V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Potensi Wisata Wilayah Seksi Bungan Berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Betung Kerihun, di Wilayah Seksi Bungan terdapat beberapa objek wisata seperti telihat pada tabel 5.
Tabel 5. Potensi
Objek
Wisata di Wilayah Seksi Bungan Kawasan
Taman Nasional Betung Kerihun No 1.
Kegiatan Wisata Lintas Borneo
Objek Rute
Lintas
Keterangan Kapuas
– Sudah berjalan
Belum berjalan
Mahakam 2.
Arung Jeram
Jeram-jeram Sungai Kapuas
3.
Penelusuran Gua
Diang Kaung, Diang Balu, Sudah berjalan Diang Tahapun.
4.
Penjelajahan Sungai
Sungai Kapuas, Sungai Bungan
Sudah berjalan
Sumber : RPTN Taman Nasional Betung Kerihun
Sesuai dengan karakteristik wilayah dengan topografi yang berbukit dan hasil identifikasi objek yang memiliki potensi untuk pengembangan wisata petualangan. Beberapa jeram-jeram di hulu Sungai Kapuas, adanya gua-gua prasejarah dan adanya jalur sejarah perjalanan Lintas Borneo yang pernah dilakukan oleh Dr. Nieuwenhuis seorang ilmuan berkebangsaan Belanda pada tahun 1894, mendasari pengelola kawasan untuk membuat paket-paket wisata petualangan di wilayah tersebut. Kegiatan wisata Lintas Borneo sudah berjalan sebelum adanya penunjukan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Masyarakat setempat sudah memiliki jaringan kerjasama dengan biro perjalanan internasional untuk mendatangkan pengunjung secara rutin sejak tahun 1994 hingga sekarang. Perjalanan melintasi provinsi Kalimantan Barat hingga ke Kalimantan Timur yang dilakukan oleh
warga Belanda pada masa lampau tersebut, menjadi daya tarik utama bagi pengunjung mancanegara. Kegiatan wisata Arung Jeram sudah dipersiapkan oleh pengelola kawasan bersama Yayasan WWF Indonesia dan Tim Scouting Yogjakarta sejak tahun 2003. Kegiatan yang dilakukan berupa survai rute pengarungan serta melatih masyarakat Desa Nanga Bungan sebagai pemandu arung jeram. Sedangkan penyelenggaraan kegiatan wisata arung jeram ini masih belum berjalan, karena masih membutuhkan sarana dan prasarana penunjang. Selain kedua potensi di atas, wilayah ini juga memiliki beberapa gua yang pernah dihuni oleh manusia prasejarah. Di dalam gua Diang Kaung, Diang Balu dan Diang Tahapun terdapat beberapa peninggalan dari manusia prasejarah tersebut. Beberapa lukisan pada dinding gua dapat memberikan informasi tentang sejarah kehidupan manusia masa lampau. Kunjungan ke lokasi ini masih terbatas dari kalangan ilmuan dan personil dari stasiun televisi, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Potensi wisata lainnya adalah Penjelajahan Sungai. Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia (1.321 km) berhulu di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Daya tarik wisata penjelajahan sungai ini adalah saat pengunjung melintasi jeram-jeram besar di hulu sungai Kapuas dan sungai Bungan,
dengan latar belakang hutan hujan tropis yang lebat memberikan
suasana Borneo yang khas. Paket ini dipersiapkan sebagai pilihan jika pengunjung memiliki keterbatasan waktu kunjungan atau keterbatasan kemampuan berjalan kaki (tracking), karena seluruh kegiatan penjelajahan sungai ini menggunakan Perahu Tempel (Long Boat).
5.2. Pengembangan Program Interpretasi Lingkungan Dari data potensi atraksi seperti telihat pada tabel 5 di atas, atraksi yang dapat dikembangkan selain atraksi petualangan adalah program interpretasi lingkungan. Latar belakang objek wisata Wilayah Seksi Bungan seluruhnya berupa hutan hujan topis, tampilan lain yang dapat disaksikan adalah aktivitas masyarakat setempat dalam mamanfaatkan sumber daya alam dan lahan serta
berbagai bentuk jeram sepanjang sungai yang dilalui akan menjadi objek menarik untuk program interpretasi lingkungan. Keterpaduan atraksi petualangan dan interpretasi lingkungan dapat dilahat pada tabel 6.
Tabel 6. Program Pengembangan Interpretasi Lingkungan No
Kegiatan Wisata
Objek Interpretasi
Tema Interpretasi
1.
Lintas Borneo
Keragaman tumbuhan, Keanekaragaman Hayati satwa dan ekosistem.
2.
Arung Jeram
Berbagai bentuk jeram
3.
Penelusuran Gua
Peninggalan prasejarah
4.
Penjelajahan Sungai
Kehidupan masyarakat Kearifan lokal tradisional memanfaatkan SDA dan lahan
Fungsi Hutan sebagai Pengatur Tata Air
manusia Sejarah Manusia
Kehidupan
Perjalanan Lintas Borneo merupakan rute perjalanan terpanjang dibanding atraksi lainnya, kegiatan ini membutuhkan waktu 14 (empat belas) hari perjalanan dengan 7 (tujuh) hari berupa jalan kaki (tracking) menyusuri lebatnya hutan Kalimantan. Berbagai tipe ekosistem di lewati dalam menyusuri jalur tersebut, mulai dari ekosistem hutan sekunder di sekitar permukiman Nanga Bungan dan Tanjung Lokang, ekosistem hutan Dipterocarpaceae
bukit, ekositem hutan
berkapur , ekosistem hutan sub gunung dan ekosistem hutan gunung yaitu ketika melintasi Pegunungan Muller. Tema Interpretasi yang tepat untuk atraksi ini adalah keanekaragaman hayati. Program Interpretasi atraksi ini berisi penjelasan tentang fungsi hutan sebagai sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya dan sebagai habitat satwa liar. Beragamnya tipe ekosistem tersebut menandakan bahwa kawasan ini juga memiliki jenis tumbuhan dan satwa liar beraneka ragam yang membentuk ekosistem. Pada program ini pengunjung selain mendapatkan pengetahuan juga akan menggugah penunjung untuk melestarikan lingkungan. Sketsa jalur interpretasi terlihat pada lampiran 9.
Rute arung jeram di wilayah Sungai Bungan sangat berbeda dengan lokasi lainnya, karena melintasi sungai terpanjang di Indonesia (1.321 km), dengan latar belakang pemandangan berupa hutan hujan tropis yang masih lebat. Tema interpretasi yang tepat adalah fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Keberadaan air sungai kapuas sangat tergantung kepada hutan yang ada di bagian hulunya. Hal ini karena hutan memiliki fungsi hidrologis yang dapat mengatur pasokan air di sungai tersebut dengan mengalirkan air hujan melalui proses siklus hidrologi. Air sungai Kapuas yang jernih dan latar belakang hutan yang masih lebat akan melengkapi atraksi petualangan melewati jeram-jeram sepanjang ± 15 (lima belas) km tersebut. Program interpretasi pada atraksi ini menyampaikan pesan dan informasi tentang keterkaitan hutan dan air. Sehingga wisatawan akan tergugah untuk melestarikan hutan agar siklus hidrologi tetap berjalan. Sketsa jalur interpretasi terlihat pada lampiran 10. Atraksi penelusuran gua prasejarah pada tiga gua yaitu Diang Kaung, Diang Balu dan Diang Tahapun selain dapat menyaksikan berbagai bentuk ornamen gua, wisatwan juga dapat menyaksikan berbagai peninggalan manusia prasejarah seperti tulisan-tulisan purbakala di dinding gua dan beberapa bahan keramik, permata (manik-manik) dan sisa-sisa bahan makanan yang sudah berbentuk fosil. Bukti peninggalan purbakala tersebut akan membuktikan sejarah kehidupan manusia di wilayah ini. Tema interpretasi yang dapat dikembangkan pada atraksi ini adalah pengetahunan tentang sejarah kehidupan manusia. Wisatawan akan memperoleh pengetahuan tentang kedekatan hubungan manusia dengan alam, sehingga akan menggugah wisatawan untuk hidup secara bijak dalam memanfaatkan alam. Sketsa jalur interpretasi terlihat pada lampiran 11. Wisatawan yang menikmati atraksi penjelajahan sungai, dengan melewati Sungai Kapuas dan Sungai Bungan akan melihat perbedaan yang nyata antara hutan primer dan hutan sekunder akibat aktivitas manusia. Perladangan di sepanjang Sungai Bungan akan memperlihatkan kegiatan masyarakat dalam memanfaatkan lahan untuk perladangan dengan sistem gilir balik. Sistem perladangan ini tidak lagi membuka lahan pada hutan primer, tetapi memanfaatkan hutan sekunder tua bekas perladangan dengan rotasi yang telah
disepakati secara adat. Adanya rotasi pembukaan lahan perladangan tersebut dapat mengurangi degradasi hutan primer wilayah ini, sehingga ruang perladangan masyarakat di wilayah ini dapat ditetapkan secara permanent. Tema interpretasi pada atraksi ini adalah kearifan lokal, wisatawan akan mendapat informasi dan pemahaman tentang kegiatan masyarakat setempat yang masih memiliki kearifan untuk mengelola alam dangan tetap menjaga kepentingan ekologis di samping kebutuhan ekonomi. Sketsa Jalur Interpretasi terlihat pada lampiran 12.
5. 3. Penilaian dengan Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam Berdasarkan data jenis objek dan hasil penilaian dengan menggunakan Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam, diperoleh hasil sebagaimana tertera dalam tabel 7.
Tabel 7. Rekapitulasi nilai identifikasi jenis dan penilaian objek dan daya tarik wisata alam Wilayah Seksi Bungan No
Bentuk Objek
Lokasi
Nilai
Bobot
Nilai x Bobot
Nilai Maks
Kategori
1.
Sungai
Sungai Kapuas Sungai Bungan
175 155
6 6
1050 930
1080 1080
Sangat baik Sangat baik
2.
Darat
Jalur Tracking Desa Tanjung Lokang – Gunung Muller (Lintas Borneo)
190
6
1140
1440
Sangat baik
3.
Gua
Diang Kaung Diang Balu Diang Tahapun
145 135 150
6 6 6
870 810 900
1080 1080 1080
Sangat baik Sangat baik Sangat baik
4.
Jeram
Sungai Kapuas
175
6
1050
1080
Sangat baik
Sumber : Penilaian objek melalui survai lapangan
5.3.1. Objek Berbentuk Sungai Berdasarkan sejarah penunjukan kawasan Betung Kerihun menjadi kawasan lindung, fungsi hidrologis kawasan menjadi alasan utama. Hal ini
dikarenakan Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia (1.321 Km) melintasi kawasan TNBK hingga puncaknya di Gunung Cemaru yang bagian paling timur. Sungai kapuas memiliki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat Kalimantan Barat yaitu fungsi sosial, terutama untuk ketersedian air bagi kehidupan sehari-hari masyarakat, fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis ikan air tawar dan fungsi ekonomi sebagai jalur perdagangan penting bagi masyarakat Kalimantan Barat. Sedangkan fungsi wisata Sungai Kapuas belum dimanfaatkan secara maksimal. Bagian perhuluan Sungai Kapuas memiliki potensi
besar untuk
dikembangkan sebagai objek wisata. Selain predikat sebagai sungai terpandang di Indonesia, hulu Sungai kapuas juga diuntungkan karena letaknya berada di tengah-tengah Pulau Kalimantan (Heart of Borneo) dan latar belakang sungai berupa hutan hujan tropis (Tropical Rain Forest) yang masih lebat. Berdasarkan keadaan-keadaan tersebut, pemanfaatan Sungai Kapuas sebagai objek wisata akan memiliki daya tarik khusus. Khusus untuk Sungai Kapuas dan Sungai Bungan yang digunakan sebagai jalur transportasi masuk kawasan Wilayah Seksi Bungan, memiliki potensi berupa jeram-jeram yang bisa dilewati Perahu Tempel (Long Boat) maupun dengan Perahu Karet. Kondisi arus sungai semakin ke hulu semakin deras dan disertai jeram-jeram besar di beberapa titik,
menjadi daya tarik utama untuk
mengembangkan wilayah tersebut sebagai destinasi Paket Penjelajahan Sungai (White Water Cruise). Berdasarkan penilaian dengan Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam, nilai dari objek sepanjang Sungai Kapuas yang berada dalam kawasan TNBK adalah 1050 sedangkan nilai maksimum adalah 1080. Dari data hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa Sungai Kapuas memiliki nilai yang hampir maksimum. Tabulasi hasil penilaian elemen-elemen objek tersebut dapat dilihat pada lampiran 1. Adanya ladang-ladang masyarakat pada sisi kiri dan kanan pinggir sungai pada jalur yang dilewati wisatawan menikmati atraksi penjelajahan sungai membuat sebagian lahan ditumbuhi semak belukar dan permudaan. keberadaan
permudaan alam pada areal bekas-bekas ladang membuat sebagian jalur yang dilalui kehilangan keasliannya, terutama di sekitar perkampungan. Desa Bungan yang merupakan desa terakhir di hulu Sungai Kapuas, berada di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Guna memenuhi kehidupan sehari-hari, masyarakatnya memanfaatkan sumber daya alam sekitar pemukiman mereka, seperti memungut hasil hutan, berburu, berladang dan mencari ikan. Pemanfaatan lahan hutan menjadi areal perladangan tanah kering yang dibuat di sepanjang kiri dan kanan sungai hingga ke puncak-puncak bukit. Hal ini dilakukan masyarakat secara berpindah setiap tahun. Namun perpindahan areal perladangan dan letak perladangan setiap tahun harus ada kesepakatan secara adat oleh masyarakat Desa Bungan, batas-batas perpindahan tersebut sudah mereka sepakati secara adat. Sehingga batas areal perladangan yang mereka buat dapat diketahui secara permanen dan tidak ada lagi perladangan yang dibuat di hutan primer. Keberadaan areal perladangan tersebut dapat dilihat pada gambar 7.
Ladang/Bekas Ladang
Gambar 7. Areal perladangan di sekitar Sungai Kapuas dan Sungai Bungan
Elemen-elemen lain yang menjadi penilaian untuk objek Sungai Kapuas seluruhnya mendapat nilai tertinggi seperti keragaman aktifitas wisata yang bisa dilakukan, keragaman riam-riam yang dilewati, keragaman panorama sepanjang sungai, lama pengarungan dan variasi kegiatan selain pengarungan sungai. Dengan demikian berdasarkan Kriteria Standar Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam, Sungai Kapuas sangat potensial sebagai objek wisata.
Gambar 8. Panorama hutan primer di sisi kiri dan kanan Sungai Kapuas
Sedangkan penilaian terhadap objek Sungai Bungan diperoleh nilai 930 dan batas nilai maksimumnya adalah 1080. Hal ini dikarenakan sepanjang jalur Sungai Bungan antara Desa Nanga Bungan dan Desa Tanjung Lokang telah dibagi oleh masyarakat kedua desa sebagai areal perladangan, sehingga sudah tidak ada hutan primer yang terlihat dari pinggir
sungai sampai puncak-puncak bukit.
Selain itu riam yang dilewati lebih sedikit dibanding Sungai Kapuas. Di sepanjang jalur Sungai Bungan hanya dijumpai tiga variasi arus yaitu Under Cut (patahan),
Standing Wave (berombak) dan Flat (datar berarus). Semakin beragam bentuk arus tersebut tentunya akan meningkatkan perolehan nilai dari objek. Nilai positif yang dapat diperoleh dari objek Sungai Bungan adalah sebagai pembanding dari Sungai Kapuas, antara panorama sungai yang masih relatif asli dengan panorama sungai yang sudah mengalami perubahan akibat aktifitas manusia. Selain itu aktifitas masyarakat berladang sepanjang Sungai Bungan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang melewati jalur ini sehingga muncul variasi pemandangan selain berupa hutan primer. Secara keseluruhan objek Sungai Kapuas dan Sungai Bungan memiliki elemen-elemen objek yang potensial dikembangkan sebagai tujuan wisata. Hal ini berdasarkan penilaian dengan Kriteria Standar ODTW sebagian besar elemen objek memiliki nilai maksimum, penilaian tersebut terlihat pada lampiran 1.
Gambar 9. Panorama hutan sekunder bekas perladangan masyarakat di sisi kiri dan kanan Sungai Bungan 5.3.2. Objek Berbentuk Darat Jalur masuk kawasan Taman Nasional Betung Kerihun seluruhnya berupa jalur sungai, namun setelah mencapai kawasan beberapa elemen objek harus
dicapai melalui darat sehingga penilaian dengan Kriteria Standar ODTW yang dilakukan dengan daftar penilaian objek berbentuk darat. Jalur tracking dari Desa Tanjung Lokang hingga ke Batas Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, yang menjadi rute perjalanan Paket Wisata Lintas Borneo. Paket wisata tersebut sudah lebih dahulu berjalan sebelum ditetapkannya kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, sejak tahun 1994 paket ini sudah secara intensif dilakukan oleh biro-biro perjalanan dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
Namun pengelolaan potensi
tersebut belum
dilakukan oleh pihak pengelola kawasan. Penilaian dengan Standart ODTW akan menjadi bahan masukan bagi pihak pengelola dan mitra-mitranya yang bergerak di bidang wisata agar seluruh elemen objek yang ada sepanjang rute perjalanan Lintas Borneo khususnya yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dapat dimanfaatkan optimal. Berdasarkan daftar nilai Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (lampiran 1),
diperoleh jumlah hasil penilaian objek sebesar 1140
sedangkan nilai maksimum yang dapat diberoleh adalah 1440. Hasil penilaian yang tidak mencapai maksimum ini dikarenakan beberapa elemen objek mengalami perubahan keaslian akibat adanya areal perladangan, vandalisme pada beberapa elemen objek dan beberapa elemen objek sangat sensitif terhadap kehadiran pengunjung terutama satwa liar. Gunung Muller yang menjadi batas Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur merupakan habitat dari Kelempiau (Hylobahes mullerii). Sehingga keberadaan elemen objek ini harus memperhatikan nilai sensitifitas tersebut. Selain itu faktor kebersihan juga harus mendapat perhatian pengelola kawasan terutama yang berdekatan dengan perkampungan. Faktor kerawanan kawasan terhadap kebakaran, perambahan dan gangguan flora fauna juga menjadi elemen penting dalam penilaian tersebut, adanya pemukiman masyarakat di dalam kawasan ini menjadi ancaman utama terhadap faktor kerawanan terhadap sumber daya alam tersebut. Secara keseluruhan elemen-elemen objek yang dinilai dengan Kriteria Standar ODTW sebagian besar mendapat nilai maksimum, sehingga masih sangat potensial sebagai objek unggulan kawasan ini.
Paket Lintas Borneo (Cross
Borneo) sudah
cukup dikenal oleh para penggemar kegiatan petualangan
mancanegara, sebagai tujuan petualangan baru selain pendakian 7 (tujuh) puncak dunia (Seven Summit) atau pendakian puncak Cincin Gunung Api (Ring of Fire). Sehingga membutuhkan peran berbagai pihak yang terkait dengan pengembangan wisata wilayah ini untuk lebih mengenalkan atraksi ini kepada masyarakat luas. Pengembangan program interpretasi lingkungan pada atraksi ini akan memberikan nilai lebih kepada wisatawan berupa pengetahuan tentang fungsi hutan. Sehingga wisatawan tidak hanya sekedar melintasi jalur petualangan tetapi juga memperoleh pengetahuan dengan melihat berbagai objek yang dilewati.
Gambar 10. Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat – Kalimantan Timur (Batas kawasan TNBK) titik puncak perjalanan Lintas Borneo 5.3.3. Objek Berbentuk Gua Salah satu kekhasan wilayah timur kawasan Taman Nasional Betung Kerihun adalah adanya formasi batuan kapur (formasi kars). Gua-gua tersebut sebagian besar merupakan habitat Burung Walet Hitam (Collocalia sp), yang dikelola oleh masyarakat sekitar untuk dikomersilkan sarangnya.
Gua-gua kapur yang terletak di tengah-tengah rimbunnya hutan Kalimantan tersebut
terdapat 3 (tiga) gua memiliki peninggalan prasejarah. Gua Diang
Kaung, Gua Diang Balu dan Gua Diang Tahapun . Berdasarkan peninggalan prasejarah yang ada di dalamnya, memperlihatkan bahwa gua-gua tersebut pernah dihuni oleh manusi prasejarah. Beberapa tulisan pada dinding gua berbentuk simbol-simbol alam menjalaskan situasi kehidupan manusia prasejarah pada zamannya. Pada gua Diang Kaung ditemukan tulisan-tulisan purbakala di langit-langit gua dan beberapa manik-manik batu (permata) di temukan
di lantai gua.
Sedangkan Diang Balu terdapat beberapa tulisan purbakala pada langit-langit gua dan benda-benda menyerupai meja dan kursi dari batu. Pada gua Diang Tahapun ditemukan perbedaan dari kedua gua tersebut di atas, adanya tulang belulang manusia di dalam gua dan beberapa Tempayan Keramik membuktikan bahwa tempat ini menjadi lokasi pemakaman oleh manusia zaman dahulu. Namun dari bukti benda-benda di dalam gua ini berupa tempayan keramik dengan ornamenornamen yang sudah lebih modern, membuktikan bahwa peninggalan tersebut dari zaman yang berbeda dari kedua gua diatas yaitu Diang Kaung dan Diang Balu. Jauh sebelum suku dayak menghuni Pulau Kalimantan, Gua Diang Kaung telah digunakan sebagai tempat tinggal oleh manusia prasejarah. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya jumlah lukisan gua dan artefak purba yang ditemukan di lokasi tersebut. Indikasi lain yang menunjukkan bahwa Diang Kaung merupakan tempat tinggal manusia prasejarah adalah (a) mudah dicapai, (b) dekat dengan anak sungai atau sumber air lainnya, (c) tidak jauh dari tempat mereka mencari makan, (d) dekat dengan sumber bahan peralatan, (e) memiliki ruang yang cukup besar dengan permukaan tanah yang rata, sirkulasi udara baik, cukup terang, tidak terlalu lembab, sekaligus mudah dalam melakukan pengintaian terhadap pergerakan binatang maupun musuh (Himakova IPB, 2005). Dengan demikian bahwa gua-gua tersebut telah di huni oleh manusia jauh sebelum peradaban modern seperti sekarang ini. Pontensi tersebut tentu menjadi daya tarik tersendiri sebagai rute perjalanan wisata gua prasejarah untuk mengungkap dan mempelajari sejarah kehidupan manusia.
Berdasarkan penilaian dengan Kriteria Standar Objek dan Daya Tarik Wisata Alam terhadap 3 (tiga) gua tersebut, diperoleh hasil penilaian 870 untuk Diang Kaung, 810 untuk Diang Balu dan 900 untuk Diang Tahapun. Nilai maksimum yang dapat diperoleh jika setiap elemen penilaian mendapat angka tertinggi adalah 1080. Hasil nilai yang tidak mencapai nilai maksimal ketiga gua tersebut dikarenakan beberapa elemen gua sudah tidak asli lagi akibat perbuatan manusia. Hal ini karena gua-gua sekitar objek menjadi habitat Burung Walet yang dikelola penduduk aktifitas manusia di sekitarnya juga mengancam keutuhan objek. Diantaranya dengan membuat coretan pada dinding gua (vandalisme) sehingga nilai keaslian gua tersebut menjadi berkurang. Selain itu akibat kebakaran hutan pada tahun 1997, menyebabkan vegetasi di sekitar gua ikut terbakar sehingga menggangu proses ekologis di lingkungan gua, akibatnya proses pembentukan ornamen gua terhenti sehingga ornamen-ornemen tersebut mengering. Bentukbentuk kerusakan gua ini akan menjadi masukan bagi pengelola kawasan untuk mempertahankan keaslian objek tersebut.
Gambar 11. Gua Diang Kaung terdapat tulisan prasejarah
Gambar 12.Tempayan Keramik di dalam Gua Tahapun
Gambar
Gambar 13.Peti jenazah di dalam Gua Tahapun
14. Tulisan prasejarah di langit-langit gua Diang Balu dapat mengungkap sejarah kehidupan manusia masa lalu
5.3.4. Objek Berbentuk Jeram Bentuk aktifitas wisata petualangan yang lain yang potensial dikembangkan di Wilayah Seksi Bungan adalah Arung Jeram. Sejumlah jeram dengan tingkat kesulitan (grade) antar II – V+ dapat ditemukan di wilayah ini. Panjang sungai yang memungkinkan untuk pengembangan aktifitas petualangan ini adalah sepanjang
27,10 Km dan terbagi menjadi tiga trip (tiga hari) pengarungan.
Dimulai dari Riam Matahari hingga ke Riam Bangbe sepanjang
15,57 Km
menjadi trip pertama pengarungan, trip ke dua dari Riam Bang Be hingga ke Desa Nanga Bungan dengan panjang pengarungan 6,29 Km dan trip ketiga Dari Desa Nanga Bungan ke titik akhir Riam Batu Lintang sepanjang 5,24 Km (Scouting Tim, 2003). Sepanjang rute pengarungan Sungai Kapuas terdapat beberapa buah riam yang dilewati, seperti terlihat pada tabel 8. Tabel 8. Potensi objek berbentuk jeram di hulu Sungai Kapuas No.
Stasiun
1 3 4 5 7 8 10 11
I-II II-III III – IV IV – V V – VI VI – VII VII – VIII VIII – IX
Waktu (dtk)
Grade
7 30 10 20 10 40 20 25
5 2+ 3 3 3+ 2 2 2+
Beda Tinggi (m) 4 1 2 2,5 1.5 1 1,5 1,5
Panjang Jeram (m) 30 60 40 50 30 45 40 40
Lebar (m) 30 25 15 15 20 15 35 40
Nama Jeram Matahari Mokotori Pelangan Pulas Bang Be Menuhut Apin Batu Lintang
Sumber : Scouting Tim Jogjakarta (2003)
Berdasarkan penilaian dengan Kriteria Standar ODTW terhadap objek berbentuk jeram di hulu Sungai Kapuas tersebut diperoleh nilai sebesar 1050 sedangkan nilai maksimum yang bisa deperoleh adalah 1080. Angka tersebut menunjukkan bahwa hasil penilaian mendekati angka maksimum.
Gambar 15. Mengarungi jeram di hulu sungai terpanjang di Indonesia, menjadi daya tarik utama untuk menghadirkan wisatawan
Dengan demikian nilai untuk masing-masing elemen yang diukur pada objek tersebut hampir seluruhnya mendapat nilai tertinggi. Hanya ada satu elemen objek yaitu kondisi air sungai yang sewaktu-waktu keruh di saat setelah terjadinya hujan, sehingga elemen ini tidak mendapatkan nilai tertinggi. Hal ini dapat terjadi karena adanya pembukaan lahan oleh masyarakat untuk perladangan pada daerah sekitar perkampungan. Sehingga permukaan tanah yang terbuka tercuci oleh air hujan dan mengalir ke sungai. Berdasarkan penilaian tersebut, secara keseluruhan Sungai Kapuas sebagai objek arung jeram sangat potensial untuk dikembangkan.
5.4. Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat Keberadaan 2 (dua) desa di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun khususnya di wilayah pemangkuan Seksi Bungan, menjadi salah satu kesulitan dalam penataan zonasi kawasan. Hal ini dikarenakan pihak pengelola kawasan harus mengakomodir ruang sosial masyarakat yang bermukim di desa tersebut didalam penetapan zonasi. Desa Bungan berada di daerah paling hulu sungai Kapuas. Sedangkan Desa Tanjung Lokang berada di daerah paling hulu Sungai Bungan yang merupakan anak Sungai Kapuas. Ruang-ruang yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa tersebut terutama ruang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti berladang, berburu, menangkap ikan dan memungut hasil hutan. Lokasi desa di dalam Wilayah Seksi Bungan tersebut dapat dilihat pada gambar 16.
Gambar 16. Desa Bungan dan Desa Tanjung Lokang yang berada dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun
5.4.1. Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat Desa Bungan Seperti pada umumnya masyarakat pedalaman yang tinggal di sekitar hutan, masyarakat Desa Nanga Bungan memiliki ketergantungan yang sangat kuat dengan sumber daya hutan. Ketergantungan ini terjadi karena sulitnya akses untuk mencapai sentra-sentra ekonomi dari wilayah permukiman mereka dan didukung oleh masih tersedianya sumber daya alam dari dalam hutan.
Masyarakat
memanfaatkan areal hutan untuk berladang, berburu, menangkap ikan dan memungut hasil hutan. Kegiatan masyarakat tersebut dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Pemanfaatan
Ruang
Masyarakat Desa Nanga Bungan di Kawasan
Taman Nasional Betung Kerihun No
Pemanfaatan Ruang
Batas Lokasi
Keterangan
1
Perladangan
Riam Batu Lintang Riam Bang Be (S.Kapuas) Desa Bungan – Riam Bakang (S. Bungan)
Lebar ladang hingga ke Puncak-puncak bukit di Kiri – kanan Sungai Kapuas
2
Menangkap Ikan
Riam Batu Lintang Riam Matahari (S. Kapuas) Nanga Bungan – Riam Bakang (S. Bungan)
Lebar sungai ± 50 m
3
Berburu
Sepan Suwa Hara Sepan Meloloi Sepan (S. Tesapan)
Anak Sungai Kapuas Sungai Pono Anak Sungai Kapuas
4
Mengumpulkan hasil Hutan
Hingga ke puncak-puncak bukit di kiri dan kanan sungai
5
Permukiman Desa Bungan
Sepanjang Sungai Kapuas Antara Riam Batu Lintang Riam Matahari – Riam Bakang Persimpangan Sungai Kapuas – Sungai Bungan
Desa Bungan terbagi dua di sisi kiri dan kanan Sungai Kapuas
Sumber : Hasil pendataan di lapangan (2007)
Perladangan yang dibuat masyarakat Desa Nanga Bungan berada di sisi kiri dan kanan Sungai Kapuas dan Sungai Bungan yang merupakan anak Sungai Kapuas. Hal ini terjadi karena masyarakat Desa Bungan memanfaatkan jalur
sungai sebagai jalur transportasi satu-satunya yang ada, sehingga dalam pemanfaatan lahan selalu berpatokan pada sungai dan anak sungai. Sedangkan batas lebar ladang adalah puncak-puncak bukit yang berada di kiri dan kanan sungai. Berdasarkan analisis spasial tutupan lahan Wilayah Seksi Bungan lebar perladangan dari sisi kiri atau kanan sungai rata-rata maksimum 1000 m dan berdasarkan analisis spasial topografi wilayah perladangan tersebut,
puncak-
puncak bukit yang menjadi areal perladangan rata-rata berjarak 1000 m (1 km) dari pinggir sungai. Pertimbangan pemilihan batas maksimum perladangan hingga ke puncak bukit adalah untuk mempermudah pengawasan areal ladang terhadap serangan hama dari jalur sungai. Hal tersebut menjadi dasar dalam penentuan luas buffer yang digunakan dalam analisis spasial, yaitu 1000 m. Sedangkan batas awal dan akhir areal perladangan masyarakat Desa Bungan tersebut menggunakan batas-batas alam seperti riam/jeram atau anak sungai. Batas-batas tersebut sudah disepakati melalui musyawarah adat oleh seluruh masyarakat Desa Nanga Bungan. Batas awal perladangan Desa Nanga Bungan adalah dari Riam Batu Lintang hingga ke Riam Bang Be di jalur Sungai Kapuas dan Desa Nanga Bungan hingga Riam Bakang untuk jalur Sungai Bungan. Ladang-ladang masyarakat tersebut ditanami padi tahunan dan diselingi jenis-jenis sayuran. Sistem perladangan yang mereka lakukan adalah sistem gilir balik, yaitu perpindahan ladang setiap tahun bisa dilakukan sampai batas-batas alam yang sudah ditentukan melalui kesepakatan adat tersebut, dan dapat kembali ke areal ladang yang telah ditinggalkan.
Kegiatan perladangan dimulai dengan penebangan pohon,
pembakaran, penanaman dan pemeliharaan. Bekas-bekas perladangan tersebut membentuk formasi hutan sekunder yang permanen. Letak ladang dan musim mulai berladang setiap tahunnya juga disepakati melalui musyawarah adat. Dengan demikian batas ruang perladangan untuk masyarakat Desa Nanga Bungan terbentuk secara permanen menggunakan batas-batas alam yang sudah disepakati bersama oleh masyarakat setempat. Lokasi ladang-ladang tersebut tidak akan meluas melewati batas kesepakatan masyarakat yang telah terbentuk karena
sistem perladangan digunakan oleh masyarakat adalah sistem gilir balik dengan tidak membuka lahan pada hutan primer atau lahan baru. Menurut Atok (1998), bahwa
ladang gilir balik adalah pengganti sebutan ladang berpindah. Istilah
ladang berpindah dinilai tidak mencerminkan hal yang sebenarnya di lapangan. Masyarakat adat Dayak di Kalimantan tidak berpindah semau-maunya, tetapi berpindah pada tanah yang di masing-masing dusun secara adat dialokasikan untuk perladangan. Hal itu dilakukan untuk memberi kesempatan kepada tanah untuk subur kembali. Pola demikian mencerminkan masyarakat Dayak arif terhadap lingkungan hidup. Sedangkan pemanfaatan ruang untuk kegiatan mengumpulkan hasil hutan seperti Rotan, Kulit Kayu, Daun Pandan dan buah-buahan hutan, hampir sama bentuknya dengan ruang perladangan, yaitu dengan memanfaatkan jalur sungai sebagai jalur transportasi. Ruang yang dimanfaatkan hingga ke puncak-puncak bukit di kiri dan kanan sungai. Ruang kegiatan tersebut secara tak langsung dibatasi oleh alam karena adanya jeram/riam besar yang sulit dilewati oleh perahu tempel yang menjadi sarana trasportasi utama masyarakat setempat. Riam yang membatasi ruang tersebut adalah Riam Batu Lintang hingga Riam Matahari untuk jalur Sungai Kapuas dan Desa Nanga Bungan hingga ke Riam Bakang untuk jalur Sungai Bungan. Faktor alam, biaya, tenaga dan waktu menjadi pembatas ruang masyarakat Desa Nanga Bungan untuk memanfaatkan hasil hutan di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Untuk melewati riam/jeram besar seperti Riam Matahari yang menjadi batas ruang dibutuhkan waktu 1 (satu) jam dan juga sangat menguras tenaga seluruh penumpang perahu untuk menarik perahu ke darat agar dapat melewati riam tersebut. Harga bahan bakar minyak yang sangat tinggi (Bensin Rp. 10.000,-/liter) juga membatasi ruang gerak masyarakat Nanga Bungan untuk memanfaatkan hasil hutan sehingga masyarakat setempat menghindari melewati riam-riam besar yang membutuhkan banyak bahan bakar untuk melewatinya. Riam-riam yang sulit dilewati perahu juga menjadi faktor pembatas Masyarakat Nanga Bungan dalam memanfaatkan sungai untuk menangkap ikan.
Setiap hari selalu ada saja anggota masyarakat yang menangkap ikan dengan jala, pukat atau pancing. Mereka menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa ada kegiatan komersialisasi seperti menjual secara langsung atau mengolah jadi bahan makanan lain. Sehingga eksploitasi ikan di ruang yang dimanfaatkan oleh masyarakat sehari-hari tidak terjadi. Batas ruang yang dimanfaatkan sangat kecil, karena hanya menggunakan jalur sungai dari Riam Bakang sampai Riam Matahari untuk jalur Sungai Kapuas dan Desa Nanga Bungan hingga ke Riam Bakang untuk jalur Sungai Bungan serta muara anakanak sungai dari kedua sungai utama tersebut. Kegiatan berburu binatang yang umum dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan juga dilakukan oleh masyarkat Desa Nanga Bungan. Namun ruang yang mereka manfaatkan juga sangat kecil dan lokasinya sudah permanen. Dengan adanya lokasi-lokasi sumber air asin dari dalam tanah yang menjadi lokasi berbagai jenis satwa untuk minum, menjadi lokasi berburuh binatang yang permanen oleh masyarakat setempat. Jenis binatang yang mereka buru hanya jenis Babi Hutan (Sus barbatus) sedangkan mamalia lainnya tidak akan terganggu. Tiga buah sumber air asin dalam bahasa setempat disebut Sepan,menjadi titik lokasi berburu utama oleh masyarakat setempat, yaitu Sepan Suwa Hara, Sepan Tesapan di Sungai Kapuas dan Sepan Mololoi di Sungai Pono yang merupakan anak Sungai Bungan. Namun tidak tertutup kemungkinan perburuan dilakukan pada lokasi-lokasi perladangan yang sering dirusak
oleh binatang
buruan terutama jenis Babi Hutan. Kebiasaan
masyarakat
setempat
yang
lebih
menyenangi
untuk
mengkonsumsi jenis Babi Hutan (Sus barbatus) membuat jenis-jenis mamalia lain terutama yang dilindungi undang-undang seperti Rusa (Cervus sp), Kijang (Muntiacus muncak) dan kancil (Tragulus napu) tidak terancam keberadaannya. Belum adanya prilaku komersialisasi untuk hasil buruan antar masyarakat Desa Bungan juga tidak akan mendorong eksploitasi satwa buruan, hususnya jensi Babi Hutan. Dengan demikian ruang yang mereka manfaatkan untuk berburu juga dapat tetap permanen, tanpa ada desakan untuk memperluas lokasi berburu (Ngo, 1998).
Letak
permukiman
yang
mereka
bangun
sudah
permanen
yaitu
dipersimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Bungan dan dibuat di 2 (dua) sisi sungai yaitu kiri dan kanan Sungai Kapuas hingga ke sisi kiri Sungai Bungan. Jumlah penduduk Desa Nanga Bungan sebanyak 65 (enampuluh lima ) kepala keluarga dengan jumlah jiwa sebanyak 282 orang (BTNBK, 2006). Batas-batas ruang aktifitas sehari-hari masyarakat Nanga Bungan di luar dan di dalam kawasan Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dapat dilihat pada gambar 17.
5.4.2. Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat Desa Tanjung Lokang Pola hidup masyarkat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang tidak jauh berbeda, mereka tetap menggantungkan hidup sehari-hari dari sumber daya alam dari hutan. Aktifitas seperti berladang, berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan hasil hutan tetap mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kedua desa tersebut juga dihuni masyarakat dari sub etnik suku Dayak yang sama yaitu Punan Hovongan. Mereka juga memiliki kekerabatan yang kuat dengan suku Dayak di pedalaman Sungai Mahakam di Kalimantan Timur, sehingga mereka membuat jalan setapak tradisional untuk menghubungkan wilayah Hulu Kapuas dan Hulu Mahakam. Kedekatan kekerabatan tersebut membuat penduduk kedua wilayah dapat saling mengunjungi melalui jalan setapak tradisional tersebut. Keberadaan gua kapur yang menjadi habitat Burung Walet Hitam (Collocalia maxima) membedakan aktivitas masyarakat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang. Para pemilik gua yang merupakan penemu pertama lokasi gua mempekerjakan beberapa orang penduduk untuk menjaga dan melakukan proses pemanenan Sarang Burung Walet. Kegiatan-kegiatan masarakat Desa Tanjung Lokang tersebut dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10. Pemanfaatan Ruang Aktifitas Sehari-hari Masyarakat Desa Tanjung Lokang di Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun No
Pemanfaatan Ruang
Batas Lokasi
Keterangan
1
Perladangan
Riam Bakang – Goa Diang Kaung (S. Bungan)
Lebar ladang hingga ke Puncak-puncak bukit di Kiri – kanan Sungai Kapuas
2
Menangkap ikan
Riam Bakang – S. Bulit
Lebar sungai ± 50 m
Gua-gua kapur sepanjang Sungai Bungan dan Sungai Bulit
56 gua dan 27 gua terdapat sarang burung walet
3
Mengumpulkan Sarang burung walet
4
Berburu
Sepan Haruroi Sepan Deren Sepan Berakan
Anak Sungai Bungan Anak Sungai Bungan Anak Sungai Bungan
5
Mengumpulkan hasil hutan
Riam Bakang Berakan
Hingga ke puncak-puncak bukit di kiri dan kanan sungai
6
Permukiman Desa Tanjung Lokang
Hulu Sungai Bungan
Sisi Kanan Sungai Bungan
Sumber : Hasil pendataan di lapangan (2007)
Lokasi ladang masyarakat Desa Tanjung Lokang telah disepakati secara adat dengan masayrakat setempat dan masyarakat Desa Nanga Bungan, yaitu mulai dari Riam Bakang di Sungai Bungan dan Diang Kaung di Sungai Bulit. Sedangkan lebar ladang hingga ke puncak-puncak bukit di sebelah kiri dan kanan Sungai Bungan dan Sungai Bulit. Jenis yang ditanam oleh penduduk Desa Tanjung Lokang umumnya sama dengan masyarakat desa lainnya di Kalimantan, yaitu Padi tahunan dan diselingi dengan sayuran untuk kebutuhan sehari-hari. Hasil panen yang diperoleh tidak dikomersialisasikan karena hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sepanjang tahun. Sistem perladangan yang dilakukan juga dengan sistem gilir balik, dengan batas-batas alam dan musim berladang yang sudah permanen dan disepakati secara adat. Adanya kesepakatan
lokasi berladang dan kebiasaan hasil panen hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tampa ada keinginan untuk mengeksploitasi lahan hutan. Lokasi mencari ikan bagi masyarakat Desa Tanjung lokang, hanya memanfaatkan sungai Bungan dan Sungai Bulit dengan Batas dari Riam Bakang yang menjadi titik batas yang mereka sepakati dengan Desa Nanga Bungan hingga ke Sungai Bulit. Tidak adanya usaha komersialisasi dan adanya pelarangan menyetrum ikan serta menggunakan racun dalam menangkap ikan, menyebabkan tidak ada upaya eksploitasi sehingga ruang yang mereka manfaatkan juga tidak akan berkembang jauh dari perkampungan. Keberadaan gua-gua kapur yang menjadi habitat Burung Walet (Collocalia maxima) di wilayah Desa Tanjung Lokang telah dimanfaatkan secara komersial oleh masyarakat desa tersebut. Para penemu pertama lokasi gua secara bergiliran mengelola gua untuk dipanen hasilnya. Dari 56 (limapuluh enam) buah gua yang terdapat di seluruh perbukitan kapur di daerah ini, 27 (duapuluh tujuh) buah gua menjadi habitat Burung Walet. Setiap gua sudah dijadikan hak milik oleh masingmasing penemu pertama sehingga bisa dikelola sendiri ataupun diperjual belikan kepada pihak lain dalam jangka waktu tertentu. Adanya kegiatan komersialisasi ini menyebabkan hasilnya menurun setiap tahun, dan gua-gua yang dieksploitasi sudah mengalami kerusakan berat, karena sebagian ornamen gua telah rusak dan tulisan-tulisan (vandalisme) telah merubah nilai alami dinding-dinding gua. Adanya usaha komersialisasi Sarang Burung Walet ini tentu tidak akan memperluas ruang pemanfaatan, namun akan semakin memperkecil ruang tersebut. Seperti halnya masyarakat Desa Nanga Bungan, di kebiasaan masyarakat Desa Tanjung Lokang dalam kegiatan berburu binatang juga sama. Mereka memanfaatkan sumur-sumur air asin (Sepan) untuk lokasi berburu. Karena pada waktu-waktu tertentu dan sudah mereka (pemburu) ketahui, satwa-satwa liar tersebut berkumpul minum air asin yang keluar dari dalam tanah tersebut. Lokasi pereburuan mereka adalah Sepan Haruroi yang merupakan anak Sungai Bungan, Sepan Deren yang letaknya 30 (tiga puluh) menit perjalanan dari Desa Tanjung Lokang dan Sepan Berakan yang terletak di hulu Sungai Bungan. Tidak adanya
upaya komersialisasi kegiatan ini dan jenis yang diburu juga terbatas hanya jenis Babi Hutan, tidak akan menimbulkan kekhawatiran upaya-upaya konservasi jenis di wilayah ini. Pola kehidupan tradisonal memanfaatkan hasil hutan untuk pemenuhan hidup sehari-hari juga dilakukan oleh masyarakat Desa Tanjung Lokang. Mereka mengumpukan Rotan, Kulit Kayu dan Buah-buahan hutan. Namun kegiatan ini hanya bersifat selingan diantara kegiatan berladang dan berburu. Hasil hutan yang utama yang mereka kumpulkan umumnya bahan kerajinan tangan, seperti Rotan dan Daun Pandan untuk membuat tikar, dan berbagai bentuk keranjang. Batas ruang kegiatan pengumpulan hasil hutan ini mengikuti batas ruang berladang dan berburu yaitu dari Riam Bakang hingga ke Berakan. Desa Tanjung Lokang dibuat hanya satu sisi yaitu sisi kanan Sungai Bungan, dibuat memanjang mengikuti alur sungai, hal ini dilakukan karena sungai menjadi jalur transportasi utama untuk mobilitas penduduk dalam beraktifitas sehari-hari. Saat ini terdapat 52 (limapuluh dua) buah rumah permanen, 1(satu) rumah adat, 1 (satu) bangunan Sekolah Dasar, 1 (satu) bangunan Puskesmas dan 1 (satu) bangunan Ekolodge. Pada musim pembukaan lahan perladangan, hampir semua penduduk bermalam di pondok-pondok ladang dan akan kembali ke kampung setelah kegiatan penanaman. Jumlah penduduk Desa Tanjung Lokang sebanyak 144 kepala keluarga dengan 558 jiwa (BTNBK, 2006). Pola pemanfaatan ruang yang digunakan masyarakat Desa Tanjung Lokang tetap menggunakan ruang koridor sungai sebagai sumbu jalur, karena jalur trasportasi utama hanya melewati sungai, yaitu Sungai Bungan dan Sungai Bulit. Bentuk pemanfaatan ruang dari aktifitas penduduk seperti berladang, berburu, menangkap ikan, mengumpulkan sarang walet dan mengumpulkan hasil hutan dapat dilihat pada gambar 18.
Gambar 17. Peta Pemanfaatan Ruang Aktivitas Masyarakat Desa Nanga Bungan di Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun
Gambar 18. Pemanfaatan Ruang Masyarakat Aktivitas Sehari-hari Masyarakat Desa Tanjung Lokang Di wilayah Seksi Bungan kawasan Taman Nasional Betung Kerihun
5.4.3. Analisis Keruangan Pemanfaatan Ruang Masyarakat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang Berdasarkan hasil
tumpang susun (overlay)
peta tematik pemanfaatan
ruang oleh masyarakat kedua desa yaitu berladang, berburu binatang, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, mengumpulkan sarang burung walet dan dua desa yang menjadi pemukiman permanen penduduk desa tersebut, dapat dibuat batasan pemanfaatan ruang berbentuk poligon. Dasar penetuan ruang hasil overlay tersebut adalah membentuk poligon ruang berdasarkan ruang terluas (ruang paling besar) yang digunakan untuk aktivitas-aktiitas tersebut.
Dari analisis
spasial dengan GIS diperoleh luas ruang seperti terlihat pada tabel 11 dan 12.
Tabel 11. Luas Ruang Aktifitas Masyarakat Desa Nanga Bungan dan Desa Tanjung Lokang No 1
2
Bentuk Ruang Polygon
Identitas Ruang Ruang Aktifitas Masyarakat Desa Nanga Bungan
Polygon
Ruang Aktifitas Masyarakat Desa Tanjung Lokang
Jumalah Sumber : hasil analisis spasial
Luas (Hektar) 7.133
6.235 13.368
Tabel 12. Luas wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun No 1
Bentuk Ruang Polygon
Identitas Ruang Wilayah Seksi Bungan
Luas (Hektar) 356.950
Sumber : hasil analisis spasial
Berdasarkan data hasil analisis spasial diperoleh luas ruanga aktifitas seharihari masyarakat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang adalah 13.368 hektar. Sedangkan luas Wilayah Seksi Bungan adalah 356.950 hektar. Dengan demikian luas ruang aktifitas masyarakat kedua desa tersebut hanya 3,74 % dari luas wilayah seksi Bungan.
Berdasarkan kondisi yang ada (existing) bahwa ada ruang di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun khususnya Wilayah Seksi Bungan yang dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, untuk itu pihak pengelola kawasan harus mengakomudir ruang pemanfaatan tradisonal atau zona khusus sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. Menurut Mackinnon (1993), keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi banyak tergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat disekitarnya. Bila pelestarian dianggap suatu yang positif manfaatnya, penduduk setempat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan itu dari pengembangan yang membahayakan. Hasil overlay seluruh kegiatan pemanfaatan ruang oleh penduduk di 2 (dua) desa
dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dapat dilihat
pada gambar 19. Pengelolaan taman nasional di Indonesia dilakukan dengan sistem zonasi. Kawasan Taman Nasional Komodo
merancang zonasi untuk membiarkan
kegiatan tradisional oleh komunitas lokal, dan pada saat yang bersamaan menjaga lingkungan alam yang paling berharga dan sensitif di kawasan taman nasional, zona-zona tersebut adalah Zona Inti, Zona Rimba dengan Kegiatan Wisata Terbatas, Zona Pemanfaatan Wisata, Zona Pemanfaatan Tradisional, Zona Penelitian dan Pelatihan Khusus, dan Zona Pemanfaatan Tradisional (Erdmann, 2004). Sedangkan di Taman Nasional Bunaken membagi zona kawasan ke dalam bentuk yang lebih sederhana yaitu zona konservasi inti, zona pariwisata dan zona masyarakat (Erdmann et al, 2004). Dari dua kawasan taman nasional di atas, penataan zona wisata dan zona tradisional dibuat secara terpisah, hal ini dikarenakan pemanfaatan potensi kawasan untuk kepentingan tersebut
berbeda ruang. Sedangkan di kawasan
TNBK khususnya Wilayah Seksi Bungan kegiatan pemanfaatan dilakukan pada ruang yang sama untuk aktivitas masyarakat setempat dan kegiatan wisata.
Gambar 19 Pemanfaatan Ruang Aktifitas Masyarakat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang di dalam Wilayah Seksi Bungan
5.5. Potensi Wisata Wilayah Seksi Bungan Sebelum adanya penunjukan kawasan sebagai taman nasional pada tahun 1995, kegiatan wisata alam di dalam kawasan sudah berjalan. Dimulai dengan adanya
wisata Lintas Borneo yang merupakan napak tilas perjalanan peneliti
berkebangsaan Belanda pada tahun 1894, melintasi kalimantan dengan menyusuri Sungai Kapuas hingga ke hulu dan berjalan kaki menembus hutan Kalimantan menyeberangi Pegunungan Muller kemudian menuju ke hilir Sungai Mahakam (Kalimantan Timur) menuju kota Samarinda. Kegiatan tersebut secara intensif dikelola oleh berbagai biro perjalanan sejak tahun 1994, yaitu pada peringatan 100 tahun perjalanan Dr. Niewenhuis melintasi Borneo tersebut. Kegiatan wisata lain yang sudah berjalan adalah penelusuruan gua prasejarah. Adanya lukisan-lukisan purbakala pada dinding gua ternyata menarik minat para pengunjung yang memang memiliki kegemaran bertualang untuk datang ke tempat ini. Wilayah ini juga diuntungkan dengan posisinya yang berada di tengah-tengah pulau Kalimantan (Heart of Borneo) sehingga daya tariknya terhadap pengunjung semakin kuat.
5.5.1. Kegiatan Wisata Lintas Borneo Jalur perjalanan Lintas Borneo ini dimulai dari Kota Putussibau yang menjadi titik kedatangan para wisatawan. Kemudian menggunakan perahu tempel menyusuri Sungai Kapuas hingga ke Desa Nanga Bungan. Hari selanjutnya menyusuri Sungai Bungan hingga ke Desa Tanjung Lokang. Dari desa tersebut dilanjutkan berjalan kaki selama 5 (lima) hari menembus hutan Kalimantan hingga ke Gunung Muller letak perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Kemudian dilanjutkan berjalan kaki hingga ke hulu Sungai Mahakam selama 2 (dua) hari. Sungai Mahakam di telusuri selama 3 (tiga) hari menggunakan perahu motor dan kapal motor hingga ke Kota Samarinda. Berdasarkan penelusuran di internet terdapat 3 (tiga) biro perjalanan Indonesia yang memiliki jaringan kerjasama dengan biro perjalanan internasional menjual kegiatan wisata Lintas Borneo tersebut.
Biro-biro perjalanan yang
menjual paket-paket wisata petualangan tersebut adalah Persada Kusuma Wisata
Palangkaraya, Indonesia Adventure Jakarta dan Indonesia Trekking Jakarta. Bentuk promosi paket wisata yang dijual dalam website oleh biro perjalanan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Sumber: www.adventureindonesia.com
Gambar 20. Promosi Paket Wisata Lintas Borneo Pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata ini hanya memanfaatkan jalur sungai dan jalan setapak tradisional. Namun terkait dengan wisata, objek sepanjang jalur perjalanan harus memiliki daya tarik, memiliki sisi pandang (view) yang menarik, memberikan inspirasi bagi yang melihat serta memberikan aspirasi untuk memelihara dan mengkonservasi. Sehingga ruang yang dibutuhkan akan lebih luas dari jalur yang dilewati. Kondisi topografi yang berbukit-bukit, akan mempermudah menentukan batas ruang yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata Lintas Borneo ini. Letak jalur
perjalanan pada umumnya mengikuti aliran sungai, maka puncak-puncak bukit di sisi kiri dan kanan sungai dapat menjadi batas titik pandang wisatawan yang melintasi jalur tersebut sekaligus menjadi garis batas pemanfaatan ruang kegiatan wisata ini. Adanya pembatasan ruang ini akan memerikan kemudahan kepada pihak pengelola kawasan untuk memberikan perlakuan pengelolaan terhadap ruang tersebut. Jalur perjalanan kegiatan wisata Lintas Borneo dapat dilihat pada lampiran 4.
5.5.2. Kegiatan Wisata Penelusuran Gua Prasejarah Ruang yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata Penelusuran Gua Prasejarah hampir sama dengan Lintas Borneo, yaitu melewati Sungai Kapuas dan Sungai Bungan hingga ke Desa tanjung Lokang. Kemudian dilanjutkan berjalan kaki (tracking) menuju guga-gua kapur yang terdapat di sisi kiri dan kanan Sungai Bulit. Terdapat 3 (tiga) lokasi gua yang memiliki peninggalan prasejarah berupa lukisan goa dan beberapa benda prasejarah, yaitu Gua Diang Kaung, Gua Diang Balu dan Gua Diang Tahapun. Ketiga gua tersebut merupakan bagian dari 56 gua yang terdapat di wilayah ini. Keberadaan ketiga gua tersebut yang berdekatan dengan gua-gua habitat sarang walet membutuhkan perlakuan pengelolaan tersendiri, salah satunya dengan menempatkan ketiga objek tersebut dalam sebuah ruang pemanfaatan. Selain itu sepanjang rute pencapaian lokasi gua juga dibutuhkan pengelolaan objek pendukung lain serta penataan ruang, agar perjalanan panjang mencapai objek tidak menimbulkan kebosanan bagi para wisatawan. Untuk itu pembatasan ruang hingga ke puncak-puncak bukit yang menjadi garis batas pandangan wisatawan yang melewati jalur ini, seperti perlakuan pada jalur wisata Lintas Borneo perlu dilakukan juga. Kegiatan wisata penelusuran gua prasejarah ini tidak seintensif kegiatan wisata Lintas Borneo, namun di tahun beberapa stasiun televisi pernah datang untuk meliput objek tersebut. Stasiun TV 7 melalui acara Jejak Petualang pernah meliput objek ini di tahun 2004, National Geographic pada tahun 2006 dan Trans TV melalui acara Jelajah pada tahun 2007 mengunjungi tempat ini (Balai TNBK,
2006). Jalur perjalanan mencapai objek-objek gua tersebut dapat dilihat pada lampiran 5.
5.5.3. Potensi Kegiatan Wisata Penjelajahan Sungai Pemanfaatan potenis objek berupa jeram-jeram di Sungai Kapuas dan Sungai Bungan dengan latar belakang hutan hujan tropis serta aktifitas tradisional masyarakat sekitar kawasan, dapat digabung dengan atraksi-atraksi budaya. Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang memiliki atraksi seni budaya yang terpelihara dengan baik oleh anggota masyarakatnya. Karena setiap desa memiliki kelompok kesenian yang sering tampil di acara-acara adat mereka. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk melengkapi objek alam yang dapat dinikmati di sepanjang sungai. Ruang yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata ini hanya di jalur sungai, yaitu Sungai Kapuas hingga ke Riam Matahari dan Sungai Bungan hingga ke Desa Tanjung Lokang. Kedua jalur sungai tersebut merupakan gabungan antara kegiatan wisata Lintas Borneo dan kegiatan Wisata Arung Jeram. Adanya tumpang tindih pemanfaatan ruang tersebut tidak akan menambah ruang baru di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Jalur perjalanan kegiatan wisata Penjelajahan Sungai (White Water Cruise) dapat dilihat pada lampiran 6.
5.5.4. Potensi Kegiatan Wisata Arung Jeram Arung jeram sebenarnya perpaduan antara olahraga, rekreasi, petualangan, dan pendidikan. Unsur rekreasi terletak pada usaha mengatasi rasa takut. Selain itu, alam sekitar sungai juga menyuguhkan pemandangan yang lain dengan suasana keseharian bagi orang kota; suasana yang bisa menyegarkan pikiran yang sehari-hari sarat dengan rutinitas. Bermain air sambil menikmati teriknya sinar matahari merupakan sensasi rekreatif lain yang jarang dialami dalam kehidupan sehari-hari (Surono, 2005). Aktifitas wisata ini semakin diminati dikarenakan ada unsur petualangan di dalamnya. Terbukti dengan semakin banyaknya operator wisata arung jeram di Jawa dan Bali. Di Pulau jawa diwakili Operator Arus Liar dan Riam Jeram yang beroperasi di daerah Sukabumi. Di Bali ada operator Sobek
yang beroperasi di Sungai Ayung. Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun khususnya di hulu Sungai Kapuas memiliki jeram-jeram yang potensial untuk di kembangkan atraksi ini. Survei jalur wisata arung jeram di Sungai Kapuas yang dilakukan oleh Scouting Jogjakarta (2003), diperoleh hasil sebagai berikut :
a. Riam Matahari/Bon Maton Lo Jeram dengan tingkat kesulitan/grade 5, dengan beda tinggi sepanjang jeram 4 m, panjang jeram 40 m lebar 30 m. Banyak percepatan arus dengan gelombang besar dan hole beruntun, bila terjatuh/perahu terbalik sangat membahayakan karena lintasan sangat rumit, manuver yang tepat dibutuhkan untuk dapat melaluinya karena terdapat banyak batuan penghalang. Di akhir jeram, terdapat jatuhan (drop) + 3 m hampir selebar perahu posisi tepat ditengah jeram, diantara batu besar seperti gawang. Jeram ini hanya bisa dilewati oleh orang yang sudah berpengalaman dan harus mempunyai keahlian khusus untuk kemampuan rescue. Pengamatan/scouting dengan ketelitian yang tinggi untuk jeram ini sangat diperlukan. b. Riam Mokotori Merupakan jeram yang paling atas atau jeram pertama memasuki rangkaian riam Lapan. Jeram yang mempunyai grade 2 dengan lebar 10 meter dan panjang jeram 15 meter, pada musim kemarau melewati jeram ini tidak akan begitu sulit dibandingkan musim penghujan karena sepanjang lintasan akan dipenuhi oleh standing wave yang terbentuk karena penyempitan dari penampang jeram dan jeram ini relatif landai. c. Riam Pelangan Jeram yang mempunyai panjang sekitar 60 meter dan lebar sekitar 25 meter dengan tingkat kesulitan 2+ yang mempunyai gradien atau beda tinggi 2 meter ini mudah untuk diarungi, karena bentuk lintasan yang lurus dan tidak memerlukan maneuver perahu dan untuk membaca arus cukup berada di atas perahu (read and run) atau cukup kita lakukan apabila kita akan memasuki jeram ini.
d. Riam Pulas/Bon Pulas Pada awal memasuki jeram ini terdapat lidah air pada arus utama dan terdapat juga pillow yang membentuk hidrolik. Jeram yang memiliki panjang 50 meter dan lebar 15 meter ini terdapat 5 buah pillow yang membentuk hole di sepanjang arus utama yang berderet sejajar, untuk melintasi jeram ini perahu harus bermaneuver di antara pillow tersebut dan pengintaian jeram cukup kita lakukan dari atas perahu (read and run). Jeram ini tergolong jeram yang mempunyai grade 2+, dengan beda tinggi 1,5 meter. e. Riam Bang Be/Bon Bang Be Arus utama pada jeram Bang Be terbagi menjadi dua, diantara riam delapan jeram Bang Be tergolong jeram dengan tingkat kesulitan tinggi, dengan grade 3+. Di bagian tengah kiri terdapat batu besar penghalang, pada sisi kanan terdapat hidrolik dengan drop 1 m yang bisa menahan perahu, untuk jalur yang paling aman dalam melintasi jeram ini adalah pada sisi terkiri mengikuti lidah air yang terletak di sisi kiri batu besar, manuver dibutuhkan secara cermat dan cepat, karena dengan jarak yang relatip rapat terdapat pillow serta stopper yang bisa membuat perahu terbalik. Lebar jeram 20 meter tersebut, panjang 30 meter dan beda tinggi mencapai 1,7 meter. f. Riam Manuhut/Bon Menuhut Jeram terakhir dari rangkaian riam lapan ini merupakan dua buah jeram yang letaknya saling berdekatan dan mempunyai spesifikasi yang hampir sama, untuk melintasi jeram ini, pengintaian/scouting dapat dilakukan dari atas perahu (read and run). Rangkaian dua jeram ini memiliki panjang 50 meter dan lebar 15 meter serta beda tinggi 0.5 meter. Jeram dengan tingkat kesulitan 2 ini dapat mudah dilalui karena letak arus utamanya yang lurus dari awal jeram sampai akhir jeram. g. Riam Apin Jeram lurus, cukup mudah dilewati bergrade 2. lintasan bersih dari rintangan, terdapat 2 ombak/standing wave di sisi kanan dan kiri. Jeram ini cukup panjang yaitu 40 m dengan lebar 35 m serta beda tinggi 1,5 m.
h. Riam Batu Lintang Jeram ini sedikit membutuhkan manuver, tetapi tidak terlalu beresiko. Ada beberapa rintangan yang bisa dihindari tergantung pengintaian/scouting dari tim, yaitu hole cukup besar dan strainer. Memiliki standing wave sedang. Grade 2+ dengan panjang jeram 40 m dan lebar 40 m dan beda tinggi 1,5 m. variasi tingkat kesulitan melewati jeram dan trip pengerungan yang dapat dibagi menjadi tiga, sehingga dapat dilengkapi dengan aktifitas lain seperti berkemah dan berenang. Rute Perjalanan dan letak potensi jeram-jeram tersebut dapat dilihat pada lampiran 7.
5.6. Analisis Keruangan untuk Kegiatan Wisata Bentuk potensi-potensi wisata yang ada di Wilayah Seksi Bungan yang sudah berjalan (exist) adalah kegiatan wisata Lintas Borneo dan kegiatan wisata Penelusuruan Gua Prasejarah. Sedangkan dikembangkan
kegitan wisata yang
potensial
adalah kegiatan wisata Arung Jeram dan kegiatan wisata
Penjelajahan Sungai (White Water Cruise). Setelah dilakukan input data berupa titik koordinat objek dan titik koordinat fasilitas wisata yang ada, kemudian dengan bantuan perangkat lunak Arc View 3.3 dilakukan proses overlay terhadap semua layer (sungai, topografi, batas wilayah seksi, desa, objek wisat) seperti terlihat pada (lampiran. 8). Kemudian dibuffer sesuai dengan kriteria pembuatan buffer yaitu selebar 1000 m (1 km) dari Sungai Kapuas dan Sungai Bungan yang menjadi sumbu jalur semua aktivitas wisata. Gambar pemanfaatan ruang wisata Wilayah Seksi Bungan dapat dilihat pada gambar 21 dan 22.
Gambar 21. Buffer Jalur Wisata di Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun
Gambar 22. Peta Pemanfaatan Ruang Wisata Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun
Ruang wisata yang terbentuk berdasarkan analisis spasial di atas, diperoleh luas ruang sebesar 16.537 hektar, atau seluas 4,63 % dari luas Wilayah Seksi Bungan. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 13. Luas Ruang Wisata dan Wilayah Seksi Bungan No
Bentuk Ruang
Identitas Ruang
1
Polygon
Ruang Wisata Wilayah Seksi Bungan
2
Polygon
Wilayah Seksi Bungan
Luas (Hektar)
16.537
356.950
Sumber : hasil analisis spasial
5.7. Rencana Zona Pemanfaatan Penentuan ruang yang digunakan (exist) saat ini untuk aktifitas sehari-hari masyarakat Desa Nanga Bungan dan Tanjung Lokang serta ruang yang digunakan untuk kegiatan wisata, dapat dijadikan dasar untuk membentuk rencana zona pemanfaatan kawasan. Dalam penentuan zona secara permanen perlu dilakukan analisis-analisis teknis untuk mempermudah penentuan zonasi di lapangan dan penyusuaian dengan beberapa peraturan pemerintah tentang zonasi taman nasional. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menjelaskan bahwa kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan (Dephut, 1990). Sehingga sudah menjadi keharusan dalam pengelolaan taman nasional untuk melakukan penataan zona. Zona pemanfaatan yang akan menjadi hasil dari penelitian ini akan menjadi masukan dalam penyusunan zonasi kawasan TNBK secara keseluruhan. Sedangkan kriteria zona pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam P. 56/Menhut-II/2006 adalah : a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik.
b. Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam. c. Kondisi lingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, penelitian dan pendidikan. d. Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan. e. Tidak berbatasan langsung dengan zona inti. Kriteria di atas akan menjadi dasar dalam penetapan rencana zona pemanfaatan dan areal-areal wisata di dalamnya. Berdasarkan kajian potensi dan luasan dan peruntukan seperti yang telah dibahas di atas, kriteria tersebut telah terpenuhi untuk merencanakan zona pemanfaatan di wilayah ini. Hasil overlay pemanfaatan ruang untuk aktivitas masyarakat dan ruang kegiatan wisata, memperlihatkan bahwa kedua ruang memiliki letak yang hampir sama, karena kedua kegiatan tersebut mengunakan sumbu jalar yang sama berupa sungai, yaitu Sungai Kapuas, Sungai Bungan dan Sungai Bulit. Sedangkan lebar ruang juga sama-sama menggunakan puncak-puncak bukit sebagai batas sisi kiri dan kanan ruang. Dari hasil overlay peta tersebut kemudian dilakukan penyesuaian terhadap batas alam seperti sungai dan puncak bukit serta batas kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pengelolaan kawasan, terutama dalam proses pembuatan batas definitif
zona pemanfaatan dan
konsultasi publik dalam rangka sosialisasi rencana zonasi terutama kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan. Pembagian ruang di wilayah ini menggunakan sungai sebagai garis tengah atau sumbu ruang, yaitu Sungai Kapuas hingga ke Riam Matahari dan Sungai Bungan dari Desa Nanga Bungan hingga ke Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat – Kalimantan Timur . Sedangkan batas sisi kiri dan kanan zona pemanfaatan tersebut menggunakan batas puncak-puncak bukit, anak sungai seperti sungai Bulit dan Sungai Brooi yang merupakan anak Sungai Bungan. Proses overlay Rencana zona pemanfaatan terlihat pada gambar 22 dan 23.
Gambar 23. Overlay Peta Pemanfaatan Ruang oleh Masyarakat dan Peta Pemanfaatan Ruang Kegiatan Wisata
PETA RENCANA ZONA PEMANFAATAN WILAYAH SEKSI BUNGAN
Gambar 24. Rencana Zona Pemanfaatan Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun
Hasil analisis spasial diperoleh luas rencana zona pemanfaatan seperti terlihat pada tabel 11.
Tabel 14. Luas Rencana Zona Pemanfaatan Wilayah Seksi Bungan
No
Bentuk Ruang
Identitas Ruang
Luas (Hektar)
1
Polygon
Rencana Zona Pemanfaatan
19.822
2
Polygon
Wilayah Seksi Bungan
356.950
Sumber : Hasil analisis spasial
Zona pemanfaatan seluas 19.822 hektar tersebut berarti 5,55 % dari luas wilayah Seksi Bungan. Hal tersebut berarti ruang yang akan difungsikan untuk kegiatan perlindungan dan pengawetan berupa Zona Rimba dan Zona Inti masih tersisa seluas 337.127 hektar.
5.8. Penataan Ruang Wisata dalam Zona Pemanfaatan Dengan mempertimbangkan visi dan misi pemanfaatan taman nasional untuk pariwisata serta ketepatan mengenai lingkup kegiatan pariwisata yang dapat dilakukan, maka pemanfaatan taman nasional pada masing-masing zona, khususnya pemanfaatan adalah sebagai pusat pelayanan pariwisata dengan fungsi utama untuk pengembangan sarana dan prasarana pelayanan pariwisata tanpa mengesampingkan fungsi-fungsi lain yang dapat dikembangkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ( Ditjen PHKA, 2001). Guna mencapai penyelenggaraan wisata yang berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip keseimbangan ekologi, ekonomi dan sosial maka di dalam zona pemanfaatan perlu dilakukan penataan ruang (areal) sesuai dengan potensi dan peruntukannya secara optimal. Sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan pembagian areal wisata dalam zona pemanfaatan tersebut adalah
aspek sosial masyarakat setempat
seperti lokasi pemukiman, kegiatan perladangan, menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan, aspek ekonomi yaitu berbagai potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan secara lestari seperti lokasi objek-objek wisata potensial dan aspek ekologi seperti lokasi habitat satwa endemik atau ekosistem khusus yang peka terhadap gangguan. Menurut
Gunn (1997) bahwa prinsip dasar untuk memahami semua
disain adalah land use dibanding yang lainnya. Seorang perencana yang menggunakan pendekatan tradisional dan kontemporer dalam rancangannya harus memperhatikan persepsi dan kepuasan pengunjung terhadap sumber daya yang ada. Ruang pada tapak tidak sekedar tanah kosong yang tidak memiliki bangunan, tetapi semua harus dirancang secara fungsional. Selanjutnya perlu dilakukan pengelompokan jenis kegiatan dan fasilitas di dalam satu areal tertentu. Kemudian di jelaskan oleh Forster (1974) dalam Gunn (1994), di dalam zona pemanfaatan dapat di bagi menjadi beberapa areal pemanfaatan wisata sehingga peruntukan ruang dapat berjalan optimal. Pembagian areal tersebut terdiri dari : a. Areal Wisata Intensif : b. Areal Wisata Umum c. Areal Wisata Alami d. Arial Wisata Alami Khusus e. Areal Khusus Perlindungan Masyarakat Setempat
Guna mendukung pembagian areal-areal tersebut dilakukan overlay antara Peta Potensi Wisata
dengan peta tutupan lahan, tipe ekosistem dan peta
pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat setempat seperti terlihat pada gambar 24 dan 25.
Gambar 25. Overlay Peta Potensi Wisata, Peta Tutupan Lahan dan Peta Pemanfaatan Sumber Daya Alam oleh Masyarakat
Gambar 26. Overlay Peta Potensi Wisata, Peta Tipe Ekosistem dan Peta Pemanfaatan Sumber Daya Alam oleh Masyarakat
Hasil dari overlay peta-peta di atas diperoleh pembagian areal wisata yaitu areal pemanfaatan intensif, areal wisata umum, areal wisata alami, areal wisata alami khusus dan areal wisata khusus untuk perlindungan masyarakat, seperti terlihat pada tabel 13.
Tabel 15. Luas areal wisata dalam zona pemanfaatan wilayah Seksi Bungan
No
1. 2. 3. 4. 5.
Ruang
Polygon Polygon Polygon Polygon Polygon
Identitas Ruang
Areal wisata Intensif Areal Wisata Umum Areal Wisata Alami Arial Wisata Alami Khusus Areal Khusus Perlindungan Masyarakat
Jumlah
Luas (Ha)
2.136 4.321 10.027 3.250 88
Perbandingan dgn Zona Pemanfaatan (%)
10,8 21,8 50,6 16,4 0,4
19.822
Sumber : Analisis spasial
Pembagian areal wisata tersebut di dalam zona pemanfaatan dapat dilihat pada gambar 26.
Gambar 27. Pembagian Areal Wisata dalam Zona Pemanfaatan Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun
Dasar dari pembagian areal wisata dalam zona pemanfaatan tersebut dengan cara overlay adalah mengelompokkan jenis aktivitas pemanfaatan lahan oleh masyarakat setempat dan keberadaan objek wisata dalam zona pemanfaatan tersebut, yaitu : a. Wilayah permukiman masyarakat
menjadi areal perlindungan khusus, yaitu
wilayah permukiman Desa Bungan dan Tanjung Lokang. b. Wilayah dengan pembukaan lahan untuk kegiatan pertanian masyarakat dan jalur lalu lintas wisatawan menjadi areal wisata umum, yaitu wilayah Sungai Bungan dari Permukiman Desa Bungan hingga Desa Tanjung Lokang yang menjadi koridor kedua desa tersebut. c. Wilayah potensial dibangun fasilitas wisata permanen, yaitu lahan hutan sekunder yang dekat dengan Desa Bungan dan Desa Tanjung Lokang menjadi areal pemanfaatan intensif. d. Wilayah terdapat objek dengan kerentanan terhadap gangguan dan adanya pemanfaatan sumber daya alam non kayu oleh masyarakat dengan tidak membuka lahan menjadi areal wisata alami yaitu lokasi terdapat objek jeram dan gua sampai batas pengumpulan hasil hutan non kayu oleh masyarakat Desa Bungan dan Desa Tanjung Lokang. e. Wilayah terdapat objek dengan kerentanan terhadap gangguan yaitu habitat satwa liar (Hylobathes mullerii) dan ekosistem khusus (Dipterocarpaceae dataran tinggi). Di dalam areal ini tidak ada aktivitas masyarakat memanfaatkan sumber daya sehingga dapat ditetapkan menjadi areal wisata alami khusus. Wilayah ini dimulai dari batas aktivitas masyarakat memanfaatkan sumber daya alam sampai ke batas wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
Fungsi dari masing-masing areal wisata di dalam rencana zona pemanfaatan tersebut adalah : a.
Areal wisata intensif 1) Areal pelayanan pengunjung (service area), segala fasilitas permanen untuk pelayanan pengunjung yaitu pondok pengunjung, pusat informasi pengunjung (visitor information centre), darmaga perahu, shelter, menara pengamatan
satwa, canopy
trail, sarana komunikasi (telephone/pemancar radio
komunikasi). 2) Pintu gerbang menuju daerah tujuan (welcome area). 3) Areal
budidaya tanaman oleh masyarakat secara terbatas, terutama
pembatasan pada lokasi yang berdekatan dengan lokasi pembangunan fasilitas wisata. 4) Areal yang menjadi lokasi aktivitas masyarakat setempat yaitu berburu secara tradisional, menangkap ikan dan memungut hasil hutan. b. Areal Wisata Umum 1. Areal
koridor antara 2 (dua) pusat kunjungan wisata yaitu Desa Nanga
Bungan dan Tanjung Lokang. 2. Jalar transportasi masyarakat Desa Tanjung Lokang ke Desa Nanga Bungan atau ke ibukota kabupaten (Putussibau). 3. Areal budidaya tanaman oleh masyarakat Desa Bungan dan Desa Tanjung Lokang berupa kegiatan berladang dan berkebun. 4. Areal yang diperkenankan untuk aktivitas masyarakat setempat yaitu berburu secara tradisional, menangkap ikan dan memungut hasil hutan. 5. Terdapat objek wisata berbentuk sungai yaitu Sungai Bungan yang menjadi destinasi atrasi penjelajahan sungai. Hasil Penilaian objek dengan Kriteria Standar ODTWA diperoleh nilai 930 sedangkan nilai maksimum yang dapat diperoleh adalah 1030. Berarti kondisi objek wisata perlu peningkatan pengelolaan. c. Areal Wisata Alami 1) Di dalam areal wisata alami
berupa hutan primer yang belum terganggu.
Objek-objek wisata yang ada di dalamnya berupa jeram dan gua pra sejarah. 2) Pada areal ini masyarakat hanya boleh memungut hasil hutan non kayu, berburu secara tradisional dan menangkap ikan, sedangkan kegiatan perladangan dan pembukaan lahan tidak diperkenankan. 3) Terdapat objek wisata berbentuk sungai, dan jeram yang masih alami. Sedangkan objek berbentuk gua dari hasil penilaian dengan Kriteria Standard ODTWA, terdapat beberapa gangguan terhadap objek oleh tingkah laku
manusia. Sehingga perlu pengelolaan khusus untuk memulihkan kondisi alami gua-gua tersebut. d. Areal Wisata Alami Khusus 1) Kegiatan wisata pada areal ini memang hanya dibatasi untuk satu kegiatan wisata yaitu Lintas Borneo. 2) Penilaian dengan Kriteria Estandar ODTWA, objek wisata berbentuk darat yaitu jalur lintas borneo masih memperlihatkan nilai alami yang tinggi. 3) Kondisi areal yang masih alami dan merupakan habitat berbagai satwa liar, satu diantarnya merupakan satwa endemik dengan nama lokal Kelampiau (Hylobathes mullerii). Berdasarkan Peta Tipe Ekosistem, pada areal ini sebagian besar merupakan ekosistem Dipterocarpaceae dataran tinggi dan Tipe Hutan Pegunungan yang memiliki fungsi ekologis penting sebagai habitat satwa liar. Sehingga pengunjung yang melalui areal ini harus didampingi oleh pemandu untuk menghindari dampak negatif pada areal tersebut. 4) Pada areal ini tidak diperkenankan kegiatan pemungutan hasil hutan. e. Areal Khusus Perlindungan Masyarakat Dua lokasi pemukiman yaitu Desa Nanga Bungan dan Desa Tanjung Lokang dijadikan areal khusus karena ada kehidupan tradisional di lokasi ini yang harus tetap terjaga. Pada areal ini tidak diperkenankan untuk membangun dan menyelenggarakan aktivitas wisata. Hal ini untuk menghindari terjadinya degradasi nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat akibat hadirnya wisatawan yang sebagian besar berbudaya asing.
5.9. Aplikasi Konsep Ekowisata di Wilayah Seksi Bungan Konsep ekowisata dalam Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah (Depdagri, 2000) mensyaratkan bahwa ekowisata memiliki unsur keindahan, pendidikan (edukasi), dukungan terhadap konservasi dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Unsur-unsur tersebut dapat di aplikasikan di wilayah seksi bungan sebagai berikut : Konsep ekowisata dalam Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah (Depdagri, 2000) mensyaratkan bahwa ekowisata memiliki unsur keindahan,
pendidikan (edukasi), dukungan terhadap konservasi dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Unsur-unsur tersebut dapat di aplikasikan di wilayah seksi bungan sebagai berikut : a. Keindahan 1. Hutan hujan tropis yang lebat dengan beranekaragam jenis tumbuhan dan satwa liar di dalamnya. 2. Riam/jeram, gua prasejarah dengan latar belakang hutan hujan tropis yang masih utuh. 3. Terdapat pada areal wisata alami dan areal wisata alami khusus. b. Pendidikan (edukasi) 1. Melalui program interpretasi lingkungan yang bertema keanekaragaman hayati, fungsi hutan sebagai pengatur tata air, sejarah kehidupan manusia dan kearifan lokal. 2. Pada areal wisata alami khusus dan areal wisata alami dapat diselenggarakan program interpretasi lingkungan bertema keanekaragaman hayati, fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan sejarah kehidupan manusia, karena pada areal ini terdapat habitat satwa liar, jeram/riam dan gua prasejarah. 3. Pada areal
wisata
umum dapat diselenggarakan program interpretasi
lingkungan bertema kearifan lokal, karena pada areal ini terdapat areal perladangan masyarakat, yang memiliki kearifan lokal dengan berladang menggunakan sistem gilir balik dengan daur perladangan tertentu. c. Dukungan terhadap konservasi 1. Menginspirasi pengunjung untuk melestarikan lingkungan berdasarkan objek wisata yang telah dilihat melalui program interpretasi. 2. Menginspirasi masyarakat untuk lebih menjaga kelestarian objek
di
daerahnya, karena keberadaan objek tersebut telah memiliki nilai ekonomi dari kegiatan wisata.
d. Meningkatkan pendapatan masyarakat setempat 1. Mendorong masyarakat untuk melakukan budidaya tanaman bernilai ekonomi tinggi, terutama untuk mendukung kegiatan wisata wilayah ini yaitu tanaman pangan dan tanaman bahan baku kerajinan. 2. Mendorong masyarakat setempat untuk terlibat aktif dalam penyediaan jasa pendukung kegiatan wisata yaitu sebagai pemandu lokal, penyedia transportasi, porter, pelayanan akomodasi. 3. Kegiatan peningkatan pendapatan masyarakat tersebut dapat dilakukan di areal wisata umum, areal wisata intensif dan areal perlindungan masyarakat.