5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Kegiatan Perikanan Terdampak Reklamasi Berdasarkan peta rencana reklamasi Teluk Jakarta akan dilakukan pada
sepanjang pantai mulai dari daerah Cilincing hingga Teluk Naga.
Reklamasi
dilakukan tidak pada sepanjang pantai, namun dilakukan dengan membuat “pulau-pulau” di depan pantai. Perusahan-perusahaan yang telah mengusulkan hak atas wilayah reklamasi antara lain (Jury et al. 2011 dan van Berkel, 2012); 1)
PT. Tangerang International City (TIC); PT. TIC telah mengusulkan dua pulau reklamasi yang terletak di bagian barat Teluk Jakarta yang merupakan wilayah administrasi Kabupaten Tangerang (pulau A dan B). Peruntukan wilayah yang diajukan antara lain 1.316 ha untuk pengembangan kawasan bisnis; 643 ha untuk pengembangan kawasan budaya, wisata, olahraga dan hiburan/rekreasi; dan 673 ha sebagai kawasan budaya, wisata dan olahraga.
2)
PT. Kapuk Niaga Indah (KNI); PT. KNI mengusulkan tiga pulau reklamasi (pulau C, D dan E) yang mencakup luas sebagai berikut: 276 ha; 312 ha; dan 284 ha. Wilayah tersebut diperuntukan sebagai kawasan hunian dan infrastruktur publik.
3)
PT. Jakarta Propertindo; PT. Jakarta Propertindo akan mengembangkan satu pulau reklamasi (pulau F) yang mencakup area seluas 194 ha dan diperuntukan bagi pengembangan real estate, taman rekreasi, dan area komersial.
4)
PT. Muara Wisesa Samudera dan PT. Bhakti Bangun Eramulia; PT. Muara Wisesa Samudera dan PT. Bhakti Bangun Eramulia mengusulkan dua pulau reklamasi (pulau G dan H) yang mencakup luas 163 ha dan 79 ha diperuntukkan sebagai real estate dan apartemen.
5)
PT. Jaladri Kartika Ekapaksi; PT. Jaladri Kartika Ekapaksi berencana mengembangkan satu pulau reklamasi (pulau I) seluas 246 ha yang diperuntukan sebagai bangunan publik.
6)
PT. Pembangunan Jaya Ancol (PJA); PT. PJA akan mengembangkan empat pulau reklamasi (pulai I, J, K dan L) yang mencakup kawasan seluas 255 ha, 320 ha, 56 ha dan sisanya 35 ha.
7)
PT. Manggala Krida Yudha; PT. Manggala Krida Yudha telah mengusulkan pembangunan dua pulau reklamasi (pulau L dan M) seluas 436 ha dan 514
ha yang dikelola oleh PT. Manggala Krida Yudha diperuntukkan sebagai bangunan publik. 8)
PT. Pelindo II; PT. Pelindo II merupakan operator Pelabuhan Tanjung Priok. Rencana pembangunan pulau hasil reklamasi yang diusulkan adalah untuk pembangunan terminal bahan bakar minyak (BBM) dan gas (LPG), peningkatan kapasitas terminal peti kemas untuk mendukung percepatan arus barang, dan pembangunan infrastruktur yang mendukung industri perkapalan. Pulau yang diusulkan adalah pulau M seluas 84 ha dan pulau N seluas 368 ha.
9)
PT. Kawasan Berikat Nusantara (KBN); Wilayah reklamasi PT. KBN mencakup pulau P seluas 463 ha yang diperuntukkan sebagai kawasan industri dan kompleks pergudangan.
10) PT. Dwi Marunda Makmur; PT. Dwi Marunda Makmur berencana mengembangkan satu pulau reklamasi (pulau Q) seluas 369 ha di kawasan timur Teluk Jakarta yang diperuntukan sebagai kawasan industri dan kompleks pergudangan. Peta rencana reklamasi disajikan pada Gambar 14.
68
Gambar 14 Peta rencana reklamasi
69
Berdasarkan hasil survei daerah penangkapan ikan, nelayan yang menangkap ikan di sekitar Teluk Jakarta adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap payang, mini purse seine, gillnet, bagan dan dogol.
Daerah
penangkapan ikan untuk alat tangkap payang dan dogol terletak di sebelah barat, tengah dan timur Teluk Jakarta serta di sekitar Pulau Damar. Nelayan yang menggunakan alat tangkap gillnet memiliki daerah penangkapan ikan di sekitar Pulau Damar dan sebelah timur dan barat Teluk Jakarta. Nelayan yang menggunakan mini purse seine, daerah penangkapan ikannya di daerah Pulau Damar dan sebelah barat Teluk Jakarta. Bagan yang digunakan di sekitar Teluk Jakarta umumnya bagan tancap. Bagan tancap banyak di pasang di sebelah barat dan timur Teluk Jakarta. Selain kegiatan penangkapan, kegiatan perikanan lainnya di Teluk Jakarta berupa budidaya kerang hijau. Budidaya kerang hijau banyak dilakukan di sebelah barat dan timur Teluk Jakarta yang berdekatan dengan wilayah pemasangan bagan.
Peta daerah penangkapan ikan dan kegiatan budidaya
disajikan pada Gambar 15. Berdasarkan hasil overlay antara daerah penangkapan ikan (DPI), maka daerah penangkapan ikan yang akan terdampak akibat kegiatan reklamasi antara lain daerah penangkapan untuk alat tangkap payang, gillnet, bagan, dan dogol. Reklamasi akan langsung berdampak terhadap DPI ke 4 alat tangkap tersebut karena lokasi pulau baru sebagai hasil reklamasi (pengurugan) nantinya akan menghilangkan wilayah perairan yang selama ini menjadi DPI bagi nelayan. Hilangnya wilayah perairan tersebut dan berganti menjadi daratan (pulau) dan akan memaksa nelayan untuk menemukan DPI baru yang tentunya akan lebih jauh ke arah lautan bebas.
70
DPI Mini Purse Seine
DPI Dogol
Gambar 15 Peta daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta
71
Selain kegiatan perikanan pantai, kegiatan budidaya kerang hijau juga akan terdampak langsung dari kegiatan reklamasi. Lokasi budidaya yang selama ini dimanfaatkan oleh nelayan akan hilang dengan terbentuknya daratan baru hasil reklamasi. Nelayan budidaya kerang hijau harus mencari daerah lain yang cocok untuk meneruskan budidaya kerang hijau (Perna viridis).
DPI lain yang
juga akan terpengaruh adalah daerah penangkapan mini purse seine di sekitar wilayah Pulau Bidadari.
Perubahan habitat
di perairan pantai akan
menyebabkan perubahan struktur habitat dan komposisi SDI sehingga akan mempengaruhi DPI yang berada lebih jauh dari pantai. Gambar overlay rencana reklamasi dan DPI disajikan pada Gambar 16. Daerah penangkapan ikan yang terdampak langsung akibat reklamasi mencakup 306,12 ha untuk DPI payang, 43,40 ha untuk DPI gillnet, 500,84 ha untuk DPI bagan dan budidaya, dan 339,28 ha untuk DPI dogol serta 337,70 ha untuk DPI beberapa alat tangkap dalam satu wilayah. DPI yang tidak terkena dampak langsung dari kegiatan reklamasi adalah daerah penangkapan di sekitar Pulau Damar dan sebelah barat Teluk Jakarta, sehingga kedua wilayah ini dapat dijadikan alternatif daerah penangkapan jika nelayan tidak dapat melakukan penangkapan di sekitar pantai yang tereklamasi. Estimasi luasan masing-masing DPI disajikan pada Tabel 21. Bentuk reklamasi yang menyerupai pulau-pulau, telah meminimalisasi dampak reklamasi terhadap jalur perahu yang selama ini di khawatirkan. Reklamasi tidak di buat dalam bentuk daratan yang luas, tetapi memiliki kanalkanal yang dapat dijadikan jalur perahu bagi nelayan yang akan berangkat menuju dari penangkapan dari fishing base. Namun jika reklamasi dilakukan secara bersamaan pada seluruh pulau-pulau reklamasi, maka tentu saja hal ini tetap akan mengganggu jalur pelayaran, karena pada saat proses reklamasi akan banyak alat berat dan material yang diletakkan di wilayah reklamasi. Untuk itu proses reklamasi haru dilaksanakan secara bertahap sehingga tidak mengganggu jalur perahu yang ada.
72
Tabel 21 Estimasi luasan daerah penangkapan ikan terdampak langsung reklamasi di Teluk Jakarta No.
Jenis Alat
Luas DPI (ha)
A
DPI masing-masing alat tangkap
1.
Payang
306,12
2.
Gillnet
43,40
3.
Bagan dan Budidaya Kerang Hijau
500,84
4.
Dogol
339,28
Jumlah
1.189,64
B
DPI beberapa alat tangkap dalam satu wilayah
5.
Dogol dan gillnet
6.
Dogol, bagan dan budidaya kerang hijau
7.
Dogol dan payang
8.
Gillnet, bagan dan budidaya kerang hijau
121,42
9.
Payang, bagan dan budidaya kerang hijau
18,37
10.
Dogol, gillnet, bagan dan budidaya kerang hijau
42,67
Jumlah Jumlah total DPI (A + B)
58,01 2,26 94,97
337,70 1.527,34
73
DPI Dogol
Gambar 16 Peta overlay rencana reklamasi dan daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta
74
Reklamasi yang dilakukan di Kota Manado telah menyebabkan menurunnnya hasil tangkapan nelayan pukat pantai dan pancing noru. Penurunan hasil tangkapan tersebut disebabkan oleh 2 hal yaitu perubahan garis pantai akibat adanya reklamasi telah menyebabkan berubahnya habitat ikan di daerah penangkapan serta ikan-ikan semakin menjauh dari daerah penangkapan nelayan (Wagiu 2011).
Dampak yang sama juga dapat terjadi di Teluk Jakarta
untuk alat tangkap yang DPInya hilang akibat adanya reklamasi sehingga diperlukan sosialiasi untuk meminimumkan dampak tersebut bagi kehidupan nelayan. 5.2
Persepsi Dampak Reklamasi Dampak reklamasi yang dianalisis dibagi dalam 4 kategori utama yaitu
dampak terhadap daerah penangkapan ikan, jalur kapal perikanan, kegiatan budidaya perikanan serta sumberdaya ikan.
Reklamasi dianggap tidak akan
memberikan dampak yang terhadap daerah penangkapan ikan di kawasan pesisir Muara Angke dan Muara Baru.
Hal ini didasarkan pada persentase
persepsi responden sebesar 59% yang menyatakan bahwa reklamasi tidak akan berdampak terhadap perubahan daerah penangkapan ikan (Gambar 17). Persepsi berbeda diberikan oleh responden di Cilincing dimana 43% dari responden menyatakan bahwa adanya reklamasi nantinya akan berdampak terhadap perubahan daerah penangkapan ikan.
Meskipun tidak semua
responden sepakat bahwa reklamasi akan berdampak merugikan terhadap DPI, namun menurut van Berkel et al. (2012) kegiatan reklamasi akan berdampak terhadap kegiatan pelabuhan perikanan dan daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta.
75
Persentase Jawaban Responden (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Muara Angke Merugikan
Cilincing Lokasi Tidak berdampak
Muara Baru Tidak tahu
Gambar 17 Dampak reklamasi terhadap daerah penangkapan ikan berdasarkan sebaran wilayah responden
Berbeda dengan dampak terhadap DPI, reklamasi akan memberikan gangguan terhadap jalur perahu nelayan yang akan menuju maupun kembali dari operasi penangkapan ikan. Adanya daratan baru akan menyebabkan perubahan pola alur pelayaran dan jalur keluar masuknya kapal. Hal ini akan dirasakan oleh ketiga wilayah penelitian dimana persentase responden di Cilincing memiliki nilai yang paling tinggi (Gambar 18).
76
Persentase Jawaban Responden (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 Muara Angke Menguntungkan
Cilincing Lokasi
Merugikan
Muara Baru
Tidak berdampak
Tidak tahu
Gambar 18 Dampak reklamasi terhadap jalur perahu nelayan berdasarkan sebaran wilayah responden
Kegiatan reklamasi akan berdampak merugikan untuk wilayah Cilincing, namun tidak untuk wilayah Muara Baru dan Muara Angke. Demikian ditunjukkan oleh Gambar 19.
Daerah Cilincing merupakan salah satu sentra budidaya
kerang hijau. Adanya kegiatan reklamasi akan menghilangkan lokasi budidaya kerang hijau yang saat ini sudah ada.
Selain itu adanya lahan baru akan
menyebabkan pasokan dan aliran air laut menjadi terganggu sehingg akan menggangu keseluruhan dari proses budidaya.
Namun disisi lain, hilangnya
lahan budidaya kerang hijau memberikan keuntungan bagi konsumen, karena lokasi yang dijadikan lahan budidaya kerang hijau saat ini sudah tercemar dan menghasilkan kerang hijau yang tidak sehat.
77
Persentase Jawaban Responden (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 Muara Angke Merugikan
Cilincing Lokasi
Tidak berdampak
Muara Baru
Tidak tahu
Tidak menjawab
Gambar 19 Dampak reklamasi terhadap kegiatan budidaya berdasarkan sebaran wilayah responden
Widodo (2005) mengungkapkan bahwa salah satu dampak negatif dari reklamasi adalah meningkatnya tekanan terhadap keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam. Begitu pula dengan persepsi reponden di Teluk Jakarta yang secara umum menyatakan bahwa reklamasi akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sumberdaya ikan. Persentase persepsi tertinggi diberikan oleh responden di Cilincing dengan nilai 68% seperti disajikan pada Gambar 19. Reklamasi akan menghilangkan sumberdaya hayati pada daerah yang ditimbun sehingga akan menggangu sebelumnya.
keseimbangan ekosistem yang telah terbentuk
Untuk dapat mengembalikan keseimbangan ekosistem pasca
reklamasi, dibutuhkan waktu yang relatif lama.
Suryadewi et al. (1998)
menyatakan bahwa reklamasi akan memusnahkan ekosistem alami yang terkena dampak reklamasi. Musnahnya ekosistem alami akan berpengaruh pada produksi perikanan nelayan. Kusumawati (2012) mengemukakan bahwa reklamasi di daerah Kamal Muara hanya akan meningkatkan pendapatan asli daerah sekitar 25%, sementara nelayan di wilayah ini akan dipindahkan ke daerah lain sehingga hal tersebut akan menyebabkan hilangnya pendapatan nelayan yang selama ini menangkap ikan di Teluk Jakarta
78
Persentase Jawaban Responden (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Muara Angke Merusak
Cilincing Lokasi
Muara Baru
Tidak berdampak
Tidak tahu
Gambar 20 Dampak reklamasi terhadap sumberdaya ikan berdasarkan sebaran wilayah responden
Reklamasi juga akan memberikan dampak terhadap kualitas perairan di Teluk Jakarta, terutama pada saat dilakukan proses pengurugan. timbunan
akan
menyebabkan
kekeruhan
yang
secara
langsung
Tanah akan
mengganggu keberadaan dan kelimpahan sumberdaya ikan. Jaya et al. (2012) menyatakan bahwa kualitas perairan Pantai Losari setelah reklamasi telah melampaui standard baku mutu air laut untuk biota sehingga dapat dikatakan telah mengalami penurunan (tercemar). Reklamasi di sekitar Pulau Batam juga telah menyebabkan perubahan terhadap pola arus, gelombang, kualitas air dan batimetri wilayah pantai. Reklamasi juga telah menyebabkan kerusakan pada hutan mangrove dan terumbu karang. Bahkan ikan kerapu, kakap dan udang semakin sulit ditangkap oleh nelayan.
Hal ini menyebabkan gangguan terhadap keseimbangan
ekosistem yang berdampak pada menurunnya tingkat produktivitas nelayan (Priyandes dan Majid 2009). Selain dampak langsung terhadap kegiatan perikanan, dampak langsung lainnya dari kegiatan reklamasi adalah dampak terhadap sumberdaya dan ekosistem pesisir.
Sumberdaya dan ekosistem pesisir yang akan terdampak
langsung adalah ekosistem mangrove dan sumberdaya ikan.
Dampak dari
rekalamasi terhadap ekosistem mangrove menurut Alikodra (1996) akan
79
mengurangi fungsi ekosistem mangrove baik dari sisi manfaat langsung bagi masyarakat nelayan maupun manfaat ekologis yang juga kemudian juga berdampak negatif bagi nelayan. Sumberdaya ikan yang beruaya di sekitar Teluk Jakarta juga akan terdapak langsung dari kegiatan reklamasi. Ekosistem-ekosistem yang terdapat di Teluk Jakarta memiliki keterkaitan. Ikan-ikan yang memiliki habitat di beberapa ekosistem di Teluk Jakarta dan sekitarnya; seperti ekosistem mangrove, estuaria di muara sungai, terumbu karang di pulau-pulau di dalam dan sekitar Teluk Jakarta akan melakukan migrasi diantara ekosistem-ekosistem tersebut. Dengan adanya kegiatan reklamasi, maka jalur migrasi ikan tersebut akan terganggu sehingga akan berdampak terhadap kondisi sumberdaya ikan di Teluk Jakarta. Selain itu, reklamasi juga berpotensi memberikan ancaman terhadap kelestarian ekosistem mangrove (Setyawan dan Winarno 2006). Dampak lainnya dari kegiatan reklamasi adalah sedimentasi yang diakibatkan proses kegiatan reklamasi dan perubahan gerakan massa air akibat adanya pulau reklamasi.
Sedimentasi memberikan dampak negatif terhadap
sumberdaya dan ekosistem pesisir di Teluk Jakarta dan sekitarnya seperti mangrove dan terumbu karang. Perubahan gerakan massa air juga berdampak terhadap sedimentasi serta masa penyimpanan air di dalam Teluk Jakarta. Perubahan masa penyimpanan air akan berdampak terhadap kualitas perairan yang pada akhirnya akan berdampak terhadap kondisi sumberdaya ikan. Berdasarkan analisa model gerakan massa air, wilayah-wilayah yang akan terdampak akibat perubahan masa penyimpanan air adalah di sekitar Tanjung Priok dan Muara Baru yang akan memiliki masa penyimpanan air sebesar 14 hari, 7 hari lebih tinggi dari masa penyimpanan air normal (Jury et al. 2011). Djainal (2012) menemukan bahwa meskipun belum berdampak terhadap gelombang dan arus namun reklamasi di Kota Ternate telah menyababkan sedimentasi yang cukup tinggi dimana telah terjadi perubahan kedalaman dari 3 meter (sebelum reklamasi) menjadi 1,5 meter (setelah reklamasi). Quadros et al. (2004) juga menyebutkan bahwa reklamasi di pantai India telah menyebabkan kekeruhan yang sangat tinggi yang mengakibatkan naiknya padatan tersuspensi hingga 713,69% dan penurunan kandungan oksigen terlarut hingga 21,55%. Sesungguhnya reklamasi tidak selamanya memberikan dampak negatif, Reklamasi yang direncanakan dan dilakukan dengan baik akan memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan di wilayah pesisir. Qi dan Zhang (2003)
80
mengemukakan bahwa rencana proyek reklamasi di Pantai Timur Hengsha justru memberikan dampak positif. Reklamsi tesebut akan meningkatkan kestabilan pantai, mencegah, mengatur dan mengendalikan potensi banjir melalui saluran yang telah dibuat serta menjadi perangkap sedimen sehingga meminimumkan terajadinya sedimentasi di muara sungai Yangtse.
5.3
Manfaat Ekonomi Rencana reklamasi Teluk Jakarta tentu saja akan menimbulkan dampak
terhadap
berbagai kegiatan yang saat ini sedang berlangsung di wilayah
reklamasi.
Oleh karena itu melalui penelitian ini akan dilakukan analisis
Extended Cost Benefit Analysis (ECBA) dampak reklamasi Teluk Jakarta di wilayah studi dengan menggunakan beberapa asumsi karena terbatasnya data. Daerah penelitian yang akan direklamasi diperkirakan seluas 1,189.64 ha (Tabel 19) yang merupakan daerah penangkaan ikan bagi nelayan di daerah penelitian. Menurut informasi dari perusahaan yang telah mengusulkan hal atas wilayah reklamasi harga lahan setelah reklamasi diperkirakan sebesar Rp 13 juta per m2. Semakin menuju ke arah pantai atau laut maka harga tanah reklamasi akan semakin mahal. Rencana reklamasi ini berdasarkan informasi di lapangan akan menghabiskan biaya sebesar Rp 6 juta per m2 meliputi biaya perolehan lahan, umum dan administrasi, salary karyawan dan lain-lain yang dikeluarkan oleh pelaku reklamasi.
Biaya ini merupakan biaya langsung yang akan ditanggung
oleh pelaku reklamasi dan diasumsikan biaya ini sudah termasuk biaya tidak langsung yang berhubungan dengan pelaku reklamasi. Selain biaya langsung dan tidak langsung yang ditanggung oleh pelaku reklamasi maka pelaku reklamasi
seharusnya
pula
mengeluarkan
(eksternalitas) akibat reklamasi.
biaya
kerusakan
lingkungan
Biaya eksternalitas atau biaya dampak
lingkungan ini bisa langsung maupun tidak langsung. Kegiatan reklamasi berdampak langsung terhadap kegiatan perikanan karena wilayah yang akan di reklamasi merupakan daerah penangkapan ikan nelayan di wilayah penelitian.
Adapun nelayan dengan daerah penangkapan
ikan di Teluk Jakarta adalah nelayan Gillnet, Dogol, Bubu, Bagan dan Budidaya Kerang Hijau serta Payang (sebagian kecil). Berdasarkan analisis pendapatan nelayan di menimbulkan
wilayah studi, dampak
dengan dilakukannya reklamasi maka akan
sosial
terhadap kegiatan
perikanan sebesar
Rp
314.511.300.000,-. Angka ini diperoleh dari kehilangan pendapatan nelayan 81
Gillnet, Dogol, Bubu, Bagan dan Budidaya Kerang Hijau serta Payang di wilayah studi. Secara rinci disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Manfaat ekonomi dari kegiatan perikanan tangkap menurut alat tangkap di Kawasan Teluk Jakarta
No
Alat tangkap
Biaya/unit (x Rp 1.000)
Pendapatan Kotor/unit/th (x Rp 1.000)
Pendapatan Bersih/unit/th (x Rp 1.000)
Jumlah (unit)
Total (x Rp 1.000)
1
Gillnet
117.500
172.800
55.300
1.979
109.438.700
2
Payang
167.000
234.000
67.000
341
22.847.000
3
Dogol
199.700
270.000
70.300
437
30.721.100
4
Bubu
99.500
120.000
20.500
1849
37.904.500
5
Bagan dan budidaya*
103.600.000 Total
314.511.300
*sumber: Jury et al. (2011)
Nilai manfaat ekonomi dari sektor perikanan tangkap (Tabel 22) sebesar Rp. 314,5 M. Sumbangan nilai manfaat terbesar berasal dari perikanan gillnet, yaitu sebesar Rp. 109 M (35,9%). Manfaat terkecil berasal dari payang yaitu sebesar Rp. 23 M (7,5%). Hasil valuasi ekonomi terhadap kegiatan perikanan tangkap menunjukkan kawasan Teluk Jakarta memberikan manfaat ekonomi dari kegiatan perikanan sebesar Rp. 314,5 M (Tabel 22).
Manfaat ekonomi diperoleh dengan
perhitungan perkiraan besarnya ikan hasil tangkapan rata-rata nelayan selama setahun. Jika dilihat dari pendapatan bersih, maka kontribusi terbesar adalah dari alat tangkap dogol yaitu sebesar 70,3 juta rupiah dan disusul dengan payang sebesar 67 juta rupiah. Kontribusi terendah berasal dari bubu. Jadi kontribusi pendapatan bersih per unit alat tangkap akan memberikan manfaat yang lebih tinggi bila jumlah unit alat tangkap yang ada juga lebih banyak. Selain berdampak langsung terhadap perikanan, kegiatan reklamasi juga berdampak langsung terhadap mangrove karena dengan kegiatan reklamasi ini tentu saja akan menghilangkan hutan mangrove dan berbagai fungsinya. Valuasi ekonomi terhadap hutan mangrove pada penelitian ini dilakukan dengan metode benefit transfer. Aktivitas reklamasi mungkin saja menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove sehubungan dengan pemanfaatan wilayah pesisir sebagai wilayah reklamasi. 82
Jika aktivitas reklamasi menyebabkan kerusakan hutan
mangrove maka akan terjadi eksternalitas negatif langsung yang menyebabkan kerugian. Untuk mengetahui rata-rata nilai manfaat bersih dari hutan mangrove di Indonesia digunakan hasil penelitian terdahulu seperti terlihat pada Tabel 23. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata manfaat bersih hutan mangrove per ha per tahun adalah berkisar antara Rp. 2.547.245,00 sampai dengan Rp 40.000.000,00 atau dapat pula diartikan bahwa setiap kerusakan 1 ha hutan mangrove maka akan kehilangan manfaat bersih sebesar Rp. 18.041.038,84. Tabel 23 Valuasi ekonomi hutan mangrove No.
Peneliti/Tahun
1.
Kusumastanto et al. /1999
2.
Lokasi Penelitian
Manfaat bersih (Rp/ha/thn)
Segara Anakan
2,547,245.00
Fahrudin/1996
Kabupaten Subang
14,998,692.34
3.
Agustono/1996
Kabupaten Indramayu
14,618,218.00
4.
Ruitenbeek/1991
Bintuni Bay, Irian Jaya
50,000,000.00*)
*) US $ 1.00 = Rp10,000.00 Sumber : Data sekunder,
Oleh karena itu, berapa besar kerugian yang mungkin timbul akibat terjadinya reklamasi terhadap hutan mangrove yang terdapat di wilayah penelitian (Muara Angke) dapat dicari dengan cara mengalikan luas hutan magrove yang rusak (ha) dengan manfaat bersih per hektarnya. Sementara itu, van Berkel et al. (2012) mangrove menyediakan habitat penting bagi bermacam benih ikan dan dengan demikian penting untuk daerah semua stok ikan. Selain itu, hutan mangrove juga berhubungan dengan makanan
dan perangkap
sedimen dan tentu saja sebagai habitat penting bagi burung dan hewan lainnya. Studi ekstensif telah dilakukan pada nilai sosial dari hutan bakau oleh IUCN 2007, nilai hutan mangrove antara USD 2853/ha-USD 12843 / ha. Muara Angke adalah salah satu daerah yang memiliki hutan mangrove di pusat Teluk Jakarta, dapat dikatakan bahwa nilai sosialnya tinggi apabila harus direklamasi/adopsi, akan tetapi saat ini daerah hutan mangrove terdegradasi, sehingga cenderung menunjukkan nilai yang lebih rendah. Dengan tidak adanya data, maka dipilih untuk mengadopsi rata-rata USD 7848 / ha. Muara Angke memiliki hutan mangrove 117,7 ha (79,5 ha area hutan mangrove
dan 38,2 ha suaka
margasatwa), nilai sosial yang dihasilkan diperkirakan sebesar USD 923.000
83
(2007). Dengan asumsi tingkat diskonto 8%, maka perkiraan nilai 2012 adalah 1,35 juta USD. Pada penelitian ini nilai dampak kerusakan mangrove akibat reklamasi digunakan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh van Berkel et al. (2012) dimana nilai hutan mangrove yang hilang akibat reklamasi yang terdapat di wilayah penelitian adalah sebesar Rp 13.500.000.000,- yang selanjutnya digunakan dalam Extended Cost Benefit Analysis (ECBA). Selanjutnya dampak lingkungan langsung dari reklamasi juga akan dirasakan oleh sektor Listrik Negara mengingat di wilayah reklamasi ini terdapat 4 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Teluk Jakarta. Menurut van Berkel et al. (2012), Estimasi biaya pemadaman listrik di Nigeria adalah antara USD1.27-$ 22.46/kWh untuk keperluan sektor industry.
sedangkan tingkat
hunian lebih rendah, USD0.03-USD14.61. Biaya sektor komersial ekonomi berkisar dari $ 5,02 untuk pelayanan ritel, sampai $ 21,73 untuk gedung perkantoran, dan lebih rendah untuk fasilitas pemerintah. Untuk daerah pasokan campuran sebagai Jakarta dan biaya sosial rata-rata USD 10.85/kWh. Kapasitas total Power Station Muara Karang, Muara Tawar, dan Tanjung Priok adalah 4.522 MW yang memasok sekitar 53% kebutuhan listrik di Jakarta. The Power Station Muara Karang sendiri memasok sekitar 1.670 MW. Menunjukkan biaya sosial 18.11 Juta USD per jam jika stasiun Daya Muara Karang dimatikan. Jika diasumsikan bahwa reklamasi ini akan berdampak terhadap matinya listrik akibat kegiatan ini tentu saja ini merupakan biaya ekstenalitas yang dirasakan oleh masyarakat (biaya sosial). Dengan demikian berdasarkan data ini maka biaya eksternalitas (biaya sosial) yang ditanggung oleh masyarakat adalah sebesar Rp 18.11x1.000.000x10000x24 jamx12 bulan. Diasumsikn listrik mati selama 12 kali dalam satu tahun. Reklamasi pantai ini juga memiliki dampak lingkungan tidak langsung, karena reklamasi ini dapat mengakibatkan banjir karena telah hilangnya beberapa fungsi dari lingkungan.
Dampak lingkungan (eksternalitas) tidak
langsung tersebut salah satunya adalah banjir. Menurut van Berkel et al. (2012), banjir akibat reklamasi di Teluk Jakarta akan berdampak terhadap daerah penelitian seperti yang disajikan pada Tabel 24.
84
Tabel 24 Kerugian ekonomi akibat banjir Parameter Yang Terkena Dampak
Nilai (Feb 2007 dalam Rupiah)
a. Pertanian
18.320.000.000
b. Indutri
1.684.030.000.000
c. Fasilitas Publik
7.270.000.000
d. Kontruksi
76.480.000.000
e. Perdagangan
66.350.000.000
f. Transportasi dan Komunikasi
89.510.000.000
g. Keuangan
76.530.000.000
h. Jasa
33.650.000.000
i. Ekonomi
97.000.000.000
Total
2.149.140.000.000
Sumber : Jakarta Coastal Defence Study (2011), van Berkel et al. (2012)
Nilai-nilai pada Tabel 24 digunakan dalam penelitian ini dalam mengukur dampak
lingkungan
tidak
langsung
akibat
reklamasi
yang
dilakukan.
Diasumsikan bahwa reklamasi Teluk Jakarta akan berdampak terhadap banjir diwilayah studi terhadap komponen-komponen yang terkena dampak tersebut di wilayah studi dengan menggunakan benefit transfer. Analisis biaya dan Manfaat rekalamasi teluk Jakarta ini dilakukan melalui berbagai skenario analisis biaya manfaat dengan dan tanpa kerusakan lingkungan
(eksternalitas).
Skenario
analisis
dilakukan
juga
dengan
menggunakan tiga skenario diskonting (suku bunga) yakni pada level 12% untuk mewakili risiko investasi yang tinggi, skenario medium 8% mewakili suku bunga pasar, dan skenario suku bunga 3% untuk mewakili nilai lingkungan. Konser terhadap nilai lingkungan di masa mendatang atau pentingnya nilai ekologis untuk generasi mendatang diwakili sering dinayatakan dengan tingkat diskonto yang rendah yang menunjukkan bahwa nilai ekonomi lingkungan di masa mendatang sangat penting dibanding dengan sekarang. Gambar 21 di bawah ini menunjukkan hasil analisis present value manfaat bersih antara nilai baseline dimana nilai manfaat dan biaya dianggap konstan sepanjang waktu dan nilai manfaat bersih terkoreksi yang diasumsikan
85
bahwa nilai lingkungan yang rusak akan berkurang selama kurun waktu lebih dari 15 tahun mendatang dengan rata-rata pengurangan sebesar 10% per tahun. Secara umum dapat dikatakan bahwa
total nilai NPV dengan skenario
pengurangan kerusakan lingkungan setiap tahun lebih besar daripada base line (asumsi kerusakan konstan). Pada diskonto 12% nilai NPV dengan pengurangan kerusakan lingkungan sebesar Rp 625 trilyun sementara jika asumsi konstan hanya sebesar Rp 192 trilyun. Hasil ini juga menunjukkan bahwa dengan diskonto yang rendah yakni sebesar 3% nilai manfaat bersih yang diperoleh lebih besar yakni sebesar Rp 1701.7 trilyun dengan skenario pengurangan kerusakan lingkungan, dan Rp 754,4 trilyun dengan asumsi kerusakan konstan.
Tabel 25 Nilai NPV dengan skenario pengurangan kerusakan lingkungan
Total NPV Dengan Pengurangan
Baseline
r=12%
624.99
192.65
r=8%
971.64
371.90
r=3%
1701.70
754.37
Perbedaan dan perubahan nilai NPV selama periode rekalamasi dapat dilihat pada Gambar 21 di bawah ini dimana menunjukkan bawah nilai diksonto yang rendah akan menghasilkan manfaat yang lebih besar di masa mendatang.
86
200,000 150,000
Rp (Trilyun)
100,000
NBCRed12 NBCbase12
50,000
NBCRed8
0,000 -50,000
NBCbase8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718 Tahun
-100,000
NBCRed3 NBCbase3
-150,000
Gambar 21 Perbandingan Present Value manfaat bersih (Net BC) dengan pengurangan kerusakan dan tanpa pengurangan kerusakan dengan diskonto yang berbeda Hasil perhitungan dengan antara net benefit tanpa kerusakan lingkungan (Net BC ) dan net benefit dengan kerusakan lingkungan (Extended NPV) dengan tiga rate diskonto yang berbeda dapat dilihat pada Tabel berikut. Sebagaimana terlihat pada tabel 26 di bawah ini, level diskonto di atas 3% menunjukkan bahwa manfaat bersih dengan eksternalitas kontan menunjukkan nilai yang negatif yang berarti bahwa asumsi kerusakan lingkungan yang konstan sepanjang periode 30 tahun memang cenderung tidak realistik dan menghasilkan biaya yang relatif besar secara total sementara nilai mafaat yang diperoleh relatif konstan. Jika digunakan tingkat diskonto sebesar 3% maka baik net BC tanpa eksternalitas maupun net BC dengan eksternalitas menghasilkan manfaat bersih yang positif sebesar masing-masing Rp 754 trilyun dan Rp 88 trilyun. Hal ini menunjukkan kembali bahwa manfaat bersih yang tinggi dapat diperoleh jika tingkat suku bunga relatif kecil yakni sebesar 3%.
87
Tabel 26 Nilai NPV dengan net benefit tanpa kerusakan lingkungan dan kerusakan lingkungan Total NPV NetBC
NetBCExt
r=12%
192.653
-147.541
r=8%
371.895
-75.869
r=3%
754.367
88.092
Perubahan net present value sepanjang tahun dari manfaat bersih tanpa eksternalits dan manfaat bersih dengan eksternallitas yang kontan dapat dilihat pada Gambar 22 berikut ini. Sebaimana terlihat pada Gambar 22 pada tahun di atas tahun ke 15 perbedaan manfaat bersih menjadi relatif kecil karena sebagain biaya sudah terkapitalisasi selama proyek berlangsung.
150
Discounted PV (Rp Trilyun)
100 DPVBC12
50
DPVEBC12 DPVBC8
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
PPVEBC8 DPVBC3
-50 Tahun
PPVEBC3
-100 -150
Gambar 22 Nilai PV dengan eksternalitas konstan (discount rate berbeda)
Tabel di bawah ini memperlihatkan nilai total manfaat antara net BC tanpa ekesternalitas dan Net BC dengan eksternalitas dengan asumsi eksternalitas berkurang selama periode reklamasi. Pada tangkap suku bunga 12% nilai manfaat menjadi negatif karena biaya lingkungan yang harus ditanggung cukup besar sebagai konsekuensi bahwa nilai ekologis (lingkugan) di masa mendatang relatif kecil. Pada tingkat suku bunga 3% maka nilai manfaat bersih dengan 88
memperhatikan biaya lingkugan yang tidak konstan akan diperoleh sekitar Rp 193 trilyun.
Tabel 27 Nilai NPV dengan skenario net benefit tanpa external dan external yang berkurang Total NPV NetBC
NetBCext
r=12%
624.994
-22.862
r=8%
971.640
51.819
r=3%
1701.700
192.926
Perubahan nilai manfaat bersih sepanjang periode reklamasi dengan tingkat suku bungan yang berbeda dan dengan skenario pengurangan kerusakan lingkungan dapat dilihat pada Gambar 23 berikut.
200 150
Net BC (Rp trilyun)
100
DPVBC12
50
PPVEBC12 DPVBC8
0 -50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Tahun
-100
PPVEBC8 DPVBC3 PPVEBC3
-150 -200
Gambar 23 Nilai PV Net Benefit dengan nilai kerusakan yang berkurang
5.4
Strategi Adaptasi Nelayan Perubahan lingkungan pesisir akibat adanya reklamasi di Teluk Jakarta
akan mengakibatkan dampak langsung baik pada perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.
Secara alamiah nelayan akan melakukan pola adaptasi
terhadap perubahan tersebut dengan tujuan untuk dapat mempertahan 89
pendapatan dan perekonomian keluarga.
Fokus analisis strategi adaptasi
nelayan dilihat berdasarkan 2 kategori utama, yaitu bagaima astragei adaptasi nelayan ketika terjadi penurunan produktivitas perikanan (penangkapan dan budidaya) serta jenis strategi yang akan dilakukan nelayan ketika sudah tidak dapat melakukan usaha penangkapan akibat adanya reklamasi. Secara umum terdapat 2 strategi utama yang akan dilakukan nelayan di Muara Baru, Muara Angke dan Cilincing jika terjadi penurunan hasil tangkapan/budidaya (Gambar 24). Strategi tersebut adalah berpindah lokasi penangkapan/ budidaya serta mempertinggi frekuensi melaut dalam satu musim. Hanya sekitar 6% responden yang menyatakan akan mengganti alat tangkap yang digunakan sebagai bentuk strategi adaptasi. Nelayan akan tetap mencari ikan menskipun harus berpindah lokasi yang relatif lebih jauh karena keahlian inilah yang telah mereka kuasai.
Hal ini senada dengan ungkapan Wiyono
(2008) yang menyebutkan bahwa nelayan relatif akan tetap bekerja sebagai
Persentase Jawaban Responden (%)
nelayan meskipun hasil tangkapannya menurun.
70 Muara Baru Muara Angke Cilincing
60 50 40 30 20 10 0
Strategi Adaptasi Nelayan
Gambar 24 Strategi adaptasi nelayan menghadapi penurunan hasil tangkapan akibat reklamasi
90
Bekerja sebagai nelayan menjadi pilihan utama dari adaptasi nelayan untuk menghadapi hilangnya DPI atau lahan budaya di setiap wilayah. Meskipun harus berpindah ke lokasi yang lain umumnya nelayan akan tetap melanjutkan usahanya dibidang perikanan seperti disajikan pada Gambar 25. Strategi yang lain yang akan dilakukan adalah mencari pekerjaan lain dalam bentuk berdagang atau bertani. Selain itu, peran anggota keluarga lainnya juga dapat dioptimalkan. Strategi lain yang mungkin dilakukan sebenarnya adalah melalui pemberdayaan istri nelayan. Penghasilan istri nelayan bahkan dapat menyelamatkan ekonomi keluarga (Zid 2011).
Melalui pengembangan mata pencaharian alternatif,
misalnya berjualan di pasar, membuka warung, bekerja sebagai buruh pada usaha pengolahan ikan atau membentuk kelompok usaha bersama diharapkan
Persentase Jawaban Responden (%)
keluarga nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan.
60
Muara Baru Muara Angke Cilincing
50 40 30 20 10 0
Strategi Adaptasi Nelayan
Gambar 25 Strategi
adaptasi
nelayan
menghadapi
hilangnya
daerah
penangkapan atau lahan budidaya perikanan Wagiu (2011) mengemukakan bahwa reklamasi yang dilakukan di Pantai Manado telah mengakibatkan menurunnya tingkat pendapatan yang berdampak langsung pada kehidupan ekonomi sosial masyarakat nelayan. Strategi yang dipilih responden merupakan bentuk adaptasi agar tetap mampu mendapatkan
91
sumber pendapatan yang sama sehingga ekonomi keluarga akan tetap stabil. Reklamasi pantai di Manado juga telah membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan reklamasi selain tetap bekerja sebagai nelayan (Wunas dan Lumain 2003). Priyandes dan Majid (2009) mengemukakan bahwa nelayan di Pulau Batam yang terdampak reklamasi kemudian beralih profesi menjadi pedagang dan buruh.
Namun karena keterampilan berdagang dan buruh yang dimiliki
sangat minim, pada akhirnya banyak dari mereka yang bangkrut.
Pasca
kebangkrutan, mereka kemudian kembali bekerja sebagai nelayan dan berpindah ke daerah lain yang tidak terdampak oleh reklamasi dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
5.5
Analisisis Kebijakan Secara umum peraturan dan perundang-undangan yang mengatur
tentang reklamasi secara eksplisit dan berlaku nasional adalah UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil dan PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Kalalo, 2009). Lebih lanjut, dalam studi tersebut disebutkan bahwa reklamasi merupakan suatu hal yang pelaksanaannya tidak dapat ditolak oleh masyarakat perkotaan. Berdasarkan pasal 12 dalam PP No 16. Tahun 2004, maka Kalalo (2009) menyebutkan bahwa tanah hasil reklamasi dikuasai oleh negara. Selain kedua peraturan tersebut yang mengatur secara langsung kegiatan reklamasi, maka terdapat peraturan lainnya yang juga berkaitan dengan kegiatan reklamasi. Kagiatan kegiatan dalam reklamasi (baik proses maupun hasil reklamasi) yang diatur dalam peraturan dan perundang undangan antara lain; 1)
Dampak langsung terhadap daerah penangkapan ikan Walaupun reklamasi merupakan kegiatan yang tidak dapat di tolak (UU No. 27/2007) namun di dalam pasal 35 (l) UU No. 27/2007 juga disebutkan bahwa dalam melakukan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya. Di dalam Pasal 12 UU No. 31/2004 juga disebutkan bahwa kegiatan reklamasi meskipun tidak dapat ditolak namun dilarang merugikan masyarakat sekitar, sehingga diperlukan sebuah
92
mekanisme sehingga masyarakat sekitar tidak dirugikan dengan adanya kegiatan reklamasi. Salah satu contoh mekanisme yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan kompensasi bagi nelayan yang daerah penangkapannya hilang atau harus berpindah. Kompensasi yang diberikan harus setara dengan nilai ekonomi nelayan yang hilang akibat reklamasi. 2)
Dampak sedimentasi dari proses reklamasi Reklamasi akan dapat menyebabkan sedimentasi baik pada saat proses reklamasi maupun setelah reklamasi.
Sedimentasi akan berdampak
terhadap tempak pelelangan ikan (TPI), keberadaan ikan di perairan, dergradasi habitat ikan dan ekosistem pesisir. Untuk itu diperlukan tindakan preventif yang harus dilakukan agar dampak kegiatan reklamasi masih berada pada ambang batas yang telah ditetapkan. Berbagai peraturan dan perundang undangan serta pedoman umum/teknis telah diberlakukan untuk memperkecil resiko sedimentasi dari kegiatan reklamasi. Peraturan yang berkenaan dengan dampak ini adalah; a)
Undang Undang No. 27 tahun 2007 (Pasal 34 dan 35),
b)
Undang Undang No. 32 tahun 2009 (Pasal 20, 21, dan 68),
c)
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1999 (Pasal 9, 10, 12, 13, 14, 15, dan 16),
d)
Peraturan Presiden No 122 tahun 2012,
e)
Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 1 tahun 2012,
f)
Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir tahun 2004,
g)
Pedoman Teknis Kegiatan Pengerukan dan Reklamasi tahun 2006,
h)
Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai 2007.
3)
Dampak reklamasi terhadap penurunan kualitas perairan Penurunan kualitas lingkungan laut yang diakibatkan kegiatan reklamasi juga akan berdampak terhadap kegiatan perikanan. Penurunan kualitas perairan akan mengganggu kondisi sumberdaya ikan. Bahkan dapat menyebabkan kematian massal bagi ikan. Peraturan yang berkenaan dengan dampak ini adalah: a)
Undang Undang No. 32 2009 (Pasal 20 dan 68),
b)
Peraturan Pemerintah No. 19/1999 (Pasal 9, 10, 12, 13, 14, 15, dan 16), 93
4)
c)
Peraturan Presiden No. 54 tahun 2008 (Pasal 2 ayat 2 huruf b.3),
d)
Peraturan Presiden No. 122 tahun 2012,
e)
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/2004,
f)
Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir tahun 2004.
Dampak reklamasi terhadap kawasan konservasi Di wilayah yang akan direklamasi terdapat kawasan konservasi Suaka Margasatwa Muara Angke dan hutan lindung yang penetapannya dilindungi oleh UU No. 5 Tahun 1990 beserta turunannya. Jika kegiatan reklamasi mengganggu kawasan konservasi, maka kegiatan tersebut akan melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990 sehingga diperlukan sebuah strategi reklamasi yang tidak mengganggu keberadaan kawasan konservasi tersebut. Lebih lanjut di dalam Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2012 secara jelas disebutkan reklamasi tidak boleh dilakukan di wilayah kawasan konservasi.
Untuk melengkapi hasil analisis kebijakan terhadap dampak reklamasi berikut ini dijabarkan hasil analisis kebijakan terhadap beberapa peraturan yang terkait.
Peraturan yang dimaksud menyangkut undang-undang, peraturan
pemerintah dan terkait. Tabel 28 Hasil analisis kebijakan perundangan terkait reklamasi No
Undang-Undang
1.
UU No. 5/1990
2.
UU No 31/2004
94
Pasal
Isi
19
1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. (cagar alam dan suaka margastwa) 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kegiatan pembinaan habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka margasatwa. 3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. 1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan
12
No
Undang-Undang
Pasal
Isi
2)
3)
4)
5)
3.
UU No 27/2007
34
1)
2)
sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Setiap orang dilarang membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumberdayaikan, lingkungan sumberdaya ikan,dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Setiap orang dilarang membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumberdaya ikan,lingkungan sumberdaya ikan,dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Setiap orang dilarang menggunakan obatobatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumberdaya ikan,lingkungan sumberdaya ikan, dan/atau kesehatan manusia diwilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat(1), ayat(2), ayat(3), dan ayat(4), diatur dengan Peraturan Pemerintah. Reklamasi Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi. Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan: a. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat; b. keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta c. persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan
95
No
Undang-Undang
Pasal
35
96
Isi material. 3) Perencanaan dan pelaksanaan Reklamasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: a. menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem terumbu karang; b. mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi; c. menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang; d. menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak Ekosistem terumbu karang; e. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; f. melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; g. menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain; h. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun; i. melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; j. melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan
No
Undang-Undang
Pasal
Isi
k.
l.
4.
UU No. 32 Tahun
20
1)
2009 2)
3)
4)
5)
dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya. Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan hidup meliputi: a. baku mutu air; b. baku mutu air limbah; c. baku mutu air laut; d. baku mutu udara ambien; e. baku mutu emisi; f. baku mutu gangguan; dan g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam peraturan menteri.
97
No
Undang-Undang
Pasal 21
68
98
Isi 1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. 3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi: a. kriteria baku kerusakan tanah untuk b. produksi biomassa; c. kriteria baku kerusakan terumbu karang; d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup e. yang berkaitan dengan kebakaran hutan f. dan/atau lahan; g. d. kriteria baku kerusakan mangrove; h. kriteria baku kerusakan padang lamun; i. kriteria baku kerusakan gambut; j. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau k. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya l. sesuai dengan perkembangan ilmu m. pengetahuan dan teknologi. 4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater antara lain: a. kenaikan temperatur; b. kenaikan muka air laut; c. badai; dan/atau d. kekeringan. 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait
No
5.
Undang-Undang
PP No. 9 1999
Pasal
9
10
12
13
14
Isi dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan menaati ketentuan tentang baku mutu c. lingkungan hidup dan/atau kriteria baku d. kerusakan lingkungan hidup. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran laut. 1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran laut, wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran laut. 2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang limbahnya ke laut, wajib memenuhi persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku mutu emisi dan ketentuan-ketentuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Limbah cair dan/atau limbah padat dari kegiatan rutin operasional di laut wajib dikelola dan dibuang di sarana pengelolaan limbah cair dan/atau limbah padat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan laut. 1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan laut wajib melakukan pencegahan perusakan laut. 2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan perusakan
99
No
Undang-Undang
Pasal 15
16
6.
PP No. 16/2004
12
7.
Perpres No.
19
54/2008
8
Perpres No. 122/2012
2 (3) 3
Isi 1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya. 2) Pedoman mengenai penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. 1) Setiap orang penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut. 2) Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara Sasaran penyelenggaraan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur adalah terwujudnya peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora, dan fauna dengan ketentuan kualitas air menjamin kesehatan lingkungan Reklamasi tidak dapat dilakukan di kawasan konservasi dan alur laut Pemerintah , pemerintah daerah, atau setiap orang yang akan melaksanakan reklamasi harus menyiapkan perencanaan reklamasi yang termasuk didalamnya a. b. c. d.
100
Penentuan lokasi; Penyusunan rencana induk; Studi kelayakan; dan Penyusunan rancangan detail.
No
Undang-Undang
Pasal
Isi
4(1)
Penentuan lokasi reklamasi dilakukan berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi, Kabupaten/Kota dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota.
4 (3)
Penentuan lokasi reklamasi dan lokasi sumber material reklamasi wajib mempertimbangkan aspek teknis, aspek lingkungan hidup, dan aspek sosial ekonomi.
5
Aspek teknis dalam penentuan reklamasi meliputi hidro-oceanografi, hidrologi, batimetri, topografi, geomorfologi, dan/atau geoteknik.
8
Aspek lingkungan hidup meliputi kualitas air laut, kualitas air tanah, kualitas udara, kondisi ekosistem pesisir (mangrove, lamun, terumbu karang), flora dan fauna darat, serta biota perairan.
9
Aspek sosial ekonomi meliputi demografi, akses publik, dan potensi relokasi.
11
Penyusunan rencana induk reklamasi harus memperhatikan: a. Kajian lingkungan hidup strategis; b. Kesesuaian dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi, Kabupaten/Kota dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota; c. Sarana prasarana fisik di lahan reklamasi dan di sekitar lahan yang di reklamasi; d. Akses publik; e. Fasilitas umum; f. Kondisi ekosistem pesisir; g. Kepemilikan dan/atau penguasaan lahan; h. Pranata sosial; i. Aktivitas ekonomi; j. Kependudukan; 101
No
Undang-Undang
Pasal
Isi k. Kearifan lokal; dan l. Daerah cagar budaya dan situs sejarah.
13 (1)
13(4)
15
Studi kelayakan meliputi: a. Teknis; b. Ekonomi-finansial; dan c. Lingkungan hidup. Kelayakan lingkungan hidup didasarkan atas keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. Pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang yang akan melaksanakan reklamasi wajib memiliki izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi.
16(1)
Untuk memperoleh izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi, Pemerintah, pemerintah daerah dan setiap orang wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
16 (2)
Menteri memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu, kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Pemerintah.
16 (4)
Gubernur dan bupati/walikota memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi dalam wilayah sesuai dengan kewenangannya dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah daerah.
18 102
Permohonan izin pelaksanaan reklamasi
No
Undang-Undang
Pasal (1)
Isi wajib dilengkapi dengan: a. b. c. d.
20 (1)
26
27
29
Izin lokasi; Rencana induk reklamasi; Izin lingkungan; Dokumen studi kelayakan teknis dan ekonomi finansial; e. Dokumen rancangan detail reklamasi; f. Metoda pelaksanaan dan jadwal pelaksanaan reklamasi; dan g. Bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan. Izin pelaksanaan reklamasi dapat dicabut apabila: a. Tidak sesuai dengan perencanaan reklamasi; dan/atau b. Izin lingkungan dicabut. Pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan: a. Keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat; b. Keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan pulaupulau kecil; serta c. Persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material. Keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat dilakukan dengan: a. Memberikan akses kepada masyarakat menuju pantai; b. Mempertahankan mata pencaharian penduduk sebagai nelayan, pembudidaya ikan, dan usaha kelautan dan perikanan lainnya; c. Memberikan kompensasi/ganti kerugian kepada masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi; d. Merelokasi permukiman bagi masyarakat yang berada pada lokasi reklamasi; dan/atau e. Memberdayakan masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi. Untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan
103
No
Undang-Undang
Pasal
Isi pulau-pulau kecil, pelaksana reklamasi wajib mengurangi dampak:
30(1)
31(1)
a. Perubahan hidro-oceanografi yang meliputi arus, gelombang, dan kualitas sedimen dasar laut; b. Perubahan sistem aliran air dan drainase; c. Peningkatan volume/frekuensi banjir dan/atau genangan; d. Perubahan batimetri; e. Perubahan morfologi dan tipologi pantai; f. Penurunan kualitas air dan pencemaran lingkungan hidup; dan g. Degradasi ekosistem pesisir. Persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material meliputi: a. Metode pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material yang digunakan tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup, merusak ekosistem, semburan lumpur (mud explosion), gelombang lumpur (mud wave), bencana pesisir serta mematikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat; dan material reklamasi merupakan tanah dominan pasir dan b. Tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3). Monitoring dan evaluasi reklamasi dilakukan oleh Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya.
31(2)
104
Monitoring dan evaluasi dilakukan pada tahap pelaksanaan reklamasi agar sesuai
No
Undang-Undang
Pasal
Isi dengan perencanaan dan izin lingkungan.
32(2)
Izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan jangka waktu izin berakhir.
5.6
Kebijakan Strategis Penentuan prioritas kebijakan pemerintah untuk aktivitas perikanan akibat
dampak reklamasi Teluk Jakarta yang dilakukan dengan pendekatan AHP didasarkan pada empat tingkatan. Tingkat pertama adalah fokus. Fokus hierarki adalah prioritas kebijakan pemerintah. Tingkat kedua adalah kriteria atau aspek. Kriteria-kriteria yang diambil dalam penetapan kebijakan dari fokus prioritas kebijakan pemerintah adalah sosial, budaya, ekologi dan ekonomi. Tingkat ketiga adalah sub kriteria. Sub kriteria dari masing-masing kriteria adalah: 1)
Sosial, sub kriteria yang tercakup adalah persepsi masyarakat dan demografi.
2)
Budaya, sub kriteria yang tercakup adalah hilangnya ruang interaksi sosial dan perubahan basis produksi masyarakat pesisir.
3)
Ekologi, sub kriteria yang tercakup adalah habitat perairan pesisir dan keragaman biota pesisir.
4)
Ekonomi, sub kriteria yang tercakup adalah aktivitas ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat. Tingkat keempat adalah alternatif kebijakan. Alternatif kebijakan yang
diambil pada hierarki ini adalah kompensasi bidang pendidikan (beasiswa); kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana); kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan); dan kompensasi relokasi. Struktur hierarki prioritas strategi pemerintah untuk dampak reklamasi Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 26.
105
Tingkat I Fokus
Tingkat II Kriteria
Tingkat III Sub Kriteria
Tingkat IV Alternatif Kebijakan
Prioritas Kebijakan Pemerintah untuk Dampak Reklamasi Teluk Jakarta
Ekologi
1. Kelestarian habitat perairan pesisir 2. Keragaman biota pesisir
Kompensasi Beasiswa
Ekonomi
1. Perubahan aktivitas ekonomi 2. Tingkat pendapatan masyarakat
Kompensasi Sarana dan Prasaranan
Budaya
Sosial
1. Hilangnya ruang interaksi sosial 2. Perubahan basis produksi masyarakat pesisir
1. Persepsi masyarakat 2. Demografi
Kompensasi Ekonomi
Kompensasi Relokasi
Gambar 26 Prioritas kebijakan pemerintah untuk reklamasi Teluk Jakarta 5.6.1
Penetapan prioritas Hierarki untuk memperoleh berbagai prioritas kebijakan sebagai langkah
pengambilan keputusan merupakan proyeksi dari perencanaan untuk mencapai alternatif kebijakan yang diinginkan. Alternatif prioritas kebijakannya adalah (1) kompensasi bidang pendidikan (beasiswa); (2) kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana); (3) kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan); dan (4) kompensasi relokasi. Keempat alternatif kebijakan tersebut, dalam proses kegiatannya, memiliki interaksi dengan kriteria ekonomi, ekologi, budaya, dan sosial. Sebagai langkah pendekatan untuk menganalisis masing-masing kriteria kemudian diturunkan lagi menjadi sub kriteria. Dari sub kriteria tersebut dapat diambil alternatif kebijakan atau prioritas strategi pemerintah untuk mengatasi dampak reklamasi Teluk Jakarta. Penetapan prioritas dilakukan berdasarkan perbandingan antar kriteria dan sub kriteria. Perbandingan ini berdasarkan pertimbangan dari nilai matriks banding berpasangan atas taraf relatif kepentingannya, sehingga diperlukan penilaian perbandingan antar responden (combining) untuk setiap kriteria, sub kriteria dan alternatif dari fokus prioritas kebijakan pemerintah untuk dampak reklamasi Teluk Jakarta.
106
5.6.2 Kriteria prioritas kebijakan pemerintah untuk reklamasi Teluk Jakarta Pada kriteria ini dilakukan penilaian perbandingan berpasangan seluruh kriteria yang berfungsi untuk mengetahui prioritas relasi antar kriteria. Nilai bobot kriteria prioritas kebijakan pemerintah untuk reklamasi Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Hasil perhitungan bobot kriteria No.
Kriteria
1.
Sosial
2.
Budaya
3.
Ekologi
4.
Ekonomi
Bobot 0,150981 0,233431 0,478565 Total
0,137022 1,000000
Tabel 29 menunjukkan bahwa nilai bobot untuk setiap kriteria tidak sama. Bobot untuk kriteria ekologi paling tinggi, yaitu sebesar 0,478565; disusul oleh kriteria budaya, sosial, dan ekonomi. Ini berarti kriteria ekologi memiliki taraf kepentingan yang paling tinggi atau mendominasi. Tertinggi kedua dan ketiga adalah kriteria budaya dan sosial. A.
Kriteria sosial Hasil penilaian kriteria sosial disajikan pada Tabel 30. Pada kriteria sosial
terdapat dua sub kriteria yaitu persepsi masyarakat dan demografi. Nilai bobot prioritas untuk kedua sub kriteria tersebut sama, yaitu sebesar 0,500 yang berarti kedua sub kriteria tersebut memiliki taraf kepentingan yang sama, sehingga antara satu sub kriteria dengan sub kriteria yang lain tidak saling mendominasi. Tabel 30 Hasil perhitungan prioritas kriteria hukum No.
Sub Kriteria
Bobot
1.
Persepsi masyarakat
0,5000
2.
Demografi
0,5000
Penilaian yang dilakukan oleh responden memiliki kesamaan pandangan bahwa untuk kriteria sosial, sub kriteria persepsi masyarakat sama pentingnya dengan sub kriteria demografi. Hal ini terlihat dari nilai bobot kedua sub kriteria
107
tersebut yang memiliki nilai yang sama sebagai prioritas untuk dikedepankan dalam proses kebijakan reklamasi Teluk Jakarta. 1)
Sub kriteria persepsi masyarakat Pada sub kriteria persepsi masyarakat terdapat empat alternatif kebijakan
pemerintah, yaitu (1) kompensasi bidang pendidikan (beasiswa); (2) kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana); (3) kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan); dan (4) kompensasi relokasi.
Nilai bobot keempat alternatif
tersebut disajikan pada Tabel 31. Tabel 31 Bobot alternatif dari sub kriteria persepsi masyarakat No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
Bobot 0,346877 0,175477 0,417374 0,060272
Tabel 31 menunjukkan alternatif kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan) merupakan alternatif yang memiliki bobot prioritas paling tinggi, yaitu sebesar 0,417374. Alternatif tertinggi kedua adalah kompensasi bidang pendidikan (beasiswa), disusul dengan kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana) dan kompensasi relokasi.
2)
Sub kriteria demografi Pada sub kriteria demografi terdapat empat alternatif kebijakan yaitu (1)
kompensasi bidang pendidikan (beasiswa); (2) kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana); (3) kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan); dan (4) kompensasi relokasi. Nilai bobot keempat alternatif tersebut disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Bobot alternatif sub kriteria demografi No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
108
Bobot 0,306709 0,210308 0,423754 0,059230
Penilaian alternatif pada sub kriteria demografi seperti yang disajikan pada Tabel 32 menunjukkan alternatif kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan) adalah alternatif yang memiliki bobot prioritas paling tinggi, yaitu sebesar 0,423754. Alternatif ini juga memiliki nilai tertinggi untuk sub kriteria persepsi masyarakat (Tabel 31). Alternatif tertinggi kedua pada sub kriteria demografi adalah kompensasi bidang pendidikan (beasiswa), disusul dengan kompensasi bidang kimpraswil (sarana dan prasarana), serta kompensasi relokasi. B.
Kriteria budaya Pada kriteria budaya, terdapat dua sub kriteria yaitu hilangnya ruang
interaksi sosial dan perubahan basis produksi masyarakat pesisir. Hasil penilaian kriteria budaya disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Hasil perhitungan prioritas kriteria budaya No.
Sub Kriteria
Bobot
1.
Hilangnya ruang interaksi sosial
0,5000
2.
Perubahan basis produksi masyarakat pesisir
0,5000
Hasil penilaian kriteria budaya menunjukkan kedua sub kriteria memiliki nilai bobot yang sama, hal tersebut menunjukkan bahwa kedua sub kriteria tersebut sama-sama sebagai dampak dari proses reklamasi di Teluk Jakarta. 1)
Sub kriteria hilangnya ruang interaksi sosial Pada sub kriteria hilangnya ruang interaksi sosial, terdapat 4 alternatif
kebijakan yang dapat dilkukan.
Berdasarkan bobotnya, yang paling tertinggi
adalah kompensasi bidang pendidikan melalui beasiswa, kompensasi bidang ekonomi melalui penciptaan sumber pendatan, kompensasi reklamasi dan terakhir adalah kompensasi bidang kimpraswil melalui pelengkapan sarana dan prasarana. Nilai bobot keempat alternatif tersebut disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Bobot alternatif sub kriteria hilangnya ruang interaksi sosial No.
Alternatif
Bobot
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
0,361153
2. 3.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana) Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
0,150727 0,312986
4.
Kompensasi relokasi
0,175134
109
2)
Sub kriteria perubahan basis produksi masyarakat Hasil analisis sub kriteria perubahan basis produksi masyarakat disajikan
pada Tabel 35.
Pada sub kriteria perubahan basis produksi masyarakat,
terdapat 4 alternatif kebijakan yang dapat dilkukan. Berdasarkan bobotnya, yang paling tertinggi adalah (1) kompensasi bidang ekonomi, (2) kompensasi bidang pendidikan, (3) kompensasi bidang relokasi dan (4) kompensasi bidang kimpraswil seperti disajikan pada Tabel 35. Tabel 35 Bobot alternatif sub kriteria perubahan basis produksi masyarakat No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
C.
Bobot 0,274650 0,174707 0,312183 0,238460
Kriteria ekologi Pada kriteria ekologi, terdapat dua sub kriteria yaitu kelestarian habitat
perairan pesisir dan keragaman biota pesisir. Berdasarkan hasil analisis menurut penilaian responden, kedua sub kriteria memiliki prioritas yang sama (Tabel 36). Tabel 36 Hasil perhitungan prioritas kriteria biologi No.
Sub Kriteria
Bobot
1.
Kelestarian habitat perairan pesisir
0,5000
2.
Keragaman biota pesisir
0,5000
Habitat perairan yang terjaga kondisinya akan mendukung proses kegiatan penangkapan ikan. Habitat yang lestari akan sangat berdampak terhadap ketersediaan ikan di perairan tersebut. Jika habitatnya terpelihara, maka ikanikan akan senang berkumpul di perairan tersebut karena daya dukung perairannya untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan. Karena kelestarian SDI menyangkut masa depan produktivitas perikanan. Jika habitatnya bagus, juga akan berpengaruh terhadap keragaman biota pesisir.
110
1)
Sub kriteria kelestarian habitat perairan pesisir Hasil analisis sub kriteria keberlanjutan SDI seperti yang tersaji pada
Tabel 37, menunjukkan bahwa kompensasi bidang pendidikan memiliki bobot paling tinggi diikuti bidang ekonomi, relokasi dan terakhir bidang kimpraswil. Tabel 37 Bobot alternatif sub kriteria kelestarian habitat perairan pesisir No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
2)
Bobot 0,331768 0,147650 0,299240 0,221342
Sub kriteria keragaman biota pesisir Hasil analisis alternatif pada sub kriteria keragaman biota pesisir disajikan
pada Tabel 38.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kompensasi bidang
pendidikan memiliki bobot yang paling tinggi. Sementara itu kompensasi bidang kimpraswil memiliki bobot yang paling rendah. Tabel 38 Bobot alternatif sub kriteria keragaman biota pesisir No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
D.
Bobot 0,324873 0,178803 0,302706 0,193619
Kriteria ekonomi Kriteria teknis memiliki dua sub kriteria yaitu sub kriteria perubahan
aktivitas ekonomi dan sub kriteria tingkat pendapatan masyarakat. Hasil analisis kedua sub kriteria tersebut disajikan pada Tabel 39. Berdasarkan Tabel 39, dapat diketahui bahwa nilai bobot prioritas antar kedua kriteria memiliki bobot yang sama yaitu 0,500 yang berarti bahwa untuk bobot seluruh kriteria ekonomi dinilai memiliki taraf kepentingan yang sama sehingga antara satu sub kriteria dengan sub kriteria yang lain tidak saling mendominasi.
111
Tabel 39 Hasil perhitungan prioritas kriteria teknis No.
Sub Kriteria
Bobot
1.
Perubahan aktivitas ekonomi
0,5000
2.
Tingkat pendapatan masyarakat
0,5000
1)
Sub kriteria perubahan aktivitas ekonomi Hasil analisis sub kriteria perubahan aktivitas ekonomi disajikan pada
Tabel 40. Kompensasi bidang ekonomi memiliki bobot yang paling tinggi dibandingkan yang lain.
Sementara itu kompensasi bidang relokasi memiliki
bobot yang paling rendah.
Hal ini terkait dengan aktivitas ekonomi yang
sebenarnya secara alamiah dapat dilakukan oleh masyarakat di Teluk Jakarta. Tabel 40 Bobot alternatif sub kriteria perubahan aktivitas ekonomi No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
2)
Bobot 0,284229 0,188760 0,374979 0,152032
Sub kriteria tingkat pendapatan masyarakat Hasil analisis sub kriteria tingkat pendapatan masyarakat disajikan pada
Tabel 41.
Kompensasi bidang relokasi memiliki bobot yang paling tinggi
dibandingkan yang lain. Sementara itu, kompensasi bidang kimpraswil memiliki bobot yang palingg rendah dibandingkan yang lain. Tabel 41 Bobot alternatif sub kriteria tingkat pendapatan masyarakat No.
Alternatif
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
5.6.3
Bobot 0,219494 0,187841 0,286152 0,306513
Analisis perbandingan menyeluruh Hasil perbandingan menyeluruh menunjukkan bahwa kompensasi yang
memiliki bobot tertinggi adalah bidang pendidikan melalui pemberian beasiswa
112
seperti disajikan pada Tabel 42.
Hal ini dapat dilakukan kepada anak-anak
nelayan yang masih berada alam usia sekolah. Hal ini harusnya diperhatikan oleh pemerintah DKI sehingga adanya Reklamasi akan memberikan manfaat yang lebih tinggi. Tabel 42 Bobot prioritas alternatif kebijakan pemerintah untuk dampak reklamasi No.
Alternatif
Bobot
1.
Kompensasi bidang pendidikan (beasiswa)
2.
Kompensasi bidang kimpraswil (sarana prasarana)
3.
Kompensasi bidang ekonomi (sumber pendapatan)
4.
Kompensasi relokasi
0,475062 0,167803 0,279693 0,077441
Kompensasi relokasi memiliki bobot yang paling rendah. Artinya pilihan untuk melakukan relokasi nelayan harus ditempatkan pada pilihan yang terakhir. Kebijakan ini akan menimbulkan konsekuensi logis terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan.
Oleh karena itu sebaiknya tidak dilakukan relokasi
nelayan di wilayah yang terkena dampak reklamasi. Pemberian kompensasi di bidang ekonomi dapat dilakukan melalui pengembangan mata pencaharian alternatif untuk nelayan yang terdampak langsung dari kegiatan reklamasi. Melalui pengembangan dan introduksi sumber pendapatan
baru
diharapkan
masyarakat
nelayan
akan
tetap
mampu
mempertahankan kehidupan ekonomi keluarga seperi sedia kala. Untuk dapat menentukan arah kebijakan dalam upaya meminimumkan dampak reklamasi, maka pemerintah sebagai pengendali kegiatan reklamasi harus mempertimbangkan berbagai faktor terkait dalam jangka panjang. Sa’ad et al. (2010) mengemukanan bahwa untuk dapat menentukan arah kebijakan dan perencanaan reklamsi yang ideal maka pemerintah harus memperhatikan perubahan kondisi biofisik, hidrologis dan kebijakan di masa mendatang terkait dengan tata ruang dan peruntukan wilayah reklamasi. Untuk dapat melakukan implementasi dari hasil analisis AHP maka keterlibatan berbagai pihak mutlak diperlukan. Secara umum ada 3 komponen utama yang akan terlibat yaitu pemerintah, swasta pemegang konsesi dan masyarakat. Pemerintah dan swasta pemegang konsesi merupakan pihak yang harus bertanggungjawab terhadap dampak reklamasi yang mungkin terjadi di Teluk Jakarta sehingga sudah selayaknya melakukan langkah-langkah antisipatif meluasnya dampak yang ditimbulkan pada sektor perikanan. 113
Masyarakat sebagai pihak yang akan menerima manfaat sekaligus penerima dampak memiliki posisi tawar yang lemah.
Meskipun demikian,
aspirasi masyarakat terhadap pelaksaan reklamasi terutama yang berkaitan dengan upaya meminimumkan dampak patut diperhatikan. Pemerintah sebagai instansi pembuat kebijakan harus mampu menyusun aturan main pelaksanaan reklamasi sehingga masyarakat/nelayan terdampak dapat menerima program reklamasi dengan berbagai dampak yang akan ditimbulkan. Selain itu, dukungan masyarakat terhadap program reklamasi juga diharapkan akan mampu memberikan keamanan dan kenyamanan sehingga program reklamasi tidak hanya memberikan keuntungan bagi swasta pemegang konsesi namun juga mamberikan manfaat baik bagi masyarakat maupun lingkungan.
5.8
Rekomendasi Kebijakan Reklamasi Teluk Jakarta dipilih sebagai alternatif terhadap pemenuhan
kebutuhan lahan yang semakin tinggi. Perencanaan dan pelaksanaan yang baik diharapkan akan menghasilkan manfaat yang lebih besar.
Tentunya semua
pihak tidak mengharapkan adanya dampak negatif yang berlebihan dengan selesainya reklamasi seperti yang terjadi di Semarang. Semarang
dituding
telah
menyebabkan
penurunan
Reklamasi di Kota tanah
sehingga
menyebabkan banjir di Kota Semarang sulit diatasi (Suwitri 2008). Berdasarkan hasil analisis AHP maka diperoleh 4 alternatif kebijakan yang dapat dilakukan untuk meminimumkan dampak reklamasi terhadap aktivitas perikanan yang berlangsung di Teluk Jakarta. Urutan prioritas kebijakan yang dapat dilakukan adalah : 1) Kompensasi bidang pendidikan Kompensasi bidang pendidikan sangat dibutuhkan oleh anak-anak usia sekolah, terutama bagi anak-anak dari keluarga nelayan (masyarakat pesisir).
Jenis kompensasi ini dapat diwujudkan melalui pemberian
beasiswa kepada masyarakat pesisir yang terdampak langsung dari kegiatan reklamasi. Kebijakan kompensasi ini akan lebih memberikan manfaat dibandingkan dengan kompensasi dalam bentuk uang tunai. 2) Kompensasi bidang kimpraswil (sarana dan prasarana) Pembangunan atau pengadaan sarana dan prasarana kebutuhan primer dan sekunder sebagai wujud dari pelaksanaan reklamasi akan lebih 114
bermanfaat bagi masyarakat terdampak. Nelayan/masyarakat pesisir di Teluk Jakarta terutama yang memiliki tempat tinggal di sepanjang bantaran sungai atau pantai belum memiliki perumahan dan sarana air bersih serta MCK yang memadai. dalam
pembangunan
sarana
Melalui pelaksanaan kompensasi
dan
prasarana
diharapkan
dapat
memperbaiki kualitas hidup masyarakat. 3) Kompensasi bidang ekonomi Pengembangan mata pencaharian alternatif sebagai salah satu kebijakan yang dapat dilakukan dalam upaya meminimumkan dampak reklamasi di Teluk Jakarta. Dampak terhadap hilangnya daerah penangkapan ikan serta
penurunan
sumberdaya
ikan
dapat
pengembangan mata pencaharian alternatif.
diantisipasi
melalui
Selain itu, pemberdaan
perempuan nelayan juga dapat ditempuh untuk tetap mempertahan kehidupan ekonomi keluarga nelayan pasca reklamasi. 4) Kompensasi relokasi Prioritas kebijakan yang menempati ranking terakhir adalah kompensasi relokasi nelayan yang terdampak langsung dari kegiatan reklamasi. Relokasi mejadi alternatif terakhir yang dapat dilakukan mengingat kompleksitas dampak yang akan ditimbulkan dari proses relokasi. Biaya sosial yang akan tinggi serta kerawanan konflik menjadi alasan penempatan akternatif ini pada ranking terendah. Meskipun demikian, hal ini menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan program reklamasi di Teluk Jakarta.
Pemerintah dan swasta pemegang konsesi sebagai aktor yang memiliki peran dan tanggungjwab terhadap pelaksanaan reklamasi harus melakukan langkah-langkah nyata untuk meminimumkan dampak yang mungkin terjadi baik pada sektor lingkungan maupun sosial. Pada aspek lingkungan dan sumberdaya ikan, pelaksanaan reklmasi harus dilakukan dengan memperhatikan hasil studi kelayakan dan analisis dampak lingkungan. Swasta pemegang konsesi bersama dengan pemerintah harus melakukan pengawasan yang terpadu sehingga dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya ikan dapat diminimumkan. Aspek sosial juga wajib menjadi perhatian karena dapat memicu konflik terhadap proyek reklamasi. Masyarakat yang terkenan dampak langsung dari 115
reklamasi harus diberikan kompensasi yang berimbang.
Kompensasi tidak
selamanya dalam bentuk uang tunai, namun dapat dilakukan kompensasi melalui penyediaan
fasilitas
lapangan kerja baru.
pendidikan,
sarana-prasarana
atau
pengembangan
Hal ini diharapkan dapat meminimumkan konflik yang
umumnya terjadi saat terjadi reklamasi. Nilai ganti rugi lahan yang tidak sesuai umumnya memicu konflik antara masyarakat dengan pemegang konsesi sehingga seminimal mungkin dihindari adanya relokasi masyarakat di wilayah reklamasi. Untuk dapat menerapkan kebijakan penggantian insentif pada sektor perikanan maka diperlukan sebuah inventarisasi terhadap kagiatan perikanan terdampak reklamasi dari mulai tahap awal reklamasi, proses dan pasca reklamasi. Hal ini tentunya untuk menentukan besaran insentif yang tepat sehingga menghindarkan terjadinya konflik yang mungkin terjadi.
116