83
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Identifikasi dan Analisis Resiliensi Ekologi-Sosial Terumbu Karang 5.1.1. Penilaian Resiliensi Ekologi Terumbu Karang Penilaian resiliensi ekologi terumbu karang berdasarkan kajian pustaka tentang acuan parameter ekologi yang menjadi indikator untuk melihat tingkat resiliensi ekologi terumbu karang, diperoleh 9 parameter resiliensi ekologi terumbu karang, dimana 2 parameter merupakan indikator resiliensi komponen karang itu sendiri, 2 parameter merupakan indikator resiliensi lingkungan perairan,
4 parameter merupakan indikator resiliensi biota yang berasosiasi
dengan terumbu karang, dan 1 parameter lingkungan eksternal
yang
mempengaruhi resiliensi terumbu karang. Nilai parameter resiliensi ekologi dari 19 stasiun penelitian memiliki perbedaan yang cukup signifikan untuk beberapa parameter. Hal ini terlihat pada parameter tutupan karang, keanekaragaman jenis karang, kelimpahan ikan karang, kelimpahan ikan herbivor, dan jenis eksploitasi. Namun untuk parameter yang berhubungan dengan lingkungan perairan, bulu babi dan acanthaster plancii, tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Kenyataan ini menunjukan bahwa dari 9 parameter ekologi yang menjadi indikator penilaian resiliensi ekologi terumbu karang, terdapat 5 parameter sebagai parameter utama yang dapat dijadikan tolok ukur indikator resiliensi terumbu karang di Teluk Kotania. Hal ini berarti bahwa parameter yang lainnya seperti; suhu, kekeruhan, acanthaster plancii dan bulu babi belum dapat dijadikan sebagai parameter pembeda tingkatan resiliensi ekologi karena kondisi saat ini masih sangat baik dan sesuai dengan syarat-syarat lingkungan bagi terumbu karang. Kondisi ini juga membuktikan bahwa kondisi lingkungan perairan di Teluk Kotania masih sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang. Berdasarkan hasil analisis terhadap parameter-parameter yang dijadikan indikator resiliensi ekologi terumbu karang, ditemukan beberapa tingkatan resiliensi ekologi terumbu karang dengan nilai resiliensi yang beragam. Nilai resiliensi ekologi dari 19 stasiun penelitian berkisar dari 0.13 sampai 0.8 dengan
84
kelas resiliensi masuk dalam kategori very low resilient (VLR) sampai high resilient (HR). Sebaran nilai ilai resiliensi ekologi yang dimiliki dari setiap stasiun pengamatan ditampilkan pada Gambar 14 dan Gambar 15.
0.8
0.58
0.53
0.48
0.32 0.24
0.27
0.2
ST.16
ST.15
0.13
ST.14
ST.13
ST.12
ST.11
0.13
ST.10
ST.9
ST.8
ST.7
ST.6
ST.5
ST.4
ST.3
ST.2
0.15
ST.1
0.72
0.270.24
ST.19
0.59
0.74 0.69
ST.18
0.74
ST.17
0.72
Gambar 14.. Grafik nilai n resiliensi ekologi terumbu karang
Gambar 15.. Sebaran kelas resiliensi ekologi terumbu karang di Teluk Kotania
85
Dengan melihat Gambar 14 dan Gambar 15, maka dapat dikemukakan bahwa dari lima kelas tingkatan resiliensi yang telah yang telah distandarisasi sebelumnya, ternyata terumbu karang di Teluk Kotania memiliki 4 kelas tingkatan resiliensi yaitu very low resilient, low resilient, middle resilient, dan high resilient. Sedangkan dari 19 stasiun penelitian tidak satupun yang dapat digolongkan sebagai kelas extreme resilient, hal ini menunjukan bahwa kondisi terumbu karang di Teluk Kotania mengalami degradasi tingkat resiliensi yang sangat memprihatinkan dan bila kondisi ini berlanjut tanpa ada upaya pengelolaan maka dikuatirkan akan terjadi laju penurunan resiliensi terumbu karang ke kelas resiliensi yang lebih rendah, dan sudah tentu akan berdampak pada rendahnya kapasitas resiliensi ekologi terumbu karang. Selain itu, dari analisis spasial yang ada terlihat bahwa kelas resiliensi ekologi di Teluk Kotania dari 19 stasiun penelitian memiliki tingkatan kelas resiliensi tinggi (high resilient) yaitu pada stasiun 3 dan stasiun 5 yang terdapat di Pulau Marsegu, stasiun 7 yang terdapat di Tanjung Kawa, stasiun 10 dan dan stasiun 11 yang terdapat di sebelah timur Pulau Osi, serta stasiun 19 yang terdapat di Pulau Buntal. Sementara itu, kelas resiliensi sedang (midle resilient) menyebar di stasiun 4 dan stasiun 6 yang terdapat di Pulau Marsegu, stasiun 9 di Tanjung lalonsai Pelita Jaya, dan stasiun 14 di sebelah utara Pulau Burung. Di samping itu, kelas resiliensi rendah (low resilient) di tempati oleh stasiun 1(St.1), stasiun 2(St.2), stasiun 13 (St.13), stasiun 17 (St.17), dan stasiun 18 (St.18), sedangkan kelas resiliensi sangat rendah (very low resilient) tersebar di stasiun 8 (St.8), stasiun 12(St.12), stasiun 15(St.15), dan stasiun (St.16). Adanya perbedaan kelas atau tingkatan resiliensi setiap stasiun penelitian memberi gambaran bahwa status 5 parameter diantara 9 parameter yang dijadikan indikator utama resiliensi ekologi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, memberikan andil yang signifikan dalam penentuan tingkatan resiliensi. Kondisi ini membuktikan bahwa skala individu dan keanekaragaman jenis terumbu karang merupakan faktor utama indikator resiliensi ekologi. Secara spasial terlihat jelas bahwa tingkatan kelas resiliensi ekologi umumnya menyebar merata, namun pada lokasi di pesisir Pulau Seram dan gugus pulau yang jaraknya dekat dan mudah di akses oleh masyarakat memiliki
86
tingkatan resiliensi yang semakin rendah, kalaupun ada yang memiliki nilai resiliensi tinggi di sebabkan karena lokasi tersebut berdampingan dengan aktifitas budidaya laut dan kegiatan perangkap ikan. Sedangkan resiliensi yang tinggi umumnya terdapat pada gugus pulau yang jaraknya jauh dari pemukiman penduduk dan tidak terdapat aktifitas budidaya laut masyarakat. Kenyataan ini memberi penegasan bahwa tekanan terhadap kondisi ekologi terumbu karang yang tinggi umumnya terjadi pada wilayah-wilayah yang jaraknya dekat dengan lokasi pemukiman dan aktifitas masyarakat. 5.1.2. Penilaian Resiliensi Sosial (Socio) Penilaian indikator resiliensi sosial mengacu pada 9 parameter resiliensi sosial berdasarkan kajian pustaka yang diperoleh seperti yang telah ditampilkan pada Tabel 3. Nilai indikator resiliensi sosial 19 stasiun penelitian memiliki perbedaan yang cukup signifikan
berkisar dari 0 sampai 0.78 dengan kelas
resiliensi very low resilient sampai high resilient. Jika di uraikan berdasarkan tingkatan kelas maka kelas high resilient dengan nilai 0.78 hanya ditempati oleh stasiun 3 (St.3), sedangkan kelas midle resilient dengan kisaran nilai 0.48-0.58 dimiliki oleh 3 stasiun yaitu stasiun 7(St.7), stasiun 10(St.10) dan stasiun 11(St.11). Selain itu, tingkatan kelas low resilient dengan kisaran nilai 0.24-0.34 terletak pada 7 stasiun penelitian yaitu; stasiun 5(St.5), stasiun 6(St.6), stasiun 9(St.9), stasiun 13(St13), stasiun 14(St.14), stasiun 17(St.17), dan stasiun 19(St.19), sedangkan untuk kelas very low resilient dengan kisaran nilai 0 – 0.13 terletak pada 8 stasiun yaitu; stasiun 1(St.1), stasiun 2(St.2),stasiun 4(St.4), stasiun 8(St.8), stasiun 12(St,12), stasiun 15(St.15), stasiun 16(St.16), dan stasiun 18(St.18). Perbandingan nilai resiliensi dari 19 stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 16, sedangkan tingkatan kelas resiliensi dari setiap stasiun pengamatan juga menunjukan kelas yang berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 17.
87
0.78
0.58
0.13
ST.18
ST.17
0
ST.16
0.05
ST.14
ST.11
ST.13
0.07
ST.10
ST.9
ST.8
ST.7
ST.6
ST.5
0.23
ST.15
0.13
ST.4
0.32
0.24
0.05
ST.3
ST.2
ST.1
0.05
0.34
ST.12
0.13
0.34
ST.19
0.34 0.27
0.53 0.48
Gambar 16.. Grafik nilai resiliensi sosial terumbu karang
Gambar 17.. Sebaran kelas resiliensi sosial di Teluk Kotania Signifikansi nilai dari setiap stasiun sangat bergantung pada besar kecilnya nilai parameter yang dijadikan indikator. Stasiun 3(St3) memiliki nilai resiliensi sosial tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya disebabkan karena nilai
88
parameter alokasi waktu lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Berbeda dengan stasiun 7 (St.7), stasiun 10(St.10) dan stasiun 11(St.11), nilai resiliensi sosialnya karena memiliki nilai parameter ketergantungan dan jenis mata pencaharian yang lebih baik dibanding stasiun lainnya. Hal yang sama juga berlaku pada stasiun lain yang memiliki nilai resiliensi rendah. Kenyataan ini menunjukan bahwa dari 9 parameter resiliensi sosial, terdapat 3 parameter yang memiliki nilai relatif berbeda di setiap stasiun yaitu parameter
jenis mata
pencaharian, alokasi waktu, dan tingkat ketergantungan terhadap ekosistem terumbu karang. Ketiga parameter resiliensi sosial ini sangat berperan dalam menentukan nilai resiliensi yang dimiliki dari setiap stasiun penelitian, namun diantara ketiga parameter tersebut ternyata jenis mata pencaharian merupakan indikator pembeda nilai resiliensi yang dominan. Gambar 18 menunjukan bahwa tingkatan kelas resiliensi sosial di Teluk Kotania terdiri atas empat kelas resiliensi yaitu very low resilient (VLR), low resilient (LR), middle resilient (MR) dan high resilient (HR). Dari analisis spasial terdapat 8 stasiun yang dikelompokan sebagai kelas very low resilient yaitu stasiun 1 (St.1), stasiun
2(St.2), stasiun 4(St.4), stasiun 8 (St.8), stasiun 12
(St.12), stasiun 15(St.15), stasiun 16(St.16) dan stasiun 18(St.18), sementara kelas low resilient terdapat di 7 stasiun yaitu; stasiun 5(St.5), stasiun 6(St.6), stasiun 9(St.9), stasiun 13(St.13), stasiun 14(St.14), stasiun 17(St.17), dan stasiun 19(St.19), sedangkan kelas midle resilient hanya terdapat pada 1 stasiun yaitu stasiun 3(St.3). Sebaran kelas resiliensi sosial dari 19 stasiun penelitian hampir merata di kawasan Teluk Kotania, pada umumnya di dominasi oleh kelas very low resilient dan low resilient. Dominansi dua kelas resiliensi ini menandakan bahwa resiliensi sosial di Teluk Kotania sudah sampai pada tingkatan yang memprihatinkan, kondisi ini menunjukan adanya tekanan faktor-faktor sosial
yang signifikan
terhadap ekosistem terumbu karang di Teluk Kotania. 5.1.3. Penilaian Resiliensi Ekologi-Sosial (Eko-sosio) Terumbu Karang Nilai resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang merupakan kombinasi penilaian antara resiliensi ekologi dan resiliensi sosial. Hasil penilaian resiliensi eko-sosio menunjukan bahwa diantara 5 kelas resiliensi yang dijadikan
89
acuan ternayata Teluk Kotania memiliki 4 kelas resiliensi dengan nilai resiliensi tertinggi 0.74 dan nilai resiliensi terendah 0.10 yang berturut-turut turut ditempati oleh stasiun 3 (St.3) dan stasiun 15 (St.15). Nilai dan sebaran kelas resiliensi ekososio dari ke-19 19 stasiun penelitian penel ditampilkan pada Gambar 18 dan Gambar 19.
0.712
0.66 0.606
0.26
ST.14
ST.13
ST.11 ST.12
0.106
ST.10
ST.9
ST.8
ST.6 ST.7
ST.5
0.14
ST.4
ST.3
0.24 0.164
ST.1 ST.2
0.424 0.29 0.196 0.12 0.1
ST.19
0.426
ST.18
0.37
0.52
0.48
ST.16 ST.17
0.58
ST.15
0.74
Gambar 18.. Grafik nilai resiliensi eko-sosio terumbu karang arang
Gambar 19.. Sebaran kelas resiliensi eko-sosio terumbu karang di Teluk Kotania
90
Jumlah kelas resiliensi yang dimiliki ini pada prinsipnya masih sama dengan kelas resiliensi ekologi maupun resiliensi sosial seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, namun pada sisi yang lain dengan adanya kombinasi indikator resiliensi ekologi dan resiliensi sosial dengan sendirinya terjadi perubahan nilai resiliensi, sehingga kelas resiliensi eko-sosio juga berubah dengan sendirinya pada setiap stasiun penelitian. Kondisi ini menunjukan baik resiliensi ekologi maupun resiliensi sosial keduanya merupakan keterpaduan (eko-sosio) dan saling mempengaruhi. Sebaran kelas resiliensi eko-sosio menunjukan lokasi di perairan Pulau Marsegu memiliki 4 kelas yaitu very low resilient yang ditempati oleh stasiun 1(St.1), low resilient ditempati oleh stasiun (St.2) dan stasiun 4 (St.4), midle resilient di stasiun 5 (St.5) dan stasiun 6 (St.6), serta high resilient berada pada stasiun 3(St.3). Selain itu, pada gugus perairan Pulau Osi yang terdiri atas 4 stasiun penelitian dengan 3 kelas resiliensi yaitu; very low resilient yang berada pada stasiun 12(St.12), low resilient yang terletak pada stasiun 13 (St.13), serta kelas high resilient yang tersebar di dua stasiun yaitu stasiun 10 (St.10) dan stasiun 11 (St.11).
Sementara itu, untuk stasiun 17 (St.17) yang terletak di
perairan tanjung kawa memiliki kelas high resilient, dan stasiun 18(St.18) dan stasiun 19(St.19) yang tersebar di perairan Pelita Jaya memiliki dua kelas resilient masing-masing very low resilient dan midle resilient, untuk stasiun 14(St.14) dan stasiun 15(St.15) yang berada di perairan Pulau Burung memiliki kelas resilient masing-masing midle resilient dan very low resilient, sedangkan untuk stasiun yang tersebar di perairan Pulau Tatumbu memiliki kelas very low resilient di stasiun 16 (St.16) dan low resilient yang ditempati oleh stasiun 17(St.17), pada sisi yang lain di perairan Pulau Buntal memiliki kelas very low resilient dan midle resilient yang masing-masing ditempati oleh stasiun 18(St.18) dan stasiun 19(St.19). Adanya tingkatan resiliensi eko-sosio terumbu karang perlu didekati dengan rencana aksi strategis bagi pengelolaan terumbu karang berkelanjutan guna mengantisipasi penurunan daya resiliensi terumbu karang. Namun untuk mempermudah penerapan strategi pengelolaan maka stasiun pengelolaan perlu dikelompokan kedalam area atau polygon pengelolaan. Untuk itu, tingkatan
91
resiliensi tersebut perlu dilakukan pengelompokan (cluster) atas beberapa area pengelolaan sehingga mempermudah strategi pengelolaan yang dilakukan. Berdasarkan hasil analisis gerombol (cluster analysis), terdapat tiga kelas resiliensi resiliensi eko-sosio terumbu karang yang dapat dijadikan sebagai dasar penerapan kebijakan pengelolaan. Analisis cluster pengelolaan dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 20. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. Tabel 6. Hasil analisis cluster pengelolaan resiliensi eko-sosio Kelas Pengelompokan Stasiun Cluster Pengelolaan 1
st1, st8, st12, st15, st.16, st.18
3
2
st2, st4, st6, st13, st14, st17
2
3
st3, st5, st7, st9, st10, st11, st19
1
Dendrogram
Dendrogram
16
15
14
13 11
10
Dissimilarity
8 6
9 7
0
1 C2
3
st10 st3 st7 st5 st11 st9 st19 st16 st12 st15 st18 st1 st8 st17 st2 st13 st4 st6 st14
2
C1
5
4
C3
Dissimilarity
12
Gambar 20. Dendrogram cluster pengelolaan resiliensi eko-sosio terumbu karang Berdasarkan tabel dan gambar diatas, terlihat jelas pengelompokan tingkatan resiliensi menjadi tiga kelas, yang kemudian diterjemahkan menjadi tiga cluster pengelolaan. Cluster pengelolaan 1 merupakan kelompok resiliensi yang terdiri atas high resilient (st3, st7,st10, dan st11) dan middle resilient (st5, st9, dan st19). Cluster pengelolaan 2 adalah cluster pengelolaan yang terdiri atas st6, st14 (middle resilient) dan st2, st4, st13 st17 (low resilient). Cluster pengelolaan 3 merupakan cluster pengelolaan yang seluruh arealnya memiliki tingkatan very low resilient (st1, st8, st12, st15, st.16, st.18).
92
5.2. Formulasi Indeks Resiliensi Ekologi-Sosial Terumbu Karang Formula indeks resiliensi terumbu karang yang dijadikan dasar awal penilaian resiliensi dalam penelitian ini merupakan pengembangan atau modifikasi dari indeks resiliensi yang dikembangkan oleh Ostrom, 1990 dalam Carpenter S.R. and Brock, 2004; Carpenter, 2002). Modifikasi indeks tersebut dilakukan pada indikator parameter resiliensi dan standar nilai batas resiliensi. Di dalam indeks Ostrom batasan nilai resiliensi nol digunakan sebagai acuan dalam mengukur tingkatan resiliensi terendah sehingga penilaian kondisi resiliensi yang dihasilkan oleh model tidak menggambarkan kondisi resiliensi terumbu karang di lapangan. Selain itu, nilai signifikansi pengaruh setiap parameter resiliensi indeks Ostrom belum terlihat karena parameter-parameter yang dijadikan indikator dianggap memiliki pengaruh yang sama sehingga pembobotan untuk menunjukan signifikansi parameter tidak dilakukan. Indeks resiliensi ekologi-sosial terumbu karang menggunakan penilaian terhadap parameter resiliensi ekologi-sosial, setiap parameter resiliensi ekologisosial memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kondisi resiliensi ekologi-sosial terumbu karang, dengan demikian untuk mendapatkan nilai signifikansi dari setiap parameter resiliensi ekologi-sosial, terlebih dahulu perlu dilakukan komposit indeks resiliensi dengan menguji nilai-nilai perbedaan beban atau bobot berdasarkan tingkat pentingnya parameter-parameter indikator resiliensi ekologisosial terumbu karang. Hal ini sejalan dengan pendapat (Briguglio 1995, Adrianto and Matsuda 2002, 2004) bahwa perbedaan nilai-nilai bobot dari setiap variabel disesuaikan dengan asumsi dari tujuan penyusunan indeks dan banyaknya variabel-variabel indeks yang dilibatkan. Sehingga persamaan (3) dapat dilanjutkan ke persamaan (4) dan persamaan (5). Pendekatan signifikansi dari masing-masing parameter untuk menentukan bobot dari setiap parameter dimaksudkan untuk memberikan bobot yang lebih besar pada parameter yang dianggap memiliki signifikansi yang lebih besar terhadap resiliensi ekologi-sosial terumbu karang, dengan demikian maka persamaan (4) dapat ditulis lebih lanjut sebagai komposit indeks resiliensi ekologi (CRIeko) menjadi : CRIEko = (IRtk x 0.13)+ (IRjk x 0.15)+ (IRik x 0.12)+ (IRih x 0.15)+ (IRsh x 0.05)+ (IRap x 0.1)+ (IRbb x 0.1)+ (IRkh x 0.05)+ (IRje x 0.15) ................................................................. (15)
93
Seperti halnya dengan parameter resiliensi ekologi terumbu karang, parameter resiliensi sosial juga memiliki signifikansi yang berbeda, dengan memberikan bobot pada setiap parameter, maka persamaan (5) dapat dituliskan sebagai komposit indeks sosial (CRISosio) menjadi : CRISosio = (IRtp x 0.1)+ (IRpk x 0.1)+ (IRkl x 0.1)+ (IRth x 0.1)+ (IRft x 0.1)+ (IRkn x 0.1)+ (IRmp x 0.15)+ (IRaw x 0.12)+ (IRkk x 0.13) .............................................................. (16) Resiliensi ekologi-sosial terumbu karang merupakan penilaian terhadap terumbu karang sebagai objek utama, untuk itu dengan melakukan pembobotan yang lebih besar terhadap faktor ekologi dibanding faktor sosial adalah sebuah konsekuensi logis dalam pengelolaan terumbu karang yang berbasis ekosistem, untuk itu maka faktor ekologi diberi bobot 0.6 sedangkan faktor sosial 0.4. Dengan pendekatan yang sama, maka komposit resiliensi ekologi-sosial (CRIeko-socio) pada persamaan (6), dapat dituliskan menjadi : CRIEko-socio : (CRIeko x 0.6 )+ (CRIsocio x 0.4) ............................................. (17) Kondisi resiliensi ekologi-sosial (eko-sosio) terumbu karang memiliki karakteristik yang bersifat dinamis, yang berarti bahwa kondisi resiliensi ekososio akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan parameter-parameter yang mempengaruhinya, sehingga dapat diasumsikan akan terjadi kondisi eksponensial. Untuk itu, formula matematika indeks resiliensi yang digunakan untuk menilai tingkat resiliensi eko-sosio terumbu karang secara spasial-dinamik seperti pada persamaan (7) dapat dijelaskan sebagai berikut :
= (−1 − ) +
.
+
+
=−
.
=−
=−
94
. + (
Pada saat: t = 0,
.
. )
.
=−
=−
=−
( ) = −1 + .
Maka:
+
…………(*)
(0) = −1 +
= (0) + 1 … … … … . (∗∗)
Dengan mensubstitusi persamaan (**) kedalam persamaan (*), sehingga persamaan menjadi:
atau dapat ditulis: ( )=
( ) = −1 + ( (0) + 1) (0)
+
− 1……………………………(18)
Keterangan: ( ) = indeks resiliensi eko-sosio stasiun ke-i pada tahun ke-t (0) = tingkat resiliensi eko-sosio awal stasiun ke-i ki = koefisien resilensi eko-sosio stasiun ke-i i = indeks untuk stasiun pengamatan (i = 1, 2,3,…..,19) t = waktu (untuk = 0,1,2, … ., 25)
Jika y dikategorikan sebagai indeks resiliensi ekologi-sosial (IRES), maka persamaan (18) formula indeks resiliensi ekologi sosial dapat dituliskan menjadi : ( ) =
(0)
+
−1
validitas dan sensitivitas model estimasi indeks resiliensi ekologi-sosial ini divisualisasikan menggunakan software matlab versi 7.
5.3. Estimasi Resiliensi Ekologi-Sosial (Eko-sosio) Terumbu Karang Hasil analisis indeks resiliensi terumbu karang saat ini menunjukan Teluk Kotania memiliki indeks resiliensi yang dikategorikan ke dalam empat kelas resiliensi yaitu very low resilient, low resilient, midle resilient, dan high resilient. Hasil analisis tersebut memberi gambaran bahwa adanya perbedaan nilai resiliensi
95
antar stasiun penelitian. Hal ini menunjukan bahwa beberapa parameter yang menjadi indikator resiliensi sudah berada pada kategori sangat rendah (very low resilient) sampai tinggi (high resilient). Kondisi ini menunjukan dinamika resiliensi saat ini tentu akan mengalami perubahan pada waktu-waktu mendatang. Jika kondisi resiliensi terumbu karang saat ini di estimasi untuk melihat proyeksi tingkatan kondisi resiliensi terumbu karang antar 19 stasiun penelitian maka perubahan yang terjadi dapat dijelaskan seperti pada grafik dibawah ini.
0.8
st1 st2 st3 st4 st5 st6 st7 st8 st9 st10 st11 st12 st13 st14 st15 st16 st17 st18 st19
0.7
Nilai Resilensi
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
0
5
10
15
20
25
Tahun
Gambar 21. Proyeksi perubahan nilai resiliensi eko-sosio terumbu karang Gambaran grafik diatas, menunjukan bahwa nilai resiliensi dari 19 stasiun penelitian mengalami laju penurunan yang drastis dengan nilai resiliensi sampai ke titik nol (tidak ada resiliensi) pada tahun tertentu. Penurunan indeks resiliensi terjadi dikategorikan menjadi dua yaitu grafik yang menurun tajam dan grafik yang landai. Penurunan indeks secara drastis terjadi pada stasiun-stasiun yang memiliki nilai indeks diatas 0.4 sedangkan yang
lebih kecil dari 0.4 pada
umumnya bersifat landai. Terjadinya kondisi ini diduga karena pada saat indeks resiliensi terumbu karang diatas 0.4 memungkinkan terjadi proses kejutan awal akibat tekanan terhadap terumbu karang yang tinggi khususnya dari aspek sosial sehingga proses-proses pemulihan diri terumbu karang secara alami tidak mampu mengimbangi tekanan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas sosial, dengan kata lain pada kondisi ini proses-proses pemulihan diri terumbu karang masih
96
berjalan dengan baik namun tidak mampu meciptakan kesempatan yang cukup bagi terumbu karang melakukan pemulihan diri karena tingginya tekanan aktifitas sosial di areal terumbu karang. Pada saat indeks terumbu karang lebih kecil dari 0.4, pergerakan grafik resiliensi terlihat melambat (landai) disebabkan karena pada kondisi ini tekanan lingkungan khususnya dari aspek sosial cenderung berkurang akibat rendahnya aktifitas sosial di sekitar terumbu karang dan berkurangnya tingkat ketergantungan terhadap ekosistem terumbu. Selain itu, aktifitas pemulihan diri karang mulai berjalan dengan baik namun belum mampu melakukan reorganisasi diri dalam pembentukan koloni. Kondisi ini menunjukan bahwa nilai indeks resiliensi lebih besar dari 0.4 dapat dijadikan sebagai tolok ukur kehidupan karang dan biota di sekitar ekosistem terumbu karang rentan terhadap tekanan lingkungan sosial, sedangkan nilai indeks resiliensi lebih kecil dari 0.4 meskipun tekanan lingkungan semakin menurun namun pada kondisi ini kemampuan pemulihan diri semakin kecil karena nilai resiliensi yang dimiliki tidak cukup untuk memberikan kesempatan kepada terumbu karang memulihkan diri dan kembali ke kondisi semula, sehingga kondisi ini rentan terhadap hilangnya daya resiliensi terumbu karang. Cinner J. et al. (2009) dalam kajian tentang hubungan sistem ekologisosial untuk keberlanjutan sumberdaya perikanan terumbu karang menginginkan adanya tools atau metode penilaian resiliensi ekologi-sosial terumbu karang bersifat dinamik yang dapat digunakan untuk mendeteksi nilai ambang resiliensi sebagai dasar penilaian terumbu karang dalam kondisi baik dan kurang baik sehingga dapat digunakan dalam pengelolaan perikanan karang terpadu. Sampai saat ini belum ada yang melakukan saran Ciner J. et al. tersebut. Ukuran kapasitas resiliensi komunitas karang sangat dibutuhkan dalam melakukan kegiatan konservasi terumbu karang. Dengan demikian maka indeks resiliensi eko-sosio terumbu karang 0.4 dapat dijadikan sebagai standar awal dalam mengukur kualitas resiliensi terumbu karang untuk keperluan strategi konservasi. Dinamika perubahan nilai resiliensi dari 19 stasiun pengamatan memberi gambaran bahwa naparameter-parameter yang dijadikan indikator resiliensi baik parameter ekologi maupun sosial akan selalu mengalami perubahan seiring dengan waktu. Semakin bertambahnya waktu maka laju penurunan nilai resiliensi
97
setiap stasiun akan semakin rendah dan pada waktu tertentu akan mencapai nilai nol yang berarti kemampuan resiliensi atau daya lenting terumbu karang semakin rendah dan disaat tertentu bila kondisi ini tidak diantisipasi maka daya resilient terumbu karang dengan sendirinya akan hilang. Bila kondisi ini berlangsung terus maka diprediksi pada tahun 2025 seluruh terumbu karang di Teluk Kotania rentan kehilangan daya resilient. Perubahan nilai resiliensi secara detail dapat dilihat pada lampiran. Dinamika perubahan nilai resiliensi setiap stasiun seperti yang telah dijelaskan tersebut, jika dianlisis secara spasial berdasarkan kelas resiliensi yang telah disusun, maka terlihat jelas bahwa laju penurunan nilai resiliensi akan diikuti dengan perubahan kelas resiliensi pada beberapa stasiun pengamatan. Perubahan kelas resiliensi secara spasial dapat ditunjukan pada Gambar 22, 23, 24 dan 25. Setiap terjadi pertambahan waktu akan terjadi penurunan nilai resiliensi dan secara otomatis akan terjadi perubahan kelas resiliensi ke arah yang lebih rendah. Pada tahun 2010, terdapat 4 (empat) kelas resiliensi yang terdiri atas high resilient sebesar 21.05%, midle resilient 26.32%, low resilient 21.05%, dan very low resilient 31.58%, namun di tahun 2015 kelas resiliensi terumbu karang menjadi tiga yaitu very low resilient (47.37%), low resilient (42.11%), dan midle resilient (10.53%) sedangkan pada tahun 2020 terjadi penurunan kelas resiliensi menjadi 2 yang didominasi oleh very low resilient 73.68% dan low resilient hanya sebesar 26.32%. Sedangkan untuk tahun 2025 terjadi perubahan kategori resiliensi ekososio terumbu karang secara signifikan dimana tingkat resiliensi terumbu karang seluruh stasiun masuk dalam kategori very low resilient bahkan pada stasiun 12 (St.12) dan stasiun 15 (St.15) daya resiliensi terumbu karang terancam hilang yang berarti bahwa pada kondisi tersebut terumbu karang sudah sangat rentan.
98
Gambar 22. Kelas resiliensi eko-sosio tahun 2010
Gambar 23. Proyeksi perubahan kelas resiliensi eko-sosio tahun 2015
99
Gambar 24. Proyeksi perubahan kelas resiliensi eko-sosio tahun 2020
Gambar 25. Proyeksi perubahan kelas resiliensi eko-sosio tahun 2025
100
5.4. Rancangan Skenario Model Adaptasi Proyeksi perubahan nilai resiliensi dan kelas resiliensi secara spasialdinamik seperti yang telah di uraikan pada sub bab sebelumnya, memberi alasan yang jelas bahwa langkah-langkah pengelolaan mutlak dilakukan guna mencegah penurunan daya resilient (daya lenting) terumbu karang.
Penerapan sebuah
strategi pengelolaan disamping dapat mengeliminir laju penurunan daya resilient juga
harus
dapat
menjamin
keberlanjutan
baik
ekosistemnya
maupun
keberlanjutan aktifitas ekonomi masyarakat yang setiap saat melakukan aktifitas di ekosistem terumbu karang. Menurut Etienne M. et al. (2011) bahwa metode pengelolaan apapun yang diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang kompleks dan memiliki peluang terjadinya konflik maka pendekatan yang dilakukan harus bersifat pelibatan masyarakat/aktor, sumberdaya, dinamika, dan interaksi. Aktivitas pengelolaan ekosistem dan sistem sosial yang baik memiliki potensi untuk menciptakan sebuah "dividen ganda" yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan sekaligus
berguna bagi pembangunan yang
berkelanjutan karena keduanya bergantung pada hasil akhir yang penting dari pengelolaan ekosistem yang kompleks (Bunch M.J., K.E. Morrison, M.W. Parkes, and H.D. Venema 2011). Untuk itu rancangan metode pengelolaan skenario adaptasi yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas skenario adaptasi partisipatif dan skenario adaptasi prospektif 5.4.1. Skenario Adaptasi Partisipatif Partisipasi masyarakat dalam menentukan pilihan pengelolaan ekosistem terumbu karang mutlak diperlukan. Untuk itu, skenario pengelolaan yang bersifat adaptif-partisipatif sangat dibutuhkan. Skenario ini berdasarkan pilihan nelayan terhadap mata pencaharian alternatif yang berhubungan dengan aktifitas seharihari guna mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang. Hasil analisis menunjukan terdapat 5 jenis mata pencaharian yang dapat dijadikan sebagai mata pencaharian alternatif yaitu kerambah jaring apung, budidaya rumput laut, budidaya kepiting bakau, kerambah jaring tancap, pertanian dan berdagang. Dari ke lima jenis mata pencaharian tersebut terdapat 3 jenis mata pencaharian berbasis perikanan yang dapat dijadikan alternatif mata pencaharian guna mengurangi
101
tekanan terhadap terumbu karang.
Penilaian terhadap tiga mata pencaharian
alternatif berbasis perikanan (budidaya kepiting bakau, kerambah jaring tancap, dan budidaya rumput laut) pada setiap kriteria, seperti terlihat pada Tabel 7. Tabel 7. Penilaian alternatif mata pencaharian potensial
Kriteria Ketersediaan bibit di alam Potensi pasar Alokasi waktu Teknologi yang sudah dipakai Dampak ke terumbu karang Daya serap tenaga kerja Nilai tambah produk Biodiversity Potensi konflik
Bobot 8 7 6 7 9 5 5 8 4
Nilai Alternatif Mata Pencaharian Kepiting Rumput Bakau KJT Laut 8,099 8,102 8,123 8,241 8,315 8,212 7,787 7,131 7,421 7,468 6,218 8,151 6,755 8,401 7,817 7,411 7,103 7,432 6,603 7,212 7,112 5,512 8,011 7,077 5,519 7,121 6,187
Penilaian alternatif mata pencaharian seperti yang ditampilkan pada Tabel diatas, setelah di analisis dengan menggunakan teknik MPE maka terlihat jelas prioritas mata pencaharian yang dapat dijadikan sebagai mata pencaharian alternatif yang berpotensi mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang. Hasil analisis MPE terhadap pilihan mata pencaharian ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil perhitungan signifikansi nilai mata pencaharian alternatif No Jenis Mata Pencaharian
Nilai MPE
Prioritas
Persentasi
1.
Kepiting bakau
52.783.520,39
Potensial 3
9,851% = 10%
2.
Kerambah jaring tancap
247.247.592,7
Potensial 1
46,143% = 46%
3.
Budidaya rumput laut
139.349.268,5
Potensial 2
26,006% = 26%
Dari Tabel 8, terlihat jelas bahwa sebagian besar masyarakat nelayan di Teluk Kotania yang beraktifitas di areal terumbu karang lebih menghendaki kerambah jaring tancap sebagai mata pencaharian alternatif dengan nilai tertinggi yaitu sebesar 247.247.592,7 sedangkan budidaya rumput laut menempati urutan kedua sebagai mata pencaharian alternatif yang juga potensial untuk diterapkan, diikuti dengan budidaya kepiting bakau yang menjadi prioritas ketiga. Kondisi ini memberi gambaran bahwa sekitar 46% masyarakat nelayan lebih menghendaki
102
kerambah jaring tancap sebagai mata pencaharian alternatif yang dapat dilakukan sebagai prasyarat untuk mengurangi aktifitas yang selama ini mereka tekuni di areal ekosistem terumbu karang, sedangkan terdapat 26% nelayan menghendaki budidaya rumput laut dan 10% menghendaki budidaya kepiting bakau. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dikembangkan skenario adaptasi partisipasif menjadi tiga skenario yaitu skenario partisipatif 10%, skenario partisipatif 26%, dan skenario partisipatif 46%. 1). Skenario partisipatif 10% Skenario ini didasarkan pada kenyataan bahwa terdapat 10% masyarakat nelayan memilih budidaya kepiting bakau sebagai pilihan mata pencaharian alternatif, yang dapat diartikan juga bahwa terjadi pengurangan tekanan masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang sebesar 10%. Dari kenyataan ini maka dilakukan analisis spasial-dinamik terhadap perubahan kondisi resiliensi terumbu karang untuk beberapa tahun kedepan.
Hasil analisis perubahan nilai
resiliensi setiap stasiun ditampilkan pada Gambar 26. 0.8
st1 st2 st3 st4 st5 st6 st7 st8 st9 st10 st11 st12 st13 st14 st15 st16 st17 st18 st19
0.7
Nilai Resilensi
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
0
5
10
15
20
25
Tahun
Gambar 26. Perubahan nilai resiliensi dengan skenario partisipatif 10%. Grafik diatas menjelaskan bahwa skenario partisipastif 10% yang menekankan pada kondisi dimana terjadi pengurangan aktifitas perikanan di
103
ekosistem terumbu karang sebesar 10%, telah menyebabkan terjadinya perubahan nilai resiliensi yang berimplikasi pada melambatnya laju penurunan resiliensi dari kondisi awal (tanpa skenario), namun skenario ini belum mampu memicu peningkatan nilai resiliensi terumbu karang. Laju penurunan resiliensi terumbu karang tetap berlangsung tapi tidak secepat pada kondisi tanpa skenario. Pada skenario ini beberapa stasiun penelitian di perairan Pulau Marsegu di prediksi memiliki laju penurunan nilai resiliensi beragam. Stasiun 1 (St.1), stasiun 2 (St.2), stasiun 3 (St.3), stasiun 4 (St.4), stasiun 5 (St.5) dan stasiun 6 (St.6), mulai mengalami laju penurunan masing-masing di tahun 2013, 2012, 2011, 2012, 2011, dan tahun 2012, bila tanpa skenario maka seluruh stasiun di Pulau Marsegu mulai mengalami penurunan nilai resiliensi di tahun 2011. Selain itu, beberapa stasiun penelitian yang berada di perairan gugus pulau Osi, dengan skenario ini diprediksi mulai mengalami penurunan nilai resiliensi masing-masing untuk stasiun 10 (St.10) dan stasiun 11 (St.11) di tahun 2011, dan untuk stasiun 12 (St.12) dan stasiun 13 (St.13) di tahun 2015 dan tahun 2012. sedangkan bila tanpa seknario penurunan nilai resiliensi ke empat stasiun sudah terjadi di tahun 2011. Stasiun 7 (St.7) yang berada di Tanjung Kawa, dengan tanpa skenario partisipatif 1 diprediksi mengalami penurunan di tahun 2011, sedangkan bila diterapkan skenario partisipatif 1 maka laju penurunan resiliensi terjadi di tahun 2012. Sementara itu, nilai resiliensi stasiun 8 (St.8) yang berada di pesisir Pelita Jaya, dengan skenario ini akan mengalami penurunan resiliensi di tahun 2014 dan stasiun 9 (St.9) di tahun 2011, sedangkan tanpa skenario resiliensi terendah kedua stasiun ini dicapai di tahun 2011. Selain itu, stasiun 14 (St.14) dan stasiun
15 (St.15) yang berada di
perairan Pulau Burung memiliki nilai berbeda. Kedua stasiun ini mengalami penurunan resiliensi masing-masing di tahun 2014 dan tahun 2015, sedangkan bila tanpa skenario penurunan resiliensi kedua stasiun ini terjadi di tahun 2011. Nilai resiliensi stasiun 16 (St.16) dan stasiun 17 (St.17) yang terdapat di perairan Pulau Tatumbu, penurunan nilai resiliensi terjadi masing-masing di tahun 2014 dan tahun 2012, jika tanpa skenario penurunan nilai resiliensi kedua stasiun ini terjadi di tahun 2011. Disamping itu, dua stasiun yang terletak di perairan Pulau Buntal yaitu stasiun 18 (St.18) dan stasiun 19 (St.19) dengan skenario ini akan
104
mengalami penurunan resiliensi masing-masing di tahun 2013 dan tahun 2011, jika tanpa skenario kedua stasiun ini mengalami penuruan nilai resiliensi di tahun 2011. Kenyataan ini menunjukan bahwa skenario partisipatif 1 berdampak pada melambatnya laju penurunan resiliensi, dengan kata lain skenario partsipatif 1 mampu memperlambat laju penurunan resiliensi 1 sampai 4 tahun. Kondisi ini menunjukan bahwa jika tekanan lingkungan terhadap ekosistem terumbu karang dikurangi sebesar 10% maka akan menyebabkan waktu penurunan resiliensi terumbu karang melambat dengan jangka waktu 1 sampai 4 tahun dibandingkan dengan kondisi tanpa skenario. Dinamika perubahan nilai resiliensi dengan menggunakan skenario partisipatif 1 seperti yang telah dijelaskan, bila lakukan analisis spasial dengan jangka waktu prediksi di tahun 2015, 2020, dan tahun 2025, maka akan terlihat perubahan kelas resiliensi eko-sosio terumbu karang secara berkala. Gambaran perubahan kelas resiliensi eko-sosio terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 27, 28 dan 29. Kondisi resiliensi eko-sosio terumbu karang dengan penerapan skenario partisipatif ini menggambarkan besarnya peluang yang dapat dimanfaatkan terumbu karang bila terjadi pengurangan tekanan terhadap ekosistem terumbu karang. Laju resiliensi eko-sosio terumbu karang semakin melambat setiap periode jika dibandingkan dengan nilai resiliensi eko-sosio awal. Bila usaha perbaikan ekosistem terumbu karang dilakukan dengan penerapan mata pencaharian alternatif budidaya kepiting bakau, budidaya rumput laut, dan kerambah jarring tancap, maka respon ekosistem terumbu karang akan memicu daya resilient untuk melakukan proses-proses pemulihan dan reorganisasi diri sebesar respon yang diberikan. Penerapan skenario partisipatif merupakan gambaran adanya konektivitas antara faktor ekologi dan faktor sosial sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari usaha pengelolaan ekosistem terumbu karang yang lestari dan berkelanjutan.
Hal ini disebabkan karena terumbu karang merupakan ekosistem
yang kompleks yang keberadaanya bersinggungan dengan setiap aktifitas masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
105
Gambar 27. Perubahan kelas resiliensi skenario partisipatif 10% tahun 2015
Gambar 28. Perubahan kelas resiliensi skenario partisipatif 10% tahun 2020
106
Gambar 29. Perubahan kelas resiliensi skenario partisipatif 10% tahun 2025 Bila skenario partisipatif ini diterapkan maka kelas resiliensi eko-sosio terumbu karang diprediksi pada tahun 2015 akan terjadi perubahan kelas resiliensi pada 2 stasiun yaitu stasiun 11 (St.11) di perairan Pulau Osi dan stasiun 14 (St.14) di perairan Pulau Burung. Stasiun 11 (St.11) awalnya masuk dalam kategori high resilient (resiliensi tinggi) berubah menjadi kategori midle resilient (resiliensi sedang) dan stasiun 14 (St.14) yang awalnya memiliki kategori midle resilient berubah menjadi low resilient. Stasiun-stasiun yang lain walaupun tidak mengalami perubahan kategori kelas resiliensi namun penurunan nilai resiliensi eko-sosio terumbu karang tetap terjadi. Di tahun 2020 diprediksi terjadi perubahan kelas resiliensi pada 4 stasiun penelitian. Di perairan Pulau Marsegu, Stasiun 6 (St.6) yang awalnya memiliki kategori kelas midle resilient berubah menjadi low resilient, hal yang sama juga terjadi pada stasiun 10 (St.10) dan stasiun 11 (St.11) yang awalnya memiliki kategori high resilient bergeser menjadi midle resilient, demikian juga yang terjadi pada stasiun 14 (St.14) yang awalnya masuk dalam kategori midle resilient berubah menjadi low resilient.
107
Prediksi di 2025 akan terjadi perubahan kelas resiliensi eko-sosio terumbu karang di 6 stasiun penelitian. Stasiun 2 (St.2) yang awalnya memiliki kategori low resilient mengalami perubahan menjadi very low resilient, stasiun 6 (St.6) dengan kategori awal midle resilient berubah menjadi low resilient, stasiun 7 (St.7), stasiun 10 (St.10) dan stasiun 11 (St.11) yang awalnya memiliki kategori high resilient berubah menjadi midle resilient, serta stasiun 14 (St.14) dengan kategori midle resilient berubah menjadi low resilient. 2). Skenario Partisipatif 26% Skenario partisipatif 2 didasarkan pada kenyataan bahwa terdapat 26% masyarakat nelayan memilih budidaya rumput laut sebagai pilihan mata pencaharian alternatif, dengan kata lain bahwa pilihan budidaya rumput laut menyebabkan berkurangya tekanan eksploitasi terumbu karang sebesar 26%. Kondisi ini bila dianalisis lebih lanjut secara spasial-dinamik dengan menggunakan model proyeksi eksponensial terhadap perubahan kondisi resiliensi eko-sosio terumbu karang untuk tahun 2015, 2020, dan 2025, maka akan terlihat perubahan laju penurunan nilai resiliensi dan kategori kelas resiliensi eko-sosio di setiap periode. Hasil analisis perubahan nilai resiliensi setiap stasiun ditampilkan pada Gambar 30. Budidaya rumput laut merupakan pilihan mata pencaharian alternatif yang memiliki peluang yang cukup baik dalam kaitan dengan pengurangan tekanan terhadap aktifitas di ekosistem terumbu karang. Selain itu, sejak lama beberapa kelompok masyarakat telah melakukan budidaya rumput laut, namun belum dikelola dengan baik sehingga manfaatnya belum dapat mensejahterakan masyarakat di sekitar Teluk Kotania. Pengelolaan secara professional dengan penerapan teknologi budidaya dan pasca panen serta pemasaran yang baik merupakan langkah terbaik guna peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan demikian, skenario ini bisa menjadi alternatif bagi usaha pengurangan tekanan terhadap terumbu karang sekaligus meningkatan ekonomi masyarakat. Budidaya rumput laut dapat menurunkan tekanan terhadap terumbu karang sebesar 26% yang memungkinkan terumbu karang dapat melaksanakan proses-proses pemulihan dan reorganisasi diri guna peningkatan daya resiliensi.
108
0.8
st1 st2 st3 st4 st5 st6 st7 st8 st9 st10 st11 st12 st13 st14 st15 st16 st17 st18 st19
0.7
Nilai Resiliensi
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
0
5
10
15
20
25
Tahun
Gambar 30. Perubahan nilai resiliensi dengan skenario partisipatif 26%. Grafik diatas menjelaskan bahwa skenario partisipastif 26% telah menyebabkan terjadinya perubahan
nilai resiliensi yang berimplikasi pada
melambatnya laju penurunan resiliensi dari kondisi awal (tanpa skenario), dan sedikit lebih lambat dari skenario partisipatif 10%. Skenario ini juga belum mampu memicu peningkatan nilai resiliensi eko-sosio terumbu karang tapi hanya dapat memperlambat waktu terjadinya penurunan resiliensi terumbu karang menuju nilai terendah dan waktu hilangnya daya resiliensi eko-sosio terumbu karang. Perubahan nilai resiliensi dari hasil analisis seperti yang ditampilkan pada grafik diatas, merupakan dinamika kondisi resiliensi eko-sosio terumbu karang dimana terjadi proses-proses rekayasa kondisi lingkungan secara partisipatif sebesar 26%. Bila dilakukan analisis spasial dengan jangka waktu prediksi di tahun 2015, tahun 2020, dan tahun 2025 maka akan terlihat perubahan degradasi kelas resiliensi eko-sosio terumbu karang secara berkala. Skenario partisipatif ini mempengaruhi laju penurunan nilai resiliensi, yang menyebabkan prediksi perubahan kategori kelas resiliensi eko-sosio di tahun 2015 hanya terjadi pada stasiun 11 (St.11) yang awalnya masuk dalam kategori high resiliensi menurun menjadi midle resilient. Tahun 2020, di prediksi terjadi perubahan kelas resiliensi
109
eko-sosio terumbu karang di 2 stasiun penelitian yaitu stasiun 11 yang awalnya memiliki kategori high resilient berubah menjadi midle resiient, dan stasiun 14 yang memiliki kategori midle resilient menurun menjadi low resilient. Sedangkan di tahun 2025 diprediksi terjadi perubahan kelas resiliensi eko-sosio terumbu karang di 3 stasiun penelitian yaitu stasiun 6, stasiun 11, dan stasiun 14. Kategori midle resilient yang awalnya dimiliki stasiun 6 dan stasiun 14 berubah menjadi low resilient, sedangkan stasiun 11 yang memiliki kategori high resilient berubah menjadi middle resilient. Gambaran perubahan kelas resiliensi eko-sosio terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 31, 32, dan 33.
Gambar 31. Perubahan kelas resiliensi skenario partisipatif 26% tahun 2015
110
Gambar 32. Perubahan kelas resiliensi skenario partisipatif 26% tahun 2020
Gambar 33. Perubahan kelas resiliensi skenario partisipatif 26% tahun 2025
111
3). Skenario Partisipatif 46% Skenario partisipatif ini didasarkan pada kenyataan bahwa terdapat 46% masyarakat nelayan memilih kerambah jaring tancap sebagai pilihan mata pencaharian alternatif, dengan kata lain bahwa alternatif mata pencaharian kerambah jaring tancap akan berdampak pada berkurangya tekanan eksploitasi terumbu karang sebesar 46%. Kondisi ini bila dianalisis lebih lanjut secara spasial-dinamik terhadap perubahan kondisi resiliensi eko-sosio terumbu karang untuk beberapa tahun kedepan, maka akan terlihat laju penurunan nilai resiliensi dan kategori kelas resiliensi eko-sosio di setiap periode yang semakin melambat dibandingkan dengan skenario partisipatif 10% dan partisipatif 26% seperti yang telah di paparkan sebelumnya. Hasil analisis perubahan nilai resiliensi setiap stasiun ditampilkan pada Gambar 34. 0.8
st1 st2 st3 st4 st5 st6 st7 st8 st9 st10 st11 st12 st13 st14 st15 st16 st17 st18 st19
0.7
Nilai Resilensi
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
0
5
10
15
20
25
Tahun
Gambar 34. Perubahan nilai resiliensi dengan skenario partisipatif 46% Laju penurunan nilai resiliensi di setiap stasiun semakin melambat seiring dengan waktu. Semakin tinggi nilai resiliensi dari setiap stasiun penelitian maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai resiliensi terendah. Kenyataan ini menunjukan bahwa skenario partisipatif ini mampu memperlambat laju penurunan nilai resiliensi lebih baik dibandingkan dengan kedua skenario partisipatif sebelumnya. Namun sama halnya dengan kedua skenario sebelumnya,
112
skenario ini juga belum mampu memicu peningkatan nilai resiliensi eko-sosio terumbu karang tapi hanya dapat memperlambat waktu terjadinya penurunan resiliensi terumbu karang sedikit lebih lama dibanding dua skenario sebelumnya. Perubahan nilai resiliensi dari hasil analisis seperti yang ditampilkan pada grafik diatas, merupakan dinamika kondisi resiliensi eko-sosio terumbu karang dimana terjadi proses-proses rekayasa kondisi lingkungan secara partisipatif sebesar 46%. Semakin melambatnya penurunan indeks resiliensi eko-sosio terumbu karang menunjukan bahwa skenario ini memiliki efektifitas sedikit lebih baik dari skenario partisipatif yang lain. Stasiun yang memiliki kategori high resilient (0.61-0.80) dan midle resilient (0.41-0.60), mengalami penurunan indeks resiliensi di tahun 2013 sampai 2014, dan stasiun dengan kategori low resilient (0.21-0.40) mulai terjadi penurunan indeks resiliensi di tahun 2015 sampai tahun 2022, sedangkan untuk kategori very low resilient (0.01-0.20) penurunan indeks resiliensi sudah terjadi di tahun 2018 sampai tahun 2025. Kondisi ini menunjukan bahwa pada saat kondisi resiliensi terumbu karang berada pada tingkatan kategori yang sangat rentan mengindikasikan adanya penurunan cekaman lingkungan yang berimbas pada lamanya waktu awal terjadinya penurunan indeks resiliensi, namun karena tidak disertai dengan usaha ekspansi perbaikan kondisi lingkungan terumbu karang sehingga proses pemulihan diri belum mampu memicu peningkatan daya resilient terumbu karang, yang akibatnya penurunan indeks resiliensi eko-sosio terumbu karang tetap terjadi seiring dengan waktu dan pada suatu saat terumbu karang akan kehilangan daya resilientnya. Dinamika perubahan nilai indeks resiliensi dengan menggunakan skenario partisipatif 46% seperti yang telah dijelaskan, bila lakukan analisis spasial dengan jangka waktu prediksi di tahun 2015, tahun 2020, dan tahun 2025 maka akan terlihat perubahan degradasi kelas resiliensi eko-sosio terumbu karang secara berkala. Gambaran perubahan kategori kelas resiliensi eko-sosio terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 35 dan 36.
113
Gambar 35. Kelas resiliensi eko-sosio skenario partisipatif 46% tahun 2015, 2020
Gambar 36. Kelas resiliensi eko-sosio skenario partisipatif 46% tahun 2025.
114
Resiliensi eko-sosio terumbu karang diprediksi terjadi perubahan kelas resiliensi pada beberapa stasiun penelitian ke kategori kelas yang lebih rendah dari kondisi awal namun ada beberapa stasiun juga yang masih tetap sama seperti kondisi awal. Prediksi degradasi kelas resiliensi yang terjadi pada tahun 2015 dan tahun 2020 sama yaitu hanya terjadi pada stasiun 11 (St.11) yang terletak di gugus Pulau Osi dimana pada awalnya memiliki kategori high resilient terdegradasi menjadi midle resilient, sedangkan untuk stasiun penelitian lainnya baik yang terletak di pesisir maupun di pulau-pulau kecil tidak mengalami perubahan kategori resiliensi. Di tahun 2025, perubahan kelas resiliensi eko-sosio terumbu karang hanya terjadi pada stasiun 14 (St.14) di Pulau Burung yang awalnya masuk dalam kategori midle resilient berubah menjadi low resilient, sedangkan stasiun lainya tidak mengalami degradasi ke kelas resiliensi yang lebih rendah. Sementara untuk stasiun-stasiun yang tidak terjadi degradasi kelas pada prinsipnya laju penurunan nilai resiliensi tetap terjadi tapi sedikit melambat dibanding skenario partisipatif yang lain. Semakin besar presentasi pengurangan tekanan lingkungan terhadap ekosistem terumbu karang akan semakin baik kondisi resiliensi terumbu karang dan semakin lama waktu degradasi resiliensi eko-sosio terumbu karang ke arah yang lebih rendah 5.4.2. Skenario Adaptasi Prospektif Skenario prospektif merupakan skenario yang menggabungkan tingkat partisipatif nelayan dan konsep konservasi ideal 30% untuk program konservasi di suatu kawasan. Rancangan skenario prospektif didasarkan pada perpaduan antara nilai partisipatif dan penegasan konsep konservasi sebagaimana yang dituangkan dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, yang menekankan bahwa di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil setidaknya memiliki 30% kawasan konservasi untuk menunjang keberlanjutan ekosistem. Apapun desain skenario pengelolaan terumbu karang yang diterapkan belum dikatakan berhasil bila penerapanya belum mampu menciptakan potret pengelolaan yang di satu sisi dapat mengeliminir laju kerusakan dan memperbaiki kondisi lingkungan, dan pada sisi yang lain harus dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat
yang berinteraksi dengan
ekosistem terumbu
karang.
115
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka skenario prospektif di desain untuk melihat prediksi perubahan kondisi resiliensi terumbu karang dengan pemahaman keterpaduan sistem ekologi-sosial merupakan kunci keberhasilan bagi terciptanya tata kelola ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan (sustainable). Skenario ini merupakan penggabungan skenario partisipatif masyarakat nelayan sebesar 10%, 26%, 46% dengan usaha konservasi yang dilakukan sebesar 30% untuk setiap stasiun penelitian. Kondisi ini bila dianalisis lebih lanjut secara spasial-dinamik untuk melihat perubahan resiliensi eko-sosio terumbu karang di tahun 2015, 2020 dan tahun 2025, maka terlihat jelas kenaikan nilai resiliensi dan kategori kelas resiliensi eko-sosio di setiap periode yang semakin membaik dibandingkan dengan skenario partisipatif
seperti yang telah di uraikan
sebelumnya. Hasil analisis perubahan nilai resiliensi skenario prospektif setiap tingkatan ditampilkan pada gambar dibawah ini. 0.8
st1 st2 st3 st4 st5 st6 st7 st8 st9 st10 st11 st12 st13 st14 st15 st16 st17 st18 st19
0.7
Nilai Resiliensi
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
5
10
15
20
25
Tahun
Gambar 37. Perubahan nilai resiliensi skenario prospektif 40%
116
0.8
st1 st2 st3 st4 st5 st6 st7 st8 st9 st10 st11 st12 st13 st14 st15 st16 st17 st18 st19
0.7
Nilai Resiliensi
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
5
10
15
20
25
Tahun
Gambar 38. Perubahan nilai resiliensi skenario prospektif 56% 0.8
st1 st2 st3 st4 st5 st6 st7 st8 st9 st10 st11 st12 st13 st14 st15 st16 st17 st18 st19
0.7
Nilai Resilensi
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
5
10
15
20
25
Tahun
Gambar 39. Perubahan nilai resiliensi skenario prospektif 76%
117
Laju peningkatan nilai resiliensi di setiap stasiun makin meningkat seiring dengan pertambahan waktu. Semakin tinggi nilai resiliensi dari setiap stasiun penelitian maka semakin kecil waktu yang dibutuhkan untuk peningkatan nilai resiliensi ke arah yang lebih tinggi. Kenyataan ini menunjukan bahwa skenario prospektif mampu memicu laju kenaikan nilai resiliensi eko-sosio terumbu karang dibandingkan dengan skenario partisipatif. Grafik diatas menggambarkan bahwa seluruh stasiun penelitian di Teluk Kotania tidak akan pernah mencapai nilai resiliensi terendah bahkan perlahan tapi pasti nilai resiliensinya akan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Skenario prospektif 40%, mampu memicu peningkatan indeks resiliensi di tahun 2015 dan tahun 2016 untuk stasiun yang memiliki nilai indeks resiliensi dengan kategori kelas high resilient (0.61-0.80), untuk stasiun yang memiliki nilai indeks resiliensi 0.41-0.60 dengan kategori kelas midle resilient maka peningkatan indeks resiliensi terjadi tahun 2017 sampai tahun 2019, dan stasiun dengan indeks resiliensi berkisar dari 0.21-0.40 dengan kategori kelas low resilient maka peningkatan indeks resiliensi di mulai tahun 2018 sampai tahun 2024, untuk selang resiliensi yang berkisar dari 0.1-0.20 yang masuk dalam kategori kelas very low resilient tidak terjadi peningkatan indeks resiliensi sampai dengan tahun 2025. Peningkatan nilai resiliensi juga terjadi dengan skenario prospektif 56%, pada umumnya indeks resiliensi kategori kelas high resilient (0.61-0.80) teridentifikasi terjadi dalam dua tahap yaitu tahap pertama mulainya peningkatan indeks resiliensi yang terjadi tahun 2015 sampai tahun 2016 dan tahap kedua peningkatan indeks resiliensi terjadi di tahun 2023 sampai tahun 2025. Selain itu, untuk kategori midle resilient (0.41-0.60) peningkatan indeks resiliensi mulai terjadi di tahun 2016 sampai tahun 2018, dan untuk kategori low resilient yang memiliki selang 0.21-0.40 peningkatan indeks resiliensi dimulai tahun 2018 sampai tahun 2023, sedangkan untuk selang indeks resiliensi 0.10-0.20 yang masuk dalam kategori very low resilient tidak terjadi peningkatan indeks resiliensi sampai dengan prediksi terakhir di tahun 2025. Prediksi skenario prospektif 76% dapat memicu kenaikan indeks resiliensi yang lebih baik dibanding skenario prospektif lainnya. Kategori high resiliensi
118
dengan selang indeks 0.61-0.80 mengalami kenaikan indeks resiliensi dua tahap yaitu tahap pertama mulai terjadi di tahun 2014 sampai tahun 2015 dan tahap kedua terjadi tahun 2022 sampai tahun 2024. Perubahan indeks juga terjadi untuk kategori midle resilient (0.41-0.60) dimana peningkatan indeks resiliensi terjadi di tahun 2015 sampai tahun 2017 bahkan terdapat stasiun 15 (St.15) yang memiliki kategori yang sama mengalami peningkatan resiliensi tahap kedua yang terjadi di tahun 2025.
Untuk kategori low resilient (0.21-0.40) peningkatan indeks
resiliensi terjadi tahun 2017 sampai tahun 2021, bahkan terdapat stasiun 18 (St.18) yang awalnya memiliki kategori very low resilient mengalami peningkatan menjadi kategori low resilient di tahun prediksi 2025. Sedangkan untuk kategori very low resilient dengan selang indeks 0.10-0.20 sampai dengan prediksi tahun 2025 umumnya tidak mengalami peningkatan indeks resiliensi dari indeks resiliensi awal yang dimiliki, hanya stasiun 18 (St.18) yang awalnya masuk dalam kategori very low resilient meningkat menjadi low resilient di tahun 2025. Hal ini menunjukan bahwa skenario prospektif ini telah mampu mencipatakan kondisi indeks resiliensi yang lebih baik dari kondisi awal dan diduga bila waktu prediksi diperpanjang maka akan tercipta kondisi resiliensi ideal yang lebih stabil dibanding indeks resiliensi awal. Kenyataan ini menunjukan bahwa semakin tinggi nilai resiliensi yang dimiliki terumbu karang, maka kemampuan pemulihan diri untuk mencipatkan kondisi resiliensi yang lebih stabil dari kondisi awal akan semakin baik dan semakin rendah nilai resiliensi akan semakin sulit bagi terumbu karang untuk melakukan proses-proses pemulihan diri akibat tekanan lingkungan. Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, membuktikan bahwa model yang di desain sejalan dengan konsep resiliensi eko-sosio terumbu karang dan konsep resiliensi secara umum, yang berarti model yang di uji cobakan relefan dan dapat digunakan untuk kajian-kajian yang berkaitan dengan resiliensi terumbu karang. Gambaran analisis secara spasial skenario prospektif ditampilkan pada Gambar 40, 41, 42 dan Gambar 43 dibawah ini.
119
Gambar 40. Kelas resiliensi skenario prospektif 40% tahun 2015, 2020, dan 2025
Gambar 41. Kelas resiliensi skenario prospektif 56% tahun 2015, 2020, dan 2025.
120
Gambar 42. Kelas resiliensi skenario prospektif 76% tahun 2015, 2020
Gambar 43. Kelas resiliensi skenario prospektif 76% tahun 2025
121
Perubahan kelas resiliensi eko-sosio terumbu karang akibat naiknya nilai indeks resiliensi dengan penerapan skenario adaptasi prospektif merupakan kondisi ideal bagi terumbu karang dalam menciptakan daya resiliensi terumbu karang yang lebih baik dari kondisi awal. Skenario adaptasi prospektif mampu menciptakan kesempatan yang cukup bagi terumbu karang melakukan prosesproses pemulihan diri untuk meningkatkan daya resiliensinya. Prediksi kondisi kelas resiliensi di tahun 2015, 2020 dan tahun 2025 untuk skenario prospektif 40% dan 56% tidak mengalami perubahan ke kelas yang lebih tinggi, namun skenario ini menyebabkan terjadinya peningkatan indeks resiliensi dari tahun ke tahun ke arah yang lebih baik. Kategori kelas resiliensi dengan skenario prospektif 76% untuk waktu prediksi tahun 2015 dan tahun 2020 belum menunjukan perubahan kelas resiliensi, namun pada waktu prediksi tahun 2025 berhasil memicu peningkatan kelas resiliensi pada stasiun 18 (St.18) yang awalnya memiliki kategori kelas very low resilient meningkat menjadi kategori kelas low resilient. Merskipun skenario prospektif dengan prediksi sampai tahun 2025 umumnya belum terlihat jelas perubahan kategori kelas resiliensi yang lebih baik, namun skenario ini telah mampu memicu peningkatan indeks resiliensi yang signifikan dari tahun ke tahun dibanding dengan skenario partisipatif. Dengan trend peningkatan indeks resiliensi dari tahun ke tahun bila dilakukan prediksi dengan waktu yang lebih lama (diatas 25 tahun) maka akan terjadi peningkatan kelas resiliensi yang lebih baik dan stabil dari kondisi resiliensi awal. 5.5. Sistem Aplikasi Model Resiliensi Eko-Sosio Coral Reef Management (MORESIO-CRM) Decision support system (DSS) MORESIO-CRM merupakan sebuah aplikasi system aplikasi sederhana yang dirancang menggunakan pendekatan system spasial-dinamik (dynamic-spacial approach), dengan mengkuantifikasikan sistem ekologi dan sosial secara terintegrasi bagi penilaian resiliensi eko-sosio terumbu karang di Teluk Kotania.
MORESIO-CRM sebuah aplikasi sistem
penilaian resiliensi eko-sosio terumbu karang secara spasial-dinamik yang dirancang guna mempermudah penilaian resiliensi terumbu karang secara cepat. Estimasi terhadap kondisi resiliensi eko-sosio terumbu karang menggunakan
122
fungsi-fungsi eksekusi yang dimiliki oleh software matlab 7 dan Arc-gis 9.3, yang merupakan dasar perancangan MORESIO-CRM. Sistem informasi MORESIO-CRM didesain menggunakan bahasa pemprograman c sharp (c#) dan dapat dioperasikan dengan dukungan spesifikasi system operasi ; Microsoft Windows Xp/Vista/7, space disk 30 MB dan RAM 512 MB. Dengan menggunakan aplikasi MORESIO-CRM, maka penilaian kondisi resiliensi eko-sosio terumbu karang dapat dilakukan secara cepat dengan waktu yang singkat. Model prediksi pada MORESIO-CRM dilakukan untuk mengetahui tingkat resiliensi terumbu karang saat sekarang (existing) dan di waktu mendatang, sehingga strategi dan skenario dapat di desain sejak dini untuk mengantisipasi menurunya kualitas resiliensi terumbu karang di masa depan. Output dari system aplikasi ini menggambarkan kondisi resiliensi eko-sosio terumbu karang secara spasial-dinamik dengan model estimasi dan prediksi yang ditampilkan dalam bentuk grafik sedangkan secara spasial ditampilkan dalam bentuk peta sebaran. MORESIO-CRM memiliki beberapa tabs yang berfungsi menyimpan dan mengeksekusi perintah yang berasal dari inputan data berupa bobot dari masing-masing parameter resiliensi eko-sosio dan nilai parameter resiliensi eko-sosio terumbu karang dari masing-masing stasiun penelitian. MORESIO-CRM bersifat fleksibel sehingga berpeluang untuk dapat dikembangkan menjadi tools analisis resiliensi eko-sosio terumbu karang yang lebih baik lagi, jika dapat dilakukan penyempurnaan pada beberapa teknik analisis yang belum di inputkan dalam desain program ini.
MORESIO-CRM telah
berhasil di aplikasikan penggunaannya di HP (Handphone), dengan demikian penilian tingkat resiliensi dapat dilakukan secara cepat, akurat dan murah. Setiap orang akan dengan mudah dapat melakukan penilaian tingkat resiliensi terumbu karang dari atas perahu atau pada saat itu juga. Tampilan utama MORESIO-CRM dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
123
Gambar 44. Tampilan depan (cover) MORESIO-CRM Halaman judul pada aplikasi Moresio – CRM, memperlihatkan judul pada aplikasi tersebut. Halaman ini menmpilkan beberapa tabs menu untuk yang dapat digunakan oleh para pengguna dalam mengopersikan Moresio-CRM. Menu yang ditampilkan terdiri dari: Passowrd : merupakan tabs yang dapat digunakan sebagai input untuk mengisi password saat menggunakan aplikasi. Password dapat diperoleh dari pembuat aplikasi. Application: merupakan tabs tombol yang digunakan untuk mengarahkan pengguna dalam membuka dan menggunakan aplikasi MoresioCRM. Close Application: merupakan tombol yang dapat digunakan menutup atau keluar dari aplikasi sistem Moresio-CRM. Langkah ini dilakukan bila pengguna telah selesai menggunakan aplikasi Moresio-CRM
124
Gambar 45.. Tampilan sistem input dan analisis data MORESIO-CRM CRM
Di dalam sistim istim input ini terdapat halaman form input dimana pengguna aplikasi dapat memberikan masukan masuk nilai pada aplikasi tersebut. Terdapat 19 jumlah form sesuai dengan jumlah stasiun yang ada.Pengguna dapat menghitu menghitung CRI Ekologi, ologi, CRI Social, CRI Eko-sosio Eko dengan memberikan nilai pada 19 parameter yang tersedia beserta bobotnya (w). Menu: Hitung:: Menghitung CRIEkologi, CRISosio, dan CRI
Eko-Socio
berdasarkan nilai
parameter yang diberikan. Save File:: Pengguna dapat menyimpan menyimpan hasil input dan perhitungan pada sebuah file dalam format xml. Open File:: Pengguna dapat membuka kembali hasil penyimpanan data yang sebelumnya telah disimpan. Grafik: Menu untuk membuka halaman grafik. Maps:: Melihat peta statis posisi stasiun pertama pertama sampai dengan stasiun ke ke-19.
125
5.6. Implikasi Kebijakan Resiliensi Eko-Sosial Dalam Pengelolaan Terpadu Terumbu Karang di Teluk Kotania Implementasi model resiliensi ekologi-sosial sangat dibutuhkan bagi tercipatanya pengelolaan terumbu karang yang lestari dan berkelanjutan. Tingginya tingkat resiliensi ekologi-sosial menandakan kondisi terumbu karang memiliki
kesempatan
yang
cukup
dalam
proses
pertumbuhan
dan
perkembangannya. Sebaliknya jika tingkat resiliensi ekologi-sosial rendah menunjukan terumbu karang dalam kondisi kurang baik bagi pertumbuhan dan perkembangannya, bahkan rentan kehilangan daya resiliensinya. Untuk itu model resiliensi ekologi-sosial (resiliensi eko-sosio) pengelolaan terumbu karang yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya hendaknya dapat di terapkan beradasarkan asumsi-asumsi tingkatan resiliensi yang dapat menjelaskan kualitas resiliensi ekologi-sosial. Untuk itu, implikasi kebijakan dari konsep ini secara umum
diperlukan
mempertimbangkan
dalam sistim
bentuk
regulasi
secara
partisipatif
nilai
budaya
masyarakat
setempat
dengan yang
dikombinasikan dengan aturan-aturan adat seperti sasi, dan program penyadaran masyarakat tentang pentingnya ekosistem terumbu karang bagi kehidupan biota di sekitarnya.
Implikasi kebijakan pengelolaan terumbu karang yang berbasis
resiliensi ekologi-sosial hendaknya dapat dipadukan dengan arahan yang tertuang dalam UU No. 27 Tahun 2007 yang menghendaki pengelolaan pesisir dan pulaupulau kecil terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lain sesuai dengan peruntukan kawasan. Berdasarkan hal tersebut, maka secara khusus implikasi kebijakan pengelolaan terumbu karang hendaknya mengacu pada konsep resiliensi ekologisosial dan regulasi yang sudah ada. Dengan demikian terdapat dua landasan yang dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan pengelolaan terumbu karang terpadu di Teluk Kotania. Pertama, berdasarkan lokasi dengan kelas resiliensi tinggi (dengan nilai indeks resiliensi ekologi-sosial >0.4) yang dalam analisis gerombol/pengelompokan dikategorikan sebagai cluster pengelolaan 1. Lokasi yang masuk dalam kategori ini adalah high resilient (st3, st7, st10, st11) dan midle resilient (st5, st9, st19).
Kedua, berdasarkan lokasi dengan kelas resiliensi
ekologi-sosial rendah (nilai indeks resiliensi ekologi-sosial < 0.4) yang mencakup
126
low resilient dan very low resilient, yang dalam analisis gerombol dipetakan menjadi 2 cluster pengelolaan yaitu cluster pengelolaan dengan indeks resiliensi ekologi-sosial 0.21-0.4, cluster ini selanjutnya disebut sebagai cluster pengelolaan dengan tingkat resiliensi rendah, dan cluster pengelolaan dengan indeks resiliensi ekologi-sosial <0.21) yang selanjutnya disebut sebagai cluster pengelolaan 3 dengan tingkat resiliensi sangat rendah. Pengelolaan setiap cluster pengelolaan semaksimalkan mungkin harus dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kesejahteraan adalah hal penting dari hasil pengelolaan ekosistem yang efektif. Peran peneliti, praktisi, dan pembuat kebijakan dituntut mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu lintas sektoral dengan pelibatan multi-pihak sebagai langkah strategi menciptakan tata kelola yang dapat menciptakan pengelolaan ekosistem berkelanjutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Brown et al. 2001, Brown 2007, Waltner-Toews 2004 dan Soskolne et al. 2007 dalam Bunch M.J. 2011 ).
5.6.1. Pengelolaan terumbu karang pada kategori resiliensi eko-sosio tinggi Kebijakan pengelolaan terumbu karang pada kategori ini mencakup lokasi st3, st7, st10, st11) dan midle resilient (st5, st9, st19). Implikasi kebijakan pengelolaan hendaknya dapat diarahkan pada usaha perlindungan ekosistem terumbu karang dan pengaturan aktifitas di sekitar terumbu karang. Implikasi kebijakan tersebut akan memberikan peluang dan kesempatan bagi terumbu karang dalam proses pemulihan diri yeng lebih baik. Jika kegiatan penangkapan ikan di areal terumbu karang tetap dilakukan maka terdapat dua langkah yang harus dipertimbangkan. Pertama, pada wilayah ini diperlukan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas yang dapat merusak ekosistem terumbu karang. Jika pengawasan tidak dilakukan maka dikuatirkan aktifitas perikanan di areal terumbu karang akan menyebabkan tekanan terhadap terumbu karang akan semakin tinggi, dan tentunya menurunkan daya resiliensi terumbu karang. Langkah ini perlu dilakukan untuk menghindari tingkat eksploitasi yang berlebihan pada areal terumbu karang tersebut. Kedua, menjadikan areal ini sebagai zona inti
127
pengelolaan ekosistem terumbu karang. Langkah ini diperlukan untuk mengembalikan dan memulihkan kondisi resiliensi terumbu karang. Jenis aktifitas penangkapan ikan hanya diperuntukan untuk kegiatan memancing dengan tingkat tekanan rendah terhadap terumbu karang, sehingga tersedia kesempatan yang lebih besar bagi terumbu karang untuk memulihkan diri secara alami.
5.6.2. Pengelolaan terumbu karang pada kategori resiliensi eko-sosio rendah Cluster pengelolaan ini mencakup st2, st4, st6, st13, st14, dan st17. Kebijakan pengelolaan terumbu karang dengan kategori resiliensi rendah ini dapat dilakukan dengan dua terobosan. Pertama, mengembangkan skenario tiga alternatif mata pencaharian seperti yang telah dijelaskan sesuai dengan peruntukan keahlian masyarakat. Kedua, menjadikan kawasan ini sebagai zona pemanfaatan bersyarat. Kegiatan pengembangan mata pencaharian alternatif tetap dilakukan disertai dengan kegiatan konservasi dan rehabilitasi terumbu karang di sekitar areal pengembangan jenis mata pencaharian masyarakat dengan sistem partisipatif. Pada zona ini, pengembangan kerambah jarring tancap sebaiknya dilakukan pada areal-areal dengan tingkat kerusakan terumbu karang tinggi yang pada umumnya terdapat pada kedalaman 2 meter sampai 4 meter. Kegiatan rehabilitasi dapat dilakukan disekitar areal budidaya rumput laut dan kerambah jaring tancap, namun untuk kerambah jaring tancap kegiatan rehabilitasi juga dapat dilakukan di dalam areal kerambah dengan sistem spot-spot. Pelatihan transplantasi karang merupakan pengetahuan penting bagi masyarakat yang menjadi target skenario pengembangan tiga mata pencaharian aternatif.
5.6.3. Pengelolaan terumbu karang pada kategori resiliensi eko-sosio sangat rendah Kebijakan pengelolaan terumbu karang pada cluster ini mencakup seluruh stasiun yang berada dalam tingkatan very low resilient yaitu st1, st8, st12, st15, st16, dan st18. Strategi kebijakan yang dapat diterapkan pada cluster pengelolaan ini yaitu menetapkan kawasan ini sebagai zona rehabilitasi terumbu karang. Kegiatan rehabilitasi dapat dilakukan dengan sistem lelang nilai. Seluruh
128
stakeholders yang beraktifias disekitar ekosistem terumbu karang diajak bersama dan menilai serta melakukan negosiasi tentang nilai-nilai yang akan menjadi kesepakatan bersama dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang. Pelibatan masyarakat dalam proses rehabilitasi adalah hal penting dalam strategi manajemen dalam memperbaiki kondisi terumbu karang yang telah rusak dan sekaligus sebagai upaya meningkatkan resiliensi terumbu karang. Aktivitas-aktivitas penelitian tentang teknik-teknik transplantasi karang dapat dijadikan sebagai program andalan pada zona ini, dengan harapan akan tercipta suatu teknik transplantasi karang yang dapat menjamin presentasi hidup terumbu karang yang lebih baik sesuai dengan kondisi setempat. Selain itu, program rehabilitasi dengan konsep ekowisata dan sistem adopsi koloni terumbu karang dapat dijadikan sebagai desain program rehabilitasi yang dinilai sesuai untuk kondisi Teluk Kotania. Keberadaan zona ini sangat penting dalam mengembalikan kondisi terumbu karang yang mengalami degradasi tinggi menjadi komunitas yang kembali pulih dan sehingga memungkinkan terjadi perubahan zona yang awalya menjadi zona rehabilitasi meningkat menjadi zona pemanfaatan atau zona lain dengan kualitas terumbu karang yang lebih baik dari zona sebelumnya. Perencanaan pada zona ini hendaknya dilakukan secara detail dengan memperhitungkan berbagai aspek guna mencapai tujuan yang ditetapkan. Untuk itu, zona ini memerlukan desain program yang bersifat jangka pendek dan jangka menengah. Evaluasi keberhasilan dari setiap program hendaknya dilakukan rutin dan dijadwalkan dengan baik sehingga program rehabilitasi yang telah ditetapkan mencapai hasil maksimal. Mengingat topografi dasar perairan Teluk Kotania yang dangkal dengan reef flat yang berbentuk relung, maka kegiatan rehabilitasi sebaiknya dilakukan pada areal perairan yang dalam terlebih dahulu kemudian disusul areal perairan yang dangkal. Hal ini dilakukan untuk menghindari agar areal terumbu karang yang berada pada perairan dangkal tidak terinjak/rusak dan mempermudah proses rehabilitasi akibat cuaca yang tidak memungkinkan.