GOAL ORIENTATION, SELF-EFFICACY, DAN PRESTASI BELAJAR SANTRI PESANTREN PERSATUAN ISLAM TAROGONG GARUT
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh: SANTI YUDHISTIRA NIM: 106070002305
FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 H/1432 M
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi yang berjudul “GOAL ORIENTATION, SELF-EFFICACY DAN PRESTASI BELAJAR SANTRI PESANTREN PERSATUAN ISLAM TAROGONG GARUT” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 08 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi. Jakarta, 08 Desember 2010
Sidang Munaqasyah
Dekan/ Ketua Merangkap Anggota
Pembantu Dekan/ Sekretaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D NIP. 130 885 522
Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 19561223 198303 2 001
Anggota
Dra. Zahratun Nihayah, M.Si NIP. 19620724 198903 2 001
Solicha, M.Si NIP. 19720415 1999 03 2 001
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Santi Yudhistira NIM : 106070002305 Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Goal Orientation, SelfEfficacy dan Prestasi Belajar Santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Apapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi tersebut telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan UndangUndang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, 08 Desember 2010
Santi Yudhistira NIM: 106070002305
Motto
“Hayyatuna Kulluhal ‘Ibadah” Setiap langkah hidup kami adalah ibadah (Semboyan UG Pesantren Persis Tarogong Garut)
“Hiduplah dengan sederhana, karena kesederhanaan tidak akan menenggelamkan keistimewaan”
ABSTRAK
(A) FAKULTAS PSIKOLOGI (B) NOVEMBER 2010 (C) Santi Yudhistira (D) Goal orientation, self-efficacy, dan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut (E) XV-84 halaman Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa baik ketika ia berada di lingkungan rumah maupun di sekolah (Syah, 1999: 59). Prestasi belajar siswa meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah goal orientation dan self-efficacy. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa berdasarkan arah goal orientation yang dimiliki siswa, dan hubungan selfefficacy dengan prestasi belajarnya. Menurut Ames, goal orientation disebutkan sebagai gambaran integrasi pola belief yang memiliki peranan penting untuk membedakan pendekatan yang dipakai, cara menggunakan, dan respon terhadap situasi prestasi (dalam Pintrich & Schunk, 2008). Goal orientation bisa merupakan mastery goal berarti siswa berorientasi pada penguasaan materi yang mendalam, mengembangkan keterampilan baru, meningkatkan atau mengembangkan kompetensi, berusaha untuk mencapai sesuatu yang menantang, dan mencoba untuk mendapatkan pemahaman atau wawasan, sedangkan performance goal menyatakan bahwa siswa lebih berorientasi pada kemampuan mereka, dan memperlihatkan kinerja mereka kepada orang lain, dan ingin menjadi yang lebih baik daripada yang lain. Menurut Bandura (1986 dalam Brown, 1998) orang- orang yang memiliki kepercayaan terhadap self-efficacy yang tinggi cenderung punya kemampuan untuk menyelesaikan tugas, dan mencapai tujuan mereka. Begitu pula sebaliknya, orang-orang dengan self-efficacy yang rendah cenderung tidak yakin bahwa mereka punya kemampuan untuk sukses dan mencapai tujuan yang ingin diraih. Self-efficacy terdiri dari level, yaitu level kinerja pada tugas-tugas sulit, generality, yaitu penilaian domain-linked mengungkapkan pola dan tingkat umum dari persepsi orang tentang keberhasilan mereka dan strength, yaitu kekuatan keyakinan dalam kemampuan seseorang (Bandura, 1986: 396).
(F) Teknik pengambilan sampel menggunakan cluster sampling dengan mengocok 12 kelas menjadi 4 kelas. Instrumen yang digunakan adalah skala goal orientation yang terdiri dari 12 item, skala self-efficacy yang berisi 31 item, dan prestasi belajar dari nilai raport. Hasil uji hipotesis menyimpulkan bahwa ada perbedaan prestasi belajar antara santri yang tergolong performance goal orientation dengan santri yang tergolong mastery goal orientation. Dalam hal ini santri dengan mastery goal orientation memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dari pada santri dengan performance goal orientation. Tidak ada hubungan yang signifikan selfefficacy dengan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. Goal orientation dan self-efficacy hanya memberikan kontribusi sebesar 0,7% terhadap variabel prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. Dianjurkan agar peneliti membuat instrumen pengukuran prestasi belajar dan mengujikannya secara langsung kepada sampel, tidak mengambil dari hasil prestasi yang sudah tersedia di lembaga atau individu yang dijadikan sampel (G) 25 (1986-2009)
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaniirrahiim Syukur alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengecap nikmat sehat dan pikiran jernih, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dari perkuliahan di Fakultas Psikologi ini. Shalawat serta salam kepada Nabi junjungan Muhammad SAW. Berkat perjuangan dan bimbingan beliaulah ummat manusia dapat hidup dalam keimanan kepada Allah, jauh dari kesesatan. Penulis sangat berbahagia telah menyelesaikan skripsi yang menjadi syarat kelulusan di Fakultas Psikologi. Penulis berharap skripsi ini bisa menjadi awal prestasi yang baru untuk menghadapi masa depan yang cerah dan gemilang. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak bantuan dan dukungan yang mengalir dari semua pihak yang ada. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bapak Jahja Umar, Ph. D, beserta jajaran kepemimpinannya. 2. Ibu Fadhilah Suralaga dan Ibu Solicha sebagai pembimbing yang tidak pernah lelah memberikan saran dan waktunya untuk penulis. Mereka menjadi inspirasi untuk penulis agar tetap semangat sebanyak apapun kegiatan yang dijalani. Penulis sangat menyayangi keduanya.
3. Pembimbing akademik, Ibu Neneng T.S yang telah memberikan pengarahannya selama penulis berada di Fakultas Psikologi, yang memberikan
banyak
Job
sehingga
pengalaman
penulis
semakin
bertambah. 4. Seluruh pihak Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut, Ustadz. Epul, Ustadz. Gungun, Ibu Teni, dan lainnya sebagai tempat penelitian, juga tempat menimba ilmu dan mengaplikasikan ilmu. 5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi yang telah membantu menyiapkan fasilitas-fasilitas yang memadai. 6. Untuk kedua orang tua tercinta, Ibunda Suarni yang begitu sabar dan tabah, Ayahanda Aceng Sutisna yang begitu gigih dan bijaksana. Tanpa kalian, penulis bukan apa-apa di dunia ini 7. Untuk Kakanda Yenni Handayani dan Fadli yang selalu membimbing penulis kapan saja, dimana saja. Untuk Abang Indra Gunawan yang menyayangi penulis dengan cara berbeda. Penuh canda dan tawa. 8. Spesial untuk Dede Setiawan. Adinda yang selalu ceria dan tidak pernah merasa sendiri di tengah berbagai kekurangan yang dimiliki. Adinda yang menjadi motivasi penulis untuk kuliah di bidang Psikologi. Adinda yang selalu menjadi penyemangat utama saat semangat mulai hilang. “ukhti selalu sayang de awan puteh gleh”.
9. Untuk teman-teman terbaik di Pesantren, Ani, Elis dan suami, Frisa, Bubah, Yasmin, Teh Ai, Latif, dan seluruh teman-teman seangkatan. 10. Untuk teman-teman Imapa PP dan Cabang. Bg Muna, Shona Alfi, Bg Wahyu, Bg Deni, Zul, Bg Nazir, Bg Fadhil, Partai Sleeping beauty, dan teman-teman Cabang. Untuk teman-teman di Garut, Kg Iyus, Kg Kiki, Kg Asep, Omy, Teh Yayah, Aceu, dan Gapensens
yang selalu mampu
melepas penat penulis saat suntuk. 11. Untuk seluruh Mentor Akademik angkatan pertama, Ibu Yunita Faela Nisa dan Ibu Eva sebagai koordinator Laboratorium, teman-teman seangkatan khususnya kelas D, terutama Qky dan Ami. Serta teman-teman seperjuangan skripsi, Fahria, Nadia, Kadek, Ega, dan lainnya. Terima kasih akan kebersamaan yang indah ini. 12. Terakhir ucapan terima kasih terdalam dan spesial untuk Deni Murdiani yang tidak pernah lelah membimbing dan membantu dengan segala upaya. Menjadi penyemangat terbaik yang pernah ada. Semoga Allah selalu meridhoi langkah dan usaha kita. Akhir kata penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang pernah dilakukan. Penulis menyadari banyaknya kekurangan dan kekeliruan baik secara lisan maupun tulisan selama proses pembuatan skripsi ini berlangsung. Semoga karya ini bermanfaat untuk pihak-pihak yang bersangkutan dan menjadi semangat untuk penelitian selanjutnya. Kebenaran hanya milik Allah.
Ciputat, 24 November 2010. Penulis
DAFTAR ISI MOTTO DEDIKASI KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
i ii v vii x xii xiii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan........................................................................ 1 1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah..…………………………………………....… 9 1.2.2 Perumusan masalah………………………………………………… 10 1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………………... 11 1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………………. 12 1.5 Sistematika Penulisan……………………………………………………… 12 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Belajar 2.1.1 Pengertian prestasi belajar…………………………………………. 14 2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar………………... 16 2.1.3 Dimensi-dimensi prestasi belajar…………………………………... 25 2.2 Goal Orientation 2.2.1 Pengertian goal orientation…………………………………………27 2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi goal orientation………………..29 2.2.3 Dimensi-dimensi goal orientation…………………………………. 33 2.3 Self-Efficacy 2.3.1 Pengertian self-efficacy…………………………………………….. 41 2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy…………………… 44 2.3.3 Dimensi-dimensi self-efficacy……………………………………… 48 2.4 Kerangka Berpikir…………………………………………………………. 50 2.5 Hipotesis…………………………………………………………………… 52 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian…………………………………………… 54 3.2 Definisi Variabel…………………………………………………………… 54 3.2.1 Definisi konseptual variabel……………………………………….. 55 3.2.2 Definisi operasional variabel………………………………….…… 56 3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi……………………………………………………………. 57 3.3.2 Sampel………………………………………………………………57 3.3.3 Teknik pengambilan sampel……………………………………….. 57 3.4 Metode Pengambilan Data…………………………………………………. 58 3.5 Teknik Pengambilan Data………………………………………………….. 58
3.6 3.7 3.8
Teknik Uji Instrumen dan Analisis Data……...…………………………… 60 Hasil Uji Instrumen…………………..………………………………….… 61 Prosedur Penelitian………………………………………………………… 63
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian……………………………………….. 65 4.1.1 Gambaran umum responden berdasarkan jenis kelamin…………... 66 4.1.2 Gambaran umum responden berdasarkan kelas………………….… 66 4.2 Deskripsi Data……………………………………………………………… 67 4.3 Kategorisasi Berdasarkan Penyebaran Skor Responden……………………67 4.3.1 Frekuensi responden berdasarkan klasifikasi dimensi goal orientation………………………………………………………..… 67 4.3.2 Kategorisasi self-efficacy responden……………………………….. 69 4.3.3 Kategorisasi prestasi belajar responden……………………………. 69 4.4 Uji Perbedaan Goal Orientation Dengan Prestasi Belajar………………….70 4.5 Uji Korelasi Self-Efficacy Dengan Prestasi Belajar………...……………… 72 4.6 Analisis Regresi Goal Orientation&Seff-Efficacy Dengan Prestasi Belajar..73 BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………………………………………………………………… 75 5.2 Diskusi……………………………………………………………………... 76 5.3 Saran………………………………………………………………..……… 81 5.3.1 Saran teoritis...................................................................................... 81 5.3.2 Saran praktis………………………………………………………...82 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blue print skala goal orientation………………………...……… 59 Tabel 3.2 Skor skala goal orientation………………………………………...… 60 Tabel 3.3 Blue print skala self-efficacy…………………………………….. 60 Tabel 3.4 Skor skala self-efficacy………………………………………….. 61 Tabel 3.5 Blue print skala goal orientaion………………………………..…… 63 Tabel 3.6 Blue print skala goal orientaion ……………………………….. 63 Tabel 3.7 Blue print skala self-efficacy ……………………………………. 64 Tabel 3.8 Blue print skala self-efficacy ……………………………………. 64 Tabel 4.1 Gambaran umum responden berdasarkan jenis kelamin ……….. 68 Tabel 4.2 Gambaran umum responden berdasarkan kelas …………………68 Tabel 4.3 Deskripsi Data (mean dan standar deviasi) ……………………..69 Tabel 4.4 Frekuensi responden berdasarkan klasifikasi dimensi goal orientation …………………………………………………………….70 Tabel 4.5 Kategorisasi self-efficacy responden ………………………….… 71 Tabel 4.6 Kategorisasi prestasi belajar responden ………………………… 71 Tabel 4.7 Mean dan standar deviasi ……………………………………….. 72 Tabel 4.8 Uji Hipotesis Goal Orientation Dengan Prestasi Belajar ………. 73 Tabel 4.9 Korelasi self-efficacy dengan prestasi belajar …………………... 74 Tabel 4.10 Analisis Regresi Goal Orientation & Self-Efficacy Dengan Prestasi Belajar …………………………………………………………………..…. 75 Tabel 4.11 Mean dan standar deviasi ……………………………………… 76 Tabel 4.12 Uji beda prestasi belajar mastery goal orientation dengan goal orientation seimbang ……………………………………………………… 76
Tabel 4.13 Mean dan standar deviasi …………………………………...…. 77 Tabel 4.14 Uji beda prestasi belajar mastery goal orientation dengan goal orientation seimbang ……………………………………………………… 77
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka berpikir …………………………………………………………………………….…
52
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan Belajar merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia untuk membantu mengembangkan seluruh potensinya. Dalam Islam ditekankan bahwa menuntut ilmu merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu dan orang yang menyampaikan ilmu yang dimiliki adalah orang yang bermanfaat. Hal ini terbukti dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah “iqra”yang merupakan perintah untuk membaca. Berbagai macam dalil disampaikan agar manusia selalu memperhatikan kewajibannya sebagai hamba yang senantiasa harus menuntut ilmu. Islam menegaskan bahwa menuntut ilmu tidak sebatas pada usia kanak-kanak dan remaja saja, namun menuntut ilmu adalah kewajiban semua muslim sejak dalam kandungan ibu hingga liang lahat atau ajal menjemput. Ini berarti bahwa belajar merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan sepanjang hidup. Banyak penelitian telah dilakukan tentang bagaimana cara untuk memahami belajar maupun untuk mencari cara-cara belajar yang efektif sehingga orang-orang yang belajar dapat meningkatkan prestasinya. Dengan begitu, kemajuan dunia ilmu pengetahuan semakin pesat dalam berbagai bidang, karena memang belajar menjadi hal utama dalam meningkatkan taraf hidup umat manusia. Semakin maju perkembangan ilmu pengetahuan, semakin tinggi pula tingkat keinginan manusia untuk meningkatkan prestasi dalam belajar, apakah itu
1
untuk menguasai suatu hal atau hanya memperoleh suatu pengakuan dari masyarakat banyak. Prestasi belajar merupakan salah satu tolak ukur seseorang dalam mencapai kesuksesan belajar. Seharusnya, siswa yang memiliki kecerdasan normal atau di atas normal bisa mencapai prestasi yang tinggi dalam belajar apabila tidak ada hambatan dalam mempelajari dan memahami apa yang disampaikan guru. Berbagai sumber belajar juga dapat dicari untuk menambah khazanah keilmuan. Siswa-siswa tersebut dapat menjadi generasi yang dibekali dengan prestasi-prestasi cemerlang untuk menghadapi masa depannya. Mereka juga akan memiliki rasa puas terhadap apa yang telah dicapainya. Hal ini dapat menjadi pemicu untuk terus meningkatkan prestasi dan menjadi manusia yang berkualitas. Bila ditelusuri lebih jauh, dapat diketahui bahwa berprestasi atau tidaknya siswa dalam belajar sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu secara intern maupun ekstern. Faktor-faktor tersebut yang akan menjadi teropong bagi guru dan orang tua untuk memprediksikan prestasi yang mungkin diraih dikemudian hari. Hal-hal yang berpengaruh tersebut dapat menjadi pemicu prestasi belajar seseorang. Dengan adanya perbedaan faktor penguat dalam belajar, menimbulkan adanya perbedaan dalam memandang belajar itu sendiri. Dengan demikian, sikap dan persepsi terhadap belajar untuk menjadi seseorang yang berprestasi akan berbeda pula. Diantara faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah goal orientation. Goal orientation merupakan fokus tujuan yang dimiliki dalam
2
mencapai hasil akhir dalam belajar, apakah siswa menginginkan penguasaan suatu materi
dari
bahan
ajaran
yang
telah
ditetapkan
untuk
meningkatkan
kemampuannya (mastery) atau hanya bertujuan untuk mendapatkan nilai yang memuaskan serta mendapat pengakuan dari orang lain (performance). Siswa yang memiliki tujuan untuk menguasai suatu materi akan cenderung untuk memperkaya keilmuannya dengan mencari sumber lain dan tidak hanya terpaku pada apa yang disediakan oleh guru saja. Siswa tidak segan-segan untuk menghabiskan waktu dan tenaga untuk memenuhi keinginannya dalam menguasai materi tersebut. Sebaliknya, siswa yang berorientasi pada pencapaian nilai yang memuaskan akan merasa puas dengan apa yang telah disediakan oleh guru, namun bukan berarti siswa tidak akan melakukan usaha tambahan di luar sekolah, mereka akan mencari materi tambahan di luar bila menganggap materi yang telah diberikan oleh guru di sekolah kurang membuatnya terakui dan dapat nilai yang memuaskan. Perbedaan goal orientation yang mereka miliki dapat menimbulkan prestasi belajar yang berbeda pula. Siswa dengan mastery orientation akan berhenti belajar bila telah merasa menguasai materi tersebut dengan baik, sedangkan siswa dengan performance orientation akan berhenti belajar bila merasa nilainya sudah baik. Dengan demikian, prestasi yang diperolehpun berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa dengan tujuan pada nilai (performance) tidak selalu memiliki prestasi belajar yang lebih rendah, namun lebih baik lagi apabila kedua jenis goal orientation tersebut dimiliki oleh semua
3
siswa. Dalam penelitiannya, Roebken (2007: 695) menyatakan bahwa siswa yang memiliki kedua bentuk goal orientation, yaitu mastery dan performance memiliki tingkat prestasi akademik yang lebih tinggi dari siswa yang hanya memiliki mastery orientation saja. Berbeda dengan penelitian Mattern (2005: 30) yang menunjukkan bahwa siswa dengan mastery goal orientation memiliki level prestasi belajar yang lebih tinggi dari pada siswa dengan performance goal orientation. Siswa yang mengejar mastery goal lebih cenderung mencari tantangan, menggunakan strategi pembelajaran efektif yang lebih tinggi, termasuk strategi metakognitif, pelaporan dan sikap terhadap sekolah yang lebih positif, dan memiliki tingkat self-efficacy yang lebih tinggi (kepercayaan pada kemampuan diri untuk berhasil dalam situasi tertentu) daripada orang-orang yang mengejar performance goal. Sedangkan
penelitian
Harackiewicz
dan
Elliot
dan
koleganya
menunjukkan bahwa siswa dengan performance goals menunjukkan kinerja dan prestasi yang lebih baik. Siswa tersebut berorientasi untuk bekerja lebih baik dari yang lain dan menunjukkan kemampuan dan kompetensi diri. Sedangkan siswa dengan mastery goals lebih menunjukkan ketertarikan tugas (Pintrich, 2000: 544). Selain goal orientation, faktor internal lain yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah self-efficacy. Menurut Bandura (1986) Self-efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melakukan suatu tindakan yang diinginkan untuk meraih suatu kinerja yang direncanakan (dalam Suprayogi, 2007: 314). Siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi, akan cenderung memiliki prestasi belajar yang tinggi pula, begitu
4
pula sebaliknya, siswa yang memiliki self-efficacy yang rendah akan cenderung memiliki prestasi belajar yang rendah pula. Siswa dengan self-efficacy yang tinggi akan meningkatkan kinerjanya. Konsentrasinya akan lebih terpusat pada bagaimana ia menghadapi tugas-tugas yang diberikan agar dapat diselesaikan dengan baik. Sedangkan yang
memiliki self-efficacy yang rendah akan lebih
memikirkan bahwa tugas itu sulit, ketidakmampuannya dalam menyelesaikan tugas tersebut, atau rintangan-rintangan berat yang akan ditempuhnya selama mengerjakan tugas yang dibebankan kepadanya. Lambat laun pikiran-pikiran tersebut akan membuat kinerjanya lemah dan menurunkan prestasi yang dapat diraihnya. Secara ideal, siswa yang berangkat ke sekolah memiliki tujuan untuk mencapai prestasi belajar yang memuaskan untuk dirinya, keluarga, maupun untuk sekolah itu sendiri. Disana siswa memerlukan self-efficacy untuk menguatkan dirinya dalam menghadapi tugas-tugas dalam belajar, maupun tugastugas perkembangannya yang sedang dihadapi. Self-efficacy yang dimiliki seseorang dapat mempengaruhi cara berpikir dan memahami serta memotivasi belajar dan menghadapi tantangan dalam belajar. Dalam penelitian Pintrich dan Groot (1990) dikemukakan bahwa murid yang memiliki self-efficacy tinggi menggunakan strategi belajar dan kognitif yang bervariasi (dalam Mutiah, 2006). Self-efficacy individu mengalami dinamika seiring dengan bertambahnya usia. Self-efficacy dapat mempengaruhi seseorang mencapai prestasi yang tinggi dalam belajar, dapat juga mempengaruhi kekuatan
5
seseorang dalam menghadapi tugas-tugas yang ada selama proses belajar. Selfefficacy juga menentukan seberapa besar usaha yang dilakukan dalam menghadapi tugas dan mencapai hasil yang maksimal. Dalam penelitian Yahrini dan Hawadi (2008) tentang bagaimana hubungan self-efficacy dengan kematangan karir menunjukkan adanya korelasi positif antara self-efficacy yang dimiliki siswa percepatan belajar dengan kematangan karirnya. Semakin tinggi total skor self-efficacy siswa, maka semakin tinggi pula skor kematangan karir yang dimiliki. Self-efficacy memberikan sumbangan sebesar 46.7% terhadap kematangan karir siswa. Dengan kata lain, siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan mampu memilih karir dengan baik, hal ini senada dengan pendapat Seligman (dalam Yahrini dan Hawadi, 2008) yang mengatakan bahwa salah satu ciri kematangan karir seseorang adalah selfefficacy. Keyakinan individu bahwa dirinya dapat melaksanakan tugas yang dibebankan padanya, akan memberi sumbangan energi yang positif terhadap dirinya untuk melakukan tugas tersebut secara maksimal. Semakin tinggi selfefficacynya, maka semakin tinggi kekuatannya untuk mengerjakan tugas. Begitu pula dengan hasilnya akan menunjukkan ke arah yang lebih baik. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Mutiah (2006) tentang hubungan self-efficacy dengan prestasi belajar menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan prestasi belajar. Mahasiswa dengan self-efficacy yang tinggi akan senantiasa berusaha untuk mencapai prestasi yang diinginkan walaupun harus melalui berbagai pengorbanan, seperti belajar sepanjang waktu,
6
menghabiskan waktu di internet untuk membaca buku yang relevan, maupun mengakses internet untuk membuka situs yang sesuai dengan apa yang sedang dicari. Namun pada kenyataannya, tidak semua siswa memiliki tingkat selfefficacy yang sama sehingga berbeda pula kemampuan siswa dalam menghadapi tugas-tugas. Hal ini disebabkan karena pengalaman-pengalaman siswa yang berbeda, kondisi emosi yang berbeda dan kondisi lingkungan dan pergaulan yang berbeda pula. Lingkungan siswa yang berbeda-beda menyebabkan pergaulan dan orang-orang yang ditemui juga berbeda-beda, hal ini dapat menimbulkan pengalaman yang juga berbeda antara masing-masing siswa. Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, peneliti ingin meneliti kembali goal orientation dan self-efficacy dalam hubungannya dengan prestasi belajar. Dalam penelitian ini peneliti ingin meneliti santri di Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut yang merupakan salah satu pesantren dengam konsep modern. Muatan pelajaran agama dan pelajaran umumnya memiliki porsi waktu yang sama. Siswanya biasa disebut dengan santri. Selayaknya sebuah pesantren, Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut ini juga memiliki asrama untuk santrinya yang dikelola di bawah lembaga yang sama dengan sekolah. Di asrama, para santri juga memiliki kegiatan-kegiatan pengembangan diri dan keilmuan lainnya dengan konsep berbeda dari kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Hal yang menarik dari pesantren ini adalah tidak semua santri diwajibkan untuk tinggal di asrama. Asrama disediakan bagi santri yang jauh dari keluarganya. Sedangkan bagi santri yang memungkinkan untuk tinggal bersama
7
keluarganya, diperbolehkan untuk tidak tinggal di asrama. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan berbedanya pengalaman yang dialami di luar jam pelajaran sekolah. Bagi santri yang tinggal di asrama, setelah selesai dari kegiatan sekolah, mereka kembali ke asrama dan mengikuti kegiatan yang ada di asrama. Santri tidak diperbolehkan untuk keluar wilayah asrama kecuali pada waktu-waktu tertentu saja. Dengan demikian, pengalaman yang mereka dapatkan terbatas pada apa yang didapatkan dilingkungan asrama saja. Sedangkan bagi santri yang tinggal di luar asrama, mereka mempunyai kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan lebih banyak. Baik kegiatan untuk mendukung akademis, kegiatan organisasi, atau kegiatan lainnya yang mereka sukai. Tergantung dari pilihan yang diinginkan. Kondisi ini dapat memungkinkan santri memiliki goal orientation yang berbeda-beda. Pendidikan pesantren sebenarnya lebih diarahkan kepada pembelajaran secara mastery. Artinya santri lebih diharapkan untuk dapat menguasai materi yang diberikan, tidak menjadikan nilai sebagai tolak ukur keberhasilan, dan berusaha untuk mendapat pengetahuan sebanyak-banyaknya. Namun pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada santri yang berorientasi pada nilai. Dengan pendidikan keagamaan kuat, santri juga diajarkan untuk memiliki kepercayaan bahwa mereka mampu mengembangkan potensi dan kemampuan yang diberi Allah SWT. Santri diyakinkan untuk dapat menggunakan kemampuan yang ada sebaik-baiknya agar mampu menjadi insan utama dihadapan Allah SWT. Dengan pendidikan seperti ini, santri telah dididik untuk mengembangkan self-efficacy yang dimiliki santri.
8
Pendidikan yang diterapkan di lingkungan pesantren sangat menarik untuk diteliti. Selama ini, kebanyakan penelitian dilakukan di sekolah umum seperti SMA atau SMP. Masih sedikit penelitian yang dilakukan di lingkungan pesantren, padahal, pendidikan yang diterapkan di lingkungan pesantren memiliki karakteristik yang menarik. Pola pendidikan yang diterapkan membuat lingkungan dan budaya pendidikan yang tercipta berbeda. Pesantren yang menerapkan sistem pendidikan untuk mencari keridhoan Allah dan berlomba-lomba menjadi insan utama dapat memacu santri agar memiliki mastery goal orientation dan self-efficacy yang tinggi. Lingkungan seperti ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam apabila dikaitkan dengan goal orientation dan self-efficacy yang dimiliki oleh santri dalam mencapai prestasi belajar. Karena itu peneliti merasa sangat perlu untuk melakukan penelitian lanjutan tentang "Goal Orientation, Self-Efficacy, dan Prestasi Belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong, Garut"
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1. Pembatasan masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Goal orientation yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orientasi tujuan yang dimiliki santri Pesantren dalam belajar yang terdiri dari mastery goal dan performance goal yang diungkapkan melalui skala goal orientation.
9
b. Self-efficacy yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keyakinan santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut terhadap kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melakukan tindakan yang diinginkan untuk mencapai keberhasilan yang diharapkan yang diungkapkan melalui skor-skor dari alat ukur skala selfefficacy c. Prestasi belajar dalam penelitian ini adalah hasil belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut dalam usaha belajarnya yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang diungkapkan melalui skor-skor pada tes prestasi belajar yang diambil dari hasil raport terakhir. d. Penelitian ini dilakukan di Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut kelas XI dan XII tingkat Mualimin (setingkat SMA). 1.2.2. Perumusan masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana klasifikasi goal orientation santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut? 2. Bagaimana tingkatan self-efficacy santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut? 3. Bagaimana tingkatan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut?
10
4. Apakah ada perbedaan prestasi belajar antara santri yang memiliki performance goal orientation dengan santri yang memiliki mastery goal orientation di Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut? 5. Apakah ada hubungan yang signifikan self-efficacy dengan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut? 6. Apakah ada kontribusi goal orientation dan self-efficacy terhadap prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat: 1. Klasifikasi goal orientation santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. 2. Tingkatan self-efficacy santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. 3. Tingkatan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. 4. Perbedaan prestasi belajar antara santri yang memiliki performance goal orientation dengan santri yang memiliki mastery goal orientation di Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. 5. Hubungan self-efficacy dengan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. 6. Kontribusi goal orientation dan self-efficacy terhadap prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut.
11
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: Secara teoritis : dapat memberikan sumbangan bagi disiplin ilmu psikologi khususnya psikologi belajar, berhubungan dengan prestasi belajar siswa yang dipengaruhi oleh goal orientation dan self-efficacy yang mereka miliki.
Secara praktis : dapat menjadi salah satu acuan bagi orang tua dan guru dalam melihat hal-hal yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, sehingga dapat diberikan pengajaran yang sesuai dengan arah keinginan yang dapat meningkatkan semangat belajar dan prestasi siswa.
1.5. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: Bab I
: Pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang permasalahan, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika penulisan.
Bab II
: Tinjauan pustaka, yang terdiri dari: prestasi belajar, goal orientation, self-efficacy, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
Bab III
: Metodologi penelitian, yang terdiri dari: pendekatan dan jenis penelitian, definisi variabel, populasi dan sampel, metode pengambilan data, teknik pengambilan data, dan teknik uji
12
instrumen, hasil uji instrumen dan analisis data, prosedur penelitian. Bab IV
: Hasil penelitian, yang terdiri dari: gambaran umum responden, gambaran klasifikasi goal orientation responden, tingkatan selfefficacy dan prestasi belajar responden, dan uji hipotesis.
Bab V
: Kesimpulan, diskusi, dan saran.
13
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA
Dalam kajian pustaka ini akan dibahas teori-teori mengenai goal orientation, selfefficacy, dan prestasi belajar serta kerangka berpikir berdasarkan asumsi peneliti dan hipotesis-hipotesis yang akan diujikan.
2.1. Prestasi Belajar 2.1.1. Pengertian prestasi belajar Belajar merupakan key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan. Perubahan dan kemampuan merubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar (Syah, 1999: 55). Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam menyelenggarakan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa baik ketika ia berada di lingkungan rumah maupun di sekolah (Syah, 1999: 59). Belajar merupakan suatu perubahan pada diri individu yang disebabkan oleh pengalaman. Terkadang siswa bisa mendapatkan pengetahuan dari guru di kelas atau ketika mereka mencari sesuatu dari apa yang ada di dalam buku (Djiwandono, 2002: 120). Untuk mengetahui berhasil atau tidaknya seseorang dalam belajar, maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui prestasi
14
yang diperoleh siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung. Evaluasi atau penilaian berarti suatu tindakan untuk menentukan nilai sesuatu. Gronlund (1975) mengatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses yang sistermatis untuk menentukan atau membuat keputusan samapai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa (dalam Djiwandono, 2002: 397). Tardif et. al. (1989 dalam Syah, 1999: 175) mengemukakan evaluasi belajar berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi belajar yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Memahami pengertian prestasi belajar secara garis besar harus bertitik tolak kepada pengertian belajar itu sendiri. Untuk itu para ahli mengemukakan pendapatnya yang berbeda-beda sesuai dengan pandangan yang mereka anut. Namun dari pendapat yang berbeda itu dapat kita temukan satu titik persamaan. Adapun hasil dalam kegiatan belajar diartikan sebagai kinerja akademik atau prestasi belajar. Hasil belajar berfungsi untuk mengetahui tingkat kemajuan atau penguasaan yang telah dicapai siswa dalam segala aspek meliputi ranah cipta (prestasi kognitif), ranah rasa (prestasi afektif), dan ranah karsa (prestasi psikomotorik) (Prastiti & Pujiningsih, 2009 : 226). Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat kemampuan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses
15
belajar mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar. Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa. Berdasarkan pengertian yang telah diungkapkan dari beberapa tokoh tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa selama mengikuti proses belajar mengajar yang diungkapkan dalam bentuk angka atau indeks prestasi (raport).
2.1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar Menurut Syah (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi belajar itu sendiri, karena dari faktor-faktor yang mempengaruhi belajarlah muncul siswa-siswa yang high-achiever (berprestasi tinggi) dan under-achiever (berprestasi rendah) atau gagal sama sekali. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar tersebut dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: •
Faktor Internal siswa Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek, yakni:
1) aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah); 2) aspek
psikologis (yang bersifat rohaniah).
16
a. Aspek Fisiologis Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing-pusing kepala misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajaripun kurang atau tidak berbekas. Kondisi organ-organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengaran
dan
penglihatan,
juga
sangat
mempengaruhi
kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan khususnya yang disajikan di kelas. Daya pendengaran dan penglihatan siswa yang rendah akan menyulitkan sensory register dalam menyerap item-item informasi yang bersifat echoic dan iconic (gema dan citra). Akibat negatif selanjutnya adalah terhambatnya proses penyerapan informasi yang dilakukan oleh sistem memori siswa tersebut. b. Aspek Psikologis Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa. Namun, diantara faktor-faktor
tersebut yang dipandang
sangat esensial itu adalah sebagai berikut: 17
•
Inteligensi siswa Inteligensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Tingkat kecerdasan atau inteligensi (IQ) sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna semakin tinggi kemampuan inteligensi seorang siswa, maka semakin besar peluangnya meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan inteligensi seorang siswa, maka semakin kecil peluangnya untuk memperoleh sukses.
•
Sikap siswa Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk bereaksi atau merespon (response tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun secara negatif. Sikap (attitude) siswa yang positif merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut. Selain itu, sikap terhadap ilmu pengetahuan
akan
menimbulkan prestasi yang dicapai siswa kurang memuaskan.
18
•
Bakat siswa Secara umum bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Dengan demikian sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masingmasing. Jadi, bakat itu secara umum mirip dengan inteligensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berinteligensi sangat cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga dengan talented child, yakni anak berbakat. Dalam perkembangan selanjutnya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan. Seorang siswa yang berbakat dalam bidang elektro misalnya, akan jauh lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan dengan bidang tersebut dibandingkan dengan siswa yang lainnya. Inilah yang kemudian disebut bakat khusus (specific aptitude) yang merupakan karunia inborn. Sehubungan dengan hal di atas, maka bakat dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya prestasi belajar bidang-bidang tertentu.
19
•
Minat siswa Secara
sederhana,
minat
berarti
kecenderungan
dan
kegairangan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (1988 dalam Syah, 1999), minat tidak termasuk istilah yang populer dalam psikologi karena ketergantungannya yang banyak terhadap faktor-faktor internal lainnya, seperti: pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan. Namun terlepas dari populer dan tidaknya, minat seperti yang dipahami dan dipakai oleh orang selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang-bidang studi tertentu. •
Motivasi siswa Pengertian dasar motivasi adalah keadaan internal organisme, baik manusia maupun hewan, yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (Energizer) untuk bertingkah laku secara terarah. (Gleitman, 1986; Reber, 1988 dalam Syah, 1999). Dalam perkembangannya, motivasi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1) motivasi intrinsik, 2) motivasi ekstrinsik.
20
Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari dalam diri siswa yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Termasuk dalam motivasi intrinsik adalah perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut. Adapun motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. pujian dan hadiah, tata tertib sekolah, suri teladan orang tua, guru, dan seterusnya merupakan contoh dari motivasi ekstrinsik. Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun bersifat eksternal, akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah. Dorongan
mencapai
prestasi
dan
dorongan
memiliki
pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan, memberi pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan dorongan hadiah atau dorongan keharusan dari orang tua dan guru. •
F aktor self-efficacy Selain dari faktor-faktor yang dikemukakan di atas tersebut, dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif)
21
memainkan peran penting. Faktor person yang ditekankan Bandura ini adalah self-efficacy, yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil positif. Bandura mengatakan bahwa self-efficacy berpengaruh besar terhadap perilaku. Misalnya, seorang siswa yang selfefficacy-nya rendah mungkin tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian karena dia tidak percaya bahwa belajar akan membantunya mengerjakan soal (Santrock, 2007: 286). Bandura percaya bahwa self-efficacy merupakan faktor penting yang mempengaruhi prestasi siswa. Siswa dengan self-efficacy yang tinggi setuju dengan pernyataan “saya tahu bahwa saya akan mampu menguasai materi ini” dan “saya akan bisa mengerjakan tugas ini” (Santrock, 2007: 523). Schunk (1991, 1999, 2001 dalam Santrock, 2007: 523) mengaplikasikan konsep self-efficacy ini pada banyak aspek dari prestasi siswa. Menurutnya, konsep ini mempengaruhi pilihan aktivitas oleh siswa. Siswa dengan self-efficacy yang rendah mungkin menghindari banyak tugas belajar, khususnya yang menantang dan sulit. Sedangkan siswa dengan level selfefficacy yang tinggi mau mengerjakan tugas-tugas seperti itu. Siswa dengan level self-efficacy yang tinggi mungkin lebih tekun berusaha menguasai tugas pembelajaran ketimbang siswa yang berlevel rendah.
22
•
Faktor goal orientation Selain itu, Matuga (2009) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pengembangan yang dapat membantu pencapaian prestasi akademik. Salah satu faktor tersebut adalah persepsi diri siswa sebagai motivasi intrinsik atau ekstrinsik untuk terlibat dalam kegiatan belajar; dalam lingkungan pendidikan yang biasa dikenal siswa sebagai orientasi tujuan atau yang disebut goal orientation (Barron & Harackiewicz, 2001; Elliot & Thrash, 2001 dalam Matuga, 2009). Hal tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan Schunk. Schunk (1996 dalam Brown & Mathews, 2003: 107) memimpin sebuah studi pada setting kelas untuk menyelidiki pengaruh prestasi goal orientation pada suatu bidang kemampuan tertentu. Sama halnya dengan sebuah penelitian pada setting laboratorium, guru memberikan instruksi yang berbeda
untuk
learning
dan
performance
goal.
Hasil
menunjukan bahwa siswa dengan learning goal memiliki motivasi dan orientasi lebih tinggi dari pada siswa dengan performance
goal.
bermacam-macam
Hasil goal
tersebut
yang
ada
menunjukan dalam
kelas
bahwa dapat
mempengaruhi goal perception dan prilaku prestasi akademik. 2. Faktor eksternal siswa
23
Faktor eksternal siswa terdiri dari dua macam, yaitu: faktor lingkungan sosial dan lingkungan non sosial.
a. Lingkungan sosial Lingkungan sosial sekolah sepertu guru, para staf administrasi, teman-teman sekelas, dapat mempengaruhi semangan belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar. Selanjutnya yang termasuk lingkungan sosial siswa adalah masyarakat, tetangga, serta teman-teman sepermainan disekitar perkampungan siswa tersebut. Kondisi masyarakat di lingkungan sosial siswa, dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kondisi belajar siswa ialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat orang tua, praktek pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga dapat memberi dampak baik ataupun buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang akan dicapai oleh siswa. b. Lingkungan nonsosial Faktor-faktor yang termasuk lingkungan non-sosial adalah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal siswa dan keluarga,
24
alat-alat belajar, keadaan cuaca, dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.
3.
F aktor pendekatan belajar Disamping faktor-faktor internal dan eksternal siswa, faktor pendekatan
belajar
juga
dapat
berpengaruh
terhadap
taraf
keberhasilan proses pembelajaran siswa tersebut. Seorang siswa yang terbiasa mengaplikasikan pendekatan belajar deep misalnya, sangat dimungkinkan untuk meraih prestasi belajar yang bermutu dari pada siswa
yang
menggunakan
pendekatan
belajar
surface
atau
reproductive.
2.1.3. Dimensi-dimensi prestasi belajar Pengukuran keberhasilan siswa dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah dengan melakukan evaluasi belajar melalui Tes Prestasi Belajar. Menurut Tardif
(1989 dalam Syah, 1999: 176) evaluasi berarti proses
penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa adalah mengetahui garis-garis besar 25
indikator dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diukur atau diungkapkan. Aspek-aspek dan indikator yang hendak diukur dalam prestasi belajar siswa meliputi: 1. Ranah kognitif Indikator •
Pengamatan: dapat menunjukkan, dapat membandingkan, dapat menghubungkan
•
Ingatan: dapat menyebutkan, dapat menunjukkan kembali
•
Pemahaman: dapat menjelaskan, dapat mendefinisikan dengan lisan sendiri
•
Penerapan: dapat memberikan contoh, dapat menggunakan secara tepat
•
Analisis: dapat menguraikan, dapat mengklasifikasikan
•
Sintesis: dapat menghubungkan, dapat menyimpulkan, dapat mengeneralisasikan (Syah, 1999).
2. Ranah afektif Indikator •
Penerimaan: menunjukkan sikap menerima, menunjukkan sikap menolak
•
Sambutan:
kesediaan
berpartisipasi,
terlibat,
kesediaan
memanfaatkan
26
•
Apresiasi: menganggap penting dan bermanfaat, menganggap indah dan harmonis, mengagumi
•
Internalisasi: mengakui, meyakini, mengingkari (Syah, 1999).
3. Ranah psikomotorik Indikator •
Mengkoordinasikan gerak mata, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya
•
Kecakapan ekspresi verbal dan non verbal: mengucapkan, membuat mimik, gerakan jasmani (Syah, 1999).
2.2 Goal Orientation 2.2.1 Pengertian goal orientation Teori goal orientation dikembangkan secara khusus untuk menjelaskan perilaku prestasi. Teori ini diciptakan oleh ahli psikologi perkembangan, motivasi, dan pendidikan untuk menjelaskan kondisi belajar siswa dan kinerja pada tugas-tugas akademik dan pengaturan sekolah. Dengan demikian, teori goal orientation sangat relevan dengan pembelajaran dan pengajaran. (Anderman & Wolters, 2006; Pintrich, 2000a, 2000c, 2000d dalam Pintrich & Schunk, 2008: 183). Goal orientation adalah tujuan atau alasan untuk terlibat dalam perilaku prestasi (Pintrich, 2003 dalam Pintrich& Schunk, 2008: 184). Berbeda dengan Locke dan Latham's (1990 dalam Pintrich& Schunk, 2008: 184), goal orientation berkaitan dengan mengapa individu ingin
27
didiskusikan tentang fokus pada bagian-bagian yang kemungkinan banyak perbedaan goal yang dapat membimbing perilaku, dan goal orientation tetap terfokus pada tujuan untuk pencapaian tugas (dalam Pintrich & Schunk, 2008: 184). Teori achievement goal menyatakan bahwa individu terlibat dalam kegiatan akademis untuk memenuhi tujuan yang berbeda. Beberapa siswa termotivasi untuk berbuat baik karena mereka ingin mendapatkan nilai "A" dalam belajar, sehingga ingin menunjukkan kepada diri mereka sendiri, rekan mereka, profesor, dan orang tua, bahwa mereka pintar. Beberapa siswa lainnya berusaha menghindari untuk memperlihatkan kepada orang lain ketidakmampuan mereka untuk menjadi sesuatu. Sedangkan siswa lain kurang peduli dengan menunjukkan kemampuan mereka pada orang lain dan lebih fokus dengan pemahaman tentang materi pelajaran dan mengembangkan kemampuan mereka dalam suatu domain atau matery goal (Mattern, 2005: 27). Menurut Stipek (2000), goal orientation merupakan bagian dari faktor kognitif dalam motivasi yang menjadi penggerak bagi individu untuk mendekat dan menjauh dari suatu objek. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa goal orientation merupakan faktor kognitif yang harus dimiliki oleh siswa. Goal orientation mempengaruhi pemilihan aktivitas dalam tugas-tugas akademik dan pemilihan pendekatan belajar (dalam Suprayogi, 2007: 311).
28
Menurut Ames, goal orientation disebutkan sebagai gambaran integrasi pola belief yang memiliki peranan penting untuk membedakan pendekatan yang dipakai, cara menggunakan, dan respon terhadap situasi prestasi (dalam Pintrich & Schunk, 2008: 184). Dua tipe dari goal orientation yang berkaitan dengan aktivitas dalam prestasi yaitu: mastery (atau learning) goal dan performance goal. Ames mengatakan bahwa tipe mastery dan performance ini menunjukkan perbedaan cara mencapai kesuksesan dan perbedaan alasan untuk ketertarikan dalam belajar (dalam Ford, Smith, Weissbein, Gully, & Salas, 1998: 222). Goal orientation adalah alasan mengapa mastery goal dikejar, tidak hanya performance goal (Urdan, 1997 dalam Pintrich & Schunk, 2008: 184). Goal orientation mencerminkan jenis standar dengan mana individu-individu menilai kinerja diri sendiri, keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan (Elliot, 1997; Pintrich, 2000a, 2000C, 2000d dalam Pintrich & Schunk, 2008: 184) Dapat disimpulkan bahwa goal orientation dalam penelitian ini adalah faktor kognitif yang dimiliki siswa yang menggambarkan integrasi pola belief yang dimiliki sehingga dapat membedakan pendekatan belajar yang mereka pakai, cara menggunakan, yang mengarah pada berbagai cara dalam merespon situasi berprestasi. Goal orientation merupakan orientasi yang mewakili keinginan untuk mengembangkan, mencapai, atau menunjukkan kompetensi.
29
Siswa yang memiliki goal orientation yang berbeda dalam belajar, akan memiliki pandangan yang berbeda pula terhadap situasi untuk berprestasi. Dalam penelitian ini, teori dari Ames digunakan sebagai teori utama yang mengatakan bahwa goal orientation dapat dibedakan atas mastery goal dan perfomance goal yang akan dibahas dalam sub selanjutnya.
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi goal orientation Faktor-faktor yang mempengaruhi goal orientation dapat dibagi dalam dua faktor, yaitu faktor pribadi dan faktor lingkungan. 1.
Faktor pribadi •
Penerimaan tujuan: Erez dan Zidon (dalam Suprayogi, 200: 313) mengatakan bahwa jika siswa mau menetapkan tujuan ataupun mau menerima tujuan yang ditetapkan orang lain, motivasi belajar akan muncul.
•
Motivasi berprestasi: Motif ini merupakan motif unidimensi untuk mencapai performa yang sangat baik (Harackiewicz et. Al., 1997 dalam Suprayogi, 2007: 313).
•
Jenis kelamin: Masih banyak pertentangan mengenai jenis kelamin mana yang cenderung mengadopsi goal orientation sehingga penelitian tentang jenis kelamin masih perlu terus
30
dilakukan (Pintrich & Schunk, 1996 (dalam Suprayogi, 2007: 313) •
Self-efficacy: Bandura mengatakan bahwa siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung menetapkan orientasi yang tinggi, tidak takut gagal, dan mampu bertahan ketika menemui kesulitan dalam menguasai tugas yang sedang dikerjakan atau tugas-tugas yang akan dibebankan selanjutnya (dalam Suprayogi, 2007: 313).
2. Faktor lingkungan •
Orang tua: Woolfolk, Locke, dan Latham mengatakan bahwa harapan, aspirasi, dan contoh dari orang tua akan mempengaruhi perkembangan orientasi anak (dalam Suprayogi, 2007: 314).
•
Kelompok etnik : penelitian mengenai hal ini masih sedikit dilakukan, namun ditemukan adanya perbedaan goal orientation dari kelompok etnik yang berbeda (Pintrich & Schunk, 1996 dalam Suprayogi, 2007: 314).
•
Iklim kelas: Ames mengenalkan enam area iklim kelas yang dapat mempengaruhi terbentuknya orientasi yang dimiliki siswa. Keenam area tersebut adalah: 1). Tugas yang harus dikerjakan (Task) 2). Otonomi yang diberikan kepada siswa ketika sedang mengerjakan tugas (Autonomy).
31
3). Pemberian penghargaan bagi prestasi belajar (Recognition) 4). Pengorganisasian kelas sehingga siswa dapat saling bekerja sama dan berinteraksi (Grouping). 5). Pelaksanaan evaluasi (Evaluation) 6). Penggunaan waktu di kelas yang berkaitan dengan penentuan waktu penyelesaian tugas oleh siswa dan fleksibilitas jadwal kegiatan (Time) (dalam Suprayogi, 2007: 314). Schunk (1996 dalam Brown & Mathews, 2003: 107) memimpin sebuah studi pada setting kelas untuk menyelidiki pengaruh prestasi goal orientation pada suatu bidang kemampuan tertentu. Sama halnya dengan sebuah penelitian pada setting laboratorium, guru memberikan instruksi yang berbeda untuk learning dan performance goal. Hasil menunjukan bahwa siswa dengan learning goal memiliki motivasi dan prestasi lebih tinggi dari pada siswa dengan performance goal. Hasil tersebut menunjukan bahwa bermacam-macam goal yang ada dalam kelas dapat mempengaruhi goal perception dan prilaku prestasi akademik. Prestasi goal orientation sangat penting sebagai prediktor hasil belajar siswa pada di lingkungan pendidikan. Para peneliti telah memberikan perhatian yang lebih pada variabel lingkungan kelas yang dibutuhkan
untuk
menguji
learning goal orientation dengan
performance goal orientation (Church, Elliot, & Gable, 2001 dalam
32
Brown & Mathews, 2003: 107). Para peneliti telah menganjurkan sebuah variabel seperti suatu instruksi dan manajemen praktik yang digunakan guru dapat mempengaruhi tipe tujuan prestasi yang dimiliki siswa (Ames & Ames, 1981; Kaplan & Maehr, 1999; Meece, 1991 dalam Brown & Mathews, 2003: 107). Salah satu dari instruksi dan manajemen praktik yang digunakan guru di kelas adalah struktur evaluasi yang digunakan guru pada praktik sehari-hari di kelas. Dari penelitian di atas dapat dilihat bahwa struktur evaluasi belajar yang digunakan di kelas juga dapat mempengaruhi goal orientation. Selanjutnya goal orientation yang berbeda tersebut dapat berpengaruh terhadap motivasi belajar dan prestasi akademik siswa di lingkungan sekolah. Siswa yang memiliki orientasi penguasaan memiliki motivasi dan prestasi belajar yang lebih tinggi dari siswa dengan orientasi pada kinerja. Hasil penelitian ini dapat menunjukan bahwa struktur evaluasi yang digunakan guru di kelas harus di setting sedemikian rupa agar siswa dapat menggunakan goal orientation yang mereka miliki dan kemudian menjadi salah satu faktor yang mendukung prestasi belajar mereka. Walaupun demikian, penelitian dari Printrich yang telah dikemukakan sebelumya juga patut perhatikan. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan hasil bahwa siswa yang memiliki orientasi tujuan ganda akan lebih baik dalam belajar dari pada siswa yang memiliki satu orientasi tujuan saja. Karena dengan demikian, siswa
33
dapat meraih kedua tujuan secara sekaligus. Menguasai materi yang diberikan guru secara mendalam dan mendapatkan nilai yang tinggi pada hasil akhirnya. Hal ini tentu saja lebih baik dari pada siswa yang memiliki satu orientasi tujuan saja.
2.2.3
Dimensi-dimensi goal orientation
Ada banyak teori dimensi goal orientation yang berbeda, tapi dua yang selalu diwakili dalam dimensi goal orientation adalah learning dan performance goal (Dweck & Leggett, 1988; Elliot & Dweck, 1988 dalam Pintrich & Schunk, 2008: 184) yang juga disebut sebagai task involved dan ego-involved goals (Nicholls, 1984 dalam Pintrich & Schunk, 2008: 184), mastery and performance goals, dan task-focused dan ability-focused goals. Ada beberapa perbedaan pendapat di antara para peneliti tentang apakah semua pasangan ini mewakili goals dengan konstruksi yang sama (Nicholls, 1990 dalam Pintrich & Schunk, 2008: 184), tetapi itu merupakan konseptual yang cukup tumpang tindih dalam memperlakukan hal yang serupa. Sebagai contoh, Pintrich dan rekan-rekannya mengukur goal orientation ekstrinsik dimana fokusnya adalah untuk mendapatkan nilai bagus, bersekolah untuk mendapatkan penghargaan dan hak istimewa, atau menghindari masalah, juga dibahas peran goal orientation ekstrinsik dalam belajar dan prestasi. Nicholls dan koleganya menemukan dua goals lain, di
34
luar ego dan task-involved goals, yang mereka namakan work avoidance and academic alienation (Pintrich & Schunk, 2008: 186). Tokoh-tokoh yang berbicara tentang goal orientation mengemukan dimensi-dimensi yang berbeda. Meskipun dimensi yang dikemukakan berbeda-beda, namun inti dari setiap dimensi tersebut hampir sama, yaitu orientasi pada penguasaan dan orientasi terhadap kinerja. Tokoh-tokoh yang mengemukakan teori goal orientation diantaranya (Pintrich & Schunk, 2008: 185) : •
Dweck, dimensi yang dikemukakan adalah learning goal dan performance goal
•
Ames, dimensi yang dikemukakan adalah mastery goal dan performance goal
•
Midgley dan Colleagues, dimensi yang dikemukakan adalah task-focused, performance approach, dan performance avoid
•
Nicholls, dimensi yang dikemukakan adalah task orientation dan ego orientation Berdasarkan beberapa istilah goals yang telah dikemukakan yang
hampir sama maksudnya dalam penelitian ini, peneliti mengambil dimensi dari grand theory yang dikemukakan oleh Ames yang menyatakan bahwa goal orientation memiliki dua dimensi, yaitu mastery goals dan performance goals. 1)
Mastery goals (Orientasi Penguasaan) Mastery goal orientation didefinisikan sebagai fokus pada pembelajaran, menguasai tugas sesuai dengan aturan standar diri atau peningkatan diri,
35
mengembangkan keterampilan baru, meningkatkan atau mengembangkan kompetensi, berusaha untuk mencapai sesuatu yang menantang, dan mencoba untuk mendapatkan pemahaman atau wawasan. Mastery atau performance goals umumnya diukur dengan instrumen laporan diri yang meminta siswa untuk menilai dalam skala tipe Likert berapa banyak mereka setuju dan tidak setuju dengan deskripsi tertentu. Terlihat jelas dari tabel yang telah dikemukakan di atas bahwa ada sedikit tumpang tindih, paling tidak dalam hal pengukuran, istilah yang berbeda antara mastery, learning, dan task orientation (Pintrich & Shcunk, 2008: 184). Menurut Ames (dalam Arias, 2004), hal ini disebut sebagai task goal atau mastery goal. Pintrich (dalam Arias, 2004) mengatakan bahwa jenis ini mengarahkan tujuan siswa ke arah pendekatan pembelajaran yang ditandai oleh kepuasan atas penguasaan atau penyelesaian tugas, dengan tingkat keberhasilan yang lebih besar, nilai tugas, emosi positif, upaya positif, ketekunan yang lebih besar, penggunaan kognitif dan strategi lebih besar, dan berkelakuan baik. Dweck (dalam Arias, 2004) mengatakan bahwa mastery goal memungkinkan
individu
mencari
peluang
untuk
meningkatkan
kompetensi dan menguasai tantangan baru. Siswa yang mengejar mastery goal memperhatikan pengembangan kemampuan mereka dari waktu ke waktu dan memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk menguasai suatu tugas tertentu. Ketika individu dengan mastery goal mengalami kegagalan, mereka menafsirkan peristiwa tersebut sebagai kurangnya
36
upaya atau strategi yang tidak efektif dalam menyediakan informasi mengenai upaya mereka dalam situasi tertentu dan atribut kegagalan. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa mereka yang mengejar mastery goal lebih cenderung mencari tantangan, menggunakan strategi pembelajaran efektif yang lebih tinggi, termasuk strategi metakognitif, pelaporan dan sikap terhadap sekolah yang lebih positif, dan memiliki tingkat self-efficacy yang lebih tinggi (kepercayaan pada kemampuan seseorang untuk berhasil dalam situasi tertentu) daripada orang-orang yang mengejar performance goal (Mattern, 2005). Individu dengan mastery goal fokus pada pengembangan kemampuan yang baru, berusaha untuk memahami tugas mereka dengan baik, sukses dalam mencapai
standar self-referenced (Ford, Smith,
Weissbein, Gully, & Salas, 1998: 222). Siswa yang memiliki mastery goal lebih memfokuskan diri pada belajar dan penguasaan dari isi materi atau tugas (Pintrich, 2000). Anak dengan mastery orientation akan fokus pada tugas ketimbang pada kemampuan mereka, punya sikap positif (menikmati tantangan),
dan
menciptakan
strategi
berorientasi
solusi
yang
meningkatkan kinerja mereka. Siswa dengan mastery orientation sering kali menyuruh diri mereka sendiri untuk memperhatikan, berpikir cermat, dan mengingat strategi sukses dimasa lalu (Anderman, Maehr, & Midgley, 1996 dalam Santrock, 2007: 522). Hal ini senada dengan yang dikemukakan Pintrich (2000) bahwa siswa dengan mastery goals lebih
37
tertarik pada tugas yang diberikan. Siswa dengan mastery orientation percaya bahwa kemampuan mereka bisa diubah dan ditingkatkan (Santrock, 2007: 522).
2)
Performance goals
Kemampuan ini disebut kemampuan berfokus pada tujuan. Performance goal mengarahkan perhatian siswa ke arah kemampuan mereka, dan memperlihatkan kinerja mereka kepada orang lain, seperti fokus mereka pada task goal yang lebih baik daripada yang lain. Secara umum tujuan tersebut dipandang kurang adaptif, jenis motivasi yang berhubungan dengan mereka, efek emosional, kurang menggunakan strategi, dan perilaku yang lebih miskin (Arias, 2004). Performance mendemonstrasikan
goal kompetensi
orientation atau
difokuskan
kemampuan
dan
pada
bagaimana
kemampuan akan relatif dinilai oleh orang lain. Misalnya, mencoba melampaui standar kinerja normatif, mencoba yang terbaik kepada orang lain, menggunakan standar perbandingan sosial, berjuang untuk menjadi yang terbaik dalam kelompok atau kelas pada tugas, menghindari penilaian akan rendahnya kemampuan atau terlihat bodoh, dan mencari pengakuan publik akan tingginya tingkat kinerja. Dalam beberapa ukuran performance goal, orientasi kemampuan relatif digunakan sebagai
38
pengganti dari performance goal atau ego orientation. Namun pengukuran-pengukuran tentang performance dan ego orientation juga tumpang tindih seperti yang dilakukan untuk mastery goals yang berbeda. Performance goal
mendorong orang untuk mencari dan
mempertahankan citra positif kemampuan mereka. Siswa mencapai tujuan ini dengan mengejar salah satu dari dua jenis performance goal. Awalnya performance goal (sebagai keseluruhan) dipandang sebagai maladaptive untuk belajar. Namun, baru-baru ini para peneliti telah mengemukakan bahwa hasil terkait dengan performance goal dikategorikan sebagai approach (menunjukkan kemampuan) yang berbeda dari hasil yang berkaitan dengan performance goal yang dikategorikan sebagai avoidance (menghindari menunjukkan kurangnya kemampuan) (Mattern, 2005). Sebagai contoh, approach performance goal yang terkait dengan hasil yang lebih positif, seperti penggunaan strategi kognitif dan tentu saja pencapaian sementara approach performance goal yang terkait dengan hasil negatif seperti dangkalnya strategi pembelajaran, kinerja yang rendah, perilaku yang tidak baik, merusak motivasi intrinsik. Jika pendekatan performance goal sebenarnya membantu siswa memperoleh prestasi tinggi maka mungkin mengejar keduanya, mastery dan performance goal, secara simultan (orientasi tujuan ganda) adalah goal orientation yang paling adaptif untuk diadopsi oleh siswa (Mattern, 2005). Peneliti melihat performance goal secara umum berkaitan dengan menghindari tantangan, tidak meminta bantuan, dan penggunaan strategi
39
pembelajaran yang dangkal. Namun, baru-baru ini para peneliti di bidang motivasi telah menemukan pendekatan menurut penelitian yang dilakukan oleh Archer, Pintrich, dan Garcia, performance goal berhubungan dengan nilai yang lebih tinggi dan tidak terkait dengan penggunaan strategi belajar yang dangkal, oleh karena itu, siswa dengan performance goal tidak boleh dianggap sebagai maladaptive (Mattern, 2005). Penelitian harus lebih banyak dilakukan untuk menentukan bahwa approach performance goal sebenarnya dapat menguntungkan bagi semua siswa di semua situasi. Performance goal bisa memprediksi pencapaian nilai tinggi dengan lebih baik dari pada siswa dengan mastery goal. Selain itu, jika performance goal memprediksi pencapaian tujuan dan penguasaan hasil. Siswa lebih baik memiliki performance goal dan mastery goal (orientasi tujuan ganda) sekaligus dari pada hanya salah satu diantaranya (Mattern, 2005). Penelitian telah menunjukkan bahwa orientasi tujuan ganda dapat mempromosikan belajar dengan hasil positif bagi siswa. Mastery goal membantu mempromosikan prestasi, sedangkan performance goal yang lebih tinggi bekerja untuk mempromosikan tingkat kinerja. Ketika mastery goal digabungkan dengan pendekatan performance goal siswa tidak hanya memiliki keinginan untuk meningkatkan kompetensi mereka, tetapi juga untuk menunjukkan kemampuan mereka, dengan demikian kinerja yang baik dalam situasi evaluatif (Mattern, 2005).
40
Penelitian terbaru terhadap teori goals telah mengembangkan sebuah perbedaan penting dalam performance goals. Elliot, Harackiewicz, dan rekan-rekan mereka telah membedakan approach performance goals dengan avoidance performance goals. Pengaruh tersebut dapat memotivasi individu untuk mengungguli orang lain dan menunjukkan kompetensi dan keunggulan,
yang
mencerminkan
approach
performance
goals.
Sebaliknya, individu dapat dimotivasi untuk menghindari kegagalan dan tampak tidak kompeten dengan avoid performance goals (Pintrich & Schunk, 2008). Performance goals lebih memperhatikan hasil dari pada proses. Bagi siswa yang berorientasi kinerja atau prestasi, kemenangan atau keberhasilan itu penting dan kebahagiaan dianggap sebagai hasil dari kemenangan atau keberhasilan. Bagi siswa dengan mastery goals yang penting adalah mereka sudah berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya. Siswa dengan mastery goals tetap berharap berhasil atau menang, tetapi bagi mereka kemenangan itu tidak sepenting dengan apa yang dibayangkan oleh siswa dengan performance goals (Santrock, 2007: 523). Siswa dengan performance goals yang tidak percaya pada kesuksesannya akan menghadapi problem tersendiri (Stipek, 2002 dalam Santrock, 2007: 523). Jika mereka berusaha lalu gagal, mereka sering menganggap kegagalan itu sebagai bukti dari kemampuan yang rendah. Apabila mereka tidak mencoba, mereka dapat memberikan penjelasan
41
alternatif atas kegagalan mereka yang dapat diterima secara personal. Dilema ini membuat siswa melindungi diri mereka dari kesan tidak pandai, tetapi upaya ini akan mengganggu pembelajaran mereka dalam jangka panjang (Covington, 1992 dalam Santrock, 2007: 523). Untuk menghindari kesan tidak mampu, beberapa murid tidak mau mencoba, atau menipu. Yang lainnya mungkin menggunakan strategi lain seperti menghindari, mencari-cari alasan, bekerja setengah hati, atau menentukan tujuan yang tidak realistis (Santrock, 2007: 523).
2.3. Self-Efficacy 2.3.1 Pengertian self-efficacy Bagaimana orang bertingkah laku dalam situasi tertentu tergantung pada resiprokal antara lingkungan dengan kondisi kognitif. Khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinan bahwa dia mampu atau tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan. Bandura menyebut keyakinan atau harapan diri ini sebagai self-efficacy (Alwisol, 2004). Beberapa definisi self-efficacy menurut beberapa tokoh adalah: • Menurut Bandura, self-efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melakukan suatu tindakan yang diinginkan untuk meraih suatu kinerja yang direncanakan (Suprayogi, 2007). • Penilaian seseorang akan dirinya atau kemampuannya yang berkaitan dengan tindakannya (Yahrini & Hawadi, 2008)
42
• Menurut Bandura (dalam Lane, Lane, & Kyprianou, 2004), self-efficacy dapat didefinisikan sebagai level-level kepercayaan diri yang dimiliki individu tentang kemampuan yang mereka miliki untuk menjalankan keyakinan dari usaha atau prestasi yang dihasilkan. Self-efficacy yang positif merupakan keyakinan untuk mampu melakukan perilaku yang dimaksud. Tanpa self-efficacy orang bahkan enggan melakukan suatu perilaku. Menurut Bandura (dalam Friedman& Schustack, 2006), self-efficacy menentukan apakah kita akan menunjukkan perilaku tententu. Sekuat apa kita dapat bertahan saat menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana kesuksesan dan kegagalan dalam satu tugas tertentu mempengaruhi perilaku kita di masa depan. Konsep self-efficacy berbeda dengan locus of control karena self-efficacy adalah keyakinan bahwa kita mampu melakukan suatu perilaku dengan baik, sedangkan locus of control lebih pada keyakinan mengenai kemungkinan suatu perilaku tertentu mempengaruhi hasil akhir. Dalam hubungannya dengan proses belajar di sekolah, Thomas dan Rohwer (dalam Suprayogi, 2007) mendefinisikan self-efficacy sebagai tingkat dimana siswa yakin bahwa mereka dapat mengontrol hasil belajar mereka. Menurut Bandura (1986 dalam Brown, 1998) Orang orang yang percaya bahwa mereka punya kemampuan untuk meraih kesuksesan sangat berpengaruh kuat terhadap proses self-regulation mereka. Orang- orang yang memiliki kepercayaan terhadap self-efficacy yang tinggi cenderung punya kemampuan untuk menyelesaikan tugas, dan mencapai tujuan mereka. Begitu
43
pula sebaliknya, orang-orang dengan self-efficacy yang rendah cenderung tidak yakin bahwa mereka punya kemampuan untuk sukses dan mencapai tujuan yang ingin diraih. Self-efficacy
memprediksi peningkatan kegigihan dalam mencari
solusi, tingkat pencapaian kognitif yang lebih tinggi, dan hasil lebih intrinsik dalam
kegiatan-kegiatan
yang
sebelumnya
disukai.
Analisis
regresi
menunjukkan bahwa self-efficacy memberikan kontribusi untuk perilaku prestasi di luar efek keterampilan kognitif. Hal ini konsisten dengan temuan Collins (1982) yang menunjukkan bahwa self-efficacy yang dirasakan sebagian keterampilan independen kognitif, tetapi memberikan kontribusi signifikan terhadap kinerja yang membutuhkan keterampilan tersebut. (Covington & Omelich, 1979 dalam Bandura, 1986: 431) Sedangkan orang dengan self-efficacy yang rendah, akan cenderung menghindari tugas-tugas yang sulit karena dianggap sebagai ancaman. Orang tersebut memiliki aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap orientasi yang ingin diraih. Orang tersebut akan mengurangi usahanya, cenderung cepat menyerah, dan lambat dalam memulihkan self-efficacy-nya lagi (Suprayogi, 2007). Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena citacita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya dapat dicapai.
44
Sedangkan efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri (Alwisol, 2004).
2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy Perubahan tingkah laku, dalam sistem Bandura kuncinya adalah perubahan self-efficacy. Self-efficacy atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan dan diturunkan (Alwisol, 2004), Self-knowledge tentang efikasi seseorang, didasarkan pada empat sumber utama, yakni pengalaman menguasai suatu prestasi (performance accomplishment/ performance attainments), pengalaman orang lain (Vicarious Experience), persuasi sosial (social
persuation/
verbal
persuasion),
pembangkitan
emosi
(Emotional/physiological states) (Bandura, 1986) 1. Pengalaman performansi Pengalaman performansi adalah prestasi yang pernah dicapai di masa lalu. Sebagai sumber, performansi masa lalu menjadi pengubah self-efficacy yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi di masa lalu yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedangkan kegagalan akan menurunkan self-efficacy. Mencapai keberhasilan akan memberi dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya yang diantaranya adalah (Alwisol, 2004): ∗
Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi semakin tinggi
∗
Kerja sendiri lebih meningkat efikasi dibandingkan kerja kelompok, atau dibantu orang lain.
45
∗
Kegagalan menurunkan efikasi, kalau orang merasa sudah berusaha sebaik mungkin.
∗
Kegagalan dalam suasana emosional/stress, dampaknya tidak seburuk bila kondisinya optimal
∗
Kegagalan setelah seseorang memiliki efikasi yang kuat, dampaknya tidak seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang keyakinan efikasinya belum kuat.
∗
Orang yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak mempengaruhi efikasi. Setelah memiliki self-efficacy yang kuat dapat dikembangkan melalui
mengulangi keberhasilan. Kegagalan kadang-kadang tidak memiliki pengaruh banyak terhadap penilaian dari kemampuan seseorang (Bandura, 1986: 399). 2. Pengalaman orang lain Vicarious experiences diperoleh melalui model sosial. Self-efficacy akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya selfefficacy akan menurun ketika mengamati orang yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figur yang diamati berbeda dengan diri si pengamat, pengaruh orang lain tidak besar. Sebaliknya ketika mengamati figur yang setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan oleh figur yang diamatinya itu dalam jangka waktu yang lama (Alwisol, 2004). Penilaian self-efficacy sebagian dipengaruhi oleh pengalaman orang lain. Melihat atau memvisualisasikan orang lain melalui pengamatan berhasil meningkatkan persepsi diri tentang keberhasilan bahwa mereka juga memiliki
46
kemampuan untuk menguasai kegiatan yang sebanding (Bandura, Adams, Hardy, & Howells, 1980; Kazdin, 1979 dalam Bandura, 1986: 399). Pengalaman orang lain dapat meyakinkan diri bahwa jika orang lain bisa melakukannya, maka harus mampu mencapai hal yang sama setidaknya beberapa peningkatan kinerja (Bandura, 1986: 399). Self-efficacy dapat diubah dengan mudah oleh pengaruh model yang relevan ketika orang telah memiliki pengalaman sebelumnya yang menjadi dasar evaluasi kompetensi pribadi mereka (Bandura, 1986: 399-400). Melihat orang lain yang mirip dengannya berhasil dalam suatu kinerja dapat meningkatkan keyakinan pada diri pengamat bahwa ia juga memiliki kemampuan untuk menguasai kegiatan yang serupa (Yahrini & Hawadi, 2008). 3. Persuasi verbal/Persuasi sosial Persuasi verbal secara luas digunakan untuk mencoba membujuk orang mempercayai bahwa mereka memiliki kemampuan yang akan memungkinkan mereka untuk mencapai apa yang mereka cari. Sosial persuasi saja mungkin terbatas pada kekuatannya untuk peningkatan self-efficacy, tetapi dapat memberikan kontribusi terhadap kinerja sukses jika penilaian ada dalam batasbatas yang realistis. Orang-orang yang membujuk secara lisan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menguasai tugas-tugas yang diberikan cenderung memobilisasi upaya berkelanjutan yang lebih besar daripada jika mereka memiliki keraguan diri (Bandura, 1986: 400).
47
Self-efficacy juga dapat diperoleh, diperkuat dan dilemahkan melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas. Tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi self-efficacy. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan (Alwisol, 2004). 4. Keadaan emosi Sebagian orang mengandalkan informasi dari keadaan fisiologis mereka dalam menilai kemampuan mereka (Bandura, 1986: 401). Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi self-efficacy di bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stress, dapat mengurangi self-efficacy. Namun bisa terjadi, peningkatan emosi yang tidak berlebihan, dapat meningkatkan self-efficacy. Perubahan sumber tingkah laku akan terjadi kalau sumber ekpektasi Self-efficacy berubah. Pengubahan Selfefficacy banyak dipakai untuk memperbaiki kesulitan dan adaptasi tingkah laku orang yang mengalami berbagai masalah behavioral.
2.3.3. Dimensi-dimensi self-efficacy Menurut Bandura, teori self-efficacy memiliki beberapa dimensi yang mempunyai implikasi kinerja penting, yaitu, level/magnitude, generality, dan strength (Bandura, 1986: 396). 1. Level/Magnitute Level kinerja pada tugas-tugas sulit lebih dominan kemampuan dasar ketika banyak usaha yang telah diberikan dalam kondisi yang kondusif
48
dengan kinerja maksimum. Kegagalan dalam kondisi tertentu menandakan kemampuan yang terbatas. Individu yang mengalami kegagalan secara berkala tapi terus meningkatkan usaha dari waktu ke waktu lebih cenderung untuk meningkatkan keberhasilan (Bandura, 1986: 402). 2. Generality Orang mungkin menilai diri sendiri berfungsi efektif hanya di wilayah tertentu atau di berbagai kegiatan dan situasi. Penilaian domain-linked mengungkapkan pola dan tingkat umum dari persepsi orang tentang keberhasilan mereka (Bandura, 1986: 396). Penulis menyimpulkan bahwa dimensi ini menjelaskan bahwa self-efficacy yang dimiliki seseorang merupakan self-efficay pada bidang yang umum, tidak terbatas pada satu bidang kemampuan tertentu saja. 3. Strength Lemahnya persepsi diri tentang keberhasilan mudah dinegasikan oleh pengalaman, sedangkan orang-orang yang memiliki keyakinan yang kuat dalam kompetensi mereka sendiri, akan bertahan dalam mengatasi upaya mereka meskipun kesulitan yang dihadapi meningkat. Oleh karena itu, tingkat kesesuaian antara penilaian self-efficacy dan performa akan bervariasi, tergantung pada kekuatan keyakinan dalam kemampuan seseorang. Semakin kuat self-efficacy dirasakan, semakin besar kemungkinan orangorang untuk memilih tugas yang menantang. Semakin lama mereka
49
konsisten pada tugas-tugas yang sulit, semakin besar kemungkinan mereka untuk berhasil dalam hal tersebut. Kekuatan self-efficacy belum tentu berhubungan linier dengan pilihan perilaku (Bandura, 1986: 396-397). Analisis efektivitas paling informatif membutuhkan penilaian rinci dari level, generality, dan strength dari self-efficacy dirasakan sepadan dengan kekhususan dan presisi dengan kinerja yang diukur. Dalam studi banding, sebagian pengukuran tentang persepsi diri dari efektifitas melampaui ukuran keberhasilan global dalam penjelasan dan prediksi (Barrio, 1985; Kaplan, Atkins, & Reinsch, 1984; McAuley & Gill, 1983; Walker & Franzini, 1983, dalam Bandura, 1986: 397). Sedangkan menurut Mutiah, indikator-indikator dari self-efficacy adalah sebagai berikut: 1. Jenis dan tingkat kesulitanya 2. Informasi tentang kemampuan diri 3. Task commitment dalam mengerjakan tugas 4. Memiliki sikap yang positif 5. Berpikir realistis dan berani mengambil resiko 6. Menggunakan cara belajar yang efektif 7. Pengalaman orang lain dan diri sendiri 8. Hubungan dengan orang lain dan lingkungan sekitar (Mutiah, 2006)
2.4. Kerangka Berpikir
50
Pada dasarnya, semua siswa memiliki kesempatan untuk memperoleh prestasi belajar yang memuaskan, namun hal tersebut perlu didukung oleh berbagai faktor. Diantara faktor-faktor tersebut adalah goal orientation dan self-efficacy. Goal orientation bisa merupakan mastery goal berarti siswa berorientasi pada penguasaan materi yang mendalam, mengembangkan keterampilan baru, meningkatkan atau mengembangkan kompetensi, berusaha untuk mencapai sesuatu yang menantang, dan mencoba untuk mendapatkan pemahaman atau wawasan, sedangkan performance goal menyatakan bahwa siswa lebih berorientasi pada kemampuan mereka, dan memperlihatkan kinerja mereka kepada orang lain, dan ingin menjadi yang lebih baik daripada yang lain. Siswa yang memiliki goal orientation, baik mastery goal atau performance goal tetap dapat memiliki prestasi belajar yang tinggi. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi belajar siswa selfefficacy yang meliputi level atau tingkat kesulitan tugas, generality atau kemampuan secara umum, dan strength atau kemampuan siswa dalam menghadapi tugas-tugas belajar yang diberikan. Apabila self-efficacy dalam belajar yang dimiliki tinggi, maka dapat meningkatkan prestasi belajar, sebaliknya, apabila self-efficacy dalam belajar yang dimiliki rendah, maka hal tersebut memungkinkan terjadinya penurunan prestasi belajar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Schunk menunjukkan bahwa siswa dengan mastery goal memiliki motivasi dan prestasi lebih tinggi dari pada siswa dengan performance goal. Hasil tersebut menunjukkan bahwa bermacam-macam
51
goal yang ada dalam kelas dapat mempengaruhi goal perception dan prilaku prestasi akademik. Namun, Penelitian-penelitian terbaru seperti yang dilakukan oleh Pintrich dan Arias mengenai goal orientation mengatakan bahwa siswa dengan performance goal belum tentu memiliki prestasi yang buruk. Siswa tersebut dapat memiliki prestasi belajar yang tinggi, terlebih lagi apabila performance goal juga diiringi dengan adanya mastery goal sekaligus. Maka tidak dapat divonis bahwa siswa yang memiliki performance goal memiliki prestasi belajar yang lebih rendah dari pada siswa yang memiliki mastery goal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jahja dkk (2009) mengenai prestasi belajar, ditemukan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh self-efficacy yang mereka miliki. Siswa yang memiliki self-efficacy yang rendah cenderung memiliki prestasi yang rendah pula. Diduga siswa yang memiliki perbedaan antara mastery goal dengan performance goal akan memiliki prestasi belajar yang berbeda pula, namun belum dapat dipastikan dimensi mana yang memiliki prestasi yang lebih tinggi. Sedangkan, siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi diduga dapat memiliki prestasi belajar yang tinggi. Sebaliknya, siswa yang memiliki self-efficacy yang rendah akan memiliki prestasi belajar yang rendah pula.
Bagan 2.1 Kerangka berpikir Goal Orientati
mastery Prestasi belajar52
BELAJAR
performan
2.5. Hipotesis 1. Hipotesis pertama H0
: Tidak ada Perbedaan yang signifikan prestasi belajar antara santri yang memiliki performance
goal orientation dengan santri yang
memiliki mastery goal orientation di Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. Ha : Ada Perbedaan yang signifikan prestasi belajar antara santri yang memiliki performance goal orientation dengan santri yang memiliki mastery goal orientation di Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. 2. Hipotesis kedua H0
: Tidak ada hubungan positif yang signifikan self-efficacy dengan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong, Garut
53
Ha
: Ada hubungan positif yang signifikan self-efficacy dengan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong, Garut
3. Hipotesis ketiga H0
: Tidak ada hubungan positif yang signifikan goal orientation dan selfefficacy dengan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong, Garut
Ha
: Ada hubungan positif yang signifikan goal orientation dan selfefficacy dengan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong, Garut
54
BAB 3 METODE PENELITIAN Dalam metode penelitian ini diuraikan mengenai pendekatan dan jenis penelitian yang digunakan, definisi operasional dari variabel yang diteliti, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, teknik pengambilan data, teknik uji instrumen dan analisis data, hasil uji instrumen, dan prosedur penelitian.
3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu suatu karakteristik dari suatu variabel yang nilai-nilainya dinyatakan dalam bentuk numerikal. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional dan komparatif. Penelitian korelasional digunakan karena penelitian ini dirancang untuk menentukan hubungan antara goal orientation dan selfefficacy dengan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut, sedangkan komparatif digunakan karena penelitian ini dirancang untuk menentukan perbedaan prestasi belajar antara santri yang memiliki mastery goal orientation dengan santri yang memiliki performance goal orientation di Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut.
3.2. Definisi Variabel
55
Berdasarkan landasan teori yang ada serta rumusan hipotesis penelitian, maka dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel terikat dan variabel bebas. Variabel-variabelnya adalah sebagai berikut: 1. Dependen Variabel
: Prestasi belajar
2. Independen Variabel1
: Goal orientation
3. Independen Variabel2
: Self-efficacy
3.2.1 Definisi konseptual variabel 1. Dependen Variabel
: Prestasi belajar
Prestasi belajar merupakan tingkat kemampuan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar 2. Independen Variabel1 : Goal orientation Faktor kognitif yang dimiliki siswa yang menggambarkan integrasi pola belief yang dimiliki sehingga dapat membedakan pendekatan belajar yang mereka pakai, cara menggunakan, yang mengarah pada berbagai cara dalam merespon situasi berprestasi. Goal orientation merupakan orientasi yang
56
mewakili keinginan untuk mengembangkan, mencapai, atau menunjukkan kompetensi.
3. Independen Variabel2 : Self-efficacy Keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melakukan suatu tindakan yang diinginkan untuk meraih suatu kinerja yang direncanakan.
3.2.2 Definisi operasional variabel 1. Dependen Variabel
: Prestasi belajar
Prestasi belajar dalam penelitian ini adalah hasil yang dicapai santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut dalam usaha belajarnya yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang diungkapkan melalui skor-skor pada tes prestasi belajar 2. Independen Variabel1 : Goal orientation Goal orientation yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah orientasi tujuan yang dimiliki santri pesantren dalam belajar yang diungkapkan melalui skor-skor yang didapatkan dari skala goal orientation
yang terdiri dari
mastery goal dan performance goal 3. Independen Variabel2 : Self-efficacy
57
Self-efficacy yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keyakinan santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut terhadap kemampuannya untuk mencapai keberhasilan yang diharapkan yang diungkapkan melalui skor-skor yang didapatkan melalui skala self-efficacy yang terdiri dari level, generality, dan strength.
3.3.Populasi dan Sampel 3.3.1
Populasi
Populasi adalah kumpulan dari individu dengan kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan (Nazir: 271). Populasi dalam penelitian ini adalah santri Muallimin Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut, yaitu kelas XI dan XII yang terdiri dari 12 kelas atau berjumlah 315 santri. Kelas X tidak digunakan karena santri kelas X belum memiliki nilai raport, sehingga tidak dapat dilihat prestasi belajarnya.
3.3.2. Sampel Sampel dalam penelitian ini berjumlah 105 orang, yaitu kelas XI IPS 1, XI IAI 2, XI IPA 2, dan XII IPS 2. Baiky (dalam Sukandarrumi, 2004) mengemukakan bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik, jumlah sampel paling sedikit adalah 30 orang, walaupun diakui juga bahwa banyak penelitian menganggap jumlah
58
sampel sebesar 100 merupakan jumlah minimal, maka peneliti mengambil 105 orang santri sebagai sampel.
3.3.3. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster Random Sampling, yaitu cara pengambilan sampel dimana anggota dari populasi dipilih secara random, artinya semua mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 105 berdasarkan kelas yang terpilih. Cara memilih sampel akan dilakukan dengan membuat kocokan nama-nama kelas dari populasi, kemudian dipilih 4 kelas berdasarkan hasil kocokan.
3.4. Metode Pengambilan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan menggunakan metode skala dan tes prestasi. Metode skala yaitu suatu metode pengambilan data dimana data-data yang diperlukan dalam penelitian diperoleh melalui pernyataan tertulis yang diberikan kepada responden mengenai suatu hal yang disajikan dalam bentuk suatu daftar pernyataan. Tes prestasi diberikan dalam bentuk evaluasi hasil belajar santri mengenai materi yang telah dipelajari. Dalam penelitian ini, peneliti juga akan memberikan skala yang terdiri dari dua bagian, antara lain :
59
a). Bagian pengantar, berisi tentang nama peneliti, tujuan penelitian, kerahasiaan jawaban yang diberikan, dan ucapan terima kasih. b). Bagian isi, berisikan dua alat ukur yaitu goal orientation dan selfefficacy. 3.5. Teknik Pengambilan Data Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner skala Goal Orientation, dan Self-Efficacy, serta Tes Prestasi Belajar. Kedua skala ini menggunakan Skala Model Likert atau dikenal juga dengan The Method of Summated Rating. Kedua skala tersebut disusun oleh peneliti dalam bentuk skala Likert modifikasi yaitu dengan meniadakan katagori jawaban R karena dapat menimbulkan kecenderungan subjek untuk menjawab di tengah terutama bagi subyek yang ragu atas jawabannya. Tes Prestasi Belajar diberikan dalam bentuk soal-soal Multiple Choice dan Essay mengenai materi yang telah dipelajari. 1. Skala goal orientation Skala goal orientation yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk pernyataan dengan alternatif pilihan jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Tabel 3.1 Blue Print Goal Orientation NO.
VARIABEL
PERNYATAAN
1.
Mastery Goal
4, 6, 8, 11, 12,
JUMLAH
10 item
60
13, 20, 15, 17, 19 2.
Performance Goal
1, 2, 3, 5, 7, 9,
10 item
10, 14, 16, 18
Tabel 3.2 Skor skala goal orientation Pernyataan
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Mastery
4
3
2
1
Performance
4
3
2
1
2. Skala self-efficacy Skala self-efficacy yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk pernyataan dengan alternatif pilihan jawaban Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Tabel 3.3 Blue print skala self-efficacy NO
DIMENSI
1.
Level
2
Generality
3.
Strength
PERNYATAAN Favorable Unfavorable 3, 6, 10, 16, 34, 36, 21, 40, 19, 23, 26, 44, 47, 13, 29, 32 42,15 1, 8, 12, 20, 25 35, 39, 43, 46, 17, 22, 33, 36, 41, 45
JUMLAH 18 item
2, 4, 9, 18, 11
10 item
5, 7, 14, 24, 27, 28, 30, 38, 31
19 item
61
Tabel 3.4 Skor skala self-efficacy Pernyataan
Sangat Sesuai
Sesuai
Tidak Sesuai
Sangat Tidak Sesuai
Favorable
4
3
2
1
Unfavorable
1
2
3
4
3.6 Teknik Uji Instrumen dan Analisis Data 1. Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk mengetahui kelayakan butir-butir dalam suatu daftar pernyataan dalam mendefinisikan suatu variabel. Hasil penelitian dianggap valid apabila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Validitas suatu butir pertanyaan dapat dilihat pada hasil SPSS 16 menilai kevalidan masing-masing butir pertanyaan dapat dilihat dari nilai Correled Item-Total Correlation masing-masing butir pertanyaan.
2. Uji Reliabilitas
62
Uji reliabilitas (keandalan) merupakan ukuran suatu kestabilan dan konsistensi responden dalam menjawab hal yang berkaitan dengan konstruk-konstruk pernyataan yang merupakan dimensi suatu variabel. Dalam penelitian ini reliabilitas yang digunakan adalah Alpha Cronbach.
3. Teknik analisis data Teknik analisis data yang digunakan adalah Independent sample T-Test untuk melihat perbedaan prestasi belajar santri yang memiliki mastery goal orientation dengan santri yang memiliki performance goal orientation, Perarson Product Moment Correlation untuk melihat hubungan self-efficacy dengan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong, Garut, Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression) untuk melihat kontribusi variabel goal orientation dan self-efficacy terhadap prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. Cara penghitungannya dibantu dengan menggunakan program SPSS 16 for window. 3.7 Hasil Uji Instrumen 1. Skala goal orientation Skala goal orientation memiliki 20 item pernyataan. Item pernyataan tersebut terdiri dari 10 item mewakili dimensi mastery dan 10 item mewakili dimensi performance. Berdasarkan hasil uji instrumen
didapatkan
8
item
yang
gugur,
yaitu
item
63
8,11,13,16,17,18,19,20. Reliabilitas skala goal otientation adalah 0,768.
Tabel 3.5 Blue Print Goal Orientation NO.
VARIABEL
PERNYATAAN
JUMLAH
1.
Mastery Goal
4, 6, 8, 11, 12,
10 item
13, 20, 15, 17, 19 2.
Performance Goal
1, 2, 3, 5, 7, 9,
10 item
10, 14, 16, 18
Setelah dikurangi item-item yang gugur, maka skala goal orientation menjadi seperti berikut: Tabel 3.6 Blue print skala goal orientation NO.
VARIABEL
1.
Mastery Goal
2.
Performance Goal
PERNYATAAN
JUMLAH
1, 5, 8, 11
4 item
2, 3, 4, 6, 7, 9, 10,
8 item
12
2. Skala self-efficacy
64
Skala self-efficacy memiliki 47 item pernyataan. Berdasarkan hasil uji instrumen didapatkan 16 item yang gugur, yaitu item 1, 3, 6, 8, 12, 13, 16, 21, 25, 26, 27, 28, 29, 34, 40, 46. Reliabilitas skala goal orientation adalah 0,8586.
Tabel 3.7 Blue print skala self-efficacy NO
DIMENSI
1.
Level
2 3.
Generality Strength
PERNYATAAN Favorable Unfavorable 3, 6, 10, 16, 19, 34, 36, 21, 23, 26, 29, 32 40, 44, 47, 13, 42,15 2, 4, 9, 18, 11 1, 8, 12, 20, 25 5, 7, 14, 24, 35, 39, 43, 46, 27, 28, 30, 17, 22, 33, 36, 38, 31 41, 45
JUMLAH 18 item
10 item 19 item
Setelah dikurangi item-item yang gugur, maka skala self-efficacy menjadi seperti berikut:
Tabel 3.7 Blue Print Skala Self-Efficacy NO
INDIKATOR
1.
Level
2
Generality
PERNYATAAN Favorable Unfavorable 6,12, 15, 19 23, 29, 31, 27, 9, 1, 2, 13 1, 2, 5, 11, 7
JUMLAH 9 item 6 item
65
3.
Strenght
21, 25, 28, 10, 14, 20, 22, 26, 30
3, 4, 8, 16, 17, 16 item 24, 18
3.8 Prosedur Penelitian Penelitian ini berjalan dengan melalui dua tahap prosedur penelitian, yaitu tahap persiapan penelitian dan tahap pelaksanaan penelitian. Adapun rinciannya sebagai berikut: 1. Tahap persiapan penelitian a. Merumuskan masalah, menentukan variabel yang akan diteliti, melakukan studi pustaka untuk mendapatkan landasan teoritis yang tepat mengenai variabel tersebut. b. Menyiapkan alat ukur yang akan digunakan untuk pengambilan data. c. Mengurus surat izin penelitian dari Fakultas d. Melakukan loby dengan pihak Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut pada tanggal 28 Agustus 2010. e. Melakukan pengocokan sampel
66
f. Melaksanakan try out pada tanggal 29 Agustus 2010 g. Melakukan uji validitas dan reliabilitas item skala goal orientation dan self-efficacy h. Menyusun kembali skala sesuai dengan validitas item yang telah diuji untuk digunakan dalam field test.
2.
Tahap penelitian a. Melaksanakan field test penelitian pada tanggal 3-5 Oktober 2010 b. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan scoring, input data ke program excel, melakukan uji hipotesis, menginterpretasi hasil yang di dapatkan, dan menyusun Bab IV dan Bab V.
67
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian Subjek penelitian ini sebanyak 105 orang santri Muallimin Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. Pesantren ini merupakan lembaga pendidikan formal setingkat SMA dengan kurikulum pesantren modern yang berupaya untuk meningkatkan pengetahuan agama secara kaffah. Lembaga ini juga mementingkan peningkatan pengetahuan umum dengan materi-materi pelajaran yang seimbang dengan pendidikan agama. Kurikulum pendidikan Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut ini memuat 50% pengetahuan agama Islam dan 50% pengetahuan umum. Lembaga ini menyediakan asrama untuk tempat tinggal santri. Bagi santri yang memiliki tempat tinggal yang dekat dengan lokasi pesantren, maka santrinya dibebaskan untuk tinggal bersama keluarganya. Subjek dalam penelitian ini diuraikan berdasarkan jenis kelamin dan kelas. Dalam penelitian ini, sampel berjumlah 105 orang yang diambil dengan teknik cluster sampling, yaitu dengan cara mengocok 12 kelas yang menjadi populasi, menjadi 4 kelas, yaitu kelas XI IPS 1, XI IAI 2, XI IPA 2, dan XII IPS 2.
Berikut ini akan dikemukakan gambaran umum subjek
penelitian berdasarkan jenis kelamin dan kelas.
67
4.1.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan jenis kelamin, sampel dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Table 4.1 Gambaran umum responden berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin
Jumlah
Persentase
Laki-Laki
25
23,80%
Perempuan
80
76,19%
Total
105
100%
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa responden penelitian ini terdiri dari 25 orang (23,80%) laki-laki dan 80 orang (76,19%.) perempuan. Maka, sebagian besar sampel penelitian ini adalah perempuan.
4.1.2. Gambaran umum responden berdasarkan kelas Berdasarkan kelas, sampel dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Table 4.2 Gambaran umum responden berdasarkan kelas Kelas
Jumlah
Persentase
XI
76
72,38%
XII
29
27,61%
Total
105
100%
68
Dari tabel 4.2 dapat diketahui bahwa 105 responden dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI berjumlah 76 orang (72,38%) dan 29 orang (27,61%.) adalah siswa kelas XII. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar sampel penelitian adalah siswa kelas XI.
4.2. Deskripsi Data (mean dan standard deviasi) Tabel 4.3 Deskripsi Data (mean dan standar deviasi) Mean
Standard deviasi
Goal orientation
36.4286
4.48042
Self-efficacy
85.9429
9.73379
Prestasi belajar
73.3114
6.55001
4.3 Kategorisasi Berdasarkan Peyebaran Skor Responden Di bawah ini dipaparkan kategorisasi berdasarkan penyebaran skor responden dari hasil penghitungan masing-masing variabel, yaitu goal orientation, selfefficacy dan prestasi belajar.
4.3.1 Frekuensi
responden
berdasarkan
klasifikasi
dimensi
goal
orientation Berikut tabel mengenai Frekuensi responden berdasarkan klasifikasi dimensi goal orientation:
69
Table 4.4 Frekuensi responden berdasarkan klasifikasi dimensi goal orientation
Klasifikasi Goal
Jumlah Responden
Persentase
48
45,71%
43
40,95%
Seimbang
14
13,33%
total
105
100%
Orientation Mastery goal orientation Performance goal orientation
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa dari 105 responden pada penelitian ini terdapat 48 orang (45,71%) santri dengan mastery goal orientation, 43 orang (40,95%) santri dengan performance goal orientation, dan 14 orang (13,33%) santri dengan mastery dan performance goal orientation yang seimbang. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut dengan klasifikasi kecenderungan pada mastery goal orientation meskipun jumlah perbedaannya tidak terlalu signifikan.
70
4.3.2 Kategorisasi self-efficacy responden Tabel 4.5 Kategorisasi self-efficacy responden Rumus
Jumlah Responden
Persentase
Kategori
X < M – 1 SD
7
6,6%
RENDAH
M – 1 SD ≤ X ≤ + 1 SD
86
81,9%
SEDANG
X > M + 1 SD
12
11,42%
TINGGI
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa dari 105 responden, 7 orang (6,6%) yang memiliki self-efficacy rendah, 86 orang (81,9%) memiliki self-efficacy sedang, dan 12 orang (11,4%) memiliki selfefficacy tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut memiliki tingkat selfefficacy sedang.
4.3.4 Kategorisasi prestasi belajar responden Tabel 4.6 Kategorisasi prestasi belajar responden Rumus
Jumlah Responden
Persentase
Kategori
X < M – 1 SD
22
20,95%
RENDAH
M – 1 SD ≤ X ≤ + 1 SD
61
58,09%
SEDANG
X > M + 1 SD
22
20,95%
TINGGI
Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dari 105 responden, 22 orang (20,95%) yang memiliki prestasi belajar rendah, 61 orang (58,09%)
71
memiliki prestasi belajar sedang, dan 22 orang (20,95%) memiliki prestasi belajar tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut memiliki tingkat prestasi belajar sedang.
4.4.
Uji Perbedaan Goal Orientation Dengan Prestasi Belajar
Rumusan statistik yang digunakan untuk uji hipotesis goal orientation dengan prestasi belajar, yaitu Independent Sample T-Test. Dalam penghitungannya peneliti menggunakan program SPSS for Window versi 16.00. Hasil uji hipotesis tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.7 Mean dan standar deviasi Std. GO PB
N
Mean
Deviation
Std. Error Mean
1
43 72.5979
5.32886
.81264
2
48 74.5690
7.47426
1.07882
Pada kolom GO, angka 1 menunjukkan performance goal orientation dan 2 menunjukkan mastery goal orientation. Performance goal orientation memiliki mean 72.5979 dengan standar deviasi 5.32886 dari 43 responden. Sedangkan mastery goal orientation memiliki mean 74.5690 dengan standar deviasi 7.47426 dari 48 responden.
72
Tabel 4.8 Uji Hipotesis Goal Orientation Dengan Prestasi Belajar Levene's Test for
t-test for Equality of Means
Equality of Variances
95% Confidence Interval
F PB
Equal variances assumed
5.662
Sig.
T
Df
.019 -1.433
Sig. (2-
Mean
tailed)
Difference
of the Difference
Lower
Upper
89
.155 -1.97105
-4.70380
.76169
-1.459 84.886
.148 -1.97105
-4.65654
.71444
Equal variances not assumed
Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa taraf signifikansi yang tertera pada tabel adalah sebesar 0.019 lebih kecil dari taraf signifikansi 0.05; maka dapat diartikan bahwa kedua kelompok tersebut memiliki varian prestasi belajar yang berbeda. Maka dapat disimpulkan ada perbedaan prestasi belajar antara santri dengan performance goal orientation dengan santri yang memiliki mastery goal orientation.
4.5 Uji Korelasi Self-Efficacy Dengan Prestasi Belajar Rumusan statistik yang digunakan untuk uji korelasi self-efficacy dengan prestasi belajar, yaitu Pearson Product Moment. Dalam penghitungannya peneliti menggunakan program SPSS for Window versi 16.00. Hasil korelasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
73
Table 4.9 Korelasi self-efficacy dengan prestasi belajar
SE
Pearson Correlation
SE
PB
1
.142
Sig. (2-tailed)
.147
Sum of Squares and Cross9.854E3
944.639
Covariance
94.747
9.083
N
105
105
Pearson Correlation
.142
1
Sig. (2-tailed)
.147
products
PB
Sum of Squares and Cross944.639
4.462E3
Covariance
9.083
42.903
N
105
105
products
Berdasarkan tabel 4.9, hasil uji korelasi self-efficacy dengan prestasi belajar didapatkan nilai rhitung sebesar 0,142. Pada taraf signifikansi 5% dengan N 105, nilai P-value nya adalah sebesar 0.147. Karena nilai P-value > dari 0.05, maka hipotesis nihil (H0) yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan self-efficacy dengan prestasi belajar diterima dan hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan self-efficacy dengan prestasi belajar ditolak. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
74
yang signifikan self-efficacy dengan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut.
4.6
Analisis Regresi Goal Orientation & Self-Efficacy Dengan Prestasi Belajar
Rumusan statistik yang digunakan untuk uji hipotesis goal orientation dan self-efficacy
dengan
prestasi
belajar,
yaitu
analisis
regresi.
Dalam
penghitungannya peneliti menggunakan program SPSS for Window versi 16.00. Hasil korelasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.10 Analisis Regresi Goal Orientation & Self-Efficacy Dengan Prestasi Belajar Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1
.084a
.007
-.037
7.61157
a. Predictors: (Constant), SELF, GOAL
Berdasarkan tabel 4.10 diketahui R square sebesar 0.007, ini berarti bahwa variabel goal orientation dan self-efficacy hanya memiliki kontribusi sebesar 0,7% terhadap variabel prestasi belajar. Selebihnya kemungkinan dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
4.7 Analisis Tambahan Sebagai Analisis tambahan, peneliti melakukan uji beda prestasi belajar antara santri yang memiliki performance goal orientation dengan siswa yang
75
memiliki goal orientation seimbang dan antara santri yang memiliki mastery goal orientation dengan siswa yang memiliki goal orientation seimbang. Dari uji beda tersebut didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.11 Mean dan standar deviasi GO PB
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
2.00
48
74.5690
7.47426
1.07882
3.00
14
73.4021
5.81310
1.55362
Pada kolom GO, angka 2.00 menunjukkan mastery goal orientation dan 3.00 menunjukkan goal orientation seimbang. mastery goal orientation memiliki mean 74.5690 dengan standar deviasi 7.47426 dari 48 responden. Sedangkan goal orientation seimbang memiliki mean 73.4021 dengan standar deviasi 5.81310 dari 14 responden.
Tabel 4.12 Uji beda prestasi belajar mastery goal orientation dengan goal orientation seimbang Levene's Test for Equality of Variances
F PB
Equal variances assumed
Sig. 2.737
.103
Equal variances not assumed
76
Berdasarkan tabel 4.12 diketahui bahwa taraf signifikansi yang tertera pada tabel adalah sebesar 0.103 lebih besar dari taraf signifikansi 0.05; maka dapat diartikan bahwa kedua kelompok tersebut memiliki varian prestasi belajar yang tidak berbeda. Maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan prestasi belajar antara santri dengan mastery goal orientation dengan santri yang memiliki goal orientation seimbang.
Tabel 4.13 Mean dan standar deviasi
GO PB
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
1.00
43
72.5979
5.32886
.81264
3.00
14
73.4021
5.81310
1.55362
Pada kolom GO, angka 1.00 menunjukkan performance goal orientation dan 3.00 menunjukkan goal orientation seimbang. Performance goal orientation memiliki mean 72.5979 dengan standar deviasi 5.32886 dari 43 responden. Sedangkan goal orientation seimbang memiliki mean 73.4021 dengan standar deviasi 5.81310 dari 14 responden.
Tabel 4.14 Uji beda prestasi belajar mastery goal orientation dengan goal orientation seimbang
Levene's Test for Equality of Variances
F
Sig.
77
PB
Equal variances assumed
.066
.799
Equal variances not assumed
Berdasarkan tabel 4.14 diketahui bahwa taraf signifikansi yang tertera pada tabel adalah sebesar 0.799 lebih besar dari taraf signifikansi 0.05; maka dapat diartikan bahwa kedua kelompok tersebut memiliki varian prestasi belajar yang tidak berbeda. Maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan prestasi belajar antara santri dengan performance goal orientation dengan santri yang memiliki goal orientation seimbang. Bila dilihat secara keseluruhan maka diketahui bahwa santri yang mencapai prestasi paling tinggi diantara sampel adalah santri yang memiliki mastery goal orientation. Sedangkan santri yang memiliki performance goal orientation memiliki prestasi belajar lebih rendah dari pada santri yang memiliki mastery goal orientation dan santri yang memiliki goal orientation seimbang.
78
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil uji analisis data yang diuraikan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: a. Hampir sebagian (45,71%) santri memiliki mastery goal orientation, dan hampir sebagian lainnya (40,95%) santri memiliki performance goal orientation, hanya 13,33% santri yang memiliki orientasi seimbang antara mastery dan performance goal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lebih banyak santri yang memiliki mastery goal orientation adalah yang paling banyak. b. Pada umumnya (81,9%) santri memiliki self-efficacy sedang, hanya 11,42% santri yang memiliki self-efficacy yang tinggi, dan 6,6% santri yang memiliki self-efficacy rendah. Maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut memiliki selfefficacy sedang. c. Sebagian besar (58,09%) santri memiliki prestasi belajar sedang, hanya (20,09%) santri memiliki prestasi belajar tinggi, dan juga hanya 20,09% santri yang memiliki prestasi belajar rendah. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut memiliki prestasi belajar rendah.
79
d. Ada perbedaan prestasi belajar antara santri yang tergolong miliki performance goal orientation dengan santri yang tergolong memiliki mastery goal orientation. Dalam hal ini santri dengan mastery goal orientation memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dari pada santri dengan performance goal orientation. e. Tidak ada hubungan yang signifikan self-efficacy dengan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. f. Goal orientation dan self-efficacy hanya memberikan kontribusi sebesar 0,7% terhadap variabel prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut.
5.2 Diskusi Penelitian ini bertujuan untuk melihat klasifikasi goal orientation, tingkatan selfefficacy, dan tingkatan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar santri yang memiliki orientasi performance dengan santri yang memiliki orientasi mastery, hubungan self-efficacy dengan prestasi belajar, dan seberapa besar kontribusi goal orientation dan self-efficacy terhadap prestasi belajar pada santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut. Dari hasil penyebaran instrumen goal orientation dilketahui bahwa lebih banyak santri dengan mastery goal orientation dari pada santri dengan performance goal orientation. Ini berarti lebih banyak santri yang berorientasi untuk menguasai materi secara mendalam dan menggali sebanyak-banyaknya
80
pengetahuan dari apa yang telah diajarkan oleh guru di kelas. Meskipun mereka tetap berpacu untuk berprestasi lebih, namun hal tersebut bukanlah tujuan utama dari kegiatan belajar mereka. Santri dengan mastery goal orientation tersebut akan cenderung lebih menyukai tantangan baru dan terus berusaha untuk meningkatkan kompetensi yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Dweck (dalam Arias, 2004) bahwa mastery goal memungkinkan individu mencari peluang untuk meningkatkan kompetensi dan menguasai tantangan baru.
Sedangkan santri dengan performance goal orientation akan lebih fokus pada citra diri, nilai tinggi dan selalu menjadi yang terdepan seperti yang dikemukakan Santrock (2007) bahwa Performance orientation lebih memperhatikan hasil dari pada proses. Bagi siswa yang berorientasi kinerja atau prestasi, kemenangan atau keberhasilan itu penting dan kebahagiaan dianggap sebagai hasil dari kemenangan atau keberhasilan
Berdasarkan hasil uji perbedaan juga mendukung dugaan bahwa memang ada perbedaan prestasi belajar antara santri dengan mastery goal orientation dengan santri dengan performance goal orientation. Dari kedua dimensi tersebut, santri yang dengan dimensi mastery memiliki prestasi yang lebih tinggi dari pada santri dengan dimensi performance. Hasil ini senada dengan penelitian Mattern (2005: 30) yang menunjukkan bahwa siswa dengan mastery goal orientation memiliki level prestasi belajar yang lebih tinggi dari pada siswa dengan performance goal orientation. Siswa yang mengejar mastery goal lebih cenderung mencari tantangan, menggunakan strategi pembelajaran efektif yang lebih tinggi, termasuk strategi metakognitif, pelaporan dan sikap terhadap sekolah yang lebih positif, dan memiliki
81
tingkat self-efficacy yang lebih tinggi (kepercayaan pada kemampuan diri untuk berhasil dalam situasi tertentu) daripada orang-orang yang mengejar performance goal.
Meskipun demikian, perbedaan orientasi belajar pada santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut bisa disikapi dengan bijaksana. Ke arah manapun orientasi mereka dalam belajar, santri tetap perlu dibimbing untuk mendapatkan prestasi yang bagus. Dipungkiri atau tidak bahwa prestasi belajar tinggi dapat memuaskan individu dan orang-orang yang berada disekitarnya. Terlebih lagi saat ini prestasi belajar telah menjadi tolak ukur keberhasilan belajar seseorang. Meskipun demikian akan lebih baik bila santri dapat lebih diarahkan untuk memiliki mastery goal orientation agar selain untuk memperoleh prestasi tinggi, santri juga terpacu untuk menguasai pelajaran dan mencapai kompetensi. Hasil korelasi antara self-efficacy dengan prestasi belajar menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan. Namun bila dilihat dari hasil persentase prestasi belajar dan self-efficacy mengungkapkan bahwa sebagian besar sampel memiliki tingkat self-efficacy sedang dengan persentase yang cukup besar, yaitu 81,9% dan berdasarkan hasil persentase variabel prestasi belajar, sebagian besar santri juga memiliki prestasi belajar yang sedang. Apabila semua perangkat penelitian telah sesuai prosedur, tidak adanya korelasi positif antara self-efficacy dengan prestasi belajar dapat menjadi suatu fakta baru bahwa tidak selalu self-efficacy yang tinggi diikuti dengan prestasi belajar yang tinggi, dan sebaliknya self-efficacy rendah tidak selalu diikuti oleh prestasi belajar rendah pula. Dapat dimungkinkan sebagian besar prestasi belajat yang tinggi tersebut dipengaruhi oleh variabel lain selain self-efficacy.
82
Menurut peneliti, banyak hal yang menjadikan hipotesis tersebut tidak berkorelasi terutama pada variabel prestasi belajar. Peneliti tidak membuat sendiri instrument pengukuran untuk prestasi belajar, sehingga memungkinkan adanya error yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti. Error tersebut diantaranya: 1. Faktor prestasi belajar • Peneliti tidak membuat soal-soal atau alat ukur prestasi belajar sehingga peneliti tidak dapat melihat apakah item-item yang diujikan kepada santri telah sesuai dengan ketentuan tepat atau tidaknya alat ukur. • Peneliti tidak terjun langsung memberikan soal-soal uji prestasi belajar sehingga peneliti tidak tahu kondisi lingkungan saat soal-soal tersebut diberikan. Apakah berada pada ruang yang kondusif dan nyaman, atau berada pada suasana yang tidak tenang. • Peneliti tidak mengawasi jalannya ujian secara langsung dan tidak mengetahui bagaimana proses pengawasan tersebut dilakukan oleh guru sehingga dimungkinkan adanya perilaku cheating atau hal lainnya yang dapat membuat santri mengisi soal tidak berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. • Peneliti tidak mengetahui apakah ada nilai subjektif guru dalam proses penilaian hasil ujian tersebut. Dipungkiri atau tidak, sedikit atau banyak, terkadang nilai subjektif terhadap siswa dapat terjadi. Meskipun guru tidak menyadarinya, hal tersebut dapat membuat hasil belajar tidak sesuai dengan kemampuan siswa seharusnya.
83
2. Faktor Self-efficacy Tidak menutup kemungkinan adanya social disability ketika sampel mengisi skala self-efficacy yang diberikan. Sampel dapat melakukan facking good atau mengisi tidak sesuai kenyataan pada diri. Hal ini dimungkinkan karena ada perasaan tidak ingin terlihat buruk setelah hasil penelitian didapatkan. Masih banyak hal lain yang dapat mempengaruhi tidak adanya hubungan pada hipotesis tersebut.
Misalnya instrumen pengukuran self-efficacy yang
kurang bagus atau kurang mewakili dimensi self-efficacy seharusnya atau karena banyaknya faktor lain yang mempengaruhi tinggi-rendahnya prestasi belajar. Selfefficacy santri di pesantren persatuan Islam Tarogong Garut tidak terlalu berpengaruh terhadap prestasi belajar sehingga menghasilkan hubungan yang tidak signifikan. Sementara penelitian lainnya seperti penelitian Mutiah (2006) menyatakan bahwa Semakin tinggi self-efficacy siswa, maka semakin tinggi kekuatannya untuk mengerjakan tugas. Begitu pula dengan hasilnya akan menunjukkan kearah yang lebih baik. Penelitian ini menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan prestasi belajar. Perbedaan hasil penelitian ini ini bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk peneliti selanjutnya. Bila dilihat secara keseluruhan, variabel goal orientation dan self-efficacy memiliki kontribusi yang tidak terlalu besar terhadap variabel prestasi belajar, yaitu sebesar 0,7%. Hal ini menunjukkan bahwa banyak variabel lain yang mempengaruhi prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut.
84
Hasil ini dapat menjadi bahan rujukan untuk peneliti prestasi belajar selanjutnya bahwa salah satu variabel yang berkontribusi terhadap prestasi belajar adalah goal orientation dan self-efficacy meskipun dalam persentase yang tidak terlalu besar.
5.3 Saran Setelah melihat hasil-hasil penelitian, peneliti mengajukan beberapa saran yang kiranya dapat menjadi pertimbangan untuk pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini, atau untuk peneliti selanjutnya. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut: 5.3.1 Saran teoritis a. Peneliti selanjutnya hendaknya lebih memahami literatur yang ada agar dapat membuat instrument yang lebih baik dari penelitian sebelumnya. b. Bila akan diadakan penelitian lanjutan tentang prestasi belajar, dianjurkan agar peneliti membuat instrumen pengukuran prestasi belajar dan mengujikannya secara langsung kepada sampel, tidak mengambil dari hasil prestasi yang sudah tersedia di lembaga atau individu yang dijadikan sampel. Karena dengan membuat instrumen pengukuran sendiri, peneliti dapat mengontrol item-item yang diberikan agar sesuai dengan target prestasi yang diharapkan dalam penelitian tersebut. Pengujian instrumen secara langsung dapat meminimalisir adanya error lain, seperti cheating, kondisi sampel, kondisi ruangan, dan lain sebagainya.
85
5.3.2 Saran praktis a. Pihak lembaga Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut hendaknya memahami goal orientation dan self-efficacy yang dimiliki oleh santri. Pemahaman yang baik tentang diri santri dapat membantu pihak pesantren untuk meningkatkan prestasi belajar, menjalankan proses kegiatan belajar mengajar yang lebih sesuai, dan memberikan tindak lanjut yang tepat untuk hasil belajar yang telah ada. Pihak lembaga hendaknya lebi memperhatikan kebutuhan dan pemahaman santri terhadap materi, tidak hanya memenuhi tuntutan kurikulum saja. b. Pihak Pesantren lebih memperhatikan cara belajar santri agar potensi dan kemampuan yang mereka miliki dapat dikembangkan dengan lebih baik. Bila santri akan diarahkan untuk memiliki goal secara mastery, maka santri harus diberikan metode belajar yang sesuai dengan cara belajar yang cocok untuk mereka. Dengan memberikan perhatian lebih pada cara belajar santri, dengan demikian pihak Pesantren telah membantu agar santri memcapai prestasi yang lebih baik. Begitu juga apabila para santri mengetahui apa itu self-efficacy. Persepsi diri santri harus diluruskan pada sesuatu yang sidatnya lebih realistis. Tidak menuntut diri terlalu tinggi, memahami bahwa semua adalah proses, dan menyerahkan hasilnya pada Allah SWT. Hal ini mesti diarahkan karena ada kemungkinan mereka menuntut diri terlalu keras dan terlalu ideal sehingga hasil yang sudah memadai pun dianggap belum cukup.
86
Dengan diarahkannya persepsi diri santri menjadi lebih real, santri akan mulai berpikir lebih realistis dan dapat menerima hasil yang diperoleh. c. Untuk orang tua dan keluarga hendaknya memberi dukungan penuh dan menciptakan suasana yang kondisif untuk kegiatan belajar anak. Karena dukungan penuh dan lingkungan belajar yang kondusif dapat membuat anak lebih nyaman dalam belajar sehingga dimungkinkan adanya peningkatan prestasi belajar.
87
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. (2004). Psikologi kepribadian. Malang: UMM Press Arias, J.F. (2004). Recent perspectives in the studi of motivation: goal orientation theory. Electronic journal of research in educational psychology:. Departement of developmental psychology and education universidad de Almeria. Bandura, A. (1986). Social Foundations of thought and action: a social cognitive theory. New Jersey: Prentice Hall Brown, J.D. (1998). The self. United States of America: The Mcgraw-hill Companies, inc. Djiwandono, S.E.W. (2006). Psikologi pendidikan. Jakarta: PT. Grasindo. Ford, J.K., Smith, E.M., Weissbein, D.A. & etc. (1998). Relationship of goal orientation, metacognitive activity, and practice stategies with learning outcomes and transfer. Journal of educational psycholagy. Friedman, Howard S., & Schustack, Miriam W. (2006). Kepribadian teori klasik dan riset modern. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hawadi, R.A., & Yahrini, E.K. (2008). Jurnal keberbakatan dan kreatifitas. Gifted review. Pusat Keberbakatan: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok. Lane, J., Lane, A.M., & Kyprianou, A. (2004). Social behavior and personality: self-efficacy, self-esteem, and their impact on academic performance. Society for personality research: UK. Mattern, R.A. (2005). College student's goal orientations and achievement. International journal of teaching and learning in higher education:. USA: University of Delaware Matuga, J. M. (2009). Self-Regulation, goal orientation, and academic achievement of secondary students in online university courses. Educational technology & society: Bowling Green State University, Bowling Green Ohio, USA Mutiah, D. (2006). Hubungan self-efficacy dengan prestasi belajar akademik mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Penelitian individual. Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Nazir, M. (2003). Metode penelitian. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Eds.k-5. Nisa, Y.F. (2008). Diktat psikologi eksperimen. Jakarta: Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Pintrich, P.R. (2000). Multiple goals, multiple pathways: the role of goal orientation in learning and achievement. Journal of educational psycholagy. Pintrich, P.R. & Schunk, D.H. (1996). Motivation in education: theory, research, and applications. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Prastiti, S.D., & Pujiningsih, S. (2009). Pengaruh faktor preferensi gaya belajar terhadap prestasi belajar mahasiswa akuntansi. Jurnal ekonomi bisnis. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang. Roebken, H. (2007). The influence of goal orientation on student satisfaction, academic engagement and achievement. Electronic Journal of research in educational psychology. Departement of Education, University Of Oldenburg. Santrock, J. W. (2007). Psikologi pendidikan, edisi kedua. Jakarta: Kencana Self-Brown, S.R. & Mathews, S. II.. (2003). Effects of classroom structure on student achievement goal orientation. University of west florida. Vol. 97 (no. 2). Stipek, D. (2002). Motivation to learn integrating theory and practice. Boston: Allyn and Bacon. Sukandarrumi. (2004). Metodologi penelitian: petunjuk praktis untuk peneliti pemula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cet.k-2. Suprayogi, M.N. (2007). Jurnal of psychology. Tazkiya. Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Syah, M. (1999). Psikologi belajar. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. Umar, J., Muchtar, D.Y., Dewi. M.S., Luthfi, I., & Miftahuddin. (2009). Analysis of determinants of learning outcomes using data from the trends in international mathematics and science study (timss). Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional.