat alternatif jenis ikan terhadap kriteria kesesuaian lingkungan menujukkan bahwa kerapu mempunyai bobot yang tertinggi yaitu (0,27738). Selanjutnya berturut-turut, bobot prioritas jenis ikan terhadap kriteria kesesuaian lahan adalah lobster (0,27006), teripang (0,23357) dan kakap (0,21899). Bobot msing-masing alternatif terhadap kriteria ketersediaan benih untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Bobot prioritas alternatif jenis ikan karang terhadap kriteria kesesuaian lingkungan perairan No Jenis Ikan bobot 1. Kerapu 0,27738 2. Lobster 0,27006 3. Teripang 0,23357 4. Kakap 0,21899 Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jenis ikan di kawasan TWAL Gili Indah ditemukan beberapa jenis ikan kerapu yang didukung melalui wawancara terhadap nelayan sekitar Gili Indah namun jumlah sangat sedikit. Hal ini menjadi indikasi kesesuaian lingkungan secara biologis, dan terumbu karang sebagai habitat. Setiap organisme dalam komunitas mempunyai toleransi yang berbedabeda pada setiap faktor pembatas yang bekerja di lingkungannya dan mempengaruhi kehidupan serta perkembangannya. Apabila suatu daerah memiliki suhu melampaui batas toleransi suatu spesies, maka pada daerah tersebut kemungkinan tidak akan ditemukan spesies tertentu. Dari hasil survei terhadap kondisi biofisik kawasan terumbu karang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang mencolok dalam kualitas air dan hampir homogen pada tiap stasiun pengamatan. Faktor kualitas air masih dalam batas toleransi untuk pertumbuhan dan perkembangan biota karang. Penyebaran ikan karang terdapat pada daerah batu karang yang mati maupun yang hidup, pada pasir berbatu karang halus, pada sisa kapal atau tempat-tempat berbatu karang, kurang menyukai tempat yang terbuka.
2. ketersediaan Benih Analisis empat alternatif jenis ikan terhadap kriteria ketersediaan benih menujukkan bahwa kerapu mempunyai bobot yang tertinggi yaitu (0,31682). selanjutnya berturut-turut, bobot prioritas jenis ikan terhadap kriteria ketersediaan benih adalah teripang (0,27724), kakap (0,1783) dan lobster (0,18811). Bobot masing-masing alternatif terhadap kriteria ketersediaan benih untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Bobot prioritas alternatif (jenis ikan karang) terhadap kriteria ketersediaan benih No Jenis Ikan bobot 1. Kerapu 0,31682 2. Teripang 0,27724 3. Lobster 0,21783 4. kakap 0,18811
Faktor yang mempengaruhi tingginya bobot prioritas kerapu (0,31682) karena karena tersedianya benih yang berasal dari hatchery yang dapat diperoleh dari pusat pembenihan Loka budidaya Sekotong. Benih kerapu sudah berhasil dikembangkan dalam jumlah yang banyak khususnya untuk kerapu bebek dan kerapu macan, sehingga untuk pengadaan benih tidah harus mendatangkan dari luar lombok. Rendahnya bobot teripang, lobster ikan kakap dipengaruhi oleh rendahnya tangkap benih dari alam oleh nelayan terhadap jenis ikan tersebut. Faktor keterbatasan penguasaan teknologi dalam memproduksi benih di hatchery menyebabkan sulitnya benih diperoleh dalam jumlah yang banyak di lokasi penelitian.
3. Kondisi Pasar Analisis
empat alternatif jenis ikan terhadap kriteria kondisi pasar
menujukkan bahwa kerapu mempunyai bobot yang tertinggi yaitu (0,27958). Selanjutnya berturut-turut, bobot prioritas jenis ikan terhadap kondisi pasar adalah lobster (0,27598), kakap (0,23655) dan teripang (0,20789). Bobot masingmasing alternatif terhadap kriteria kondisi pasar untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Bobot prioritas alternatif (jenis ikan karang) terhadap kriteria kondisi pasar No
Jenis Ikan
1.
Kerapu
2.
Lobster
3.
Kakap
4.
Teripang
bobot 0,27958 0,27598 0,23655 0,20789
Kondisi harga pasar ikan karang ekonomis dalam bentuk hidup bervariasi, Ikan kerapu merupakan ikan air laut yang belakangan ini dihargai cukup tinggi khususnya untuk konsumsi restoran-restoran besar di dalam maupun di luar negeri. Ikan kerapu biasa diekspor dalam keadaan hidup ke beberapa negara seperti Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan, Malaysia dan Amerika Serikat. Harga ikan kerapu di tingkat nelayan saat ini seperti kerapu jenis Macan saat ini berkisar Rp 60.000-100.000 per kg hidup, kerapu bebek Rp 200.000-300.000
sedangkan kerapu Sunu Rp 150.000-200.000, bahkan untuk spesies tertentu yang lebih langka bisa dihargai jauh lebih mahal. Tingkat harga yang menarik dan kecocokan lingkungan budi daya ikan kerapu di banyak perairan pantai di wilayah Indonesia banyak menarik minat Pemerintah Daerah untuk bermitra dengan Perguruan Tinggi dan Pengusaha melakukan eksplorasi atas peluang investasi tersebut. Harga udang cukup mahal, yaitu per kilogramnya mencapai Rp 50.000/kg. Karena penangkapannya sangat mudah, populasi lobster dari tahun ke tahun selalu mengalami penurunan yang sangat drastis. Untuk ikan kakap dapat dijual dengan harga Rp 40.000/kg.Teripang merupakan salah satu komoditas ekspor dari hasil laut yang perlu segera dikembangkan cara budidayanya. Hal ini diperlukan mengingat nilai ekonomisnya yang cukup tinggi di pasaran luar negeri seperti Hongkong, namun sampai saat ini sebagian besar produknya masih merupakan hasil tangkapan dari laut, sehingga produktivitasnya masih sangat tergantung dari alam. Pada mulanya hanya teripang-teripang yang harganya mahal saja yang diambil oleh masyarakat, tetapi saat ini sudah hampir seluruh jenis yang dapat dimanfaatkan diambil. Dengan demikian, keberadaan teripang sudah semakin langka dan susah didapatkan. Saat ini harga teripang. berharga Rp 40.000 per kilogram.
4. Teknologi sea ranching Analisis empat alternatif jenis ikan terhadap kriteria teknologi sea ranching menujukkan bahwa kerapu mempunyai bobot yang tertinggi yaitu (0,26166). selanjutnya berturut-turut, bobot prioritas jenis ikan terhadap kriteria teknologi sea ranching adalah teripang (0,25090), lobster (0,24374) dan kakap (0,24373). bobot msing-masing alternatif terhadap kriteria teknologi sea ranching untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Bobot prioritas alternatif (jenis ikan karang) terhadap kriteria teknologi sea ranching No Jenis Ikan bobot 1.
Kerapu
2.
Teripang
3.
Lobster
4.
Kakap
0,26166 0,25090 0,24374 0,24373
Banyaknya informasi yang dilaporkan tentang hasil-hasil budidaya laut dengan sistem ranching, menjadikan tinginya bobot prioritas alternatif kerapu dengan alternatif jenis ikan lainnya yaitu teripang, lobster dan kakap. Beberapa negara telah berhasil mengembangkan kerapu sebagai komoditas yang dikembangkan untuk kegiatan sea ranching, seperti Cina, Jepang, dan negaranegara eropa lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi sea ranching telah mengalami peningkatan yang signifikan seperti
produksi benih (seed
production), teknik pelepasan (releasing), penangkapan kembali (recapturing). Di Lombok telah berhasil dalam pembenihan kerapu dalam jumlah yang relatif tinggi. Secara teknis sistem ini relatif tidak membutuhkan teknologi yang tinggi dalam desain kontruksi, karena pemeliharaan ikan tersebut dilakukan secara alami, yaitu dengan menggunakan terumbu karang sebagai habitat alami.
Analisis Perbandingan Menyeluruh Analisis perbandingan secara menyeluruh antar alternatif terhadap seluruh kriteria untuk memperoleh bobot prioritas jenis ikan yang paling sebagai komoditas untuk restocking. Hubungan antar alternatif jenis ikan dengan seluruh kriteria komoditi ikan karang dengan sistem sea ranching seperti terlihat dalam Gambar 13. Kesesusaian lingkungan
Kerapu
Ketersediaan benih
Kakap
Kondisi pasar
Lobster
Teknologi sea ranching&restocking
Teripang
Pemilihan komoditi sea ranching&restocking
Gambar 13 Hubungan antar kriteria dan jenis ikan komoditas sea ranching.
Hasil analisis perbandingan antar alternatif terhadap seluruh kriteria menunujukkan perbandingan relatif antara jenis ikan yang paling sesuai terhadap seluruh kriteria untuk dijadikan komoditas restocking dalam sea ranching dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Hasil analisis perbandingan relatif jenis ikan komoditas budidaya dengan sistem sea ranching
Kerapu Kakap Lobster Teripang
Kesesuaian lingkungan : 0,27847 0,27738 0,21899 0,27006 0,23357
Ketersedian benih : 0,30541 0,31682 0,18811 0,21783 0,27724
Kondisi Teknologi pasar : ranching: 0,28596 0,13016 0,27958 0,26166 0,23655 0,24373 0,27598 0,24374 0,20789 0,25090
sea bobot
0,41540 0,11680 0,19651 0,27134
Hasil analisis pada Tabel 20 menunjukkan bahwa jenis ikan untuk komoditas jenis ikan untuk kegaitan sea ranching mempunyai total bobot prioritas paling tinggi kerapu 41,54% (0,41540), selanjutnya berturut-turut teripang 27,13% (0,27134), lobster 19,65% (0,19651) dan kakap 11,8% (0,11680). Maka dari hasil perbandingan menyeluruh diperoleh grafik prioritas ikan yang di tebar sebagai rekomendasi untuk restocking di masa mendatang, seperti disajikan dalam Gambar 14.
kakap
lobster
teripang
11,68%
19,65%
27,13%
kerapu
41,54%
Gambar 14 Hasil analisis pemilihan komoditas budidaya ikan karang dengan sea ranching di kawasan perairan TWAL Gili Indah.
Terpilihnya kerapu sebagai komoditas budidaya dengan menggunakan sistem sea ranching, disebabkan kerapu mempunyai nilai prioritas cukup tinggi pada hampir semua kriteria. Hal ini tidak lepas dari keterkaitan antar setiap faktor dimana seluruh kriteria saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Faktor yang mempengaruhi terpilihnya kerapu sebagai komoditas budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching di kawasan perairan TWAL Gili Indah adalah sebagai berikut : 1. Benih kerapu seperti jenis kerapu macan dan kerapu bebek yang berasal dari pembenihan (hatchery) relatif tidak jauh dari kawasan Gili Indah yaitu
di Loka Budidaya Sekotong sehingga kebutuhan benih untuk kegiatan restocking dapat dipenuhi. 2. Memiliki nilai jual tinggi, dengan adanya permintaan ikan untuk kebutuhan pariwisata. 3. Kondisi lingkungan perairan
yang sesuai untuk pertumbuhan dan
perkembangan ikan kerapu. 4. Teknologi sistem sea ranching relatif ’mudah’ dilaksanakan oleh masyarakat di pesisir Gili Indah. Keberhasilan Balai Budidaya Laut dalam melaksanakan pemijahan ikan kerapu merupakan langkah awal dalam mata rantai sistem budidaya,
yang
antara lain meliputi pemeliharaan larva, pendederan dan selanjutnya sampai ukuran konsumsi. Teknik pemeliharaan larva ini salah satu sistim rantai budidaya yang
penting
bagi
kelanjutan
keberhasilan benih
untuk
direstocking.
Keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh teknik pemeliharaan larva, pola penyediaan pakan alami yang tepat untuk ukuran, jumlah dan waktu.
5.4 Strategi Pengembangan Budidaya Ikan Karang dengan Sistem Sea Ranching Dalam Mendukung Wisata Bahari Dari hasil pengamatan dan penelitian dilapangan serta masukan dari berbagai sumber maka dapat didiskripsikan beberapa kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman yang dimiliki oleh Kawasan TWAL Gili Indah, selanjutnya dilakukan penentuan prioritas faktor Internal dan Eksternal berdasarkan tingkat kepentingan, yang disajikan dalam Tabel 21.
Tabel 21 Matriks IFAS (Internal Factor Analysis Summary) KEKUATAN :
bobot
Kualitas perairan yang masih layak (feasible) untuk kehidupan biota laut Indahnya panorama alam dengan nilai estetik sebagai potensi wisata pantai dan perairan Adanya kearifan lokal (Awig-awig) yang masih dipatuhi oleh masayarakat Gili Indah Masyarakatnya Gili Indah hampir tidak lagi melakukan kegiatan penangkapan yg merusak Masyarakat setempat terbuka terhadap teknologi baru (dukungan Masyarakat) Sektor pariwisata menjadi menjadi sektor utama bagi perekonomian masyarakat Gili Indah Status sebagai kawasan TWAL, yang merupakan kawasan konservasi
rating
skore
0,10
2
0,20
0,09
2
0,18
0,11
3
0,33
0,07
2
0,14
0,09
3
0,70
0,07
3
0,21
0,13
3
0,39
Kerusakan terumbu karang
0,10
2
0,20
Rendahnya penguasaan teknologi budidaya oleh masyarakat
0,09
2
0,18
0,07
1
0,07
Keterampilan terbatas
0,08
2
0,16
Jumlah
1,00
KELEMAHAN
Kurangnya ketersediaan sarana produksi infrastruktur fisik penunjang budidaya
dan
2,33
Tabel 22 Matriks EFAS (External Factor Analysis Summary)
PELUANG :
bobot
rating
skore
Peningkatan permintaan hasil perikanan oleh pariwisata
0,13
3
0,39
Semakin meningkatnya teknologi budidaya dalam upaya penyediaan benih
0,09
2
0.18
Diversifikasi usaha
0,08
3
0,24
Akses informasi dan jarak ke lokasi relatif mudah dijangkau
0,11
2
0.22
Tingginya minat wisatawan terhadap keindahan terumbu karang
0,07
3
0,21
Adanya kesempatan berusaha
0,08
2
0,16
Pencemaran lingkungan
0,13
2
0,39
Kegiatan destructif fishing oleh masyarakat
0,12
2
0,24
Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap SDA laut dan pesisir
0,08
2
0,16
Komplik pemanfaatan lahan
0,11
2
0,22
Jumlah
1,00
ANCAMAN :
2,41
Berpijak dari hasil analisis seperti tersebut diatas, maka disusunlah bentuk-bentuk arahan strategi
dalam pengembangan budidaya ikan karang
dengan sea ranching yang merupakan hasil kombinasi dari aspek internal dan eksternal yang ada dan terjadi di TWAL Gili Indah (Tabel 23).
Tabel 23 Matrik SWOT (Perumusan Strategi) Kekuatan : 1. Kualitas
perairan masih layak untuk kehidupan bioata laut 2. Indahnya panorama alam dengan nilai estetik sebagai potensi wisata pantai 3. Adanya kearifan lokal (Awigawig) 4. Masyarakat Gili Indah hampir tidak lagi melakukan kegiatan penangkapan yang merusak 5. Masyarakat setempat terbuka terhadap teknologi baru (dukungan masyarakat) 6. Pariwisata menjadi sektor utama bagi perekonomian masyarakat Gili Indah 7. Status sebagai kawasan TWAL, yang merupakan kawasan konservasi
Kelemahan : 1. Kerusakan terumbu karang 2. Rendahnya penguasaan teknologi budidaya oleh masyarakat 3. Kurangnya ketersediaan sarana produksi dan infrastruktur fisik penunjang budidaya 4. keterampilan terbatas
Strategi SO
Peluang :
1. Peningkatan permintaan hasil perikanan oleh “kekuatan dan peluang” pariwisata 2. Semakin meningkatnya 1. Penciptaan usaha yang teknologi budidaya ramah lingkungan dalam upaya penyediaan benih
Strategi WO “kelemahan peluang” 1.
Rehabiltasi karang secara alami maupun artifisial dan restocking (pengkayaan stok)
2.
Peningkatan kualitas SDM
3. Diversifikasi usaha 4. Akses informasi dan jarak ke lokasi relatif mudah dijangkau 5. Tingginya wisatawan keindahan karang
minat terhadap terumbu
6. kesempatan berusaha
Tabel 24 Matrik SWOT (Perumusan Strategi) Kelemahan :
Kekuatan : 1. Kualitas perairan masih layak untuk kehidupan bioata laut
Kelemahan : 1. Kerusakan terumbu karang
2. Indahnya panorama alam 2. Rendahnya dengan nilai estetik sebagai penguasaan potensi wisata pantai teknologi budidaya oleh masyarakat 3. Adanya kearifan lokal (Awig-awig) 3. Kurangnya 4. Masyarakat Gili Indah hampir tidak lagi melakukan kegiatan penangkapan yang merusak 5. Masyarakat setempat terbuka terhadap teknologi baru (dukungan masyarakat)
ketersediaan sarana produksi dan infrastruktur fisik penunjang budidaya 4. keterampilan terbatas
6. Pariwisata menjadi sektor utama bagi perekonomian masyarakat Gili Indah 7. Status sebagai kawasan TWAL, yang merupakan kawasan konservasi Ancaman 1. Pencemaran lingkungan 2. Kegiatan destructif fishing 3. Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap SDA laut dan pesisir 4. Komplik pemanfaatan lahan
Berdasarkan
Strategi ST “kekuatan dan Ancaman” 1. Memfungsikan pengaturan tata ruang 2. Peningkatan kapasitas
hasil
Strategi WO “kelemahan Ancaman” 1. Pemberdayaan masyarakat 2. Pengembangan pola kemitraan (Comanajemen)
kelembagaan
jumlah
skore
pembobotan
pada
matriks
IFAS
menunjukkan nilai sebesar 2,33. Nilai tersebut mengandung arti bahwa reaksi masyarakat gili Indah terhadap faktor-faktor internal menunjukkan hasil pada tingkat rata-rata. Dengan kata lain masih ada kesempatan memperbaiki sumber daya alam serta kualitas sumber daya manusia untuk mengurangi kelemahan yang ada di wilayah tersebut jika dilakukan dengan tekad yang kuat serta kerja sama antar semua pihak. Sedangkan jika dilihat hasil jumlah skore pembobotan
dalam EFAS menunjukkan nilai sebesar 2,41. Jumlah
tersebut lebih besar
dibanding dengan skore IFAS. Nilai tersebut mengandung arti bahwa kondisi masyarakat Gili Indah mampu merespon situasi eksternal secara rata-rata. Dengan kata lain kemampuan masyarakat Gili Indah dalam memanfaatkan peluang untuk menghindari ancaman yang datang dari luar dalam kisaran ratarata. Sebuah pengelolaan perikanan yang baik dan berbasis masyarakat diharapkan dapat menghapus segala bentuk ancaman yang terjadi di Gili Indah. Dengan
memperhatikan segala potensi sumberdaya dan aktivitas
pariwista di Gili Indah dan digabungkan dengan faktor dari analisa SWOT maka disusun strategi pengembangan budidaya ikan karang sea ranching untuk mendukung wisata bahari. Selengkapnya rencana strategi sebagai berikut:
) Strategi “kekuatan dan peluang” (1)
Penciptaan Usaha yang Ramah Lingkungan
- Berburu ikan (Fishing hunting) , dan Olah Raga Pancing (Sport Fishing) Diversifikasi usaha dalam bentuk produk perikanan dapat dikembangkan dari bahan baku perikanan yang diusahakan sedemikian rupa untuk menunjang aktivitas pariwisata yang sudah ada. Dalam kaitannya dengan kegitan perikanan, pariwisata dapat memberikan kontribusi yang cukup baik dan menguntungkan. Produksi dan hasil tangkap dari nelayan dapat dengan mudah dijual, dan dengan harga yang cukup baik, bahkan dapat digolongkan mahal. Disamping itu dengan meningkatkan penampilan dan kebersihan perahu-perahu nelayan tersebut, para nelayan dapat mengfungsikan perahu mereka untuk angkutan pariwisata terbatas misalnya, mengantar wisatawan di sekitar pantai untuk menikmati keindahan pantai, dan mengantar wisatawan memancing. Disamping itu juga diverivikasi lainnya dapat berupa kegiatan berburu ikan (Fishing hunting) dan mengamati ikan (Fishing Shooting). Untuk mendukung kegiatan tersebut maka diperlukan beberapa hal sebagi berikut: - Koordinasi antar pihak yang terkait dalam kegiatan pariwisata dengan kelompok-kelompok nelayan dalam rangka penyediaan akomodasi berupa peralatan memancing, berburu atau dalam pengamatan biotabiota laut. Kegiatan usaha ini dapat diberikan kepada pihak koperasi,
swasta maupun perorangan yang terlebih dahulu mendapat izin dari instansi terkait. - Pemerintah daerah mengatur dan
memberikan peluang bagi semua
pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha perikanan. - Memberi bantuan kredit (kerjasama pemerintah dengan bank) untuk pengembangan usaha kaitannya dengan wisata perikanan. )
Strategi “kelemahan - peluang”
(1) Rehabilitasi Karang secara Alami maupun Artifisial dan Restocking Ikan Keberhasilan proyek pendirian bangunan AR sangat dipengaruhi oleh pemahaman yang baik tentang pengetahuan ekologi terumbu karang dan hubungannya dengan AR tersebut. Temuan dari hasil kajian dan percobaan ekologi laut menunjukkan bahwa pertumbuhan karang dan ikan dapat pulih pada habitat karang yang telah mengalami kerusakan yang cukup parah sekalipun, asal saja kebutuhan dasar untuk pertumbuhan karang (temperatur, salinitas, kandungan oksigen, pH dan kejernihan air laut yang sesuai) dapat dipenuhi. Berbagai jenis ikan yang biasa hidup di habitat karang dengan bersimbiosis dalam sistem ekologi habitat karang akan berdatangan ke lokasi terumbu karang buatan setelah beberapa tahun berjalannya waktu. Jenis ikan karang (ikan kerapu dan lain-lain) dapat ditebar untuk berkembang biak di sekitar terumbu karang buatan. Untuk mempercepat perkembangan populasi jenis ikan tertentu dapat dilakukan penebaran sejumlah anak ikan (juvenile) ke dalam areal terumbu karang atau fish sanctuary. Dalam pelaksanaan restocking ini ada beberapa tahapan yang harus dilakukan agar kegiatan ini dapat berjalan dengan baik dan sempurna, yaitu : a. Peninjauan ke lokasi kegiatan bertujuan : 1. Mendapatkan informasi mengenai perairan umum yang akan dilakukan restocking. Informasi tersebut antara lain: luas, tingkat kesuburan, tingkat pemanfaatan/ pengusahaan, kedalaman, jenis-jenis ikan asli yang ada/pernah ada, gangguan/ hambatan yang dialami, usaha pembinaan yang pernah dilakukan, gangguan lingkungan
(pencemaran),
peraturan
perundangan
pemerintah
daerah
setempat, dan lain-lain. Kualitas lingkungan sangat menentukan keberhasilan kegiatan sea ranching. Kondisi perairan TWAL Gili Indah yang bebas dari bahan pencemar
merupakan hal yang ideal dalam penerapan sea ranching. Hal ini menjadi penting terlebih karena lokasi kegiatan sea ranching berdekatan dengan sentra penduduk dan kegiatan pariwisata. Hal ini disebabkan karena karakteristik perairan yang dinamis, dapat mengalir ke berbagai arah dalam waktu yang relatif singkat, sehingga dengan mudah membawa bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Namun untuk tindakan preventiv diperlukan melalui pembatasan kegiatan pemanfaatan dan pengawasan dari pengelola TWAL Gili Indah. Terumbu karang di perairan TWAL Gili Indah ini telah banyak mengalami kerusakan yang cukup parah. Menurut informan, dibandingkan lima tahun yang lalu, karang disini perairan ini jauh berkurang. Ekosistem terumbu karang kawasan TWAL Gili Indah dari tahun-ketahun terus mengalami perubahan. Perubahan tersebut cenderung bersifat degradatif (berkurang). Perubahan yang terjadi dapat diketahui dari perubahan luas tutupan, kemelimpahan dan keanekaragaman biota penyusunnya, terutama terumbu karang dan ikan karang. Sejalan dengan waktu dan peningkatan pemanfaatan, berdasarkan citra tahun 2004 diperoleh gambaran bahwa luasan tutupan karang hidup hanya tinggal 165,6 hektar dari 321 hektar tahun 1985. Untuk itu perlu adanya suatu upaya untuk meminimalisir faktor-faktor tersebut dan melakukan upaya rehabilitasi kerusakan yang ada secara berkelanjutan. Bangunan AR dapat ditempatkan
di bagian timur dan utara Gili
Trawangan, untuk Gili Meno ditempatkan di bagian timur dan barat sedangkan untuk Gili Air AR dapat ditempatkan di bagian selatan dan barat pulau. Penetapan lokasi ini berdasarkan hasil penelitian kondisi terumbu karang saat ini. Hal ini mengingat persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemasangan AR adalah harus berdekatan dengan habitat karang yang belum rusak total dengan arus dan gelombang laut, bibit karang secara alamiah akan terbawa dan menempel serta tumbuh di terumbu buatan yang dipasang. Substrat serpihan karang yang ada di kawasan ini memiliki cukup sumber larva karang dari dekat terumbu karang yang hidup. Dengan menggunakan tumpukan batu secara sederhana, dapat menjadi pilihan dalam pembuatan AR, disamping
biaya
rendah, rehabilitasi skala besar bisa menjadi pilihan yang cukup baik untuk mempertahankan struktur dasar terumbu karang, yang pada akhirnya akan mengembalikan terumbu karang, ikan dan kehidupan lainnya yang berasosiasi
dengan terumbu karang. Untuk mempercepat pemulihan sumberdaya iakn maka dilakukan restocking ikan karang seperti kerapu, baronang, dan lain-lain. Secara konvensional artificial reef dapat juga diciptakan dari susunan ban, mobil bekas, kerangka mobil atau kapal yang sudah tidak dimanfaatkan lagi. Berdasarkan tata letaknya secara vertikal, artificial reef dibagi menjadi 2 yaitu artificial reef (AR) tipe mengapung dan tipe dasar. Dari hasil penelitian jenis ikan yang akan di restocking adalah kerapu, dengan demikian diperlukan letak terumbu artificial reef menggunakan tipe dasar. Artificial tipe ini ini umumnya digunakan untuk memperkaya hewan yang hidup di dasar seperti lobster, abalon dan ikan-ikan demersal. Artficial reef diletakkan atau disusun pada kedalaman 10-30 meter dan cara penyusunan dapat dilakukan secara individual, kelompok.
2. Mengetahui keadaan sosial ekonomi masyarakat/petani ikan/ penduduk yang bermukim di sekitar perairan TWAL Gili Indah. Terjadinya pergeseran mata pencaharian masyarakat Gili Indah ke arah sektor pariwisata telahmerasakan kehidupan
lebih baik. Pengembangan
pariwisata menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat akan penetingnya konservasi terumbu karang sebagai komoditas yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup meraka. Kegiatan budidaya sea ranching ditanggapi secara positif oleh masyarakat dan pengusaha pariwisata Gili Indah, Kegiatan rehabilitasi terumbu karang dan restoking ikan karang di Gili Indah harus dapat berjalan seacra berkelanjutan (secara ekonomi, sosial dan ekologi), dan dikelola dengan kesatuan institusional dan menajemen yang baik untuk mengatasi degradasi lingkungan dengan menerapkan konservasi, pendidikan,
pelatihan
dan
peningkatan
kapasitas
dan
pembagunan
sumberdaya masyarakat Gili Indah. b.
Peninjauan sumber benih Peninjauan ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesiapan
pengadaan benih yang berasal dari Balai Benih, Unit Pembenihan Rakyat (UPR) atau petani ikan pengumpul benih atau sumber benih lainnya. Informasi yang digali antara lain : jenis ikan yang dibenihkan, jumlah benih ikan yang dapat dihasilkan, ukuran, kesehatan ikan, kelayakan benih yang ditebarkan. Dalam pemenuhan benih dalam skala produksi, maka balai Loka Budidaya sekotong dapat dijadikan sebagai penyedia benih khususnya kerapu macam dan kerapu bebek. Disamping balai tersebut, juga dapat benih dapat diperoleh
Balai pembenihan yang berpusat di Gondol, Bali. Sehingga dalam pemenuhan kebutuhan benih dapat secara kontiniu terpenuhi. c.
Pengadaan benih dan syarat pemilihan jenis Dalam pemelihan jenis benih yang akan ditebar diutamakan jenis-jenis
yang sudah berhasil dikembangkan secara massal,
mudah dan cepat
berkembang biak, sehat dan tidak mengandung penyakit, cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru tidak bersifat predator, mudah diperoleh dalam jumlah yang cukup memadai untuk penebaran, ukuran minimal 5 – 8 cm. Apabila ikan dipandang telah cukup berkembang maka daerah terumbu karang pada kawasan Gili Indah dapat dibuka untuk aktivitas penangkapan terbatas, yang artinya : 1. Jenis alat tangkap akan dibatasi misalnya hanya boleh ditangkap dengan alat pancing saja (hand line). Alat lain (misalnya perawe, bubu, gilnet, jaring dengan kantong, muroami) tidak diperbolehkan karena merusak habitat karang 2. Pemancingan dilakukan di sekitar daerah terumbu karang misalnya jaraknya dari terumbu karang tidak boleh lebih dekat dari 50m. Untuk memudahkan
mengetahui
posisi
yang
diperbolehkan
bagi
nelayan
dibuatkan rambu batas dengan tali dan pelampung bertanda khusus. 3. Operasi penangkapan di sekitar terumbu karang dan hasil tangkapan dibatasi dengan menetapkan ukuran ikan yang boleh ditangkap. Misalnya ukuran panjang total ikan yang boleh ditangkap adalah ukuran common size. Untuk jenis kerapu antara 40-70cm. Yang lebh kecil (anak ikan) atau lebih besar (induk ikan yang telah matang gonad) bila tertangkap harus dilepas kembali. 4. Jumlah dan ukuran mata yang dipakai dibatasi pada nomor mata pancing tertentu. Misalnya mata pancing no. 3 sampai no.5, dengan sebanyakbanyaknya 10 mata pancing untuk setiap perahu. 5. Untuk
membatasi
kegiatan
operasi
penangkapan
dapat
dilakukan
penutupan masa tangkap misalnya selang satu bulan harus bebas (tidak ada kegiatan) penankapan bila di areal yang berdekatan terdapat lebih dari satu terumbu karang buatan, penutupan masa tangkap dapat dilakukan bergantian antara terumbu karang yang satu dengan yang lainnya. 6. Perkembangan dan pertumbuhan ikan yang ditebar di sekitar terumbu karang perlu dipantau dengan penyelaman (misalnya 1 atau 2 kali
perbulan), dilakukan pemotretan atau rekaman video bawah air untuk memonitor tingkah laku (fish behaviour) di sekitar bangunan AR. 7. Selain hasil pemancingan dilarang memindahkan atau mengambil atau memindahkan benda atau organisme/ tumbuhan karang apapun yang ada disekitar AR 8. Kegiatan penyelaman, untuk kegiatan sport (termasuk pengambilan gambar dan video dalam air, pengumpulan kerang-kerangan atau melihat-lihat pemandanagan bawah air) sering kali dilakukan di daerah terumbu karang, perlu dikelola agar tidak menimbulkan kerusakan atau gangguan terhadap kegiatan restocking maupun terumbu karang buatan. 9. Untuk mengamati perkembangan organisme karang dapat dilakukan pengamatan
dengan
metode
transek
yaitu
melakukan
underwater
observation untuk mengindentifikasi, menghitung dan menentukan posisi individu organisme yang hidup di habitat karang buatan tersebut.
d. Koordinasi Kegiatan Rehabilitasi dan Restocking (Pengkayaan Stok) Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan kegiatan restocking
didasarkan
pada strategi komunikasi, koordinasi, informasi dan pendidikan. Sebagai pihak pengelola kantor BKSDA Mataram sebagi leading sector dituntut untuk memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dan berkoordinasi dengan berbagai pihak, untuk melancarkan kegiatan rehabilitasi terumbu karang dan restocking ikan karang seperti kerapu. Koordinasi ini dimulai dari tingkat persiapan, pelaksanaan penebaran,
pembinaan,
pengendalian,
pengelolaan,
pemantauan
dan
pengawasan. dan terpadu dengan pembagunan di wilayah Gili Indah dan sekitarnya. Beberapa intansi yang terkait yang perlu dikoordinasikan dalam kegiatan rehabilitasi terumbu karang dan restoking ikan karang: -
Pemerintah daerah (Dati I, Dati II, Kecamatan, dan Desa)
-
Dinas Pariwisata
-
Dinas Perikanan
-
Kantor-kantor wilayah departemen teknis terkait seperti; perhubungn, pertanian, penerangan dan lain-lain
-
Lembaga Swadaya Masyarakat
-
Pihak swasta
-
Masyarakat dan tokoh masyarakat
e. Monitoring dan evaluasi Perhatian Pemerintah Daerah Lombok barat sangat berperan dalam pemanfaatan artificial reef (habitat buatan) untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan. Tantangan akan perlunya meningkatkan dan melestarikan sumberdaya alam mendorong pemerintah
Lombok Barat dan
pengguna bersama-sama mengupayakan pengembangan pengelolaannya. Kegiatan penelitian, pengkajian dan penerapan terhadap perkembangan teknik artificial reef (AR) terus berjalan seiring dengan komitmen pemerintah untuk melestarikan dan meningkatkan kualitas pariwisata di Gili Indah. Untuk mengetahui hasil dan efektivitas kegiatan restocking ikan karang dan pemasangan terumbu karang buatan ini, dilakukan monitoring dan evaluasi berbasis masyarakat. Kegiatn motoring ini tidak lepas dari pendampingan oleh BKSDA sebagai penganggung jawab penuh terhadap pengelolaan kawasan TWAL Gili Indah. .Kegiatan monitoring dan evaluasi restocking ikan karang
AR yang
dilakukan antara lain adalah: observasi, pendataan (pencatatan biota karang), pengambilan gambar bawah air dan pekerjaan penentuan kualitas air di laboratorium (pengukuran salinitas, BOD, kekeruhan, ph air, jenis dan jumlah karang yang tumbuh, kandungan plankton
(2) Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia Sumberdaya
manusia
mempunyai
peranan
sentral
yang
menentukan berhasilnya seluruh proses pengembangan sea ranching
sangat oleh
karena itu, pengembangan dan pembinaan sumberdaya manusia ini menjadi sangat penting. Pengembangan dan pembinaan SDM merupakan merupakan langkah yang strategis dalam rangka pembagunan lembaga pengelola ataupun masyarakat lokal. Melalui program ini diharapkan akan tercipta suatu lembaga atau masyarakat pengelola yang handal dan kuat yang mempunyai kemanpuan atau kapasitas yang tinggi. Progarm pengembangan dan pembinaan SDM dalam kegiatan sea ranching ini dilakukan antar lain dengan cara mengikutsertakan staf pengelolaan TWAL dan masyarakat lokal pada berbagai kursus dan training yang relevan terkait dengan budidaya sea ranching seperti (1) pelatihan menajemen usaha budidaya kerapu dengan sistem sea ranching, (2) pelatihan teknis budidaya kerapu (teknik pembenihan, teknik penebaran, padat penebaran), (3) praktikum
pelatihan teknis budidaya
(4) pelatihan teknis
perbaikan dan pelestarian
lingkungan.
&
Strategi “kekuatan – ancaman”
(1)
Memfungsikan Pengaturan Tata Ruang Laut Belum terlaksanannya pengaturan tata ruang laut merupakan salah satu
permasalahan mendasar dalam konservasi terumbu karang di NTB.
Sampai
saat ini, pengaturan tata ruang laut semacam itu masih belum pernah dilakukan di NTB. Taman wisata laut (TWL) Gili Indah (Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air), misalnya, telah lama ditetapkan menjadi wilayah konservasi. Konservasi terumbu
karang
memerlukan
perlindungan
pada
terumbu-terumbu
yang
mempunyai nilai ekologis sangat penting, misalnya terumbu sumber larva bagi terumbu yang lain. Konservasi terumbu karang juga harus melindungi terumbuterumbu tertentu untuk menjamin keberlanjutan reproduksi ikan-ikan dan biota terumbu karang yang lain. Setiap orang masih bisa membuang jangkar dimana saja dan kapan saja. Jika ada lima perahu dua kali sehari membuang jangkar di tempat yang sama, maka dalam sebulan akan ada 300 jangkar memecah karang di lokasi tersebut. Padahal jumlah perahu wisata yang beroperasi di Gili Indah lebih dari 50 buah setiap hari. a.
Kawasan terumbu karang yang dijadikan kawasan restocking dilindungi
dengan membuat Perda yang mengatur mekanisme kawasan restocking. b.
Kawasan terumbu karang yang sedang direhabilitasi dan dilakukan
restocking ikan dilindungi dengan cara menempatkan rambu atau tanda seperti pelampung, papan pengumuman di laut agar nelayan atau siapa saja tidak melakukan aktivitas dikawasan tersebut. c.
Untuk mencegah ikan penangkapan ikan atau organisme lain dari daerah yang
dilindungi perlu dilakukan patroli/ronda untuk menghindari daerah
terumbu karang yang mengalami perbaikan dari nelayan atau orang yang tidak mempunyai kepentingan. Patroli dan penjagaan dilakukan oleh petugas From Pemuda Satgas Gili Indah dan dibantu oleh petugas dari BKSDA yang bertanggung jawab mengawasi kawasan TWAL Gili Indah dan bekerja sama dengan masyarakat setempat.
(2) Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelembagaan masyarakat yang ada di desa Gili Indah terdiri dari lembaga Pemerintah meliputi desa, dusun, BPD dan LKMD sedangkan lembaga non pemerintah antara lain : yayasan Front Pemuda Satgas Gili (YFPSG), Ecotrust, Yayasan Gili Indah Lestari dan lembaga
non pemerintah lainnya.
Masyarakat Gili Indah sendiri telah memiliki peraturan untuk
pelestarian
lingkungan, yang dikenal dengan awig-awig. Hal ini membuktikan sudah adanya kesadaran dan kepedulian akan lingkungan pada masyarakat. Peraturan ini disahkan oleh keputusan NO.12/Pern.1.1/06/98 pada bulan september 1998 tentang awig-awig pemeliharaan dan pengelolaan terumbu karang. Pembuatan awig-awig ini dilaksanakan oleh pengurus kelompok Pelestraian Lingkungan Terumbu Karang (KLTK). Badan Pengelola Pariwisata Gili Indah yang merupakan institusi dari berbagai pihak yang terkait (stakeholder) untuk mengembangkan pariwisata Gili Indah secara berkelanjutan. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) dibawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dari Dinas Kehutanan merupakan institusi penanggung jawab Peningkatan kapasitas kelembagaan ini diharapkan berperan dalam pendampingan teknis dan pembentukan kelompok usaha yang berkaitan dengan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching. Pembuatan formulasi pengaturan untuk merancang rangkaian kebijakan dan tujuan yang akan dicapai menyangkut kegiatan
restocking dan rehabilitasi terumbu karang dalam
mendukung kegiatan pariwisata. Penguatan kelembagaan ini hendaknya di dukung oleh adanya sistem property right yang jelas atas area sea ranching melalui pembuatan daerah ”penangkapan terbatas” (Demarcated Fishing) sehingga dalam pengelolaannya
tidak menimbulkan konflik antar berbagai
lembaga yang berwenang di kawasan ini. Adanya pengakuan secara legal dari pemerintah daerah atas kesepakatan lokal yang telah ditetapakan. Secara rinci peningkatam kapasitas kelebagaan terdapat dalam Gambar 15.
Intitutional Arrangement
Struktur Kelembagaan Lembaga non pemerintah & ecotrust
Pemda
BKPM
- KSDA - Stakeholders
`
SATGAS
Current Legislation
Pemda memfasilitasi Dukungan masyarakat Koordinasi dengan stakeholders Kerjasama dengan lembaga non pemerintah
Otonomi daerah, Undang-undang, Perda, intruksi gebernur, menagemen perikanan danLegislation kelautan : tentang penangkapan ikan, Current wilayah konservasi, lingkungan, dan terumbu karang
Awig-awig (Tradisional Rule)
Technical Capacity Model alokasi sea ranching yang optimal Sistem pemantauan dan integrasi data base SDM
Management Instrument sea Ranching
Action Program
Pilot Preject Rehabilitasi dan Perbaikan&coral Reef Mangement perlindungan terumbu karang artificial reefs estabilishment Restocking benih Pemantauan secara teratur Proteksi daerah kegiatan restocking Monitoring dan inventory Peningkatan fasilitas Peningkatan SDM melalui pendidikan&pelatihan Budidaya ikan karang sistem sea ranching
Structural Instrument Pengembangan tata ruang dan daya dukung kawasan Coastal community building dan capacity building Prasarana dan infrastruktur untuk Sea ranching
Regulatory Peraturan dan pengendalian (enforcement) penangkapan Perizinan dan denda Penetapan insentif Pemasaran
Community based Agribisnis Pembentukan kelompok usaha bersama Pendampingan teknis Pembentukan usaha kemitraan antara pengusaha pariwisata dan masyarakat lokal Peningkatan kualitas produk perikanan Peningkatan ekonomi dan partisipasi masyarakat Pelatihan teknis sea ranching Pelatihan menajemen usaha budidaya Pemasaran produk – produk pariwisata
Implementasi
Gambar 15 Pilar sosial dan kelembagaan pengelolaan budidaya Ikan karang sistem sea ranching
&
Strategi “kelemahan – ancaman”
(1) Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat, yang memberikan ruang bagi masyarakat dalam perencanaan pengembangan dan pemilikan kawasan dengan tujuan membina tingkat
partisipasi dan kemandirian masyarakat. Dalam konteks,
pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan: -
Pemberdayaan lembaga ekonomi masyarakat desa seperti koperasi Gili Indah yang menjadi suatu koperasi penyediaan modal dan sarana dalam mendukung kegiatan sea ranching untuk penyediaan alat tangkap dan akomodasi lainnya dalam rangka diversifikasi produk kegiatan pariwisata.
-
Meningkatkan fungsi Lembaga Kemasyarakatan (Yayasan Front Pemuda Satgas Gili (YFPSG), Ecotrust, Yayasan Gili Indah Lestari) di kawasan Gili Indah sebagai mitra pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dengan cara memprioritaskan masyarakat lokal dalam dalam kegiatan-kegiatan produktif terkait dengan sea ranching. Seperti pemandu wisata diving, berburu ikan, olah raga pancing. Prinsipnya semakin banyak melibatkan masyarakat lokal dalam usaha-usaha industri wisata maka semakin besar kemungkinan masyarakat aktif berpartispasi.
-
Menigkatkan kapasitas tenaga pendamping lapangan ini biasanya dari LSM atau Perguruan Tinggi (UNRAM) yang bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam penyusunan dan pelaksanaan suatu program. Paling tidak ada 3 LSM yang perlu diajak bekerja sama di TWAL Gili Indah yakni Samudera, Yayasan Jari, dan Kelompok Pelestarian Lingkungan “ Karang Biru” yang ada di Gili Trawangan. Samudra, Misalnya, sudah mempunyai rencana kegiatan pelestarian terumbu karang yang akan dilaksanakan di Gili Trawangan. Sementara LSM Jari mempunyai kegiatan seperti pelatihan penyelam dan sebagai diving bagi turis yang melakukan diving sedangkan karang biru yang mempunayai program, baik jangka pendek maupun panjang, dimana pengurus intinya merupakan tokoh-tokoh informal di Desa Gili Indah.
(2) Pengembangan Pola Kemitraan (Co-manajemen) Pengembangan sea ranching diharapkan antara masyarakat lokal dan pengusaha dapat menjalin kerjasama dalam bentuk kemitraan. Dengan pola kemitraan semacam ini para nelayan tetap dapat bekerja bebas sesuai dengan kemampuannnya dibidang perikanan, namun dengan derajat kontrol tertentu sesuai dengan komoditas yang diusahakan. Kemitraan yang memungkinkan dapat dibentuk dalam perikanan tangkap adalah dengan nelayan lokal yang melakukan penangkapan disekitar pantai (nelayan-nelayan kecil menengah) yang akan lebih efektif bila dilakukan dengan kelembagaan kelompok nelayan perikanan/koperasi perikanan yang profesional karena sulit dilakukan kemitraan secara langsung dengan individu. Dalam kemitraan usaha yang bergerak dibidang pariwisata bukan hanya menentukan jenis dan jumlah produksi perikanan yang harus diproduksi, disamping itu para pengusaha pariwisata ini juga dapat memperkenalkan teknis atau proses produksi serta kemungkinan pengusaha memberikan sarana penunjang produksi bagi para nelayan, sehingga kemitraan usaha produksi yang tetap ramah lingkungan merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam pembentukan kelembagaan pemasaran
dengan pola kemitraan di
Kawasan Gili Indah. Ada beberapa keuntungan yang akan diperoleh bagi kelompok nelayan kecil dengan melibatkan diri pada pola kemitraan ini dengan pengusaha pariwisata antara lain nelayan tidak perlu bersaing dengan nelayan-nelayan besar dalam memasarkan hasil tangkapan dan dapat melakukan komunikasi langsung dengan calon pembeli dengan tetap menjaga agar tidak terjadi monopoli usaha sehingga terjadi ketergantungan yang saling merugikan
kedua
belah pihak atau salah satu pihak yang dirugikan. .
Dari
pihak
mendapatkan
pariwisata
supply
produk
memiliki lebih
beberapa rutin
dan
keuntungan
antara
lebih
dan
jelas
lain dapat
mengkomunikasikan secara langsung mengenai kualitas, ukuran serta jumlah. Bila bentuk kemitraan ini dapat dilaksanakan dan dirancang dengan baik, maka pergerakan ekonomi masyarakat akan lebih baik. Selain bentuk kemitraan dalam transaksi produk tetapi juga dapat dilakukan dalam bentuk “jasa”. Nelayan dengan fasilitas dan keterampilannya dapat melakukan diversifikasi usaha dengan menawarkan jasa “Wisata Bahari” berupa menyewakan perahu/kapal pada para tamu resort pulau wisata yang mengunjungi Gili Indah.
Kegiatan ini secara sinergis dapat dilakukan, pemilik resort merelakan sebagian lokasi pantainya untuk tambat perahu-perahu nelayan sehingga dapat menawarkan jasanya kepada pawa wisatawan. Dari pihak pemilik resort sendiri keuntungan yang dapat diperoleh adalah berupa diversifikasi jasa yang ditawarkan pada para pengunjung/wisatawan, sehingga pada akhirnya para nelayan akan turut membantu dalam menjaga keamanan lingkungan (safety) dan pelestarian sumberdaya alam karena melibatkan masyarakat lokal (community based management).