55
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi Sumberdaya Kecamatan Betoambari Kecamatan Betoambari dengan panjang garis pantai sekitar 10.30 km, memiliki potensi sumberdaya pesisir yang cukup besar. Sumberdaya pesisir tersebut menawarkan jasa lingkungan dan memiliki nilai estetika untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari dengan konsep ekowisata (berbasis konservasi). Sumberdaya yang berpotensi adalah ekosistem terumbu karang dan biota laut unik (ikan hiu, penyu, ikan pari, lobster, dan frogfish). 5.1.1. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Kota Baubau khususnya di perairan Kecamatan Betoambari tersebar hampir di seluruh wilayah pesisir Kelurahan Sulaa dan Katobengke. Melalui analisis citra (penginderaan jauh) dan SIG, diperoleh luas terumbu karang di perairan Kecamatan Betoambari sekitar 83.64 ha. Sebagian besar masyarakat setempat memiliki ketergantungan terhadap ekosistem terumbu karang ini sebagai sumber penghidupan sehari-hari. Pengamatan terumbu karang di perairan Betoambari dilakukan di 6 stasiun pada kedalaman 10 meter, terdiri atas: 4 stasiun di perairan Pantai Nirwana, 1 stasiun di Tanjung Sulaa, dan 1 stasiun di perairan Pantai Lakeba. Data terumbu karang yang terdiri atas persentase tutupan komunitas karang, jenis lifeform (bentuk pertumbuhan karang), dan jenis ikan karang, dianalisis dengan kesesuaian ekowisata bahari berbasis ekologis. Hasil kesesuaian tersebut kemudian digunakan sebagai input fitur konservasi untuk analisis Marxan. A. Persentase Tutupan Komunitas Karang Hasil pengamatan pada 6 stasiun di perairan Kecamatan Betoambari, ditemukan kondisi tutupan komunitas karang berkisar dalam kategori sedang hingga sangat baik, yakni antara 49.90–86.17%. Kondisi seperti ini memiliki prospek cukup besar untuk pengembangan ekowisata bahari. Menurut Yulianda (2007), persentase tutupan komunitas karang untuk ekowisata bahari pada kelas sesuai bersyarat berkisar 25-50%, cukup sesuai yakni 50-75%, dan sangat sesuai
56
harus melebihi 75%. Nilai persentase tutupan komunitas karang setiap stasiun di Kecamatan Betoambari disajikan pada Gambar 10.
Tutupan Komunitas Karang (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 stasiun 1
stasiun 2
stasiun 3
stasiun 4
stasiun 5
stasiun 6
Lokasi Penelitian
Gambar 10 Nilai persentase tutupan komunitas karang pada kedalaman 10 meter di perairan Kecamatan Betoambari Berdasarkan Gambar 10, dapat dilihat tutupan komunitas karang paling tinggi terdapat pada perairan Pantai Nirwana (stasiun 1), yakni di wilayah yang berbatasan dengan Kecamatan Batauga Kabupaten Buton dengan persentase 86.17 %. Komunitas karang batu yang umum dijumpai yaitu karang bercabang, (Acropora branching), karang bercabang (coral branching), karang jamur (coral mushroom) dan karang masif (coral massive). Biota lain yang dijumpai yaitu anemon dan akar bahar (Gorgonian). Nilai persentase tutupan komunitas karang pada stasiun 1 jika dimasukkan dalam persyaratan kesesuaian sumberdaya bagi wisata bahari, maka dikategorikan pada kelas sangat sesuai (kategori S1 > 75%). Tutupan komunitas karang yang tinggi pada stasiun ini menandakan tekanan ekploitasi terhadap terumbu karang yang dilakukan masyarakat setempat relatif kecil. Salah satu faktornya, karena lokasi jauh dari pemukiman warga, jauh dari pelabuhan, dan kurangnya kegiatan budidaya rumput laut. Selain stasiun 1, lokasi lain yang tergolong pada kelas sangat sesuai untuk kegiatan wisata bahari yakni pada stasiun 4 (perairan di Tanjung Sulaa) dengan persentase tutupan komunitas karang sebesar 75.84%.
57
Kondisi ekosistem terumbu karang di stasiun 4 ini cukup baik karena terdapat berbagai macam bentuk-tumbuh karang dan biota lain seperti Ascidian, Gorgonian serta Anemone dan Tridacna. Kondisi beberapa biota di perairan Pantai Nirwana dapat pada Gambar 11. Nilai persentase tutupan komunitas karang yang masuk dalam kategori cukup sesuai (kategori S2; >50-75%) untuk kegiatan wisata bahari adalah pada stasiun 2 (perairan Pantai Nirwana) dengan persentase 66.57% dan stasiun 3 (perairan Pantai Nirwana) sebesar 61.67%, serta di stasiun 5 (perairan Kelurahan Sulaa) sebesar 50.50%.
a)
b)
Gambar 11 Kondisi biota lain pada perairan Pantai Nirwana. a) Simbiosis ikan karang (Amphiprion sp) dengan Anemon Laut, b) Kima (Tridacna sp). Sumber: Lembaga Napoleon (2005)
Gambar 12 Kondisi terumbu karang di perairan Pantai Nirwana. Sementara itu, nilai persentase tutupan komunitas karang terkecil dan dikategorikan sesuai bersyarat untuk wisata bahari ditemukan di perairan Pantai
58
Lakeba sebesar 49.90%. Bentuk-tumbuh karang yang umum dijumpai adalah Acropora bercabang (Acropora branching), karang bercabang (Coral branching), Acropora yang tumbuh mengerak (Acropora encrusting) dan karang masif (Coral massive). Persentase yang kecil ini selain disebabkan kondisi substrat perairan yang didominasi oleh pasir, juga tingkat pemanfaatan oleh masyarakat yang merusak terumbu karang cukup besar. Sebagai contoh, penggunaan batu karang untuk jangkar rakit budidaya rumput laut dan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti bahan peledak. Kondisi terumbu karang di perairan Pantai Lakeba dapat dilihat pada Gambar 13. Menurut penuturan beberapa warga setempat, beberapa tahun silam di wilayah tersebut terdapat masyarakat yang menangkap ikan dengan bahan peledak. Hal ini menyebabkan terumbu karang hancur dan mati. Dapat dibuktikan dari hasil pengamatan diperoleh persentase karang mati mencapai 38.17% yang berupa pecahan karang (Rubble) dan karang telah dipenuhi oleh alga (Death coral with alga). Hal ini menandakan bahwa kerusakan karang di sekitar wilayah tersebut telah berlangsung lama. Menurut Riegl dan Luke (1999); Fox et al. (2003); Fox et al. (2005), penggunaan bahan peledak pada daerah terumbu karang mengakibatkan kerusakan fisik terumbu (terutama karang branching dan foliose). Kondisi demikian mengakibatkan hilangnya tutupan karang hidup hingga 3.75 % per 100 m2 setiap tahun (Soede et al. 1999).
a)
b)
Gambar 13 Kerusakan terumbu karang di perairan Pantai Lakeba. a) akibat penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti bom, b) penggunaan jangkar rakit budidaya rumput laut.
59
B. Bentuk Tumbuh Karang Karang memiliki variasi bentuk-tumbuh koloni (jenis lifeforms) yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Bentuk pertumbuhan karang dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, hidrodinamis (gelombang dan arus), ketersediaan bahan makanan, sedimen, subareal exposure, dan faktor genetik (Supriharyono 2007). Berdasarkan hasil pengamatan pada perairan Kecamatan Betoambari ditemukan bentuk-tumbuh karang tergolong baik dan sangat beragam, yang berkisar antara 5 hingga 11 jenis. Untuk lebih jelasnya jumlah bentuk pertumbuhan karang pada setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jenis lifeform (bentuk-tumbuh karang) di perairan Betoambari Lokasi/Stasiun Perairan Pantai Nirwana
Tanjung Sulaa Perairan Pantai Lakeba
ST1* ST2 ST3 ST4* ST5* ST6
Jenis lifeform (Bentuk-tumbuh karang) 7 7 11 5 5 9
* Data pengamatan Lembaga Napoleon (2005) Bentuk-tumbuh karang yang paling banyak ditemukan adalah pada stasiun 3 (perairan Pantai Nirwana) sebanyak 11 jenis. Berdasarkan jumlah tersebut, lokasi ini dapat dikategorikan dalam kelas cukup sesuai untuk kegiatan wisata bahari. Bentuk perrtumbuhan karang yang umum dijumpai pada stasiun 3 antara lain karang masif (Coral massive) dan Acropora bercabang (Acropora branching). Meskipun pada stasiun 3 hanya memiliki penutupan karang batu dalam kategori sedang, tetapi terdapat berbagai biota lain yang menutupi habitat dasar perairan. Biota lain yang jumpai antara lain kima (Clam), akar bahar (Gorgonian), anemon (Anemone) dan Ascidian. Kategori karang keras (hard coral) yang terdapat di perairan tersebut terdiri atas Acropora dan Non-Acropora. Kategori Acropora terdiri atas Acropora branching (ACB) dan Acropora digitate (ACD), terdapat di stasiun 3, 5, dan 6;
60
Acropora encrusting (ACE) ada di stasiun 3, 4, 5, dan 6; Acropora submassive (ACS), pada stasiun 1 dan 3; dan Acropora tabulate (ACT), pada stasiun 2, 3, 4, 5, dan 6. Diantara 5 kategori tersebut, hanya Acropora branching (ACB) yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan. Karang keras (hard coral) kategori Non-Acropora yang ditemukan pada perairan Kecamatan Betoambari antara lain Coral branching (CB) di stasiun 1, 2, 3, 5, dan 6; Coral encrusting (CE) di stasiun 1, 2, 3, dan 6; Coral foliose (CF) di stasiun 3 dan 4; Coral massive (CM) di stasiun 1, 2, 3, dan 6; dan Coral mushroom (CMR) di stasiun 2, 3, dan 6. Beberapa contoh karang keras yang ditemukan di wilayah ini dapat dilihat pada Gambar 14.
a)
b)
c)
d)
Gambar 14 Beberapa bentuk-tumbuh karang di perairan Kecamatan Betoambari. a) Acropora bercabang, b) Acropora meja, c) Karang (NonAcropora) bunga, d) Karang (Non-Acropora) Masif. Sumber: Lembaga Napoleon (2005).
61
C. Jenis Ikan Karang Ikan karang merupakan salah satu biota yang memiliki keanekaragaman spesies tinggi, di mana hidupnya berasosiasi dengan karang. Terumbu karang adalah habitat penting bagi ikan karena merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan mencari makan (feeding ground) (Bengen 2001). Keanekaragaman ikan karang merupakan faktor utama yang dapat menunjang keindahan alam bawah laut (Apriliani 2009). Hasil pengamatan yang dilakukan di perairan kecamatan Betoambari ditemukan ikan karang yang terklasifikasi dalam 20 hingga 22 famili. Famili Pomacentridae merupakan famili yang memiliki jumlah spesies paling banyak (sekitar 27 spesies) dibandingkan dengan famili lain. Dominasi jumlah tersebut diduga karena ikan ini merupakan pemakan plankton, alga, dan omnivore. Hal ini sesuai dengan pendapat Montgomeri et al (1980) in Hukom (2000), yang mengatakan bahwa salah satu famili ikan karang yang selalu ditemukan di daerah terumbu karang adalah famili Pomacentridae. Famili ikan karang terbanyak kedua yang dapat ditemukan di perairan Kecamatan Betoambari adalah Chaetodontidae (ikan kepe-kepe) sebanyak 26 spesies. Ikan kepe-kepe merupakan ikan indikator yang menandakan kondisi terumbu karang cukup baik dan masih sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Myer dan Randall (1983), bahwa kehadiran ikan kepe-kepe tidak lepas dari keberadaan terumbu karang, karena ikan ini merupakan salah satu indikator kesehatan karang. Semakin beragam spesies ikan karang dari kelompok indikator maka tingkat kesuburan karang semakin tinggi. Chabanet et al. (1997) dan Bouchon (1989) membenarkan bahwa terdapat hubungan positif antara persentase substrat terumbu karang dengan kehadiran ikan Chaetodontidae. Ikan tersebut memiliki ketergantungan terhadap karang sebagai makanan dan tempat berlindung, sehingga distribusinya dipengaruhi oleh kondisi tutupan karang hidup. Jumlah spesies ikan karang yang diidentifikasi pada 6 titik pengamatan berkisar 11 hingga 107 spesies (Tabel 12). Berdasarkan Tabel 12, dapat dilihat jumlah spesies ikan karang yang paling banyak ditemukan adalah di sekitar pantai Nirwana sebanyak 107 spesies dari 22 famili. Kondisi ikan karang yang berasosiasi dengan hewan karang di perairan Pantai Nirwana dapat dilihat pada
62
Gambar 15. Jenis-jenis ikan target yang dijumpai berasal dari famili Acanthuridae (ikan pakol), Haemullidae (ikan bibir tebal), Lutjanidae (ikan kakap), Nemipteridae (ikan kurisi) dan Serranidae (ikan kerapu). Ikan indikator berasal dari famili Chaetodontidae (ikan kepe-kepe). Kelompok ikan mayor utama yang dijumpai berasal dari famili Acanthuridae, Apogonidae, Balistidae, Blennidae, Caesionidae, Labridae, Pomacanthidae, Pomacentridae dan Scaridae. Tabel 12 Jumlah spesies ikan karang yang ditemukan di perairan Betoambari Lokasi/Stasiun Perairan Pantai Nirwana
Tanjung Sulaa Perairan Pantai Lakeba
ST1* ST2 ST3 ST4* ST5* ST6
Ikan karang (Jumlah spesies) 11 89 107 20 26 91
* Data pengamatan Lembaga Napoleon (2005) Sementara itu, dari hasil survei komunitas ikan karang di sekitar Pantai Lakeba dan Tanjung Sulaa ditemukan 91 spesies ikan karang dari 21 famili. Ikanikan target yang dijumpai berasal dari famili Holocentridae, Mullidae, Serranidae dan Siganidae. Kelompok ikan mayor utama yang dijumpai berasal dari famili Acanthuridae, Apogonidae, Blennidae, Caesionidae, Labridae, Pomacanthidae, Pomacentridae, Scaridae dan Tetraodontidae. Ikan indikator berasal dari famili Chaetodontidae (Ikan kepe-kepe).
Gambar 15 Ikan karang yang berasosiasi dengan hewan karang di perairan Pantai Nirwana.
63
D. Biota Lain Perairan di sekitar terumbu karang memiliki tingkat produktifitas primer dan sekunder yang tinggi. Tingginya produktifitas primer tersebut menyebabkan terumbu karang sering dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi ikan karang. Sedangkan produktifitas sekunder yang tinggi memungkinkan terumbu karang menjadi tempat berlindung dan mencari makan bagi hewan invertebrata lain seperti lobster dan penyu (Supriharyono 2007). Berdasarkan pengamatan langsung dan wawancara beberapa lembaga yang konsen terhadap pelestarian terumbu karang seperti Napoleon dan Buton Resort, ditemukan selain ikan karang, di wilayah tersebut terdapat biota unik di antaranya penyu, ikan pari, ikan hiu, lobster, kuda laut, dan frogfish (Gambar 16). Daerah penyebaran biota-biota tersebut hanya di perairan Pantai Nirwana. Biota-biota termasuk dalam daftar hewan langka, serta merupakan objek pelengkap keindahan bawah laut. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutabarat et al (2009) bahwa beberapa jenis biota yang mempunyai karakteristik khas dan langka mempunyai daya tarik wisata bawah laut. a)
b)
c)
d)
Gambar 16 Satwa unik di perairan Kecamatan Betoambari. a) Ikan Hiu, b) Kuda Laut, c) Ikan Pari, d) Frogfish
64
5.1.2. Kualitas Perairan Kondisi lingkungan perairan yang terkait dengan kesesuaian ekowisata bahari kategori selam berbasis ekologis dalam penelitian ini adalah kecerahan perairan dan kedalaman terumbu karang. Berdasarkan pengamatan pada, kecerahan perairan pada lokasi penelitian sedikit bervariasi yakni pada stasiun 1 hingga 4 (perairan Pantai Nirwana) mencapai 95%, stasiun 5 (perairan Kelurahan Sulaa) sebesar 50%, dan stasiun 6 (perairan Pantai Lakeba) adalah 75%. Tingkat kecerahan yang kecil pada stasiun 5 ini diduga disebabkan karena lokasi tersebut berada tepat di depan pusat pemukiman masyarakat Kelurahan Sulaa, serta tingkat pemanfaatan kawasan yang cukup besar antara lain aktivitas pelabuhan dan budidaya rumput laut. Beragamnya kegiatan tersebut dapat menyebabkan kekeruhan perairan, sehingga penetrasi cahaya yang masuk ke kolom air semakin berkurang dan pada akhirnya kecerahan makin berkurang. 5.1.3. Kesesuaian Kawasan Pengembangan Ekowisata Bahari Kesesuaian kawasan untuk pengembangan ekowisata bahari kategori selam dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas yang terdiri dari 5 parameter, yakni kecerahan perairan, tutupan karang hidup, jenis lifeform, jenis ikan karang, dan kedalaman terumbu karang. Proses analisis kesesuaian tersebut diawali dengan penyusunan matrik sekaligus pemberian bobot dan skoring pada semua parameter pembatas sesuai tingkat kepentingan. Parameter kecerahan dan tutupan karang hidup memiliki bobot paling tinggi dibanding parameter lain. Hal ini disebabkan karena kecerahan merupakan penentu penetrasi cahaya untuk kelangsungan hidup bagi ekosistem terumbu karang. Dengan kecerahan yang tinggi, para wisatawan dapat dengan jelas melihat objek ekosistem terumbu karang. Sementara itu, tutupan karang hidup merupakan daya tarik wisatawan dalam menikmati keindahan bawah laut. Hasil analisis matrik kesesuaian kawasan untuk ekowisata bahari kategori selam, melalui analisis spasial yang dibantu dengan software ArcView 3.3, diperoleh hampir seluruh kawasan terumbu terumbu di perairan Kecamatan Betoambari dikatakan sesuai, berkisar dari kelas sangat sesuai, cukup sesuai,
65
hingga sesuai bersyarat. Lokasi dan luas kawasan yang sesuai untuk ekowisata bahari kategori selam dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Luas dan lokasi yang sesuai untuk ekowisata bahari selam No
Kelas kesesuaian
Luas (ha)
Lokasi Perairan Pantai Nirwana Arah Selatan Pantai Nirwana, Tanjung Sulaa, Perairan Pantai Lakeba Perairan Kelurahan Sulaa
1
Sangat sesuai (S1)
12.49
2
Cukup sesuai (S2)
67.28
3
Sesuai bersyarat (S3)
3.87
Berdasarkan Tabel 13, secara ekologis hampir sepanjang wilayah perairan Kecamatan Betoambari yang memiliki sebaran terumbu karang, memenuhi syarat untuk wisata bahari kategori selam, sehingga dapat direkomendasikan menjadi kawasan ekowisata. Namun demikian, kawasan yang paling sesuai adalah perairan yang berada tepat di depan wisata pantai Nirwana, dengan luas 12.49 ha. Kawasan tersebut terpilih paling sesuai karena kondisi ekosistem terumbu karang di lokasi ini masih cukup baik, dengan tutupan karang di atas 60 %, jenis lifeform sangat beragam melebihi 10 jenis dan jenis ikan karang yang ada pun sangat banyak. Selain itu tingkat kecerahan perairan di lokasi tersebut sangat tinggi dengan ratarata 95%. Secara spasial, kesesuaian ekowisata bahari kategori selam ini dapat dilihat pada Gambar 17. Menurut Lynch et al. (2004), ekowisata bahari selam sangat terkait dengan keberadaan ekosistem terumbu karang sebagai objek penyelaman yang menyediakan keindahan organisme laut dan pengalaman baru yang menantang. Begitu pula` Arifin et al. (2008) mengatakan bahwa persentase tutupan karang hidup, jenis lifeform, dan jenis ikan karang mempunyai daya tarik bagi wisatawan karena memiliki variasi morfologi dan warna yang menarik. Tidak hanya itu, kecerahan merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam wisata bahari. Semakin cerah perairan maka keindahan bawah laut makin dinikmati.
Gambar 17 Kesesuaian kawasan ekowisata bahari kategori selam berbasis ekologis
66
67
5.2. Ruang Ekowisata Bahari Optimal 5.2.1. Pemanfaatan Kawasan di Perairan Kecamatan Betoambari Perairan Kecamatan Betoambari dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik oleh masyarakat, pemerintah, maupun swasta. Pemanfaatan sumberdaya maupun kawasan yang ada di wilayah ini antara lain aktifitas budidaya rumput laut, pelabuhan, daerah penangkapan, dan alur kapal. Pada penelitian ini, berbagai kegiatan pemanfaatan tersebut digunakan sebagai input fitur biaya dalam analisis Marxan. Meskipun fitur-fitur ini berpengaruh negatif terhadap fitur konservasi (terumbu karang dan biota unik lain), namun karena memiliki fungsi penting bagi penunjang kebutuhan hidup dan aktifitas masyarakat setempat, sehingga keberadaannya harus dipertimbangkan dalam menentukan ruang ekowisata. Berdasarkan tingkat kepentingan dan manfaat maka fitur biaya diurutkan sebagai berikut: pelabuhan, budidaya rumput laut, dan alur kapal (contohnya kapal nelayan dan kapal penumpang). Aktifitas pemanfaatan sumberdaya dan kawasan di perairan Kecamatan Betoambari dapat dilihat pada Gambar 18. Fitur biaya pertama (pelabuhan); berdasarkan pengamatan wilayah perairan Betoambari, terdapat beberapa pelabuhan yang memiliki fungsi penting sebagai infrastruktur penunjang di antaranya dermaga kapal penghubung Kelurahan Sulaa dan Pulau Kadatua (Kabupaten Buton), pelabuhan PT Arahon Indah sebagai tempat bersandar kapal nelayan cakalang/tuna ketika hendak mengambil es balok ataupun memasok hasil tangkapan, serta pelabuhan transit depo pertamina yang diperkirakan difungsikan pada akhir Tahun 2011 ini. Fitur biaya kedua (budidaya rumput laut); merupakan profesi utama sebagian
besar
masyarakat
setempat,
khususnya
Kelurahan
Sulaa
dan
Katobengke. Berdasarkan pengamatan dan wawancara di lapangan, kegiatan budidaya di wilayah tersebut dilakukan pada bulan April hingga Desember setiap tahunnya. Lokasi yang menjadi budidaya rumput laut di antaranya tersebar pada perairan tepat di daerah pusat pemukiman warga Kelurahan Sulaa, sebagian besar di perairan Pantai Lakeba, dan pantai Katana (arah selatan pantai Nirwana). Beberapa nelayan yang ditemui mengaku sangat bergantung pada aktifitas budidaya rumput laut demi mencukupi kebutuhan keluarga. Pada awalnya mata pencaharian utama mereka adalah sebagai nelayan penangkap ikan, namun saat ini
68
lebih fokus pada profesi sebagai petani rumput laut. Banyak alasan yang melandasi hal tersebut, selain akibat hasil tangkapan ikan karang yang terus menurun, juga disebabkan kegiatan budidaya rumput laut yang terbilang mudah dan dapat memperoleh pendapatan cukup besar. Setiap tahun jumlah petani rumput laut semakin meningkat. Hal ini dapat dibuktikan hampir seluruh wilayah perairan depan Pantai Lakeba dan pusat pemukiman masyarakat Kelurahan Sulaa, dipenuhi dengan rakit budidaya rumput laut. Aktifitas tersebut hampir tidak menyisahkan ruang untuk alur keluar masuk perahu nelayan maupun kapal transportasi penghubung antara Kelurahan Sulaa dan Pulau Kadatua.
a)
b)
c)
d)
Gambar 18 Pemanfaatan sumberdaya dan kawasan di perairan Betoambari. a) pelabuhan transit depo pertamina yang sementara dikerjakan, b) pelabuhan PT Arahon Indah, c) kegiatan budidaya rumput laut, d) kapal nelayan yang sering bersandar di pelabuhan Arahon Indah. Fitur biaya ketiga (alur kapal); kapal yang melewati perairan Kecamatan Betoambari terbilang banyak antara lain kapal penumpang yang menghubungkan Kelurahan Sulaa-Pulau Kadatua, kapal penumpang penghubung antara Kabupaten
69
Wakatobi-Kota Baubau, dan dipastikan akan ada jalur kapal transit depo pertamina. Ketiga fitur tersebut ditunjukkan pada Gambar 19. 5.2.2. Ruang Ekowisata Berdasarkan Efisiensi Biaya Penentuan ruang ekowisata yang memiliki biaya terkecil dilakukan berdasarkan kesesuaian parameter ekologis dan sosial ekonomi. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan analisis Marxan yang dapat mencari dan memilih kawasan ekowisata yang memenuhi kriteria ekologis dan sosial ekonomi. Marxan merupakan analisis yang dikatakan kompleks karena terdapat banyak pengaturan guna mendapatkan berbagai pilihan pengambilan keputusan. Setelah Marxan diciptakan Ball dan Poshingham (2000), muncul beberapa panduan, eksperimen trial dan error, serta penelitian yang telah melakukan pengujian terhadap Marxan, antara lain Ardron (2002) dan Loos (2006). Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengujian Marxan lebih jauh, tetapi hanya melakukan simulasi terhadap ukuran unit perencanaan dan target konservasi untuk kebutuhan ruang ekowisata optimum, sedangkan komponen lain mengacu pada studi literatur dari berbagai panduan dan penelitian sebelumnya. A. Penetapan Persentase Target Ruang Ekowisata Penetapan target untuk perencanaan ruang ekowisata merupakan hal penting sebagai input dalam analisis Marxan. Menurut Cabeza dan Moilanen (2001), agar penetapan spesies target bersifat ilmiah maka dapat didasarkan pada perkiraan populasi. Menurut Smith (2005), pengaturan target berdasarkan kealamian setiap fitur sebelum kehilangan habitat; Geselbracht et al. (2005), menyarankan target selalu bervariasi berdasarkan kepentingan. Penetapan target ekowisata untuk perlindungan sumberdaya pesisir Kecamatan Betoambari diurutkan berdasarkan pentingnya suatu habitat dan spesies sebelum mengalami kepunahan. Sesuai kondisi di lokasi penelitian, sumberdaya yang penting namun terancam degradasi tinggi yakni ekosistem terumbu karang. Setelah itu, tingkat kepentingan diurutkan dari yang tinggi hingga sedang sebagai berikut: ikan hiu dan habitatnya, spesies penyu, ikan pari, lobster dan habitatnya, serta frogfish.
Gambar 19. Pemanfaatan sumberdaya dan kawasan di Perairan Betoambari (fitur biaya)
70
71
B. Pengaturan Skenario Ruang Ekowisata Marxan yang memiliki banyak pengaturan memberikan kesempatan kepada perencana untuk mengatur berbagai skenario. Setiap skenario memberikan hasil yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini, skenario ditentukan dengan mengatur target sumberdaya yang akan dijadikan kawasan ekowisata, utamanya mengubah nilai target terumbu karang dan biota unik lain. Pengubahan nilai dimaksudkan untuk mencari solusi ruang ekowisata dengan biaya terendah. Berdasarkan observasi lapangan dan analisis awal simulasi target ekowisata bahari maka ditetapkan 3 skenario (Tabel 14). Tabel 14 Faktor denda dan persentase target tiap skenario Skenario 1 No
Fitur konservasi
1 2 3 4 5 6
Terumbu Karang Daerah Ikan Hiu Daerah Penyu Daerah Ikan Pari Lobster Frogfish
% Target 70 70 70 70 70 70
SPF
Jumlah pu
4.0 4.0 3.5 3.5 3.0 3.0
1335 120 362 212 86 65
Target 934.5 84.0 253.4 148.4 60.2 45.5
Shapefile terumbu_ d_hiu d_penyu d_pari d_lobster d_frogfish
Skenario 2 No
Fitur konservasi
1 2 3 4 5 6
Terumbu Karang Daerah Ikan Hiu Daerah Penyu Daerah Ikan Pari Lobster Frogfish
% Target 60 60 60 60 60 60
SPF
Jumlah pu
4.0 4.0 3.5 3.5 3.0 3.0
1335 120 362 212 86 65
Target 801.0 72.0 217.2 127.2 51.6 39.0
Shapefile terumbu_ d_hiu d_penyu d_pari d_lobster d_frogfish
Skenario 3 No
Fitur konservasi
1 2 3 4 5 6
Terumbu Karang Daerah Ikan Hiu Daerah Penyu Daerah Ikan Pari Lobster Frogfish
% Target 50 50 50 50 50 50
SPF 4.0 4.0 3.5 3.5 3.0 3.0
Jumlah pu 1335 120 362 212 86 65
Target 667.5 60.0 181.0 106.0 43.0 32.5
Shapefile terumbu_ d_hiu d_penyu d_pari d_lobster d_frogfish
72
Tabel 14 menunjukan skenario yang digunakan pengubahan nilai target terumbu karang dari 70% hingga 50%. Terumbu karang merupakan sumberdaya paling potensial sebagai kawasan ekowisata. Sumberdaya tersebut hampir di sepanjang pesisir Kecamatan Betoambari, sehingga perlu dilakukan simulasi untuk mencari persentase target yang efisien dan tidak mengganggu aktifitas lain. Sedangkan sumberdaya lain merupakan pendukung keindahan bawah laut yang juga perlu dilestarikan. Nilai target daerah hiu, penyu, ikan pari, lobster, dan frogfish, mengikuti skenario perubahan persentase terumbu karang yakni 70% hingga 50%. Keberadaan dan distribusi biota unik tersebut sangat sedikit dan hanya terfokus pada perairan Pantai Nirwana. C. Pemilihan Nilai Efisien di antara 3 Skenario Tiga skenario yang telah disusun, kemudian dianalisis dengan Marxan. Setiap
skenario
menghasilkan
beberapa
output
file
yakni
output_best,
output_mvbest, output_sen, output_ssoln dan output_sum. Melalui analisis dan pengujian maka dipilih BLM 1, karena solusi terpilih telah mengelompok. Nilai biaya, panjang batas, dan penalti, serta luas area masing-masing skenario kemudian digunakan untuk menentukan solusi terbaik ruang ekowisata berdasarkan nilai biaya yang paling rendah. Hasil pengujian setiap skenario pada BLM 1 dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai biaya dan panjang batas satuan perencanaan terpilih Skenario 1 2 3
Unit biaya 620 505 413
Unit panjang batas 419 413 381
BLM 1 1 1
Penalty 0.00 0.00 0.00
Total unit biaya 1 039 918 793
Skenario 1 dengan target ekowisata 70 % (terumbu karang dan biota unik), dihasilkan total unit biaya sebesar 1 039. Penggunaan BLM 1, solusi terpilih sudah mengelompok, dengan total luas area 588 213.62 m2 atau 58.82 ha, yang terdiri atas 2 kelas yakni paling sesuai (sesuai 1) dan cukup sesuai (sesuai 2). Penyebaran kawasan paling sesuai berada tepat di perairan Pantai Nirwana seluas 207 974.72 m2 atau 20.80 ha. Area ini perlu dijadikan kawasan ekowisata sebagai pusat perlindungan terumbu karang dan satwa unik beserta habitatnya. Sementara
73
itu, area yang terpilih terbanyak kedua (cukup sesuai) adalah di perairan sebelah Selatan Pantai Nirwana dan sebelah Utara pemukiman masyarakat Kelurahan Sulaa, seluas 380 380 m2 atau 38.04 ha. Daerah ini dapat direkomendasikan sebagai ruang ekowisata sesuai 2. Jenis kegiatan ekowisata yang dapat dikembangkan di kawasan terpilih tersebut dengan mengutamakan keindahan bawah laut adalah wisata selam dan wisata satwa (biota unik). Penyebaran solusi terpilih skenario 1 disajikan pada Gambar 20. Skenario 2 pada target 60 % (terumbu karang dan biota unik), memiliki penyebaran solusi terpilih sama dengan skenario 1, yang berbeda adalah penurunan total luas area terpilih menjadi 491 821.41 m2 atau 49.18 ha. Penyebaran kawasan paling sesuai berada tepat di perairan Pantai Nirwana seluas 175 429.67 m2 atau 17.55 ha; sedangkan area terpilih 2 (cukup sesuai), di perairan sebelah Selatan Pantai Nirwana dan sebelah Utara pemukiman masyarakat Kelurahan Sulaa, seluas 316 391.74 m2 atau 31.64 ha (lihat Gambar 21). Ruang terpilih skenario 2 ini memiliki total unit biaya sebesar 918. Skenario 3 pada target 50 % (terumbu karang dan biota unik), memiliki penyebaran solusi terpilih sama dengan skenario 1 dan 2. Namun area terpilih di sebelah Selatan Pantai Lakeba semakin kecil seiring dengan penurunan nilai target ekowisata. Total area terpilih pada skenario ini adalah 399 662.45 m2 atau 39.97 ha, terdiri atas kawasan ekowisata paling sesuai (sesuai 1) berada tepat di perairan Pantai Nirwana seluas 154 731.49 m2 atau 15.47 ha; kawasan ekowisata sesuai 2 di perairan sebelah Selatan Pantai Nirwana dan sebelah Utara pemukiman masyarakat Kelurahan Sulaa, seluas 244 870.96 m2 atau 24.49 ha. Total unit biaya yang untuk skenario 3 adalah 793. Kawasan ekowisata terpilih pada skenario 2 ini dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 20 Kawasan ekowisata bahari terpilih berdasarkan Skenario 1.
74
Gambar 21 Kawasan ekowisata bathari terpilih berdasarkan skenario 2.
75
Gambar 22 Kawasan ekowisata bahari terpilih berdasarkan skenario 3.
76
77
Penetapan ketiga skenario ekowisata tersebut (target perlindungan terumbu karang, 70%, 60%, dan 50%), tidak akan mengganggu atau saling tumpang tindih dengan aktifitas pemanfaatan kawasan di perairan Kecamatan Betoambari, seperti kegiatan pelabuhan, transportasi, dan mata pencaharian masyarakat setempat sebagai pembudidaya rumput laut. Jika ditinjau dari total unit biaya, maka dapat dipilih ruang ekowisata paling efisien adalah skenario 3, dengan total unit biaya 793 (lihat Gambar 23).
1200 Total unit biaya
1000 800 600 400 200 0 skenario 1
skenario 2
skenario 3
Gambar 23 Perbandingan total biaya (nilai efisien) pada 3 skenario. Gambar 23 menunjukan bahwa ruang ekowisata terpilih yang paling efisien diantara 3 skenario berdasarkan total biaya terendah (biaya akuisisi lahan maupun manajemen) adalah skenario 3. Skenario ini sesuai dengan prinsip analisis Marxan untuk mencapai tujuan dengan biaya terendah. Khusus daerah studi di Perairan Kecamatan Betoambari, dapat dilihat semakin kecil target ekowisata maka semakin kecil pula biaya akuisisi lahan dan biaya manajemen. Hal ini disebabkan fitur-fitur sumberdaya yang dijadikan ekowisata tidak begitu tersebar banyak atau terpisah-pisah, namun terpusat di perairan Pantai Nirwana. Dengan demikian jika melakukan manajemen seperti pengawasan kawasan ekowisata maka biaya yang dikeluarkan tidak begitu besar.
78
5.2.3. Potensi Total Nilai Manfaat Ekonomi Potensi nilai manfaat ekonomi didapatkan dengan adanya pengusahaan kegiatan wisata bahari dari ruang ekowisata yang terpilih. Dalam penelitian ini, nilai manfaat ekonomi diperoleh melalui dua tahap analisis. Pertama, penentuan daya dukung kawasan (DDK) sebagai cara untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata bahari (DDW) pada 3 skenario; kedua, menentukan nilai ekonomi menggunakan Willingness to Pay (WTP). Kemudian nilai DDW (perorang/hari) digabungkan WTP (perorang) dan digunakan sebagai input untuk menghitung total nilai ekonomi (total benefit). A. Daya Dukung Pengembangan Ekowisata Tiap Skenario Konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal, yakni kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia, serta mempertahankan keaslian sumberdaya alam (Hutabarat et al. 2009). Olehnya itu, perencanaan ekowisata Baubau harus mempertimbangkan tingkat kemampuan alam untuk mentolerir dan menciptakan lingkungan yang alami. Dalam penelitian ini, yang dimaksud daya dukung ekowisata adalah kemampuan sumberdaya untuk menampung jumlah penyelam tanpa menyebabkan gangguan terhadap terumbu karang dan satwa unik di perairan Betoambari. Parameter yang digunakan dalam penentuan daya dukung mengacu pada Yulianda (2007), antara lain: (1) potensi ekologis pengunjung per satuan unit area, di mana aktifitas selam mempunyai standar 2 orang per 2 000 m2; (2) luas potensi ekologis kawasan yang dapat digunakan untuk aktifitas selam; (3) waktu yang disediakan dan kebutuhan waktu untuk aktifitas tersebut. Luas potensi perairan Kecamatan Betoambari yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata selam didasarkan pada ruang ekowisata skenario 1, 2, dan 3, dengan luas masing-masing adalah 588 213.62 m2, 491 821.41 m2, dan 399 602.45 m2. Hasil perhitungan DDK dan DDW di perairan Betoambari dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 menunjukkan bahwa skenario 1 merupakan kawasan ekowisata yang memiliki DDK tertinggi (1 760 orang/hari) dibanding skenario lain. Nilai ini menunjukkan bahwa batas maksimal jumlah pengunjung yang dapat ditampung di
79
kawasan ekowisata adalah 1 760 orang setiap harinya. Sedangkan DDW skenario 1 sebesar 176 orang/hari. Nilai DDW ini masih di bawah standar daya dukung yang dikemukan Davis dan Tisdell (1995) bahwa daya dukung kawasan wisata selam pada kawasan konservasi 200 000 orang/tahun/300 hari. Tabel 16 Daya dukung pengembangan ekowisata di perairan Betoambari Skenario
Area ekowisata (m2)
1 2 3
588 213.62 491 821.41 399 602.45
DDK (orang/hari) 1 760 1 480 1 200
DDW (orang/hari) 176 148 120
DDW (orang/thn) 52 939 44 264 35 964
B. Potensi Nilai Ekonomi Ekowisata Nilai Kompensasi Ekowisata Penilaian terhadap kompensasi sumberdaya untuk ekowisata perairan Betoambari dihitung menggunakan metode valuasi berdasarkan preferensi (contigent valuation method) dengan pendekatan Willingness to pay (WTP) atau kesediaan membayar. Responden yang dipilih merupakan para pengunjung yang sering melakukan aktifitas selam di perairan Kecamatan Betoambari, baik untuk berwisata maupun tujuan pendidikan. WTP dalam penelitian ini didasarkan pada tingkat kepuasan penyelam terhadap kondisi objek dengan pilihan biaya satu kali penyelaman standar (yang diambil dari survei pendahuluan), antara lain: a) Rp 100 000; b) Rp 200 000; c) Rp 300 000; d) Rp 400 000; dan e) > Rp 400 000. Perhitungan WTP per-individu untuk ekowisata perairan Kecamatan Betoambari tidak dipengaruhi variabel latar belakang responden seperti umur, asal, pendapatan, dan jumlah rombongan. Berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner, semua responden menyatakan kesediaannya mengeluarkan biaya untuk bisa menyelam sekaligus menikmati keindahan bawah laut. Besaran biaya yang rela dikeluarkan tidak begitu bervariasi yakni 71.43% responden bersedia membayar Rp 300 000 dan 28.57% ingin membayar Rp 200 000. Berdasarkan kisaran angka tersebut, dapat diartikan bahwa penilaian atau kepuasan penyelam terhadap terumbu karang dan satwa unik di perairan Betoambari masih standar, bahkan di bawah standar jika dibandingkan dengan nilai rata-rata total biaya dalam 1 kali menyelam (Rp 330 000). Kecilnya
80
nilai biaya yang dipilih responden diperkirakan dipengaruhi adanya pembanding lokasi penyelaman di daerah sekitar seperti Wakatobi. Total Benefit Ekowisata Dari Tiap Skenario Potensi nilai ekonomi ekowisata atau total benefit (TB) dihitung berdasarkan total nilai ekonomi sumberdaya yang diperoleh dari kombinasi nilai WTP dan DDW. Berdasarkan perhitungan WTP dan DDW pada 3 skenario, diperoleh potensi nilai ekonomi ekowisata berkisar antara Rp 32 607 560 hingga Rp 47 998 231 per hari. Potensi nilai ekonomi ekowisata dari 3 skenario disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Potensi nilai ekonomi dari 3 skenario. Skenario
WTP (Rp)
Daya dukung (org/hari)
Total benefit (Rp/hari)
Total benefit (Rp/thn)
1 2 3
272 000 272 000 272 000
176 148 120
47 998 231 40 132 627
14 399 470 000 12 039 790 000 9 782 270 000
32 607 560
Berdasarkan tabel 17, menunjukkan skenario 1 memiliki total benefit tertinggi, sebesar Rp 47 998 231 per hari atau Rp 14 399 470 000 per tahun. Hal ini disebabkan total benefit berbanding lurus dengan DDW. Semakin besar DDW maka semakin besar total benefit. 5.2.4. Ruang Ekowisata Optimal Berdasarkan Biaya Minimal dan Manfaat Ekonomi Maksimal Ruang ekowisata yang optimal berdasarkan biaya minimal dan manfaat ekonomi maksimal ditentukan dari estimasi nilai keuntungan (net benefit) tertinggi di antara 3 skenario. Nilai keuntungan tersebut diperoleh dari selisih antara total benefit per bulan dan total biaya. Total benefit merupakan nilai ekonomi dari setiap skenario. Sementara total biaya merupakan biaya ruang ekowisata bahari yang dihasilkan dari analisis Marxan. Total biaya unit perencanaan terpilih (hasil analisis Marxan) dikonversi dalam satuan Rupiah. Konversi diasumsikan dari harga lahan per unit perencanaan di perairan Kecamatan Betoambari. Namun hingga saat ini belum ada ketetapan
81
harga lahan di laut (khususnya di perairan Kota Baubau), maka konversi tersebut didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan darat di Kecamatan Betoambari khususnya Kelurahan Sulaa. NJOP Kelurahan Sulaa berkisar antara Rp 14 000 hingga Rp 64 000/m2. Untuk konversi biaya tersebut, digunakan nilai NJOP yang paling rendah yakni Rp 14 000 /m2. Total biaya ekowisata dalam penelitian ini merupakan biaya akuisisi lahan laut untuk dijadikan kawasan ekowisata, serta biaya manajemen sebagai fungsi pemeliharaan dan pengawasan. Biaya akuisisi lahan diasumsikan merupakan biaya yang dikeluarkan untuk masyarakat sekitar, khususnya nelayan yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya pesisir sebagai pengganti lahan di laut karena dijadikan kawasan ekowisata. Sedangkan biaya manajemen merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan pemeliharaan maupun pengawasan kawasan ekowisata. Biaya akuisisi lahan dan manajemen ekowisata dihitung berdasarkan jumlah unit perencanaan terpilih untuk ekowisata dikalikan dengan NJOP terendah di Kelurahan Sulaa dalam satuan waktu per tahun. Total benefit, total biaya dan net benefit per tahun ruang ekowisata pada 3 skenario disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Penentuan ruang ekowisata optimal berdasarkan nilai ekonomi Skenario 1 2 3
Total benefit (Rp/thn)
Total biaya (Rp/thn)
Net benefit (Rp/thn)
14 399 470 000 12 039 790 000 9 782 270 000
1 745 520 000 1 542 240 000 1 333 920 000
12 653 950 000 10 497 550 000 8 448 350 000
Tabel 18 menunjukkan bahwa net benefit tertinggi adalah skenario 1, sebesar Rp 12 653 950 000 per tahun. Hal ini menunjukan bahwa skenario 1 merupakan ruang ekowisata yang optimal. Ruang ekowisata skenario 1 memiliki luas paling besar (58.8 ha) dibanding skenario lain. Sedangkan skenario 3 memiliki nilai keuntungan terkecil (Rp 8 448 350 000), disebabkan luas kawasan ekowisata terpilih pada skenario ini merupakan yang paling kecil (39.96 ha).
82