22
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Makanan Pokok Makanan pokok masyarakat Baduy adalah beras yang berasal dari padi (pare), berdasarkan hasil wawancara terdapat 46 varietas padi yang masih ditanam dan dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy. Meskipun demikian, jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa padi yang ada di baduy berjumlah 89 varietas (Iskandar dan Ellen 1999). Bagi masyarakat Baduy padi adalah sesuatu yang sangat berharga karena berkaitan dengan kepercayaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, Sang Dewi Padi. Dalam aturan adat, masyarakat Baduy tidak diperkenankan untuk menanam padi sawah/basah, membajak tanah, menggunakan pestisida, dan mengaliri sawah dengan air sehingga sistem perladangan yang digunakan adalah ladang tadah hujan. Hal ini berimplikasi pada keharusan masyarakat Baduy untuk menguasai kondisi perubahan musim dan masa tanam yang mereka tentukan dengan melihat perputaran gugusan bintang di langit (Kurnia dan Sihabudin 2010; Wilodati 2007). Padi yang biasa ditanam adalah pare ketan biasa, pare koneng, pare siang, pare seungkeu, pare pendok dan pare ketan langga sari (Raharjo et al. 2002; Senoaji 2011). Padi hanya ditanam satu kali dalam satu tahun dengan ketentuan padi yang ditanam minimal berasal dari 5 varietas (Senoaji 2011). Selain itu terdapat aturan bahwa pare ketan tidak boleh ditanam berhadapan dengan pare siang dan pare koneng, dan letak pare ketan harus ada di sebelah barat (Gambar 6). Pengetahun berladang masyarakat Baduy sangat arif, untuk tetap menjaga kesuburan tanah, ladang yang telah dipanen padinya akan ditinggalkan selama 3-5 tahun untuk mengembalikan kekayaan unsur hara tanah (memberakan). Peralatan yang digunakan dalam berladang hanya arit (sabit), kujang (pisau), kored (untuk membersihkan rumput), dan aseuk (untuk membuat lubang tempat biji ditanam).
Sumber: Iskandar dan Ellen (1999)
Gambar 6 Sketsa huma masyarakat adat Baduy
23
Pengelolaan ladang (huma) Dalam tradisi masyarakat Baduy dikenal enam jenis huma yang memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya baik secara fungsi, letak, serta kepemilikan dan proses pengerjaannya. Keenam jenis huma tersebut antara lain (1) huma serang yaitu ladang khusus untuk padi yang dianggap suci dan berada di wilayah Baduy Dalam (tangtu), (2) huma puun yaitu ladang khusus milik puun (pemimpin Baduy), (3) huma tangtu yaitu ladang milik orang Baduy tangtu/dalam (Kampung Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana), (4) huma tuladan, yaitu ladang bersama yang berada di Baduy Luar yang hasilnya untuk keperluan desa, (5) huma panamping yaitu ladang para warga panamping/ Baduy Luar, (6) huma orang Baduy yaitu ladang orang-orang Baduy di luar Desa Kanekes. Ada tujuh tahap dalam proses mengerjakan huma, yaitu: 1. Narawas dan nyacar : diawali dengan kegiatan narawas (membaca mantra selama 3 hari dan meletakkan panglai, asahan, kakait, dan daun tepus sebagai tanda), selanjutnya menebas semak belukar (agar sinar matahari dapat masuk) tetapi pepohonan besar tidak ditebang. Kegiatan ini berlangsung kira-kira 30 hari untuk menyelesaikan lahan ±1 hektar. 2. Nukuh dan nuaran : menumpuk ranting dan daun-daun pepohonan setelah itu ditinggalkan selama 3 hari. 3. Ganggang : mengeringkan ranting dan daun di bawah teriknya matahari selama 15 hari. 4. Ngahuru : membakar lahan garapan untuk menghilangkan tumbuhan pengganggu. Sebelum melakukan kegiatan tersebut dibacakan mantra agar api tidak menjalar selain itu dibuat pula sekat bakar di sekitar pohon yang tersisa agar pohon tidak ikut terbakar. 5. Ngaduruk : membakar sisa-sisa ranting dan daun yang telah dikeringkan 6. Nyasap : membersihkan rumput-rumput kecil yang masih tersisa 7. Ngaseuk : membuat lubang untuk menanam menggunakan tugal (pria) menanam butiran padi dalam lubang tanam (wanita). Sistem penanggalan masyarakat Baduy berbeda dengan sistem penanggalan hijriyah maupun masehi meskipun dalam penanggalan Baduy dikenal 12 bulan sama seperti yang lainnya namun dalam 1 bulan hanya ada 30 hari. Dengan demikian dalam satu tahun ada 360 hari dan ada 4-5 hari masa untuk menghitung atau menentukan penanggalan tahun berikutnya berdasarkan kolejer (dasar penentuan waktu masyarakat Baduy). Penentuan bulan dan penanggalan masyarakat Baduy sangat erat kaitannya dengan kalender kegiatan upacara adat yang dimulai dari seba di bulan safar, sebagai tanda dimulai tahun baru kalender Baduy sampai kawalu tutug pada akhir bulan katiga (Tabel 10). Tabel 10 Susunan kegiatan upacara adat dan perladangan di Baduy berdasarkan penanggalan No 1. 2.
Bulan Safar (April-Mei) Kalima (Mei-Juni)
3. 4.
Kaenem (Juni-Juli) Katujuh (JuliAgustus)
Kegiatan Upacara Adat Seba Muja pada tanggal 17-18, acara geseran, kawinan, dan sunatan Hajatan perkawinan dan selamatan
Kegiatan Berladang Narawas huma serang Nyacar huma serang Nukuh di huma serang Ngaduruk dan ngaseuk di huma serang, nyacar di huma puun
24
Tabel 10 Lanjutan No 5.
6.
7. 8.
9. 10.
Bulan Kadalapan (AgustusSeptember) Kasalapan (SeptemberOktober) Kasapuluh (Oktober-November) Hapit Lemah (NovemberDesember) Hapit Kayu (Desember-Januari) Kasa (JanuariFebruari)
Kegiatan Upacara Adat
Kegiatan Berladang Ngored di huma serang, nukuh dan ngaduruk di huma tangtu Ngored di huma serang dan huma puun Ngored dan meuting di huma Ngirab sawah, ngored, dan meuting Ngored, ngubar pari, dan meuting Panen di huma serang
Kawalu Tembeuy (awal) puasa tanggal 17 di Cikeusik dan Cikertawana, tanggal 18 di Cibeo 11. Karo (FebruariKawalu Tengah puasa tanggal 18 di Panen di huma puun Maret) Cikeusik dan 19 di Cibeo Panen di huma tangtu dan 12. Katiga (MaretKawalu Tutug (akhir) puasa tanggal April) 17 di Cikeusik dan Cikertawana, huma masyarakat tanggal 18 di Cibeo. Acara ngalaksa tanggal 20-27 Sumber: Ichwandi dan Shinohara (2007); Kurnia dan Sihabudin (2010)
Bagi masyarakat Baduy ngahuma adalah suatu kegiatan yang membutuhkan kerja sama erat antara pria dan wanita. Pada masa pertama padi tidak dibiarkan begitu saja, tetapi pada tiga bulan pertama diurus dengan baik misalnya dengan membersihkan rumput menggunakan kored (ngored) yang dilakukan beberapa kali. Selain itu padi diubaran atau diobati, campuran debu dapur dengan berbagai ramuan umbi sebagai pencegah hama. Waktu tanam atau ngaseuk ditentukan dengan perhitungan tepat dengan tujuan agar menghindari masa hama padi (Garna 1996).
Gambar 7 Ikatan atau pocong padi yang sedang dikeringkan di lantaian Padi dapat dipanen ketika sudah mencapai umur 6 bulan. Cara menuai padi dilakukan secara tradisional menggunakan anai-anai (etem). Potongan padi
25
diikat menggunakan tali bambu. Satu ikat padi disebut pocong yang kemudian disimpan pada galah bambu dengan menggunakan batang kayu yang bercabang yang disebut dengan lantaian (Gambar 7). Menyimpan padi dengan cara ini dimaksudkan agar padi mengering sebelum diangkut ke kampung. Mengangkut padi ke kampung dinamakan nunjal. Pengangkutan padi biasanya dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Hasil panen ini selanjutnya disimpan di leuit (lumbung padi). Leuit berbentuk serupa rumah, namun lebih kecil dan bertiang tinggi. Terbuat dari kayu, berdinding anyaman bambu, dan beratap dari daun kirai (Gambar 8). Terdapat sebuah pintu di salah satu sisi tepi atap sebagai jalan untuk memasukkan dan mengeluarkan padi. Pintu ini hanya dapat dijangkau dengan menggunakan tangga. Teknologi leuit yang unik ini tidak memungkinkan tikus atau binatang sejenisnya masuk ke dalam leuit. Karena pada ujung pondasi diberikan kayu berbentuk lempengan bundar (gelebeg) yang diletakkan secara horizontal sehingga tikus tidak dapat merayap pada lempengan kayu tersebut.
Gambar 8 Leuit Baduy Setiap keluarga memiliki leuit. Jumlah leuit menentukan status sosial ekonomi sebuah keluarga. Semakin banyak leuit, semakin tinggi pula statusnya. Hingga saat ini, jumlah leuit yang ada di Baduy telah melebihi jumlah rumah dan KK yang ada di Baduy. Dalam satu KK minimal telah memiliki 1,2 ± 0,6 bagi masyarakat Baduy Luar, dan 1,6 ±0,5 bagi masyarakat Baduy Dalam (Khomsan dan Wigna 2009). Selain terdapat leuit yang dimiliki secara individual, terdapat juga leuit yang kepemilikannya komunal. Leuit berfungsi layaknya tabungan pangan. Padi yang disimpan di dalam leuit dapat awet hingga 100 tahun. Semakin lama padi disimpan di dalam leuit, semakin berwarna merah dan teksturnya mengeras. Letak leuit berada di luar kampung dan bergerombol membentuk sebuah kompleks. Biasanya dalam sebuah kompleks terdapat sekitar lima hingga sepuluh leuit (Gambar 9). Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi jika terjadi kebakaran di kampung, hasil panen masih dapat diselamatkan. Perkampungan Baduy seringkali mengalami musibah kebakaran mengingat bahan bangunan
26
rumah yang seluruhnya dari bambu dan kayu yang mudah terbakar. Dapur tempat memasak pun terdapat di dalam rumah sehingga kesalahan kecil saja mampu membakar rumah dalam waktu yang relatif singkat.
Gambar 9 Letak dan kompleks leuit di Baduy Upacara adat yang penting bagi masyarakat Baduy Terdapat tiga upacara adat yang penting bagi masyarakat Baduy, yaitu kawalu, ngalaksa, dan seba. Kawalu adalah bulan suci bagi masyarakat Baduy, yaitu bulan penuh dengan kebahagiaan dan kemuliaan yang diisi dengan kegiatan berdoa untuk keselamatan alam dan manusia serta isinya, beribadah, memohon ampunan dari dosa dan berbagai kesalahan. Pada bulan ini masyarakat dilarang makan sembarangan, terutama masyarakat Baduy Dalam dilarang makan telur dan daging, dilarang makan bebirusan (batang muda), dilarang melaksanakan acara yang ramai seperti perkawinan dan sunatan, dilarang memotong rambut, dan membunuh hewan. Selanjutnya ngalaksa yang tergolong sakral dan dan sangat rahasia. Pada upacara ini masyarakat Baduy melaksanakan rukun agama sunda wiwitan yang difokuskan pada kegiatan mendoakan keselamatan manusia, ngajiwa batin, dan melaksanakan amanah leluhur. Selain itu pada upacara ini masyarakat Baduy membuat laksa dari tepung padi dan hasil panen pada tahun ini untuk diserahkan kepada leluhur dan khususnya untuk cadangan yang akan diberikan pada pejabat pemerintah pada acara seba. Seba adalah kegiatan keagamaan yang wajib dijalankan oleh masyarakat Baduy. Seba merupakan kegiatan baku yang intinya adalah silahturahmi masyarakat Baduy pada Ratu dan Menak (pejabat pemerintahan) dengan didasari kesadaran dan keikhlasan. Pada pelaksanaan seba masyarakat Baduy berjalan menuju kantor pemerintah sambil membawa hasil bumi mereka. Selanjutnya disampaikan pula hal yang berkaitan dengan keluhan adat, kejadian-kejadian yang menimpa adat, serta harapan-harapan adat.
27
Tumbuhan Pangan Tradisional Masyarakat Baduy Masyarakat Baduy memanfaatkan 240 spesies tumbuhan pangan, 46 varietas padi ladang, 42 varietas pisang, 12 varietas talas, 9 varietas kelapa, 17 varietas ubi jalar, 2 varietas terung, 8 varietas singkong, 2 varietas mangga, 2 varietas rambutan, 2 varietas jagung, dan 3 varietas nanas. Total spesies dan varietas tersebut adalah 374. Sebanyak 238 spesies dan varietas tanaman telah di budidayakan sedangkan 136 spesies dan varietas tumbuhan pangan masih liar. Tanaman pangan budidaya Selain pare ladang atau huma juga ditanami dengan tanaman budidaya lain seperti terong, taleus, pisang, dan ubi. Terdapat 238 spesies dan varietas tanaman pangan yang dibudidayakan di huma dan reuma Baduy. Huma dikelola dengan sistem perladangan yang sangat memperhatikan keanekaragaman jenis yang ada didalamnya (Louhui et al. 2009), sehingga adaptif dan mampu menjaga stabilitas ekosistem (Garna dan Judistira 1985; Eden 1987). Sebanyak 238 spesies dan varietas tanaman pangan mampu disebutkan oleh lebih dari tiga orang responden sehingga seluruh tanaman pangan tersebut termasuk dalam kategori penting. Adapun tingkat penting tanaman terbagi menjadi empat kategori, yaitu: sangat penting (>218), penting (164 sampai 218), agak penting (110 sampai 163), dan kurang penting (<110). Tanaman yang termasuk dalam kategori sangat penting antara lain beberapa spesies pare (Oryza sativa L), dimana pare siang, pare ketan langgasari, pare ambu ganti, pare ketan, dan pare menyam menjadi lima varietas padi tertinggi karena lebih banyak diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy. Padi menjadi tanaman yang sangat penting karena menjadi pangan pokok yang wajib ditanam oleh seluruh masyarakat Baduy. Ketersediaan pare sebagai sumber pangan berkelanjutan yang diwujudkan dengan leuit dan penggunaanya dalam upacara adat maupun perkawinan menjadikan spesies ini bernilai sangat penting bagi masyarakat Baduy. Meskipun demikian seluruh pare yang ditanam di huma tidak boleh dijual. Selain padi spesies asam ranji (Dialium indum L), kawung (Arenga pinnata Merr.), beberapa varietas pisang (Musa paradisiaca L.), awi mayan (Gigantochloa robusta Kurz.), dan kadu (Durio zibethinus Murr.) menjadi tanaman yang termasuk dalam kategori sangat penting. Spesies tanaman yang bernilai penting antara lain hiris (Cajanus cajan Mill.), cokrom (Solanum melongena L.), kaweni (Mangifera odorata Griff.), kalapa (Cocos nucifera L.), dan binglu (Mangifera caesia Jack.). Hiris merupakan jenis kacang yang sangat sering dikonsumsi masyarakat Baduy, kacang tersebut biasanya dipanen dan disimpan ke dalam toples sehingga dapat dimanfaatkan kembali saat akan memasak. Berbeda dengan cokrom, kaweni, binglu, dan kelapa yang belum diketahui cara penyimpanannya sehingga biasanya spesies tersebut dikonsumsi dan dijual saat jumlahnya berlebih. Secara umum tidak ada aturan adat yang melarang penjualan sumberdaya pangan yang berasal dari huma dan reuma, kecuali hanya untuk spesies pare. Spesies dan varietas tanaman yang bernilai agak penting antara lain: kapundung (Baccaurea sp.), nangka walanda (Annona muricata L.), hajeli (Coix lacryma-jobi L.) , koas (Canavalia ensiformis DC. ), dan kenyut. Selanjutnya spesies yang dinilai kurang penting adalah laja bereum (Alpinia purpurata
28
(Vieill.) K. Sch), lingsuh (Baccaurea lanceolata Muell.), gempol (Nauclea orientalis L.), kanas (Ananas comosus Merr.), dan lopang (Luffa cylindrica Roem.). spesies dan varietas tanaman pangan yang dinilai agak penting dan kurang penting merupakan tanaman yang sedikit diketahui responden dan hanya berfungsi sebagai bumbu (sambara) atau tambahan pangan saja. Tumbuhan pangan liar Tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy tidak hanya tanaman budidaya yang berasal dari huma dan reuma tetapi juga terdapat 136 spesies dan varietas tumbuhan pangan liar dari hutan yang tumbuh dengan sendirinya. Sebanyak lebih dari tiga responden mampu menyebutkan nama spesies dan varietas tumbuhan pangan liar sehingga memiliki nilai penting bagi masyarakat Baduy. Proses wawancara yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh proses recall, yaitu proses mengingat kembali informasi yang dipelajari dimasa lalu tanpa petunjuk yang dihadapkan pada obyek (Hilgard dan Bower 1975). Kemampuan mengingat kembali dilakukan melalui proses mencari dan menemukan informasi yang disimpan untuk digunakan kembali bila dibutuhkan. Berdasarkan hasil analisis data, tumbuhan pangan liar terbagi atas empat kriteria tingkat kepentingan yaitu: sangat penting (>82,3), penting ( 33 sampai 82,3), agak penting (11,91 sampai 32,9) dan kurang penting (<11,91). Tumbuhan pangan yang memiliki nilai sangat penting antara lain jengkol (Pithecellobium lobatum Benth.), supa lember aceh (Auricularia auricula Bull. J Schrot.), cau abu (Musa sp), laja goah (Alpinia malaccensis Rosc.), dan paku kapal (Aspidium repandum Willd.). berdasarkan hasil eksplorasi lapang Baduy memiliki keanekaragaman pisang yang sangat tinggi yaitu 42 varietas. Sebanyak 24 varietas masih belum dibudidayakan karena dianggap tidak laku dijual dan kurang enak rasanya. Meskipun demikian masyarakat Baduy mengetahui bahwa varietas pisang tersebut dapat dikonsumsi sehingga menjadi potensi yang dapat kita gali untuk pengembangan dimasa yang akan datang. Tumbuhan pangan yang bernilai penting adalah mayasih (Erechtites valerianifolia (Wolf.) DC), areuy sineureut, beunying (Ficus fistulosa Reinw.), cau beusi (Musa sp), dan paku hurang (Stenochlaena palustris Bedd.). Tingkatan penting mengindikasikan bahwa tumbuhan ini masih cukup banyak diketahui oleh masyarakat dan cukup sering dikonsumsi. Selain itu tumbuhan pangan liar tidak hanya ditemukan di hutan, tetapi sangat mungkin ada di tipe penggunaan lahan lainnya. Masyarakat Baduy membagi tipe penggunaan lahannya menjadi delapan (Gambar 10). Berdasarkan hasil eksplorasi diperoleh bahwa 96,3 tumbuhan pangan liar Baduy dapat ditemukan di lebih dari 2 tipe penggunaan lahan (Tabel 11). Hal ini sangat sesuai dengan hasil dari wawancara yang menyatakan bahwa tumbuhan pangan liar di Baduy mudah untuk ditemukan. Tabel 11 Kategori tumbuhan liar hasil eksplorasi No 1. 2. 3.
Kategori Hanya ditemukan di 1 Lahan Terdapat di 2 lahan berbeda Terdapat di >2 lahan
Jumlah 3 2 131
Persentase (%) 2,2 1,5 96,3
29
1) leuweung/ hutan 2) huma/ ladang 3) pipir imah/ pinggir rumah 4) tatajuran/ penggir kampung Sumber: Marlina (2009); Suansa (2011) modifikasi
Keterangan:
5) jami/ ladang yang diberakan 2-3 tahun 6) pipir cai/ pinggir sungai 7) pipir saung/ pinggir saung 8) reuma/ kebun
Gambar 10 Tipe penggunaan lahan di kawasan Baduy Tumbuhan pangan liar yang termasuk dalam kategori agak penting antara lain dahu (Dracontomelon mangiferum Bl.), areuy canar (Smilax leucophylla Bl.), supa tikukur (Coprinus plicatilis (Curtis) Redhead et al.), supa nyeruan (Polyporus derrmoporus Pers.), dan areuy palungpung (Merremia peltata (L.) Merr.). Supa merupakan jenis jamur yang tumbuh pada batang atau kayu yang telah lapuk, sedangkan suum adalah jenis jamur yang tumbuh dari tanah (Gambar 11). Meskipun masyarakat Baduy mengkonsumsi ikan sebagai sumber protein hewaninya, terdapat 26 spesies jamur yang juga berperan sebagai sarana pemenuhan proteinnya. Jamur merupakan sumber protein tinggi dan bernilai ekonomis tinggi (Hall et al. 2003).
(a) (b) Gambar 11 Supa jangkar (a) dan suum pahatu (b) Tumbuhan pangan liar yang termasuk dalam kategori kurang penting antara lain: manglong, hantap heulang (Sterculia macrophylla Vent.), gelam (Melaleuca cajuputi Powell), peutag (Syzygium lineata Duthie.), dan gamet
30
(Celosia argentea L.). tumbuhan tersebut sangat jarang diketahui oleh responden selain itu rasanya yang dianggap kurang enak membuat tumbuhan ini sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat Baduy (Lampiran 9). Frekuensi Pemanfaatan Tumbuhan Pangan Masyarakat Baduy umumnya makan tiga kali dalam satu hari yang biasanya dilakukan bersama-sama pada pagi hari sebelum berangkat ke ladang, siang hari saat di ladang (biasanya dilakukan di saung), dan sore hari. Makanan yang dikonsumsi utamanya adalah nasi, ikan asin, sayur, lalaban, sambal, dan kerupuk. Tumbuhan berperan dalam pemenuhan karbohidrat seperti beras, jenisjenis singkong, jenis-jenis ubi, dan jenis-jenis talas. Selanjutnya sayuran dan lalaban seluruhnya berasal dari tumbuhan, begitupula dengan sambal yang dibuat dari campuran beberapa spesies tumbuhan. Pemanfaatan tumbuhan sebagai sumber pangan dilakukan hampir setiap hari, namun tumbuhan memiliki sifat fisiologis dan kebiasaan tumbuh yang berbeda-beda sehingga menyebabkan tumbuhan tersebut mampu hidup selama satu tahun (annual plant), dua tahun (biennials), dan lebih dari 2 tahun (parenial plant) (Harjadi 1996). Hal ini berimplikasi pada frekuensi pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy. Frekuensi pemanfaatan (konsumsi) dilakukan jika tumbuhan tersebut ada (musiman atau tersedia sepanjang tahun). Berdasarkan hasil identifikasi terdapat 175 tumbuhan pangan yang bersifat musiman, seperti pare (Oryza sativa L.), buah-buahan seperti asam ranji (Dialium indum L.), picung (Pangium edule Reinw.), dan pisitan monyet (Dysoxylum allaceum Bl.). Sepanjang tahun masyarakat Baduy dapat memanen dan mengkonsumsi beraneka tumbuhan pangan, disamping spesies-spesies yang dapat dikonsumsi setiap hari seperti poh-pohan (Pilea trinerva Wight.), paku hurang (Stenochlaena palustris Bedd.), dan paku kapal (Aspidium repandum Willd.) (Gambar 12).
Gambar 12 Tingkat ketersediaan tumbuhan pangan musiman dalam satu tahun Puncak panen tumbuhan pangan tertinggi ada pada bulan kasa, karo, katiga. Ketiga bulan tersebut merupakan bulan suci bagi masyarakat Baduy, pada tiga bulan ini dilakukan puasa dan ritual adat (kawalu, ngalaksa, dan seba) serta panen di huma (berurutan dari huma serang, huma puun, huma tangtu, dan huma masyarakat). Ketiga upacara adat tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang berujung pada wujud rasa syukur masyarakat Baduy atas hasil panen yang telah diperoleh (lihat Tabel 10).
31
Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 203 spesies tumbuhan dimanfaatkan lebih dari satu kali dalam satu minggu (Gambar 13). Konsumsi dilakukan sebanyak 2 atau 3 kali dalam satu minggu, seperti pisang dan sayuran. Namun ada pula tumbuhan yang dimanfaatkan hampir setiap hari jika sedang musim panennya. Seperti buah peuteuy (Parkia speciosa Hassk.), buah mangga (Mangifera indica L.), dan buah kadu (Durio zibethinus Murr.).
Gambar 13 Frekuensi pemanfaatan tumbuhan pangan oleh masyarakat Baduy Bagian Tumbuhan Pangan yang Dimanfaatkan Berdasarkan hasil wawancara, terdapat 16 bagian utama tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy (Tabel 12). Pemanfaatan bagian yang paling tinggi adalah bagian buah, karena buah merupakan tempat menyimpan cadangan makanan dan hasil fotosintesis pada tumbuhan baik dalam bentuk kandungan pati, gula, air, vitamin, dan mineral, sehingga buah menjadi bagian yang sangat bermanfaat untuk dapat dikonsumsi oleh manusia (Jain dan Priyadarshan 2009). Jumlah total bagian spesies tumbuhan yang dimanfaatkan adalah 507, jumlah tersebut lebih besar daripada total tumbuhan yang ditemukan yaitu 374. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat beberapa spesies yang dimanfaatkan lebih dari satu bagian saja. Seperti tumbuhan kawung (Arenga pinnata Merr.) yang dimanfaatkan buahnya untuk manisan caruluk, campuran minuman (dirujak); tuak atau nira untuk dibuat menjadi gula; batang tuanya dapat dioleh menjadi tepung/sagu; batang mudanya dapat dimakan langsung atau dimasak sebagai sayur. Jika suatu spesies tumbuhan memiliki beberapa bagian yang dapat dimanfaatkan, maka dapat menjamin spesies tersebut bertahan dan tetap pada kondisi baik sehingga keberadaannya akan lestari (Pei et al. 2009). Tabel 12 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bagian Buah Biji Daun muda Umbi Seluruh bagian muda Batang muda/Birus Daun
Jumlah 179 84 66 48 31 30 20
Persentase (%) 35,2 16,5 13,0 9,8 6,1 5,9 3,9
32
Tabel 12 Lanjutan No Bagian 8. Bunga 9. Rimpang 10. Tuak 11. Daun dengan sedikit batang 12. Batang 13. Akar 14. Seluruh bagian 15. Caps/ tudung jamur 16. Kulit Jumlah total bagian
Jumlah 19 6 5 5 4 3 3 3 1 507
Persentase (%) 3,7 1,2 1,0 1,0 0,8 0,6 0,6 0,6 0,2 100,0
Cara Pengolahan Tumbuhan Pangan Masyarakat Baduy mengolah tumbuhan pangannya dengan beberapa proses, mulai dari dimakan langsung, dibakar, direbus, dikukus, dan cara pengolahan lainnya (Tabel 13). Persentase terbesar dalam pengolahan tumbuhan pangan adalah dengan memakan langsung sebagai makanan kecil. Tumbuhan yang dapat dikonsumsi langsung biasanya adalah tumbuhan penghasil buah seperti pisang (Musa sp), kadu (Durio zibethinus Murr.), dan famili kacangkacangan (Fabaceae). Tabel 13 Cara pengolahan tumbuhan pangan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Cara pengolahan Dimakan langsung sebagai makanan kecil Disayur/ dibuat sup Direbus Sebagai campuran/ bumbu Dikukus Digoreng Digoreng dengan tepung Dibakar Dimakan langsung sebagai lalaban Dibuat sirup
Jumlah 201 185 156 105 78 76 73 58 22 1
Persentase (%) 21,05 19,37 16,34 10,99 8,17 7,96 7,64 6,07 2,30 0,10
Pemanfaatan bagian tertinggi adalah pada bagian buah (Tabel 12). Buah biasanya dikonsumsi secara langsung setelah dibersihkan (Tabel 13), hal ini sangat sesuai dengan hasil analisis data yang mengindikasikan bahwa pemanfaatan tumbuhan pangan secara langsung adalah cara yang paling sering digunakan oleh masyarakat Baduy. Buah dikonsumsi langsung karena dapat mempertahankan kandungan vitamin dan mineral yang terkandung di dalamnya sehingga dapat mempertahankan antioksidan yang dapat mencegah timbulnya penyakit karena radikal bebas (Key et al. 1996). Berbeda dengan pendapat Khomsan dan Wigna (2009) yang menyatakan bahwa masyarakat Baduy lebih sering menggoreng pangannya karena dianggap praktis, pada penelitian ini pengolahan dengan cara menggoreng baik dengan tepung maupun tidak justru jarang dilakukan. Pengolahan dengan menggoreng menggunakan minyak terbilang rumit bagi masyarakat Baduy. Sebagian besar dari masyarakat masih menggunakan minyak kelapa yang dibuat sendiri, sehingga penggunaan minyak sawit (diperoleh dengan cara membeli) terutama bagi masyarakat Baduy Dalam masih sangat terbatas. Selain itu harga minyak goreng
33
di pasaran dirasa mahal dan tidak efisien. Masyarakat Baduy lebih memilih untuk merebus dan mengukus makanan yang akan dikonsumsi. Meskipun terlihat sangat sederhana, proses perebusan dan pengukusan justru aman bagi kesehatan terutama dalam mengolah kacang-kacangan (Fabaceae). Kacang-kacangan merupakan penghasil protein yang tinggi, namun pengolahan masakan dapat mempengaruhi daya cerna dan penyerapan protein pada usus. Proses perebusan dan pengukusan memiliki dampak yang sama dalam memanaskan kacang, dan efektif membunuh tripsin inhibitor yang menghambat penyerapan protein (Kusumayanti 1983). Selain itu proses perebusan dan pengukusan dilakukan pada suhu 80ºC hingga 100 ºC sehingga tidak menyebabkan denaturasi protein, pemecahan emulsi, penghancuran vitamin, dan degradasi lemak. Proses merebus dan mengukus hanya dilakukan untuk melembutkan tekstur sehingga mudah dikunyah dan menjadi lebih lezat (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010). Rasa dan Kesukaan terhadap Tumbuhan Pangan Rasionalisasi masyarakat Baduy dalam memilih tumbuhan untuk dikonsumsi tidak terlepas dari proses trial and error sehingga pada akhirnya menetapkan suatu jenis tumbuhan dapat dan tidak dapat dikonsumsi. Selain itu, rasa juga berperan penting dalam penentuan jenis tumbuhan pangan. Manusia akan mengkonsumsi makanan yang dirasa enak meskipun subyektif dalam penilaiannya. Hal ini sangat sesuai dengan hasil wawancara penilaian rasa dari tumbuhan pangan yang terbanyak adalah enak, yaitu 275 tumbuhan. Sedangkan yang terendah adalah tidak enak, yaitu dua tumbuhan (Gambar 14). Secara umum manusia cenderung menilai rasa melalui mekanisme kimia yang ada pada indera perasanya yaitu melalui rasa, bau dan reaksi kimia yang dihasilkan pada indera perasa tersebut (Beauchamp dan Mennella 2009). Manusia akan lebih memilih bau yang harum, dan rasa yang manis dibandingkan bau busuk dan rasa yang pahit. Hal ini sangat sesuai dengan kondisi masyarakat Baduy yang memilih jenis pare menyan (Oryza sativa L.) sebagai padi yang paling enak karena ketika dimasak dan dikonsumsi nasi yang dihasilkan berbau wangi seperti beras pandan wangi.
Gambar 14 Tingkat rasa dan kesukaan terhadap spesies tumbuhan pangan
34
Pemilihan varietas pisang yang paling digemari adalah cau galek atau pisang tanduk (Musa paradisiaca) dan pisang ambon (Musa paradisiaca var. sapientum L. Kunt.) karena rasanya yang manis dan memiliki bau khas yang menambah selera. Selain itu peuteuy (Parkia speciosa Hassk.) dan kadu (Durio zibethinus Murr.) juga menjadi buah yang sangat disukai oleh masyarakat Baduy. Dua spesies tumbuhan yang disebutkan memiliki rasa tidak enak adalah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dan gintung (Bischofia javanica Bl.). Belimbing wuluh dirasa terlalu asam dan memiliki rasa pahit diujung (after taste) setelah dimakan langsung, sehingga spesies ini lebih sering digunakan untuk bumbu (sambara) sedangkan gintung dinilai memiliki rasa yang tidak enak karena rasa pahit yang mendominasi ketika dikonsumsi. Meskipun demikian, gintung mengandung saponin yang dapat menghambat pertumbuhan kanker kolon, membantu kadar kolesterol menjadi normal, serta mempunyai sifat iritasi mucosal dan membentuk komplek dengan asam empedu dan kolesterol sehingga masih perlu untuk dikonsumsi (Amelia 2004). Penggunaan Tumbuhan Pangan untuk Kesehatan Secara umum pangan memiliki tiga peranan penting: (1) fungsi utama sebagai asupan zat gizi yang sangat esensial untuk keberlangsungan hidup manusia, (2) sebagai sensori atau pemuasan sensori seperti rasa yang enak, rasa, dan tekstur yang baik, (3) secara fisiologis menjadi regulasi bioritme, sistem saraf, sistem imunitas, dan pertahanan tubuh (Shimizu 2002). Selain itu pangan memiliki manfaat untuk kesehatan atau yang biasa dikenal dengan pangan fungsional. Pangan fungsional merupakan pangan alami atau pangan olahan yang mengandung komponen bioaktif sehingga dapat memberikan dampak positif pada fungsi metabolisme manusia (Wildman 2007). Berdasarkan hasil wawancara, terdapat tiga puluh satu spesies tumbuhan yang dikonsumsi untuk mengobati penyakit (Gambar 15), seperti lampuyang (Zingiber amaricans Bl.), kalapa tawa (Cocos nucifera L. var. Viridis), supa koja (Dictyophora indusiata Vent.), cikur (Kaempferia galanga L.), dan spesies lainnya. Sedangkan persentase terbesar adalah tumbuhan yang belum diketahui manfaatnya bagi kesehatan, meskipun demikian manfaat bahan pangan terhadap kesehatan tentu saja kembali pada fungsi utama pangan yaitu sebagai asupan gizi esensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.
Gambar 15 Tingkat pemanfaatan tumbuhan untuk kesehatan
35
Penggunaan tumbuhan sebagai bahan pangan yang memiliki manfaat dalam kesehatan dibatasi hanya pada penggunaan melalui mulut (oral), baik dalam bentuk bahan mentah sebagai makanan atau minuman, juga sebagai bahan campuran seperti laja (Alpinia galanga Sw.). Kuantifikasi terhadap penggunaan tumbuhan pangan sebagai obat dibagi menjadi lima kriteria, yaitu pangan adalah obat, pangan berkhasiat obat, pangan menyehatkan, pangan sehat, dan pangan. Kriteria pangan sebagai obat meliputi tumbuhan pangan yang hanya dikonsumsi ketika seseorang telah mengalami sakit. Sebagai contoh areuy sineureut yang hanya dikonsumsi bila terkena penyakit sineureutan. Selanjutnya kriteria pangan berkhasiat obat adalah spesies tumbuhan pangan yang diminum ketika seseorang mengalami sakit, tetapi harus dikonsumsi secara berkelanjutan. Sebagai contoh jeruk nipis (Citrus aurantifolia Christm & Panz Swingle) yang dikonsumsi selama batuk. Kriteria pangan menyehatkan dan pangan sehat adalah penggunaan pangan sebagai pencegah penyakit, sehingga dikonsumsi sebelum seseorang menderita sakit. Namun perbedaan terletak pada frekuensi pemanfaatan. Hal yang menarik dalam pemanfaatan pangan dalam kesehatan adalah perbandingan tumbuhan yang menyehatkan dan sehat lebih banyak dibandingkan jumlah tumbuhan pangan yang berperan sebagai obat dan berkhasiat obat. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Baduy lebih memilih untuk menjaga kesehatannya dibandingkan harus mengobati bila mereka telah terkena suatu penyakit. Rasionalisasi dan pandangan hidup masyarakat Baduy sangat sesuai dengan program yang telah dikembangkan oleh Maari Ma Health Aboriginal Corporation dalam menanggulangi dan mengontrol kemungkinan terjadinya penyakit kronis untuk menurunkan jumlah penderita penyakit kronis seperti diabetes dan cardiovascular pada orang-orang Aborigin (Burke et al. 2005).
Penerapan Pengetahuan Etnobotani dalam Ketahanan Pangan Penggunaan pengetahuan etnobotani dinilai dari kemampuan responden dalam pengenalan spesies tumbuhan pangan dan sistem sosiokultur yang berkembang di dalam masyarakat Baduy. Pengenalan spesies tumbuhan pangan meliputi tanaman dibudidayakan maupun tumbuhan liar dengan nilai tumbuhan yang berbeda-beda (Lampiran 8 dan 9). Sistem sosiokultur yang berkembang meliputi infrastruktur material, struktur sosial, dan superstruktur ideologis (KMNLH 2001). Infrastruktur material berisi bahan, bentuk, ide, teknologi dan benda yang dikembangkan masyarakat Baduy sehingga serasi dengan lingkungan dan sumberdaya alam yang ada, sebagai contoh leuit yang digunakan untuk menyimpan cadangan pangannya. Struktur sosial pada dasarnya adalah perilaku yang diperlihatkan manusia baik yang timbul karena hubungan antar sesama maupun dengan lingkungan biofisiknya. Sebagai contoh adanya upacara adat kawalu, ngalaksa, dan seba yang merupakan wujud rasa syukur masyarakat Baduy dan penghormatan mereka terhadap pemerintah dengan cara menyerahkan sebagian hasil buminya pada pemerintah Banten. Superstruktur ideologis meliputi cara-cara yang terpolakan, yang dengan cara tersebut masyarakat Baduy berfikir, melakukan suatu konsep, menilai, dan merasa. Superstruktur ideologis masyarakat
36
Baduy terdiri atas agama Slam Sunda Wiwitan, sistem pemerintahan dan sistem adat (Lampiran 7). Tingkat pengetahuan etnobotani Rata-rata indeks tingkat pengetahuan etnobotani (Mg) responden berada pada tingkat sedang yaitu 0,83 yang nilainya lebih besar dari Q1 (Kuartil satu yaitu 0,79). Nilai Mg yang berbeda dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, asal, dan aktivitas harian. Berdasarkan hasil analisis statistika dengan Kruskal Wallis test, perbedaan kelas umur menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai P= 0,00 yang lebih kecil dari taraf nyata 0,05 (Lampiran 6). Sehingga perbedaan usia akan mempengaruhi tingkat pengetahuan etnobotani pangan responden. Semakin tinggi usia seseorang, akan semakin tinggi pula pengetahuan etnobotani yang dimiliki. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman hidup, intensitas atau frekuensi ke hutan, dan tingginya intensitas pemanfaatan tumbuhan pangan. Selain itu, diketahui pula pada kurun waktu 30 tahun terdapat perbedaan jumlah dan spesies tumbuhan pangan yang saat ini mulai berkurang. Sebagai contoh pada tahun 1999 telah tercatat terdapat 89 varietas pare (Oryza sativa L.) yang dikembangkan oleh masyarakat Baduy secara in-situ (Iskandar dan Ellen 1999). Namun pada saat penelitian, tercatat hanya 43 varietas pare (O. sativa L.) yang masih di tanam dan dikonsumsi. Sehingga bisa jadi masyarakat yang berada pada usia lebih muda seperti KU-1 dan KU-2 sudah tidak mengetahui tumbuhan tersebut. Rata-rata tingkat pengetahuan laki-laki adalah 0,84 dan nilainya lebih tinggi daripada rata-rata tingkat pengetahuan etnobotani perempuan yaitu 0,82. Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis statistika dengan Man Withney test diketahui bahwa tingkat pengetahuan laki-laki dan perempuan tidak berbeda nyata (Lampiran 6). Perbedaan tersebut terjadi hanya karena interaksi dan frekuensi laki-laki yang lebih tinggi terhadap hutan. Laki-laki lebih sering ke hutan dan mengkonsumsi spesies tumbuhan pangan yang jarang dikonsumsi oleh perempuan, namun perempuan Baduy juga terbiasa mengolah tumbuhan pangan yang dibawa oleh lelaki Baduy dari hutan. Hutan merupakan sumber tumbuhan pangan, beberapa spesies tumbuhan pangan potensial seperti manglong, peutag (Sizygium lineata Duthie.), dan manjakalan (Blumeodendron tokbrai Kurz.) hanya tersedia di hutan saja. Lakilaki membawa makanan (bekal) dari rumah yang telah disiapkan perempuan (istri mereka) umumnya terdiri dari nasi dan lauk. Selanjutnya laki-laki akan melengkapi kebutuhan pangannya dengan mengambil tumbuhan dari hutan untuk lalaban dan buah sebagai sumber vitamin. Begitu pula dengan wanita, meskipun intensitasnya lebih rendah. Meskipun demikian berdasarkan hasil eksplorasi tumbuhan pangan tertinggi tersedia di huma yang diolah secara bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan. Sehingga keduanya akan memiliki pengetahuan yang relatif sama. Rata-rata tingkat pengetahuan responden yang berasal dari Baduy Luar adalah 0,83 dan nilainya lebih rendah daripada masyarakat Baduy Dalam yaitu 0,84. Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis statistika dengan Man Withney test diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden dari Baduy Dalam dan Baduy Luar tidak berbeda nyata (Lampiran 6). Hal ini disebabkan pembagian masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar hanya merupakan bentuk tenggang
37
rasa dan keluwesan masyarakat Baduy menghadapi perkembangan masyarakat (Kurnia dan Sihabudin 2010), sedangkan pengetahuan terhadap tumbuhan pangan menjadi kepentingan masing-masing individu masyarakat yang kaitannya lebih kepada pemenuhan kebutuhan dasar hidup. Sehingga baik masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar memiliki pengetahuan etnobotani pangan yang relatif setara. Selisih nilai pengetahuan tersebut disebabkan oleh perbedaan jumlah spesies tumbuhan pangan yang boleh dan tidak boleh ditanam baik di Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Sebagai contoh spesies dangdeur (Manihot sp) tidak diperbolehkan ditanam di kawasan Baduy Dalam, sebaliknya beberapa varietas pisang (Musa sp.) dan ubi jalar (Ipomoea batatas) di Baduy Dalam memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi (Tabel 14). Tabel 14 Karakteristik masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam tentang pagan Perbedaan Alat masak
Baduy Dalam Tidak boleh menggunakan alat modern, yang ada hanya: dangdang (seeng), kuali (kekenceng), kukusan (aseupan), hihid, lumping (pangarih), kuluwung, boboko, pinggan/ mangkuk, somong (gelas bambu), panyiru (sendok dari bambu) atau sendok plastik, dan botol besar tempat minum.
Baduy Luar Telah menggunakan alat masak semi modern, seperti panci, wajan, sendok besi.
Bahan tambahan makanan
Tidak menggunakan MSG
Telah menggunakan MSG
Tanaman pangan yang dilarang/ tidak ada
Dangdeur (Manihot sp), alpuket (Persea americana P. Mill.), kopi (Coffea arabica L.), dan coklat (Theobroma cacao L.).
Pare jannah, pare jeruk (Oryza sativa L.), beberapa varietas pisang seperti Cau Bangkunang, cau hoe, cau hurang, dan cau janten.
Retensi pengetahuan etnobotani Retensi pengetahuan etnobotani adalah kemampuan masyarakat untuk menyimpan pengetahuan etnobotani yang dimilikinya (Zent 2009). Penurunan retensi akan mengakibatkan pengetahuan tersebut lambat laun akan hilang. Jika hal tersebut terjadi secara cepat dengan intensitas yang besar, maka masyarakat dalam kondisi yang tidak stabil (dalam hal pangan) dan mengarah pada kerentanan pangan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa responden yang berada pada KU-5 mampu menyimpan pengetahuan etnobotani yang lebih besar dibandingan KU yang lain, terbukti dengan nilai MG yang tertinggi dari KU-5 sebesar 0,939 (Tabel 15). Responden dari KU-5 memiliki nilai RG yang tertinggi dan dianggap sebagai kelas umur yang paling menguasai etnobotani pangan di Baduy. Pengalaman yang dimiliki oleh KU-5 lebih banyak dibandingkan oleh KU yang lainnya. Selain itu responden pada KU-5 hidup pada periode yang lebih lama, dimana tersedia lebih banyak tumbuhan pangan dibandingkan saat dilakukan penelitian. Sehingga banyak dari spesies-spesies tumbuhan pangan yang bagi KU5 dapat dimakan, sedangkan KU lainnya menganggap bahwa tumbuhan tersebut
38
tidak biasa dimakan. Meskipun pada kenyataanya tumbuhan tersebut masih ada dan dapat dikonsumsi. Tabel 15 Perubahan pengetahuan etnobotani pangan masyarakat Baduy Kelas Umur MG RG RC CA 0,939 1,000 1,000 0,000 V (>69) 0,887 0,944 0,944 -0,004 IV (55-69) 0,851 0,960 0,906 -0,006 III (40-54) 0,788 0,926 0,839 -0,011 II (25-39) 0,701 0,890 0,746 -0,017 I (10-24) Keterangan: MG (tingkat pengetahuan etnobotani); RG (tingkat retensi); RC (tingkat retensi komulatif); CA (perubahan pengetahuan setiap tahun)
Responden yang berasal dari KU-1 dan KU-2 memiliki nilai RG, RC, dan CA yang terendah karena pada usia tersebut, pengalaman dan interaksi terhadap spesies tumbuhan pangan lebih rendah daripada KU yang lainnya. Selain itu kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan dibebankan pada orang tua, sehingga responden yang berada pada KU-1 umumnya belum menikah dan belum memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain itu responden yang berada pada KU-1ndan KU-2 mulai terpengaruh oleh jenis makanan modern dan kemajuan teknologi, sehingga ketertarikan terhadap spesies tumbuhan pangan menjadi berkurang. Sebagai contoh, anak yang biasanya membantu ke ladang menjadi enggan karena lebih tertarik menonton televisi. Spesies tumbuhan pangan yang biasa dikonsumsi menjadi tergeser dengan keberadaan makanan yang biasa diperoleh dari warung dan swalayan yang ada di kampung Ciboleger (kampung terdekat yang berada di luar Baduy). Nilai CA antar kelas umur menunjukkan tingkat perubahan tahunan yang terjadi antar kelas umur berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa CA dari KU-5 mengalami penurunan hingga KU-1 (Gambar 16). Perkembangan dan pengetahuan bersifat dinamis dan akan bertambah seiring dengan pengalaman yang dijalani (Berk 2006). Pengetahuan akan berkembang pesat dimasa muda (KU-1 dan KU-2) dan selanjutnya melandai pada usia tua (KU-4, KU-5), sehingga kondisi retensi pengetahuan yang terjadi pada masyarakat Baduy berada pada kondisi normal. Terlihat dari jarak CA responden KU-1, dan KU-2 lebih besar dari KU-4, dan KU-5).
Gambar 16 Perubahan pengetahuan etnobotani per tahun berdasarkan kelas umur
39
Kecenderungan negatif yang ditunjukkan oleh perubahan pengetahuan etnobotani antar kelas umur yang terjadi pada masyarakat Baduy mengindikasikan bahwa proses pewarisan pengetahuan masih terjadi secara baik. Meskipun tidak secara tertulis, orang tua mengajarkan kepada anaknya jenis-jenis tumbuhan yang dapat dan tidak dapat dikonsumsi. Kegiatan tersebut berlangsung ketika anak telah mampu dan mulai ikut ngahuma (berladang). Proses tersebut tidak berhenti hingga anak berkembang menjadi dewasa. Setelah anak menjadi dewasa, pengetahuan bersumber pada pengalaman dan interaksinya langsung terhadap jenis-jenis tumbuhan pangan baik dari anggota keluarganya maupun orang lain yang ada di sekitarnya. Ketahanan Pangan Masyarakat Baduy Konsep ketahanan yang saat ini berkembang secara nasional telah menempatkan posisi masyarakat Baduy sebagai daerah rawan prioritas III dengan indikator yang kurang sesuai dengan karakteristik masyarakat yang ada di dalamnya. Ketahanan pangan adalah keadaan dimana setiap rumah tangga mempunyai pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata, dan terjangkau (UU No. 7 1996). Pilar utama yang ada di dalamnya adalah (1) ketersediaan pangan, (2) akses terhadap pangan, (3) pemanfaatan pangan, dan (4) daerah dengan kerentanan terhadap kerawanan pangan transier (Deptan 2009). Parameter ketersediaan pangan diukur menggunakan perbandingan ketersediaan beras, jagung, dan singkong dengan konsumsi normatif masyarakat. Kenyataannya selain padi, jagung, singkong, dan ubi jalar masyarakat Baduy memanfaatkan keanekaragaman pangan seperti hajeli (Coix lacryma-jobi L.), huwi kumbili (Coleus tuberosus Benth.), huwi manjangan (Dioscorea sp), dan spesies tumbuhan yang beranekaragam dalam memenuhi kebutuhan pangan. Bagi masyarakat Baduy, pangan yang terbaik adalah pangan yang beragam. Dengan mengkonsumsi tumbuhan pangan yang beragam, akan mendapatkan nutrisi yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip dasar dari diversifikasi pangan yang berkembang saat ini. Prinsip diversivikasi pangan adalah bahwa tidak ada satupun komoditas atau bahan pangan yang memenuhi unsur gizi secara keseluruhan yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga memilih makanan bukan semata-mata hanya karena pertimbangan unsur makro seperti karbohidrat, protein, dan lemak saja tetapi juga pada pertimbangan kebutuhan serat, antioksidan, dan nutrisi mikro yang dibutuhkan oleh tubuh. Kebijakan “berasisasi” yang dilakukan pemerintah telah merusak keseimbangan dan keanekaragaman pangan masyarakat yang stabil menjadi pangan yang tidak mandiri dengan program andalannya raskin (beras miskin). Sebagai contoh masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki komoditi pangan utama jagung termasuk daerah termiskin karena tidak mampu menghasilkan dan mengkonsumsi beras. Kenyataannya kondisi alam dan lingkungan yang ada di NTT sangat sesuai dengan komoditi jagung, bukan beras. Namun kebijakan pemerintah telah menjadikan beras sebagai pangan utama yang bergengsi dan menjadi indikator utama dalam kemandirian dan ketahanan pangan suatu wilayah (Ofong 2007).
•
•
•
•
•
• • • •
•
• •
•
22
Persentase dari daerah ditanami padi yang rusak akibat kekeringan, banjir dan organisme pengganggu tanaman (OPT). Deforestasi adalah perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi non hutan. Angka deforestasi hutan berdasarkan analisis citra satelit Landsat .
Data bencana alam yang terjadi di Indonesia dan kerusakannya selama periode 2000 – 2007 Penyimpangan curah hujan
Angka harapan hidup pada saat lahir Berat badan balita di bawah standar (Underweight) Perempuan >15 th yang tidak dapat membaca/ menulis. Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air minum yang berasal dari air ledeng/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung. Persentase rumah tangga yang tinggal pada jarak lebih dari 5 kilometer dari fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas, dokter, juru rawat, bidan yang terlatih, paramedik, dan sebagainya).
Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan Lalu-lintas antar desa yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari PLN dan/atau non PLN.
Daerah dengan kerentanan terhadap kerawanan pangan transien / Vulnerability to Transient Food Insecurity
Pemanfaatan pangan / Food Utilization
Akses pangan/ Food and livelihoods Access
Parameter Ketahanan Pangan Ketersediaan pangan/ Food availability
• Sistem perladangan (huma) diterapkan dengan memperhatikan kaidah ekologi. • Penanaman di ladang (huma) hanya akan dimulai saat akan turun hujan untuk mengurangi resiko gagal panen. • Kalender tanam yang diterapkan di Baduy telah mempertimbangkan musim keluarnya hama tanaman, selain itu penggunaan pestisida alami (ngubaran pare) dilakukan untuk menjaga ladang dari hama. • Pengetahuan etnobotani yang diterapkan masyarakat Baduy terbukti mampu menjaga dan mengelola kelestarian hutan (Suansa 2011). Hutan merupakan sumber tumbuhan pangan liar yang potensial.
• Pengolahan pangan di Baduy dilakukan secara alami dan aman dari zat kimia berbahaya (tidak menggunakan pestisida). • Ketersediaan dan kualitas air di Baduy bergantung pada kondisi sungai. Terdapat aturan adat yang melarang pembuatan sumur karena dianggap merusak lingkungan (Senoaji 2011). • Masyarakat memilih mencegah daripada mengobati penyakit, terbukti dengan tingginya jumlah konsumsi tumbuhan pangan menyehatkan (dikonsumsi sebelum sakit) daripada tumbuhan berkhasiat obat (dikonsumsi jika sakit). • Secara informal adanya dukun yang dipercaya mampu membantu proses pengobatan.
• Budaya berbagi dan memberi (social entitlement) • Penerapan dan keberlanjutan pengetahuan etnobotani antar generasi dalam pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan pangan lokal secara lestari. • Keterjangkauan masyarakat terhadap tumbuhan pangan lokal • Ketersediaan tumbuhan pangan lokal di wilayah Baduy
• Keragaman pangan/ diversifikasi pangan • Cadangan pangan di leuit (lumbung padi)
Indikator Kondisi Aktual Baduy
Tabel 16 Perbandingan indikator FSVA dengan kondisi Baduy
Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar
Indikator FSVA 2009
40
41
41
Baduy menjadi salah satu obyek pelaksanaan program raskin tersebut. Namun kondisi ini tidak serta merta merubah tatanan adat yang berlaku di Baduy, karena masyarakat Baduy justru mampu mengembangkan strategi ketahanan pangan mereka. Meskipun masyarakat Baduy memenuhi kebutuhan beras seharihari dengan cara membeli beras dari luar kampung, beras yang mereka hasilkan disimpan di dalam leuit dan dikonsumsi secukupnya pada saat berlangsung upacara adat dan kebutuhan sehari-hari yang mendesak. Hal ini dilakukan karena menurut pandangan orang Baduy jika tampak isi leuit tidak lagi penuh, ini menjadi pertanda buruk dalam katahanan pangan mereka. Karena itulah jumlah leuit terus bertambah dan bahkan melebihi jumlah rumah. Leuit merupakan simbol ketahanan pangan bagi masyarakat Baduy dan merepresentasikan ketersediaan pangan yang berkelanjutkan. Masyarakat Baduy sangat pandai berhemat dalam menjaga persediaan pangan. Strategi tersebut merupakan bentuk adaptasi dan rasionalisasi masyarakat Baduy dalam menghadapi kemungkinan terburuk saat pangan tidak lagi mencukupi. Sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat di NTT yang menabung atau menyimpan pangan (jagung) dengan metode pengasapan. Di Timor Barat, misalnya, biasanya jagung disimpan di atas loteng ume kbubu (rumah bulat), kemudian diasapi, agar dapat bertahan lama dan tidak rusak. Strategi ini diusahakan untuk dapat bertahan dalam situasi-situasi di mana persediaan pangan mereka mulai menipis atau habis; biasanya dipersiapkan untuk menghadapi masa paceklik atau lapar biasa, yaitu antara Desember sampai Februari sebelum musim panen (Ofong 2007). Strategi lain pernah dilakukan oleh masyarakat Darfur di Sudan yang memilih untuk sedikit kelaparan dan menghemat beras yang dimiliki agar bisa membibitkan dan menanam pada tahun selanjutnya untuk menjaga ketersediaan pangan yang berkelanjutan (De Waal 1989). Parameter akses pada FSVA 2009 diukur dari persentase masyarakat di bawah garis kemiskinan, lalu-lintas antar desa yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat, dan persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari PLN dan/atau non PLN, misalnya generator. Jika dibandingkan dengan income perkapita minimum yang ditetapkan oleh garis kemiskinan nasional Indonesia yaitu Rp 166.697,00/ bulan Baduy berada pada kondisi yang miskin karena pendapatan perbulan masyarakat tidak menentu tergantung pada hasil ladangnya. Masyarakat Baduy memperoleh uang dari penjualan hasil panen di ladang yang dimiliki (exchange entitlement). Seluruh hasil ladang boleh dijual kecuali beras. Income perkapita yang ditetapkan tidak dapat menggambarkan kemampuan masyarakat Baduy dalam mengakses pangan. Masyarakat Baduy memiliki budaya memberi atau meminjam makanan dari tetangga atau saudaranya (social entitlement) sehingga pola income perkapita menjadi tidak relevan. Umumnya masyarakat memiliki nilai income perkomunitas yang menunjukkan bahwa komunitas tersebut mampu secara mandiri menjaga komunitasnya dalam memperoleh pangan. Akses pangan diukur pula dari persentase rumah tangga tanpa listrik dan areal yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat. Jika indikator tersebut digunakan, maka masyarakat Baduy akan berada pada 100% areal tidak dapat dilalui kendaraan roda 4 dan 100 % rumah tangganya tanpa listrik. Indikator tersebut tidak akan pernah sesuai sepanjang masyarakat Baduy masih memegang teguh hukum adatnya. Karena masyarakat Baduy memiliki aturan untuk tidak
42
menggunakan listrik dan tidak merubah struktur tanah yang ada. Oleh karena itu akses pangan adalah pengetahuan etnobotani dan kemampuan masyarakat Baduy dalam memanfaatkan tumbuhan pangan. Dengan pengetahuan etnobotani yang dimiliki, masyarakat Baduy mampu mengelola lahan huma dan reuma, pemanfaatan potensi tumbuhan pangan liar di hutan, dan memanfaatkan secara arif sehingga menjamin ketersediaan yang bekelanjutan. Selanjutnya parameter pemanfaatan pangan diukur melalui angka harapan hidup, persentase perempuan buta huruf, dan rumah tangga yang berjarak > 5 km dari pelayanan kesehatan. Masyarakat Baduy lebih menggunakan prinsip hidup sehat dan mencegah penyakit daripada harus mengobati penyakit dalam pemanfaatan pangan. Hal ini terbukti dengan konsumsi tumbuhan pangan yang juga berkhasiat obat dan menyehatkan bagi tubuh, masyarakat Baduy lebih sering mengolah pangannya dengan cara merebus dan mengukus sehingga baik bagi kesehatan. Selain itu dalam proses pengelolaan ladang yang dilakukan menggunakan pupuk dan pestisida alami yang dapat menyebabkan pare (Oryza sativa L.) yang dipanen dan disimpan tetap dalam kondisi baik meski disimpan dalam waktu yang panjang dan aman dikonsumsi. Proses pengeringan pare sebelum dimasukkan ke dalam leuit menjadi teknologi sederhana dalam pengawetan bahan pangan. Tidak hanya proses penyimpanan, pada saat pengolahan nasi hingga nasi dihidangkan, masyarakat Baduy masih menggunakan sistem akeul atau mengipas sambil mengaduk nasi yang baru dimasak dengan dulang dan pengarih agar menurunkan kadar gula dan uap panas pada nasi seperti yang dilakukan pada masyarakat di Kampung Naga di Tasikmalaya (Hidayatullah dan Fasya 2012). Kerentanan terhadap kerawanan pangan transier merupakan kerentanan terhadap bencana alam dan goncangan mendadak lainnya yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan. Kerawanan pangan dilihat dari ketidakmampuan masyarakat dalam menghadapi perubahan kondisi alam dan lingkungannya, seperti bencana alam, penyimpangan curah hujan, serangan hama, dan deforestasi. Kenyataannya masyarakat Baduy memiliki pengetahuan etnobotani dalam mengelola sumberdaya lokal yang dimilikinya. Pengelolaan lingkungan yang ada di Baduy dilakukan dengan menyesuaikan pada kondisi dan kaidah alam. Masyarakat Baduy seperti masyarakat adat pada umumnya memiliki kemampuan dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dan bencana alam yang terjadi (Telapak 2011). Perubahan iklim yang terjadi menyebabkan perubahan masa hama tanaman berkembang, oleh karena itu musyawarah terhadap perubahan masa tanam dilakukan oleh pimpinan adat Baduy untuk kemudian ditaati oleh seluruh masyarakat Baduy. Kehidupan masyrakat Baduy dalam mengelola pangan, tidak terlepas dari pengelolaan hutan. Dimana hutan menjadi sumber pangan potensial yang pengelolaannya didasarkan pada pengetahuan tradisional sehingga lestari. Hutan sebagai zona inti dalam menjaga keseimbangan alam, reuma dan huma sebagai lahan budidaya, sedangkan pekarangan menjadi lahan pertama dalam mengurangi tekanan terhadap hutan. Selanjutnya reuma, huma, dan pekarangan merupakan zona penyangga yang berfungsi untuk mengurangi tekanan dan perubahan fungsi hutan (Suansa 2011). Pengetahuan etnobotani pangan yang digunakan dan sesuai dengan kondisi serta sumber daya yang tersedia di wilayah Baduy telah membawa masyarakat Baduy dalam kondisi yang tahan pangan sebagaimana disampaikan oleh Mulvany
43
(2007) bahwa sistem pangan terbaik adalah sistem pangan yang tumbuh dan berkembang secara lokal dan spesifik. Pengetahuan tersebut telah diturunkan selama bertahun-tahun melalui pewarisan pengetahuan secara informal (dari orangtua atau orang yang lebih tua kepada anaknya). Tingkat pengetahuan etnobotani masyarakat Baduy berada pada tingkat sedang dengan retensi dari KU-5 menurun hingga KU-1. Kondisi ini sangat wajar terjadi karena kelas umur tua akan lebih banyak tahu dibandingkan kelas umur yang lebih muda, meskipun demikian perubahan tahunan yang terjadi dari masing-masing KU berada pada tingkatan yang rendah dengan kecenderung negatif sehingga mengindikasikan bahwa proses pewarisan pengetahuan etnobotani masih berlangsung. Kecenderungan tersebut dapat menggambarkan bahwa masyarakat Baduy masih berada pada kondisi tahan pangan.
Kontribusi Pengetahuan Etnobotani dalam Konservasi Tumbuhan Pangan Tidak kurang dari 25.000 jenis tumbuhan tersedia di bumi, namun hanya 5% saja yang sudah tergali manfaatnya (Munawaroh dan Astuti 2008). Etnobotani sebagai sumber pengetahuan yang mampu menggali pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat tradisional menjadi langkah yang efektif dalam kegiatan dokumentasi sumber plasma nutfah yang tersedia di dunia. Sebagai contoh masyarakat di Papua yang telah mampu mengkonservasi 200 varietas ubi jalar (Ipomoea batatas L.) dengan sistem budidaya yang sesuai dengan lingkungan alamnya yaitu: mina wen hipere, Yabu Waganak, Yabu Enaifpipme, dan Yabu Lome (Rauf dan Lestari 2009). Masyarakat Baduy yang memiliki hubungan sangat erat dengan tumbuhan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pangannya memiliki hubungan timbal balik yang berkelanjutan. Proses produksi berupa budidaya tumbuhan pangan di huma dan reuma terbukti mampu menjaga keragaman dan ketersediaan tumbuhan pangan sepanjang tahun. Huma dan reuma menjadi salah lahan konservasi in-situ bagi 46 varietas padi ladang. Jumlah varietas padi ladang di Baduy lebih tinggi dibandingkan dengan keanekaragaman varietas padi di Kecamatan Krayan, Kalimantan Timur yang mampu mengawetkan 37 varietas padi lokalnya. Meskipun demikian jumlah tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan keanekaragaman varietas padi di Kecamatan Pujungan, Kalimantan Timur. Puluhan varietas tersebut di ‘rumat” dan “leluri” untuk menjaga dan melindungi keanekaragaman plasma nutfah padi di Kalimantan Timur (Nasution et al. 1995). Keragaman varietas padi yang ada menunjukkan bahwa penerapan etnobotani masyarakat mampu mengawetkan plasma nutfah tidak hanya ditingkat spesies tetapi juga di tingkat genetik. Huma Baduy dikelola dengan sangat hati-hati sejak permulaan menanam, perawatan, hingga panen. Masyarakat Baduy sangat pandai membaca kondisi lingkungan, sehingga kegiatan menanam di huma hanya akan dilakukan jika kondisi lingkungan mendukung. Sistem huma dan reuma dilakukan dengan menanam beberapa spesies dan varietas tanaman pangan sehingga mengurangi resiko kegagalan panen dan juga mengurangi dampak ekologi pada suatu spesies atau sumberdaya. Hal ini dilakukan pula oleh masyarakat adat dikalimanta melalui sistem tembawang yang memadukan tengkawang, nyatoh, kemenyan,
44
jelutung, pulai, damar, buah-buahan, jenis-jenis kayu, palem, rotan, sirih, pakis untuk sayur, dan berbagai tumbuhan obat (de Foresta 2000). Selain padi masyarakat Baduy memiliki 42 varietas pisang yang hingga saat ini belum optimal kita manfaatkan sebagai sumber plasma nutfah yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sebanyak 24 varietas belum dibudidayakan karena dianggap kurang komersial dan kurang diminati oleh masyarakat. Selain tumbuhan budidaya, terdapat 136 spesies dan varietas tumbuhan pangan liar yang berasal dari hutan. Hutan merupakan sumber plasma nutfah alami yang menyediakan tumbuhan pangan potensial yang tidak kalah beragam dibandingkan dengan tanaman budidaya. Sebanyak 26 spesies jamur yang tersedia secara liar di hutan menjadi pangan potensial yang tentu saja berpeluang besar untuk dapat dibudidayakan. Jamur yang tumbuh secara lokal akan lebih berkembang di kondisi tropis Indonesia dibandingkan dengan spesies jamur introduksi dari negara sub tropis yang berkembang dan dibudidayakan di Indonesia. Penerapan pengetahuan etnobotani masyarakat Baduy secara langsung telah mampu melindungi dan mengawetkan keanekaragaman plasma nutfah tidak hanya ditingkat spesies, tetapi juga ditingkat genetik. Pengetahuan etnobotani yang tertuang dalam larangan dan aturan adat telah dikembangkan dari rasionalisasi dan kehati-hatian dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Oleh karena itu pengetahuan etnobotani yang bersifat adaptif dan berkembang secara lokal selayaknya diakui dan dilindungi sehingga dapat mewujudkan sinergitas manusia dan tumbuhan sebagai bagian dari ekosistem secara berkelanjutan.