111. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Serat Centhini
Serat Centhini merupakan sebuah karya sastra klasik Jawa yang ditulis pada tahun 1814 M dengan candrasangkala: Paho Suci Sabdo Ji, atau tahun Jawa 1742. Seorang ahli literatur Jawa berkebangsaan Belanda Dr. Th. Pigeaud, dalam bukunya yang berjudul De Serat Tjabolang en de Serot Tjentini (1933) berpendapat bahwa karena isinya yang penting, kitab tersebut dapat dianggap sebagai ungkapan ensiklopedik tentang adat-istiadat Jawa. Maka Serat Centhini terkenal juga dengan sebutan Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Pemrakarsa penulisan kitab itu adalah Putera Mahkota Kerajaan Surakarta, Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro 111. Beliau niemberikan nama Suluk
Tambangraras pada kitab tersebut (Partokusumo, 1988). Serat Centhini memuat semua kawruh Jawa. Kawruh bukan saja sekedar mengandung pengetahuan melainkan juga kebijakan dengan tujuan hakiki keselamatan dan kesejahteraan lahir bathin sesuai dengall sifat dan cita-cita yang terkandung dalam kebudayaan Jawa. Selain itu juga memuat berbagai macam ilmu pengetahuan seperti sejarah, ramalan, etika, filsafat, kepurbakalaan, bahasa dan sastra, agama (Islam, Hindu, Budha, berbagai kepercayaan), ilmu gaib, ilmu kejiwaan, ilmu senjata, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, pertanian, obatobatan, dan lain-lain. Seczra singkat, Serat Centhini dapat dikatakan sebagai sumber ilmu atau inspirasi. 1. Sejarah Penulisan Serat Centhini
Kanjeng Gusti Prabu Adipati Anom Hamengkunegoro 111 dari Kerajaan Surakarta, yang bertahta pada tahun 1820-1823 M bergelar Sunan Paku Euwono V memprakarsai penulisan Serat Centhini setelah mendapat teguran dari
ayahandanya, Paku Buwono IV, karena hidupnya dinilai kurang teratur. Penulisan kitab tersebut untuk menunjukkan diri betapa banyak pengetahuan dan kebijakan hidup yang dikuasainya. Selanjutnya beliau mzn~njuk Abdi Jurutulis RNg. Ronggosutrasno dan dua ahli untuk membantu RNg. Yosodipuro I1 (RT Sastronagoro) d m RNg. Sastrodipuro. Ketiga pujangga tersebut ditugaskan untuk
melakukan pengembaraan menelusuri pulau Jawa, dan kemudian mengamati, mendengarkan, menyelidiki, mendalami, dan mencatat segala sesuatu yang mereka jumpai selama pengembaraamya. Dalam menyelesaikan karya tersebut RNg. Ronggosutrasno diberi model penulisan, yaitu Serat Jatisworo. Serat ini merupakan kitab Jawa klasik yang ditulis pada tahun 1784 M pada jaman pemerintahan Paku Buwono 111 (1749-1 788 M). Berikut ini adalah pembagi~ntugas di antara ketiga pujangga tersebut: a. R.Ng. Ronggosutrasno, ditugaskan menjelajah pulau Jawa dimulai dari Surakarta ke arah utara menuju Banyuwangi, kemudian kembali lagi melalui bagian selatan. b. R.Ng. Yosodipuro (RT Sastronegoro), ditugaskan menjelajah pulau Jawa dimulai dari Surakarta ke arah utara melewati Anyer dan Banten, kemudian kembali ke Surakarta melalui bagian selatan. c. R.Ng. Sastrodipuro (H.M. Ilhar), ditugaskan memperdalarn agama (Tasawuf). Serat Centhini selesai dalam bentuk tulisan aksara Jawa khas Kraton
Swakarta yang mboto sarimbang (tegak persegi seperti batu bata satu cetak), berjumlah lebih kurang 4200 halaman folio dan dibagi menjadi 12 jilid. Kitab itu diberi nama "Suluk Tambangraras" mengambil nama istri tokoh utama Seh Amongrogo,
yaitu
Niken
Tambangraras.
Nama
Suluk
Tambangraras
menunjukkan bahwa kitab itu adalah jenis serat suluk yang dalam bahasa Jawa berarti lagu pengantar cerita yang dinyanyikan oleh dalang wayang purwa (kulit). Dalam hubungannya dengan kitab, maka suluk dapat diartikan sebagai kitab tembang yang memuat ajaran ilmu gaib (WJS. Poenvodarminto, 571 Partokusumo, 1996). Namun untuk selanjutnya kitab tersebut lebih dikenal dengan sebutan "Serat Centhini". Nama Centhini tersebut diambil dari kata cethi yang artinya gadis pelayan yaitu Niken Tembangraras yang sangat setia. Biaya penulisan Serat Centhini diperkirakan mencapai 10.000 ringgit emas dan
ditanggung oleh KGL'AA Hamengkunegoro 111. Naskah asli dan
sebagian manuskrip (salinan) tersebut saat ini tersimpan di Perpustakaan Sono Pustoko, Kraton Surakarta, walaupun naskah asli kemungkinannya sudah tidak lengkap lagi berjumlah 12 jilid, karena termakan usia. Serat Centhini asii maupun salinannya tidak banyak dibaca oleh kebanyakan orang Jawa karena berupa
manuskrip huruf Jawa, dan salinannya hanya dimiliki oleh para bangsawan dan orang-orang yang mampu membiayai pembuatan turunannya. Beberapa jenis salinan tersebut antara lain tersimpan di Sonopustoko (Surakarta), Radyopustoko (Surakarta), Sonobudoyo (Yogyakarta), dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Yogyakarta). Selain di Surakarta dan Yogyakarta terdapat juga salinan jilid 5 hingga 9 yang tersimpan di Perpustakaan Universiteit Leiden, Belanda. Selama kurun waktu 1974-1991, Karkono Kamajaya Partokusumo dari Yayasan Centhini (Yogyakarta) telah mengupayakan penterjemahan dan penerbitannya dalam tulisan Latin berbahasa Jawa sebanyak 12 jilid. Sedangkan terjemahan Serat Centhini dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Balai Pustaka sejak tahun 1991, namun baru mencakup 4 jilid pertama. Naskah yang digunakan dalam penelitian ini merupakan terbitan Yayasan Centhini dan Balai Pustaka. 2. Isi Serat Centhini
C'raian dalam Serat Centhini sangat luas dan lengkap, meliputi segala kawruh' dan ilmu tentang peri kehidupan dan penghidupan lahir dan batin, hingga
menyangkut kekayaan alam yang terdapat dan terkandung di bumi pulau Jawa (Partokusumo, 1988). Mengenai istilah yang disebut sebagai kawruh Jawa seperti tersebut dalam bait 3 tembang sinom pada awal kitab Centhini seperti berikut: "Karsaning sang Narputro, babonr~gpangawikan Jawi, jinereng dadyo carito... "
Artinya: "Menurut kehendak sang Putra Mahkota, sumber pengetahuan Jawa terurai dalam sebuah cerita....... "
Kata pangawikan berasal dari kata w i h 'tahu', sehingga pangawikan berarti 'pengetahuan'. Namun Pangawikan Jawi bukan sekedar mengandung pengetahuan, melainkan cenderung merupakan kebijakan atau kebijaksanaan dengan tujuan hakiki mencapai keselamatan dan kesejahteraan lahir batin sesuai dengan sifat dan cita-cita yang terkandung di dalam kebudayaan Jawa. Inti kebudayaan Jawa adalah terciptanya keselamatan, keserasian, dan keharmonisan dalam kehidupan, dengan prinsip gotong-royong yang dilandasi semangat kerukunan. Pangawikan juga sekaliqus merupakan ilmu, antara lain misalnya iimu kebatinan, ilmu kesempumaan, ilmu agama, dan sebagainya.
' k ~ r u bukan h sekedar berarti 'pengetahuan', namun juga merupakan kebijakan dengan tujuan hakiki keselamatan dan kesejahteraan lahir bathin.
Berikut ini adalah daftar ilmu-ilmu pengetahuan yang terkandung di dalam
Serat Centhini, terdiri atas 28 golongan ilmu pengetahuan menurut kategorisasi Partokusumo (1988): 1. Sejarah, meliputi uraian mengenai sejarah tanah Jawa, riwayat hidup tokohtokoh agama, serta siasat perang dan politik. 2.
Ramalan, meliputi ramalan Jayabaya dan hari kiamat.
3. Etika, memuat berbagai teladan, larangan, kasih sayang ibu-anak dan istri-
suami, tata-susila. 4.
Kepurbakalaan, membahas tentang peninggalan-peninfigalan kuno, candicandi, dan makam-makam.
5. Sosial, mengulas nasala ah gotong-royong, keramahan menerima tamu, dan keakraban.
6. Bahasa dan sastra, mengulas istilah-istilah pada daging hewan (terutama kerbau), tentang pustaka-pustaka Jawa, nama-nama gelar, dan sebagainya. 7.
Agama dan kepercayaan, mengulas ajaran-ajaran dalam agama Islam, Budha, dan kepercayaan terhadap dewa-dewa.
8. Filsafat, mengulas perpaduan antara filsafat Jawa dengan filsafat agama Islam. 9. Ilmu gaib atau magis atau keajaiban, mengulas berbagai ha1 dan peristiwa mistik. 10. Kejiwaan, menggambarkan bermacam-macam watak manusia. 11. Ilmu senjata wesi-aji, ulasan ~ e n g e n s ihal-ha1 yang berkaitan dengan keris dan tombak. 12. Ilmu memelihara kuda, mengulas antara tanda-tanda kuda yang baik, cara mengendarai, dan sebagainya. 13. Asmara, mengulas tentang berbagai kisah asmara. 14. Kesenian, memuat berbagai bentuk kesenian antara lain: seni tari, seni suara, seni wayang, topeng, dan sebagainya. 15. Ilmu bangunan rumah, menguraikan tentang cara pembuatan rumah, bentuk, ukuran rumah dan bagian-bagiannya serta uraian me~genaibahan kayunya, terutama kayc jaxi (Tectona grandis L.f.).
16. Obat-obatan dan penyakit, mengulas tentang berbagai jenis tumbuhan bahan obat dan cara membuat ramuan-ramuan obat tradisional guna menyembuhkan beberapa penyakit yang diderita masyarakat. 17. Ilmu bumi, menguraikan berkgai bentuk keindahan alam dan gejala-gejala alam yang mempengaruhi kehidupan, 18. Hewan, mengetengahkan keanekaraganlan jenis hewan baik yang telah ditemakkan maupun yang masih liar. 19. Tumbuh-tumbuhan, membahas keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan, cara penggunaan dan pemanfaatannya. 20. Pertanian, mengulas berbagai bentuk usaha pertanian, seperti cara bercocok-
tanam, jenis tanaman budidaya dan hasil usaha pertanian lainnya. 21. Primbon, menguraikan berbagai ha1 yang berkaitan dengan bermacam-macam perhitungan dan tanda-tanda alanl berikut pemaknaannya. 22. Kesenangan dan pertunjukan, meliputi berbagai permainan dan pertunjukkan rakyat. 23. Ceritera, menguraikan berbagai kisah, dongeng dan hikayat. 24. Tata-cara ritual seperti dalanl
pernikahan, pertanian, ruwatan, sesaji, dan
sebagainya. 25. Pendidikan, menguraikan antara lain pendidikan pre-natal, post natal, religi, etika, dan pendidikan sosial. 26. Tipe-tipe manusia, menguraikan tentang berbagai tipe dan sifat manusia.
27. Ilmu hitam, mengulas berbagai ilmu kekebalan tubuh, sirep, dan sebagainya. 28. Ilmu-ilmu lain yang dikategorikan sebagai ilmu campuran diantaranya mengulas tentang warok, poligami, dan lain-lain. Karena isinya mengandung berbagai bidang ilmu, maka Serat Centhini merupakan kitab Jawa yang dianggap sebagai sumber ilmu kebudayaan Jawa sekaligus merupakan sumber ilham atau inspirasi. Dikatakan sebagai sumber ilham karena para peminat Serat Centhini di masa lampau tidak sedikit yang mengutip sebagian isinya dengan memberi macam-macam judul, seperti Amongrogo, Tunjungbang Jurangjangkung
h i
lzin-lain. Selain itu juga banyak
kitab Jawa yang penulisannya diilhami oleh Serat Centhini, seperti penulisan kitab Niti Mani, Pepali Ki Ageng Selo, Purnaning Panandhang dan lain-lain.
B. Serat Centhini dan Masyarakat Jawa: Sosial Budaya 1. Falsafah hidup Kondisi kehidupan manusia pada masa tersebut sangat ditentukan oleh falsafah kehidupan, agama, dan ilmu pengetahuan tentang alam sekitarnya Ketiganya bagi masyarakat Jawa merupakan tiga aspek yang sal~ngberkaitan salu sama lain serta mendominasi tata cara kehidupan mereka. Oleh karena itu ketiga aspek tersebut mempengaruhi pandangan hidup dan sikap hidup masyarakat Jawa. Seca~ateoritis menilrut Rastoni (1992), pandangan hidup adalah suatu anggapan terhadap segi-segi kehidupan yang tidak berkaitan dan tanpa latar belakang kebudayaan, sementara sikap hidup adalah suatu tindak laku yang berkaltan bahkan mungkin didasarkan pada anutan terhadap agama, adat, kebudayaan, dan murlgkin juga pada watak bangsa. Lebih konkrit Suseno (1985) dalam tulisan Bastoni (1992) mengungkapkan bahwa orang Jawa me~nandangdunia ini bukan sesuatu yang abstrak, melainkan sebagai sesuatu yang konkrit sebagai sarana dalam usahanya untuk berhasil dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan Sikap orang Jawa terhadap dunia luar dialami sebagai suatu kesatuan numlnus antara alam, masyarakat, dan adi kodrati (roh) yang keramat, yang dilaksanakan daiam ritus. Sehingga pada hakikatnya orang Jawa memandang bahwa tidak sda perbedaan antara sikap religius, sikap terhadap alam, serta interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat. Uraian berikut akan menunjukkan bagaimana pandangan hidup masyarakat Jawa pada akhimya disebut sebagai Kejawen, yang nilai-nilainya banyak mempengaruhi sikap hidup masyarakat Jawa di mana dalam kehidupan rohaninya benar-benar berupaya mencari dasar awal segala sesuatu (Bratawijaya, 1997).
2. Kepercayaan Seperti yang tersurat dalam Serat Centhini, terdapat cmpat kepercayaan yang saling melengkapi dalam ke,iidupan masyarakat, yaitu aliran kepercayaan terhadap dewa-dewa (kedewaaan, menurut istilah Partokusumo, 1988), agama
Budha, agama Hindu dan agama Islam. Menurut Bastoni (1992), pada akhir abad ke XVIII hampir seluruh pulau Ja:/a memeluk agama Islam dengan pusat-pusat Islam tertua berada di daerah pesisir utara. Namun demikian corak agama Hindu masih terasa, terutama di daerah pedalaman dan keraton. Kenyataan yang terjadi, walaupun sang raja beragama Islam, namun tetap masih kuat menjalankan tradisi kejawen dan agama Hindu. Sebagai contoh bentuk kesenian yang berkembang pada masa itu seperti wayang, tari-tarian, gamelan, dan bentuk kesenian lainnya masih bemafaskan agama Hindu dan tradisi kejawen. Keempat kepercayaan yang ada dengan segala ajarannya terasa kental mewarnai kehidupan masyarakat pada lnasa tersebut. Kondisi demikian dimungkinkan karena banyak aspek-aspek di nlana keempatnya menliliki persepsi yang sama tentang: bagaimana posisi dan status n~anusiadl dunia, bagaimana menjaga hubungan baik di antara sesama, dan bagaimana sebenarnya Tuhan adalah pencipta segala sesuatu dan yang berkuasa atas seluruh alam dan isinya. Hal tersebut yang mendorong saling berbaumya masing-masing kepercayaan tanpa saling menimbulkan intrik di antara masyarakat. Selain itu ajaran-ajaran tersebut walaupun memiliki keunikan masing-masing, namun pada dasarnya merupakan ajakan untuk meugatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan ciptaan yang lain, dan tentu saja manusia dengan Penciptanya. Hal lain yang mendukung kondisi kehidupan beragama yang rukun adalah cara penyampaiannya yang jauh dari tindak pemaksaan. Umumnya berbagai ajaran tersebut disampaikan dalam situasi non-formal dan dalam suasana penuh keakraban. Kadang juga diselipkan dalam berbagai kesempatan pertunjukan kesenian di desa, misalnya: pertunjukan wayang, seni tari, seni suara, karawitan, topeng, dan sebagainya. Bentuk lain dari ajaran-ajaran tersebut adalah adanya larangan-larangan atau pantangan dalam '.$hidupan sehari-hari yang jika ditaati diharapkan
dapat
mendatangkan
berkah,
keselamatan, kesehatan,
dan
semacamnya. Salah satu contoh sentuhan ajaran Hindu-Budha yang bahkan masih terasa pengaruhnya hi~lggamasa sekarang adalah adanya tradisi pemberian sesaji yang mendahului berbagai aktivitas kehidupan masyarakat, misalnya: penanaman padi, permohonan, pernikahan, pertunjukan kesenian, kelahiran, mencari ilmu, dan
sebagainya. Bentuk kearifan lain adalah adanya tradisi berupa perumpamaan dan ungkapan yang pada dasarnya merupakan salah satu bentuk simbolisme dalam kehidupan masyarakat Jawa, dan ini terkadang dengan jelas mengaitkan antara falsafah hidup manusia dengan kelidupan beragama sekaligus dengan ilmu-ilmu lain, misalnya perumparnaan tentang kayu, ajaran atau syariat yang diumpamakan dengan tata cara bersawah, perumpamaan tentang orang yang sudah memperoleh hidayah. Seperti tertuang dalam Sera1 Centhini jilid XI halaman 229):
Sawah wus wiwinih hiprakawis, sukur tawekol mot, ping tripanarimanira tanjeh, kang puniku wawadhahing ngilmi, neng pethi upami, santosa harukut. Kang tan winih dhasar tri prakawis, tangeh yen kawohyon, lir amangglh rukmi kathah bote, winadhahan godhong jati aking, duk ngangh-at cinangking, godhonge jur-mumur. Dituturkan bahwa: Orang-orang yang sudah memperoleh hidayah diumpamakan sebagai sawah yang sudah ditaburi biji berupa 3 ha1 yaitu: bersyukur, bertawukal, dan pasrah.
Sedangkan orang yang belurn mendaphtkan hidayah ibarat
menemukan emas yang berat kemudian ditempatkan pada daun jati kering, dan ketika diangkat daun itu akan hancur. Sedangkan pada Serat Centhini jilid XI1 ha1.268 disebutkan mengenai adanya ajaran yang diumpamakan dengan tata-cara bersawah, misalnya ketika membajak dengan garu dan waluku sarnpai kemudian menjadi biji atau buah dari Tuhan. Hal tersebut merupakan ilmu yang perlu ditanam agar memberikan hasil yang sejati, sehingga perlu dialiri dengan air, kutipannya sebagai berikut:
lIpamane kang sarengat iki, kadyangga-ning wong ulah sasawah, anggaru maluku reke, karya leleranipun, yen wus dadi rumrap kang wiji, wiji pan saking ing Hyang, ngelmu arannipun, mangkana den-tandurana, yen wus dadi lelerannip~tvsajati, mangka den-bonyonana.
Kehidupan masyarakat yang diwarnai aspek religi Islam selain tampak praktek aktivitas sehari-hari juga tersirat dalam bentuk berbagai seni pertunjukan, misalnya seni suara (singir, salawatan), seni karawitan (lagu-lagu dengan gamelan dan terbang), seni wayang, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pada masa tersebut sudah cukup dapat mengimplementasikan seni sebagai salah satu sarana untuk menyebarkan ajaran agama. Dengan kata lain mereka sudah mampu mengakomodir antara kemampuan berseni, kebutuhan rohani, dengan misi penyebaran ajaran agama. Dilihat dari berbagai uraian dan ilmu yang tersurat dalam Serat Centhini, tampak bahwa pandangan hidup orang Jawa terbentuk dari beberapa kepercayaan, agama Hindu, agama Budha, dan ajaran tasawuf Islam. Hal ini lazim disebut sebagai kejawen, atau dalam kesusastraan Jawa disebut 'Ilnzu Kesempur~aan
Jiwa' (Herusatoto, 2000). Ilmu ini termasuk ilmu kebatinan yang dalam filsafat Islam disebut tasawuf; sementara orang Jawa menyebutnya sebagai suluk atau
nlistik. Kejawen sendiri sebenarnya bukan agama namun merupakan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal inilah yang banyak mewarnai kehidupan masyarakat Jawa baik seperti yang tersirat dalam Serat Centhini maupun yang terjadi pada masyarakat Jawa pada umumnya hingga masa sekarang. Jika ditilik dari pola pergaulan atau hubungan antar anggota masyarakat dalam Serat Centhini, banyak sekali peristiwa-peristiwa yang menggambarkan bagaimana orang Jawa melaksanakan sikap saling menghormati terhadap sesamanya, terutama pada seseorang yang dituakan. Prinsip hormat inipun berlaku juga terhadap leluhur atau nenek moyangnya, dan juga kepada alam yang telah memberi kehidupan. Sebagai contoh menyatunya kepercayaan mereka terhadap roh nenek moyang dan kepercayaan terhadap kekuatan aIam yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupannya sebagai manifestasi dari personifikasi kekuatan alam. Selain itu dalam kehidupannya masyarakat Jawa menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya merupakan kebesaran Penciptanya, seGngga mereka selalu mengutamakan Sang Pencipta dalam setiap aspek kehidupannya. Mereka juga berusaha menjalin hubungan baik dengan sesamanya dengan prinsip rukun dan saling menghormati. Mereka menyadari bahwa dirinya
merupakan bagian dari suatu sistem di mana sistem tersebut ada yang mencipta, mengatur, dan menguasainya. Karenanya mereka dengan segala pemahamannya berusaha untuk nlenjaga keharmonisan hubungan satu sarna lain agar sistem tersebut mampu berjalan dengan baik bagi kehidupan masing-masing anggotanya. Pada prinsipnya yang diutamakan adalah mencari kesejatian hidup agar dapat mengetahui akan ha1 ikhwal keadaan penciptanya, sehingga mereka akan menjadi manusia sejati yang bemilai.
3. Ilmu Pada masa tersebut pendidikan formal belum mer~~pakan suatu ha1 yang diutamakan oleh masyarakat. Usaha mereka dalam menuntut ilmu berorientasi pada hal-ha1 seputar ilmu-ilmu agama dan keahlian-keahlian yang berkaitan dengan ha1 tersebut. Sudah menjadi sesuatu yang umum bagi seorang anak (terutama anak lelaki) jika sudah mencukupi umumya akan berpisah dengan orang tuanya pergl ke suatu tempat untuk belajar atau memperdalam ilmu agama, misalnya ilmu syariat, belajar mengaji, dan sebagainya. Dari 28 golongan ilmu pokok yang terbagi lagi menjadi bagian-bagian kecil, terlihat bahwa Serat Centhini berisi hal-ha1 yang mengatur hubungan antara manusia dengan Penciptanya, (sepxti ilmu tentang agama Islam, clgama Budha, agama Hindu, kejawen atau kepercayaan, dan ilmu filsafat), dengan dirinya (ilmu kejiwaan, bangunan, obat-obatan dan penyakit, dan sebagainya), dan juga dengan sesama dan lingkungannya (ilmu etika, kesosialan, tata-cara, dan sebagainya). Secara urnum dapat disebutkan bahwa aspek pendidikan yang tersirat dalam Serat Centhini secara dominan diwamai jalur non-formal yang berbau religi dan falsafah kehidupan, bersifat pre natal maupun post natal. Contoh pendidikan pre-natal yang masih banyak dianut hingga masa sekarang adalah kriteria pemilihan calon istri yang berdasar konsep bibit, bebet, dan bobot. Bemacam ilmu dan pendidikan tersebut diperoleh masyarakat melalui berbagai cara, misalnya melalui pengalaman pribadi, meniru, atau melihat apa yang terjadi di sekelilingnja, melalui naluri indra ke e n m , dan informasi turun-temurun (pewarisan).
4.
Mata pencaharian Pada dasarnya corak kehidupan masyarakat Jawa pada masa tersebut
adalah bertani, baik mengerjakan sawah milik sendiri maupun bekerja pada lahan milik orang lain. Selain itu mereka juga bertemak sapi, kerbau, kuda, kambing, itik, angsa, bebek, dan brati2. Mereka juga memelihara ikan tombro atau ikan mas (Cyprinus carpio) di kolam-kolam rurnah, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan
akan lauk-pauk sehari-hari. Jenis mata pencaharian yang lain adalah berdagang di pasar tradisional, baik berupa hasil bumi, makanan, temak, dan sebagainya. Sebagian masyarakat menggunakan keterampilan yang dimiliki untuk mencari nafkah, misalnya pandai besi, membuat gamelan, mengukir, tukang kayu, dan perajin alat-alat rumah tangga dan lain-lainnya. Para wanita pada masa itu umumnya tinggal di rumah mengurus keluarga, mengurus rumah tangga dan membantu pekerjaan bertani seperti penanaman padi, menyiang, panen dan pekerjaan ringan lainnya. Selain itu ada juga kaum wanita yang menambail penghasilan keluarga dengan berjualan di pasar tradisional. Sedangkan tugas para pria umumnya adalah bekerja mengolah sawah dan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya.
5. Adat-istiadat Adat-istiadat yang berlaku di tengah masyarakat juga merupakan sebagian cerminan pandangan dan sikap hidup masyarakat Jawa. Selain berusaha untuk menciptakan kerukunan, nilai yang menyolok adalah kesadaran
untuk
menghormati orang yang dituakan, baik dalam kaitannya dengan usia maupun status sosial masyarakat. Penghormatan tersebut terefleksi dalam berbagai perilaku, misalnya pemberian nama sebutan dan gelar, penghormatan terhadap arwah leluhur dalam bentuk berbagai ritual dan pemberian sesaji, tata-cara dalam berbicara, berbahasa, dan bertindak, dan sebagainya. Nilai lain yang tetap terpelihara hingga masa sekarang adalah adanya keyakinan bahwa alam terdiri atas bermacam kekuatan yang hidup berdampingan dan saling mempengaruhi, baik pengaruh baik maupun tidak baik. Untuk itu perlu adanya ritual-ritual tertentu ?mtuk menjaga keseimbangan dalam alam agar semua persilangan bebek dengan angsa
yang dilakukan dapat berjalan baik dan mendatangkan keselamatan. Keyakinan ini term~~ifestasi dalam berbagai tradisi ritual dalam masyarakat, antara lain ritual daur hidup, pemberian sesaji sebelum melaksanakan suatu kegiatan, pemberian sesaji secara berkala, pemberian sesaji untuk suatu permohonan atau penolak bala, dan sebagainya. Secara lebih rinci kegiatan ritual masyarakat Jawa disajikan pada bagian tersendiri, lihat hal. 86. Keramahan dan keakraban dalam menerima tamu nierupakan salah satu tradisi yang tersirat dalam Serat Centhini. Tamu dianggap sebagai seorang yang mendatangkan berkah sehingga perlu diperlakukan dengan baik, melalui bentuk penyambutan dan penyajian hidangan yang layak. Tradisi lainnya adalah hidup bergotong royong, tradisi makan dan minuni, kesenian, dan berbagai bentuk simbolisme. Secara terperinci adat istiadat masyarakat Jawa yang tersurat dalam
Serat Centhini adalah: 5.1. Gotong-royong Bagi orang Jawa, bermasyarakat merupakan sumber rasa aman, sehingga pola hidup rukun dan bergotong-royong banyak mewarnai kehidupannya. Sedangkan kondisi alam dihayati sebagai sesuatu kekuasaan yang turut menentukan keselamatan maupun kehancuran. Berdasarkan pola pikir seperti inilah maka dalam kehidupan sehari-hari mereka berusaha menjalin keharmonisan di antara masyarakat, lingkungan, dan kekuatan yang menguasai mereka. Contoh kegiatan bergotong-royong masyarakat pada masa tersebut antara lain dalam mengolah sawah, mulai dari persiapan penanaman hingga panen. Hasil panen tersebut sebagian disisihkan untuk anggota masyarakat yang membutuhkan. Kegiatan lain adalah kebersarnaan saat diadakannya hajatan (pemikahan, selamatan, dan sebagainya), musibah (misalnya kematian atau kehilangan sanak saudara), pementasan pertunjukkan, dan sebagainya. Kegiatan gotong-royong tersebut membentuk moral masyarakat untuk selalu berbagi dengan sesamanya, dan juga adanya rasa memiliki yang tinggi untuk turut menjaga milik orang lain dari ganggum dan sebagai balas jasa atas apa yang mereba telah terima. Semangat kebersamaan tersebut tidak lepas dari pandangan hidup masyarakat yang sela!u
berupaya untuk menjaga keselarasan, keserasian, dan keharmonisan untuk mencapai kerukunan hidup. 5.2. Tradisi menginang dan merokok Tradisi yang sangat m u m dalam liiasyarakat adalah kebiasaan orangorang tua (wanita) menginang dan melinting rokok (pria). Suguhan yang biasa diberikan dalam menjamu tamu adalah perleliykapan menginang yang terdiri dari sirih (Piper betle L.), kapur, pinang (Arecn catechlr L.), dan gambir (Uncaria garnbir Roxb.), serta perlengkapan merokok sang terdiri dari tembakau (Nicotiana tabaccum L., kemenyan (Styrax benzoin Dryand.), tempaos atau kemukus (Piper cubeba L.) dan klobot3; minumarl (kopi, nira kelapa, gula siwalan, air temu, wedang jahe, dan sebagainya), kudapan (berbagai jenis penganan tradisional), nasi, sayur, dan lauk-pauk, serta buah-buahan Biasanya para tamu menikmati kudapan di sela makan sirih. Menurut Astuti dkk (2000), tradisi menginang bagi niasyarakat Jawa merupakan suatu bentuk simbol persaudaraan. Selain itu pinang juga dapat berfungsi sebagai penahan haus dan lapar, agar dapat berjalan cepat namun tidak mudah lelah. ivlanfaat pinang yang lain adalah sebagai salah satu pelengkap dalam sesaji dan kayunya dapat digunakan sebagai bahan. Pslepahnya sering digunakan sebagai pengganti kayu bakar dan digunakan dalam permainan anak-anak. Dalam Serat Centhini disebutkan bahwa sebag-i sarana pelengkap dalam menginang adalah wadah yang disebut jerambah laras, yaitu anyaman yang terbuat dari daun kelapa (Cocos nucifera L.), berfungsi sebagai tempat membuang liur. Tradisi menginang ini juga dilakukan oleh para gadis pada masa itu di sela-sela waktu istirahat. Merokok tampaknya sudah menjadi salah satu kebiasaan yang mengakar hingga saat ini. Pada masa tersebut jenis rokok yang dikonsumsi masyarakat adalah rokok yang digulung sendiri, yang dibuat dengan cara tembakau beserta campurannya dilinthing lebih dulu dengan tangan. Pembungkus yang digunakan adalah dari bahan klobot, dan ada juga yang menggunakan klaras (pelepah pisang). Sebagai carnpuran tembakau adalah kemenyan dan klembak (Rheum sp.). Seinentara di daerah Yogyakarta dan Surakarta, selain dicampur deagan
' kulit jagung (Zea mays L.), untuk melinting rokok 18
kemenyan dan klembak juga sering ditambah dengan kemukus. Jenis rokok demikian pada masa sekarang terkenal dengan nama rokok klernC.uk rnenyan, yang memiliki aroma khas dan biasanyd dikonsumsi masyarakat di pedesaan. Dalam Serat Centhini, jenis rokok diberi sebutan atau nama sesuai dengan komponen campurannya, misalnya rokok tanjung kapulaga, yaitu rokok yang dicampur dengan bunga tanjung dan kapulaga; rokok nipah; yaitu rokok yang pembungkusnya terbuat dari daun nipah. Selain itu pada masa itu terdapat tradisi menghisap tembakau secara langsung tanpa dibungkus dengan klobot atau daun nipah, yaitu menggunakan tembakau sugi, yaitu tembakau kering yang dirajang halus kemudian dikunyah dan dihisap sarinya. Pada akhir abad XVIII berkembang jenis rokok kreiek dengan ciri khas menggunakan cengkeh (Eugenia arornatica) sebagai salah satu campurannya, dan ini merupakan jenis rokok klias Indonesia. Sebagai pengganti penggunaan filter (penyaring) pada rokok, rokok tradisional sudah dirancang untuk memilikifilter alami dengan bentuknya yang conus, yaitu menyen~pitpada pangkalnya. Desain ini merupakan usaha untuk mengurangi masuknja partikulat berbahaya yang terbentuk dari hasil pembakarannya. Sedangkan sebagai wadah untuk menyimpan perlengkapan merokok adalah keba, yaitu sejenis dompet yang terbuat dari anyaman rumput mendong (Fimbristylis globulosa Kunth.). 5.3. Tradisi makan dan minum Dalam ha1 tradisi makan dan minum, ha1 yang membedakannya dengan masa sekarang terutama adalah jenis peralatan yang digunakan. Jika pada masa sekarang telah banyak menggunakan peralatan dari bahan kaca (porselen dan sebagainya) dan logam, maka dalam Serat Centhini sering diceritakan bahwa peralatan makan pada masa tersebut didominasi oleh bahan bambu (misalnya cething4 bumbungs, dan seperti besek6), tempurung (misalnya irus7), juga daun pisang (misalnya takir8 dan suru9). Tempat air yang biasa digunakan adalah kendi,
tempat nasi
' gelas dari bambu wadah dari anyaman bambu sendok sayur wadah makanan kecil 9 sendok dari daun pisang 7
berasal dari bahan tanah liat. Kegiatan makan sehari-hari maupun menjamu tamu biasa dilakukan dengan lesehan atau duduk beralas tikar. Makan besar selalu terdiri atas nasi, sayur, dan lauk-pauknya, disertai dengan minuman tertentu. Makan besar juga umum ditutup dengan makanan pencuci mulut seperti buah-buahan. Baik pada acara makan besar maupun kecil, biasanya disediakan perlengkapan menginang dan merokok yang biasanya dilakukan sebelum atau sesudah makan. Dalam menjamu tamu biasanya didahului dengan penyajian kudapan berupa berbagai penganan tradisional. Umumnya jika yang bertandang adalah tamu yang dihormati atau yang berasal dari tempat yang jauh, baik telah dikenal sebelumnya maupun tidak, selalu disertai dengan jan~uan makan sebagai penghormatan. Rasa hormat ini juga ditunjukkan dengan berlimpah dan beragamnya jenis makanan dan minuman yang dihidangkan. Orang yang dikunjungi akan merasa sangat puas jika tamu yang dijamu benar-benar menggemari dan menikmati hidangan yang disajikan. 5.4. Tradisi seni
Dari berbagai peristiwa atau pertunjukkan kesenian yang diceritakan, tampaknya hidup berkesenian sudah merupakan bsgian dari gaya hidup masyarakat Jawa pada masa tersebut. Kesenian bukan hanya dipandang sebagai suatu sarana hiburan belaka namun juga merupakan ajang sosialisasi, keakraban, dan juga penyebaran agama karena kerap kali ajaran-ajaran agama diselipkan dalam kesempatan tersebut. Macam-macam bentuk kesenian tersebut antara lain: seni tari (kuda lumping, reyog, tayuban), seni musik (gamelan, karawitan), seni suara (singir, salawatan), dan seni wayang (wayang kulit, wayang purwa, wayang krucil atau wayang klithik). Selain sebagai hiburan, pertunjukkan tersebut juga diadakan dalam berbagai kzsempatan, misalnya menghormati tamu, selamatail atau kenduri, menyambut peristiwa alam (gerhana bulan, matahari), dan peristiwa upacara keagamaan (misalnya setiap 1 syuro). Pada kesempatan tersebut biasanya dijadikan ajang berkumpul bagi n?asyarakat desa sekitar, baik saat persiapan pementasan yang dilakukan secara bergotong-royong hingga sdat selesainya acara tersebut.
Salah satu contoh bagaimana seni pertunjukan rakyat Jawa merupakan suatu proses yang kompleks yang mengandung hampir semua aspek seni adalah pertunjukkan wayang. Dalam pertunjukkan wayang ada beberapa aspek seni yang menyertai, antara lain tari, yang diungkapkan oleh dalang dalam menarikan wayang-wayangnya; musik, yang dimainkan penabuh gamelan; drama, yang dibawakan oleh dalang melalui pengungkapan karakter-karakter wayang; dan seni resitasi oleh dalang saat ia mengungkapkanjanturnn dan sebagainya. Wayang merupakan kesenian yang begitu populer di kalangan masyarakat Jawa dan ditampilkan dalam berbagai kesempatan. Menurut Herusatoto (2000), wayang merupakan kesenian yang mampu memvisualisasikan seluruh filsafat hidup masyarakat Jawa. Prosesinya banyak melibatkan baik penlain, penonton, dan berbagai sarana pelengkap. Berbagai macam alat musik dari berbagai jenis bahan (tumbuhan dan logam) biasa dipergunakan untuk mengiringi pertunjukkan tersebut, terutama dari bahan bambu, rotan, dan kayu, seperti kendhang, bonang,
kenong, saron, kethuk, gambang, rebab, angklung, dan sebagainya. Macammacam wayang yang disebutkan dalam Serar Cenrhini adalah wayang kulit (terbuat dari kulit sapi atau kerbau, rangka terbuat dari tanduk), wayang rontal (terbuat dari daun lontar atau Borassus flabelliber L.), dan wayang krucil atau wayang klithik (terbuat dari Dolichandrone sparhaceae K. Schum.). Dalam cerita pewayangan terkadang dikisahkan beberapa pertempuran yang antara lain menggunakan tombak. Bahan yang biasa digunakan sebagai penutup tangkai tombak adalah kayu wergu (RaphisflabelliformisL'Herit.). Pada masa sekarang masih terdapat mitos bahwa penanaman pohon ini di sebelah kiri rumah tinggal mampu mencegah kekuatan jahat yang akan mengganggu penghuninya, misalnya santet. Masyarakat Jawa adakalanya menggunakan kesenian sebagai simbolisme suatu harapan atau keinginan yang ingin dicapai. Sebagai contoh adalah seni tari yang disebut tayuban, yang dianggap sebagai tarian upacara kesuburan. Tayub merupakan tari upacara kesubu:an, baik untuk kesuburan tanah maupun kesuburan manusia (Surjo dkk, 1985). Tayuban untuk kesuburan tanah biasanya dilakukan menjelang panen atau setelah panen selesai. Saat pertunjukkan &an ada kesempatan di mana orang yang dituakan atau dihormati di wilayah tersebut
tampil menari bersama sang ledhek atau ronggengI0 yang berkesan romantis. Hal ini disebut bedhah burni" yang dianalogikan dengan hubungan antara padi dengan tanah, sehingga bisa mempengaruhi kesuburan tanah. Jika pertunjukkan ini diselenggarakan pada upacara pemikahan, ha1 ini dianalogikan sebagai harapan agar mempengaruhi kesuburan kvdua mempelai. Pertunjukkan ini masih ada hingga saat sekarang, terutama di desa-desa di daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Salawatan merupakan salah satu bentuk kesenian lain yang sering diselenggarakan di tengah masyarakat. Kesenian ini merupakan kesenian bemuansa religi Islam, diperkirakan berasal dari abad ke-16 saat agama Islam sudah mulai tersebar luas di kalangan masyarakat Jawa (Surjo dkk, 1985). Selain di Jateng, salawatan juga terdapat di Sumatera, Jawa Barat, dan Lombok. Tujuan utamanya adalah pengagungan Nabi Muhammad dan sahabatnya, diiringi oleh instrumen musik non-gamelan seperti terbang, gendang, barung, cangklung,
caldng, calapita, terbuat dari b~hanutama kayu dan bambu. Fungsi ritual pertunjukkan ini tampak pada saat-saat pertunjukkannya yang jatuh ada hari-hari besar agama Islam, atau upacara-upacara khitanan, pemikahan, dan sebagainya.
5.5. Permainan Rakyat Permainan rakyat yang sering ditampilkan pada masa itu antara lain adalah permainan sulap. Seperti halnya dalam pertunjukkan wayang, sebelum dilaksanakan umumnya didahului dengan penyediaan sesaji agar pertunjukkan berjalan lancar. Jenis permainan lain adalah layang-layang dan panahan. Dalam Serat Centhini diceritakan bahwa masyarakat juga mengenal permainan-permainan berbau judi seperti permainan kartu, keplek, kecek, dan posing dadu. Dalam legenda-legenda yang diceritakan juga disebutkan kegemaran petinggi-petinggi pada jaman dahulu dalam beradu ayam dan puyuh.
'"enari wanita muda membelah bumi
"
6. Simbolisme dalam masyarakat
Dari apa yang tersurat dalam Serat Centhini,jelas sekali bahwa kehidupan masyarakat Jawa penuh diwarnai dengan berbagai simbolisme atau tindakantindakan dan hal-ha1 yang merupakan perlambang sesuatu. Herusatoto (2000) menyatakan bahwa mitos, magi, religi, dan ilmu pengetahuan bercampur-aduk dan hidup berdampingan dengan damai di tengah masyarakat Jawa. Unsur-unsur tersebut saling mempengaruhi dan akhirnya menjadi tradisi yang hidup subur dan kekal dalam kehidupan orang Jawa. Hal ini merupakan perpaduan antara peninggalan paham-paham prasejarah (mitologi, anirnisme, dinamisme) dengan kemajuan pola pikir dan pengetahuan masyarakat Jawa selanjutnya. Bentuk-bentuk simbolisme tersebut tampak dominan dalam berbagai aspek kehidupan, baik aspek religi, tradisi, maupun kesenian. Contoh dalam aspek religi adalah dalam pemujaan terhadap arwah nenek moyang, mereka akan mempersembahkan sesaji, membakar kemenyan atau wewangian lainnya seperti dupa dan ratus yang diasumsiitan sebagai aroma kegemaran roh-roh tersebut. Sebagai contoh simbolisme dalam aspek tradisi adalah rangkaian upacara pernikahan adat Jawa. Dalam rangkaian upacara tersebut dari awal hingga akhir penuh diwarnai dengan berbagai perlambang yang mengandung maksud dan tujuan tertentu. Demikian juga berbagai perlengkapan, hiasan, dan sesaji yang digunakan mempunyai makna tertentu pula. Misalnya penggunaan janur kuning memberikan perlambang sukacita, selain kata 'janur' sendiri mengandung unsur suku kata
'nur'
yang bermakna 'cahaya',
sehingga diharapkan akan
mendatangkan sukacita dan terang bagi sekelilingnya. Kemudian bahan sesaji berupa cengkir gading" bermakna 'kencenging pikir', sehingga diharapkan kedua mempelai memiliki 'kemauan yang keras' dalam mencapai tujuan. Sedangkan simbolisme dalam bidang kesenian tercermin dalam seni wayang. 3alarn proses pementasm wayang, dari sebelum pergelaran hingga pertunjukkan berlangsung, terdapat tindakan-tindakan simbolis yang dilakukan berbagai pihak yang terlibat. Misalnya dalam menyiapkan sesaji oleh penanggap (yang mempunyai hajat), atraksi oleh dalang selama pertunjukkan, atraksi oleh para penabuh gamelan dan sinden, dan ti~ldakan para pencipta yang telah
l2
buah kelapa gading yang rnasih rnuda
menghasilkan wayang tersebut (Herusatoto, 2000). Sebagai penjelasannya adalah, sebelum pertunjukkan wayang biasanya disediakan sesaji dengan maksud agar pertunjukkan berjalan lancar. Kemudian tindakan simbolis lainnya dicerminkan dari berbagai aba-aba yang diberikan dalang pada para penabuh gamelan, juga berbagai tindakan terhadap wayang-wayangnya. Selain itu tindakan simbolis lain adalah respon para penabuh gamelan dan sinden yang mengumandangkan musik atau lagu sesuai dengan permintaan dalang. Tindakan simbolis terakhir adalah yang dilakukan oleh para pencipta wayang tersebut, dituangkan melalui berbagai bentuk wajah, bagian tubuh, dan riasan wayang yang memberikan makna wakk tertentu. Sedangkan dalam seni tari, tindakan-tindakan simbolis tentu saja diungkapkan melalui rangkaian gerak tari. Sebagai contoh adalah dalam kesenian tayuban, yang merupakan tarian yang menggambarkan atau mengharapkan kesuburan baik dalam ha1 pertanian maupun dalam ha1 kemampuan memiliki keturunan. Dari berbagai tindakan simbolisme tersebut, makna yang tersirat adalah menggambarkan hubungan antara manusia dengan Penciptanya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alsm seisinya, termasuk juga dunia para amah nenek moyang. C. Pandangan Masyarakat Jawa terhadap Lingkungan dalam Serat Centlrini Pandangan masyarakat Jawa terhadap lingkungannya tidak dapat lepas dari latar belakang falsafah dan religi yang mendasari kehidupannya, yaitu Kejawen. Salah satu slogan penting dalam Kejawen adalah Memayu Hayuning
Bawono, yang artinya menjaga dunia ini demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan alam seisinya. Diyakini bnhwa dengan menjalankan konsep tersebut dengan sepenuhnya maka akan tercipta kehidupan manusia yang baik, aman, dan sejahtera. Secara singkat Memayu Hayuning Bawono berarti 'menjaga keindahan dunia'. Memayu berarti 'menjaga' atau 'memelihara', hayuning berasal dari kata
hayu 'ayu' atau 'indah', sedangkan bawono beralti 'dunia'. Persepsi masyarakat Jawa adalah bahwa dunia itu indah dan sangat bermanfaat bagi manusia dan seluruh makhluk, oleh karena itu hams dilestarikan dan dilindungi dengal cara-
cara yang baik, tentu saja oleh manusia sebagai makhluk yang paling bertanggungjawab karena telah banyak menerima apa yang diberikan oleh alam. Manusia tidak boleh melupakan bahwa keberadaannya tak terpisahkan dari keberadaan dunia. Aliran Kejawen juga menyatakan bahwa hanyalah Gusti (Tuhan) yang menciptakan jagad raya dan kehidupan seisinya. Hubungan vertikal ini hams didukung oleh hubungan horizontal yaitu antara manusia dengan sesama dan lingkungannya. Baik dari yang tersirat dalam Serat Centhini maupun dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya, mereka memiliki cara pandang yang holistik terhadap alam tempat hidupnya. Alam semesta diyakini merupakan suatu sistem yang terdiri dari Pencipta, alam makro (jagad raya), dan alam mikro (alam supranatural). Masyarakat merupakan bagian dari lingkungannya sehingga kehidupan dan ~eselamatannyajuga sangat bergantung pada keseimbangan dan keutuhan alam dan lingkungannya. Mereka juga men:~adaribahwa z!am semesta tidak bersifat statis karena selalu mengalami perubahan yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan. Perubahan-perubahan yang terjadi selain disebabkan oleh Yang Maha Kuasa juga karena manusia dengan pengetahuan yang dimilikinya berusaha memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidupnya dengan rnemanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia di alam. Adanya berbagai perubahan tersebut membuat masyarakat berpikir bahwa alam dan lingkungan memiliki keteibataran daya dukung dan perlu ada upaya untuk melestarikannya. Sebagai contoh ha1 ini tercermin dari teknik bercocoktanam masyarakat yang tidak bersifat eksploatatif dan telah berorientasi pada keberlanjutannya (secara lengkap ~erincidalam bagian D). Pemahaman konsep adanya Pencipta, makro kosmos, dan mikrokosmos yang perlu dijalin keserasiarlnya, membentuk pola pikir masyarakat tentang upaya-upaya menjaga keseimhangan ketiganya agar kehidupan dapat berjalan terus. Sebagai perwujudan pola pikir tersebut terbentuklah tradisi yang mengakar hingga saat ini yaitu pemujaan terhadap benda-benda dan alam sekitarnya, diantaranya dengan pemberian sesaji dalam berbagai ritual. Tradisi ini juga merupakan bentuk media komunikasi di antara manusia, Pencipta, dan berbagai kekuatan supranattlial. Penvujudan dalam bentuk lain adalah tumbuhnya berbagai kebijakan dan kearifan
lingkungan. Sebagai contoh adalah adanya fungsi keramat terhadap berbagai situs seperti hutan, gunung, dan sebagainya; serta pengaturan dan perhitungan sebelum melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu (pendirian rumah, bercocok-tanam, dan sebagainya). Ini merupakan cerminan nilai filsafat yang dianut rnasyarakat bahwa mereka merupakan bagian dari lingkungan, sehingga secara langsung merekapun adalah bagian dari seluruh jagad raya. Persepsi demikian dengan segala bentuk tindak-lanjutnya secara langsung maupun tidak, ada yang berpengaruh positif terhadap kelestarian daya dukung alam. Dengan demikian mengajarkan pada masyarakat bahwa alam perlu dijaga keberadannya, sebab tindakan-tindakan yang kurang bijaksana akan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup seluruh makhluk. 1. Pengetahuan Botani Lokal
Bagi masyarakat Jawa, tumbuhan mengakomodir berbagai aspek pentiilg dalam kehidupan. Kepentingan mtreka terhadap tumbuhan meliputi banyak hal, yaitu sebagai bahan pangan utama maupun tarnbahan, bahan bangunan, perlengkapan, pertanian, senjata, seni, transportasi, ibadah, permainan, zat pewama, pelengkap ritual, bahan cbat-obatan dan kosmetika, kayu bakar, dan lain sebagainya. Pengetahuan masyarakat selain tercermin dari banyaknya ragam pemanfaatan juga tercermin dalam teknik mengolah lahan pertanian dan bercocok-tanam, serta bagaimana upaya mereka mengelola dan melestarikan lingkungannya. Hal-ha1 yang berkaitan dengan pengetahuan botani masyarakat tersaji pula pada bagian D dan E. Pengetahuan botani lokal pada masa itu antara lain tercermin dari adanya semacam
klasifikasi
sederhana dalam bidang pertanian,
yaitu
dengan
menggolong-golongkan jenis buah-buahm berdasarkan kenarnpakan tertentu buah tersebut. Masyarakat mengistilahkan polo kasimpar bagi buah-buahan yang letaknya terserak (berserakan di tanah), seperti timun dan sebagainya. Kasimpar berarti 'sesuatu yang menghalangi jalan atau langkah, berserakan'. Untuk buahbuahan yang banyak mengandung air disebut sebagai p d o baruwah, yaitu buah untuk orang-orang yang berpuasa. Polo kependhem berarti buah yang terpendam dalam tanah, seperti umbi-umbian. Polo gumantung adalah semua buah yang
letaknya bergantungan di pohon, misalnya mangga (Mangifera indica L.) dan sebagainya. Untuk buah yang dapat menyebar disebut sebagai polokirno, seperti randu (Ceiba pentandra Gaertn.). Buah-buahan yang berbiji seperti kacangkacangan disebut sebagai polowijo. Sedangkan kelapa (Cocos nucfera L.) disebut sebagai polo kucilo (buah terasing), diduga ha1 ini berkaitan dengan cara penyebaran buah kelapa yang terbawa air laut hingga ke berbagai tempat. Pengenalan masyarakat akan jenis-jenis tumbuhan juga terlihat dari beragamnya jenis pisang yang dikenal pada masa itu, misalnya gedhang (pisang)
betiti, gedhang garaita, gedhang kluthuk, gedhang maraseba, gedhang talun, gedhang rajasewu, gedhang gebyar, gedhangplrlut, gedhang mas, dan sebagainya (lihat Lampiran I), di mana masing-masing jenis memiliki ciri khas tersendiri baik morfologi maupun rasanya. Sebagian besar jenis tersebut masih ada hingga masa sekarang, seperti gedhang mas, gedhaizg betiti dan gedhang kluthuk. Demikian juga pengenalan mereka akan jenis-jenis bambu, di antaranya pring (bambu) wulung, pring gading, pring petung, pring ori, pring rampal, pring
gesing, pring legi, pring ampel, pring tutul, priiig gading, pring jowo, pring apus, pring jaran, danpring anggendani. Dari berbagai jenis bambu tersebut, jenis yang sering dimanfaatkan sebagai bahan bangunan antara lain pring
(Gigantochloa
apus
(Schult.)
~ u r z . ) , pring
gading
apus
(Schizostachyum
brachycladum Kurz.), danpringjaran (Gigantochloa sp.). Masyarakat pada niasa tersebut juga sudah mengenal optimalisasi hasil pertanian. Selain tercermin dari teknik bercocok-tanam juga terlihat dari usaha mengurangi sejurnlah bagian tanaman pada jenis-jenis tertentu. Dalam Sera1
Centhini jilid I ha1.307 disebutkan bahwa: Tanaman yang diambil batang dun cabangnya cepat lhesar pohonnya. Tanaman yang diambil dedaunnya nzenjadi lebat, gemuk, dun rimbun. Tanaman yang diambil bunganp lekas bermekarm. Hal di atas menyiratkan bahwa pada masyarakat telah memiliki pengetahuan bahwa pengurangan sejumlah tertentu bagian-bagian tanaman
tanaman akan menyebabkan zat-zat hara terkonsentrasi dan terpakai secara optimal sehingga metabolisme tanaman berlangsung lebih efektif. Pengetahuan botani lokal juga tercermin dari uraian dalam Serat Centhini mengenai aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam memilih kayu jati (Tectona grandis L. f.) sebagai bahan bangunan rumah (secara rinci tersaji dalam bagian E.2.2.1).
2. Pengetahuan Tata-ruang Keeratan hubungan antara masyarakat dengan lingkungan sekitarnya tercermin dari ketergantungan mereka terhadap sumber daya alam yang tersedia di sekitarnya. Apresiasi masyarakat terhadap kondisi lingkungan ditunjukkan ole11 upaya mereka dalam mengelola hubungan mereka dengan lingkungannya agar tetap berlangsung harmonis. Tentu saja bentuk interaksi tersebut tidak lepas dari kondisi masyarakat yang masih tradisional baik pola pikir, tingkat pengetahuan, dan tindakan-tindakan yang dilakukan. Pemahaman tentang tata-ruang yang dimiliki masyarakat meliputi rumah tinggal, pekarangan, pemukiman, lahan pertanian, hutan, pegunungan, sungai, langit, bumi, dan tempat keramat. 2.1. Rumah Tinggal
Pemahaman masyarakat Jaws tentang rumah tinggal (omah) adalah merupakan tempat berlindung yang dapat memberi kebahagiaan lahir-batin bagi penghuninya apabila didirikan pada saat, tempat, dan dengan bahan yang baik. Sehingga titik berat tinjauan dalam pemilihan lokasi pendirian rumah adalah aspek fisiografis. Banyak hal yang menjadi pertimbangan masyarakat sebelum membangun rumah, antara lain pemilihan bahan bangunan, perhitungan mengenai ukuran, lokasi pendirian, hari baik pendirian rumah, arah menghadap rumah, sesaji yang diperlukan, d m sebagainya. Rumah bagi masyarakat Jawa selain sebagai tempat berlindung juga merupakan indikator status sosial-ekonomi seseorang. Terdapat 4 tipe arsitekrnr yang masing-masing merupakan cerminan satus ini, yaitu joglo, limasan, kampvng, dan masjid atau tiljzrg (lihat halaman 57). Bermacam pertimbangan dan perhitungan tersebut secara tak langsung merupakan cerminan kearifan masyarakat dalam membangun rumah yang baik
dan serasi ditinjau dari berbagai aspek, antara lain arsitektur, sumber daya, fisiografis, budaya, dan juga psikologis. Juga menunjukkan kesadaran dan keinginan masyarakat untuk menyatu dengan lingkungannya untuk jangka waktu yang tidak sementara, sehingga begitu banyak aspek yang perlu diperhitungkan sebelum pendirian rumah. Berbagai kearifan tersebut mampu mengarahkan masyarakat bahwa dalam mendirikan sebuah bangunan agar mempertimbangkan banyak ha1 sehingga perwujudannya merupakan hasil suatu pemikiran dan perenungan mendalam yang bertujuan mencapai keselarasan, keserasian, dan keharmonisan dengan lingkungan sekitarnya.
2.2. Pemukiman Dalam Serat Centhini tersirat bahwa kondisi umum pemukiman masyarakat urnumnya berupa suatu unit terdiri dari sejumlah rumah tinggal, yang disebut dhusun. Kemudian dari beberapa dhusun yang membentuk suatu unit yang lebih besar disebut sebagai desa. Pada masa itu antara satu dhusun dengan dhusun lain atau antara desa satu dengan desa lain terkadang dipisahkan oleh hutan lebat, pegunungan, semak belukar, maupun sungai. Sehingga perjalanan antara satu desa satu ke desa lainnya memerlukan waktu beberapa hari tergantung dari jxzk dan sarana transportasi yang digunakan. Sebuah dhusun atau desa dicirikan oleh adanya pagar yang membatasinya dan biasanya menggunakan pagar hidup disebut dhadhah, rumah-rumah tinggal beserta pekarangannya, rumah peribadatan, padhepokan (tempat bertapa bagi orang yang dituakan, misalnya kaum pemimpin agama dan tempat bagi yang ingin menimba ilmu), lahan-lahan bercocok-tanam, pusat perdagangan (pasar tradisional).
2.3. Lahan pertaniarr Terdapat dua macam cara bercocok-tanam yang dikenal masyarakat yaitu bercocok-tanam di lahan basah (sawah atau sabin) dan di lahan kering (tegal dan pekarangan).
Masing-masing
dibedakan oleh kebutuhan lahan terhadap
pengairan, di mana pertanian lahan oasah memerlukan hai ini.
Sawah (sabin) Pertanian lahan basah lazim disebut sawah atau sabin, merupakan pertanian yang bergantung pada pengairan. Sistem irigasi yang dilakukan bisa bersumber dari air sungai (disebut sawah oncoran) maupun dari air hujan (disebut sawah tadhahan). Sawah yang terletak di tepi sungai disebut sebagai palestren. Jenis tanaman yang mendominasi s m a h adalah pari (Oryza sativa L.). Bercocoktanam di sawah merupakan mata-pencaharian utama masyarakat.
Tegal Tegal atau ladang merupakan bentuk pertanian lahan kering. Lahannya disebut sebagai sawah gaga, sedang padi yang ditanam pada lahan demikian disebut dengan pari gaga. Tegal biasanya merupakan lahan pertanian hasil pembukaan hutan, juga dapat merupakan lahan bercocok-tanam di tanah-tanah miring (lereng-lereng gunung atau bukit). Jenis tanaman yang ditanam di regal meliputi padi, sayur-sayuran (sawi, cabai, terong, dan sebagainya), umbi-umbian (ketela, gembili, ubi-ubian, gadung, dan sebagainya), buah-buahan (timun, pepaya, dan sebagainya), dan biji-bijian (jagung, kacang-kacangan, dan sebagainya). Adanya tanaman-tanaman selain padi pada lahan tersebut pada akhimya memunculkan istilah-istilah seperti patimunan (lahan yang ditanami mentimun), pasemangkan (lahan yang ditanami semangka), pajagungan (lahan yang ditanami jagung), paketelan (lahan yang ditanami ketela), dan pajanganan (lahan yang ditanami sayur-mayur).
Pekarangan (kebon) Pengertian masyarakat tentang pekarangan pada masa penulisan Serat Centhini adalah merupakan suatu lahan yang berada baik di belakang, kiri, kanan, atau di depan rumah, yang biasa dimanfaatkan terutama sebagai areal bercocoktanam. Tanaman yang banyak diusahakan adalah sayur-sayuran dan buah-buahan untuk keperluan sehari-hari, juga tanaman untuk perlengkapan bumbu dapur dan pengobetan tradisional. Seluruh turnbuh-tumbuhan berkayu yang ada di pekarangan maupun kebon disebut sebagai karang kitri. Ciri yang lain adalah terdapatnya tanaman kelapa (Cocos nucifera L.), yang fungsinya sebagai
pembatas atau penanda wilayah dan mempunyai manfaat yang beragam dalam kehidupan sehari-hari. Pekarangan dimanfaatkan pula sebagai lahan pemeliharaan ikan dengan membuat kolam-kolam yang berdekatan dengan sumber-sumber air. Ikan yang biasa dipelihara adalah ikan tombro merah atau ikan mas (Cyprinus carpio), badar merah (Puntius bromoides), dan gurami (Osphyronemus gouramy). Hasil ikan yang diperoleh selain untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk sehari-hari, adakalanya juga diperdagangkanjuga sebagai tambahan pemasukan. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada di pekarangan berfungsi sebagai peneduh, pemberi nilai estetis dan ekonomi. Pekarangan secara menyeluruh juga memiliki fungsi sosial budaya, karena digunakan sebagai tempat bermain anak-anak, berkomunikasi dengan tetangga, acara-acara kesenian rakyat, dan lain-lain. Fungsi psikologis ditunjukkan oleh adanya jenis-jenis tanaman yang bermakna filosofis, seperti yang dipercaya mampu mendatangkan pengaruh kebaikan misalnya pohon kemuning (Murraya paniculata
Jacq.) yang
mengingatkan manusia agar berpikir suci dan jernih. Pekarangan bagi masyarakat Jawa adalah cerminan adaptasi lingkungan yang mempunyai nilai estetis, nilai ekonomi, dan sekaligus nilai budaya.
2.4. Hutan (alas, wono) Hutan dalam Serat Centhini diartikan sebagai suatu ekosistem tersendiri yang kaya akan berbagai jenis tanaman baik bunga, buah, rumput, lumut (hutan heterogen), juga dapat berupa hutan homogen yang hanya ditumbuhi suatu jenis tanaman tertentu saja, misalnya pohon jati (Tectona grandis L.f), dan berbagai jenis bambu. Hewan-hewan yan; menghuninya antara lain bermacam jenis burung, rusa, kancil, kijang, dan berbagai binatang buas seperti harimau, ular dan sebagainya. Hasil hutan yang banyak dipakai untuk melengkapi memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah sebagai bahan pangan, papan, dan kayu bakar. Terdapat pula konsep yang dianut masyarakat Jawa, bahwa kayu memiliki 6 sifat atau !cegunaan yaitu sebagai tiailg, kerangka rumah, perlengkapan rumah tangga.
arca kayu,tempat mendudukkan bangunan, dan lcayu bakar.
Hutan juga merupakan lahan yang dapat dibuka (ditugar) untuk dijadikan areal bercocok-tanam (berladang). Narnun persepsi yang melekat di kalangan masyarakat adalah bahwa terkadang hutan lebih merupakan suatu lokasi yang angker dan keramat, yang selain dijadikan tempat pertapaan juga dihuni oleh bermacam 'makhluk'. Kepentingan mereka terhadap hutan adalah selain sebagai areal bertani, berburu, mencari kayu dan hasil hutan, juga menggunakannya sebagai situs pemujaan dan bersemadi. Hutan dalam fungsi keramat ini sebenarnya justru menurnbuhkan nilai konservasi tersendiri. Sebab dengan mengkeramatkan situs-situs tertentu dalam hutan serta melarar~gkegiatan-kegiatan di lokasi-lokasi tertentu (bertanam, berburu, dan lain-lain), praktek eksploitasi hutan akan terbatasi sehingga secara tak langsung merupakan sebuah usaha pelestarian hutan dan sumber daya di dalamnya. 2.5. Pegunungan Hal yang kuang lebih sama juga diberlakukan terhadap gunung atau pegunungan. Pegunungan selain dianggap sebagai salah satu lahan bercocoktanam dan ekosistem tempat hidup berbagai tumbuhan dan hewan, juga memiliki fungsi keramat sehingga banyak digunakan sebagai tempat pertapaan dan sejenisnya. Gunung dan gunung api merupakan situs yang sangat menarik perhatian masyarakat Jawa karena berkait erat dengan kepercayaan sehari-hari, yaitu bahwa roh orang yang sudah meninggal masih ada bersama dengan mereka dan gunung merupakan salah satu tempa: bsrsemayamnya, serta dapat diajak berkomunikasi untuk dimintai per1:ndungan. Bahkan dalam pertunjukkan wayang kulit, replika gunung digunakan sebagai simbol kehidupan, disebut gunungan, yang ditancapkan di tengah-tengah panggung sebelum pertunjukkan dimulai. Hal ini melambangkan awal mula dunia sebelum ada manusia, kecuali hewan dan turnbuhan yang tergambar pada gunungan. Dalam Serat Centhini sendiri, beberapa kali diceritakan adanya kegiatan pemujaan amah nenek moyang yang ritualnya dilangsungkan di gunung-gunung. Fungsi lainnya adalah sebagai situs pertapaai~ dan mencari ilmu atau ilham. Hal ini berangkat dari keyakindn masyarakat sejak jaman kerajaan-kerajaan kuno Jawa, bshwa gunung merupakan tempat tinggal para dewa.
Mitos terhadap gunung tidak luntur hingga masa sekarang ini. Sebagai contoh adalah perilaku masyarakat di pedesaan sekitar gunung Merapi di DIY. Berbagai larangan dan pantangan telah mengakar dalam kepercayaan masyarakat, yang jika tidak ditaati diyakini akan menimbulkan malapetaka bagi seluruh penduduk desa. Misalnya pantangan menebang pohon di situs-situs te~tentu, merumput, memindahkan benda-benda, mendirikan bangunan, dan sebagainya. Bahkan di kalangan para pecinta alampun bukan merupakan ha1 baru jika sebelum pendakian selalu diingatkan tentang aturan-aturan seperti tidak boleh marah, mengeluh, berkata kotor, bermaksud jahat, berbaju dengan warna tertentu, dan sejenisnya. Hal ini masih ditambah dengan keharusan mengucapkan sapaansapaan permisi jika melintasi situs-situs tertentu. Mitos demikian menyebabkan tradisi pemberian sesaji atau selamatan telah lestari berlangsung turun-temurun, tentu saja dengan maksud agar memperoleh keselamatan iahir dan batin. Masyarakat meyakini bahwa makhlukmakhluk pengganggu dapat dinetralisir dengan ritual-ritual tertentil, sehingga dapat mendatangkan kebaikan. Dalam selamatan tersebut selain diucapkan berbagai doa dan mantra, juga disediakan makanan, bunga-bungaan, dan kemenyan (Styrax benzoin Dryand.). Bunga dan kemenyan dianggap merupakan makanan utama makhluk halus. Sebagai manifestasi positif dari keyakinan tersebut, tumbuh pula berbagai kearifan ekologi di kalangan masyarakat yang mereka asumsikan sebagai upaya penyelarasan antara kehidupan mereka dengan lingkungan yang dihuninya. Selain berbagai larangan dan pantangan yang telah disebutkan terdahulu, sebagai contoh adalah pemilihan lokasi pertanian dan pemukiman yang menghindari daerah berbatu dan berpasir vulkanik, karena diyakini situs demikian dihuni oleh makhluk jahat. Namun kajian ilmiah terhadap anggapan ini akan mengaitkannya dengan kemampuan tanah menyerap air dan menyangga bangunan di atasnya. Komunitas masyarakat di sekitar lereng Merapi bahkan pada bulan Jawa Sura sangat berharap gunung tersebut mengeluarkan lahar dan letusan kecil yang membakar alang-alang di lereng bzgian atas. Hal ini diyakini sebagai simbol aktivitas para makhluk tak kasat mata yang sedang nlengadakan perlawatan, pcsta, dan sejenisnya. Diyakini juga bahwa jika fenomena ini tak terjadi, merupakan
pertanda akan terjadinya letusan besar. Secara vulkanologis asumsi ini dapat diterima, sebab dengan adanya letusan kecil dan lahar secara kontinyu, ini merupakan indikasi tak terjadinya penyumbatan dan akumulasi material di dapur magma yang dapat menimbulkan letusan dahsyat. Sementara kajian botani akan menjelaskan bahwa lahar yang membakar alang-alang akan menciptakan penghijauan di lereng-lereng atas sehingga dapat mencegah erosi. Jenis rurnput alang-alang (Imperata cylindrica L.) mempunyai struktur akar yang kuat dan panjang, dan karena pembakaran tersebut tak nlencapai bagian akar maka rumput tersebut &an tumbuh lagi dengan subur (Dove, 1989 dalam Triyoga, 1991). Bentuk kearifan ekologi yang lain adalah pantangan ke luar rumah saat hujan abu, pendirian rumah yang menghadap berlawanan arah dengan gunung (sebaiknya menghadap ke jalan utama desa sehingga memudahkan penyelamatan diri saat terjadi letusan), serta panfangan berburu dan bercocok-tanam di situssitus angker. Pada kenyataannya tempat-tempat yang dianggap angker tersebut umumnya terletak di lereng-lereng atas atau gunung-gunung kecil, hutan dan sumber air, yang berfungsi melindungi sumber daya genetis dan menangkal erosi (Triyoga, 1991). Sedangkan rangkaian sesaji dan ritual yang diadakan sebenarnya &an mengingstkan bahwa perlu dijaga keharmonisan antara masyarakat dengan lingkungannya, selain juga sebagai media komunikasi antara manusia dengan Penciptanya.
2.6. Sungai Pemanfatan sungai sebagai sumber daya oleh masyarakat pada masa itu terutama dimanfaatkan sebagai sumber air, baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk irigasi lahan pertanian dan perikanan. Dalam Serat Centhini. cara masyarakat d a l m mendistribusikan air adalah dengan menampung air bersih yang berasal dari pegunungan dalam sejenis waduk, untuk kemudian dialirkan sesuai dengan keperluannya, misalnya untuk irigasi, air bersih, maupun untuk pemeliharaan ikan di kolam. 'Bentuk pemanfaatan sungai yang lain adalah sebagai sarana transportasi sederhana, dengan menggunakan gethek (rakit).
2.7. Langit dan bumi
Pemahaman masyarakat Jawa terhadap alam lingkungan menyangkut berbagai ha1 di sekelilingnya. Hal ini terlihat dalam bagaimana mereka mengkeramatkan langit. Bagi mereka langit merupakan bagian dari alam yang berperan dalam melengkapi kehidupan manusia baik jasmani dan rohani. Pembagiannya adalah langir roh jasmani (melengkapi hidup), langit roh nabadi (melengkapi
aspek jasmani),
langit
roh
napsani
(melengkapi
aspek
keinginanihasrat), langit roh rohani (melengkapi aspek rohani/ilmu dan sebagainya), langit roh nurani (melengkapi manusia dengan 'cahaya'), langit roh
rabani (melengkapi aspek religi), dan langit roh b p i (melengkapi aspek 'penyerahan diri'). Sedangkan Triharso (1983) menyebutkan bahwa dalam Serat
Centhini tercantum bagaimana bumi (tanah) hams dijaga kelestariannya, yaitu dengan mengaitkannya dengan sifat budi luhur manusia. Pembagiannya meliputi
bumi ratna, bumi kalbu, bumi jantung, bumi puji, bumi jinem, bumi sukma, dan bumi raksa. Pengkeramatan dan analogi yang diberlakukan terhadap langit dan bumi ini sedikit banyak merupakan refleksi pemahaman mereka terhadap pentingnya kedua elemen alam semesta itu dalam kehidupan. Langit (dalam ha1 ini udara) diasumsikan sebagai sesuatu yang berperan penting bagi seluruh makhluk di bumi sehingga perlu dijaga kebersihan dan kelestariannya. Demikian pula halnya dengan humi (tanah), apresiasi mereka yang tinggi terhadap ha1 ini ditunjukkan dengan menganalogkamya dengan hal-ha1 yang penting pula dalam kehidupan manusia. Hal-ha1 tersebut menunjukkan bagaimana eratnya ikatan antara manusia dengan alam tempat hidupnya, sehingga mereka mengaitkannya dengan sifat-sifat luhur pada manusia. Secara keseluruhan dari berbagai persepsi tentang lingkungan yang tersirat dalam Serat Centhini tampak bahwa masyarakat Jawa memandang alam lingkungannya sebagai tempat mereka hidup dan bergantung, sehingga pada dasarnya mereka sangat menghargai apa yang telah diberikan oleh alam bagi mereka. Namun keterbatssan pola pikir pada masa itu lnenyebabkan perwujudan apresiasi yang dilakukan kadangk.ila tampak sebagai hal-ha1 yang kurang logis,
walaupun sebenarnya menyimpan kearifan bemilai konservasi
yang masih
relevan hingga masa kini. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sejak jaman dahulu masyarakat tidak hanya semata-mata mengeksploitasi segala bentuk kekayaan dam untuk sekedar memenuhi kebutuhan mereka, namun sedikit banyak juga telah memperhatikan aspek pelestarian baik disadari maupun tidak. Berbagai bentuk penghormatan terhadap le'luhur dan persembahan sesaji menunjukkan adanya persepsi bahwa apa yang sudah diberikan oleh alam lingkungan juga harus dipersembahkan kembali sebagai bentuk rasa ketergantungan mereka terhadap Sang Pencipta dan alam lingkungannya, sehingga sistem yang telah terbentuk tersebut dapat tetap berjalan harmonis, selaras, dan seimbang.
D. Sistem Pertanian Masyarakat dalam Serat Centlzini Pulau Jawa yang terletak di daerah khatulistiwa mempunyai iklim musorl tropis dengan suhu udara tinggi dan merata, dan mengalami dua kali perubahan musim tiap tahunnya yaitu musim hujan dan musim kering. Curah hujan di Indonesia dan pulau Jawa khususnya cukup tinggi, kurang lebih 2000 mdtahun, menyebabkan kelembaban udara cukup tinggi pula. Hal ini masih ditambah dengan lebatnya hutan-hutan tropis (Subroto, 1985). Hal lain yang mendukung subumya kondisi tanah di Jawa adalah banyaknya gunung-gunung herapi, yang berperan penting dalam sejarah geologi dan manusia. Dampak utamanya bersifat positif karena menciptakan lahan-lahan b m melalui aliran lava, endapan abu, serta lahar. Erosi yang terjadi secara alami mengangkut bahan-bahan sebagai endapan aluvial ke dataran-dataran rendah berupa lapisan-lapisan tebal yang sangat subur. Daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali memiliki tanah yang lebih subur karena adanya gunung berapi yang menghasilkan lava basal (Whitten, 1999). Sedangkan dalam Serat Centhini istilah yang digunakan inasyarakat untuk tanah demikian adalah tanah ladhu, yang dilukiskan sebagai tanah yang subur berkat gunung berapi, yang rata dan mengandung air, bercampur pasir, gembur seperti setiap hari dicangkul dan digm. Dunia agraris sangat melekat dan mengdkar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Pertanian bagi mereka bukan sekedar bercocok tanam saja
namun juga merupakan ekspresi dan aplikasi pemahaman mereka tentang kehidupan dengan segala aspeknya. Macam-macam pertanian masyarakat yang tergambar dalam Serat Centhini adalah pertanian lahan basah yaitu bercocoktanam di sawah, dan pertanian pertanian lahan kering yang meliputi bercocoktanam di tegal (ladang) dan pekarangan.
1. Sawah Sawah atau sabin merupakan jenis pertanian lahan basah sebab bergantung pada adanya pengairan. Sawah dengan pengairan yang bersumber dari sungai disebut sawah oncoran, sedangkan sawah dengan pengairan yang bersumber dari air hujan disebut sawah tadhahan. Dalam Serat Centhini digambarkan bahwa lahan ini didominasi tanaman padi, sedflgkan jenis tumbuhan lain yang terdapat di sekitar areal persawahan misainya biji-bijian, sayuran, dan umbi-umbian. Berikut ini adalah teknik bercocok-tanam yang dilakukan pada masa penulisan
Serat Centhini: Pengolahan tanah Tahap awal dalam pengolahan tanah adalah membersihkan lahan dari tumbuhan atau kotoran yang ada, sebal: biasanya setelah pemanenan sebelumnya memang lahan tidak langsung digarap tetapi diistirahatkan dahulu (diberokan). Setelah lahan siap untuk digarap, pekerjaan diawali dengan rnencangkul atau membajak, tergantung luasnya lahan. Proses selanjutnya adalah menggaru, dimaksudkan agar bongkahan-bongkahan tanah hasil pencangkulan atau pembajakan dapat menjadi gembur dan halus, sekaligus meratakan tanah sehingga tanah siap ditanarni. Setelah proses penggaruan, dilakukan pembajakan dan penggaruan sekali lagi agar tanah menjadi lebih gembur. Kemudian dilanjutkan dengan pekerjaan namping atau membuat galengan (tanggul pemisah atau pematang sawah), serta menghaluskan tanggul dengan dilapisi tanah liat. Pada tahap ini umumnya sekaligus dilakukan pembuatan tulakan (lubang atau saluran air) untuk pengairan sawah, baru kemudian dilakukan tahap penanaman.
Penanaman dan pemeliharaan Pada lahan basah proses penanaman dimulai dengan penebaran bibit pada pesemaian yang telah disiapkan sebelurn proses pembajakan sawah, disebut
bedhengan, yaitu betupa tanah yang ditinggikan berupa gundukan-gundukan tanah berbentuk petak. Setelah benih cukup umurnya maka dilakukan pencabutan rumpun-rumpun yang telah tumbuh untuk kemudian dipindahkan pada lahan yang telah siap ditanami. Pemeliharaan tanaman padi meliputi adanya pengairan, penyiangan
(ndhangir), dan pembasmian hama. Penyiangan dilakukan saat padi berumur kurang-lebih 3 minggu dengan cara menggaru lumpur di sekitar tanaman sambil mencabuti rumput-rumput liar. Setelah itu biasanya dilakukan pemupukan menggunakan pupuk kandang. Hewan-hewan pengganggu yang biasa terdapat di persawahan antara lain burung gagak, tuhu, kolik, perkutut, derkuku. Hewan lain adalah tikus, belalang,
sundep (sejenis serangga), lutung (monyet), ulat, dan babi. Pembasmian hanla selain dilakukan dengan membuat memedi sawah (orang-orangan sawah) dan
goprak (pengusir burung), juga dilakukan dengan pemberian sesaji. Dalam uraian itu disebutkan bahwa syarat atau sesaji penangkal harna yaitu ekor sejenis belalang yang diberi tangkai bambu hitam, kemudian dibawa berjalan di pematang mengitari sawah sambil membaca mantra Dalam Serat Centhini diceritakan bahwa lahan pertanian masyarakat selain dikerjakan sendri oleh si pemilik, ada juga yang mengupah orang lain untuk mengerjakannya. Pada masa tersebut juga dikenal satuan ukuran luas pengolahan untuk sawah, yaitu : bau / bahu, di mana 1 bau kurang lebih luasnya 7000 m2, terdiri atas 4 petak. Hitungan tersebut sudah dimulai pada jaman dahulu, diadopsi dari hitungan jagal : a) 1 bau
=
1 potong kaki hewan
b) I kikil =
2 potong kaki hewan
c) 1 jung
=
4 potong kaki hewan
a) 1 bau
=
tanah yang menjadi tanggungan 1 orang
b) 1 kikil
=
tanall yang menjadi tanggungan 2 orang
Seliingga :
c) 1jung
=
tanah yang menjadi tanggungan 4 orang
Subroto (1985) menyebutkan bahwa diperkirakan ukuran tersebut pada mulanya dipakai untuk mengukur luas pada suatu areal tertentu yang ditentukan oleh mampu tidaknya dikerjakan oleh 1 orang (bohu selain berarti 'lengan bagian atas' juga dapat diartikan sebagai 'kekuatan seorang lelaki'). Sebidang tanah yang dapat dikerjakan (dicangkul) oleh seorang lelaki disebut memiliki luas 1 bahu, demikian seterusnya.
Pemanenan Bila padi telah cukup umur (menguning) maka dilakukan tahap pemanenan, yang biasanya dilakukan para wanita. Alat yang biasa digunakan untuk memanen adalah ani-ani. Berikut ini adalah terjemahan bebas gambaran suasana di sawah yang seringkali diceritakan dalam Serat Centhini:
......orang-orang menunggui padi yang sudah menguning di gubug, sambil mengusir burung dengan goprak13 dun membunyikan alat m ~ s i k ' ~ . Sementara anak-anak menggembalakan ternaknya pada ara-ara" sambil menunggang lembu; juga ada petani yang menabur pupuk. Menjelang waktu istirahat para wanita dun anak-anak perempuan akan datang rnembawakan makan siang....... Bulir-bulir padi yang sudah terpotong kemudian akan dijadikan beberapa ikatan yang dijadikan satu. Dalam Serat Centhini dikisahkan bahwa selain dijual dan disisakan untuk benih, maka ada bagian yang disediakan untuk disedekahkan bagi orang yang membutuhkan. Demikian pula untuk hasil bumi yang lain, ada beberapa kalangan yang memperbolehkan masyarakat mengambil sendiri kebutuhan yang mereka perlukan. Dengan cara demikian rakyat justru turut memelihara dan ikut merasa memiliki, serta berusaha menjaga lahan tersebut dari perusalcan. " pengusir bumng dari bambu, dipasang pada pohon kelapa dan diberi penarik di I' l5
rebab, kendang, rebana tanah yang tidak ditanami
bawahnya
Macam-macam padi yang terdapat pada masa itu adalah tambak menur,
sukonaizdi, papah aren, menthik wangi, jaka banglot, pendhok wesi, dhudha ngasag, cendhani, randha menter, slamet. Diperkirakan nama-narna tersebut merupakan varietas-varietas padi yang ada pada masa tersebut, yang pada masa sekarang sudah punah karena adanya perubahan kondisi habitat, iklim, dan praktek bertanam yang semakin berkemhang.
Pengolahan hasil Sebelum menjadi bahan pangan yang siap dikonsumsi, perlu dilakukan proses pengolahan terlebih dahulu pada tanaman padi, yaitu dengan menumbuk atau nutu. Alat yang digunakan adalah lesung, lumpang, dan alu. Ikatan-ikatan padi yang sebelumnya telah dijemur kemudian dimasukkan dalam lesung dan ditumbuk menggunakan alu untuk memisahkan gabah (bulir padi) dari tangkainya. Kemudian gabah akan ditumbuk dalam lumpang agar menjadi beras. Pemisahan beras dari kulit yang masih tersisa dilakukan dengan cara menampi menggunakan tampah, untuk selanjutnya digunakan tumbu (bakul) sebagai wadah penyimpan beras.
2. Tegal (ladang)
Tegal atau ladang merupakan salah satu bentuk pertanian kering sebab tidak memerlukan pengairan. Tegal dapat berupa lahan hasil pembukaan hutan
(menugar hutan), atiu areai bertanam di lahan miring, seperti lereng-lereng gunung atau bukit. Hal ini merupakan salah satu teknik yang dilakukan masyarakat dalam mensiasati bentuk lahan miring agar juga dapat memberikan hasil yang optimal, yang secara tak langsung berhubungan dengan aspek pencegahan erosi dan konservasi tanah. Sistem demikian dalam masyarakat Jawa dikenal dengan istilah nyabuk gunung, yang dalam pertanian modem disebut dengan strip cropping, di mana lahan di lereng paling atas hingga yang terbawah diolah sehingga dapat ditanami mengitari bukit. Hal ini tersirat dalam Setat
Centhini jilid I bab 58 butir 5-17 (Joyosuharto, 1989), di mana diceritakan bagaimana umumnya komposisi tanaman pada lahan tegalari adalah sebaqai berikut :
-
lereng paling atas ditanami jenis bunga-bungaan
-
lereng di bawahnya ditanami jenis rempah-rempah lebih ke bawah ditanami pohon buah-buahan selanjutnya ditanami kelapa, lontar, pinang, diselingi pisang dan berbagai anggota tumbuhan berimpang (empon-empon)
-
pada kaki lereng atau lahan yang melandai ditanami sayuran dan bahan pangan.
Pengolahan tanah Seperti halnya pengolahan tanah di lahan basah, tahap awal dalam pengolahan tanah diawali dengan membersihkan lahan dan dilanjutkan dengan mencangkul atau membajak. Untuk meratakan dan menggemburkan tanah agar siap ditanami, kemudian dilakukan penggaruan. Berbeda dengan pengolahan tanah di lahan basah, maka proses pembajakan dan penggaruan pada lahan kering dilakukan hanya satu kali.
Penanaman dan pemeliharaan Setelah lahan siap untuk ditanami, benih padi gogo dapat langsung ditebarkan tanpa hams disemaikan lebih dahulu seperti halnya benih padi sawah. Karena lahan tegal biasanya ditanami berbagai jenis tanaman dengan umur yang berbeda-beda, maka tanaman yang biasa ditanam pertama kali adalah padi, jewawut (Panicum viride L.), dan cantel (Coix lacryma jobi L.). Setelah bibit ditebarkan kemudian dilakukan penggatuan untuk meratakan tanah. Setelah kurang-lebih 15 hari, kemudian dilakukan penanaman jagung, ketela, dan kedelai di sela-sela padi, cantel, dan jewawut. Pada masa sekarang teknik demikian dikenal sebagai multi cropping maupun tumpang sari. Penyiangan dapat dilakukan setelah 15-20 hari kemudian, selain untuk membersihkan dari tanaman liar juga untuk menggemburkan dan meninggikan tanah. Penyiangan berikutnya dilakukan saat tanaman telah berumur 40-50 hari, disertai dengan pemupukan. Pembasmian hama yang dilakukan tidak jauh berbeda seperti halnya pada lahan sawah.
Teknik semacam multi cropping dalam Serat Centhini tercermin antara lain dengan adanya istilah petalunan yang artinya persawahan yang tanamannya diberi selisih, misalnya dengan diselingi tanaman sejenis sawi (Brassica sp.). Hal tersebut merupakan indikasi bahwa' sudah ada sistem tertentu yang dipakai dalam mensiasati lahan supaya memberi hasil yang optimal, selain juga merupakan strategi pergiliran lahan dan tanaman. Sehingga kemudian terdapat pula istilah patimunan (lahan yang ditanami mentimun), pasemangkan (lahan yang ditanami semangka), pajagungan (lahan yang ditanami jagung), paketelan (lahan yang ditanami ketela), danpajanganan (lahan yang ditanami sayur-mayur).
Pemanenan Jenis tanaman yang panennya bersamaan adalah padi, cantel, jagung, kedelai, dan jewawut. Pada saat tanaman-tanaxan tersebut dipanen, maka dilakukan penyiangan sekali lagi untuk tanaman ketela karena belum saatnya dipanen. Pada saat ini lahan ditanami dengan benih kacang-kacangan. Sesuai dengan jenis tanamannya maka cara pemanenan dapat dilakukan dengan alat (misalnya pada tanaman padi dan ketela) atau tanpa alat (misalnya pada tanaman jagung dan kacang).
Pengolahan hasil Pengolahan hasil untuk tanaman non-padi bergantung pada tujuannya. Jika tanaman tersebut akan langsung dikonsumsi maka tidak memerlukan pengolahan khusus. Sedangkan untuk tanaman padi gogo, seperti halnya dengan padi sawah maka juga memerlukan pengolahan (penumbukan) sebelum menjadi beras dan siap untukdikonsumsi. Peralatan yang digunakan tidak jauh berbeda dengan peralatan dalam pengolahan padi sawah.
3. Pekarangan Pekarangan merupakan lahan di sekitar rumah yang dimanfaatkan untuk bercocok-tanam. Lzhm ini tidak ditanami padi, umbi-umbian, dan kacangkacangan seperti halnya sawah dan legal, namun jenis tanamannya lebih bewariasi karena juga ditanami berbagai jenis bunga, sayuran, tanaman t bat, dan
tanaman rempah atau bumbu dapw. Selain itu pekarangan juga digunakan sebagai lahan betemak dan memelihara ikan dalam kolam (secara rinci tersaji pada bagian C.2.2). Dalam Serat Cenrhini ada disebutkan bahwa air jernih yang mengalir dari
puncak gunung melalui sungai-sungai ditampung dalam sejenis waduk, sehingga kemudian dapat dialirkan ke sekeliling bangunan. Sistem pengaliran air yang sudah tertata juga terlihat dari adanya uraian b & ~ apekarangan dipagari dengan tanaman, dan dikelilingi oleh parit berair bening. Jadi pada masa itu telah ada teknik tersendiri dalanl mendistribusikan air yaitu dengan menampungnya pada wadah tertentu untuk kemudian dialirkan menuju tempat-tempat yang memerlukan. Adanya parit di sekeliling bangunan juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk pencegahan banjir. Lahan pekarangan tidak memerlukan pengolahan lahan secara khusus seperti halnya sawah dan tegal, sebab pekarangan tidak ditanami secara berka:a. Penanaman cukup dengan penyediaan tanah yang gembur sesuai dengan kebutuhannya. Pemeliharaan yang dilakukan misalnya dengan membersihkan lahan (menyapu) dan menyirami tanaman secara rutin. Pengambilan hasil tanaman biasanya disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan, demikian pula penanganan dan pengolahannya.
3.
Peternakan
Hewan-hewan temak yang biasa dipelihara untuk kebutuhan sehari-hari maupun diperdagangkan di pasar tradisional adalah kambing, kerbau, sapi, dan kuda. Kerbau dan sapi banyak dipergunakan oleh para petani untuk membantu pekerjaan di sawah. Unggas yang dipelihara antara lain ayam, bebek, mentok, dan brati. Brati merupakan persilangan antara bebek dengan mentok. Perikanan pada masa itu dilakukan di kolam pekarangan. Ikan yang biasa dipelihara adalah tombro merah atau ikan mas (Cyprinus carpio), wader bang atau badar merah (Punrius bromoides), dan gurami (Osphyronemus gouramy). Ikan mas tampaknya menjadi konsumsi kegemaran masyarakat pada masa tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena selain rasanya yang enak, daging tebal dan tanpa duri-duri halus, secara ekoncmis ikan in1 menguntungkan karena sangst adaptif, bersifat omnivor, tahan t:rhadap penyakit, pertumbuhannya cepat dan
dapat dipijahkan tiap saat. Triharso (1983) menyebutkan bahwa dalam Serar Centhini ikan mas dapat disajikan dalam kurang lebih 16 macam masakan.
E. Kajian Etnobotani terhadap Serat Centlrini Perhatian terhadap bidang etnobotani masa kini tidak hanya terfokus pada bagaimana keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan digunakan oleh suatu kelompok masyarakat, tetapi juga membahas bagaimana persepsi masyarakat terhadap keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan tersebut, bagaimana mereka mengelolanya, dan bagaimana pengaruh hubungan timbal-balik antara suatu kelompok masyarakat dengan keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan berikut kondisi lingkungannya. Sejak permulaan keberadaannya, etnobotani sebagai suatu disiplin ilmu masih belum memiliki batasan yang pasti dan tegas yang disepakati oleh para peneliti Botani. Yen (1993) & Cotton (1996) menyatakan bahwa etnobotani telah berulangkali didefinisi ulang dan bahkan hingga sekarang belum ada kesepakatan yang pasti mengenai istilah ini. Umurnnya kontroversi seputar definisi etnobotani berakar dari perbedaanperbedaan ketertarikan para peneliti yang terlibat dalam bidang ini. Jika para ahli botani semula menitikberatkan kajiannya pada potensi ekonomi tumbuhtumbuhan yang digunakan kaurn pribumi, para ahli antropologi menekankan pentingnya perbedaan-perbedaan persepsi yang beredar (Cotton. 1996). Namun demikian Rifai dan Waluyo (1992) mencoba meluruskan keadaan tersebut untuk memudahkan penerapan dan pengembangannya di Indonesia. Menurut mereka etnobotani adalah cabang imu yang mendalarni hubungan budaya manusia dengan alam nabati di sekitarnya. Dalam ha1 ini lebih diutamakan pada persepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat yang dipelajari dalam mengatur sistem pengetahuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam lingkup hidupnya. Jadi data penelitian etnobotani adalah data tentang pengetahuan botani masyarakat dan organisasinya, bukan data botani taksonominya. Martin (i995) &m
Cotton (1996) menyebutkan bahwa sampai dengan
tahun 1994 interpretasi pengert~an etnobotani adalah semua stud; teritang tumbuhan yang mendasarkan tentang deskripsi lokal dan interaksinya dengan
lingkungan alaminya. Sedang menurut Purwanto (1999), secara sederhana penelitian etnobotani dapat didefinisikan sebagai suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan masyarakat lokal dengan lingkungan meliputi sistem pengetahuan tentang sumber daya dam tumbuhan. Terlepas dari masalah perbedaan pengertian tersebut, saat ini studi mengenai pemanfaatan tumbuhan secara tradisional telah berkembang pesat, ditandai dengan berdirinya berbagai institusi yang berkompeten. Meningkatnya ketertarikan terhadap studi etnobotani juga telah mengubah cara pandang terhadap masyarakat tradisional. Para ahli mulai menyadari betapa berguna dan berharganya data etnobotani dan mulai mengakui bahwa masyarakat tradisional banyak memberi masukan pada ilmu pengetahuan barat (Cotton, 1996). 1. Etnobotani di Indonesia
Etnobotani berkembang dari adanya fakta bahwa budaya suku-suku bangss di dalam memanfaatkan sumber daya aiam yang berupa tumbuhan itu berbeda-beda, dan hidup manusia tergantung pada tumbuhan. Kepentingan etnobotani bagi Indonesia cukup Seralasan, karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, mempunyai tidak kurang dari 17.000 pulau besar dan kecil. Dengan sendirinya Indonesia juga mempunyai keanekaragaman yang tinggi baik berupa suku bangsa, budaya, bahasa, tradisi, dan agama sebagai adaptasi mereka kepada alam lingkungannya yang berbeda seperti flora dan fauna, iklim, geologi, tanah, geografi, dan sebagainya. Dilema yang timbul adalah di satu pihak masih banyak tumbuh-tumbuhan kita yang belum diketahui informasinya, demikian juga pemanfaatan tradisional oleh suku-suku bangsa yang tersebar di seluruh kawasan Indonesia. Di pihak lain kita dipacu untuk berlomba dengan hilangnya sumber daya alam dan pengetahuan tradisional yang begitu cepat sebelum mengkajinya serta msak dan berubahnya lingkungan di mana mereka tinggal karena pengaruh budaya modem dan pembangunan (Soekarman & Soedarsono R., 1992). Di Indonesia, penelitian etnobotani masih belum terlalu populer meskipun dalam prakteknya sxdah bmyak dilakukan oleh para pakar dari disiplin ilmu-ilmu lain, terutarna botani dan antropologi. Hal diawali oleh ahli botani Rumphius pada
abad XVII dalam bukunya Herbarium Amboineme, yaitu tentang ekonomi botani tumbuh-tumbuhan di Ambon dan sekitamya. Kemudian pada tahun 1845 Hasskarl telah menyebutkan dalam bukunya mengenai kegunaan lebih 900 jenis tumbuhan Indonesia (Purwanto, 1999). Menurut Purwanto (1999), perhatian para pakar etnobotani di Indonesia sebenamya belum menyentuh hakekat etnobotani itu sendiri. Penelitian-penelitian yang dilakukan hanya berupa pengungkapan kegunaan berbagai jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh berbagai kelompok masyarakat dan etnik saja, tanpa melakukan bahasan interdisipliner seperti yang dituntut etnobotani masa kini. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman para peneliti kita tentang cakupan ilmu etnobotani. Sejalan dengan itu masalah penting yang perlu mendapat perhatian adalah rawannya obyek yang diteliti karena cepatnya laju erosi sumber daya alam, terutama tumbuhan dan pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan oleh s k u bangsa tertentu. Hal ini karena rusak dan berubahnya habitat di mana suku bangsa tertentu d m tumbuhan itu berada. Semua ini umumnya karena kurang bijaksananya pengelolaan sumber daya alam yang ada (Soekarman & Soedarsono R, 1992).
2. Keanekaragaman pemanfaatan tumbuhan dalam Serat Centhini
Dari hasil pengamatan terhadap pemanfaatan keanekaragaman jenis turnbuhan oleh masyarakat Jawa yang tersurat dalam Serat Centhini tercatat 331 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan dalaii kehidupan sehari-hari, baik sebagai tanaman peliharaan maupun sebagai tanaman liar (Tabel 1.).
Tabel 1. Kategori pemanfaatan keanekaragaman jenis tumbuhan yang tersurat dalarn Serat Centhini Kategori pemanfaatan tumbuhan
Jnmlah Jenis
Makanan utama Makanan tambahan 2.1. Sayuran dan kacang-kacangan 2.2. Tanaman penghasil minyak 2.3. Umbi-umbian 2.4. Bumbu 2.5. Tanaman pembuat bahan minuman 2.6. Buah-buahan yang dapat dimakan 2.7. Makanan karbohidrat lain (non-beras) Makanan hewan Kayu bakar Tanaman hias di pekarangan Bahan kosmetika dan aromatik Bahan pewarna Bahan ritual atau magis Pupuk hijau Bahan pembuat alat-alat (pertanian, rumah tangga, dsb.) Tanaman beracun (racun ikan) Bahan pembuat rokok Tanaman obat Bahan bangunan Bahan tali dan anyaman Tumbuhan bahan alat musik dan mainan anak-anak Kayu komersil lokal Jamur (yang dapat dimakan) Pemanfaatan lain I
I JUMLAH
I
I
331
Keteran~an: tanda (>) digunakan karena diduga jumlah sesungguhnya lebih besar dari yang dapat terungkap.
Hasil analisis terhadap pemanfaatan keanekaragaman jenis tumbuhan oleh masyarakat Jawa yang tersurat dalam Serat Centhini, meliputi pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan pangan, bahan bangunan, bahan perlengkapan (rumah tangga, pertanian, senjata, seni, transportasi, ibadah, permainan), bahan pewarna, bahan pelengkap ritual, bahan obat-obatan dan kosmetika, dan kayu bakar.
2.1. Bahan pangan Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan pangan meliputi bahan pangan pokok, bahan pangan tambahan, sayuran, buA-buahan, bahan pembuat rninuman,
dan makanan ternak. Jumlah jenis tumbuhan yang dimanfaatkan tersebut tersaji pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Jumlah jenis turnbuhan sebagai bahan pangan dalam Serat Centhini Kategori
Jumlah Jenis -
1. Makanan Pokok
1
2. Makanan Tambahan
27
3. Sayuran
35
4. Buah-buahan
68
5. Bahan Minuman
22
Bahan makanan pokok masyarakat adalah beras (Oryza sativa L.), sedangkan makanan tambahan termasuk di dalamnya biji-bijian dan kacangkacangan. Kategori yang lain adalah pemanfaatan tumbukan sebagai burnbu dapur atau rempah, disajikan dalam Lampiran 2. Tanaman bahan pangan dan rempah tersebut sebagian besar merupakan jenis yang telah sengaja ditanam di sawah, ladang atau tegalan, dan pekarangan. Sedangkan selebihnya merupakan tanarnan yang tumbuh di hutan, terutama buah-buahan. Keseluruhan data secara rinci disajikan dalam Lampiran 1. Keanekaragaman jenis tanaman bahan pangan yang tercantum di dalam Serat Centhini cukup besar jumlahnya, ha1 ini memberikan gambaran bahwa alam pada masa itu memiliki daya dukung yang cukup baik dan memiliki persediaan bahan pangan yang cukup melimpah. Tanaman padi (Oryza sativa L.) sebagai bahan makanan pokok tetap merupakan jenis tanaman yang paling mendapat perhatian dalam ha1 penanganannya. Dari hasil analisis terhadap asal bahan pangan menunjukkan bahwa masyaraka! Jawa pada masa penulisan Serat Centhini umumnya sudah jarang melakukan kegiatan meramu bahan pangan dari hasil hutan. Sebagian besar jenis bahan pangan yang berasal dari tanaman dihasilkan dari usaha penanaman, yang pada masa sekarang berkembang inenjadi tekllologi budidaya. Sedangkan bahan pangan yang berasal dari hewan, selain berasal dari hasil betemak, mereka juga melakukan perburuan di hutan atau penangkapan ikan di sungai
gendhang, gethuk, gemblong, criping linjik; criping kaspe, criping tela, ketan madu, ketan kore, lepet, lemper, mendhut, ondhe-ondhe. Dalam kajian itu disebutkan bahwa acara makan besar untuk masyarakat selalu terdapat sajian berupa nasi beserta lauk-pauk yang umumnya terbuat dari bahan daging (sapi, kambing, kerbau), unggas atau ikan, dilengkapi dengan samba1 dan lalapan terutama bila lauk disajikan &lam bentuk kering (digoreng atau dibakar). Selain itu terdapat juga hidangan daging hewan liar seperti kijang, menjangan, kancil, dan beberapa macam burung. Hewan tersebut umumnya dimasak utuh kemungkinan dengan cara membakar atau menggoreng. Sedangkan macam-macam sayur (jangan) juga disebutkan namun kemunculannya cukup jarang. Sedangkan jika dilihat dari cara pengolahannya, dikenal beberapa cara yang biasa dilakukan pada masa itu antara lain dengan cara perebusan, pengukusan, penggorengan, pemanggangan, pembakaran, tim, turn (pengukusan dengan daun pisang), dan age (perebusan dan pembakaran). Sementara itu proses pengawetan yang sering dilakukan adalah dengan cara pengeringan, pengasinan, dan fermentasi (misalnya pembuatan tuak). Bentuk hidangan yang disajikan bagi tamu atau tetangga yang bertandang ke rumah umurnnya berupa nyenyamikan (makanan kecil) berupa juwadah, keripik, jenang, dodol, serabi dan sebagainya. Selain itu disajikan pula minuman panas berupa wedang teh (teh panas) atau wedang kopi (kopi panas). Beranekaragam jenis wedang dan penyebutannya tergantung dari bahan pembuatnya, misalnya wedang belimbing wuluh, wedang temu lawak, wedang jae, dan lain-lainnya. Bentuk minuman lainnya berupa air kelapa muda (degan),
legeni7, dan susu kambing. Dalam Serat Centhini disebutkan pula minuman yang terbuat dari buah kopi (Coffea sp.) yang telah ditelan oleh musang. Buah kopi tersebut digoreng dan ditumbuk masih dalam keadaan utuh, kemudien diseduh dengan air panas ditambah dengan gula aren (terbuat dari Arenga pinata Merr.). Pemanis minuman yang digunakan oleh masyarakat umurnnya berupa gula tebu (terbuat dari Saccharum officinarum L.), gula aren (terbuat dari nira Arenga
pinnata Merr.), d m gula siwalan (terbuat dari nira Borassus flabelliber L).
17
nira kelapa
Siwalan adalah buah pohon lontar, seperti halnya dengan gula men gula siwalan dibuat dari nira hasil sadapan bunganya (manggar). Dalam Serat Centhini kerap kali diceritakan pengembaraan tokoht o k o h a yang melalui berbagai medan yang tidak selalu tersedia sumber air yang memadai. Untuk mengatasi rasa haus biasanya para pengembara tersebut sering memanfaatkan tumbuhan di sekithya yang banyak mengandung air, misalnya manisreja (Vaccinium varingijoliurn Miq.), parijatha (Medinilla javanica), dan buah tins (Cocos nucijera L.) Manisreja merupakan tumbuhan yang khas terdapat di daerah yang memiliki sumber belerang (solfatar), yang oleh pecinta alam pada masa sekarangpun sering diambil pucuk daun mudanya sebagai penghilang dahaga darurat. 2.2. Bahan bangunan
Hail identifikasi dan analisis terhadap keanekaragaman jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan bangunan dalam Serat Centhini menunjukkan bahwa tidak ditemukan sebanyak jumlah jenis tumbuhan yang dikenal dan digunakan oleh masyarakat pada umumnya. Dari hasil inventarisasi tercatat hanya
10 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan bangunan (Tabel 3). Namun kenyataan ini tidak dapat dijadikan indikasi jumlah jenis yang sebenarnya yang telah dikenal masyarakat pada masa itu, mengingat bahwa data merupakan hasil pencuplikan dari sebuah alur cerita. Data yang terekam setidaknya dapat menggambarkan preferensi masyarakat dalam memilih jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan bangunan. Tabel 3. Keanekaragaman jenis tumbuhan sebagai bahan bangunan dalam Serat Centhini
Rumah atau papan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia selain pangan dan pakaian. Rumah berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat berlindung. Menurut pemahaman masyarakat Jawa, rumah dapat memberikan kebahagiaan lahir d m bathin bagi pemilik atau penghuninya jika didirikan pada lokasi yang baik. Mereka meyakini pula bahwa jika letak rumah tidak terletak pada lokasi yang baik, maka rumah itu dianggap tidak mempunyai wahyu (PPLH UGM, 198711988), Pentingnya kualitas rumah dari segi fisik dan spiritual tertulis dalam Serat Centhini, seperti uraian mendalam yang membahas tentang pemilihan kayu jati yang baik sebagai bahan bangunan dan persepsi tradisional yang diwujudkan dalam bentuk aturan-aturan, perhitungan, dan berbagai mitos tentang rumah. Secara m u m bahan kayu utama yang ideal digunakan dalam pembangunan rumah adalah kayu jati (Tectona grandis L.f.). Kayu jati menduduki posisi yang amat penting dalam pembangunan rumah (sebagai bahan bangunan), sehingga dalam Serat Centhini ada bagian yang khusus menguraikan tentang kayu jati, seperti yang diuraikannya pada jilid 111ha1.187). Uraian tersebut meliputi cara men~ilihkayu berdasarkan tempat tumbuh, jumlah cabang, kondisi tumbuh, dan sebagainya. Masing-masing kondisi kayu tersebut diyakini dapat rnenunjdckau ~ a t a k 'kayu, ~ sehingga mampu mendatangkan pengaruh baik istilah yang digunakan untuk menyebut kondisi tertentu kayu yang diyakini berpengaruh terhadap kehidupan pemakainya (pemilik ~ m a h )
maupun buruk terhadap bangunan dan penghuninya. Uraian tersebut juga mengupas tentang bagaimana cara robohnya atau tumbangnya kayu, habitus, efek saat kayu ditebang, bahkan bagaimana cara pohon jati tersebut mati. Selanjutnya diuraikan pula cara-cara menebang kayu, membelah, dan penggarapan kayu. Cara menebang kayu yang benar mempunyai tujuan agar upaya pengerjaannya lebih mudah, kualitas kayu lebih baik dan lebih awet. Pembahasan secara khusus terhadap kayu jati tersebut dapat dimengerti karena kayu jati merupakan bahan bangunan yang tahan lama, resisten terhadap kondisi iklim, kayu lebih keras dan merniliki nilai sosial dan ekonomi ;ang cukup tinggi. Tidak semua warga pada masa itu memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk membangun rumahnya menggunakan kayu jati. Jenis kayu lain yang digunakan sebagai altematif antara lain berbagai jenis bambu dan kayu mahoni
(Swietenia mahagoni Jacq.) Hamzuri (1985,1986) menyebutkan bahwa bahan rumah tradisimal Jawa, selain menggunakan kayu jati, juga digunakan kayu dari beberapa jenis tumbuhan seperti kayu nangka (Artocarpus integra Merr.), kayu tahun, kayu glugu (Cocos nucifera L.), dan bambu (Bambusa sp.). Kayu tahun adalah kayu yang umurnya baru beberapa tahun, namun sudah memiliki ukuran yang cukup besar dan dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan, misalnya kayu johar (Cassia siamea Lamk.). sengon (Albizia chinensis Merr.), dan meranti
(Shorea sp.). Dalam Serat Centhini dikisahkan jenis bambu @ring) yang digunakan dalam membangun rumah, diantarar,ya adalah jenis pring jaran (Gigantochloa sp.) yang digunakan sebagai kerangka atap; pring gading (Schizostachyum
brachycladum Kurz.) yang digunakan sebagai kerangka; pring petung (Dendrocalcmus asper Backer) sebagai tiang pondok, dan pring wulung (Gigantochloa atroviolacea Widjaja) yang digunakan sebagai rangka atap. Dalam Serat Centhini bab 111diuraikan tentang sejarah pembuatan rumah. Pada mulanya kerangka rumah-rumah di Jawa terbuat dari batu dan berbentuk seperti candi. Kemudian diceritakan adanya sarai~dari seorang punggawa agar bagian atas diganti seltlruhnya deligan kayu jati atau sejenisnya supaya lebih ringan, iidak goyah, dan mudah dalam pembdngunannya. Awalnya bentuk rumah
tidak mengalami perubahan, namun kemudian lambat laun menjadi lebih kecil dan beberapa bagian lain mulai menggunakan bahan kayu. Uraian lain berkenaan dengan pembangunan rumah adalah mengenai sirap yaitu atap rumah yang terbuat dari kayu. Masyarakat Jawa membedakannya menjadi 4 macam sirap berdasarkan ukuran panjang dan lebarnya, yaitu: a) Sirap dumba, berukuran panjang 3 kaki atau lebih, dan lebar 1.5 kaki atau lebih. b) Sirap gupe, mempunyai ukuran panjang hampir 3 kaki dan lebar 1 kaki atai lebih. c) Sirap dhara, panjang 2 kaki atau lebih dan lebar 7 dim atau lebih. d) Sirap gedhong, panjang 15 dim dan lebar 4 dim atau lebih. Keteran~an: 1 kaki
=
12 dim
=
0.304 rn ; 1 dim =I2 setrip; dan 12 kaki
=
sacengkal Dalam Serat Centhini jilid I11 diuraikan mengenai jenis kayu yang baik untuk pembuatan sirap. Berikut ini kutipan terjemahan bebasnya:
Kayu yang dibuat sirap sudah dipastikan yang tahan lama, yang diteresI9 lurus. Bila orang kecil membuat sirap dari pohon mati atau bungkah. Kalau bagi raja atau bangsawan harus menebang yang sudah diteres dun masih hidup, yang pilihan, lurus, tidak cacat, dun sebagainya. Cara pembelahannya: setelah pohon rebah, dipilih bagian yang tidak cacat, seratnya lurus seperti telah disebutkan di depan, kemudian bagian samping digethak sepanjang sirap dengan maksud agar sekaligus membenfuk lancu?:
setelah it?!baji dipasakkan pada gethakan tersebut
lalu diganden. Baji yang berjumlah banyak tersebut dipasang agak rapat supaya hasilnya lebih baik. Cara memasangnya diurutkan dengan alur urat pohon sehingga tidakpecah atau bergerigi dun tidak hancur. Setelah menjadi papan, diiris tipis sesuai dengan bentuk sirap yang diingi~kan, tetapi masih tebal wujudnya. Biarkan selama tign bulan. Akhiraya l9 20
diputus kambiumnya ketika pohon masih hidup,agar mati kering lancur atau lawi-lawi = kayu yang telah berbentuk bilahan tipis memanjang, dan rata.
54
dipangkas menjadi sirup. A9abila hatinya disertakan maka kayu tersebut tidak berguna karena sgatnya menggeliat, mudah pecah, setidak-tidaknya melengkung, mengecewakan. Bagi kayu kocoran, cara penggarapannya sama seperti di depan, namun hendaknya dilakukan dua kali agar hasilnya baik. Setelah dibiarkan selama tiga bulan pertama, kayu tadi diiris atau dikecilkan lagi, kemudian dibiarkan lagi selama tiga bulan, jangan kurang, kalau lebih boleh, karena jika tidak lama akan mengecewakan, menjadi menggeliat, melengkung, tidak lurus, atau mudah hancur. Demikian (pula) cara mengerjakan kayu yang hendak dipakai sebngai bahan perabot rumah. 2.2.1. Bentuk Rumah Dalam Serat Centhini disebutkan bahwa ada 4 macam bentuk mmah Jawa, yaitu joglo, limasan, kampung, dan bentuk masjid ctau tajug. Masing-masing bentuk tersebut dibedakan berdasar pada bentuk atap, ukuran, bagian-bagiannya,
j~mlah~erabo?',dan status sosial penghuninya. a. Rumah joglo: secara teknis mmah bentuk joglo memiliki arsitektur yang lebih kompleks sehingga membutuhkan bahan dan biaya yang lebih banyak, sehingga bentuk ini merupakan simbol status sosial tersendiri bagi pemiliknya. Rumah joglo memiliki denah berbentuk bujursangkar dengan atap seperti trapesium. Jika dirinci lagi, dari segi arsitektur mmah jenis ini terbagi menjadi tujuh macam yaitu joglo kepuhan, trajumas, lambang
gantung atau pangrawit, joglo ceblokan, tawon boni, dan semar tinandu. Bentuk-bentuk tersebut dibedakan atas ada atau tidaknya bagian-bagian tertentu, misalnya keberadaan jenis soko (tiang) tertentu. Namun kesemuanya mem~myaidua bentuk utama, yaitu jika bangunan agak tinggi (atap lebih terjal), dengan kerangka yang tebal, perawakan ini disebut bangunan
lanangan (lelaki). Sedangkan jika atap bangunan agak rendah, kurang terjal, dengan kerangka yang serba tipis, disebut bangunan estri (perempuan) atau
daringan kebak.
21
tlang-tiang . penyangga nunah
b. Rumah limasan: rumah limasan berdenah empat persegi panjang dengan dua ukuran atap yang berbeda antara sisi kiri-kanan dan depan-belakang. Bentuk rumah limasan ada sepuluh macam, yaitu limasan mudha, sinom, bapangan,
kalabang nyander, traju rukmi, gajah ngombe, gaiah mungkur, pacul gowang, semar tinandhu, dan limasan sarotongan. Perbedaannya antara lain apabila terdapat tambahan atau bentuk bangunan tertentu dengan ukuran atau jumlah tertentu. c.
Rumah kampung: bentuk rumah yang umurn terdapat di pedesaan adalah rumah kampung, memiliki denah empat persegi panjang dengan satu ukuran atap baik untuk atap sebelah kiri maupun atap sebelah kanan. Rumah
kampung dibagi menjadi sembilan macam, yaitu kampung nom, sarotongan, kampung dara gepak, jompongan, dirada nginum, pacul gowang, semar tinandhu, bajumas, dan gedhang salirang. Seperti halnya jenis rumah lainnya, yang membedakan bentuk-bentuk rumah tersebut antara lain adalah ukuran dan jumlahperabot yang melengkapinya. d. Rumah bentuk masjid: memiliki ciri khas yaitu bentuknya bersusun
menyerupai candi atau piramida, dengan denah bujursangkar. Ada dua macam, yaitu bentuk tajug dan langgar. Langgar adalah bangunan tajug yang tidak memiliki soko pananggap22 melingkar, namun dengan payon23 yang bersambungan. Bangunan ini aigunakan sebagai sarana peribadatan. Bentuk rumah tinggal yang digunakan di lingkungan kraton adalah
limasan sinom (rumah joglo dengan ukuran bujur dan ukuran tiang lebih panjang dari biasa, agak tinggi dengan atap tegak). Yang dihuni oleh para pejabat (patih, bupati, pangeran, dan sebagainya) adalah bentuk joglo. Sedangkan yang biasa dipakai oleh rakyat biasa maupun yang masih keturunan bangsawan bermacammacam tergantung yang digemari, 6apat berupa limasan, kampung, atau joglo. Secara m u m pada masyarakat Jawa, rumah suatu keluarga terdiri dari beberapa rumah. Bangunan yang digunakan untuk tidur merupakan rumah belakang, sedangkan yang disebut sebagai rumah depan adalah pendopo yang berhngsi sebagai tempat menerina tamu. Antara rumah depan dan belakang l2 23
tiang serambi yang tidak menyangga blandar (kayu panjang yang dipasang pada tiang-tiang nunah). atap dari daun kelapa, daun tebu, dsb.
dihubungkan oleh bangunan y a n ~disebut peringgitan, yang berasal dari kata 'ringgit' yang berarti 'wayang'. Peringgitan biasa digunakan sebagai tempat pertunjukkan wayang, sedangkan para penonton duduk di pendopo. Rumah Jawa yang lengkap mempunyai beberapa bangunan tambahan, terutama di kalangan yang mampu secara ekonomi. Bangunan tersebut yaitu lumbungZ4,pawon 25, rumah lesung, kandhangZ6,gedhoganZ7,peranginanZ8,pranjiZ9. Hal lain yang mendapat perhatian khusus dalam pembangunan rumah Jawa adalah perhitungan dalam menentukan panjang dan lebar bagian-bagian rumah. Perhitungan tersebut harus dijatuhkan mengikuti aturan tertentu berdasarkan 5 buah kata satuan yang berurutan dari bilangan 1 sampai 5 yaitu sri,
kitri, gana, liyu, pokah. Ukuran yang digunakan adalah kaki, dim, dan setrip yang biasa digunakan oleh para pembesar kraton. Sri melambangkan kesuburan dan kemakmuran,
kitri
melambangkan
keteduhan,
gana
melambangkan
perkembangan kehidupan, liyu melambangkan ketenangan dan kesabaran, sedangkan pokah melambangkan kecukupan kebutuhan. Perhitungan ini juga masih disertai dengan pemilihan saat-saat yang baik dalam pembangunan rumah agar secara keseluruhan rumah tersebut mendatangkan pengaruh kebaikan bagi penghuninya. Dalam Serat Centhini seringkali diceritakan bahwa untuk kegiatan pertemuan atau menerima tamu di pendopo biasanya masyarakat menggunakan alas duduk berupa tikar yang disebut kloso. Tikar tersebut terbuat dari anyaman daun pandan (Pandanus sp.) atau dari mendong (Fimbristylis globulosa Kunth.). Adakalanya sebelum dihamparkan tikar, terlebih dulu dihamparkan tikar kepang (yaitu anyaman bilahan bambu) atau plupuh yaitu bilahan bambu tidak berupa anyaman yang menyerupai lembaran atau pada masa sekarang disebut sebagai
galar. Pada masa tersebut, umumnya dinding rumah terbuat dari kayu jati bagi masyarakat yang mampu, sedangkan bagi masyarakat yang tidak mampu, dinding
ruang penyimpanan beras dan hasil bumi dapur 26 kandang temak " kandang kuda tempat ronda atau mencari udara segar '9 kandang unggas 24
25
''
rumahnya terbuat dari bambu yang disebut gedhek. Kerangka rumah selain terbuat dari kayu juga terbuat dari jenis pring gading (Schizostachyum brachycladum Kurz.), pring petung (Dendrocnlamus asper Backer), dan pring wulung
(Gigantochloa atroviolacea). Sedangkan sebagai bahan pengikatnya digunakan jenis pring apus (G. apus Kurz.). Sebagai penyekat antar ruang sering digunakan anyaman daun muda kelapa (Cocos nucifera L.). Atap rumah terbuat dari ijuk30 aren (Arenga pinata Merr.) atau daun alang-alang (Imperata cylindrica L.). Ijuk aren tersebut juga dapat digunakan sebagai bahan pembuatan tali ijuk yang disebut ragum. Tali ini biasa digunakan dalam menyambung kerangka-kerangka bangunan yang terbuat dari kayu atau bambu, dan bermacam-macam sambungan lainnya. Sehingga dalam pembangunan rumah pada masa lalu tersebut tidak menggunakan paku. 2.2.2. Kayu Jati (Tectona grandis L.f.) dalam Serat Centhini
Uraian yang mendalam mengenai kayu jati dalam Serat Centhini mempakan suatu bukti betapa pentingnya peran kayu tersebut dalam pembangunan rumah. Sejak dahulu masyarakat telah menyadari bahwa kayu jati merupakan kayu yang berkualitas dan ideal bagi beberapa keperluan terutama bahan bangunan rumah. Namun demikian tidak semua orang mampu membangun rumahnya dengan menggunakan bahan bangunan yang terbuat dari kayu jati, sehingga mereka menggunakan jenis kayu lain sebagai pengganti. Begitu berartinya kayu jati bagi masyarakat, mereka mempunyai pengetahuan mengenai beberapa aspek mengenai kayu ini. Berikut ini adalah uraian mengenai kayu jati yang terdapat dalam Serat Centhinz.
Cara memilih kayu jati Kayu jati biasanya tumbuh di lereng-lereng pegunungan, dengan jenis tanah benvarna kemerah-merahan dan tanah hitam. Kayu jati yang berkualitas baik biasanya berasal dari pohon yang tumbuh di jenis tanah merah. Masyarakat percaya bahwa pohon jati yang turnbuh di jenis tanah merah, kayunya lebih keras, ''fiber-net hasil akumulasi sisa akar, batang, atau pelepah daun (leaf sheath) Arenga pinnata Merr., yang tidak ikut melumh (Rustiami, 2002 -pers.cam)
seratnya rapat, halus, licin, dan wamanya kelihatan berminyak. Sebaliknya kayu jati yang berasal dari pohon yang tumbuh di jenis tanah hitarn, kekerasan kayunya berkurang, seratnya keropos, mudah lapuk, dan berminyak. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kayu jati yang tumbuh di jenis tanah merah memiliki 3 tingkatan, yaitu :
(1) Tingkatan pertama disebut kayu jati abang (kayu jati merah) dengan ciri-ciri dasar kilang3', seratnya lebih halus dan rapat serta berminyak. Kayu jati ini mempunyai kualitas yang baik dan lebih tahan lama dan sangat baik digunakan sebagai bahan membuat peralatan rumah tangga;
(2) Tingkatan kedua disebut kayu jati kembang atau kayu jati sungu, mempunyai ciri-ciri, kayunya mempunyai warna dasar kehitam-hitaman, serat berguratgurat seperti bunga atau menyerupai bentuk tanduk. Jenis kayu jati ini tahan lama bila digunakan sebagai bahan perkakas rumah tangga, tetapi dari segi mutunya masih di bawah jenis kayu jati merah,
(3) Tingkatan ketiga adalah kayu jati kapur, dengan ciri-ciri mempunyai warna dasar putih kusam, lebih lunak, seratnya mudah lapuk dan merupakan jenis kayu jati dengan mutu terendah. Jika kita kaji lebih mendalam, kondisi lingkungan tumbuh berpengaruh terhadap kualitas kayu yang dihasilkannya. Asumsinya adalah perbedaan kualitas kayu yang dihasilkannya tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh kandungan mineral yang terdapat di dalam tanah. Menurut Wirjohardjo (1953), yang mempengaruhi wama tanah adalah kadar lengasnya. Warna merah pada tanah merupakan
indikasi adanya persenyawaan
besi
oksida (Fe203), yang
keberadaannya tersedia jika tanah mudah dimasuki oleh udara dan bertemperatur agak tinggi. Jika dihubungkan dengan kebutuhan alami kayu jati, pertumbuhan kayu jati selain membutuhkan banyak sinar matahari (light demander), juga memerlukan kondisi lingkungan tertentu seperti jenis tanah misalnya, maka beralasan jika masyarakat menggunakan wama tanah sebagai indikator lokasi yang baik bagi pertunbuhan kayu jati. Sedangkan tanah b e m a hitam walaupun mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi, namun biasanya me~npunyai
'' mengkilat
derajat panas yang rendah dan banyak ditemukan di lokasi dengan curah hujan tinggi. Sehingga pertumbuhan pohon jati tidak optimal dan kualitas kayunya pun tidak sebaik jika pohon jati tersebut tumbuh di tanah benvama merah. Bagi masyarakat Jawa, pemilihan kayu jati sebagai bahan bangunan sangat penting, karena mereka berkeyakinan bahwa kayu jati memiliki angsar, yaitu sesuatu yang mampu mendatangkan pengaruh baik ataupun pengaruh buruk. Pengaruh baik misalnya mendatangkan rejeki dan keselarnatan dalam segala hal. Sedangkan pengaruh bumk, misalnya
mendatangkan kemelaratan dan
kepritatinan mendalam. Sehingga masyarakat mempunyai pengetahuan tentang karakterisasi kayu jati yang didasarkan pada wujud atau kenampakan dan sifatsifat yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan alam di sekitarnya.
Wujud dan 'watak' kayu jati Berdasarkan apa yang diuraikan dalarn Serat Centhini mengenai kondisi kayu jati, masyarakat Jawa membedakannya menjadi 11 macarn berdasar pada wujud atau kenampakan dan watak atau sifat kayu. (1) Pohon jati yang memiliki 1 atau 2 cabang, disebut uger-uger. Watak yang dibawa kayu tersebut bagi yang memakainya adalah dapat membuat hidup sejahtera dan mkun. Kayu yang berasal dari bentuk pohon seperti tersebut sebaiknya digunakan untuk kerangka pintu m a h , pintu pagar batu, tiang penyangga rumah bagian dalam, pancak s ~ j dan i ~grogoP3. ~ (2) Pohon jati yang bercabang 3 disebut trajumas. Wataknya dapat mendatangkan rejeki. Penggunaannya sebaiknya sebagai kerangka rumah bagian belakang yang berukuran besar, pengeret, blandar, molo, dan sebagainya. (3) Pohon yang digunakan sebagai sarang burung besar dan ditempati berbagai binatang buruan, disebut tunjung. Wataknya dianggap tidak baik karena menurunkan derajat dan memsak segala niat. Mereka beranggapan bahwa kayu tersebut hanya baik untuk binatang. Oleh karena itu penggunaannya, lebih tepat sebagai bahan untuk pembangunan kandang temak.
'' sejenis pagar 33
sejenis pagar, lebih kokoh daripadapancak suji
(4) Pohon jati yang cabang atau c;ahannya ditumbuhi simbar3', disebut simbar. Pohon ini dianggap mempunyai watak sejuk dan dingin. Sebaiknya digunakan untuk kerangka masjid dan bangunan suci lainnya. ( 5 ) Pohon bercabang 5 , disebut pendhawa. Jenis pohon ini benvatak sangat kuat
dan sentosa. Kayu yang dihasilkan jenis pohon ini s e b a i h a digunakan untuk kerangka pendopo, temtama sebagai tiang utama.
(6) Pohon yang tumbuh di perbukitan disebut monggang. Jenis pohon ini dianggap menghasilkan kayu yang benvatak dapat menaikkan derajat dan banyak rejeki. Oleh karena itu dianjurkan untuk digunakan sebagai kerangka
regol, panggung, bangsal, dan rumah peristirahatan. (7) Pohon yang tumbuh dikelilingi oleh air disebut molo, jenis kayu yang
dihasilkan berwatak menyejukkan dan menguatkan hati. Jenis ini hampir menyamai kualitas kayu jati pendhawa. Penggunaannya untuk kerangka pendopo (blandar, tiang, peret, dan lain-lain).
(8) Pohon jati yang di atasnya terdapat sarang burung kecil atau digunakan rumah oleh binatang merayap, disebut gendam. Jenis kayu ini benvatak banyak mendatangkan rejeki dan banyak teman. Sebaiknya jenis kayu ini digunakan untuk kandang kuda atau kandang temak lainnya dan peralatan berburu berangkap burung dan hewan-hewan lain).
(9) Pohon yang tumbuh dari tunas disebut gendhong. Jenis kayu yang dihasilkan benvatak bisa membuat kaya dan kekuatannya pada bagian bawah. Jenis kayu ini baik untuk digunakan untuk :empat penyimpanan hara. (10)Pohon yang memiliki gemboPS pada batangnya disebut pohon gedheg. Jenis kayu ini dipercaya mempunyai watak mengamankan uang dan harta. Penggunaannya bersama-sama dengan jenis gendhong sebagai tempat penyimpanan harta, sehingga dipercaya pemiliknya akan merasa tenang. (11)Pohon yang memiliki gandhik'6 disebut gedhug. Jenis kayu ini dianggap mempunyai watak bisa membuat pemiliknya menjadi kaya, memiliki banyak
" 35
l6
sejenis tumbuhan paku tonjolan pada batang ?ohon, terbentuk akibat adanya kambium ymg terputus dan sel-selnya mengalami pertumbuban sendiri dan menimbulkan lingkaran tahun yang barn pada batang pohon. pangkal bagian tengah pohon
ternak, dan memberi .rasa keselamatan. Oleh karena itu penggunaannya sebaiknya untuk bahan membuat tempat harta benda. Persepsi masyarakat Jawa yang menganggap dan meyakini kayu jati mempunyai watak atau sifat yang didasarkan pada tanda-tanda alam dan simbolsimbol, merupakan suatu pengetahuan mendalam mengenai kualitas kayu jati yang dikaitkan dengan kondisi lingkungannya. Selanjutnya persepsi dan penilaian kualitas tersebut digunakan untuk menentukan jenis kayu yang disesuaikan dengan bagian bangunan dalam rangka membangun rumahnya. Seluruh tindakan pemilihan jenis kayu, pencirian sifat kayu hingga karakterisasi kondisi lingkungan tempat tumbuh dan karakter tumbuh pohon bertujuan untuk memperoleh kesesuaian antara kualitas kayu dengan bagian rumah yang akan dibangun. Artinya mereka membangun rumah untuk mendapatkan rumah yang tahan lama, rumah yang mendatangkan kemahuran, ketentraman dan kehmnonisan hidup yang sesuai dengan alam sekitamya. Bila kita analisis secara il~niah,pohon yang memiliki jumlah percabangan lebih banyak biasanya pohon tersebut tumbuh dengan baik. Sehingga pencirian mssyarakat tentang peningkatan kualitas kayu dengan peningkatan jumlah cabang (1,2, 3, dan 5) dapat dipahami. Selain itu jumlah cabang 5 (pendhawa),dipercaya
secara mitologi seperti watak para pandmva dalam dunia pewayangan yang berwatak kuat dan sentosa. Sehingga jenis kayunya sangat baik bila digunakan sebagai kerangka pendopo, terutama tiang utarna. Jika kita analisis lebih mendalam, pohon yang memiliki cabang lima, selain tampak sehat, juga mengindikasikan bahwa pohon tersebut memiliki bentuk arsitektur yang lebih baik. Selain itu pohon yang bercabang lebih banyak, ada kemungkinan mempunyai umur yang lebih tua, sehingga kayu yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang lebih baik. Sedangkan anggapan bahwa pohon yang ditempati oleh burung besar dan binatang liar lainnya, kualitas kayunya rendah, sebenamya ini hanyalah perlambang mengenai bahan pembuat rumah h m s dibuat dari jenis kayu yang sempurna, bukan berasal dari jenis kayu bekas yang telah digunakan. Sebei~miya simbol-sirnbol,
tanda-tanda
dan
perlan~bang dalam
menentukan kualitas kayu bahan bangunan terutama kayu jati, merupakan bentuk
apresiasi masyarakat terhadap lingkungannya. Mereka dengan persepsinya sendiri berusaha menghubungkannya dengan karakteristik morfologi, arsitektur, habitus, dan aspek-aspek ekologi dari tumbuhan tersebut di sekitarnya. Sedangkan secara sosiologis, mereka berfilosofi dan meyakini hal-ha1 berbentuk simbolis dalam berbagai aspek kehidupan. Pola pikir demikian muncul karena dilatarbelakangi oleh kemajuar~ ilmu pengetahuan yang belum seperti sekarang. Sehingga masyarakat dalam mencetuskan atau menjelaskan ide dan asumsi-asumsinya lebih mengedepankan kepada hal-ha1 yang merupakan gabungan antara aspek fisik, sosial, dan psikologis. Selain itu, masyarakat juga memiliki pengetahuan tentang macam kayu yang ditolak, karena dipercaya memiliki pengaruh yang tidak baik bagi kehidupannya. Macam kayu yang ditolak atau tidak baik pengaruhnya tersebut antara lain :
(1)
Pohon yang roboh terungkit bersama aka-akamya, disebut sebagai pohon
jugar. Kayu hasil dari pohon tumbang tersebut dipercaya memiliki sifat yang berpenyakitan. (2)
Kayu yang dihasilkan dari pohon yang tumbang menimpa pohon yang lainnya, disebut sebagai tundhung. Kayu yang dihasilkan bersifat sering membuat orang menjadi jahat dan mendatangkan fitnah.
(3)
Kayu yang turnbang melintang di sungai, jalan, atau jurang, disebut sebagai
sandha. Jenis kayu ini dianggap memiliki sifat selalu terbentur penyakit. (4)
Kayu yang dihasilkan dari pohon yang tumbang dan menindihi tonggaknya, disebut pohon sundhang. Kayunya dipercaya dapat mendatangkan bencana.
(5)
Kayu yang berasal dari pohon yang tumbangnya bersandar pada pohon yang masih hidup. Kayunya mempunyai karakter dapat menurunkan derajat dan dipercaya dapat menyebabkan bencana yang datangnya dari tetangga.
(6) Kayu dari pohon yang hanyut atau kayu keli (hanyut), dianggap memiliki watak seperti sampah dan dipercaya dapat mendatangkan kekecewaan dan kemelaratan. (7)
Kayu yang berasal dari pohon yang semasa hidupnya bolong-butul (berlubang-tembus), disebut kala. Kay~nyamemiliki karakter atau benvatak
sangat tidak baik dan mereka percaya bahwa penggunaan kayu tersebut akan menyebabkan sering terkena senjata tajam. Kayu brodhol yaitu kayu yang hatinya keluar atau disebut wutah manah. Jenis kayu ini bila digunakan, dipercaya dapat mengakibatkan wataknya berubah menjadi tidak dapat menyimpan rahasia dan mengendalikan diri. Kayu yang berasal dari pohon yarlg tumbang dengan sendirinya, disebut
prabatang. Penggunaan kayu jenis ini dipercaya dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan segalp yang dikehendaki dan dapat menurunkan derajat. Kayu yang berasal dari pohon yang terendam air dan tanah, disebut
gombang. Penggunaan kayu ini dipercaya dapat menyebabkan penggunanya akan sering kena fitnah. Kayu yang berasal dari pohon yang mati dengan senairinya, disebut
anggalinggang. Dipercaya dapat menyebabkan kegagalan yaitu segala sesuatu yang dikehendaki tak tercapai, mendapat kesialan, dan tertimpa sakit. Kayu yang berasal dari pohon yang saat penebangannya membuat hewan terkejut dan bersuara, disebut gronang. Mereka beranggapan bahwa penggunaan jenis kayu ini akan menda?at perkataan yang tidak baik dan celaan dari yang lebih tinggi atau bentuk cercaan lainnya. Kayu yang berasal dari pohon mempunyai cabang-cabangnya bertempelan tunas muda, disebut gondhongan. Dianggap memiliki karakter yang dihinggapi keinginan jelek dan selalu menyimpang dari kebahagiaan. Kayu dari sisa terbakar disebut gosong. Penggunaan kayu ini dipercaya dapat menimbulkan sering mengalami kebakaran. Kayu yang tersangkut pada cabang disebut brogang. Mempunyai karakter selalu mendapat rintangm. Kayu yang bagian dalamnya lapuk disebut buntel mayit. Jenis kayu ini menyebabkan penggunanya berwatak sering lupa pada pekerjaan penting dan sering terjangkit penyakit.
Jika kita kaji lebih dalam, sebenarnya inti semua asumsi-asumsi tersebut adalah agar masyarakat dalam menanam dan merawat pohon jati dilakukan dengan seksama. Sehingga pohon tersebut mempunyai pertumbuhan yang baik dan dapat menghasilkan kayu yang berkualitas. Selain itu melalui upaya pengelolaan yang baik, diharapkan perkembangan pohon jati dari mulai tumbuh hingga mencapai ukuran yang dapat digunakan atau mati atau roboh, tidak membahayakan dan mengganggu lingkungan di sekitamya. Maknanya adalah anjuran atau ajakan untuk menanam pohon di lokasi yang benar, merawat dengan baik, dan menjaganya agar pertumbuhannya baik, sehingga dihasilkan kayu yang berkualitas. Selain itu diuraikan pula tahapan-tahapan cara menebang kayu jati dengan tujuan agar diperoleh kayu yang memiliki kualitas tinggi. Langkah pertama menebang kayu jati adalah mengelupas kulit pohon yang masih hidup pada pangkal pohon setinggi kurang-lebih 3 atau 4 kaki dari permukaan tanah (I kaki = 0.304 m). Caranya dengan menguliti melingkari batang mulai dari kulit luar
hingga kambium yang bemama merah. Selang beberapa waktu daun akan berguguran dan pohon akan kering. Setelah satu tahun pohon jati sudah kering dan siap untuk ditebang. Pengeringan kayu dengan cara demikian bertujuan agar kayu yang dihasilkan setelah digergaji tidak menyusut dan tidak melengkung. Penebangan pohon diusahakan tidak menimpa pohon lain yang masih hidup serta tidak terbanting untuk menghindari pecahnya batang pohon. Selain itu waktu penebangan sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari (bahkan disarankan pada bulan-bulan tertentu, ha1 ini berhubungan dengan posisi matahari terhadap garis katulistiwa), serta arah tumbang diusahakan ke utara atau selatan. Jika dikaji lebih dalam selain ha1 ini dimaksudkan untuk mendapatkan posisi matahari yang optimal sehingga bayangan pohon dapat menunjukkan perkiraan panjang
(tinggi)
pohon.
Dengan
pengetahuan
ini
masyarakat
dapat
memperkirakan jenis dan ukuran perabot yang akan dibuat, serta seberapa banyak pohon yang diperlukan. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah adanya hewm sejenis rayap pemakan kayu pada bulan-bulan tertentu, sehingga penebangan pada waktu yang sesudi dapat menghindakan pohan dari kelapl~kan akibat serangan rayap.
Uraian lain adalah mengenai cara cara-cara menaksir besar lingkar pohon yang didasarkan pada bayangan pohon. Diuraikan bahwa bayangan bagian pucuk dapat dipakai sebagai contoh mengukur besar lingkar pangkal pohon. Sebagai contoh kayu sebesar enam kaki lingkar pohonnya mempunyai lebar bayangan sebesar dua kaki, sedangkan lebar bayangan pucuk pohon hanya satu kaki. Walaupun cara penaksiran yang mereka lakukan tidak terlalu akurat, tetapi selisihnya hanya sedikit saja. Berbagai pengetahuan tradisional ini menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu telah mengenal sistem tebang pilih dengan menentukan pohon yang layak ditebang yang didasarkan pada umur, ukuran, lokasinya, serta pemanfiatannya.
2.3.
Bahan perlengkapan (teknologi tradisional) Pemanfiatan tumbuhan untuk keperluan ini meliputi bahan perlengkapan
rumah tangga, pertanian, senjata, seni, transportasi, ibadah, dan permainan. 2.3.1. Perlengkapan rumah tangga
Perlengkapan rumah tangga terdiri dari berbagai peralatan yang digunakan untuk keperluan sehari-hari (alas duduk, dll.), terutama perlengkapan dapur termas.uk peralatan makan dan minum, bermacam tempat penyimpanan (wadah), serta peralatan pelengkap lainnya dalam rumah tangga.
Peralatan dapur Peralatan dapur dan perlengkapan untuk makan dan minum masyarakat pada masa itu didominasi oleh barang-barang yang terbuat dari bahan bambu dan kayu. Sebagian besar peralatan tersebut bahkan masih banyak digunakan pada masa sekarang, terutama oleh masyarakat pedesaan. Tabel 4. Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan pembuat peralatan dapur Nama Alat Nama Lokal* T~ncak
Kenanga Kedawung
Bahan Pembuat Nnma Ilmiah Cananga odorata Baill. Parkia roxburghii G.Don.
Keterangan Suku Annonaceae Sejenis baki Fabaceae yang terbuat dari kayu.
* tidak disebutkan secara spesifik dalam Serat Centhini,informasi berdasar tradisi pada umumnya. Bagi masyarakat Jawa, dapur dalam artian tempat untuk kegiatan memasak dikenal dengan istilah pawon, berasal dari kata awu 'abu' yang mendapat awalan pa serta akhiran an, sehingga menjadi pa + awu
+ an, atau
pawon, yang berarti tempat abu (abu sisa pembakaran dalam proses memasak). Ditinjau dari bahan bakunya, peralatan dapur pada masa tersebut umumnya terbuat dari tanah liat (gerabah), batu, berbagai jenis kayu, tempurung kelapa, dan berbagai jenis bambu (anyam-anyaman). Peralatan dari tanah liat misalnya pengaron, kuali, dandang, kendhil, gentong, kendhi, cuwo, cowek, dan
kekep. Peralatan yang terbuat dari bath misalnya layah, lumpang, dan munthu. Peralatan yang terbuat dari anyaman bambu misalnya tumbu, kalo, tampah,
tambir, iyan tenggok, cething, kukusan, ilir, besek, dan erok-erok. Sedangkan peralatan dari kayu dan tempurung kelapa misalnya talenan, dhulang, irus,
enth~ng,dan siwur. Dalam Serat Centhini disebutkan bahwa a!at memasak yang umurn digunakan adalah anglo, yaitu tungku tanah liat yang berlubang pada bagian perutnya sebagai tempat memasukkan kayu bakar. Peralatan-peralatan tersebut masih banyak dipakai oleh masyarakat pedesaan dan sebagian kecil masyarakat perkotaan. Jamuan makan keluarga biasanya dilakukan di pawon
dengan
menggunakan amben (balai-balai), dengan atau tanpa menggunakan alas tikar. Sedangkan ruang yang digunakan untuk menjamu tamu adalah pendopo. Kegiatan makan selalu dilakukan dengan cara lesehan beralas tikar atau duduk di atas
amben. Peralatan makan yang digunakan umumnya terbuat dari bambu, daun kelapa dan daun pisang, kayu, dan tembikar. Contoh: ancak (baki kayu bertutup),
panjang (baki kayu berbentuk segi empat), dhulang (baki kayu), jodhang (tempat
membawa makanan berbentuk lemari), takir (wadah dari daun pisang), suru (sendok dari daun pisang atau daun kelapa), bumbung (tempat minum dari potongan bambu), enthong (sendok nasi dari kayu), dan irus (sendok sayur dari tempurung kelapa). Nyenyamikan atau kudapan juga biasa disajikan dalam
tenongan, yaitu anyaman dari bambu, berbentuk bulat dan bertutup, atau menggunakan panjang ilang (anyaman janur). Makanan juga seringkali ditempatkan pada ambengan (sejenis piring). Cara makan umumnya langsung menggunakan tangan atau dengan menggunakan suru. Minuman disajikan dengan alat seperti kendhi, yaitu wadah air yang terbuat dari tanah hat. Cara meminumnya dengan cara dilonggo (dituangkan langsung ke dalam mulut). Sedangkan minuman yang ditaruh dalam bumbung diambil dengan menggunakan gayung dari tempurung kelapa dan diminum langsung dari gayung tersebut (Marsono dkk, 1998). Salah satu jenis tumbuhan yang luas penggunaannya dalam berbagai keperluan rumah tangga sehari-hari adalah tanaman pisang (Musa sp.). Daunnya digunakan sebagai alas, waaah, dan pembungkus berbagai jenis makanan; buahnya sebagai bahan pangan (buah-buahan, makanan tambahan), batangnya dapat digunakan sebagai wadah bahan makanan dan pembungkus obat-obatan. Berbagai peralatan makan dan minum pada masa itu disajikan dalam tabel berikut: Tabel 5. Pemanfaatan tumbuhsn sebagai bahan pembuat peralatan makan dan minum
*
tidak disebutkan secara spesifik dalam Serat Centhini, informasi berdasar tradisi pada umumnya
Dapur selain berfungsi sebagai tempat kegiatan masak-memasak juga memiliki fungsi sosial dan ekonomi. Fungsi ekonomi karena dapat digunakan sebagai dapur produksi, misalnya dalam industri skala rumah tangga. Sedangkan fungsi sosial, dapur dapat digunakan sebagai ruang makan, tempat beristirahat, dan tempat berkurnpul keluarga atau beramah-tamah dengan para tetangga sambil menikmati hidangan kecil. Hal ini masih umum dilakukan oleh masyarakat pedesaan hingga masa sekarang.
Peralatan berupa wadah Wadah merupakan perlengkapan rumah tangga yang digunakan untuk menaruh atau menyimpan sesuatu. Wadah ada yang terbuat dari bahan metal (terutama pada masa sekarang), ada yang terbuat dari tanah liat (misalnya,
kendhil, gentong, kendhi, cuwo, dan kekep), serta dari tumbuh-turnbuhan (terutama berupa anyarn-anyaman). Berikut ini adalah tabel yang memuat data pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan pembuat wadah dalam Serat Centhini: Tabel 6 . Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan pembuat wadah anyaman -
Bahan Pembuat Nama Alat Nama Ilmiah Nama Lokal* 1. Besek
Pring apus
2. Keba
Pring ori Pring gesing Mendong
Keterangan Suku
Gigontochloa apus Poaceae Sejenis wadah terbuat (Schultz). Kurz. dari bambu yang Bczmbusa bambos (L.) Voss. Poaceae dianyam. B. blumeana J.H.Schult. Poaceae Fimbristylis globulosa Wadah klobot dan Cyperaceae tembakau. Kunth.
*
tidak disebutkan secara spesifik dalam Serat Centhini, informasi berdasar tradisi pada umumnya
Perlengkapan rumah tangga lainnya Cukup banyak perlengkapan rumah tangga lainnya yang menggunakan tumbuhan sebagai bahan pembuatnya. Data ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 7. Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan perlengkapan lainnya Nama Alat
Bahan Pembuat Nama Lokal* Nama Ilmiah
Keterangan Suku
1. Gayung
Kelapa Pring apus
Cocos nuc@ra L. Arecaceae Gigantochloa apus (Schultz) Kurz.
2. Lampit
Tebu
Sacchmm officinarum L.
3. Lincak
Pring apus
Giganto~hloaapus Poaceae (Schultz) Kurz
Poaceae
Penciduk air yang terbuat dari tempumng kelapa, dengan gagang terbuat dari bambu. rikar yang terbuat dari bunga tebu yzng 3isatukan dengan benang. Bangku yang terbuat dari bilahan bambu, memiliki
berbentuk anyaman.
*
tidak disebutkan secara spesifik dalam Sera! Centhini, informasi berdasar tradisi pada umumnya
Dari ketiga tabel tersebut terlihat bahwa peralatan rumah tangga masyarakat pada masa itu pada umumnya terbuat dari bahan kayu, bambu, anyaman bambu, dan anyaman daun kelapa. Banyaknya penggunaan material tumbuh-tumbuahan tersebut dalam kehidupan sehari-hari antara lain disebabkan karena ketersediaannya yang berlimpah dan kemudahan dalam mencarinya sebab jenis-jenis tersebut biasa tumbuh di pekarangan dan sekitar tempat tinggal. 2.3.2. Peralatan pertanian
Dalam bidang pertanian, jenis alat-alat yang digunakan dapat dibedakan atas jenis alat untuk aengolah tanah, alat untuk penanaman dan pemeliharaan, alat untuk memanen, dan alat untuk mengolah hasil tanaman. Jenis alat pengolah tanah antara lain pacul (cangkul), luku (bajak), guru (garu), dan alat-alat pelengkap lainnya seperti arit (sabit), linggis, bendho (parang), kudhi (sejenis sabit), gobang (sejenis parang) dhandhang (sejenis kampak), wadung (sejenis kampak), dan
pethel (sejenis kampak). Peralatan utama yang paling sering digunakan adalah pacul, garu, dan luku. Ketiganya digunakan pada pertanian lahan basah maupun kering, berfungsi untuk membalik dan menggemburkan, dan meratakan tanah.
Pacul terdiri dari dua bagian yaitu pacul dan doran. Pacul merupakan bagian yang tajarn dan umumnya terbuat dari logam. Sedangkan doran berfungsi sebagai tangkai atau gagang pacul, terbuat dari kayu. Lriku adala!! alat yang terdiri dari tiga bagian yaitu singkal (bagian yang berhubungan langsung dengan tanah),
racuk (bagian yang berfungsi menarik bajak, terbuat dari kayu), dan bagian
pasangan (berfungsi sebagai pengendali hewan penarik bajak). Sementara garu ada yang terbuat dari bambu atau kayu, namun biasanya merupakan kombinasi keduanya. Guru terdiri dari apan-apan dan untu garu (gigi garu yang dipasang pada apan-apan), racuk dan pasangan, serta gujengan atau tunggangan (tempat penggaru duduk). Peralatan lainnya merupakan alat-alat pelengkap yang berfungsi membersihkan (arit, bendho, kudhi) dan membantu menggemburkan tanah (linggis, dhandhang, pethel). Pada proses penanaman dan pemeliharaan, alat yang digunakan antara lain gathul (pembuat lubang di tanah untuk menanam jagung, kacang-kacangan). Untuk memelihara agar tanah tetap bersih dan gembur dilakukan penyiangan atau pendhangiran menggunakan arit dan sejenisnya. Untuk menjaga tanaman dari hewan pengganggu di sawah (misalnya burung-burung), digunakan memedi sawah (boneka orang-orangan yang terbuat dari batang kayu, daun-daunan, dan diberi topi caping) dan goprak (penghalau burung terbuat dari bambu dan diberi tali untuk menggoyangkan dan menimbulkan suara). Pada saat pemanenan padi alat yang paling berperan adalah ani-ani, yaitu m e ~ p a k a nalat pemotong tradisional terbuat dari bambu sebagai tangkai dan plat tipis dari besi sebagai pemotongnya. Sedangkan untuk jenis tanaman lainnya seperti kacang-kacangan dapat menggunakan arit (sabit), jenis ubi-ubian dapat digunakan pacul, serta untuk jenis tanaman tertentu dapat langsung dipetik tanpa menggunakan alat. Untuk proses pengolahan selanjutnya masyarakat menggunakan lesung, Iumpang, dan alu, ketiganya merupakan peralatan menumbuk padi. Lesung merupakan alat yang terbuat dari wadah kayu memanjang yang berlubang di tengahnya. Alat penumbuknya disebut alu, berupa tongkat panjang terbuat dari kayu. Setelah padi ditumbuk dalarn lesung dan menjadi gabah, maka kemudian
akan ditumbuk pada Iumpang batu dengan menggunakan alu. Alat lain yang berfungsi dalam pengolahan padi adalah tampah, yaitu wadah (tempat) yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk bundar yang digunakan untuk napeni (menampi) beras. Jenis-jenis alat pertalian secara rinci tersaji dalam tabel berikut:
Tabel 8. Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan pembuatan peralatan pertanian
10. Linggis 11. Luku
Kayu labon
speciosa Pers.
-
Vitexpubescens Vahl. Verbenaceae Lagerstroemia Lythraceae speciosa Pers. .
Selumh bagian terbuat dari logam. Terdiri dari 3 bagian, bagian yang tajam terbuat dari logam disebut singkal, penarik bajak terbuat dari kayu disebut racuk, penarik hewan terbuat dari kzyu a!au barnbu disebut pasanzan.
Nama Alat
Bahan Pembuat Nama Lokal* ( Nama Ilmiah
Keterangan
(
B. Alat-alat penanaman dan pemeliharaan 1. Caping Pring apus Giganlochloa apus (Scbultz) Kurz
2. Goprak
Pring apus
3. Hulu arit
Kayu laban
4. Hulu gathul
Kayu laban
5. Memedi sawah
Pring apus
-
Vitexpubescens Vahl. Verbenaceae Lagerstroemia Lythraceae speciosa Pers. Gigan~ochloaapus Poaceae (Scboltz) Kurz.
I
2. Hulu arit
Kayu laban
3. Hulu pacul
Kayu laban
I
Gigantochloa apus (Schultz) Kurz.
9 .
I
1
D. Alat-alat pasca-panen 1.Alu Kayu laban
2. Lesung
I Kayu Iaban Pring apus
r 3. Lumpang
4. Tampab
Pring ori
I
I
Bambu digunakan sebagai kerangka, Dilengkapi dengan baju dan caping. Terdiri dari tangkai van? terbuat dari ~~~~C J
I
Vitex pubescens Vahl. Verbenaceae Lagerstroemia Lythraceae speciosa Pers.
Alat penumbuk, digunakan bersama dengan lesung/lumpang ~it&pubescem~ a h l . 1Verbenaceae l ~ e m ~menumbuk at ~a~erstroemia Lythraceae untuk memisahkan speciosa Pers. bulir padi dari Gigantochloa apus tangkainya.Terbuat poaceae (Schultz) Kurz. dari kayu/bambu. Tempat menumbuk gab,&, terbuat dari batu. Gigantochloa apus Poaceae Penampi beras yang (Schultz).Kurz. terbuat dari anyamar Bun~busabambos Poaceae Smbu. (L.) loss. B. blumeana Poaceae J.H.Schult.
I Pring gesing
Poaceae
Bagian yang tajam terbuat rlari logam.
Ibambu, - ~ . ~bagian ~ . yang tajam terbuat dari plat logam. Plat dipesang melintang pada tangkai bambu. Vitexpubescem Vahl. Verbenaceae Bagian yang tajam Lagerstroemiu Lythraceae terbuat dari logam. speciosa Pers. Vitexpubescens Vahl. Verbenaceae Pacul Terdiri dari 2 Lagerslroemia Lythraceae bagian, bagian yang tajam terbuat dari speciosa Pers. logam disebutpacui gaeang .- ., disebut Idoran.
I Pring apus
Poaceee
l ~ o ppetani i terbuat ldari bambu yang dianyam. Gigantochloa apus Poaccae Digunakan untuk (Scbultz) Kurz menakuti burung. Vitexpubescens Vahl. Verbenaceae Bagian yang tajam Lagerstroemia Lytbraceae terbuat dari logam. speciosa Pers.
C. Alat-alat pemanenan 1. Ani-ani Pring apus
I
Suku
Nama Alat 5. Tumbu
Bahan Pembuat Nama Lokal* Nama Ilmiah Pring apus Pring ori Pring gesing
*
Gigantochlaa apus (Schultz).Kurz. Bambusa bambos (L.)Voss. B. blumeana J.H.Schult.
1
Keterangan Suku Poaceae Poaceae
Sejenis bakul tempat beras yang terbuat dari anyaman bambu.
Poaceae
tidak disebutkan secara spesifik dalam Sera1 Centhini, informasi berdasar tradisi pada umumnya.
Jenis tumbuhan yang umum dipergunakan dalam ppmbuatail alat-alat tersebut, bahkan hingga masa sekarang adalah Vitex pubescens Vahl. dan Lagerstroernia speciosa Pers., atau orang Jawa lazim menyebutnya sebagai kayu
2.3.3. Peralatan senjata Peralatan senjata yang dimaksud di sini lebih iilerupakan alat-alat untuk membela diri, yang pemakaiannya tidak mtin dan terkadang digunakan sebagai pelengkap baik dalam pertunjukkan maupun permainan anak-anak (misalnya permainan peperangan). Berikut ini adalah tabel mengenai peralatan senjata pada masa tersebut: Tabel 9. Pemanfaatan tumbuhan sejagai bahan pembuatan peralatan senjata
*
tidak disebutkan secara spesifik dalam Serat Centhini, informasi berdasar tradisi pada umumnya.
Untuk senjata tradisional uraian yang banyak terekam adalah mengenai keris. Keris merupakan senjata tradisional masyarakat Jawa, banyak juga digunakan sebagai pelengkap ba;k dalam berbusana maupun aktivitas ritual. Seperti senjata-senjata tajam lainnya, keris dilengkapi dengan sarung pengaman dan 'hulu' sebagai pegangannya. Sarung keris biasanya terbuat dari kayu, disebut warangka. Hulu keris ada yang terbuat dari besi dan menyatu dengan bilahnya,
disebut iras, sedangkan ymg terpisah disebut ukiran atau jejeran, terbuat dari kayu. Kriteria yang hams dimiliki bahan kayu sebagai warangka antara lain tidak menyebabkan karat, tidak mudah memuai dan mengkerut, berserat halus sehingga lentur dalam penggarapan, serta berserat jelas dan lebih dari satu wama sehingga ierlihat indah. Menurut Djomul (1985), kayu yang selarna ini lazim dipskai untuk "s
a n g keris
''gagang keris
warangkn adalah kayu cendana (Santalum album L.), timoho (Kleinhovia hospita
L), trembalo (Dysoxylum acutangulum Miq.), dan kemuning (Mur.vaya paniculata Jacq.). Jenis lain juga sering digunakan namun kurang lazim, seperti kayu saw0 (Manilkara kauki Dubad.), kayu sono (Dalbergia lafifolia Roxb.), dan mentaos (Drypetes ovalis Pax & Hoffm.). Jenis kayu' ini biasanya digunakan dalam pembuatan keris yang dipakai sekedar sebagai pelengkap berbusana saja. Untuk hulu keris biasanya terbuat dari kayu keras dan benvarna lebih gelap dari wama kayu warangkanya. Jenis kayu yang sering digunakan adalah kayu tayuman (Cassia laevigata Willd.). Bagi rnasyarakat Jawa pemilikan keris selain sebagai senjata juga sebagai pusaka atau barang yang dirnuliakan karena sebagian keris diyakini merniliki kesaktian tertentu. Selain senjata yang terbuat dari unsur tumbuh-turnbuhan, terdapat juga senjata yang-terbuat dari logam seperti penthung (pemuku! dari besi), tumbak (tombak), tameng, dan lembing (lernbing).
2.3.4. Peralatan seni Pemanfaatan tumbuhan juga mewamai hidup berkesenian masyarakat pada masa itu. Selain sebagai sarana hiburan rakyat, kesenian juga merupakan salah satu media dalam penyebaran agama. S ~ l a hsatu jenis kesenian yang populer di kalangan masyarakat Jawa hingga masa sekarang adalah wayang. Selain sebagai tontonan masyarakat pedesaan pada masa itu, pertunjukan wayang juga biasa diadakan saat ada warga yang mengadakan hajatan. Macam-macam wayang yang disebutkan dalam Serat Centhini adalah wayang kulit, wayang puma, dan wayang krucil atau wayang klithik. Berikut ini tabel yang memuat tentang keanekaragaman jenis tumbuhar. yang digunakan sebagai bahan pembuat peralatan seni d m dekorasi: Tabel 10. Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan pembuatan peralatan seni dan dekorasi Nama Alat
Bahan Pembuat Nama 1,okal i Nama Ilmiah
A. Wayanz: 1. Penutup tangkai Kayu wergu tombak
Raphisflabelliformis L'Herit
I
Keterangan Suku Arecaceae
, Senjata dalam cerita wayang
Nama Alat 4. Hiasan lain
Bahan Pembuat Nama Lokal Nama Ilmiah Kembang malem Ficus sp. Anggrek bulan Phalaenopsis amabilis Kemboja Plumeria acuminata Ait. Mondokaki Tabernaemontana divaricata R.Br. Sruni Wedelia biflora DC.
Keterangan Suku wewangian. Moraceae Diletakkan di Orchidaceae sekitar ruanganlrumah Apocynaceae Apocynaceae Compositae
Kesenian wayang menggunakan perangkat gamelan sebagai musik pengiringnya. Sedangkan alat-alat musik lain, misalnya untuk kesenian tayuban adalah kendhang, bonang, kecer, :iosekan, gambang, kenong, saron, rebab, dan
kethuk. Untuk kesenian wayang klithik antara lain kempul, gender, rebab, kendhang, suling, dan gambang. Untuk keseriian singiran atau salawatan antara lain terbang, kendhang, barung, calung, angklung, dan calapita. Terlihat bahwa bahan dasar alat-alat musik tersebut didominasi oleh kayu dan bambu, walau tidak disebutkan secara spesifik. Anang Sumarna (1987) menyebutkan bahwa bambu jenis Gigantochloa utter Kurz. (bambu hitam), G.
atroviolacea (bambu wulung), dan G. apus Kurz. (bambu apus) biasa digunakan dalam pembuatan berbagai macam barang, termasuk alat-alat musik. Sedangkan salah satu jenis alat musik yang penggunaannya meluas di tengah masyarakat (baik untuk acara ritual maupun permainan orang dewasa dan anak-anak) adalah rebana. Bahan yang biasa digunakan sebagai kerangka rebana berukuran besar adalah kayu nangka (Artocarpus integra Merr.), dan terkadang kayu mangga
(Mangifera indica L.). Untuk rebana berukuran kecil disebutkan bahwa jenis kayu yang digunakan adalah kayu mrawan (Hopea sp.). Sementara untuk kulitnya biasa digunakan kulit kijang. Pemmfaatan tumbuhan untuk perlengkapan seni dekorasi juga banyak mewarnai kehidupan masyarakat. Contoh tumbuhan yang paling sering digunakan adalah janur (Cocos nucijera L.) dan melati (Jasminum sambac Ait.). Keduanya sering dipakai dakm berbagai acara seperti pemikahan, kenduri atau selamatan, kelahiran, dan sebagainya. Secara filosofis, bunga melati sesuai kenampakannya melambangkan sesuatu yang putih, bersih, dan suci. Ini melambangkan niat yang bersih dan suci yang melandasi ritual yang diadakan. Sedangkan janur
mengandung kata 'nur' yang berarti 'cahaya', yang mengandung harapan agar peristiwa yang dirayakan tersebut mendatangkan cahaya atau sinar yang menerangi, selain merupakan perlambang kegembiraan. Dalam ritual pemikahan terdapat hiasan yang disebut kembar mayang di mana janur juga digunakan sebagai salah satu komponen penyusunnya. Penggunaan janur di sini telah dimodifikasi menjadi anyaman-anyaman menyerupai bentuk-bentuk tertentu seperti keris-kerisan, payung, dan sebagainya, yang juga memiliki makna filosofis tersendiri. Selain sebagai pelengkap dekorasi janur kerap kali dimanfaatkan sebagai pembungkus peilganan dari ketan. Jenis bunga lain yang sering digunakan sebagai hiasan dalam upacara pemikahan adalah bunga malam (Ficus sp.), anggrek bulan (Phalaenopsis
amabilis), kamboja (Plumiera acuminata Ait.), mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br.), dan s e m i (Wtdelia bzjlora DC.). Selain melati (Jasminum sambac Ait.), bunga yang sering dipakai sebagai rangkaian atau roncean adalah gambir (Uncaria gambir Roxb.). Antara lain digunakan dalam menghias pinggan yang akan disajikan kepada tamu dalam acara-acara khusus, bersama reroncean bunga melati
2.3.5. Perlengkapan Transportasi Keadaan alam pada masa tersebut yang masih banyak memiliki hutan, pegunungan, dan medan-medan berat lainnya termasuk sungai menyebabkan sarana transportasi menyesuaikan dengan kondisi ini. Berikut ini adalah jenisjenis sarana transportasi yang digunakan pada masa itu: Tabel 11. Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan pembuatan sarana transportasi
*
tidak disebutkan secara spesifik dalam Serat Centhini, informasi berdasar tradisi pada umumnya. Kayu nangka bersifat kuat namun ringan, sedangkan kayu saw0 bersifat kuat tetapi lebih berat.
Diceritakan bahwa dalam pengembaraannya para tokoh selalu berjalan kaki dari desa ke desa. Untuk mengatasi medan yang masih berupa hutan belukar mereka membekali diri dengan peralatan untuk menebas pohon atau semak. Hewan yang juga biasa digunakan adalah kuda, selain dikendarai juga digunakan untuk menarik pedati.
2.3.6. Peralatan ibadah Telah dikemukakan sebelumnya bahwa nuansa religi Islam sangat kuat pada masa tersebut, terlihat dari berbagai ajaran yang diuraikan dan dituturkan serta kesenian yang sering diadakan. Salah satu pelengkap aktivitas beribadah di masjid adalah bedbug sebagai penanda waktu sholat yang umumnya terbuat dari kayu nangka (Artocarpus integra Merr.). Sedangkan tasbih dibuat dari buah genitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb.). Diceritakan pula bahwa dalam sebuah pengembaraan sang tokoh menggunakan air pada dahan pohon jembul yang ditebang sebagai pengganti air wudhu dalam keadaan darurat. Sedangkan sarana peribadatan yang lain umumnya berupa candi-candi yang biasa terdapat di dataran tinggi atau pegunungan. Selain itu pemanfaatan tumbuhan juga tercermin dari berbagai sesaji yang dipersembahkan dalam ritual-ritualnya (keanekaragaman jenis tumbuhan bahan sesaji disajikan pada bagian ritual).
2.3.7. Permainan Keanekaragaman jenis yang digunakan sebagai sarana permainan anakanak pada masa itu antara lain banbu dan daun pisang yang digunakan sebagai bahan permainan pasaran39 yang biasa dilakukan oleh anak-anak wanita. Dalam permainan tersebut mereka menggunakan berbagai peralatan yang menyerupai peralatan dapur yang terbuat dari kayt~seperti erok-erokan dan sudip. Sedangkan yang terbuat dari anyaman bambu adalah besek. Daun pisang (Musa sp.) digunakan untuk berbagai keperluan. Permainan dhakon (congklak) terauat dari
39 permainan jual-beli,
biasanya dilengkapi semacam peralatan masak-memasak
83
bahan kayu dan menggunakan biji-bijian, misalnya biji sawo (Manilkara kauki Dubard.). Pada masa itu juga dikenal permainan adu buah kemiri (Aleurites moluccana Wild.), narnun pada masa sekarang tampaknya permainan ini sudah tidak banyak dilakukan oleh anak-anak. 2.4. Tumbuhan sebagai Sumber Zat Pewarna
Dalam Serat Centhini, seni batik merupakan seni melukis pada kain yang banyak menggunakan unsur-unsur tumbuhan sebagai bahan pewarnanya. Selain itu motifnya juga banyak mengadopsi dari bentuk-bentuk tumbuhan, misalnya motif bunga, sulur-suluran dan sebagainya. Dalam Serat Centhini disebutkan bahwa bunga yang dipakai untuk memberikan warna kuning pada batik adalah bunga pulu (Carthamus ttnctorius L.). Pada masa sekarang lebih banyak digunakan zat wama sintetis karena dianggap lebih praktis dan mudah. Namun teknik pewarnaan alami dengan bahan tumbuhan juga memiliki kelebihan tersendiri karena khasnya warna-warna yang dihasilkan. Serat Cknthini tidak banyak mengungkapkan jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam proses pewarnaan batik. Namun karena batik sudah merupakan seni kerajinan yang telah lama ada, maka telah banyak informasi mengenai ha1 tersebut yang dapat diperoleh. Menurut Soesanto, zat wama alami dari tumbuhan yang biasa digunakan antara lain daun pohon nila (Indigofera sp.), memberikan warna nila; kulit pohon soga tingi (Ceriops cnndolleana Am.), soga tegeran (Cudrania javanensis Trec.), soga jambal (Peltophorum ferrugineurn Benth.), ketiganya memberikan warna coklat; buah mengkudu (Morinda citrifolia L.), memberikan warna merah, gambir (Uncaria gambir Roxb.), dan pinang (Areca catechu L.). Sedangkan bahan pembantu untuk menimbulkan dan memperkuat ketahanan warna (mengikat zat warna) antara lain digunakan jeruk sitrun, jeruk nipis (Citrus aurantifolia), cuka, tawas (Symplocos sp.), gula tebu (terbuat dari Saccharum officinarum L.), gula Jawa (terbuat dari Cocos nucifera L.), tetes (melase), prusi (copersulfat), dan bunga tunjung (teratai). Untuk batik dari Yogyakarta dan Sol3 warna yang sering dipakai adalah biru indigo dan coklat soga. Sedangkan warna-wmna lain biasanya dipakai oleh pembatik-pembatik dari Pekalongan, Gresik, Cirebon, dan Bali.
Penggunaan zat pewarna untuk bahan makanan umurnnya menggunakan rimpang kunyit (Curcuma domestics Val.) untuk memberikan warna kuning, daun suji
(Pleomele angustijolia L.) untuk memberikan wama hijau, serta kulit bawang merah (Allium cepa L.) dan d a m jambu biji (Psidium guajava L.) untuk memberi wama coklat. Sedangkan sebagai kosmetika kemuning (Murraya paniculata Jacq.) sering digunakan dalam perawatan kulit untuk memberikan warna kuning.
2.5. Bahan Ritual Pemanfaatan tumbuhan olah masyarakat Jawa dalam Serat Centhini sebagai pelengkap upacara ritual atau sesaji dilaksanakan untuk makna dan tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan. Namun pada dasarnya semua itu dilakukan untuk memperoleh keberhasilan, keselamatan, dan kesejahteraan sehingga apa yang diharapkan akan menjadi kenyataan, sementara apa yang tidak diharapkan tidak akan terjadi. Tradisi ini sedikit banyak merupakan peninggalan ajaran Hindu yang memang swat dengan prosesi pemujaan dewa disertai dengan pemberian sesaji. Terlepas dari itu tradisi Jawa memang mempercayai adanya kekuatan lain di l u x manusia yang berpengaruh terhadap kehidupan, baik pengaruh buruk maupun baik. Kekuatan tersebut diyakini berasal dari alam lain atau leluhur mereka, sehingga untuk memperoleh keselamatan dan menjauhkan pengaruh-pengaruh buruk tersebut dilakukan pemberian sesaji.
2.5.1. Ritual siklus hidup Pemberian sesaji merupakan salah satu bentuk tindakan simbolis dalam bidang religi yang masih berlangsung hingga saat ini. Dalam masyarakat Jawa terdapat rangkaian ritual dalam kehidupan manusia yang keseluruhannya dikenal sebagai ritual siklus hidup. Ritual ini umumnya terdiri dari rangkaian selamatan bagi wanita hamil, kelahiran bayi, selamatan sepasaran, puputan, selapanan,
tedaksinten4', tetesan4' dan khitanan, r u ~ a t a npernikahan, ~~, serta kematian.
41
upacara turun tanah, saat bayi berusia 7 x 35 hari sunatan pada anak wanita upacara untuk memohon keselamatan
a. Selamatan bagi wanita hamil Menurut tradisi. Jawa, bagi wanita yang sedang hamil perlu diadakan rangkaian selamatan yang pada dasamya bertujuan agar bayi dapat lahir dengan selamat dan mendapat kebahagiaan dalam kehidupannya. Umumnya upacara ini dilaksanakan saat kandungan berusia 2 bulan, 4 bulan (upacara ngupati), 7 bulan (upacara mitoni atau ringkeban), dan 9 bulan. Keseluruhan rangkaian ini sebenamya menyiratkan bahwa pendidikan tidak hanya diberikan saat seseorang telah dewasa, namun bahkan sejak benih masih tertanam di rahim ibunya. Bahan sesaji yang diberikan pada umumnya adalah nasi dengan segala olahan dan laukpauknya, bermacam hidangan, jenang, bunga-bungaan, makanan kecil fiajan pasar). Tradisi yang dikisahkan dalam Serat Centhini sebelum kelahiran bayi adalah dengan menyediakan hidangan sayur menir (sayur bening) dan pecel suntan ayam. Sayur utama yang digunakan dalam sayur bening adalah bayam (Amaranthus sp.). b. Kelahiran bayi Untuk menyambut kelahiran bayi biasanya pada malam hari setelah bayi lahir diadakan selamatan brokohan. Acara ini dihadiri para tttangga yang juga sekaligus membantu mempersiapkan kebutuhan dapur. Jenis selamatan yang lain adalah selamatan yang disesuaikan dengan hari kelahiran bayi, di mana hari kelahiran juga menentukan sesaji apa yang diperlukan sebagai pelengkapnya. Setelah bayi berumur sepasar (5 hari) biasanya diadakan upacara sepasaran dengan sesaji bempa nasi tumpeng, jenang, jajan pasar, dan telur rebus, disertai dengan pemberian nama bayi. Hidangan ini kemudian dibagi-bagikan pada para tetangga (Bratawidjaja, 1993). Pada saat pusar bayi telah lepas diadakan upacara puputan dengan sesaji berupa nasi sayur lengkap, jenang, dan jajan pasar secukupnya serta disertai peletakkan beberapa sesaji di kamar atau di dekat tempat tidur bayi. Upacara puputan dalam Serat Centhini disertai dengan acara nanggap k e n t r ~ ndan ~~~ ~ i n ~ i r aKemudian n~~. saat bayi telah berusia 3 hari diadakan upacara selapanan, 43
jenis kesenian hadisional dengan berbagai alat musik dari bambu dan kayu . kesenian keagamaan berupa puji-pujian
44 jenis
86
yang jika kemampuan ekonomi memungkinkan biasanya mengundang para tamu dan mengadakan pertunjukkan kesenian seperti wayang, ketoprak, dan sebagainya.
c. Tedak sinten Upacara ini diadakan saat bayi telah berumur 7 x 35 hari, merupakan saat pertama kalinya bayi turun ke tanah. Maknanya adalah agar kelak jika si anak telah dewasa nanti akan kuat dan mampu berdiri sendiri dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Sesaji selamatan umumnya nasi tumpeng dan sayur-mayur, jenang, jajan pasar, jadah, kembang telon (kembang 3 macam), sangkar ayam, tangga, serta barang. barang yang bermanfaat.
d. Tetesan dan khitanan Ritual selanjutnya yang dikisahkan dalam Serat Centhini adalah tetesan. Upacara ini merupakan khitanan bagi anak wanita yang telah berumur 8 tahun, dimaksudkan merupakan pertanda bahwa si anak telah beranjak dewasa dan diharapkan hidup bahagia lahir dan bathin. Berikut ini adalah jamu yang harus diminum anak saat diadakan upacara tetesan: Tabel 12. Pemanfaatan tumbuhan sebagai jaml~dalam upacara tetesan Komposisi Ramuan Nama Lokal Nama Latin 1. Bengle 2. ~ e n g k e h 3. Delima putih 4. Dlingo 5. Jahe 6. Kapulaga 7. Kecubung 8. Kencur 9. Kunir 10. Laos 11. Lsmpuyang 12. Majakan 13. Mesoyi 14. Selasih 15. Sunthi 16. Temu giring
Suku
Bagian yang Kederangan Digunakan 1 Zingiber cassumunar Roxb. Zingiberaceae RimpangBahan-bahan ini
I
Eugenia aromafica O.K. Punica granatum L. Acorus calamus L. Zingiber officinaleRoxb. Amomum cardamomum Wild. Dahrra fastuosa L. Kaempferia galanga L. Curcuma domestics Val. Alpinia galanga SW. Zingiber zerumbet SW Quercus lusitanica Lamk. Massoia aromatica Becc. Ocimum bas:licum L. Zingiber grnmineum SV!. Curcuma heyneana Val.
~~iaceae Lytbraceae Zingiberaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Solanaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Fagaceae Lauraceae Labiatae Zingiberaceae Zingiberaceae
~uah Pucuk Rimpang Rimpang Buah Biji Rimpang Ximpang Rimpang Rimpang Buah Daun Biji Rimpang Rimpang
diperhalus agar mudah dikunyah. setelah dikunyah dan ampasnya dibuang, anak menelan telur mentah, kemudian dimandikan sambil diolesi lulur. Setelah itu anak berbusana adat Jawa.
Sedangkan upacara khitanan atau tetakan diadakan bila anak laki-laki telah berumur 9 - 12 tahun juga merupakan pertanda kedewasaan. Upacara khitanan dihadiri oleh shak-saudara dan para tamu, terkadang bahkan disertai dengan pertunjukkan wayang sernalam suntuk. Dalam acara tersebut sebelurn dikhitan anak dimandikan dengan air kembang setaman oleh ayah-ibu serta kakek-neneknya. Kemudian diberi minum jamu yang terdiri dari rninyak kelapa serta campuran irisan bawang rnerah, ternu ireng, dan temu giring yang diparut. Setelah anak dikhitan kernudian diberi hidangan nasi dengan lauk ayarn goreng, paru goreng, lalaban, dan bawang merah agar lekas sembuh.
e. Ruwatan Upacara ruwatan merupakan upaya untuk mernbebaskan dir~seseorang dari aib dan dosa yang sekaligus menghindarkan diri dari malapetaka yang mungkin menimpanya (Bratawijaya, 1997). Upacara ini telah ada sejak jaman Majapahit hingga saat ini, bahkan di beberapa kota di Indonesia menjadi ritual rutin yang sekaligus dijadikan obyek wisata budaya. Ada beberapa penyebab dilaksanakannya ruwatan, yaitu jika seseorang lahir dengan kondisi tertentu (misalnya dengan urutan tertentu wanita-pria, kelahiran yang bertepatan dengan terbit atau tenggelamnya rnatahari, dan sebagainya), dan jika seseorang melanggar aturan tertentu (misalnya menjatuhkan dandang, mernatahkan batu gilingan, dan sebagainya). Orang-orang dernikian diyakini akan rnenjadi rnangsa Batara Kala, sehingga perlu diadakan ruwatan untuk rnembebaskannya dari aib dan dosa serta rnalapetaka. Berikut ini adalah sesaji dalarn upacara ruwatan dalarn Serat Centhini, di mana dikisahkan mempelai wanita melanggar aturan karena memecahkan batupipisan @atu gilingan4'):
4'
batu yang digunakan untuk menghaluskan bumbu atau jamu
88
Tabel 13. Materi sesaji dalam ritual Ruwatan
I
Macam Sesaji
I
Bahan Sesaji I Nama Lokal I Nama Ilmiah
A. Wanita: 9 macsm tumpeng: a. Tumpeng pucuk lombok abang b. Tumpeng kendhit
h. Tumpeng sembur i. Tumpeng tutul
Sesaji pelengkap: a. Ayam b. Bantal c. Beras d. Woh-wohan
e. Iwak f. Kain 7 macam: - dodot polerrg bintulu - dringin - songer - tuluh watu - gadhung mlathi - liwatan bangun tulak - pandhan binethot
Suku
I
c. Tumpeng lugas d. Tumpeng megana ayam e. Tumpeng megana sayuran
f. Tumpeng pucuk endhog g. Tumpeng rajrg
I
I Keterangan I
/
asi tumpeng
Sega Lombok Sega Janur Sega Sega
Oryza sativa L. Capsicum annuum L. O r y a safiva L. Cocas nucijera L. Ciyza sativa L. Oryza sativa L..
Poaceae Solanaceae Poaceae Palmae Poaceae Poaceae
Sega Kacang panjang Kecambah Godhong tela
Oryza sativa L. Vigna sinensis Endl. Phaseolus radiatus L. Manihot esculenta Pohl. Oryza saliva L.
Poaceae Fabaceae Fabaceae Euphorbiaceae
sega Sega Janur Kenanga
Oryza safiva L. Cocos nucijera Cananga odorata Baill. Mawar Rosa sp. Jasminum sambac Ait Mlathi Sega Oryza sativa L. Sega Oryza safiva L. Kacang panjar~g Vigna sinensis Endl. Phaseolus radialus L. Kecambah Manihot esculenta Godhong tela
Sega Gedhang Salak Manggis Nanas Klopo
1 Poaceae Poaceae Arecaceae Annonaceae Roseceae Oleaceae Poaceae Poaceae Fabaceae Fabaceae Euphorbiaceae
Kain mengandung makca kebahagiaan, Poaceae Oryza sativa I,. sedangkan buah Musaceae Musa sp. buahan Salacca salacca Arecaceae bermakna Garcinia mangostana Guttiferae Bromeliaceae 'esehatan Ananas comosus kesejahteraan. Cocos nucijera L. Arecaceae Sesaji biasanya diletakkan di sebelah kiri
Macam Sesaji g. Kroso ." h. Sega i. Legen j. Pari k. Tebu
-
I. Uwi-uwian
Nama Lokal Sega Klopo Pari Tebu
Xanthosorna violaceurn Schon. Xanthosoma violaceurn Schott.
Araceae
Oryza saliva L. Cocos nucfera L. Oryza sativa var.glu1inosa Oryza sativa L. Cocos nucifera L. Oryza safiva L. Oryia sativa var.glutinosa Cocos nucfera L. Oryza saliva L. Cocos nucifra L. Oryza saliva var.glutinosa Cocos nucfera L. Cocos nucifra L.
Poaceae Arecaceae Poaceae
Tela
Manihot esculenta Pohl.
Euphorbiaceae
Pelem Timun Jambu wer
Mangifera indica L. Cucumis sarivus L. Eugenia aquea Burm.f. Ananas camosus Merr Caricapapqa L. Pachyrhkus erosus Urban. Mangfera indica L. Cucumis sativus L. Eugenia aquea BUIIII.~. Ananas carnosus Merr Carica P a P W L. Pachyrhizus erosus Urban.
Anacardiaceae Jenis-jenis mjak Cucurbitaceae ini memiliki Myrtaceae bahan-bahan yang sama, yaitu Bromeliaceae buah-buahan dan Caricaceae bumbu yang Fabaceae terbuat dari gula jawa dan cabai. Anacardiaceae Perbedaan Cucurbitaceae terletak pada Myrtaceae cara penyajian dan Rromeliaceae pembuatannya. Caricaceae Fabaceae
Tela
Linjik
B. Pria: Makanan berbungkus daun Beras a. Clorot Klopo Beras ketan b. Entul-entul
f. Macam2 pipis g. Mendut
Beras Janur Beras Beras ketan Klopo Beras Gula jawa Beras ketan Klopo Gula jawa
h. Pudhak i. Utri Berbagai rujak: a. Rujak bakal
Nanas Kates Bengkoang b. Rujak dheplok
Suku Poaceae Arecaceae Poaceae Poaceae
Kimpul
d. Legandha e. Lepat
Keterangan
Oryza safiva L. Cocos nucfera L. Oryza saliva L. Saccharum officinarum L. Manihor esczrlenra Pohl. Ipomoea baratas Poir.
Tela rambat
c. Ketupat
Bahan Sesaji Nama Ilmiah
Pelem Timun Jambu wer Nanas Kates Bengkoang
Euphorbiaceae Convolvulaceae
Araceae
Poaceae Arecaceae Poaceae Poaceae Arecaceae Poaceae Arecaceae 'Oaceae
Arecaceae Arecaceae
Sesaji ini ditambah dengan buah-buahan seperti pisang, ealak, dsb. serta Uang logam. Jajan pasar bermakna memohon pada leluhur agar diberi keselamatan. Uang logam melambangkan kemampuan menebus.
Bahan Sesaji Nama Lokal ( Nama Ilmiah
Macam Sesaji g. Kroso h. Sega i. Legen j. Pari k. Tebu
I. Uwi-uwian
Sega Klopo Pari Tebu
I I
~ela Tela rambat
I
Kimpul
Linjik
B. Pria: Makanan berhungkus daun a. Clorot Beras Klopc Beras ketan c. Ketupat d. Legandha e. Lepat
f. Macam2 pipis g. Mecdut
Beras Janw Beras Beras ketan Klopo Beras Gula jawa Beras ketan Klopo Gula jawa
h. Pudhak i. Utri 1
Berbagai rujak: a. Rujak bakal
Pelem Timun Jambu wer
Pelem Timun Jambu wer Nanas Kates Bengkoang
Poaceae Arecaceae Poaceae Poaceae
1
1
Euphorbiaceae
I
Convolvulaceae
I Xanthosonta violaceum Schott. Xanthosoma violaceum Schott.
Araceae
Oiyza saliva L. Cocos nucifera L. Oryza saliva var.glulinosa Oryza sativa L. Cocos nucifera L. Oiyza sativa L. Oryza sativa var.glu1inosa Cocos nucifera L. Oryza sativa L. Cocos nucifera L. Otyza saliva var.glu1inosa Cocos nucifera L. Cocos nucifra L.
Poaceae Arecaceae Poaceae
Araceae
Poaceae Arecaceae Poaceae Poaceae Arecaceae Poaceae Arecaceae Poaceae Arecaceae Arecaceae
I
Tela
Nanas Kates Bengkoang b. Rujak dheplok
Oryza sativa L. Cocos nucifera L O v a saliva L. Saccharum oflicinarum L. *" Manihof esculenla Pohl. I lpomoea bafatas Poir.
Mangifra indica L. Cucumis sativus L. Eugenia aquea Burm.f. Ananas camosus Merr Carica papaya L. Pachyrhizus erosus Urban. Mangifea indica L. Cucumis sativus L. Eugenia aquea Burm.f. Ananas camosus Merr Caricapapaya L. Pachyrhizus erosus T lrhan
Euphorbiaceae
Sesaji ini ditambah dengal buah-buahan seperti pisang, salak, dsb. serta uang logam. Jajan pasar bermakna memohon pada leluhur agar diberi keselamatan. Uang logam melamban~kan kemampuan menebus.
I
1
Anacardiaceae Jenis-jenis ~ j a k Cucurbitaceae ini memiliki Myrtaceae bahan-bahan yang sama, yaiN Bromeliaceae buah-buahan dan bumbu yang Caricaceae terbuat dari gula Fabaceae jawa dan cabai. Anacardiaceae Perbedaan Cucurbitaceae terletak pada Myrtaceae cara penyajian dan Bromeliaceae pembuatannyp. Caricaceae Fabaceae
Macam Sesaji c. Rujak crobo
Bahan Sesaji Nama Lokal Nama Ilmiah Pelem Timun Jambu wer
Mangifera indica L. Cucumis safivus L. Eugenia aquea Burm.f. Ananas camosus Merr C a r i c a p a p ~ aL. Pachyrhizus erosus Urban. Mangifra indica L. Cucumis sativus L. Eugenia aquea Burm.f. Ananas cantosus Merr Carica papqa L. Pachyrhizus erosus Urban. A4angifera indica L. Cucumis sativus L. Eugenia aqriea Burm.f. Ananas carnosus Merr Caricapapqa L. Pachyrhizus erosus Urban. Capsicum annuum L.
Anacardiaceae Cucurbitaceae Myrtaceae
ANium cepa L. Alliant sativum L.
Liliaceae Liliaceae
Pandan
Pandanus sp.
Pandanaceae
Jahe
Zingiber ofticinale Rosc. Kaem~feriagalango L Curcuma domesfica Val. Alpinia galanga SW. Gastrochilus pandurafum Ridl.
Zingiberaceae
O y z a saliva L.
Poaceae Cucurbitaceae Cucurbitaceae
Nanas Kates Bengkoang d. Rujak dulit
Pelem Timun Jambu wer Nanas Kates Bengkoang
e. R~ljakmanis
Pelem Timun Jambu wer Nanas Kates Bengkoang
Hidangan gecok
Sesaji pelengkap hidangan gecok: a. 2 lbr t i k a b. 2 telur ayam c. Empon-empon
Lombok Garem Trasi Brambang Bawang Daging kebo Iwak lele
Kencur Kunir Laos Temu kunci d. Kayu e. Nasi golong f. Pala kasimpar
g. Pecel ayam h. Sayur menir i. Taoge
Keterangan Suku
Beras Timun Semangka
Cueurnis sativus L.
Bromeliaceae Caricaceae Fabaceae Anacardiaceae Cucurbitaceae Myrtaceae Bromeliaceae Caricaceae Fabaceae Anacardizceae Cucurbitaceae Myrtaceae Bromeliaceae Caricaceae Fabaceae Solanaceae
Jika menggunakan daging kerba disebut gecok baka1,jika menggunakan ikan lele disebut gecok lele.
Zingiberaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Zingiberaceae
Labu siem
Citrullus vulgaris Schrad. Sechium ed::le SW.
Bayem Kecambah
Amaranthus sp. ~markthacea Phaseolus radiafus L. Fabaceae
Cucurbitaceae
Macam Sesaji j. Ubi-ubian
Bahan Sesaji Nama Lokal Nama Ilmiah Tela Tela rambat Kimpul Linjik
Sesaji lain sebagai pelengkap: 2 ikat kepala 2 lbr kain 3 uang 25 sen Beras 9 macam nasi pondhoh Tebu Banyu tebu Ampyang Awug-awg Bawang Bikang Bubur 9 warna Kembang setaman
Kacang tanah Gula merah Beras Bawang Beras Beras Mlathi Mawar Kenanga
Godhong alang-alang Alang-alang Godhong apa-apa
Apa-apa
Godhong dadap serep Dadap serep Godhong lontar Dlingo Gula klopo Jadah 7 warna -
Siwalan Dlingo Klopo Ketan
Jenang Jenang 9 wama Kayu walikukun
Beras Beras Walikukun
Klopo Ketan 9 warna
Klopo Ketan
Lenga kacang Lenga klopo Sega Sega wuduk Perlengkapan dapur Gedhang ayu Pisau baja
Manihor esculenta Pohl. Ipomoea batatas Poir. Xanrhosoma violaceum Schott. Xanrhosoma violaceum Schott.
Keterangan Suku Euphorbiaceae Convolvulacea Araceae Araceae
Oryza saliva L.
Poaceae
Saccharum oficinarum L. Arachis hypogaea L. Cocos nucifera Oryza sativa L. Alium sarivum L. Oryza saliva L. Oryza sativo L. Jasminum sambac Ait Rosa sp. Cananga odorara Baill. Imperata cylindrica Beauv. Flemingia lineata Roxb. Eryhlrinafruticosa Miq. Borassurflabelliber L. Acorns calamus L. Cocas nucifra L. Oryza saliva var.glutinosa Oryza sariva L. Oryra sariva L. Actinophara buurrnani
poaceae
Fabaceae Arecaceae Liliaceae Poaceae Poaceae Oleaceae Rosaceae Annonaceae Cyperaceae Fabaceae Fabaceae Arecaceae Triuridaceae Arecaceae Poaceae Poaceae Poaceae Tiliaceae
KDS.
Arecaceae Poaceae
Kacang tanah Klopo Beras Beras
Cocos nuc@ra L. Oryro sativa var.glulinosa Arachis hypogaea L. Cocos nucifra L. Oryra saliva L. Oiyza saliva L.
Gedhang
Musa sp.
Musaceae
Fabaceae Arecaceae Poaceae Poaceae
Perlengkapan dapur misalnya wajan, dandang, kukusan, dll.Bahan sesaji bermacam warna yaitu : merah, kuning, hijau, putih, biru, trutul, ungu, atau berisi gula merah,
Macam Sesaji Nama Lokal Srabi 9 wama Sirih Endhog pitik Dhuwit Wajik
Bahan Sesaji Nama Ilmiah
Beras Klopo Sirih
Oryza saliva L. Cocos nucifera L. Piper belle L.
Ketan
Oryza sativa var.glutinosa
Keterangan Suku
.
Poaceae Arecaceae Piperaceae
Poaceae
Upacara ruwatan disertai dengan pementasan wayang yang dipimpin oleh seorang dalang senior. Bermacam bahan sesaji yang digunakan tersebut disediakan atas permintaan dalang. f. Pernikahan
Dalam masyarakat Jawa ritual pernikahan merupakan suatu proses panjang yang terdiri dari berbagai tahapan oleh kedua calon mempelai, yaitu:
- Lamaran Dalam acara larnaran atau meminang ini keluarga pihak pria menyerahkan
peningset pada keluarga pihak wanita barupa pakaian lengkap yang disebut sandangan sapangadek Berikut ini adalah materi-materi sesaji yang digunakan dalam sebuah upacara pernikahan dalam Serat Centhini, yang diawali dengan acara larnaran : Tabel 10. Keanekaragaman materi sesaji yang digunakan sebagai bahan ritual dalam acara lamaran --
NamaLokal
I
Bahan Sesaji Nama Ilmiah
A. Sesaji lamaran menikahkan anak pertama: 1. Anggi-anggi*
2.
Asem
3. 4.
Bawang Bengle Beras Brambang Dlingo Gedhang Gula kelapa
5. 6. 7. 8. 9.
Keterangan Suku
Dilengkapi dengan hidangan Fabaceae Tamarindus indica L. pecel ayam dan sayur bening, Alliurn salivum L. Liliaceae serta peralatan dapur. Sesaji Zingiber cassumunar Roxb. Zingiberaceae dibawa oleh keluarga Poazeae 3 9 z a sativa L. mempelai pria saat Liliaceae ANbdm cepu L berkunjung melamar ke Zingiberaceae mmah calon mempela~ Acorus calamus L. Musaceae wanita. Musa sp. Arecaceae Cacos nucifra L.
Nama Lokal
Bahan Sesaji Nama Ilmiah
Zingiber officinale Roxb. Jahe Nigela saliva L. Jinten Kayu walikukun Actinophora buurmoni KDS Kayumanis Cinnamomum burmanii Bl. GIycine m a Merr. Kedele Aleurites moluccana Willd. Kemiri Kencur Kaempferia galanga L. 17. Ketumbar Coriandrum sativum L. 18. Klopo Cocos nucifra L. Pangium edule Reinw. 19. Kluwek Curcuma domestica Val. 20. Kunir Alpinia galangn SW. 21. Laos Zingiber zerumbet SW 22. Lempuyang Capsicum annuum L. 23. Lombok 24. Mrica Piper nigrum L. Myristicafragrans Houtt. 25. Pala 26. Pecel ayam 27. Pinang Areca catechu L. 28. Salam Eugenia polyanthn Wight. Oryza sativa L. 29. Sega Andropogon nardus L. 30. Sere 31. Sirih Piper betle L. 32. Sirih ayu Piper be111eL. Zingiber gramineum 33. Sunthi Saccharum officinarurn L. 34. Tebu 35. Tembakau Nicotiana tabacum L. 36. Temu giring Curcuma heyneana Val. Salanum melong-ena L. 37. Terong B. Sesaji lamaran menikahkan anak bungsu: 1. Anggi-anggi* 2. Beras Oryza saliva L. Rosa sp. 3. Kembang Jasrninum sarnbac Ait. Cananga odorata Baill.. Curcuma dornes~icaL. 4. Kunir 5. Dhuwit
10. I I. 12. 13. 14. 15. 16.
Keterangan Suku Zingiberaceae Ranunculaceae Tiliaceae Lauraceae Fabaceae Euphorbiaceae Zingiberaceae Umbelliferae Arecaceae Flacourticaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Snlanaceae Piperaceae Myristicaceae Arecaceae Myrtaceae Poaceae Poaceae Piperaceae Piperaceae Zingiberaceae Poaceae Solanaceae Zingiberaceae Solanaceae Dimasukkan dalam kantung, kemudian anak Poaceae menumpahkan isinya agar R~~~~~~~ bersama para diperebutkan 0leaceae saudara. Disebut num~'ak Annonaceae Zingiberaceae ponje"
* bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan jamu, terdiri dari berbagai akar-akaran, daundaunan, dan bahan-bahan lain sesuai dengan yang dibutuhkan.
- Srah-srahan Tahapan selanjutnya menjelang adalah acara srah-srahan, yaitu pihak mempelai pria menyerahkan sejurnlah hadiah pernikahan kepada keluarga mempelai putri herupa hasil bumi, alat-alat rumah tangga, ternak, dan terkadany sejumlah uang.
- Pingitan Masa pingitan dijalani calon mempelai wanita selama 7 hari (pada jaman dahulu 40 hari), dan selama itu ia tidak diperbolehkan keluar dari rumah dan bertemu dengan calon suami. Calon mempelai wanita menggunakan masa ini untuk merawat tubuh dan membersihkan diri (menggunakan lulur dan sebagainya).
- Pasang tarub Menjelang hari pernikahan dilangsungkan pemasangail tratag atau tarub dan membersihkan serta menghias rumah. Berikut ini adalah materi sesaji dalam upacarapasang tarub : Tabel 15. Materi sesaji yang digunakan dalam ritual pasang tarub Mzcam Sesaji Nama Lokal
Bahan Sesaji Nama Ilmiah
Keterangan Suku
A. Sebelum pendirian:
Beras Kacang ruji Kedele Kluwek Kemiri Jenang merah Gulungan sirih Daging cacah
Beras Sirih
Beras Gulungan sirih Jenang baro-baro Jenang merah Jenang putih Kacang mji
Beras Siiih Beras Beras Beras Kacang mji
Kedelai Keluwak
Kedele Kluwek
Kemiri
Kemiri
Oryra saliva L. Phaseolus calcaratus Roxb. Glycine m m Merr. Pangium edule Reinw. Aleurifes moluccana Willd. Oryra saliva L. Piper betle L.
Oryza saliva L.
Poaceae Fabaceae Fabaceae Flacourtiaceae Euphorbiaceae Poaceae Piperaceae
Poaceae Piperaceae Oryza sativu L. Poaceae Oryza sativa L. Poaceae Oryza sativa L. Poaceae Phaseolus calcaratus Fabaceae Roxb. Glycine m m Merr. Fabaceae Pangium edule Flacourtiaceae Reinw. Aleurites moluccuno Euphorbiaceae Willd.
I Piper bettle L.
Sesaji ini dipendam di pekarangan mmah.
Sesaji ini ditaruh dalam fakir. Daging dapat berupa daging sapi, kerbau, ayam, dll. Sesaji ini dibuang. Jenang baro-bar0 merupakan jenang benvama rnerah-putih.
Macam Sesaji B. Saat pendirian : Dhawet
Gambir Jenang Jongkong Masakan bersantan sayur lodeh - sambel goreng gulai - dll.
-
Nasi asahan Nasi golong Nasi lulut Nasi wuduk Pecel ayam Pinang Pisang ayu Rujak
I
Bahan Sesaji Nama Lokal Nama Ilmiah Beras Klopo Beras Beras Klopo Klopo Nangka
Orvza saliva L. Cocas nucifera L. Uncaria gambir Roxb. Otyza saliva L. Oryia saliva L. Cocas nucifera L. Cacos nucifera L Artacarpus integra
I Keterangan Suku Poaceae Arecaceae Rubiaceae Poaceae Arecaceae Arecaceae Moraceae
Merr. Kacang panjang Mlinjo Kentang Lombok Beras Beras Beras Beras Klopo
Vigna sinensis Endl. Gnefumgncmon L. Solanum tuberossm L. Capsicum sp. Otyza saliva L. Otyza saliva L. Oryza saliva L. Oryza saliva L. Cocas nucifera L.
Fabaceae Gnetaceae Solanaceae Solanaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae
Gedhang Pelem Timun Jambu wer
Areca catechu L. Musa sp. Mangifera indica L. Cucumis salivus L. Eugenia aquea
Arecaceae Musaceae Anacardiaceaf Cucurbitaceae Myrtaceae
Nanas Kates Bengkoang
Ananas camosus Merr Carica p a p v a L. Pachyrhizus erosus
Bayem Sirih Tembakau
Amaranthaceae Amaranthus sp. Piper bettle L. Piperaceae Nicotiana tabacum L. Solanaceae
Burm.f. Bromeliaceae Caricaceae Fabaceae
Urban. Sayur menir Sirih ayu Tembakau
Tarub merupakan bangunan darurat yang khusus didirikan pada dan di sekitar rumah orang yang mempunyai hajat menyelenggarakan pemikahan (Bratawijaya, 1997). Tujuannya selain sebagai tambahan ruang tempat duduk tamu dan lain-lain, juga karena disertai dengan pemberian sesaji maka bertujuan untuk memperoleh keselamatan lahir bathin dalam arti luas. Selain itu terdapat pula tuwuhan atau srana tarub (hiasan t m b ) yang komposisi tumbuhannya mengandung makna filosofis tertentu. Misalnya pohon pisang raja, yang bermaha agar mempelai menjadi pimpinan yang baik bag1 keluarga, lingkungan, dan bangsanya, dan dapat menyesuaikan diri di lingkungan manapun; tebu wulung, yang berasal dari kata antebing kalbu 'tekad bulat', dan wulung 'mulus'
atau 'matang', sehingga maknanya adalah agar mempelai dalam segala sesuatu yang dilakukan selalu dipikirkan matang-matang dan dilaksanakan dengan tekad bulat pantang mundur; kelapa gading muda (cengkir
-
kencenging pikir),
bermakna agar mempelai mempunyai kemauan yang keras untuk mencapai tujuan; serta daun-daunan antara lain beringin (Ficus benjamina L.), maja (Aegle marmelos Corr.), koro (Phaseolus lunatus L.), andong, alang-alang (Imperata spec.div.), apa-apa (Flemingia lineata Roxb.). Makna secara keseluruhan adalah agar mempelai kelak dapat seperti pohon beringin, menjadi pengayom lingkungannya, dan agar semuanya dapat berjalan dengan selamat sentosa lahir bathin (aja ana sekoro-koro kalis alangan sawiji apa). Selain materi-materi tersebut, juga terdapat sesaji lain yang digunakan sebagai pengusir kekuatan jahat (tolak-bala) agar acara berjalan lancar dan selamat, yaitu menggunakan uang logam dan cabai (Capsrcum annuum L.).
- Siraman Keseluruhan rangkaian upacara pernikahan (sehari sebelumnya) didahului oleh upacara siraman, yaitu memandikan calon mempelai wanita dengan kembang t e l o ~yang terdiri dari mawar, melati, dan kenanga, dilanjutkan dengan upacara ngerik (merapikan bulu-bulu rambut).
- Midodareni Acara ini diadakan pada malam hari sebelum hari pemikahan di mana calon mempelai pria datang ke rumah calon mempelai wanita. Pada malam midodareni calon mempelai putri mengenakan busana polos tanpa perhiasan apapun kecuali cincin kawin. Berikut ini adalah materi sesaji yang digunakan pada malam rnidodareni:
Tabel 16. Materi sesaji yang digunakan dalam upacara midodareni
Macam Sesaji Nama Lokal Ayam santen Boreh wangi
Kanthil Lombok abang Sega gurih Agel Asem Kembang boreh
I
Gula kelapa Kapuk Kemenyan Kunir Pari Gedhang ayu Sirih ayu
Klopo Mawar Mlathi Kenanga Pandan Cempaka Lombok Beras Klopo Agel Asem Mawar Mlathi Kenanga Pandan KIopo Kapuk Kemeyan Kunir Pari Gedhang Sirih
Bahan Sesaji Nama Ilmiah
Suku
Cocos nucijera L. Rosa sp. Jasminum sambac Ait. Cananga odorma Baill.. Pandanus sp. Michelia champaca L. Capsicum annutrm L. Oryza saliva L. Cocos nucifra Corypha utan Lamk. Tamarindus indica L. Rosa sp. Jasminum sambac Ait. Canonga odorora Baill.. Pandanus sp. Cocos nucifra L. Leibapentandra Gaertn. Slyrax benzoin Dryand. Curcuma domesrica Val. Oryza saliva L. Musa sp. Piper betrle L.
Arecaceae Rosaceae Oleaceae Annonaceae Pandanaceae Annonaceae Solanaceae Poaceae Arecaceae Arecaceae Fahaceae Rosaceae Oleaceae Annonaceae Pandanaceae Arecaceae Bombasaceae Styracaceae Zingiberaceae Poaceae Musaceae Piperaceae
Keterangan Disediakan oleh pihak mempelai wanita, disertai dengan ~embakaran d"~a.
Merupakan sesaji tebusan, dibawa oleh pihak emmpelai ?ria Saat berkunJung ke mempelai wanita.
- Sesaji untuk bahan makanan Hal lain yang mendapat perhatian adalah urusan memasak (dapur), sehingga terdapat materi sesaji khusus agar segala sesuatunya berjalan sesuai rencana. Hal tersebut terlihat pada rabel berikut : Tabel 17. Materi sesaji yang digunakan dalam pengolahan masakan
Macam Sesaji Nama Lokal Pacing tawa Jenang Klopo Tumpeng
Pacing tawa Beras Klopo Beras
Kembang boreh
Mawar Mlathi Kenanga Pandan Ketan
Jadah
Bahan Sesaji Nama Ilmiah Gloriosa strperba L. Oriza sativa L. Cocos nucijera L. Oryza saliva L.
Keterangan Suku Liliaceae Poaceae Arecaceae Poaceae
Diletakkan di dapur, tempat daging, tempat nasi, tempat makan, tempat sirih. Rosa sp. Rosaceae Diletakkan pada Jasmjnum sambac Ait. Oleaceae ruang Cananga odorala Baill.. Annonaceae penyimpanan Pandanaceae beras. Pandanus sp. Oryzo saliva var.g/utinoso Poaceae
Macam Sesaji Nama Lokal Klopo Kemenyan Gedhang ayu Sirih ayu Kloso pandan Tumpeng Wajik Gula kelapa Klopo Gedhang ayu Sirih ayu Kloso aandan Tumpeng Gula kelapa Klopo Kloso pandan Tumpeng
1 1
.Kiopo Kemenyan Gedhang Sirih Pandan Beras Ketan Klopo Klopo Gedhang Sirih Pandan Beras Klopo Klopo Pandan Beras
I I
Bahan Sesaji Nama Ilmiah
Suku
Cocos nucifra Sfyrax benzoin Musa sp. Piper beffleL. randanus sp. Oryza saliva L. Oryza safiva var.glr~tinosu Cocos nucifera L. Cocos nuciferu L. Musa sp. Piper bettle L. Pandanus so. Oryza sativa L. Cocos nucifera L. Cocos nucifera L. Pondanus sp. Oryza saliva L.
Arecaceae Styracaceae Musaceae Piperaceae Pandanaceae Poaceae Poaceae Arecaceae Arecaceae Musaceae Piperaceae Pandanaceae Poaceae Arecaceae Arecaceae Pandanaceae 1 Poaceae
Keterangan
I 1
1
l~erupakan sesaji saat menanak "asi.
Merupakan sesaji saat menyembelih kerbau.
Dalam Serat Centhini dijelaskan tentang tugas dari semacam panitia dalam sebuah acara pernikahan, antara lain (1) among andrmuina yang menangani jamuan makan dan minum, (2) among penganten yang menangani busana dan tata-rias, (3) nyai sukarena yang bertugas sebagai penerima tamu, (4) among suka menangani hiburan, (5) anlong gandha menangani wewangian, dan (6) among
usadi bertugas menangani jamu-jamuan.
- Ijab kabuVakad nikah Ijab kabul merupakan upacara peresmian kedua mempelai menjadi suamiistri, yang dilaksanakan pada keesokan harinya. Materi sesaji dalam pelaksanaan
ijab kabul di antaranya bahan yang digunakan untuk mandi dan paes (merias pengantin). Materi sesaji dalam upcara tersebut disajikan secara rinci dalam tabel
18 berikut:
Tabel 18. Materi sesaji yang digunakan untuk mandi dan merias pengantin Macam Sesaji Nama Lokal A. Sesaji mandi: a. Kembang boreh
Mawar Mlathi Kenanga Pandan Kemenyan Gedhang Cendana Lorosetu
Bahan Sesaji Nama Ilmiah
Rosa sp. Jasminum sambac Ait. Canonga odorara Baill.. Pandanus sp. Siyrax benzoin b. Kemenyan c. Gedhang ayu Musa sp. Sanfalum album L. d. Ratus Andropogon zizanoides Urban. Styrax benzoin Dryand. Kemenyan Cocos nucgera L. Gula merah e. Sirih ayu Piper beffleL. Sirih Oryza sativa L. f. Tumpeng hias Beras Oryza sativa L. g. Tumpeng sayur Beras Kacang panjang Vigna sinensis Endl. Kecambah Phaseolus radiafus L. Manihof esculen~aPohl. Godhong tela B. Sesajipaes: Mawar R o ~ asp. a. Kembang Mlathi Jasminum sambac Ait. boreh Kenanga Cananga odorara Baill.. Pandan Pandanus sp. Cocos nucijera L. Klopo b. Gula klopo Oryza saliva Ketan c. Jadah var.glutinosa Beras O r p a saliva L. d. Jenang Klopo Cocos nucijera L. e. Klopo Canangn odorafaBaill. f. Lenga kenanga Kenanga Musa sp. g. Gedhang ayu Gedhang Sirih h. Sirih ayu Piper beftle L. Oryza saliva L. Beras i. Tumpeng
Keterangan Suku Disertai pembakaran Rosaceae kemenyan; ratus Oleaceae Annonaceae digunakan untuk Pandanaceae mengasapi Styracaceae rambut. Sesaji ini dibuat M~~~~~~~ berulang dua kali Santalaceae (untuk mempelai Poaceae putra dan putri). Styracaceae Arecaceae Piperaceae Poaceae Poaceae Fabaceae Fabaceae Euphorbiaceae Sesaji ini dibuat berulang dua Rosaceae kali. Oleaceae Annonaceae Pandanaceae Arecaceae Poaceae Poaceae P recaceae Annonaceae Musaceae Piperaceae Poaceae
Terdapat tradisi bahwa sebelurn merias pengantin, baik sang perias maupun calon pengantin sebelurnnya telah berpuasa dahulu. Hal ini dianggap merupakan syarat agar pekerjaan tersebut berhasil dengan baik sehingga hasil riasan pun terlihat menarik dan bercahaya. Berikut ini adalah sesaji upacara pemikahan dalam Serat Centhini:
Tabel 15. Materi sesaji yang digunakan pada hari pemikahan
Nama Lokal 1. 2. 3. 4.
Agel Asem Beras Boreh kembang
5.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Cikal klopo Gula klopo Kapuk Klopo wutuh Kemenyan Kunir Sega pondhoh Pari Penganan ketan
14. 15. 16. 17.
Gedhang ayu Sirih ayu KIoso pandan Tumpeng
Bahan Sesaji Nama Ilmiah Cotypha utan Lamk. Tamarindus indica L. Otyza sativa L. Rosa sp. Jasminum sambac Ait. Cananga od?rala Baill.. Pandanus sp. Cocos nucijera L. Cocos nucijera L. Ceiba pentundra Gaertn. Cocos nucijera L. Sryrax benzoin Curcuma domeslica Val. Oiyza sativa L. Otyza sativa L. Otyza sativa var.glurinosa Musa sp. Piper bettle L. Pandanus sp. Oryra sativa L.
Keterangan Suku Arecaceae Fabaceae Poaceae Rosaceae Oleaceae Amonaceae Pandanaceae Arecaceae Arecaceae Malvaceae Arecaceae Styracaceae Zingiberaceae Poaceae Poaceae Poaceae
Penganan dari ketan misalnya lepet, lemper, wajik, dsb.
Musaceae Piperaceae Pandanaceae Poaceae
- Panggih Setelah upacara &ad nikah kemudian dilanjutkan dengan rangkaian upacara panggih, yaitu upacara mempertemukan kedua mempelai sebelum keduanya bersanding di pelaminan. Upacara ini terdiri dari: (a)
balangan sedah atau lempar sirih: dalam acara ini pengantin putra dan putri saling melempar sirih,
(b)
upacara wiji dadi: pengantin putra menginjak telur kemudian pengantin putri membasuh kaki pengantin putra, bemakna bahwa kewajiban istri adalah mengabdi dan patuh pada suami sebagai kepala keluarga,
(c)
upacara sindur binayang: pasangan pengaritin berjalan di belakang ayah pengantin putri, ibu pengantin putri di belakang kedua mempelai, bennakna bahwa orang tua selalu bersikap tut wuri handayani terhadap anak-anaknya,
(d)
upacara pangkon: ayah pengantin putri memangku kedua mempelai bergantian, bermakna bahwa keduanya benar-benar merupakan pasangan seimbang yang akan saling melengkapi.
(e)
upacara tanem: ayah pengantin putri mempersilahkan keduanya duduk di pelaminan, bermakna bahwa orang tua telah merestui keduanya untuk menjadi suami-istri. Biasanya pelaminan diberi alas daun kluwih, daun apaapa, alang-alang, daun koro, kemudian ditutup tikar pandan. Kemudian di atasnya diberi alas kain milik kedua pengantin, kemudian ditutup anyaman daun dan ditaburi berbagai bunga beraroma wangi dan uang salawe wang
(212,5 sen).
(0. setelah
dilakukan acara penukaran cincin, kemudian dilanjutkan dengan
acara kacar-kucur, di mana pengantin pria menuangkan sejumlah biji-bijian dari sebuah wadah. Hal ini bermakna hasil jerih payah suami diberikan pada istri untuk mencukupi kebutuhan keluarga, (g)
lrembul dhahar: kedua pengantin saling menyuap, bermrkna bahwa rejeki, suka, dan duka adalah rahmat Tuhan yang hams dipikul bersama
(h)
upacara mertuwi: ayah dan ibu pengantin putra datang dijemput oleh ayah dan ibu pengantin putri untuk menjenguk pengesahan perkawinan putrinya,
(i)
paling akhir adalah upacara sungkeman atau ngabekten, yaitu kedua pengantin berlutut untuk memohon doa restu pada ayah dan ibu kedua pengantin. Kemudian acara dilanjutkan dengan resepsi. Dalam
Serat Centhini diceritakan bahwa terdapat sesaji lain yang
disediakan sesudah hari pernikahan, yang ditujukan antara lain bagi para leluhur kedua mempelai untuk memohon restu dan keselarnatan. Berikut ini adalah materi sesaji tersebut:
Tabel 20. Materi sesaji yang digunakan sesudah hari pernikahan
I
Macam Sesaji Ayam santer. Kembang boreh
Daging buruan: - kijang - rusa, dll. Daging ternak: - ayam itik, dll. lkan laut: - tongkol - kembung, dll. lwak kali: gurami - mas, dll. Jenang Kemenyan Sega golong Pecel ayam Jangan menir Apem Jajan pasar: - utri
-
-
I I Nama Lokal I
1- kidong - rusa
1
Beras Kemenyan Beras Lombok Bayem Beras Tela
Kembang boreh
Mawar Mlathi Kenanga
Sega asahan Sega golong Sega wuduk Pala pendhem
Pandan Ketan Gedhang Klopo Beras Beras Beras Tela Tela rambat Kimpul Linjik
Pecel ayam Jangan menir Dhuwit 10 sen
Arecaceae Rosaceae Rosa sp. Josminum samboc Ait. Oleaceae Cananga odorara Baill Annonaceae Pandanus sp. Pandanaceae
.
l~ertuiuanuntuk ImenGrim doa, me&ohon keselamatan pada leluhur,
I
- grameh - tombro
Beras
Kolak
I Keterangan I Suku
- pitik - menthok
- mendut, dll.
Ketan
I Cocos nucijera L.
1 Klopo
Mawar Mlathi Kenanga Pandan
Bahan Sesaji Nama Ilmiah
Lombok Bayem
I
Oryza sativa L. S~yraxbenzoin Oryza sativa L Capsicum sp. b mar an thus sp. Oryza saliva L. Manihot esculenta Pohl. Oryza sativa L.
Rosa sp. Jasminum sambac Ait. Cananga odorata Baill.. Pandanus sp. O y z a safiva var.glutinosa Musa sp. Cocos nucifro L. Oryza sativa L. Oryza safiva L. Oryza saliva L. Manihot esculenta Pohl. Ipomoea batatas Poi] Xanthosoma violaceum Schott. Xanthosoma violaceum Schott. Capsicurn sp. Amaranthus sp.
Poaceae Styracaceae Poaceae Solanaceae Amaranthaceae Poaceae Bertujuan untuk memuliakan Euphorbiaceae leluhur kedua mempelai. Poaceae Rosaceae Oleaceae Annonaceae Pandanaceae Poaceae Musaceae Arecaceae Poaceae Poaceae Poaceae Euphorbiaceae Convolvulaceae Araceae Araceae Solanaceae Amaranthaceae
I
Macam Sesaji Beras Jenang sumsum
Nama Lokal I Beras Beras Klopo Klopo Beras Beras Kunir
Bahan Sesaji Nama Ilmiah
I c w z a sativa L.
Oryza saliva L. Cocos nucfera L. Cocos nucifra L. Owza saiiva L. Oryza saliva L. Curcuma domesfica Val. Oryza saliva L. Cocos nucifra L.
+ Juruh Sega golong Sega kuning
Sega w uduk
Dhuwit 212,5 sen Jajan pasar: - uhi
-
mendut, dll. Jenang
Tumpeng sayuran
Beras Klopo
Manihot esculenta Pohl. Beras Oryza sativa L. Beras Oryza sativa L. Klo?o Cocos nucfera L. Beras Oryza saliva L. Kasang panjang C i ~ n sinensis a Endl. Kecambah Phaseolus radiatus L. Godhong tela Manihot esculenta Pohl.
Keterangan
I
Suku
1 Poaceae
Poaceae Arecaceae Arecaceae Poaceae Poaceae Zingiberaceae
Selamatan sepasaran (hari ke-5) Bertujuan memuliakan semara (yang menjaga bumi).
Poaceae Arecaceae
I
Sesaji selapana Euphorbiaceae (hari ke-35). Bertujuan Poaceae memuliakan semara Poaceae bum; (sanak Arecaceae saudara) kedua Poaceae mempelai. Fabaceae Fabaceae Euphorbiaceae
Dhuwit I0 sen
Pada masa sekarang upacara pasca-pemikahan yang m u m dilakukan di kalangan masyarakat Jawa adalah upacara sepasaran pengantin, yaitu 5 hari sesudah acara pemikahan. Tujuannya adalah apabila pihak pengantin putra ingin mengadakan pesta untuk memperkenalkan diri kepada pihak pengantin putri, atau memperkenalkan pengantin putri kepada keluarganya. Acara dapat dilangsungkan di rumah pengantin putri atau putra. Biasanya sebelum berkunjung ke rumah pihak pengantin putra maka keluarga pengantin putri membuat selarnatan jenang
sumsum (bubur sumsum), yang bermakna untuk menghilangkan kepenatan karena tulang, otot, dan sumsurn menjadi normal kembali. Sebagai pelengkap dapat pula ditarnbahkan buah men (kolang-kaling) dan singkong.
- Ngundhuh mantu Upacara yang lain adalah ngundhuh mantu, namun waktunya tidak ditentukan dan berga?:ung pada kesanggupan pihak pengantin pria. Upacaia ini
dilangsungkan di m a h pihak pengantin pria, bertujuan untuk saling mempererat hubungan keluarga kedua-belah pihak, terutama bila keduanya berlainan suku.
g. Kematian
Tradisi selamatan memperingati hari kematian seseorang meliputi selamatan hari ke-3, ke-7, ke-100, tahun pertama, tahun ke-2, dan hari ke-1000. Pada dasarnya tujuan selamatan ini adalah untuk mendoakan amah dan menguatkan keluarga yang ditinggalkan. Tidak ada materi sesaji khusus yang diceritakan, namun bahan yang umum digunakan hingga masa sekarang adalah bunga melati, mawar, dan kenanga, atau bunga-bunga yang terdapat di pekarangan. Biasanya tempat jenazah dibarir~gkan dihias dengan melati
(Jasminum sambac Ait.), argulo (Abelmoschus moschatus Medik.), dan pandan wangi (Pandanus sp.). Dalam memandikan jenazah juga menggunakan air bunga misalnya mawar (Rosa sp.), sebagai penggosok tubuh digunakan daun delima muda, (Punica granatum L.), daun widara (Ziziphus jujuba Lamk.), kemuning
(Murraya paniculata Jacq.), serta air tawar. Penggunaan jenis tumbuh-tumbuhan tersebut dimaksudkan agar jenazah terlihat bersih dan tidak pucat. Sedangkan liang lahat biasanya akan diberi kapuk sebagai alas, dan kayu cendana (Santalum
album L.) untuk menghilangkan aroma yang kurang enak. Penggunaan untuk kepentingan ini masih dilakukan hingga masa kini, namun sehubungan dengan kesuliran mendaptkan kayu cendana, digunakaniah wewangian (minyak wangi) sebagai penggantinya. Sebagai bahan dalam pembuatan peti jenazah urnumnya digunakan kayu jati (Tectona grandis L. f.) atau kayu saw0 (Manilkara kauki Dubard.). Dalam Serat Centhini, pada beberapa aliran kepercayaan terdapat tradisi penggunaan sesaji sabagai sarana penangkal bala dalam ritual ini, antara lain buah siwalan tua (Borassus flabelliber L.j, air abu sekam, ketan putih (Oryza sariva var. glutinosa), dan air cucian beras pertama. Berikut ini adalah tumbuhan yang digunakan sebagai wewangian dan pelengkap ritual kematian dalam Serat
Centhini:
Tabel 21. Pemanfaatan turnbuhan sebagai wewangian dan pelengkap dalam ritual kematian Bahan Sesaji Nama Ilmiah
Nama Lokal
Keterangan Suku
Argulo
Abelmoschus moschatus Malvaceae Medik. Cempaka Michelia champaca L. Annonaceae Gambir Uncaria gambir Roxb. ' Rubiaceae Kayu garu Aquilaria sp. Thymelaeaceae Mawar Rosa sp. Rosaceae Mlathi Jasminum sambac Ait. Oleaceae Pandan Pandanus sp. Pandanaceae Godhong delimal Punica aranarum L. 1 Lvthraceae Godhong widara Ziziphus jujuba Lamk. Rhamnaceae Kemuning Murrayapaniculata Jacq. Rutaceae Kapuk Ceibapentandra Gaertn. Bombacaceae Cendana Santalum album L. Santalaceae
-
I
-
1
Selain sebagai wewangian juga dapat digunakan sebagai bunga tabur.
I
-
I~ieunakanuntuk memandikan jenazah.
I
Diletakkan pada liang lahat.
2.5.2. Ritual kegiatan pertanian Dalam bidang pertanian juga dikenal pemberian sesaji yang intinya agar mencapai keberhasilan dalam befiani. Masyarakat Jawa hingga masa sekarang meyakini bahwa tiap hari, mangsa (musim), dan tahun memiliki watak tersendiri yang berpengaruh terhadap pertanian. Berbagai perhitungsn tersebut berawal dari pengalman
manusia mengamati gejala-gejala alam
serta pengetahuan
perbintangan (astrologi) masa lampau. Pada dasamya hal-ha1 pokok yang mendasari kepercayaan para petani tradisional tersebut adalah keinginan untuk memperoleh keselamatan dalam melaksanakan pekerjaan pertanian serta keyakinan bahwa tanaman juga memiliki siklus kehidupan seperti halnya kehidupan manusia. Tahap-tahap dalam ritual kegiatan pertanian meliputi:
(1)
tandur (menanam padi): para wanita menyiapkan jenang pethak (bubur putih), pisang kluthuk (pisang batu), kinang, dan bunga-bunga misalnya kenanga, melati. Sesaji ini diletakkan di dekat tempat pesemaian, kemudian dibacakan mantra sambil membakar kemenyan. Kemudian diambil sedikit untuk diletakkan di tiap sudut sawah dengan maksud memberi sesaji pada yang menjaga (baureha) sawah.
(2)
bila padi mulai bunting diadskan upacara seperti halnya terhadap wanita hamil. Sesajinya berupa bubur atau telur yang diletakkan di t ~ l a k a ndan ~~, daun legundi (Vitex trifolia L.)
(3)
panen: dalam Serat Centhini jilid I1 disebutkan bahwa sebelum petani menuai padi dilakukan pemberian sesaji berupa kembang boreh wangi, pisang dan sirih segar, tikar baru, dan kain putih, dengan harapan agar Dewi Sri (dewi kesuburan) datang berkunjung. Sesaji panen pada masa sekarang misalnya berupa pembuatan 2 untingan (ikat) padi yang masing-masing terdiri dari 9 bulir beserta daunnya, sesaji ini disebut inan pare (pengantin) dan diletakkan di dekat tulakan hingga panen selesai. Selain itu disebutkan pula syarat atau sesaji penangkal hama yaitu ekor
sejenis belalang yang diberi tangkai bambu hitam, kemudian dibawa berjalan di pematang mengitari sawah sambil membaca mantra. Dalam Serat Centhini jilid IX terdapat uraian yang disebut sebagai Ilmu
bertanam menurut ajaran Ki Nurbayin yang juga masih banyak dijalankan oleh para petani tradisional paa masa sekarang. Secara garis besar mengatur saat-saat baik untuk mulai mengolah tanah, =ah meluku, dan sesaji yang digunakan, yaitu
ampo4', jeruk gulung, pisang, samba], sayur menir, uncet w ~ d h a dengan n ~ ~ ~terasi ~ ~ ~belalang, , minyak tawon, serta jenang, doamerah, jagung, timah b ~ d h e nkuda, doa, dan daun beringin; bermacam sesaji ini dihidangkan atau ditanarn di tulakan. Berikut ini adalah sebagian dari terjemahannya :
..jika mulai meluku pada tahun Alip, (sebaiknya) dimulai pada hari Jumat, mulailah meluku dari arah selatan-timur dun diakhiri di tengah. Menebar biji dun menancapkannya sebaiknya pada hari Jumat legi. Hamanya adalah bang-bangan (sejenis hama padi). Syaratnya adalah ampo dunjeruk gulung, dipendam di tulakan...
'6
lubang di pematang sawah untuk mengalirkan air
49
sejenis kera
"tanah liat dipanggang " pucuk tumpeng basi
Jika 'aturan' ini dikaji, sebenarnya ha1 tersebut merupakan usaha untuk menyesuaikan waktu tanam dengan kondisi iklim (seperti cuaca, arah angin) yang berlaku pada saat tersebut, serta umur benih, agar tanah dan bibit yang disemaikan berada dalam kondisi optimal sehingga berhasil tumbuh dengan baik. Sedangkan sesaji yang disyaratkan merupakan sarana atau media bagi yang mengimani untuk menetralisir kekuatan yang diyakini dapat mengganggu tumbuhnya bibit. Pada masa sekarang masih terdapat tradisi yang berhubungan dengan kegiatan pertanian, antara lain pemberian sesaji untuk menghormati Dewi Sri (Dewi Kesuburan), berups kernbang dan k ~ n ~ o hyang ' ~ disertai pembakaran dupa. Sesaji ini biasa diletakkan pada te npat-tempat yang berhubungan dengan beras, seperti lumbung dan iesung. Hal lain yang diperhatikan adalah pemilihan saat yang dianggap baik dalam memulai maupun memanen padi, sebab terdapat harihari tertentu yang dihindari untuk melakukan kegiatan tersebut, antara lain hari meninggalnya orang tua atau anggota keluarga yang lain. 2.5.3. Ritual pertunjukkan kesenian
Telah disebutkan sebelumnya bahwa berkesenian merupakan salah satu bagian dari gaya hidup masyarakat Jawa. Banyak pesan yang ingin disampaikan melalui kesenian selain untuk menghibur penonton, antara lain sebagai media penyebaran agama. Seperti halnya aktivitas lainnya, sebelum pertunjukkan kesenian sering dilakukan pemberian sesaji dengan harapan segala sesuatu berjalm lancar hingga akhir pertunjukkan. Selain pada pertunjukkan wayang yang telah diuraikan sebelumya, berikut ini terdapat materi sesaji yang digunakan dalam pertunjukkan lainnya:
bedak basah
Tabel 22. Materi sesaji dalam pertunjukkan kesenian
a. Dupa
KaYu g m Kemenyan Rasamala Gantbi Mesoyi
Gonysfylus sp.
Sryrm benzoin sp. Altingia excelsa Noronh. Ligusticum aromaticwn S.&Z. Massoia aromatics Becc. Rheum sp.
Kelembak b. Ratus
Cendana Lorosetu Kemenyan Gula merah
Santalum album L. Andropogon iizanoides Urban. Styrax benzoin Dryand. Cocos nucfera L.
Gonystylaceae Styracaceae Burseraceae Umbellifera Lauraceae Polygonaceae Santalaceae Poaceae Styracaceae Arecaceae
Pada saat pemberian sesaji pada beberapa ritual, seringkali disertai dengan pembakaran wewangian seperti kemenyan (Styrau benzoin Dryand.) dan dupa. Ini merupakan ke;.akinan masyarakat bahwa aroma-aroma demikian digemari oleh nenek moyang sehingga mereka akan berkenan mengabulkan permohonan yang diminta. Menurut Boorsma (Teysmania 1912 hlm.316) dalam Heyne (1987), komposisi dupa terdiri atas berbagai macam tumbuhan antara lain berbagai jenis kayu garu (Aquilaria sp., Gonystylus sp.), kayu laka (Dalbergia sp.), kayu rasamala (Canarium sp.), kayu kasturi (Juniperus sp.), kelembak (Rham sp.), mesoyi (Massoia aromatica Becc.) dan lain-lain, juga masih ditambah komponen
lain yang kemudian bersama-sama ditumbuk halus, dibentuk bulatan-bulatan kecil
dalm untaian, kemudian dibungkus dengan daun pisang. 2.5.4. Ritual-ritual lain (penolak bala, permohonan) Berikut ini adalah beberapa contoh tanaman yang dipeigunakan dalam beberapa ritual lain, yang pada dasarnya memiiiki maksud dan tujuan agar memperoleh keselamatan dan keberhasilan, atau penolak bala. Tabel 23. Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan ritual penolak bala/permohonan
Areca catechu L.
Dalam Serat Centhini pada jilid
I1 diuraikan mengenai bunga
wijayakusuma (Pisonia sylvestris T. & B.). Penggunaannya selain sebagai syarat dalam ritual penobatan raja-raja Surakarta agar mencapai kejayaan, juga diyakini
merupakan materi sesaji yang dilabuh ke laut sebagai penawar kesedihan. Bunga ini dapat ditemukan tumbuh di beberapa pulau kecil sebelah selatan dan sebelah timur pulau Nusa Kambangan (Cilacap). Secara alami keberadaannya terbatas di pulau-pulau yang kaya akan guano, namun kelangsungan hidupnya belum dapat dipastikan. Bunga wijayakusuma diceritakan juga dalam pewayangan Jawa sebagai bunga yang tidak boleh, dikumpulkan atau dimiliki kecuali untuk keperluan penobatan Sultan Surakarta. Usaha pencarian bunga wijayakusuma benar-benar merupakan perjuangan yang cukup berat, karena habitat tempat tumbuhnya sulit dicapai, yaitu pada tebing-tebing terjal di kawasan pantai. Sebenamya bunga ini tidak memiliki aroma yang menarik maupun keindahan yang mencolok, tetapi tanaman ini mendapat suatu penghargaan khusus dikarenakan kelangkaan dan tingkat kesulitan dalam memperolehnya.
2.6. Bahan Obat-obatan 2.6.1. Persepsi masyarakat tentang 'sehat' dan 'sakit'
Menurut Reksodihardjo (1491) yang disebut sebagai 'orang Jawa' adalah orang-orang yang secara geografis berasal dari pulau Jawa dan mengembangkan sefia inelestarikan budaya Jawa yang berpusat di kraton Surakarta dan Yogyakarta. Pola budaya tersebut dalam bentuknya yang abstrak disebut kejawen, yang merupakan manifestasi dan ekspresi alam pikiran masyarakat Jawa. Berdasarkan ha1 itu maka pembahasan tentang kesehatan menurut konsepsi orang Jawa adalah menggunakan pendekatan filosofis, yaitu bagaimana orang Jawa berperilaku atas dasar alam pikirannya yang pada hakekatnya berusaha mencapai kesempumaan hidup. Konsep 'sehat' bagi masyarakat Jawa adalah lawan dari 'sakit', sedangka~'kesehatan' merupakan manifestasi status 'sehat' itu sendiri. 'Kesehatai' merupakan perwujuda.1 kondisi seseorang yang serba sempurna baik lahir maupun bathin. Ciri utama kehidupan masyarakat Jawa yang bercorak agraris sedikit banyak telah mempengaruhi pola pikir dan perilaku mereka yang tak lepas dari unsur-unsur alam seperti cuaca, udara, tanah, air, dan sebagainya. Hal ini telah berlangsung secara turun-temurun sehingga menjadikan mereka begitu akrab dengan lingkungan alam sekitamya. Sebagaimana mereka memperoleh citra
lingkungan dari hasil mengenali dan mengalami berbagai peristiwa sehari-hari, dengan proses yang sama pula mereka memperoleh pengertian tentang hakekat alam semesta, yang secara ilmiah disebut sebagai kosmologi, yaitu memandang alam sebagai suatu sistem yang teratur, seimbang, dan harmonis. Salah satu aspek yang didominasi konsep tersebut adalah masalah sehat dan sakit. Dengan dasar pemikiran tersebut orang Jawa menggolongkan penyebabpenyebab penyakit menjadi 2 kelompok yaitu penyakit yang diakibatkan oleh faktor fisik (cuaca, perlakuan fisik, makanan, kuman, racun dan sebagainya) dan penyakit yang diakibatkan faktor non-fisik yaitu yang berhubungan dengan halha1 supranatural (kekuatan gaib dan sebagainya). Sebenarnya masyarakat Jawa sudah jauh berupaya untuk mendapatkan kondisi sehat (jasmani dan rohani), yaitu melalui penanaman konsep dan ungkapan bibit, bebet, dan bobot (lihat Serat Centhini jilid I11 hal.50). Hal tersebut boleh merupakan prasyarat awal sebelum pasangan akan menikah, dengan harapan akan memperoleh keturunan yang sehat jasmani dan rohani. Langkah awal tersebut masih dilanjutkan dengan berbagai perhitungan-perhitungan baik-buruk dan bermacam-macam pantangan yang bertujuan mencapai keselamatan, misalnya berbagai macam larangan bagi wanita yang sedang hamil. Rangkaianpre-data1 education tersebut terus berlanjut hingga bayi lahir dan menjalani kehidupannya. Hal-ha1 tersebut menginformasikan kenyataan bahwa sejak dahulu masyarakat Jawa telah memiliki konsep yang baku tentang bagaimana memperoleh kesehatan, baik dengan upays-upaya fisik maupun mental-spiritual. Dari uraian tentang bermacam-macam penyakit, obat, dan cara pengobatannya (Lampiran 3), konsep 'sehat' dan 'sakit' masyarakat Jawa dalam Serat Centhini tidak jauh berbeda dari konsep masyarakat Jawa pada umurnnya. Pada dasarnya 'sehat' merupakan kondisi di mana keadaan jasmani maupun rohani seseorang terbebas dari gangguan atau penyakit. Sedangkan 'sakit' itu sendiri dapat berupa gangguan fisik (misalnya sakit akibat luka fisik, tertusuk duri, dan sebagainya), gangguan kngsi tubuh akibat makanan dan kebersihan (misalnya gangguan pencemaan, telinga), gangguan vitalitas, maupun gangguan non-fisik akibat kekuatan lain misalnya guna-guna atau hilang ingatan. Konsep
yang demikian temyata juga berpengaruh terhadap cara pengobatan dan perlakuan-perlakuan yang menyertainya.
2.6.2. Macam Penyakit dan Pengobatannya Dari data-data pada Lampiran 3 juga tampak bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat pada masa tersebut dalam memanfaatkan tumbuhan di sekitarnya, dan variasi jenis penyakit yang diatasi. Penyakit-penyakit tersebut antara lain gangguan telinga, gangguan mata, gangguan kepala (pusing dan sebagainya), gangguan tenggorokan (batuk), gangguan pencemaan, gangguan ekskresi, gangguan gigi, ganggl~an bengkak, gangguan ingatan, gangguan persendian, dan luka luar. Terlihat juga bagaimana manifestasi konsep kosmologi dalam dunia pengobatan tradisional tercermin. Dengan konsep mereka yang meyakini adanya 2 penyebab sakit yaitu sebab-sebab fisis dan suprar~atural, menyebabkan sistem pengobatanpun merupakan gabungan dari kedua aspek tersebut. Misalnya selain pengobatan dengan mengkonsumsi ramuan obat-obatan, terdapat juga perlakuan pembacaan doa atau mantra-mantra, meniup ubun-ubun, dan sebagainya. Perilaku ini merupakan cerminan sosialisasi religi dalam praktek kehidupan sehari-hari, namun tak lepas juga dari keyakinan masyarakat masa itu terhadap keampuhan mantra dan jimat. Misalnya dalam Serat Centhini diceritakan bahwa di daerah Tengger tidak terdapat pengobat atau dukun. Jika ada yang sakit atau melahirkan pasien akan ditunggui oleh penghulu yang membawa cangkir tembaga berisi air suci dari gunung. Kemudian pasien dibacakan doa, meminum air suci tersebut yang kemudian diusapkan ke sekujur tubuh. Beberapa ha1 lain jika dikaji mendalam sebenarnya mengandung aspek ilmiah, namun tetap saja dicetuskan dengan cara yang implisit misalnya waktu minurn obat yang disesuaikan dengan tanggal-tanggal atau saat-saat tertentu (antara lain sebelum matahari terbenam). Hal ini sebenarnya merupakan penyesuaian dengan perhitungan saat baik-buruk, juga perkiraan reaksi senyawasenyawa tertentu dengan adanya kontak dengan sinar matahari. Contoh lain adalah larangan meminum ramuan yang lain sebelum penderita sernbuh benar. Hal ini merupakan cara agar penderita udak mengkonsumsi bahan lain yang dapat membahayakan penyakitnya.
2.6.3.
Keanekaragaman Jenis Bahan Obat-obatan Dari hasil pencatatan terhpat lebih kurang 45 jenis tumbuhan yang
kemudian diracik menjadi sekitar 83 macam obat atau ramuan untuk digunakan dalam pengobatan sekitar 30 macam penyakit. Data selengkapnya disajikan dalam Lampiran 1. Dalam pengobatan tersebut terdapat beberapa materi yang jika dilihat sepintas tampaknya merupakan sesuatu yang kurang populer pada masa sekarang, misalnya penggunaan areng jati sebagai campuran dalam beberapa jenis obat. Namun setelah ditelusuri, ha1 ini tampaknya dapat dijelaskan secara ilmiah sebab arang mempunyai kandungan kimia karbon yang memiliki efek farmakologi menyerap mikroba dan metabolit penyebab penyakit, terutama diare. Selain itu Rumphius juga menyebutkan bahwa kayu jati memiliki daya untuk memperbaiki makanan dan minuman yang berbahaya dan dapat menahan kolera yang mengganas (Heyne, 1987). penggunaan' arang jati juga berfungsi sebagai pelembut sehingga penggunaannya tidak merangsang gerakan peristaltik usus (Pramono, 1995). Sedangkan penggunaan air embun diperkirakan merupakan usaha untuk memperoleh pelarut yang bersih dan belum tercemar. Dari beberapa ramuan tersebut, kadangkala dilakukan penambahan air jeruk linglang (Citrus histryx DC.). Pencampuran ini menurut Heyne (1987) berfungsi untuk
menguatkan daya obat itu, terutama pada obat-obat pahit yang fungsinya membersihkan. Dalam menentukan takaran atau dosis yang diperlukan, masyarakat memiliki keyakinan bahwa untuk ramuan-ramuan tertentu jumlah yang digunakan (misalnya helaian daun, biji, dan sebagainya) harus merupakan kelipatan ganjil seperti 1,3, 5. Hal ini menurut Sangat (2000) merupakan mitos masyarakat bahwa angka ganjil memiliki daya untuk menetralisir keadaan, sehingga diharapkan obat memiliki kemampuan magis yang dapat menyelaraskan keadaan tubuh yang tidak seimbang. Secara filosofis angka gaqjil merupakan perlambang penggenapan oleh Yang Maha Kuasa. Keyakinan lain adalah jumlah ganjil akan menolak hal-ha1 bunk yang akan memperngaruhi daya kerja obat. Takaran lain yang sering digunakan masyarakat adalah dhuwir, yaitu ukuran berat sebuah uang logam yang berlaku pada masa itu.
Jika dikaji mengenai asal-mula masyarakat memperoleh pengetahuan tentang obat-obatan dan jamu tradisional tersebut, hingga saat sekarangpun menurut herbagai pengamat masih merupakan ha1 yang belum banyak diketahui. Pengetahuan-pengetahuan tersebut boleh jadi merupakan hasil pengamatan dan pengalaman masyarakat terhadap tumbuhan dan perilaku hewan di sekitarnya, bahkan sedikit banyak merupakan peran indra ke-6 (Arifin, 2001 - pers.com.). Perolehan pengetahuan tersebut mungkin pula berawal dari kemampuan orangorang tertentu yang memiliki daya supranatural (dukun dan sebagainya) yang dalam perkembangan selanjutnya ada yang cukup cerdas untuk bereksperimen dengan khasiat tanaman-tanaman tertentu. Hal ini kemudian berkembang menjadi keberanian mereka untuk melakukan operasi sederhana dalam kondisi terjepit (misal menolong orang yang terluka). Dari hasil pengalaman dan eksperimen demikianlah kemudian tahapan selanjutnya berkembang ke arah berbagai penemuan yang pada akhimya diakui oleh masyarakat. Bahkan apa yang sekarang diaqggap tahayul-tahayul masa lampau, sedikit banyak merupakan pemicu berkembangnya ilmu kedokteran psikosomatis. Pada dasamya obat-obatan tradisional tersebut dapat disebut pula sebagai jamu, karena sama-sama menggunakan bahan dari bermacam tumbuhan. Namun jamu lebih menunjuk pada ramuan dari banyak jenis tumbuhan (terutama berbagai rempah dan rimpang) yang diracik menjadi satu, yang selain berkhasiat menyembuhkan juga ada yang dikonsumsi untuk tujuan menjaga kebugaran, kesehatm, serta menghllangkan kelelahan. Jenis-jenis rimpang tumbuhan yang sering digunakan antara lain kencur (Kaempferia galanga L.), jahe (Zingiber oficinale Rosc.), temu glenyeh ireng (Curcuma spec.div.), temu giring (Curcuma heyneana), lempuyang gajah (Zinbiber zerumbet SM.), dlingo (Acorus calamus
L.), kunyit (Curcuma domestica Val.), bengle (Zingiber cassumunar Roxb.), laos (Alpinia galanga SW.), dan kunci (Gastrochilus panduratum Rdl.). Sedangkan rempah-rempah yang digunakan antwa lain kapulaga, cengkeh (Eugenia aromatics O.K.), majakan (Quercus lusitanica Lamk.), pala (Myristica fragrans
Houtt.), dan merica (Piper nigrum L.). Pengolahan bahan-bahsui tersebut umurnnya dip@is (dihaluskan) pada batu pipisan (batu khusus untuk menghaluskan), kemudian diminurn atau dioleskan.
Kemanjuran obat-obatan atau jamu tradisional ini telah mendorong maraknya slogan 'back to nature' di Indonesia bahkan seluruh dunia. Penggunaan jamu dan obat tradisional telah meluas untuk berbagai kepentingan dan lapisan masyarakat segala urnur, karena efek samping yang boleh dikata tidak ada. Dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa itu perdagangan jamu di pasar
tradisional tersaji dalam berbagai bentuk, misalnya anggi-anggi, yaitu bahanbahan jamu; craken, yaitu berupa bumbu-bumbu untuk adonan jamu; dan bubukanjamu.
Jika dilihat dari simplisia yang dimanfaatkan, variasinya meliputi penggunaan akar, batang, daun, bunga, buah, air buah, umbi, rimpang, dan kulit kayu. Untuk cara pengolahan, pada masa sekarangpun masih dilakukan cara-cara yang dilakukan masyarakat pada masa itu, antara lain dihaluskan (ditumbuk, dikunyah) kemudian air diminum, diteteskan, dioleskan, ditempelkan, digunakan untuk merendam, langsung ditelan, ditambahkan air embun; atau direbus, diambil aimya untuk diteteskan atau dipakai merendam; ada pula yang dibenamkan dahulu dalam bara api dengan maksud untuk melembutkan bahan sehingga mudah dihaluskan, juga untuk mematangkan ramuan sehingga siap untuk dikonsumsi. Masyarakat pada masa itu juga sudah memiliki pengetahuan bahwa untuk menghindari tumbuhnya jamur pada ramuan akibat disimpan terlalu lama, maka dilakukan proses penyanganan (di goreng tanpa minyak untuk mengurangi kadar air) sehingga ramuan akan tahan lama. Selain penggunaan tumblhlhan sebagai ramuan obat, kadangkala juga digunakan bahan-bahan dari hewan misalnya darah semut, ayam cemani (rempela, minyak), kulit telur, terasi, dan sejenis ulat. Perlu ada kajian ilmiah lebih jauh untuk mengetahui seberapa jauh materi-materi tersebut benar-benar memiliki pengaruh farmakologis. Penggunaan ayam cemani dalam dunia pengobatan altematif masih berlangsung hiigga saat ini, dengan atau tanpa adanya mitos bahwa ayam tersebut memiliki daya magis untuk menyembuhkan suatu penyakit.
2.7. Kosmetika Tradisional
Para wanita Jawa sangat memperhatikan penampilan fisiknya agar selalu terlihat cantik dan menarik. Ada sebuah istilah dalam bahasa Jawa yaitu Ngadi
Sarira yang berkaitan dengan perawatan tubuh agar selalu tampil dalam kondisi yang sempurna dalam ha1 penampilan. Karena kiblat masyarakat Jawa yang selalu mengarah pada budaya kraton, maka sedikit banyak seni merawat tubuh juga memuat pengaruh dari lingkungan tersebut. Misalnya kebiasaan mengkonsumsi jamu yang dahulu oleh putri-putri kraton dipercaya mampu memunculkan inner
beauty, yang secara langsung juga mendukung penampilan fisik seseorang. IIalha1 demikian akan sangat terlihat dalam upacara menjelang pernikahan seorang wanita.
2.7.1. Wewangian Sebenamya masyarakat Jawa pada jaman dahulu telah memanfaatkan bermacam tumbuhan terutama bunga sebagai wewagian yang berdaya menyembuhkan (aromaterapi). Menurut Aman (2001), aroma-aroma wangi telah terbukti mampu membantu menenangkan pikiran, menimbulkan rasa gembira, dan menentramkan urat syaraf. Pada umumnya bunga-bunga dan rempah yang digunakan memang memiliki kandungan minyak atsiri, misalnya bunga melati
(Jasminum sambac Ait,), mawar (Rosa sp.), kenanga (Cananga odorata Baill.), kayu manis (Cinnamomum burmanii KDS), kapulaga (Amomum cardamomum Wild.), kemenyan (Styrax benzoin Dryand.), akar wangi (A3dropogon zizanoides Urban.), dan sebagainya. Aroma pada tumbuhan mampu melancarkan saluran pada paru-paru sehingga dapat meningkatkan sirkulasi oksigen dalam darah. Dengan sirkulasi darah yang lancar maka akan dapat mermperlancar kerja sel-sel tubuh dan denyut jantung, memberikan ketenangan pikiran dan rasa nyaman sehingga berpengaruh baik terhadap kesehatan. Berikut ini adalah jenis tumbuhturnbuhan yang disediakan oleh pedagang wewangian di sebuah pasar tradisional seperti yang tertulis dalam Serat Centhini:
Tabel 24. Keanekaragarnan jenis turnbuhan yang digunakan sebagai bahan wewangian Nama Latin
Nama Lokal 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 3 1. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48.
Rhodamnia cirterea Jack. Andhong Anggrek bulan Phalaenopsis amabilis (L.) 61. Abelmoschus moschotus Medik. Argulobang Crinum asiaticum L. Bakung Michelia champaca L. Cempaka Cengger* Claket* Dangar* Punico granatum L. Delima Eiythrina sp. Dhadhap Dhum* Pagostemon sp. Dilem Argemone mexicuna L. Druju Dioscorea hispida L. Gadhung Uncaria gambir Roxb. Gambir Tectona grandis L. f. Janggleng Sesbania sesban Merr. Janti Citrus hystrix Jeruk purut Jlamprang* Gardenia angusta Men. Kaca piring Kanigoro* Kembang sepatu Hibiscus rosasinensis L. Murraya Paniculata Jacq. Kemuning Cananga odoroto Baill. Kenanga Sonchus oleracheus L. Kenikir Canavalia ensiformis DC. Krandhang Landep kuning Barleriaprionitis L. Lara kendhat* Erythrina sp. Lara wudhu jasminum samba
1
Suku Melastomaceae Orchidaceae Malvaceae Liliaceae Magnoliaceae
Lythraceae Fabaceae Labiatae Papaveraceae Araceae Rubiaceae Verbenaceae Fabaceae Rutaceae Rubiaceae Malvaceae Rutaceae Amonaceae Compositae Fabaceae Acanthaceae Fabaceae Oleaceae Apocynaceae Guttiferae Labiatae Sapotaceae Pandanaceae
Tiliaceae Flacourtiaceae Compositae Rubiaceae Nyctaginaceae Guttifcraceae Liliaceae Liliaceae Fabaceae
Keterangan Bunga-bunga ini digunakan sebagai . wewangian, juga untuk merendam tubuh. Hal ini berfungsi melancarkan aliran darah.
.
49. 50. 51. 52. 53. 54. 55.
Teluki Terate Theker* Tlutur* Tongkeng Tunjung Warsiki*
Suku
Nama Latin
Nama Lokal
Hibiscus grewiifolrius Hassk. Nelumbium nelumbo Druce.
Malvaceae Nymphaeaceae
Telosma cordata Merr. Nelumbium nelumbo Druce.
Asclepiadaceae Nymphaceae
Keterangan
* nama Latin belum diketahui Sebenarnya pengetahuan perawatan tubuh masyarakat Jawa tempo dulu, pada masa sekarang dikenal sebagai hidroterapi atau SPA (sanitas per aqua), yaitu metoda perawatan tubuh dengan menggunakan air sebagai medianya. Banyak tumbuhan yang digunakan sebagai wewangian tersebut memiliki kandungan sejurnlah minyak atsiri baik pada akar, batang, daun, dan bunganya. Manfaatnya addah memperlanciu sirkulasi darah dan melemaskan otot-otot, sehingga memberikan rasa nyaman dan tenang pada pikiran, sehingga meinberi pengaruh pada kesehatan tubuh. Khasiat yang diberikan oleh jenis tumbuhtumbuhan tersebut bukan saja dari aromanya, tetapi juga kandungan kimianya. Khasiat lain adalah mengobati luka pada kulit seperti yang ditunjukkan oleh Erythrina sp., Mimusops elengi L., Dioscorea hispida L., pengurang rasa sakit oleh jenis Wedelia biflora DC., melembutkan kulit oleh Abelmoschus moschatus Medik., mengobati bengkak oleh Crinum asiaticum L., Argemone mexicana L., dan menghilangkan bau keringat oleh Pogostemorr sp.. Seda~gkan cara penggunaannya dapat dilakukan dengan cara dioleskan, diurut, dan digunakan sebagai perendam bersama dengan air. Sehingga apa yang dilakukan masyarakat tempo dulu sebenamya selain memanfaatkannya sebagai wewangian juga sekaligus perawatan kesehatan jasmani dan rohani. Selain wewangian tubuh, terdapat juga bahan-bahan yang digunakan untuk mengharurnkan ruangan, yaitu kemenyan dan ratus. Keduanya selain untuk pengharum juga sering dipergunakan dalam rituil-rituil adat dan pemberian sesaji. Kemenyan yang dibakar tersebut merupakan getah yang diambil dari pohon kemenyan (Sryrmr benzoin Dryand.). Selain digunakan sebagai pelengkap rituil dan dicari aromanya, juga merupakan salah satu campuran bahan rokok (Heyne,
1987). Sedangkan ratus merupakan campuran yang terdiri dari beberapa jenis
tumbuhan, antara lain berguna juga sebagai pengharum batik melalui proses pengasapan. Komposisi ratus yang dikenal masyarakat biasa terdiri dari 4 jenis tumbuhan, yaitu cendana (Santalum album L.), lorosetu (Andropogon zizanoides Urban.), kemenyan (Sfyrm benzoin Dryand.), gula merah (terbuat dari Cocos nucgera L.). Penggunaan ratus selain memberi aroma wangi terhadap kain batik juga berfbngsi sebagai pelindung terhadap kerusakan akibat jarnur dan ngengat (Tri Murningsih, 1992). Tabel 25. Keanekaragaman jenis tumbuhan sebagai bahan pengharum ruangan Nama Lokal 1. Kemenyan 2.
Ratus : a. Cendana b. Lorosetu c. Kemenyan d. Gula Jawa
Nama Latin Styrar benzoin Dryand.
Suku Styracaceae
Santalum album L. Santalaceae Andropogon zizanoides Urban. Poaceae Styrax benzoin Dryand. Styracaceae Cocos nucifera L. Arecaceae
Keterangan Juga digunakan setagai pelengkap berbagai rituil. Juga digunakan mtuk mengasapi rambut, batik, dan ruangan.
2.7.2. Perawatan kulit Pemanfaatan tumbuhan juga banyak digunakan sebagai bahan perawatan kulit, bahkan bertahan hingga saat ini sebagai kosmetika warisan leluhur yang telah dikemas secara modem dan merupakan hasil riset para ahli. Berikut ini adalah tumbuhan yang digunakan sebagai bahan perawatan kulit dalarn Serat Centhini: Tabel 26. Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan perawatan kulit Nama Ramuan Nama Lokal 1. Pilis
A. Bengle B. Mrica C. Kemukus D. Kayu manis 2. Mangir A. Mawar B. Pule C. Temu giring D. Kunir E. Kayu legi
Komposisi Nama Ilmiah Zingiber cassumunar SM. Piper nigrum L. Piper cubeba L. Cinnamomum burmonii BI. Rosa sp. Alyxia sp. Curcuma heyneana Val. Curcuma domeslica Glycyrrhiza glabra L.
Manfaat Suku Zingiberaceae Piperaceae Piperaceae Lauraceae Rosaceae
Perawatan kulit bagi ibu setelah melahirkan.
Perawatan kulit agar. bersih, halus, tampak Zingiberaceae kuning bercahaya Zingiberaceae Fabaceae
Nama Ramuan Nama Lokal 3. Lulur
4. Burat sari*
A. Temu giring B. Kemuning C. Kunir A. Atal** B. Kemuning C. Pandan
Komposisi Nama Ilmiah
Manfaat Suku
Curcuma heyceana Val. Zingiberaceae Menghaluskan, Murrayapaniculata Jacq. Rutaceae menyegarkan, dan Curcuma domestics Val. Zingiberaceae membersihkan kulit Pelindung kulit, Murrayapaniculata Jacq. Rutaceae pendingin wajah, Pandanus sp. Pandanaceae penghilang j~rawat.
burat sari disebut juga sebagai boreh kembang atau wedak waler boreh kuning atal biasanya merupakan sejenis bedak basah benvama putih kekuningan yang dioleskan pada kulit penarilwayang orangketoprak/pengantin agar tampak kuning dan bersih.
Dalam Serat Centhini disebutkan bahwa kosmetika tersebut sering diperjualbelikan di pasar tradisional, misalnya pilis dan mangir. Pilis merupakan ramuan yang biasa digunakan ibu-ibu sesudah melahirkan. Cara penakaiannya dengan menempelkan di dahi selama 40 hari dan khasiatnya agar penglihatan menjadi jernih dan menghilangkan kerut-kerut di dahi. Bahan pembuat pilis terdiri dari rimpang bengle (Zingiber cassumunar Roxb. ), merica (Piper nigrum L.), buah kemukus (Piper cubeba L.), dan kayu manis (Cinnamomum burmanii BI.). Sedangkan mangir yang umumnya dipakai oleh para penari tradisional Jawa, berkhasiat untuk memperoleh warna kulit yang lebih kuning dan bercahaya (Tilaar, 1992). Mangir biasanya dibuat dari campuran jenis-jenis tumbuhan seperti
Rosa sp., Alyxia sp., Curcuma heyneana Val., Curcuma domestica Val., dan Glycyrrhiza glabra L. Sedangkan lulur digunakan kaum wanita menjelang pemikahannya. Lulur dalam Serat Centhini terbuat dari behan berupa beras yang ditumbuk menjadi halus dan dicampur dengan temu giring, asam, dan lengkuas.
Lulur berguna dalam perawatan kulit karena memberikan efek kesegaran, kehalusan, kebersihan, dan kesehatan. Lulur pada masa sekarang biasanya merupakan campuran rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val.), daun kemuning (Murraya paniculata Jacq.), dan rimpang kunyit (Curcuma domestica
Val.). Selain itu dikenal pula sejenis wewangian bedak basah yang dinamakan burat sari. Bedak basah burat sari memiliki komposisi lebih kurang mirip dengan boreh kembang (atal, kemuning, pandan), sehingga disebut pula sebagai wedak waler boreh h~ning.Ramuan ini bergma untuk melindungi ku!it dari sinar matahmi, pendingin wajah, dan penghilang jerawat. Dalam upacara pernikahan bedak semacam itu selain digunakan oleh pengantin juga digunakan oleh anak-
anak lelaki yang berpakaian prajurit, diusapkan melumuri tubuh (diblonyoh), yang merupakan salah satu bentuk tata-rias wajah. Kosmetika perawatan kulit yang juga sering digunakan adalah pupur (bedak) dan parem yang merupakan campuran beras yang diturnbuk ditambah dengan akar-akaran, misalnya Curcuma dornesiica Val. Dalam Serat Centhini disebutkan pula jenis tumbuhan yang digunakan untuk membersihkan tubuh yaitu nunput glagah (Saccharum spontaneum L.). Batang rumput ini jika ditumbuk dapat digunakan sebagai bahan menggosok badan, karena bersifrt licin (berlendir). Jenis rumput ini biasa ditemui di tepian sungai, kadangkala dimanfaatkan penduduk sebagai pakan ternak. 2.7.3. Pelengkap tata-rias
Tata-rias wajah dan rambut merupakan ha1 yang penting dalam berbagai acara atau upacara, misalnya pemikahan dan seni pertunjukkan. Berikut ini dkajikan keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pelengkap tata-ria3 rambut seperti yang tercantum dalam Serat Centhini: Tabel 27. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang ddigunakan sebagai pelengkap tata-rias rambut dalam Serat Centhini Nama Lokal 1. 2. 3. 4. 5. 8. 9. 10.
Teluki Argulo abang Mlathi Gambir Pinang kuning Argulo putih Cempaka Noja
Nama Latin Hibiscus grewiifolius Hassk. Abelmoschus moschatus Medik. Jasminum sambac Ait. Uncaria gambir Roxb. Areca carechu L. Abelmoschus moschatus Medik. Michelia champaca L. Peristrophe bivalvis Merr.
Suku Malvaceae Malvaceae Oleaceae Rubiaceae Arecaceae Malvaceae Annonaceae Labiatae
Keterangan Digunakan sebagai hiasan pada rambut (sanggul) maupun disusun dalam rangkaian.
Hiasan yang digunakan sebagai rangkaian bunga disebut sebagai kembang buntel. Penyusun kernbang buneal terdiri dari bunga-bunga yang antara lain seperti tercantum dalam tabel di atas daun pandan wangi (Pandanus sp.) serta karang rnelok (untaian bunga berbe,lt-& bulatan-bulatan). Bunga cempaka juga digunakan sebagai hiasan sanggul pada pengantin wanita dan sebagai hiasan kopyah pengantin pria. Dalam Serat Centhini jilid X
disebutkan bahwa dalam adat tanah Trenggalek, rangkaian kembang kanthil digunakan sebagai hiasan sanggul para peuyumbang pria wanita, baik petani maupun saudagar. Cincin tempurung kelapa digunakan salah satu pelengkap dalam berbusana, dan hingga masa sekarang cincin sejenis ini masih banyak diperjualbelikan sebagai cindera-mata, terutama di DIY. Selain itu tempurung kelapa juga dapat digunakan sebagai bahan pembuatan hiasan rambut (jepit, bando d m sebagainya), bandul kalung dan bros.
2.8. Bahan kayu bakar Dalam Serat Centhini tidak banyak disebutkan jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Sebab pada dasamya mereka memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan apapun yang dapat digunakan sebagai kayu bakar. Jenis tumbuhan yang umum digunakan sebagai kayu bakar adalah kelapa (Cocos
nucifera L.), yaitu bagian batang, daun kering, sabut, dan tempurungnya; kayu jati (Tectona grandis L.f.), sengon (Albizzia chinensis Merr.), lamtoro (Leucaena glauca Benth.), nangka (Artocarpus infegra Merr.), dan kayu-kayu keras lainnya. Cara memperolehnya bisa dengan menebang langsung kemudian membelahbelahnya, atau mengumpulkan dahan dan ranting yang telah berjatuhan. Jenis bahan bakar lain yang diduga banyak digunakan masyarakat pada masa tersebut adalah arang, yang juga masih digunakan pada masa sekarang terutama pada proses pembakaran atau pemanggangan. Jenis tumbuhan yang baik digunakan sebagai arang adalah kayu kesambi (Schleichera oleosa Merr.).