TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Eksergi Proses Pembekuan Proses pembekuan merupakan kombinasi perpindahan panas, massa, dan momentum
secara
simultan antara
bahan dan media pembekunya.
Perpindahan panas tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan suhu bahan ketika pelepasan energi bahan tersebut berbentuk panas sensibel. Perpindahan massa dan momentum mengakibatkan penurunan tekanan parsial pada bahan. Proses pembekuan juga dikenal membutuhkan energi yang cukup besar, maka kajian efisiensi eksergi dan energi merupakan bidang kajian yang penting dalam kaitannya dengan penghematan energi. Eksergi didefinisikan sebagai availability, yaitu ketersediaan energi (Moran dan Saphiro, 2003), dan eksergi proses pembekuan merupakan energi berguna yang sekurang-kurangnya harus tersedia agar pembekuan dapat berlangsung. Kehilangan eksergi pada proses pembekuan dengan suhu media pembeku konstan dapat dikurangi melalui pengendalian suhu media pembeku masing-masing tahap proses pembekuan sebagaimana dinyatakan oleh Bruttini et al (2001) dan Tambunan et al (2003). Faktor yang mempengaruhi kehilangan eksergi adalah suhu awal, suhu lingkungan, suhu media pembeku, panas yang dipindahkan dan perubahan entropi. Efisiensi hukum II termodinamika merupakan perbandingan antara eksergi yang dipindahkan dengan eksergi input. Bruttini et al (2001) melakukan analisis eksergi pada tiap tahap pembekuan menggunakan bahan larutan Manitol dengan berbagai kadar air dan suhu media pembeku. Kehilangan eksergi pada proses pembekuan dipengaruhi oleh kadar air dan suhu media pembeku yang digunakan (Tabel 1). Pembekuan dengan kadar air tinggi akan menurunkan kehilangan eksergi totalnya. Dan peningkatan suhu media pembeku tahap I sebesar 5 derajat Kelvin dari 253 °K, juga akan menurunkan kehilangan eksergi totalnya.
8
Sebagaimana disajikan pada Tabel 1, jika suhu tahap I dinaikan 5 derajat Kelvin, dari 253.15 K menjadi 258.15 K, maka kehilangan eksergi tahap I turun dari 65.86 kJ menjadi 48.41 kJ dan tahap II juga turun dari 350.82 kJ menjadi 229.35 kJ. Secara keseluruhan, kehilangan eksergi turun sebesar 139 kJ. Dan disimpulkan dari Tabel 1 bahwa peningkatan suhu media pembeku tahap I sebesar 5 Kelvin akan meningkatan efisiensi eksergi pembekuan larutan Mannitol sekitar 7 hingga 7.2 % yang semula 42.6 - 43 % naik menjadi sekitar 49.8 – 50 %. Tambunan et al (2003) melakukan analisis eksergi pada pembekuan ayam broiler dan ikan patin. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa efisiensi eksergi pembekuan dengan suhu media pembeku konstan (antara -40 °C sampai -42 °C) untuk produk ayam broiler adalah sekitar 24.3 % dan untuk produk ikan patin adalah sekitar 40.4 %. Sedangkan efisiensi energi untuk pembekuan ayam broiler adalah 4.1 % dan ikan patin adalah 1.6 %. Hal ini menunjukkan bahwa pembekuan tersebut masih belum efisien. Analisis eksergi bertujuan untuk mencari lokasi pada proses yang energinya tidak efisien. Penggunaan energi yang besar terjadi dalam proses pembekuan terutama pada tahap I, dimana suhu media pembekunya terlalu rendah, sedangkan penurunan suhu maksimum hanya sampai titik beku bahan, sehingga penggunaan suhu media pembeku yang terlalu rendah akan sangat tidak efektif. Sedangkan pada tahap II, terjadi pelepasan panas laten yang hanya merubah fase bahan, tetapi tidak menyebabkan penurunan suhu, sehingga penggunaan suhu media pembeku yang terlalu rendah sangat tidak efisien. Dari Tambunan et al (2003) diketahui bahwa persentase kehilangan eksergi pada tahap I dan tahap II antara 40-44 % dan 46-49 % dari total kehilangan eksergi pembekuan ikan patin dan ayam broiler dengan sistem pembekuan konvensional, seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Dengan demikian pembekuan dengan suhu media pembeku yang bertahap pada masing-masing tahap proses pembekuan mampu meningkatkan efisiensi eksergi.
9
Tabel 1 Hasil analisis eksergi pada pembekuan larutan Mannitol (mbk = 1 kg) dengan suhu awal bahan 278.15 K, suhu perubahan fase 268.15 K dan suhu akhir bahan 233.15 K1]
Tabel 2 Persentase kehilangan eksergi pada masing-masing tahap pembekuan terhadap kehilangan eksergi total yang diolah dari data pembekuan ikan patin dan ayam broiler1] Bahan pangan Ikan patin Ayam broiler 1]
Rata-rata Persentase kehilangan eksergi (%) Pre-cooling Freezing Sub-cooling 40.6 49.1 10.3 44.2 46.2 9.6
sumber: Tambunan et al (2003)
Konsep Keseimbangan Energi, Entropi, dan Eksergi Berdasarkan kaidah termodinamika pertama dinyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan (hukum kekekalan energi). Energi hanya mengalami perubahan bentuk, misalnya energi mekanis berubah menjadi energi termal. Sistem dapat mengalami perubahan keadaan dari keadaan satu ke keadaan lain yang seimbang, dan selama sistem tersebut berubah, ia dapat menyerap atau melepaskan energinya. Keadaan seimbang adalah suatu keadaan dimana tidak terjadi lagi perubahan baik di dalam sistem maupun dengan lingkungannya (Ahern, 1980). Sebagaimana disajikan pada Gambar 2, energi yang keluar dari suatu sistem termal sebanding dengan energi yang tersimpan dan energi yang memasuki sistem tersebut. Berbeda dengan entropi, entropi yang memasuki
10
sistem lebih kecil daripada entropi yang keluar dari sistem karena entropi keluar sistem bertambah dengan adanya pertumbuhan entropi. Sebaliknya, eksergi yang memasuki sistem sebagai eksergi input lebih besar daripada eksergi yang keluar dari sistem, karena adanya kehilangan dan kehancuran eksergi karena eksergi dikonsumsi oleh peningkatan entropi (Shukuya, 2002).
Gambar 2 Aliran masuk dan keluar dari energi, eksergi dan entropi pada sistem. Energi yang masuk dan keluar pada kondisi steadi adalah sama. Sejumlah entropi yang keluar lebih besar dari pada entropi masuk, menurut hukum peningkatan entropi, dan sejumlah eksergi yang keluar selalu lebih kecil daripada eksergi yang masuk setelah dikonsumsi oleh peningkatan entropi (Shukuya, 2002).
Pengertian Pembekuan Pembekuan berarti pemindahan panas dari bahan yang disertai dengan perubahan fase dari cair ke padat (Tambunan, 1999). Syarief dan Kumendong (1992) menyatakan bahwa pembekuan adalah kegiatan menurunkan suhu bahan pangan di bawah suhu titik bekunya. Dengan membekunya sebagian
11
kandungan air bahan atau dengan terbentuknya es (ketersediaan air menurun), maka kegiatan enzim dan jasad renik dapat dihambat atau dihentikan sehingga dapat mempertahankan mutu bahan pangan. Kandungan air dalam bahan selama pembekuan akan berubah wujud menjadi kristal es. Terbentuknya kristal es dalam bahan pangan dipengaruhi oleh suhu media pembekunya (Fellows, 1992) sebagaimana terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Pembentukan es pada pembekuan dengan suhu media pembeku yang berbeda (Fellows, 1992). Faktor penting dalam pembekuan bahan pangan adalah laju pembekuan. Laju pembekuan cepat menghasilkan mutu produk yang lebih baik daripada pembekuan lambat (Tressler, 1981). Pembekuan cepat menyebabkan kristal es yang terbentuk pada produk beku akan lebih kecil dan tidak merusak dinding sel, sehingga ketika dicairkan kembali, tekstur bahan tidak rusak. Dengan demikian, mutu hasil pembekuan masih mendekati bahan pangan segar walaupun tidak dapat dibandingkan dengan mutu hasil pendinginan.
12
Macam-macam Metode Pembekuan Tiga metode dalam pembekuan bahan pangan menurut Desrosier dan Tessler (1977) adalah (1) pembekuan langsung dengan pencelupan dalam media yang sangat dingin, (2) pembekuan tidak langsung dimana pembekuan yang tidak berhubungan langsung dengan refrigeran.
Pembekuan Langsung Pembekuan langsung dengan pencelupan dalam media yang sangat dingin merupakan metode pembekuan dengan memanfaatkan bahan-bahan kriogenik, yaitu bahan yang mempunyai suhu yang sangat rendah pada tekanan atmosfir. Bahan yang akan dibekukan disentuhkan langsung dengan bahan kriogenik tersebut sehingga metode ini sering disebut dengan pembekuan kriogenik (Heldmand dan Lund, 1992). Beberapa bahan kriogenik menurut Fellows (1992) adalah nitorgen cair, CO2, dan Freon 12. Metode pembekuan kontak langsung dengan refrigeran seperti Gambar 4 dikenal lebih efektif daripada pembekuan lainnya, tetapi konsumsi energinya sangat besar, sehingga biayanya masih mahal. Metode kontak tidak langsung menjadi alternatif, selain konsumsi energinya yang lebih rendah daripada kontak langsung, metode ini juga lebih aman terhadap bahan, karena refrigeran bersirkulasi dalam evaporator dan tak langsung mengenai bahan yang dibekukan, melainkan menggunakan media kontak (Heldmand dan Lund, 1992). Nitrogen cair mempunyai nilai konduktivitas termal 0.29 W/mK. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai konduktivitas termal CO2 maupun R-12 yang masing-masing hanya 0.19 W/mK dan 0.095 W/mK. Proses pembekuan dengan nitrogen cair disajikan dalam Gambar 5.
13
Refrigeran
Produk
Gambar 4 Pembekuan kontak langsung dengan refrigeran (Heldmand dan Lund, 1992).
Gambar 5 Metode Pembekuan dengan Nitrogen Cair (Fellows, 1992).
14
Pembekuan Tidak Langsung 1. Pembekuan lempeng sentuh Tekanan Bahan pangan Terisolasi dari lingkungan luar
Plat
Plat Kemasan
Bahan pangan
Plat Refrigeran Tekanan
(a)
(b)
Gambar 6 Metode pembekuan lempeng sentuh dengan (a) satu lempeng, dan (b) dua lempeng sentuh yang diberi tekanan saling berlawanan. (Heldmand dan Lund, 1992).
Pembekuan dengan lempeng sentuh dilakukan dengan dua metode, yaitu, bahan yang didinginkan diletakkan di atas suatu plat atau lempengan (Gambar 6a), sedang metode yang lain dilakukan dengan
menempatkan
bahan yang didinginkan diantara dua buah lempengan (Gambar 6b). Sistem lempeng sentuh ini umumnya menggunakan sistem refrigerasi kompresi uap dengan evaporator dari sistem tersebut berbentuk lempeng.
2. Pembekuan Dengan Hembusan Udara Dingin Metode pembekuan ini menggunakan udara dingin berkecepatan tinggi yang dialirkan melalui koil pendingin dan disirkulasikan didalam ruang pembeku. Metode pembekuan ini terdiri dari bermacam-macam tipe mulai dari yang berbentuk lemari es biasa hingga yang berbentuk terowongan. Pengembangan peralatan pembeku jenis ini menghasilkan peralatan pembeku lainnya, diantaranya: (ASHRAE, 1994). Air Impigment Blast Freezer, Peralatan ini merupakan modifikasi dari air blast freezer dengan semburan udara berkecepatan tinggi langsung ke permukaan bahan yang bertujuan untuk menyibak lapisan batas udara di permukaan bahan, sehingga kofisien pindah panas permukaan lebih maksimal.
15
Laju pembekuan yang dapat dicapai lebih cepat dari metode air blast dan kehilangan air dari permukaan lebih rendah. Fluidized Bed Freezer, Peralatan pada metode pembekuan ini dilengkapi dengan suatu sistem khusus yang dapat menimbulkan getaran-getaran yang bertujuan untuk mengapungkan bahan sehingga mempercepat proses pembekuan. Perpindahan panas selama pembekuan produk dipengaruhi oleh sifatsifat termodinamik dari bahan dan koefisien pindah panas media pembekunya, menurut Heldman dan Singh (1981) koefisien pindah panas tercepat adalah nitrogen cair dan terlambat adalah dengan sirkulasi udara alamiah. Sedangkan metode lempeng sentuh memiliki koefisien pindah panas (56 W/mK) yang lebih besar dibanding hembusan udara (22 W/mK). Oleh sebab itu, pembekuan bahan dengan media pembeku lempeng sentuh dapat berlangsung lebih cepat daripada hembusan udara, karena koefisien pindah panas lempeng sentuh sekitar dua kali lipat lebih besar dari hembusan udara. Sistem pembekuan konvensional dengan berbagai metode pembekuan di atas menggunakan sistem pembekuan suhu tetap dengan koefisien pindah panas antara 5 W/mK (sirkulasi alamiah) hingga 170 W/mK (Nitrogen Cair) selama membekukan bahan (Heldmand dan Lund, 1992), sebelum bahan tersebut disimpan dalam ruang penyimpanan beku.
Proses Pembekuan Proses pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan hingga mencapai titik bekunya sebelum bahan disimpan pada suhu penyimpanan -18 o
C atau lebih rendah (Dossat, 1981). Penurunan suhu di bawah titik beku akan
segera berlangsung setelah sekitar tiga per empat bagian air berubah fase menjadi es. Pada saat itu, sebagian air dalam bahan telah membeku, tetapi sebagian lain masih berada dalam keadaan cair. Fraksi air yang dapat membeku disebut air bebas dan fraksi air yang tak dapat membeku disebut air
16
terikat (Heldmand dan Lund, 1992). Besarnya fraksi air terikat akan berkurang dengan menurunnya suhu. Menurut Desrosier (1988), keseluruhan air dalam bahan akan membeku jika suhu bahan berada di bawah -20.5 oC. Kandungan air terikat pada bahan tergantung dari jenis bahannya, karena setiap bahan memiliki kandungan air terikat yang berbeda. Sebagai contoh pada daging sapi masih ada sekitar 10-12 % air terikat yang tak beku pada suhu -40 oC (Riedel, 1956 dalam Heldman dan Singh, 1981). Air bebas adalah air yang menunjukkan sifat-sifat fisis dan kimia yang sesuai dengan kondisi larutannya. Pengurangan air bebas dalam bahan pangan diharapkan dapat memperbaiki kualitas bahan pangan yang dibekukan (Desrosier, 1988). Proses pembekuan dapat dibagi menjadi tiga fase proses pembekuan (Mascheroni et al, 1982; De Michelis dan Calvelo, 1982). (1) Fase Precooling, yaitu penurunan suhu awal bahan hingga mencapai titik bekunya, yang selanjutnya disebut tahap I. (2) Fase Freezing, yaitu perubahan fase bahan yang disertai pelepasan panas laten bahan, yang selanjutnya disebut tahap II. (3) Fase Sub-Cooling, yaitu penurunan suhu bahan dibawah titik bekunya sebelum bahan tersebut disimpan, yang selanjutnya disebut tahap III. Proses pembekuan dengan suhu tetap merupakan proses pembekuan konvensional yang menggunakan suhu media pembeku tetap dari awal hingga akhir pembekuan. Menurut Fellows (1992), pembekuan bahan pangan terbagi menjadi enam tahap seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Bahan pangan didinginkan hingga mencapai suhu di bawah titik bekunya (AS). Pada titik S, air masih berada pada fase cair meskipun suhunya berada di bawah titik bekunya (supercooling). Setelah itu terjadi peningkatan sementara suhu yang diakibatkan oleh adanya pelepasan panas laten bahan (SB). Pada tahap BC, terjadi penurunan titik beku bahan dengan semakin meningkatnya konsentrasi larutan
air yang tak terbekukan pada periode pembentukan kristal es.
Pelepasan panas laten kristalisasi mengakibatkan peningkatan suhu sampai mencapi suhu eutectic dari komponen tersebut (CD). Suhu eutectic adalah suhu pada saat terjadinya kesetimbangan antara padatan bahan dengan cairan
17
yang berada di dalam bahan tersebut (liquid-solid-solid equilibria) (Smith et al, 2001). Kristalisasi air dan larutan pada bahan pangan terus berlangsung (DE) yang dilanjutkan dengan penurunan suhu bahan pangan turun hingga mencapai suhu penyimpanan (EF).
A
B S
D C
I
II
E III F
Gambar 7 Skema pembekuan bahan pangan (Fellows, 1992).
Laju Pembekuan Pertimbangan utama yang berhubungan dengan mutu hasil pembekuan bahan pangan adalah laju pembekuan. Karena laju pembekuan tidak saja menentukan struktur akhir produk beku, tetapi juga mempengaruhi lama pembekuan (Heldman dan Singh, 1981). Bahkan menurut Tambunan et al (2003), pembekuan cepat menghasilkan struktur kristal es yang kecil dan seragam dan mendekati sifat-sifat segarnya bila dicairkan kembali. Tressler et al (1981) juga menyatakan bahwa keuntungan utama pembekuan cepat adalah (1) ukuran kristal es yang terbentuk lebih kecil, sehingga kerusakan sel yang terjadi lebih sedikit, (2) waktu/perioda pembekuan lebih singkat sehingga difusi garam dan pemisahan air dalam pembentukan es tidak terlalu banyak,
18
(3) suhu produk akan lebih cepat turun dari kondisi yang dapat menyebabkan perkembangan bakteri dan jamur, sehingga dapat mencegah proses pembusukan saat pembekuan. Lembaga
Refrigerasi
Internasional
(International
Institute
of
Refrigeration) mendefinisikan bahwa laju pembekuan bahan pangan adalah perbandingan antara jarak minimum dari permukaan terhadap pusat panas dengan waktu yang dibutuhkan pusat panas bahan pangan mencapai suhu -5 °C dari suhu pada permukaan bahan pangan 0 °C (Heldman and Singh, 1981). Pusat panas bahan adalah titik pada produk yang paling lambat membeku (Long, 1955 dalam Heldman and Singh, 1981). Laju pembekuan dibedakan menjadi lima kategori, menurut Robinson dalam Ruliyana (2004), yaitu: (1) Pembekuan sangat lambat, laju pembekuannya kurang dari 0.1 cm/jam, (2) Pembekuan lambat, laju pembekuan antara 0.1 sampai 0.3 cm/jam, (3) Pembekuan normal, laju pembekuan antara 0.3 sampai 1 cm/jam, (4) Pembekuan cepat, laju pembekuan antara 1 sampai 10 cm/jam, dan (5) Pembekuan sangat cepat, laju pembekuan lebih dari 10 cm/jam. Sedangkan King (1971) membagi laju pembekuan menjadi tiga bagian, yaitu: (1) Pembekuan lambat, jika waktu pembekuan adalah 30 menit atau lebih untuk 1 cm bahan yang dibekukan, (2) Pembekuan sedang, jika waktu pembekuan adalah 20 - 30 menit atau lebih untuk 1 cm bahan yang dibekukan dan, (3) Pembekuan cepat, jika waktu pembekuan adalah kurang dari 20 menit untuk 1 cm bahan yang dibekukan. Prinsip dasar dari semua pembekuan cepat adalah waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan panas dari bahan pangan lebih cepat untuk kondisi bahan yang sama. Metode ini meliputi pembekuan dengan pencelupan langsung bahan pangan ke dalam media pendingin, dalam hembusan cepat udara dingin, dengan kontak sentuh langsung dengan lempeng pembeku, dan pembekuan dengan nitrogen ataupun karbondioksida cair.
19
Berhubungan dengan waktu pembekuan, Planck (1941) dalam Pham (1991) telah menurunkan persamaan laju pembekuan (persamaan 1 s.d 6): Asumsi yang digunakan adalah (Planck (1941) dalam Pham, 1986): 1. Tidak ada efek panas sensibel (quasi steady state). 2. Tahap perubahan fase hanya menggunakan suhu tunggal Tb. 3. Sampel berbentuk kubus. 4. Perpindahan panas hanya terjadi pada arah vertikal dari permukaan atas (tak beku) menuju permukaan bawah. 5. Suhu lapisan beku dianggap seragam dan sama dengan suhu permukaan perbatasan beku dengan tak beku. 6. Perpindahan panas di dalam bahan hanya terjadi secara konduksi.
Beku
Tak beku
qkonveksi
a
qkonduksi Gambar 8 Ilustrasi skematik pembekuan satu-dimensi bahan (Heldman dan Singh, 1981). 1. Perpindahan Panas Konduksi dalam bahan:
q=
kA T1 − Tmf x
(
) .............................................1)
2. Perpindahan Panas Konveksi dari udara sekitar ke permukaan bahan:
q = hc A(T∞ − T1 ) ..........................................2) 3. Laju perpindahan panas pada saat perubahan fase air dalam bahan:
q = Aρ ⋅h
fp
dx dt ................................................3)
Pengaturan kembali tiga persamaan di atas menghasilkan: (T −T ) 1 x mf ∞ + = dx dt ....................................4) k h fp ⋅ρ hc
20
Integrasi persamaan tersebut dari 0 sampai tinggi a, dimana a adalah tebal sampel menghasilkan persamaan berikut: a x
hc
+
0
1 2
x2 k
a =
0
T ∞ − T mf h fp ρ
tF t
................................5) 0
Penyelesaian persamaan tersebut menjadi:
tF
=
ρ ⋅h
fp
T mf −T ∞
a a2 + 2k hc
...................................6)
Pengembangan persamaan Plank’s tersebut dilakukan oleh Pham mulai tahun 1984 hingga 1986 hingga dihasilkan suatu metode sederhana untuk menduga waktu pembekuan bahan pangan, yaitu: (Pham, 1986)
tF =
V ∆H 1 ∆H 2 + hA ∆T1 ∆T2
(1 + Bi s / 4 ) .....................................................7)
Tmm = 1.8 + 0.263Tb + 0.105Tmf ......................................................8) ∆H 1 = C P1 (T1 − Tmm ) .......................................................................9)
∆H 2 = h L + C P 2 (Tmm − Tb ) ..............................................................10) ∆T1 =
(T1 + Tmm ) 2
− Tmf .................................................................11)
∆T2 = Tmm − Tmf ...........................................................................12) Laju pembekuan sebagaimana dinyatakan oleh International Institute of Refrigeration (IIR), 1971 adalah: Lp = a * 360000 / tF
(cm/jam) ..............................................13)
Sel-sel hidup banyak mengandung air, sering kali sampai dua pertiga atau lebih dari jumlah beratnya. Di dalam air banyak terlarut senyawa organic dan anorganik, termasuk garam, gula, dan asam dalam bentuk larutan, juga termasuk molekul organik yang lebih kompleks seperti protein dalam bentuk suspensi koloidal. Perubahan-perubahan fisik, kimia dan biologis yang terjadi
21
di dalam bahan pangan selama pembekuan dan pencairan merupakan proses yang sangat kompleks dan belum seluruhnya diketahui. Walaupun demikian sangat bermanfaat mempelajari perilaku perubahan-perubahan ini agar dapat dirancang suatu metode pembekuan bahan pangan yang tepat. Titik beku suatu larutan akan lebih rendah daripada zat pelarut murni sehingga titik beku bahan pangan juga lebih rendah daripada air murni. Bahan pangan dengan kandungan air yang tinggi akan membeku pada suhu antara 0 °C dan -2 °C. Selama berlangsung perubahan fase, penurunan suhu bahan pangan tersebut sangat sedikit sampai sebagian besar dari bahan pangan tersebut membeku, dan setelah beberapa waktu suhu akan mendekati media pembeku.
Pembekuan Daging Sapi Pembekuan daging sapi dapat mempertahankan kesegaran dan memperpanjang masa simpan daging tersebut (Desrosier et al, 1977). Semakin rendah suhu lingkungan, aktivitas mikroorganisme dan sistem enzim semakin berkurang (Heldman dan Singh, 1981). Menurut Desrosier (1988) pada suhu sekitar 0 °C sampai 5 °C, laju respirasi dan laju pertumbuhan mikroorganisme menjadi lebih lambat. Semakin rendah suhu, waktu yang dibutuhkan bakteri untuk berkembang biak semakin lama. Sehingga penggunaan suhu rendah merupakan metode pengawetan pangan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperlambat laju respirasi bahan pangan. Tiga golongan bakteri berdasarkan suhu pertumbuhan optimumnya, yaitu: Thermophilik, Mesophilik, dan Psikrophilik. Pada umumnya, bakteri yang menyebabkan kerusakan daging adalah bakteri Mesophilik, yakni bakteri dengan suhu pertumbuhan optimum antara 25 °C sampai 40 °C (Pelczar (1965) dalam Angkoso, 1990). Setiap mikroorganisme mempunyai suhu batas minimum, dimana pada suhu tersebut mikroorganisme tidak dapat tumbuh, atau masih dapat tumbuh dengan laju pertumbuhan yang sangat lambat dan
22
tidak kontinyu. Suhu batas bakteri Mesophilik adalah sekitar 15 °C. Daging juga dapat mengandung bakteri Psikrophilik yang masih dapat tumbuh pada suhu 0 °C atau lebih rendah, tetapi pertumbuhan optimumnya adalah pada suhu 20 °C samapi 30 °C.
Perhitungan Sifat-sifat Termofisik Bahan Pangan Menurut Rao dan Rizvi (1995), bahan pangan mengalami perubahan fase pada suhu -1 hingga -3 °C. Pada kondisi tersebut massa air yang terdapat dalam bahan adalah: m air =
KA × m p ...................................................14) 100
Massa bahan kering adalah selisih antara massa produk (mp) dengan massa air (mair), yaitu: mbk = m p − m air ...................................................15)
Variabel y adalah perbandingan antara massa air dengan massa bahan kering, dan kadar padatan (KP) adalah kandungan massa bahan kering yang terdapat di dalam produk.
y=
m air ............................................................16) mbk
KP =
mbk × 100% ...................................................17) mp
Fraksi mol air tak beku pada suhu beku bahan dinyatakan oleh Xa, dan fraksi mol air tak beku pada suhu titik beku bahan dinyatakan oleh Xa’ Persamaan yang menyatakan Xa dan Xa’ adalah sebagai berikut:
Xa = exp
H fw ⋅BM a R
1 1 273 − T 2
H fw ⋅BM a R
1 1 273 − T fp
Xa′ = exp
...................................................18)
..................................................19)
23
Fraksi mol air Xa’ berguna untuk menghitung berat molekul produk padatan (BMp). Persamaan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
BM p =
( Xa ′)( KP )( BM a ) ...................................................20) ( KA)(1 − Xa ′)
Dimana %mf ditentukan dari persamaan berikut:
%munf =
Xa ⋅ KP ⋅ BM air ...................................................21) BM s (1 − Xa)
%m f = KA − %munf
.....................................................22)
Selanjutnya, nilai γ dapat ditentukan menggunakan persamaan 31 pada bab Bahan dan Metode.
Pengaruh Pembekuan Terhadap Terbentuknya Kristal Es Pengaruh pembekuan terhadap terbentuknya kristal es telah diteliti oleh Gab-Soo Do, et al (2004), bahwa pembekuan cepat menghasilkan kristal es yang kecil, seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Pada saat suhu bahan berada dibawah titik beku, terdapat dua macam air dalam bahan, yaitu air terikat dan air bebas. Air terikat dianggap sebagai air yang tidak dapat membeku pada suhu -20.5 °C, sedangkan air bebas adalah air yang menunjukkan sifat-sifat fisis dan kimia yang sesuai dengan kondisi larutannya (Heldman dan Singh, 1980). Fraksi air bebas membentuk kristal es lebih cepat dibandingkan fraksi air terikat. Dengan terbentuknya kristal es, maka fraksi air terikat semakin berkurang dengan menurunnya suhu.
24
Gambar 9 Pengaruh pembekuan terhadap bentuk kristal es (Gab-Soo Do et al, 2004), kristal es lebih besar pada pembekuan lambat (kiri) dan kristal es lebih kecil pada pembekuan cepat (kanan).