5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Daerah Penangkapan Ikan dan Kawasan Penambangan Pasir Laut Daerah penangkapan ikan di perairan Kabupaten Serang dapat digolongkan ke dalam tiga cluster daerah penangkapan ikan, yaitu daerah penangkapan ikan dengan kedalaman 0-5 meter (cluster satu), daerah penangkapan ikan dengan dengan kedalaman 5–10 meter
(cluster dua), dan daerah penangkapan ikan dengan
kedalaman 10–15 meter (cluster tiga). Ketiga cluster caerah penangkapan ikan ini kesemuanya tumpang tindih dengan kawasan penambangan pasir yang diizinkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serang. Tumpang tindihnya daerah penangkapan ikan dengan kawasan penambangan pasir mengakibatkan nelayan dalam melakukan penangkapan ikan selalu berupaya menghindari kapal keruk yang sedang beroperasi agar tidak terjadi tabrakan ataupun turut terhisapnya alat tangkap nelayan oleh kapal keruk. Kejadian ini membuat Nelayan melakukan upaya penangkapan pada daerah yang sangat dekat dengan pantai dengan resiko hasil tangkapan sangat terbatas dan berukuran kecil atau melakukan penangkapan yang lebih jauh dari pantai melampaui kapal keruk yang sedang beroperasi sehingga membutuhkan bahan bakar yang lebih dari keadaan normal.
5.2 Produksi Rajungan Produksi Rajungan sebelum adanya penambangan pasir laut di Kecamatan Tirtayasa pada Tahun 2002 mencapai 180,4 ton, Pada Tahun 2003
dengan
dimulainya penambangan pasir pada bulan september produksi rajungan di kecamatan Tirtayasa mencapai 62,34 ton. Pada bulan september 2003 dimulai penambangan pasir laut oleh PT. Jet Star. Penambangan pasir laut terus berlangsung hingga tahun 2005. Seiring dengan penambangan pasir laut, upaya penangkapan rajungan oleh nelayan juga terus berlangsung. Nelayan terpaksa melakukan penangkapan rajungan pada perairan dekat pantai atau jauh ketengah menghindari kapal keruk pasir laut yang sedang melakukan operasi pengerukan. Sesekali
dilakukan penangkapan rajungan tepat pada lokasi pengerukan ketika kapal keruk kembali ke Jakarta membawa muatan pasir laut. Pada kondisi demikian, tahun 2004 produksi rajungan bersamaan dengan berlangsungnya penambangan pasir laut di
60.0
600000
50.0
500000
40.0
400000
30.0
300000
20.0
200000
10.0
100000
produksi pasir laut (M 3)
produksi rajungan (ton)
Kecamatan Tirtayasa mencapai 50,2 Ton.
produksi rajungan (ton) produksi pasir laut (M3)
0 jan'05
oct
jul
apr
jan'04
oct
jul
apr
jan'03
oct
jul
apr
bulan
-
Gambar 8. Produksi rajungan dan pasir laut
Produksi rajungan setiap tahunnya semakin menurun meskipun rajungan dapat tertangkap sepanjang tahun dan produksi bulanan pada tiap–tiap tahun tidak memiliki pola. Pada kenyataan di lapangan, produksi rajungan di Kecamatan Tirtayasa berlangsung terus-menerus sepanjang tahun. Nelayan akan berhenti melakukan penangkapan rajungan ketika musim udang ataupun musim ikan tiba.
5.3 Produksi Rajungan Sebelum dan Setelah Penambangan Pasir Laut Produksi rajungan sebelum dilakukan penambangan pasir cukup tinggi pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2002. Pada tahun 2002 produksi rajungan mencapai 180,4 ton. Pada tahun 2003 sampai dengan bulan Agustus kecenderungan menurun dan pada akhirnya pada bulan September dilakukan penambangan pasir laut. Pada bulan September tahun 2003 sampai dengan tahun 2004 produksi rajungan semakin menurun. Kondisi penurunan produksi pada saat dilakukannya penambangan pasir
58
laut dibandingkan dengan produksi sebelum dilakukan penambangan pasir laut dilakukan uji T dengan taraf α 5% untuk mengetahui apakah terjadi penurunan yang signifikan. Hasil uji T menunjukan bahwa t hitung memiliki nilai 2,187 sedangkan t tabel memiliki nilai 2,100 , oleh karena t hitung lebih besar dari pada t tabel maka Ho : u1 = u2 ditolak dan berarti terjadi penurunan produksi rajungan yang signifikan pada saat setelah dilakukan penambangan pasir laut dibandingkan dengan produksi rajungan sebelum penambangan pasir laut.
5.4 Kualitas Produksi Rajungan Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di peraiaran Kabupaten Serang sebelum terjadi penambangan pasir laut yaitu pada bulan Maret hingga April 2003 oleh Suadela (2004) didapatkan rata –rata Panjang karapas (CL) rajungan sebesar 5,59 cm ± 0,68 sedangkan rata-rata lebar karapas (CW) rajungan mencapai 11,56 cm ± 1,24 dan rata-rata berat tubuh rajungan 121,75 gram ± 50,19 . Pada saat penambangan pasir laut dilakukan didapat rata-rata panjang karapas (CL) rata-rata 5,04 cm ± 0,96 cm sedangkan rata–rata lebar karapas (CW) sebesar 10,3 cm ± 1,9 cm dan rata-rata berat tubuh (BW) sebesar 92,69 gram ± 71,58 gram. Perbandingan rata-rata panjang karapas (CL) , lebar karapas (CW) dan berat tubuh (BW) sebelum penambangan pasir laut dan setelah penambangan pasir laut terdapat perbedaan yang semakin mengecil hal ini berarti secara kualitas baik panjang karapas (CL) , lebar karapas (CW) dan berat tubuh (BW) rajungan pada saat penambangan pasir laut terjadi penurunan kualitas.
59
Tabel 20. Perbandingan kualitas rajungan Dimensi Ukuran Sebelum Penambangan
Setelah Penambangan
Rata-rata + SD
CL, cm
5,59 + 0,68
CW, cm
11,56 + 1,24
BW, gram
121,75 + 50,19
CL, cm
5,04 + 0,96
CW, cm
10,3 + 1,9
BW, gram
92,69 + 71,58
Sumber : Data hasil pengolahan 5.5 Ijin Pertambangan dan Produksi Pasir Laut Sebelum
diberlakukannya
otonomi
daerah,
pemerintah
pusat
telah
mengeluarkan ijin Kuasa Pertambangan (KP) Pasir laut kepada enam perusahaan. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah maka dengan alasan kepentingan daerah dalam hal pengelolaan potensi Sumber Daya Alam (SDA) agar potensi bisa dimanfaatkan secara optimum namun lingkungan dapat terkendali maka Pemerintah Daerah Kabupaten Serang mengkaji ijin yang telah dikeluarkan pemerintah pusat. Pengkajian dan penerbitan ijin oleh daerah didasarkan aturan dan landasan hukum yang ada baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemohon ijin pertambangan pasir laut mengajukan permohonan kepada bupati. Kemudian diteruskan kepada dinas terkait untuk melakukan pengkajian administrasi. Apabila secara administrasi dapat diterima maka dinas bersama tim teknis melakukan kajian teknis. Apabila secara teknis dapat diterima maka dinas terkait memberikan rekomendasi kepada bagian hukum untuk dipersiapkan ijin pertambangan . Ijin Pertambangan diterbitkan setelah ditandatangani oleh Bupati.
60
SKIP -Teristis
EKSPLORASI
-Studi Literatur
STUDI KELAYAKAN
Fisik, Ekonomi, Budaya
-Fotogramatis (Foto udara, satelit)
AMDAL EKSPLOITASI
TEKNIS
PENGOLAHAN
Perencanaan Tambang (Sistem, Alat, Volume)
PENGANGKUTAN PENJUALAN
Tugas & fungsi :
KEPALA TEKNIK TAMBANG (KTT)
K3
1.Mengawasi kegiatan tambang 2. Mediator antara perusahaan dgn pemerintah Sarana
PELAKSANA INSPEKSI TAMBANG (PIT)
-Pengawasan
SDM
-Menghentikan kegiatan tambang
Operasinal
Unsur yg diperiksa:
LINGKUNGAN
AMDAL, RKL & RPL - Baku Mutu - Ambang Batas
1.
Adm ( Buku Tambang)
2.
Teknis
3.
Lingkungan
4.
K3
Gambar 9. Mekanisme pengelolaan pertambangan
DITOLAK
PEMOHON
BUPATI
DINAS
DITERIMA
BAGIAN HUKUM SURAT IJIN PERTAMBANGAN DAERAH
Gambar 10. Skema pengurusan ijin pertambangan daerah
61
TIM TEKNIS
Pemerintah Kabupaten Serang telah mengeluarkan ijin kuasa pertambangan kepada beberapa perusahaan. Perusahaan yang telah memiliki ijin ekploitasi dan telah melakukan penambangan pasir laut adalah P.T. Jet Star yang memulai operasi penambangan pada bulan September 2003. Adapun produksi Pasir Laut sampai dengan bulan Maret 2005 seperti dalam Gambar 7. Berdasarkan hasil eksplorasi, luas penyebaran pasir mencapai 12.185.000 m3 dengan ketebalan rata-rata 3.81 m. Cadangan terukur sebesar 28.647.316 m3 serta dari perhitungan cadangan tersebut didapat cadangan tertambang sebesar 47.047.835 m3. 5.6 Biofisik Perairan Lingkungan biofisik adalah lingkungan yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kualitas lingkungan biofisik dikatakan baik jika interaksi antar komponen berlangsung seimbang. Simanjuntak (2002) menyatakan bahwa sebelum adanya penambangan pasir laut, hasil penelitian berdasarkan kadar fosfat, nitrat dan silikat maka perairan Teluk Banten dan sekitarnya dikategorikan perairan yang subur dan kualitas air laut masih baik sehingga layak digunakan untuk usaha bidang perikanan dan budidaya biota laut lainnya. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Rencana Penambangan Pasir Laut di Kawasan Laut Utara Kabupaten Serang dinyatakan bahwa penambangan pasir laut akan memberikan dampak pada aspek biologi dan fisik perairan dengan kategori dampak negatif penting. Hal tersebut akan menjadikan kondisi lingkungan biofisik yang menurun dan harus diantisipasi. Proses penambangan pasir laut menyebabkan endapan lumpur yang bercampur dengan pasir laut ikut tersedot dan dikembalikan ke laut. Material lumpur yang bercampur dengan air laut akan
menimbulkan padatan terlarut. Lamanya
padatan ini menyebar menyebabkan kekeruhan. Berdasarkan kedalaman perairan 15 – 20 m dan kecepatan arus 22,5 cm/detik maka kekeruhan terjadi sampai dengan 6 jam dan sebaran mencapai 4,5 km. Penambangan pasir laut juga menambah kedalaman dasar laut yang mempengaruhi energi gelombang sehingga menjadi bertambah besar. Penambangan pasir skala besar dan terus menerus dalam periode waktu yang cukup lama serta aktivitas pemulihan kembali kondisi lahan dan lingkungan bekas penggalian pasir laut berjalan dengan lambat akan merubah fisik perairan sehingga
62
mempengaruhi biota laut beserta habitatnya. Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas lingkungan perairan di lokasi penambangan pasir oleh PT. Jet Star dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air di lokasi penambangan. No
Parameter
Satuan
Baku Mutu
Lokasi penambangan
Fisika 1
Warna
TCU
< 50
20
2
Bau
Alami
Alami
Alami
3
Kekeruhan
NTU
< 30
94.3
4
TSS
mg/l
< 80
140
5
TDS
mg/l
-
18310
Sumber : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Serang, 2004
Penambangan pasir laut memberikan pengaruh terhadap tingginya nilai kekeruhan dan TSS. Nilai kedua parameter tersebut sudah melebihi baku mutu air untuk biota laut yaitu 94,3 NTU untuk nilai kekeruhan dan 140 mg/l untuk TSS. Volume galian pasir laut yang dihasilkan dari aktivitas penambangan pasir PT. Jet Star di wilayah perairan Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang adalah 500 m3 per jam atau 10.000 m3 per hari (asumsi operasional suction Cutter Dredger adalah 20 jam per hari). Sedangkan material galian lain yang dibuang kembali ke perairan adalah 3300 m3 per hari, terdiri dari air laut 3.000 m3/hari dan lumpur 300 m3/ hari. Ketika proses penggalian pasir berlangsung, Suction Cutter Dredger akan menyedot apapun yang berada di bawahnya dengan kekuatan tinggi, termasuk jika di wilayah penyedotan pasir laut tersebut terdapat wilayah pemijahan dan pembesaran ikan serta habitat hidup biota atau sumberdaya hayati laut lainnya, seperti jasad renik
63
(plankton, nekton), terumbu karang dan padang lamun. Seluruh isi laut akan ditarik ke atas dan sesampainya diatas kemudian dipilah-pilah. Pasirnya akan diambil, sedangkan lumpur, air dan lainnnya dibuang kembali ke laut. Bertebaranlah limbah pengerukan yang berisi lumpur dan jasad renik serta material lainnya yang ikut terhisap selama proses penggalian dan pemuatan berlangsung. Berbagai jasad renik yang ikut tersedot, secara otomatis ikut menjadi penyebab munculnya bau busuk yang mengganggu dan biasanya menjadi penyebab terjadinya plankton booming (penyuburan perairan). Kejadian ini terus berulang dan tidak meninggalkan waktu sedikitpun bagi laut dan berbagai satwa lainnya untuk bernafas di air yang jernih. Kondisi perairan dengan kekeruhan dan kadar TSS yang tinggi akan mengganggu ikan dan biota laut lainnya dalam proses bernafas karena butiran-butiran pasir yang teraduk tersebut dapat menutupi organ pernafasan ikan yaitu insang. Kondisi ini dapat berakibat pada : 1) kematian ikan karena kesulitan dalam bernafas; dan 2) perpindahan atau migrasi besar-besaran ikan, udang dan biota laut lain menuju tempat dengan kondisi lingkungan perairan yang lebih bersih, lebih sehat dan tidak mengganggu keberlangsungan hidupnya. 5.7 Regresi Produksi Pasir Laut Terhadap Produksi Rajungan Hasil analisis regresi produksi pasir laut terhadap produksi rajungan didapat persamaan regresi Y=1,37 – 0.237X1 + 0,365X2 dengan koefisisen korelasi 0,36 ; koefisien determinasi 0,13 dan koefisien determinasi yang disesuaikan 0,017. Mengacu kepada nilai koefisen determinasi berarti perubahan produksi rajungan dapat dijelaskan sebesar tiga belas persen (13%) oleh produksi pasir laut, sedangkan delapan puluh tujuh persen (87%) disebabkan oleh variabel lainnya. Variabel lain yang dapat mempengaruhi produksi rajungan adalah jumlah alat tangkap dan jumlah biaya operasional. Persamaan regresi produksi pasir laut terhadap produksi rajungan menunjukan kurva yang negatif, hal tersebut menunjukan setiap kenaikan produksi pasir laut akan menurunkan produksi rajungan, meskipun laju penurunan tersebut belum memberikan pengaruh yang signifikan.
64
produksi rajungan (ton)
1.2 1 0.8
produksi rajungan (ton)
0.6
Predicted produksi rajungan (ton)
0.4
Linear (produksi rajungan (ton))
0.2 0 0
2
4
6
produksi pasir laut (M3)
Gambar 11. Regresi produksi pasir laut terhadap produksi rajungan
5.8 Perubahan Surplus Produsen Salah satu dampak yang dikeluhkan oleh stakeholders akibat penambangan pasir laut adalah kekhawatiran atas berubahnya kesejahteraan nelayan setempat yang merupakan pemanfaat sumberdaya perikanan yang berada pada wilayah-wilayah sekitar penambangan. Penambangan pasir laut dapat menimbulkan eksternalitas (dampak) yang bisa saja bersifat welfare enhanching (meningkatkan kesejahteraan) maupun akibat penambangan pasir laut adalah yang bersifat welfare reducing. Seberapa besarnya perubahan kesejahteraan yang bersifat welfare reducing terhadap para nelayan, dihitung dengan mengukur perubahan surplus produsen (nelayan). Fauzi (2004) mendefinisikan surplus produsen sebagai pembayaran yang paling minimum yang bisa diterima oleh produsen dikurangi dengan biaya untuk memproduksi komoditas. Surplus produsen dapat juga dianggap sebagai surplus yang bisa diperoleh oleh pemilik sumberdaya atau asset yang produktif pada saat pendapatan dari sumberdaya melebihi biaya pemanfaatannya. Dalam kasus perikanan, surplus produsen merupakan surplus yang diterima oleh nelayan atas ekstraksi sumberdaya ikan.
65
Dampak perubahan surplus produsen akibat penambangan pasir laut di daerah penelitian dihitung berdasarkan data primer dan data sekunder untuk perikanan di wilayah yang terkena penambangan pasir laut. Data sekunder terlebih dahulu disagregasi untuk memisahkan alat tangkap yang beroperasi di daerah penambangan pasir laut dengan alat tangkap yang beroperasi di luar daerah penambangan pasir laut. Kurva supply perikanan rajungan dalam penelitian ini tidak diketahui, maka perhitungan surplus produsen di proxy berdasarkan surplus penerimaan. Perhitungan surplus produsen didasarkan pada produksi perikanan untuk komoditas atau alat tangkap dominan serta diperkirakan mengalami perubahan produksi karena adanya penambangan pasir laut, yaitu
rajungan, ikan, dan udang. Analisis terhadap
produktivitas alat tangkap dilakukan terhadap jaring rajungan, bubu, jaring bondet, jaring udang, jaring rampus. Komponen-komponen untuk menghitung surplus produsen ini adalah: 1. Hasil tangkapan (rata-rata) per trip (kg/trip) 2. Jumlah armada penangkapan 3. Harga komoditas perikanan (Rp/kg) 4. Jumlah hari melaut 5. Biaya operasional per trip (Rp/trip); biaya bahan bakar, perbekalan. Berdasarkan data primer dan sekunder, maka diperoleh surplus untuk rajungan pada kondisi sebelum penambangan dan pada saat penambangan seperti tertera pada Tabel 22. Tabel 22 Dampak penambangan terhadap perubahan surplus produsen (rupiah) PRODUKSI RAJUNGAN
SEBELUM
FASE
PENAMBANGAN PENAMBANGAN
PERUBAHAN SURPLUS
DESA LONTAR
9.846.075.000
1.001.700.000
8.844.375.000
DESA SUSUKAN
1.635.690.000
433.440.000
1.202.250.000
11.481.765.000
1.435.140.000
10.046.625.000
JUMLAH
Sumber : Data hasil pengolahan
66
Pada Desa Lontar sebelum adanya penambangan pasir laut, hasil tangkapan rajungan pada saat musim rajungan mencapai 50 kg/trip dan di luar musim mencapai 15 kg/trip. Setelah adanya penambangan pasir laut hasil tangkapan rajungan pada saat musim rajungan mencapai 8 kg/trip dan di luar musim mencapai 4 kg/trip. Jumlah trip atau hari melaut musim rajungan mencapai 18 hari sedangkan diluar musim rajungan jumlah hari melaut mencapai 174 hari dalam 1 tahun. Jumlah armada yang melakukan penangkapan rajungan mencapai 265 kapal. Harga jual rajungan sebesar Rp. 12.500,-/kg.
Biaya operasional penangkapan sebesar Rp. 35.000,-/trip.
Berdasarkan variabel-variabel tersebut maka dihitung total penerimaan dan total biaya variabel. Selisih antara total penerimaan dan total biaya variabel merupakan surplus produsen. Biaya penangkapan pada musim rajungan sebesar Rp. 700,-/kg dan diluar musim rajungan sebesar Rp.2.333,-/kg. Cara perhitungan yang sama dilakukan pada Desa Susukan sehingga didapat perhitungan surplus produsen sebelum dan setelah penambangan pasir laut. Surplus produsen untuk rajungan pada keadaan sebelum penambangan sebesar Rp. 11.481.765.000,- sedangkan surplus produsen pada saat penambangan sebesar Rp 1.435.140.000,- sehingga terjadi perubahan (penurunan) surplus sebesar Rp. 10.046.625.000,- atau sebesar 88%. Menurut Saraswati (2005), nilai ekonomi pasir laut di Kabupaten Serang sebesar Rp. 109.705.150.000,- per tahun, dengan demikian bila dibandingkan perubahan surplus produsen rajungan terhadap nilai ekonomi pasir laut diperoleh nilai sebesar 9%. Gambar 12 menampilkan perbandingan surplus produsen.
67
R I B U R U P I A H
10000000 9000000 8000000 7000000 6000000
SEBELUM PENAMBANGAN
5000000
SETELAH PENAMBANGAN
4000000 3000000 2000000 1000000 0 Ds. LONTAR
Ds. SUSUKAN
Gambar 12. Surplus produsen sebelum dan setelah penambangan
Namun demikian sebenarnya sangat sulit untuk menentukan, apakah perubahan surplus ini benar-benar terjadi karena penambangan pasir laut. Beberapa nelayan menyatakan bahwa sepanjang tahun 2004 merupakan periode paceklik yang panjang. Sebagian besar nelayan menyatakan bahwa telah terjadi penurunan produksi sejak beberapa tahun terakhir, namun penurunan produksi tersebut dianggap penurunan yang wajar akibat fluktuasi musiman. Berdasarkan data produksi perikanan, baik produksi perikanan Kabupaten Serang maupun Kecamatan Tirtayasa sejak tahun 1998 hingga 2003,
terdapat
kecenderungan menurunnya produksi rajungan.
5.9 Implikasi Kebijakan Pemberian ijin kuasa pertambangan pasir laut di Kabupaten Serang didasarkan kepada Peraturan Daerah No 1 tahun 2003 tentang ijin pengusahaan
68
pertambangan umum. Perda No 1 Tahun 2003 memasukan
pasir laut
dengan
kategori sebagai bahan galian C. Perda tersebut memiliki kelemahan bila diterapkan pada usaha penambangan pasir laut karena pada pasal 21 ayat 4 disebutkan bahwa luas wilayah ekploitasi maksimal 100 hektar. Pada kenyataan saat ini setiap kuasa pertambangan yang diberikan oleh pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Serang luasnya mencapai puluhan ribu hektar. Mempertimbangkan kelemahan tersebut, apabila Pemerintah Daerah Kabupaten Serang tetap pada kebijakan mengekploitasi pasir laut sebaiknya membuat peraturan daerah khusus mengenai pengusahaan pasir laut yang mengacu pada peraturan daerah tentang tata ruang laut dan pesisir. Hal tersebut sangat diperlukan karena wilayah laut merupakan perairan umum dan berbagai pihak memiliki kepentingan atas perairan tersebut. Hal lain yang menjadi masalah adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Serang belum memiliki peraturan daerah mengenai tata ruang laut dan pesisir sehingga Pemerintah Daerah belum memiliki kebijakan mengenai zonasi-zonasi laut yang mengatur wilayah fishing ground, penambangan pasir laut ataupun zonasi laut untuk kepentingan lainnya. Melihat kondisi tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Serang perlu segera membuat peraturan daerah tentang tata ruang laut dan pesisir yang memuat kebijakan zonasi untuk kepentingan berbagai pihak yang dapat mengatur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Community development sebagai upaya pemberdayaan masyarakat diberikan oleh perusahaan yang melakukan penambangan pasir, tetapi besaran nilai dana dan teknis pengelolaannya
belum ada pedoman atau aturan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah. Produksi perikanan tangkap di Kecamatan Tirtayasa semakain menurun terlebih dengan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Serang memberikan ijin penambangan pasir laut. Penambangan pasir laut telah menyebabkan pola penangkapan yang dilakukan oleh nelayan berubah, khususnya ketika kapal penambang pasir laut beroperasi. Nelayan Kecamatan Tirtayasa biasanya melakukan penangkapan secara oneday fishing dengan memasang jaring atau bubu pada sore hari dan setelah itu kembali kedarat untuk melakukan aktivitas lainnya. Waktu tempuh yang diperlukan untuk dapat sampai pada lokasi fishing ground hanya berkisar 30 –
69
60 menit. Pada pagi hari nelayan kembali ke laut untuk menarik jaring atau bubu. Semenjak adanya penambangan pasir laut, nelayan melakukan penangkapan pada lokasi yang lebih dekat ke pantai atau jauh melewati daerah fishing ground yang biasa dituju. Ketika melakukan penangkapan lebih dekat ke pantai, nelayan tidak merubah pola penangkapan, tetapi hasil yang didapat adalah rajungan dengan ukuran yang relatif lebih kecil sehingga nilai jual rajungan semakin murah dibawah harga yang layak. Ketika nelayan melakukan penangkapan pada perairan melewati fishing ground yang biasa dituju, pola penangkapan nelayan berubah. Nelayan pergi melaut pada pagi hari untuk memasang jaring atau bubu dan mengangkatnya kembali setelah terendam 3-4 jam. Hal tersebut diulangi dua atau tiga kali dalam satu trip penangkapan sehingga mereka tidak lagi kembali kedarat dengan meninggalkan jaring sebagaimana biasa dilakukan. Nelayan yang melakukan penangkapan pada fishing ground lebih jauh mendapat hasil tangkapan yang relatif lebih banyak dan berkualitas serta harga jual rajungan yang relatif lebih baik, tetapi belum tentu lebih ekonomis karena nelayan yang melakukan penangkapan pada lokasi fishing ground lebih jauh tersebut membutuhkan bahan bakar dan perbekalan yang lebih banyak pula sehingga biaya operasional melaut menjadi lebih tinggi. Nelayan Kecamatan Tirtayasa berupaya mengatasi tingginya biaya operasional dengan menggunakan bahan bakar yang tidak semestinya sebagai pengganti solar. Bahan bakar pengganti tersebut berupa campuran 8 – 10 liter minyak tanah dengan satu liter olie bekas. Pemerintah Daerah Kabupaten Serang sampai saat ini belum mengeluarkan aturan khusus mengenai alat tangkap, oleh karena itu di perairan Kabupaten Serang cukup banyak beroperasi alat tangkap yang kurang ramah lingkungan seperti gardan, arad dan lampara dasar yang dimodifikasi menjadi mini trawl. Berbagai program Pemerintah Daerah Kabupaten Serang melalui Dinas Perikanan dan Kelautan untuk nelayan telah banyak dilakukan seperti pemberian bantuan alat tangkap, mesin perahu dan pemasangan rumpon dengan sumber pembiayaan APBN maupun APBD. Namun seringkali pemberian bantuan tersebut kurang tepat sasaran dan kurang tepat guna. Kurang tepat sasaran dikarenakan bantuan tersebut diterima oleh masyarakat yang tidak berhak, dan kurang tepat guna karena bantuan alat misalnya jaring sering tidak
70
sesuai dengan apa yang biasa digunakan oleh nelayan pada perairan Kabupaten Serang. Pemberian bantuan yang kurang tepat sasaran dan kurang tepat guna menjadi sia-sia bahkan terkadang menjadi masalah baru. Program subsidi untuk perikanan tangkap saat ini baru diberikan kepada pengelola tempat pelelangan ikan untuk menampung ikan hasil tangkapan nelayan. Hal tersebut dilakukan untuk menjadikan harga ikan stabil pada kisaran harga yang layak. Program tersebut untuk menaikan posisi tawar nelayan yang selama ini lebih sering dikendalikan para juragan atau pemilik modal. Program lainnya berupa bantuan peningkatan modal usaha perikanan saat ini masih berjalan melalui kegiatan PEMP (pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir ) bersumber dana APBN. Program PEMP juga telah berhasil membangun SPDN di Kecamatan Anyer dan rencana saat ini akan dibangun SPDN di Kecamatan Tirtayasa.
71