5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Bioteknik 5.1.1 Kondisi Existing Tambak A. Perkembangan dan Produksi Pembukaan lahan tambak Di Desa Dabong dimulai sejak tahun 1992, luasan tambak bertambah secara signifikan hingga tahun 2001 yaitu mencapai luas 328,52 hektar dan terus mengalami perkembangan hingga tahun 2006. Pada tahun-tahun tersebut kegiatan tambak menjadi primadona sebagai mata pencaharian masyarakat, sehingga hampir seluruh tambak beroperasi, walaupun setelah tahun 2006 terjadi penurunan karena serangan penyakit pada komoditas udang windu. Pada tahun 2009 dilakukan penegakan hukum oleh pihak terkait terhadap kawasan hutan lindung mangrove tersebut, sehingga sejak tahun itu tidak ada lagi pembukaan tambak baru pada kawasan tersebut. Setelah tahun 2009 terjadi penurunan jumlah tambak yang aktif beroperasi, menurunnya persentase tambak yang operasional tersebut dikarenakan adanya kekhawatiran dari sebagian besar petambak mengenai status kawasan, dan adanya kendala teknis yang dihadapi berupa serangan penyakit terhadap udang. Pola budidaya yang diterapkan petambak saat ini adalah tradisional plus, dengan komoditas yang dikembangkan adalah udang vaname. Persentase tambak yang operasional yang terjadi pada 4 tahun terakhir, yaitu hanya dibawah 5 persen dari luas lahan tambak yang ada (Tabel 8). Tabel 8 Perkembangan luasan tambak dan luas tambak yang operasional 2001-2010 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Luas Kawasan Tambak (Hektar) 328.52 328.52 328.52 522.08 522.08 555.35 555.35 555.35 555.35 555.35
Luas Tambak Operasional (Hektar) 328.52 328.52 328.52 495.98 469.87 360.98 12.70 12.70 25.60 25.60
Persentase Tbk Operasional (%)
Total Produksi
100.00 100.00 100.00 95.00 90.00 65.00 2.29 2.29 4.61 4.61
236,534.40 226,678.80 211,566.88 292,364.80 219,273.60 109,000.00 10,450.00 9,700.00 18,600.00 20,568.68
(Kg/Tahun)
60
Seperti dapat kita lihat pada tabel 8 diatas bahwa jumlah produksi tambak Di Desa Dabong sangat dipengaruhi oleh perkembangan luas tambak dan persentase tambak yang operasional pada saat tersebut, produksi tambak Desa Dabong mengalami jumlah yang cukup besar yaitu terjadi pada tahun 2001 hingga tahun 2006, dengan produksi tertinggi mencapai 292.364,80 kg/thn. Penurunan produksi terjadi pada tahun-tahun berikutnya yaitu dengan produksi terendah hanya mencapai 9.700,00 kg/thn, dan saat ini produksi udang hasil budidaya tambak mencapai jumlah 20.568,68 kg/thn. Pada tahun 2011 jumlah pemilik tambak yang ada Di Desa Dabong sebanyak 55 orang dengan jumlah tambak sebanyak 127 petak, dengan rata-rata kepemilikan masing-masing 2 petak/orang. Pola budidaya yang diterapkan petambak adalah dengan pola tradisional plus, dengan komoditas yang dikembangkan saat ini adalah udang vaname. Berdasarkan data petambak diatas diketahui total luas lahan tambak yang sudah dibuka masyarakat Dabong adalah seluas 555,35 hektar, Adapun luas rata-rata tiap petak adalah 2.19 hektar/petak. Nama petambak dan luas lahan dapat dilihat pada Lampiran 1.
B. Letak dan Kontruksi Tambak Penentuaan lokasi dan kontruksi tambak Di Desa Dabong lebih banyak berdasarkan pengalaman petambak ataupun mengacu pada pengalaman petambak di daerah lainnya. Metode tersebut ternyata memberikan hasil yang baik, terbukti dari tidak dijumpainya permasalahan yang dihadapi para petambak pada saat pemeliharaan. Adapun permasalahan-permasalahan akibat konstruksi yang tidak tepat antara lain: Tambak tidak mampu menahan air, karena dasar tambak yang porositasnya tinggi (keropos), dan tambak tidak dapat dikeringkan secara gravitasi, karena dasar tambak lebih rendah dari rataan permukaan air pasang terendah, sehingga pompa diperlukan untuk
mengeringkan tambak secara sempurna
(Poernomo 1992). Berdasarkan letak tambak dari garis pantai maka tambak yang ada di desa Dabong termasuk tipe tambak “biasa”, yaitu dibangun cukup jauh dari garis pantai atau di belakang tambak layah, sehingga konsekuensinya adalah terisi oleh campuran antara air tawar dari sungai dengan air asin dari laut. Campuran air
61
tersebut lazim disebut air payau dengan salinitas berkisar di antara 15 -30 permil. Salinitas air tambak biasa akan meningkat pada saat tambak pada saat pasang dan akan menurun kembali jika diisi dengan air tawar dari sungai. Tambak yang dibuat oleh masyarakat merupakan tambak konvensional dengan model empang parit dengan teknologi budidaya yang dilaksanakan adalah tradisional plus, sehingga konsep tambak tersebut adalah tambak parit (caren) tanpa adanya tumbuhan mangrove pada bagian pelataran/ tengahnya (Gambar 9).
TANGGUL TAMBAK
PELATARAN TAMBAK
PARIT/ CAREN PINTU IN/ OUTLET
Gambar 9 Model tambak konvensional (tanpa adanya mangrove) Di Desa Dabong.
Sebagian besar bentuk tambak yang dibuat masyarakat adalah berupa parit keliling yang berbentuk persegi panjang atau bujursangkar, dan pada
bagian
pelataran (tengahnya) dilakukan penebangan dan pembersihan tanpa dilakukan proses penggalian.
Lebar rata-rata parit yang dibuat adalah 6 meter sesuai
jangkauan alat berat penggali tambak (excavator) yang digunakan, dan kedalaman galian sekitar 1 meter hingga 1,5 meter dari posisi tanah awal. Ukuran petakan tambak juga harus disesuaikan dengan tingkat teknologi yang akan diterapkan yaitu >2 hektar untuk tradisional. Ukuran petakan tambak yang terlalu kecil, akan mengakibatkan banyak lahan yang tidak produktif pemanfaatannya, sebaliknya ukuran petakan yang terlalu besar akan menyulitkan dalam pengelolaannya. Terdapat pula 5 unit tambak dengan biasa, yaitu penggalian pada seluruh kolam dengan bentanpa pelataran ini jauh lebih kecil yaitu < 0,5 hektar. Ketinggian tanggul dari tanah dasar pada awal pembuatan mencapai tinggi sekitar 2 meter atau lebih, namun pada saat penelitian ini ketinggiannya hanya tinggal separuh saja. Lebar tanggul yang dibuat sekitar
4 meter sehingga
62
memungkinkan untuk dilalui alat berat, tanggul pada bagian samping dibuat pada kemiringan tertentu untuk meminimalkan longsornya tanggul tersebut. Pada salah satu bagian tanggul dibuatkan pintu untuk pemasukan dan pengeluaran air tambak, pintu air dibuat dengan kontruksi kayu sebagai penyangga dan digunakan bilahbilah papan sebagai daun pintu untuk menutup dan membuka air kolam. Pintu air berfungsi sebagai keran sirkulasi air harian dan juga digunakan sebagai pintu panen pada akhir masa pemeliharaan. Tinggi pintu air ini disesuaikan dengan ketinggian tanggul dan lebarnya sekitar 80 centimeter.
C. Tahapan Budidaya Udang Beberapa tahapan yang dlaksanakan dalam kegiatan budidaya udang Di Desa Dabong antara lain adalah persiapan tambak, penebaran benur, masa pemeliharaan, sampai pemanenan hasil budidaya udang. Satu siklus tahapan budidaya udang dibutuhkan waktu kurang lebih 120 hari, dengan rincian tahapan kegiatan budidaya adalah sebagai berikut:
Persiapan Lahan Petambak Desa Dabong biasa melakukan persiapan setelah dilakukan panen pada tambak dan ketika akan digunakan pada siklus berikutnya, tambak dijemur atau dikeringkan sampai tanah dasar tambak retak-retak. Penjemuran pada musim penghujan sangat sulit sampai kondisi dasar tambak kering dan retak-retak. Maka cukup sampai keadaan dasar tambak kering saja. Tujuan pengeringan dasar tambak menurut Poernomo (1992) adalah mineralisasi bahan organic yang terkandung dalam tanah, menghilangkan gas seperti Hidrogen Sulfida (H2S), Amonia, Metan (CH4) dan bahan-bahan berbahaya lainnya, disamping itu pengeringan dan pembalikan tanah dasar bertujuan untuk mempercepat proses perombakan bahan organik dalam tanah sehingga tanah mengandung bahan-bahan mineral yang bermanfaat baik langsung bagi udang yang dipelihara dan bebas dari bahan-bahan yang potensial menghasilkan racun. Waktu penjemuran tambak tergantung cuaca, apabila cuaca cerah dan matahari terik hanya dibutuhkan waktu 1 minggu penjemuran.
63
Kegiatan pengapuran merupakan kegiatan yang jarang dilaksankan petambak. pengapuran ini bertujuan untuk meningkatkan pH tanah, menambah kesuburan, terutama mencukupi kebutuhan kalsium. Pengapuran akan lebih banyak diberikan pada tanah tambak yang relative asam apalagi tambak yang baru dioperasikan. Untuk lahan yang sudah pernah dipakai dan rutin dilakukan pengapuran dapat dikurangi dosisnya sesuai hasil pengukuran pH-nya. Pengapuran dapat dilakukan dalam waktu 3 – 5 hari. Penggunaan kapur pada beberapa tambak CaCO3 pada kisaran 250-500 kg/ha. Pengendalian hama juga dilakukan pada tahap persiapan tambak yaitu dilakukan dengan cara-cara fisik dan penggunaan bahan-bahan kimia juga dilakukan oleh petambak. Organisme-organisme pengganggu yang menjadi sasaran utama pengedalian hama ini terdiri dari organisme pemangsa (predator) berupa beberapa jenis ikan dan burung, organisme pesaing (kompetitor) berupa beberapa jenis ikan dan udang. Pengendalian hama ditambak yang dilakukan dengan cara-cara kimiawi cenderung mempunyai efek negatif terutama terhadap lingkungan, bahkan apabila cara aplikasinya keliru bisa membahayakan biota budidaya maupun pemakainya sendiri. Bimbingan dari intansi terkait mengenai hal tersebut mutlak diperlukan untuk dapat megendalikan peredaran dan penggunaannnya dilapangan.
Penebaran Benur Pada awalnya pola tanam tambak Di Dabong menerapkan pola tradisional (ektensif) dengan 2 siklus produksi dalam satu tahun. Pada beberapa tahun terakhir setelah dilakukan pembinaan oleh intansi terkait maka teknologi yang diterapkan meningkat menjadi teknologi tradisional plus, yaitu dilakukannya persiapan tambak, peningkatan padat tebar, penggunaan pakan buatan dan penggunaan saprodi lainnya. Komoditas yang dikembangkan adalah udang windu dan udang vaname, sedangkan ikan bandeng disertakan dalam proses penebaran apabila menerapkan budidaya secara polikultur. Setelah tahun 2006 para petambak lebih fokus mengusahakan budidaya udang vaname, karena jenis
ini lebih memberikan hasil yang baik
sedangkan udang windu lebih sering mengalami gagal panen. Benur yang akan ditebar ke tambak adalah benur pada stadia post larva yang berasal dari panti pembenihan (hatchery). Penebaran yang dilakukan petambak ada
64
dua macam yaitu: Pertama ditebar langsung kepetak pembesaran dengan aklimatisasi yang tepat dan ada juga yang melalui proses pendederan pada kolam.
Pemeliharaan Masa pemeliharaan dimulai sejak benur ditebar ke tambak, namun akan lebih menyita perhatian setelah udang berumur 50 hari, atau dengan berat rata-rata kurang lebih 1,5 gr sampai usia panen. Pada masa ini pemeliharaan ini kegiatan yang harus diperhatikan adalah : Ketinggian air tambak yang direncanakan untuk tingkat teknologi tradsional dijaga pada kisaran 80 - 100 centimeter. Kebutuhan sirkulasi air pada tambak teknologi tradisional tergantung ketersediaan air saat pasang karena tidak menggunakan pompa, kecuali tingkat teknologi tradisional plus dalam pengisian airnya bisa dibantu dengan menggunakan pompa air. Untuk mempertahankan kualitas air di tambak, maka perlu dilakukan perlakuan seperti pergantian air, pemupukan dan pengapuran. Untuk dapat mengetahui kualitas air maka dilakukan monitoring kualitas air dengan persepsi-persepsi berdasarkan pengalaman, misalnya jika warna air hijau kekuning menunjukan kondisi air kolam normal, pakan alami cukup, o2 cukup dan jika coklat jernih menunjukan pakan alami rendah, oksigen terlarut rendah. Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air pada beberapa parameter utama yaitu: Suhu, salinitas, pH, alkalinitas, O2 terlarut, bahan organic dan total padatan, diketahui bahwa rata-rata masih berada pada kisaran optimal (Tabel 9). Tabel 9 Nilai rata-rata parameter kualitas air tambak No
Parameter
1. Suhu 2. Salinitas 3. pH 4. Alkalinitas 5. DO 6. Bahan Organik 7. Total Padatan *) SNI 7310:2009
Satuan o
C /oo mg/l mg/l mg/l mg/l o
Rata-rata 28,7 21,0 7,5 156,0 4.,2 22,0 171,0
Kisaran Optimal*) 28 – 32 5 – 40 7,5 – 8,5 100 – 250 >3,0 <55 150 - 200
Data kualitas air pada masing-masing tambak udang yang ada Di Desa Dabong secara rinci dapat dilihat pada lampiran 2.
65
Pada sistem budidaya teknologi tradisional sudah ditambahkan pakan buatan yang frekuensi dan jumlah yang diberikan masih belum terhitung berdasarkan populasi udang di tambak, sedangkan pada sistem budidaya tingkat tradisional plus pemberian pakan buatan sudah terprogram berdasarkan hasil cek pakan. Disamping pakan buatan dalam waktu tertentu bisa diberikan pakan tambahan pakan segar berupa ikan rucah atau rebon, namun pemberian pakan segar ini hendaknya memperhatikan kondisi kualitas air.
Pemanenan Hasil Pada tahap ini hal yang dilakukan petambak pertama kali adalah melaksanakan sampling udang di kolam. Sampling dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui berat rata-rata udang, tingkat kesehatan udang, menduga tingkat kehidupan (survival rate) sehingga dapat diketahui perkiraan total biomas udang di dalam tambak. Udang dipanen berdasarkan hasil sampling yaitu bila sudah memenuhi syarat untuk di konsumsi dan mempunyai nilai ekonomis, udang dengan berat rata-rata 16–20 gram untuk udang vaname sudah mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Dalam proses panen udang yang perlu diperhatikan adalah mutu udang, pengurangan mutu dapat terjadi pada proses panen, misalnya patah pada anggota tubuhnya, udang menjadi kering karena kurang es, mati secara perlahan–lahan dan udang pada kondisi kotor. Oleh karena itu sebaiknya udang dipanen pada pagi hari sebelum matahari terik. Hasil panen diperoleh petambak sebanyak 200 sampai 500 kg/ha udang perpetak tambak dengan rata-rata produksi 315 kg/ha. Hasil panen d Hasil panen tambak berupa udang ari tambak berupa udang ukuran komsumsi dapat dilihat pada gambar 10.
(A) (B) Gambar 10 Hasil panen tambak berupa udang (A) dan udang ukuran konsumsi (B).
66
5.1.2 Usaha Tangkap Pada Kawasan Mangrove Selain aktivitas tambak ekosistem mangrove Di Pesisir Dabong juga memiliki sumberdaya perikanan yang telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat disekitarnya. Pemanfaatan hasil perikanan di kawasan ini umumnya masih menggunakan teknologi tradisional. Seperti diungkapkan Mc Neely (1998), masyarakat wilayah pesisir khususnya yang berkaitan dengan hutan mangrove secara turun-temurun telah melaksanakan berbagai pemanfaatan hutan mangrove sebagai sumber ekonominya, sehingga dampak dari kerusakan tidak dapat dihindarkan kecuali dengan adanya pengelolaan yang tepat. Pada penelitian ini yang menjadi perhatian utama adalah nelayan dan penangkap ikan yang beraktivitas langsung pada ekosistem mangrove, yaitu nelayan atau penangkapan ikan, kepiting dan kerang pada kawasan mangrove. Operasional penangkapan ikan, kepiting dan kerang dengan menggunakan sarana perahu dayung atau sampan motor tempel dengan wilayah operasional sekitar 750 m – 4.000 m dari garis pantai. A. Hasil Kepiting Komoditas utama lainnya dari ekosistem mangrove Pesisir Dabong adalah pengambilan kepiting (Scylla serrata), kepiting merupakan salah satu target utama penangkapan karena nilai jualnya yang cukup baik. Penangkapan kepiting biasanya dilakukan setiap hari dengan menggunakan perahu dayung dengan alat tangkap bubu. Lokasi penangkapan kepiting biasanya dilakukan di sungai-sungai kecil dan genangan air yang ada dalam hutan mangrove. Pengambilan kepiting ini dilakukan oleh masyarakat pesisir Dabung sudah sejak lama dan turun-temurun. Mengenai jumlah hasil tangkap kepiting dan nilai rata-rata pendapatan/orang dapat dilihat pada tabel 10. Tabel 10 Jumlah hasil tangkap kepiting dan nilai rata-rata pendapatan/orang No
1 2 3 4 5 6
Uraian
Jumlah Penangkap Kepiting Jumlah Hasil Tangkap Harga Nilai Biaya Operasional Biaya Investasi Pendapatan Rata-rata Pendapatan/Orang
Satuan
Orang Kg/thn Rp/Kg Rp/thn Rp/thn Rp/thn Rp/thn Rp/thn
Penangkap Kepiting
52,00 30.504,00 23.000,00 701.592.000,00 139.812.000,00 33.800.000,00 527.980.000,00 10.153.461,54
67
Jumlah hasil tangkap kepiting dan nilai rata-rata pendapatan masing-masing responden secara rinci dapat dilihat pada lampiran 3.
B. Hasil Ikan Sumberdaya ikan di perairan Dabong sangat dipengaruhi oleh kelestarian ekosistem mangrove di kawasan tersebut. Kegiatan penangkapan ikan sudah sejak lama berlangsung di kawasan ekosistem mangrove Dabong dan dilakukan secara turun-temurun.
Penangkapan
ikan
di
perairan
Dabong
umumnya
masih
menggunakan alat tangkap berupa pancing, pukat dan jala nilon ukuran kecil atau sedang. Lokasi penangkapan ikan umumnya di di tepi-tepi pulau atau hutan mangrove serta sungai-sungai yang terdapat disekitar perairan ekosistem hutan mangrove. Selain itu juga ada nelayan yang melakukan penangkapan sampai dilepas pantai. Manfaat hasil perikanan yang telah dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat berupa hasil ikan seperti ikan kerapu, bawal, belanak, angsam, kakap, sembilang dan lain-lain. Mengenai jumlah hasil tangkap ikan dan nilai rata-rata pendapatan/orang dapat dilihat pada tabel 11. Tabel 11 Jumlah hasil tangkap ikan dan nilai rata-rata pendapatan/orang No 1 2 3 4 5 6
Uraian Jumlah Penangkap Ikan Jumlah Hasil Tangkap Harga Nilai Biaya Operasional Biaya Investasi Pendapatan Rata-rata Pendapatan/Orang
Satuan Orang Kg/thn Rp/Kg Rp/thn Rp/thn Rp/thn Rp/thn Rp/thn
Penangkap Ikan 67,00 28.650,00 16.500,00 472.725.000,00 52.560.000,00 28.893.750,00 391.271.250,00 5.839.869,40
Jumlah hasil tangkap ikan dan nilai rata-rata pendapatan masing-masing responden secara rinci dapat dilihat pada lampiran 4.
C. Hasil Kerang Hasil tangkap berikutnya dari ekosistem mangrove pesisir Dabong bagi masyarakat disekitarnya adalah pengambilan kerang bulu (Anadara indica), kerang pasir (Tellina radiate) dan Kepah (Arctica islandica). Pengambilan kerang tersebut
68
dilakukan oleh sebagian besar masyarakat pesisir Dabong dan umumnya oleh para istri nelayan. Penangkapan kerang lebih menjadi perioritas dibandingkan ale-ale dan kepah karena memiliki harga jual yang lebih tinggi. Pengambilan kerang umumnya dilakukan sepanjang tahun pada waktu air laut surut, dan berkurang pada bulan November dan Desember hal ini dikarenakan pada bulan tersebut pasang air laut sangat tinggi. Lokasi penangkapan biasanya di daerah pantai atau tepi-tepi pulau dekat dengan hutan mangrove. Para pengambil kerang umumnya menggunakan perahu dayung dan alat serok atau toreh untuk memungut hasil kerang. Mengenai jumlah hasil tangkap kerang dan nilai rata-rata pendapatan/orang dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12 Jumlah hasil tangkap kerang dan nilai rata-rata pendapatan/orang No
Uraian
Satuan
1 2 3 4 5 6
Jumlah Penangkap Kerang Jumlah Produksi/Tahun Harga Nilai Biaya Operasional Biaya Investasi Pendapatan Rata-rata Pendapatan /Orang
Orang Kg/thn Rp/Kg Rp/thn Rp/thn Rp/thn Rp/thn Rp/thn
Penangkap Kerang 47,00 51.948,00 4.000,00 207.792.000,00 46.440.000,00 15.627.500,00 145.724.500,00 3.100.521,28
Jumlah hasil tangkap kerang dan nilai rata-rata pendapatan masing-masing responden secara rinci dapat dilihat pada lampiran 5. 5.1.3 Model Tambak Silvofishery Penerapan silvofishery dilaksanakan dengan melaksanakan revitalisasi terhadap usaha tambak yang ada, karena saat ini kawasan tambak Di Desa Dabong sebagian besar (95%) pada kondisi tidak aktif. Seperti diketahui bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan telah memulai program revitalisasi tambak udang, dengan menggarap 1.000 hektar tambak di Jawa Timur (Jatim) pada tahun 2010. Dengan melakukan revitalisasi tambak-tambak udang di Indonesia yang tidak produktif diharapkan mampu meningkatkan produksi udang nasional hingga 750.000 ton pertahun. Revitalisasi perlu dilakukan terhadap tambak udang kecil, tambak tradisional plus, hingga tambak polikultur. Pembiayaan untuk revitalisasi tambak udang sebetulnya telah dialokasikan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang
69
dilakukan melalui paket modal kerja bagi wirausaha bahari pemula. Sedangkan pembiayaan dari pemerintah provinsi berupa kredit dengan bunga rendah, selain itu terdapat pula dana dari pemerintah pusat berupa kredit usaha rakyat (KUR).
A. Desain dan Kontruksi Model tambak silvofishery yang akan dikembangkan tentu saja harus disesuaikan dengan kondisi lokasi kegiatan, terlebih apabila di kawasan tersebut telah terdapat kegiatan tambak (existing). Kegiatan rehabilitasi pada lokasi existing tambak termasuk perbandingan persentase mangrove-tambak haruslah bersifat fleksibel dan akomodatif agar lebih mudah diterima oleh para petambak, terutama pada fase-fase awal kegiatan rehabilitasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Macintosh (2002) bahwa pemilihan model tambak silvofishery yang tepat sangat tergantung dan akan dipengaruhi oleh status ekosistem mangrove, sehingga tidak ada satu modelpun yang dapat dikatakan paling tepat pada semua situasi. Pengembangan model silvofishery harus terintegrasi kedalam cakupan pendekatan yang lebih luas dalam suatu sistem pengelolaan wilayah pesisir. Pola integrasi konservasi dan pemanfaatan sumberdaya mangrove,mengarah pada kondisi pengelolaan yang terbaik sumberdaya mangrove, yaitu pada saat diperolehnya nilai manfaat ekonomi dari kegiatan usaha budidaya yang dilaksanakan. Berdasarkan pertimbangan pengelolaan ekosistem mangrove dan teknologi budidaya yang diterapkan pada kawasan tersebut diatas, maka dapat dinyatakan bahwa melalui kondisi bioteknik dari masing-masing model pendekatan tersebut maka yang paling memungkinkan adalah model empang parit tradisional. Karena dengan menerapkan model ini hampir tidak ada perbedaan dengan model tambak yang ada saat ini, hanya pada tambak sistem silvofishery model ini petambak tidak hanya mengandalkan tambak sebagai tulang punggung peningkatan pendapatan masyarakat, melainkan juga dapat memperoleh keuntungan ekonomis dari ekosistem hutan bakau itu sendiri. Untuk unit tambak biasa penanaman mangrove dapat dilakukan pada sisi tanggul tambak atau pada tanggul saluran pasok dan buang yang masih terkena pasang-surut air laut. Sehingga biaya rekontruksi tambak dapat dilakukan dengan biaya yang murah dan dapat segera diterapkan pada tambak tradisional yang telah ada. Hal ini sesuai pendapat Lewis III (2005) bahwa ada
70
potensi besar untuk mengembalikan hilangnya mangrove melalui penerapan prinsipprinsip dasar ekologi, restorasi menggunakan pendekatan rekayasa ekologi termasuk evaluasi biaya secara hati-hati dalam penyusunan desain dan konstruksi. Sebelumnya diketahui bahwa upaya untuk mengembalikan mangrove, kesuksesan sebagian besar terkonsentrasi pada penanaman mangrove dengan hanya beberapa spesies saja, dan ketika ditargetkan untuk panen sebagai produk kayu, atau sementara yang digunakan untuk mengumpulkan tanah endapan dan meningkatkan daerah intertidal untuk dapat digunakan sebagai pertanian terestrial. Kenaikan biaya kontruksi juga tidak akan terjadi, karena dengan tambak konvensional yang ada saat ini tidak diperlukan biaya tambahan untuk membuat gundukan ditengah-tengah tambak sebagai tempat tumbuhnya mangrove (Gambar 11).
Gambar 11 Tambak silvofishery dengan model empang parit tradisional. Dalam model empang parit tradisional, areal tumbuh mangrove dan tempat pemeliharaan udang/ ikan berada dalam satu hamparan. Pengelolaan airnya diatur melalui satu buah pintu yang menghubungkan hamparan dengan saluran air. Keunggulan model ini terletak pada desainnya yang sangat sederhana sehingga investasi yang dibutuhkan untuk membangun tambak cukup kecil, Keuntungan adanya mangrove disampaikan Fancy (2004) bahwa mangrove dapat berfungsi sebagai filter limbah budidaya udang, dengan adanya ekosistem mangrove diperoleh nilai pengurangan rata-rata nitrat 44.5%, ammonia 46.6% dan nitrit 59.0% dari limbah udang. Rasio luas mangrove yang dibutuhkan untuk menyerap limbah organik dari aktivitas budidaya udang intensif adalah 1: 14.
71
Pemilihan jenis mangrove yang tepat dan pengaturan kerapatan mangrove dapat mengurangi dampak negatif diatas, sehingga hama yang dikhawatirkan akan berkurang, sinar matahari akan cukup menyinari tambak dan produktivitas perairan dapat dipertahankan. Serasah mangrove yang selama ini dianggap sebagai permasalahan, ternyata berdasarkan beberapa penelitian merupakan sumber hara bagi kesuburan perairan itu sendiri terutama dari jenis Avicennia. Hal ini sesuai pendapat Alongi (1994) bahwa bakteri pada sedimen telah diketahui sebagai makanan penting untuk invertebrata, yang membentuk dasar dari jaring makanan pada ekosistem bentik. Peran trofik ini telah didokumentasikan dengan baik, namun peran bakteri memainkan peran yang penting sebagai pengurai detritus dan pendaur ulang nutrisi penting. Bukti akhir menunjukkan bahwa peran yang lebih penting dari fungsi trofik bakteri terhadap mangrove tropis dan sedimen pada kawasan pesisir. Yang dianggap kelemahannya adalah genangan air tambak menjadi satu dengan areal tumbuh mangrove, upaya budidaya tidak dapat dilakukan secara ideal.
Ancaman adanya hama pengganggu ikan dan predator lainnya cukup tinggi. Sinar
matahari
terhalang
menembus
permukaan
empang sehingga
pertumbuhan ganggang dan plankton sebagai pakan alami ikan sangat kurang.
Serasah dan daun yang jatuh berlebihan ke dalam empang menjadi penghambat laju pertumbuhan ikan yang dibudidayakan. Hal lain disampaikan Inoue et al (1999) in Primavera (2000) bahwa kandungan asam tanin terdapat pada daun Rhizophora dan berpotensi menjadi racun pada biota perairan yang ada, tambak silvofishery dengan penanaman Rhizophora pada bagian dalam kolam akan menurunkan kelulushidupan udang windu yang dipelihara. Sirkulasi air yang lancar dapat
dijadikan solusi untuk mengurangi
dampak negatif dari kandungan tanin yang ada, bahkan kandungan bahan organik yang tinggi dari sisa pakan dan sisa metabolisme udang akan diserap oleh tumbuhan mangrove ini. Cara lain dilakukan dengan menanam Avicennia, manfaat adalah kayunya dapat dipanen untuk dijadikan kayu bakar tanpa mengganggu kegiatan perikanan di dalamnya, dan daunnya akan meningkatkan kesuburan dan menstabilkan pH pada saat musim hujan.
72
Dengan penerapan tambak silvofishery model empang parit tradisional pada masing-masing lahan tambak, maka akan diikuti oleh kegiatan rehabilitasi terhadap ekosistem mangrove pada kawasan tersebut, karena dengan penerapan sistem ini akan dilakukan penanaman minimal 80% dari luas lahan tambak atau mencapai luas 444,28 hektar. Penanaman mangrove yang dilaksanakan pada area pelataran yang direkomendasikan adalah 1500 pohon/ hektar, hal ini untuk mencapai kondisi ekosistem mangrove pada kriteria Baik (sedang) dengan tutupan mangrove >75% (Kepmen LH No.201 2004), adapun jenis mangrove yang ditanam adalah Rhizopora apiculata dapat juga dikembangkan jenis lainnya seperti Avicennia. Hal ini sesuai pendapat Nugroho (2009) bahwa ekosistem mangrove Di Desa Dabong memiliki nilai kerapatan total sebesar 478.92 pohon/ha untuk tingkat pohon, untuk tingkat pancang sebesar 717.94 pohon/ha, dan untuk tingkat semai sebesar 915.48 pohon/ha. Kerapatan relative jenis tertinggi terdapat pada jenis
Rhizophora
apiculata baik untuk tingkat pohon, pancang maupun semai kemudian di ikuti oleh jenis Bruguiera gymnorrhiza.
B. Saluran Pasok dan Buang Kondisi pasang air tertinggi pada +2.730 meter (dpl) dan surut air terendah adalah -1.500 meter (dpl) sehingga tambak yang ada harus tetap pada kisaran tersebut. Kedalaman air tambak yang direncanakan adalah 1,20 m, sedangkan dasar tambak direncanakan di elevasi +1.000 m hal tersebut menyebabkan pemasokan air tambak dapat dilakukan dengan memanfaatkan pasang surut. Kebutuhan air untuk tambak secara umum dipengaruhi oleh tingkat teknologi yang diterapkan, umur udang yang dipelihara dan tingkat kehilangan air melalui penguapan dan perembesan. Saluran dibuat dengan kedalaman yang sesuai dengan kebutuhan agar pasang surut dapat mengalirkan air sampai ke saluran–saluran yang ada di pelosok lokasi. Dimensi saluran yang digunakan dalam pemodelan adalah dimensi saluran yang direncanakan yang dipilih berdasarkan hasil perhitungan aliran rencana pada masing-masing sistem. Selanjutnya dalam perencanaan dimensi yang ada ditingkatkan pada besaran yang mudah diterapkan di lapangan (Gambar 12).
73
Gambar 12 Saluran pasok tambak Saluran pasok yang ada berfungsi juga sebagai saluran buang yang menuju daerah berelevasi sangat rendah, saluran ini hendaknya ditanami juga dengan mangrove sehingga terjadi proses filtrasi secara biologis. Air buangan dari tambak kemudian mengalir ke sungai dan bermuara Di Muara Dabong. Dengan demikian diharapkan daerah tersebut dapat mengurangi kadar pencemaran akibat limbah air buangan dari tambak. Untuk meningkatkan produkivitas tambak hendaknya saluran pasok dan saluran buang dibuat terpisah, pembangunan dapat dilakukan secara bersama-sama ataupun difasilitasi oleh intansi terkait.
C. Pintu Air Pintu air tambak adalah pintu air yang letaknya direncanakan sesuai dengan letak dan luas daerah petak tambak.. Fungsi dari pintu ini untuk memasukan air kedalam tambak dari saluran pasok dan sebagai tempat untuk mengeluarkan air buang dari saluran buang. Pengoperasian pintu ini diatur sesuai dengan kebutuhan air pada areal petak tambak secara teratur. Pintu air ini dibuat dari balok kayu dengan skat penutup saluran air. Ukuran bangunan ini adalah seseuaikan dengan lebar tanggul tambak dengan lebar pintu sekitar 1,00 m . Bahan yang digunakan dari kayu yang mudah didapatkan di lokasi dengan demikian harga kontruksi akan lebih murah. Hendaknya dibuatkan pintu pasok (inlet) dan pintu buang (outlet) secara terpisah.
74
D. Layout Petak Tambak dan Rencana Pengembangannya Petak tambak dibuat sedemikian rupa mengikuti kondisi dilapangan yang ada saat ini, tambak silvofishery yang dibuat dengan model tambak parit tradisional. Dalam model ini ditengah–tengah petak tambak dibuatkan petak untuk areal mangrove yang berfungsi sebagai penghijau dan penahan air pada saat terjadi air surut sehingga air yang surut akan tertahan dalam waktu yang cukup lama. Selain itu pertimbangan faktor biaya kontruksi yang lebih murah serta tingkat teknologi budidaya yang dihasilkan maka luas petak kawasan mangrove dan luas petak tambak adalah dengan perbandingan 80 : 20. Bentuk petakan tambak adalah persegi panjang dan memanjang antara saluran pasok dan buang. Ukuran petakan disesuaikan dengan luasan petakan tambak yang telah ada, sementara itu luasan yang direkomendasikan adalah sekitar 2 hektar (Gambar 13).
Gambar 13 Petak tambak silvofishery. Layout tambak saat ini hanya berupa satu barisan petak tambak yang menyusur sisi kiri dan kanan sungai ke arah hulu, sehingga hanya sedikit kawasan yang dapat digunakan menjadi lahan tambak karena tidak efisien dalam pemanfaatan kawasan. Pengembangan tambak pada kawasan ini dapat dilakukan dengan pembuatan tambak dibelakang tambak yang sudah ada, disertai juga dengan pembangunan saluran pasok dan saluran buang. Untuk layout petak tambak silvofishery pada salah satu sisi sungai dan rencana pengembangannya dapat dilihat pada lampiran 6.
75
E. Revitalisasi Tambak Untuk Peningkatan Produktivitas Kawasan Hasil panen dari kegiatan budidaya udang vaname pada tambak silvofishery yang akan diperoleh petambak diharapkan bisa mencapai sebanyak 524.00 kg/tahun/hektar, jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan tambak konvensional saat ini. Dengan kondisi tersebut apabila seluruh tambak (100%) dapat beroperasi kembali maka dapat dipastikan produksi udang Di Desa Dabong bisa mencapai 291.225,54 kg/tahun, dengan nilai produksi sebesar Rp. 12.231.472.680,00/tahun dan akan mampu memberikan retribusi sebesar Rp. 183.472.090,20/tahun (Tabel 13). Tabel 13 Estimasi Hasil produksi dan nilai produksi tambak silvofishery Di Desa Dabong No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kondisi Luas Kawasan Tambak Jumlah Petak Jumlah Petambak Luas Tambak yang Operasional Persentase Tambak Operasional Total Produksi Rata-rata Produksi Pertahun Rata-rata Produksi Persiklus Harga Jual Rata-rata Nilai Produksi Penerimaan Dari Retribusi 1,5% Komoditas Udang
Satuan Hektar Unit Orang Hektar % Kilogram/ tahun Kilogram/tahun/ha Kilogram/ha Rupiah/kilogram Rupiah/tahun Rupiah/tahun
Estimasi Sistem Silvofishery 555,35 127 55 555,35 100,00 291.225,54 524,00 262,00 42.000,00 12.231.472.680,00 183.472.090,20 L. vannamei
Selain hasil dari komoditas yang budidayakan saat ini, potensi budidaya kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan hal yang dapat dikembangkan kedepan karena tersedianya lahan mangrove yang berada pada pelataran tambak. Selain memiliki nilai ekonomis tinggi kepiting juga banyak dijumpai di ekosistem mangrove pesisir Dabong. Pada tambak silvofishery dapat juga dikembangkan berbagai jenis ikan yang dapat dibudidayakan secara polikultur. Dengan cara tersebut maka nilai produksi petambak sistem silvofihery dapat lebih besar dari kondisi saat ini. Hal ini sesuai pendapat Fitzgerald dan William (2002), bahwa penerapan sistem tambak silvofishery harus berdasarkan pada alasan yang tepat, prinsip dasarnya adalah keberlanjutan pembangunan dan pertimbangan manajemen harus menjadi utama dalam pembangunan, misalnya penerimaan dan dampak dari
76
keberadaan populasi alami terhadap spesies budidaya harus dapat diterima termasuk adanya benih dan tingkat kelangsungan hidup. Dengan penerapan silvofishery diharapkan berkorelasi positif terhadap peningkatan hasil usaha tangkap saat ini, karena menurut hasil wawancara dengan beberapa nelayan dan pengepul/ pengumpul hasil perikanan bahwa telah terjadi penurunan hasil tangkap sejak terjadi kerusakan terhadap ekosistem mangrove. Kondisi ini seperti yang disampaikan Harty & Cheng (2003) bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan perubahan kawasan mangrove, tetapi merupakan kombinasi dari dua faktor yaitu proses yang diinduksi secara alami dan proses yang dipengaruhi manusia. Hilangnya keanekaragaman hayati dan keberlanjutan mangrove serta kawasan pasang-surut memerlukan pendekatan perencanaan strategis terhadap pengelolaannya. Beberapa pendekatan harus memastikan bahwa estuary dan proses penangkapan dilakukan secara terpadu. Pengaruh kegiatan manusia terhadap proses alam, yang mempengaruhi tingkat dan distribusi lahan estuary, dapat dikelola melalui proses perencanaan yang terpadu. Kegiatan rehabilitasi diharapkan dapat memulihkan hasil tangkapan seperti pada kondisi sebelum tahun 2000, pada saat itu hasil tangkap ikan bisa mencapai 10–15 kg/trip sedangkan saat ini rata-rata hasil tangkap hanya 5,67 kg/trip. Sejak dahulu kepiting merupakan komoditas ekonomis penting pada kawasan ini, pada saat mangrove masih baik hasil tangkap kepiting bisa mencapai 10–15 kg/trip, sedangkan saat ini hasil tangkap hanya rata-rata 6.46 kg/trip. Selain kedua komoditas utama diatas hasil tangkap kerang sangat menunjang perekomian masyarakat nelayan pada kawasan ini, nilai jual kerang juga terus mengalami peningkatan. Pada saat mangrove masih baik hasil tangkap kerang bisa mencapai 15–20 kg/trip, sedangkan saat ini hasil tangkap hanya pada rata-rata 12,17 kg/trip. 5.2 Persepsi Stakeholders Terhadap Penerapan Silvofishery Persepsi yang dikaji dalam penerapan silvofishery Di Desa Dabong meliputi bebeerapa stakeholder yaitu: Petambak atau kelompok petambak, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kubu Raya (Dishutbun KKR), Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kubu Raya (Diskanlut KKR). Informasi dari para stakeholder ini sangat penting bagi pengelolaan ekositem mangrove sesuai pendapat Lal (2003)
77
bahwa sebuah proses pengambilan keputusan berdasar kondisi stakeholders dengan sebuah paradigma ekonomi dapat dilakukan dengan informasi minimal pada tahap pertama. Dalam proses selanjutnya dapat dibuat lebih rinci sebagai sebuah informasi lebih lanjut yang lebih tepat dan berdasarkan pemahaman tentang dinamika peningkatan sistem. Stakeholders akan menyesuaikan kebijakan manajemen dan gabungan instrumen yang digunakan dalam mengelola mangrove yang berkembang dari waktu ke waktu, sistem pengelolaan menjadi lebih tepat seperti halnya tersediannya informasi yang lebih baik.
5.2.1 Persepsi Petambak Seperti kita ketahui bahwa dalam pengelolaan ekosistem mangrove bagian yang sangat menentukan dalam keberlanjutan pengelolaan kawasan tersebut adalah masyarakat setempat terutama petambak, hal ini dikarenakan masyarakat setempat sangat tergantung dengan kondisi dan potensi sumberdaya alam yang ada di ekosistem mangrove. Sehingga aktivitas masyarakat di sekitar kawasan mangrove akan memberikan dampak pada ekosistem mangrove, atau dengan kata lain baik buruknya pengelolaan mangrove tergantung dari peran serta masyarakat. Nilai persentase pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove dan persepsi penerapan silvofishery Di Desa Dabong berkisar antara 0 % sampai 100 % yang menunjukan pandangan sangat buruk (0 %) sampai dengan sangat baik (100 %).
(A) (B) Gambar 14 Kegiatan wawancara (A) dan kuisioner terhadap petambak (B). Berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner terhadap 40 petambak (Gambar 14), tingkat persepsi petambak terhadap penerapan silvofishery Di Desa Dabong. Hal ini dapat diuraikan dari hasil wawancara ditiap-tiap kelompok pertanyaan sebagai berikut:
78
A. Kondisi Kegiatan Usaha Tambak dan Status Hutan Lindung Berdasarkan hasil wawancara dengan petambak diketahui bahwa kondisi sosial-ekonomi petambak terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove Di Desa Dabong adalah sebesar 25,0% atau dalam kategori kurang baik. Hasil produksi sebagian besar petambak yang dilaksanakan dalam beberapa siklus terakhir sebagian besar pada kondisi tidak baik dan hanya sebagian kecil pada kondisi yang baik atau sangat baik (Tabel 14). Tabel 14 Kondisi kegiatan usaha tambak dan status hutan lindung No
Kondisi dan Persepsi
1 2 3 4
Kondisi kegiatan usaha saat ini (1) Pembinaan dan bantuan pemerintah (3) Sosialialisasi tentang penetapan Kawasan Hutan Lindung (4) Kejelasan status hukum antara petambak dengan pengelola kawasan (5) Rata-rata
Persentase (%) 31,0 23,0 23,0 23,0 25,0
Sampai saat ini tidak ada kejelasan status hukum antara petambak dengan pengelola kawasan hutan lindung (Dishutbun KKR), sangat dibutuhkan inisiatif dari masing masing pihak melakukan pembicaraan untuk mencapai kesepakatan bersama. Pembinaan dan bantuan pemerintah terhadap kegiatan usaha tambak saat ini pada saat ini pada kondisi tidak baik. Demikian juga informasi dan sosialialisasi tentang penetapan kawasan hutan lindung mangrove yang disampaikan intansi terkait menurut para petambak disampaikan dengan metode yang tidak baik. Institusi pemerintah yang berwenang dalam pengelolaan ekosistem mangrove selama ini dinilai kurang menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya kegiatan pelastarian dan pengelolaan ekosistem mangrove yang dilakukan oleh instansi pemerintah. Kegiatan pembinaan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat juga tidak pernah dilakukan oleh instansi pemerintah terkait. Bahkan menurut masyarakat institusi pemerintah selama ini belum pernah melakukan sosialisasi tentang penetapan kawasan lindung mangrove di desa mereka. Selain itu kebijakan dan koordinasi antar instansi yang terkait dalam pengelolaan mengrove juga masih saling tumpang tindih dan bertentangan. Hal ini
79
dapat dilihat dari adanya kebijakan dan izin usaha tambak di kawasan lindung yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pontianak pada saat itu, seharusnya izin tersebut telah dikoordinasikan dengan pengelola kawasan adalah yaitu Dinas Kehutanan.
B. Motivasi Usaha dan Kesadaran Lingkungan Motivasi dan kesadaran masyarakat merupakan salah satu hal yang memegang peranan penting dalam terwujutnya suatu pembangunan atau pengelolaan kawasan. Semakin tinggi tingkat pemahaman masyarakat terhadap arti penting kawasan dan sumberdaya, maka semakin tinggi pula peluang dan tingkat keberhasilan suatu pembangunan dan pengelolaan nantinya.Dalam penelitian ini, kesadaran masyarakat diartikan sebagai pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang kondisi, fungsi dan manfaat dari ekosistem mangrove bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Berdasarkan hasil wawancara, tingkat motivasi petambak dalam melanjutkan kegiatan usahanya dan kesadaran pentingnya menjaga kelestarian ekosistem mangrove Di Desa Dabong adalah sebesar 96.3% kategori sangat baik (Tabel 15). Tabel 15 Motivasi usaha dan kesadaran lingkungan No
Kondisi dan Persepsi
1 2 3 4 5 6 7
Motivasi dalam melanjutkan usaha (2) Pengaruh terhadap kegiatan usaha tambak (6) Kegiatan tambak dimusyawarahkan kembali (7) Petambak diberikan izin berdasarkan suatu kesepakatan (8) Teknologi yang tidak merusak (ramah) lingkungan (9) Upaya perbaikan (rehabilitasi) (10) Pengaruh kondisi kualitas lingkungan terhadap produksi (11) Rata-rata
Persentase (%) 89,0 97,5 97,5 97.5 97,5 97,5
97,5 96,3
Komitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan juga mereka setujui, yaitu dengan menerapkan kegiatan tambak dengan teknologi yang tidak merusak (ramah) lingkungan. Kegiatan produksi tambak disertai juga dengan upaya perbaikan (rehabilitasi) terhadap kondisi lingkungan yang rusak termasuk hal yang mereka sepakati. Kesadaran adanya pengaruh kondisi kualitas lingkungan yang semakin baik (lestari) terhadap peningkatan hasil produksi tambak sudah sangat baik.
80
Hal ini berarti bahwa motivasi dan kesadaran petambak dalam menjaga kelestarian lingkungan Di Desa Dabong masuk dalam kategori baik. Masyarakat sudah cukup mengerti dengan baik tentang ekosistem mangrove beserta fungsi dan manfaatnya. Dari hasil wawancara dan kuisioner diketahui bahwa motivasi petambak dalam melanjutkan kegiatan usaha tambaknya sampai saat ini masih sangat tinggi, hal tersebut dikarenakan tambak merupakan salah satu profesi yang telah mereka pilih. Selain itu
besarnya investasi yang telah digunakan untuk membangun
tambak, merupakan alasan lain masih tingginya motivasi petambak untuk melanjutkan usahanya. Kondisi ketidakpastian mengenai status lahan diatas sangat berpengaruh terhadap sebagian besar kegiatan usaha tambak terutama produktivitas tambak yang dilaksanakan, hanya sebagian kecil petambak menyatakan kurang berpengaruh atau tidak berpengaruh sama sekali dengan kondisi tersebut sehingga beberapa petambak tetap beraktivitas seperti biasa. Semua petambak sangat setuju apabila kejelasan status hukum kegiatan tambak dimusyawarahkan kembali dengan intansi terkait, namun sampai saat ini upaya tersebut belum memperlihatkan hasil yang berarti. Mereka juga berharap dari hasil penelitian ini dapat menemukan solusi dari permasalahan yang mereka hadapi, serta berharap agar ada pihak yang segera dapat melakukan mediasi antara petambak dan pengelola kawasan. Petambak sangat setuju apabila diberikan izin baru dalam pemanfaatan mangrove untuk tambak yang sudah ada berdasarkan suatu kesepakatan bersama, karena pada intinya masyarakat masih ingin melaksanakan kegiatan usaha secara legal. Mereka bersedia memperbaharui kembali izin yang telah mereka miliki baik mengenai status kepemilikan lahan ataupun izin kegiatan budidaya perikanan.
81
C. Pengetahuan dan Motivasi Terhadap Penerapan Silvofishery Berdasarkan hasil wawancara dengan petambak diketahui bahwa pengetahuan dan motivasi petambak terhadap penerpan silvofishery Di Desa Dabong adalah sebesar 80,0% atau dalam kategori baik (Tabel 16). Tabel 16 Pengetahuan dan motivasi petambak terhadap penerapan silvofishery No
Kondisi dan Persepsi
1 2 3 4 5
Pengetahuan tentang silvofishery (12) Keingintahuan tentang silvofishery (13) Silvofishery dijadikan kesepakatan (14) Harapan terhadap peran pemerintah (15) Motivasi untuk menerapkan (16) Rata-rata
Persentase (%) 27,5 97,5 97.5 97,5 97,5 80,0
Dari hasil wawancara dan kuisioner terhadap petambak minat untuk menerapkan system silvofishery sebagai kegiatan tambak yang dianjurkan pemerintah sangat baik. Terlebih dengan kondisi saat ini penerapan sistem ini merupakan solusi yang paling memungkinkan. Informasi dan sosialisasi mengenai penerapan sistem silvofishery yang pernah disampaikan dirasa masih belum jelas, petambak berharap akan adanya sosialisasi secara lebih lengkap dan aplikatif. Beberapa petambak saat ini telah berupaya menumbuhkan mangrove pada tambak dan lahan yang mereka miliki, mereka yakin apabila ada pembinaan yang lebih baik maka sistem silvofishery ini dapat diterapkan pada seluruh petambak (Gambar 15).
(A) (B) Gambar 15 Mangrove pada tengah tambak (A) dan mangrove pada tanggul tambak (B).
82
Respon yang sangat baik disampaikan petambak jika sistem silvofishery dapat dijadikan salah satu solusi dalam kesepakatan dengan pihak pengelola kawasan hutan lindung dalam hal ini Dishutbun KKR. Pemerintah dapat meningkatkan peran dalam pembinaaan dan bantuan terhadap petambak melalui penerapan sistem silvofishery. 5.2.2 Persepsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pada tahun 2000, berdasarkan SK MenHut No. 259/kpts-II/2000 kawasan Hutan Mangrove di Desa Dabong ditetapkan statusnya menjadi Kawasan Hutan Lindung Mangrove. Berkaitan dengan desentralisasi/ otonomi daerah maka pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengelola daerahnya termasuk pada bidang kehutanan, maka saat ini kawasan hutan lindung mangrove Di Desa Dabong tersebut pengelolaanya diwenangkan kepada Dishutbun KKR dan didukung oleh Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan hasil wawancara secara mendalam terhadap Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian dan Perlindungsn Dishutbun KKR, mengenai kondisi pengelolaan hutan lindung dan penerapan silvofishery dapat diuraikan hasil wawancara sebagai berikut: A. Kondisi Pengelolaan Hutan Lindung Saat ini Kondisi pengelolaan hutan lindung mangrove Di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya pada kondisi yang tidak baik, karena beberapa kawasan telah terdegradasi dan berubah fungsi menjadi kawasan tambak udang. Permasalahan yang sering terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove, baik secara organisasi ataupun dalam tingkat pelaksanaan. Secara organisasi luas kawasan tidak sebanding dengan tenaga pengamanan hutan lindung, sedangkan pada tingkat pelaksanaan yang sering menjadi permasalahan adalah lemahnya koordinasi kebijakan antara pemerinyah pusat dan daerah. Upaya pengelolaan hutan lindung di Desa Dabong masih melekat pada bidang-bidang yang ada pada struktur organisasi Dishutbun KKR, karena sampai saat ini Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) pada kawasan tersebut masih belum terbentuk. Bidang dan seksi pada struktur organisasi yang terkait dalam upaya pengelolaan hutan lindung saat ini adalah: Bidang Perlindungan Hutan dan
83
Perkebunan (Seksi Perlindungan Hutan dan Pekerbunan), dan Bidang Produksi dan Rehabilitsi Hutan (Seksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan; Seksi Penataan dan Pengembangan Kawasan). Dengan kondisi tersebut belum sepenuhnya
dapat
mengakomodasi upaya pengelolaan hutan lindung dengan baik. Hal ini dikarenakan antara lain : Urusan yang ditangani oleh DisHutBun Kab. Kubu Raya tidak hanya pada urusan kehutanan, tetapi juga perkebunan. Upaya sinkronisasi dan koordinasi program pembangunan dengan instansi terkait sangat perlu untuk ditingkatkan, permasalahan yang sering terjadi seperti degradasi hutan mangrove menjadi tambak udang Di Desa Dabong adalah sebagai akibat lemahnya sikronisasi dan koordinasi dalam kegiatan masing-masing sektor. Sinkonisasi dan koordinasi sangat perlu ditingkatkan untuk sinergisitas dalam pelaksanaan tugas. Koordinasi dengan intamsi terkait merupakan hal mutlak yang harus terus ditingkatkan karena selama ini masih terlihat lemah, peningkatan tersebut bertujuan untuk mencapai kondisi yang diharapkan. Seperti diketahui selama ini bahwa banyak kebijakan di daerah yang bersifat sektoral dan terlihat berjalan masing-masing bahkan sering dalam beberapa kebijakan bersinggungan pada tingkat pelaksanaan. Salah satu intansi yang perlu di tingkatkan koordinasinya adalah dengan Diskanlut KKR, karena banyak kegiatan yang dilaksanakan di wilayah pesisir dan ekositem mangrove. Peningkatan koordinasi secara intensif dilakukan agar terjadi sinkronisasi dalam kebijakan dan dapat saling mendukung pada tiap pelaksanaan kegiatan.
B. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Sampai sejauh ini belum ada program yang dilakukan dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung. Pengoptimalan pemanfaatan hutan lindung yang lestari dan sesuai dengan peraturan perundangundangan, sehingga ada pendapatan bagi pengelola kawasan. Sampai saat ini belum pernah dilakukan sosialisasi dan pembinaan terhadap kegiatan usaha tambak yang dilaksanakan pada kawasan hutan lindung, termasuk kegitan rehabilitasi sesuai Permenhut No: P.70/ Menhut-II/ 2008. Menurut Dishutbun KKR tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan rehabilitasi hutan lindung mangrove Di Desa Dabong masih sangat rendah. Saat
84
ini tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan rehabilitasi hutan lindung mangrove masih kurang. Sebaiknya masyarakat diberikan akses secara terbatas dalam pemanfaatan sumberdaya di kawasan hutan lindung, misalnya dengan sharing batas yuridiksi pengelola kawasan akan wilayah yang sudah terkonversi menjadi tambak di kawasan hutan lindung kepada masyarakat dengan pola yang ramah lingkungan. Masyarakat yang telah diberikan akses terhadap pemanfaatan sumberdaya di kawasan hutan lindung (dibagi sebagian batas yuridiksi pengelola kawasan) diberikan tanggung jawab dan kewajiban untuk menjaga keutuhan dan kelestarian seluruh kawasan kawasan hutan lindung mangrove. Pendapat Dishutbun KKR mengenai kegiatan usaha tambak yang ada Di Desa Dabong adalah merupakan kegiatan yang sudah berjalan dibawah pembinaan pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan Pemprov Kalbar. Namun sejak tahun 2007 pembinaan terhenti sejak kawasan tambak
menjadi kasus hokum, sebelumnya status kawasan kurang menjadi
perhatian intansi terkait. Kegiatan tambak yang
dilaksanakan masyarakat
merupakan salah satu program pengembangan usaha perikanan dalam upaya peningkatan produksi non migas. Program ini sepenuhnya mendapat dukungan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat, namun sejak tahun 2007 tidak ada lagi pembinaan dan bantuan yang dilaksanakan. Semenjak itu tidak adalagi intansi yang melakukan pembinaan pada kawasan tambak tersebut, sehingga sebagian tambak pada kondisi kurang terawatt dan terlantar. Belum pernah dilakukan sosialisasi dan pembinaan terhadap kegiatan usaha tambak yang dilaksanakan pada kawasan hutan lindung (Permenhut No: P.70/ Menhut-II/ 2008). Kegiatan pembinaan dan sosialisasi hanya pada spot-spot tertentu dan bersifat personal saja. Perlu adanya pengelolaan yang partisipatif yaitu dengan membuat kontrak sosial antara para stakeholder (yaitu antara pengelola kawasan/Dinas Kehutanan dengan masyarakat dan DKP) terkait dengan pengelolaan mangrove. Kontrak sosial tersebut berupa kesepakatan konservasi yang dituangkan dalam suatu dokumen/konsensus yang ditanda-tangani secara bersama-sama. Hal ini guna untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Peningkatan biaya transaksi hanya untuk proses awal (membuat kesepakatan antar para stakeholder), dan dengan
85
peningkatan biaya transaksi ini maka biaya penegakan status untuk dimasa yang akan datang menjadi lebih rendah.
C. Penerapan Silvofishery Informasi mengenai penerapan tambak-bakau (silvofishery) untuk rehabilitasi tambak pada kawasan hutan lindung belum disampaikan kepada masyarakat. Karena dengan silvofishery kita telah berupaya melaksanakan pengelolaan mangrove yang baik yaitu dapat menjaga keutuhan dan kelestarian mangrove, disamping itu juga memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang besar kepada masyarakat secara berkelanjutan. Program yang akan dilakukan dalam sosialisasi dan pembinaan terhadap masyarakat khususnya petambak mengenai penerapan silvofishery, adalah bahwa dengan penerapan silvofishery petambak telah berperan serta dalam proses rehabilitasi dan turut menjaga kelestarian ekosistem mangrove. Keberadaan tambak di dalam kawasan hutan lindung merupakan kebijakan berupa pemberian akses secara terbatas kepada masyarakat dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat diberikan hak guna berupa izin untuk tetap mengelola tambaknya tetapi harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Pengelolaan ekosistem mangrove yang partisipatif dengan melibatkan
semua
stakeholder
terutama
masyarakat
sangat
tepat
untuk
dilaksanakan. Sistem silvofishery dijadikan salah satu solusi kesepakatan dengan masyarakat (petambak) dalam kegiatan rehabiliasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat sesuai Peraturan Menteri kehutanan Nomor P.70/Menhut-II?2008. Rehabilitasi dengan penerpan silvofishery didasarkan pada asumsi bahwa dengan diterapkannya model tambak silvofishery
pola empang parit tradisional dengan perbandingan
luasan antara antara mangrove dan parit adalah 80% : 20%, maka akan terjadi pertambahan luasan mangrove sebesar 555.35 ha dan luas lahan tambak yang terbuka menjadi hanya 111.07 ha dari yang sebelumnya 444.28 ha. Selain itu potensi kerusakan hutan mangrove akibat ulah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab akan menjadi kecil. Hal ini dikarenakan ekosistem mangrove ini telah dijaga oleh masyarakat, sehingga setiap perusak akan berhadapan dengan masyarakat.
86
Selain itu jika ada kawasan mangrove yang rusak maka masyarakat akan melakukan rehabilitasi atas inisiatif sendiri dengan dibantu pengelola kawasan. Penerapan sistem silvofishery dapat dapat dijadikan model pengelolaan Hutan Lindung Mangrove Di Desa Dabong. Pembinaan dan pemberdayaan terhadap masyarakat akan meningkatkan kondisi perekonomian dan desa akan menjadi lebih maju. Menurut penelitian Sadi (2006), pola tambak silvofishery 80% : 20% di Kec. Legonkulon Kab. Subang memiliki nilai keuntungan atau pendapatan bersih adalah sebesar Rp.14.154.362.00 /ha/thn. Jika luas tambak di Dabong 522.08 ha, maka nilai keuntungan tambak silvofishery adalah sebesar Rp.7.389.709.365.00 /thn dengan total pendapatan retribusi ke pemerintah daerah sebesar Rp. 224.754.344.00 /thn. Program pembinaaan dan bantuan yang akan dan telah dilaksanakan Dishutbun KKR dalam meningkatkan kasejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan adalah:
Program Hutan Tanaman Rakyat (HR) Program Kebun Benih Rakyat (KBR) Pembuatan embung, berfungsi untuk menampung air untuk keperluan petani yang ada disekitar hutan.
Program penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak. 5.2.3 Persepsi Dinas Perikanan dan Kelautan Diskanlut KKR dalam kaitannya tentang pengelolaan ekosistem mangrove Di Desa Dabong memiliki kepentingan yang cukup besar dan seharusnya berperan aktif. Kepentingan terhadap sumberdaya mangrove di wilayah pesisir erat kaitannya dengan pengembangan di sektor perikanan dan kelautan menjadi tugas pokok dari instansi ini. Pengembangan perikanan budidaya khususnya pembukaan tambak sering dilakukan tanpa adanya koordinasi dan teknologi yang tepat. Hal ini menyebabkan tumpang tindih dalam upaya pengelolaan kawasan ekosistem mangrove sehingga diperlukan suatu bentuk pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan agar ekosistem mangrove yang ada tetap lestari dan berkelanjutan. Berdasarkan hasil wawancara secara mendalam terhadap Kepala Bidang (Kabid) Pesisir, Pengawasan dan Konservasi SDKP Diskanlut KKR, mengenai
87
kondisi kegiatan tambak dan penerapan silvofishery dapat diuraikan hasil wawancara sebagai berikut:
A. Kondisi Kegiatan Tambak Diakui bahwa sejak status kawasan bermasalah kondisi kegiatan usaha tambak Di Kabupaten Kubu Raya, khususnya Desa Dabong Kecamatan Kubu saat ini pada kondisi tidak baik. Sebagian petambak sudah tidak beraktivitas semenjak tahun 2007. Sebelumnya kawasan ini merupakan daerah penghasil udang yang cukup besar Di Povinsi Kalbar, bahkan dijadikan kawasan percontohan dalam pengembangan tambak budidaya. Sampai dengan saat ini (tahun 2011), belum ada program yang dilaksanakan Diskanlut KKR dalam upaya pembinaan dan bantuan terhadap kegiatan usaha tambak yang ada pada kawasan tersebut. Sangat disayangkan investasi yang cukup besar baik materi maupun tenaga dari petambak maupun pemerintah kini mulai banyak yang terlantar. Secara umum petambak telah mengusai teknologi budidaya tambak udang, dengan SDM yang telah terlatih kurang tepat kiranya bila keahlian yang telah mereka kuasai tidak termafaatkan ataupun beralih pada bidang pekerjaan lainnya. Terbentuknya kondisi kawasan tambak dan SDM petambak terlatih tersebut adalah hasil dari program bantuan dan pembinaan secara intensif sebelum tahun 2007, baik berupa sarana dan prasarana serta pelatihan terhadap petambak yang telah dilakukan oleh Diskanlut Provinsi Kalbar secara rutin dengan menggunakan anggaran yang tidak sedikit. Secara teknis kegiatan tambak tidak menemui masalah berarti, permasalahan yang menjadi kendala utama adalah masalah yuridis kawasan yang merupakan hutan lindung mangrove. Pengembangan kawasan tambak berupa kegiatan konversi lahan bakau menjadi tambak udang dikhawatirkan menimbulkan permasalahan ligkungan. Penyelesaian secara yuridis merupakan hal pertama yang akan diselesaikan, selanjutnya peningkatan kesejahteraan melalui produktivitas kegiatan pertambakan merupakan salah satu tugas pokok Diskanlut KKR, untuk itu secara organisasi intansi ini sudah siap dan berkeinginan untuk membinapara petambak yang ada Di Desa Dabong.
88
Senada dengan Dishutbun KKR diakui juga oleh Diskanlut KKR koordinasi dengan intamsi terkait merupakan hal mutlak yang harus terus ditingkatkan karena selama ini masih dirasa masih kurang, peningkatan tersebut bertujuan untuk mencapai kondisi yang diharapkan. Seperti diketahui selama ini bahwa banyak kebijakan di daerah yang bersifat sektoral dan terlihat berjalan masing-masing bahkan sering dalam beberapa kebijakan bersinggungan pada tingkat pelaksanaan. Koordinasinya dengan intansi kehutanan merupakan hal yang sangat penting, karena banyak kegiatan yang dilaksanakan di wilayah pesisir dan ekositem mangrove. Harapan
dari peningkatan koordinasi secara intensif dengan pihak kehutanan
dilakukan agar terjadi sinkronisasi dalam kebijakan dan dapat saling mendukung pada tiap pelaksanaan kegiatan khususnya masalah tambak udang.
B. Program Pengembangan dan Pembinaan Petambak Sampai dengan saat ini belum adanya kejelasan status hukum tentang kegiatan usaha tambak Di Desa Dabong. Diskanlut KKR terus berusaha untuk menyelesaikan kasus hukum yang terjadi pada petambak Di Desa Dabong, kondisi ini masih menjadi kendala untuk melaksanakan program pengembangan dan pembinaan bidang kelautan dan perikanan. Sama halnya dengan apa yang disampaikan para petambak kondisi ketidakpastian tersebut berpengaruh terhadap produktivitas dan pengembangan kegiatan usaha tambak yang ada. Pada kondisi ini hal yang dapat dilakukan adalah upaya pencarian solusi dari permasalahan yang ada, dan tetap menjaga motivasi petambak untuk tetap beraktivitas dalam produksi ikan dan udang pada tambak masing-masing. Kegiatan budidaya pada tambak yang dilaksanakan masyarakat sudah menuju kepada penerapkan teknologi yang ramah lingkungan, karena teknologi yang mereka terapkan sebagian besar adalah teknokogi tradisional. Pembinaan yang telah dilakukan Diskanlut Provinsi Kalbar telah menunjukan peningkatan pengetahuan petambak tentang pentingnya kondisi lingkungan yang baik, walaupun dalam beberapa kasus saja terutama sering terjadi penggunaan saprodi yang kurang tepat guna. Penerapan sistem budidaya yang lebih ramah lingkungan merupakan tugas Diskanlut KKR untuk menyadarkan dan melakukan pembinaan lanjutan yang lebih baik.
89
C. Penerapan Silvofishery Diskanlut KKR sejauh ini belum pernah melakukan sosialisasi kepada petambak untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove melalui penerapan silvofishery, karena sampai saat ini belum ada program yang dilaksanakan pada kawasan tersebut. Pada prinsipnya intansi ini mendukung penuh eksistensi petambak yang ada, dan siap melakukan pembinaan terhadap petambak untuk peningkatan produktivitas tambak dan menjaga kelestarian sumberdaya alam. Sistem silvofishery dapat dijadikan sebagai konsenus yaitu solusi dalam mencapai kesepakatan antara petambak dan kehutanan yang selama ini terlibat konflik, sehingga kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat dan upaya rehabilitasi kawasan dapat dilaksanakan secara bersamaan dan memberikan keuntungan bagi semua pihak. Hal lain yang sedang diupayakan proses yuridisnya adalah perubahan status hutan lindung bakau menjadi areal penggunaan lain. Beberapa program yang telah direncanakan akan dilaksanakan adalah program pembinaaan pada petambak mengenai teknologi tambak yang ramah lingkungan dan bagaimana penerapannya. Bantuan
berupa penyuluhan lapangan, tambak
percontohan dan bantuan saprodi bagi petambak juga akan diberikan dalam mendukung penerapan sistem silvofishery. Komoditas yang akan dikembangkan pada kawasan tersebut untuk meningkatkan hasil produksi budidaya perikanan antara lain: Udang windu, udang vaname, kepiting bakau, ikan bandeng, ikan kakap dan ikan kerapu macan. Pengembangan tidak hanya dilakukan dengan model tambak parit tadisional, tetapi juga model Karamba Jaring Apung dan Karamba Jaring Tancap (KJA/KJT).
5.3 Analisis Finansial dan Ekonomi Perhitungan biaya dan manfaat pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu finansial atau ekonomi tergantung dari pihak mana yang berkepentingan secara langsung terhadap sumberdaya yang ada. Analisis finansial atau privat dilakukan apabila yang berkepentingan adalah individu atau perusahaan, sedangkan analisis ekonomi atau sosial bila yang berkepentingan adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan (Gray et al. 2005). Pada penelitian ini analisis
90
finansial dilakukan pada kegiatan tambak yang telah dilaksanakan oleh petambak saat ini yaitu tambak sistem konvensional, sedangkan analisis ekonomi dilakukan terhadap model tambak sistem silvofishery yang akan diterapkan pada masa yang akan datang.
5.3.1 Analisis Finansial Tambak Saat Ini Biaya yang digunakan dan manfaat yang diperoleh dalam usaha tambak udang vaname Di Desa Dabong dikelompokkan kedalam beberapa bagian yaitu: modal investasi, biaya penyusutan dari modal investasi, biaya operasional, pajak/retribusi, penerimaan dan keuntungan.
a. modal investasi Modal investasi yang digunakan dalam usaha tambak udang vaname adalah berupa pengadaan atau perbaikan kontrruksi dan pealatan. Mengenai jenis dan nilai rata-rata modal investasi/ unit tambak dapat dilihat pada tabel 17. Tabel 17 Rata-rata modal investasi/ unit tambak No. A.
B.
Jenis Investasi Kontruksi Tambak Saluran Pintu Inlet/outlet Rumah Jaga Peralatan Pompa Air Mini Genset Saringan Pintu Inlet Jaring Penen Keranjang Panen Box Simpan Ikan Gerobak Tarik Total A + B
Satuan
Total (Rupiah)
ha/unit unit unit unit
158.720.000 58.800.000 38.500.000 25.200.000 -
unit unit unit unit unit unit unit
Rata-rata (Rupiah) 11.337.143 4.200.000 2.750.000 1.800.000 -
13.500.000 33.600.000 4.900.000 8.400.000 2.100.000 3.500.000 8.400.000 355.620.000
2.700.000 2.400.000 350.000 600.000 150.000 250.000 600.000 27.137.143
Jenis dan nilai modal investasi masing-masing responden secara rinci dapat dilihat pada lampiran 7.
91
b. biaya penyusutan Menurut Gray et al (2005) penyusutan adalah bagian dari benefit proyek yang dicadangkan tiap-tiap tahun sepanjang umur ekonomi proyek sedemikian rupa sehingga merupakan dana yang mencerminkan jumlah biaya modal. Walaupun masuk dalam neraca rugi-laba tahunan, penyusutan tidak mengandung unsur pengeluaran uang atau sumber riil. Tujuan penyisihan modal ini adalah untuk mempertahankan investasi semula, sehingga bila umur ekonomis proyek selesai maka tingkat investasi yang sama dapat dilakukan kembali. Rata-rata penyusutan modal investasi/unit tambak dapat dilihat pada tabel 18. Tabel 18 Rata-rata penyusutan modal investasi/unit tambak No.
A.
B.
Jenis Investasi Kontruksi Tambak Saluran Pintu Inlet/outlet Rumah Jaga Peralatan Pompa Air Mini Genset Saringan Pintu Inlet Jaring Penen Keranjang Panen Box Angkut Ikan Gerobak Tarik Total A + B
Satuan
Total (Rupiah)
Rata-rata (Rupiah)
Rupiah/unit Rupiah/unit Rupiah/unit Rupiah/unit
22.674.285,71 8.400.000,00 5.500.000,00 3.600.000,00
1.619.591,84 600.000,00 392.857,14 257.142,86
Rupiah/unit Rupiah/unit Rupiah/unit Rupiah/unit Rupiah/unit Rupiah/unit Rupiah/unit
3.375.000,00 6.720.000,00 1.225.000,00 2.100.000,00 1.680.000,00 700.000,00 2.100.000,00 58.074.285,71
675.000,00 480.000,00 87.500,00 150.000,00 120.000,00 50.000,00 150.000,00 4.582.091,84
Nilai penyusutan modal investasi masing-masing responden secara rinci dapat dilihat pada lampiran 8. c. biaya operasional Yang digolongkan ke dalam biaya operasional dalam penelitian ini adalah semua sarana produksi habis pakai dalam satu siklus produksi. Biaya operasional pertahun tergantung dari banyaknya siklus yang dilakukan, sehingga proses produksi akan terlaksana. Penetapan harga pada aspek finansial adalah berdasarkan harga pasar yang berlaku, secara aspek finansial jenis dan nilai biaya operasional persiklus dapat dilihat pada tabel 19.
92
Tabel 19 Jenis dan nilai rata-rata biaya operasional tambak/ unit No.
1 2 3 4 5 6 7
Komponen Produksi
Benur Udang Pakan Kapur Saponin Probiotik Bahan Bakar Upah T. Kerja (1org, 6bln.) Total Biaya Operasional/siklus Total Biaya Operasional/tahun
Satuan
Total (Rupiah)
Rupiah/unit Rupiah/unit Rupiah/unit Rupiah/unit Rupiah/unit Rupiah/unit Rupiah/unit
27.346.500,00 65.860.500,00 17.500.000,00 1.925.000,00 2.612.500,00 9.450.000,00 71.400.000,00
Rata-rata (Rupiah)
1.953.321,43 4.704.321,43 1.250.000,00 137.500,00 186.607,14 675.000,00 5.100.000,00 14.006.750,00 28.013.500,00
Jenis dan nilai biaya operasional masing-masing responden secara rinci dapat dilihat pada lampiran 9. d. pajak Menurut Gittinger (2008) pembayaran pajak biasanya dianggap sebagai suatu biaya dalam analisis keuangan (finansial). Tetapi dalam analisis ekonomi pemerintahan karena pembayaran semacam ini tidak mengurangi pendapatan nasional maka merupakan hibah dan tidak dianggap sebagai biaya. Pada saat ini obyek penelitian bukan merupakan proyek pemerintah melainkan usaha tani yang dilaksanakan oleh individu petambak udang, maka analisis yang digunakan adalah analisis finansial, oleh karena itu, pajak harus diperhitungkan sebagai biaya. Adapun nilai pajak untuk lahan tambak Di Desa Dabong adalah berupa retribusi karena lebih bersifat partisipatif, pada tiap siklusnya besarnya retribusi yaitu sebesar 1,5% dari total penerimaan.
e. penerimaan Penerimaan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi dikalikan harga jual rata-rata yang berlaku, dimana harga jual rata-rata diperoleh sebesar Rp. 43.857,16
perkilogram. Penerimaan tersebut belumlah dikurangi retribusi
penerimaan sebagai pajak, sehingga diperoleh jumlah penerimaan bersih. Jumlah
93
penerimaan bersih adalah penerimaan setelah dikurangi persentase retribusi yang tepat diberlakukan dilokasi penelitian, pajak yang berlaku adalah 1,5 persen. Ratarata
penerimaan
setelah
pajak
adalah
Rp.24.926.954,73/siklus
atau
Rp.49.853.909,45 /tahun, nilai rata-rata penerimaan hasil budidaya secara lengkap dapat dilihat pada table 20a. Tabel 20a Nilai rata-rata penerimaan hasil budidaya tambak No.
Komponen Produksi
Satuan
Luas lahan Luas parit tambak Jumlah Tebar Rata-rata tabar Survival Rate (SR) Jumlah Populasi Berat Panen (MBW) Pola tebar Konversi Pakan (FCR) Jumlah Pakan Biomass Harga Penerimaan/Siklus Penerimaan setelah pajak/siklus Penerimaan setelah pajak/tahun
Total
hektar hektar ekor/siklus ekor/m2 % ekor gram siklus/tahun kilogram kilogram rupiah/ kg Rupiah Rupiah Rupiah
Rata-rata
25,60 6,64 607.700,00 134 972,20 415.992 271,42 28,00 9,89 5.727,00 8.078,31 614.000,00
1,83 0,47 43.407,14 10 69,44 29.714 19,39 2,00 0,71 409,07 577,02 43.857,14 25.306.553,02 24.926.954,73 49.853.909,45
Selain penerimaan dari komoditas yang dibudidayakan tambak pola tradisional ataupun tradisional plus menghasilkan panen komoditas sampingan berupa jenis udang alami, ikan, kepiting, dan kerang.
Penerimaan dari hasil sampingan
merupakan perkalian antara jumlah panen dikalikan harga jual masing-masing komoditas.
Nilai
rata-rata
penerimaan
hasil
sampingan
adalah
Rp,
1.232.880,57/Siklus atau Rp. 2.465.761,14/Tahun, jenis dan nilai rata-rata penerimaan hasil sampingan secara lengkap dapat dilihat pada tabel 20b. Tabel 20b Jenis dan nilai rata-rata penerimaan hasil sampingan tambak No. 1 2 3 4
Jenis Produksi Udang Putih Kepiting Ikan Kerang Penerimaan/siklus Penerimaan/tahun
Satuan Rupish/unit Rupish/unit Rupish/unit Rupish/unit
Total (Rupiah) 8.370.000,00 7.700.400,00 979.176,00 210.752,00 17.260.328,00 34.520.656,00
Rata-rata (Rupiah) 597.857,14 550.028,57 69.941,14 15.053,71 1.232.880,57 2.465.761,14
94
Nilai penerimaan hasil budidaya masing-masing responden secara rinci dapat dilihat pada lampiran 10. Sedangkan jenis dan nilai penerimaan hasil sampingan masing-masing responden secara rinci dapat dilihat pada lampiran 11.
f. keuntungan Keuntungan operasional,
merupakan
adapun
selisih
rata-rata
antara
keuntungan
penerimaan
dikurangi
Rp.20.141.450,38/tahun
modal atau
Rp.10.070.725,19/siklus. Rata-rata keuntungan/unit tambak secara lengkap dapat dlihat pada tabel 21. Tabel 21 Rata-rata keuntungan/unit tambak No. A.
B.
Komponen Penerimaan/tahun Hasil Budidaya Hasil Samping Jumlah Modal Operasional Penyusutan Biaya Operasinal/Produksi Jumlah Keuntungan (A - B) Keuntungan/siklus
Satuan
rupiah/tahun rupiah/tahun
rupiah/tahun rupiah/tahun rupiah/tahun rupiah/siklus
Total
697.996.934,99 34.246.656,00 732.243.590,99 58.074.285,71 392.189.000,00 450.263.285,71 281.980.305,27
Rata-rata
49.856.923,93 2.446.189,71 52.303.113,64 4.148.163,27 28.013.500,00 32.161.663,27 20.141.450,38 10.070.725,19
Nilai rata-rata keuntungan masing-masing responden secara rinci dapat dilihat pada lampiran 12.
5.3.2 Analisis Ekonomi Tambak Silvofishery Dengan kondisi ekosistem mangrove dan manfaat ekonomi tambak seperti dijelaskan diatas, maka adanya analisis kelayakan kegiatan tambak silvofishery menjadi sangat penting karena analisis ini akan mengasumsikan pelaksanaan tambak sistem konvensional yang telah dilaksanakan saat ini, dan merencanakan kegiatan usaha tambak tersebut apabila diterapkan tambak sistem silvofishery pada seluruh kawasan. Perhitungan ini diharapkan akan lebih meningkatkan motivasi petambak yang telah sepakat secara persepsi, dan membuktikan bahwa penerapan sistem ini secara ekonomi tetap menguntungkan.
95
A. Struktur Biaya dan Manfaat Biaya yang digunakan dan manfaat yang diperoleh dalam usaha tambak sistem silvofishery Di Desa Dabong dikelompokkan kedalam beberapa bagian yaitu: Modal investasi, biaya penambahan investasi, biaya perawatan, nilai sisa investasi, biaya operasional, dan penerimaan. Pada penelitian ini analisis ekonomi dilakukan untuk 7 (tujuh) tahun periode analisis, yaitu berdasarkan nilai ekonomi dari investasi yang dilakukan.
Menurut
Gittinger et al. (2008), salah satu ukuran dalam menentukan panjangnya umur analisis suatu proyek adalah sama dengan umur ekonomi daripada proyek, yang dimaksud dengan umur ekonomi suatu asset ialah jumlah tahun selama pemakaian asset tersebut dapat meminimumkan biaya tahunannya. Dalam usaha tambak udang vaname yang dilaksanakan Di Desa Dabong, nilai investasi yang cukup besar adalah pembangunan kontruksi kolam yaitu sebesar Rp.
21.810.000,00 berupa kegiatan
rehabilitasi kolam dan pembuatan bangunan pendukung. Umur ekonomis kontruksi tambak ini sekitar 7 (tujuh) tahun. Sedangkan investasi lainnya berupa pengadaan peralatan pendukung dengan nilai investasi sebesar Rp. 6.050.000,00 dan umur ekonomis berkisar 4 sampai 5 tahun. Dengan menetapkan umur proyek selama 7 tahun, maka akan terjadi penggantian/ pengadaan investasi baru berupa penambahan peralatan pada tahun ke 5 dan tahun ke 6, pada akhir umur proyek akan tersisa nilai investasi dari pengadaan peralatan baru tersebut. Apabila perhitungan umur proyek yang dipilih kurang dari 7 tahun maka nilai sisa investasi akan sangat besar dan apabila dipilih lebih dari 7 tahun maka harus disediakan penambahan dana investasi pada tahun ke-8 untuk pembangunan kontruksi baru dengan dana yang besar.
a. modal investasi Modal investasi yang digunakan dalam usaha tambak sistem silvofishery adalah sama dengan tambak konvensional yang ada. Investasi dilakukan dengan cara revitalisasi/ pembangunan kembali tambak yang sudah ada, serta dilakukan pembelian beberapa peralatan untuk proses produksi. Penanaman bibit mangrove sebanyak 3300 batang untuk tiap petak pada pelataran tambak merupakan bentuk
96
investasi yang khas pada sistem silvofishery, komponen investasi ini sebagai bagian dari upaya rehabilitasi ekosistem mangrove Jumlah investasi tambak sistem silvofishery adalah Rp.27.820.000,00 Mengenai jenis investasi tambak sistem silvofishery secara rinci dapat dilihat pada lampiran 13. b. nilai sisa (residual value) Seringkali pada akhir suatu periode proyek diperkirakan adanya nilai sisa, yaitu tidak semua modal investasi habis digunakan selama periode proyek sehingga tersisa suatu nilai yang disebut “nilai sisa” (residual value). Oleh karena itu nilai sisa dari suatu perincian kapital dianggap sebagai “manfaat” proyek selama tahun terakhir dari periode analisis (Gittinger et al. 2008). Selanjutnya untuk menghitung besarnya nilai sisa, Gittinger (2008) mengemukakan rumus seperti berikut: NS = Dimana : NS SUE UE P
x P
= Nilai Sisa = Sisa Umur Ekonomis = Umur Ekonomis = Nilai Investasi
Jumlah nilai sisa yang terjadi pada tahun terakhir periode analisis dapat dilihat pada lampiran 14.
c. biaya perawatan Menurut Gittinger et al (2008), untuk memudahkan perhitungan biaya perawatan bangunan dan peralatan, maka dapat digunakan pedoman biaya perawatan kontruksi sebesar 1 persen/tahun dari nilai investasi dan biaya perawatan mesin sebesar 5 persen/tahun dari nilai investasi. Yang digolongkan kedalam konstruksi adalah semua bangunan dan peralatan yang tidak menggunakan mesin. Rincian biaya perawatan kontruksi dan peralatan dapat dilihat pada lampiran 14.
97
g. biaya pengganti Dalam pelaksanaan proyek ada beberapa jenis investasi yang harus diganti sebelum periode proyek selesai, oleh karena itu diperlukan biaya penggantian investasi pada saat proyek membutuhkannya. Perlakuan terhadap biaya penggantian investasi adalah dengan memasukan biaya-biaya tersebut dalam perincian biaya modal pada tahun bersangkutan dalam analisis proyek (Gittinger et al. 2008). Penggantian investasi terjadi seperti disajikan pada lampiran 14. Menurut Gittinger et al. (2008), penyusutan tidak muncul dalam perhitungan biaya bruto untuk B/C ratio, karena penyusutan pada dasarnya adalah merupakan pengembalian yang dbayar karena telah menggunakan kapital. Dalam hal ini nilai penyusutan tidak perlu dimasukan secara terpisah sebagai suatu biaya dalam menganalisis proyek, karena secara otomatis penyusutan telah masuk dalam proses perhitungan. Penyusutan hanya merupakan persoalan pembukuan dan bukan merupakan persoalan nilai ekonomi. h. biaya operasional Biaya operasional dalam penelitian ini adalah semua sarana produksi habis pakai dalam satu siklus produksi. Biaya operasional pertahun tergantung dari banyaknya siklus yang dilakukan, sehingga proses produksi akan terlaksana (Riyanto. 2001). Menurut Gittinger et al (2008), dalam analisis ekonomi penentuan harga menggunakan shadow prices atau accounting prices yaitu harga-harga yang disesuaikan sedemikian rupa untuk menggambarkan nilai ekonomi sebenarnya atas barang dan jasa tersebut, karena telah terjadi perubahan dan penyimpangan pada harga pasar yang ada. Dalam analisis ekonomi subsidi merupakan pengalihan dana masyarakat terhadap proyek sehingga tidak mengurangi biaya proyek, pada kondisi ini subsidi masuk dalam kalkulasi harga jual. Terjadi perbedaan satuan harga pada aspek finansial dan aspek ekonomi untuk harga bahan bakar dan upah tenaga kerja.Secara aspek ekonomi biaya operasional tambak adalah Rp.14.006.726,00/siklus atau sebesar Rp.28.013.452,00/tahun, yaitu dengan asumsi harga bahan bakar tanpa subsidi dan upah tenaga kerja yang riil dikeluarkan. Secara aspek ekonomi jumlah biaya operasional tambak silvofishery dapat dilihat pada lampiran 16.
98
i. penerimaan Nilai penerimaan pada tambak sistem silvofishery yang akan diperoleh merupakan suatu estimasi berdasarkan data rata-rata penerimaan tambak dari masing-masing responden yang ada saat ini. Penerimaan tersebut merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi dikalikan harga jual rata-rata yang berlaku, dimana harga jual rata-rata diperoleh sebesar Rp.43.850,00/kilogram. Jumlah penerimaan bersih adalah penerimaan setelah dikurangi persentase retribusi yang tepat diberlakukan dilokasi penelitian, pajak yang berlaku adalah 1,5 persen. Rata-rata penerimaan
setelah
pajak
adalah
Rp,22.650.015,90/siklus
atau
Rp.45.300.031,80/tahun, estimasi nilai penerimaan hasil budidaya tambak silvofishery secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 17. Selain penerimaan dari komoditas yang dibudidayakan tambak sistem silvofishery menghasilkan panen komoditas sampingan berupa jenis udang alami, ikan, kepiting, dan kerang. Dengan penerapan tambak sistem silvofishery lebih memberikan potensi untuk menghasilkan komoditas sampingan jika dibandingkan tambak sistem konvensional, karena pada sistem ini tersedia ekosistem mangrove sebagai habitat pada pelataran tambak. Pada penelitian ini jumlah penerimaan dari hasil sampingan diasumsikan minimal adalah sama dengan kondisi rata-rata penerimaan tambak saat ini. Penerimaan dari hasil sampingan merupakan perkalian antara jumlah panen dari hasil sampingan dikalikan harga jual masing-masing komoditas.
Estimasi
nilai
penerimaan
dari
hasil
sampingan
adalah
Rp,1.337.760,00/siklus atau Rp. 2.675.520,00/tahun, jenis dan estimasi nilai penerimaan hasil sampingan tambak silvofishery secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 18.
5.3.3 Analisis Kelayakan Analisis kelayakan merupakan perhitungan atas suatu kegiatan usaha yang bersifat komersial (profit oriented), dari hasil perhitungan tersebut akan dapat dianalisis dan ditarik kesimpulan untuk mengetahui prospek pengembangan usaha tersebut pada tahun-tahun kedepan. Tujuan analisis kelayakan ekonomi merupakan pelengkap (complementary) dari suatu perencanaan proyek, dimana analisis finansial meninjau dari sudut peserta proyek secara individu mengenai pengeluaran
99
dan penerimaan dari suatu proyek,
sedangkan analisis ekonomi dari sudut
masyarakat mengenai kontribusi proyek terhadap pembangungan. Ukuran-ukuran arus uang tunai berdiskonto yang sama digunakan pada kedua analisis ini dalam mengestimasi hasil yang diperoleh peserta proyek atau masyarakat, terdapat beberapa perbedaan dalam kualifikasi analisis ini (Gittinger. 2008).
A. Net Present Value Dari hasil perhitungan memperlihatkan net benefit dengan nilai negatif pada tahun pertama, Sedangkan tahun ke dua sampai tahun ketujuh bernilai positif. Net benefit pada tahun pertama bernilai negatif karena beban biaya investasi pada tahun tersebut sangat besar sedangkan proses produksi yang dilaksanakan pada tahun pertama hanya 1 siklus saja karena kegiatan produksi belum optimal. Pada tahun kedua sampai tahun ketujuh periode analisis, memperlihatkan nilai net benefit positif karena beban biaya penambahan investasi sudah sangat kecil bahkan pada tahun kedua hingga tahun kelima penambahan investasi sama sekali tidak terjadi, sedangkan proses kegiatan produksi juga dapat dilaksanakan 2 (dua) siklus produksi pertahunnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gray et al. (2005), bahwa pada tahun-tahun mulainya suatu proyek, nilai Bt – Ct bersifat negatif sebab diperlukan investasi sebelum munculnya benefit. Setelah beban biaya investasi mulai berkurang, maka benefit akan melebihi biaya. Dengan demikian nilai Bt - Ct akan bersifat positif selama umur proyek. Adapun nilai net benefit setelah masing-masing di discount pada tingkat discount rate sebesar 12% diperoleh nilai NPV sebesar Rp.61.336.494,80 atau nilai NPV positif sehingga syarat yang menyatakan NPV harus bernilai positif, diterima.
B. Net benefit Cost Ratio (Net B/C) Dari hasil perhitungan pada tahun pertama bernilai negatif dan pada tahun ke dua sampai tahun terakhir periode analisis bernilai positif. Nilai-nilai tersebut di diskon dengan discount rate sebesar 12% untuk memperoleh nilai Present Value Net Benefit (PVNB) setiap tahun dari tahun 2012 sampai dengan tujuh tahun kedepan, dimana akan diperoleh nilai PVNB yang bersifat negatif dan positif. Nilai net B/C dapat dihitung dengan lebih dahulu menjumlahkan nilai PVNB yang bernilai positif
100
kemudian dibagi dengan jumlah PVNB yang bernilai negatif seperti berikut.
Net B / C
=
= 4,15 Dari hasil perhitungan diperoleh nilai Net B/C sebesar 4,16 Nilai-nilai lebih besar dari satu sehingga dapat dinyatakan proyek diterima bila nilai net B/C 1 dapat dipenuhi. Analisis Cash flow, NPV, dan Net B/C secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 19.
C. Internal Rate of Return (IRR) Setelah dilakukan interpolasi dengan menggunakan discount rate percobaan pertama (i’) sebesar 92% diperoleh NPV’ sebesar Rp.87.744,21 dan percobaan kedua (i”) sebesar 93% diperoleh NPV” sebesar Rp.-42.898,53 Dengan demikian nilai IRR dapat dihitung seperti berikut. IRR
= 92% +
x (93% - 92%)
= 92,67% Nilai IRR lebih besar dari tingkat discount rate (12%,) dengan demikian proyek dinyatakan diterima bila nilai IRR lebih besar atau sama dengan tingkat discount rate terpenuhi. Analisis IRR secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 20. Dari hasil analisis kelayakan diketahui bahwa penerapan sistem silvofishery akan diterima dengan baik oleh masyarakat, karena secara ekonomi sistem ini akan layak untuk dilaksanakan dengan kriteria sebagai berikut: Nilai NPV Positif; Nilai Net B/C≥ 1; dan Nilai IRR≥ discount rate.
5.4 Analisis Kelembagaan Analisis kelembagaan yang dilakukan meliputi berbagai situasi sebagai sumber keterkaitan (interdependensi), struktur kelembagaan (meliputi: Batas yuridiksi/ jurisdiction boundary, hak penguasaan/ property right, dan aturan representatif/ rules of refresentation), dan dikaji juga dampak institusi terhadap performance.
101
5.4.1 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Saat Ini Pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong diwenangkan kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kubu Raya (Dishutbun KKR). Struktur organisasi, tugas pokok, fungsi dan tata kerja Dishutbun KKR diatur dalam Peraturan Bupati Kubu Raya No. 68 tahun 2008 Tugas pokok intansi ini adalah melaksanakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan dan perkebunan berdasarkan asas otonomi, tugas dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Dalam melaksanakan tugas pokoknya mempunyai fungsi:
menyusunan program di bidang kehutanan dan perkebunan, merumusan kebijakan teknis dibidang kehutanan dan perkebunan, menyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayanan umum dibidang kehutanan dan perkebunan,
pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kehutanan dan perkebunan, pembinaan terhadap Unit Pelaksana Teknis Dinas, mengelola administrasi keuangan, kepegawaian, organisasi dan tata laksana, perlengkapan, dan umum internal Dinas, dan
melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya. Jika kita kaji dari tugas pokok dan fungsi organisasi yang telah diuraikan diatas, maka desain organisasi intansi ini belum sepenuhnya dapat mengakomodasi upaya pengelolaan hutan lindung dengan baik. Hal ini dikarenakan beberapa hal, antara lain:
Urusan yang ditangani oleh Dishutbun KKR tidak hanya pada urusan kehutanan, tetapi juga perkebunan.
Belum terbentuknya Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), sehingga belum ada unit/organisasi yang secara khusus menangani upaya pengelolaan hutan lindung.
Upaya pengelolaan hutan lindung masih melekat pada bidang-bidang yang ada pada struktur organisasi yang ada, padahal bidang-bidang ini memiliki tupoksi yang luas dan tidak hanya sebatas urusan hutan lindung.
102
Dengan kondisi seperti ini tentunya akan menyebabkan perhatian terhadap upaya pengelolaan hutan lindung berpotensi terabaikan, untuk itu diperlukan suatu unit khusus yang menangani pengelolaan hutan lindung ini.
A. Sumber Interdependensi Pengetahuan tentang sumber interdependensi dari suatu komoditas sangat diperlukan dalam memprediksi dampak alternatif institusi terhadap performance. Sumber interdependensi atau situasi disini didefinisikan sebagai karakteristik inheren yang melekat pada komoditas yang dibicarakan. Oleh karena itu pengetahuan mengenai sumber interdependensi dan alternatif institusi sangat penting karena kesalahan dalam pemahaman sumber interdependensi akan menyebabkan perubahan institusi tidak efektif (Schmid. 1987). Berdasarkan kajian kelembagaan yang dilakukan peneliti, maka berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong pada saat ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
Inkompatibilitas Dua atau tiga aktivitas dikatakan memiliki sifat inkompatibilitas apabila satu aktivitas dipilih, karena persyaratan teknologi, aktivitas lainya tidak dapat disertakan. Dengan demikian satu aktivitas secara lengkap mengeluarkan aktivitas lainnya. Apabila aktivitas-aktivitas tersebut merupakan aktivitas dari dua orang yang berbeda atau lebih maka “One person’s use is incompatible with that of another” (Schmid 1987). Situasi pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong pada saat ini bercirikan inkompatibilitas. Di kawasan Dabong, masyarakat desa sudah menduduki/ bermukim dan memanfaatkan sebagian lahan sejak lama, sehingga lahan tersebut tidak boleh dimanfaatkan atau dikuasai oleh pihak lain termasuk untuk hutan lindung bakau tanpa terlebih dahulu ada proses pelepasan hak. Begitu juga sebaliknya, yaitu sebagian kawasan di Desa Dabong sudah ditetapkan menjadi hutan lindung mangrove, sehingga aktivitas lain seperti pemukiman, pertambakan, pertanian
dan aktivitas lainnya yang berada dalam kawasan tersebut harus
103
dikeluarkan. Jika hal ini dilanggar atau diabaikan, maka akan menimbulkan potensi konflik yang berkepanjangan. Akibat dari pengabaian kondisi inkompatibilitas adalah terjadinya konflik antara pengelola kawasan dengan masyarakat desa. Sehingga petambak dapat dijadikannya tersangka terkait tindak pidana mengerjakan, memanfaatkan dan menduduki kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 50 ayat 3 huruf a junto pasal 78 ayat 2 UU No. 41 tahun 1999. Akan tetapi, batas yuridiksi yang ditetapkan oleh pengelola kawasan dipandang masyarakat dilakukan secara sepihak karena tidak memperhatikan hak-hak dari masyarkat yang sudah lama bermukim di wilayah tersebut. Masyarakat mengaku hampir sebagian besar tempat tinggal/ pemukiman dan lahan garapan termasuk tambak masuk dalam kawasan hutan lindung tanpa adanya konfirmasi dan konpensasi biaya.
Biaya Eksklusi Tinggi (high exclusion cost) Memiliki sesuatu tidak selalu berarti bahwa setiap pemilik akan selalu memperoleh manfaat dan menanggung ongkos dari apa yang dimilikinya, pemilikan akan tidak berguna apabila ongkos untuk mencegah pihak lain memanfaatkan sumberdaya yang dimilki seseorang jauh lebih besar dari nilainya, situasi ini disebut karakteristik ongkos eksklusi tinggi. Situasi kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong pada saat ini bercirikan dengan biaya eksklusi tinggi atau biaya penegakan status yang tinggi. Hal ini dikarenakan lokasi Desa Dabong sangat terpencil, jauh dan medannya sangat berat, sehingga aksesibilitas menuju kawasan menjadi sulit dan mahal. Untuk menuju kawasan harus mengunakan transportasi darat dilanjutkan dengan tranpoortasi air yang biayanya juga mahal, untuk sewa satu speed boat per hari dibutuhkan biaya antara Rp.800.000,- sampai Rp.1.200.000,- (Gambar 16). Hal ini belum termasuk biaya akomodasi dan biaya lainnya yang diperlukan dalam pengamanan kawasan mangrove. Disisi lain pemasukan atau pendapatan pihak pengelola dari kawasan lindung ini hampir tidak ada, kondisi ini merupakan salah satu penyebab utama batas yuridiksi kurang dijaga dengan baik. Selain keterbatasan dana, SDM dan infrastruktur dalam menegakan status juga menjadi penyebab utama lemahnya penegakan status lindung.
104
(B) (A) Gambar 16 Sarana transportasi air dengan menggunakan kapal motor (A) dan speed boat (B). B. Struktur Kelembagaan Batas Yuridiksi (jurisdiction boundary) Batas yuridiksi adalah batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki suatu aktor atau lembaga, batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi. Batas yuridiksi juga dapat berimplikasi ekonomi pada pihak yang terlibat dalam yuridiksi tersebut, dalam penelitian ini peneliti akan mengkaji batas yuridiksi dari pengelola kawasan ditinjau dari batas wilayah kekuasaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong beserta realisasinya. Batas yuridiksi dari pengelola kawasan lindung mangrove adalah seluruh area kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong dengan luas sebesar 4895.50 hektar. Batas yuridiksi dari pengelola kawasan lindung ini mencakup seluruh sumberdaya alam (hayati dan non hayati) yang ada di dalam kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong. Realisasi pelaksanaan batas yuridiksi oleh pengelola kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong adalah sebagai berikut: 1. Batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove dipermasalahkan oleh masyarakat desa karena sebagian besar lahan masyarakat seperti pemukiman, lahan garapan dan tambak yang menjadi sumber penghidupan mereka masuk kedalam kawasan hutan lindung mangrove tanpa adanya ganti rugi/ kompensasi. hal ini dikarenakan ketika proses penetapan kawasan lindung tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat telah bermukim, bertani dan memafaatkan sumberdaya hutan mangrove baik hasil hutan maupun hasil perikanan sudah sejak lama dan
105
turun-menurun (diperkirakan sejak tahun 1871) dan generasi yang ada sekarang merupakan generasi yang ke 8 (delapan). 2. Batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove juga mengalami tumpang tindih dengan sektor kelautan dan perikanan. juga berangapan memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola sumberdaya wilayah pesisir khususnya perikanan, hal ini dapat dilihat dari: a. Dikeluarkannya Izin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat Pembudidayaan Ikan (SBI) bagi petambak di Desa Dabong. b. Telah disusunnya Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Pontianak (wilayah Dabong-Kubu) pada tahun 2006 c. Dilaksanakannya berbagai program pemberdayaan masyarakat petambak di Desa Dabong melalui pembinaan, penyuluhan, pelatihan dan penyaluran kredit untuk membantu permodalan. Bermasalahnya batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong dikarenakan proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan lindung dilakukan dengan kurang baik. Batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove sangat luas dan berlebihan (luas 4895.50 hektar) jika dibandingkan dengan luas hutan mangrove itu sendiri yang hanya sebesar 2849.01 hektar pada tahun 1991 (belum ada kegiatan konversi lahan menjadi tambak). Selain itu kawasan pemukiman dan lahan masyarakat yang sudah ada sebelumnya juga masuk dalam batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove. Hal ini menunjukan bahwa inventarisasi hutan yang mana hasilnya dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan kurang baik. Menurut UU no 41 tahun 1999, dalam proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah inventarisasi hutan yang mana hasilnya dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan. Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. Inventarisasi hutan dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Pengukuhan kawasan hutan
106
dilakukan melalui proses sebagai berikut: (a) penunjukan kawasan hutan,
(b)
penataan batas kawasan hutan, (c) pemetaan kawasan hutan, dan (d) penetapan kawasan hutan. Bermasalahnya proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong
juga dapat dilihat dari pengabaian atas hak-hak
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Dalam proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan lindung mangrove, masyarakat belum memperoleh kompensasi atas hilangnya akses dengan hutan sebagai sumber kehidupan dan hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan. Menurut UU no 41 tahun 1999 pasal 68, masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
setiap orang berhak
memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Penguasaan (property right) Konsep property right atau kepemilikan muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligations) yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat, tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Oleh karena itu tidak ada seorangpun yang dapat menyatakan hak milik atau penguasaan tanpa pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Implikasi dari hal ini adalah hak seseorang adalah kewajiban dari orang lain seperti dicerminkan oleh hak kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya (Pakpahan 1989). Pada saat ini hak kepemilikan atas sumberdaya ekosistem mangrove di Desa Dabong berada ditangan Dishutbun KKR. masuk dalam klasifikasi milik negara (state property right) dan diperoleh melalui pengaturan administrasi formal pemerintah. Mekanisme diperolehnya hak kepemilikan tersebut berdasarkan SK MenHut No.259/kpts-II/2000, yang mana kawasan hutan mangrove di Desa Dabong ditetapkan statusnya menjadi Kawasan Hutan Lindung Mangrove. Berkaitan dengan otonomi daerah, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengelola
107
daerahnya, maka kawasan hutan lindung mangrove tersebut pengelolaanya diwenangkan kepada Dishutbun KKR. Lemahnya realisasi pelaksanaan dalam menjaga property right oleh pengelola kawasan disebabkan oleh beberapa sebab, yaitu: 1. Sebagian wilayah yang ditetapkan menjadi hutan lindung mangrove sebelumnya sudah dikuasai masyarakat desa sejak lama yaitu mulai tahun 1871. Penguasaan lahan untuk hutan lindung dilakukan secara sepihak tanpa adanya proses pelepasan hak kepemilikan dari masyarakat. 2. Keterbatasan anggaran, kualitas dan kuantitas SDM, maupun sarana dan prasarana dari pengelola kawasan lindung (Dinas Kehutanan). Tercatat jumlah total jumlah polisi kehutanan di Kabupaten Kubu Raya adalah 48 orang dan harus mengamankan seluruh hutan di kabupaten Kubu Raya yang sangat luas baik hutan mangrove maupun non mangrove (hutan lindung, hutan lindung bakau, dan hutan lindung gambut) yang menjadi otoritas Dinas Kehutanan dengan luas total mencapai 146.432.60 hektar. Jadi setiap 1 orang polisi hutan harus mengamankan hutan Negara seluas 3.050.68 hektar. 3. Biaya penegakan
property right yang tinggi. Hal ini dikarenakan sulitnya
aksebilitas menuju kawasan hutan karena jauh dan terpencilnya kawasan. Untuk menuju ke lokasi harus menggunakan jalur transportasi air, sehingga biaya pengamanan menjadi sangat mahal.
Aturan Representatif (rules of representation) Aturan representasi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong ditantukan oleh peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan kehutanan, dimana keputusan pemerintah (kehutanan) menentukan kebijakan pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove. Dalam hal ini maka Dinas Kehutanan merupakan pihak yang mempunyai peran penting dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi pihak lain seperti masyarakat (petambak) dan Diskanlut KKR dalam pengambilan keputusan hanya bersifat saran dan masukan saja, bukan sebagai penentu kebijakan. Berdasarkan hal tersebut, aturan representatif dalam pengelolaan hutan lindung mangrove Desa Dabong pada saat ini masih lemah atau kurang representatif. Hal ini karena aturan
108
yang dibuat masih belum mewakili semua kepentingan stakeholder. Pengambilan keputusan/peraturan ditentukan secara sepihak tanpa melibatkan stakeholder terutama masyarakat sekitar kawasan hutan lindung. Aturan representatif di dalam kawasan hutan lindung mangrove mengacu pada PP No. 6 tahun 2007 Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan antara lain:
Pemanfaatan
hutan
lindung
tidak
mengurangi,
mengubah
atau
menghilangkan fungsi utamanya (fungsi lindung) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat.
Pihak yang mempunyai peran penting dalam proses pengambilan keputusan adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL).
Kepala KPHL, menyusun rencana pengelolaan hutan berdasarkan hasil kegiatan, dengan mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota dan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan. Sementara masyarakat merasa penerapan aturan diatas belumlah tepat karena selama ini beberapa hak mereka atas kepemilikan tanah/ tambak, hak terhadap akses sumberdaya dan hak atas lapangan pekerjaan belum terpenuhi. Hal ini sangat lah wajar apabila kita mengacu pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, antara lain: 1. Penggunaan kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah. 2. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. 3. Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Selain hak sebagaimana dimaksud, masyarakat dapat: a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;
109
c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. 4. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 5. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan analisis kelembagaan terhadap berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dan struktur institusi (batas yuridiksi, property right dan aturan representatif) dari pengelolaan mangrove di Desa Dabong selama ini, maka telah meyebabkan kondisi performance yang buruk, antara lain:
Potensi konflik sosial yang tinggi Lingkungan alam yang terancam terdegradasi Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang buruk. Permasalahan dan konfik yang terjadi maka pemerintah telah membuat peraturan untuk menyelesaikan konfik yang terjadi dengan Permenhut No. P. 70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Namun peraturan ini belum tersosialisasi dengan baik ataupun dilaksanakan dan dijadikan acuan menyelesaikan konflik yang terjadi pada kawasan lindung, perturan tersebut antara lain memuat: 1. Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove salah satunya adalah di dalam kawasan hutan pada hutan lindung yang terdeforestasi, yang dikelola oleh Kabupaten/Kota, dan di luar kawasan hutan pada lahan tegakan mangrove yang telah mengalami degradasi/deforestasi sehingga terganggu fungsi ekologis, sosial dan ekonominya. Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.
110
2. Salah satu alternatif pola tanaman yang dapat diterapkan pada kegiatan rehabilitasi
hutan
mangrove
adalah
pola
tanam
tumpangsari
tambak
(Silvofishery/wanamina). 3. Tambak silvofishery/ wanamina terdiri dari 4 (empat) macam cara yaitu: empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao. Dari peraturan-peraturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perangkat aturan yang dikembangkan dalam rangka pengelolaan hutan lindung masih bisa mengakomodasi kepentingan berbagai stakeholders terutama masyarakat setempat. Untuk menjamin keberhasilan dari pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong, maka diperlukan upaya-upaya kolaborasi membangun suatu sistem kelembagaan yang sistematis dan koordinatif, dilandasi oleh kesepahaman dan kesetaraan antar para stakeholders yang terlibat didalamnya. 5.4.2 Sistem Silvofishery Sebagai Rekayasa Kelembagaan Penerapan sistem silvofishery merupakan salah satu metode dalam pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove terutama pada kawasan yang telah terdeforestasi karena adanya aktivitas tambak. Pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove merupakan suatu himpunan aturan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam merupakan bentuk dari suatu sistem kelembagaan. Kelembagaan merupakan aspek penting yang menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan rencana pengelolaan, suatu kelembagaan yang kuat dan matang akan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan untuk mencapai tujuan pengelolaan. Dalam pengelolaan ekosistem mangrove aspek dan peran kelembagaan mutlak diperlukan guna mencapai tujuan pengelolaan dari suatu ekosistem itu sendiri dalam hal ini adalah pemanfaatan yang berkelanjutan. Dengan demikian keefektifan dalam pengelolaan suatu ekosistem tidak terlepas dari peran dari kelembagaan. Performance yang buruk dari pengelolaan mangrove selama ini disebabkan oleh struktur kelembagaan yang lemah dan kurang memperhatikan berbagai situasi sebagai sumber interdependensi. Menurut Schmid (1987), perubahan institusi akan dapat menghasilkan performance yang berbeda apabila perubahan tersebut dapat mengkontrol sumber interdependensi antar individu. Struktur kelembagaan (batas yuridiksi, hak kepemilikan dan aturan representasi) merupakan hal penting dalam memecahkan masalah ini, yaitu bagaimana pertentangan kepentingan dipecahkan
111
dan apa akibatnya terhadap performance. Performance yang baik dari kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong yaitu kelestarian lingkungan alam (ekosistem mangrove) yang lestari, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang semakin baik dan rendahnya potensi konflik sosial dengan biaya penegakan status yang rendah. Penerapan sistem silvofishery diperlukan untuk perbaikan dan penguatan struktur kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dengan memperhatikan berbagai
situasi sebagai sumber interdependensi agar
menghasilkan performance yang lebih baik. Struktur kelembagaan yang baik akan menghasilan performance yang baik sesuai yang diharapkan oleh semua pihak. Hal ini sesuai dengan pendapat Primavera (2000) bahwa sistem silvofishery yang dibuat pemerintah Indonesia bertujuan untuk penyelesaian konflik pemanfaatan lahan antara kehutanan dan kegiatan perikanan, seperti sistem Mangrove Friendly Aquaculture (MFA) lainnya silvofishery bertujuan membangun persediaan makanan dan pendapatan melalui budidaya ikan, udang dan produksi kepiting dan bertujuan melaksanakan rehabilitasi dan konservasi mangrove. Dengan penerapan sistem silvofishery akan menghasilkan performance yang lebih baik dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong, yaitu: 1. Kelestarian ekosistem mangrove meningkat. Hal didasarkan pada asumsi bahwa dengan diterapkannya model tambak silvofishery pola empang parit tradisional maka akan terjadi pertambahan luasan mangrove sebesar 60% x 522.08 ha. Selain itu potensi kerusakan hutan mangrove akan menjadi lebih kecil, karena masyarakat (petambak) akan berpartisipasi dalam menjaga ekosistem mangrove. 2. Potensi konflik sosial yang berkepanjangan dapat diatasi. Bahwa dengan diberinya akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan lindung secara terbatas (silvofishery), maka sumber kehidupan masyarakat tidak terganggu. Selain itu pengakuan terhadap batas yuridiksi dan hak kepemilikan petambak akan meredam potensi konflik yang selama ini sudahterjadi. 3. Kondisi sosial ekonomi masyarakat semakin meningkat. Dengan pulihnya kembali usaha tambak melalui sistem silvofishery akan
112
meningkatkan perekonomian petambak, dan mendorong perkembangan sektor usaha lainnya. Sesuai pendapat Alpı´zar (2006) bahwa penerapan pendekatan partisipatif dalam pengelolaan perikanan perlu dikembangkan, hal tersebut sangat penting untuk kita yakini dalam pikiran kita batasan yang paling mungkin dalam pendekatan ini. Selain itu sangatlah penting untuk meningkatkan koordinasi antar institusi dan pembangunan sosial, kebijakan hukum dan ekonomi harus dibuat oleh pemerintah bersama dengan masyarakat pesisir, Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan arah yang efektif dalam pengelolaan perikanan.
5.5 Tinjauan Konprehensif Penerapan Silvofishery Dari hasil beberpa analisis yang telah dilakukan diatas maka dapat dirumuskan beberapa formulasi kebijakan dan tahapan penerapan sistem silvofishery dalam menangani permasalahan pengelolaan ekosistem mangrove Di Desa Dabong, penerapan sistem silvofishery merupakan alternatif solusi yang dapat ditempuh dalam pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan ini karena secara persepsi semua stakeholders telah sepakat. Penerapan sistem silvofishery akan menghasilkan performance yang baik dimasa yang akan datang, sehingga dalam penerapannya harus memperhatikan tahap-tahap sebagai berikut: 1)
Pemerintah kabupaten dalam hal ini Dishutbun KKR segera membentuk organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) sebagai pengelola kawasan, sesuai PP No. 6 tahun 2007.
2)
KPHL segera melaksanakan kegiatan tata hutan yang antara lain adalah kegiatan tata batas dan inventarisasi hutan. Untuk menentukan tata batas zonasi dapat dilakukan dengan melakukan negoisasi dengan pihak-pihak yang terkait, dengan jelasnya batas yuridiksi dan property right semua pihak, maka konflik yang berkepanjangan dapat dihindari.
3)
KPHL akan memberikan izin berupa Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK) untuk usaha tambak sistem silvofishery, hal ini untuk menunjukan pengalihan property righ sekaligus tanggung jawabnya kepada petambak. IUPK yang diberikan diikoti pula dengan membuat kontrak sosial antara KPHL dengan
113
petambak,
kesepakatan
konservasi
yang
dituangkan
dalam
suatu
dokumen/konsensus yang ditanda-tangani secara bersama-sama. 4)
Berdasarkan kondisi spesifik lokasi dan keterbatasan tenaga kerja, kegiatan rehabilitasi tambak existing dapat dilakukan menggunakan alat berat (excavator) berdasarkan izin pengelola kawasan.
5)
Model silvofishery yang diterapkan adalah model empang parit tradisional dengan perbandingan luasan antara antara mangrove dan parit seusai kesepakatan. Model empang parit tradisional dipilih karena secara struktur sudah sesuai dengan tambak yang ada seperti yang telah disampaikan pada analisis bioteknik.
6)
Pola tradisional plus merupakan teknologi yang direkomendasikan untuk diterapkan karena telah menguntungkan secara finansial, dan akan layak secara ekonomi.
7)
KPHL akan menetapkan luas maksimal luasan lahan tambak per orang, proses pengalihan hak dari pemilikan berlebih akan diberikan kompensasi berdasarkan kondisi existing dan kesepakatan bersama.
8)
Diskanlut KKR memberikan Izin Usaha Perikanan (IUP) berdasarkan izin yang telah diberikan oleh pihak kehutanan, hal ini bertujuan untuk memudahkan proses pembinaan teknis budidaya terhadap para petambak yang ada. Pembentukan koperasi dan optimalisasi terhadap kelompok tani yang sudah terbentuk.
9)
Dishutbun KKR (KPHL) dan Diskanlut KKR, kedua intansi tersebut akan memberikan pembinaan dan bantuan kepada petambak berupa penyuluhan mengenai aturan, tujuan dan teknik penerapan tambak silvofishery.
10) Sebagai konsekunsinya maka petambak harus membayar retribusi sebesar 1.5 % dari hasil panen kepada pemerintah daerah, dananya digunakan kembali untuk biaya rehabilitasi, pengamanan dan pelestarian mangrove pada kawasan tersebut. 11) Petambak berkewajiban merehabilitasi tambak yang ada dengan penerapan tambak sistem silvofishery (wanamina) yang merupakan model tambak ramah lingkungan. Kegiatan rehabilitasi dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan petambak dan kesepakatan bersama.
114
12) Masyarakat juga berkewajiban untuk menjaga keutuhan dan kelestarian kawasan serta berperan dalam usaha pengamanan kawasan hutan lindung. 13) Masyarakat tidak boleh memperjualbelikan lahan tambak (IUPK) tanpa seizin KPHL. 14) IUPK dan IUP dapat dibatalkan/ dicabut apabila petambak melanggar kesepakatan yang telah dibuat. 15) Kegiatan tambak dapat terus berjalan selama proses administrasi berlangsung, namun petambak/ masyarakat tidak boleh memperluas dan membuka lahan tambak baru di dalam kawasan hutan lindung sampai ada ketentuan atau perubahan status lahan selanjutnya.