52
Indikator-indikator ketenagakerjaan di Kota Bogor pada tahun 2012 memiliki lima perincian yang terdiri dari Penduduk Usia Kerja (PUK) sebesar 710.307 jiwa, angkatan kerja yang bekerja sebanyak 422.528 jiwa, angkatan kerja yang mencari pekerjaan sebanyak 39.417 jiwa, tingkat pengangguran di Kota Bogor sebanyak 9,33 persen, dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 59,49 persen. Perubahan besarnya indikator-indikator utama ketenagakerjaan setiap tahunnya telah tersaji pada Tabel Tabel 19 Indikator-indikator utama ketenagakerjaan Perincian Penduduk Usia Kerja (PUK) Angkatan Kerja Bekerja Mencari Kerja Bukan Angkatan Kerja (BAK) Tingkat Pengangguran (%) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) % Sumber : BPS Kota Bogor, 2013.
2009 772.433 431.255 415.549 15.706 341.178 3,64 55,83
2010 916.106 511.470 492.842 18.628 404.637 3,64 55,83
2011 704.431 436.206 391.221 44.985 268.225 10,31 61,92
2012 710.307 422.528 383.111 39.417 287.779 9,33 59,49
Pada umumnya penduduk yang bekerja di Kota Bogor terserap pada lapangan pekerjaan Perdagangan dan Jasa. Dengan rincian sebanyak 115.406 orang bekerja pada lapangan pekerjaan sektor Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel, sedangkan yang bekerja pada lapangan pekerjaan sektor Jasa terdapat sebanyak 113.108 orang. Tabel 20 Jumlah angkatan kerja yang bekerja menurut lapangan kerja Lapangan Kerja
2009
Pertanian 12.137 Industri Pengolahan 68.605 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 111.737 Jasa 96.022 Lain-lain 96.987 Jumlah 385.488 Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)
2010
2011
2012
6.920 63.597 108.820 99.091 68.359 346.727
4.709 60.857 112.774 113.697 99.109 391.226
6.198 67.674 115.406 113.108 90.725 383.111
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor Berdasarkan hasil pengolahan data primer yang didapat dari hasil kuisioner, mendapatkan gambaran karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika. PKL di Jalan Dewi Sartika lebih banyak berjenis kelamin laki-laki (84%) dan berumur diatas 25 tahun (86%) serta berkedudukan sebagai Kepala rumah tangga (80%), dengan tingkat pendidikan rata-rata SMA kebawah (54%). Alasan mereka menjadi PKL karena
53
terkena dampak PHK (34%) akibat krisis moneter antara tahun 1998. Mayoritas (54%) telah menjadi PKL diatas 10 tahun. Dari sisi komoditi, jenis dagangan yang paling banyak didagangkan antara lain sepatu sandal (22%) dan aksesoris elektronik (38%). Mereka memilih berdagang di Jalan Dewi Sartika dengan alasan ramai pembeli (20%) dan tidak mampu membeli kios resmi (20%). Waktu berjualan dari pukul 7.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB (78%). Lokasi di Jalan Dewi Sartika pada malam hari digunakan oleh PKL yang menjajakan VCD/DVD bajakan. Gambaran umum karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika hampir sama dengan gambaran umum PKL pada penelitian-penelitian sebelumnya (Rakhmawati, 2007; Susilo, 2012; Mubarok 2012). Bahwa PKL cenderung berasal dari kelas pendidikan menengah bawah, berjualan akibat terkena dampak PHK, dan memiliki modal relatif kecil. Preferensi Masyarakat Terhadap Keberadaan PKL di Jalan Dewi Sartika Preferensi masyarakat dapat digambarkan dari hasil pengolahan data primer yang bersumber dari kuesioner masyarakat. Masyarakat banyak yang berbelanja di PKL Jalan Dewi Sartika karena alasan lokasinya mudah dijangkau (49%) dan harganya murah (24,5%). Hal lain yang terungkap dari analisis persepsi masyarakat adalah keberadaan PKL menganggu aktivitas pejalan kaki (40.8%) dan menyebabkan lingkungan tidak rapi/semrawut (24.5%). Hal ini memiliki kesamaan dengan hasil Litbang Kompas tentang PKL di DKI Jakarta (Kompas, 1 September 2014 hal 27). Selain itu, masyarakat menginginkan ada penataan terhadap PKL (98%) dengan melakukan relokasi (50%) dan penataan tempat usaha (29.2%). Strategi Penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Untuk mengetahui faktor-faktor strategi yang berpengaruh terhadap penataan PKL di Kota Bogor, khususnya di Jalan Dewi Sartika (seputar Taman Topi) digunakan analisis faktor internal eksternal. Tahap awal analisis ini adalah mengidentifikasi terlebih dahulu indikator faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan dan indikator faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman dalam penataan PKL di Kota Bogor. Faktor internal dan eksternal ditentukan oleh peneliti melalui studi pustaka, wawancara dengan pihak dinas/instansi yang terkait, anggota legislatif, koordinator PKL, masyarakat dan juga dengan pengalaman penulis sebagai bagian dari Pemerintah Kota Bogor. Identifikasi Faktor Internal Dalam mengidentifikasi faktor internal, maka dijabarkan dalam aspek kekuatan dan kelemahan dalam menjalankan penataan PKL di Kota Bogor. Identifikasi faktor-faktor tersebut, antara lain :
54
Kekuatan (Strenght) 1. Penataan PKL Menjadi Prioritas Pembangunan Kota (RPJMD) Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, penataan PKL menjadi salah satu prioritas pembangunan di Kota Bogor. Dokumen Rencana Strategis Kota Bogor 2004-2009 dan Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor 20102014, menentapkan penataan PKL menjadi salah satu dari 4 prioritas pembangunan Kota Bogor. RPJMD Kota Bogor tahun 2010 – 2014, strategi secara umum dalam penataan Pedagang Kaki Lima (sektor informal) adalah mengalokasikan ruang untuk kegiatan sektor informal dengan strategi sebagai berikut : 4. Menata ruang kegiatan sektor informal yang ada 5. Mengalokasikan ruang baru untuk sektor informal 6. Melibatkan masyarakat dalam pengendalian ruang sektor informal. Dalam Rancangan RPJMD Kota Bogor 2015-2019, Penataan dan Pemberdayaan PKL kembali menjadi salah satu dari 5 prioritas pembangunan. Kondisi ini memberi ruang yang besar bagi pemerintah Kota Bogor untuk dapat secara sungguh-sungguh melakukan penataan dan pemberdayaan PKL. Kondisi beberapa lokasi PKL yang belum tertata, termasuk didalamnya ruas Jalan Dewi Sartika (seputar Taman Topi) dapat dilaksanakan dalam kurun waktu 5 tahun kedepan. Perlu dilakukan langkah-langkah nyata dalam penataan PKL, sehingga kenyamanaan Kota dapat terus ditingkatkan. 2. Terdapat Peraturan Daerah tentang PKL Pemerintah Kota Bogor telah memiliki peraturan yang berhubungan dengan keberadaan PKL yaitu Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2005 tentang penataan PKL. Perda tersebut antara lain mengatur tentang penertiban, penataan dan pengaturan lokasi PKL di Kota Bogor. Dalam Perda tersebut juga menyebutkan bahwa lokasi PKL ditentukan oleh Walikota atau pejabat yang ditunjuk, kecuali untuk lokasi di dalam lingkungan instansi pemerintah, lingkungan sekolah, lingkungan tempat peribadatan, sekitar lokasi pasar, parit dan tanggul, taman kota dan jalur hijau, monumen dan taman pahlawan, di sekeliling Kebun Raya dan Istana Bogor, dan di seluruh badan jalan. Selain itu, ditetapkan bahwa setiap orang dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan PKL pada lokasi yang dilarang untuk digunakan PKL. Dalam Perda tersebut, terdapat 3 lokasi prioritas yang harus ditata yaitu, Jalan MA Salmun, Jalan Nyi raja Permas, dan Jalan Dewi Sartika. Kondisi saat ini, Jalan MA Salmun dan Nyi Raja Permas telah dilakukan penataan, sedangkan di Jalan Dewi Sartika belum dilakukan penataan. 3. Alokasi Anggaran untuk PKL Seiring dengan program prioritas pembangunan kota, alokasi anggaran untuk penataan PKL dari APBD Kota Bogor sudah cukup besar. Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, alokasi anggaran sudah melebihi angka 10 milyar rupiah. Alokasi anggaran ini terdistribusi pada beberapa SKPD yang terlibat didalam penataan PKL, seperti Kantor UMKM, Dinas Bina Marga, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Satpol PP, dan Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman. Alokasi anggaran untuk PKL dalam 5 tahun kedepan akan tetap dialokasikan dalam APBD. Bahkan berdasarkan rencana Pemerintah Kota Bogor pada
55
anggaran perubahan 2014, sisa anggaran (Silpa) akan dialokasi untuk penataan PKL sebesar 100 Milyar untuk membeli lahan sebagai tempat relokasi PKL. 4. Terdapat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Menangani PKL Pada tahun 2014, Pemerintah Kota Bogor telah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah kepada DPRD Kota Bogor dan telah disahkan yaitu tentang perubahan Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Salah satu perombakan organisasi adalah meningkatkan OPD yang menangani PKL dari Kantor (setaraf eselon III) menjadi Dinas (setaraf eselon 2), yaitu Dinas UMKM dan Koperasi. Organisasi ini akan efektif diberlakukan pada awal tahun 2015. Dengan demikian, faktor keberadaan OPD dinas UMKM dan Koperasi akan memberi penguatan pada penataan dan pemberdayaan PKL di Kota Bogor. 5. Memiliki Lokasi Pasar dan Aset Lahan di Tengah Kota Lokasi-lokasi yang menjadi prioritas penataan PKL berada di tengah Kota, yang langsung bersentuhan dengan kawasan strategis ekonomi. Dalam RTRW Kota Bogor 2011-2031, salah satu kawasan strategis ekonomi adalah kawasan Pasar Kebon Kembang, Taman Topi, dan Sekitar Stasiun Kereta Api. Saat ini, pasar Kebon Kembang (Pasar Anyar) dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yaitu Perusahaan Daerah Pakuan Jaya. Masih terdapat alokasi ruang untuk penempatan pedagang di dalam pasar. Saat ini pasar sedang dilakukan revitalisasi. Selain keberadaan pasar Kebon Kembang, salah satu lokasi potensial yang dapat dimanfaatkan untuk penataan PKL adalah Plaza Kapten Muslihat (Taman Topi dan Taman Ade Irma Suryani). Lahan seluas 1,8 hektar pada tahun 2018 akan habis masa pengelolaannya oleh PT. Eksotika dan akan diserahkan kepada Pemerintah Kota Bogor. Untuk itu, perlu dilakukan proses perencanaan yang terintegrasi dalam memanfaatkan lahan tersebut, agar beberapa masalah kota seperti ketersediaan ruang publik dan penataan PKL dapat diselesaikan. Kelemahan (Weakness) 1. Lemahnya Penegakan Hukum Hingga saat ini, penataan PKL masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kota Bogor. Pada tahun 2007 dan 2009, telah dilaksanakan proses implementasi Perda melalui penggusuran dan relokasi (LKPJ Walikota Bogor 2007 dan 2009), namun belum mencapai hasil optimal dan tidak ada tindak lanjut dalam hal pemantauan PKL untuk tidak kembali ke lokasi yang sudah ditertibakan. Tindakan penggusuran pada dasarnya bukan merupakan solusi yang efektif meski tindakan tersebut dibenarkan oleh Perda. Lemahnya pengawasan memberi efek pada lemahnya penegakan Perda tersebut. Keterbatasan personil Pol PP menjadi salah satu alasan yang mengemuka untuk melakukan pengawasan di lokasi-lokasi PKL. Jumlah Satpol PP pada tahun 2014 sebanyak 270 personil (Kantor Satpol PP, 2014). Data tersebut menunjukkan belum idealnya jumlah personil Satpol PP dibandingkan jumlah penduduk. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaran Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa 1 orang Satpol PP melayani 400 orang penduduk. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa jumlah personil Satpol PP di kota Bogor masih belum ideal. Pada
56
tahun 2014 nilai rasio hanya mencapai 0,027 atau satu orang personil Satpol PP melayani 3.722 penduduk. 2. Koordinasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) masih belum Maksimal Penanganan penataan PKL dilakukan oleh lintas sektor yang dijalankan oleh masing-masing OPD. Secara struktural dan kewenangan serta tugas pokok dan fungsi, penataan PKL di Kota Bogor menjadi tanggung jawab Kantor Koperasi dan UMKM. Dalam pelaksanaan penataan dan pemberdayaan PKL, KUMKM berkoordinasi dengan dinas teknis lainnya, seperti Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air, Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman, Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Kantor Satpol PP, dan Bagian Perekonomian Setda Bogor. Dalam pelaksanaan penataan PKL di Kota Bogor, langkah-langkah koordinasi terlihat belum maksimal. Dukungan terhadap penataan PKL masih bersifat kegiatan yang bersifat sementara, bukan yang bersifat keterpaduan program atau kegiatan sehingga seringkali penataan PKL berjalan tidak permanen tetapi hanya sesaat atau sementara, sehingga hasilnya adalah beberapa kali lokasi penataan PKL kembali dipenuhi PKL hanya dalam waktu singkat setelah penertiban. Penataan PKL memerlukan koordinasi lebih maksimal terkait dengan penegakan aturan lalu lintas, penggunaan badan jalan, penggunaan trotoar, penggunaan taman, dan kondisi kebersihan lingkungan serta penggunaan aset daerah. 3. Efektivitas Penggunaan Anggaran Dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, pemanfaatan anggaran belanja daerah untuk penataan PKL sudah diatas 10 Milyar rupiah, namun belum menunjukkan hasil penataan yang signifikan. Lokasi Jalan Dewi Sartika pernah ditertibkan pada tahun 2007 dan 2009, namun saat ini di lokasi ini masih menjadi tempat berjualan PKL. Penataan trotoar dan drainase yang telah dilakukan seolah menjadi bagian dari penyediaan lahan atau ruang berusaha bagi PKL. Alokasi anggaran penataan PKL, harus diarahkan pada kegiatan yang secara permanen mampu menjawab permasalahan PKL seperti penyediaan tempat relokasi ruang berusaha. Contoh kasus Kota Solo yang menganggarkan pembiayaan PKL dengan membangun tempat usaha atau sentra PKL yang permanen menunjukkan hasil penataan yang dapat menjadi contoh keberhasilan. 4. Belum Terdapat Validitas Data Dasar PKL dan Perencanaan Hal yang klasik dari permasalahan penataan PKL adalah mengenai data akurat mengenai jumlah dan karakteristik PKL, termasuk didalamnya PKL di ruas Jalan Dewi Sartika (seputar Taman Topi). Perubahan jumlah PKL, terutama penambahan sering kali terjadi. Untuk di Jalan Dewi Sartika, data jumlah PKL sebanyak 323 orang. Data ini dinyatakan masih sementara, karena dikhawatirkan ada penambahan jumlah dari PKL yang berada di Jalan Nyi Raja Permas. Pelibatan paguyuban PKL dalam pendataan seharusnya dilakukan, agar data riil dilapangan dapat dibantu sesuai kondisi eksisiting. Tidak akuratnya data PKL menyebabkan pada perencanaan PKL yang kurang komprehensif. Pendekatan perencanaan penataan selama ini lebih banyak menggunakan pendekatan penertiban dengan penggusuran. Rumusan perencanaan disamping aspek ketertiban, keindahan, dan kenyamanan publik, penanganan PKL yang dilakukan harus tetap mempertimbangkan aspek kebutuhan ekonomi
57
masyarakat, baik kepentingan pelaku PKL maupun kepentingan masyarakat konsumen. 5. Kurangnya kerjasama dengan swasta, akademisi, dan Masyarakat Dalam kurun waktu 10 tahun kebelakang, penanganan penataan PKL seolah hanya menjadi kewajiban pemerintah saja. Indikasi dukungan kepada penataan PKL, baik dari pemerintah, swasta maupun LSM, umumnya masih bersifat parsial (case-by-case). Skala dukungan juga tidak sebanding dengan skala permasalahan yang luar biasa besar sehingga kebijakan yang disusun belum menyentuh akar permasalahan yang dihadapi PKL. Potensi keterlibatan swasta dengan penyediaan ruang-ruang usaha atau program Corporate Social Responsibility (CSR) masih belum diusahakan secara optimal. Selain itu, sumbangan konsep penataan dari akademisi belum disentuh untuk mendapat masukan yang terintegrasi. Pendekatan perencanaan penataan masih bersifat proyek, belum kearah pengambilan solusi secara bertahap dan berkesinambungan. Identifikasi faktor Eksternal Peluang 1. Kebijakan Pusat yang mendorong penataan dan pemberdayaan PKL Dalam penataan PKL Pemerintah Kota Bogor mengacu pada Perda nomor 13 tahun 2005 tentang penataan kaki lima. Secara umum substansi Perda tersebut mengatur tentang penataan dan pengaturan yang terdiri dari penunjukkan lokasi, jenis komoditi, bangunan dan jenis usaha dan waktu berjualan. Selain itu diatur pula mengenai mekanisme perizinan, pajak dan retribusi, hak dan kewajiban, larangan, dan sanksi. Arah kebijakan yang dominan adalah mengenai pendekatan penertiban, walaupun dalam substansi yang diatur adalah mengenai bentuk pembinaan, pemeberdayaan, dan pengembangan. Seiring dengan semakin kompleksnya masalah PKL di perkotaan, Pemerintah pusat merasa perlu mengeluarkan kebijakan untuk penataan dan pemberdayaan PKL di daerah. Melalui Peraturan Presiden nomor 125 tahun 2012 tentang Penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 41 tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, pemerintah pusat berharap bahwa pelaksanaan penataan dan pembinaan PKL dapat terencana dengan sistematis dengan memasukkannya dalam dokumen RPJMD. Selain itu beberapa tujuan penataan dan pemberdayaan antara lain : a. Memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukkannya; b. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan c. Untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaab yang memadai dan berwawasan lingkungan. Pada kebijakan yang baru ini, pemerintah pusat memberikan penguatan pada beberapa hal, antara lain mengenai pendataan, perencanaan penyediaan ruang bagi kegiatan sektor informal, fasilitasi akses permodalan, penguatan kelembagaan, pembinaan dan bimbingan teknis, fasilitasi kerjasama antar daerah, dan mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha. Beberapa substansi ini menjadi peluang bagi Pemerintah Kota Bogor untuk menyesuaikan kebijakan dengan
58
arahan pemerintah pusat, agar pelaksanaan penataan dan pemberdayaan PKL dapat berhasil secara optimal. 2. Perkembangan Wisata Kota Bogor Beragamnya pengembangan ekonomi kreatif di Kota Bogor turut andil dalam perkembangan wisata Kota Bogor. Walaupun memiliki destinasi wisata yang relatif lebih sedikit dibanding Kabupaten Bogor, peningkatan jumlah wisatawan didukung oleh kelengkapan sarana prasarana, aksesibilitas, akomodasi, dan keragaman kuliner Bogor. Data dinas kebudayaan dan pariwisata, pada tahun 2013 jumlah kunjungan wisatawan ke Kota Bogor sebanyak 3.619.217 orang, yang terdiri dari 3.452.211 wisatawan domestik dan 167.006 wisatawan mancanegara. Jumlah wisatawan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun menjadi peluang bagi perkembangan PKL yang terbina dengan konsep penjualan komoditi khas Bogor. Sebagai contoh yang dapat diajadikan referensi adalah aktivitas PKL di China Town Singapura. Aktivitas PKL diwadahi dalam satu area ruang berjualan yang tertata dengan koridor pejalan kaki yang nyaman. Aglomerasi PKL seperti ini memungkinkan setiap wisatawan mengunjungi area berjualan PKL dengan nyaman dan menjadi salah satu daya tarik wisata kota. 3. Masih terdapat potensi lokasi milik swasta untuk di beli sebagai alternatif relokasi bagi PKL di dalam Kota Bogor Untuk penyediaan ruang usaha yang layak untuk PKL disekitar Bogor tengah, termasuk didalamnya PKL jalan Dewi Sartika, selain terdapat aset Pemerintah yaitu Plaza Kapten Muslihat, juga terdapat bangunan milik swasta yaitu gedung Muria Plaza. Gedung 5 lantai ini, saat ini terbengkalai tidak digunakan. Posisinya yang berada di kawasan stasiun Kereta Api (depan pintu masuk stasiun di Jalan Mayor Oking), menjadikan posisinya sangat strategis. Dengan luas keseluruhan 6000 meter persegi, lokasi ini akan dapat menampung PKL yang saat ini berada di Jalan Dewi Sartika, Mayor Oking, Paledang, dan Jembatan Merah. Berdasarkan informasi yang didapat, bahwa pemilik gedung akan menjual dengan harga 65 Milyar rupiah. Peluang investasi ini menjadi strategis karena lokasi berada di tengah kota dan berdekatan dengan pusat kegiatan seperti Stasiun, pasar, dan perdagangan jasa. Pemilihan lokasi alternatif bagi PKL yang diletakkan jauh dari pusat kegiatan, sudah secara nyata mengalami kegagalan. Alokasi ruang untuk PKL di Pasar Teknik Umum Kemang yang berlokasi di Cibadak, saat ini lapak-lapaknya dalam keadaan kosong. Demikian juga lokasi alternatif di Pasar Yasmin, yang saat ini tidak terisi sepenuhnya. 4. Kondisi keamanan yang terjamin Kota Bogor menjadi salah satu kota dengan kondisi keamanan yang baik. Tidak pernah ada kerusuhan atau perusakan yang bersifat masif. Nilai-nilai dan budaya saling menghormati dan kebersamaan antar warga terjalin baik. Beberapa even kultural sudah menjadi agenda warga kota, seperti perayaan Cap Go Meh dan Maulid nabi di habib Empang, sehingga memperlihatkan kerukunan warga. Sama halnya dengan proses-proses penataan PKL di Kota Bogor. Sangat jarang diwarnai oleh bentrok fisik yang besar, seperti terjadi di Kota-kota lain. Sebagai contoh terakhir adalah penataan PKL di Jalan MA Salmun yang
59
dilakukan 3 Agustus 2014, dengan tema Bogor Bebersih. Dengan gerakan bersama, maka pengananan PKL berjalan secara aman dan kondusif. 5. Keterlibatan Swasta, Akademisi, dan Masyarakat Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, penataan PKL seakan menjadi tanggung jawab Pemerintah saja. Ruang keterlibatan swasta, akademisi, dan masyarakat hampir tidak terlihat, padahal peluang tersebut sangat terbuka lebar. Gerakan Bogor Bebersih dan Jum‟at bersih mencerminkan bahwa keterlibatan masyarakat, swasta dan akademisi dalam penataan PKL bisa dilakukan secara bersama. Masing-masing berperan sesuai dengan potensi yang ada pada lembaga atau perorangan. Dalam bogor bebersih dalam penataan PKL Jalan MA Salmun, peneliti bertemu dengan berbagai elemen masyarakat seperti Paguyuban Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Bogor Tengah, Koalisi Pejalan Kaki Bogor (KPKb), Bogor Sahabat, unsur Kodim, Polres, OPD, ormas Merah Putih, KNPI, dan sebagainya. Ini menunjukkan potensi yang dapat dijalin secara simultan dari seluruh pemangku kepentingan untuk penataan PKL di lokasi lainnya. Ancaman 1. Meningkatnya Pertumbuhan Angka Pengangguran Penataan PKL yang hanya berorientasi pada penertiban atau penggusuran tanpa memperhatikan kesempatan berusaha bagi PKL akan berdampak pada roda ekonomi kota secara langsung. Angka PKL Kota Bogor pada 2012 mencapai sekitar 12.000 PKL, dengan tersebar di 51 titik (Kantor Koperasi dan UMKM, 2013). Apabila pendekatan penertiban yang dikedepankan tanpa memberi ruang usaha, maka akan berdampak pada kehilangan pekerjaan sekitar 12.000 orang. Hal ini memberi peningkatan pada angka pengangguran yang tahun 2012 di Kota Bogor sudah mencapai 9,33% (Bogor Dalam Angka, BPS 2013). 2. Menurunnya Estetika Tata Ruang Kota (Kekumuhan) Keberadaan PKL yang menempati ruang-ruang publik, trotoar dan badan jalan, apabila tidak diberikan perhatian untuk penataan maka akan berdampak pada menurunnya estetika kota yaitu berupa kekumuhan. PKL yang menempati Jalan Dewi Sartika, mayoritas menggunakan saluran, trotoar dan badan jalan untuk berjualan. Kondisi ini diperparah dengan bentuk-bentuk lapak yang kurang bersih dan tidak beraturan. Bangunan semi permanen yang ada saat ini terdiri dari bahan triplek dengan penghubung antar lapak berupa terpal plastik. Kondisi ini sangat mencolok mata karena berada di tengah kota dan diantara pusat kegiatan perdagangan jasa dan stasiun Kereta Api. 3. Menambah titik Kemacetan Lalu Lintas Berdasarkan data DLLAJ Kota Bogor 2014, terdapat 14 titik kemacetan. Penggunaan fasilitas jalan oleh PKL secara nyata memberikan kontribusi pada penambahan titik kemacetan lalu lintas. Hambatan samping yang ditimbulkan oleh aktivitas berjualan PKL membuat tahanan pada laju arus kendaraan. Hal ini diperparah dengan tidak disiplinnya sopir angkot yang mencari dan menurunkan penumpang di lokasi tersebut. Di Jalan Dewi Sartika menjadi salah satu titik
60
kemacetan terutama dipertigaan Masjid Agung Bogor. Berbaurnya aktivitas PKL dengan mobilitas angkot dan becak menjadi akar utama masalah. . 4. Munculnya oknum/premanisme dalam Sistem PKL Sistem pasar telah melahirkan aktor-aktor yang berada didalamnya. Berdasarkan amatan peneliti dan wawancara dengan PKL di Jalan Dewi Sartika, terdapat oknum yang menjadikan PKL sebagai ladang untuk mendapat keuntungan. Dengan dalih uang keamanan, setiap PKL harus memberikan pungutan liar antara sebesar 2.000 rupiah sampai dengan 5.000 rupiah. Hal ini memberikan gambaran bahwa dalam sistem PKL yang tidak tertata, akan memunculkan oknum/premanisme. 5. Hilangnya Potensi Pendapatan Daerah Saat ini, PKL di Kota Bogor tidak dipungut retribusi oleh Pemerintah Kota. Hasil wawancara dengan koordinator Paguyuban PKL Jalan Dewi Sartika, bahwa apabila mereka difasilitasi sarana berdagang maka mereka bersedia dan sanggup membayar retribusi sebesar 5000 rupiah per hari. Jumlah PKL yang terdata di Jalan Dewi Sartika sebanyak 323 PKL. Jika potensi tersebut dijadikan masukan bagi Kas Daerah, maka akan terkumpul dana sebesar 48.450.000., rupiah dalam sebulan dan 581.400.000., dalam setahun. Jika potensi ini dilihat secara lebih besar lagi dengan angka total jumlah PKL di Kota Bogor, yang kurang lebih sebanyak 12.000 PKL maka potensi retribusi yang akan didapat sebesar 21.600.000.000., rupiah. Jumlah besar ini akan dapat digunakan sebagai bagian dari penataan dan pemberdayaan PKL di Kota Bogor. Anggaran PKL dikembalikan untuk penataan dan pemberdayaan PKL. Analisis SWOT Untuk melakukan analisis terhadap faktor-faktor strategis yang mempengaruhi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor digunakan matriks Internal Factor Evaluation (IFE) untuk faktor internal dan matriks External Factor Evaluation (EFE) untuk faktor eksternal. Tujuan menggunakan matriks IFE dan matriks EFE ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor-faktor strategis internal dan eksternal terhadap keberhasilan penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Internal Factor Evaluation (IFE) Faktor- faktor strategis internal yang mempengaruhi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika setelah diperoleh dari pengumpulan data kuisioner tujuh orang responden untuk penelitian bobot dan rating maka diperoleh hasil perhitungannya pada Tabel 21 Faktor-faktor strategis yang mempengaruhi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika berdasarkan hasil perhitungan bobot dan rating, diketahui bahwa faktor internal yang strategis adalah penataan PKL masuk dalam rencana prioritas pembangunan (RPJMD) dengan nilai sebesar 0.44 dan terdapat Peraturan Daerah tentang penataan PKL dengan nilai 0.44. Faktor ini mempunyai peringkat sebesar 4 yang berarti faktor tersebut merupakan kekuatan utama dibandingkan dengan faktor lain yang dimiliki bagi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika.
61
Selain mengidentifikasi kekuatan internal, matriks IFE juga menunjukkan berbagai kelemahan dalam strategi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika. Faktor internal yang memiliki nilai kelemahan terbesar adalah lemahnya penegakan hukum dan koordinasi lintas OPD yang masih belum maksimal, yang memiliki nilai sebesar 0.20. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penataan PKL di Kota Bogor harus memperkuat faktor penegakan hukum dan penguataan koordinasi kelembagaan di Pemerintah Kota Bogor yang terkait dalam penataan PKL. Tabel 21 Matrik hasil perhitungan internal factor evaluation No
Faktor Strategis
Bobot
Rating
Bobot x Rating
KEKUATAN : 1 Penataan PKL menjadi Prioritas pembangunan Kota (RPJMD)
0,11
2 Terdapat Peraturan Daerah tentang PKL
0,11
4
0,44
3 Alokasi Anggaran Untuk Penataan PKL
0,10
4
0,40
4 Terdapat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Menangani PKL
0,10
4
0,10
3
5 Memiliki Lokasi Pasar dan Aset Lahan di tengah Kota JUMLAH
4
0,40 0,30 1,98
0,52 KELEMAHAN: 6 Lemahnya Penegakan Hukum 7 Koordinatasi lintas OPD masih belum maksimal 8 Efektivitas Penggunaan Anggaran 9 Data Dasar PKL dan Perencanaan Penataan PKL 10 Kurangnya kerjasama dengan swasta, akademisi dan masyarakat JUMLAH TOTAL Sumber : Hasil pengolahan data (2014)
0,44
0,10
2
0,20
0,10
2
0,20
0,10
1
0,10
0,09
1
0,09
0,09
1
0,09
0,48 1,00
0,68 2,66
Eksternal Factor Evaluation (EFE) Faktor- faktor strategis eksternal yang mempengaruhi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika diperoleh hasil perhitungannya pada Tabel 22. Berdasarkan hasil identifikasi faktor strategis eksternal yang mempengaruhi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika yang terdiri dari peluang dan ancaman, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi faktor eksternal menggunakan matriks EFE (Eksternal Factor Evaluation). Bobot yang diperoleh menentukan tingkat
62
kepentingan relatif satu faktor eksternal terhadap faktor eksternal lainnya yang berpengaruh pada penataan PKL di Jalan Dewi Sartika. Berdasarkan analisis EFE diketahui bahwa faktor-faktor kunci eksternal yang memberikan peluang terbesar dalam penataan PKL di Jalan Dewi sartika adalah adanya keterlibatan swasta, akademisi, dan masyarakat dalam proses penataan PKL. Peluang ini mendorong seluruh pemangku kepentingan di Kota Bogor terlibat dalam agenda kota yaitu penataan PKL. Nilai skor terbesar yang dimiliki faktor kunci eksternal ini yaitu sebesar 0,33 dengan bobot 0,11 dan rating sebesar 3. Tabel 22 Matrik hasil perhitungan eksternal factor evaluation Bobot x No Faktor Strategis Bobot Rating Rating PELUANG : 1 Kebijakan Pusat yang mendorong 0,10 3 0,3 penataan dan pemberdayaan PKL 2 0,10 3 0,30 Perkembangan Wisata Kota Bogor 3 Masih terdapat potensi lokasi milik
4 5
6 7 8 9 10
swasta untuk di beli sebagai alternatif relokasi bagi PKL di dalam Kota Bogor Kondisi keamanan yang terjamin Keterlibatan Swasta, Akademisi, dan Masyarakat JUMLAH ANCAMAN: Meningkatnya Pertumbuhan Angka Pengangguran Menurunnya Estetika Tata Ruang Kota (Kekumuhan) Menambah titik Kemacetan Lalu Lintas Munculnya oknum/premanisme dalam Sistem PKL Hilangnya Potensi Pendapatan Daerah
JUMLAH TOTAL Sumber : Hasil pengolahan data (2014)
0,10
3
0,30
0,10
3
0,30
0,11
3
0,33
0,51
1,53
0,10
3
0,30
0,10
3
0,30
0,10
3
0,30
0,09
3
0,27
0,10
3
0,30
0,49 1,00
1,47 3,00
Faktor eksternal yang memberikan ancaman terbesar bagi penataan PKL di Jalan Dewi sartika adalah menurunnya estetika tata ruang kota, menambah titik kemacetan, dan hilangnya potensi PAD yang ditunjukkan dengan bobot 0,10 dan rating 3 sehingga skornya menjadi 0.30. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penataan PKL harus memperhatikan aspek esetetika kota, jumlah pengangguran, dan PAD Kota Bogor.
63
Matriks SWOT Formulasi alternatif strategi penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor di peroleh dengan pendekatan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan langkah selanjutnya setelah dilakukan analisis IFE dan EFE, yakni dengan mencocokkan faktor-faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan dengan faktor-faktor eksternal berupa peluang dan ancaman untuk mendapat alternatif strategi S-O, strategi W-O, strategi S-T dan strategi W-T dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Matriks SWOT tersebut digambarkan pada Tabel 23. Berdasarkan hasil analisis SWOT, diperoleh 4 (empat) alternatif strategi yang dapat digunakan dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. 1. Strategi S-O merupakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang dalam penataan PKL. Alternatif strategi yang dihasilkan yaitu perlu dilakukan Meninjau ulang (review) Kebijakan PKL di Kota Bogor. Meninjau ulang atau review kebijakan PKL dimaksudkan dengan menelaah kembali substansi yang terdapat dalam Perda 13 tahun 2005 tentang Penataan PKL. Tinjau ulang ini dikarenakan beberapa hal yang diatur dalam Perda tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi lapangan dan belum terpadu dengan Perpres 125 tahun 2012 dan Permendagri 41 tahun 2012 tentang Pedoman Penataan PKL. Kebijakan yang akan menjadi payung hukum dan pedoman perencanaan dan pelaksanaan penataan PKL di Kota Bogor. 2. Strategi S-T adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman yang ada dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika. Kombinasi kekuatan dan ancaman itu menghasilkan alternatif strategi memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha. Pendekatan represif tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan PKL, tetapi justru akan menimbulkan masalah baru berupa hilangnya potensi ekonomi. Langkah persuasif perlu diambil untuk penyelesaian masalah yang lebih komprehensif. Penyediaan ruang usaha bagi PKL dapat menjadi salah satu solusi dalam penataan PKL. Contoh Kota Solo dan Jakarta dapat dijadikan rujukan dalam penyediaan ruang usaha bagi PKL. Selain mendapatkan ruang usaha yang baik, penyediaan ruang tersebut akan mendatangkan rasa aman berusaha bagi PKL, yang akan berdampak pada peningkatan produktivitas PKL dalam berusaha. Penempatan ruang usaha dan rasa aman berpengaruh juga pada kenyamanan dan menjadi daya tarik bagi masyarakat dan pembeli. 3. Strategi W-O adalah strategi yang mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Strategi tersebut menghasilkan alternatif strategi meningkatkan kemitraan pemerintah dengan PKL. Pelaksanaan penataan PKL yang diangap hanya sebagai tugas pemerintah saja, terbukti tidak cukup optimal untuk menyelesaikannya. Sebaliknya, kolaborasi atau kemitraan antara pemerintah dan PKL serta masyarakat memberikan hasil baik bagi penataan PKL. Dialog antar pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dengan PKL sebagai pelaku sangat penting. Joko Widodo ketika menjadi Walikota Solo sampai harus berdialog 56 kali dengan PKL, hingga akhirnya dapat bersepakat tentang penataan. Prosesi kirab budaya kepindahan atau
64
relokasi PKL di Solo pada saat itu, menjadi catatan bukti keberhasilan bahwa kemitraan Pemerintah dan PKL akan membuahkan hasil penataan yang optimal. Tabel 23 Matrik SWOT Kekuatan (S) Faktor Internal 1. Penataan PKL menjadi Prioritas Pembangunan Kota (RPJMD) 2. Terdapat Peraturan Daerah tentang PKL 3. Alokasi Anggaran Untuk Penataan PKL 4. Terdapat Organisasi Faktor Eksernal Perangkat Daerah (OPD) Menangani PKL 5. Memiliki Lokasi Pasar dan Aset Lahan di tengah Kota Peluang (O) 1. Kebijakan Pusat yang mendorong penataan dan pemberdayaan PKL 2. Perkembangan Wisata Kota Bogor 3. Masih terdapat potensi lokasi milik swasta untuk di beli sebagai alternatif relokasi bagi PKL di dalam Kota Bogor 4. Kondisi keamanan yang terjamin 5. Keterlibatan Swasta, Akademisi, dan Masyarakat Ancaman (T) 1. Meningkatnya Pertumbuhan Angka Pengangguran 2. Menurunnya Estetika Tata Ruang Kota 3. Menambah titik Kemacetan Lalu Lintas 4. Munculnya oknum/premanisme dalam Sistem PKL 5. Hilangnya Potensi Pendapatan Daerah
Strategi S-O
Kelemahan (W) 1. Lemahnya Penegakan Hukum 2. Koordinatasi lintas OPD masih belum maksimal 3. Efektivitas Penggunaan Anggaran 4. Data Dasar PKL dan Perencanaan Penataan PKL 5. Kurangnya kerjasama Pemerintah Kota Bogor dengan swasta, akademisi dan masyarakat Strategi W-O
Meninjau Ulang Kebijakan Tentang PKL di Kota Bogor (S1, S2, S4, S4, O1, O5)
Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL ( W1, W2, W4, O1, O2)
Strategi S-T
Strategi W-T
Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha (S1, S3, S5, T1, T2, T4)
Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota (W2, W3, W4, T2,T3)
65
4. Strategi W-T adalah strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat bertahan dan ditujukan untuk meminimalisasi kelemahan yang ada serta menghindari ancaman dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Berdasarkan analisis strategi alternatif yang dapat di lakukan adalah mengoptimalkan sarana prasana kota sesuai peruntukkannya. Strategi defensif atau bertahan pada penataan PKL yaitu dengan optimalisasi sarana prasarana kota yang tersedia sesuai peruntukkannya. Tentunya strategi ini merupakan strategi jangka pendek agar kondisi penataan PKL tidak lebih parah dan perlu tetap dicarikan solusi jangka panjang yang akan berdampak luas terhadap pembangunan kota. Analitical Hierarchy Process (AHP) Perumusan strategi penataan PKL di Kota Bogor melalui kasus penataan PKL di Jalan Dewi Sartika memerlukan arah dan fokus strategi agar tahapan-tahapan penatan dapat berjalan secara konsisten dan berkesinambungan. Hingga saat ini Pemerintah Kota Bogor belum secara konsisten melaksanakan program dan kegiatan yang berhubungan dengan penataan PKL. Dalam penelitian ini, perumusan strategi prioritas dalam penataan PKL menggunakan metode Analitical Hierarchy Process (AHP) dengan melibatkan unsur Faktor, Aktor, Tujuan, dan Alternatif Strategi. Faktor Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang mendukung proses penataan PKL di Jalan Dewi Sartika meliputi faktor kebijakan pemerintah Kota Bogor, Sosial ekonomi, estetika, dan ketertiban umum. Hasil perhitungan AHP dengan metode expert choice bahwa faktor yang paling berpengaruh menurut responden dalam penataan PKL adalah kebijakan pemerintah terhadap penataan PKL (0.474). faktor penting lainnya secara berurutan adalah faktor sosial ekonomi (0.208), faktor ketertiban umum (0.181), dan faktor estetika kota (0.136). Kebijakan pemerintah dalam penataan menjadi pedoman dan payung hukum dalam tahapan pelaksanaan penataan PKL. Dalam koridor perencanaan pembangunan, maka penataan PKL harus masuk dalam RPJMD Kota Bogor. Jika merujuk pada rancangan RPJMD 2015-2019 Kota Bogor, Program penataan PKL telah masuk kedalam urusan UMKM. Bahkan menjadi salah satu dari enam prioritas pembangunan. Ini menjadi faktor yang mendukung bagi penataan PKL. Selain itu, keberadaan Perda tentang PKL menjadi payung hukum dalam pembinaan dan penataan PKL di Kota Bogor.
66
Gambar 6 Hasil perhitungan AHP pada aspek faktor Aktor Aktor dalam penataan PKL ditentukan oleh tiga pihak, yaitu Pemerintah, PKL, dan Masyarakat. Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dalam proses kebijakan dan pelaksanaan penataan PKL. PKL sebagai pelaku penting dari proses penataan dan pemberdayaan. Sementara masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan yang berinteraksi dan terkena dampak dari keberadaan PKL di Kota Bogor. Dari hasil perhitungan AHP, bobot keterlibatan pemerintah, PKL dan masyarakat cukup berbeda. Pemerintah dianggap memiliki peranan yang sangat penting bagi penataan PKL (0.438), diikuti Masyarakat (0.416), dan PKL (0.146)
Gambar 7 Hasil perhitungan pada aspek aktor Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peranan pemerintah menjadi sangat penting untuk proses penataan PKL di Kota Bogor, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan dalam menata kota untuk sektor informal yang terorganisir (Winarso, 2008). Peran penting ini harus diiringi dengan konsistensi dalam pelaksanaan perencanaan penataan PKL dan juga komitmen untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam penataan PKL di Kota Bogor. Tujuan Tujuan yang menjadi arahan dalam penataan PKL dalam penelitian ini antara lain meliputi peningkatan penegakan peraturan, peningkatan kesempatan berusaha dan kesejahteraan, dan pengendalian tata ruang kota. Dari hasil perhitungan AHP, responden memilih peningkatan penegakan peraturan menjadi sangat penting untuk proses penataan PKL di Kota Bogor (0.503), kemudian diikuti oleh tujuan
67
pengendalian ruang (0.257) kesejehateraan (0.240).
dan
peningkatan
kesempatan
berusaha
dan
Gambar 8 hasil perhitungan AHP pada aspek tujuan Penelitian mengungkapkan bahwa konsistensi pelaksanaan peraturan daerah dalam penataan PKL menjadi harapan besar. Keberadaan Perda nomor 13 tahun 2005, belum sepenuhnya ditegakkan. Hal ini karena masih banyak lokasi PKL yang tidak tertata, salah satunya adalah di Jalan Dewi Sartika. Penegakkan peraturan terutama pada aspek pengawasan dan pengendalian di lokasi-lokasi PKL. Kondisi ini sejalan dengan pendapat penelitian PKL yang menyatakan bahwa lemahnya penegakkan Perda akan berdampak pada semakin menjamurnya PKL di Kota Bogor (Rakhmawati, 2007 dan Ruhyana, 2010). Alternatif Strategi Strategi adalah suatu cara yang dijalankan secara cermat untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Beberapa strategi yang dirumuskan melalui analisa SWOT, dipertanyakan kembali kepada responden untuk mendapatkan hasil srategi prioritas dalam penataan PKL di Kota Bogor. Alternatif strategi tersebut meliputi meninjau ulang substansi kebijakan penataan PKL agar lebih dapat dilaksanakan, meningkatkan kemitraan Pemerintah dengan PKL dan pemangku kepentingan lainnya, memfaslitasi ruang usaha dan rasa aman berusaha, serta mengoptimalkan sarana prasarana kota. Berdasarkan hasil perhitungan AHP dengan menggunakan expert choice, didapatkan hasil bahwa strategi meninjau ulang (review) terhadap kebijakan penataan PKL memiliki nilai tertinggi (0.350), selanjutnya diikuti oleh strategi meningkatkan kemitraan Pemerintah dengan PKL dan pemangku kepentingan lainnya (0.267), memfaslitasi ruang usaha dan rasa aman berusaha (0.218), serta mengoptimalkan sarana prasarana kota (0.165).
Gambar 9 Hasil perhitungan AHP pada aspek alternatif Strategi
68
Strategi meninjau ulang (review) terhadap kebijakan penataan penataan PKL, secara substansi harus memiliki pendekatan dan proses yang lebih baik dalam penataan PKL di Kota Bogor. Substansi kebijakan harus mengatur hal-hal penting yang belum ada dalam kebijakan sebelumnya seperti pendataan secara periodik dengan sistem data base yang valid, mekanisme perencanaan yang merujuk pada asas SMART (Spesifik, Measurable, Realistic, and timebound), alokasi ruang yang tepat, dan pola pemberdayaan PKL yang baik. Pada tahap analisis dilakukan juga analisis sensitivitas terhadap pilihan alternatif kebijakan. Hasil analisis sensitivitas ditunjukkan pada gambar
Gambar 10 Dinamik untuk analisis sensitivitas Berdasarkan gambaran diatas, struktur hiraraki AHP untuk penataan PKL di Kota Bogor dalam kasus Jalan Dewi Sartika tersaji dalam gambar Strategi Penataan PKL di Kota Bogor
Fokus
Faktor
PKL (0.146)
Tujuan
Peningkatan Penegakan Peraturan (0.503)
Meninjau ulang Kebijakan tentang PKL (0.350)
Ketertiban Umum (0.181)
Estetika Kota (0.136)
Sosial Ekonomi (0.208)
Pemerintah (0.438)
Aktor
Alternatif Strategi
Kebijakan Pemerintah (0.474)
Masyarakat (0.416)
Peningkatan Kesempatan Berusaha & Kesejahteraan (0.240)
Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL (0.267)
Pengendalian Tata Ruang Kota (0.257)
Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha (0.218)
Gambar 11 Struktur hirarki strategi penataan PKL di Kota Bogor
Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota (0.165)