4 KEADAAN UMUM PERAIRAN JAKARTA 4.1 Perairan Jakarta Perairan
Jakarta
dipengaruhi
oleh
dua
wilayah
yang
memiliki
karakterisktik berbeda yaitu wilayah pesisir Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Keseluruhan wilayah terbentang dari 106° 20’ dan 107° 03’ BT hingga 5° 10’ sampai 6° 10’ LS. Wilayah pesisir Teluk Jakarta terbentang dari Tanjung Pasir sebelah Barat hingga ke Tanjung Karawang di sebelah Timur, mempunyai rentang mulut sepanjang kurang lebih 40 km dan luas kira-kira 490 km2 (Nontji 1984). Sebanyak 13 sungai yang bermuara di perairan Jakarta yaitu Angke, Bekasi, Cakung, Cidurian, Ciliwung, Cikarang, Cimandiri, Ciranjang, Cisadane, Citarum, Karawang, Krukut dan Sunter.
Kepulauan Seribu terbentang sepanjang 80 km
dari Utara ke Selatan, memiliki 110 pulau, dimana 45 % dari pulau-pulau tersebut berukuran lebih kecil dari 5 ha, 25% berukuran antara 5 ha- 10 ha, dan 305 berukuran lebih luas dari 10 ha. (Bapedal DKI Jakarta 2002, diacu dalam Sonari 2009) Kehidupan komunitas lokal di pesisir Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu serta kehidupan di perairannya dipengaruhi oleh sub-sistem utama alamiah yaitu hutan bakau, terumbu karang, dan padang lamun. Di Kepulauan Seribu, aktivitas perikanan tangkap dan budidaya serta wisata merupakan aktivitas yang menjadi sumber pendapatan bagi masyarakatnya, sedangkan di wilayah pesisir Teluk Jakarta terdapat hampir 50 industri yang bergerak di bidang transportasi, galangan kapal, produk makanan dan wisata. Perkembangan kota Jakarta sebagai kota metropolitan dan Jabotabek dalam kurun waktu 20 tahun terakhir sangat mempengaruhi ekosistem perairan Jakarta baik itu merupakan kombinasi dampak alamiah maupun akibat aktivitas manusia antara lain adalah perubahan fungsi alamiah ekosistem/sistem lingkungan, eksploitasi sumberdaya yang berlebihan dan polusi.
60
Gambar 7 Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu (William et al. 2000, diacu dalam Arifin 2004) 4.2 Iklim di Perairan Jakarta
Perairan Jakarta termasuk wilayah yang beriklim tropika panas, mempunyai suhu rata-rata 27,0 oC.
Kondisi suhu harian di sekitar pantai Teluk
Jakarta berkisar antara 24,1 - 32,5 °C, sedangkan kecepatan angin berkisar 2,5 – 3,5 knots. Kelembaban udara bulanan rata-rata berkisar 72 - 84 % (BMG 2009). Curah hujan setiap tahun rata-rata 142,54 mm.
Curah hujan tersebut
ditentukan oleh fluktuasi musim hujan dan kemarau, dimana musim barat/hujan 61
berlangsung sejak bulan Nopember sampai dengan Maret dan musim timur/kemarau berlangsung antara bulan April sampai dengan Oktober setiap tahunnya. Bulan April – Mei dan Oktober – November merupakan bulan peralihan. Curah hujan maksimal terjadi pada bulan September setiap tahunnya. Tabel 7 menyajikan karakteristik iklim di perairan Jakarta. Informasi tentang karakteristik iklim di perairan Jakarta diperlukan sebagai parameter kesesuaian kawasan perairan dalam rangka pengembangan kegiatan usaha perikanan baik itu perikanan tangkap, perikanan budidaya baik budidaya rumput laut maupun budidaya ikan, aktivitas penelitian maupun konservasi yang bertujuan untuk optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan yang berkelanjutan di perairan Jakarta. Tabel 7 Karakteristik iklim di perairan Jakarta No.
Parameter Iklim
Nilai Parameter
1.
Suhu/temperatur harian
24,1 - 32,5 °C
2.
Kecepatan angin
2,5 -3,5 knots
3.
Curah hujan
142,54 mm/tahun
4.
Musim barat
Nopember – Maret
5.
Musim timur
April – Oktober
6.
Bulan curah hujan maksimal
Bulan September setiap tahunnya
7.
Suhu udara maksimum
27,2 – 37,2 oC
8.
Suhu udara minimum
18,2 – 23,1 oC
9.
Kelembaban nisbi
72 – 84 % sepanjang tahun
Sumber : Hasil analisis data lapang (2009) dan BMKG (2009) 4.3 Sosial dan Ekonomi Wilayah Sebagaimana masyarakat yang tinggal di pesisir, masyarakat pesisir Teluk Jakarta seperti di Muara Baru, Kali Baru, Muara Angke, dan Kepulauan Seribu bermata pencaharian sebagai nelayan dan menggantungkan hidupnya sehari-hari dari hasil usaha penangkapan ikan di laut. Kegiatan penangkapan ikan di laut telah dilakukan nelayan secara turun-temurun, namun skala usahanya tidak
62
mengalami perkembangan berarti. Hal demikian terjadi karena adanya kendala baik di bidang penguasaan teknologi, pendidikan, modal dan faktor sosial budaya masyarakat setempat. Disisi lain, potensi perikanan yang ada seharusnya dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat pesisir. Penduduk Kota Jakarta Utara berjumlah 1.452.285 jiwa yang terdiri dari 721.865 jiwa pria dan 730.420 jiwa wanita, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 0,32% hingga tahun 2008. Kabupaten Kepulauan Seribu, hingga tahun 2008 mempunyai jumlah penduduk 19.362 jiwa yang terdiri dari 10.010 jiwa pria dan 9.352 jiwa wanita yang tersebar di dua kecamatan dan terbagi dalam enam kelurahan. Dilihat dari segi ekonomi yang diukur berdasarkan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), total nilai PDRB DKI Jakarta atas dasar harga konstan 2000 pada triwulan III tahun 2009 sebesar Rp 94,18 triliun, sedangkan berdasarkan harga berlaku mencapai sekitar Rp 194,89 triliun, dimana sektor produksi dan jasa menghasilkan nilai tambah bruto terbesar yaitu sektor keuangan-real estate-jasa perusahaan disusul sektor perdagangan-hotel-restoran dan angkutan-komunikasi. Untuk kegiatan ekspor, total nilai ekspor non migas DKI Jakarta pada Januari-Maret 2010 sebesar US $ 1.346,23 juta nilai Free on Board (FOB), dengan konstribusi terbesar berasal dari sektor kendaraaan dan bagiannya, sedangkan ekspor ikan dan udang sebesar US $ 88,4 juta. Eskpor nonmigas memberikan kontribusi sebesar 73.36% terhadap total ekspor DKI Jakarta dimana pada periode Januari-Maret 2010 sebesar US $ 1.829,36 juta (BPS-DKI 2009). Ekspor yang berpengaruh terhadap perekonomian DKI Jakarta adalah ekspor yang produksinya dihasilkan oleh unit usaha yang berdomisili di DKI Jakarta. PDRB DKI Jakarta setiap tahunnya rata-rata kontribusinya terhadap PDRB nasional sebesar 15% (BPS-DKI 2009).
63
4.4 Keragaan Perikanan Tangkap Untuk mendorong iklim investasi di bidang perikanan, baik pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian BUMN serta Kementerian Perhubungan maupun pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membangun dan mengelola berbagai sarana dan prasarana penunjang aktivitas usaha perikanan, diantaranya Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman di Muara Baru sebagai unit pelaksana teknis (UPT) dari KKP, kawasan industri perikanan di Muara Baru yang dikelola oleh Perum Prasarana Perikanan Samudra, TPI Kamal Muara, PPI Muara Angke, TPI Cakung Drain, TPI Cilincing, TPI Kalibaru dan PPI Pulau Pramuka yang dikelola oleh Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Bandara Pulau Panjang di Kepulauan Seribu, Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Sunda Kelapa serta Pelabuhan Khusus Pulau Pabelokan merupakan sarana pendukung utama bagi distribusi produk perikanan baik untuk pasar lokal maupun pasar luara negeri (ekspor).
Kawasan pelabuhan umum dilengkapi pergudangan,
kawasan industri non-perikanan, daerah tangkapan air serta daerah wisata bahari. Dalam rangka menunjang berkembangnya usaha perikanan tangkap, Pemerintah Provinsi DKI membuat kebijakan membentuk UPT Balai Teknologi Penangkapan Ikan (UPT BTPI). UPT BTPI merupakan balai dibawah Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta yang khusus dibentuk guna mendukung dan mengkoordinasikan kegiatan perikanan tangkap di perairan Jakarta. Adapun aksi kerja tersebut adalah : 1) Mendorong perkembangan teknologi permesinan dan kapal ikan serta perkembangan teknologi alat tangkap, penyediaan sarana penunjang yang berfungsi sebagai tempat pelatihan dan pembinaan berupa sarana perbengkelan. 2) Mendorong penciptaan Sumberdaya Manusia (SDM) perikanan yang mampu menjawab tantangan terhadap pengaruh globalisasi, antara lain mampu mengoperasikan kapal penangkap ikan yang modern yang dapat
64
menjangkau wilayah perairan ZEE, yang selama ini dikuasai kapal-kapal asing. 3) Mengkoordinasikan penataan lingkungan di kawasan pesisir Teluk Jakarta sebagai kawasan yang asri yang dapat menjadi modal peningkatan pelayanan dan peningkatan produksi serta untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia perikanan. 4) Mengembangkan kerjasama dengan pihak-pihak yang bergerak dibidang perikanan antara lain: pengusaha dibidang perikanan, lembaga pendidikan dibidang perikanan dan kelautan, dan organisasi yang bergerak dibidang kebaharian. 5) Mengembangkan pelayanan keliling di bidang teknologi penangkapan ikan , permesinan dan perbaikan kapal. Selain faktor kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, beberapa faktor yang memberikan gambaran keragaan perikanan tangkap di perairan Jakarta di uraikan di bawah ini. 4.4.1 Potensi sumber daya ikan Wilayah perairan Jakarta yaitu Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Jawa (WPP-RI 712), sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.01/MEN/2008 (Lampiran 2). Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal PerikananTangkap tahun 2009 potensi di WPP-RI 712 Laut Jawa memiliki total potensi sumber daya ikan sebesar 1130,8 ribu ton/tahun, dengan tingkat pemanfaatan semua kelompok sumberdaya ikan sudah penuh kecuali pelagis besar (DJPT-DKP 2009b). 4.4.2 Produksi perikanan tangkap DKI Jakarta Daerah penangkapan ikan Provinsi DKI Jakarta mencakup perairan Teluk Jakarta dan perairan Kepulauan Seribu. Pada tahun 2008 produksi penangkapan ikan mencapai 144,7 metrik ton (DKPP 2009), memberikan kontribusi sebesar 3% terhadap produksi perikanan tangkap nasional.
65
Keberadaan kawasan Taman Nasional Laut (TNL) di Kepulauan Seribu yang ditetapkan pada tahun 1995 berpengaruh terhadap produksi ikan yang cenderung selalu meningkat, namun peningkatan produksi tersebut diikuti oleh peningkatan jumlah nelayan yang beroperasi di Kepulauan Seribu (Hariyadi 2004).
Perbandingan
hasil
perikanan
tangkap
yang
didaratkan
di
pelabuhan/tempat pendaratan ikan di Jakarta tahun 2007, serta perbandingannya dengan hasil perikanan tangkap yang didaratkan di pantai Utara Jawa dan secara Nasional dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 No.
Hasil perikanan tangkap yang didaratkan di DKI Jakarta, Utara Jawa, dan Nasional pada tahun 2007 Jenis Ikan
Ekor Kuning (Caesio cuning) Bawal Hitam (Formio 2 niger) Selar Bentong (Oxeye 3 scad) Layang (Decapterus 4 spp.) Kakap merah (Lutjanus 5 spp.) Tongkol Abu-Abu 6 (Tunnus tonggol) Kembung (Rastrelliger 7 spp.) 8 Layur (Trichiurus spp.) Kerapu Lumpur 9 (Epinephelus tauvina) Sumber : DKP (2008a) 1
Jumlah yang didaratkan (ton) DKI Jakarta Utara Jawa Nasional 3347
14850
58835
2011
8308
57008
1665
2545
5642
7268
56056
305485
2366
11795
116994
10834
28407
117941
6629
41060
259458
2583
11984
47414
814
903
1117
Jenis ikan tongkol abu-abu dan layur (Tabel 8) merupakan jenis ikan yang berasal dari luar perairan Jakarta, karena ikan yang didaratkan di Jakarta bukan hanya berasal dari hasil tangkapan di perairan Jakarta namun juga berasal dari kapal penangkap ikan dari luar perairan Jakarta, antara lain hasil tangkapan di Laut Jawa, pesisir Jawa Barat, pesisir Utara Jawa yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Selat Malaka, ZEEI Samudera Hindia.
66
Sebagai gambaran produksi ikan luar daerah yang masuk ke tempat pendaratan ikan di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 9, dimana pada tahun 2007, pasokan ikan luar daerah terbesar berasal dari daerah Tegal sebesar 42,6 juta ton. Tabel 9 Volume produksi ikan luar daerah yang masuk ke DKI Jakarta tahun 2004 – 2008 (dalam kg) 2004
Total
2005
2006
2007
2008
6,553,077
7,995,006
65,330,468
86,426,206
56,181,028
TPI Muara Baru
2,181,971
2,387,634
57,735,460
77,903,737
47,909,326
TPI Muara Angke
3,625,562
4,969,376
6,906,787
7,800,164
8,087,962
745,544
637,996
688,221
722,305
183,740
TPI Pasar Ikan
Sumber : DKPP (2009) Sebagian besar hasil tangkapan ikan yang didaratkan di Jakarta, tersebut terdiri dari kelompok ikan pelagis dan ikan demersal. Kelompok pelagis meliputi jenis tuna (Thunnus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus
sp. dan Auxis sp.), tenggiri (Scomberomorus commersoni), kembung (Rastrelliger spp.) dan tembang (Sardinella fimbriata). Ikan demersal meliputi ikan cucut (Charcarinus sp.), layur (Trichiurus spp.), pari (Dasyatis sp.) dan pepetek (Leiognathus sp.). Produksi perikanan tangkap Provinsi DKI Jakarta mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, seperti dilihat pada Tabel 10,
tahun 2004
produksi mencapai 123.869,40 ton dengan nilai mencapai Rp 872.847.442.000, mengalami peningkatan di tahun 2008 menjadi 144.718,17 ton dengan nilai mencapai Rp 1.209.251.491.000. Binatang berkulit keras (crustaceans) dan binatang lunak (molluscs),di Jakarta didaratkan cukup banyak. Menurut DKP (2008), jumlah produksi binatang berkulit keras (crustaceans) pada tahun 2007 mencapai 10.666 ton dari total 44.126 ton di pantai utara Pulau Jawa. Produksi binatang lunak (molluscs) pada tahun 2007 mencapai 7.144 ton dari total 37.159 ton di pantai Utara Pulau Jawa. Binatang berkulit keras (crustaceans), yang cukup dominan didaratkan pada tahun 2007 di Jakarta diantaranya udang putih (1.040 ton), udang windu (1.235 ton), dan kepiting (595 ton). Untuk binatang binatang lunak (molluscs),
67
yang cukup dominan didaratkan pada tahun 2007 di Jakarta diantaranya cumicumi (5.331 ton), sotong (777 ton), dan gurita (736 ton). Tabel 10 Volume dan nilai produksi perikanan tangkap menurut jenis alat tangkap di DKI Jakarta tahun 2004 - 2008 Jenis Alat Tangkap
2004
2005
2006
2007
2008
Nilai Produksi (ribuan Rp)
872,847,442
908,596,977
1,335,029,972
1,540,749,111
1,209,251,491
No
Jumlah Produksi (ton)
1 2
Pukat Tarik Udang Ganda Pukat Tarik Udang Tunggal
3
Payang
4
Dogol
5
Pukat Cincin
6
Jaring Insang Hanyut
7
Jaring Klitik
8
Jaring Insang Tetap
9
Bagan Perahu
10
Bagan Tancap
11
Rawai
12
Pancing Tonda
13
Pancing Yang Lain
14
Sero
15
Bubu
16
Alat Penangkap Kerang
17
Muro Ami
18
Lain-lan
123,869.40
132,023.80
137,569.90
146,240.20
144,718.20
-
-
27.70
-
-
-
-
4.10
-
-
947.90
1,215.50
2,356.20
1,768.50
2,558.80
613.30
774.70
1,343.30
1,403.50
983.60
1,829.80
1,689.30
618.70
6,969.40
6,944.00
48,036.50
47,782.20
16,309.30
12,808.40
43,698.60
-
-
-
-
-
689.50
984.10
143.30
30.30
50.30
-
1,892.10
2,281.80
8,382.20
14,183.30
281.60
217.70
246.80
425.10
246.80
46,840.40
34,489.70
7,593.10
15,472.10
4,921.00
-
130.80
109.20
61.40
109.20
1,428.50
576.60
322.20
168.80
214.10
-
-
-
-
-
2,350.20
1,665.80
1,865.50
1,591.60
2,267.40
-
-
-
-
-
907.70
1,150.00
1,293.80
3,039.70
1,016.80
19,944.00
39,455.30
103,054.90
94,119.20
67,524.30
Sumber : DKPP (2009)
68
Terlepas dari jumlah dan nilai produksi perikanan yang cenderung meningkat, optimalisasi komposisi armada perikanan dan alat tangkapnya perlu diatur disesuaikan dengan daya dukung sumberdaya perikanan di perairan Jakarta. 4.4.3 Jenis alat tangkap yang digunakan Dari 18 jenis alat tangkap yang dikelompokkan dalam statistik DKPP (2009) hanya 13 alat tangkap (termasuk kategori lain-lain) yang digunakan oleh nelayan / pengusaha perikanan tangkap yang berbasis di Teluk Jakarta dan atau Kepulauan Seribu. Jumlah alat tangkap mengalami peningkatan dari sekitar 16.972 pada tahun 2004 unit menjadi 17.917 unit pada tahun 2008 (Tabel 11). Armada penangkapan periode 2004 – 2008 didominasi jenis perahu motor tempel, yaitu sekitar 45 %. Peningkatan jumlah alat tangkap secara signifikan pada alat tangkap rawai dari 294 unit pada tahun 2004 menjadi 2.822 unit pada tahun 2008 (Gambar 8), namun demikian volume produksi menurun tajam di tahun 2008 dari 46,8 ribu ton menjadi 4,9 ribu ton (Tabel 10). Peningkatan jumlah alat tangkap yang diikuti penurunan produksi terjadi pula pada
jaring insang
hanyut, yaitu dari 396 unit pada tahun 2004 meningkat 960 unit pada tahun 2008, akan tetapi produksi menurun dari 48 ribu ton menjadi 43,6 ribu ton. Peningkatan muro ami dari 75 unit di tahun 2004 menjadi 798 unit di tahun 2008, tetapi kenaikan produksi tidak signifikan yaitu dari 0.9 ribu ton meningkat menjadi 1,01 ribu ton.
Lain halnya dengan penggunaan bagan
perahu dimulai sejak tahun 2005 sebanyak 133 meningkat menjadi 553 pada tahun 2008, dengan nilai produksi meningkat signifikan yaitu dari 1,9 ribu ton menjadi 14,2 ribu ton. Penggunaan bagan perahu ini diduga sebagai salah satu cara untuk mensiasati kenaikan BBM pada tahun 2005, karena bagan perahu merupakan jenis penangkap ikan yang statis yang tidak banyak memerlukan BBM. Peningkatan alat tangkap pukat cincin hanya 10 unit dari tahun 2004 sebanyak 269 unit menjadi 279 unit di tahun 2008, namun peningkatannya sangat signifikan dari 1,8 ribu ton tahun 2004 menjadi 6,9 ribu ton 2008. Penurunan jumlah alat tangkap yang signifikan terjadi pada bubu, tercatat pada tahun 2004 terdapat 6893 unit pada tahun 2008 menjadi 4927 unit, akibat
69
pengurangan jumlah bubu angka produksi menurun namun tidak signifikan yaitu dari 2,3 ribu ton menjadi 2,2 ribu ton. Penurunan penggunaan alat tangkap terjadi pada jenis alat tangkap pancing lainnya turun sebesar 41 %, alat tangkap lain-lain turun sebesar 23%, sedang alat tangkap bagan tancap, jaring angkat lainnya mengalami penurunan yang tidak signifikan. Dari kecenderungan yang terjadi di perairan Jakarta pada jumlah alat tangkap dan produksi diuraikan diatas, dapat diartikan bahwa tidak semua alat tangkap yang bertambah jumlahnya akan meningkatkan produksinya secara total, seperti rawai. Untuk alat tangkap payang, pada kurun waktu 2004-2008 terjadi penurunan jumlah alat tangkap namun produksinya meningkat tajam. Tabel 11 Jenis alat tangkap di DKI Jakarta tahun 2004 - 2008 (dalam unit) Jenis Alat Tangkap Payang Dogol Pukat Cincin Jaring Insang Hanyut Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat lain-lain Rawai Pancing yang lain Pancing Tonda Bubu Muro Ami Lain-lain Jumlah
2004
2005
2006
2007
2008
424 361 269 396 136 455 294 1,152 6,893 75 6,517
424 457 269 396 133 136 495 294 1,152 126 6,715 75 6,695
662 457 269 396 133 124 601 2,822 731 126 5,420 641 4,636
662 457 269 396 133 124 648 2,822 766 126 5,420 641 4,974
712 497 279 960 553 124 408 2,822 685 126 4,927 798 5,026
16,972
17,367
17,018
17,438
17,917
Sumber : DKPP (2009) Hasil perhitungan Catch Per Unit Efforts (CPUE) total dari ke enam alat tangkap potensial di perairan Jakarta yaitu payang, jaring insang hanyut, bagan perahu, rawai, bubu dan muro ami untuk periode tahun 2004-2008 digambarkan pada Gambar 8. Gambar 8 menunjukkan bahwa hasil tangkapan per satuan upaya di perairan Jakarta berkecenderungan menurun. 70
Trend CPUE Total 6 Alat Tangkap Potensial CPUE T o ta
15 10 5 0 CPUE total (ton/unit)
2004
2005
2006
2007
2008
11.81
10.35
2.27
4.21
2.74
Tahun
Gambar 8 Trend CPUE tahun 2004-2008. Hasil perhitungan CPUE total dari tahun 2004 sampai 2008 berturut-turut adalah 11,81 ton/trip; 10,35 ton/trip; 2,27 ton/trip; 4,21 ton/trip dan 2,74 ton/trip. CPUE total alat tangkap potensial di perairan Jakarta pada tahun 2004 sebesar 11,81 ton/trip, terus menurun hingga 2,74 ton/trip di tahun 2008. Masing-masing CPUE untuk alat tangkap payang 0,41 ton/trip, jaring insang hanyut 10,9 ton/trip, bagan perahu 5,45 ton/trip, rawai 14,4 ton/trip, bubu 0,01 ton/trip dan muro ami 0,14 ton/trip. 4.4.4 Rumah Tangga Perikanan (RTP)/Perusahaan Perikanan (PP) tangkap yang berbasis di Jakarta Jumlah RTP/PP yang dihitung berdasarkan domisili atau wilayah hukum, dan dihitung berdasarkan jumlah tonnage kepemilikan kapal dimana armada yang dimiliki untuk menangkap ikan maupun yang berbasis di Jakarta bervariasi, mulai dari perahu tanpa motor (jukung dan perahu papan), perahu dengan motor tempel (outboard motor) dan kapal motor (inboard motor). Kapal motor terbuat dari kayu, besi dan beberapa ada yang dilapisi oleh seng plat agar tahan dan kedap terhadap pengaruh air laut. Ukuran kapal motor mulai dari ukuran <5 GT sampai ukuran >1000 GT (Tabel 12).
71
Tabel 12 Jumlah RTP/perusahaan perikanan tangkap di laut menurut kategori besarnya usaha, daerah perairan pantai dan Provinsi (DKI Jakarta, Utara Jawa, dan Nasional) tahun 2007 No.
Kategori Besarnya Usaha
I
Perahu tanpa motor
II
1
Perahu dgn motor tempel (outboard motor) Kapal motor (inboard motor) < 5 GT
2
DKI Jakarta 394
Jumlah (buah) Utara Jawa Nasional 5.483
217.091
770
53.412
170.215
1.361
5.006
106.145
5 – 10 GT
1.067
5.090
26.681
3
10 – 20 GT
573
1.488
7.131
4
20 – 30 GT
325
1.486
4.371
5
30 – 50 GT
26
117
367
6
50 – 100 GT
68
202
498
7
100 – 200 GT
94
190
390
8
200 – 300 GT
24
73
142
9
300 – 500 GT
44
67
140
10
500 – 1000 GT
44
60
98
11
> 1000 GT
64
72
91
III
Sumber : DKP (2008) Berdasarkan data Tabel 12, RTP/PP yang berskala besar relatif lebih banyak berbasis dan/atau berdomisili di Jakarta dibandingkan dengan lokasi lain di Utara Jawa maupun di Indonesia. Hal ini terlihat mulai dari RTP/PP yang memiliki total tonnage 200 – 300 GT, 300 – 500 GT, 500 – 1000 GT, dan >1000 GT masing-masing 24 buah, 44 buah, 44 buah, dan 64 buah, sedangkan yang berbasis di pantai Utara Jawa secara keseluruhan hanya 73 buah, 67 buah, 60 buah, dan 72 buah. Hal ini sebagai indikator bahwa Jakarta banyak dijadikan basis usaha perikanan tangkap karena lokasi yang strategis dan memiliki infrastruktur yang memadai, selain karena Jakarta merupakan pusat ekonomi nasional.
72
4.4.5 Pemasaran produk perikanan tangkap Pemasaran produk perikanan tangkap dari perairan Jakarta termasuk lebih menjanjikan dibandingkan dengan lokasi lainnya di Indonesia. Hal ini karena produk tersebut sangat dekat dengan pasar potensial lokal (DKI Jakarta dan sekitarnya) dan jalur distribusi untuk pasar eksport yang memadai.
Di DKI
Jakarta, eksport hasil perikanan tangkap sangat mudah karena mempunyai bandara internasional (Bandara Soekarno-Hatta) dan pelabuhan internasional (Pelabuhan Tanjung Priok). Ekspor produk perikanan tangkap melalui bandara internasional (Bandara Soekarno-Hatta) dan pelabuhan internasional (Pelabuhan Tanjung Priok) banyak diekspor ke Jepang, Singapura, Hongkong, dan beberapa negara Eropa. Negara maju tersebut mempunyai indeks konsumsi produk hasil perikanan per kapita yang tinggi, yaitu diatas standar FAO dan Jepang mencapai diatas 60 kg per kapita per tahun (FAO 2002 diacu dalam PK2PTM 2005). Di Indonesia, indeks konsumsi ikan perkapita tahun 2007 sebesar 28,28 kg/tahun (Indonesian Fishery Statistic Index 2009), sedangkan di DKI Jakarta memiliki indeks konsumsi ikan perkapita sebesar 23,24 kg/tahun dan sedikit meningkat di tahun 2008 menjadi 23,52 kg/tahun. Bila dibandingkan dengan standar FAO (30 kg/tahun per kapita) Indonesia masih dibawah, tetapi diatas tingkat rata-rata dunia yang hanya 16,6 kg/tahun per kapita (Soenan 2009). Salah satu komponen untuk meningkatkan indeks konsumsi ikan per kapita adalah tingkat produksi perikanan yang didaratkan. Indeks konsumsi ikan per kapita merupakan indikator kecenderungan permintaan pasar lokal dan eksport yang kemungkinan akan meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan tingkat konsumsi masyarakat dunia terhadap produk perikanan yang terus meningkat akibat pertumbuhan penduduk dan membaiknya perekonomian dunia (FAO 1999 diacu dalam DKBU BI 2009). Pada tahun 2030, konsumsi produk perikanan tangkap dunia rata-rata diprediksi meningkat hingga mencapai 22,5 kg per kapita per tahun.
Kondisi ini tentu merupakan pasar
potensial bagi produk perikanan pada umumnya dan khususnya produk perikanan tangkap dari perairan Jakarta, terutama untuk membuka jalur ekspor baru ke negara-negara yang tidak mempunyai produk perikanan hasil laut.
73
4.4.6
Nelayan dan pendapatan nelayan Nelayan merupakan bagian penting dalam kegiatan perikanan tangkap,
karena nelayan merupakan stakeholder
bagi kegiatan produksi perikanan
tangkap. Karena berhubungan dengan produksi, maka mempunyai hubungan positif dengan tingkat produktifitas, sebagai mana produksi perikanan tangkap dari tahun 2004 – 2008 meningkat, jumlah nelayan juga mengalami peningkatan seperti dapat dilihat pada Tabel 13. Pada tahun 2004 jumlah nelayan di DKI Jakarta 24,095 orang meningkat signifikan pada tahun 2008 menjadi 30,091 orang.
Jumlah tersebut pernah
menurun pada tahun 2007 menjadi sekitar 22,690 orang diperkirakan karena kenaikan harga BBM dan kebijakan subsidi BBM untuk kapal perikanan nasional belum direalisasi. Peningkatan tersebut umumnya disebabkan dari meningkatnya nelayan pekerja dengan status nelayan penetap yaitu dari 11,223 orang pada tahun 2004 menjadi 17,036 orang pada tahun 2009, sehingga nelayan pekerja total tahun 2004 dari 18,959 orang meningkat pada tahun 2008 menjadi 25,959 orang. Tabel 13 Jumlah nelayan di DKI Jakarta tahun 2004 -2008 (satuan : orang) Status Nelayan
2004
2005
2006
2007
2008
Nelayan Penetap
14,217
15,742
16,988
14,936
19,460
1. Pemilik
2,994
3,395
3,588
3,484
2,424
2. Pekerja
11,223
12,347
13,400
11,452
17,036
Nelayan Pendatang
9,878
8,294
8,002
7,754
10,631
1. Pemilik
2,142
1,096
1,305
1,758
1,708
2. Pekerja
7,736
7,198
6,697
5,996
8,923
24,095
24,036
24,990
22,690
30,091
1. Pemilik
5,136
4,491
4,893
5,242
4,132
2. Pekerja
18,959
19,545
20,097
17,448
25,959
Jumlah Nelayan
Sumber : DKPP (2009)
74
Pada sisi pendapatan nelayan, dari tahun 2004 hingga 2008 terjadi peningkatan dari Rp 1.100.000 per bulan meningkat menjadi Rp 1.250.000 per bulan pada tahun 2008. Disamping peningkatan pendapatan terjadi pada nelayan tangkap, peningkatan juga terjadi pada petani/nelayan ikan hias, yaitu dari Rp 1.250.000 per bulan pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp 1.600.000.000 per bulan padan tahun 2008. Peningkatan pendapatan juga terjadi pada pengolah ikan hasil tangkapan, yaitu dari Rp 1.500.000 per bulan pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp 1.750.000 per bulan pada tahun 2008. Pada Tabel 14 menyajikan pendapatan nelayan di DKI Jakarta untuk kurun waktu tahun 2004 -2008. Tabel 14 Pendapatan nelayan, petani/nelayan ikan hias, dan pengolah ikan di DKI Jakarta tahun 2004 -2008 (dalam Rp) dan pertumbuhannya (%). Tahun Nelayan/bulan
2004 2005 2006 1,100,000 1,100,000 1,100,000
(%) 2007 2008 1,250,000 1,250,000 11,36
Petani/Nelayan Ikan Hias/bulan Petani Ikan Konsumsi/bulan
1,250,000 1,250,000 1,500,000
1,600,000 1,600,000
1,100,000 1,100,000 1,100,000
1,250,000 1,250,000 11,36
Pengolah Ikan/bulan
1,500,000 1,500,000 1,600,000
1,750,000 1,750,000 11,66
12,8
Sumber : DKPP (2009) 4. 5
Tata Ruang Wilayah Wilayah administratif Kota Jakarta Utara mencakup wilyah perairan Teluk
Jakarta dan wilayah daratan seluas 155,01 km2, secara administratif
dibagi
menjadi enam wilayah kecamatan yaitu Penjaringan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing, Pademangan dan Kelapa Gading serta memiliki 31 wilayah kelurahan. Kabupaten Kepulauan Seribu mencakup wilayah daratan dan lautan dengan sekurangnya 110 pulau. Luas wilayah darat mencapai 11,80 km2, secara administratif dibagi dua wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, dan memiliki enam wilayah kelurahan. Meningkatnya kebutuhan lahan bagi penduduk dan pesatnya kegiatan ekonomi di Provinsi DKI Jakarta sebagai ibu kota negara RI, menjadi salah satu
75
alasan dilakukannya reklamasi pantai di Jakarta Utara. Reklamasi pantai ini menjadi penyebab utama kerusakan habitat pesisir / pantai di beberapa tempat di kawasan Dadap, Muara Angke dan Ancol.
Selain rusaknya habitat pesisir,
perubahan secara fisik juga terjadi yaitu perubahan bentang lahan dan perubahan garis pantai. Perubahan peruntukkan lahan seperti di daerah Muara Angke yang semula merupakan
kawasan ekosistem mangrove telah dikonversi lahannya
untuk peruntukkan lain telah mempunyai dampak significant mempengaruhi habitat di lokasi tersebut (Kusumastanto 2007). Perikanan tangkap berkelanjutan tidak dapat terlepas dari perencanaan tata ruang wilayah di pesisir / pantai Teluk Jakarta, dimana wilayah pesisir / pantai Teluk Jakarta tidak terlepas dari kondisi obyektif dari keseluruhan wilayah Propinsi DKI Jakarta, yaitu : (1) Luas Jakarta 65.000 ha (2) 40% (24.000 ha) daratan rendah di bawah permukaan laut 1 – 1,5 m (3) Dari 40% lahan di bawah permukaan laut, baru seluas 11.500 ha sudah dilayani dengan sistem polder. (4) Daerah tangkapan hujan yang mempengaruhi Jakarta meliputi Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) dengan luas 85.000 ha (5) Air dari hulu mengalir malalui 13 sungai/kali melewati Jakarta menuju laut (Teluk Jakarta) (6) DAS dari sungai/ kali dijadikan tempat hunian sehingga terjadi penyempitan penampungan air hujan (7) Water Ratio baru mencapai 2,41% (target 2010 : 4,92%) (8) Penambahan debit air sungai (run-off air) akibat pembangunan dan perubahan fungsi lahan di Bopunjur dan Jabodetabek yang pesat (9) Eksploitasi air tanah yang berlebihan dan beban bangunan bertingkat menyebabkan terjadinya penurunan tanah yang menambah daerah rawan banjir
76
Perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta sangat dipengaruhi oleh kondisi obyektif di atas, terutama pada daerah hulu sungai, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem perairan Jakarta. Air yang dialirkan, baik itu volume dan kualitasnya mempengaruhi perairan Jakarta antara lain terjadinya sedimentasi di hilir sungai, pencemaran, dan banjir didaerah pesisir/pantai. Oleh karena itu perlu segera direalisasikan rencana tata ruang (RTRW) wilayah Kepulauan Seribu dan pesisir Jakarta Utara secara terpadu. Untuk RTRW Kepulauan Seribu, karena kondisi fisik merupakan gugusan pulau-pulau, maka dalam perencanaan tata ruang wilayah dipengaruhi oleh kondisi perairan saat ini, struktur ruang (jalur-jalur pipa minyak, kabel bawah laut serta rute-rute pelayaran) dan kawasan strategis yang telah ditetapkan sebelumnya (kawasan latihan
militer,
konservasi,
pertambangan,
wisata,
pemukiman
dan
pemerintahan). Saat ini pemerintah DKI Jakarta dalam proses finalisasi Peta RTRW Kabupaten Kepulauan Seribu untuk tahun 2010-2030, sebagai bagian dari RTRW Provinsi DKI Jakarta 2030. 4.5.1 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sesuai dengan Perda No. 1 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012, kebijakan pengembangan tata ruang Provinsi DKI Jakarta adalah : (1)
Menetapkan fungsi Kota Jakarta sebagai kota jasa skala nasional dan internasional;
(2)
Memprioritaskan arah pengembangan kota kearah koridor Timur, Barat, Utara dan membatasi pengembangan ke arah Selatan agar tercapai keseimbangan ekosistem;
(3)
Melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup di dalam penataan ruang dengan mengoptimalkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
(4)
Mengembangkan sistem prasarana dan sarana kota yang berintegrasi dengan sistem regional , nasional dan internasional.
77
Sesuai dengan karakteristik fisik dan perkembangannya, Jakarta dibagi atas 3 (tiga) Wilayah Pengembangan (WP) utama yaitu : (1) WP Utara yang terdiri dari WP Kepulauan Seribu (WP-KS) dan WP Pantai Utara (WP-PU) (2) WP Tengah terdiri dari WP Tengah Pusat (WP-TP), WP Tengah Barat (WP-TB) dan WP Tengah Timur (WP-TT) (3) WP Selatan terdiri dari WP Selatan Utara (WP-SU) dan WP Selatan (WPSS) Wilayah penelitian penulis berada pada WP Utara, dengan kebijakan pengembangan tata ruang sebagai berikut : (1)
WP Kepulauan Seribu (WP-KS), kebijakan pengembangan yang terutama diarahkan untuk meningkatkan kegiatan wisata, kualitas kehidupan masyarakat nelayan melalui peningkatan budidaya laut dan pemanfaatan sumber daya perikanan dengan konservasi ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove.
(2)
WP Pantai Utara (WP-PU), kebijakan meliputi : 1) Pantai Lama : ●
Meningkatkan dan melestarikan kualitas lingkungan Jakarta Utara;
●
Mempertahankan permukiman nelayan;
●
Mengembangkan fungsi pelabuhan dan perniagaan.
2) Pantai Baru : Melalui pengembangan reklamasi yang terpisah secara fisik dari pantai lama dengan kegiatan utama jasa dan perdagangan berskala internasional, perumahan, pelabuhan serta wisata. 4.5.2 Strategi pengembangan tata ruang provinsi Dalam upaya mewujudkan visi dan misi pembangunan daerah, maka strategi pengembangan tata ruang yang ditempuh adalah : (1)
Mengembangkan pemanfaatan ruang secara terpadu dengan pola penggunaan campuran di kawasan prospektif dan sistem pusat kegiatan kota.
78
(2)
Mengembangan sentra-sentra primer baru di Timur, Barat, dan Utara.
(3)
Menata kawasan taman Medan Merdeka untuk bangunan umum pemerintahan, fasilitas umum, dan fasilitas sosial.
(4)
Mengembangkan kawasan pantai utara sebagai kawasan pusat niaga terpadu skala internasional di masa depan.
(5)
Mengembangkan sistem angkutan umum massal sebagai modal angkutan utama antar pusat-pusat kegiatan dan antar bagian-bagian kota.
(6)
Mengembangkan dan mengoptimalkan penataan ruang daerah aliran 13 sungai, situ, waduk, banjir kanal dan lokasi tangkapan air sebagai orientasi pengembangan kawasan sesuai dengan fungsi Wilayah Pengembangan (WP) tempat badan air tersebut berlokasi.
(7)
Mempertahankan dan mengembangkan RTH di setiap wilayah kotamadya baik sebagai sarana kota maupun untuk keseimbangan ekologi kota.
(8)
Mengembangkan dari mengoptimalkan penataan ruang berdasarkan tipologi kawasan.
4.5.3
Pengembangan tata ruang Kota Jakarta Utara dan Kabupaten Adm. Kep. Seribu Visi dan misi Pembangunan Provinsi sebagai mana dimaksud dalam Perda
No.1 tahun 2008, Pasal 4 dan Pasal 5. Misi dan strategi pengembangan tata ruang kota dan kabupaten wilayah penelitian adalah sebagai berikut : (1) Kota Jakarta Utara : - Misi : 1) Mengembangkan Jakarta Utara sebagai kota pantai dan kawasan wisata bahari dengan menjaga kelestarian lingkungannya; 2) Mendukung pengembangan kawasan pelabuhan, industri selektif dibagian Timur dan pusat niaga terpadu
berskala internasional di
bagian tengah Pantura. - Strategi : 1) Mendorong revitalisasi kawasan kota tua sebagai objek wisata dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendukungnya guna mendorong
79
pengembangan pusat niaga baru bertaraf internasional di kawasan reklamasi; 2) Menata kembali kawasan pantai lama secara terpadu dengan pengembangan reklamasi; 3) Mempertahankan kelestarian lingkungan kawasan perairan dan pulaupulau di Kepulauan Seribu; 4) Menata kawasan hilir sungai dengan badan air lainnya sebagai upaya pengendali banjir dengan penyediaan permukiman bagi penduduk sekitar; 5)
Mengembangkan sistem jaringan transportasi darat dan laut untuk angkutan penumpang dan angkutan barang secata terpadu dengan sistem transportasi makro.
(2) Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu - Misi : 1) Mewujudkan wilayah Kep. Seribu sebagai kawasan wisata bahari yang lestari; 2) Menegakkan hukum terkait dengan pelestarian lingkungan kebaharian dan segala aspek kehidupan; 3) Meningkatkan kesejahteraan melalui pemberdayaan masyarakat Kep. Seribu dengan perekonomian berbasis kelautan. - Strategi : 1) Mengembangkan Kep. Seribu sebagai destinasi wisata bahari yang lestari; 2) Pengembangan perekonomian berbasis SDA kelautan; 3) Pengembangan kegiatan perikanan laut; 4) Pembangunan pembangkit listrik tenaga gas.
80