V. HASU DAN PEMBAHASAN
Analisis h i d dan ekonomi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan struktm biaya produksi di tingkat produsen atau petani kopi pada tahun 2000 yang
kemudian di-discounfing selama umur ekonomis tanaman kopi, yaitu 20 tahun. Umur ekonomis ini mempakan batas waktu dimana tanaman kopi hams diiemajakan kembali.
Seluruh stmktur biaya, serta perhitungan finansial dan
ekonomi perkebunan kopi rakyat dari masing-rnasing wilayah dapat d i l i t pada
L a m p i i 6 - 25. Sedangkan harga-harga privat dan harga sosial dari masingmasing input-output dapat dilihat pada Tabel 20 di halaman berikut.
Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dan biaya usahatani. Dalam analisis ini, keuntungan dibedakan atas keunhmgan privat dan keuntungan sosial.
Keuntungan privat diitung berdasarkan harga sesungguhnya yang
diterima clan dibayarkan oleh petani kopi.
Sedangkan keuntungan sosial
merupakan keuntungan yang seharusnya diterima petani sesuai dengan besmya pengorbanan dalam menghasilkan biji kopi. Sehingga dapat d i i t berapa besar perbedaan keuntungan yang terjadi pada tiogkat harga riil dibandingkan pada tingkat harga sosialnya. Tigkat efisiensi produksi biji kopi akan tercapai jika tidak ada perbedaan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial yang diperoleh oleh petani kopi. Dalam ha1 ini analisis ekonomi perkebunan kopi rakyat dijadikan sebagai indikator bagi penilaian efisiensi produksi biji kopi.
Tabel 20 Harga Privat dan Harga Sosiai Komponen Input-Output Perkebunan Kopi Rakyat
Keterangan : Rasio pembayaran upah tenaga kerja = 0.5 * Perhitungan pajak tak langsung berdasarkan ketentuan Dirjen Pajak, Depkeu, No. SE 21/Pj.6/1999. Sumber data : Hama ~ r i v abiii t k0Di : BPS. 2001 ~ a G sosial a biji kipi : AEKI, 2001 Harga privat pupuk : BPS, 2001 Harga sosial pupuk : FADiNAP, 2001 Harga bibii dan alat pertanian : Ditjen Perkebunan, 2001 Nilai sewa lahan : PT Astra Agro Lestari, 2000
Hasil analisis secara 6nansid pada Tabel 21 dibawah, rnenunjukkan bahwa semua wilayah menerima keuntungan privat lebii dari nol.
Hal ini
memberikan arti bahwa sistem produksi kopi rakyat di seluruh wilayah memperoleh keuntungan diitas keuntungan normal, yang berarti usaha perkebunan kopi rakyat layak untuk diteruskan, baik untuk jaagka pendek maupun untuic jangka panjang. Tabel 21. Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Petani KOD~
Berdasarkan Tabel 21 diatas, wilayah yang memperoleh keuntungan privat tertinggi adalah wilayah V, kemudian wilayah 111, I, I V dan 11.
Perbedaan
ksarnya keuntungan ini lebih diiebabkan karena perbedaan penerimaan petani pada wilayah V, 111 dan I dibandingkan karena perbedaan biiya produksinya. Artiiya total biaya produksi perkebunan kopi rakyat di seluruh wilayah rata-rata relatif sama, namun penerimaan petaninya sangat bervariasi (Lampiran 7, 11, 15, 19 dan 23).
Perbedaan penerimaan tersebut diibabkan oleh harga jual biji kopi di tmgkat petani yang sangat bervariasi antara masing-masing wilayah. Dari Tabel 20 dapat dilihat harga biji kopi per kg pada wilayah V adalah sebesar Rp 8 444.
Sedangkan pada wilyah I1 hanya Rp 5 206 per kg, dan pada wilayah b y a sekitar Rp 7 000 per kg. T i i n y a harga biji kopi di wilayah V disebabkan
karena mutu biji yang d i h a s i i termasuk dalam grade I,
d
i harganya
dapat mencapai Rp 13 000 per kg. Sementara pada wilayah lam umumnya menghasiilkan biji kopi grade IV d
i harga rata-ratanya +_ Rp 5 000 per kg
.
Faktor mutu h i sebenamya dapat ditingkatkan bila petani tidak cepat-cepat
memetik buah kopi muda, pemberian pupuk dua kali setahun sesuai dengan jumlah
yang
diijurkan,
pembersihan
tanaman-tanaman
pengganggu,
penyemprotan hama secara berkala, dan pemilihan bibit kopi unggul. Secara teoritii perbedaan harga jual biji kopi juga dapat disebabkan oleh : (1) &or
pola usaha perkebunan kopi rakyat, (2) jumlah penaman kopi di pasar,
(3) jumlah pedagang pengumpul dan eksportir di suatu wilayah, dan (4) tingkat
pengetahuan petani. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu ( L h t h i , 1999;
Santoso dan Syafa'at, 1999; Sihotang, 1996; Maulida, 1996; Graff, 1986) menunjukkan bahwa perilaku harga kopi Indonesia diantaranya dipengaruhi oleh harga kopi ekspor, pembahan nilai tukar, tingkat produksi kopi, jumlah penawaran
di pasar domestik, sistem aliran pemasaran ke eksportir dan perubahan harga kopi dunia. Umumnya harga kopi di wilayah sentra kopi di Indonesia, seperti Jawa timur, Lampung clan Sumatera selatan sudah responsif terhadap perubahan nilai tukar dan perubahan harga kopi dunia. Hal ini terlihat dari fluktuatif harga kopi
asalan selama lima tahun terakhir di daerah sentra kopi di Indonesia (Table 18 Bab IV), yang memberikan i n d i i i bahwa petani kopi di daerah sentra kopi sudah dapat menguasai informasi pasar. Namun secara keseluruhan belum &pat dishpullcan bahwa seluruh petani kopi di Indonesia sudah mampu menguasai informasi pasar tersebut. Sebaliknya, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
(1)
Perkernbangan harga kopi dunia: berdasarkan keterangan dari Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia, harga kopi di tahun 2000 ini mempakan yang terendah selama tujuh tahun terakhir, yaitu USS0.36 per pon per kg) untuk kopi robusta dan US$ 0.80 per pon
Rp 6 768
Rp 15 040 per kg)
untuk kopi arabiia. (2)
Perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika: hal ini dapat d i i dari perkembangan harga kopi domestik dari tahun 1994 sampai 2000 menunjukkan peningkatan yang sejalan dengan depresiasi rupiah. Bahkan kenaikan tahun 1997 ke 1998 mencapai lebii dari 250 persen (Tabel 17, Bab IV).
(3)
Jumlah pedagang dan eksportir disuatu wilayah: berdasarkan daftar keanggotaan AEKI, jumlah eksportir kopi ditiap wilayah sangat berbeda. Lebih dari 50 persen eksportir kopi terdapat di wilayah II, sementara sisanya tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
Konsentrasi pedagang
eksportir di wilayah lI, justru tidak mengakibatkan harga jual biji kopi di tingkat petani tinggi. Sebaliknya harga jual biji kopi di wilayah II paling rendah dibanding wilayah lain, yaitu Rp 5 206 per kg (Tabel 20). Hal ini menunjukkan bahwa pihak pedagang clan eksportir lebih berperan dalam menentukan tingkat harga di petani. Karena umumnya mutu biji kopi di perkebunan rakyat belum memenuhi syarat mutu ekspor, yaitu masih mengandung kadar air lebii dari 20 persen, sementara syarat biji kopi ekspor adalah maksiium moisture content 12 persen, sehingga karena pihak pedagang dan eksportir masih harus melaicukan proses pengelingan dan sortasi maka nilai biji kopi asalan menjadi rendah.
(4)
Jumlah penawaran biji kopi:
berdasarkan kontribusi produksi terhadap
total produksi nasional (Tabel 12, Bab IV), wilayah I1 merupakan wilayah yang tertinggi dalam berproduksi, yaitu 58.6 persen dari total produksi nasional tahun 2000. Sehingga melimpahnya suplai kopi di wilayah tersebut mengakibatkan penerimaan petani menjadi rendah.
Dalam analisis PAM, nilai keuntungan sosial dapat digunakan sebagai indikator prioritas pengembangan wilayah.
Maka berdasarkan besarnya nilai
tersebut wilayah yang diprioritaskan untuk pengembangan perkebunan kopi rakyat adalah wilayah III, kemudian wilayah V, I, II dan IV. 5.2.
Analiiis Dayasaing Analisis dayasaing
komparafif.
terdm dari dayasaing kompetitif dan dayasaing
Penilaian dayasaing kompetitif dilihat dari rasio biaya domestik
terhadap nilai tambah dalam harga privat (Privat Cost Ratio).
Sedangkan
pznilaian dayasaing komparatif dilihat dari ratio biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya (Domestic Resource Cost). Berikut ini adalah hasil
nilai koefisien PCR dan DRC pada masing-rnasing wilayah. Tabel 22. Nilai Koefisien Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif
Berdasarkan Tabel 22 diatas, seluruh wilayah perkebunan kopi rakyat memilii keunggulan, baik secara kompetitif maupun komparatif. Hal ini bisa diliiat dari nilai koefisien PCR dan DRC seluruhnya kurang dari 1. Artinya seluruh wilayah memiliki kemampuan secara ekonomi dalam membiayai dan memproduksi biji kopi secara efisien; dan secara hansial biji kopi yang diisilkannya dapat bersaing di pasar domestik dan internasional. Berdasarkan kriteria PCR, keuntungan 6nansial maks'ial dapat diperoleh jika sistem produksi kopi mampu meminimumkan nilai PCR. Pada Tabel 21 sebelumnya, wilayah V merupakan daerah yang mampu memperoleh keuntungan privat maksimum. Berarti wilayah V memiliki keunggulan kompetitif tertinggi (0.520), kemudian diikuti oleh wilayah III, I, IV dan 11. Sedangkan kriteria DRC, menunjukkan kemampuan sistem produksi kopi di masing-masing wilayah dalam membiayai faktor domestiknya pada tingkat harga sosial ( i i t o r efisiensi ekonomi). Semakin rendah nilai koefiseian DRC berarti wilayah tersebut semakin mampu bertahan tanpa adanya bantuan dari pemerintah karena memiliki kemampuan sumberdaya domestik yang diperlukan bagi pengembangan perkebunan kopi.
Sumberdaya domestik yang d i i s u d
adalah lahan yang sesuai bagi pextumbuhan tanaman kopi; ketersediaan input bibit, pupuk dan tenaga kerja di wilayah tersebut. Wdayah dengan keunggulan komparatif tertinggi adalah wilayah I11 (0.354), dan d i t i oleh wilayah V, I, II, dan IV. Berdasarkan nilai DRC tersebut juga dapat disimpullcan bahwa secara ekonomi setiap wilayah mampu memanfaatkan sumberdaya domestik yang ada untuk memperoleh satu-satuan unit devisa dari komoditi biji kopi.
5.3.
Anduis Kebijakan Analisis kebijakan terdiri dari kebijakan output, kebijakan input, dan
kebijakan input-output.
Sementara kebijakan yang secara langsung mengatur
perdagangan kopi adalah SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 29iMPPKepN1999 tentang ketentuan ekspor kopi.
Ketentuan ini pada
prinsipnya mengikuti ketentuan perdagangan kopi intemasional yang diatur dalam ACPC dan ICO. Berdasarkan perkembangan harga kopi dunia yang terus merosot sepanjang tahun 2000, rnaka Indonesia hams bersedia mengikuti ketentuan retensi yang berlaku bagi semua negara produsen kopi (Tabel 19, Bab IV). Namun sampai dengan September 2001, pemerintah belum mengeluarkan ketentuan tentang pelaksanaan sistem retensi di Indonesia.
Masyarakat eksportir kopi
mengharapkan pemerintah bersedia menanggung beban retensi jika ha1 tersebut dilaksanakan.
Bahkan perkembangan selanjutnya beberapa negara tidak lagi
bersedia menghti program retensi tersebut, seperti Vietnam, Honduras dan Elsavador. Hal ini mengakibatkan ACPC semakin sulit m e n g e n d d i harga kopi di pasar dunia (AEKI, 2001). Sementara kebijakan pemerintah yang mengatur faktor input kopi secara langsung tidak ada. Karena subsidi pupuk telah dihapuskan sejak tahun 1998, demikian juga dengan subsidi pestisida. Secara tidak langsung pernerintah hanya mengatur distribusi pupuk ke seluruh wilayah Indonesia dalam rangka menjamin kebutuhan pupuk dalam negeri.
Dan, ekspor pupuk sampai saat ini belum
diperkenankan oleh pemerintah, kecuali terjadi kelebihan suplai di dalam negeri.
5.3.1.
Kebijakan Output Adanya intervensi pemerintah mengakibatkan harga output berbeda antara
harga yang diterima petani dengan harga di pasar intemasional.
Kebijakan
pemerintah dalam komoditi output biasanya terdiri dari kebijakan subsidi, pajak dan kebijakan perdagangan, seperti penerapan tarif eksporlimpor dalam rangka melindungi kebutuhan dalam negeri. Untuk komoditi kopi, tidak ada kebijakan subsidi, sedangkan kebijakan pajak atau tarif ekspor kopi sudah tidak diberlakukan lagi sejak tahun 2000. Untuk tarif impor kopi secara berangsurangsur dikurangi hingga 0 persen pada tahun 2004, dan sistem kuota ekspor sudah
dihapuskan se.ak tahun 1990. Sehingga kebijakan perdagangan kopi yang berlaku adalah berupa program ekspor yang disesuaikan dengan perkembangan harga kopi dunia. Sepexti yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 29/MPPiKepN1999 tentang ketentuan ekspor kopi dan Surat Keputusan
Dien
Perdagangan
Luar
Negeri
No.
265/Kp/II/89
695.lDaglwXp/IV/89 tentang penyempumaan ketentuan ekspor kopi.
jo
Seluruh
kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi produsen biji kopi, dalam ha1 ini eksportir kopi melalui upaya-upaya mempertahankan harga biji kopi Indonesia di pasar dunia. Biasanya setiap tahun pemerintah, dalam ha1 ini Departemen Perindustrian dan Perdagangan akan mengeluarkan program ekspor kopi yang merupakan pedoman jumlah ekspor bagi eksportir kopi Indonesia, s e m i pada Tabel 23 berikut ini.
Tabel 23. Program Ekspor Kopi Indonesia
Pada p ~ s i p n y aprogram ekspor yang dikeluarkan oleh Deperindag tersebut berhrjuan untuk mencegah terjadinya over suplai di pasar kopi dunia sesuai dengan tujuan program retensi yang dikeluarkan oleh ACPC, sehingga setiap tahun program tersebut disesuaikan dengan perkembangan harga yang terjadi di pasar kopi dunia. Biasanya ICO akan mengeluarkan standar harga yang bersumber dari bursa kopi robusta di London dan bursa kopi Arabii di New York. Namun dalam pelaksanaannya, program ekspor tersebut bersiiat tidak mengikat karena tidak adanya sanksi bagi eksportir yang melanggar program ekspor tersebut, sehingga secara tidak langsung eksportir masih bebas dalam melakukan ekspor kopiiya. Hal tersebut disesuaikan dengan kebijakan retensi ekspor yang dikeluaxkan oleh ACPC. Dimana program retensi yang disepakati sejak tahun 1993 sampai dengan saat ini masih bersifat bebas. Artinya tidak ada sanksi bagi negara yang tidak rnengikuti program tersebut, walaupun pada pertengahan tahun 2000 lalu telah dibuat kembali draft tentang pelaksanaan program retensi ekspor secara lengkap, termasuk pelaksanaan
&I
bagi negara yang melanggarnya. Namun
berdasarkan perkembangan yang terjadi sampai akhir tahun 2001, ternyata program retensi yang diberhkukan ACPC tersebut banyak dinilai gagal oleh berbagai pihak. Hal ini antaralain disebabkan karena besarnya persentase kopi yang diretensi hanya berdasarkan perkembangan harga kopi dunia, tanpa melihat
latar belakang atau kondisi perekonomian negara eksportir; dan tidak diisuaikan dengan volume produksi dari masing-masing negara anggota ACPC. Selain itu, dalam pelaksanaannya tidak terdapat reward atau punish bagi negara yang patuh atau melanggar program tersebut. Sehingga diprediksi sistem retensi inipun akan segera dihapuskan. Selain mengatur jumlah ekspor kopi Indonesia, pemerintah juga telah mengeluarkan
Swat Keputusan Dijen Perdagangan Luar Negeri No.
140/Daglu/KpI 1990 tentang pencabutan pengukuhan pembentukan kelompok eksporir terdatbr dan badan pemasaran bersama (mmhting group) eksportir kopi, yang merupakan konsekuensi pemerintah terhadap hasil persetujuan Putaran Uruguay yang tidak lagi memperlakukan komoditi pertanian sebagai komoditi ekslusif, yang artinya segala tanga an atau hambatan perdagangan komoditi pertanian harus segera diiapuskan. Berikut ini adalah rekapitulasi hasil analisis tabel PAM &iran 9, 13, 17, 21, dan 25) terhadap dampak dari kebijakan perdagangan input-output yang
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia pada sistem produksi biji kopi dari perkebunan rakyat. Tabel 24. Nilai Indiiator Kebijakan Dalam Matrik PAM
Salah satu pendekatan untuk melihat dampak kebijakan output adalah kriteria output trrmsfer (OT) yang merupakan selisih antara penerimaan finansial dengan penerimaan ekonomi. Jika nilai OT lebih besar dari no1 atau positif berarti harga kopi privat lebii tinggi dari harga sosialnya.
Artinya konsumen atau
pedagang pengumpul harus membeli biji kopi diatas harga yang seharusnya. Berdasarkan Tabel 24 diatas, hanya wilayah N yang memiliki nilai OT positif. Artinya pada wilayah lainnya (I, II, 111 dan V) terjadi distorsi pasar yang mengakibatkan harga kopi di pasar lebii rendah dari harp k ~ p isosialnya. Sehingga dalam hal ini petani dirugikan karena tidak memperoleh tingkat harga yang seharusnya dapat mereka terima.
Sebaliknya konsumen atau pedagang
pengumpul kopi menetima insentifdari petani. Sementara berdasarkan besamya nilai output trcasfer, petani yang paling dirugikan adalah di wilayah 111, yaitu sebesar Rp 6 035 853 per Ha; selanjutnya di wilayah I1 sebesar Rp 3 284 386 per Ha; dan di wilayah I sebesar Rp 2 702 743 per Ha. Pemerintah pusat sendiri telah berupaya untuk tidak melakukan intemensi dalam perdagangan kopi. Seperti, sejak tahun 1990 tidak diberlakukan lagi kuota ekspor kopi; pencabutan syarat kelompok eksportir kopi dan badan bersama pemasaran ekspor; serta mengeluarkan kopi sebagai komoditi yang dikenakan pajak tambahan ekspor (PET). Upaya-upaya tersebut diberikan dalam rangka meningkatkan ekspor kopi Indonesia. Namun dampak yang diterima masingmasing daerah dapat saja berbeda, karena pemerintah daerah berhak mengatur sistem produksi dan penmaran kopi didaerahnya. Seperti peraturan pemda Lampung tentang pungutan retribusi bagi setiap komoditi @an daerah; tidak &siennya sistem admini-
yang keluar
ekspor, seperti di Bmgkulu, dimana
bank devisa di wilayah tersebut tidak lagi membuka pengumsan PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) sehingga memperpanjang jalur pengumsan ekspor; fasilitas pelabuhan yang diilai minim dan keterlambatan kapal yang mengakibatkan biaya pemasaran ekspor semakin tinggi.
Selain itu, biaya
ekonomi tinggi dapat terjadi karena banyaknya pungutan tidak "resmi" yang secara administratif sulit dibuktikan, yang mengakibatkan pihak pedagang dm eksportir semakin menekan harga beli di tingkat petani. Untuk melihat besamya dampak kebijakan pemerintah texhadap komoditi biji .kopi, digunakan indikator koefisien proteksi output nominal atau nominal
protection coefJiciennt on tradable output (NF'CO). NF'CO merupakan rasio penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. Niai kodsien NPCO menunjukkan besamya dampak kebijakan ouput yang mengakibatkan divergensi antara harga kopi secara finansii dan ekonomi. Berdasarkan Tabel 24 diatas, nilai NF'CO untuk wilayah I, 11, III, dan V kurang dari satu, sementara untuk wilayah IV lebih dari wtu (1.085). Hal ini berarti petani kopi di wilayah I, 11, III clan V tidak mendapat perlindungan dari pemerintah, tetapi justru t q a d i transfer dari petani kopi ke pemerintah dalam bentuk pajak. Sehingga terjadi a-n output tersebut.
penerimaan petani akibat kebijakan
Kebijakan tentang pajak komoditi p d a n diatur dalam
Undang-Undang pajak penghasilan diberlakukan sejak 1 Januari 2000.
pasal 22 sebesar 1.5 persen yang mulai Namun undang-undang pajak ini hanya
diperuntukan bagi pedagang pengumpul saja.
J i i ternyata dampaknya juga
mengakibatkan pengurangan penerimaan petani pada wilayah I, II, III dan V, berarti pedagmg di keempat wilayab tersebut membebani pajak kepada petani.
Berdasarkan nilai koefisien NPCO diatas, juga dapat disiipulkan bahwa dampak kebijakan di bidang perdagangan kopi menyebabkan harga kopi di tingkat petani lebii murah, masing-masing sebesar 12 persen untuk wilayah I; 14.8 persen untuk wilayah II; 19.8 persen untuk wilayah 111; dan 1.3 persen untuk wilayah V. Sementara di wilayah IV, petani diuntun&n karena harga jual biji kopi lebih tinggi 8.5 persen dari harga yang seharusnya diterima petani. Artinya petani kopi di wilayah N menerima manfaat dari kebijakan yang berlalcu, karena mampu
menaikkan harga jual biji kopi d i i harga efisiennya sehingga tejadi transfer pendapatan dari konsumen atau pedagang pengumpul kepada petani. 5.3.2.
Kebijakan Input Untuk melihat adanya kebijakan pemerintah yang mempengaruhi harga
input asing di pasar, digunakan kriteria Input Transfer (IT). Adapun jenis input wing dalam perkebunan kopi rakyat adalah pupuk dan pestisida. lebii besar dari no1 (psitit),
J i nilai IT
artinya terdapat pajak atau tarif impor atas input
asing tersebut, sehingga petani harus mmbeli input tersebut dengan harga yang
lebih mahal dari yang seharusnya. B e r k k a n Tabel 24, nilai IT untuk wilayah 11, 111 dan V positif. Artinya terdapat tranfer pendapatan dari petani kepada
produsen input asing sebesar : Rp 226 470 per Ha untuk wilayah II, Rp 269 021 per Ha untuk wilayah 111; dan Rp 121 886 per Ha untuk wilayah V. Sementara, di wilayah I dan N bemilai negatit artinya terdapat subsidi pemerintah terhadap input asing di kedua wilayah tersebut. Bentuk subsidi ini dapat berupa insentif yang memberi kemudahm dalam pengadaan sarana dan pmarana perkmian. Sebagaimana diatur dalam Keputusan Meateri Perindustrian
dan Perdagangan no. 93/MPPIKepI3/ 2001, yaitu tentang pengadaan dan penyaluran pupuk urea untuk sektor peztanian di Jawa minimum kesediaan stok pupuk adalah 200 ton dan diduar Jawa minimum 100 ton. Kebijakan pemerintah ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi petani dalam memperoleh pupuk. Namun berdasarkan nilai input transfer diatas, ternyata hanya petani di wilayah I dan IV dan merasakan keuntungan dari kebijakan tersebut. Besamya dampak dari kebijakan input tersebut ditunjukkan oleh besarnya koefisien proteksi input CNpCI). Koefisien NPCI wilayah I dan IV kurang dari satu, artinya akibat kebijakan tersebut, petani di wilayah ini secara tidak langsung menerima subsidi atas input wing sehingga petani dapat membeli input asing dengan harga yang lebii rendah sebesar 2.3 persen dari harga sosialnya untuk wilayah I dan 0.7 persen untuk wilayah N. Sedangkan dampak kebijakan input asing di wilayah 11, III dan V, mengakibatkan biaya produksi perkebunan kopi rakyat di wilayah tersebut menjadi lebih tinggi, karena petani hams membeli pupuk dan pestisida dengan harga yang lebii mahal dari harga dsiennya. Masing-masing kenaikan sebesar 2 persen untuk wilayah 11; 2.5 persen untuk wilayah ID; dan 1.1 persen untuk wilayah V. Sementara p i i produsen atau importir pupuk dan p d d a diuntungkan sebesar persentase kenaikan harga yang hams ditanggung petani. Tingginya harga pupuk dan pestisida dapat saja terjadi, karena pelaksanaan pengadaan pupuk dan pestisida telah dilepaskan sepenuhnya oleh pemerintah kepada pihak swasta dalam ha1 ini produsen dan importir pupuk dan pestisida-,
--
sedangkan pemerintah
hanya menjamin dan mengawasi stok pup& untuk masing-masing daerah.
Indikator Factor Trrmsfer (TF) diterapkan untuk menilai kebijakan pemerintah terhadap input domestik, seperti tenaga kerja dan lahan. Niai TF pada semua wilayah dalam penelitian ini adalah positif. Yang artinya terdapat kebijakan pemerintah yang menguntu&an
tenaga kerja dan lahan perkebunan.
Nilai positif tersebut menunjukkan besarnya perbedaan dalam penilaian upah tenaga keja dan sewa lahan pada harga sosialnya.
Di Indonesia, penentuan upah minimum tenaga keja belum berdasarkan produktivitas marginal tenaga keja, tetapi berdasarkan kebutuhan minimum per
hari per kepala. Sehingga wajar jika harga upah yang diterima tenaga keja perkebunan lebii tinggi dari nilai produktivitas mereka.
Sementara, penilaian
harga sewa lahan pada penelitian ini adalah berdasarkan penaksiran harga yang
dilalcukan oleh PT. Astra A g o Lmtari, dimana pada perkebunan swasta tingkat produktivitas lahan lebii tinggi dari pada perkebunan rakyat. Berdasarkan nilai Factor Trrmsfer pada Tabel 24, dampak kebijakan input domestik mengakibatkar. petani di seluruh wilayah harus membayar faktor domestik lebih mahal dari harga efisiennya. Sementara produsen faktor domestik mendapat tambahan kmtungan sebesar 8.6 persen untuk wilayah I; 8.8 persen untuk wilayah 11; 7.7 persen untuk wilayah III; 20.8 persen untuk wilayah IV, 18.1persenuntukwilayah V. 5.3.3. Kebijakan Input-Output
Untuk melihat dampak kebijakan input-output secara keseluruhan dapat digunakan indikator eflective protection cmflcient @PC). Ndai koefisien EPC
ini menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau
menghambat produksi kopi di wilayah tersebut. Berdasarkan Tabel 24, koefisien EPC wilayah I, U, III dan IV h a n g dari satu. Yang artinya kebijakan inputoutput di keempat wilayah tersebut belum bejalan secara efektif. Sebaliknya pada wilayah IV, koefisien EPC lebih dari satu (1.229), artinya secara keseluruhan dampak kebijakan memberikan dukungan texhadap aktivitas produksi kopi dan petani memperoleh tambahan pendapatansebesar 22.9 persen dari pemerintah. Selajumya nilai net tmnsjer (NT) men-
dampak kebijakan
pemerintah secara keseluruhan terhadap penexban petani.
Pada Tabel 24,
terlihat bahwa wilayah I, I . HI dan V indikator NT bemilai n e g a a sedangkan untuk wilayah IV bernilai positif.
Nilai NT positif mencerminkan tambahan
surplus bagi petani di wilayah N sebagai akibat adanya kebijakan yang berlaku. Sebaliknya pada wilayab I, II, HI dan V mencmmihm besarnya pengurangan surplus petani sebagai akibat kebijakan pemerintah, sehingga dalam ha1 ini petani wilayah dirugikan. Berdasarkan besamya nilai NT, maka petani yang paling
diigikan adalah di wilayah ID,yaitu Rp 6 837 152 per Ha; wilayah II sebesar 4 087 448 per Ha; wAayah I sebesar 3 073 362 per Ha; dan wilayah V sebesar 1 669 221 per%.
Koetisien
profitabii
(PC)
menunjukkan
perbandingan
antara
keuntungan bersii privat dengan keuntungan sosiahya. Hanya rasio PC untuk wilayah N yang lebih besar dari satu, sedangkan wilayah laimya kurang dari satu. Hal ini memberikan indikasi kebijakan pemerintah di wilayah IV saja yang mampu meningkatkan keuntungan petani kopi sebesar 41.4 persen dari keuntungan yang dite.rima tanpa adanya kebijakan seem keseluruhan. Sebaliknya, keuntungan yang diterima petani kopi di wilayah I, II, HI dan V
berkurang, masing-masing sebesar 13.7 persen; 18.4 persen; 22.4 persen dan 6.4 persen dari keuntungan yang seharusnya diterima tanpa adanya kebijakan perne~tah. Koefisien rasio subsidi produsen (SRP) menunjukkan rasio dari net transfer dengan penerimaan s o s i i y a Pada wilayah I, 11, 111 dan V, koefisien SRP bemilai negatif, hal ini berarti terjadi arah transfer dari petani ke pemerintah atau konsumen.
Sedangkan pada wilayah IV, koefisien SRP psi*
hal ini
menunjukkan arah transfer dari konsumen atau pemerintah kepada petani sebesar 1.6 persen dan adanya kebijakan pemerintah tersebut petani dapat membayar
biaya produksi lebih rendah dari opportunity cosmya. 5.4.
Analisis Kepekaan Analisis kepekaan diperlukan untuk melihat sejauh mana perubahan
penerimaan petani dan dayasaing masing-masing wilayah dalam menghadapi perubahan harga-harga input atau output. Pada penelitian ini dilakukan enam kali simulasi untuk melihat sensitivitas keuntungan petani kopi, yaitu (1) perubahan
nilai tukar rupiah terhadap USD sebesar 20 persen, (2) kenaikan upah tenaga kerja sebesar 12 persen, (3) kenaikan harga pupuk sebesar 25 persen, (4) penurunan harga biji kopi asaian sebesar 6 persen, (5) gabungan perubahan nilai tukar d m kenaikan upah tenaga kerja, dan (6) serta gabungan kenaikan harga pupuk dengan penurunan harga biji kopi asalan. Setiap simulasi dilakukan dengan asumsi harga input lainnya tetap (cuterispmibus).
5.4.1
Wiyah I W~layahI terdiri dari seluruh propinsi di Jawa dan Bali. Propinsi yang
dikenal sebagai penghasil kopi adalah Jawa timur. Tahun 2000 produksi Jawa timur mencapai
39 427 ton atau 4.6 persen dari total produksi nasional.
Sedangkan hasid produksi dari wilayah I adalah 65 837 ton atau 14.28 persen dari total produksi nasional dengan rata-rata produktivitas per tahun 550 kg per Ha. Wilayah I merupakan wilayah terbesar ketiga dalam menyumbangkan devisa dari komoditi biji kopi, yaitu 2 USS46 juta pada tahun 2000. Berdasarkan Tabel 25, secara finansial wilayah I masih menerima keuntungan diatas normal pada semua perubahan harga input-output, kecuali pada simulasi 6, dimana keuntungan privat yang diterima petani bernilai negatif. Artinya pada kondisi harga pupuk meningkat b e r m - s a m a dengan turunnya harga biji kopi usaha perkebunan kopi rakyat tidak layak untuk dilanjutkan. Sedangkan secara ekonorni, seluruh perubahan harga-harga tetap memberikai keuntungan positif bagi petani. Hal ini berarti jika kondisi pasar beradti pada persaingan sempurna, tanpa adanya intewensi pemerintah dan distorsi pasar lainnya, petani masih layak untuk meneruskan usaha perkebunan kopinya.
Hal ini sesuai dengan besarnya koefisien DRC pada semua kondisi
perubahan harga masih tetap dibawah satu. Artiiya usaha perkebunan kopi rakyat tetap memiliki keunggulan komparatif walaupun tejadi kenaikan harga-harga input dan penurunan harga kopi. Sementara berdasarkan koefisien PCR, biji kopi wilayah I tetap dapat bersaing secara kompetitif di pasar internasional pada semua kondisi perubahan harga-harga input yang terjadi secara terpisah. Namun pada siulasi 6, biji kopi
wilayah I tidak dapat bersaing di pasar intemasional. Hal ini disebabkan karena pembayaran pupuk merupakan komponen biaya terbesar dalam usahatani kopi rakyat. yaitu 57.88 persen dari total biaya (Tabel 26). Tabel 25. Hasii Siulasi Whyah I
Tabel 26. Persentase Biaya Produksi di Wiayah I
Secara keseluruhan dampak kebijakan yang mem-
kenailcan
harga-harga input dan peiubaban nilai tukar mengakiiatkan m g a n
keuntungau petani. Hal ini juga taliha pada kondisi net traosfer yang tejadi,
semua koe6sien NT bemilai negatif; artinya tejadi penguraagan surplus pada
petani sebagai akibat perubahan harga-harga.
Berdasarkan nilai NT tersebut,
kerugian petani terbesar pada kondisi nilai tukar rupiah melemah dan kenaikan hrga pupuk dan upah tenaga kerja terjadi secara bersamaan. 5.4.2.
Wilayah II
Whyah I1 terdiri dari propinsi Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Jambi, dan Bengkulu. Wilayah II merupakan wilayah yang textinggi
aain m e n g h a s i i kopi dengan rata-rata produktivitas per tahun 700 kg per Ha.
Dan merupakan penyumbang devisa terbesar dari komoditi kopi setiap tahunnya. Pada tahun 2000, wilayah II memberikan devisa sebesar 2 USS235 juta. Wilayah II memiliki areal kopi terluas dan produksi tertinggi yaitu 50.78 persen dan 58.64 persen dari total luas areal dan produksi Indonesia tahun 2000. Daerah sentra kopi di Wdayah I1 adalah Sumatera Selatan dan Lampung dengan jenis kopi robusta grade IV. Harga rata-rata biji kopi asalan di Sumatera Selatan dan Lampung pada tahun lalu adalah Rp 4 740 per kg dan Rp 4 550 per kg. Harga ini merupakan harga terendah selama tujuh tahun terakhir Berdasarkan Tabel 27, secara k i a l petani di wilayah 11 masih menerima keuntungan privat pada perubahan nilai tukar dan kenaikan upah tenaga k q a (simulasi 1 dan 2).
Sedangkan pada perubahan harga lainnya petani
mengalami kerugian. Namun secara ekonomi petani wilayah II dapat memiliki keuntungan sosial pada semua kondisi perubahan harga. Hal ini mengakibatkan net transfer yang ditanggung semakin besar dan bemjlai negatif. Berdasarkan
nilai NT kerugian terbesar dialami petani pada perubahan nilai tukar rupiah dan k o m b i i perubahan nilai tukar yang diikuti dengan kenaikan upah tenaga kerja.
KeungguIan komparatif selarna perubahan harga input-output diatas tetap menunjukkan nilai dibawah satu. Artinya pengusahaan kopi rakyat di wilayah I1 Map memiliki keunggulan komparatif dan mampu membiayai faktor input domestiknya tanpa bantuan dari pemerintah. Sedangkan keunggulan kompetitif hanya mampu dip-
pada perubahan nilai tukar rupiah dan kenaikan upah
tenaga kerja. Sementara pada kenaikan harga-harga pupuk dan penurunan harga biji kopi wilayah I1 tidak lagi dapat bersaing secara kompetitif di pasar kopi intemasional. Tabel 27. Hasil S i a s i Wilayah I1
Seperti halnya pada wilayah I, seluruh kenaikan harga input dan penurunan harga jual kopi mengakibatkan petani mengalami penurunan keuntungan dari yang seharusnya mereka terima. Hal ini ditujukkan dari nilai net transfer seluruhnya bernilai negatg dan koeiisien PC dibawah 1. Berdasarkan koefisien EPC, tidak ada satupun yang menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dapat bejalan efektif.
Berdasarkan Tabel 28 komponen biaya terbesar bagi pengusahaan kopi adalah biaya pupuk (68.60 persen) dan diilcuti oleh upah tenaga kerja (13.77 persen). Persentase biaya pupuk ini lebih besar dibandingkan wilayah I, hal ini disebabkan karena harga retail pupuk wilayah I1 lebii tinggi dibanding wilayah I. Tabel 28. Persentase Biaya Produksi di Wilayah I1
5.4.3.
Wilayah IlI Wilayah UI terdiri dari propinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan
Barat dan Kalimantan Selatan. Daerah terbesar dalam menghasillcan kopi di wilayah tersebut adalah Sumatera Utara dengan luas areal kopi 62 530 Ha dan produksi tahun 2000 sebesar 34 042 ton untuk jenis kopi robusta grade IV. Merupakan daerah kedua dalam menyumbangkan devisa melalui komoditi kopi
+
pada tahun 2000, yaitu sebesar US$52 juta. Berdasarkan Tabel 29, petani wilayah 111 masih dapat menerima keuntungan privat dan keuntungan sosial diatas normal pada berbagai perubahan harga input-output. Hal ini berarti sistem pengusahaan kopi di wilayah 111 layak untuk diteruskan pada kondisi kenaikan harga pupuk hingga 25 persen; kenaikan upah tenaga kerja hingga 12 persen; depresiasi rupiah hingga 20 persen; dan penurunan harga biji kopi sebesar 6 persen.
Namun demikian perubahan harga-harga tersebut mengakibatkan pengurangan keuntungan petani.
Kemgian terbesar dialami pada kondisi
depresiasi rupiah dan kombinasi perubahan nilai tukar yang diikuti dengan kenaikan upah tenaga kexja (simulasi 1 dan 5). Kebijakan pemerintah secara keseluruhan tidak berjalan secara efisien dan terjadi penerimaan transfer dari petani kepada konsumen.
Tabel 29. Hasil S d a s i Wilayah IU
Tabel 30. Persentase Biaya Produksi di Wilayah III
Berdasarkan Tabel 30 diatas, komponen biaya terbesar dalam usaha perkebunan kopi adalah komponen pupuk, selanjutnya komponen tenaga kerja, bibit dan peralatan pertanian. Seperti pada pembahasan sebelumnya, wilayah III merupakan wilayah yang dipnoritaskan untuk dikembangkan, sesuai dengan besarnya nilai koefisien DRC dan keuntungan sosial di wilayah tersebut. Setelah
dilakukan berbagai macam simulasi, ternyata wilayah ini tetap bertahan, memiliki keunggulan komparatif dan keuntungan sosial terbesar dibandiig wilayah lainnya. 5.4.4.
Wilayah IV
Wilayab IV terdiri dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara T i . Dibandingkan propinsi NTB, propinsi NTT memiliki luas areal kopi lebih besar, yaitu 60 164 Ha atau 5.9 persen dari luas areal kopi nasional. Sedangkan NTB hanya memiliki luas areal 10 169 Ha atau 1 persen dari luas areal kopi nasional. Berdasarkan data tahun 2000. jumlah produksi NTT dan NTB masing-masing sebesar 8 941 ton dan 2 583 ton. atau 1.94 persen dan 0.56 persen dari total produksi nasional. Walaupun kontribusi produksi yang diberikan wilayah ini relatif kecil, namun pertumbuhan produksi rata-rata per tahun dari kedua propinsi ini cukup stabil, yaitu 2.3 persen per tahun untuk NTT dan 7.5 persen per tahun untuk NTB. Berdasarkan Tabel 3 1 dibawah, petani mash menerima keuntungan pnvat pada p u b a h a n ni1ai tukx rupiah dan kenaikan upah tenaga kerja. Sedangkan
pada kenaikan harga pupuk, penurunan harga biji kopi usahatani kopi, serta kombiiasi perubahan harga input-output, secara 6nansial petani mengalami kerugian.
Bahkan pada kondisi harga pupuk naik hingga 25 persen dan
kombinasinya (simulasi 3 dan 6), petani tidak menerima keuntungan baik secara h s i a l maupun ekonorni, sehingga pada kondisi tersebut perkebunan rakyat di wilayah IV tidak layak untuk diteruskan. Berdasarkan koefisien DRC, wilayah IV tetap memiliki keunggulan komparatif pada kondisi perubahan nilai tukar rupiah, kenaikan upah tenaga kerja dan penurunan harga biji kopi.
Sedangkan pada kenaikan harga pupuk dan
kombiiinya, wilayah N tidak rnampu membiiyai faktor domestiknya lagi, kecuali ada bantuan dari pemerintah. Sementara secara kompetitif, biji kopi wilayah IV hanya dapat bersaing pada kondisi perubahan Nlai tukar dan kenaikan upah tenaga keqa yang terjadi secara terpisah.
Koefisien proteksi efektif di wilayah IV masih menunjukkan Nlai lebih dari satu pada kondisi kenaikan upah, kenaikan harga pupuk ;dan penurunan harga biji kopi.
Artinya pada kondisi tersebut kebijakan pemerintah mash dapat
bejalan secara efisien dan mendukung sistem produksi di wilayah tersebut.
Bahkan pada kondisi kenaikan upah, wilayah ini masih memperoleh surplus keuntungan sebesar Rp 49 669 per Ha. Tabel 32. Persentase Biaya Produksi di Wiyah IV
5.4.5.
Wilayah V
Wiyah V terdiri dari seluruh propinsi di Sulawesi, serta propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan T i m . Wilayah yang cukup dienal dengan produksi kopinya adalah propinsi Sulawesi selatan, dengan luas areal perkebunan kopi rakyat 45 017 Ha clan produsi tahun 2000 sebesx 21 299 ton atau 4.62 persen dari total produksi nasional. Berdasarkan Tabel 33, secara W i a l dan ekonomi petani di wilayah V tetap menerima keuntungan d
i normal pada semua perubahan harga input-
output. Keuntungan privat terbesar diperoleh pada perubdm nilai tukar rupiah dan kenaikan upah tenaga kerja. Sedangkan keuntungan sosial terbesar diperoleh pada pembahan nilai tukar dan k o m b i i i perubahan nilai tukar-upah.
Hal ini d i i b k a n karena
melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan nilai jual kopi ekspor dalarn mata domestik ~nenhgkat. Sedangkan kenaikan harga upah hingga 12 persen tidak begitu berpengaruh terhadap pengeluaran petani d i i m g k a n dengan perubahan
pengeluaran akibat kenaikan harga pupuk. Karena persentase biaya upah hanya 18.12 persen, sementara persentase biaya pupuk mencapai 68.10 persen dari total
biaya kopi (Tabel 34).
Tabel 34. Persentase Biaya Produksi di Wiayah V
Berdasarkan koefisien DRC dan CPR, wilayah V tetap memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif pada semua kondisi perubahan harga inputoutput. Keunggulan komparatif dan kompetitif tertinggi diperoleh ketika nilai tukar rupiah melemah hingga 20 persen. Sementara berdasarkan koefisien EPC,
kebijakan pemerintah masib mendukung perkebunan b p i rakyat pada kondisi kenaikan harga pupuk hingga 25 persen. Bahkan pada kondisi tersebut petani
masib menerima surplus keuntungan sebesar Rp 440 512 per Ha
Hal ini
menunjukkan tingginya harga jual biji kopi di wilayah V mas& tetap dapat mengcover biiya pembelian pupuk, walaupun terjadi kenaikan harga pupuk hingga 25 persen