5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Keadaan Umum DPL Desa Bontolebang
5.1.1 Zonasi Perairan Desa Bontolebang Secara umum wilayah perairan Desa Bontolebang memiliki pembagian wilayah (zonasi) dimana zonasi dilakukan terhadap bagian-bagian air dengan peruntukan khusus dan pengaturan pengelolaan biota-biota laut yang berada dalam perairan desa. Penataan wilayah dan pengaturan pengelolaan biota-biota laut ini dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal diantaranya hak-hak pengelolaan tradisional masyarakat yang meliputi lokasi penangkapan, jenis biota tangkapan dan alat tangkap, keberadaan jenis biota laut yang dilindungi serta kepentingan-kepentingan tertentu, seperti untuk budidaya dan pembelajaran masyarakat. Sementara itu, DPL di Pulau Pasi merupakan area perlindungan laut di kawasan ekosistem terumbu karang (taka) yang dikenal dengan taka’ ujung lola. Secara administratif kawasan ini termasuk kedalam administrasi Desa Bontolebang, Kecamatan Bontoharu Kabupaten Kepulauan Selayar. Table 10 Penataan wilayah perairan (Zonasi) Desa Bontolebang No.
Lokasi
Peruntukan
1
Sebelah timur dan utara daratan Desa Bontolebang barat Desa 2 Sebelah Bontolebang (Boko jarang Taka’ ambaho dan taka’ hello 3 Taka’ ujung lola Areal
Jalur lalulintas dan areal pembesaran ikan karang (keramba jaring apung) Areal pemanfaatan tradisional dan pengembangan pembesaran ikan baronang (keramba tancap) perlindungan Laut Masyarakat (DPL) Sumber: Revisi RPTK Desa Bontolebang 2009 Berdasarkan musyawarah dan pengkajian oleh masyarakat maka area taka’ ujung lola disepakati menjadi DPL, yang berada pada posisi 6° 5' 31.42" - 6° 5' 43.98" LS dan 120° 24' 32.83" - 120° 25' 4.11" BT . Peta lokasi DPL Bontolebang dapat dilihat pada gambar 4.
48
120°25'00"
120°25'30"
120°26'00"
6°6'00 "
6°6'00"
6°6'
6°5'30"
6°5'30 "
6°4'
120°24'30"
6°14'
120°20'
P.120°24'Pasi
120°26'
120°28'
120°30' 6°00'
6°20'
6°7'30 " 6°20'
6°7'30"
6°00'
120°22'
120°40'
120°20'
120°24'30"
120°25'00"
120°25'30"
6°7'00 "
6°7'00"
6°12'
6°10'
6°6'30 "
6°6'30"
6°8'
Tg. Gosong
120°40'
120°26'00"
Peta Lokasi DPL Desa Bontolebang
BUDI M RUSLAN C252080304 Keterangan:
N
W
Garis Pantai Daratan P. Pasi Zona Inti Daerah Penangkapan Budidaya KJT Budidaya KJA
E
S
Skala 1 : 22.000 200
0
Jalur Pelayaran
Kedalaman (m): Penutupan Lahan/Tipe Substrat: 0- 5 5 - 10 10 - 20 20 - 30 30 - 50 50 - 100
Karang Campur Pasir Kebun Lamun Campur Pasir Mangrove Pasir Pemukiman Tegal/Ladang Terumbu Karang
400 m
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN IPB 2010
Gambar 4 Peta lokasi DPL Bontolebang. Pada gambar 4 diatas dapat dilihat bahwa pembagian wilayah di Desa Bontolebang dilakukan berdasarkan peruntukannya, antara lain jalur lalulintas, zona budidaya keramba jaring apung (sebelah timur), budidaya keramba tancap (sebelah barat), zona pemanfaatan tradisional (sebelah barat dan utara) dan zona
49 inti serta zona penyangga. Zona inti yang terdapat di area DPL diharapkan mampu menjaga plasma nuftah dan kelestarian sumberdaya yang ada di kawasan tersebut. Pemilihan zona inti tidak hanya didasarkan pada parameter ekologi saja, melainkan juga parameter sosial dan budaya masyarakat sehingga diharapkan keberadaan zona tersebut dapat terjaga dengan fungsi dan peran serta masyarakat didalamnya. Penilaian terhadap zona inti menitikberatkan pada persentase tutupan karang hidup, keanekaragaman ikan karang, serta dukungan masyarakat dan pemerintah desa. Luasan optimal untuk sebuah kawasan konservasi keanekaragaman hayati hendaknya memiliki ukuran besar untuk melindungi stok ikan dan meningkatkan rekruitmen untuk daerah yang berdekatan dengan lokasi penangkapan ikan (Hasting and Botsford 2003). Luasan zona inti di DPL Bontolebang adalah 4.9 ha, sementara zona penyangga sebesar 16.8 ha. Berdasarkan luasan zona-zona tersebut diharapkan dapat melindungi serta melestarikan sumberdaya ikan yang ada di Desa Bontolebang. Koordinat serta luasan zona inti dan penyangga DPL dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 11 Koordinat dan luasan DPL Desa Bontolebang Koordinat Zona Lintang Bujur Inti 1 6° 5' 32.39" 120° 24' 43.70" 2 6° 5' 31.42" 120° 24' 52.24" 3 6° 5' 36.89" 120° 24' 51.23" 4 6° 5' 37.79" 120° 24' 39.85" Penyangga 1 6° 5' 43.26" 120° 24' 32.83" 2 6° 5' 31.92" 120° 25' 0.33" 3 6° 5' 38.04" 120° 25' 4.11" 4 6° 5' 43.98" 120° 24' 38.55" Total Sumber : Data primer diolah 2010
Luas (Ha) 4.9
16.8
21.7
5.1.2 Kondisi Terumbu Karang Tipe terumbu karang yang terdapat di Desa Bontolebang adalah tipe terumbu tepi (fringing reef). Kondisi terumbu karang adalah dari jenis karang batu, karang lunak, dan biota asosiasi yang terdapat pada ekosistem terumbu karang di Pulau Pasi.
50 Dari data urvey su hasil penelitian terrumbu ng karan pada DPL di kedalamman 5, persenntase karang keras (HC) sebesar 63 persen, karaang lunak seebesar 10 peersen, karangg mati yang ditumbuhi alga (DCA)) sebesar 166 persen, pasir (S) sebesar 9 persenn,serta karanng mati C) (DC dan patahhan karang (R) masing-mmasing sebeesar 1 persenn. Komposissi penutupaan karang kkeras dengann berbagai kategori beentuk pertummbuhannya, ditampilkan pada Gambbar 5. HC 1
16
SSC
9
SSP 63
1 0 0
OT R
10
S DC DCA
Gambar 5 Peersentase tuttupan karang berdasarkaan bentuk perrtumbuhan. Karang yanng ditemukkan memilik variasi bentuk perrtumbuhan yang berkaiitan dengan kondisi linngkungan pperairan. Berrbagai bentuuk pertumbbuhan karangg tersebut antara lainn dipengaruuhi oleh inntensitas caahaya mataahari, gelommbang dan arus, keterssediaan makkanan, sediimen, serta faktor gennetik. Berdassarkan bentuuk pertumbuuhannya karrang batu teerbagi atas kkarang Acroopora dan noon Acroporaa (English et al. 1997). DPL Desa Bontolebang berada pad perairan terbuka sehhingga cendeerung lebih banyak diddominasi oleeh karang nnon Acroporra khususnyya untuk beentuk pertummbuhan cora al massive (CM). Semmentara uk untu perairan terlindung lebih didomminasi oleh kelompok karang Acroopora khussusnya bentuuk pertumbbuhan Acropora Branchiing (ACB). JJenis karanng yang dominan di ssuatu habitaat tergantunng pada koondisi lingkuungan tempa karang terssebut hidup. Karang Menurut Soekkarno et al. 1983, pertummbuhan karaang lebih baaik pada daerah yang mengalami gelombang besar karenaa pergerakann arus dapatt memberikaan oksigen yyang cukup. Berbeda deengan perairaan yang terliindung atau tenang dimaana gelombaang arus relaatif kecil. Kaarang yang hidup di peraairan dengan gelombang yang kuat kecenderunggan pertumbbuhan percabbangan penddek, kuat, merayap, ubsumassif attau massif, berbeda deengan
51 perairan yanng terlindung dari gelommbang memmiliki bentuk percabangaan ramping ddan memanjang (Englishh et al. 19977; Supriharyoono 2000). 1
16 HC, SC & SP
9
R
1
S 73 DC DCA
Gambbar 6 Persenttase penutupan karang hiidup. Dari ddiagram diattas dapat diilihat bahwaa persen tuttupan karangg hidup di llokasi DPL termasuk daalam kategorri “baik”, deengan persenn tutupan kaarang hidup sebesar 73 persen. Denggan acuan yang digunakkan untuk menilai kondiisi terumbu karang berdaasarkan Gommez and Yap (1984) yan ng menyebuttkan kondisi penutupan kkarang sebagai berikut : 75-100% ssangat baik, 50-74.9% bbaik, 25-49.99% sedang dan 0-24.9% buruk. Studi potensi kawwasan konseervasi laut daerah yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Terumbu Karang (PPPTK) Univeersitas Hasaanuddin tahhun 2007, memperlihattkan kondis terumbu karang di area DPL dalam konddisi sedang dengan perssen tutupan karang sebbesar 47 perrsen. Semenntara hasil monitoring Coremap 009 20 terhadap kondisi te erumbu karaang diarea yang sama didapatkan ppersen tutuppan karang sebesar
666 persen. Jiika dibandinngkan dengan kondisi
terumbu karrang hasil pengamatan di tahun 2010, maka koondisi terummbu karang ddari tahun keetahun menggalami kenaiikan. Nilai tuutupan karanng hidup yanng semakin besar, menggindikasikan kondisi terumbu karrang di lokkasi DPL mengalami kenaikan yaang cukup signifikan setelah diteetapkannya DPL. Demmikian juga ddengan konddisi tutupan karang berrdasarkan peertumbuhannnya, didapatkkan bahwa kkondisi teruumbu karanng dari tahuun 2007 hinngga 2010 mengalami kenaikan. Kondisi ini diperlihatkan pada gambbar 7 dan 8.
52 70
63
60 4 4 41
Persentase
50 40
2007
26
30
18 16
20 10 10 6
10
12
12 10 5
00
00
SP
OT
1
2010
1 0
9 4
2009
021
0 HC
SC
R
S
DC
DCA
Bentuk Pertumbuhan
Gambar 7 Persen tutupan karang hidup berdasarkan bentuk pertumbuhan tahun 2007, 2009 dan 2010. Sumber: PPTK Unhas 2007, Coremap 2009 dan Data lapangan 2010 73
80 66
70
Persentase
60 50
47
40 30
Live Coral
20 10 0 2007
2009
2010
Tahun
Gambar 8 Persen tutupan karang hidup tahun 2007, 2009 dan 2010 Sumber: PPTK Unhas 2007, Coremap 2009 dan Data lapangan 2010 . 5.1.3 Kondisi Ikan Karang Hasil dari pengamatan ikan dengan menggunakan metode Underwater Vicual Census (UVC) yang dilakukan di area DPL dicatat sebanyak 83 jenis ikan karang yang termasuk kedalam 24 famili dengan total kepadatan ikan karang sebesar 5.62 individu/250m2 (lampiran 2). Data pengamatan ikan karang yang ditemukan di area DPL umumnya merupakan ikan dari family Pomacentridae dengan kelimpahan sebesar 725
53 ind/250m2 dengan komposisi ikan karang didominasi oleh ikan mayor dalam jumlah besar dan umum ditemukan di perairan, kelimpahan individu dan spesies ikan karang, selanjutnya dibagi berdasarkan kelompoknya yakni ikan karang indikator, mayor dan target. Kelompok ikan indikator merupakan jenis-jenis yang dapat dijadikan sebagai indikator kesuburan daerah ekosistem terumbu karang, meliputi spesies yang umumnya berasal dari famili Chaetodontidae (ikan kepekepe), Pomacanthidae, dan Labridae. Kelimpahan ikan karang berdasarkan famili dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12 Kelimpahan ikan karang (indv/250 m2) berdasarkan famili hasil pengamatan dengan metode UVC No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Famili Pomacentridae Labridae Caesionidae Plotosidae Acanthuridae Serranidae Chaetodontidae Nemipteridae Lutjanidae Lethrinidae Scaridae Muraenidae Holocentridae Haemulidae Pseudochromidae Siganidae Mullidae Balistidae Pomachantidae Tetraodontidae Fistulariidae Syngnathidae Ostraciidae Dasyatidae Total
Kategori Mayor Mayor Target Mayor Target Mayor Indikator Mayor Target Mayor Indikator Mayor Target Target Mayor Target Target Target Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor
Kelimpahan Individu 725 43 250 150 32 60 34 10 2 7 5 20 25 10 15 4 1 2 2 5 1 1 1 1 1406
Sumber: Data pengamatan 2010 Sementara itu persentase kelimpahan ikan terbesar berdasarkan famili adalah famili Pomacentridae yaitu sebesar 52 persen, Kelompok ikan indikator yang tertinggi kelimpahannya adalah famili Chaetodontidae sebesar 34 indv/250
54 m2, seedangkan darri kelompokk ikan target yaitu Caesionidae sebesar 250 indvv/250 m2. Haasil pengammatan terhadaap komposis ikan berdaasarkan famiili dalam 2550 m2 dapat dilihat pada gambar 9. Pomaacentridae Labridae
1% 2%
1%
1% 2%
2%
1%
Caesiionidae
2%
Plotosidae
44%
Acantthuridae Serrannidae
11%
Chaettodontidae
52%
Muraenidae 18%
Holoccentridae 3%
Nemiipteridae Haemmulidae Pseuddochromidae Lain-lain
Gambar 9 Koomposisi kelimpahan ikaan berdasarkkan famili daalam 250 m2. JJenis dan juumlah ikan yang dicataat dikelomppokan kedalaam tiga kategori yaitu: kelompok ikan mayor, kelompok ikkan target ddan kelompook ikan indikkator. Dari tootal 1,406 inndividu, kellompok ikann major sebeesar 1,001 inndiv/250 m2 atau 71.19 persen menndominasi seeluruh perairran DPL (Gambar 10). Sementara uuntuk kelommpok kedua adalah ikan target sebessar 350 indivv/250 m2 ataau sebesar 24.89 persen dan kelimppahan ikan indikator sebbesar 55 inddiv/250 m2 atau sebesar 3.91 persenn. 12200 11001 10000
Jumlah
8800 6600 350
4400 2200
555
0 Indikaator
Mayor
Target
Kelommpok Ikan
Gambar 10 Komposisi kelimppahan ikan kaarang berdassarkan ikan iindikator, ikkan mayor dan ikan taarget dalam 2250 m2.
55 Perbandingan kelimpahan ikan karang antara pengamatan yang dilakukan pada tahun 2007, monitoring tahun 2009 dan hasil pengamatan tahun 2010 terlihat adanya perbedaan masing-masing kelimpahan kategori ikan. Kelimpahan ikan yang dikelompokan kedalam ikan indikator mengalami peningkatan dari setiap tahun pengamatan yaitu dari 15 indiv/250 m2 naik menjadi 17 indiv/250 m2 kemudian 55 indiv/250 m2. Sementara pada kelompok ikan mayor mengalami peningkatan dari tahun 2007 ke tahun 2009 namun mengalami penurunan pada tahun 2010. Pada kategori ikan target pada tahun 2007 terdapat 275 ind/250 m2, sementara pada tahun 2010 kelimpahan ikan ini sebesar 350 ind/250 m2, namun pada tahun 2009 kelompok ikan target mengalami penurunan diduga telah terjadi penangkapan lebih (gambar 11). 1400
1394
1200 993
1001
Jumlah Individu
1000
2007 2009
800
2010 600 350
400
275
200
6 1
15 17 55
0
Indikator
Mayor
Target
Kelompok Ikan
Gambar 11 Kelimpahan ikan karang berdasarkan ikan indikator, ikan mayor dan ikan target tahun 2007, 2009 dan 2010. Sumber: PPTK Unhas 2007, Coremap 2009 dan Data lapangan 2010 Beberapa spesies ikan karang memanfaatkan terumbu karang sebagai tempat mencari makan dan tempat tinggal (Friedlander and Parrish 1998). Perbedaan makanan dan cara makan pada ikan karang ini dapat membentuk dan memiliki wilayah/teritori yang mampu menyediakan makanan sesuai dengan pola makan ikan tersebut. Rendahnya tingkat keanekaragaman ikan dapat disebabkan oleh eksploitasi berlebih terhadap predator dalam suatu kawasan perairan sehingga akan mengakibatkan penurunan pemangsa atau pesaing lebih rendah. Hal ini akan
56 berdampak pada penurunan keanekaragaman hayati secara keseluruhan (Micheli et al. 2004). Secara umum kelimpahan jumlah individu yang ditemukan mengalami peningkatan meskipun hasil perbandingan jumlah individu yang ditemukan pada tahun 2009 dengan 2010 sedikit mengalami penurunan. Namun jumlah spesies yang ditemukan pada masing-masing tahun pengamatan mengalami kenaikan, hal ini mengindikasikan masih adanya keanekaragaman spesies yang dapat ditemukan di perairan DPL. 1472
1600 1400
1406
1283
Jumlah
1200 1000 800 Individu
600
Spesies
400 200
48
65
83
2007
2009
2010
0
Tahun
Gambar 12 Jumlah individu dan spesies ikan karang yang ditemukan pada pengamatan tahun 2007, 2009 dan 2010. Sumber: PPTK Unhas 2007, Coremap 2009 dan Data lapangan 2010 5.1.4 Kondisi Lamun Ekosistem lamun tersebar sepanjang pantai bagian barat maupun timur Pulau Gusung dengan penyebaran yang cukup variatif. Hasil sampling terhadap frekuensi kehadiran jenis lamun di masing-masing stasiun pengamatan ditemukan 6 jenis, yaitu Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichi (Gambar 11). Yang paling sering muncul di setiap kuadrat adalah jenis lamun Enhalus acoroides (26 persen), oleh karena memiliki kemampuan bertoleransi yang tinggi untuk dapat tumbuh bersama dengan jenis lamun lainnya sehingga sering terdapat di hamparan padang lamun campuran, selain itu lamun Enhalus acoroides juga mampu mentolerir perairan yang keruh (PPTK Unhas 2007).
57
Cymodocea rotundata Enhalus acorroides
3%
199%
22%
Halodule uniinervis
27%
221% 8%
Halophila ovvalis Syringodium isoetifolium Thalassia hemmprichii
Gammbar 13 Frekkuensi kehaddiran jenis la amun di Desa Bontolebaang. Sumber: PPTTK Unhas 2007 Adapuun jenis yanng paling keecil kehadiraannya adalaah lamun Syyringodium iisoetifolium (3 persen),, karena jennis lamun inni mempunyyai kemamppuan hidup yang terbataas, biasanya hanya ditemmukan pada daerah subtiddal dangkal, dan jarang dditemukan ddi daerah inttertidal kareena memiliki kemampuaan toleransi yang kecil tterhadap papparan matahaari. 55.1.5 Kondiisi Mangrovve Berdassarkan data pengamatann yang dilaakukan Pusaat Penelitiann Terumbu Karang Unhhas (2007), Jenis manggrove yang teridentifikasi di Pulau Pasi ada 4 jenis, yaitu: Rhyzopora stylosa, Bruguiera gymnorrhiza Sonnerattia sp dan a, Ceriops taggal. Dihitun ng dari frekkuensi kehaddiran, nilai tertinggi dimmiliki oleh Rhyzopora stylosa, sebeesar 49%, daan kemudian diikuti seccara merata oleh ketiga jjenis lainnyaa (Gambar 12).
Rhyzopora stylosa
17% 50%
17% 16%
Bruguiera ggymnorhiza Sonneratia ssp. Ceriops tagaal
Gambaar 14 Frekuuensi kehadirran jenis manngrove di Deesa Bontolebbang. Sumber: PPTTK Unhas 2007 Besarnnya nilai freekuensi kehhadiran Rhyzzopora styloosa disebabkkan karena jenis ini dittemukan di setiap lokaasin pengammatan.
Menurut Bengen (2003),
58 Rhyzopora stylosa merupakan jenis mangrove yang sangat umum dijumpai, karena mempunyai penyebaran yang sangat luas. Mangrove ini dapat tumbuh hingga 20 meter tingginya. Salah satu ciri khas jenis ini adalah mempunyai sistem perakaran tongkat yang berlentisel untuk pernapasan. Selain itu, panjang daun dapat mencapai 10 cm, dengan bagian bawah permukaan daun berwarna hijau muda terang dan berbintik coklat. 5.2
Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM)
5.2.1 Proses Pembentukan Proses pembentukan DPL dimulai dengan SETO dan Fasilitator Masyarakat mendatangi desa dan mendiskusikan tentang pembentukan DPL ditingkat desa. Diskusi melibatkan pemerintahan desa, tokoh masyarakat/imam desa, kepala dusun, dan nelayan. Pada tahap ini dibentuklah sebuah rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK) dengan membentuk sebuah lembaga pengelola yang dinamakan Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan memilih satu orang laki-laki dan satu orang perempuan untuk menjadi Motivator Desa (MD). Setelah LPSTK dibentuk, tahap berikutnya adalah penentuan area/kawasan yang akan dijadikan DPL. Proses ini dilakukan oleh tim Coremap yang mengunjungi desa untuk melakukan FGD. Masyarakat secara sukarela diundang untuk berdiskusi dengan tim tersebut. Dalam diskusi tersebut masyarakat diminta untuk menggambarkan area tempat mencari ikan, area budidaya, dan alur transportasi sekitar desa. Setelah itu masyarakat diminta untuk memilih beberapa area dimana terdapat terumbu karang yang akan dijadikan DPL. Lokasi yang direkomendasikan oleh masyarakat kemudian diperiksa oleh tim dengan cara menyelam ke area yang dimaksud untuk melihat kondisi tutupan karang. Kemudian hasil dari penyelaman tersebut disampaikan kepada masyarakat, untuk selanjutnya dipilih area mana yang memiliki tutupan karang yang paling tinggi; dan tidak jauh dari pulau agar mudah dilakukan pengawasan. Sketsa hasil diskusi penentuan nominasi DPL dapat dilihat di Gambar 15. Salah satu perwujudan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang dalam konteks kegiatan pembentukan DPL adalah penyusunan
59 suatu rencan pengelolaaan terpadu bagi terumbu karang yanng berbasis masyarakat yang dilenggkapi dengan pelaksanaaan sistem pemantauan dan pengawwasan oleh masyarakat (Siswasmas)).
Lokasi DPL yang direkomendasiikan
Gambaar15 Sketsa penentuan DPL Desa Bontolebang oleh masyarrakat. RPTK yang dibuuat merupakkan salah satu tahap kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karrang terpadu yang disuusun bersamma-sama LPPSTK, dan masyarakat dan dipanndu oleh Motivator Desa dan Fasilitator Masyarakat. Berdasarkan visi dan sassaran yang dikembangkaan masyarakkat berdasarkkan isu dan masalah speesifik yang ada di suaatu lokasi, dirumuskan suatu proggram kerja pengelolaan terumbu kaarang terpadu yang terarrah. Program kerja yang dihasilkan ttersebut merrupakan suaatu kesepakaatan antar beerbagai pihaak yang terllibat dalam ppelaksanaann program DPPL. Selanjutnya, sebaagai bagian dari tempaat yang tutuupan karanggnya baik, pemilihan DPL memilik nilai yang signifikan sebagai habbitat bagi pesies yang tterancam ataau memiliki gambaran bbio-geograpiis (Kelleher 1999). Pemiilihan DPL ttelah memilliki biodiverrsitas tinggii pada area--area yang dinomonasiikan. Akan tetapi tidak ada studi mengenai peerbandingan nominasi-nnominasi ini dalam hal
60 area tangkapan, yang barangkali memiliki nilai biodiversitas lebih tinggi. Data sebelum penetapan DPL mengenai kawasan mana saja yang memiliki biodiversitas tinggi tersebut menjadi pertimbangan ilmiah penetapan DPL. Laporan inilah yang menjadi basis data sebeum penetapan DPL, sehingga pemilihannya bukan semata-mata kompromi antara masyarakat dan pemerintah untuk memiliki area yang dilindungi. Inilah yang menjadikan ketidak nyambungan antara data ilmiah dengan kesadaran masyarakat dalam memiliki tujuan DPL. Proses penyebaran informasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran pentingnya memiliki kawasan konservasi hendaknya didisain secara betul-betul untuk menghindari target yang hanya jangka pendek (Kelleher 1999; Noble 2000). Berdasarkan hasil wawancara dengan SETO, proses sosialisasi awal program dan penentuan nominasi DPL dilaksanakan dalam 3 (tiga) bulan. Meskipun proses penentuannya mencoba untuk melibatkan sebanyak mungkin masyarakat, akan tetapi masih belum menggambarkan komposisi aktual masyarakat/merepresentasikan keadaan masyarakat saat itu. Dalam penentuan nominasi yang hanya ditentukan dalam waktu yang relative pendek tidaklah cukup dalam memperoleh hasil partisipasi masyarakat yang baik. Noble (2000), mengungkapkan bahwa untuk menjaga partisipasi masyarakat, proses jangka lama dalam penukaran pandangan, kepentingan, dan opini sangatlah diperlukan. Proses hendaknya dilakukan dengan cara intensif. Hal ini mengakibatkan DPL di Bontolebang tidak bertahan lama selama proses seleksi dilakukan cepat dan tidak intensif. Proses penentuan lokasi pun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka, dimana mereka memilih area yang terdapat terumbu karang untuk dijadikan DPL. Hasilnya memang dapat dirasakan oleh masyarakat sendiri dimana area diluar taka’ ujung lola terdapat banyak ikan. Pada proses penentuan lokasi DPL sedapat mungkin melibatkan sejumlah besar nelayan hal ini dikarenakan merekalah yang menjadi aktor di lapangan yang berkepantingan terhadap DPL. Bahkan proses penentuan nominasi area yang akan dijadikan DPL pun sedapat mungkin diperlukan diskusi yang bukan hanya dalam waktu singkat melainkan membutuhkan waktu yang lama. Studi Noble (2000) terhadap institusi dalam
61 sebuah pengelolaan ko-manajemen menyimpulkan bahwa dalam melibatkan masyarakat secara tepat dibutuhkan proses perubahan pandangan yang lama, kepentingan, dan pendapat dari masyarakat. Berdasarkan
pengalaman
peneliti
dilapangan
sangat
sulit
untuk
mengumpulkan masyarakat/nelayan dalam sebuah diskusi formal, hal ini memerlukan pendekatan yang baik. Demikian juga agar pertemuan dengan masyarakat/nelayan dalam penentuan lokasi DPL berjalan efektif diharapkan peran organisasi pelaksana di desa yaitu Fasilitator dan Motivator. FM dan MD diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai representasi program yang dengan baik menjelaskan kepada masyarakat tentang tujuan pembentukan DPL. Waktu yang efektif dalam menyampaikan setiap program di desa antara lain adalah pada saat selesai shalat jumat di mesjid. Pengelola kegiatan sedapat mungkin memanfaatkan waktu tersebut sebagai bagian dari sosialisai atau pertemuan informal dimana mayoritas nelayan hadir pada saat itu. Agar pelaksanaan program berjalan efektif diperlukan kesungguhan dari masyarakat untuk terlibat didalamnya. Proses “meyakinkan” masyarakat ini memerlukan waktu yang cukup lama agar mereka benar-benar merasa dilibatkan dalam program. Dengan proses yang lama ini diharapkan dapat memberikan dasar yang kuat dalam pelibatan mereka. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pedoman pembentukan Marine Protected Area (MPA) yang dikeluarkan oleh IUCN, menyebutkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat dapat menentukan keberhasilan sebuah pengelolaan kawasan konservasi. Sebagai contoh, proses penentuan zonasi di kawasan Taman Nasional Wakatobi membutuhkan waktu selama 3 (tiga) tahun dengan pendekatan intensif selama 2 (dua) tahun. Demikian juga di Filipina, dalam proses tahapan persiapan saja memerlukan 3 (tiga) bulan agar masyarakat memahami konteks dan tujuan dari kawasan konservasi (Kelleher 1999; Clifton 2003). 5.2.2 Peraturan Desa (Perdes) Perdes tentang DPL-BM mutlak diperlukan untuk mendukung keberhasilan pengelolaan suatu kawasan DPL. Keberhasilan pengelolaan suatu kawasan DPL sangat tergantung pada aturan-aturan yang dibuat dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan masyarakat. Perdes tentang DPL merupakan sebuah peraturan
62 perundang-undangan formal yang memiliki kekuatan hukum terkuat di tingkat desa. Perdes ini harus mengikat masyarakat di dalam dan luar desa, sehingga masyarakat, pemerintah desa, dan kelompok pengelola DPL mempunyai kekuatan atau dasar hukum untuk melarang atau menindak pelaku pelanggaran. Pembentukan perdes DPL terdiri dari beberapa tahapan yaitu penyusunan draft menjadi rancangan yang dilaksanakan oleh Badan Perwakilan Desa (BPD), Musyawarah pembahasan rancangan perdes bersama pemerintah desa dan masyarakat. Tahapan ini merupakan tahap yang paling penting, karena sebisa mungkin aturan-aturan yang termuat dalam perdes merupakan hasil dari usulan masyarakat
khususnya
masyarakat
yang
paling
banyak
berkepentingan
didalamnya. Peraturan Desa Bontolebang tentang daerah perlindungan laut masih dalam tahap pengesahan. Sosialisasi perdes telah dilakukan pada tanggal 17 dan 18 April 2009, sementara konsultasi publik pada tanggal 11 Desember 2009. Perdes yang ada adalah berupa rancangan perdes yang sudah melalui tahapan penyusunan dan disosialisasikan kepada masyarakat, namun dalam proses pengesahannya masih terkendala oleh administrasi karena pembuatan perdes dikontraktualkan ke pihak ketiga (konsultan). Didalam rancangan perdes tersebut terdapat 9 bab yang secara garis besar mengikuti draf atau contoh perdes yang diberikan oleh Coremap. Berikut adalah garis besar isi perdes: 1. Bab 1, ketentuan umum. Dimana memuat definisi-definisi atau batasan yang ada di dalam perdes. 2. Bab 2 menjelaskan tujuan dan manfaat adanya DPL. 3. Bab 3 memuat lokasi geografis dimana DPL berada; letak dan posisi zona inti dan zona penyangga yaitu di perairan bagian barat Pulau Pasi bernama taka’ ujung lola. Dalam bab ini juga disebutkan luasan DPL yaitu 21.7 Ha, terdiri atas zona inti seluas 4.9 Ha dan zona penyangga seluas 16.8 Ha. 4. Bab 4 memuat tentang kewajiban dan larangan pemanfaatan dalam lokasi DPL. Setiap penduduk desa berkewajiban menjaga, mengawasi dan memelihara keberadaan DPL. Kegiatan yang diperbolehkan di area DPL ini adalah penelitian, pendidikan dan wisata atas ijin dari pengelola.
63 5. Bab 5 memuat kelompok pengelola dengan uraian tugas dan kepengurusannya. 6. Bab 6 memuat pengawasan. 7. Bab 7 memuat pendanaan. 8. Bab 8 memuat sanksi. 9. Bab 9 memuat ketentuan penutup. Pada akhir halaman perdes dimuat penetapan oleh kepala desa Bontolebang serta pengesahan oleh sekretaris desa. Hal yang perlu mendapatkan perhatian sebelum penetapan sebaiknya draft rancangan perdes dikonsultasikan dengan berbagai pemangku kepentingan terkait (stakeholder) termasuk pihak pemerintah desa yang dapat dilakukan dalam pertemuan-pertemuan konsultasi publik untuk memperoleh komentar dan masukan dari masyarakat. Masukan-masukan dari masyarakat kemudian dimanfaatkan untuk menyempurnakan draft rancangan perdes sehingga perdes yang disahkan nantinya benar-benar merupakan perdes yang telah disepakati oleh seluruh pemangku kepentingan terkait. Menurut Tulungen et al. (2002), proses konsultasi publik menghendaki arus informasi dua arah. Pembuat perdes menyampaikan kepada publik mengenai raperdes yang sedang disusun, termasuk alasan-alasan, justifikasi, dan dampak potensialnya terhadap para pihak. Di lain pihak, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk berpartisipasi dan memberi umpan balik kepada pembuat perdes. Oleh karena itu, kedua belah pihak mempunyai kewajiban untuk memberikan komitmen waktu dan sumberdaya/dana dalam konsultasi publik. Konsultasi publik hendaknya dilakukan dalam bentuk yang berbeda-beda, dan diselenggarakan beberapa kali. Tentu diperlukan waktu untuk menyajian materi mengenai raperdes berikut permasalahan-permasalahan terkait. Selain itu, diperlukan diskusi kelompok untuk membahas bagian-bagian khusus secara lebih rinci untuk memperoleh masukan-masukan nyata dari para peserta konsultasi publik. Konsultasi publik hendaknya dilakukan dengan berbagai cara seperti musyawarah bersama kelompok pengguna, musyawarah dusun, musyawarah desa, dan dialog informal dengan para pemangku kepentingan.
64 Ada salah satu tahapan yang dilewati dalam pembentukan perdes. Ketika proses pembentukan dibuat secara formal, BPD berdiskusi mengenai aturan yang akan diberlakukan sebagai respon permintaan masyarakat. Aturan-aturan tersebut dituangkan dalam sebuah peraturan desa setelah melewati konsultasi panjang dengan masyarakat dan diharapkan dikonsultasikan juga dengan biro hokum. Dalam kasus ini raperdes telah dipersiapkan oleh konsultan dan siap untuk ditandatangani oleh kepala desa. Masyarakat hanya dilibatkan dalam mengisi isian dimana area DPL berada. Proses inilah yang menggambarkan jalan pintas dalam pembuatan aturan hukum. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang SETO Bontolebang yang mengungkapkan bahwa terdapat tahapan yang dilewati dalam prosedur pembuatan perdes dimana masyarakat tidak sepenuhnya dilibatkan dalam detail penentuan aturan-aturan yang akan dijadikan perdes. Hal ini lah yang mengakibatkan masyarakat lokal kurang mengetahui adanya aturan tersebut secara tertulis dan peduli terhadap keberadaan DPL karena inisiatif pertama yang datang bukan dari mereka. 5.2.3 Pemasangan Tanda Batas DPL DPL di Desa Bontolebang diberi tanda batas berupa pelampung-pelampung dimana pelampung tersebut dipasang sendiri oleh masyarakat dan pengelola LPSTK. Namun saat penelitian ini dilakukan tanda batas pelampung tersebut sudah hilang karena dihempas gelombang angin barat. Bahkan pondok pengawas yang seharusnya berada tidak jauh dari lokasi DPL, saat ini dalam keadaan terlantar dan tidak berfungsi. Contoh pelampung yang dijadikan tanda batas DPL dapat dilihat pada gambar 16.
Gambar 16 Pelampung tanda batas DPL.
65 Masyarakat tidak sepenuhnya dilibatkan dalam penempatan tanda batas berupa pelampung sebagai batas keberadaan DPL. Berdasarkan hasil wawancara dengan Abdul Rauf, ketua LPSTK, setelah penetapan DPL dilakukan, proses penempatan tanda batas dilakukan oleh tim dari Coremap sementara ada beberapa masyarakat yang hanya dilibatkan sebatas membantu mengantar ke lokasi serta menggunakan kapal/perahu nelayan. Pada saat penelitian dilakukan keberadaan tanda batas sudah tidak ada hal ini diakibatkan oleh hempasan angin barat dan bahkan menurut salah satu responden mengatakan dirusak bahkan dicuri oleh nelayan. Sebagai solusi atas penempatan tanda batas ini, akan dilakukan inisiasi penggunaan tanda batas dengan menggunakan bamboo yang diberi tanda bendera, dengan harapan tidak dicuri oleh nelayan. Namun sampai saat penelitian dilakukan pemasangan tanda batas tersebut belum dilaksanakan dengan alasan situasi politik yang belum kondusif menjelang pemilihan kepala daerah di Kabupaten Kepulauan Selayar. 5.3
Persepsi Masyarakat tentang DPL Istilah DPL reatif kurang diketahui oleh masyarakat. Secara umum
masyarakat tidak mengetahui adanya daerah perlindungan laut disekitar desa. Namun hal yang mereka fahami adalah penggunaan istilah ”Coremap” untuk DPL tersebut. Mereka hanya mengetahui DPL jika dijelaskan lebih rinci tentang keberadaan area yang tidak boleh menangkap ikan. Masyarakat hanya menganggap bahwa keberadaan DPL itu hanya merupakan pembatasan atas area penangkapan mereka saja. Sehingga tidak sedikit masyarakat yang merasa tidak setuju atas keberadaan DPL tersebut. Namun demikian sebagian masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan DPL seperti pengurus LPSTK, BPD, LKM dan MD mengetahui keberadaan DPL ini dan bahkan merasa harus menjaganya. Jika ditanya lebih jauh mengenai kebutuhan akan adanya DPL, sebagian besar masyarakat setuju dengan adanya area tertentu yang harus dilindungi. Alasan mereka adalah karena di area tersebut sangat banyak sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan. Nelayan menyadari pentingnya keberadaan DPL sebagai tempat memijahnya ikan untuk kemudian membesar dan ditangkap di luar area DPL. Penggunaan alat tangkap yang merusak seperti bom dan bius sangat dirasakan merugikan nelayan. Secara umum nelayan di Desa Bontolebang
66 sudah tidak ada yang menggunakan alat tangkap bom dan bius meskipun dahulu mereka pernah menggunakannya. 5.4
Tipe Partisipasi Pembentukan DPL di Bontolebang Program DPL BM di Bontolebang diklasifikasikan kedalam kooperatif
berdasarkan kategori ko-manajemen yang diungkapkan oleh Sen and Nielsen (1996). Masyarakat memberikan masukan dalam pengelolaan kepada pemerintah, mulai dari pelaksanaan pelibatan masyarakat dalam penentuan nominasi DPL, sampai kepada penentuan aturan pengelolaan yang tercantum dalam rancangan perdes. Fasilitator melibatkan masyarakat dalam diskusi sejak awal sosialisasi pelaksanaan program sampai pada pemasangan patok atau tanda batas wilayah DPL. DPL Bontolebang ditetapkan berdasarkan masukan masyarakat terhadap keberadaaan beberapa area dimana terdapat hamparan terumbu karang yang menurut masyarakat dalam kondisi baik. Kemudian hal ini diperkuat dengan pelaksanaan data hasil survey yang dilakukan oleh tim Coremap sebagai pelaksana yang dibantu oleh beberapa masyarakat dalam mengecek nominasinominasi area yang diusulkan masyarakat. Meskipun demikian pendekatan secara ilmiah dalam menilai kriteria terumbu karang yang akan dijadikan DPL telah dilakukan oleh tim Coremap dengan mempertimbangkan kriteria berdasarkan masyarakat. Pada proses penentuan DPL ini telah dicoba dengan pendekatan kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat yang ditunjukan dengan terjadinya pertukaran pengetahuan antara masyarakat/nelayan sebagai pelaku dilapangan dengan ilmuan yang diwakili tim Coremap yang menuju kepada desain ideal sebuah DPL (Pomeroy et al. 2004; Wiber et al. 2009). 5.5
Harapan Masyarakat terhadap DPL ke depan Mayoritas masyarakat mendorong akan keberadaan DPL yang efektif, hal
ini didasari dengan harapan-harapan mereka terhadap keberlanjutan sumberdaya yang berada disekitar mereka. Namun ada beberapa hal yang menjadi perhatian masyarakat akan implementasi DPL kedepan, yaitu aspek penegakan hukum. Sosialisasi tentang kegiatan illegal fishing di Dusun Gusung Timur Desa Bontolebang, dilaksanakan tanggal 3 April 2009. Berdasarkan pengarahan yang diberikan, masyarakat di dusun ini telah memiliki kepedulian dan kesadaran
67 tentang dampak yang ditimbulkan dari kegiatan illegal. Keberadaan Coremap di desa ini telah banyak merubah pola fikir mereka tentang kegiatan perikanan sehingga saat ini tidak ditemukan lagi adanya nelayan yang melakukan kegiatan illegal, hanya saja nelayan-nelayan luar yang ikut menangkap ikan di perairan Desa Bontolebang terkadang masih ada yang melakukan cara-cara tidak bertanggung jawab.
Kurang mendukungnya aparat keamanan dalam pengawasan karena keberadaan aparat di lokasi kurang intens sehingga masyarakat terkadang takut dalam mengambil tindakan terhadap pelaku kegiatan ilegal. Diharapkan perlu adanya kerjasama antara pemerintah kabupaten agar menghimbau kepada semua aparat keamanan yang bertugas di desa supaya mendukung kegiatan pengawasan Ccoremap, karena sesungguhnya program yang dibawa Coremap hanya terbatas pada tingkat pembelajaran saja dan tidak memiliki wewenang untuk mengadili. Pengelolaan DPL di Bontolebang belum sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan kegiatan destructive fishing. Sampai saat ini masih ada kegiatan penangkapan yang menggunakan bom dan bius. Meskipun pelaku diserahkan ke pihak yang berwajib untuk diproses, akan tetapi tidak ada tindak lanjut yang dilakukan oleh pihak yang berwajib karena tidak butuh waktu lama si pelaku kembali bebas. Selain tidak adanya tindak lanjut, kegiatan patroli yang dilakukan oleh aparat keamanan, dinas perikanan maupun masyarakat sering terjadi kebocoran informasi, sehingga ketika dinas atau aparat melakukan kegiatan ini, para pelaku illegal telah mencium adanya patroli yang kabarnya informasi ini disebarkan oleh salah seorang oknum aparat yang terlibat dalam kegiatan pengawasan. 5.6
Faktor Pendukung Keberadaan DPL
5.6.1 Fasilitas Dalam mendukung kegiatan DPL berbasis masyarakat, Coremap telah menyediakan fasilitas antara lain untuk kegiatan pengawasan. Seperti kapal pengawas, pos pengawas, alat snorkeling, teropong, dan kamera digital. Fasilitasfasilitas tersebut digunakan dalam monitoring dan pengawasan. Kapal pengawas diserahkan kepada masyarakat melalui village grant atau bantuan desa. Kapal tersebut dibawah tanggung jawab ketua LPSTK. Namun berdasarkan pengamatan
68 di lapangan keberadaan beberapa fasilitas-fasilitas pendukung tersebut belum optimal. Seperti kapal pengawas mengalami kerusakan mesin dan pos pemantau/pengawas terapung yang tidak berfungsi. Fasilitas lain yang mendukung kegiatan di Desa Bontolebang adalah bak penampungan air yang berjumlah 15 unit yang ditempatkan di masing-masing dusun sebanyak 5 unit. Bak penampungan ini merupakan realisasi dari village grant tahun 2008 yang sampai saat ini digunakan oleh masyarakat sebagai penampung air hujan di beberapa lokasi strategis seperti di mesjid. Meskipun ada beberapa lokasi penempatan bak tersebut yang masih besifat “pribadi” seperti di depan rumah kepala desa, atau di depan rumah anggota BPD.
Gambar 17 Pondok pengawas dan bak penampungan air hujan. 5.6.2 Informasi dan Teknologi Pusat informasi atau information centre adalah salah satu fasilitas dalam mendukung program Coremap. Pusat informasi ini berfungsi sebagai tempat informasi terumbu karang dan DPL. Pusat informasi di Desa Bontolebang berada di Dusun Gusung Barat yang merupakan ibukota desa. Pada saat pengamatan dilakukan pusat informasi ini digabung dengan perpustakaan mini desa dimana masyarakat (khususnya anak-anak) dapat membaca, meminjam buku dan bermain. Keberadaan pusat informasi ini tentunya dirasakan penting sebagai media penyampaian informasi kegiatan pengelolaan terumbu karang di Desa Bontolebang, juga sebagai media penyadaran bagi masyarakat sekaligus media pendidikan bagi generasi muda.
69 Sosialisasi Dana pengembangan pusat informasi yang dilaksanakan pada tanggal 10 November 2009 bertempat di Balai Pertemuan Desa Bontolebang. Peserta yang hadir sebagian besar adalah jajaran staf pemerintah desa, LPSTK, LKM, motivator desa dan terlihat beberapa dari kalangan masyarakat. Dalam kegiatan ini, dibahas mengenai rencana usulan kegiatan yang akan dilaksanakan. Berdasarkan hasil musyawarah bersama LPSTK, Pemerintah Desa dan masyarakat di sepakati bahwa kegiatan yang akan dilaksanakan adalah penambahan gedung pusat informasi dan pengadaan fasilitas pendukung kegiatan seperti pengadaan Laptop, printer, alat komunikasi, camera dan lain-lain. Gedung pusat informasi yang sekarang memiliki ruangan yang sempit dan lahan yang ada tidak memungkinkan untuk melakukan perluasan sehingga berdasarkan hasil kesepakatan, pemerintah desa akan memberikan satu gedung yang telah ada untuk diperluas. Pusat informasi ini, nantinya akan dilengkapi dengan kantor LKM dan kantor koperasi desa. Dengan adanya dana dukungan pusat informasi, diharapkan semua kegiatan baik kegiatan LPSTK, LKM, Pokmas dan kegiatan lainnya dapat berjalan dengan lancar sehingga keberhasilan program semakin meningkat.
Gambar 18 Gedung Pusat Informasi. 5.6.3 Pendidikan dan Pelatihan Aspek pendidikan dan pelatihan merupakan faktor penting dalam mendukung keberhasilan program Coremap. Untuk tingkat kabupaten, Coremap telah melibatkan dinas pendidikan kabupaten dalam upaya mensosialisasikan program. Upaya tersebut antara lain dengan menyusun materi pelajaran, silabus,
70 serta buku bagi pelajar sebagai bahan muatan lokal di Kabupaten Kepulauan Selayar. Para pelajar sudah sejak dini diberikan pemahaman mengenai pentingnya mengelola ekosistem terumbu karang. Pusat
informasi
menjadi
tempat
yang
sangat
efektif
dalam
mengkampanyekan penyadaran serta pentingnya pendidikan pengelolaan terumbu karang bagi masyarakat sejak dini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya buku-buku bacaan serta permainan yang semuanya diarahkan kepada penyadaran akan pentingnya ekosistem terumbu karang. Sementara itu berbagai pelatihan mulai dari pelatihan bagi pengelola dan juga bagi masyarakat telah dilakukan. Seperti pelatihan Creel, pelatihan pokmas, pelatihan produksi dan pemasaran mata pencaharian alternatif, pelatihan metode pemantauan, pelatihan selam dan pelatihan manajemen keuangan. Dalam pelaksanaannya pelatihan-pelatihan tersebut dihadiri oleh orang-orang yang sama bahkan didominasi oleh seseorang (ketua LPSTK) sebagai peserta. Padahal seyogyanya pelatihan seperti pelatihan produksi pemasaran mata pencaharian alternatif dihadiri oleh anggota/pengurus pokmas produksi namun dihadiri oleh Ketua LPSTK. Beberapa pelatihan juga dirasakan kurang efektif dikarenakan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti pelatihan pembuatan abon, bakso dan nugget ikan. Pelatihan hanya pada tataran teknis saja namun setelah itu masyarakat bingung mau dipasarkan kemana. 5.6.4 Dukungan Pendanaan Dukungan pendanaan dalam program Coremap di Desa Bontolebang terdapat dalam dua skema, yaitu village grant (dana bantuan desa) dan seed fund. Dana Village grant adalah dana hibah yang diberikan dengan tujuan untuk memperbaiki fasilitas infarastruktur desa dalam rangka mendukung kegiatan rehabilitasi terumbu karang. Dana yang berasal dari dana pinjaman bank dunia berjumlah 100 juta rupiah dengan pencairan sebanyak 2 (dua) tahap. Kegiatan village grant ini telah dilaksanakan sejak tahun 2007 terealisasi 100 persen dari total dana yang akan disalurkan. Realisasi village grant tahun 2007 dan 2008 dapat dilihat pada tabel 13.
71 Tabel 13 Realisasi village grant 2007 dan 2008 Tahun Realisasi 2007
2008
Realisasi Village grant Kapal pengawas Pagar Mesjid Pagar Mesjid Bak penampungan air Balai Pertemuan Bak air (15 unit) Mesin kapal Pos pemantau
Lokasi Gusung Barat Gusung Timur Gusung lengu’ Gusung Barat Lengu’, Barat dan Timur Gusung Talang
Keterangan Baik dan berfungsi Baik dan berfungsi Baik dan berfungsi Baik dan kurang berfungsi Baik dan berfungsi Baik dan kurang berfungsi Baik dan belum berfungsi Baik dan belum berfungsi
Sumber: data primer diolah 2010 Di Desa Bontolebang terdapat lembaga keuangan mikro (LKM) bernama LKM “Karang Indah”, Koperasi usaha bersama (Kube) “sejahtera” dan sebuah koperasi desa yang berfungsi sebagai penggerak kegiatan produktif masyarakat. Pemanfaat dana LKM sampai dengan Desember 2009 telah mencapai 96 orang dan tidak ada pemanfaat yang penunggak, artinya keberadaan LKM “Karang Indah” telah mampu menggerakkan masyarakat dalam melakukan kegiatan produktif. Tabel. 14 Nama LKM dan jumlah pemanfaat di Kecamatan Bontoharu dan Bontosikuyu, Kabupaten Kepulauan Selayar No
Jml Pemanfaat
NamaLKM
Jml penunggak
JmlTunggakan
OmsetLKM (Rp)
Saldo (Rp)
1
Polassi
41orang
-
-
23.240.000
5.340.000
2
Bantimurung
-
6orang
2.735.250
54.5783641
2.143.641
3
Patikarya
75orang
43orang
Tidakadadata 57.707.000
25.857.000
4
KarangIndah
96orang
-
-
30.551.875
13.860.375
Sumber: data primer diolah 2010 Berdasarkan data laporan SETO per Desember 2009, jumlah omset LKM di Desa Bontolebang relatif besar yaitu Rp30 551 875.00 dengan saldo kas sebesar Rp13 860 375.00, hal ini menunjukan bahwa kegiatan LKM relatif efektif jika dibandingkan dengan LKM-LKM yang ada di desa-desa lain. Dana seed fund yang dikelola oleh LKM di Desa Bontolebang, diharapkan dapat dipantau secara berkelanjutan oleh SETO/FM dan tidak terlepas dari pengawasan kepala desa selaku pembina/penasehat di tingkat desa. Hal ini dilakukan agar dana yang diberikan dapat berkelanjutan sehingga pemanfaatannya
72 dapat dirasakan masyarakat secara merata. Tidak hanya kelancaran perguliran dana yang diharapkan, tetapi outcome yang sangat ditekankan adalah bertambah dan meningkatnya usaha yang dibangun masyarakat sehingga kesejahteraan mereka juga meningkat. Dengan demikian masyarakat tidak perlu lagi mengejar kesejahteraan mereka melalui kegiatan-kegiatan yang tidak ramah lingkungan. 5.6.5 Mata Pencaharian Alternatif (MPA) MPA yang mulai dikembangkan di Desa Bontolebang adalah pembesaran ikan baronang dengan metode keramba tancap. Kegiatan ini mulai dirintis pada awal Juni dan dikelola oleh ketua LPSTK desa Bontolebang, dengan adanya usaha ini akan membuka mata pencaharian baru bagi masyarakat nelayan desa Bontolebang karena usaha ini membutuhkan bibit ikan baronang sementara dipesisir pantai pulau ini memiliki banyak sekali jenis ikan termasuk baronang sehingga usaha ini tidak perlu menyuplai bibit dari luar desa. Berdasarkan diskusi dan pemantauan langsung yang dilakukan, keramba tancap yang ada sekarang semakin bertambah dan sebagian besar memelihara ikan baronang dan kerapu. Pertumbuhan ikan yang ada berdasarkan informasi dari nelayan adalah sangat lambat, hal ini disebabkan karena kurangnya pakan yang diberikan. Selain itu, pemantauan keramba juga tidak terlalu intens dilakukan sehingga konstruksi keramba mengalami kebocoran akibat dari tekanan air maupun sampah-sampah yang tersangkut pada konstruksi keramba. Peran istri dalam bidang perikanan dan kelautan masih sangat minim sedangkan dalam bidang pertanian keterlibatan perempuan masih sangat menonjol sehingga sangat membantu dalam peningkatan ekonomi keluarga. Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa isteri petani lebih produktif daripada isteri nelayan. Oleh karena itu untuk membantu peningkatan ekonomi keluarga, isteri nelayan biasanya membuka usaha lain, seperti usaha jualan kue, nasi kuning dan sembako. Kue yang dijual biasanya dijajakan berupa kue basah yang dijajakan keliling kampung dan nasi kuning biasanya dijajakan di kantin sekolah dasar. Selain jualan makanan siap santap, dilakukan juga usaha warung dengan menjual sembako dan peralatan penangkapan seperti pancing dan tasi (monofilament). Usaha lain yang berkembang sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat khususnya di Desa Bontolebang adalah pengeringan ikan. Kegiatan
73 ini telah digeluti masyarakat selama bertahun-tahun, tetapi usaha ini masih dalam skala kecil. Meskipun masih dalam skala kecil, usaha ini sangat membantu dalam mengangkat perekonomian keluarga, apalagi jenis ikan yang dikeringkan merupakan ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti berbagai jenis ikan kerapu dan jenis tenggiri. Diantara kegiatan mata pencaharian alternatif yang dilakukan masyarakat Desa Bontolebang saat ini dapat dilihat pada gambar 19.
Gambar 19 Keramba jaring tancap dan pengeringan ikan sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat Desa Bontolebang. 5.7
Karakteristik Lembaga Pengelola DPL Dalam menganalisis karakteristik lembaga pengelola DPL ini peneliti
menggunakan kriteria yang diungkapkan Ostrom (1990) sebagai berikut: 5.7.1 Kejelasan Batas Wilayah Perairan DPL haruslah mempunyai perencanaan zonasi, yang ditetapkan secara sederhana, mudah dipahami dan dilaksanakan serta dipatuhi oleh masyarakat. Berdasarkan pedoman umum Pengelolaan Berbasis Masyarakat Coremap, ada 4 (empat) zona kategori wilayah dalam pembentukan suatu kawasan konservasi yaitu: 1) Wilayah pemanfaatan tradisional (wisata, lokasi pemancingan umpan dan lain-lain) 2) Wilayah pengembangan budidaya laut (rumput laut, kerang, pembesar ikan dan lain-lain) 3) Wilayah perlindungan masyarakat atau konservasi (community sanctuary) 4) Wilayah yang menjadi alur transportasi perairan pedalaman desa atau pulau (Kementerian KP 2006).
74 Penataan wilayah perairan Desa Bontolebang telah dibagi kedalam beberapa kawasan dimana sebelah timur dan utara desa diperuntukan sebagai jalur lalu lintas dan area budidaya (keramba jaring apung). Sebelah barat (Boko jarang, Taka’ ambaho dan taka’ hello) diperuntukan sebagai area penangkapan tradisional dan budidaya (keramba tancap), sementara taka’ ujung lola adalah area dimana DPL berada yang dibagi kedalam zona inti dan zona penyangga (Gambar 4). Rancangan perdes memuat koordinat batasan wilayah DPL. Pada prinsipnya batasan ini merupakan area dimana terumbu karang ditemukan, kemudian lokasi DPL ini ditetapkan dan dibagi kedalam dua zona yaitu zona inti dan zona penyangga. Meskipun secara geografis batasan-batasan DPL telah ditetapkan, namun saat penelitian dilakukan tidak terdapat tanda batas area dan papan pengumuman. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan batasan area DPL yang menjadi kawasan terlindung dari aktifitas penangkapan. Nelayan atau masyarakat Desa Bontolebang hanya mengetahui batasan tersebut berdasarkan pengetahuan lokal (local knowledge) dimana area berada yaitu area terumbu karang yang dikenal dengan taka’ ujung lola. Untuk nelayan yang berasal dari luar desa sangat sulit mengetahui keberadaan DPL di area tersebut sehingga besar kemungkinan terjadi konflik. 5.7.2 Kesesuaian Aturan dengan Kondisi Lokal Agar pengelolaan DPL berbasis masyarakat dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif maka keberadaan DPL perlu ditunjang dengan sebuah aturan hukum yang memiliki kekuatan hukum kuat di tingkat desa. Keberhasilan pengelolaan suatu kawasan DPL sangat tergantung pada aturan-aturan yang dibuat dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan masyarakat. Perdes tentang DPL merupakan sebuah peraturan perundang-undangan formal yang memiliki kekuatan hukum terkuat di tingkat desa. Perdes ini harus mengikat masyarakat di dalam dan luar desa, sehingga masyarakat, pemerintah desa, dan pokmas konservasi yang mengelola DPL mempunyai kekuatan atau dasar hukum untuk melarang atau menindak pelaku pelanggaran. Aturan tersebut merujuk kepada ketetapan berupa larangan, perijinan, atau kegiatan yang diperbolehkan yang berhubungan dengan hak (Ostrom 1990). Dalam pengelolaan sumberdaya aturan mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan
75 siapa yang boleh menangkap (Satria 2009). Dalam pengelolaan terumbu karang di Desa Bontolebang, beberapa aturan secara tertulis telah ada dalam rancangan peraturan desa. Aturan-aturan tersebut antara lain: (1) Setiap penduduk desa wajib menjaga, mengawasi dan memelihara kelestarian DPL. (2) Setiap penduduk desa dan/atau kelompok mempunyai hak dan bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam DPL. (3) Dapat melewati/melintasi zona inti selama tidak melakukan aktifitas penangkapan. (4) Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam DPL adalah kegiatan orang perorang dan/atau kelompok, berupa penelitian, pendidikan dan wisata, dengan terlebih dahulu melapor dan memperoleh ijin dari pengelola. (5) Setiap orang perorangan/badan hukum yang akan melakukan kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata bahari wajib membayar retribusi yang akan ditentukan kemudian oleh pengelola. Segala bentuk kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dilarang dilakukan di DPL, kecuali kegiatan tertentu yang disepakati masyarakat desa. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang dalam zona DPL antara lain: (1) Memancing/menangkap ikan dengan segala jenis alat tangkap, (2) mengambil biota laut, tumbuhan dan karang yang hidup atau yang mati, (3) menggunakan lampu didalam DPL pada malam hari dengan maksud menarik ikan, (4) melakukan budidaya rumput laut, ikan karang dan ikan lainnya di dalam DPL, (5) menempatkan bagan, membuang jangkar, sampah, melakukan penambangan di dalam DPL, (5) menangkap atau mengambil ikan dengan menggunakan bahan peledak/bom, segala jenis racun kimia, jenis racun tradisional dan peralatan listrik/accu,
serta (6) berenang atau melakukan
penyelaman tanpa ijin. Hak dan kewajiban serta larangan yang ada di dalam rancangan perdes bersifat lokal dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Setiap aturan yang dibuat dikondisikan dengan keberadaan dan karakteristik masyarakat Desa Bontolebang. Hanya saja aturan tidak mencerminkan kepentingan dan prioritas individu masyarakat Desa Bontolebang. Aturan yang seharusnya mengakomodasi aspirasi
76 masyarakat desa, telah gagal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai bagian dari partisipasi mereka sehingga melemahkan proses dan pengakuan dari mereka. Berbeda dengan kasus di Pulau Yoron, Jepang aturan yang dibuat adalah berasal dari kepentingan setiap individu masyarakat yang dijadikan dasar dalam penetapan kebijakan (Adrianto et al. 2005). Agar
sebuah
aturan
hukum
memperoleh
legitimasi
dan
ditaati
penegakannya baik oleh pihak-pihak yang diatur maupun pihak-pihak yang mengatur, maka aturan hukum tersebut harus merupakan formulasi dan refleksi dari kesepakatan yang dibuat secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang diatur maupun pihak yang mengatur. Dengan demikian, mau tidak mau sebuah aturan hukum yang baru dibuat secara bersama-sama antara seluruh pemangku kepentingan terkait, dalam suatu proses yang bersifat transparan atau terbuka. Masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya sehingga mereka merasa bebas, tidak diselimuti rasa takut, untuk menyampaikan pendapat-pendapat mereka secara alami dalam keseluruhan proses pembuatan aturan hukum tersebut, mulai dari tahap inisiasi hingga tahap pengesahan. 5.7.3 Aturan Disusun oleh Pengguna Sumberdaya Proses pelibatan masyarakat dalam pembentukan aturan diawali dengan sosialisasi yang dilakukan oleh fasilitator masyarakat dan SETO yang merupakan representasi dari Coremap. Proses tersebut (sebagaimana dijelaskan dalam su-bab 5.2) telah melalui proses panjang sejak awal tahapan inisiasi program. Mulai dari diskusi dengan pihak pemerintah desa, BPD, dan pada akhirnya masyarakat nelayan yang berkepentingan terhadap pengelolaan terumbu karang. Masyarakat diberi kesempatan untuk memberikan masukan terhadap apa saja yang harus dikelola, dimana area yang akan dikelola, dan aturan-aturan apa yang akan diberlakukan dalam pengelolaan. Pada kesempatan yang sama masyarakat diminta untuk membentuk sebuah lembaga pengelola terumbu karang yang merupakan bagian dari mereka. Oleh karena itu maka terbentuklah sebuah lembaga pengelola sumberdaya terumbu karang yang merupakan representasi dari berbagai kepentingan di desa. Proses penetapan aturan ini lebih menggambarkan sebuah kesepakatan informal individu masyarakat yang mewakili kepentingan masingmasing dusun. Sementara itu, penetapan DPL lebih pada pertimbangan wilayah
77 dimana lokasi yang ditetapkan relatif tidak terlalu jauh dan mudah diawasi oleh masyarakat. Proses penetapan aturan lebih mempertimbangkan keterwakilan wilayah daripada fungsi. Masyarakat yang notabene adalah seorang nelayan kurang diberikan ruang dalam penetapan kesepakatan aturan. Sebagaimana yang dikemukakan Jentof (2003), bahwa keterwakilan wilayah lebih mengacu pada situasi yang cocok yang menggambarkan area secara geografis, sementara keterwakilan fungsi mengacu pada keterwakilan kepentingan dalam sebuah kegiatan. Masyarakat sebagai nelayan seharusnya lebih banyak memberikan masukan dalam proses pembentukan aturan karena kepentingan mereka terhadap aturan tersebut. Oleh karena kurangnya keterlibatan langsung masyarakat dalam menerapkan serta menegakkan aturan, akibatnya pengakuan terhadap aturanaturan tersebut menjadi lemah atau kurang. 5.7.4 Monitoring dan Pengawasan Secara teknis pelaksanaan pengelolaan DPL dibantu oleh kelompok masyarakat yang tergabung dalam kelompok konservasi khususnya kegiatan pemantauan dan pengawasan terhadap wilayah-wilayah yang telah ditentukan peruntukkannya. Kelompok masyarakat bidang konservasi ini ditunjuk dan ditetapkan oleh kepala desa melalui surat keputusan nomor 13. Tahun 2008 tentang pengesahan pengurus pokmas konservasi Desa Bontolebang Kecamatan Bontoharu. Dalam rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK) disebutkan beberapa tugas pokok dari kelompok masyarakat bidang konservasi. Tugas pokok kelompok konservasi tersebut antara lain: a) Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap lingkungan ekologis secara periodik. b) Mengamati dan mencatat kasus-kasus ilegal yang terjadi dan melaporkan kepada penanggung jawab penegakan hukum. c) Menilai usulan untuk mendapatkan izin pengelolaan perikanan dalam wilayah perairan desa oleh pengguna. Untuk mempermudah tugas dan fungsinya, pokmas konservasi dilengkapi fasilitas berupa perahu, teropong, kamera dan alat komunikasi. Selain itu juga dibantu oleh penegak hukum antara lain, Kamtibmas, dan Babinsa yang juga
78 melakukan patroli secara periodik (baik yang dilakukan secara terpisah maupun secara terpadu sesuai kebutuhan). Tugas pemantauan yang dilakukan oleh pokmas konservasi lebih kepada pelaksanaan penegakkan aturan bagi pelaku penangkapan dengan cara ilegal atau merusak. Sementara tugas pokok pemantauan kondisi ekologis DPL sebagaimana poin (a) diatas, dilakukan oleh tim Coremap. Dalam sebuah pengelolaan berbasis masyarakat, tugas pengawasan dan pemantauan ini dilakukan oleh masyarakat sebagai upaya mereka dalam menegakkan aturan. Nelayan yang sedang melakukan penangkapan secara bersamaan memantau dan mengawasi lingkungan atau keadaan sekitarnya. Jika ada indikasi terjadi kegiatan illegal, maka segera dilaporkan kepada kelompok konservasi yang selanjutnya akan mengecek ulang laporan tersebut, dan apabila laporan nelayan ternyata benar maka kelompok konservasi segera berkoordinasi dengan penanggung jawab pengelolaan (LPSTK) dan membuat berita acara yang diserahkan ke pemerintah desa atau Coremap untuk melakukan penindakan dan kemudian melaporkan aktivitas ilegal tersebut ke pihak yang berwajib. Secara umum prosedur teknis pemantauan dan pengawasan DPL dapat dilihat pada gambar 20. Pemerintah Desa Penanggung Jawab Pengelolaan (LPSTK) Pemberitahuan
Kelompok Konservasi
Patroli
Pengamatan
Kasus
Penindakan
Gambar 20 Prosedur teknis pemantauan dan pengawasan DPL. Namun kondisi ideal ini tidak secara rutin dilakukan mengingat berbagai kendala dilapangan antara lain, tidak berfungsinya pos pengawas, biaya operasional yang tinggi, lemahnya penegakan hukum bagi pelaku pelanggaran, serta kurang dilibatkannya masyarakat dalam pengawasan. “Harusnya ada petugas yang khusus yang ditempatkan di pos pengawas”, demikian ungkap seorang nelayan. Masyarakat menilai penegakan hukum yang telah dilakukan
79 masih lemah, misalnya kejadian penangkapan pelaku penangkapan dengan cara bius pada tanggal 6 Mei 2009. Meskipun kejadian tersebut disaksikan oleh seluruh aparat baik desa, babinsa, binmas dan masyarakat, namun ketika diproses di kepolisian tidak lama pelaku dibebaskan. Akhirnya masyarakat bersikap acuh dan lebih memilih aman untuk kompromi dengan pelaku pelanggaran jika mereka menemuinya di lapangan. Berdasarkan kondisi ini peran kelompok konservasi menjadi kurang diakui oleh masyarakat. “Penegakan hukum adalah tugas polisi, bukan kami”. Ungkap salah seorang nelayan. Lemahnya pengakuan oleh masyarakat terhadap penegakan hukum ini melemahkan keberadaan peran pokmas konservasi sebagai bagian dari masyarakat sendiri. 5.7.5 Sanksi Apabila terjadi pelanggaran aturan, maka aturan yang telah disepakati bersama perlu ditegakkan dan sanksi diberikan kepada pelanggar. Sanksi yang dikenakan sesuai dengan yang ada dalam perdes, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Adapun aturan yang terdapat dalam rancangan perdes bersifat bertingkat dimana sanksi diberlakukan berdasarkan jumlah pelanggaran yang dilakukan, yaitu: 1
Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam perdes dikenakan sanksi tingkat pertama berupa permintaan maaf oleh pelanggar, mengembalikan semua hasil yang diperolehnya dari DPL kepada desa, dan menandatangani surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi pelanggaran tersebut dihadapan aparat desa, kelompok pengelola dan masyarakat.
2
Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran kedua kalinya yang terbukti melanggar ketentuan dalam perdes, dikenakan sanksi tingkat kedua berupa denda dengan sejumlah uang yang ditentukan kemudian oleh kelompok pengelola; dan menyita semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan DPL.
3
Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran ketiga kalinya yang terbukti melanggar ketentuan dalam perdes, dikenakan sanksi tingkat ketiga berupa denda dengan sejumlah uang yang ditentukan oleh kelompok pengelola, menyita semua peralatan yang dipakai dalam pelanggaran aturan
80 DPL; dan diwajibkan melakukan pekerjaan sosial untuk kepentingan masyarakat seperti kerja bakti, membetulkan MCK umum; atau sanksi lain yang ditentukan kemudian oleh Kepala Desa /masyarakat. 4
Setiap orang dengan sengaja melakukan pelanggaran ketentuan lebih dari tiga kali, dikenakan sanksi sesuai ketentuan pada poin ke-3; dan diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses sesuai dengan ketentuan dan dapat dikenai sanksi adat yang masih diakui masyarakat.
“Sanksi bukan hukuman badan, melainkan seperti hasil tangkapan diambil, kemudian pelaku dibina (diberi penyadaran). Intinya bukan efek jera, melainkan juga melihat aspek kemanusiaan”. Demikian ungkap salah seorang pejabat dinas kelautan dan perikanan. Sanksi-sanksi yang terdapat didalam raperdes masih bersifat sanksi sosial berupa permohonan maaf, penyitaan hasil tangkapan dan kerja bakti, hal ini dikarenakan dalam merumuskan ketentuan sanksi, pengelola mengacu pada Pasal 14 UU no. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: "Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah”. Berdasarkan UU 10/2004 tersebut Perdes tidak dibenarkan memuat ketentuan sanksi pidana. Hal ini melemahkan keberadaan perdes sebagai bagian dari pengelolaan berbasis masyarakat. Sanksi yang ada terkesan merupakan bagian dari kompromi antara masukan dari masyarakat dengan masukan dari pemerintah daerah. Beberapa pelanggaran atau kegiatan penangkapan ikan secara illegal yang tercatat selama kurun waktu tahun 2000-2009 merupakan pelanggaran berupa penangkapan dengan menggunakan alat tangkap illegal, bom dan bius (potassium sianida). Pada tahun 2000 telah terjadi penangkapan pelaku pengebom dan nelayan yang menggunakan alat tangkap jenis rawai, dimana penggunaan alat tersebut belum mendapatkan ijin dari pihak berwenang. Pelanggaran dilakukan oleh nelayan luar desa yang menangkap di perairan Desa Bontolebang antara lain oleh nelayan yang berasal dari Kabupaten Bulukumba, Kecamatan Ujung Tanah, dan nelayan yang berasal dari Pulau Kayuadi (kepulauan dibagian selatan Selayar). Daftar pelanggaran yang terjadi di perairan desa Bontolebang dapat dilihat pada tabel 15.
81 Tabel 15 Daftar pelanggaran yang tercatat sepanjang 2000-2009 No 1
Tahun 2000
2
2002
3 4
4Mei 2009 6Mei 2009
Kejadian Kepala Desa beserta staf, Binmas dan RK menangkap pelaku illegal fishing (pengebom) Pemburuan pelaku penggunaan alat tangkap rawe. Pelaku berasal dari luar PulauSelayar
Keterangan Pelaku berasal dari Lumuk-lumuk KecamatanUjungTanah
Mayarakat tidak mengijinkan alat tersebut untuk dioperasikan di perairan mereka karena tidak ada ijin dari pihak berwenang Kepala Desa, Mahasiswa UNISMUH dan Pelaku berasal dari Kabupaten Polisi menangkap pelaku illegal fishing Bulukumba (pengebom). Terjadipengeboman PelakuNelayandariPulauKayuadi Terjadipengeboman dan pembiusan. Pelaku pengeboman berhasil kabur, pembius ditangkap Setelah diproses di kepolisiann, pelaku kemudian dibebaskan.
Sumber: Data primer diolah (2010) 5.7.6 Mekanisme Penyelesaian Konflik Masyarakat semestinya memiliki hak untuk menyampaikan gagasan, persepsi, keberatan, usulan perubahan, ataupun gagasan mereka lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut, sebelum rumusan kebijakan dan rencana pengelolaan ditetapkan. Dengan adanya rencana pengelolaan ini diharapkan potensi konflik pemanfaatan atau konflik yuridiksi dapat diminimalisasi bahkan dihindarkan. Pada dasarnya konflik antar nelayan di Desa Bontolebang relatif tidak terjadi selama pengelolaan DPL karena sejak awal masyarakat sudah diberikan penjelasan tentang pentingnya pengelolaan. Sementara itu, konflik nelayan lokal dengan nelayan luar disebabkan adanya aktifitas penangkapan ikan oleh nelayan luar yang umumnya menggunakan alat tangkap illegal (penggunaan rawai) dan/atau merusak lingkungan, seperti bom, potassium sianida dan bahan racun lainnya. Penyelesaian konflik internal nelayan ini didekati melalui penyelesaian dengan memberikan pemahaman kepada nelayan. “Mereka (nelayan) diberi pilihan; menutup sebagian area tangkap (menjadi sempit) tapi ikan banyak (melimpah), atau area tangkapan luas tapi ikan sedikit?” Ungkap seorang pengelola. Sementara untuk konflik dengan nelayan luar, pengelola beserta pemerintah desa melakukan sosialisasi dan mendatangi desa-desa sekitar untuk memberikan pemahaman dan pemberian informasi tentang keberadaan DPL di Bontolebang.
82 5.7.7 Pengakuan dari Pemerintah Lembaga pengelola sumberdaya terumbu karang (LPSTK) dibentuk atas prakarsa masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang. LPSTK dan pokmas telah disahkan oleh pemerintahan desa dalam sebuah keputusan desa tentang pengangkatan pengurus lembaga. Hal ini sebagai bentuk pengakuan secara formal lembaga-lembaga tersebut oleh pemerintah desa sebagai pengelola kegiatan. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut juga dipayungi oleh sebuah peraturan perundang-undangan yang berlaku yang ditetapkan oleh desa dalam bentuk peraturan desa. 5.7.8 Jaringan dengan Lembaga Luar Keberadaan
kelompok
masyarakat
konservasi
sebagai
representasi
masyarakat pengelola terumbu karang dikoordinir oleh LPSTK untuk dapat melakukan perannya baik di lokasi DPL Desa Bontolebang maupun DPL-DPL sekitar desa yang ada di Pulau Pasi atau di lokasi desa lain. Hal ini sangat penting untuk menjaga kelestarian secara integrasi dalam sebuah kawasan konservasi daerah. Sampai saat ini koordinasi antar lembaga dilakukan dengan melibatkan lembaga-lembaga pengelola DPL yang ada di desa-desa binaan Coremap. 5.8
Analisis Stakeholder Dalam penelitian ini untuk mengetahui partisipasi stakeholder terhadap DPL
dalam pembentukan dan pengelolaan dilakukan analisis Stakeholder. Stakeholder adalah siapa saja yang berkepentingan atau terkena dampak atas suatu perencanaan, dimana informasi dan peran aktif mereka sangat diperlukan. Organisasi stakeholder adalah siapapun, kelompok atau individu, yang dapat mempengaruhi atau terpengaruh
oleh pencapaian suatu organisasi itu.
Stakeholder dalam suatu proses kegiatan adalah aktor (berupa perorangan, komunitas, kelompok sosial, atau organisasi) yang memiliki kepentingan dalam sebuah kebijakan yang harus dipertimbangkan (Schmeer 2000). Dalam proses perencanaan dan pengambilan kebijakan terhadap suatu permasalahan maka analisis stakeholder menjadi suatu yang penting untuk dilakukan. Pengambil keputusan dapat menggunakan analisis stakeholder untuk mengidentifikasi
83 pemain kunci, menilai pengetahuan, posisi, serta kepentingan mereka dalam sebuah kebijakan. Analisis stakeholder sangat penting untuk mengetahui data atau informasi yang akurat tentang seseorang atau kelompok yang berkepentingan dalam suatu kebijakan. Data atau informasi tersebut dapat digunakan sebagai masukan dalam menganalisis stakeholder lain; mengembangkan rencana aksi dalam mendorong reformasi kebijakan; serta sebagai pedoman dalam partisipasi dan proses pengambilan keputusan. 5.8.1 Identifikasi Isu Pengelolaan DPL Merumuskan isu yang spesifik dan tepat dalam sebuah pengelolaan dilakukan agar analisis stakeholder dapat dilakukan. Menurut Tulungen et al. (2002) yang dimaksud dengan identifikasi isu adalah proses pengumpulan informasi dan penentuan masalah-masalah sumberdaya pesisir yang ada di desa, sebab dan akibat dari permasalahan, dan penanganan isu yang direkomendasikan atau diusulkan dalam rencana pengelolaan. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan berbasis masyarakat dimulai sejak tahap pengidentifikasian isu, yang merupakan awal proses pengelolaan. Isu dapat berupa masalah yang ingin dan perlu ditangani (kerusakan, kekurangan, gangguan, dan lain-lain), konflik (perselisihan, kurang koordinasi, dan sebagainya) yang perlu diselesaikan di antara masyarakat, dan potensi atau peluang yang dapat dikembangkan (potensi perikanan, pariwisata, dan lain-lain). Isu-isu pengelolaan yang diidentifikasi dalam penelitian ini antara lain berfokus pada tiga isu spesifik tentang keterlibatan stakeholder dalam pembentukan, serta pengelolaan DPL di Desa Bontolebang. Beberapa isu tersebut adalah : 1. Partisipasi dalam proses pembentukan DPL, beberapa aspek yang diamati: a. Sosialisasi pembentukan DPL b. Penentuan lokasi DPL c. Pembuatan tanda batas DPL d. Pembuatan Perdes e. Pembuatan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) f. Menjadi anggota Kelompok Masyarakat (Pokmas)
84 g. Ikut serta dalam studi banding 2. Berpartisipasi dalam Pengelolaan DPL, aspek yang diamati : a. Keterlibatan dalam monitoring dan evaluasi DPL b. Keterlibatan dalam pengawasan DPL c. Melakukan sosialisasi DPL d. Mendukung pengelolaan DPL e. Mengikuti pelatihan mengenai DPL dan terumbu karang 3. Faktor yang menjadi hambatan pengelolaan a. Hambatan pengelolan DPL b. Harapan kedepan terhadap keberadaan DPL 5.8.2 Identifikasi Stakeholder Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir senantiasa banyak terdapat pemangku kepentingan (stakeholders) yang berkepentingan terhadap pengelolaan, dimana masing-masing stakeholders memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Perbedaan kepentingan diantara kelompok satu dengan kelompok lain ada yang menjadi faktor yang berpotensi mendukung upaya pelestarian terumbu karang, tetapi ada pula yang justru semakin menambah kerusakan ekosistem terumbu karang. Pembentukan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat dilakukan antara masyarakat, pemerintah setempat dan para pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang ada di desa. Dalam penentuan lokasi dan aturan pengelolaan, teknis, pendanaan, serta penyadaaran masyarakat dilakukan dengan kerjasama antar pemangku kepentingan dalam hal ini Pemerintah setempat. Tanggung jawab dalam menentukan lokasi dan tujuan pengelolaan DPL ditetapkan oleh masyarakat, sedangkan bantuan teknis dan pendanaan, serta persetujuan terhadap peraturan ditetapkan oleh pemerintah atas kesepakatan masyarakat. Pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat berpartisipasi dalam proses pembentukan dan pengelolaan DPL Desa Bontolebang terbagi menjadi beberapa kelompok stakeholder, dimana terdapat beberapa pemangku kepentingan dan perannya dalam program pengelolaan DPL yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu terdiri dari : (1) Pemerintah Desa, (2) Badan Perwakilan Desa (BPD), (3)
85 Kelompok Pengelola dan Nelayan, (4) Tokoh Masyarakat, Imam Desa, dan Swasta/Pengusaha dan (5) Lembaga/Institusi Pemerintah Daerah. 1. Pemerintah Desa Pemerintah desa memegang peranan utama dalam terlaksananya program karena tanpa keterlibatannya akan mempengaruhi keberhasilan program. Pemerintah desa terdiri dari Kepala Desa, sekretaris desa, kepala urusan (kaur) dan seksi-seksi. Dalam penelitian terdapat sejumlah 8 orang responden yang terdiri dari: kepala desa, sekretaris desa, 6 orang staf desa, dan 3 kepala dusun. 2. Badan Perwakilan Desa (BPD) BPD sebagai lembaga penjelmaan masyarakat desa mempunyai tanggung jawab moral untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dalam bentuk kabijakankebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan. BPD bersama-sama Kepala Desa akan menyusun perencanaan dan membuat aturan-aturan tingkat desa. BPD akan memberikan koreksi terhadap Kepala Desa apabila terdapat kekeliruan penyelenggaraan kebijakan termasuk pelaksanaan rencana pengelolaan. Dalam penelitian terdapat sejumlah 5 orang responden yang terdiri dari : Ketua, wakil ketua, sekretaris, dan 2 orang anggota. 3. Kelompok Pengelola dan Nelayan Kelompok pengelola adalah kelompok yang di bentuk khusus untuk membantu mempersiapakan dan melaksanakan rencana pengelolaan yang di buat oleh desa. Dalam program Coremap II di Desa Bontolebang telah dibentuk Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK). LPSTK merupakan sub-ordinasi dari Pemerintah Desa yang bertugas sebagai penanggung jawab pengelolaan serta membuat perencanaan ekosistem laut ditingkat desa, diantaranya rencana pengelolaan terumbu karang. LPSTK terdiri dari anggota kelompok masyarakat yang dipilih melalui musyawah desa, yang secara umum mempunyai fungsi dan peran mengelola kegiatan yang didanai oleh Coremap. Struktur pengurus LPSTK terdiri dari seorang ketua, sekretaris dan bendahara. Pokmas adalah suatu organisasi atau kelompok masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat dalam satu desa. Pembentukan Pokmas ini disesuaikan dengan kebutuhan lokal berdasarkan masukan dari masyarakat. Desa Bontolebang memiliki 4 kelompok masyarakat (pokmas) yang terdiri dari 1 pokmas konservasi,
86 1 pokmas produksi, dan 2 pokmas perempuan yaitu Cahaya Kartini I dan II. Masing-masing pokmas memiliki 3 pengurus yang terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara, yang bertanggung jawab dalam aspek administrasi teknis dan keuangan. Dalam penelitian kelompok ini merupakan kelompok terbesar jumlah respondennya yaitu 59 orang, seperti pada tabel 16 dibawah ini. Tabel 16 Responden stakeholder kelompok pengelola dan nelayan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kelompok Pengelola dan Nelayan SETO Fasilitator Masyarakat Ketua LPSTK Bendahara LPSTK Sekretaris LPSTK Motivator Desa Pengurus pokmas Nelayan Total
Jumlah (orang) 1 1 1 1 1 2 12 40 59
Sumber : Data primer diolah (2010) 4. Tokoh Masyarakat, Imam Desa dan Swasta/Pengusaha Pemangku kepentingan lainnya yang ada di desa adalah tokoh masyarakat dan imam desa seperti pemuka adat dan agama merupakan penghubung atau kontak person sekaligus tokoh kunci (keyperson) yang dapat berperan penting dalam membantu kelancaran komunikasi antara masyarakat dan fasilitator. Mereka adalah orang-orang tertentu di desa yang memiliki pengaruh yang baik kepada masyarakat karena perkataan atau petuah yang mereka berikan senantiasa didengar atau dipercaya. Disamping nelayan, unsur masyarakat lain yang terlibat dalam pengelolaan DPL adalah pengumpul. Dalam menjalankan kegiatannya pengumpul membeli ikan secara langsung pada nelayan dan hasil pembelian biasanya dijual lagi pada pengumpul besar, atau ke konsumen akhir. Di Desa Bontolebang terdapat 2 pedagang pengumpul. Kedua pengumpul tersebut langsung berhubungan dengan pengumpul besar yang berada di Benteng (ibukota kabupaten). Oleh karena perairan Desa Bontolebang dijadikan site diving / area menyelam wisatawan, maka stakeholder yang menjadi responden juga adalah pelaku wisata/pemilik resort yang ada di Kabupaten Kepulauan Selayar. Dalam penelitian terdapat
87 sejumlah 5 orang responden yang terdiri atas: 1 orang tokoh masyarakat, 3 orang imam desa dan 1 orang pengusaha resort. 5. Lembaga/Institusi Pemerintah Kabupaten Di pihak lain, keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya adalah sebagai pembuat kebijakan yang dituangkan dalam peraturan-peraturan di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah juga berperan sebagai pelaksana dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Kebijakan pengelolaan sumberdaya ini dimaksudkan agar pemanfaatan sumber daya laut dilakukan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi tetap terjaga kelestariannya. Lembaga atau institusi Pemerintah kabupaten beserta jajaran dinas dan instansi yang terkait daerah yang menjadi responden dalam penelitian ini, antara lain: Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Project Management Office (PMO) Coremap II, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan Nasional, Polri, dan Babinsa. Berdasarkan hasil indentifikasi pemangku kepentingan yang mempunyai pengaruh dan partisipasi dalam pembentukan dan pengelolaan DPL maka terpilih beberapa responden yang di gunakan dalam penelitian ini berjumlah 85 orang yang terdiri dari laki-laki 71 orang (84%) dan 14 orang (16%) perempuan. Tabel 17 Persentase responden pemangku kepentingan (Stakeholder) Kelompok Pemangku Kepentingan (Stakeholder) 1 Pemerintah Desa 2 BPD 3 Kelompok Pengelola dan Nelayan 4 Tokoh Masyarakat, imam desa dan Swasta 5 Lembaga/institusi Pemerintah Kabupaten Total Sumber : Data primer diolah (2010) No
Jumlah (orang) 7 5 59 5 9 85
Persentase (%) 8 6 69 6 11 100
Persentase stakeholder dari kelompok pengelola dan nelayan adalah yang terbesar berjumlah sebesar 69 persen hal ini dikarenakan kelompok ini memiliki kepentingan terbesar dalam pengelolaan DPL dimana kelompok pengelola seperti LPSTK, Pokmas dan motivator juga pekerjaannya seharinya merupakan nelayan, begitu juga dengan kelompok perempuan merupakan bagian dari kelompok tersebut.
88
11%
8%
6%
Pemerintah Desa 6% BPD Kelompok Pengelola/Nelayyan
69%
Tokoh Masyarakkat, Imam Desa, Swasta Lembaga/Instituusi Pemerintah Daerrah
Gambar 21 Persenntase responnden pemanggku kepentinngan (stakehholder) di Bontoolebang. 5.9
Desa
Strategi Kebijakan Penngelolaan DPL Berdasarkan indikator-iindikator keeberhasilan yang dikemmukakan Osstrom
diatas, peran mbaga lem pengeelola terumbbu karang di Desa Bonntolebang masih relatiff lemah kareena masih adanya resisttensi dari beeberapa massyarakat/nelaayan. Masyaarakat yang sejak awal tidak sepenuuhnya dilibatkan dalam perencanaan dan prosess pembentukkan DPL meenjadi semakkin tidak pedduli dengan aturan meskkipun merekka tidak mennyatakannyaa dengan terrang terangaan. Aturan yyang dibuat tidak sepenuuhnya diteggakkan karrena lemahhnya pengaawasan. Hal inilah yang melemmahkan legittimasi atau pengakuan dari masyarrakat sendir secara intternal akan keberadaan lembaga ini Padahal menurut Nieelsen (2003) pengakuan oleh i. nelayaan ini penting sebagai peenerimaan mereka terhaddap aturan yaang ada. Agar sebuah aturan huukum (Perddes) memperroleh legitimmasi dan ditaati penegaakannya baaik oleh pihhak-pihak yyang diatur maupun pihak-pihak yang mengaatur, maka aturan hukuum tersebutt hendaknyaa merupakann formulasii dan reflekssi dari keseppakatan yangg dibuat secaara bersama--sama oleh ppihak-pihak yang diatur maupun pihhak yang mengatur. Deengan demikkian, mau tidak mau ebuah se aturan hukum yanng baru henndaknya dibuuat secara bersama-sam antara selluruh pemanngku kepentiingan terkaiit, dalam suaatu proses yang bersifat transparan atau terbukka. Jentof (1989) in Satrria et al. (2006) mengeemukakan faaktor-faktor yang memppengaruhi leggitimasi antaara lain: (a) isi dari aturran, (b) efekk pendistribuusian, (c) pemmbuatan atuuran, dan (d) implementaasi dari aturaan. FFaktor lainn yang meenyebabkan lemahnya legitimasi lembaga/aturan pengellolan DPL di Desa Bonntolebang dalah faktor yang disebaabkan oleh pihak
89 luar. Inisiasi pembentukan DPL bersifat top down dimana keberadaannya merupakan bagian dari program pemerintah dalam mengelola terumbu karang di daerah. Meskipun demikian pemerintah telah menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dalam pengelolaan dengan melibatkan seluruh komponen/pemangku kepentingan yang ada di daerah. Sehingga aspek desentralisasi pengelolaan sedikit banyak dipraktekkan sebagai jaminan keberlanjutan program. Hal ini perlu keseriusan dukungan pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pasca pengelolaan. Menurut Nikijuluw (2002), penentuan keberhasilan atau kegagalan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat di suatu tempat tidak dengan otomatis dapat diterapkan di tempat lain. Kemungkinan kesamaan kondisi sumberdaya alam di dua daerah yang sama persis, namum kerena masyarakatnya berbeda maka pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat akan berbeda pula. Sehingga keberhasilan DPL-BM di suatu daerah tidak dapat langsung di terapkan di daerah lain, perbedaan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial budaya dimasing-masing daerah mempengaruhi strategi kebijakan yang akan diterapkan. Sementara itu berdasarkan pengamatan kondisi ekologi di lokasi penelitian terdapat peningkatan persen tutupan karang hidup sejak penetapan DPL tahun 2007 sampai 2010. Beberapa arahan strategi kebijakan yang didasarkan pada strategi pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang bidang ekologi adalah sebagai berikut: a) Mereview penentuan zonasi kawasan di DPL dan pembuatan tanda batas serta papan pemberitahuan yang yang jelas. b) Melakukan monitoring kondisi terumbu karang setiap tahun sebagai basis data ilmiah kondisi ekologi perairan. c) Melakukan pengawasan secara rutin terhadap penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (seperti: bom dan potassium). Adapun arahan stategi kebijakan dibidang ekonomi ditekankan pada keinginan untuk memberikan penyadaran tentang tujuan dan manfaat DPL bagi masyarakat secara berkelanjutan. Beberapa strategi yang dapat di rumuskan adalah sebagai berikut :
90 a) Memberikan pengertian kepada
masyarakat dan pengusaha
maupun
pemerintah daerah tentang pentingnya fungsi dan manfaat DPL dalam menyokong perekonomian dan besarnya nilai ekonomi terumbu karang yang dihasilkan. b) Memberikan bimbingan teknis dan manajemen usaha dan permodalan serta meningkatkan peluang berusaha kepada nelayan melalui program kemitraan antara pemerintah, swasta dan stakeholder lainnya. Strategi ini dimaksudkan agar masyarakat tidak menggantungkan hidupnya secara langsung pada ekosistem dan sumberdaya terumbu karang. c) Memberikan alternatif dan insentif untuk menghindari tindakan merusak akibat pelarangan aktivitas masyarakat nelayan pada DPL dengan cara mengembangkan mata pencaharian alternatif. d) Membuka peluang pasar yang lebih, yang dapat di akses oleh nelayan tanpa bergantung dengan pengumpul atau juragan. Sementara itu arahan kebijakan bagi masing-masing stakeholder lebih ditekankan pada upaya peningkatan peran serta stakeholder, upaya peningkatan kapasitas pengelola dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang serta upaya penegakan hukum sebagai bagian dari implementasi aturan yang telah ditetapkan. Beberapa arahan tersebut antara lain: 1. Pemerintah Desa : a) Menampung masukan dari masyarakat nelayan untuk dilanjutkan kepada pemerintah kabupaten b) Melakukan fasilitasi dan koordinasi di tingkat desa untuk mengoptimalkan pengelolaan DPL c) Pelaksanaan dan pengawasan dalam program pengelolaan terumbu karang 2. Badan Perwakilan Desa (BPD) a) Mendorong peran serta masyaarakat dalam keterlibatan pengelolaan terumbu karang b) Menfasilitasi dan koordinasi aspirasi masyarakat kepada pemerintah desa c) Membantu melaksanakan program dilapangan 3. Kelompok Pengelola
91 a) Meningkatkan keterlibatan peran serta masyarakat sebagai anggota Pokmas b) Mengkoordinasi nelayan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang mendorong terlaksananya pengelolaan terumbu karang c) Memberikan masukan program pengelolaan terumbu karang di tingkat masyarakat d) Terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantuan dan evaluasi program e) Berpartisipasi aktif mendorong pengelolaan terumbu karang di desa f) Mendorong terlaksananya kearifan lokal yang mendukung pengelolaan terumbu karang 4. Kelompok organisasi massa, tokoh masyarakat dan swasta/pengusaha 1. Berpartisipasi aktif mendorong masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan terumbu karang 2. Terlibat dalam pembinaan kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang 3. Mendampingi masyarakat dalam melaksanakan program di lapangan 5. Kelompok Lembaga/institusi Pemerintah Daerah a) Dinas Kelauatan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Selayar mempunyai wewenang dan tanggung jawab pembinaan teknis sesuai dengan kewenangannya di bidang kelautan dan perikanan: •
Melakukan perencanaan pengelolaan terumbu karang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
•
Melakukan koordinasi dan fasilitas aktifitas yang mendorong kegiatan pengelolaan terumbu karang
•
Memberikan dukungan pendanaan pengelolaan terumbu karang
•
Melakukan pengawasan dan evaluasi
•
Melakukan
koordinasi
program
antara
instasi
terkait
dalam
pengelolaan terumbu karang b) Meningkatkan pelayanan hukum dan menerapkan implikasi hukum yang jelas terhadap setiap tindakan pengerusakan ekosistem dan sumberdaya
92 pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, tanpa pilih kasih dan keperpihakan pada satu kelompok tetentu c) Memberikan dukungan penuh kepada masyarakat dan pengelolaan kawasan konservasi dalam melakukan monitoring, pengawasan dan pengendalian kawasan ekosistem terumbu karang di DPL Bontolebang.