133
V. Dalam
HASIL DAN PEMBAHASAN
merumuskan kebijakan dan skenario
pengelolaan untuk
selanjutnya membangun model kebijakan pengelolaan kawasan tepian air di Kota Semarang, dilakukan tahapan seperti Gambar 5.1 dibawah ini, dimana masukan utama
berupa:
(1)
Kinerja
Pengelolaan
Sumberdaya
Alam,
(2)
Keterpaduan/Keberlanjutan, (3) Sistem Dinamik dan Sistem Dinamik Spasial dengan bermacam masukan data termasuk analisis guna lahan menurut RTRW Kota Semarang tepian pantai, untuk selanjutnya dengan menggunakan Analitical Hierarchie Process (AHP) diperoleh (4) Alternatif Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian Pantai, untuk selanjutnya ditentukan Strategi Kebijakan Water Front City.
DATA
1.ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN SDA : NPV / BCR, CPI
KELAYAKAN PENGELOLAAN SDA
2. ANALISIS KEBERLANJUTAN : MDS, RAPFISH
Tingkat Keberlanjutan Indikator Keberlanjutan Faktor Pengungkit
MERUMUSKAN KEBIJAKAN DAN SKENARIO : Analytical Hirarchy Process
3. SISTEM DINAMIK : Analisis Stakeholder, Powersim
Sistem Dinamik & Sistem Spatial Dinamik
Analisis Guna Lahan RT RW
4 .GIS : ArcView
Model Kebijakan & Simulasi
REKOMENDASI KEBIJAKAN : Group Discussion
PERUMUSAN STRATEGI KEBIJAKAN
Gambar 5.1. Skenario Membangun Model
134
5.1
Menentukan Kelayakan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Tujuan 1)
5.1.1. Kajian kinerja ke-ekonomian sumberdaya a.
Sumberdaya/Habitat Mangrove
1.
Sustainable Management Berdasarkan hasil analisis citra pada tahun 2003 dan tahun 2007,
diketahui luasan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang telah mengalami penurunan luasan sebaran mangrove dari 135,38 Ha (2003) menjadi 93,56 Ha (2007) yang tersebar di wilayah Kecamatan Tugu (Kelurahan-kelurahan Mangkang Kulon, Mangkang Wetan, Mangunharjo); Kecamatan Genuk (Kelurahan Terboyo Kulon dan Terboyo Wetan) serta Kecamatan Gayamsari (Kelurahan Tambakrejo). Melalui program reboisasi pesisir Semarang potensi hutan mangrove dapat dipulihkan kembali menjadi lebih dari 135 Ha. ( seperti pada tahun 2003) dengan potensi ideal 300 ha. Hasil pengamatan dan analisa sampel (Kementerian Kelautan dan Perikanan) di sepanjang pantai Kota Semarang, mulai dari pantai Marina ke arah barat, pantainya bersubstrat pasir, sedangkan mulai Marina ke arah timur substrat pantai adalah pasir berlumpur. Jenis mangrove yang diidentifikasi antara lain Avicenia alba, A. Marina, A. Ovalis, Rhizophora mucronata, Lumnizea racemosa, Excoecaria agallocha, dan Pandanus sp. Pada opsi sustainable management, benefit yang diperoleh dari pengelolaan hutan mangrove berasal dari standing stock, kemampuan mangrove dalam menyediakan habitat perikanan, kehidupan liar (wildlife), biodiversitas, physical value dan existence value. Biaya yang harus dikeluarkan berupa investment cost, biaya pemeliharaan dan eksploitasi standing stock, fishing cost serta biaya pemanfaatan kehidupan liar. Analisis biaya manfaat konservasi habitat
yang digunakan oleh
Kusumastanto et al. (1998) dari hasil kajiannya di Selat Maaka, diperoleh data bahwa estimasi nilai standing stock hutan mangrove mencapai USD 165/ha/th, didasarkan pada volume log berdiameter 10 cm atau lebih dan tingkat eksploitasi yang diizinkan untuk kepentingan sustainable use selama 20 tahun masa pengelolaan (19.305 ha/th). Estimasi nilai mangrove dalam fungsinya sebagai penyedia habitat bagi berbagai jenis ikan (mencapai USD 1,522.24/ha/th),
135
didasarkan pada nilai produksi perikanan di seputar hutan. Estimasi nilai kehidupan liar didalam ekosistem mangrove (mencapai USD 8,22/ha/th), didasarkan pada kekayaan spesies seperti burung, mamalia dan reptil yang dimiliki hutan ini. Estimasi nilai biodiversitas ekosistem mangrove (mencapai USD 15/ha/th), disetarakan dengan nilai biodiversitas hutan hujan tropis (tropical rain forest) dengan fungsi ekologi tinggi. Data tersebut juga menunjukkan, bahwa investment cost pengelolaan hutan mangrove diestimasi mencapai USD 190,39/ha/th. Menurut Sumardjani (1993), eksploitasi dan perawatan standing stock hutan mangrove di Air Sugihan, Sumatra Selatan adalah USD. 102.93/ha/th. Fishing cost sumberdaya perikanan di sekeliling hutan mangrove diestimasi mencapai USD 681,95/ha/th; sedangkan biaya pemanfaatan kehidupan liar di dalam area hutan mangrove mencapai USD 0,59/ha/th. Secara keseluruhan, estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sustainable manajemen disajikan pada Tabel 5.1 Dengan mengadopsi data hasil penyelidikan Kusumastanto et al (1998) yang dilakukan di Selat Malaka (daerah tropis dengan kondisi tidak jauh berbeda dengan pesisir Semarang), dan Sumarjani tersebut diatas untuk diaplikasikan di Kota Semarang tepian pantai maka dengan luas total mencapai 135 ha, benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Semarang pada opsi sustainable management disajikan pada Tabel 5.2 Tabel 5.1. Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sutainable management Benefit-Cost Komponen Benefit Standing stock Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Existence value Cost Investment cost Standing stock Perikanan Kehidupan liar
Nilai (USD/ha/th) 165,00 1.522,24 8,22 15,00 726,26 2.516,40 190.39 102,93 681,95 0,59
Asumsi konstan per tahun konstan per tahun konstan per tahun konstan per tahun konstan per tahun konstan per tahun konstan per 5 tahun konstan per tahun konstan per tahun konstan per tahun
Kusumastanto et al.(1998)
136
Tabel 5.2. Benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi sustainable management Benefit-Cost Komponen Benefit Standing stock Perikanan Kehidupan liar Biodiversitas Physical value Existence value Cost Investment cost Standing stock Perikanan Kehidupan liar
2.
Nilai (USD/th) Asumsi 22.275,00 konstan per tahun 205.502,24 konstan per tahun 1.109,70 konstan per tahun 2.025,00 konstan per tahun 98.045,10 konstan per tahun 339.714,00 konstan per tahun 25.702,65 konstan per 5 tahun 13.895,00 konstan per tahun 92.063,25 konstan per tahun 79,65 konstan pet tahun
Sylvofisheries Opsi ini didasarkan pada asumsi
20% luas hutan mangrove yang
terbentuk digunakan untuk sylvofisheries, sisanya digunakan untuk sutainable management. Berdasarkan kondisi ini, data yang digunakan oleh Kusumastanto et al.(1998) menunjukkan bahwa benefit dari milkfish sylvofisheriy diestimasi mencapai USD 224,03/ha/th; polyculture sylvofishery USD 447,49/ha/th, dan shrimp sylvofishery USD 1.249,84/ha/th. Externality cost mencapai USD 825,91/ha/th, diestimasi berdasarkan hilangnya nilai ekonomi 20 % hutan mangrove akibat aktivitas sylvofisheries. Secara keseluruhan, estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sylvofisheries management disajikan pada Tabel 5.3. Dengan mengadopsi data tersebut untuk diaplikasikan di pesisir Semarang, dengan luas total mencapai 135 ha dan asumsi 20% luas hutan mangrove digunakan untuk sylvofisheries, benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah tepian pantai Kota Semarang pada opsi sylvofisheries management disajikan pada Tabel 5.4.
137
Tabel 5.3. Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sylvofishery (milkfish), polyculture, dan shrimp management Benefit and Cost
Komponen
Benefit
Sylvofishery1
224,03
konstan per tahun
Sylvofishery
2
447,49
konstan per tahun
Sylvofishery
3
1.248,64
konstan per tahun
Standing stock
132,00
konstan per tahun
Perikanan
1.217,79
konstan per tahun
Hidupan liar
6,58
konstan per tahun
Biodiversitas
12,00
konstan per tahun
Physical value
581,02
konstan per tahun
Existence value
2.013,12
konstan per tahun
Investment cost1
30,45
konstan per 5 tahun
Investment cost2
36,18
konstan per 5 tahun
Investment cost 3
153,47
konstan per 5 tahun
Sylvofishery1
46,24
konstan per tahun
Sylvofishery
2
47,53
konstan per tahun
Sylvofishery
3
215,49
konstan per tahun
Standing stock
82,34
konstan per tahun
Perikanan
545,56
konstan per tahun
Hidupan liar
0,47
konstan per tahun
Eksternalitas
825,91
konstan per tahun
Cost
Nilai(USD/ha/th)
Asumsi
Kusumastanto et al.(1998)
Berdasarkan data pada Tabel 5.1; 5.2; 5.3; 5.4 dilakukan analisis kelayakan untuk setiap opsi pengelolaan hutan mangrove dengan hasil disajikan pada Tabel 5.5. Perhitungan secara detail aliran benefit dan cost untuk setiap opsi pengelolaan disajikan pada Lampiran-lampiran 7, 8, 9, 10 halaman-halaman 268, 272, 276, 300. Indikasi kelayakan kriteria pengelolaan ditunjukkan oleh nilai NPV positif dan BCR dari semua opsi pengelolaan bernilai > 1.
138
Tabel 5.4. Benefit dan Cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi: sylvofishery(milkfish)1, (polyculture)2, dan (schrimp)3 management Benefit-Cost
Komponen
Benefit
Sylvofishery1
Cost
Nilai (USD/tahun)
Asumsi
6.048,81
konstan per tahun
Sylvofishery
2
12.082,23
konstan per tahun
Sylvofishery
3
33.713,28
konstan per tahun
Standing stock
3.564,00
konstan per tahun
Perikanan
32.880,33
konstan per tahun
Hidupan liar
177,66
konstan per tahun
Biodiversitas
324,00
konstan per tahun
Physical value
15.687,54
konstan per tahun
Existence value
54.354,24
konstan per tahun
Investment cost1
822,15
konstan per 5 tahun
Investment cost2
976,86
konstan per 5 tahun
Investment cost
3
4.143,69
konstan per 5 tahun
Sylvofishery
1
1.248 ,48
konstan per tahun
Sylvofishery
2
1.283,31
konstan per tahun
Sylvofishery3
5.818,23
konstan per tahun
Standing stock
2.223,18
konstan per tahun
Perikanan
14.730,12
konstan per tahun
Hidupan liar
12,69
konstan per tahun
Eksternalitas
22.299,57
konstan per tahun
Tabel 5.5. Net Present Value (NPV) untuk setiap opsi manajemen dan BCR, Sumber: Kusumastanto et al. (1998) No.
Opsi Manajemen
NPV (USD/ha)
BCR
1
Sustainable Management
17.391,78
5,96
2
Sylvofishery Milkfish
9.825,21
2,52
3
Sylvofishery Milkfish and Shrimp
12.259,16
2,92
4
Sylvofishery Shrimp
14.789,20
3,05
139
Dengan luas total mencapai 135 ha, Opsi manajemen hutan mangrove di wilayah Kota Semarang tepian pantai mempunyai NPV dan BCR seperti pada Tabel 5.6. (detil perhitungan disajikan pada Lampiran 7, 8, 9, 10; halaman 268, 272, 276 dan 300 ).
Tabel 5.6.
Hasil analisis kelayakan dari beberapa opsi pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang
No
Opsi Pengelolaan
NPV(USD)
BCR
Hasil Analisis
1
Sustainable Management
4.736.988,00
5,94
Layak
2.
Milkfish sylvofishery
4.405.319,00
2,78
Layak
3.
Polyculture sylvofishery
4.456.069,00
2,92
Layak
4.
Shrimp sylvofishery
4.595.085,00
3,04
Layak
b.
Beach Resources
b.1.
Beach Protected Areas Pesisir Semarang sepanjang 25 km. (Rencana Tata Ruang Pesisir Kota
Semarang, 2007) yang dimiliki oleh 4(empat) Kecamatan berbatasan langsung dengan Laut Jawa yaitu Kecamatan Tugu (31,78 km2), Kecamatan Semarang Barat (21,74 km2), Kecamatan Semarang Utara (10,97 km2) dan Kecamatan Genuk (27,74 km2) serta 2(dua) diantaranya masih dipengaruhi oleh karakteristik wilayah pesisir secara fisik maupun sosial ekonomi, yaitu Kecamatan Semarang Timur (7,71 km2) dan Kecamatan Gayamsari (6,18 km2). Pengelolaan beach resources pada opsi beach protected areas selain berpotensi menghasilkan manfaat langsung (direct benefit) dan manfaat tidak langsung (indirect benefit), juga beresiko menanggung biaya langsung (direct cost). Manfaat langsung yang diperoleh berasal dari aktivitas wisata dan aktivitas ekonomi lain seperti bungalow (hotel) dan restoran yang dapat dikembangkan di area ini. Manfaat tidak langsung yang diperoleh berupa perlindungan garis pantai (shorline protection).
Biaya langsung yang harus ditanggung berupa biaya
investasi (investment cost) dan biaya perawatan (maintenance cost) untuk bungalow (hotel) dan restoran. Manfaat dan biaya langsung dari aktivitas wisata
140
dan aktivitas ekonomi langsung dihitung berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh direktorat jenderal pariwisata. Secara keseluruhan, berdasarkan data-data yang digunakan oleh Kusumastanto et al.(1998), estimasi manfaat dan biaya pengelolaan beach resources pada opsi beach protected areas adalah:
Tabel 5.7.
Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi beach protected areas
Benefit-Cost Komponen Benefit
Asumsi
Wisata pantai
15.024,00
Bungalow (hotel)
9.659.220,48 tetap per tahun
Restoran Pemanenan telur penyu
Cost
Nilai (USD/km/th)
tetap per tahun
1.614.351,20 tetap per tahun 224.640,00
tetap per tahun
Hidupan liar
5.974,71
tetap per tahun
Shoreline protection
4.000.000,00 tetap per tahun
Investment cost: Bungalow (hotel)
7.152.240,00 tetap per 10 tahun
Restoran
1.760.000,00 tetap per 10 tahun
Maintenance cost: Bungalow (hotel)
572.179,20
tetap per tahun
Restoran
140.800,00
tetap per tahun
Penyu
1,85
tetap per tahun Kusumastanto et al. (1998)
Berdasarkan data-data tersebut, dengan panjang pantai mencapai 25 km, manfaat dan biaya pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Semarang pada opsi beach protected areas disajikan pada Tabel 5.8.
141
Tabel 5.8
Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Kota Semarang pada opsi beach protected areas
Benefit-cost
Komponen
Benefit
Wisata pantai
Nilai (USD/th) 375.600
tetap per tahun
241.480.512
tetap per tahun
Restoran
40.358.780
tetap per tahun
Pemanenan telur penyu
5.616.000
tetap per tahun
149.367
tetap per tahun
100.000.000
tetap per tahun
178.806.000
tetap per 10 tahun
Bungalow (hotel)
Hidupan liar Shoreline protection Cost
Asumsi
Investment cost: Bungalow (hotel) Restoran
44.000.000 tetap per 10 tahun
Maintenance cost: Bungalow (hotel) Restoran Penyu
b.2.
14.304.480
tetap per tahun
3.520.000
tetap per tahun
46,25 tetap per tahun
Set Back Zone Opsi set back Zone, selain berpotensi menghasilkan direct dan indirect
benefit, juga beresiko menanggung direct cost. Direct benefit yang dihasilkan berasal dari aktivitas wisata dan aktivitas ekonomi lain seperti bungalow (hotel) dan restoran. Indirect benefit yang diperoleh berupa shoreline protection. Direct cost yang harus ditanggung berupa investment cost dan maintenance cost untuk bungalow (hotel) dan restoran. Secara keseluruhan, berdasarkan data-data yang digunakan oleh Kusumastanto et al. (1998), estimasi benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi set back zone disajikan sebagai berikut:
142
Tabel 5.9 Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi set back zone Benefit-cost Benefit
Cost
Komponen Nilai (USD/km/th) Asumsi Wisata pantai 18.780,00 tetap per tahun Bungalow (hotel) 12.074.025,60 tetap per tahun Restoran 2.017.939,00 tetap per tahun Shoreline protection 4.000.000,00 tetap per tahun Investment cost: Bungalow (hotel) 8.490.300,00 tetap per 10 tahun Restoran 2.220.000,00 tetap per 10 tahun Maintenance cost: Bungalow (hotel) 849.030,00 tetap per tahun Restoran 222.000,00 tetap per tahun Kusumastanto et al. (1998)
Berdasarkan data-data tersebut, dengan panjang pantai mencapai 25 km., benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Semarang pada opsi set back zone disajikan pada Tabel 5.10. Tabel 5.10.
Taksiran benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi set back zone Kota Semarang tepian pantai
Benefit-cost Benefit
Komponen Wisata pantai Bungalow (hotel) Restoran Shoreline protection Investment cost: Bungalow (hotel) Restoran Maintenance cost: Bungalow (hotel) Restoran
Cost
Tabel 5.11
No. 1. 2.
Nilai (USD/th) 469.500,00 301.850.625 50.448.475 100.000.000
Asumsi tetap per tahun tetap per tahun tetap per tahun tetap per tahun
212.257.500 55.500.000
tetap per 10 tahun tetap per 10 tahun
21.225.750 5.550.000
tetap pertahun tetap per tahun
Hasil analisis kelayakan dari dua opsi pengelolaan beach resources di wilayah pesisir Kota Semarang
Opsi pengelolaan Beach protected areas Set back zone
NPV (USD) 2.642.855.245 2,960.139.518
BCR 8,34 6,44
Hasil analisis layak layak
143
Detil perhitungan NPV dan BCR disajikan pada Lampiran-lampiran 11 dan 12, pada halaman 284 dan 288.
5.1.2. Pilihan Pengelolaan Sumberdaya Untuk memilih dari beberapa alternatif pilihan pengelolaan sumber daya yang ada yang paling layak dikembangkan di wilayah pesisir Kota Semarang, dibuat peringkat dari beberapa alternatif pilihan yang ada dengan menggunakan teknik perbandingan indeks kinerja Comparative Performance Index (CPI). a)
Pilihan Pengelolaan Sumberdaya/Habitat Mangrove Tabel 5.5. di transformasikan menjadi Tabel 5.12 matriks awal penilaian
pilihan
pengelolaan sumberdaya habitat mangrove di wilayah pesisir Kota
Semarang. Tabel 5.12. Matriks awal penilaian pilihan pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang No
Opsi Pengelolaan
1 2. 3. 4.
Sustainable Management Milkfish sylvofishery Polyculture sylvofishery Shrimp sylvofishery Bobot criteria
Tabel 5.13.
NPV(USD) 4.736.988,00 4.405.319,00 4.456.069,00 4.595.085,00
0,4
BCR 5,96 2,52 2,92 3,05
Hasil Analisis Layak Layak Layak Layak
0,6
Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian pilihan pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir Kota Semarang
No.
1 2 3 4
Pilihan pengelolaan
Sustainable management Milkfish sylvofishery Polyculture sylvofishery Shrimp sylvofishery Bobot criteria
Kriteria NPV BCR (USD) 107,3 236,5 100,0 100,0 101,2 115,9 104,3 121,0 0,4 0,6
Nilai pilihan 184,8 100,0 110,0 114,3
Peringkat
1 4 3 2
144
Perhitungan secara detil aliran benefit dan cost untuk setiap opsi pengelolaan disajikan pada Lampiran. Tabel 5.13 menunjukkan bahwa pilihan pengelolaan Sustainable management menempati peringkat pertama (1), disusul Shrimp sylvofishery (2), Polyculture sylfofishery (3) dan terakhir Milkfish sylvofishery (4). Hasil ini juga menunjukkan bahwa
sustainable
management
merupakan
pilihan
pengelolaan
sumberdaya/habitat mangrove yang dinilai paling layak dikembangkan di wilayah tepian pantai Kota Semarang. Atas hal tersebut, pembabatan hutan mangrove harus segera dihentikan dan perlu di prioritaskan untuk dilakukan penanaman kembali.
a.
Pilihan Pengelolaan Beach Resources Penilaian pilihan pengelolaan beach resources di wilayah tepian pantai
Kota Semarang dilakukan menggunakan matriks yang disajikan pada Tabel 5.14 yang merupakan hasil transformasi Tabel 5.11
Tabel 5.14.
Matriks awal hasil penilaian pilihan beach resources di wilayah tepian pantai Kota Semarang
No. Opsi pengelolaan NPV (USD) 1. Beach protected areas 2.642.855.245 2. Set back zone 2,960.139.518 Bobot kriteria 0,4
Tabel 5.15
No.
1 2
BCR 8.34 6.44 0,6
Hasil analisis layak layak
Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian pilihan pengelolaan beach resources di wilayah tepian pantai Kota Semarang
Pilihan pengelolaan
Beach protected areas Set back zone Bobot criteria
Kriteria NPV BCR (USD) 100,0 129,5 112,0 100,0 0,4 0,6
Nilai pilihan
Peringkat
117,7 104,8
1 2
145
Tabel 5.15 menunjukkan bahwa pilihan pengelolaan beach protected areas menempati peringkat pertama (1), disusul oleh set back zone yang menempati peringkat ke dua (2).Atas hal tersebut, perlu dilakukan langkah nyata untuk melindungi wilayah pantai, mengingat kecenderungan yang terjadi selama ini menunjukkan, bahwa berbagai proses baik yang bersifat alami maupun antropogenik
seperti
abrasi,
akresi
dan
reklamasi
pantai,
cenderung
menimbulkan dampak yang merugikan baik dari aspek biofisik, ekonomi maupun sosial.
5.2
Menentukan Tingkat Keberlanjutan dan Indikator-indikator Keberlanjutan (Tujuan 2) Analisis data dengan pendekatan Multi-Dimensional Scalling (MDS),
meliputi aspek keberlanjutan dari dimensi ekologi, sosial-ekonomi dan budaya, infrastruktur,
serta
kelembagaan.
Selanjutnya,
dilakukan
pula
analisis
multidimensi dengan menggabungkan seluruh atribut dari lima dimensi keberlanjutan.
5.2.1
Analisis Keberlanjutan berdasar dimensi
(a)
Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Atribut yang dipertimbangkan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri dari dua belas atribut : (1) Prosentase Ruang Terbuka Hijau di hulu, (2) Prosentase Ruang Terbuka Hijau di hilir, (3) Pencemaran udara Kota Semarang, (4) Tingkat pencemaran air, (5) Sedimentasi, (6) Erosi, (7) Abrasi, (8) Pengelolaan sampah, (9) Tingkat penggunaan air tanah, (10) Kesesuaian penggunaan lahan dengan RTRW, (11) Aktivitas sempadan sungai (12) Aktivitas sempadan pantai.
146
Gambar 5.2.
Analisis RAP-WITEPA yang sustainabilitas dimensi ekologi.
menunjukkan
nilai
indeks
Berdasarkan hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA, diketahui nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi wilayah tepian pantai Kota Semarang untuk pengembangan Kota Semarang tepian pantai adalah 44,72% pada skala sustainabilitas 0-100. Jika dibandingkan dengan nilai RAP-WITEPA yang bersifat multi dimensi, maka nilai indeks dimensi ekologi berada dibawah ratarata (50,85%) dan termasuk kategori “kurang berkelanjutan”, yaitu terletak pada kisaran “26 – 50”.
147
Gambar 5.3. Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS RAP-WITEPA
Hasil analisis Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi: (1) Erosi, (2) Abrasi dan (3) Sedimentasi. (b)
Status Keberlanjutan Dimensi Sosial- Ekonomi Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari dua belas atribut, antara lain: (1) Jumlah penduduk miskin (%), (2) Pengangguran terbuka (%), (3) Lama pendidikan, (4) Balita kurang gisi, (5) Akses terhadap sanitasi, (6) Angka harapan
hidup,
(7)
Partisipasi
masyarakat
dalam
pengelolaan
w.f.c.
berkelanjutan, (8) Persepsi masyarakat terhadap w.f.c., (9) Kepadatan penduduk,
148
(10) Tingkat kriminalitas/konflik masyarakat, (11) PDRB per kapita, (12) Akses masyarakat terhadap pantai (beach). Berdasarkan hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA, diperoleh nilai indeks keberlanjutan dimensi Sosial-ekonomi wilayah Kota Semarang tepian pantai sebesar 51,91% pada skala sustainabilitas 0 – 100 dan ada kecenderungan akan mengalami penurunan di masa-masa mendatang. Jika dibandingkan dengan nilai RAP-WITEPA (50,85%) yang bersifat multidimensi maka nilai indeks dimensi ekonomi berada sedikit diatas, dan masuk kedalam kategori “cukup berkelanjutan”, yaitu terletak pada kisaran nilai “50 – 75”. Hasil analisis Leverage diperoleh dua atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-ekonomi: (1) Akses masyarakat terhadap pantai, (2) Pengangguran terbuka.
Gambar 5.4.
Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekonomi
149
Gambar 5.5.
Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk
(c)
perubahan RMS RAP-WITEPA
Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi infrastruktur terdiri sembilan atribut, antara lain: (1) Teknologi ecoport, (2) Reklamasi lahan, (3) Pembangunan polder dan saluran drainase, (4) Ketersediaan teknologi informasi, (5) Kondisi pelabuhan, (6) Soft/hard engineering, (7) Kondisi jalan dan jembatan, (8) Kecukupan energi (listrik), (9) Kondisi perumahan di pemukiman. Berdasarkan hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi infrastruktur wilayah Kota Semarang tepian pantai sebesar 54,41 pada skala sustainabilitas 0 – 100 dan ada kecenderungan
150
akan mengalami peningkatan di masa-masa mendatang. Jika dibandingkan dengan nilai RAP-WITEPA (50,85) yang bersifat multidimensi maka nilai indeks dimensi Infrastruktur berada diatas, dan masuk kedalam kategori “Cukup berkelanjutan”, yaitu terletak pada kisaran nilai “50 – 75”. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur, seperti Gambar 5.13.
Gambar 5.8.
Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi infrastruktur dan teknologi
Hasil analisis Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur: (1) Teknologi ecoport, (2) Reklamasi lahan, (3) Kondisi pelabuhan.
151
Gambar 5.9. Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS RAP-WITEPA
(d)
Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh tingkat keberlanjutan
terdiri dari enam atribut, antara lain: (1) Kebijakan pengelolaan w.f.c., (2) Sinkronisasi kebijakan PEMDA mengenai w.f.c. (3) Peran swasta dalam pengambilan kebijakan perencanaan, pengelolaan, pengawasan w.f.c., (4) Ketersediaan pengawasan dan penegakan hukum, (5) Peran LSM dalam pengambilan kebijakan perencanaan, pengelolaan, pengawasan w.f.c., (6) Kelembagaan Mitigasi bencana.
152
Gambar 5.10.
Analisis RAP-WITEPA yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan
Hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan wilayah Kota Semarang tepian pantai adalah sebesar 52,38% pada skala sustainabilitas 0 – 100 dan ada kecenderungan akan mengalami penurunan di masa-masa yang akan datang. Jika dibandingkan dengan nilai RAP-WITEPA (50,85) yang bersifat multidimensi maka nilai indeks dimensi kelembagaan berada diatas, dan masuk kedalam kategori “cukup berkelanjutan”, yaitu pada kisaran nilai “50 – 75”. Berdasarkan hasil analisis Leverage diperoleh dua atribut yang sensitif nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan: (1) Mitigasi bencana, (2) Kebijakan yang sudah disahkan.
153
Gambar 5.11. Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RAP-WITEPA Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, sosial-ekonomi, infrastruktur, serta kelembagaan dapat digambarkan dalam diagram layang nilai indeks keberlanjutan seperti pada Gambar 5.17.
DIAGRAM LAYANG-LAYANG WFC KOTA SEMARANG No 1 2 3 4
Dimensi Ekologi Sosial Ekonomi Infrastruktur Kelembagaan
Nilai Indeks 44,72 51,91 54,41 52,38
154
Gambar 5.12. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan fungsifungsi
5.2.2. Status Keberlanjutan Multidimensi Secara multidimensi, nilai indeks keberlanjutan wilayah Kota Semarang tepian pantai saat ini (existing condition), sebesar 50,85 persen dan termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Ini berarti bahwa baik dilihat dari sisi weak sustainability maupun strength sustainability, maka dapat dikatakan bahwa wilayah Kota Semarang tepian pantai termasuk dalam kategori berkelanjutan, kerena semua dimensi berada pada kategori cukup berkelanjutan.. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 39 atribut dari empat dimensi keberlanjutan. Dari 39 atribut yang dianalisis, terdapat 10 atribut yang sensitif berpengaruh atau perlu di intervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan wilayah Kota Semarang tepian pantai. Perbaikan terhadap atribut-atribut tersebut merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh stakeholder yang terkait dalam pengembangan pengelolaan Kota Semarang tepian pantai, namun yang paling penting adalah peran pemerintah, baik Pemerintah Pusat, mupun Pemerintah Daerah Kotamadya
155
Semarang sebagai fasilitator dalam membuat program rintisan kebijakan pengelolaan Kota Semarang tepian pantai dan selanjutnya menyerahkan kepada masyarakat setempat untuk melaksanakannya secara partisipatif. Untuk melihat tingkat kesalahan dalam analisis MDS dengan RAPWITEPA, dilakukan analisis Monte Carlo. Berdasarkan hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa kesalahan dalam analisis MDS bisa diperkecil. Ini terlihat dari nilai indeks keberlanjutan pada analisis MDS tidak banyak berbeda dengan nilai indeks pada analisis Monte Carlo. Ini berarti, kesalahan dalam proses analisis dapat diperkecil, baik dalam hal pembuatan skoring tiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada Tabel 5.17.
Tabel 5.17.
Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan multidimensi
dan
masing-masing
dimensi
pada
selang
kepercayaan 95%. Status Indeks
Hasil MDS
Ekologi 44,72 Sosial-Ekonomi 51,91 Infrastruktur 54,41 Kelembagaan 52,38 Multi-Dimensi 50,86 Sumber: Hasil Analisis,Tahun 2011.
Hasil Montecarlo 44,44 51,86 53,81 51,80 50,48
Perbedaan 0,28 0,05 0,60 0,58 0,38
Untuk mengetahui apakah atribut-atribut yang dikaji dalam analisis MDS dilakukan cukup akurat dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, dilihat dari nilai stress dan nilai koefisien determinasi (R). Nilai ini diperoleh secara otomatis dalam analisis MDS dengan menggunakan software Rapfish yang dimodifikasi menjadi RAP-WITEPA. Hasil analisis dianggap cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan apabila memiliki nilai stress lebih kecil dari 0,25 atau 25 persen dan nilai koefisien determinasi (R) mendekati nilai 1,0 atau 100 persen (Kavanagh dan Pitcher, 2004).
156
Hasil analisis MDS dengan RAP-WITEPA menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji, cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat dari nilai stress yang hanya berkisar antara 13 sampai 17 persen dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh berkisar antara 0,94 sampai 0,96. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi seperti tabel 5.18 berikut.
Tabel 5.18 . Hasil analisis RAP-WITEPA untuk beberapa parameter statistik.
Stress = Squared Correlation (RSQ) = % Analisis
5.3
Ekologi
SosialEkonomi
Infrastruktur
Kelembagaan
MultiDimensi
0,136045
0,141059
0,151586
0,161272
0,1474905
0,95366
0,950945
0,946648
0,942451
0,948426
44,72%
51,91%
54,41%
52,38%
50,85%
Membangun Model Pengelolaan Semarang “water front city”secara Berkelanjutan (Tujuan 3)
5.3.1
Sistem Dinamik
5.3.1.1. Analisis kebutuhan Berdasarkan hasil identifikasi bahwa stakeholders yang terlibat dalam sistem pengelolaan wilayah kota tepian air pada dimensi kebijakan publik dan perencana adalah: pemerintah yang mewakili kepentingan publik, investor selaku pemberi bantuan penyediaan dana dalam mewujudkannya, masyarakat setempat dan lembaga swadaya masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat, pelaku usaha yang menyebabkan berjalannya aktivitas ekonomi dalam pelaksanaanya serta akademisi yang mewakili kalangan intelektual. Dalam tahap ini, dilakukan inventarisasi kebutuhan stakeholder yang ter libat, sebagai masukan dalam model. Masing-masing pelaku memiliki kebutuhan dan pandangan terhadap dampak-dampak pengembangan kota wilayah tepian air pada keberlanjutan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan.
Analisa
kebutuhan stakeholders dalam sistem pengelolaan wilayah tepian air pada dimensi kebijakan publik disajikan pada Tabel 5.19.
157
Tabel 5.19. Analisis kebutuhan Stakeholders dalam sistem pengelolaan wilayah tepian air No. 1.
Pihak Berkepentingan Pemerintah
2.
Pelaku Usaha
Mentaati kebijakan dan regulasi Pelaksanaan kegiatan yang berjalan lancar dan aman sesuai dengan teknologi dan biaya yang tersedia Tidak menimbulkan perncemaran lingkungan Tidak menimbulkan konflik sosial dan ekonomi Rencana kegiatan disetujui pemerintah dan masyarakat
3.
Masyarakat setempat
Peningkatan pendapatan Keberlanjutan pelayanan publik yang lebih baik Kesinambungan daya dukung perikanan Keberlanjutan program sosial, ekonomi dan ekologi Alternatif dan peningkatan lapangan kerja Perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan untuk kehidupannya di masa mendatang Keterlibatan dalam pembuatan kebijakan kawasan Kesehatan dan peningkatan kualitas hidup Penurunan frekuensi konflik
4.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Tidak ada pencemaran lingkungan Tidak melanggar hak-hak masyarakat setempat Terpenuhinya kebutuhan masyarakat Penurunan frekuensi konflik
5
Kalangan perguruan tinggi (akademisi)
Tidak ada pencemaran lingkungan. Tidak ada penurunan pendapatan ekonomi pemerintah dan masyarakat Keterlibatan dalam pembuatan kebijakan kawasan
6
Investor
Pembayaran atas hak-hak Iklim investasi yang baik Adanya sumber kegiatan ekonomi baru yang dapat meningkatkan aktifitas ekonomi kawasan Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan konflik sosial
Kebutuhan Mengatasi masalah banjir, intrusi air laut dan minimisasi limbah Perluasan lapangan kerja Adanya sumber pendapatan ekonomi Peningkatan peran tepian air pada perekonomian wilayah Peningkatan investasi ekonomi Terjaganya kualitas lingkungan Kelestarian fungsi ekosistem Tidak menimbulkan konflik social Sejalan dengan tujuan pembangunan dan pengembangan wilayah
158
5.3.1.2.Formulasi Masalah Formulasi permasalahan merupakan aktivitas merumuskan permasalahan sistem yang dikaji. Permasalahan sistem merupakan gap antara kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada, yaitu merupakan kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan para pelaku, dan pada kondisi nyata. Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja dalam rangka mencapai tujuan. Adapun permasalahan dasar tersebut diuraikan dalam Analisis Multidimentional Scaling terdiri dari : 1. Pemberdayaan masyarakat: mewakili dimensi Sosial Budaya, terdiri dari pemberdayaan
masyarakat,
kepadatan
perumahan,
dan
persepsi
masyarakat. 2. Tingkat pemanfaatan lahan: mewakili dimensi ekologi, terdiri dari: tingkat pemanfaatan lahan, kejadian kekeringan, eksploitasi sumberdaya alam, kondisi prasarana jalan, biodiversitas, pengelolaan sampah. 3. Kontribusi sektor industri dan kehutanan: mewakili dimensi ekonomi, terdiri dari: kontribusi sektor industri, perubahan jumlah sarana ekonomi ,kontribusi sektor kehutanan, dan kontribusi sektor jasa. 4. Sarana dan prasarana infrastruktur mewakili dimensi Infrastruktur danTeknologi, terdiridari: Sarana listrik, reklamasi lahan,
dukungan
sarana dan prasarana jalan. 5. Ketersediaan organisasi masyarakat mewakili dimensi Hukum dan Kelembagaan, terdiri dari: daerah, transparansi dalam kebijakan.
5.3.1.3.Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan langkah penting untuk menetapkan ukuran ukuran kuantitatif dari berbagai variabel pada pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian pantai berkelanjutan. Langkah ini di interpretasi kan kedalam diagram input-output dan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam sistem digambarkan dalam bentuk diagram simpal kausal.
159
a. Diagram Input-Output Diagram input-output sistem pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian pantai berkelanjutan disajikan pada Gambar 5.13. Input sistem terdiri dari input eksternal dan internal. Secara garis besar ada enam kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja suatu sistem, yaitu: (1) variabel output yang dikehendaki, yang ditentukan berdasarkan hasil analisa kebutuhan, (2) variabel output yang tidak dikehendaki, (3) variabel input yang terkontrol, (4) variabel input yang tidak terkontrol, (5) variabel input lingkungan dan (6) variabel kontrol sistem . Input Lingkungan UU No.23/1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No.32/2004 Pemerintah Daerah UU No.27/2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir UU No.26/2007 Penataan Ruang Kapasitas Hukum/PP
Output yang diinginkan Input tak terkontrol 1. 2. 3. 4. 5.
1.
Pergantian Musim Pasang Surut Air Laut Pemanasan Global Permukiman Penduduk Ekonomi Regional
2. 3. 4. 5. 6.
Reduksi pencemaran dengan pengolahan limbah Adaptasi banjir dan pengelolaan air bersih Meningkatnya kesehatan masyarakat dan lingkungan Perluasan lapangan kerja Minimalisasi konflik Peningkatan PAD
Model pengelolaan kota wilayah tepian air
Input terkontrol 1. Pemberdayaan masyarakat 2. Tingkat pemanfaatan lahan 3. Kontribusi sektor industri dan Kehutanan 4.Sarana dan prasarana infrastruktur 5.Ketersediaan organisasi masyarakat
Output yang tidak diinginkan 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Meningkatnya pencemaran lingkungan Belum teratasinya permasalahan banjir dan kebutuhan air bersih Kesehatan masyarakat dan lingkungan semakin menurun Meningkatnya pengangguran Frekuensi konflik tinggi Menurunnya PAD
Evaluasi dan Manajemen Pengembangan Kota Wilayah Tepian Air
Gambar 5.13 Diagram black box (input-output) sistem pengelolaan kota wilayah tepian air
160
Pada Gambar 5.13 nampak bahwa dalam sistem pengelolaan wilayah tepian air masukan/input yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan adalah input lingkungan, input terkontrol, dan input tak terkontrol. Input lingkungan bersifat eksternal, mempengaruhi sistem, tetapi tidak dipengaruhi oleh sistem. Pada sistem pengelolaan lingkungan wilayah Kota Semarang tepian pantai , input lingkungan terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah tersebut mencakup peraturan dan perundangan diantaranya adalah UU No. 32/2009 (pengelolaan lingkungan hidup), UU No. 32/2004 (pemerintah daerah), UU No. 26/27 (penataan ruang), UU No. 27/2007 (pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) dan Kapasitas Hukum/PP. Input internal diperlukan agar sistem memiliki kinerja yang baik. Terdapat 2 macam input internal, yaiti input terkontrol dan tak terkontrol. Input terkontrol berperan penting untuk mengubah kinerja sistem merupakan input/masukan yang dapat dikendalikan/dikontrol pelaksanaan manajemennya dalam sistem, sedangkan input tidak terkontrol merupakan inputan yang berada diluar kemampuan kendali ( musim, pasang surut ait laut) tetapi tetap diperlukan agar sistem dapat berfungsi dengan baik. Input tak terkontrol merupakan input/masukan yang tidak dapat dikontrol. Variabel-variabel yang mencakup input terkontrol adalah merupakan hasil analisis keberlanjutan atas elemen program dalam membangun sistem, yaitu pemberdayaan masyarakat; tingkat pemanfaatan lahan; kontribusi sektor industri dan perdagangan; sarana dan prasarana infra struktur serta ketersediaan organisasi masyarakat. Variabel-variabel yang termasuk input tidak terkontrol yaitu pergantian musim pasang surut air laut, sumberdaya lahan, sumber daya alam, limbah/pencemaran dan pemanasan global. Dalam proses umpan balik terhadap input terkontrol dan tidak terkontrol diperoleh output yang dikehendaki dan tidak dikehendaki yang dapat digunakan untuk menilai kinerja sistem. Output yang dikehendaki merupakan respons sistem terhadap kebutuhan adalah output dari hasil umpan balik input yang diharapkan muncul dalam sistem, sedangkan output yang tidak dikehendali merupakan output yang tidak dikehendaki terjadi,
161
merupakan hasil sampingan yang tak dapat dihindarkan selama sistem memproduksi output yang dikehendaki. Output/keluaran yang dikehendaki dari pelaksanaan sistem yaitu kelestarian lingkungan, kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan daerah, infrastruktur memadai, peningkatan pendapatan masyarakat, mampu beradaptasi dengan banjir.
Sementara itu, output atau keluaran yang tidak
dikehendaki yaitu: Meningkatnya pencemaran lingkungan, belum teratasinya permasalahan banjir dan kebutuhan air bersih, kesehatan masyarakat dan lingkungan semakin menurun, meningkatnya pengangguran, frekuensi konflik tinggi, menurunnya PAD.
b.
Diagram Simpal Kausal Untuk melihat hubungan antar variabel-variabel dalam sistem dapat
digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal loop diagram). Dari diagram sebab akibat (causal loop) diketahui bahwa dalam sistem pengelolaan kota wilayah tepian air, aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan ternyata memiliki peranan/pengaruh terhadap tingkat keberhasilan pengelolaan. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sistem pengelolaan kota wilayah tepian air dapat dilihat pada Gambar 5.14. +
Pe ndapatan Masyarakat +
Pe ngangguran + Lapa ngan Ke rja
Ang kata n Ke rja Pe ndapatan Dae rah
+
+
+ +
Aktivita s Ekono mi
P opulasi P e nduduk
+ Ke butuhan Ru ang +
+
+
-
+
Ke te rse diaan Ruang
De gradasi Lingkungan
+ Pe rtumbu han Ekono mi
Gambar 5.14 Diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) sistem pengelolaan kota wilayah tepian air
162
Berdasarkan Gambar 5.14 diagram lingkar sebab-akibat (causal loop), diperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi, peningkatan aktivitas, kemudahan lapangan kerja, jumlah penduduk, akan berdampak positif terhadap ketersediaan ruang. Sementara itu pertambahan populasi penduduk akibat tingkat kelahiran dan tingkat emigrasi yang tinggi, serta peningkatan kebutuhan ruang akan sarana dan prasarana akan berdampak pada penurunan ketersediaan ruang akibat terjadinya konversi ruang terbuka untuk kegiatan pengadaan sarana dan prasarana tersebut.
5.3.1.4 Permodelan Sistem Model pengelolaan wilayah kota tepian air merupakan bagian pemodelan untuk melihat keterkaitan secara keseluruhan dari variabel-variabel terkait. Diagram stock flow diagram secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5.15. Model Sistem pengelolaan Kota Semarang tepian pantai terdiri dari 3(tiga) Submodel: 1) Submodel Biofisik atau disebut juga sebagai Submodel Lingkungan, 2) Submodel Ekonomi 3) Submodel Sosial
163
FrPLhn
PgLhn
LsLhn
LPrmknBgn
LsLhn
LhnEx
Rklms
Lhn Hutan PTotLHn
FLTKo
FLS
Tglkbn Tbkklm
Lhn Swh
PLTKo
PLS
FrPLhn Lhn Hutan
LPrmknBgn
PLH
PLPB FrPPB Tglkbn
FLH
PLTK PertSmph
P ertLimb
FLTK
FrP B FrP
PencLing PencLbh
Pe ncSmph
KL FJLDP
FJSP
Jmlsmph
JmlLbhDmstk
NL FS
FL
JL
JS
JAK
FrConsPdptn
Dmpk Pggr
LGA P ert Pendptn
JRT FPggr
FrPdptn
Pert LGA
P ggr
Fr LGA Fr Pe rtanian
A Klhrn
A Kem Bangunan
Fr Angk Krj
TotP DRB
Pert Bangunan Klhrn
Kem
Pertanian Pert Pertanian
Fr Bangunan Pert&Ind Js&Perd
Pddk
Angk Krj
Kpdtn
Fr PI
KPJ
Fr Js&Pe rd Imig
LsLhn
Emig
Pert PI
Pert Js&Perd
AngKom
Pert KPJ
Pert AngKom
A EMig Fr KPJ P ert Pddk
A Imig
Klhrn
PertNPTPI
Fr AngKom
Kem
LsTbk Tbkklm NP TPI
FRTBK AK FrNPTP I
Gambar 5.15 Diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air
164
a. Sub Model Lingkungan Sub model lingkungan dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian pantai di Kota Semarang merupakan bagian pemodelan yang memberikan ilustrasi yang terjadi di antara variabel-variabel di dalam komponen submodel seperti permasalahan sampah dan limbah domestik, peraturan dan perundangan lingkungan, kualitas lingkungan dan lain-lain terhadap keberlanjutan sistem. Pengaruh variabel-variabel lingkungan tersebut terhadap sistem kemudian disajikan dalam diagram sebab akibat (causal loop), Gambar 5.16.
P ence ma ra n Lingkungan
+
+ Kua litas Lingkungan
Jumlah Sampa h
Jumla h Limba h
+
+
P opulas i P enduduk +
Laha n P ermukima n da n Banguna n
La ha n Saw a h + Pe ngguna an Laha n
+ + Laha n Tegal, Kebun & Tana h Kering Lainnya
+
+ Ra w a, Ta mbak & Ko la m La han Huta n
Gambar 5.16. Causal Loop Sub Model Lingkungan
Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) diatas diketahui bahwa pertambahan jumlah penduduk akan berdampak terhadap peningkatan jumlah sampah dan limbah domestik sebagai dampak sampingan utama. Peningkatan tersebut pada akhirnya
berimplikasi terhadap peningkatan pencemaran
lingkungan dan peningkatan biaya pengelolaan sampah.
165
FrPLhn
PgLhn
LsLhn
LPrmknBgn
LsLhn
Lhn Hutan
LhnEx
Rklms
PTotLHn
FLTKo
FLS
Tglkbn Tbkklm
Lhn Swh
PLTKo
PLS
FrPLhn
Lhn Hutan
LPrmknBgn
PLH
PLPB FrPPB Tglkbn
FLH
PLTK PertSmph
PertLimb
FLTK
FrPB FrP
PencLing PencLbh
PencSmph
KL FJLDP
FJSP
Jmlsmph
JmlLbhDmstk
NL FS
JL
JS
FL
Pddk
Gambar 5.17 Stock flow diagram sub model lingkungan dalam sistem pengembangan kota tepian air Berdasarkan diagram alir 5.17 sub model lingkungan di dalam model sistem pengembangan kota wilayah tepian air berkelanjutan, peningkatan konversi ruang terbuka hijau menjadi areal bangunan untuk permukiman dan industri berdampak buruk terhadap peningkatan pencemaran lingkungan dan peningkatan biaya pengelolaan limbah dan sampah.
166
Model pengembangan kota wilayah tepian air khususnya sub model lingkungan dapat digunakan dengan bebarapa asumsi yang akan membatasi keberlakuan model khususnya sub model lingkungan. Asumsi-asumsi tersebut: Untuk jumlah limbah padat masyarakat diambil berdasarkan kajian SLHI bahwa limbah padat rata-rata per orang perhari adalah sebanyak 0,45 kg per hari, sedangkan untuk limbah cair sebanyak 2,81 liter per hari. Sehingga untuk mendapatkan jumlah pertahun dikalikan dengan 30 hari dan 12 bulan. Berdasarkan sub model lingkungan memperlihatkan bahwa pertambahan limbah berfungsi sebagai laju masukan pada level limbah merupakan perkalian antara jumlah limbah yang dikeluarkan per orang per hari yaitu sebanyak 3 liter per hari selama satu tahun yang terdapat sebagai constanta pada angka limbah dengan populasi yang merupakan pertambahan penduduk dari imigrasi dan kelahiran yang dikurangi dengan emigrasi dan kematian sebagai auxiliary. Untuk pertambahan sampah berfungsi sebagai laju masukan pada level sampah merupakan perkalian antara jumlah sampah yang dikeluarkan per orang per hari yaitu sebanyak 0,45 kg per hari selama satu tahun yang terdapat sebagai constanta pada angka sampah dengan populasi yang merupakan pertambahan penduduk dari imigrasi dan kelahiran yang dikurangi dengan emigrasi dan kematian sebagai auxiliary. Pencemaran lingkungan sebagai auxiliary merupakan nilai rata-rata antara pencemaran sampah dengan pencemaran limbah yang dibagi dengan constanta nilai lingkungan, sehingga kualitas lingkungan sebagai auxiliary merupakan pengurangan antara nilai lingkungan dengan pencemaran lingkungan.
b. Sub Model Sosial Sub model sosial dalam sistem pengembangan kota tepian pantai di Kota Semarang merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabelvariabel sosial, seperti jumlah populasi, kelahiran, kematian, imigrasi (perpindahan penduduk ke dalam lokasi), emigrasi (perpindahan penduduk keluar lokasi), dan jumlah pengangguran dan lain-lain terhadap keberlanjutan sistem.
167
Berdasarkan diagram sebab akibat di atas diketahui bahwa jumlah populasi sangat dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi. Peningkatan jumlah kelahiran dan tingkat imigrasi akan meningkatkan jumlah populasi, sedangkan tingkat kematian dan emigrasi berdampak mengurangi jumlah populasi. Peningkatan populasi juga akan berdampak terhadap peningkatan jumlah angkatan kerja, dan pengangguran. Gambaran tentang diagram alir sub model sosial dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air dapat dilihat pada Gambar 5.18 di bawah ini.
Pe ngangguran +
Te na ga Ke rja + Angka tan Kerja
Kematian
+ Ke la hiran
+ Pe nduduk +
Imigras i
Emigras i +
P ertumbuhan P enduduk
+ Ke pa da ta n Pe nduduk -
Luas La ha n
Gambar 5.18 Causal Loop Sub Model Sosial
Berdasarkan Gambar 5.18 di atas, faktor penting yang menjadi fokus kajian adalah aspek kependudukan (populasi), yang mencakup jumlah penduduk, dan ketenagakerjaan. Mengenai jumlah penduduk, ada beberapa hal yang mempengaruhi jumlah penduduk di lokasi kajian berdasarkan model yang telah dibuat, yaitu: kematian, emigrasi (perpindahan penduduk keluar lokasi), kelahiran, dan imigrasi (perpindahan penduduk masuk kedalam lokasi). Kematian dan emigrasi di dalam model akan berdampak terhadap pengurangan
168
jumlah penduduk di lokasi kajian, sedangkan kelahiran dan imigrasi akan berdampak terhadap pertambahan jumlah penduduk. Dampak dari terjadinya pertambahan penduduk yang merupakan akumulasi positif dari pengaruh kelahiran dan imigrasi atau kematian dan emigrasi dengan luas areal kawasan yang relative sama akan berdampak terhadap terjadinya peningkatan kepadatan penduduk di wilayah Kota Semarang sebagai pusat pengembangan kota. Sedangkan ketenagakerjaan yang dikaji dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air adalah jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran. Di dalam sistem pengembangan kota kawasan tepian pantai dilakukan analisis terhadap faktor-faktor jumlah emigrasi, jumlah imigrasi, tingkat kelahiran,tingkat kematian, tingkat kepadatan penduduk, umur harapan hidup penduduk Kota Semarang, jumlah angkatan kerja, pengangguran dan kepadatan penduduk, yang digunakan untuk penyusunan model sistem keberlanjutan pengembangan kota kawasan tepian air. Model pengembangan kota kawasan tepian air khususnya sub model sosial yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan bebarapa asumsi yang akan membatasi keberlakuan model khususnya sub model sosial. Asumsi-asumsi tersebut adalah : 1.
Laju angka kelahiran dianggap tetap dengan tidak terjadi perubahan fraksi fertilisasi.
2.
Laju emigrasi dianggap tetap dengan menggunakan rata-rata tiap tahun dan tidak terjadi perubahan fraksi normal emigrasi.
3.
Laju imigrasi dianggap tetap dengan menggunakan rata-rata tiap tahun dan tidak terjadi perubahan fraksi normal imigrasi.
169
Dmpk Pggr
JAK
JRT
FPggr
Pggr
A Klhrn
A Kem
Fr Angk Krj Klhrn
Ke m
Pddk
Angk Krj
Imig
Kpdtn
LsLhn
Emig A EMig Pert Pddk
A Imig
Klhrn
PertNPTPI
Kem
LsTbk Tbkklm NPTPI
FRTBK AK FrNPTPI
Gambar 5.19 Stock flow diagram sub model sosial dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air Berdasarkan sub model sosial Gambar 5.19 memperlihatkan bahwa kelahiran dan imigrasi berfungsi sebagai laju masukan pada level populasi, untuk kelahiran merupakan perkalian antara populasi dengan fraksi lahir yang terdapat sebagai constanta, dan untuk imigrasi merupakan perkalian antara populasi dengan normal imigrasi yang terdapat sebagai constanta. Sedangkan kematian dan emigrasi berfungsi sebagai laju keluaran pada level populasi, untuk kematian merupakan perkalian antara populasi dengan umur yang merupakan harapan hidup rata-rata setiap tahun berdasarkan data umur harapan hidup di Kota Semarang membentuk suatu graph, dan untuk emigrasi merupakan perkalian antara populasi dengan normal emigrasi yang terdapat sebagai constanta. Angkatan kerja sebagai auxiliary merupakan hasil perkalian dari populasi dengan fraksi angkatan kerja sebagai constanta, yang menggambarkan persen angkatan kerja terhadap populasi penduduk yang ada. Pengangguran sebagai
170
auxiliary merupakan hasil pertambahan dari angkatan kerja dikalikan fraksi pengangguran sebagai constanta dengan selisih antara jumlah pekerja pada tahun simulasi dan diawal simulasi.
c. Sub Model Ekonomi Sub model ekonomi dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air di Kota Semarang Gambar 5.20 merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh
variabel-variabel
ekonomi,
seperti
pertumbuhan
ekonomi,
pertumbuhan sektoral, tingkat pendapatan dan jumlah penduduk terhadap keberlanjutan sistem. Berdasarkan diagram sebab akibat di bawah diketahui bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan sektoral, yakni: Listrik, Gas dan Air (LGA), pertanian, pertambangan dan industri, Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), Angkutan dan Komunikasi (AngKom), Jasa dan Perdagangan, bangunan,
Pe rtumbuhan Se ktor Ke uangan, Pe rs ew aan & Jasa Pe rusahaan
Pertumbuhan Sekto r Perta mbangan & Indus tri
Pertumbuhan Sekto r Perta nian
+ +
Sektor Perta mbangan & Industri
Se ktor Pe rtanian
+ +
+
+
Sekto r Banguna n
To tal PDRB + +
+
+ Sektor Angkutan & Komunikasi
Sekto r Ja sa & Perda gang an + Pertumbuhan Sekto r Banguna n
Sekto r Keuanga n, Perse w aan & Ja sa Perus aha an
+
Pertumbuhan Sektor Ja sa & Perdag ang an
Gambar 5.20 Causal Loop Sub Model Ekonomi
Pe rtumbuhan Se ktor Angkutan & Ko munika si
171
Hasil akhir dari terjadinya pertumbuhan ekonomi akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan. Gambaran mengenai stock flow diagram sub model ekonomi dalam sistem pengembangan kota wilayah tepian air ditunjukkan oleh Gambar 5.21
FrConsPdptn LGA FrPdptn
Pddk
Pert LGA Fr LGA
Pert Pendptn
Fr Pertanian
Bangunan
Pertanian TotPDRB
Pert Bangunan
Pert Pertanian
Pert&Ind
Fr Bangunan
Js&Perd
Pert PI
Pert Js&Perd
Fr PI
KPJ
Fr Js&Perd
AngKom
Pert KPJ
Pert AngKom
Fr KPJ Fr AngKom
Gambar 5.21 Stock flow diagram sub model ekonomi dalam sistem pengembangan kawasan tepian air Berdasarkan Gambar 5.21 diatas, peningkatan kegiatan aktivitas ekonomi yang mencakup sektor Listrik, Gas dan Air (LGA), pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan sektor Pertambangan dan Industri (PI), pertumbuhan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), pertumbuhan sektor Angkutan dan Komunikasi
(AngKom),
pertumbuhan
sektor
Jasa
dan
Perdagangan,
pertumbuhan sektor pertanian dan pertumbuhan sektor bangunan akan berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan ekonomi daerah dan pada gilirannya akan meningkatkan tingkat pendapatan perorangan. Di dalam Model Sistem Keberlanjutan Pengembangan Kota Wilayah Tepian Air, Pertumbuhan Ekonomi yang merupakan salah satu faktor penting dalam mewujudkan
172
pengembangan kota wilayah tepian air secara berkelanjutan sangat dipengaruhi oleh peningkatan sektor Listrik, Gas dan Air (LGA), pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan sektor Pertambangan dan Industri (PI), pertumbuhan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), pertumbuhan sektor Angkutan dan Komunikasi
(AngKom),
pertumbuhan
sektor
Jasa
dan
Perdagangan,
pertumbuhan sektor pertanian dan pertumbuhan sektor bangunan sebagai sektor unggulan dalam upaya peningkatan pendapatan daerah. Berdasarkan bagan model yang telah dibuat, di dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu: jumlah populasi, dan kondisi perkembangan setiap sektor, sedangkan dampak negatif yang dianggap perlu diwaspadai dalam pengembangan kota wilayah tepian air adalah semakin bertambahnya jumlah penduduk di lokasi studi yang diakibatkan oleh tingginya tingkat kelahiran dan imigrasi di Kota Semarang Model pengembangan kota wilayah tepian air khususnya sub model ekonomi yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan asumsi yang akan membatasi keberlakuan model khususnya sub model ekonomi. Asumsi tersebut adalah nilai kurs rupiah dianggap sudah mengikuti perubahan terhadap nilai mata uang lainnya, karena simulasi nilai ekonomi pada masing-masing sektor setiap tahunnya sudah termasuk nilai kurs rupiah tersebut. Berdasarkan sub model ekonomi memperlihatkan bahwa pertumbuhan sektor Listrik, Gas dan Air (LGA), pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan sektor Pertambangan dan Industri (PI), pertumbuhan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), pertumbuhan sektor Angkutan dan Komunikasi (AngKom), pertumbuhan sektor Jasa dan Perdagangan, pertumbuhan sektor pertanian dan pertumbuhan sektor bangunan merupakan laju masukan terhadap nilai ekonomi masing-masing sektor yaitu Listrik, Gas dan Air (LGA), pertanian, pertambangan dan industri, keuangan, persewaan dan jasa, angkutan dan komunikasi, jasa dan perdagangan, pertanian dan bangunan sebagai level yang dikalikan dengan masing-masing pangsa pasarnya yang membentuk graph. Sehingga pertumbuhan ekonomi merupakan laju masukan pada level aktivitas ekonomi dapat diketahui dengan pertambahan antar laju pertumbuhan.
173
Sedangkan persentase laju pertumbuhan masing-masing sektor sebagai auxiliary dapat diketahui dengan pembagian terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Pertambahan pendapatan sebagai auxiliary merupakan persentase dari pembagian antara pertumbuhan ekonomi terhadap level populasi, sehingga pendapatan sebagai auxiliary merupakan pertambahan dari pendapatan ekonomi sebagai konstanta dengan persen pertambahan pendapatan.
5.3.1.5 Simulasi Model Simulasi dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan perilaku model antar skenario. Simulasi model dilakukan dengan menggunakan Powersim Studio 2005. Hasil simulasi model yang memunculkan variabel-variabel yang sensitif dianalisis pola kecenderungannya dan hasilnya merupakan input untuk skenario.
Model Existing Condition a)
Simulasi Model Lingkungan. Penggunaan tata ruang di Kota Semarang dari waktu ke waktu terjadi
perubahan secara signifikan yakni untuk areal perkebunan, luas permukiman bangunan, lahan sawah, areal hutan dan tambak atau kolam (Lampiran 13 halaman 292). Luasan lahan di Kota Semarang pada tahun 2003 dan tahun 2006 berdasarkan penggunaan adalah areal tegal, kebun dan tanaman kering lainnya seluas 13.608,57 ha menjadi 14.672,45 ha; luas permukiman dan bangunan seluas 13.876,90 ha menjadi 14.428,71 ha; lahan sawah seluas 3.658,47 ha menjadi 3.798,79 ha; lahan hutan seluas 1. 515.70 ha menjadi 1.718,29 ha serta tambak, rawa dan kolam seluas 2.271,64 ha menjadi 1.655,94 ha. Luas areal tegalan kebun dan bangunan memiliki kecenderungan meningkat di masa-masa yang akan datang, luas areal sawah mengalami peningkatan sangat kecil, luar areal hutan relatif konstan dan areal tambak kolam cenderung mengalami penurunan.
174
Ha 25.000
20.000
15.000
LPrm knBgn Tbkk lm Lhn Swh Tglkbn Lhn Hutan
10.000
5.000
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.22 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kota Semarang
Berdasarkan Gambar 5.22 diperkirakan bahwa luas areal tegalan kebun di Kota Semarang di masa-masa akan datang mengalami peningkatan sangat pesat dibandingkan peningkatan luas areal permukiman & bangunan, sehingga pada tahun 2010 diperkirakan luas areal tegalan kebun akan memiliki luas areal paling tinggi di Kota Semarang. Perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas tegalan kebun seluas 13.608,57 ha menjadi 15.333,29 ha luas areal permukiman & bangunan seluas 13.876,90 ha menjadi 14.763,17 ha, luas lahan sawah 3.658,47 ha menjadi 3.883,39 ha, luas areal lahan hutan seluas 1.515,70 ha menjadi 1.849,20 ha dan luas tambak kolam dari 2.271,64 ha menjadi 1.376,22 ha. Pada tahun 2025, perubahan lahan untuk tegalan kebun menjadi 19.310,87 ha, luas permukiman dan bangunan menjadi 16.674,48 ha, lahan sawah menjadi 4.358,08 ha, lahan hutan menjadi 2.715,97 ha dan tambak kolam
175
menjadi 522,44 ha. Hasil lebih lengkap mengenai terjadinya perubahan luas penggunaan area di Kota Semarang dapat dilihat pada Lampiran. Wilayah kota tepian pantai terdiri dari 4 kecamatan antara lain: Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Genuk Berdasarkan Gambar 5.23, kecenderungan penggunaan lahan yang dominan oleh tegalan, kebun dan tanaman kering lainnya serta permukiman dan bangunan. Lahan sawah yang paling dominan berada di Kecamatan Tugu. Perubahan penggunaan lahan pada tahun 2006 dapat dilihat pada Gambar 5.24. Penggunaan lahan pada tahun 2006 terjadi perubahan khususnya semakin meluasnya penggunaan untuk areal permukiman dan bangunan, sedangkan untuk lahan sawah di daerah tugu cenderung bertambah untuk bagian barat sedangkan bagian timur mengalami penurunan. Penggunaan lahan pada tahun 2015 dapat dilihat pada Gambar 5.25. Penggunaan lahan pada tahun 2025 hanya sedikit perubahan dari sebelumnya khususnya penurunan lahan sawah dan tegal, kebun serta tanah kering lainnya karena penggunaan areal untuk permukiman dan bangunan. Penggunaan
lahan
dari
masing-masing
Kecamatan
dengan
analisis
kecenderungan adalah sebagai berikut :
Kecamatan Tugu. Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Tugu sebagian besar digunakan untuk tegalan kebun, permukiman & bangunan dan lahan sawah. Luas areal tegalan kebun cenderung menurun, sedangkan lahan sawah dan bangunan memiliki kecenderungan meningkat di masa mendatang.
176
Ha 1.500
1.000 LP rm k nBgn Tbk klm Lhn Swh Tglk bn Lhn Huta n 500
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.23 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Tugu
Berdasarkan Gambar 5.24 diperkirakan bahwa perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas areal tegalan kebun seluas 1.500,94 ha menjadi 1.461.73 ha, luas permukiman dan bangunan 503,07 ha menjadi 511,34 ha dan lahan sawah 417,32 ha menjadi 433,78 ha. Dan pada akhir simulasi, tahun 2030, perubahan lahan untuk tegalan kebun menjadi 1.292,83 ha, luas permukiman dan bangunan menjadi 551,54 ha dan lahan sawah menjadi 519,03 ha.( Lampiran 18 , halaman 300 ) . Kecamatan Semarang Barat. Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Semarang Barat sebagian besar digunakan untuk areal tegalan kebun, permukiman & bangunan, tambak kolam dan lahan sawah. Luas areal permukiman bangunan cenderung meningkat, sedangkan tegalan kebun, tambak kolam dan lahan sawah memiliki kecenderungan menurun di masa datang.
177
Ha
1.500
LPrm k nBgn
1.000
Tbkk lm Lhn Swh Tglk bn Lhn Hutan
500
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.24 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Semarang Barat
Berdasarkan Gambar 5.24
diperkirakan bahwa terjadi perubahan
komposisi penggunaan ruang di Kecamatan Semarang Barat yaitu, luas areal permukiman dan bangunan memiliki luas paling tinggi pada tahun 2005 akibat terjadinya penurunan terhadap penggunaan lahan tegalan kebun. Perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas areal permukiman & bangunan seluas 1.317,07 ha menjadi 1.480,81 ha, tegalan kebun seluas 1.728,99 ha menjadi 1.282,56 ha, tambak kolam 382,50 ha menjadi 308,17 ha dan lahan sawah seluas 29,41 ha menjadi 28,66 ha. Dan pada akhir tahun simulasi, tahun 2030, perubahan lahan untuk permukiman dan bangunan menjadi 1.551,90 ha, luas tegalan kebun menjadi 1.138,11 ha, tambak kolam menjadi 282,65 ha dan lahan sawah menjadi 28,37 ha. Hasil lebih lengkap mengenai terjadinya perubahan luas penggunaan area di Kecamatan Semarang Barat dapat dilihat pada Lampiran 19, halaman 301. .
Kecamatan Semarang Utara. Penggunaan lahan di wilayah
Kecamatan Semarang Utara sebagian besar
digunakan untuk permukiman & bangunan, tambak kolam dan tegalan kebun.
178
Luas areal permukiman bangunan dan tegalan kebun memiliki kecenderungan meningkat di masa-masa yang akan datang, sementara itu luas areal tambak kolam mengalami penurunan.
Ha
1.000
LPrm knBgn Tbkk lm Lhn Swh Tglkbn
500
Lhn Huta n
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.25 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Semarang Utara
Berdasarkan Gambar 5.25 terlihat bahwa tidak terjadi perubahan komposisi penggunaan ruang di Kecamatan Semarang Utara, walaupun luas areal tambak kolam mengalami penurunan hingga akhir tahun simulasi. Perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas areal permukiman & bangunan seluas 919,04 ha menjadi 960,92 ha, tambak kolam 364,71 ha menjadi 314,98 ha dan tegalan kebun seluas 103,82 ha menjadi 108,98 ha. Dan pada akhir tahun simulasi, tahun 2030, perubahan lahan untuk permukiman dan bangunan menjadi 1.123,70 ha, tambak kolam menjadi 188,23 ha dan tegalan kebun menjadi 129,24 ha. Hasil lebih lengkap mengenai terjadinya perubahan luas penggunaan area di Kecamatan Semarang Utara dapat dilihat pada Lampiran 20, halaman 302..
179
Kecamatan Genuk. Penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Genuk sebagian besar digunakan untuk areal permukiman & bangunan, tambak kolam, tegalan kebun dan lahan sawah. Luas areal permukiman & bangunan memiliki kecenderungan meningkat di masa-masa yang akan datang, sementara itu luas areal tambak kolam, tegalan kebun dan lahan sawah mengalami penurunan.
Ha
1.500
1.000
LP rm k nBgn Tbk k lm Lhn Swh Tglk bn Lhn Huta n
500
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.26 Simulasi model lingkungan berdasarkan penggunaan luas areal di Kecamatan Genuk
Berdasarkan Gambar 5.26 diperkirakan bahwa luas areal permukiman dan bangunan di Kecamatan Genuk di masa-masa akan datang mengalami peningkatan cukup pesat dibandingkan luas areal tambak kolam yang mengalami penurunan, sehingga pada akhir tahun simulasi diperkirakan luas areal permukiman dan bangunan akan memiliki luas areal lebih tinggi dibandingkan luas areal tambak kolam. Perubahan luasan lahan yang digunakan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah luas areal permukiman & bangunan seluas 1.336,70 ha menjadi 1.422,46 ha, tambak kolam seluas 1.411,19, tegalan kebun 735,09 ha menjadi 719,12 ha dan lahan sawah seluas 86,41 ha menjadi 80,36 ha. Dan pada
180
akhir simulasi, tahun 2030, perubahan lahan untuk areal permukiman & bangunan menjadi 1.663,37 ha, luas tambak kolam menjadi 789,12 ha, tegalan kebun 680,44 ha dan lahan sawah menjadi 66,93 ha. Hasil lebih lengkap mengenai terjadinya perubahan luas penggunaan area di Kecamatan Genuk dapat dilihat pada Lampiran 21, halaman 303.
% 100
Kualitas Lingkungan
80
60
40
20
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.27 Simulasi model lingkungan berdasarkan kualitas lingkungan di Kota Semarang
Simulasi model lingkungan berdasar kualitas lingkungan yang disebab kan perubahan jumlah limbah dan sampah menghasilkan hal-hal sebagai berikut (Lampiran 14, halaman 293). Berdasarkan Gambar 5.27 terlihat bahwa kualitas lingkungan di Kota Semarang di masa-masa akan datang akan mengalami penurunan hingga akhir tahun simulasi 2030. Penurunan kualitas lingkungan tersebut disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah limbah dan jumlah sampah di Kota Semarang seiring bertambahnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan di Kota Semarang. Kondisi kualitas lingkungan pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah sebesar 29,50% dan 28,93%. Penurunan kualitas lingkungan hingga akhir tahun simulasi yaitu tahun 2030 adalah sebesar 26,36%.
181
Berdasarkan Gambar 5.28 terlihat bahwa jumlah sampah di Kota Semarang di masa-masa akan datang akan mengalami peningkatan hingga akhir tahun simulasi 2030. jiwa*Kg 50.000.000
Jumlah Sampah
48.000.000
46.000.000
44.000.000
42.000.000
40.000.000 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.28 Simulasi model jumlah sampah di Kota Semarang
Peningkatan jumlah sampah tersebut terjadi seiring bertambahnya jumlah penduduk di Kota Semarang. Jumlah sampah pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah sebesar 46.838.667,96 Kg dan 47.218.467,76 Kg. Peningkatan jumlah sampah hingga akhir tahun simulasi yaitu tahun 2030 adalah sebesar 48.926.511,27 Kg.
jiwa*Lite r 1.000.000.000
Jumlah Limbah
900.000.000
800.000.000
700.000.000
600.000.000
500.000.000 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Gambar 5.29 Simulasi model jumlah limbah di Kota Semarang
182
Berdasarkan Gambar 5.29 diperkirakan bahwa jumlah limbah di Kota Semarang di masa-masa akan datang akan mengalami peningkatan hingga akhir tahun simulasi 2030. Peningkatan jumlah limbah tersebut terjadi seiring bertambahnya jumlah kegiatan industri di Kota Semarang. Jumlah limbah pada tahun 2003 dan tahun 2008 berturut-turut adalah sebesar 835.661.314,08 Liter dan 842.437.424,76 Liter.
Peningkatan jumlah limbah hingga akhir tahun
simulasi yaitu tahun 2030 adalah sebesar 872.911.090,03 Liter.
b)
Simulasi Model Sosial. Simulasi model sosial yang diamati dalam pengelolaan wilayah kota
tepian air yakni pertambahan dan pengurangan penduduk, pertambahan dan pengurangan penduduk selengkapnya disajikan dalam Gambar 5.30 berikut ini.
jiwa 2.000.000
Penduduk
1.800.000
1.600.000
1.400.000
1.200.000
1.000.000 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.30 Simulasi model pertambahan penduduk
Berdasarkan simulasi model di atas diketahui bahwa terjadi pertambahan penduduk yang cukup besar dari tahun 2003 hingga tahun 2008, yaitu dari 1.376.798 jiwa menjadi 1.387.962,02 jiwa dan apabila disimulasikan maka pada tahun 2030 akan diperoleh jumlah penduduk sekitar 1.438.169,06 jiwa (Lampiran 15, halaman 295)..
183
Terkait dengan pengembangan wilayah kota tepian air di Kota Semarang maka tidak akan lepas dari keberadaan nelayan dan petani tambak & ikan di wilayah pesisir Kota Semarang. Pengaruh dari kegiatan pengembangan wilayah kota tepian air di Kota Semarang terhadap jumlah nelayan dan petani tambak & ikan dapat dilihat pada Gambar 5.31
Nelayan, Petani Tambak & Ikan
yr*jiwa *Ha
2.000
1.500
1.000
500 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 1 4 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 2 5 26 27 28 29
Tahun (2003 – 2030)
Gambar 5.31 Simulasi penurunan jumlah nelayan, petani tambak dan ikan
Berdasarkan simulasi model di atas diketahui bahwa terjadi penurunan jumlah nelayan, petani tambak dan ikan yang cukup besar dari tahun 2003 hingga tahun 2008, yaitu dari 2.216,62 (2003) jiwa menjadi 1.332,09 (2008) jiwa dan apabila disimulasikan maka pada tahun 2030 akan diperoleh jumlah nelayan, petani tambak tinggal sekitar 488,03 jiwa.
c)
Simulasi Model Ekonomi. Simulasi model ekonomi menggambarkan perbandingan dan perubahan
nilai rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi dari semua sektor di Kota Semarang, seperti. Listrik, Gas dan Air (LGA), pertanian, pertambangan dan industri, Keuangan, Persewaan dan Jasa (KPJ), Angkutan dan Komunikasi (AngKom), Jasa dan Perdagangan, bangunan (Lampiran 16, halaman 296) Berdasarkan Gambar 5.32 di bawah diketahui bahwa sektor ekonomi yang berpengaruh terhadap peningkatan jumlah PDRB dari terbesar ke terkecil
184
adalah berturut-turut, Jasa dan Perdagangan, Pertambangan dan Industri, Bangunan, Angkom, KPJ. Listrik, Gas dan Air (LGA) dan pertanian. Berdasarkan simulasi model di atas diketahui bahwa terjadi pertambahan PDRB (Jutaan Rupiah) yang cukup besar untuk sektor Jasa dan Perdagangan dan Pertambangan dari tahun 2003 hingga tahun 2008, yaitu untuk sektor Jasa dan Perdagangan dari Rp. 8.094.343,- menjadi Rp. 13.371.096,97,- dan untuk sektor Pertambangan dan Industri Rp. 5.043.142,- menjadi Rp. 8.260.306,24,dan apabila disimulasikan maka pada tahun 2030 akan diperoleh jumlah sekitar 121.703.466,90,- untuk sektor jasa dan perdagangan dan 72.425.906,06,- untuk sektor pertambangan dan industri. Untuk bangunan dan Angkutan dan Komunikasi juga mengalami peningkatan yaitu dari 3.007.225,- dan 1.852.179,pada tahun 2003 dan pada tahun simulasi 2030 terjadi peningkatan menjadi 22.171.604,75,- untuk bangunan dan 21.089.144,07 untuk angkutan dan komunikasi. R upia h
100 .000.000
Ba nguna n LGA P e rta nia n P e rt&Ind KP J AngKo m
50.000.000
Js &P e rd
0 01 Ja n 2003
01 Ja n 2008
01 Ja n 2013
01 Ja n 2018 01 Ja n 2023
01 Ja n 2028
Gambar 5.32 . Simulasi model ekonomi berdasarkan nilai PDRB
Untuk sektor KPJ, LGA dan Pertanian pada tahun 2003 besaran PDRB berturutturut, yaitu Rp. 608.161,-, Rp. 392.889,- dan Rp. 253.635,- dan pada tahun 2030 mengalami sedikit peningkatan, yaitu berturut-turut: Rp. 2.578.162,79,-, Rp. 1.459.192,62,- dan Rp. 1.334.423,19,-.
185
5.3.1.6 Verifikasi danValidasi Model Proses verifikasi dilakukan dengan maksud mengetahui berbagai kelemahan maupun kekurangan serta mengidentifikasi berbgai persoalan yang harus diantisipasi dalam kaitan penerapan kebijakan yang dihasilkan. Proses uji dilakukan terhadap dua kategori, yaitu proses perumusan kebijakan dan produk kebijakan. Verifikasi proses perumusan kebijakan dilakukan terhadap metoda yang dipergunakan dalam pengembangan kebijakan. Proses validasi bertujuan untuk menilai
sejauh mana model dapat
menirukan kondisi yang sesungguhnya, dan keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah, karena pengetahuan ilmiah yang bersifat obyektif harus taat fakta. Dalam dunia nyata, fakta adalah kejadian yang teramati. Rangkaian hasil pengamatan tersebut dapat bersifat terukur yang disusun menjadi data kuantitatif atau statistik dan bersifat tak terukur yang disusun menjadi data kualitatif atau informasi aktual. Dalam pemodelan, hasil simulasi adalah perilaku variabel yang diinteraksikan dengan bantuan komputer. Tampilan perilaku variabel tersebut dapat bersifat terukur yang disusun menjadi data simulasi dan bersifat tidak terukur yang disusun menjadi pola simulasi. Keserupaan (tidak berarti harus sama) dunia model dengan dunia nyata ditunjukkan dengan sejauh mana data simulasi dan pola simulasi dapat menirukan data statistik dan informasi aktual. Proses melihat keserupaan seperti ini disebut validasi output atau kinerja model. Validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah. Dalam pekerjaan pemodelan, obyektif itu ditunjukkan dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta. Istilah menirukan bukan berarti sama, tetapi adalah serupa. Validasi model adalah usaha menyimpulkan apakah model dari sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 2003). Metode berpikir sistem, pada dasarnya menganjur kan penstrukturan atas dasar interdisiplin yang bersifat sistemik dengan ciri menyeluruh (holistic) dan terpadu (integrated). Antara verifikasi dan validasi diidentifikasi terdapat perbedaan. Verifikasi model berkaitan dengan kesesuaian antara model konseptual dengan model matematik, sedangkan validasi model berkaitan dengan kesesuaian antara
186
keluaran dari model matematik dengan keluaran dari sistem nyata. Verifikasi model seharusnya mendahului validasi model. Verifikasi model untuk memeriksa apakah model konseptual sudah dapat diterjemahkan oleh model matematiknya. Validasi model pada dasarnya untuk memeriksa kesesuaian antara perilaku model matematik dengan perilaku sistem yang diwakili. Proses validasi model terdapat 2 tahap, yaitu validasi struktur model dan validasi perilaku model.
d. Validasi Struktur Model. Validasi struktur model merupakan proses validasi utama dalam berpikir sistem. Untuk melakukan perancangan dan justifikasi seorang pembuat model dituntut untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin atas sistem yang menjadi obyek penelitian. Informasi dapat berupa pengalaman dan pengetahuan dari orang yang memahami mekanisme kerja pada sistem atau berasal dari studi literatur. Pada proses ini bertujuan untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata, yang berkaitan dengan batasan sistem, variabel-variabel pembentuk sistem, dan asumsi mengenai interaksi yang terjadi dalam sistem. Validasi struktur dilakukan dengan 2 bentuk pengujian, yaitu; uji kesesuaian struktur dan uji kestabilan struktur. (Forrester, 1968) Sargent (1999) mengemukakan 17 teknik untuk teknik validasi yang umum digunakan untuk proses verifikasi maupun validasi model. Berbagai teknik tersebut dipakai secara subjectif maupun objectif.Yang dimaksud dengan uji objectif yaitu jenis uji statistik dan prosedur matematik seperti uji hipotesa dan selang kepercayaan. Kombinasi dari berbagai teknik bisa digunakan baik untuk sebagian dari model maupun keseluruhan model.
1.
Uji Konstruksi/Kesesuaian Struktur Dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak berlawanan
dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan. Hal ini akan meningkatkan tingkat kepercayaan atas ketepatan dari struktur model.
187
Pada model yang telah dibangun dapat dilihat dari bertambahnya jumlah penduduk akan menambah jumlah sampah dan jumlah limbah, tetapi dengan adanya pengelolaan jumlah tersebut dapat diminimalisasi. Berdasarkan contoh tersebut dengan kata lain, struktur model dinamis yang dibangun adalah valid secara teoritis.
2.
Uji Kestabilan Struktur Uji kestabilan struktur model dilakukan dengan cara memeriksa
keseimbangan dimensi peubah pada kedua sisi persamaan model (Sushil, 1993). Setiap persamaan yang ada dalam model harus menjamin keseimbangan dimensi antara variabel bebas dan variabel terikat yang membentuknya. Seperti halnya untuk pengelolaan kota wilayah tepian air, maka uji kestabilan struktur model diperiksa dengan cara menganalisis dimensi keseluruhan interaksi peubah-peubah yang menyusun model tersebut yang terdiri dari beberapa sub model. Dimensi tersebut meliputi tanda, bentuk respon dan satuan dari persamaan (equation) matematis yang digunakan. a)
Sub Model Lingkungan Pemeriksaan satuan terhadap persamaan yang berkaitan dengan sub
model lingkungan adalah : PgLhn FrPLhn LsLhn PtotLhn PLS PLTKo PLPB PLH PLTK FrPLhn FrPB PencLing PencSmph PencLbh KL Jmlsmph JmlLbhDmstk JS JL
= LsLhn-PtotLHn (Ha) = PgLhn/LsLhn (no unit) = LhnEx+Rklms (Ha) = 'Lhn Hutan'+'Lhn Swh'+LPrmknBgn+Tbkklm+Tglkbn (Ha) = FLS*'Lhn Swh'*FrPLhn (Ha/yr) = FLTKo*Tbkklm*FrPLhn (Ha/yr) = FrPB*LPrmknBgn*FrPLhn (Ha/yr) = FLH*'Lhn Hutan'*FrPLhn (Ha/yr) = FLTK*Tglkbn*FrPLhn (Ha/yr) = PgLhn/LsLhn (no unit) = (Pddk/FrPPB)*FrP (%/yr) = PencLbh+PencSmph/2 (%) = PencLbh+PencSmph/2 (%) = JmlLbhDmstk/PertLimb (%) = NL-PencLing (%) = JS*FJSP (jiwa*Kg) = FJLDP*JL (jiwa*Liter) = FS*Pddk (jiwa*Kg) = FL*Pddk (jiwa*Liter)
188
Untuk jumlah sampah dan jumlah limbah akan berkurang apabila semakin meningkatnya biaya pengelolaan sampah dan biaya pengelolaan limbah. Hal ini dapat menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah rupiah yang dikeluarkan untuk mengelola sampah maupun limbah dapat mengurangi jumlah sampah dan limbah yang tidak terkelola. Untuk pencemaran limbah akan semakin bertambah terlihat dari rumus matematik yang ada yang menunjukkan penjumlahan dari nilai masing-masing nilai sumber pencemar, dimana semakin bertambahnya sumber pencemaran akan menambah jumlah total dari pencemaran limbah yang ada. Pada kualitas lingkungan dapat terlihat apabila persen jumlah pencemaran lingkungan semakin bertambah maka kualitas lingkungan akan semakin berkurang karena total nilai lingkungan akan dikurangi dengan pencemaran lingkungan.
Dengan demikian, dimensi interaksi dari peubah-
peubah yang berkaitan dengan nilai pada sub model lingkungan tetap konsisten.
b)
Sub Model Sosial Pemeriksaan satuan terhadap persamaan yang berkaitan dengan sub
model sosial adalah : Pggr JRT Klhrn Kem Imig Emig Angk Krj Kpdtn Pert Pddk PertNPTPI NPTPI FRTBK
= FPggr*Pddk (jiwa/yr) = Pddk/JAK (unit) = 'A Klhrn'*Pddk (jiwa/yr) = 'A Kem'*Pddk (jiwa/yr) = 'A Imig'*Pddk (jiwa/yr) = 'A EMig'*Pddk (jiwa/yr) = 'Fr Angk Krj'*Pddk (jiwa/yr) = Pddk/LsLhn (jiwa/Ha) = Klhrn-Kem+Imig-Emig (jiwa/yr) = AK/'Angk Krj' (/yr) = FrNPTPI*PertNPTPI*FRTBK (yr*jiwa*Ha) = Tbkklm/LsTbk (Ha)
Jumlah penduduk yang akan semakin bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah kelahiran dan imigrasi tetapi akan semakin berkurang apabila jumlah emigrasi dan kematian semakin tinggi. Untuk angkatan kerja dan pengangguran akan mengikuti jumlah penduduk yang sejalan dengan fraksi masing-masing, apabila fraksi tersebut meningkat maka jumlah angkatan kerja semakin bertambah terhadap populasi
189
sedangkan jumlah pengangguran akan bertambah terhadap jumlah angkatan kerja yang ada.
Dengan demikian, dimensi interaksi dari peubah-peubah yang
berkaitan dengan nilai pada sub model sosial tetap konsisten.
c)
Sub Model Ekonomi Pemeriksaan satuan terhadap persamaan yang berkaitan dengan sub
model ekonomi adalah : Pert LGA Pert Pertanian Pert PI Pert KPJ Pert AngKom Pert Js&Perd Pert Bangunan Tot PDRB Pert Pendptn
= 'Fr LGA'*LGA (Rupiah/yr) = 'Fr Pertanian'*Pertanian (Rupiah/yr) = 'Fr PI'*'Pert&Ind' (Rupiah/yr) = 'Fr KPJ'*KPJ (Rupiah/yr) = 'Fr AngKom'*AngKom (Rupiah/yr) = 'Fr Js&Perd'*'Js&Perd' (Rupiah/yr) = Bangunan*'Fr Bangunan' (Rupiah/yr) = Bangunan+'Pert&Ind'+'Js&Perd'+LGA+Pertanian +AngKom+KPJ (Rupiah) = (TotPDRB/Pddk)*FrPdptn*FrConsPdptn (Rupiah/jiwa)
Pertambahan total PDRB sangat dipengaruhi oleh seluruh sektor. Untuk pertambahan pendapatan akan semakin meningkat apabila nilai perbandingan pertumbuhan ekonomi dengan populasi lebih besar dibandingkan pada tahun simulasi sebelumnya. Dengan demikian, dimensi interaksi dari peubah-peubah yang berkaitan dengan nilai pada sub model ekonomi tetap konsisten.
e. Validasi Kinerja/Output Model Sebelum melakukan uji konsistensi antara kinerja model dengan data, ada beberapa aspek penting diperhatikan, yaitu konsistensi unit analisis dan dimensi serta tentang data simulasi yang dihasilkan model. Unit analisis dalam sebuah sistem adalah unsur.
Keseluruhan interaksi dari unsur-unsur menyusun dan
memfungsikan sistem mencapai tujuan. Kinerja masing-masing unsur pada suatu keadaan tertentu dinyatakan dengan level. Dengan demikian uji ini sulit untuk dilakukan pada kegiatan penelitian akademik yang memiliki keterbatasan waktu dan dana, karena memerlukan waktu yang cukup lama untuk membuktikan hasil kinerja model dengan data empirik di lapangan. Untuk itu yang dapat dilakukan adalah melakukan validasi kinerja model berdasarkan teori dari bentuk model yang dibangun disesuaikan pola model dasar.
190
Validasi kinerja/output model adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah membandingkan validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris. Berdasarkan hasil analisis sistem dinamis dapat dilihat bahwa perilaku model dapat terpenuhi syarat kecukupan struktur dari suatu modelnya dengan melakukan validasi atas perilaku yang dihasilkan oleh suatu struktur model. Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: 1) Absolute Mean Error (AME), selisih antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual. Hasil uji menunjukkan bahwa keluaran model pengelolaan kota tepian air, untuk sub model lingkungan, yang terdiri dari luasan lahan sawah memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 3,87%, hutan 9,19%, tegal, kebun dan tanaman kering lainnya 6,78%, permukiman dan bangunan 0,86% serta tambak, rawa dan kolam sebesar 1,76% dari data aktual. Pada Sub model sosial memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 1,7% untuk penduduk dari data aktual. Untuk Sub model ekonomi memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) pada konstribusi PDRB sektor menyimpang 5,58% untuk bangunan, 2,51% untuk listrik, gas dan air, 2,17% untuk pertanian, 1,69 untuk pertambangan dan industri, 2,79 untuk keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 3,21 untuk angkutan dan komunikasi serta 2,73 untuk jasa dan perdagangan dari data aktual. Batas penyimpangan < 10%, berdasarkan hasil uji ini dapat disimpulkan bahwa model pengelolaan kota tepian air mampu mensimulasikan perubahanperubahan yang terjadi di Kota Semarang (Lampiran 17, halaman 291).
191
Tabel 5.21. Data validasi model Parameter Lingkungan Sawah Hutan Tegal, Kebun dan TKL Permukiman dan Bangunan Tambak, Rawa dan Kolam Sosial Penduduk Ekonomi (Sektor) Bangunan Listrik, Gas dan Air Pertanian Pertambangan dan Industri Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Angkutan dan Komunikasi Jasa dan Perdagangan
5.3.2
Validasi (%) AME 3,87 9,19 6,78 0,86 1,76 1,7 5,58 2,51 2,17 1,69 2,79 3,21 2,73
Analisis Penggunaan Lahan Berdasar RTRW (Bagian dari Tujuan 3) Berdasarkan peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota
Semarang Tahun 2002-2010, hingga saat ini terdapat 16 Kecamatan di Kota Semarang, sedangkan wilayah pesisir Kota Semarang mencakup 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Genuk. Peta administrasi Kota Semarang dapat dilihat pada Gambar 5.33.
192
P E TA A D M IN IS T R A S I K O T A SE M A R A NG 4 20 0 0 0
42 5 00 0
43 0 00 0
4 35 0 0 0
44 0 00 0
44 5 0 0 0
N W
9 2 3 50 0 0
9 2 3 50 0 0
E S
200 0
0
200 0
400 0
M et ers
LE G E N D A
S e m a r an g U t a r a G a y am s a r i
Tugu 9 2 3 00 0 0
S e m a r an g B a r a t
S e m a r a n g T im u r
G enu k
9 2 3 00 0 0
S em aran g Ten gah S e m a r a n g S e lat a n
N g a liya n
P e du ru ng a n G a ja h M u n g k u r
9 2 2 50 0 0
9 2 2 50 0 0
C a n d is a ri
T e m b a la n g 9 2 2 00 0 0
M ije n
G unu ng Pati
9 2 2 00 0 0
B a n y um a n ik C a nd is a ri G aj ah M u n gk u r G ay a m s a r i G en u k G un u n g Pa ti M ij en N g al iy a n P e d ur u n g a n S e m ara n g B a r a t S e m ara n g S e la t a n S e m ara n g T e n g a h S e m ara n g T i m u r S e m ara n g U ta ra T e m b a la ng Tug u S UM B E R D A TA : B A P P E D A K O T A S E M A RA N G
B a n y u m an ik
9 2 1 50 0 0
9 2 1 50 0 0
4 20 0 0 0
42 5 00 0
43 0 00 0
4 35 0 0 0
44 0 00 0
44 5 0 0 0
BAM B ANG K ANT I LAR AS P R O G R A M S T U D I P E N G E L O LA A N S U M B E R D A YA A L A M D A N L IN G K U N G A N SE KO LAH PA SCA SA RJAN A I N S T IT U T P E R T A N IA N B O G O R
Sumber : BAPPEDA Kota Semarang
Gambar 5.33. Peta administrasi Kota Semarang
192
193
5.3.2.1 Penggunaan Lahan Berdasar RTRW Kota Semarang tahun 2002-2010 Kota Semarang memiliki wilayah administrasi seluas ± 37.000 Ha yang dikelompokkan kedalam 47 kelas penggunaan lahan (Tabel 5.22 ). Adapun peta penggunaan lahan berdasarkan Peta RTRW Kota Semarang tahun 2000-2010 dapat dilihat pada Gambar 5.34.
Tabel 5.22 : Kelas Penggunaan Lahan Wilayah Administrasi Kota Semarang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47.
Penggunaan Lahan Permukiman Konservasi Pertanian lahan basah Pertanian lahan kering Industri Hutan Bandar udara Budaya Campuran perdagangan & Jasa permukiman Depo Pertamina Gereja Instalasi pengolahan air bersih Instalasi pengolahan limbah cair Kawasan khusus militer Klinik Kolam penampungan air Lapangan perumputan Olahraga dan rekreasi Pasar Pelabuhan laut Perdagangan & Jasa Pergudangan Perkantoran Permukiman industri PLTU Tambak lorok Pusat pendaratan ikan Puskesmas Rencana jalan Rest area Rumah sakit Bangunan sekolah SD. SMP SMA PT Stasiun kereta api Stasiun KA Taman Tambak Tempat Pemakaman Khusus Tempat Pemakaman Umum Tempat Pembuangan Akhir Terminal Induk PLN Mesjid Gereja Vihara Waduk
Luas (ha) 16.161,98 4.214,75 3.606,01 2.610,29 2.692,78 1.892,21 395,20 15,91 933,30 16,42 17,07 3,60 13,17 138,85 0,41 25,51 117,53 750,22 19,14 32,93 750,22 203,14 254,16 236,59 35,32 16,21 8,38 0,97 6,88 56,57 27,85 31,95 44,11 470,13 40,92 52 168,32 738,64 6,91 159,24 4,56 19,51 1,75 23,39 17,07 0,55 82,24
194
9235000
420 00 0
425 00 0
430 00 0
435 00 0
440 00 0
445 00 0
450 00 0 9235000
415 00 0
P E TA P E N G G U N A A N L A H A N K O TA SEM AR ANG T A H U N 20 00 -2 01 0 N W
E S
9230000
9230000
9225000
9225000
9220000
9220000
9215000
9215000
415 00 0
420 00 0
425 00 0
30 0 0
430 00 0
0
435 00 0
30 0 0
60 0 0
SUM BER DAT A : B A P P E D A K OT A S E M A R A N G
440 00 0
445 00 0
450 00 0
M e te rs B AM B A N G K A N TI L A R A S P R O GR A M S T U D I P E N G E L O L A A N S U M B ER D A Y A A L A M D A N L IN G K U NG A N S EKO LAH P ASCAS ARJANA IN S TITU T P E R TA N IA N B O G O R
Leg end a Ban da r U dar a Bud ay a C am pu ra n P e rda gan ga n da n J as a,P erm u k im an D epo P er ta m in a Ger eja H utan In dus tri In sta las i P eng ola ha n Air B er s ih (W T P ) In sta las i P eng ola ha n Lim bah C a ir (W W T P) Kaw a s an K hus u s M ilit er Klin ik Kol am Pe na m pun ga n Air ( R etar din g Ba sin) Kon s erv a s i Lap . P enu m pu k an M as jid Ola h R ag a da n R ek re as i Pas a r Pel abu ha n Lau t Per dag an gan dan J a s a Per gud an gan Per gur ua n T ing gi Per k anto ran Per m uk im an Per m uk im an Ind ust ri Per ta nia n La ha n Ba sa h Per ta nia n La ha n Ke ring PLT U T am bak Lo ro k Pus a t P end ar atan Ik an ( PP I) Pus ke sm as R enc . J ln R es t A re a R um ah Sak i t SD SM A SM P Stas iu n KA Stas iu n Ke reta A pi Ta m an Ta m ba k Te m pa t P em a k am a n Kh us us (T P K) Te m pa t P em a k am a n U m um (T P U ) Te m pa t P em b uan ga n Ak h ir (T P A) Te rm in al In duk P LN Per gur ua n T ing gi Vih ara W a duk
Sumber : BAPPEDA Kota Semarang
Gambar 5.34. Peta penggunaan lahan Kota Semarang
194
195
5.3.2.2 Penyederhanaan Kelas Penggunaan Lahan untuk simulasi model
Dalam kaitannya untuk menyederhanakan simulasi model penggunaan lahan di Kota Semarang, maka dilakukan pembagian ke-47 kelas penggunaan lahan kedalam 6 kategori kelas penggunaan lahan, yaitu: 1.
Hutan, Konservasi dan Hijauan (6.441,43 Ha). Kategori ini meliputi kelas penggunaan lahan hutan, konservasi, reklamasi, sempadan pantai, taman, Tempat Pemakaman Khusus (TPK) dan Tempat Pemakaman Umum (TPU).
2.
Permukiman dan Bangunan (22.012,32 Ha). Kategori ini meliputi kelas penggunaan lahan perdagangan dan jasa permukiman, depo pertamina, industri, Instalasi Pengolahan Air Bersih (WTP), Instalasi Pengolahan Limbah Cair (WWTP), klinik, pasar, perdagangan dan jasa, pergudangan, perkantoran, permukiman, permukiman industri, PLTU Tambak Lorok, puskesmas, rest area, rumah sakit, sekolah (SD, SMP, SMA dan PT), induk PLN, dan tempat ibadah (gereja, mesjid dan vihara).
3.
Sawah/pertanian lahan basah (3.606,01 Ha)
4.
Tambak, Rawa dan Kolam (846,39 Ha). Kategori ini meliputi kelas penggunaan lahan bak penampung air (retarding basin), embung, tambak dan waduk.
5.
Tegalan Kebun dan Tanah Kering/Pertanian Lahan Kering (2.610,29 Ha)
6.
Penggunaan lain (1.584,93 Ha). Kategori ini meliputi kelas penggunaan lahan Bandar udara, budaya, kawasan khusus militer, lapangan penumpukan, olahraga dan rekreasi, pelabuhan laut, Pusat Pendaratan Ikan (PPI), rencana jalan, sempadan industri, stasiun KA, stasiun kereta api, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan terminal. Peta penyebaran lahan Kota Semarang Tahun 2000-2010 berdasarkan enam kelas penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 5.35.
196
420 00 0
425 00 0
430 00 0
435 00 0
440 00 0
445 00 0
9235000
9235000
PE T A P EN G G U NA A N L AH A N K O TA S E M A R A N G T A H U N 2 0 00 - 2 0 1 0 N W
E S
9230000
9230000
9225000
20 0 0
0
20 0 0
40 0 0
M e te rs
9225000
Le g e n da H u ta n , K on s e r v a s i, d a n H ij a u an La i n -L a in P e m u k i m a n d a n B a ng u n a n Saw ah T a m b a k , R aw a , da n K o lam T e g a la n , K eb u n , d an T a n a h K e r in g
9220000
9215000
420 00 0
425 00 0
430 00 0
435 00 0
440 00 0
445 00 0
9210000
9210000
9220000
9215000
S UM B E R D A TA : B A P P E D A K O TA S E M A RA N G
B A M B A N G K A N TI L A R A S PR O GR AM ST U D I PEN G E LO L AA N S U M B E R D A Y A A L A M D A N L IN G K U NG A N SEK O LAH PASC A S AR AN A IN S T I T U T P E R T A N IA N B O G O R
Sumber : BAPPEDA Kota Semarang
Gambar 5.35. Peta Penggunaan Lahan Kota Semarang Tahun 2000 – 2010 Berdasarkan Enam Kelas Penggunaan Lahan
196
197
Kawasan Pesisir di Kota Semarang meliputi wilayah 4 Kecamatan, yaitu Kecamatan Tugu (3.656,11 Ha), Kecamatan Semarang Utara (1.393,39 Ha), Kecamatan Semarang Barat (2.170 Ha) dan Kecamatan Genuk (2.752,01 Ha). Penggunaan lahan di kawasan pesisir di Kota Semarang sebagian besar didominasi untuk Lahan Permukiman dan Bangunan (6.592,36 Ha), diikuti Penggunaan Lain (1.228,69 Ha), Hutan, Konservasi dan Hijauan (991,41 Ha), Tambak, Rawa dan Kolam (778,31 Ha), Sawah (380,74 Ha) dan Tegalan Kebun & Tanah Kering (0 Ha). Peta penggunaan lahan Semarang Kota Tepian Pantai Tahun 2000 – 2010 dapat dilihat pada Gambar 5.36 dan Gambar 5.37.
198
420 00 0
425 00 0
430 00 0
435 00 0
440 00 0
P E T A P E N G G U N A A N L A H A N S EM A R AN G K O T A TE P IA N PA N T AI TAH UN 2 0 00 - 2 01 0
445 00 0
N W
E S
9230000
9230000
9225000
9225000
9220000
9220000
9215000
9215000
420 00 0
425 00 0
430 00 0
20 0 0
0
435 00 0
20 0 0
S U M B E R D A TA : B A P P E D A K O T A S E M A RA N G
40 0 0
440 00 0
445 00 0
M e te rs BA M B A N G K A NT I L A R A S PR O G RA M S T UD I P E N G EL O LA A N SU M B ER DA YA A LA M DA N LI N G K U NG A N SE K OL A H P AS CA S AR JAN A INS T IT U T P ER T AN IA N B O G O R
LE G E N DA Ba nd a r U d a ra Bu da ya Ca m p ur an P e rd a g a ng a n ,Ja sa ,P er m u kim a n G e re ja In d u str i In sta la si P e n g ola h a n A ir B e rs ih (W T P ) In sta la si P e n g ola h a n L im b a h C a ir (W W TP ) Ka wa s an Kh u su s M ilite r Klin ik Ko la m Pe n a m p u n g a n A ir (R e ta rd in g Ba s in ) Ko ns e rva si La p . P e n u m p u ka n M a sjid O la h R a g a d a n R e kr ea s i Pa sa r Pe la b u h a n L a u t Pe rd a ga n g a n d a n J as a Pe rg u da n g a n Pe rg u ru an Tin g g i Pe rka n to ra n Pe rm u kim an Pe rm u kim an In d u st ri Pe rta n ia n L a h a n Ba sa h PL TU Ta m b a k L o ro k Pu sa t Pe n d ar a ta n Ika n (P PI ) Pu ske sm a s Re n c. J ln Ru m a h S a kit SD SM A SM P Sta siu n K A Sta siu n K e re ta A p i Ta m a n Ta m b a k Te m p a t P e m a k a m a n K h u su s (T P K) Te m p a t P e m a k a m a n U m u m (T PU ) Te rm in a l Viha ra
Sumber : BAPPEDA Kota Semarang
Gambar 5.36. Peta Penggunaan Lahan Pesisir Kota Semarang Tahun 2000 – 2010
198
199
Sumber : BAPPEDA Kota Semarang
Gambar 5.37. Peta Penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai Tahun 2000 – 2010 Berdasarkan Enam Kelas Penggunaan Lahan 199
200 Luas Penggunaan Lahan di kawasan pesisir Kota Semarang umumnya didominasi oleh Kawasan permukiman dan Bangunan, serta Hutan, Konservasi dan Hijauan. Kecamatan Genuk dan Kecamatan Tugu memiliki lahan permukiman paling luas dibandingkan Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Semarang Barat, seperti terlihat pada Tabel 5.16 berikut. Tabel 5.16. Luas Penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai Tahun berdasar RTRW 2000 - 2010 No
Penggunaan Lahan Kec. Tugu
1 2 3 4 5 6
Hutan, Konservasi, dan Hijauan Pemukiman dan Bangunan Sawah Tambak, Rawa, dan Kolam Tegalan, Kebun, dan Tanah Kering Lain-Lain Total
334,13 1896,55 283,35 640,83 0 501,25 3656,11
Luas (Ha) Kec. Kec. Semarang Semarang Utara Barat 135,08 320,57 1022,34 1343 0 0 33,05 6,62 0 0 202,92 499,81 1393,39 2170
Kec. Genuk 201,63 2330,47 97,39 97,81 0 24,71 2752,01
Sumber : RTRW BAPPEDA Kota Semarang
Untuk mendapatkan data yang akurat, dilakukan pembandingan antara Data RTRW diatas dengan Data bersumber dari BPS, dan Citra Satelit (IKONOS), atas luasan per kecamatan dan diperoleh sebagai berikut:
Tabel 5.17 Luas Lahan(Ha) Kecamatan Tepian Pantai Kota Semarang antar sumber data Kecamatan
BPS 2007
Tugu
3.095
3.656
2.986
SMG.Utara
1.097
1.393
1.169
SMG.Barat
2.174
2.170
2.248
Genuk
2.616
2.752
2.708
8.982
9.971
9.111
TOTAL
RTRW 01-10
IKONOS 2009
Keterangan IKONOS >BPS 129 Ha.(1,42%) IKONOS < RTRW 860 Ha. (9,44%)
Berhubung hasil pengamatan satelit/IKONOS dianggap paling teliti, sehingga bisa sebagai dasar perhitungen/pengamatan, maka Tabel 5.16 bisa di konversikan menjadi Tabel 5.18.
201 Tabel 5.18 Luas Penggunaan Lahan Semarang Kota Tepian Pantai Tahun 2000 – 2010 berdasar IKONOS (2009)
N o
Penggunaan Lahan
Luas (Ha) Kec. Tugu
Hutan, 1 Konservasi, dan Hijauan 2 Pemukiman dan Bangunan 3 Sawah 4 Tambak, Rawa, dan Kolam 5 Tegalan, Kebun, dan Tanah Kering 6 Lain-Lain Total
Total
272,89
Kec. Semarang Utara 113,33
Kec. Semarang Barat 332,10
Kec. Genuk
1.548,94
857,71
1.391,28
2.293,21
6.091,14
231,42 523,38
0 27,73
0 6,86
95,84 96,25
327,26 654,22
0
0
0
0
409,38 2.986,01
170,25 1.169
439,76 2.170
68,30 2.752,01
198,41
916,73
0
1.087,69 9.077,04
Sumber : RTRW BAPPEDA, ikonos, Kota Semarang diolah
5.3.3 Penggabungan Sistem Dinamik dan Spasial Dinamik (Bagian dari Tujuan 3) Dengan melihat data eksisting hasil simulasi sistem dinamik yang dibandingkan dengan peta eksisting.
Kemudian melihat perubahan jumlah
penduduk dan kebutuhan lainnya termasuk lahan, sehingga dapat diketahui kebutuhan lahan dimasa yang akan datang. Penggunaan lahan sendiri ditentukan dengan pendekatan arah perkembangan kota (contoh jaringan jalan, rencana RTRW dll).
202 5.4 Merumuskan kebijakan dan skenario pengelolaan kawasan pesisir Semarang berkelanjutan yang menjamin terjadinya sinergi yang menguntungkan bagi semua stakeholder tanpa mengabaikan prinsip konservasi lingkungan (Tujuan 4) 5.4.1
Analisis Kebijakan Pengelolaan Kawasan Pesisir
PENGELOLAAN KOTA SEMARANG TEPIAN PANTAI BERKELANJUTAN
Fokus
Stakeholder
Masyarakat 0,203
Faktor
Peningkatan PAD 0,153
Tujuan
Pemerintah 0,35
LSM 0,105
Pengangguran Terbuka 0,250
Erosi dan Abrasi 0,433
Peningk.Daya saing 0,054
Reduksi Pencemaran 0,069
Konsevasi 0,324
Alternatif
Pelaku Usaha 0,076
Kelembagaan Mitigasi Bencana 0,061
Adaptasi Banjir 0,169
Investor 0,224
Teknologi Ecoport dan Pelabuhan 0,096
Kes- Ling- Mas 0,155
Redevelopment 0,452
Akademisi 0,170
Akses Masyarakat 0,159
Perluasan Lap. Kerja 0,310
Revitalisasi 0,224
Gambar 5.38 Diagram hirarki AHP kebijakan pengelolaan tepian pantai kota Semarang Analisis kebijakan pengelolaan kota tepian pantai kota Semarang berkelanjutan dilakukan menggunakan metode AHP. Dalam analisis ini, terdapat 5 level pengambilan keputusan, yakni fokus pengelolaan; peranan stakeholders; faktor pendukung;
tujuan
pengelolaan
dan
alternatif
kebijakan
yang
mungkin
dilaksanakan. Berdasarkan perhitungan nilai tiap tingkat AHP diperoleh hasil sebagai berikut: a.
Peranan stakeholders. Terdapat 6 Stakeholders dalam pengambilan keputusan pengelolaan
lingkungan wilayah tepian pantai berkelanjutan. Pentingnya peranan masing-masing stakeholder dalam penentuan alternatif kebijakan disajikan berikut:
Minimalisasi Konflik 0,089
203 Tabel 5.19. Prioritas stakeholder berdasar tingkat kepentingan pada pengelolaan lingkungan wilayah tepian pantai berkelanjutan No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Stakeholders Masyarakat Pemerintah LSM Pelaku usaha Investor Akademisi
Nilai 0,203 0,350 0,105 0,076 0,224 0,170
Inconsistency Stakeholder (Rataan 0.0536)
Dari Tabel 5.19 diperkirakan, bahwa peranan pemerintah dalam penentuan alternatif kebijakan merupakan hal yang paling menentukan (0,350). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki peranan yang sangat penting dalam pengelolaan wilayah
Kota Semarang tepian pantai secara berkelanjutan. Hasil
perhitungan ini mempengaruhi tingkat-tingkat pengembilan keputusan selanjutnya.
b.
Hirarki faktor pendukung menurut stakeholders Masing-masing stakeholder memiliki perbedaan prioritas (hirarki) dalam
penentuan faktor pendukung. Dari Gambar 5.7 terlihat, bahwa menurut stakeholder, faktor pendukung paling penting pada pengelolaan wilayah tepian pantai berkelanjutan adalah berturut-turut Erosi dan Abrasi (0,433), Pengangguran Terbuka (0,250), Akses Masyarakat (0,159), Teknologi Ecoport (0,096) dan Kelembagaan Mitigasi Bencana (0,061). Tiap-tiap stakeholders memberikan prioritas utama terhadap faktor pendukung pemberdayaan masyarakat dan tingkat pemanfaatan lahan dalam pengelolaan wilayah tepian pantai berkelanjutan terutama masyarakat dan pemerintah. Untuk faktor pendukung Erosi dan Abrasi, pemerintah dan LSM memberikan nilai tertinggi yaitu masing-masing berturut-turut 0,512 dan 0,454. Untuk faktor pendukung pengangguran terbuka, akademisi dan investor memberikan nilai tertinggi yaitu masing-masing berturut-turut 0,268 dan 0,26. Untuk faktor pendukung akses masyarakat, investor dan pelaku usaha memberikan nilai tertinggi yaitu berturut-turut 0,191 dan 0,171.
204 Tabel 5.20. Hirarki faktor pendukung pada pengelolaan lingkungan wilayah tepian pantai berkelanjutan menurut stakeholders No
Faktor Pendukung 1 0,227 0,438 0,061
1 2 3
2 0,255 0,512 0,052
Stakeholders 3 4 0,25 0,241 0,454 0,398 0,051 0,072
5 0,26 0,381 0,068
6 0,268 0,416 0,064
Pengangguran Terbuka Erosi dan Abrasi Kelembagaan Mitigasi Bencana 4 Teknologi Ecoport 0,112 0,07 0,092 0,117 0,1 0,087 5 Akses Masyarakat 0,162 0,11 0,154 0,171 0,191 0,165 Keterangan stakeholder 1 = Masyarakat; 2 = Pemerintah; 3 = LSM; 4 = Pelaku Usaha; 5 = Investor; 6 = Akademisi.
c.
Global Priority 0,250 0,433 0,061 0,096 0,159
Inconsistency Faktor (Rataan 0.0594)
Hirarki tujuan pengelolaan berdasarkan faktor pendukung Hirarki tujuan pengelolaan wilayah tepian pantai berkelanjutan ditentukan
berdasarkan faktor pendukung. Dari Gambar 5.7 terlihat, bahwa perluasan lapangan kerja, adaptasi banjir, kesehatan lingkungan masyarakat dan peningkatan pendapatan merupakan tujuan paling penting (masing-masing faktor memberikan nilai tertinggi 0,310; 0,169; 0,155 dan 0,153). Faktor tujuan paling penting pada pengelolaan wilayah tepian pantai berkelanjutan adalah berturut-turut perluasan lapangan kerja (0,310), adaptasi banjir (0,169), kesehatan lingkungan masyarakat (0,155), peningkatan PAD (0,153), minimalisasi konflik (0,089), reduksi pencemaran (0,069) dan peningkatan daya saing (0,054).
Tabel 5.21. No 1 2 3 4 5 6 7
Hirarki tujuan pengelolaan wilayah berdasarkan faktor pendukung Faktor Tujuan
Peningkatan PAD Peningkatan Daya Saing Reduksi Pencemaran Adaptasi Banjir Kes- Ling-Masy Perluasan Lapangan Kerja Minimalisasi konflik
1 0,162 0,041 0,081 0,162 0,162 0,306
Faktor Pendukung 2 3 4 0,155 0,157 0,143 0,051 0,055 0,052 0,067 0,065 0,064 0,171 0,167 0,177 0,155 0,166 0,144 0,319 0,304 0,304
5 0,15 0,069 0,069 0,169 0,15 0,319
0,085 0,081 0,086 0,117 0,075
Global Priority 0,153 0,054 0,069 0,169 0,155 0,310 0,089
Keterangan: faktor 1 = Pengangguran Terbuka; 2 = Erosi dan Abrasi; 3 = Kelembagaan Mitigasi Bencana; 4 = Teknologi Ecoport; 5 = Akses Masyarakat. 0.0594)
Inconsistency Faktor (Rataan
205 d.
Hirarki alternatif kebijakan berdasarkan tujuan pengelolaan Penentuan hirarki alternatif kebijakan pengelolaan wilayah tepian pantai
berkelanjutan ditentukan berdasarkan tujuan pengelolaan. Dari Tabel 6.10 diketahui bahwa alternatif kebijakan redevelopment (0,452) dan konservasi (0,324) dipandang sebagai alternatif kebijakan yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan karena masing-masing
tujuan
memberikan
nilai
tertinggi.
Alternatif
kebijakan
redevelopment dan konservasi akan memberikan dampak positif paling besar terhadap pencapaian tujuan perluasan lapangan kerja (0,479) dan paling rendah adalah tujuan revitalisasi (0,421).
Tabel 5.22. No
Hirarki alternatif kebijakan pengelolaan wilayah berdasarkan tujuan
Alternatif
Tujuan
Kebijakan
Global
1
2
3
4
5
6
7
Priority
1
Konservasi
0,317
0,302
0,321
0,354
0,327
0,332
0,315
0,324
2
Redevelopment
0,458
0,421
0,438
0,463
0,453
0,479
0,452
0,452
3
Revitalisasi
0,232
0,179
0,208
0,248
0,227
0,256
0,218
0,224
Keterangan: tujuan 1 = Peningkatan PAD; 2 = Pen.Daya saing; 3 = Reduksi Pencemaran; 4 = Adaptasi banjir; 5 = Kesehatan lingkungan masyarakat; 6 = Perluasan lapangan kerja; 7 = Minimalisasi konflik.
Inconsistency Strategi (Rataan 0.044)
Alternatif kebijakan konservasi akan memberikan dampak positif paling besar terhadap pencapaian tujuan adaptasi banjir (0,354) dan paling rendah adalah tujuan peningkatan daya saing (0,321).
5.4.2 Analisis Prospektif Dengan
memperhatikan
potensi
daerah,
kondisi
masyarakat
serta
kemampuan pemerintah dan swasta sebagai mitra kerja, penyusunan alternatif untuk menentukan
alternatif
kebijakan
yang
memperhatikan jangka waktu pelaksanaan.
direkomendasikan
dinilai
perlu
206 Tabel 6.12
Beberapa kriteria penentuan kebijakan sesuai dengan jangka waktu pelaksanaan
No 1.
Tahapan pelaksanaan Jangka pendek
a. b. c.
2.
Jangka menengah
a. b c.
3.
Jangka panjang
a. b c d.
Kriteria Peningkatan barang-barang produk industri lokal Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan produk industri lokal Peningkatan kinerja perekonomian daerah. Pengembangan potensi daerah dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan. Kesesuaian dengan tata ruang wilayah. Peningkatan barang dan jasa produk industri lokal Masuknya investasi swasta dan swasta asing dalam pengembangan produk industri lokal Peningkatan jaringan kerja dengan daerah/negara lain Peningkatan nilai tambah wilayah dengan tetap memper hatikan keseimbangan lingkungan Pemanfaatan ruang wilayah dengan perencanaan terpadu antar sektor.
Kebijakan jangka pendek memerlukan waktu berkisar 1 – 5 tahun, jangka waktu menengah 6 – 10 tahun
sedangkan jangka panjang 11 – 20 tahun.
Implementasi alternatif jangka pendek, menengah dan panjang diupayakan agar merupakan satu kesatuan yang berkelanjutan (sustainable). Disamping itu, perlu juga memperhatikan kriteria penentuan kebijakan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam penentuan kebijakan disajikan pada Tabel 6.12. Berdasarkan hasil AHP (Tabel 6.11) dan kriteria penentuan kebijakan sesuai dengan jangka waktu pelaksanaan (Tabel 6.12), maka alternatif kebijakan yang direkomendasikan sebagai berikut:
Alternatif jangka pendek. Mengelola lingkungan wilayah Kota Semarang tepian air sebagai kawasan
konservasi ramah lingkungan dengan tetap berbasis pada potensi dan sumberdaya daerah. Konservasi adalah penataan tepian air kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat. Alternatif ini menjadi sangat mendasar, karena didukung oleh fakta-fakta sebagai berikut: 1.
Sudah sejak satu dekade terahir, Kota Semarang tepian pantai telah menjadi kawasan konservasi yang secara ekonomis didukung oleh SDA yang ada,
207 Tanjungmas pelabuhan peti-kemas dan berbagai industri yang telah menjadi pendukung utama perekonomian. 2.
Kota Semarang tepian pantai memiliki potensi sumberdaya alam besar yang belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal.
3.
Kota Semarang tepian pantai memiliki jumlah penduduk yang besar yang merupakan pasar tenaga kerja yang sangat potensial.
Alternatif jangka menengah Mengelola lingkungan wilayah Kota Semarang tepian air sebagai kawasan
redevelopment dengan menghidupkan kembali fungsi-fungsi tepian air lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada.
1.
Alternatif jangka panjang Mengelola lingkungan wilayah Kota Semarang tepian air sebagai kawasan eco-industrial tourism yang berbasis pada keunggulan industri yang ramah lingkungan dan pesona keindahan alam.
2.
Reklamasi dan pengembangan, merupakan usaha menciptakan tepian air yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan.
5.4.2 Analisis Kebijakan Pengelolaan per kecamatan f.
Kecamatan Genuk a.
Hasil Pembobotan pada setiap Komponen
208 PENGELOLAAN KOTA SEMARANG TEPIAN PANTAI BERKELANJUTAN
Fokus
Masyarakat 0,187
Stakehold er
Pengangguran terbuka (0,241)
Faktor
Peningkatan PAD 0,167
Tujuan
Alternatif
LSM 0,118
Pemerintah 0,338
Revitalisasi 0,056
Erosi dan abrasi (0,427)
Reduksi Pencemaran 0,067
Redevelopment 0,320
Pelaku Usaha 0,081
Kelembagaan Mitigasi Bencana
Adaptasi Banjir 0,191
Konsevasi 0,558
Investor 0,221
Teknologi ecoport (0,107)
Kesehatan Lingkungan Masyarakat 0,156
Akademisi 0,056
Akses Masyarakat (0,164)
Perluasan Lapangan Kerja 0,277
Minimalisasi Konflik 0,086
Revitalisasi 0,122
Gambar 5.39. Diagram hirarki AHP kebijakan pengelolaan tepian pantai kota Semarang di Kecamatan Genuk. b.
Pembobotan Kriteria Stakeholder dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan di Kecamatan Genuk. Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun stakeholder yang menjadi
pengaruh utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan, Gambar 5.39 menunjukkan urutan prioritas stakeholder tersebut.
Gambar 5.40 Urutan prioritas stakeholder di Kecamatan Genuk
Berdasarkan Gambar 5.40 hasil analis AHP yang merupakan stakeholder (level 2) untuk Kecamatan Genuk menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai peran utama dalam pengelolaan lingkungan kawasan tepian pantai dengan bobot nilai adalah 0,338., diikuti oleh Investor yang memiliki bobot nilai sebanyak 0,221
209 yang merupakan salah satu stakeholder yang mempunyai peran terhadap pengembangan kota wilayah tepian pantai. Stakeholder selanjutnya adalah masyarakat mempunyai bobot nilai 0,187 yang mempunyai peran terhadap pengelolaan lingkungan kawasan tepian pantai. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan bobot nilai 0,118. Stakeholder selanjutnya pelaku usaha dengan bobot nilai 0,081. Stakeholder terakhir akademisi bobot nilai 0,056. c.
Pembobotan Kriteria Faktor Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun faktor-faktor yang menjadi
pengaruh utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Genuk. Gambar 5.41 menunjukkan urutan prioritas faktor-faktor tersebut.
Gambar 5.41 Urutan prioritas faktor pengelolaan kota tepian pantaiberkelanjutan di Kecamatan Genuk Berdasarkan Gambar 5.41 hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 2), Erosi dan abrasi menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,427. Perhatian terhadap erosi dan abrasi mendorong perlunya penanaman kembali mangrove sehingga akan bisa meningkatkan kembali daya dukung lahan, bisa mengatasi masalah erosi dan abrasi, ketersediaan sumberdaya air tawar/intrusi air laut, dan rob. Hasil Analisis AHP yang menjadi prioritas kedua adalah Pengangguran terbuka dengan bobot nilai 0,241. Perlu inovasi stakeholder dalam hal ini Pemerintah dan Investor untuk mempersiapkan lapangan kerja se luas-luasnya diantaranya dengan pemberdayaan masyarakat secara terpadu untuk berpartisipasi dalam reboisasi, perawatan, dan pengambilan kebijakan. Untuk Akses Masyarakat/Publik terhadap tepian pantai menjadi prioritas ketiga dengan bobot nilai 0,164. Teknologi ecoport dan pelabuhan dari dimensi
210 infrastruktur menjadi prioritas keempat dengan bobot nilai 0,107. Pengadaan energi (sarana listrik yang memadai) merupakan prioritas penting dalam pengembangan sarana dan prasarana. Kecukupan pasokan listrik tersebut sangat penting dalam menunjang kegiatan ekonomi kota Semarang. Prioritas kelima adalah Kelembagaan Mitigasi Bencana, bobot nilai 0,061.
d.
Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan di Kecamatan Genuk. Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun tujuan yang menjadi capaian
utama dalam pengelolaan tepian pantai Kota Semarang di Kecamatan Genuk. Gambar 5.42 menunjukkan urutan prioritas tujuan tersebut.
Gambar 5.42. Urutan prioritas tujuan dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Genuk Berdasarkan Gambar 5.42 hasil analisis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan perluasan lapangan kerja dan adaptasi banjir menjadi prioritas utama dalam kriteria tujuan dengan masing-masing bobot nilai 0,277 dan 0,191. Prioritas selanjutnya adalah peningkatan PAD dengan bobot nilai 0,167. Diikuti dengan kesehatan lingkungan masyarakat dengan bobot nilai 0,156. Permasalahan banjir dan permukiman kumuh di Kecamatan Genuk perlu diupayakan penyelesaian masalahnya dengan cara pengembangan rumah panggung/anti banjir, serta sosialisasi
pengembangannya
ke
masyarakat
sekitar
serta
upaya-upaya
pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah mencakup pengadaan fasilitas kegiatan. Prioritas selanjutnya adalah minimalisasi konflik (0,086). Prioritas selanjutnya reduksi pencemaran dengan pengelolaan limbah (sanitasi) dengan bobot nilai 0,067. Prioritas selanjutnya adalah peningkatan daya saing dengan bobot nilai 0,056.
211 e.
Pembobotan Alternatif Sasaran Pengelolaan Kota Tepian Berkelanjutan di Kecamatan Genuk.
Gambar 5.43. Urutan alternatif sasaran dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan
Berdasarkan Gambar 5.43 hasil analis AHP yang merupakan sasaran akhir (level 5) dengan nilai inconsistency index keseluruhan sebesar 0,02, menunjukkan strategi utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Genuk sebaiknya lebih difokuskan kepada pengembangan kegiatan konsevasi dengan bobot nilai 0,558. Hal tersebut sangat penting untuk dilakukan sehingga sumber daya alam yang ada di kawasan kota tepian pantai tersebut tetap terjaga kelestariannya. Pemanfaatan potensi alam diantaranya dengan mengembangkan vegetasi spesifik seperti tanaman bakau yang dapat berfungsi untuk mencegah abrasi, serta menjadi pemandangan alami dan mengembangkan perikanan darat (tambak) dan perikanan laut (Suprijanto, 2001). Prioritas selanjutnya adalah redevelopment dengan bobot nilai 0,320. Upaya ini dilakukan dengan cara peningkatan dukungan ketersediaan infrastruktur dasar yang memadai. Prioritas terakhir adalah revitalisasi (0,122). Revitalisasi dapat dilakukan melalui cara pemugaran, konservasi lingkungan maupun penataan lingkungan.
g. Kecamatan Tugu a.
Hasil Pembobotan pada setiap Komponen
212 PENGELOLAAN KOTA SEMARANG TEPIAN PANTAI BERKELANJUTAN
Fokus
Stakehold er
Faktor
Tujuan
Alternatif
Masyarakat 0,191
Pengangguran Terbuka (0,232)
Peningkatan PAD 0,159
LSM 0,103
Pemerintah 0,345
Revitalisasi 0,062
Erosi dan Abrasi (0,412)
Reduksi Pencemaran 0,075
Redevelopmen t
Pelaku Usaha 0,074
Kel.MitigasiBe ncana (0,061)
Adaptasi Banjir 0,178
Konsevasi 0,540
Investor 0,236
Teknologi Ecoport (0,117)
Kesehatan Lingkungan Masyarakat 0,163
Akademisi 0,051
Akses Masyarakat (0,178)
Perluasan Lapangan Kerja 0,267
Minimalisasi Konflik 0,096
Revitalisasi 0,163
Gambar 5.44. Diagram hirarki AHP kebijakan pengelolaan tepian pantai kota Semarang b.
Pembobotan Kriteria Stakeholder dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan
Gambar 5.45. Urutan prioritas stakeholder di Kecamatan Tugu
Berdasarkan Gambar 5.45 hasil analis AHP yang merupakan stakeholder (level 2) untuk Kecamatan Tugu menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai peran utama dalam pengelolaan lingkungan kawasan tepian pantai (0,338) . Posisi kedua adalah Investor (0,236). Stakeholder selanjutnya adalah masyarakat ( 0,191), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan bobot nilai 0,103. Stakeholder selanjutnya pelaku usaha (0,081). Pelaku usaha merupakan salah satu pelaku ekonomi yang akan mempengaruhi terhadap kegiatan perekonomian di Kecamatan Tugu terutama yang terkait dengan pengembangan Kecamatan Tugu sebagai kawasan rekreasi tepian air. Keberadaan pelaku usaha tersebut sangat penting
213 terutama dalam menguatkan sektor ekonomi kepariwisataan di Kecamatan Tugu. Stakeholder terakhir akademisi mempunyai bobot nilai 0,051. c.
Pembobotan Kriteria Faktor Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan
Gambar 5.46. Urutan prioritas faktor pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan Berdasarkan Gambar 5.46 hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 2), Erosi dan abrasi menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,412. Hasil Analisis AHP yang menjadi prioritas kedua adalah Pengangguran terbuka dengan bobot nilai 0,232. Akses Masyarakat terhadap tepian pantai menjadi prioritas ketiga dengan bobot nilai 0,178. Teknologi ecoport dan pelabuhan menjadi prioritas keempat dengan (0,117). Prioritas kelima Kelembagaan Mitigasi Bencana dengan nilai 0,061.
d.
Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan di Kecamatan Tugu Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun tujuan yang menjadi capaian
utama dalam pengelolaan tepian pantai Kota Semarang, Gambar 5.47 menunjukkan urutan prioritas tujuan tersebut.
Gambar 5.47. Urutan prioritas tujuan dalam kebijakan pengelolaan kota tepianpantai berkelanjutan di Kecamatan Tugu
214
Berdasarkan Gambar 5.47 hasil analisis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan perluasan lapangan kerja dan adaptasi banjir menjadi prioritas utama dalam kriteria tujuan dengan masing-masing bobot nilai 0,267 dan 0,178. Prioritas selanjutnya adalah peningkatan PAD dengan bobot nilai 0,159. Prioritas selanjutnya kesehatan lingkungan masyarakat dengan bobot nilai 0,163. Prioritas selanjutnya adalah minimalisasi konflik dengan bobot nilai 0,096. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi konflik di kawasan tepian pantai antara masyarakat dan pemerintah, maupun konflik antar stakeholder lainnya. Prioritas selanjutnya reduksi pencemaran dengan bobot nilai 0,075. Prioritas terakhir revitalisasi kota tepian pantai dengan bobot nilai 0,062.
e.
Pembobotan Alternatif Berkelanjutan
Sasaran
Pengelolaan
Kota
Tepian
Pantai
Gambar 5.48. Urutan alternatif sasaran dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan Berdasarkan Gambar 5.48 hasil analis AHP yang merupakan sasaran akhir (level 5), menunjukkan strategi utama dalam pengelolaan di Kecamatan Tugu sebaiknya lebih difokuskan kepada pengembangan kegiatan konsevasi (0,540). Prioritas selanjutnya adalah redevelopment (0,297). Prioritas yang terakhir adalah revitalisasi dengan bobot nilai 0,163.
h. Kecamatan Semarang Barat a.
Hasil Pembobotan pada setiap Komponen
215 PENGELOLAAN KOTA SEMARANG TEPIAN PANTAI BERKELANJUTAN
Fokus
Stakeholder
Faktor
Tujuan
Alternatif
Masyarakat 0,180
Pemerintah 0,391
Pengangguran terbuka (0,257)
Peningkatan PAD 0,187
Revitalisasi 0,039
Redevelopment 0,614
LSM 0,097
Erosi dan Abrasi (0,422)
Reduksi Pencemaran 0,053
Pelaku Usaha
Kel. Mitigasi Bencana (0,045)
Adaptasi Banjir 0,175
Konsevasi 0,117
Investor 0,223
Teknologi Ecoport (0,110)
Kesehatan Lingkungan Masyarakat 0,149
Akademisi 0,037
Akses Masyarakat (0,166)
Perluasan Lapangan Kerja 0,323
Minimalisasi Konflik 0,075
Revitalisasi 0,268
Gambar 5.49. Diagram hirarki AHP kebijakan pengelolaan tepian pantai kota Semarang Barat b.
Pembobotan Kriteria Stakeholder dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan
Gambar 5.50. Urutan prioritas stakeholder di Kecamatan Semarang Barat
Berdasarkan Gambar 5.50 hasil analis AHP yang merupakan stakeholder (level 2) untuk Kecamatan Semarang Barat menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai peran utama dalam upaya pengembangan potensi kawasan semarang barat sebagai kawasan terpadu dengan bobot nilai adalah 0,391. Investor memiliki bobot nilai sebanyak 0,223 yang merupakan salah satu stakeholder yang mempunyai peran penting terhadap pengembangan kota wilayah tepian pantai. Stakeholder selanjutnya adalah masyarakat mempunyai bobot nilai 0,180. Stakeholder selanjutnya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
216 dengan bobot nilai 0,097. Stakeholder selanjutnya pelaku usaha dengan bobot nilai 0,073. Stakeholder terakhir akademisi dengan bobot nilai 0,037. c.
Pembobotan Kriteria Faktor Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan
Gambar 5.51. Urutan prioritas faktor pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan Kecamatan Semarang Barat.
Berdasarkan Gambar 5.51 hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 2), Erosi dan Abrasi menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,422. Hasil Analisis AHP yang menjadi prioritas kedua adalah Pengangguran terbuka dengan bobot nilai 0,257. Akses Masyarakat/Publik terhadap tepian air menjadi prioritas ketiga dengan bobot nilai 0,166. Teknologi ecoport & pelabuhan menjadi prioritas keempat dengan bobot nilai 0,117. Prioritas terakhir adalah Kelembagaan Mitigasi Bencana ( 0,045).
d.
Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan di Kecamatan Semarang Barat
Gambar 5.52. Urutan prioritas tujuan dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Semarang Barat Berdasarkan Gambar 5.52 hasil analisis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan menjadi
217 prioritas utama dalam kriteria tujuan dengan masing-masing bobot nilai 0,323 dan 0,187. Prioritas selanjutnya adalah adaptasi banjir dengan bobot nilai 0,175. Adaptasi banjir perlu dilakukan mengingat permasalahan banjir merupakan ancaman utama upaya pengembangan kawasan Semarang Barat sebagai kawasan tepian terpadu yang unggul. Prioritas selanjutnya kesehatan lingkungan masyarakat dengan bobot nilai 0,149. Upaya peningkatan kesehatan lingkungan masyarakat sangat penting dilakukan mengingat lingkungan hidup di kawasan tepian pantai cukup memprihatinkan, dimana langkanya air bersih dan sanitasi yang kurang baik yang menyebabkan lingkungan kurang sehat. Prioritas selanjutnya adalah minimalisasi konflik dengan bobot nilai 0,075. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi konflik di kawasan tepian pantai antara masyarakat dan pemerintah, maupun konflik antar stakeholder lainnya. Prioritas selanjutnya reduksi pencemaran dengan bobot nilai 0,053. Hal ini sangat penting untuk dilaksanakan mengingat kawasan pesisir sangat rentan terhadap pencemaran dari berbagai aktivitas yang dilakukan manusia. Prioritas terakhir adalah revitalisasi kota tepian pantai (0,039) e.
Pembobotan Alternatif Berkelanjutan
Sasaran
Pengelolaan
Kota
Tepian
Pantai
Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun sasaran yang menjadi prioritas utama dalam keberhasilan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan, Gambar 5.53 menunjukkan urutan prioritas sasaran tersebut.
Gambar 5.53. Urutan alternatif sasaran dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan, Kecamatan Semarang Barat.
Berdasarkan Gambar 5.53 hasil analis AHP yang merupakan sasaran akhir (level 5) dengan nilai inconsistency index keseluruhan sebesar 0,07, menunjukkan strategi utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Semarang Barat sebaiknya lebih difokuskan kepada pengembangan kegiatan redevelopment dengan bobot nilai 0,614. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan
218 ekonomi baru di Kecamatan Semarang Barat perlu diupayakan dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki olah kawasan ini. Disamping itu perlu dilakukan pengadaan sarana dan prasarana penunjang atau infrastruktur yang lebih memadai untuk menunjang aktivitas ekonomi di Kecamatan Barat, terutama sarana listrik. Prioritas selanjutnya adalah revitalisasi dengan bobot nilai 0,268. Upaya ini dilakukan dengan cara mengoptimalkan sumber-sumber kegiatan ekonomi yang dimiliki selama ini sehingga mampu memberikan daya guna manfaat yang lebih baik dalam upaya pengembangan Kecamatan Semarang Barat sebagai salah satu pusat kawasan terpadu di Kota Semarang. Prioritas terakhir adalah konservasi dengan bobot nilai 0,117.
i.
Kecamatan Semarang Utara Rincian lebih lanjut khususnya di Kecamatan Semarang Utara adalah
sebagai berikut : a.
Hasil Pembobotan pada setiap Komponen
PENGELOLAAN KOTA SEMARANG TEPIAN PANTAI BERKELANJUTAN
Fokus
Stakehold er
Masyarakat 0,180
Pengangguran terbuka (0,257)
Faktor
Tujuan
Alternatif
Peningkatan PAD 0,187
LSM 0,097
Pemerintah 0,391
Revitalisasi 0,039
Redevelopment 0,614
Erosi dan Abrasi (0,422)
Reduksi Pencemaran 0,053
Pelaku Usaha 0,073
Kel. Mitigasi Bencana (0,045)
Adaptasi Banjir 0,175
Konsevasi 0,117
Investor 0,223
Teknologi Ecoport (0,110)
Kesehatan Lingkungan Masyarakat 0,149
Akademisi 0,037
Akses Masyarakat (0,166)
Perluasan Lapangan Kerja 0,323
Minimalisasi Konflik 0,075
Revitalisasi 0,268
Gambar 5.54. Diagram hirarki AHP kebijakan pengelolaan tepian pantai kota Semarang, Kecamatan Semarang Utara.
219
b.
Pembobotan Kriteria Stakeholder dalam Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun stakeholder yang menjadi
pengaruh utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan, Gambar 5.55 menunjukkan urutan prioritas stakeholder tersebut.
Gambar 5.55. Urutan prioritas stakeholder di Kecamatan Semarang Utara
Berdasarkan Gambar 5.55 hasil analis AHP yang merupakan stakeholder (level 2) untuk Kecamatan Semarang Utara menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai peran utama dalam upaya pengembangan potensi kawasan Semarang Utara sebagai kawasan terpadu dengan bobot nilai adalah 0,326. Pemerintah mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi terhadap upaya penentuan alternatif kebijakan pengembangan Kecamatan Semarang Utara menjadi kawasan terpadu. Investor memiliki bobot nilai 0,215 yang merupakan salah satu stakeholder yang mempunyai peran penting terhadap pengembangan kota wilayah tepian pantai. Stakeholder selanjutnya adalah Masyarakat mempunyai bobot nilai 0,255 yang diikuti Stakeholder
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan bobot nilai
0,100, Pelaku usaha dengan bobot nilai 0,074, dan terakhir Akademisi dengan bobot nilai 0,030. c.
Pembobotan Kriteria Faktor Kebijakan Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan
Gambar 5.56. Urutan prioritas faktor pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Semarang Utara.
220 Berdasarkan Gambar 5.56 hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 2), Erosi dan Abrasi menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,409. Menjadi prioritas kedua adalah Pengangguran terbuka dengan bobot nilai 0,289 di ikuti Akses Masyarakat/Publik terhadap tepian pantai menjadi prioritas ketiga dengan bobot nilai 0,158. Teknologi ecoport dan pelabuhan menjadi prioritas keempat dengan bobot nilai 0,100 dan terakhir adalah Kelembagaan Mitigasi Bencana dengan bobot nilai 0,044.
d.
Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengelolaan Kota Tepian pantai Berkelanjutan di Kecamatan Semarang Utara
Gambar 5.57. Urutan prioritas tujuan dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Semarang Utara Berdasarkan Gambar 5.57 hasil analisis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan perluasan lapangan kerja dan adaptasi banjir menjadi prioritas utama dalam kriteria tujuan dengan masing-masing bobot nilai 0,343 dan 0,189. Prioritas selanjutnya kesehatan lingkungan masyarakat dengan bobot nilai 0,164, dilanjutkan dengan peningkatan PAD dengan bobot nilai 0,123. Prioritas selanjutnya adalah minimalisasi konflik dengan bobot nilai 0,078. Prioritas selanjutnya reduksi pencemaran dengan bobot nilai 0,061. Prioritas terakhir adalah revitalisasi kota tepian pantai dengan bobot nilai 0,042.
e.
Pembobotan Berkelanjutan
Alternatif
Sasaran
Pengelolaan
Kota
Tepian
Pantai
221
Gambar 5.58. Urutan alternatif sasaran dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan Berdasarkan Gambar 5.58 hasil analis AHP yang merupakan sasaran akhir (level 5) dengan nilai inconsistency index keseluruhan sebesar 0,03 menunjukkan strategi utama dalam pengelolaan kota tepian pantai berkelanjutan di Kecamatan Semarang Utara sebaiknya lebih difokuskan kepada pengembangan kegiatan redevelopment dengan bobot nilai 0,577. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di Kecamatan Utara perlu diupayakan dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki olah kawasan ini. Perlu dilakukan pengadaan sarana dan prasarana penunjang atau infrastruktur yang lebih memadai untuk menunjang aktivitas ekonomi di Kecamatan Semarang Utara, terutama sarana listrik. Prioritas selanjutnya adalah revitalisasi (0,342). Upaya ini dilakukan dengan cara mengoptimalkan sumber-sumber kegiatan ekonomi yang dimiliki selama ini sehingga mampu memberikan manfaat yang lebih baik dalam upaya pengembangan Kecamatan Semarang Utara sebagai salah satu pusat kawasan terpadu. Prioritas terakhir adalah konservasi dengan bobot nilai 0,081.
5.5 Menentukan Prioritas Atau Skenario Arahan Kebijakan
dan Strategi
Pengelolaan (Tujuan 5)
5.5.1 Analisis Kebijakan berdasarkan Skenario Analisis kebijakan dilakukan melalui kajian tiga skenario yang disusun berdasarkan hasil MDS. Dari analisis MDS tersebut diketahui bahwa terdapat lima faktor kunci yang paling berpengaruh terhadap pengelolaan kota tepian pantai (water front city) berkelanjutan, yang juga merupakan kebutuhan para pelaku (stakeholder). Faktor kunci tersebut adalah: 1) Pengangguran terbuka, 2) Erosi dan Abrasi, 3) Kelembagaan Mitigasi Bencana, 4) Teknologi Ecoport dan Pelabuhan, dan 5) Akses masyarakat ke tepian pantai. Berdasar keadaan (state) faktor-faktor tersebut, dapat disusun
skenario beberapa kemungkinan yang
terjadi. Dari
222 kombinasi antara
faktor kunci tersebut, diasumsikan tiga skenario yang
kemungkinan terjadi, yang diberi nama: (1) Skenario Pesimis, (2) Skenario Moderat, dan (3) Skenario Optimis. Secara ringkas, penamaan dan susunan skenario disajikan pada Tabel 6.1. Tabel 6.1.
Prospektif faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem
pengelolaan kota tepian pantai No.
Faktor
Pesimis Tinggi karena kurangnya usaha penanggulangan erosi dan abarasi .
Keadaan (State) Moderat Sedang, karena pembinaan keterampi lan maupun pendanaan terhadap masyarakat lokal sudah cukup baik dalam bidang reboisasi hutan dan pencegahan erosi dan abrasi Sedang, karena pemerintah dan swasta cukup innovative dalam penciptaan bidang kerja untuk menyerap pengangguran.
1.
Erosi dan Abrasi
2.
Pengangguran terbuka
Cukup besar, karena pemerintah dan swasta kurang inovatif dalam penciptaan bidang kerja untuk menyerap pengangguran .
3.
Akses masyarakat ke tepian pantai
Semakin rendah akibat kebijakan pemerintah yang kurang meng akomodasi akses masyarakat ke tepian pantai (sosial, ekonomi dan budaya)
Meningkat, karena pemerintah memberi akses yang cukup kepada masyarakat ketepian pantai dengan menumbuh kembangkan swadaya masyarak (sosial, ekonomi, budaya)
4.
Teknologi Ecoport dan Pelabuhan
5.
Kelembagaan Mitigasi Bencana
Kurang memadai, ka rena upaya perbaikan sarana infrastruktur dan kebutuhan energi ( listrik) yang ada saat ini tidak ditun jang dengan upaya alih teknologi Kurang memadai, ka rena kurangnya koor dinasi organisasi mas yarakat dan kerja sama dengan stake hol der lainnya
Cukup memadai, kare na alih teknologi upaya perbaikan sa rana infrastruktur dan kebutuhan energi (listrik) sudah dilakukan secara bertahap. Cukup baik, karena su dah dilakukan koordi nasi dan kerjasama de ngan swasta dan peme rintah
Sumber: Hasil Analisis 2010.
Optimis Rendah, karena pemerintah intens me lakukan pemberda yaan kepada masya rakat serta ikut me libatkan peran aktif sektor swasta
Kecil, karena pemerintah dan swasta sangat innovative dalam penciptaan bidang kerja secara terpadu untuk menyerap pengangguran Meningkat secara berkesinambungan karena pemerintah intens menumbuh kembangkan sektor swadaya masyarakat, wisata, perdagangan secara terpadu (mixed used) Sangat memadai, karena alih teknologi untuk perbaikan sarana infrastruktur dan listrik berjalan dengan baik Sangat baik karena koordinasi dan ker jasama dengan stake holder lainnya ber jalan dengan baik
223 Untuk mengaitkan skenario yang disusun ke dalam model, dilakukan interpretasi asumsi tiap-tiap skenario pada kondisi setiap faktor kunci. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada peubah tertentu di dalam model, sehingga skenario yang bersangkutan dapat disimulasikan.
5.5.2.1.
Simulasi Skenario
Simulasi model dilakukan terhadap skenario di atas, untuk mengetahui perilakunya masing-masing. Sumber data: Produk domestik Regional Bruto Kota Semarang 2009 yang diolah. Kajian dilakukan terhadap empat peubah yang dianggap menentukan arah kebijakan pengelolaan kota tepian pantai, yaitu kualitas lingkungan, pertumbuhan pendapatan, pendapatan rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor yang diamati dan penggunaan tata ruang. Perilaku antar skenario ternyata menunjukkan perbedaan pada berbagai peubah yang dikaji, akibat adanya perbedaan kombinasi kondisi faktor kunci.
5.5.2.2
Skenario Optimis Skenario optimis dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor
kunci/penentu dengan kondisi: 1)
Erosi dan Abrasi rendah karena pemerintah intens melakukan pemberdayaan kepada masyarakat serta ikut melibatkan peran aktif sektor swasta dalam penanggulanagan erosi dan abrasi (penghutanan kembali, reboisasi pantai teknologi baru, dsb.)
2)
Pengangguran terbuka kecil, Kecil, karena pemerintah dan swasta sangat innovative dalam penciptaan bidang kerja secara terpadu untuk menyerap pengangguran
3)
Akses masyarakat/publik, Meningkat secara berkesinambungan karena pemerintah intens menumbuh kembangkan sektor swadaya masyarakat, wisata, perdagangan secara terpadu (mixed used).
4)
Teknologi ecoport dan pelabuhan sangat memadai karena karena alih teknologi untuk perbaikan sarana infrastruktur dan listrik berjalan dengan baik
5)
Kelembagaan Mitigasi Bencana berjalan sangat baik karena koordinasi dan kerjasama dengan stakeholder lainnya berjalan dengan baik.
224
Gambar 5.59(a) memperlihatkan bahwa pada skenario optimis, kualitas lingkungan (%) pada tahun 2003 di Kota Semarang sebesar 59% menurun menjadi 51,25% pada tahun 2010, dan diperkirakan akan terjadi sedikit peningkatan menjadi 59,75% pada tahun 2030.
Rupiah/jiwa
% 100
(a)
(b)
250.000.000
200.000.000
Pert Pendptn
Kualitas Lingkungan
80
60
40
20
150.000.000
100.000.000
50.000.000
0
03 04 05 06 07 08 0 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 2 5 26 27 28 29
03 04 05 06 07 08 0 9 10 11 12 1 3 14 15 1 6 17 18 19 2 0 21 22 23 24 25 26 2 7 28 29
(c)
R upiah
Ha 25.000
(d) 3 00.000.000
20.000
Bangunan 15.000
LPrm k n Bgn
LGA 2 00.000.000
Pertanian
Tbk k lm
Pert&I nd
Lhn Swh
KPJ
Tglk bn
AngKom
Lhn Hutan
10.000
Js&Perd 1 00.000.000
5.000
0
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 1 8 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
03 04 05 06 0 7 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 2 4 25 26 27 28 29
Gambar 5.59. Simulasi model skenario optimis Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas lingkungan (skenario-skenario optimis, moderat dan pesimis) adalah dengan meningkatkan pengelolaan sampah, limbah pertanian, limbah domestik dan limbah hasil industri secara independen oleh pihak penghasil limbah. Dalam hal ini pemerintah bekerja sama dengan stakeholders yang terkait dan berkompeten dalam mengupayakan pembangunan IPAL maupun alat pengelola sampah lainnya secara independen. Gambar
5.59.(b)
memperlihatkan
bahwa
pada
skenario
optimis,
pertumbuhan pendapatan (rupiah/jiwa) pada tahun 2003 di Kota Semarang sebesar 12.142.036 rupiah/jiwa meningkat menjadi 25.518.777 rupiah/jiwa pada tahun 2010, dan diperkirakan akan terjadi peningkatan menjadi 260.670.728 rupiah/jiwa pada tahun 2030.
225 Berdasarkan Gambar 5.59.(c) memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor yang diamati yakni sektor-sektor bangunan, LGA, pertanian, pertambangan dan industri, KPJ, AngKom dan Jasa & Perdagangan (Jutaan rupiah, Sumber: PDRB Kota Semarang 2009, Bappeda/ BPS Kota Semarang 2009, berdasar harga berlaku). Peningkatan pendapatan tersebut dapat dilihat dari data tahun 2004 dan hasil perkiraan simulasi tahun 2030 pada masing-masing sektor seperti berikut ini: sektor bangunan semula sebesar 2.832.763 (2004) menjadi 20.667.194 (2030); sektor LGA dari 404.680 (2004) menjadi 1.414.933 (2030), sektor pertanian dari 273.855 (2004) menjadi 1.270.717 (2030); sektor pertambangan & industri dari 5.623.450(2004) menjadi Rp. 64.037.970 (2030), sektor KPJ dari 637.402 (2004) menjadi 2.483.997 (2030), sektor Angkom dari 2.106.028 (2004) menjadi 19.022.786 (2030) dan sektor Jasa & Perdagangan dari 8.426.412 (2004) menjadi 359.696.679 (2030). Berdasarkan Gambar 5.59(d) di atas penggunaan ruang untuk lahan sawah, hutan, tegal & kebun, permukiman & bangunan mengalami peningkatan, sedangkan tambak, rawa & kolam mengalami penurunan. Perubahan luasan lahan berdasarkan skenario optimis pada tahun 2010 dan tahun 2030 adalah lahan sawah seluas 3.966,96 ha meningkat menjadi 4.349,09 ha, lahan hutan seluas 1.978,08 ha naik menjadi 3.231,05 ha, tegal dan kebun seluas 15.985,35 ha naik menjadi 19.203,30 ha, permukiman & bangunan seluas 15.093,47 ha naik menjadi 16.633,67 ha serta Tambak, rawa & kolam seluas 1.105,64 ha turun menjadi 499,71 ha.
5.5.2.3 Skenario Moderat Skenario moderat dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor kunci/penentu dengan kondisi; 1) Erosi dan abrasi sedang,
karena pembinaan keterampi lan
maupun pendanaan terhadap masyarakat lokal sudah cukup baik dalam bidang reboisasi hutan dan pencegahan erosi dan abrasi; 2) Pengangguran terbuka sedang, karena pemerintah
dan swasta cukup innovative dalam penciptaan bidang kerja
untuk menyerap pengangguran; 3) Akses masyarakat/publik terhadap tepian pantai meningkat,
karena pemerintah memberi akses yang cukup kepada masyarakat
ketepian pantai dengan menumbuh kembangkan swadaya masyarak
(sosial,
ekonomi, budaya); 4) Teknologi ecoport dan pelabuhan cukup memadai cukup memadai, kare na alih teknologi upaya perbaikan sa rana infrastruktur dan kebutuhan energi (listrik) sudah dilakukan secara bertahap.; dan 5) ketersediaan
226 Kelembagaan Mitigasi Bencana cukup baik karena sudah dilakukan koordinasi dan kerjasama dengan swasta dan pemerintah.
R upiah/jiwa 20 0.000.000
% 100
(a)
(b) 15 0.000.000
Pert Pendptn
Kualitas Lingkungan
80
60
40
10 0.000.000
50 .0 00.000 20
0
03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 1 9 20 21 22 23 24 25 26 2 7 28 29
Rupiah
Ha 25.00 0
250.000.000
(d)
(c)
200.000.000
20.00 0
Bang unan 15.00 0
LPrm knBgn
LGA
150.000.000
Pertania n
Tbkk lm
Pert&Ind
Lhn Swh
KPJ
Tglkbn Lhn Hu tan
10.00 0
AngKom
100.000.000
Js&Perd
50.000.000
5.000
0
0
03 0 4 05 06 07 08 0 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
03 04 05 06 07 08 09 10 1 1 12 1 3 1 4 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 2 7 28 2 9
Gambar 5.60. Simulasi model skenario moderat
Gambar 5.60.(a) memperlihatkan bahwa pada skenario moderat, kualitas lingkungan (%) pada tahun 2003 di Kota Semarang sebesar 59% menurun menjadi 51,25% (2010), dan diperkirakan akan terjadi penurunan menjadi 50,67% (2030) Gambar
5.60.(b)
memperlihatkan
bahwa
pada
skenario
moderat,
pertumbuhan pendapatan (rupiah/jiwa/tahun) pada tahun 2003 di Kota Semarang sebesar 12.142.036 meningkat menjadi 20.518.777 (2010), dan diperkirakan akan terjadi peningkatan menjadi 199.715.431 (2030). Berdasarkan Gambar 5.60.(c) terlihat bahwa terjadi peningkatan pendapatan rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor yang diamati yakni sektor bangunan, LGA, pertanian, pertambangan dan industri, KPJ, AngKom dan Jasa & Perdagangan (jutaan rupiah). Peningkatan nilai tersebut dapat dilihat dari data tahun 2004 dan taksiran/simulasi tahun 2030 pada masing-masing sektor seperti berikut ini: sektor bangunan semula sebesar 2.832.763 (2004) menjadi 20.667.194 (2030); sektor LGA semula sebesar
404.680 (2004) menjadi 1.414.933 (2030); sektor
pertanian semula sebesar 273.855 (2004) menjadi 1.270.717 (2030); sektor pertambangan & industri dari 5.623.450 (2004) menjadi 64.037.970 (2030); sektor KPJ dari 637.402 (2004) menjadi 2.483.997 (2030); sektor Angkom dari 2.106.028
227 (2004) menjadi 19.022.786 (2030) dan sektor Jasa & Perdagangan dari 8.426.412 (2004) menjadi 250.120.496 (2030). Berdasarkan Gambar 5.60.(d) di atas penggunaan ruang untuk lahan sawah, hutan, tegal & kebun, permukiman & bangunan mengalami peningkatan, sedangkan tambak, rawa & kolam mengalami penurunan. Perubahan luasan lahan berdasarkan skenario moderat pada tahun 2010 dan tahun 2030 adalah lahan sawah seluas 3.966,96 ha meningkat menjadi 4.354,98 ha, lahan hutan seluas 1.978,08 ha naik menjadi 3.091,73 ha, tegal dan kebun seluas 15.985,35 ha naik menjadi 19.255,14 ha, permukiman & bangunan seluas 15.093,47 ha naik menjadi 16.657,66 ha serta Tambak, rawa & kolam seluas 1.105,64 ha turun menjadi 493,87 ha.
5.5.2.4 .Skenario Pesimis Skenario Pesimis dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor kunci/penentu dengan kondisi; 1) Erosi dan abrasi tinggi karena kurangnya usaha penanggulangan erosi dan abarasi; 2) Pengangguran terbuka cukup besar, karena pemerintah dan swasta kurang inovatif dalam penciptaan bidang kerja untuk menyerap pengangguran;3) Akses masyarakat/publik terhadap tepian pantai semakin rendah akibat kebijakan pemerintah yang kurang meng akomodasi akses masyarakat ke tepian pantai (sosial, ekonomi dan budaya) ; 4) Teknologi ecoport dan pelabuhan kurang memadai, ka rena upaya perbaikan sarana infrastruktur dan kebutuhan energi ( listrik) yang ada saat ini tidak ditun jang dengan upaya alih teknologi; dan 5) Kelembagaan Mitigasi Bencana kurang memadai karena kurangnya koordinasi organisasi masyarakat tersebut dan kerjasama dengan stakeholder lainnya. R upia h/jiwa
% 100
(a)
60
40
(b)
100.000.000
Pert Pendptn
Kualitas Lingkungan
80
50.000.000
20
0
03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
R up ia h
Ha 25.000
20.000
(d)
(c)
80.000.000
60.000.000 15.000
Ba nguna n LGA
LP rmk nBg n
P e rtania n
T b kk lm
P e rt&Ind
Lhn Swh T g lkb n
KP J
40.000.000
Ang Ko m
Lhn Hutan
10.000
Js &P erd
20.000.000 5.000
0 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
0304 0506 07 08 09 10 11 1213 1415 1617 18 19 20 21 22 2324 2526 2728 29
Gambar 5.61. Simulasi model skenario pesimis
228 Gambar 5.61.(a) memperlihatkan bahwa pada skenario pesimis, kualitas lingkungan (%) pada tahun 2003 di Kota Semarang sebesar 59% menurun menjadi 51,25% pada tahun 2010, dan diperkirakan akan terjadi penurunan menjadi 31,42% pada tahun 2030. Kondisi ini diperkirakan terjadi akibat peningkatan jumlah sampah dan limbah seiring semakin berkembangnya kegiatan pembangunan di Kota Semarang. Gambar
5.61.(b)
memperlihatkan
bahwa
pada
skenario
pesimis,
pertumbuhan pendapatan (rupiah/jiwa/tahun) pada tahun 2003 di Kota Semarang sebesar 12.142.036 meningkat menjadi 20.518.777 pada tahun 2010, dan diperkirakan akan terjadi peningkatan menjadi 111.306.609 pada tahun 2030. Berdasarkan Gambar 5.61.(c) memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor yang diamati yakni sektor bangunan, LGA, pertanian, pertambangan dan industri, KPJ, AngKom dan Jasa & Perdagangan (jutaan rupiah). Peningkatan nilai tersebut dapat diketahui dari data tahun 2004 dan taksiran berdasar simulasi tahun 2030 pada masing-masing sektor seperti berikut ini: sektor bangunan sebesar 2.832.763 menjadi 20.667.194; sektor LGA dari 404.680 menjadi 1.414.933; sektor pertanian dari sebesar 273.855 menjadi 1.270.717; sektor pertambangan & industri dari 5.623.450 (2004) menjadi 64.037.970 (2030); sektor KPJ dari 637.402 (2004) menjadi 2.483.997 (2030), sektor Angkom dari 2.106.028 (2004) menjadi 19.022.786 (2030) dan sektor Jasa & Perdagangan dari 8.426.412 (2004) menjadi 91.192.531 (2030). Berdasarkan Gambar 5.61.(d) di atas penggunaan ruang untuk lahan sawah, hutan, tegal & kebun, permukiman & bangunan mengalami peningkatan, sedangkan tambak, rawa & kolam mengalami penurunan. Perubahan luasan lahan berdasarkan skenario pesimis pada tahun 2010 dan tahun 2030 adalah lahan sawah seluas 3.966,96 ha. meningkat menjadi 4.375 ha, lahan hutan seluas 1.978,08 ha. naik menjadi 2.614,05 ha, tegal dan kebun seluas 15.985,35 ha. naik menjadi 19.431,92 ha, permukiman & bangunan seluas 15.093,47 ha. naik menjadi 16.739,27 ha. serta Tambak, rawa & kolam seluas 1.105,64 ha. turun menjadi 474,53 ha. Ketiga skenario memberikan hasil yang berbeda pada peubah yang dikaji (kualitas lingkungan, pertumbuhan pendapatan, pendapatan rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor yang diamati dan penggunaan tata ruang). Secara umum perbedaan antar skenario mulai tampak pada tahun 2010.
229 Skenario moderat merupakan model dasar yang telah disusun dan disimulasikan , oleh karena itu semua skenario lain dibandingkan dengan skenario moderat. Hasil perbandingan yang dinyatakan dalam persen perbedaan, disajikan pada Tabel 6.2.
Tabel 6.2. Hasil perbandingan antar skenario yang dinyatakan dalam persen perbedaan No
Peubah
1 Kualitas Lingkungan 2 Pertumbuhan Pendapatan 3 Nilai Rupiah Setiap Sektor 4 Penggunaan Tata Ruang Sumber: Hasil Analisis (2010)
Skenario
pesimis
secara
Perbedaan antar Skenario (%) Optimis dengan Pesimis dengan Moderat Moderat 17,92 -38 30,5 -44,3 30,5 -44,3 0,14 -0,5
umum
menurunkan
kualitas
lingkungan,
pertumbuhan pendapatan, nilai rupiah setiap sektor dan penggunaan tata ruang secara siginifikan, dibandingkan dengan moderat. Hal ini dapat terjadi karena kombinasi kondisi factor kunci pada skenario pesimis tidak mengutamakan semua factor kunci, yang pada gilirannya akan menurunkan kualitas lingkungan, menurunkan penerimaan pendapatan atau nilai rupiah setiap sektor dan menurunkan penggunaan tata ruang sebagai akibat terbatasnya pembangunan sarana dan prasarana kota. Peubah dimensi ekonomi yang sangat terpengaruh oleh faktor kontribusi sektor industri, tingkat pemanfaatan lahan dan sarana listrik adalah pertumbuhan pendapatan (PDRB) dan pendapatan rupiah dari setiap sektor, dimana akan terjadi penurunan masing-masing peubah lebih dari 40%. Kondisi ini menunjukkan bahwa apabila kontribusi sektor industri menurun, pemanfaatan lahan kurang memadai, dan sarana listrik tidak memadai lagi, maka peubah dimensi ekonomi wilayah akan menurun tajam. Perbedaan tersebut mulai tampak pada tahun 2013, dan terus meningkat sampai akhir simulasi. Selain itu pengabaian terhadap faktor tingkat pemanfaatan lahan dan pemberdayaan masyarakat, akan memberikan dampak buruk bagi penurunan kualitas lingkungan yang menurun sekitar 38%. Oleh karena itu upaya peningkatan kualitas lingkungan di Kota Semarang dalam kaitannya dalam pengembangan kota tepian pantai (water front city) di Kota Semarang selayaknya
230 harus diikuti dengan upaya pemanfaatan lahan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, untuk mencapai suatu dinamika yang harmonis antara pertumbuhan pendapatan atau pendapatan rupiah tiap sektor dan penggunaan ruang. Dengan mencermati tabel
di atas, antara
skenario pesimis dan moderat terdapat perbedaan yang substansial pada peubah kualitas lingkungan, pertumbuhan pendapatan dan pendapatan rupiah setiap sektor, kecuali pada peubah penggunaan tata ruang. Skenario optimis memberikan hasil yang relatif berbeda dibandingkan dengan skenario moderat. Skenario ini secara umum meningkatkan kualitas lingkungan, pertumbuhan pendapatan, pendapatan rupiah setiap sektor dan penggunaan tata ruang secara siginifikan, dibandingkan dengan moderat. Peubah dimensi ekonomi yang sangat terpengaruh oleh faktor kontribusi sektor industri, tingkat pemanfaatan lahan dan sarana listrik adalah pertumbuhan pendapatan (PDRB) dan pendapatan rupiah dari setiap sektor, dimana akan terjadi peningkatan masing-masing peubah sekitar 30,5%. Kondisi ini menunjukkan bahwa apabila kontribusi sektor industri ditingkatkan, pemanfaatan lahan dilakukan secara berkelanjutan dan sarana listrik sudah memadai, maka peubah dimensi ekonomi wilayah akan meningkat tajam. Perbedaan tersebut mulai tampak pada tahun 2012, dan terus meningkat sampai akhir simulasi. Selain itu peningkatan kontribusi sektor industri, pemanfaatan lahan secara berkelanjutan dan sarana listrik, akan memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas lingkungan yang meningkat sekitar 17,92%. Dengan mencermati tabel di atas, antara skenario optimis dan moderat terdapat perbedaan yang substansial pada peubah kualitas lingkungan, pertumbuhan pendapatan dan pendapatan rupiah setiap sektor, kecuali pada peubah penggunaan tata ruang. Mencermati kecenderungan sistem dari berbagai skenario yang ada, tampak bahwa perubahan yang terjadi akibat perbedaan kondisi faktor pemberdayaan masyarakat, tingkat pemanfaatan lahan, kontribusi sektor industri, sarana listrik dan ketersediaan organisasi masyarakat, memberikan perubahan yang sangat besar bagi output sistem. Secara umum peubah yang dikaji untuk skenario pesimis, menunjukkan penampilan buruk dan pada dasarnya mencerminkan output yang tidak dikehendaki pada diagram input/output. Dengan kata lain skenario pesimis akan menghasilkan output yang tidak mendukung pengelolaan kota tepian pantai (water front city) berkelanjutan di Kota Semarang. Dengan demikian sangatlah logis
231 untuk menetapkan skenario yang mengutamakan faktor erosi dan abrasi, pengangguran terbuka, akses masyarakat terhadap tepian pantai, teknologi ecoport & pelabuhan dan ketersediaan Kelembagaan Mitigasi Bencana, sebagai pilihan dalam pengelolaan kota tepian pantai di Semarang. Berdasarkan uraian di atas, skenario logis yang dapat digunakan dalam kebijakan pengelolaan kota tepian pantai (water front city) di Kota Semarang adalah skenario moderat dan optimis.