23
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik responden Responden yang diwawancarai sejumlah 35 orang merupakan kepala keluarga dengan umur antara 21 tahun sampai 78 tahun (Gambar 5a). Responden merupakan masyarakat lokal/tradisional terdiri dari Suku Melayu dan Suku Anak Dalam (SAD) dan pendatang dari masyarakat suku Banjar, Jawa dan Sunda. Masyarakat pendatang terdiri dari masyarakat transmigran yang mengikuti program pemerintah dan masyarakat yang sengaja berpindah dari tempat asal baik lintas provinsi dalam satu pulau ataupun lintas pulau seperti dari Sulawesi dan Jawa dengan alasan mencari penghidupan yang lebih baik (Gambar 5b).
11
11
15
8 5
8
7 4
1 20 - 29 tahun
30- 39 tahun
40 - 49 tahun
50 tahun ke atas
Jawa Melayu SAD
(a)
Banjar Sunda
(b)
Gambar 5 Karakteristik responden (orang) menurut (a) umur dan (b) suku
Responden dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat diambil dari Desa Serdang Jaya dan Pematang Lumut yang keduanya berada di wilayah Kecamatan Betara. Desa Serdang Jaya dan Pematang Lumut dipilih karena informasi dari Kepala Daops Manggala Agni Muara Bulian terkait dengan kegiatan pemadaman, patroli dan penyuluhan karhutla serta banyaknya perkebunan yang ada di kedua lokasi. Kedua lokasi juga banyak dihuni penduduk dari Jawa dan Banjar. Desa Serdang Jaya memiliki 60% lebih penduduk dari Suku Jawa, sedangkan Pematang Lumut lebih multi etnis dengan mayoritas Suku Banjar.
24
Tingkat pendidikan masyarakat beragam mulai dari yang tidak sekolah sampai sarjana (S1). Responden dari Desa Jebak yang merupakan masyarakat SAD merupakan generasi tua yang tidak menikmati sekolah formal. Masyarakat transmigran generasi pertama di Desa Jangga Baru baik yang dari Jawa maupun transmigran lokal lebih banyak yang tidak tamat SD dengan kemampuan baca tulis yang minim. Menurut keterangan dari salah satu responden, pada saat awal, biasanya hanya pemimpin rombongan kecil (satu rombongan kecil 20 KK) yang mempunyai pendidikan setingkat SMA. Generasi setelah itu sudah dapat menikmati sekolah formal mulai SD bahkan ada yang lulusan universitas. Komposisi responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 6.
9
10
9
5 1 tidak sekolah dan tidak tamat SD
SD
SMP/sederajat
SLTA
D3
1 S1
Gambar 6 Karakteristik tingkat pendidikan responden
5.2.Praktek – praktek pembakaran dalam penyiapan lahan Hasil wawancara memperlihatkan bahwa pada praktek penyiapan lahan dengan membakar terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan. Hal tersebut adalah: (1) ritual–ritual yang dilakukan sebelum pembakaran dan (2) teknik– teknik yang digunakan dalam praktek pembakaran. Ritual yang dilakukan sebelum pembakaran berkaitan dengan penghormatan terhadap alam dan kepercayaan terhadap kekuatan di luar manusia, sedangkan teknik–teknik pembakaran terdiri dari pemilihan waktu serta tata urutan pembakaran.
25
5.2.1. Ritual sebelum pembakaran Menurut informasi dari Ketua Adat Desa Jangga Baru yang merupakan masyarakat Melayu, ritual pernah dilakukan sebelum membuka lahan namun lebih bersifat agamis berupa pengajian dan pembagian makanan, sedangkan bagi masyarakat pendatang dari Jawa, ritual sebelum membuka lahan lebih sebagai ucapan syukur dan permohonan doa melalui kegiatan bersih desa yang dilakukan masyarakat Desa Serdang Jaya, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Masyarakat yang masih menggunakan ritual adat dalam penyiapan lahan adalah masyarakat SAD yang merupakan masyarakat yang bermukim di Bor 6 dan 8 di Desa Jebak, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari. Ritual yang dilakukan berupa : (1)
Permohonan ijin kepada pencipta dan penunggu lokasi untuk membuka lahan. Ritual ini berupa persembahan bubur putih – kuning, ayam kampung dan pemanjatan doa di lokasi. Masyarakat SAD percaya bahwa di setiap tanah ada unsur lain yang menjaga dan menghuni, dengan demikian diperlukan permohonan ijin untuk membuka hutan tersebut menjadi lahan kebun. Permohonan ijin ini dipercaya dapat mendatangkan keselamatan dalam pekerjaan mulai dari menebang, membakar sampai memanen.
(2)
Penebaran kaca di tengah lokasi yang akan dibakar. Pecahan kaca yang disebarkan biasanya merupakan pecahan kaca yang tidak sengaja ditemukan misalnya di jalan, kemudian dipecah–pecah dengan ukuran yang lebih kecil lagi. Perlakuan ini diyakini dapat menyebarkan api sehingga pembakaran dapat lebih cepat dan merata. Penyebaran kaca tidak wajib dilakukan dalam ritual ini. Ritual yang dilakukan oleh masyarakat SAD di Desa Jebak lebih sederhana
apabila dibandingkan dengan masyarakat SAD yang masih bermukim di dalam hutan, misalnya di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD). Hasil wawancara dengan masyarakat SAD di Desa Jebak hanya menggunakan dua ritual tersebut di atas, sedangkan masyarakat SAD yang ada di sekitar TNBD masih kental dengan berbagai ritual mulai dari penentuan tanah yang akan dibuka, langkah–langkah pembukaan lahan, sampai kepada penanaman. Masyarakat SAD
26
di TNBD mengandalkan dukun untuk memberikan petunjuk melalui mimpi dalam pemilihan lokasi berladang dan boleh tidaknya memulai pembersihan lahan. Proses tersebut berlanjut pada penentuan pohon pertama yang direbahkan, pembuatan batas lahan, penebasan pohon dan dimulainya pembakaran. Pembakaran dipimpin langsung oleh dukun dengan alat dan bahan berupa obor (tunom), tatal kayu meranti, damar yang dihaluskan dan tempurung kelapa. Pembakaran diawali dengan penyalaan tunom kemudian penyalaan pertama pada tatal kayu, daun dan tumpukan pohon yang sudah kering. Bubuk damar ditebarkan pada api tersebut agar api dapat membesar, kemudian dukun akan mencari tunggul kayu di batas ladang untuk melakukan prosesi pemutaran tempurung kelapa yang dibalik. Tempurung ini diputar tujuh kali melambangkan api akan berputar di sekeliling lahan dan membakar dengan baik (Sasmita 2009). Perbedaan ritual antara SAD di Desa Jebak dan SAD di TNBD tersebut kemungkinan terjadi karena adanya modernisasi yang lebih cepat terjadi pada masyarakat SAD di Desa Jebak sehingga ritual–ritual dipersingkat ataupun disederhanakan, atau di Desa Jebak, terjadi transfer informasi dari masyarakat suku lain di sekitarnya dan mengadaptasikannya dengan ritual aslinya. Hal ini kemungkinan bisa terjadi mengingat budaya berladang dan berkebun bukan merupakan budaya asli masyarakat SAD yang mempunyai kebiasaan mencari dan meramu hasil hutan (Sasmita 2009), sehingga banyak hal yang dipelajari dari masyarakat lain terkait dengan budaya berladang dan berkebun. Hal yang sama juga disampaikan oleh aktivis LSM Warsi dan Walhi yang mendampingi masyarakat SAD, yang menyebutkan bahwa masyarakat SAD yang melakukan kegiatan perladangan biasanya hanya menanam kebutuhan untuk keperluan makan sehari–hari tidak untuk komersil. Ritual yang dilakukan merupakan keyakinan masyarakat agar kegiatan pembakaran lebih aman untuk dilakukan dan api dapat dikendalikan sehingga tidak mengancam kebun milik orang lain. Masyarakat adat biasanya meyakini bahwa alam semesta akan dapat berjalan dengan baik apabila ada ketaatan terhadap aturan dan keseimbangan alam yang dikontrol oleh pusat kosmos yang menyebabkan alam semesta seimbang (Adimihardja 2008). Ketaatan dan penghormatan terhadap alam melalui ritual dianggap sebagai salah satu cara agar
27
pelaksanaan mendatangkan keselamatan, berkah kesuburan dan keberhasilan panen. 5.2.2. Teknik–teknik pelaksanaan pembakaran Pembakaran merupakan salah satu tahapan penting dalam penyiapan lahan yang biasanya disebut dengan istilah “merun” yaitu proses pembersihan lahan mulai dari merobohkan, membersihkan belukar, mencincang dan membakar. Istilah ini sudah umum di masyarakat Jambi dan dimengerti baik oleh masyarakat lokal
maupun
pendatang.
Masyarakat
melakukan
pembakaran
dengan
menggunakan teknik–teknik dalam pemilihan waktu serta tata urutan pembakaran. 5.2.2.1. Penentuan waktu Pemilihan waktu dalam melakukan pembakaran sangat menentukan keberhasilan dalam penyiapan lahan. Waktu yang dipilih, terkait dengan pemilihan musim membakar serta waktu harian yang digunakan dalam melaksanakan pembakaran. Pemilihan musim Pembakaran pada umumnya mulai dilakukan pada bulan kering sebelum penghujan yaitu pada bulan Agustus sampai Oktober dengan pertimbangan bahan bakar lebih cepat kering karena panas matahari yang optimal. Musim pembakaran yang sama juga terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia seperti di Kalimantan Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan (Syaufina 2008). Suku Aborigin di Australia memulai pembakaran pada awal musim kering dan menghentikannya pada akhir musim kering pada saat bertiup angin dengan gelombang panas dengan pertimbangan besarnya risiko terjadinya kebakaran (Smith et al. 2009). Beberapa tahun terakhir, ternyata mulainya musim pembakaran bergeser lebih awal, hal ini terkait dengan tidak menentunya musim kemarau dan musim penghujan. Pada saat observasi lapangan, kegiatan pembakaran sudah dilakukan pada bulan April. Data curah hujan untuk wilayah Jambi, selama tiga tahun terakhir memperlihatkan adanya hujan di setiap bulan dengan rata–rata hari hujan diatas 15 hari/bulan, yang menyulitkan untuk penentuan musim kemarau dan penghujan. Masyarakat memanfaatkan hari tanpa hujan untuk mengeringkan
28
bahan bakar dan mulai membakar. Pada saat terjadi tiga hari tidak turun hujan, maka masyarakat menganggap bahan bakar cukup kering dan dapat dibakar. Pengamatan titik panas (hotspot) sebagai salah satu alat untuk memprediksi kejadian kebakaran hutan dan lahan untuk tiga tahun terakhir (2009–2011) (Gambar 7 dan 8) memperlihatkan bahwa sepanjang tahun muncul titik panas walaupun dengan intensitas berbeda (Dit. PKH 2012). Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan terjadi pembakaran dalam penyiapan lahan sepanjang tahun. 50 45
Jumlah hotspot
40 35 30 25 20 15 10 5 0 2009
Jan 0
Feb 0
Mar 2
Apr 3
Mei 3
Jun 21
Jul 22
2010
1
0
5
0
6
1
7
2011
3
6
7
7
9
8
12
Agt 26
Sep 5
Okt 7
Nov 0
Des 1
4
9
7
0
11
49
39
4
0
7
Gambar 7 Distribusi titik panas tahun 2009 – 2011 Kabupaten Batanghari (sumber: Dit. PKH 2012) Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa kecenderungan peningkatan titik panas terjadi mulai bulan Juni dan mencapai puncak pada bulan Agustus, namun demikian dapat dilihat juga bahwa titik panas sudah mulai muncul pada bulan Januari sampai Desember yang mengindikasikan kemungkinan adanya praktek penyiapan lahan dengan membakar sepanjang tahun.
29
80 70
Jumlah hotspot
60 50 40 30 20 10 0 2009
Jan 0
Feb 0
Mar 2
Apr 3
Mei 4
Jun 4
Jul 22
2010
3
3
1
2
6
2
5
2011
1
5
1
2
4
3
7
Agt 72
Sep 10
Okt 0
Nov 1
Des 0
4
8
7
1
2
36
34
2
0
3
Gambar 8 Distribusi titik panas tahun 2009 – 2011 Kabupaten Tanjung Jabung Barat (sumber : Dit PKH 2012) Gambar 8 memperlihatkan kecenderungan yang hampir sama untuk wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat walaupun terlihat titik panas meningkat mulai pada bulan Juli namun titik panas sudah mulai ada pada bulan Januari sampai dengan Desember. Pada periode bulan Juli–Oktober, menurut hasil pengamatan cuaca di Stasiun Sulthan Thaha Jambi, memperlihatkan bahwa curah hujan untuk tahun 2009–2011 mulai dari 58 mm sampai 325 mm dengan kejadian hujan di setiap bulan (sumber data: Stasiun Klimatologi Sulthan Thaha Jambi 2012). Hal ini menunjukkan bahwa, masyarakat beradaptasi dengan iklim, dengan memanfaatkan hari tanpa hujan untuk melakukan pembakaran dan tidak terlalu kaku dalam penentuan bulan mulai membakar. Pemilihan waktu harian Masyarakat yang melakukan pemilihan hari secara tradisional untuk pembakaran adalah masyarakat SAD di Desa Jebak dan masyarakat pendatang Melayu di Desa Jangga Baru. Perhitungan hari berdasarkan fenomena alam tersebut disebut sebagai hari angin, api, air, tanah dan gajah. Pemilihan hari, pertimbangan dan penjelasannya, disajikan dalam Tabel 4.
30
Tabel 4 Pemilihan hari dalam pembakaran No 1.
Nama hari Hari api
2.
Hari angin
3.
Hari air
4.
Hari gajah
5.
Hari tanah
Pertimbangan Masyarakat Dipilih karena panas optimal, bahan bakar lebih kering, angin bertiup kencang, api lebih cepat besar dan cepat menyebar sehingga pekerjaan lebih cepat selesai Tidak dipilih karena faktor keamanan, angin besar, tidak aman terhadap pembakar maupun rawan api meloncat ke arah kebun tetangga Tidak dipilih karena adanya hujan dan angin sehingga api tidak dapat membakar bahan bakar Dipilih karena faktor keamanan, angin bertiup agak kencang, api tidak terlalu besar Tidak dipilih karena api tidak akan menyebar, bahan bakar basah, mendung
Penjelasan ilmiah Penjalaran api cepat, nyala lebih panjang, memerlukan penjagaan lebih untuk mengurangi risiko api loncat Zona nyala api lebar karena angin, kemungkinan terjadi api loncat besar Api tidak bisa menyala karena bahan bakar basah, apabila dipaksakan akan menimbulkan asap yang tebal Penjalaran api lebih mudah dikendalikan sehingga lebih aman Kelembaban tinggi, api tidak dapat menyala optimal sehingga dapat menimbulkan asap yang berbahaya
Saat ini, masyarakat SAD mempunyai pemilihan hari yang berbeda, dengan pertimbangan masing – masing. Masyarakat SAD dari generasi tua dan muda memberikan keterangan yang berbeda dalam menyebutkan urutan hari. Perbedaan pernyataan ini mengindikasikan terjadinya pemahaman yang berbeda atau kemungkinan juga pemahaman lintas generasi yang mulai hilang. Di sisi lain, perbedaan pemilihan hari menyebabkan pembakaran tidak dilakukan serentak sehingga meburangi peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap dalam skala besar akan semakin berkurang. Masyarakat Melayu di Desa Jangga Baru yang mengetahui, memahami perhitungan hari tersebut dan menerapkannya, berasal dari generasi tua (generasi transmigran awal). Terkait dengan budaya perhitungan hari secara tradisional, pertukaran informasi dan adopsi antara masyarakat Melayu dengan SAD sangat mungkin terjadi. Pemilihan waktu harian dalam pembakaran dilakukan dengan beberapa pertimbangan (Tabel 5) : Tabel 5 Pilihan waktu harian dalam pembakaran No 1.
Pilihan waktu Jam 12.00 – 15.00
Pertimbangan Api cepat membesar dan menyebar sehingga pekerjaan lebih cepat selesai. Bahan bakar yang kering mengurangi asap
2.
Jam 15.00 – 18.00
Keamanan karena api lebih mudah dikontrol
Penjelasan Penyinaran matahari maksimal, suhu meningkat, kelembaban menurun, kadar air bahan bakar menurun angin tidak terlalu besar sehingga api, suhu tidak terlalu panas
31
Tabel 5 Lanjutan No 3.
Pilihan waktu Pagi hari (dibawah jam 10.00)
4.
Malam hari
Pertimbangan Tidak dipilih karena bahan bakar masih basah karena terkena embun, sulit menyalakan dan menimbulkan asap Pernah dipilih karena faktor keamanan dari patroli petugas, tidak dipilih lagi karena tidak aman dari serangan satwa liar dan api lebih mudah dideteksi petugas di pos jaga karena nyala api terlihat dari jarak jauh
Penjelasan Kelembaban tinggi, kadar air bahan bakar tinggi Biasanya patroli tidak dilakukan pada malam hari
Fakta menunjukkan bahwa saat ini masyarakat lebih fleksibel dalam pemilihan waktu baik bulan, hari maupun jam. Tabel 5 menunjukkan bahwa pemilihan waktu pembakaran ditetapkan berdasarkan kondisi pada saat bahan bakar sudah dianggap kering, tidak ada hujan dalam beberapa hari terakhir dan dianggap aman dari patroli. 5.2.3. Tata urutan pembakaran Tata urutan pembakaran dimulai dengan pembersihan semak, penebangan, pencacahan, penumpukkan, pembuatan sekat isolasi api dan penyalaan. Penebangan dan pembersihan semak dilakukan untuk mengurangi bahan bakar. Pencacahan dilakukan agar ukuran bahan bakar lebih kecil sehingga lebih cepat kering dan memudahkan pembakaran. Penumpukkan bahan bakar dilakukan dalam jalur atau membuat tumpukan–tumpukan kecil yang tersebar di dalam calon kebun seperti diperlihatkan pada Gambar 9, meskipun tidak semua masyarakat melakukan teknik ini. (a)
(b)
(c)
Gambar 9 Skema penumpukan bahan bakar (a) sistem jalur, (b) penumpukan titik/spot, (c) tanpa penumpukan
32
Penumpukkan bahan bakar dengan sistem jalur seperti pada Gambar 9 (a) memudahkan
pembakaran
serta
memberikan
kemudahan
untuk
akses
pengamanan, namun sistem ini memakan waktu dan tenaga yang lebih besar yang berimplikasi terhadap biaya. Sisa cacahan harus diangkut ke jalur yang lokasinya bisa lebih jauh sehingga membutuhkan tenaga yang lebih banyak, waktu yang lebih panjang dan menambah biaya buruh. Penumpukkan titik seperti pada Gambar 9 (b) menjadi pilihan sebagian besar masyarakat karena tidak terlalu menyita tenaga sehingga lebih ekonomis, sedangkan perlakuan tanpa penumpukkan dilakukan dengan pembagian seperti pada Gambar 9 (c). Pilihan ini menjadi pilihan yang berisiko karena bahan bakar menjadi lebih banyak, mengandalkan penjalaran api sehingga membutuhkan pengawasan lebih walaupun lebih praktis. Pilihan perlakuan terhadap bahan bakar terkait dengan faktor–faktor efisiensi, efektifitas dan ekonomis. Pembuatan sekat bakar sebelum pembakaran merupakan aktivitas yang dilakukan sebagai upaya untuk mencegah api meloncat ke lahan tetangga ataupun ke kebun kosong. Lebar sekat bakar yang dibuat bervariasi tergantung faktor keamanan. Beberapa responden menyatakan bahwa lebar sekat bakar yang biasa dibuat adalah 2–3 meter, selain itu ada juga yang menyatakan lebarnya dilihat dari perkiraan pohon tertinggi yang dapat tumbang atau perkiraan sampai dimana api dapat meloncat. Hasil wawancara mengungkapkan ada tiga teknik pembakaran yang biasa dipakai oleh masyarakat dalam pelaksanaan pembakaran, yaitu: (1) teknik pembakaran searah arah angin (head firing) (Gambar 10); (2) pembakaran membelakangi arah angin (back firing) (Gambar 11); dan (3) pembakaran dalam tumpukan (pile burning) (Gambar 12). Skema pembakarannya adalah sebagai berikut : : arah pembakaran
: arah angin : sekat bakar
Gambar 10 Pembakaran searah angin/ pembakaran muka (head firing)
33
Pembakaran searah dengan arah angin dipilih dengan alasan mempercepat pembakaran dan alasan faktor keamanan bagi pembakar. Syaufina (2008) menyatakan bahwa penjalaran api yang searah angin adalah paling cepat, zona nyalanya paling lebar, dan nyalanya paling panjang. Untuk mencegah terjadinya api loncat atau tidak terkendalinya api, diperlukan perhitungan arah angin yang tepat serta pembuatan sekat bakar yang dinilai aman dari api loncat. Masyarakat biasanya menempatkan penjaga di sekitar lahan yang dibakar dengan membawa air dan peralatan lain sebagai upaya untuk mencegah tidak terkendalinya api.
: arah pembakaran
: arah angin : sekat bakar
Gambar 11 Skema pembakaran balik (back firing)
Pada pola pembakaran balik, pembakaran dilakukan berlawanan dengan arah angin. Pola ini dipilih dengan alasan agar api terkendali, tidak terlalu besar sehingga tidak membahayakan lahan tetangga. Selain itu, masyarakat beralasan bahwa pembakaran yang berlawanan dengan arah angin dapat menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna dan lebih bersih dari serasah sehingga mempermudah
penanaman.
Api
yang
berlawanan
dengan
arah
angin
penjalarannya lambat, zona nyalanya sempit, dan pendek (Syaufina 2008). Namun pola pembakaran ini harus memperhitungkan kekuatan angin yang bertiup agar api tidak berbalik ke arah pelaksana pembakaran.
34
: pembakaran : tumpukan bahan bakar : sekat bakar
Gambar 12 Skema pembakaran tumpukan (Pile burning)
Pada pola pembakaran tumpukan, api disulut dari tumpukan yang telah disusun dari sisa cacahan semak dan kayu yang telah dianggap kering. Satu luasan lahan dibagi menjadi beberapa bagian dengan tujuan pembakaran tidak dilakukan secara bersamaan dalam suatu luasan lahan. Pola ini dianggap yang paling aman karena api dapat diawasi dengan baik sehingga tidak terlalu berisiko terhadap lahan tetangga. Namun demikian, pola ini membutuhkan waktu yang lebih lama dan membutuhkan tenaga yang banyak terutama pada saat kegiatan penumpukan bahan bakar. Faktor keamanan dan faktor keekonomisan menjadi pertimbangan dari masyarakat dalam memilih teknik pembakaran. 5.3. Sikap dan perilaku masyarakat terkait dengan kebakaran hutan dan lahan Informasi dari pihak Manggala Agni dan aparat desa menjadi bahan penting sebagai informasi pembanding dalam melihat perilaku masyarakat. Teori psikologi sosial mengungkapkan adanya hubungan antara sikap dan perilaku. 5.3.1. Sikap masyarakat terkait dengan kebakaran hutan dan lahan Sikap masyarakat yang diukur meliputi sikap terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar, dampak negatif terkait dengan praktek tersebut serta aturan–aturan yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Sikap positif terhadap praktek pembakaran diartikan sebagai sikap yang setuju terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar begitu juga sebaliknya dengan sikap negatif. Sikap positif terhadap munculnya dampak negatif akibat pembakaran
35
diartikan sebagai sikap yang setuju bahwa pembakaran dapat menimbulkan dampak negatif terhadap ekologi, kesehatan dan ekonomi. Sikap positif terhadap aturan terkait pengendalian karhutla diartikan sebagai sikap yang mendukung adanya aturan–aturan tersebut. Hasil pengukuran disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Sikap kelompok masyarakat pekebun Lokal
Sikap
Sikap terhadap praktek penyiapan lahan dengan membakar Sikap terhadap timbulnya dampak negatif akibat pembakaran Sikap terhadap aturan pengendlian karhutla
terkait
Positif Ragu Negatif Positif Ragu Negatif Positif Ragu Negatif
SAD
Melayu
85.7 14.3 0 29.2 45.8 25 37.5 45.8 16.7
100 0 0 66.7 20.8 12.5 50 37.5 12.5
Kelompok masyarakat Pendatang Transmigran Non- transmigran Jawa Jawa Melayu Banjar Sunda
69.4 18.4 12,2 76.2 4.8 19 61.1 27 11.9
80.9 19.1 0 44.5 33.3 22.2 50 16.7 33.3
87.3 6.35 6.35 66.7 13 20.3 59.2 24.1 16.7
67.8 23.2 8.9 58.3 20.8 20.8 43.7 37.5 18.8
Mayoritas masyarakat baik lokal maupun pendatang, menyatakan sikap positif terhadap praktek pembakaran dalam penyiapan lahan. Namun demikian terdapat keragu – raguan dan sikap negatif pada beberapa responden. Walaupun sebagian besar menyetujui praktek pembakaran sebagai alternatif yang mudah, murah dan praktis, namun sebagian masyarakat ada yang tidak setuju serta ragu – ragu terutama terkait biaya dan kesuburan tanah. Faktor biaya dipertimbangkan terutama pada komoditas sawit, sedangkan faktor kesuburan terutama dipertimbangkan pada komoditas karet. Untuk komoditas sawit, penelitian Hasyim et al. (1993) menyimpulkan bahwa biaya untuk penyiapan lahan pada kebun sawit komersil lebih besar terutama pada tahun awal, sedangkan hasil penelitian Gouyon dan Simorangkir (2002) menunjukkan perbandingan selisih yang tidak terlalu besar antara biaya untuk lahan yang disiapkan dengan membakar dan tidak dibakar. Besarnya biaya akan berbeda pada setiap daerah, hal ini terkait dengan perbedaan upah buruh serta biaya sewa alat berat. Untuk komoditas karet, walaupun sebagian masyarakat sudah mempergunakan teknik penyulaman dalam peremajaan, namun sebagaian besar masyarakat lebih memilih membakar untuk peremajaan karena dianggap akan mengurangi risiko serangan jamur akar putih.
36
Sikap positif (setuju–sangat setuju) terhadap timbulnya dampak negatif akibat praktek pembakaran diyakini sebagian besar masyarakat walaupun masih terdapat keragu–raguan pada masyarakat mengenai dampak kebakaran terhadap kesuburan tanah. Informasi tentang dampak negatif pembakaran yang disebarkan melalui penyuluhan serta pengetahuan formal, bersinggungan dengan pengalaman pribadi sehingga muncul keragu–raguan dalam masyarakat. Secara ilmiah, hasil penelitian Notohadinegoro (2006) dan Darwiati dan Nurhaedah (2010) mencatat bahwa pembakaran memudahkan terjadinya erosi, pemiskinan bahan organik, serta matinya flora fauna tanah yang disebabkan oleh tingginya suhu dan pengeringan tanah. Selain itu, kebakaran dapat menyebabkan ancaman kematian terhadap 15.000 jiwa karena kualitas udara yang menurun berdasarkan penelitian Marlier et al. (2012). Di sisi lain, Syaufina (2008) menyatakan bahwa kebakaran tidak selamanya berdampak negatif bagi lingkungan terutama pada sistem pembakaran terkendali. Hal serupa juga ditemukan pada sikap terhadap aturan, walaupun sebagian besar masyarakat terutama pendatang menyetujui adanya aturan dan penegakan aturan, namun sikap ragu dan negatif juga muncul. Aturan formal yang saat ini berlaku, dianggap memberikan sanksi yang terlalu berat bagi pelaku pembakaran sehingga perlu dikaji ulang. Keinginan untuk menyusun aturan desa terkait dengan pelaksanaan pembakaran dianggap dapat menjawab persoalan, dimana masyarakat boleh membakar dengan syarat tertentu terkait dengan pembagian waktu, pengamanan dan sanksi sosial. Pilihan sikap masyarakat ditentukan dari beberapa komponen yang oleh Azwar (1995) dibagi menjadi kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif berkaitan dengan pengetahuan dan kepercayaan, komponen afektif terkait dengan emosi dan perasaan, dan komponen konatif lebih kepada kecenderungan berperilaku yang berkaitan dengan kepercayaan dan perasaan masyarakat. Masyarakat lokal memperoleh pengetahuan tentang tatacara berkebun termasuk membakar dari orang tua mereka, sedangkan masyarakat pendatang memperoleh pengetahuan mereka dari pergaulan serta pengalaman. Masyarakat transmigran di Desa Jangga Baru, menyatakan bahwa praktek membakar dalam penyiapan lahan pada awalnya dipelajari dari mandor–mandor perkebunan pada
37
awal pembangunan perkebunan sekitar tahun 1980-an. Pengetahuan masyarakat lokal/tradisional baik yang diturunkan oleh orang tua mereka ataupun dari pengalaman akan membentuk pemahaman bahwa membakar merupakan cara yang praktis, mudah serta murah. Begitu juga dengan pendatang, pertukaran pengetahuan yang didapat dari pergaulan dengan penduduk lokal/tradisonal maupun yang dipelajari dari mandor perkebunan, membentuk pemikiran bahwa pembakaran merupakan cara yang efektif dalam penyiapan lahan, sedangkan cara–cara lain misalnya mekanis dengan penggunaan traktor dianggap lebih mahal. Pengetahuan inilah yang banyak membentuk sikap positif (setuju-sangat setuju) dengan praktek penyiapan lahan dengan membakar. Proses pembentukan pengetahuan salah satunya adalah dari pendekatan belajar. Pendekatan belajar dalam teori pembentukan sikap mengungkapkan bahwa sikap terbentuk melalui proses asosiasi, penguatan dan imitasi (Sears et al. 2004). Dalam proses asosiasi, pengetahuan dan perasaan dapat timbul karena adanya asosiasi, pergaulan dengan masyarakat desa, pertukaran informasi antara penduduk lokal dengan pendatang yang dapat menjadi proses belajar yang sangat efektif terutama pada masyarakat desa yang tidak banyak keluar dari desanya karena akses yang tidak mudah seperti Desa Jangga Baru yang memerlukan waktu sekitar 2–3 jam (dalam kondisi jalan baik) untuk keluar dari desanya menuju kota. Pergaulan dengan tetangga lebih banyak dilakukan sehingga peluang terjadinya proses saling belajarpun lebih besar. Proses penguatan kognisi terutama terjadi pada saat suatu pengetahuan timbul dari pengalaman. Pengalaman dari pelaksanaan pembakaran yang terbukti menyebabkan meningkatnya kesuburan tanah akan semakin kuat setelah terjadi pengulangan atau pengalaman serupa dari beberapa orang. Pengetahuan ini akan terus diturunkan dan ditularkan mulai dari keluarga serta orang–orang terdekat. Proses imitasi tersebut akan semakin kuat ketika seorang yang dipandang dalam masyarakat desa melakukan hal tersebut, misalnya ketua atau tokoh adat. Masyarakat SAD yang masih sangat kuat lembaga adatnya, akan lebih mencontoh apa yang dilakukan oleh tokoh adatnya. Sumber pengetahuan berupa media massa dan fasilitas elektronik seperti TV dan radio di beberapa desa masih sulit didapatkan. Jarak dengan kota yang jauh
38
serta belum adanya listrik PLN menjadi salah satu kendala kurangnya pengetahuan yang bisa didapatkan dari media massa. Masyarakat yang sudah menikmati fasilitas listrik, lebih banyak menikmati acara–acara hiburan dengan alasan sebagai hiburan setelah satu hari bekerja di kebun, sedangkan media seperti surat kabar hanya bisa dinikmati masyarakat yang dekat dengan kota. Komponen afektif seperti perasaan iba terhadap pelaku pembakaran yang terkena sanksi berat, akan menimbulkan sikap negatif terhadap aturan hukum. Media massa (televisi, radio, surat kabar) mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang, media massa juga membawa pesan– pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan–pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut apabila cukup kuat akan memberikan dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah sikap tertentu. Selain dari media massa, informasi di masyarakat cepat berkembang dari mulut ke mulut melalui pergaulan. Hal ini akan sangat kuat berpengaruh karena seringkali penutur informasi memasukkan emosi ke dalam informasi tersebut sehingga lebih bersifat sugestif. Komponen konatif lebih mengacu kepada kecenderungan berperilaku yang berkaitan dengan kepercayaan dan perasaan masyarakat. Kepercayaan yang kuat bahwa membakar lebih murah, mudah serta menyuburkan tanah akan terus mempengaruhi perilaku masyarakat untuk tetap melakukan praktek membakar. Namun demikian pilihan untuk tidak membakar ternyata dipengaruhi oleh perasaan takut terhadap sanksi hukum baik hukum positif maupun sosial, perasaan segan terhadap petugas, serta pengetahuan bahwa membakar dapat mengurangi kesuburan tanah di masa datang. 5.3.2. Perilaku masyarakat terkait kebakaran hutan dan lahan Wawancara yang dilakukan terhadap responden selain ingin mengungkap sikap dari responden terhadap pernyataan–pernyataan yang sudah dibangun, juga ditanyakan apakah responden melakukan pembakaran atau tidak. Reponden dari beberapa desa tersebut mayoritas menyebutkan bahwa mereka tidak membakar (tidak pernah dan tidak membakar lagi) dengan beberapa alasan, antara lain : (1)
Kebun mereka sudah jadi dan tidak lagi membutuhkan perlakuan pembakaran. Kebun dengan komoditas karet, kopi dan kelapa sawit yang
39
masa hidupnya lama hanya membutuhkan perlakuan membakar pada saat pembukaan lahan dan peremajaan. (2)
Perasaan takut terhadap sanksi. Sanksi yang berat yang pernah dikenakan pada beberapa orang di lain desa merupakan sumber ketakutan diantara pekebun. Informasi tersebut tersebar dari mulut ke mulut, adapula yang mendapatkan informasi tersebut melalui media massa. Reponden juga mendapatkan informasi tentang sanksi dan aturan dari kegiatan Balai KSDA Jambi melalui penyuluhan, pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA) serta pendekatan informal.
(3)
Perasaan segan terhadap petugas. Pendekatan petugas dalam hal ini Dinas Kehutanan, BKSDA Jambi dan Manggala Agni melalui kunjungan informal serta penyuluhan dan pelatihan pembentukan MPA mendapatkan respon dari masyarakat. Masyarakat yang sudah mengenal petugas, sering dikunjungi dan menjadi anggota MPA, menjadi merasa segan apabila melakukan pembakaran. Pernyataan bahwa mereka tidak lagi melakukan pembakaran ternyata tidak
sesuai dengan hasil analisa terhadap pengukuran sikap. Masyarakat yang mayoritas setuju-sangat setuju dengan paraktek pembakaran menyatakan tidak melakukan pembakaran lagi. Inkonsistensi sikap dan perilaku sangat mungkin terjadi namun juga mengindikasikan kemungkinan terjadi perubahan perilaku apabila dasar dari tidak dilakukannya perilaku tidak terpenuhi. Informasi perilaku masyarakat juga diungkapkan oleh aparat desa yang menyatakan bahwa masyarakat di desa mereka sudah tidak melakukan pembakaran lagi. Namun demikian, pada saat observasi lapangan serta informasi dari Manggala Agni yang didapatkan pada periode Juli–Agustus 2012 terjadi kebakaran di lokasi penelitian yaitu di Desa Serdang Jaya. Ketidakjujuran dalam menjawab pertanyaan ataupun desakan lain karena inkonsistensi sikap dan perilaku yang menjadikan rapuhnya sikap yang terjadi. Alasan lainnya adalah pelaku pembakaran bukan merupakan masyarakat desa setempat, yang mungkin terjadi karena maraknya pembukaan lahan dengan membakar yang dilakukan oleh orang–orang upahan dari luar desa pada tanah–tanah yang kepemilikannya tidak jelas.
40
5.4. Praktek
pembakaran,
upaya
pengendalian
dan
konservasi
keanekaragaman hayati Pilihan
cara
membakar
dalam
penyiapan
lahan
ternyata
masih
mempertimbangkan faktor pengendalian. Masyarakat melakukan pembakaran terkendali untuk lahan milik mereka, sedangkan lahan yang tidak jelas kepemilikannya biasanya tidak diperhatikan dan tidak dipedulikan oleh masyarakat. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat banyak terjadi praktek penjualan lahan perkebunan di Jambi, baik lahan milik maupun berstatus Areal Penggunaan Lain (APL), yaitu penjualan lahan yang tidak dibudidayakan pada orang luar baik luar kabupaten bahkan luar provinsi. Lahan tersebut biasanya dibakar oleh orang upahan tanpa memperhatikan pengendalian api sehingga ancaman karhutla akan tetap ada selama masih banyak kegiatan pembakaran lahan tidur terutama di APL. Yunus (2005) menyatakan bahwa status lahan berkorelasi positif dengan luas kebakaran hutan dan lahan, semakin rendah status kepemilikan lahan (property right) dan sistem pengawasan terhadap lahan semakin rendah, semakin besar peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kejadian kebakaran hutan dan lahan juga terkait dengan pengembangan perkebunan yang marak terjadi di Sumatera terutama di Jambi dan Riau. Supriyatna (2008) mencatat bahwa kebakaran hutan terus meningkat seiring dengan ekspansi perkebunan sawit. Pertumbuhan perkebunan sawit akan terus meningkat seiring dengan kebijakan pemerintah terkait target pengembangan perekonomian melalui perluasan perkebunan sawit dan karet baik di wilayah Sumatera maupun Kalimantan. Salah satu kebijakan pemerintah untuk pengembangan ekonomi melalui perluasan perkebunan karet dan sawit ditetapkan melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2025. Dalam MP3EI disebutkan bahwa untuk koridor ekonomi Sumatera akan berfokus pada tiga kegiatan ekonomi utama yaitu kelapa sawit, karet dan batu bara (Kemenko Bidang Perekonomian 2011). Dengan demikian peluang untuk memperluas perkebunan kelapa sawit dan karet semakin besar di seluruh wilayah Sumetera termasuk Jambi. Khusus untuk sawit, terjadi pertumbuhan 10 kali lipat dari tahun 1990 dengan luasan 44 763 Ha menjadi 430 610 Ha pada tahun 2007, dan pada
41
tahun 2008 tercatat 1 100 000 Ha izin pengusahaan sawit dengan luas kebun yang sudah diusahakan seluas 454 763 Ha, dengan demikian masih ada 645 229 Ha yang belum diusahakan (BI 2011). Apabila pelaksanaan kegiatan pembersihan lahan (land clearing) untuk perkebunan sawit serta peremajaan karet yang dilakukan masih menggunakan metode pembakaran tanpa upaya pengendalian, maka peluang terjadinya karhutla akan sangat besar yang akan terus mengancam upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. 5.5. Kebijakan terkait kebakaran hutan dan lahan Kejadian kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar pada tahun 1997/1998 mendapatkan banyak tanggapan berupa kebijakan baik dalam negeri maupun tingkat regional. Pada tingkat regional, pertemuan–pertemuan Menteri bidang Lingkungan Hidup di negara ASEAN, melahirkan perjanjian–perjanjian serta prosedur pelaksanaan (guidelines) terkait dengan penanggulangan bencana asap dan kebakaran hutan dan lahan. Perjanjian antara negara–negara ASEAN tentang penanggulangan bencana asap dituangkan dalam The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yang ditandatangani tanggal 10 Juni 2002, dalam perjanjian tersebut memberikan mandat kepada setiap negara untuk melakukan aksi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap dengan membentuk satuan tugas. Walaupun sampai saat ini pemerintah Indonesia belum meratifikasi perjanjian tersebut, namun beberapa pasal yang dimandatkan dalam perjanjian tersebut sudah dilaksanakan di Indonesia, misalnya tentang peningkatan upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta pembentukan satuan tugas. Salah satu prosedur pelaksanaan yang disusun adalah Guideline for The Implementation of The ASEAN Policy on Zero Burning yang dikeluarkan tahun 2003. Dalam dokumen ini, dapat dilihat bahwa zero burning diwajibkan untuk perusahaan perkebunan dan kehutanan komersil, sedangkan pelaksanaannya untuk masyarakat pekebun kemungkinan besar tidak dapat dilakukan karena keterbatasan biaya dan teknologi. Untuk masyarakat pekebun skala rumah tangga, petani dan peladang berpindah disusun juga pedoman pelaksanaan untuk pembakaran terkendali dalam Guideline for The Implementation of The ASEAN Policy on Controlled Burning Practices. Dokumen ini disusun berdasarkan
42
penelitian dari beberapa praktek pembakaran terkendali yang dilakukan oleh masyarakat di Sumatera dan Kalimantan (ASEAN 2003). Kenyataan bahwa masih banyak masyarakat tradisional yang melakukan pembakaran terkendali dalam penyiapan lahan baik untuk pertanian maupun perkebunan, mendasari pembuatan pedoman tersebut di negara-negara ASEAN. Hal ini memperlihatkan pengakuan terhadap praktek pembakaran terkendali yang dilakukan oleh masyarakat yang didasari dengan pertimbangan-pertimbangan kearifan lokal. Kebijakan pemerintah dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan diwujudkan juga dalam kerjasama dengan beberapa negara, misalnya Jepang (melalui JICA), Jerman (GTZ), Korea Selatan, Amerika, Kanada, Australia dan negara Uni Eropa (SSFFMP). Kerjasama tersebut dilakukan dalam bidang pendidikan, pelatihan, bantuan peralatan, bantuan teknik dan penelitian. Dari kerjasama tersebut, sudah banyak memberikan kontribusi terhadap upaya pengendalian karhutla, salah satunya dalam hal monitoring dini karhutla melalui teknologi satelit. Teknologi ini sangat bermanfaat untuk upaya monitoring, pencegahan dan penegakan hukum. Kebijakan pemerintah dalam format peraturan berupa undang – undang dan peraturan pemerintah yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan antara lain: Undang–Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang–Undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang–Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, dan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Hasil analisis disajikan dalam Tabel 7.
43
Tabel 7. Content analysis perundangan No Peraturan perundangan Undang - undang
Intepretasi mandat
1
UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
Larangan pembakaran hutan diberlakukan kepada badan usaha maupun perseorangan (pasal 50). Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Sanksi diberlakukan kepada pihak yang membakar baik sengaja maupun tidak sengaja/kelalaian (pasal 78)
2
UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang - undang ini menyatakan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan baik pekebun maupun perusahaan perkebunan dilarang melakukan pembakaran dalam penyiapan lahan (pasal 26), bagi pelanggar dikenakan sanksi berupa pidana dan denda (pasal 48)
3
UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 69 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, namun demikian masih ada ruang untuk masyarakat dengan kearifan lokal untuk melakukan pembakaran. Dalam penjelasan disebutkan bahwa kearifan lokal yang dimaksud adalah pembakaran maksimal 2 hektar per kepala keluarga, ditanami varietas lokal dan harus dilakukan sekat bakar.
Peraturan pemerintah 1 PP. No. 4 tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau lahan
2
PP. No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
Pasal 11 menyatakan bahwa setiap orang dilarang membakar hutan dan lahan. Pembakaran dapat digunakan untuk tujuan khusus dan kondisi yang tidak dapat dielakkan antara lain : pengendalian karhut, pembasmian hama penyakit,pembinaan habitat. Pelaksanaan harus mendapatkan ijin dari pejabat berwenang. Dalam PP ini memberikan mandat tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan di setiap jenjang pemerintahan, badan usaha dan perorangan. Pasal 19 memberikan penguatan terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang pengecualian penggunaan pembakaran dengan kondisi tertentu dan ijin dari pihak berwenang
Undang–undang kehutanan dan perkebunan dengan tegas melarang melakukan pembakaran baik di hutan maupun di lahan perkebunan. Pembakaran dianggap sebagai ancaman terhadap kelestarian hutan dan fungsinya serta gangguan terhadap lingkungan. Kearifan lokal yang dimaksud dalam UU No. 32 tahun 2009 menjadi rancu karena di lokasi penelitian, masyarakat menanam komoditas kopi, karet dan sawit yang bukan varietas lokal, walaupun lahan yang
44
dibuka biasanya kurang dari 2 Ha dan membuat sekat bakar. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 10 tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan memberikan arahan untuk masyarakat hukum adat
yang
menggunakan
pembakaran
dalam
penyiapan
lahan
agar
memberitahukan kegiatannya kepada Kepala Desa dan melakukan pengendalian dengan cara melakukan pembakaran tidak pada musim kemarau yang panjang serta dengan luasan di bawah 2 Ha untuk setiap kepala keluarga. Peraturan Pemerintah No.4 tahun 2001 dalam penjelasannya memberikan mandat kepada pemerintah daerah untuk melakukan pencegahan terhadap kebakaran hutan dan lahan yang diakibatkan oleh kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan dengan membakar. Berdasarkan peraturan ini, maka beberapa gubernur menyusun peraturan gubernur tentang pedoman pembukaan lahan bagi masyarakat, seperti yang dilakukan Gubernur Kalimantan Tengah
melalui
Pergub
No.52
tahun
2008.
Peraturan
tersebut
tetap
memperhatikan pengendalian dengan batasan luasan, pengaturan jam, perizinan dan pengawasan. Peraturan tersebut juga hanya diberlakukan pada kondisi iklim yang memungkinkan (normal) tidak pada kondisi kemarau panjang. Provinsi Riau pernah merancang aturan serupa namun karena banyak pihak yang menentang, rancangan aturan tersebut batal demi hukum. Provinsi Jambi sampai saat ini belum pernah merancang aturan serupa untuk memberikan legalisasi kegiatan pembakaran oleh masyarakat dengan persyaratan–persyaratan tertentu yang memungkinkan pelaksanaan pengendalian karhutla. Peraturan perundangan yang berlaku terkait dengan karhutla lebih banyak menyebutkan tentang larangan membakar beserta sanksi yang dikenakan bagi pelaku pembakaran. Pembakaran terbatas hanya dilakukan pada kondisi yang mendesak terutama untuk keperluan manajemen kawasan. Masyarakat yang masih diperbolehkan melakukan pembakaran adalah masyarakat adat dengan kearifan lokal dengan pengawasan dan perijinan yang ketat. Peran pemerintahan desa sebagai struktur pemerintahan terendah sangat diperlukan untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat. Namun demikian, aturan yang ada secara implisit menyatakan bahwa pembakaran
45
dalam penyiapan lahan harus dihindari dan menuntut agar segera diciptakan teknologi penyiapan lahan yang lebih efisien, efektif dan ekonomis yang dapat dilakukan oleh masyarakat agar tidak lagi melakukan pembakaran dalam penyiapan lahan.