92
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.Kesesuaian G.Sulat - G.Lawang sebagai KKLD G.Sulat-G.Lawang merupakan pulau sangat kecil memiliki luas 1 299 hektar dengan perairan yang karena kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan dimanfaatkan secara khusus baik secara individu maupun statusnya dalam gugus pulau. Ekosistem di kawasan ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, rentan terhadap gangguan atau perubahan dan hanya dapat mentolerir sangat sedikit aktivitas manusia, sehingga dalam pengelolaannya memerlukan
proses
perencanaan
yang
tepat.
Berdasarkan
potensi
keanekaragaman hayati pulau-pulau kecil, diperlukan kriteria penetapan kawasan konservasi sesuai karakteristik lokal dengan pertimbangan kriteriakriteria tertentu. Langkah awal yang harus dilakukan adalah melakukan penataan ruang dan penyusunan zonasi perairannya. Faktor penentu keberhasilan penzonasian suatu kawasan adalah apabila penyusunan zonasi dilakukan dengan pertimbangan kriteria ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan (Salm et al 2000). Kriteria penetapan zonasi ekosistem dibagi dalam dua kategori yaitu kriteria pendukung dan kriteria pembatas. Kriteria pendukung kawasan konservasi terumbu karang adalah luas tutupan karang (coral cover), keanekaragaman jenis (coral diversity), keunikan hábitat, kealamian, aksesibilitas, kelangkaan jenis dan konektifitas dengan kawasan lain yang berdekatan. Sedangkan kriteria pembatasnya adalah aktifitas manusia, keamanan/keselamatan dan pencemaran. Konservasi mangrove ditetapkan berdasarkan persen tutupan basal atau ketebalan, kerapatan, jenis dan luasan mangrove, sedangkan konservasi lamun, ditetapkan berdasarkan persentase luas area kerusakan dan luas tutupan hidup. Analisis kesesuaian KKLD G.Sulat-G.Lawang dengan mempertimbangkan berbagai aspek, penting dilakukan agar tujuan pembangunan kawasan konservasi secara berkelanjutan dapat terwujud. Pemenuhan parameter ekologi, ekonomi dan sosial bertujuan untuk : (1) Mendesain pengelolaan kawasan dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya; (2) Memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat hidup, tempat bertelur dan memijah biota laut, dan (3) memelihara fungsi ekonomis kawasan sehingga tercapai kelestarian sumberdaya dan produksi perikanan yang akan meningkatkan pendapatan, baik dari produksi perikanan tangkap maupun ekowisata.
93
Kondisi Ekosistem atau sumberdaya di kawasan konservasi G.SulatG.Lawang dapat dilihat pada Gambar 18, 19 dan 20.
Gambar 18. Sebaran Terumbu Karang di KKLD G.Sulat-G.Lawang.
Berdasarkan kriteria ekologi, stasiun Poto Gili, Pondok Kecil, Pegatan I dan stasiun Pegatan II memiliki nilai 31. Stasiun Luar Gili, Pekaje dan stasiun Luar Gili IV memiliki nilai 20. Berdasarkan kriteria ekonomi hampir semua stasiun memiliki nilai 8 – 9. Sedangkan kriteria sosial semua stasiun memiliki nilai 22, dan kriteria kelembagaan semua stasiun memiliki nilai 9. Secara keseluruhan stasiun Poto Gili, Pondok Kecil, Pegatan I, Landi dan stasiun Tanjak Mukur memiliki nilai total tertinggi yaitu 71 atau 81,60 %. Sedangkan nilai terendah pada
94
stasiun Luar Gili IV memiliki nilai 58 atau 66,66%. Stasiun Luar Gili, stasiun Pekaje dan stasiun Menanga todak memiliki nilai 59 atau 67,81%.
Gambar 19. Sebaran Mangrove di KKLD G.Sulat-G.Lawang.
Hasil analisis kriteria kesesuaian KKLD G.Sulat-G.Lawang terdiri atas kriteria ekologi yaitu : 1. Keanekaragaman hayati, memenuhi persyararatan kriteria kesesuaian karena keberadaan mangrove, terumbu karang, lamun dan laguna. Life form karang di G.Sulat-G.Lawang >70%, spesies ikan karang > 125 spesies, spesies lamun > 5 spesies dan spesies mangrove lebih dari 6 spesies. 2. Kealamian pulau, berkaitan dengan persen tutupan karang 60 – 90%, dibeberapa lokasi dalam kondisi rusak dengan tutupan karang < 30%.
95
3. Keunikan pulau dan kerentanan pulau juga memiliki skor cukup tinggi karena kedua pulau memiliki keunikan tersendiri sebagai pulau yang tak berpenduduk dan seluruh arealnya ditutupi vegetasi mangrove yang cukup padat.
Gambar 20. Kondisi Sumberdaya Lamun di KKLD G.Sulat-G.Lawang.
4. Keterkaitan antar pulau, kedua pulau merupakan gugusan pulau-pulau disekitarnya terdapat G.Lampu, G.Petagan, G.Prama dan lain-lain. Kriteria
ekonomi
meliputi
keberadaan
spesies
penting,
potensi
pengembangan perikanan relatif besar, ancaman hampir tidak ada, sangat berpotensi untuk pengembangan ekowisata dilihat dari kondisi mangrove, terumbu karang dan lamun serta perairan yang masih baik, dukungan
96
masyarakat lokal dan komunitas lainnya, aksesibilitas relatif mudah serta lokasi kawasan merupakan obyek penelitian dan pendidikan. Kriteria kelembagaan yaitu dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah, keberadaan lembaga sosial dalam komunitas sekitar kawasan serta dukungan infrastruktur sosial. Sedangkan kriteria pembatasnya yaitu konflik antar nelayan pemancing dengan nelayan bagang dan pemanah yang melakukan penangkapan dengan cara tidak ramah lingkungan sehingga berdampak pada keberlanjutan ekosistem atau sumberdaya di kawasan konservasi.
5.2. Penataan Zona KKLD G.Sulat - G.Lawang Arahan pengelolaan G.Sulat-G.Lawang sesuai RP-KKLD tahun 2004 membagi zona menjadi zona inti dan zona penyangga seperti Gambar 21. Hampir seluruh kawasan perairan ditetapkan sebagai zona inti, dimana masyarakat sekitar sangat bergantung pada sumberdaya secara turun temurun. Hal ini berimplikasi pada pengelolaan yang kurang efektif karena tidak mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar, sehingga pemanfaatan kawasan dilakukan tanpa memperhatikan batas zona.
Gambar 21. Zona Kawasan KKLD G.Sulat-G.Lawang Tahun 2004
97
Kondisi ini bertentangan dengan tujuan konservasi seperti tertuang dalam Permen 17 tahun 2008 bahwa dalam menetapkan zona kawasan konservasi dilakukan berdasarkan pada : tujuan pembentukan kawasan konservasi, nilai kepentingan konservasi pada level ekosistem, nilai kepentingan konservasi pada level jenis, nilai kepentingan sosial, ekonomi dan budaya serta tingkat luasan kawasan konservasi dalam melindungi plasma nutfah dan interkoneksitas ekologis dari populasi, spesies dan komunitas. Penataan zona KKLD G.Sulat-G.Lawang didasarkan pada kebutuhan pengelolaan kawasan konservasi yang efektif dan dijadikan sebagai bahan revisi Dokumen Rencana Pengelolaan, sehingga kelestarian sumberdaya dapat terjaga dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Penentuan zona KKLD G.Sulat-G.Lawang dilakukan dengan menggunakan persentase total skor kriteria yang diperoleh dengan membandingkan total skor masing-masing kriteria dengan total skor keseluruhan dikali 100 persen. Dengan menggunakan teknik interval skor, zona kawasan konservasi dibagi tiga (3) zona yaitu : a. Zona inti memiliki interval skor ≥ 80% berada pada stasiun Poto Gili, stasiun Pondok Kecil, stasiun Pegatan I, stasiun Landi dan stasiun Tanjak Mukur dengan luas 193,83 hektar atau 44, 02 % dari luas terumbu karang dan lamun yang ada didalam kawasan. b. Zona Pemanfaatan Terbatas memiliki interval skor 68 % - 80% berada pada stasiun Pondok Jaya, Selang, Batu Mandi I, Batu Mandi II, Menanga Kapal, Pegatan II, Luar Gili I, Luar Gili II, Luar Gili III dan Kampir Bier dengan luas 143,33 atau 32,55 % terdiri dari 108 hektar terumbu karang dan 35,43 hektar lamun. c. Zona Lainnya memiliki interval skor < 67% berada pada stasiun Luar Gili, stasiun Pekaje, stasiun Menanga Todak, stasiun Luar Gili IV dan stasiun Panaean dengan luas 1.819,11 terdiri dari zona rehabilitasi terumbu karang 93,11 hektar dan perairan lainnya 1.726 hektar. Untuk
kawasan
mangrove
seluas
1010,65
diarahkan
pada
zona
perlindungan 987,6 hektar dan pemanfaatan terbatas untuk pengembangan wisata seluas 23,05 hektar yang dimanfaatkan sebagai sarana wisata berupa jembatan (walkboad) dalam kawasan mangrove.
98
5.2.1. Kesesuaian Zona Inti
Gambar 22. Lokasi Zona Inti KKLD G.Sulat-G.Lawang Tahun 2010
Berdasarkan
hasil
analisis
kesesuaian
dengan
Sistem
Informasi
Geografis menggunakan software Arc View Ver.3.3, diperoleh luas perairan yang sesuai untuk zona inti adalah 143,33 hektar (32,55 % dari total luas terumbu karang dan lamun) terdiri dari 108 hektar terumbu karang dan 35,43 hektar lamun. Hasil penataan zona inti berdasarkan kriteria kesesuaian, diharapkan keberadaan ekosistem terumbu karang dan lamun beserta biotanya akan terjaga sehingga dapat menjadi lumbung proses terjadinya perkembangbiakan berbagai spesies ikan karang seperti jenis ikan target famili Lutjanidae (kakap), Lethrinidae, Scaridae (kaka tua), Labridae, Serranidae (kerapu) Acanthuridae dan Siganidae.
99
5.2.2. Kesesuaian Zona Pemanfaatan Terbatas Zona pemanfaatan terbatas diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi sumberdaya ikan dan lingkungannya, untuk kegiatan ekowisata, kegiatan budidaya laut
dan perikanan tradisonal serta penelitian dan
pengembangan, dan/atau pendidikan.
Gambar 23. Zona Pemanfaatan Terbatas KKLD G.Sulat-G.Lawang
Berdasarkan hasil analisis, luas zona pemanfaatan terbatas adalah 143,33 (32,55%) terdiri dari 108 hektar terumbu karang dan 35,43 hektar lamun. Zona pemanfaatan terbatas memiliki nilai konservasi tertentu, namun dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan yang layak dan diijinkan dalam kawasan konservasi. Oleh karena itu dalam memanfaatkan kawasan harus mempertimbangkan daya
100
dukung lingkungan. Aktivitas yang diijinkan adalah penelitian, pendidikan, rekreasi dan perikanan tradisional, sedangkan yang tidak diboleh dilakukan adalah penggunaan bom dan sianida untuk penangkapan ikan dan penebaran jaring dengan perahu motor di perairan sekitar terumbu karang. 5.2.3. Kesesuaian Zona Lainnya. Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi, zona perikanan berkelanjutan, dan sebagainya.
Gambar 24. Lokasi Zona Rehabilitasi KKLD G.Sulat-G.Lawang
101
Hasil analisis diperoleh bahwa luasan untuk zona lainnya adalah 1.819,11 hektar terdiri dari zona rehabilitasi terumbu karang 93,11 hektar dan perairan lainnya 1.726 hektar.
Gambar 25. Lokasi Zona Perairan Lainnya KKLD G.Sulat-G.Lawang
Zona Lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi, zona perikanan berkelanjutan, dan sebagainya. Kategori Zona Pemanfaatan khusus ini memiliki nilai perhitungan < 50%.
102
Kawasan mangrove seluas 1010,65 diarahkan pada zona perlindungan 987,6 hektar dan pemanfaatan terbatas untuk kegiatan wisata mangrove seluas 23,05 hektar untuk lokasi penataan walkboad di dalam kawasan mangrove.
Gambar 26. Lokasi Zona Perlindungan KKLD G.Sulat-G.Lawang
kawasan mangrove di kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang diarahkan untuk zona perlindungan karena kawasan ini merupakan hutan indung yang telah dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan. Apabila pengelolaan kawasan mangrove diarahkan untuk pengembangan ekowisata, maka Pemerintah daerah harus mengajukan ijin pemanfaatan kepada Menteri Kehutanan dengan syarat tidak diperbolehkan mrubah bentang alam didalam kawasan mangrove.
103
Hasil penataan zona KKLD G.Sulat-G.Lawang seperti Gambar 27 berikut :
Gambar 27. Hasil Penataan Zona KKLD G.Sulat-G.Lawang Tahun 2010
5.3.Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan digunakan untuk menilai kesesuaian lahan untuk aktivitas tertentu yang didasarkan pada kriteria hasil studi literatur yang telah disesuaikan dengan karakteristik kondisi alam dan lingkungan di wilayah kajian. Hasil analisis kesesuaian lahan dalam kajian ini merupakan hasil analisis kesesuaian lahan secara eksisting.
104
5.3.1
Kesesuaian Lahan untuk Perikanan Karang Berdasarkan hasil analisis kesesuaian, diperoleh ruang dengan tiga kelas
kesesuaian, yaitu status sesuai seluas 262,83 hektar, sesuai bersyarat 93,11 hektar, dan tidak sesuai 42,71 hektar seperti pada gambar berikut :
PETA KESESUAIAN PERIKANAN KARANG KKLD G.SULAT-G.LAWANG
Gambar 28. Kesesuaian Perikanan Karang di KKLD G.Sulat-G.Lawang
Kerusakan terumbu karang akan berdampak pada berkurangnya jenis life form dan jenis ikan karang, sehingga kelimpahan ikan karang menjadi relatif kecil. Areal ini dapat ditingkatkan menjadi sesuai apabila dilakukan perbaikan habitat berupa rehabilitasi karang. Mengingat wilayah tersebut merupakan
105
kawasan konservasi, alat tangkap untuk ikan karang yang direkomendasikan adalah alat tangkap tradisional seperti pancing dan jaring insang. Ikan karang hidup pada ekosistem terumbu karang, berfungsi sebagai ikan indikator yaitu sebagai penentu kondisi terumbu karang, karena ikan karang erat
hubungannya dengan kesuburan karang (kepe-kepe)
Chaetodontidae
dan
ikan
target
seperti ikan dari Famili yaitu
merupakan
target
penangkapan dikenal dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi (Terangi 2004). Kesesuaian lahan untuk perikanan karang dianalisis dengan persyaratan kedalaman perairan,topografi dasar perairan, kecerahan, perubahan cuaca, kondisi terumbu karang, pencemaran dan kelimpahan ikan target. Kecepatan arus di perairan Sambelia pada musim Timur berkisar antara 0.104-0.566 m/detik, sedangkan kecerahan perairan tergolong sangat tinggi, yakni berkisar antara 0.2-2.98 m. Secara
ekologi
perkembangan ikan karang disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain : (1) mobilitas dan ukuran ikan, umumnya tidak berpindah-pindah (sedentary) dan berukuran kecil, (2) aksesibilitas (mudah dicapai) yaitu perairannya relatif dangkal, berada di lingkungan yang hangat dan jernih dibandingkan dengan perairan yang lain, (3) skala pemanfaatan ruang
yaitu ikan karang baik larva
maupun dewasanya hidup di perairan yang dangkal, dekat dengan substrat yang solid dan dekat dengan daratan (Suharti 2005). 5.3.3. Kesesuaian Lahan untuk Wisata Selam dan Snorkeling Kegiatan wisata bahari yang dapat dilakukan di G.Sulat-G.Lawang adalah menyelam dan snorkeling. Wisata selam merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya alam bawah laut dan dinamika air lautnya untuk kepuasan manusia yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Daya tarik kegiatan wisata selam adalah terumbu karang yang masih baik serta keberadaan ikan di sekitar terumbu karang yang beragam jenisnya. Kesesuaian perairan untuk wisata bahari berdasarkan pertimbangan parameter kesesuaian (Bengen, 2002) seperti: kecerahan perairan, jenis terumbu karang (jumlah jenis), jenis ikan karang (jumlah jenis), kecepatan arus, kedalaman perairan, dan substrat dasar. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa untuk pengembangan wisata selam dan snorkeling diperoleh luas ruang dengan 3 (tiga) kelas kesesuaian
106
meliputi kelas sesuai seluas 262,83 hektar,
sesuai bersyarat seluas 93,11
hektar dan tidak sesuai seluas 42,71 hektar. Ruang dengan kategori sesuai bersyarat dialokasikan untuk zona rehabilitasi disebabkan karena kerusakan karang akibat aktivitas pemanfaatan areal dengan menggunakan bom, sehingga tutupan karang menjadi relatif kecil (<30%). Dari enam parameter kesesuaian, hanya 2 parameter ekologi yang memenuhi persyaratan kesesuaian yakni kecerahan dan kedalaman air, sementara tutupan terumbu karang, genus karang dan jenis life form kurang memenuhi persyaratan. Kategori sesuai bersyarat dapat ditingkatkan kelasnya menjadi sesuai jika dilakukan upaya rehabilitasi sehingga dapat dinaikkan levelnya menjadi sesuai bagi peruntukan wisata selam dan snorkeling.
Gambar 29. Kesesuaian Wisata Selam di KKLD G.Sulat-G.Lawang
107
Lokasi yang sesuai untuk kegiatan selam adalah di utara dan timur G.Lawang dan di utara dan barat G.Sulat dengan kondisi karang masih baik yaitu tutupan karang hidup sekitar 70%, namun lokasi ini direkomendasikan untuk wisata selam khusus karena arus pada stasiun tersebut cukup kuat sehingga tidak seluruh penyelam memiliki minat untuk melakukan penyelaman pada kondisi alam yang demikian. Kondisi ini sesuai apa yang dikemukakan oleh Davis and Tisdell (1995), bahwa salah satu alasan turis untuk melakukan kegiatan wisata selam adalah ketertarikan akan keunikan di bawah laut secara khusus seperti formasi geologi dan kehidupan bawah laut. Terdapat delapan stasiun pengamatan di G.Sulat yang dianalisis kesesuaiannya sebagai lokasi wisata selam. Empat stasiun dengan status sesuai, empat stasiun dengan status sesuai bersyarat. Stasiun dengan status sesuai didominasi oleh kealamiahan terumbu karang, tutupan karang serta kualitas perairan. Kecerahan perairan sangat mendukung untuk kegiatan selam, yaitu mencapai 100%. Jenis ikan yang ditemukan di sekitar terumbu karang terdiri ikan indikator seperti famili Chaetodontidae, jenis ikan target seperti dari famili Siganidae, dan jenis ikan mayor seperti dari famili Pomacentridae. Kecepatan arus 13 - 40 cm/det. Kedalaman perairan pada lokasi berkisar antara 5-20 m walaupun ada beberapa lokasi yang memiliki kedalaman lebih dari 20 m berdasarkan peta bathimetri yang ada. Kondisi perairan yang demikian sangat sesuai untuk pengembangan wisata bahari. Disamping kecerahan perairan, kecepatan arus juga sangat menentukan kegiatan wisata selam maupun untuk ekologi terumbu karang. Menurut Jokiel dan Morrissey (1993), pergerakan arus mempengaruhi struktur komunitas dan distribusi jenis karang suatu daerah. Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di daerah yang terbuka persentase tutupan karang relatif rendah. Arus yang kuat berkorelasi dengan meningkatnya perpindahan pecahan-pecahan karang yang dapat mengganggu proses pemulihan karang. Selain itu kecepatan arus merupakan faktor yang berhubungan dengan keselamatan penyelam. Salah satu indikator kesehatan suatu perairan adalah keberadaan terumbu karang dengan persentase tutupan karang relatif tinggi. Kategori untuk mengukur persentase penutupan karang yang sering digunakan adalah mengacu pada konsep Gomes dan Yap (1998) dengan kategori 0 – 24,9 % maka tergolong buruk, 25 – 49,9 % adalah sedang, 50 – 74,9 % adalah baik, dan 75 – 100 % adalah baik sekali.
108
Parameter yang terkait dengan obyek terumbu karang memiliki bobot tertinggi karena faktor-faktor tersebut merupakan daya tarik utama kegiatan wisata selam, sementara persyaratan lainnya berperan dalam menunjang kesehatan ekosistem terumbu karang. Hasil kesesuaian wisata selam sangat berguna untuk menentukan destinasi penyelaman, sehingga para pemandu wisata dan wisatawan dapat melakukan perencanaan berwisata secara tepat. 5.3.4. Kesesuaian Lahan untuk Wisata Mangrove Jenis obyek wisata yang dimanfaatkan dalam kegiatan wisata mangrove yakni vegetasi mangrove, satwa (burung) dan biota menarik lainnya.
Gambar 30. Kesesuaian Wisata Mangrove di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang
109
Kondisi mangrove disebagian besar stasiun pengamatan menunjukkan kategori sesuai untuk pengembangan wisata mangrove, kecuali stasiun luar Gili IV, stasiun Panaean dan stasiun Tanjak Mukur termasuk kategori sesuai bersyarat karena kondisi mangrove yang mengalami tekanan terutama di bagian utara sisi luar pulau akibat aktivitas penebangan mangrove karena letak areal yang sulit dikontrol, berbeda dengan kondisi mangrove di sebelah selatan pulau masih baik karena dalam pengawasan masyarakat. Hasil analsis kesesuaian untuk wisata mangrove diperoleh ruang dengan 3 (tiga) kategori kesesuaian yaitu kelas sesuai seluas 966,85 hektar, kelas sesuai bersyarat 54,20 hektar dan tidak sesuai seluas 101,74 hektar. Hasil analisis kesesuaian untuk pengembangan wisata mangrove seperti pada Gambar 30. Hasil pengamatan lapangan menggambarkan bahwa mangrove di stasiun Landi dan stasiun Pegatan 1 memiliki nilai atau potensi paling besar dibanding stasiun lainnya, karena kondisi mangrove dengan kerapatan yang paling tinggi dan ditunjang oleh keberadaan infrastruktur penunjang wisata mangrove berupa jembatan kayu sepanjang 350 meter (dibangun oleh JICA) yang dijadikan sebagai wahana kegiatan tracking di G.Sulat. Akibat pengelolaan yang kurang baik, kondisi jembatan saat ini dalam kondisi rusak. 5.4. Analisis Daya Dukung Lingkungan Daya dukung Lingkungan dalam penelitian ini merupakan jumlah maksimum aktivitas yang dapat ditolelir oleh kawasan dalam waktu tertentu tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya alam. Mengingat G.Sulat-G.Lawang merupakan kawasan konservasi, setiap aktivitas yang dilakukan tidak bersifat mass activity, ruang pemanfaatan terbatas, sehingga penentuan daya dukung kawasan harus mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Konsep inilah yang digunakan dalam menghitung daya dukung kawasan G.Sulat-G.Lawang. Dasar kajian pemanfaatan ruang menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan perikanan dan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10% dari luas zona pemanfaatan. Luas zona pemanfaatan terbatas menggunakan hasil analisis kesesuaian kawasan untuk berbagai pemanfaatan. Beberapa nilai yang dipakai dalam kajian DDK ini disesuaikan dengan kondisi dan persepsi masyarakat serta pelaku wisata di
110
lokasi
penelitian
seperti
jumlah
masyarakat
yang
beraktivitas,
luasan
pengembangan perikanan karang serta rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam dan mangrove. 5.4.1. Daya Dukung Lahan untuk Perikanan Karang Daya dukung terumbu karang adalah kemampuan alami terumbu karang untuk mendukung kehidupan organisme, yaitu berdasarkan nilai biomasa baik tumbuhan maupun hewan dari tingkat terendah (produsen) sampai pada tingkat tertinggi (karnivora) pada satuan luas terumbu karang. Keberadaan ekosistem terumbu karang dapat menunjang berbagai kehidupan komponen organisme, salah satunya adalah komunitas ikan karang yang merupakan organisme target tangkapan nelayan. Penurunan prosentase tutupan karang menyebabkan berkurangnya keanekaragaman ikan karang, baik di area tertutup maupun area terbuka bagi penangkapan ikan. Dengan demikian meningkatnya persentase tutupan
karang
yang
sehat
menjamin
keberadaan
dan
mendukung
keanekaragaman ikan karang. Potensi ikan terumbu karang dapat mencapai 10-30 ton/km²/tahun (Yulianda et al. 2009). Dengan kondisi tutupan karang yang mencapai rata-rata 70 % dengan luas kesesuaian untuk perikanan karang seluas 108 hektar atau 1,08 km², berdasarkan dugaan tersebut, maka ikan karang yang dapat diperoleh berdasarkan daya dukung karang (0,7 x 108 ha = 75,6 hektar) atau 0,756 km² adalah sebesar 15.120 kg/tahun. Apabila nelayan dalam satu bulan menangkap ikan selama 14 hari, maka rata-rata ikan yang boleh ditangkap adalah 90 kg/hari. 5.4.2. Daya Dukung Lahan untuk Ekowisata Bahari Daya dukung ekologi dalam penelitian ini merupakan jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditolelir oleh kawasan untuk waktu tertentu tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya wisata. G.Sulat-G.Lawang merupakan kawasan konservasi, maka kegiatan wisata tidak bersifat mass tourism, ruang pengunjung sangat terbatas sehingga penentuan daya dukung kawasan mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Hasil analisis menunjukkan luasan yang sesuai untuk wisata selam adalah 262,83 ha. Namun dialokasikan untuk zona inti seluas 158,83 ha, maka kawasan yang bisa dilakukan untuk pengembangan wisata selam seluas 108 ha. Jika mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan ekowisata di
111
zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10% dari luas zona pemanfaatan, sehingga luas yang dapat dimanfaatkan untuk wisata selam adalah 10,8 hektar. Yulianda (2007) mengemukakan bahwa wisata selam harus mempertimbangkan kondisi komunitas karang, karena persen tutupan karang menggambarkan kondisi dan daya dukung karang. Jika kondisi komunitas karang memiliki tutupan karang 70%, maka luas areal selam yang dapat dimanfaatkan adalah 70 % dari luas hamparan karang. Dengan demikian daya dukung karang untuk wisata selam di G.Sulat-G.Lawang sebesar (0,70 x 10,8 ha =7,5 hektar), sehingga jumlah kunjungan wisatawan penyelam yang dapat ditolerir berdasarkan perhitungan pendekatan daya dukung kawasan adalah 150 orang / hari. Untuk wisata snorkeling, lahan yang sesuai untuk pengembangannya seluas 93,11 (di zona rehabilitasi). Dengan tutupan karang 30%, maka luas areal snorkeling diterumbu karang yang dapat dimanfaatkan adalah seluas 3 ha, sehingga jumlah kunjungan yang dapat didukung oleh terumbu karang sejumlah 120 orang/hari. Sedangkan wisata mangrove, hasil analisis menunjukkan bahwa luas yang sesuai adalah 966,85 ha. Jika mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 1994, maka areal mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk wisata 96,68 ha. Untuk memudahkan kegiatan wisata mangrove dibutuhkan sarana walkboad didalam kawasan berupa jembatan kayu sehingga wisatawan dapat menikmati keindahan ekosistem mangrove di kedua pulau dengan panjang masing-masing di G.Lawang 9,283 km dan di G.Sulat 13,765 km, maka jumlah kunjungan yang dapat ditolerir sejumlah 230 orang/hari dengan perhitungan setiap 1 orang membutuhkan 100 m sarana walkboad. Beberapa nilai yang dipakai dalam kajian DDK
disesuaikan dengan
kondisi dan persepsi pelaku wisata di lokasi penelitian, misalnya rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam, snorkeling dan mangrove. Tabel 20. Nilai Daya Dukung Ekowisata di KKLD G. Sulat-G.Lawang No
Jenis Kategori Ekowisata Bahari
Nilai DDK (orang/hari)
Pemanfaatan saat ini (org/hari)
1
Selam
150
10 - 20
Dibawah daya dukung
2
Snorkeling
120
10-20
Dibawah daya dukung
3 Mangrove 230 1-17 Sumber : Data Primer Setelah Diolah 2010.
Keterangan
Dibawah daya dukung
112
Berdasarkan kondisi pemanfaatan saat ini, kegiatan wisata bahari di saat peak season masih berada di bawah daya dukung ekologi yaitu rata-rata jumlah pengunjung 17 orang per hari sehingga masih dapat ditingkatkan kuantitasnya. Davis and Tisdell (1996) menyatakan daya dukung kegiatan wisata selam masih dapat ditingkatkan tergantung dari pengetahuan penyelam dalam berinteraksi dengan terumbu karang. Makin tinggi pengetahuan dan pengalaman menyelam seorang diver semakin rendah tingkat kerusakan terumbu karang dan jika diikuti dengan pengelolaan yang baik dapat meningkatkan daya dukung wisata selam. Zakai and Chadwick-Furman (2002) merekomendasikan upaya pengelolaan wisata selam dalam meminimalisasi kerusakan terumbu karang antara lain : (1) pembatasan jumlah penyelam per lokasi per tahun, (2) diperlukan guide untuk seluruh penyelaman, (3) transfer keterampilan bagi penyelam pemula mulai dari kawasan terumbu karang yang rentan kerusakan sampai kawasan berpasir, (4) mengalihkan tekanan penyelaman dari kawasan terumbu karang alami ke terumbu karang buatan, dan (5) pengembangan pendidikan lingkungan bagi penyelam melalui kursus keterampilan mengenai tatacara dan perintah yang dilakukan bersama selama melakukan kegiatan di bawah air.
5.5. Analisis Pemanfaatan 5.5.1. Analisis Ekonomi Perikanan Karang Pemanfaatan
perikanan
karang
dianalisis
dengan
menghitung
pendapatan dan pengeluaran dalam kegiatan perikanan karang. Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan karang selama satu tahun yaitu dari bulan Januari sampai Desember 2009. Biaya penangkapan terdiri dari biaya operasional dan biaya tetap. Biaya operasional (variable cost) adalah biaya yang dikeluarkan nelayan berhubungan langsung dengan hasil tangkapan, dimana besar kecilnya biaya operasional mempengaruhi besar kecilnya hasil tangkap, terdiri dari biaya bensin/solar, minyak tanah, spirtus, oli, tenaga kerja, dan umpan pancing. Biaya Tetap (Fixed Cost) merupakan biaya yang tidak mempengaruhi hasil tangkap atau dengan kata lain tinggi rendahnya biaya tetap tidak berdampak pada hasil tangkap yang diperoleh. Komponen biaya tetap berupa biaya penyusutan alat.
113
Dalam proses penangkapan terjadi fluktuasi biaya tangkap. Penurunan paling rendah terjadi bulan Agustus dan September, sedangkan tertinggi bulan April. Perbedaan biaya penangkapan per bulan tergantung dari trip dan daerah penangkapan. Data menunjukkan biaya penangkapan berkorelasi dengan meningkatnya
trip
penangkapan.
Rata-rata
biaya
tangkap
Rp
781.000/bulan/nelayan. Komponen tertinggi pada biaya bahan bakar 57%-80%. Jenis ikan karang yang ditangkap di G.Sulat-G.Lawang antara lain kerapu dan beberapa jenis ikan karang lainnya, menggunakan alat tangkap pancing dan bubu. Jumlah trip penangkapan rata-rata 20 trip/bulan. Rata-rata hasil tangkap 10-15 kg/trip, dengan demikian hasil tangkap nelayan 250 kg/orang/bulan. Apabila harga rata-rata ikan karang Rp. 10.000/kg, maka nilai hasil tangkap nelayan Rp 2.500.000/bulan, dimana biaya tangkap Rp 781.000/bulan, maka pendapatan bersih yang diterima nelayan sebesar Rp 1.719.000/orang/bulan. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, jumlah nelayan yang melakukan tangkapan ikan karang di G.Sulat-G.Lawang adalah 116 orang. Apabila rata-rata hasil tangkap nelayan per orang dalam 1 trip adalah 12,5 kg, maka jumlah ikan yang ditangkap setiap hari sebesar 1.450 kg/hari diseluruh areal terumbu karang G.Sulat-G.Lawang (359,9 ha). Dengan demikian penangkapan ikan karang di kawasan G.SulatG.Lawang telah melampaui ambang batas, mengingat ikan karang yang boleh ditangkap sebesar 90 kg per hari pada areal terumbu karang seluas 108 hektar. Kondisi ini memerlukan penanganan yang serius, mengingat kawasan G.SulatG.Lawang merupakan kawasan konservasi. Jumlah nelayan yang sering melakukan aktivitas di kawasan G.Sulat-G. Lawang berasal dari dusun sekitar dan luar kawasan, seperti Desa Labu Pandan (80 orang), Pulur/Dadap (30 orang), Sugian (30 orang), Tekalok (100 orang), dan Dusun Kokok Pedik/Penjalin (50 orang). Total nelayan 290 orang. Sedangkan nelayan pemanah dari luar desa belum dapat diidentifikasi oleh peneliti. 174 orang (60%) nelayan melakukan aktivitas penangkapan menggunakan jaring dan pancing di daerah yang lebih jauh dengan menangkap jenis ikan seperti ikan cakalang, ekor kuning, kembung, ikan tenggiri dan lain-lain. Hasil tangkapan pada musim gelap bervariasi sekitar 12.000-15.000 kg/bulan gelap. Perikanan tradisional ini perlu dikembangkan menjadi perikanan (nelayan modern) dengan menggunakan alat tangkap yang lebih lengkap dan kapal yang lebih besar sehingga jangkauan wilayah penangkapan lebih luas.
114
5.5.2. Analisis Nilai Manfaat Sumberdaya 5.5.2.1. Terumbu Karang Luas terumbu karang di KKLD G.Sulat-G.Lawang adalah 359,945 ha. Pertumbuhan karang dengan persentase tutupan karang hidup sangat bervariasi, berkisar antara 5 - 90 %. Genus karang
yang ditemukan adalah Acropora,
Stylophora, Montipora, Astreopora, Herpolitha, Sandalolitha, Fungia, Leptoseris, Pavona, Pachyseries, Pseudosiderastrea, Turbinaria, Physogyra, Plerogyra, Cyphastrea, Diploastrea, Echinopora, Favia, Favites, Goniastrea, Montastrea, Oulophyllia, Platygyra, Ctenactis, Fungia, Heliofungia, Podabacia, Seriatopora, Psammacora, Hydnophora, Lobophyllia, Mussa, Symphyllia, Galaxea, Pectinia, Stylophora, Goniopora, dan Porites. Nilai Manfaat Langsung (DUV) Manfaat langsung terumbu karang G.Sulat-G.Lawang meliputi : (1) pemanfaatan untuk perikanan tangkap, (2) pemanfaatan untuk pariwisata, dan (3) pemanfaatan untuk pendidikan dan penelitian. Kuantifikasi nilai pemanfaatan perikanan tangkap batuan karang menggunakan metode harga pasar dari hasil tangkapan ikan (market price), sedangkan kuantifikasi nilai pariwisata dan penelitian/pendidikan menggunakan metode pasar pengganti dengan menilai dari suatu perbaikan kualitas lingkungan (surrogate market price). Produksi perikanan tangkap Kabupaten Lombok Timur sebesar 13.576 ton per tahun pada tahun 2009 . Sedangkan di Kecamatan Sambelia dan sekitar nya 576 ton. Jenis hasil tangkap adalah ikan target dari famili Lutjanidae (kakap), Lethrinidae, Scaridae (kaka tua), Labridae, Serranidae (kerapu) Acanthuridae dan Siganidae (Husni, dkk, 2010). Harga rata-rata ikan pelagis
di G.Sulat-
G.Lawang Rp 10.000/kg, sedangkan ikan demersal Rp 15.000/kg. Dengan demikian harga ikan selama setahun mencapai Rp. 7.200.000.000. Jenis alat tangkap yang digunakan adalah pancing, jala, bubu, dan bagang. Biaya pembuatan 1 unit alat tangkap berbeda-beda, hasil perhitungan biaya alat tangkap Rp 1.278.200.000/tahun. Dengan demikian manfaat terumbu karang untuk perikanan tangkap sebesar Rp 7.200.000.000 – Rp 1.378.200.000 = Rp. 5.821.800.000 / tahun. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga baik institusi pemerintah, LSM maupun lembaga lainnya menunjukkan bahwa rata-
115
rata biaya yang dikeluarkan oleh peneliti dalam setahun sebesar Rp. 565.000.000 dengan lama tinggal 3 hari. Kegiatan pariwisata, rata-rata jumlah kunjungan 17 orang/hari atau 782 orang/tahun dengan jumlah anggaran yang dibelanjakan dilokasi penelitian sebesar Rp 110.000 per orang per hari , sehingga total pengeluaran wisatawan di lokasi penelitian adalah Rp. 86.020.000/tahun. Dengan demikian nilai manfaat langsung (DUV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang Rp. 6.472.820.000/tahun. Nilai Manfaat Tidak Langsung (IUV) Manfaat tidak langsung dari terumbu karang adalah sebagai pelindung pantai. Kuantifikasi nilai fungsi pelindung pantai menggunakan metode biaya pengganti untuk membangun bangunan perlindungan pantai (replacement cost). Biaya membangun penahan gelombang dengan ukuran 1 m3 menurut Aprilwati (2001) dalam Rasman (2010) sebesar Rp 4.462.013,81. Dari hasil GIS diketahui panjang/ luas terumbu karang G.Sulat-G.Lawang 359,945 ha, maka nilai fungsi terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebagai pelindung pantai Rp 1.606.424.872,65. Dengan demikian nilai manfaat tidak langsung (IUV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp 1.606.424.872,65/tahun. Nilai Pilihan (OV) Nilai pilihan adalah nilai dari keanekaragaman hayati ekosistem atau sumberdaya yang ada. Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer keuntungan dari nilai keanekaragaman terumbu karang (benefit transfer). Nilai keanekaraman (biodiversity) terumbu karang per km2 per tahun (Cesar et al. 2000) sebesar US $ 10.000 atau US $ 100 per hektar setara dengan Rp 950.000 per hektar (asumsi 1 $ =Rp 9.500). Dengan luas terumbu karang G.Sulat-G.Lawang 359,945 ha, maka nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) terumbu karang sebesar Rp 341.947.750 dengan demikian nilai pilihan (OV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang adalah Rp 341.947.750 /tahun. Nilai Pewarisan (BV) Nilai pewarisan adalah nilai kompensasi untuk menjaga atau melestarikan terumbu karang melalui program dan kegiatan perlindungan dan pengawetan. Kualifikasi nilai ini menggunakan metode biaya kompensasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan wilayah terumbu
116
karang G.Sulat-G.Lawang (Compensation cost). Biaya kegiatan selama 5 tahun yang dilaksanakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Lombok Timur untuk melakukan rehabilitasi terumbu karang dalam bentuk terumbu buatan di kawasan G.Sulat-G.Lawang merupakan nilai kompensasi tersebut. Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, bahwa nilai terumbu buatan sebesar Rp 15.000.000/ha. Apabila luas Terumbu karang 359,945 ha, maka nilai pewarisan terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp 1.067.835.000/tahun. Nilai Eksistensi (EV) Nilai eksistensi adalah nilai persepsi akan keberadaan (existence) dari terumbu karang G.Sulat-G.Lawang, terlepas dari apakah terumbu karang tersebut dimanfaatkan atau tidak. Dari hasil wawancara dengan responden, diperoleh nilai total kesediaaan menerima (WTA) berdasarkan nilai median dari responden sebesar Rp 40.000.000. Dengan mengalikan nilai WTA individu engan jumlah populasi G.Sulat-G.Lawang 16. 314 jiwa, maka nilai eksistensi (EV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang Rp 652.560.000.000/tahun Berdasarkan perhitungan total penilaian diatas, maka Total Nilai Manfaat terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp. 665.198.546.372 /tahun. Secara rinci nilai-nilai terumbu karang dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 21. Total Nilai Manfaat Terumbu Karang G.Sulat-G.Lawang No
1
Sumberdaya Terumbu Karang
Direct Use Value
2
Indirect Value
3
Option Value
4
Bequest Value
5
Existence Value
Fungsi dan Manfaat
Perikanan Tangkap Pariwisata Penelitian/ Pendidikan Perlindungan Pantai Keanekaragaman Hayati DKP
Persepsi stakeholder (resp) Total Nilai Maanfaat Terumbu Karang Sumber ; Data Primer 2010, diolah.
Metode
Market Price Surrogate Market Price Surrogate Market Price Replacement Cost Benefit Transfer Compnensation cost WTA
Nilai Manfaat Bersih (Rp/tahun)
5.821.800.000 86.020.000 565.000.000 1.606.424.872 341.947.750 1.067.835.000
652.560.000.000 662.049.027.622
117
5.5.2.1. Mangrove Berdasarkan hasil SIG, diperoleh luasan mangrove di KKLD G.SulatG.Lawang seluas 1.010,65 ha. Laporan hasil identifikasi Departemen Kehutanan (2005), Gili Sulat-Gili Sulat ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan SK Menhut No.416/KPTS-II/1999. Hampir keseluruhan G.Sulat-G.Lawang ditumbuhi oleh vegetasi mangrove didominasi oleh jenis Rhysophora mucronata, Sonneratia alba dan Bruiguiera gymnoriza. dengan kerapatan rendah-sedang, diameter batang sangat besar berkisar antara 60 – 300 cm dan 90-300 cm, tipe substrat berpasir dan pecahan karang. Kerapatan antara 0.10 – 0.18/100 m2 (1000-1800 pohon/ha). Dengan tingkat kerapatan tersebut maka komunitas mangrove di kawasan ini termasuk kriteria baik dan sangat padat. Merujuk Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan mangrove, dimana kerapatan (pohon/ha) kriteria sangat padat (> 1500 ), baik/sedang (> 1000 - < 1500) dan rusak/jarang ( < 1000). Kerapatan jenis tertinggi adalah Rhizpphora mucronata 600 pohon/ha, memiliki Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi. Estimasi kerapatan kanopi berkisar antara 80 – 100 %. Kondisi ini masuk kriteria tidak mengalami kerusakan. Mengacu pada aturan Penetapan kriteria kawasan mangrove yang rusak menurut Dit.Jend. RLPS, Departemen Kehutanan dalam buku Kriteria dan standar teknis Rehabilitasi Wilayah Pantai, dapat ditunjukkan dari kerapatan kanopi. Estimasi kerapatan kanopi < 50 % (rusak berat), kerapatan kanopi 50 – 70 % (rusak sedang), dan kerapatan kanopinya > 70 – 100 % (tidak rusak). Nilai Manfaat Langsung (DUV) Manfaat langsung mangrove G.Sulat-G.Lawang meliputi : (1) pemanfaatan penangkapan biota, (2) pemanfaatan untuk kayu bakar, dan (3) pemanfaatan untuk pariwisata dan penelitian. Kuantifikasi nilai pemanfaatan biota mangrove menggunakan metode harga pasar dari hasil tangkapan moluska (market price), sedangkan kuantifikasi nilai pariwisata dan penelitian/pendidikan menggunakan metode pasar pengganti dengan menilai dari suatu perbaikan kualitas lingkungan (surrogate market price). Hasil perhitungan dan analisis, bahwa nilai manfaat untuk pemanfaatan mangrove sebagai tempat mengambil biota berupa udang, kepiting, kerangkerangan dan ikan lainnya sebesar Rp 6.687.000/tahun, sedangkan biaya yang
118
dikeluarkan untuk aktivitas penangkapan/pengambilan biota bawah tegakan mangrove sebesar Rp 1.335.000, dengan demikian nilai manfaat langsung yang dietrima dari aktivitas penangkapan di kawasan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah Rp 5.352.000/tahun. Pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar, data penelitian menunjukkan bahwa harga kayu bakar mangrove di G.Sulat-G.Lawang Rp 6.000/ikat (dalam 1 ikat kayu terdapat 25 ranting mangrove atau setara dengan 0,005 m3). Produksi kayu bakar pada saat masyarakat masih menebang mangrove diperkirakan sekitar 5 m3/bulan atau 1000 ikat. Dengan demikian nilai kayu mangrove untuk kayu bakar adalah Rp 72.000.000. Biaya yang dikeluarkan untuk pengambilan kayu sebulan 4 kali, setiap kali melakukan penebangan, biaya yang dikeluarkan Rp 200.000/bulan atau Rp 2.400.000/tahun. Dengan demikian manfaat mangrove G.Sulat-G.Lawang untuk kayu bakar Rp 69.600.000/tahun Kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga baik institusi pemerintah, LSM maupun lembaga lainnya menunjukkan bahwa ratarata biaya yang dikeluarkan oleh peneliti dalam setahun sebesar Rp. 250.000.000. Untuk kegiatan pariwisata, rata-rata jumlah kunjungan 20 orang/hari atau 920 orang/tahun dengan jumlah anggaran yang dibelanjakan dilokasi penelitian sebesar Rp 110.000 per orang, sehingga total pengeluaran wisatawan di lokasi penelitian adalah Rp. 101.200.000/tahun. Dengan demikian nilai manfaat langsung (DUV) mangrove G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp. 426.152.000 /tahun. Nilai Manfaat Tidak Langsung (IUV) Manfaat tidak langsung dari mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah : (1) sebagai penahan abrasi, dan (2) fungsi mangrove dalam mengurangi emisi dengan menyerap karbon/ melepaskan oksigen. Kuantifikasi nilai fungsi penahan abrasi dengan membangun penahan abrasi menggunakan metode biaya pengganti (replacement cost). Sedangkan nilai fungsi pengurangan emisi karbon menggunakan metode biaya pengganti kerusakan jika terjadi kehilangan fungsi tersebut (damage avoided cost). Biaya membangun penahan abrasi dengan ukuran 1 m3 menurut Aprilwati (2001) dalam Rasman (2010) sebesar Rp 4.462.013,81. Dari hasil GIS
119
diketahui panjang garis pantai yang terlindungi oleh mangrove sepanjang 9,783 km, dengan demikian nilai manfaat tidak langsung (IUV) mangrove
G.Sulat-
G.Lawang sebesar Rp 4.365.188.210/tahun. Jumlah karbon yang dapat disimpan hutan mangrove menurut Brown and Pear (1994) dalam Pearce and Moran (1994) adalah 36 – 220 ton/ha. Dengan nilai karbon perton menurut Frankhauser (1994) sebesar US$ 20 atau Rp. 190.000 (asusmsi % = Rp 9.500) dan asumsi rataan karbon yang dapat disimpan oleh hutan mangrove per hektar sebesar 128 ton (1/2 (220-36)), maka nilai karbon yang daapat disimpan oleh hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang seluas 1.010,65 ha adalah Rp 24.579.008.000/tahun. Dengan demikian nilai manfaat tidak langsung (IUV) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah 4.365.188.210 + Rp 24.579.008.000 = Rp 28.944.196.210 /tahun. Nilai Pilihan (OV) Nilai pilihan dari hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah nilai dari keanekaragaman hayati ekosistem atau sumberdaya yang ada. Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer keuntungan dari nilai keanekaragaman terumbu karang (benefit transfer). Nilai keanekaraman (biodiversity) mangrove per kilometer persegi per tahun menurut Ruitenbeek (1991) sebesar US $ 1.500 atau US $ 15 per hektar yang setara dengan Rp 142.500 per hektar (asumsi 1 $ =Rp 9.500). Dengan luas hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang 1.010,65 ha, maka nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) mangrove sebesar Rp 144.017.625, dengan demikian nilai pilihan (OV) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah Rp 144.017.625 /tahun. Nilai Pewarisan (BV) Nilai pewarisan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah nilai kompensasi untuk menjaga atau melestarikan mangrove melalui program dan kegiatan perlindungan dan pengawetan. Kualifikasi nilai ini menggunakan metode biaya kompensasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang (Compensation cost). Biaya kegiatan selama 5 tahun yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kab. Lombok Timur untuk melakukan rehabilitasi mangrove di kawasan G.Sulat-G.Lawang merupakan nilai kompensasi tersebut. Dari hasil wawancara dengan Dinas
120
Kehutanan Kabuapaten Lombok Timur, bahwa nilai mangrove sebesar Rp 5.000.000/ha. Apabila luas mangrove 1.010,65 ha, maka nilai pewarisan (BV) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp 1.010.650.000/tahun Nilai Eksistensi (EV) Nilai eksistensi (EV) adalah nilai persepsi akan keberadaan (existence) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang, terlepas dari apakah mangrove tersebut dimanfaatkan atau tidak. Dari hasil wawancara dengan responden, diperoleh nilai total kesediaaan menerima (WTA)
berdasarkan nilai median dari responden
sebesar Rp 25.000.000. Dengan mengalikan nilai WTA individu dengan jumlah populasi G.Sulat-G.Lawang 16. 314 jiwa, maka nilai eksistensi (EV) mangrove G.Sulat-G.Lawang Rp 407.850.000.000/tahun. Berdasarkan perhitungan total penilaian hutan mangrove diatas, maka Total Nilai Manfaat mangrove G.Sulat-G.Lawang
Rp. 443.065.156.045/tahun.
Secara rinci nilai-nilai mangrove dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 22. Total Nilai Manfaat Hutan Mangrove G.Sulat-G.Lawang No
Sumberdaya Terumbu Karang
1
Direct Use Value
2
Indirect Value
Fungsi dan Manfaat
Option Value
4
Bequest Value
5
Existence Value
Nilai Manfaat Bersih (Rp/tahun)
Pegambilan biota
Market Price
5.352.000
Pemanfaatan bakar Pariwisata
Market Price
69.600.000
kayu
Penelitian/ Pendidikan Penahan abrasi Penyerap karbon
3
Metode
Keanekaragaman Hayati Dishut
Persepsi stakeholder (resp) Total Nilai Manfaat Mangrove Sumber ; Data Primer 2010, diolah.
Surrogate Market Price Surrogate Market Price Replacement Cost Damage avoided cost Benefit Transfer Compnensation cost WTA
426.152.000 250.000.000 4.365.188.210 28.944.196.210 144.017.625 1.010.650.000 407.850.000.000 443.065.156.045
121
5.5.2. Analisis Sosial Kajian daya dukung sosial untuk pengembangan perikanan karang dalam penelitian ini adalah total tenaga kerja (orang) atau HOK/th yang dapat diserap secara aktual dari pengembangan perikanan karang yang dipengaruhi oleh jumlah jam kerja efektif per hari, kebutuhan tenaga kerja aktual per trip, jumlah trip per bulan atau per tahun. Diasumsikan bahwa ada jumlah maksimum tenaga kerja yang terserap dengan adanya kegiatan perikanan karang di kawasan konservasi, sehingga masyarakat nelayan merasakan manfaat ekonomi dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dalam pengelolaan kawasan konservasi, dimana salah satu peruntukan pemanfaatannya adalah pengembangan perikanan karang seluas 108 hektar akan menyerap tenaga kerja sejumlah 19.488 HOK per tahun. Dasar perhitungan ini adalah apabila dalam satu bulan, nelayan melakukan aktivitas melaut sejumlah 14 trip per orang. Sedangkan jumlah nelayan sekitar kawasan yang melakukan aktivitas di dalam kawasan sejumlah 116 orang nelayan. Hasil penelitian menunjukkan 88,3% (256 orang) nelayan beranggapan bahwa pengelolaan kawasan konservasi dengan penataan zonasi didalamnya akan berdampak positif pada masa yang akan datang, karena dengan sistem zonasi (adanya alokasi untuk zona inti) akan memberi ruang bagi tempat bertelurnya ikan, sehingga akan berdampak pada hasil tangkap yang lebih besar pada masa datang. Dengan semakin besarnya jumlah hasil tangkap akan berdampak pada semakin besarnya jumlah penyerapan tenaga kerja sehingga kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Sedangkan 11,7 % (34 orang) nelayan kurang setuju dengan penetapan zona inti dalam pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang. Mereka beranggapan bahwa dengan ditutupnya sebagian areal tangkapan selama ini berdampak pada berkurangnya hasil tangkap terutama nelayan pemanah, oleh karena itu tugas pemerintah daerah melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat sekitar kawasan konservasi, sehingga konflik antar nelayan maupun konflik nelayan dan pemerintah dapat diatasi. Kajian daya dukung sosial dalam pengembangan ekowisata di kawasan G.Sulat-G.Lawang dianalisis dengan memperhitungkan keberadaan tenaga kerja dan beban kerja. Penduduk yang dimaksud merupakan golongan usia produktif atau disebut sebagai tenaga kerja. Dengan demikian daya dukung sosial dalam
122
pengembangan ekowisata adalah junlah unit usaha dan tenaga kerja yang dapat terlibat dalam pemanfaatan kawasan konsevasi sebagak tujuan wisata. Dengan berkembangnya sektor pariwisata akan berpengaruh positif terhadap peluang dan lapangan kerja masyarakat lokal. Salah satu dampak positif pengembangan pariwisata adalah tidak hanya penyerapan tenaga kerja secara riel, namun dampak pendapatan turunan laiinya dapat dirasakan oleh masyarakat seperti usaha kerajinan, guide, dan sebagainya. Jumlah tenaga kerja dalam pengembangan ekowisata dipengaruhi oleh jumlah kunjungan wisatawan. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk 1 orang wisatawan adalah asumsi 3 orang yaitu untuk yang mendampingi pada saat menyelam, transportasi perahu ke lokasi dan sisanya berupa pemanfaatan jasa tenaga kerja di berbagai aktivitas. Sehingga apabila 1 orang wisatawan dapat memanfaatkan tenaga kerja sejumlah 3 HOK. Dengan kapasitas daya dukung seluas 381 orang wisatawan perhari, maka jumlah tenaga kerja yang dapat terserap sebesar 1.074 HOK dalam satu kali kunjungan. Sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap dalam setahun sebesar 49.404 HOK per tahun. Oleh karena itu alternatif pengembangan ekowisata dapat dijadikan sebagai sumber matapencaharian dan pendapatan secara langsung maupun sebagai sumber lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Daya dukung sosial juga dinilai pada tingkat penerimaan masyarakat lokal terhadap kunjungan wisatawan tanpa mengganggu kenyamanan mereka. Diasumsikan bahwa ada batasan maksimum jumlah wisatawan yang berkunjung
122 pengembangan ekowisata adalah junlah unit usaha dan tenaga kerja yang dapat terlibat dalam pemanfaatan kawasan konsevasi sebagak tujuan wisata. Dengan berkembangnya sektor pariwisata akan berpengaruh positif terhadap peluang dan lapangan kerja masyarakat lokal. Salah satu dampak positif pengembangan pariwisata adalah tidak hanya penyerapan tenaga kerja secara riel, namun dampak pendapatan turunan laiinya dapat dirasakan oleh masyarakat seperti usaha kerajinan, guide, dan sebagainya. Jumlah tenaga kerja dalam pengembangan ekowisata dipengaruhi oleh jumlah kunjungan wisatawan. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk 1 orang wisatawan adalah asumsi 3 orang yaitu untuk yang mendampingi pada saat menyelam, transportasi perahu ke lokasi dan sisanya berupa pemanfaatan jasa tenaga kerja di berbagai aktivitas. Sehingga apabila 1 orang wisatawan dapat memanfaatkan tenaga kerja sejumlah 3 HOK. Dengan kapasitas daya dukung seluas 381 orang wisatawan perhari, maka jumlah tenaga kerja yang dapat terserap sebesar 1.074 HOK dalam satu kali kunjungan. Sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap dalam setahun sebesar 49.404 HOK per tahun. Oleh karena itu alternatif pengembangan ekowisata dapat dijadikan sebagai sumber matapencaharian dan pendapatan secara langsung maupun sebagai sumber lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Daya dukung sosial juga dinilai pada tingkat penerimaan masyarakat lokal terhadap kunjungan wisatawan tanpa mengganggu kenyamanan mereka. Diasumsikan bahwa ada batasan maksimum jumlah wisatawan yang berkunjung ke
G.Sulat-G.Lawang,
sehingga
masyarakat
tidak
merasa
terganggu.
Saveriades (2000), bahwa ketidaknyamanan seseorang dapat membatasi penerimaannya ketika orang lain masuk untuk berinteraksi (Social Carrying Capacity), walaupun secara ekologi (Biological Carrying Capacity) masih tersedia relung untuk orang tersebut masuk berinteraksi. Hasil penelitian, bahwa 72 % responden memiliki persepsi perilaku masyarakat tidak mengalami perubahan dengan keberadaan wisatawan dan 18 % menyatakan masyarakat mengalami perubahan
perilaku
terutama
yang
terkait
dengan
materi
atau
ada
kecenderungan pergeseran nilai terutama cara berpakaian. 5.6. Optimasi Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang 5.6.1. Konsep Model Sistem dinamik dikembangkan untuk memformulasikan pemanfaatan ruang kawasan konservasi secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek
123 ekologi, ekonomi dan sosial yang disesuaikan dengan kondisi perairan G.SulatG.Lawang pada berbagai skala waktu dan intensitas berbagai pemanfaatan sehingga dapat diprediksi konsekuensi atau respon dari sistem akibat intervensi manusia, karena sistem dinamik dapat digunakan untuk pendugaan dan alokasi ruang pada batas maksimum dan minimum kapasitas perairan, resiko kerusakan atau degradasi lingkungan yang lebih luas. Pemanfaatan ruang KK G.SulatG.Lawang diarahkan untuk berbagai pemanfaatan seperti perikanan karang dan ekowisata. Hasil analisis pada sub bab sebelumnya menunjukkan luas KKLD G.Sulat-G.Lawang 3 166,92 ha terdiri dari zona inti 193,83 ha, zona pemanfaatan terbatas 143,33 ha dan zona lainnya 1 819,11 ha (zona rehabilitasi 93,11 ha dan perairan lainnya 1 726 ha). Berdasarkan kesesuaian lahan, zona pemanfaatan terbatas diarahkan untuk pengembangan wisata selam seluas 10,80 ha, wisata mangrove 23,04 ha, perikanan karang 97,20 ha, dan wisata snorkeling seluas 2,4 ha (di zona rehabilitasi). Penilaian kesesuaian pemanfaatan lahan untuk berbagai pemanfaatan didasarkan pada penilaian kriteria ekologis sedangkan optimasi pemanfaatan ruang kawasan menggunakan pendekatan dimensi ekologi, ekonomi dan sosial. Konsep yang dibangun adalah model dinamik yang terdiri dari 2 sub model yaitu : 5.6.1.1. Sub Model Perikanan Karang Merupakan sub model yang terdiri dari komponen daya dukung terumbu karang dan populasi ikan karang. Ikan karang merupakan input, sedangkan komponen lainnya adalah penerimaan bersih dari kegiatan perikanan karang yang menunjukkan hasil atau pendapatan total dari sub model perikanan karang (Gambar 31). 5.6.1.2. Sub Model Ekowisata Merupakan sub model yang mewakili ekologi dan pariwisata terdiri dari komponen yang menjadi input yaitu : daya dukung terumbu karang dan daya dukung mangrove sebagai yang berpengaruh terhadap jumlah wisatawan dalam sub model ekowisata (Gambar 32).
124 MODEL PERIKANAN KARANG Akumulasi Penerimaan Skenario
Lj pertumb ikan karang
Lj Pengurangan PK Harga Prod ikan karang
Pop Ikan Karang Pertambahan ikan karang
Pengurangan ikan karang
LUAS TRB KARAN Hsl Tangkap ikan krng
penerimaan ikan karang
Biaya Perikanan Karang
Biaya Tetap PK
Penyusutan alat perahu Lj tumbuh karang
LUAS TRB KARANG Pertambahan Tutupan Karang
Skenario
Biaya variabel PK
jaring dan pancing
Tambahan Penerimaan
Total Penerimaan Pendapatan Pendapatan Bersih Total Wisata PK Umpan pancing TK ikan karang BBM
Lj Degradasi karang
Pengurangan Luas tutupan karang
Terumbu Karang Luas Karang
Gambar 31. Struktur Sub Model Perikanan Karang
125 SUB MODEL EKOWISATA LUAS TRB KARAN Indirect Value
Luas Mangrove
Direct Value Karang
TEVKarang
Lj Pertumbuhan mangrove Mangrove LUAS MANGROVE
jumlh TK wisata
WTP Wisatawan
Total Pop Wismn Mangrove Pengurangan
Total Pop Wisman
Lj Peningkatan kunj wisatawan
Pop Wisman Mangrove
Upah Transport
Upah akomodasi
Upah Guide
Penerimaan Pendapatan Bersih ekowisata ekowisata Total SDWisata Direct Value Biaya Wisata Pajak Wisata Mangrove TEVMangrove Infrastr Total Pop Fee Konserv Promosi usaha wisata Indirect value Wisman terumbu Mangrove Pop Wisman Terumbu
Penambahan Luas Mangrove
Upah TK Wisata
Lj Pnerimaan Masy
Pendapatan Total Wisata Pendptan Masy Lokal
Penerimaan ekowisata Fraks Jlh Penddk Pop Wisman
Penambahan Wisatawan
Laju pertambahan
Lj Penebangan
Gambar 32. Struktur Sub Model Ekowisata
penambahan penduduk
Jumlh Penduduk
126 Langkah awal pengembangan model pengelolaan KK G.Sulat-G.Lawang adalah: (1) merumuskan model secara matematis; (2) memasukkan nilai-nilai parameter yang diperoleh pada analisis sebelumnya ke dalam model yang dibangun; dan (3) melakukan analisis model. Penyusunan dan analisis skenario optimasi pengelolaan kawasan konservasi didasarkan pada model dasar yang telah dibangun serta memilih skenario yang terbaik untuk diaplikasikan. Nilai-nilai atribut yang digunakan dalam menganalisis keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi yang paling optimal merupakan hasil kajian literatur, hasil analisis karakteristik sumberdaya, kesesuaian lahan dan analisis daya dukung kawasan. Kajian
yang
merupakan
fokus
penelitian
adalah
pengembangan
perikanan karang dan ekowisata dengan variabel : (a) luas lahan maksimun, (b) tingkat kunjungan berdasarkan kemampuan daya dukung lingkungan, (c) kemampuan penyerapan tenaga kerja, dan (d) peningkatan hasil (penerimaan) dari pemanfaatan lahan. Sedangkan nilai-nilai atribut yang digunakan untuk membangun dan menganalisis model pemanfaatan G.Sulat-G.Lawang dapat dilihat pada Lampiran 3. Nilai level (stock), variabel driving, auxiliary dan konstanta yang tercantum pada lampiran 3 dapat dijelaskan sebagai berikut : 5.6.2.1. Atribut Pada Sub Model Ekowisata Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam dimensi ekowisata yaitu sumberdaya karang. Nilai awal (initial) level diperoleh dari hasil analisis kesesuaian dan daya dukung terumbu karang 10,8 ha dan mangrove 23,04 ha. Laju pertumbuhan karang (0.03) dan degradasi terumbu karang (0.02) (Karnan, 2009).
Laju degradasi mangrove diperoleh dari data citra satelit (0,05). Fee
konservasi (0,04) diperoleh dari penerimaan per wisatawan. Peningkatan potensi sumberdaya alam sebagai faktor produksi utama di kawasan konservasi harus dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM, dimana pendidikan memegang peranan penting karena berkaitan dengan kemampuan masyarakat dalam eksploitasi sumberdaya termasuk kemampuan mempengaruhi pengembangan ekowisata. Kualitas SDM dan tingkat daya dukung lingkungan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata. Nilai awal (initial) penerimaan masyarakat dari kegiatan ekowisata diperkirakan Rp 186 600 000. Nilai ini diperoleh dari upah tenaga kerja wisata selama setahun dengan upah Rp 800 000 per bulan, penerimaan masyarakat dari hasil perikanan karang Rp 100 616 666,67 per bulan. Kontribusi usaha
127 wisata bagi penerimaan daerah berbentuk pajak usaha (0.75) yang dibayarkan per tahun diperoleh dari 25 % pembayaran biaya akomodasi per wisatawan. Harga produk yang diterima dari wisatawan adalah besarnya penerimaan usaha wisata sebelum dikurangi biaya infrastruktur dan promosi serta pajak usaha yang diperoleh dari kunjungan wisatawan selama menginap di lokasi yaitu rata-rata Rp 18 600 000. Dari total penerimaan per wisatawan 1.55% merupakan bagian dari upah tenaga kerja dan 3.45% penerimaan usaha turunan pendukung ekowisata. Tax 0,15 merupakan persentase pajak usaha yang diberlakukan pemerintah daerah terhadap seluruh usaha perhotelan dan restoran untuk satu orang per kunjungan di wilayah Kabupaten Lombok Timur, dimana 25 % dari penerimaan pajak dialokasikan untuk konservasi sumberdaya, sisanya (75 %) merupakan penerimaan daerah dari sektor pariwisata. 5.6.2.2. Atribut Pada Sub Model Perikanan Karang Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam dimensi perikanan karang yaitu hasil tangkap ikan karang. Nilai awal (initial) level diperoleh dari hasil analisis kesesuaian diperoleh daya dukung karang untuk perikanan (97,20 ha). Laju pertambahan produksi (0.10) dan laju pengurangan produksi (0,50). Peningkatan produksi perikanan karang di kawasan konservasi dibarengi dengan peningkatan perlindungan habitat berupa recovery karang dan pengaturan alat tangkap serta penguasaan teknologi memegang peranan sangat penting. Pengusaan teknologi tidak hanya berkaitan dengan kemampuan masyarakat dalam eksploitasi sumberdaya alam namun teknologi juga memegang peranan penting dalam meningkatkan pendapatan dari aktivitas nelayan. 5.6.3. Penyusunan Skenario Pemanfaatan Ruang Kawasan Konservasi Penyusunan skenario dalam model pengelolaan kawasan konservasi ditujukan untuk memilih alternatif rencana kebijakan yang memungkinkan ditempuh dalam menyelesaikan masalah yang dapat terjadi di kemudian hari berdasarkan kondisi saat ini. Prosedur operasional yang dapat dilakukan dalam penyusunan skenario pengelolaan melalui simulasi model yakni berdasarkan kondisi (nilai) aktual yang diperoleh dari analisis basis model pada setiap level (stok), dan nilai koefisien parameter yang dibangun pada setiap dimensi. Beberapa skenario yang dilakukan dalam sistem dinamik adalah :
128 Skenario 1. Model Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang kondisi Eksisting Skenario 2. Model Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang kondisi Optimum Skenario 3. Model Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang kondisi Maksimum Hasil simulasi dari beberapa skenario yang digunakan sebagai berikut : Skenario 1. Pemanfaatan Ruang G.Sulat - G.Lawang berdasarkan Kondisi Eksisting G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi, hampir 10% dari total penduduk menjadikan sumberdaya dalam kawasan sebagai mata pencaharian utama, namun cara memanfaatkan sumberdaya mengundang konflik baik antar nelayan dari dalam dan luar kawasan maupun nelayan dengan pemerintah. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur (2009), jumlah unit alat tangkap ikan di Kecamatan Sambelia adalah 238 unit. Dari jumlah alat tangkap tersebut, jumlah hasil tangkap terbesar dicapai oleh nelayan bagang. Selain menangkap ikan konsumsi, nelayan juga banyak menangkap ikan hias langka karena bernilai ekonomi cukup tinggi, sementara kegiatan pariwisata belum berkembang secara optimal sehingga belum mampu memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah dan masyarakat sekitar. Sampai saat ini pemanfaatan kawasan belum efektif, penangkapan ikan karang dilakukan di seluruh areal terumbu karang tanpa memperhatikan zona inti. Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas penagkapan ikan karang 116 orang nelayan, dengan jumlah hasil tangkap rata-rata 10 – 15 kg/hari. Berdasarkan hasil wawancara, penangkapan dilakukan 20 trip/bulan dengan rata-rata hasil tangkap 250 kg/bulan. Apabila harga hasil tangkap Rp 10.000/kg, maka pendapatan yang diterima nelayan Rp 2500.000/bulan, sedangkan pengeluaran untuk penangkapan Rp 781.000/bulan, maka penerimaan setiap nelayan Rp 1.719.000/bulan. Dilihat dari potensi perikanan di G.Sulat-G.Lawang sebesar 16.64 ton/tahun atau rata-rata 130 kg/ha/tahun, maka penangkapan ikan karang selama ini telah mengalami tangkap lebih. Kondisi ini merupakan persoalan yang sangat serius dan harus segera diatasi agar sumberdaya di kawasan konservasi dapat berkelanjutan. Mengingat luasan kawasan yang relatif kecil dengan rasio pemanfaatan yang relatif besar maka keberlanjutan sumberdaya terumbu karang mengalami ancaman kerusakan yang serius. Hal ini didukung oleh hasil kajian Karnan 2009, yang mengemukakan bahwa terjadinya kerusakan karang di perairan Lombok
129 Timur akibat pemanfaatan dengan cara tidak ramah lingkungan sehingga luasan dan tutupan karang mengalami pengurangan yang relatif besar yaitu sekitar 93,11 hektar terumbu karang telah mengalami kerusakan dengan kondisi tutupan karang di bawah 30%. Hasil simulasi kondisi saat ini sampai 20 tahun kedepan dapat dilihat pada grafik hasil simulasi berikut : 1: D D KAR AN G 1: 2: 3: 4: 5:
365 0 5e+011, 5550 1900
2: D D MAN G R O VE
3: D D EKO N O MI
4: D D S O S IA L
5 : P o p W is m a n
1 3 2
4
1 1: 2: 3: 4: 5:
3
315 0 2.5e+011 5350 1800
5
1 3
4
5 4
2
5
2 1: 2: 3: 4: 5:
265 0 0 5150 1700
2
4
3
2011.00
1
5
2015.75
2020.50 Y e a rs
Page 1
2025.25 2:52
2030.00 18 Jun 2011
Gambar 33. Kondisi Sumberdaya pada pengelolaan kondisi eksisting
Gambar diatas menunjukkan bahwa pola pemanfaatan saat ini (kondisi eksisting) dari dimensi ekologi menunjukkan 20 tahun kedepan kondisi terumbu karang
mengalami
penurunan
akibat
pemanfaatan
tak
terkendali
oleh
masyarakat walaupun secara ekonomi penerimaan masyarakat meningkat. Hal ini berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan konservasi dan dalam jangka panjang berdampak pada semakin menurunnya jumlah kunjungan wisatawan akibat nilai obyek wisata yang semakin menurun. Oleh karena dari dimensi ekologi terdapat 2 (dua) atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keefektifan pengelolaan kawasan konservasi yakni daya dukung mangrove dan daya dukung terumbu karang untuk kegiatan ekowisata. Kedua atribut ini terkait langsung dengan eksistensi kawasan konservasi, sehingga setiap perubahan luasan berdampak pada perikanan karang dan kualitas obyek wisata. Hasil analisis basis model pengelolaan kawasan konservasi menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terjadi penurunan luasan obyek ekowisata seiring dengan peningkatan kunjungan
wisatawan
dan
tingkat
eksploitasi
masyarakat
yang
tidak
mempertimbangkan kelestarian lingkungan sehingga diperlukan kebijakan untuk meningkatkan kualitas tutupan karang dengan program perbaikan habitat. Hasil analisis basis model dimensi ekonomi, menunjukkan trend peningkatan
kunjungan
wisatawan
menyebabkan
peningkatan
ekonomi
masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, namun peningkatan tersebut dalam
130 jangka panjang dapat menurunkan kualitas sumberdaya termasuk obyek ekowisata. Diversifikasi produk ekowisata juga sangat penting mengingat adanya potensi ekowisata alternatif (wisata pantai dan memancing) dan meningkatkan kesesuaian kawasan untuk kegiatan ekowisata bahari (wisata selam dan mangrove). Sedangkan tingkat penyerapan tenaga kerja terjadi pada kegiatan ekowisata karena semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan. Agar pengelolaan G.Sulat-G.Lawang semakin efektif, perlu pelibatan masyarakat lokal sebagai tenaga kerja dalam berbagai aktivitas yang akan dikembangkan seperti guide, transportasi, akomodasi dan usaha turunan lainnya untuk menghindari terjadinya konflik sosial dalam masyarakat.
PETA PEMANFAATAN SUMBERDAYA
S
Gambar 34. Pemanfatan Ruang KK G.Sulat-G.Lawang Pada Kondisi Eksisting
131 Selain untuk perikanan, G.Sulat-G.Lawang juga dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata dengan potensi pengembangan yang relatif besar ditunjang oleh keberadaan sumberdaya mangrove dan terumbu karang. Namun sampai saat ini jumlah kunjungan wisatawan rendah dan bersifat insidental dengan lama tinggal relatif pendek yaitu rata-rata 1–3 hari. Hasil survey menunjukkan pada bulan Juli–September jumlah kunjungan wisatawan rata-rata 17 orang per hari. Pengeluaran per wisatawan Rp. 110.000/hari dengan alokasi untuk akomodasi Rp 60.000 yang dialokasikan bagi pemilik home stay Rp. 54.000,-, kas Desa Sugian Rp. 3.600 dan Rp. 2.400 untuk kelompok yang melakukan konservasi. Sedangkan Rp 50.000 untuk konsumsi dan kebutuhan lainnya. Hasil wawancara dengan masyarakat, manfaat wisata saat ini belum dirasakan oleh masyarakat lokal karena jumlah serapan tenaga kerja untuk kegiatan wisata rendah, usaha turunan wisata belum berkembang, akibatnya masyarakat memiliki persepsi bahwa pariwisata kurang memberi manfaat secara ekonomi. Rendahnya kunjungan wisatawan disebabkan oleh kurangnya promosi dan dukungan infrastruktur penunjang wisata kurang memadai, seperti transportasi menuju lokasi, homestay, dan lain sebagainya. Tabel 23. Pemanfaatan Eksisting KK G.Sulat-G. Lawang No
Jenis Pemanfatan
1 Perikanan Karang 2 Wisata Selam 3 Wisata Snorkeling 3 Wisata Mangrove Total Nilai Produksi
Produksi /thn 194.880 kg 782 orang 920 orang 920 orang
Harga (Rp) 10.000 110.000 110.000 110.000
Nilai Prod (Rp)/th 1.948.800.000 86.020.000 101.200.000 101.200.000 2.237.220.000
Sumbet : Data Primer diolah, 2010
Dengan pola pemanfaatan eksisting, pendapatan masyarakat cenderung rendah, karena itu pemerintah perlu membuat kebijakan pemanfaatan kawasan konservasi yang ramah lingkungan dengan memberikan ruang pemanfatan bagi masyarakat seperti pengembangan perikanan karang secara ramah lingkungan dan pengembangan ekowisata dengan berbagai kategori mengingat potensi relatif besar. Dengan memanfaatkan jasa lingkungan disertai perencanaan dan manajemen yang baik, maka manfaat riel kawasan akan dirasakan masyarakat maupun pemerintah daerah, karena
akan mempegaruhi jumlah penyerapan
tenaga kerja, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
132 Skenario 2. Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang pada Kondisi Optimum Berdasarkan karakteristik ekologi perairan terkait dengan kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove, lamun dan kualitas perairan laut serta karakteristik
sosial
budaya
(ekonomi
masyarakat,
kegiatan
usaha
dan
kelembagaan) menunjukkan kawasan G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi besar untuk pengembangan kegiatan perikanan dan ekowisata. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan dan perhitungan daya dukung, luas pemanfaatan optimal yang dapat dialokasikan untuk berbagai kegiatan seperti pada Tabel 24. Tabel 24. Luas Pemanfaatan Optimal Kawasan G.Sulat-G.Lawang Kesesuaian Lahan kawasan konservasi laut Zona inti Zona Pemanfaatan Terbatas - Wisata selam - Wisata Snorkeling - Wisata Mangrove - Perikanan Karang Zona Lainnya - Zona Perlindungan - Zona Rehabilitasi - Perairan lain Total Sumber : hasil olah data primer, 2010
Luas Area (ha) 193,83
Persentase (%) 6,20
10,80 9,30 23,40 97,20
0,34 0,02 0,74 2,96
987,60 93,11 1.726 3.166,92
31,57 2,98 55,20 100,00
Hasil analisis terhadap basis model pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang dan simulasi kondisi sampai 20 tahun ke depan disajikan pada Gambar 35 berikut : 1: D D KAR AN G 1: 2: 3: 4: 5:
2 : D D M a n g ro v e
3: D D EKO N O MI
4: D D S O S IA L
5 : P o p W is m a n
29 200 500000 7500 3000 2
4
3
1 1: 2: 3: 4: 5:
1: 2: 3: 4: 5: Page 1
25 150 250000 5500 2000
21 100 0 3500 1000
1
5 1
2
2011.00
3
1
2
3
4
2
3
5
4 5
5
4
2015.75
2020.50 Y e a rs
2025.25 3:00
2030.00 18 J un 2011
Gambar 35 Kondisi Sumberdaya pada pengelolaan kondisi optimum
133 Hasil simulasi skenario 2 memperlihatkan implikasi skenario optimum dari terintegrasi tiga dimensi adalah daya dukung terumbu karang dan mangrove, upaya konservasi sumberdaya dan infrastruktur. Peningkatan kunjungan wisatawan terkait dengan penggunaan dana konservasi, peningkatan upah dan harga produk wisata, kenyamanan masyarakat dan perbaikan infrastruktur penunjang kegiatan ekowisata akan meningkatkan jumlah wisatawan sampai mencapai daya dukung. Secara umum, atribut yang berpengaruh dalam peningkatan
kunjungan
wisatawan
adalah
kenyamanan
berwisata
bagi
wisatawan dan sumber nafkah bagi masyarakat lokal. Selain itu, efektivitas penggunaan dana konservasi dapat meningkatkan luas kawasan obyek wisata secara langsung yang ditunjang oleh diversifikasi kegiatan ekowisata dan kualitas infrastruktur penunjang yang dimiliki.
Gambar 36. Pemanfatan Ruang KK G.Sulat-G.Lawang pada kondisi Optimum
134 Pemanfaatan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang untuk kegiatan perikanan karang dan ekowisata sangat penting dalam menentukan optimasi pemanfaatan kawasan. Pemanfaatan kawasan dengan beberapa dimensi diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu penentuan alokasi pemanfaatan kawasan harus didasarkan pada kesesuaian lahan, daya dukung lingkungan dan informasi ilmiah sebagai acuan dalam
memformulasi
kebijakan
pengelolaan
kawasan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan melalui koordinasi, kerjasama dan komitmen para pemangku kepentingan, menuju kearah penataan ruang kawasan yang optimal (Kooiman et al, 2005 dalam Adrianto 2006). 5.6.2.1. Optimasi Pemanfaatan Perikanan Karang Pengembangan perikanan karang didasarkan pada analisis kondisi terumbu karang dan karakteristik lingkungan perairan, dengan indikator yang dianalisis adalah persyaratan optimum pertumbuhan karang, hal ini akan memberikan gambaran bahwa lokasi tersebut potensial bagi pengembangan perikanan karang. Atas dasar itu pelestarian sumberdaya karang dalam bentuk konservasi terumbu karang sangat penting dilakukan. Alasan ini didukung oleh hasil penelitian Arifin, 2008 bahwa pada kondisi tidak ditetapkan kawasan konservasi laut, nilai produksi optimal sebesar 21.85 ribu ton, effort optimal 2809.29 trip dan rente optimalnya sebesar Rp. 74.28 milyar lebih rendah dibandingkan pada kondisi sebagai kawasan konservasi dengan berbagai luasan. Hal tersebut sejalan dengan laporan White (1996) yang menyatakan bahwa potensi keuntungan bersih per tahun per km2 dari terumbu karang dalam kondisi baik, yaitu produksi antara 10 – 30 ton dengan potensi keuntungan bersih per tahun sekitar US$ 12.000 – US$ 36.000. Alcala dan Russ 1990; Roberts 1995 menyatakan bahwa pembangunan kawasan konservasi laut dalam luasan kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti bagi produktivitas perikanan. Alcala (1988), bahwa produksi perikanan bervariasi antara 10.94 – 24 metrik ton (mt)/km2/tahun sebelum dibangun kawasan konservasi laut. White (1989) juga mengungkapkan bahwa hasil produksi sebesar 14-24 mt/km2/tahun sebelum KKL dibangun. Setelah ditetapkan kawasan konservasi laut, hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km2/tahun. Lebih lanjut White (1989), menyatakan bahwa kawasan
135 konservasi merupakan area recruitment bagi ikan-ikan karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan diluar kawasan. Selain alasan ekonomi diatas tujuan perlindungan terumbu karang adalah memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat tempat hidup, bertelur, dan memijah biota-biota laut dan memelihara fungsi ekonomis kawasan pesisir bagi masyarakat sekitar sehingga terjadi keberlanjutan dan produksi perikanan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan baik dari produksi perikanan maupun dari sektor pariwisata. Menurut Westmacott et al. 2000, kawasan konservasi memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan dengan cara melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak dan dapat menjadi sumber larva serta sebagai alat untuk membantu pemulihan, melindungi daerah yang bebas dari dampak manusia dan cocok sebagai substrat bagi penempelan karang dan pertumbuhan kembali dan memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang kelangsungan kebutuhan masyarakat sekitar yang bergantung padanya. Hasil penelitian Hutomo dan Suharti (1998), melaporkan bahwa terumbu karang dapat memberikan manfaat langsung berupa hasil laut sebanyak 25 ton/ha/tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka kawasan konservasi laut dapat meningkatkan hasil tangkap dan pendapatan nelayan. Bila diasumsikan jumlah tersebut konstan per tahun dengan harga rata-rata ikan di daerah studi sebesar Rp.10.000/kg, maka diperoleh manfaat terumbu karang di kawasan G.SulatG.Lawang bagi perikanan sebesar Rp. 250.000.000/ha/tahun. Bila ikan karang yang dapat diperoleh berdasarkan daya dukung karang 75,6 hektar atau 0,756 km² adalah sebesar 15.120 kg/tahun, dengan harga Rp 10.000/kg, maka penerimaan dari hasil tangkap sebesar Rp 151.200.000/tahun. 5.6.2.2. Optimasi Pemanfaatan Wisata Selam Wisata bahari adalah kegiatan rekreasi seperti berenang, berselancar, berjemur, menyelam, berdayung, snorkeling dan menikmati keindahan pesisir (Dahuri, 1993). Kegiatan wisata bahari yang dapat dilakukan di kawasan G.SulatG.Lawang adalah menyelam dan snorkeling. Daya tarik dari kegiatan ini adalah kondisi terumbu karang yang masih relatif baik dan keberadaan ikan karang dengan berbagai jenis pada stasiun-stasiun tertentu. Pada stasiun lainnya menunjukkan mulai terjadinya pemutihan karang. Luas lahan yang sesuai untuk
136 wisata selam sebesar 108 hektar, terdiri dari 54 hektar di perairan G.Lawang pada stasiun Batu Mandi I, Batu Mandi II dan Menanga Kapal. Sedangkan lokasi di perairan G.Sulat seluas 54 hektar pada stasiun Gili Luar I, Gili Luar II dan Gili Luar III. Pembobotan kesesuaian perairan untuk wisata selam dilakukan dengan mempertimbangkan faktor pembatas seperti
kecerahan perairan, kecepatan
arus, kedalaman perairan, dan tutupan karang hidup. Sebagai fungsi konservasi, G.Sulat-G.Lawang merupakan salah satu kawasan yang memiliki tingkat biodiversity tinggi. Di kawasan ini terdapat sekitar sepuluh titik lokasi tujuan wisata selam dan mangrove. Untuk pemanfaatan wisata selam dapat dilakukan pada beberapa spot dengan kategori sesuai bersyarat, hal ini berarti bahwa ada beberapa lokasi terumbu karang yang memerlukan
perlakuan tertentu terhadap
persyaratan kesesuaian
untuk
ditingkatkan levelnya pada kategori sesuai bagi kegiatan wisata selam. Parameter pembatas diberi pembobotan dan skor yang didasarkan pada tingkat kepentingan untuk kegiatan selam. Parameter kecerahan perairan dan kecepatan arus memiliki bobot tertinggi karena faktor kecerahan dan kecepatan arus sangat menentukan kesesuaian bagi kegiatan wisata selam maupun untuk pertumbuhan terumbu karang, sedangkan penutupan karang hidup merupakan daya tarik wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut. Perairan yang jernih mengundang rasa ingin tahu untuk melihat keindahan bawah laut, dan kecepatan arus merupakan faktor yang berhubungan dengan keselamatan penyelam. Kedalaman dasar laut, menempati bobot yang lebih kecil daripada lainnya, karena parameter kedalaman dapat teratasi oleh parameter lainnya. Kondisi terumbu karang di kawasan G.Sulat-G.Lawang digolongkan menjadi 3 kelas yaitu tidak baik, cukup baik dan baik sesuai dengan persen tutupan karang hidup pada masing-masing lokasi. Kecerahan perairan sangat mendukung yaitu hampir mencapai 100%. Adapun jenis ikan yang ditemukan di sekitar lokasi terumbu karang terdiri ikan indikator seperti famili Chaetodontidae, jenis ikan target seperti dari famili Siganidae, dan jenis ikan mayor seperti dari famili Pomacentridae. Arus pada lokasi ini juga bergerak dengan kecepatan 13 cm/det sampai 40 cm/det, dimana kisaran tersebut masih dapat ditoleransi untuk kegiatan wisata bahari. Kedalaman perairan berkisar antara 5-20 m walaupun ada beberapa lokasi yang memiliki kedalaman lebih dari 20 m berdasarkan peta batimetri yang ada.
137 Namun demikian ada juga lokasi dengan kondisi terumbu karang rusak akibat penambangan oleh penduduk seperti yang ada di stasiun Panaean, stasiun Mananga Todak, stasiun Kampar Bear, stasiun Pekaje, stasiun Luar Gili dan stasiun Pondok Jaya. Untuk mengembalikan kondisi terumbu karang pada stasiun tersebut maka diarahkan untuk zona rehabilitasi. Oleh karena itu pemerintah perlu menysun aturan pengelolan kawasan G.Sulat-G.Lawang dengan melibatkan masyarakat untuk berperan aktif dalam menjaga kelestarian sumberdaya dengan tidak melakukan pemboman ikan di daerah terumbu karang. Berdasarkan pengamatan dengan memperhatikan kondisi dan penilaian masing-masing parameter yang menentukan kesesuaian wisata selam dengan menggunakan skoring dan pembobotan, dihasilkan pengelompokan kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari sebagai berikut: a. Sesuai (S1) Wilayah yang termasuk kategori sesuai dicirikan dengan tidak ada faktor pembatas yang menghambat perlakuan yang diberikan. Berdasarkan hasil analisis, lokasi yang termasuk sesuai adalah stasiun Selang, Bantu Mandi I , Batu Mandi II, Menanga Kapal (perairan Gili Lawang) dengan persentase skor rata-rata 82,85. Begitupula dengan lokasi pada stasiun Pegatan II, Luar Gili I, Luar Gili II dan Luar Gili III (perairan G.Sulat) termasuk kategori sesuai dengan persentase skor 82,85. Seluruh parameter yang ada membuat wilayah ini sangat sesuai untuk pengembangan ekowisata bahari seperti tingkat kecerahan, penutupan karang hidup dan arus yang tidak kuat. Walaupun parameter kecepatan arus kurang sesuai, namun total nilai keseluruhan memberikan gambaran sesuai. Mengingat kondisi arus yang cukup kuat pada stasiun tesebu, maka jenis wisata yang direkomendasikan adalah wisata selam khusus. Parameter-parameter penilaian kelayakan wisata bahari, dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pengaruh manusia, dan (2) tidak dipengaruhi oleh manusia. Parameter yang bisa dipengaruhi oleh manusia, meliputi kecerahan perairan, dan persentase penutupan karang, sedangkan yang relatif sulit dipengaruhi oleh manusia seperti kedalaman perairan dan kecepatan arus. b. Sesuai Bersyarat (S2) Wilayah yang termasuk dalam kategori sesuai bersyarat mempunyai faktor pembatas yang agak serius untuk dijadikan kawasan wisata bahari
138 khususnya kegiatan menyelam. Hasil perhitungan menunjukkan pada lokasi stasiun Pondok Jaga, Luar Gili, Selang, Menanga Todak, Luar Gili IV, Pegatan I, Panaean dan Kampir Bear memperoleh persentase skor berkisar 69,72 sehingga semua lokasi tersebut termasuk kategori Sesuai Bersyarat (S2). Daerah yang termasuk dalam kategori sesuai bersyarat mempunyai faktor pembatas serius untuk pengembangan wisata selam, antara lain penutupan karang tidak memenuhi kriteria untuk kesesuaian wisata selam. c. Tidak Sesuai (N) Wilayah yang termasuk dalam kategori ini mempunyai faktor pembatas permanen,
semua
parameter
yang
ada
memiliki
keterbatasan
untuk
dikembangkan menjadi kawasan wisata selam. Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi stasiun Pegatan I termasuk kategori tidak sesuai untuk wisata selam. Kondisi ini dapat difahami karena keberadaan karang di stasiun ini sangat rendah, begitupula dengan tutupan dan jenis karang ada sangat rendah. 5.6.2.3. Optimasi Pemanfaatan Wisata Mangrove Wisata mangrove merupakan aktivitas yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di kawasan G.Sulat-G.Lawang. Dilihat dari parameter kesesuaian kawasan untuk pengembangan wisata seperti ketebalan mangrove yang mencapai > 300 per meter, kerapatan mangrove > 10 pohon per 100 meter persegi, jenis mangrove > 3 jenis, jenis biota di bawah tegakan berupa udang, kepiting, moluska serta keberadaan satwa dan reptil di dalam ekosistem mangrove. Disamping parameter ekologis, kesesuaian pengembangan wisata mangrove di G.Sulat-G.Lawang khususnya di stasiun Landi dan Kampir Bier juga didukung oleh keberadaan infrastruktur untuk kegiatan walkboad atau “trecking” dalam
kawasan
berupa
jembatan
kayu
sepanjang
350
meter.
Untuk
mengoptimalkan pemanfaatan wisata mangrove maka penambahan infrastruktur walkboad sepanjang 2.304 km mengelilingi kedua pulau sehingga total kawasan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk wisata 23,04 ha. Infrastruktur jembatan ini juga sekaligus sebagai sarana yang dapat dijadikan sebagai fasilitas bagi penyelam menuju lokasi penyelaman pada stasiun Selang dan Pegatan II. Dilihat dari luasnya, areal pengembangan wisata mangrove relatif kecil yaitu 3,36% dari luas mangrove (1010,65 ha), disebabkan karena status fungsi kawasan sebagai hutan lindung sebagaimana telah ditetapkan oleh Menteri
139 Kehutanan pada tahun 1994 (sebelum terbentuknya kawasan konservasi laut daerah). Untuk membangun fasilitas wisata dalam kawasan mangrove Pemerintah daerah perlu mengajukan ijin pemanfaatan kawasan kepada Menetri Kehutanan mngingat kawasan G.Sulat-G.Lawang merupakan hutan lindung. Agar pemanfaatan kawasan dapat berjalan efektif diperlukan kolborasi antar Dinas Kehutanan dan dinas Kelautan dan Perikanan yang di koordinasikan oleh Bupati Kabupaten Lombok Timur. Kewenangan dua sektor ini diharapkan dapat berjalan secara sinergi dalam satu manajemen. Walaupun kawasan mangrove di kedua pulau merupakan hutan lindung, namun pemanfaatan seluas 23,4 ha sebagai pengembangan wisata mangrove tidak dalam bentuk eksploitasi sumberdaya secara langsung namun dalam bentuk pemanfaatan jasa lingkungan, oleh karena itu diharapkan kedua sektor tersebut berjalan secara sinergis. Berdasarkan
hasil
pengamatan
dengan
memperhatikan
kondisi
dan
penilaian
parameter yang menentukan wisata mangrove menggunakan skoring dan pembobotan, dihasilkan pengelompokan kesesuaian lahan untuk wisata mangrove sebagai berikut : a. Sesuai (S1) Wilayah yang termasuk kategori sesuai dicirikan dengan tidak ada faktor pembatas yang menghambat perlakuan yang diberikan. Berdasarkan hasil analisis, lokasi yang termasuk sesuai adalah stasiun Selang, Bantu Mandi I , Batu Mandi II, Menanga Kapal (G.Lawang) dengan skor rata-rata 82,85. Begitupula dengan stasiun Pegatan II, Luar Gili I, Luar Gili II dan Luar Gili III (G.Sulat) termasuk kategori sesuai dengan skor 82,85. Seluruh parameter menunjukkan wilayah ini sangat sesuai untuk pengembangan ekowisata mangrove. Penilaian diberikan atas parameter yang mendukung seperti ketebalan mangrove, kerapatan, jenis biota, jenis mangrove, tinggi pasut dan jarak dari kawasan lainnya. b. Sesuai Bersyarat (S2) Areal dengan kategori sesuai bersyarat mempunyai faktor pembatas agak serius untuk pengembangan wisata selam. Hasil analisis menunjukkan pada stasiun Batu Mandi, Menanga Kapal, Luar Gili I, Luar Gili II, Luar Gili III dan stasiun Panaean, persentase skor berkisar 66,66% sehingga semua lokasi
140 tersebut termasuk kategori Sesuai Bersyarat (S2). Daerah yang termasuk dalam kategori
sesuai
bersyarat
mempunyai
faktor
pembatas
serius
untuk
pengembangan wisata managrove, antara lain penutupan basal dan kerapatan mangrove kurang memenuhi kriteria untuk kesesuaian wisata mangrove. c. Tidak Sesuai (N) Wilayah yang termasuk dalam kategori ini mempunyai faktor pembatas permanen, semua parameter memiliki keterbatasan untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata mangrove. Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi stasiun Batu Mandi I dan stasiun Luar Gili II termasuk kategori tidak sesuai untuk wisata mangrove karena keberadaan mangrove di stasiun ini hampir tidak ada berupa tanah rawa terbuka, begitupula jenis biota hampir tidak ada. Untuk menjaga keberlanjutan hutan mangrove maka pemanfaatan harus mempertimbangkan keragaman aktivitas yang mungkin menggunakan area yang sama atau dalam periode yang berbeda tanpa menyebabkan kerusakan pada sistem. Selain dengan melihat keragaman aktivitas, pengelolaan kawasan mangrove dapat dilakukan juga dengan membatasi penebangan dan melakukan rehabilitasi. Penanggulangan terhadap penurunan sumberdaya mangrove dilakukan
dengan
meningkatkan
kualitas
sumberdaya
manusia
berupa
penerapan silabus pendidikan lingkungan hidup dalam pendidikan formal dan melakukan penanaman mangrove pada area bekas penebangan. Pada tahun 2010 Pemda Kabupaten Lombok Timur (Dinas Kelautan dan Perikanan) melakukan upaya rehabilitasi seluas 150 ha sehingga diharapkan kedepan keberadaan ekosistem mangrove akan mengembalikan fungsinya secara alami. Hal ini menunjukkan bahwa adanya sinergitas antara dua kewenangan, walaupun kewenangan pengelolaan berada di bawah Departenmen Kehutanan, namun upaya rehabilitasi juga dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan. Tabel 25. Pemanfaatan Kawasan G.Sulat-G.Lawang pada kondisi optimum No
Jenis Pemanfatan
Produksi /thn 15.120 kg
Harga (Rp)
Nilai Prod (Rp)
1
Perikanan Karang
15.000
226.800.000
2
Wisata Selam
6.900 orang
300.000
2.070.000.000
2
Wisata Snorkeling
5.520 orang
200.000
1.104.000.000
3
Wisata Mangrove
10.580 orang
200.000
2.116.000.000
Total Nilai Produksi Sumber : Data Primer diolah, 2010
5.516.800.000
141 Dari dimensi sosial, pemanfaatan kawasan pada kondisi optimum berpotensi menyerap tenaga kerja untuk perikanan karang sebesar 69.600 HOK/tahun, sedangkan untuk ekowisata 49.404 HOK/tahun. Kondisi ini menggambarkan
apabila
semua
jenis
pemanfaatan
diasumsikan
dapat
berkembang secara ideal, maka pengelolaan kawasan konservasi merupakan solusi
dalam
mengurangi
pengangguran
atau
dikatakan
sebagai
mata
pencaharian yang sangat menguntungkan. Hal ini akan menjadi sebuah solusi konkrit dalam mengurangi kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Hasil analisis menunjukkan susunan peringkat jenis pemanfaatan di kawasan G.Sulat-G.Lawang dengan menggunakan dinamik spasial adalah prioritas pertama adalah untuk wisata selam dengan luas 10,8 ha, prioritas kedua untuk pengembangan wisata mangrove seluas 23,40 ha, dan prioritas ketiga untuk wisata snorkeling dengan luas 9,3 ha (dilakukan pada zona rehabilitasi). Jumlah kunjungan wisatawan rata-rata yang diperbolehkan dalam satu hari berdasarkan daya dukung kawasan adalah 381 orang/hari atau 17.526 orang/tahun. Apabila pengeluaran yang bersedia dibelanjakan oleh wisatawan (WTP) sebesar Rp. 1 300 000/orang, maka total pengeluaran yang dibelanjakan oleh wisatawan untuk menunju lokasi adalah Rp. 495 300 000/hari. Khusus untuk pengeluaran wisatawan di lokasi wisata adalah Rp 114 300 000/hari. Bila dikaitkan dengan nilai manfaat sumberdaya terumbu karang dan mangrove di G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp 2.311.366.407/tahun, maka pengembangan wisata bahari layak untuk dikembangkan. Skenario
3.
Pemanfaatan Maksimum
Ruang
G.Sulat-G.Lawang
pada
Kondisi
Hasil simulasi menunjukkan bahwa pemanfaatan ruang G.Sulat-G.Lawang pada kondisi maksimum untuk kegiatan perikanan karang dan ekowisata, dimana seluruh luas terumbu karang yang ada dimanfaatkan. Dalam kondisi demikian jumlah hasil tangkap dari perikanan karang sebesar 301,85 ton/tahun dengan jumlah serapan tenaga kerja sebesar 112 orang atau 39.424 HOK/ tahun. Penerimaan
masyarakat
45.277.500/tahun.
nelayan
dari
perikanan
karang
sebesar
Rp.
Untuk pemanfaatan wisata selam luasan terumbu karang
yang dimanfaatkan adalah seluas 241,89 ha dengan jumlah kunjungan 3.272.638
orang/tahun. Sedangkan penyerapan tenaga kerja sebesar 7.878
orang atau 63.024 HOK/tahun dengan jumlah penerimaan dari kegiatan selam
142 untuk tenaga kerja sebesar Rp 196.950.000/tahun. Sedangkan luas areal yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata pada kondisi maksimum 1010,65 ha dengan jumlah kunjungan 404.267 orang/tahun. Sedangkan penyerapan tenaga kerja 808.527 HOK/tahun dengan jumlah penerimaan tenaga kerja dari kegiatan wisata mangrove sebesar Rp 1.010.667.510/tahun. Basis model pengelolaan ekowisata merupakan hasil optimal kondisi sumberdaya alam, jumlah kunjungan wisatawan, ekonomi masyarakat lokal dan penyerapan tenaga kerja yang dicapai dari pengelolaan ekowisata berdasarkan kondisi maksimum dari simulasi kondisi saat ini sampai 20 tahun ke depan disajikan pada Gambar 37 berikut ; 1: D D KAR AN G 1: 2: 3: 4: 5:
365 1015 760 300000 300
1: 2: 3: 4: 5:
315 965 735 150000 150
2: D D MAN G R O VE 1
3 : P o p W is m a n
3 2
4
3 5 1 3 4
265 915 710 0 0
5 : P o p I k a n K a ra n g
2
1
1: 2: 3: 4: 5:
4: D D EKO N O MI
3
2
4
5
4
1
2
5 5
2011.00
2015.75
Page 1
2020.50 Y e a rs
2025.25 3:07
2030.00 18 Jun 2011
Gambar 37. Kondisi sumberdaya pada pemanfaatan maksimum
Peningkatan jumlah kunjungan yang melebih daya dukung harus dikelola secara tepat agar tidak terjadi over capacity pada bulan dan hari tertentu dalam pelaksanaan kegiatan ekowisata. Skenario Gabungan Skenario optimum gabungan merupakan simulasi yang dilakukan dengan cara menggabungkan dua atau lebih atribut untuk dianalisis dalam model yang dibangun. Seperti diketahui dalam analisis parsial sebelumnya bahwa kondisi terumbu karang dan mangrove berpengaruh terhadap jumlah kunjungan wisatawan sehingga diperlukan upaya konservasi baik dari pendekatan ekologi secara langsung maupun pendekatan kelembagaan agar terjaga kelestariannya. Posisi keempat level sumberdaya jika terjadi peningkatan atribut penting pada keempat dimensi pengelolaan disajikan pada Tabel berikut :
143 Tabel 26. Perubahan nilai stok pada masing-masing skenario proyeksi 20 tahun No
Dimensi dan Jenis Stok
1.
Luas Trb Karang (ha) - Initial Basis - Skenario Eksisting - Skenario Optimum - Skenario Maksimum 2. Luas mangrove (ha) - Initial Basis - Skenario Eksisting - Skenario Optimum - Skenario Maksimum 3. Tenaga kerja lokal (orang) - Initial Basis - Skenario Eksisting - Skenario Optimum - Skenario Maksimum 4. Populasi wisman (orang) - Initial Basis - Skenario Eksisting - Skenario Optimum - Skenario Maksimum Keterangan untuk simulasi:
- Initial l basis
0
5
Tahun ke10
15
20
23.49 41.38 71.33 169.56
23.73 51.72 106.99 339.12
21.195 21.195 21.195 21.195
21.83 26.49 31.73 42.39
22.15 33.11 47.52 84.78
101.86 101.86 101,86 101.86
117.13 127.32 152.78 203.72
128.84 159.15 255.14 407.44
47 47 47 47
104 131 147 148
137 197 245 253
155 244 346 371
166 282 482 552
972 972 972 972
1006 1010 1020 1030
1042 1050 1071 1091
1079 1092 1124 1156
1117 1135 1180 1225
141.72 155.89 198.93 248.66 382.71 574.05 814.88 1008.86
: nilai stok berdasarkan kondisi eksisting
- Skenario Eksisting: penurunan degradasi sumberdaya, harga dan produktivitas dan penyediaan infrastruktur meningkat 2 kali dari nilai awal, program perbaikan habitat serta kenyamanan sama dengan kondisi basis. - Skenario Optimum: penurunan degradasi sumberdaya, harga dan produktivitas dan penyediaan infrastruktur meningkat 3 kali dari nilai awal, program perbaikan habitat serta kenyamanan sama dengan kondisi basis. - Skenario Maksimum: penurunan degradasi sumberdaya, harga dan produktivitas dan penyediaan infrastruktur meningkat 4 kali dari nilai awal, program perbaikan habitat serta kenyamanan sama dengan kondisi basis.
Skenario 2 pengelolaan kawasan konservasi merupakan hasil yang paling ideal dibandingkan dengan skenario 1 dan 3. Hal ini karena nilai yang diperoleh dari setiap level sumberdaya umumnya (ekonomi masyarakat lokal, tenaga kerja dan jumlah wisatawan) lebih tinggi pada skenario 2 dibanding skenario 1 dan 3 tanpa merusak sumberdaya yang ada. Pemilihan skenario 2 sebagai skenario paling ideal juga didasarkan oleh valuasi terhadap nilai sumberdaya. Kegiatan ekowisata bahari tidak hanya menyangkut kegiatan wisata di perairan laut tetapi juga wisata mangrove.
144 LU A S TR B K A R A N G : 1 - 2 - 3 1:
400 1 1 1
3
1:
200
1:
0
1
3
2
3
2
2 0 1 1 .0 0
3
2
2 0 1 5 .7 5
2
2 0 2 0 .5 0 Y e a rs
P age 3
2 0 2 5 .2 5 1 4 :5 6
2 0 3 0 .0 0 17 J un 2011
T e ru m b u K a ra n g
Gambar 38. Kondisi terumbu karang pada skenario gabungan
Skenario terbaik berdasarkan jumlah kunjungan wisatawan adalah skenario 2, dimana pencapaian maksimum jumlah kunjungan diperoleh pada tahun ke-20. Total penerimaan masyarakat lokal dari berbagai kegiatan di kawasan konservasi mencapai Rp 5.516 milyar per tahun dan penyerapan tenaga kerja mencapai 49.404 HOK pertahun. Total 1:
P e n e r im a a n : 1 - 2 - 3 2.7e+010
1
1:
1
2.6e+010 1
3
3 2
3
1 3
2
2
2
1:
2.5e+010
2011.00
2015.75
2020.50 Y e a rs
Page 9
2025.25 15:24
2030.00 17 Jun 2011
P e n e r im a a n
Gambar 39. Total penerimaan pada skenario gabungan
Peningkatan kunjungan wisatawan, upah dan harga produk, kenyamanan dan partisipasi masyarakat serta perbaikan infrastruktur penunjang akan meningkatkan jumlah wisatawan sampai mencapai optimum. T o t a l P o p W is m a n : 1 - 2 - 3 1:
6500000
1:
3500000
1:
500000
1
Page 11
1
1 2
2 2011.00
2015.75
3
3
3
3
1 2
2 2020.50 Y e a rs
2025.25
2030.00 16:13
P o p u la s i W is m a n
Gambar 40. Jumlah kunjungan wisatawan pada skenario gabungan
17 Jun 2011
145 Atribut yang berpengaruh dalam peningkatan kunjungan wisatawan adalah kualitas sumberdaya sebagai obyek wisata dan kenyamanan dalam berwisata. Implikasi pengembangan ekowisata adalah diversifikasi produk ekowisata, peningkatan kenyamanan di kawasan wisata, upaya konservasi sumberdaya dan ketersediaan prasarana, peningkatan partisipasi masyarakat lokal dan perbaikan habitat sebagai upaya perlindungan sumberdaya. Jika ekowisata dikombinasikan secara efektif dengan kegiatan konservasi dalam kawasan alami secara terencana, akan meminimalisir dampak kerusakan lingkungan (Tisdell 1996). 5.6.4. Validasi Model Model divalidasi dengan membandingkan perfomansi model dari hasil analisis basis model dari beberapa level (stok) sumberdaya dengan hasil analisis data pengamatan dan sekunder melalui pengujian secara statistik. Level sumberdaya yang digunakan untuk validasi model adalah jumlah wisatawan, produksi budidaya laut dan produksi/hasil tangkap perikanan karang dan luasan terumbu karang dan mangrove. Persyaratan statistik yang diuji adalah tanda aljabar (sign), besaran koefisien determinasi (R2), dan rata-rata nilai prediksi dari level (Y). Nilai statistik untuk uji validasi model disajikan pada Tabel 27 berikut. Tabel 27. Hasil analisis statistik berdasarkan persyaratan validasi No.
1.
Jenis persyaratan statistik
Nilai hasil analisis dinamik Tanda
R
2
Luas karang (X) - 0.05 0.98 terhadap kunjungan wisatawan (Y) 2. Kunjungan wisatawan -19.41 0.96 (X) terhadap luas karang (Y) 3. Luas mangrove (X) - 0.06 0.98 terhadap kunjungan wisatawan (Y) 4. Kunjungan wisatawan -0.08 0.79 (X) terhadap luas mangrove (Y) 5. Luas karang (X) - 0.07 0.98 terhadap hasil tangkap (Y) 6. Produksi/hasil tangkap -18.63 0.96 (X) terhadap luas karang (Y) Sumber: Data Sekunder yang Diolah 2010.
Rataan Y predik 7.63
Nilai hasil analisis data lapangan Tanda R Rataan Y predik - 4.61 0.49 7.63
4.93
- 0.05
0.49
8.02
7.42
- 3.91
0.49
7.63
7.63
2.00
0.65
7.67
7.63
- 4.61
0.49
7.63
7.92
- 0.05
0.65
7.64
146
Tabel 27 menunjukkan bahwa baik persyaratan tanda aljabar (sign) maupun rerata nilai prediksi level (jumlah wisatawan dan sumberdaya) umumnya menunjukkan nilai yang relatif sama, kecuali pada nilai koefisien determinasi (R2) kunjungan wisatawan terhadap perubahan luas terumbu karang. Perbedaan ini terkait dengan penggunaan data hasil analisis dinamik terumbu karang yang diperoleh dari analisis kesesuaian kawasan untuk ekowisata bahari yang memiliki nilai relatif kecil dibanding data lapangan yang menggunakan data luas terumbu karang. Nilai R2 yang cukup kecil pada hasil analisis data lapangan menunjukkan bahwa pada kondisi riil lapangan, variasi nilai kunjungan wisatawan dan luasan terumbu karang tidak hanya dipengaruhi oleh salah satu atribut tersebut. 5.7. Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Konservasi Gili Sulat-Gili Lawang Keberlanjutan
pengelolaan
kawasan
konservasi
dilakukan
dengan
pendekatan Multidimensional Scaling (MDS) merupakan pengembangan dari metode Rapfish digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher TJ dan D.Preikshot 2001). Analisis keberlanjutan ini mempertimbangkan empat dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya dan dimensi kelembagaan, dinyatakan dalam indeks keberlanjutan kawasan konservasi (ikb-KK), dimana indeks keberlanjutan ini mencerminkan status keberlanjutan kegiatan yang dilakukan pada kawasan konservasi berdasarkan kondisi eksisting. Nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi keberlanjutan, ditentukan dengan cara memberikan nilai skoring pada masing-masing dimensi yang merupakan hasil pendapat pakar. Nilai skoring indeks berkelanjutan pada setiap dimensi berkisar antara 0-100% dengan kriteria “tidak berkelanjutan” jika nilai indeks terletak antara 0–24.99%, “kurang berkelanjutan” jika nilai indeks terletak antara 25–49.99, “cukup berkelanjutan” jika nilai indeks terletak antara 50–74.99 dan “berkelanjutan” jika nilai indeks terletak antara 75–100%. Dalam setiap dimensi terdiri dari beberapa atribut yang diukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan selanjutnya diberi bobot menggunakan metode Multidimensional Scalling (MDS). Analisis dilakukan dengan software Rapfish yang dimodifikasi yang selanjutnya disebut Rap-CM (Rapid Assesment Techniques for Conservation Management). Pemberian skor atribut pada masing-masing dimensi disesuaikan dengan kondisi riil pemanfaatan kawasan G.Sulat-G.Lawang. Hasil survey dan pengamatan lapangan terhadap masingmasing atribut pada tiap dimensi disajikan pada Lampiran 5.
147
5.5.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan
jasa
lingkungan
bagi
generasi
mendatang.
Status
atau
kondisi
pembangunan berkelanjutan dapat tercermin dari kondisi dimensi ekologis tersebut. Dimensi ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan pula. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rap-CM terhadap sepuluh atribut dimensi ekologi diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 62,27 %
dengan status
cukup berkelanjutan, seperti ditunjukkan pada Gambar 41.
Gambar 41. Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi
Hasil analisis menggambarkan bahwa apabila pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi tetap seperti saat ini maka kegiatan perikanan dan ekowisata akan tetap berkelanjutan tanpa adanya kekhawatiran akan terjadi degradasi sumberdaya. Karena itu, atribut-atribut yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi yang berdampak positif tetap harus dijaga atau bahkan ditingkatkan dan atribut yang berdampak negatif ditekan. Atribut ekologi
yang
diperkirakan
berpengaruh
terhadap
tingkat
keberlanjutan
pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang terdiri dari sepuluh atribut, yakni: (1) Kesesuaian Wisata Selam; (2) Daya Dukung Wisata Selam; (3) Kesesuaian Wisata Mangrove; (4) Daya Dukung Wisata Mangrove; (5)
148
Kesesuaian
Perikanan Karang; (6) Daya Dukung Perikanan Karang; (7)
Kesesuaian Wisata Snorkeling; (8) Daya Dukung Wisata Snorkeling; (9) Daya Dukung Perairan dan (10) Luas Pemanfaatan Lahan Fasilitas Penunjang Ekowisata. Atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dapat diketahui dengan melakukan analisis Leverage. Berdasarkan hasi analisis Leverage diperoleh tiga atribut ekologi yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan yaitu (1) Daya Dukung Perikanan Karang;
(2) Daya Dukung Wisata Selam;
dan (3) Daya Dukung Wisata
Mangrove, ditunjukkan pada Gambar 42.
Gambar 42. Peran Atribut Dimensi Ekologi dengan nilai Root Mean Square
Berdasarkan hasil analisis Leverage yang mengindikasikan bahwa atribut daya Dukung Perikanan Karang merupakan atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan. Atribut yang sensitif ini merupakan faktor pengungkit dalam dimensi ekologi, sehingga apabila dilakukan perbaikan pada atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi secara keseluruhan. Hasil analisis menunjukkan bahwa daya dukung perikanan karang dan daya dukung wisata selam termasuk relatif rendah karena sangat terkait dengan besarnya tutupan karang. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya dukung karang adalah melalui program penyadaran masyarakat dalam menjaga ekosistem ini serta melalui upaya rehabilitasi terumbu karang dalam bentuk transplantasi karang dan terumbu buatan. Semakin tinggi tutupan karang akan berpengaruh terhadai nilai sumberdaya yang akan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti perikanan karang dan wisata selam. Secara umum tutupan karang pada lokasi penelitian termasuk kategori
149
rusak sampai baik. Areal dengan kondisi terumbu karang rusak disebabkan oleh masyarakat yang memanfaatkan ekosistem ini dengan menggunakan bom. Atribut ini merupakan parameter utama bagi pengembangan perikanan dan wisata selam. Karena nilai suatu obyek wisata selam sangat ditentukan oleh seberapa besar tutupan karang yang ada. Disamping upaya rehabilitasi terumbu karang, pembatasan kuota penangkapan ikan karang juga menjadi upaya yang sangat penting, karena jumlah ikan karang yang ditangkap setiap hari telah melebihi ambang batas. Begitu pula halnya dengan faktor pengungkit kedua yaitu daya dukung wisata selam perlu ditingkatkan melalui program yang sama dengan peningkatan daya dukung perikanan karang. Karena besaran tutupan karang akan mempengaruhi produktivitas ikan karang. Sedangkan atribut daya dukung mangrove untuk pemanfaatan wisata mangrove relatif tinggi, namun karena arahan pemanfaatan kawasan mangrove yang kewenangan pengelolaannya dibawah Departemen Kehutanan yang telah menetapkan kawasan G.SulatG.Lawang sebagai hutan lindung, maka luasan yang dapat dimanfaatkan untuk wisata mangrove maksimal 10% dari total luas keseluruhan mangrove yang ada. Dalam dimensi ekologi terdapat 2 (dua) atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keefektifan pengelolaan kawasan konservasi yakni daya dukung mangrove dan daya dukung terumbu karang untuk kegiatan perikanan karang dan wisata selam. Kedua atribut tersebut terkait langsung dengan eksistensi kawasan konservasi, sehingga setiap perubahan luasan akan berdampak pada kualitas perikanan karang, kualitas obyek wisata dan kualitas perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah hasil tangkap perikanan karang dan jumlah kunjungan wisatawan. Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan daya dukung wisata mangrove adalah melalui koordinasi dan sinkronisasi kebijakan Departemen Kehutanan selaku pemegang otorita pengelolaan kawasan mangrove di G.Sulat dan G.Lawang dengan Dinas Kelautan dan Perikanan selaku pengelola kawasan perairan di kedua pulau tersebut. Atribut selanjutnya yang sensitif untuk mengubah nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi adalah tutupan karang untuk wisata snorkeling . Untuk lebih meningkatkan status keberlanjutan kawasan, upaya perbaikan tidak hanya dilakukan terhadap atribut-atribut yang sensitif memberikan
150
pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, tetapi juga diupayakan mempertahankan atau meningkatkan atribut-atribut yang berdampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi kawasan konservasi. 5.5.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Hasil analisis Rap-CM terhadap sepuluh atribut dari dimensi ekonomi memberikan nilai indeks keberlanjutan sebesar 54,84 % dengan status cukup berkelanjutan (Gambar 43). Posisi titik nilai indeks keberlanjutan ekonomi berada pada kwadran negatif, hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan kawasan konservasi yang dilakukan selama ini cenderung kurang optimal. Untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan tersebut maka atribut-atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks harus lebih diperbaiki dan atribut-atribut yang berdampak positif tetap dipertahankan. Atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi adalah (1) Jumlah kunjungan wisatawan; (2) harga produk wisata; (3) Nilai ekonomi sumberdaya mangrove; (4) Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang; (5) Jumlah hasil tangkap ikan karang; (6) harga ikan karang; (7) Pendapatan masyarakat lokal dari kawasan konservasi; (8) Permintaan pasar; (9) Kontribusi kawasan terhadap PAD; dan (10) Fee konservasi.
Gambar 43. Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi
151
Besarnya nilai indeks keberlanjutan ekonomi dipengaruhi oleh atribut-atribut keberlanjutan seperti telah disebutkan di atas, akan tetapi atribut-atribut tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan. Analisis Leverage dilakukan untuk memperoleh atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan
ekonomi.
Adapun hasil dari analisis Leverage yang dilakukan diperoleh tiga atribut yang paling sensitif mempengaruhi dimensi ekonomi, yaitu (1) Kontribusi kawasan terhadap PAD; (2) Harga produk wisata;
dan (3) Tingkat Pendapatan
Masyarakat lokal . Hasil analisis Leverage seperti pada Gambar 44.
Gambar 44. Peran Atribut Dimensi Ekonomi dalam nilai Root Mean Square
Kontribusi kawasan terhadap PAD merupakan atribut yang paling sensitif. Melihat kondisi di lapangan, hal ini dapat difahami karena sampai saat ini berbagai pemanfaatan di kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang belum dimanfaatkan secara efektif, sehingga kontribusi kawasan terhadap PAD relatif kecil. Minimnya kontribusi terhadap PAD juga disebabkan karena beberapa kegiatan yang diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap PAD seperti pengembangan ekowisata belum dilakukan secara optimal. Untuk meningkatkan PAD, pemerintah harus membuat kebijakan yang mendukung pengembangan ekowisata, sehingga apabila kegiatan ini berkembang maka pendapatan masyarakat lokal dan sumbangan terhadap PAD juga akan meningkat. Karena dengan berkembangnya ekowisata diharapkan sektor perdagangan dan industri
152
kerajinan akan ikut berkembang. Begitupula halnya dengan atribut harga produk wisata perlu dioptimalkan dengan meningkatkan infrastruktur pendukung sebagai parameter utama dalam pengembangan wisata, sehingga dengan infrastruktur yang memadai diharapkan akan meningkatkan kunjungan wisata sekaligus meningkatnya nilai produk wisata. Dengan pola pemanfaatan eksisting saat ini pendapatan masyarakat cenderung rendah, karena itu pemerintah perlu membuat kebijakan pemanfaatan kawasan konservasi yang ramah lingkungan dengan memberikan ruang pemanfatan bagi masyarakat seperti pengembangan perikanan dan ekowisata sehingga kegiatan ini akan berpengaruh pada jumlah penyerapan tenaga kerja yang sekaligus akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal. 5.5.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial dan Budaya Dimensi sosial yang telah dianalisis dengan Rap-CM memberikan nilai indeks keberlanjutan sebesar 58,34 % dengan status cukup berkelanjutan (Gambar 45). Posisi titik nilai indeks yang berada pada sumbu x, merupakan indikasi bahwa pengelolaan yang dilakukan sekarang cenderung ke arah yang kurang baik walaupun masih dalam kategori cukup berkelanjutan. Karena itu perlu upaya-upaya pengelolaan yang lebih baik untuk memperbaiki atribut-atribut yang berpengaruh negatif terhadap nilai indeks tersebut. Sedangkan artribut yang
berpengaruh
positif
terhadap
nilai
indeks
keberlanjutan
dipertahankan atau bahkan lebih ditingkatkan.
Gambar 45. Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial
harus
153
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan
dimensi
sosial-budaya,
adalah:
(1)
Tingkat
pengetahuan
masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi; (2) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi; (3) Persepsi masyarakat terhadap pengembangan
perikanan
karang;
(4)
Persepsi
masyarakat
terhadap
pengembangan ekowisata; (5) partisipasi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata; (6) Tingkat penyerapan tenaga kerja dalam pengembangan ekowisata; (7) Potensi konflik pemanfaatan kawasan; dan (8) Tingkat penyerapan tenaga kerja dalam pengembangan perikanan karang dan 9) Tingkat mobilitas ekonomi dan sosial masyarakat. Berdasarkan hasil analisis Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial, yaitu: (1) Tingkat penyerapan tenaga kerja dalam pengembangan ekowisata ; (2) Persepsi masyarakat dalam pengembangan ekowisata; dan (3) Potensi konflik pemanfaatan kawasan. Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya ini meningkat pada masa yang akan datang. Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang berdampak negatif terhadap indeks keberlanjutan dimensi sosial dalam optimasi pemanfaatan ruang di kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang. Hasil analisis Leverage untuk dimensi sosial dapat dilihat pada Gambar 46.
Gambar 46. Peran atribut dimensi Sosial dalam nilai Root Mean Square
154
Persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata
di kawasan
konservasi G.Sulat-G.Lawang sangat terkait dengan manfaat yang mereka peroleh dari pengembangan untuk aktifitas tertentu dalam kawasan. Pada kondisi eksisting saat ini dimana masyarakat cenderung kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari akibat mata pencaharian yang terbatas, sementara pengembangan ekowisata saat ini belum menunjukkan dampak positif yang signifikan karena tingkat serapan tenaga kerja yang rendah menyebabkan persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata kurang positif, karena masyarakat belum merasakan manfaat pengembangan ekowisata di daerahnya. Persepsi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan pola pikir individu, sehingga apabila pemanfaatan suatu kawasan mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang relatif besar, maka penerimaan masyarakat terhadap kebijakan pengembangan kawasan konservasi menjadi positif karena akan membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar. Dengan demikian masyarakat akan merasa memiliki terhadap kawasan sebagai sumber mata pencaharian mereka. Kondisi ini akan berdampak pada kemauan dan kesediaan masyarakat dalam menjaga dan mengawasi berbagai model pemanfaatan dalam kawasan konservasi. Apabila masyarakat memiliki kesadaran dalam menjaga kawasan atau sumberdaya yang ada di dalamnya, maka pengelolaan kawasan konservasi akan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Sedangkan atribut lain yang cukup sensitif dalam mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang adalah potensi konflik pemanfaatan kawasan. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa potensi konflik pemanfaatan di kawasan konservasi tersebut cukup tinggi karena tingginya tingkat pemanfaatan kawasan ini. Konflik yang umum terjadi adalah konflik antara nelayan pemancing ikan karang dengan masyarakat yang menangkap menggunakan bagang dan panah. Kedua jenis pemanfaatan terakhir ini relatif sulit dibina oleh masyarakat setempat, karena pelaku aktivitas tersebut berasal dari luar desa/dusun. Oleh karena itu pemerintah sebagai pemegang otorita pengelolaan kawasan perlu melakukan upaya pembinaan dan pengawasan bagi perusak sumberdaya disertai dengan penegakan hukum lingkungan secara efektif. Disamping tugas pemerintah dalam membina
masyarakat
peningkatan
yang
partisipasi
pengembangan
memanfaatkan
masyarakat
ekowisata.
Dengan
kawasan
juga semakin
perlu
konservasi, ditingkatkan
meningkatnya
upaya dalam
partisipasi
155
masyarakat dalam pemanfaatan ekowisata, diharapkan sekaligus masyarakat sebagai pengawas sumberdaya yang ada di kawasan, karena apabila pemanfaatan kawasan dilakukan dengan cara yang tidak ramah lingkungan akan menyebabkan kerusakan sumberdaya sebagai salah astu aset penting dalam pengembangan ekowisata. 5.5.4 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Dimensi
kelembagaan
dengan
sepuluh
atribut
yang
dianalisis
menggunakan Rap-CM menghasilkan nilai indeks keberlanjutan 34.73% dengan status kurang berkelanjutan (Gambar 47). Walaupun posisi titik nilai indeks keberlanjutan berada pada kwadran positif berarti kecenderungan pengelolaan sekarang ke arah lebih baik, akan tetapi nilai indeks keberlanjutan yang rendah dengan status kurang berkelanjutan. Hal ini mengindikasikan adanya atributatribut yang perlu perbaikan dengan segera. Sebab apabila hal ini tidak dilakukan maka kegiatan pemanfaatan kawasan tidak akan terlaksana dengan maksimal. Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi kelembagaan, adalah (1) Keberadaan aturan pengelolaan kawasan konservasi; (2) Dukungan pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi; (3) Adanya zonasi pada kawasan konservasi; (4) Penegakan hukum lingkungan; (5) Dukungan infrastruktur penunjang dalam pemanfaatan kawasan ; (6) Sinkronisasi kebijakan lintas sektor dalam pengelolaan kawasan konservasi; (7) Keberadaan dan efektivitas fee konservasi; (8) Keberadaan lembaga sosial dalam pengelolaan kawasan konservasi; (9). Keberadaan lembaga adat di sekitar kawasan konservasi, dan (10) Keberadaan aturan-aturan adat.
Gambar 47. Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan
156
Analisis Leverage dilakukan untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh tiga atribut paling sensitif diantara atribut lainnya, yaitu : (1) Keberadaan aturan adat dalam pengelolaan kawasan; (2) Dukungan infrastruktur penunjang dalam pemanfaatan kawasan; dan (3) Penegakan hukum lingkungan, seperti terlihat pada Gambar 48. Keberadaan aturan-aturan adat memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan kawasan mengingat masyarakat sekitar kawasan G.SulatG.Lawang memiliki hubungan kekerabatan yang tinggi dalam komunitas mereka, sehingga dalam mengelola sumberdaya yang ada dibutuhkan adanya aturanaturan adat yang mudah dipatuhi oleh masyarakat terutama yang
berkaitan
dengan pengelolaan kawasan konservasi. Namun keberadaan aturan adat belum sepenuhnya tersosialisasi terutama kepada masyarakat yang memanfaatkan kawasan dari luar, sehingga masyarakat dari luar komunitas sekitar kawasan belum mentaati aturan-aturan adat yang diberlakukan di kawasan konservasi. Begitu pula dengan kebijakan atau dukungan infrastruktur penunjang kegiatan pengembangan kawasan serta keberadaan pemegang otorita pengelolaan kawasan konservasi. Hal ini dapat dipahami mengingat dalam pengelolaan kawasan konservasi khususnya dibutuhkan peran berbagai pihak atau stakeholders yang berkepentingan dalam pemanfaatan kawasan. Adanya otorita atau pemegang kewenangan dalam pengelolaan konservasi dimaksudkan agar pemegang tanggung jawab dalam pengelolaan kawasan lebih jelas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam mengelola kawasan, kondisi ini akan berdampak positif bagi keberlanjutan pengelolaan kawasan.
Gambar 48. Peran atribut dimensi kelembagaan dalam nilai RMS .
157
Adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggar atau perusak sumberdaya dalam positif
pengelolaan kawasan konservasi juga akan berdampak
pada keberlanjutan pengelolaan kawasan,
karena akan mampu
mengeliminir terjadinya eksploitasi secara tak terkendali dalam pemanfaatan kawasan. 5.5.5. Status Keberlanjutan Multidimensi Agar nilai indeks ini dimasa yang akan datang terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan perlu perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terutama terhadap nilai indeks dimensi kelembagaan. Sebab nilai indeks keberlanjutan ke dua dimensi tersebut berada pada status kurang
berkelanjutan. Bukan hanya nilai
indeks keberlanjutan dimensi
kelembagaan yang perlu diperbaiki akan tetapi nilai indeks keberlanjutan tiga dimensi yang lain juga masih bisa ditingkatkan sehingga statusnya berubah dari cukup berkelanjutan menjadi berkelanjutan. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis Rap-KK seperti disajikan pada Gambar di bawah ini.
Gambar 49. Diagram Layang-layang Indeks Keberlanjutan Multi Dimensi.
Hasil analisis Rap-KK multidimensi keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang berdasarkan kondisi yang ada, diperoleh nilai 54.11 % yang berarti termasuk kedalam status cukup berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian 37 atribut dari 4 dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Posisi titik nilai indeks keberlanjutan tersebut berada pada kwadran positif yang berarti pengelolaan berjalan ke arah yang baik. Nilai indeks keberlanjutan tersebut disajikan pada Gambar 50.
158
Nilai indeks keberlanjutan cukup baik namun tetap harus ada upaya untuk memperbaiki atribut yang berdampak negarif terhadap nilai indeks keberlanjutan serta mempertahankan atau meningkatkan atribut yang telah berdampak positif terhadap nilai indeks keberlanjutan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi.
Gambar 50. Indeks Keberlanjutan Multidimensi Pengelolaan
Atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis Leverage dari keempat dimensi sebanyak 16 atribut (Gambar 51). Untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi perlu perbaikan pada atributatribut tersebut. Atribut yang berdampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan ditingkatkan kapasitasnya dan sebaliknya menekan kapasitas atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks keberlanjutan. Hasil analisis Monte Carlo pada taraf kepercayaan 95 % menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang tidak banyak berbeda dengan hasil analisis Rap-CM. Hal ini berarti bahwa kesalahan analisis dapat diperkecil dalam hal skoring setiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, dan kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo disajikan pada Tabel 28.
159
Gambar 51. Peran atribut multidimensi dalam bentuk nilai Root Mean Square
Tabel 28. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo Nilai indeks keberlanjutan (%) Dimensi keberlanjutan MDS Monte Carlo perbedaan Ekologi 62.94 60.85 2.09 Ekonomi 58.84 57.83 1.01 Sosial 56.47 56.35 0.12 Kelembagaan 39.62 39.13 0.49 Multi Dimensi 54.11 53.43 0.68
Hasil analisis Rap-CM menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi G.SulatG.Lawang cukup akurat. Ini terlihat dari nilai stress yang berkisar antara 12-15 % dan nilai koefisien determinasi (R²) berkisar antara 0.91-0.95.
Hasil analisis
cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari 0.25 (25 %) dan nilai R² mendekati nilai 1.0 (Fisheries 1999) seperti terlihat pada Tabel 29. Tabel 29. Nilai Stress dan Koefisien Determinasi (R²) Hasil Analisis Rap-KK Parameter Stress R² Iterasi
A 0.14 0.92 3
B 0.14 0.92 3
Dimensi keberlanjutan C E 0.15 0,15 0.91 0.94 3 2
F 0,12 0.95 2
160
5.8. Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi G.Sulat-G.Lawang Upaya
untuk
memenuhi
kebutuhan
dan
kepentingan
diri
dan
lingkungannya dibatasi oleh hak individu lainnya serta daya dukung lingkungan dalam memenuhi tujuan tersebut (Bengen, 2004), karena itu perlu optimasi pemanfaatan ruang kawasan melalui penatakelolaan secara berkelanjutan, agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumberdaya agar tetap lestari. Upaya untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya dan kebutuhan manusia dilakukan melalui penentuan jenis pemanfaatan, teknologi dan besaran aktivitas dengan daya dukung lingkungan, karena itu setiap aktivitas ekonomi atau pembangunan di suatu kawasan harus didasarkan pada analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Penataan lokasi pemanfaatan kawasan konservasi untuk pengembangan perikanan karang dan ekowisata bahari sangat penting dalam menentukan optimasi pemanfaatan kawasan berdasarkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Pemanfaatan
kawasan
dengan
berbagai
dimensi
diharapkan
dapat
meningkatkan kesejahteraan dan menyerap tenaga kerja yang didasarkan pada daya dukung dan kapasitas kawasan, karena itu penentuan alokasi pemanfaatan kawasan secara optimal harus didasarkan pada : (1) kesesuaian lahan; (2) daya dukung lingkungan dan informasi ilmiah sebagai acuan dalam memformulasi kebijakan penatakeloaan kawasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan implementasi nyata melalui koordinasi, kerjasama
dan
komitmen
para
pemangku
kepentingan,
agar
tercapai
pengelolaan kawasan secara optimal. Interaksi antara sektor publik dan swasta sangat diperlukan untuk memecahkan persoalan masyarakat dan menciptakan kesempatan sosial (Kooiman et al. 2005 dalam Adrianto 2006). Implikasi hasil analisis dalam penelitian ini ditujukan untuk melihat kondisi stok sumberdaya akibat perubahan pemanfaatan dan pengaruhnya terhadap pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang. Atribut ini dinilai dari tingkat kepentingan dan besarnya pengaruh terhadap perubahan seluruh dimensi setelah dilakukan analisis dinamik. Jika persyaratan tersebut terpenuhi, maka atribut yang dianalisis dapat diimplementasikan dalam suatu program yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi berbasis daya dukung. Hasil analisis dalam model dinamik memerlukan tindak lanjut dalam bentuk program secara terintegarsi, dan dapat dilakukan secara simultan bagi seluruh dimensi yang memiliki atribut penting (sensitif) agar tercapai keberlanjutan
161
pengelolaan kawasan konservasi (Orams 1999 dalam Lappo, 2010). Optimasi pengelolaan kawasan konservasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tercapainya tujuan pengelolaan sumberdaya di kawasan konservasi (kelestarian sumberdaya alam, budaya serta peningkatan kualitas hidup masyarakat dan daerah). Hasil analisis dinamik menunjukkan bahwa jika atribut upaya konservasi diefektifkan, kondisi terumbu karang dan mangrove semakin membaik, partisipasi masyarakat lokal meningkat serta infrastruktur pendukung diperbaiki, sehingga kelestarian sumberdaya tercapai dan kesejahteraan masyarakat lokal meningkat. Beberapa pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi secara optimal adalah : 1. Pengelolaan kawasan konservasi memerlukan koordinasi dan sinergitas lintas sektor (antara Dinas Kehutanan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan serta Pemda terkait), karena kedua lembaga memiliki kewenangan/otorita dalam pengelolaan kawasan konservasi, dimana pengelolaannya dapat dilakukan dalam satu manajemen. 2. Pengelolaan kawasan konservasi memerlukan penggabungan atribut penting terkait dengan upaya konservasi, partisipasi masyarakat dan perbaikan infrastruktur serta penguasaan teknologi bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan koordinasi dan komitmen seluruh stakeholder dalam mengimplementasikan program dengan dukungan
anggaran yang
relatif besar dan waktu yang relatif lama. 3. Pengelolaan biaya konservasi yang bersumber dari belanja wisatawan untuk program konservasi. Fee yang dikenakan harus memenuhi prinsip: pengguna dan poluter yang membayar (user and polluter pay), biaya bersama (cost sharing), perasaan, pemilikan dan mengurus bersama, sistem adaptif dan pendekatan ekosistem (Greiner et al. 2000). 4. Jika pengelolaan kawasan konservasi dihadapkan pada permasalahan biaya konservasi sumberdaya, maka penggabungan atribut yang terkait dengan aspek pemanfaatan selain ekowisata yaitu perikanan karang dapat diandalkan untuk mengoptimalkan pengelolaan kawasan konservasi. 5. Pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan serta berbagai aktivitas yang ada di kawasan, penegakan aturan formal, setiap aktifitas pemanfaatan dalam kawasan konservasi dapat meningkatkan ekonomi masyarakat lokal dan penyerapan tenaga kerja.
162
Atas dasar pertimbangan diatas, implikasi dari hasil penelitian ini dituangkan dalam bentuk kebijakan pemerintah melalui program-program yang terintegrasi dan dilakukan secara simultan guna pencapaian tujuan pengelolaan kawasan konservasi secara optimal di kawasan konservasi laut daerah G.Sulat-G.Lawang. Ini berarti bahwa rencana dan pelaksanaan program aksi pada satu dimensi pembangunan diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas dimensi lainnya. Implikasi kebijakan pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan hasil kajian dapat diperiksa pada matriks berikut : Tabel 30. Implikasi kebijakan pengelolaan kawasan konservasi N o Dimensi dan atribut penting
Tujuan Program
1
Ekologi Kesesuaian wisata selam Kesesuaian wisata mangrove Pemanfaat an untuk Perikanan Karang Daya dukung kualitas perairan
Melakukan konservasi sumberdaya mangrove terumbu karang lamun lingkungan perairan
2
Ekonomi Harga Perikanan Karang Upah tenaga kerja Penerimaan wisata
Ekonomi masyarakat lokal meningkat berkontribusi ke PAD Menggalang dana konservasi
Output yang Diinginkan
Program /kegiatan
Luasan dan kualitas Rehabilitasi sumberdaya sumberdaya (mangrove, terumbu (rehabilitasi karang dan lamun) mangrove, meningkat transplantasi Eksistensi obyek karang dan wisata terjaga terumbu buatan. Kualitas perairan Pengaturan sesuai dan pada jumlah level daya dukung wisatawan sesuai daya dukung kawasan, menyusun paket wisata serta distribusi wisatawan ke obyek wisata lain Pendidikan lingkungan bagi masyarakat lokal, Penelitian dan pengembangan secara berkala. Kesejahteraan Pelatihan masyarakat lokal manajemen bagi meningkat masyarakat Pendapatan usaha lokal, Pelibatan wisata meningkat masyarakat Perekonomian dalam setiap daerah meningkat program pem Diversifikasi usaha berdayaan. meningkat dan Perbaikan menguntungkan infrastruktur penunjang jalan desa, pelabuhan, jadwal transportasi, penambahan prasarana
Stakeholders yang terlibat PEMDA Prov dan Kabupaten KSDA, Masyarakat lokal LSM PT Pelaku wisata (swasta) Pengusaha
PEMDA Prov dan Kabupaten Masyarakat lokal Pelaku wisata (swasta) Pengusaha
163
komunikasi, penyediaan air bersih, prasarana kesehatan, pendidikan dan peribadatan 3
Sosial Penyerapan tenaga kerja Perubahan kualitas hidup masyarakat lokal
4 .
Kelembagaan
Mempertahan Kesejahteraan kan sistem sosial masyarakat lokal (sikap dan meningkat perilaku) dan nilai Pendapatan usaha budaya lokal wisata meningkat Peningkatan partisipasi masyarakat lokal
Kelembagaan Efektivitas fee konservasi sumberdaya Ketersediaan infrastruktur pendukung
Meningkatkan peran lembaga masyarakat dan kelembagaan pengelola KKLD Mengurangi konflik antar pengguna sumberdaya
Pelatihan manajemen bagi masyarakat lokal, Pelibatan masyarakat dalam setiap program pem berdayaan. Perbaikan infrastruktur penunjang (jalan desa, pelabuhan, jadwal transportasi, penambahan prasarana komunikasi, penyediaan air bersih, prasarana kesehatan, pendidikan dan peribadatan
Masyarakat lokal Pemda LSM Usaha wisata Perguruan Tinggi
Pembentukan lembaga promosi wisata Revitalisasi kelompok yang pernah tumbuh dalam komunitas pesisir. Penumbuhan lembaga formal dan non formal dalam komunitas pesisir . Penegakan hukum bagi pelanggaran lingkungan Menumbuhkan nilai-nilai kearifan lokal yang dituangkan dalam bentuk aturan-aturan adat
Masyarakat lokal Pemda LSM Usaha wisata Perguruan Tinggi