5
TINJAUAN PUSTAKA Proses Pengeringan Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat menghambat laju kerusakan bahan makanan sebelum bahan diolah atau dimanfaatkan. Selanjutnya menurut Fellows (1990) definisi pengeringan adalah proses pengeluaran sebagian besar air yang secara normal terdapat dalam bahan pangan, melalui proses penguapan atau sublimasi dengan kondisi yang terkendali. Parameter-parameter yang mempengaruhi waktu pengeringan adalah suhu, kelembaban udara, laju aliran udara, kadar air awal dan kadar air bahan kering. Tujuan utama dari pengeringan adalah untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan melalui penurunan aktivitas air (Fellows 1990). Batasan umum pengeringan, yaitu suatu proses mengeluarkan air dari bahan pangan dengan cara penguapan atau sublimasi, hingga terjadi penurunan kandungan air bahan sampai batas enzim dan reaksi-reaksi yang menyebabkan kerusakan pada bahan dapat dihambat aktivitasnya, dan bahan menjadi lebih awet. Proses penguapan air dari bahan dapat dilakukan dengan menggunakan energi panas (pada pengeringan dengan suhu tinggi) atau dengan cara dehumifikasi (penurunan RH) ruangan sehingga terjadi keseimbangan antara bahan dan lingkungannya. Prinsip Pengeringan Prinsip utama pengeringan adalah pengeluaran air dari bahan berdasarkan pindah massa internal
(Chirifie 1983 didalam Barbosa-Canovas dan Vega-
Mecado 1996). Laju perpindahan uap air dari bahan ke udara tergantung pada sifat fisik bahan, komposisi bahan, kadar air awal, kelembaban udara, laju aliran udara, dan tekanan pada permukaan bahan yang langsung berhubungan dengan udara (Okos et al. 1992). Selanjutnya menurut Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado
(1996)
mekanisme fisik untuk menjelaskan gerakan air di dalam bahan terdiri dari 6 tahap, yaitu : 1) gerakan cairan karena gaya permukaan (aliran kapiler), 2) difusi
6
cairan karena adanya perbedaan konsentrasi, 3) difusi permukaan, 4) difusi uap air di dalam pori-pori yang berisi udara, 5) aliran karena adanya perbedaan tekanan, dan 6) aliran karena terjadinya penguapan dan kondensasi. Sedangkan mekanisme penguapan air dari bahan pangan menurut Brooker et al. (1982), meliputi proses : 1) pelepasan ikatan air dari bahan pangan, 2) difusi air dan uap air ke permukaan, 3) perubahan fase dari air menjadi uap air, 4) perpindahan uap air dari permukaan ke udara sekitar dan 5) perpindahan uap air di udara. Menurut Beker dan Rapoport (1987) bentuk kurva pengeringan secara umum terlihat pada Gambar 1.
Laju pengeringan cepat ditunjukkan pada
periode I yang dihubungkan dengan kehilangan air bebas, sedangkan laju pengeringan lambat pada periode II dihubungkan dengan kehilangan air terikat. Kecepatan pengeringan dapat dipengaruhi oleh suhu dan kecepatan udara pengering, kadar air, ukuran dan bentuk granula khamir yang dikeringkan.
Gambar 1. Kurva pengeringan khamir secara mekanis dengan metode terowongan: Wk1, kandungan air terikat (%); Wp, kadar air dari khamir setelah pengeringan (%); periode I menunjukkan perpindahan air bebas, periode II menunjukkan perpindahan air terikat (Beker dan Rapoport, 1987)
7
Pengeringan bahan-bahan yang peka terhadap suhu tinggi seperti kultur mikroba, enzim, vaksin dan bahan-bahan volatil, diperlukan proses pengeringan pada suhu rendah supaya viabilitas kultur mikroba dan mutu bahan-bahan tersebut tetap terjaga. Proses pengeringan suhu rendah yang dapat dilakukan adalah pengering vakum, pengering beku dan pengering absorpsi atau pengeringan kemoreaksi. Pengeringan Absorpsi Proses pengeringan absorpsi adalah proses pengeringan dimana air dalam bahan diserap oleh suatu material yang bersifat sangat higroskopis yang disebut absorben. Dalam proses pengeringan absorbsi sejumlah bahan dan absorben diletakkan dalam suatu ruangan yang tertutup rapat. Absorben yang digunakan memiliki tekanan uap air yang sangat rendah dibandingkan dengan bahan yang akan dikeringkan. Mekanisme yang terjadi adalah proses penarikan air oleh absorben dari dalam bahan pangan dengan prinsip penyerapan uap air dari bahan tersebut. Air yang diserap oleh absorben tidak hanya pada bagian permukaan absorben tersebut, tetapi terdistribusi secara merata keseluruh bagian absorben (Hall 1979). Proses pengeringan absorbsi tidak menggunakan aliran udara pengering dengan suhu tinggi, tetapi faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah kelembaban udara (RH) di dalam ruang pengering. Menurut Henderson dan Perry (1976) proses pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat, dalam hal ini air bebas adalah air yang berada di permukaan bahan dan yang pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi. Migrasi air dan uap terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap antara bagian dalam dan bagian luar bahan. Material yang sering digunakan sebagai absorben
untuk pengeringan
dapat berbentuk gel padat atau cairan, contohnya gel silika, CaCl2, kalsium sulfat, CaO dan sebagainya. Gel silika adalah absorben berbentuk padat yang banyak digunakan untuk menjaga kelembaban dalam ruang penyimpanan barang-barang elektronik, barang-barang asesoris dari kulit dan juga sering
8
digunakan sebagai bahan yang dapat menjaga kestabilan kadar air bahan yang disimpan dalam desikator. Selama ini penggunaan absorben untuk pengeringan terutama adalah dalam pengeringan biji-bijian dan produk-produk yang mempunyai aroma khas seperti kopi dan tembakau. Berdasarkan percobaan Hu et al. (1998) pengeringan absorpsi menggunakan gel silika terhadap viabilitas benih barley, oat, dan kenaf pengaruhnya hampir sama dengan pengeringan beku.
Keuntungan lainnya yaitu dapat
mencapai kadar air yang lebih rendah dan biayanya jauh lebih murah dari pengeringan beku, walaupun laju pengeringan absorpsi sedikit lebih lambat. Bentonit (CaCl2) sering digunakan sebagai desikan dalam proses pengeringan maupun sebagai dehumidifier udara selama penyimpanan terutama di malam hari, karena dapat memberi aerasi pada biji-bijian kering serta mempertahankan kadar air yang seragam dan suhu selama penyimpanan bijibijian (Thorruwa et al. 1998). Zeolit digunakan untuk pengeringan biji-bijian seperti jagung (Alikhani et al. 1992).
Kalsium sulfat digunakan untuk
pengeringan kopi beraroma tinggi seperti kopi instan (Cormaci 1994) serta pada pembuatan anhydrous trehalose (Mandai et al. 1994).
Glikol, gliserol dan
polihidrik alkohol lainnya secara rutin digunakan sebagai desikan dan humektan untuk mengendalikan RH pada sistem gas alam, bahan pangan dan tembakau (James 1973). Selanjutnya desikan cair dari campuran CaCl2 dengan litium klorida (LiCl2) dengan perbandingan yang sama, juga digunakan oleh Ertas et al. (1997) untuk pengeringan kacang tanah. Kalsium oksida (CaO) merupakan bahan aktif dari kapur api yang selama ini juga dipakai sebagai absorben atau desikan dalam pengeringan dan penyimpanan beberapa produk pangan. Sedangkan hasil penelitian Julianti (2003) menyatakan bahwa CaO tidak memiliki isotermi sorpsi air, dan CaO merupakan bahan yang sangat reaktif terhadap air, oleh karena itu kemampuan kapur api untuk menyerap uap air dari lingkungan sekitarnya didasarkan pada reaktivitas kimia dan bukan melalui absorpsi fisik seperti halnya absorben lainnya. Oleh karena itu pengeringan dengan kapur api atau CaO lebih tepat dipakai istilah pengeringan kemoreaksi.
9
Pengeringan Kemoreaksi Pengeringan
kemoreaksi
adalah
proses
pengeringan
yang
juga
menggunakan absorben, tetapi melalui mekanisme reaksi kimia antara uap air dari bahan yang dikeringkan dengan absorben, karena reaktivitas absorben yang tinggi terhadap air. Kapur api yang mengandung bahan aktif CaO merupakan absorben yang banyak digunakan dalam proses pengeringan ini. CaO bereaksi secara kimia dengan uap air yang terdapat di dalam bahan yang dikeringkan sehingga kadar air bahan akan berkurang. Mackenzie dan Sharp (1970) menyatakan bahwa CaO terbentuk apabila batu kapur (CaCO3) dipanaskan pada suhu diatas 650 0C. Sebaliknya reaksi pembentukan CaO dari CaCO3 merupakan reaksi endoterm yang bersifat reversibel.
Menurut Chang dan Tikkanen (1989) reaksi CaO dengan air
merupakan reaksi eksoterm yang akan melepaskan energi panas sebagai berikut : CaO (S) + H2O (1)
Ca (OH)2 (S) + ∆H = - 64.8 KJ
Kapur api mempunyai kandungan CaO sekitar 96.8% - 97% dan bahanbahan lainnya seperti SiO2, R2O3 (gabungan oksida-oksida), MgO dan bahanbahan lain yang hilang saat pembakaran. Hasil penelitian (Sucofindo 1991 di dalam Julianti 2003) diketahui juga bahwa kapur api yang baru keluar dari pembakaran tidak mengandung air. Oleh karena itu kapur api ini bersifat sangat higroskopis dan sangat baik digunakan sebagai absorben dalam pengeringan kemoreaksi. Kalsium oksida ( CaO) juga dikenal sebagai Quicklime atau kapur mentah dan mempunyai kapasitas penyerapan uap air yang lebih besar pada RH rendah dibanding absorben atau desikan lainnya. Kapasitas penyerapan uap air oleh CaO minimal adalah 28.5% dari beratnya. Sebagian besar digunakan dalam pengemasan makanan kering, tetapi penggunaan kemasan makanan harus diperhatikan karena sifat CaO yang dapat hancur selama penyimpanan (Anonim 2004b). Menurut Soekarto (2000), prinsip pengeringan dengan CaO di dalam lemari pengering absorpsi berlangsung melalui proses penting sebagai berikut : (1) CaO menyerap dan bereaksi dengan uap air dalam ruangan pengering; (2) reaksi CaO dengan air melepaskan energi panas dan menurunkan RH ruang
10
pengering; (3) energi panas diserap bahan untuk menguapkan kandungan air meninggalkan bahan; (4) uap air dari bahan mengalir ke ruang pengering untuk kemudian diserap CaO.
Proses tersebut berlangsung secara terus menerus
sampai tercapai kondisi kesetimbangan atau ekuilibrium. Antara CaO dan air bereaksi secara eksotermik untuk membentuk Ca(OH)2. Peningkatan reaksi yang bersifat eksotermik tersebut, menghasilkan peningkatan suhu selama pengeringan berlangsung konstan (Soekarto 2000). Reaksi kimia yang terjadi antara CaO dan uap air selama pengeringan adalah : CaO+ H2O
Ca(OH)2 - • H
(Joule)
Bahan lembab + • H
Produk kering + H 2O
CaO + Bahan lembab
Produk kering + Ca (OH)2
Keuntungan Pengeringan Kemoreaksi Beberapa peneliti sebelumnya telah menggunakan teknik pengeringan dengan CaO dari kapur api untuk mengeringkan berbagai produk, dan hasilnya ternyata cukup menguntungkan. Diantaranya oleh Halim (1996) untuk pengeringan biji lada, dimana penggunaan kapur api sebagai bahan pengering, dapat menekan penguapan minyak atsiri dari lada segar menjadi
2.8% - 3.1%.
Dibandingkan pengeringan dengan sinar matahari penurunan kadar minyak atsiri adalah sebanyak 10.65% dan pengeringan dengan oven penurunan minyak atsiri sebanyak 17.80%. Wulandari (2002) juga menggunakan kapur api untuk pengeringan lada pada suhu ruang (29 0C). Selama pengeringan penurunan kadar minyak atsiri lada relatif kecil yaitu 1.74% - 4.87%. Sedangkan pengeringan dengan metode oven dan penjemuran, penurunan kadar minyak atsiri berturut-turut adalah 17.8 % (metode oven) dan 10.65% (penjemuran). Rasio (berat/berat) kapur dan lada R 2 (1:2); R 5 (1:5); dan R 20 (1:20) dapat digunakan untuk mengeringkan lada sampai kadar air 12 % basis basah. Semakin besar tingkat R waktu pengeringan semakin singkat yaitu berturut-turut 89 jam (untuk R 20), 92.3 jam (untuk R 5) dan 119.5 jam (untuk R 2). Pengeringan terhadap biji pala bertempurung dengan kapur api, waktu yang dibutuhkan lebih lama yaitu 8 – 9 hari, dibandingkan waktu pengeringan
11
dengan penjemuran yaitu 7 hari (rata-rata penjemuran 3 jam / hari). Rendemen minyak atsiri kedua metode tersebut juga tidak berbeda nyata, yaitu sebesar 11, 78% pada pengeringan dengan kapur api, dan 10.92% pada penjemuran. Walaupun demikian, biji pala yang dikeringkan dengan pengeringan menggunakan kapur api memiliki penampakan yang paling baik (Suryani 1999). Penggunaan kapur api untuk pengeringan benih tomat selama satu hari dapat menghasilkan benih tomat kering dengan kadar air 5.5% basis basah. Uji viabilitas menunjukkan daya kecambah yang cukup baik yaitu antara 70% sampai 94.5% (Suzana 2000). Sedangkan pengeringan benih cabe oleh Julianti (2003), diperoleh perbandingan kapur dan benih yang optimal untuk menghasilkan mutu yang tinggi adalah 3 :1. Kadar air akhir benih cabe yang dihasilkan adalah sekitar 3.8% (bk) dengan lama pengeringan 45 jam, dan viabilitas benih yang dihasilkan adalah 100%. Disamping itu terdapat hubungan yang jelas antara fase laju pengeringan dengan fraksi-fraksi air terikat pada benih cabe, yaitu periode (1) air yang dikeluarkan air bebas murni, periode (2) air terikat tersier dan sebagian air terikat sekunder, periode (3) air terikat sekunder dan air terikat primer, serta periode (4) air terikat primer. Penggunaan CaO juga dilakukan untuk pengeringan brem padat di daerah Bogor yang kelembapannya cukup tinggi. Waktu yang diperlukan untuk mengeringkan brem padat secara tradisional (pada suhu kamar), biasanya membutuh-kan waktu 18 jam untuk mencapai kadar air 16%. Sedangkan dengan menggunakan CaO diperlukan waktu 12 jam,
disamping itu brem yang
dihasilkan berwarna cerah dan tidak mudah patah (Hersasi 1996). Pengeringan Kultur Mikroba Pengeringan kultur mikroba terutama bertujuan untuk menyediakan kultur starter dalam jumlah banyak yang diperlukan oleh industri produk fermentasi, seperti industri minuman beralkohol, industri roti, obat-obatan dan sebagainya. Berbagai metode pengeringan kultur telah banyak dilakukan oleh peneliti, dimana proses pengeringan kultur pada prinsipnya hampir sama dengan pengeringan produk pangan atau hasil pertanian lainnya.
12
Metode pengeringan yang umum digunakan untuk pengeringan mikroba adalah dengan metode terowongan, pengeringan
fluidized bed, pengeringan
vakum dan pengeringan semprot, sedangkan untuk pengawetan kultur murni mikroba digunakan pengeringan beku dan pengeringan vakum. Pengeringan Vakum Menurut Tamine dan Robinson (1985) proses pengeringan vakum terhadap spesies bakteri asam laktat, meliputi penambahan starter cair dengan laktosa dan Ca-karbonat (untuk menetralkan kelebihan asam), pemisahan whey dan proses pengeringan dalam kondisi vakum. Proses pengeringan starter yoghurt dengan metode oven vakum pada suhu 50 0C, tekanan vakum 29 mmHg dan lama pengeringan 4 jam menghasilkan viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan metode pengeringan dengan oven biasa. Pada pengeringan menggunakan oven vakum diperoleh viabilitas 79% yang kadar airnya adalah 4.44% hingga 9.05% (Nuraida et al. 1994). Jenie et al. (1996) menggunakan metode pengeringan vakum pada suhu 40 0
C selama 4 jam untuk produksi kultur starter kering Lactococcus lactis.
Viabilitas sel yang dicapai adalah 58 % yaitu dari perlakuan media pertumbuhan dengan ekstrak sawi dan pencampuran bahan pengisi tepung beras dan kultur dengan perbandingan 1:2. Selanjutnya untuk pengeringan kultur Lactobacillus plantarum dengan metode pengeringan vakum menggunakan suhu 50 0C selama 4 jam, dihasilkan viabilitas tertinggi (87%) dari kultur dengan penambahan bahan pengikat berupa campuran tepung beras dan tepung onggok sebesar 2 :1. Kadar air kultur kering yang diperoleh adalah 4.62% - 6.79% berat kering. Pengeringan Beku (Freeze-drying) Pengeringan beku berbeda dengan pengeringan biasa, dimana bahan yang akan dikeringkan terlebih dahulu dibekukan, kemudian dalam keadaan hampa udara air langsung dikeluarkan dari bahan secara sublimasi. Proses pengeringan dengan pengeringan beku memerlukan kondisi dibawah suhu kritis yaitu suhu dibawah 0 0C dan tekanan di dalam ruang pengering berada dibawah 1.0 – 2.0 mm Hg (Brennan et al. 1974).
13
To dan Etzel (1997) menggunakan metode pengeringan beku untuk menge-ringkan beberapa spesies bakteri asam laktat. Proses pengeringan beku diawali dengan pembekuan kultur dalam es kering pada suhu -20 0C selama + 12 jam, kemudian dilanjutkan ke pengering beku yang dioperasikan pada 9000 g/cm dan suhu -53 0C selama 24 jam menghasilkan viabilitas sekitar 60% 70%. Viabilitas yang dihasilkan ini lebih tinggi dari pada hasil pengeringan semprot. Menurut Tamime dan Robinson (1985), selama proses pembekuan dan pengeringan beku dapat terjadi kerusakan pada sel mikroba. Kerusakan ini dapat diminimumkan dengan penambahan senyawa-senyawa kriogenik atau senyawa protektan. Kelemahan pengeringan beku adalah dikhawatirkan penambahan senyawa kriogenik dapat memberikan efek samping terhadap aktivitas sel serta mutu produk fermentasi yang dihasilkan. Disamping itu metode pengeringan beku memerlukan biaya yang tinggi dalam produksi. Diantara senyawa protektan yang biasa ditambahkan dalam media pengeringan beku mikroba adalah Pepton, Laktosa, Trehalosa, dan Whey-sukrosa (Anonim 2004d). Husna (1998) juga meneliti pengeringan beku terhadap kultur starter yoghurt dan dihasilkan kultur starter kering yang mengandung bakteri asam laktat cukup tinggi yaitu ± 106 - 107. Bakteri asam laktat yang dihasilkan adalah Lactobacillus dengan total (1.2 - 4.2) x 106 koloni/ gram berat kering, dan Streptococcus dengan total 8.2 x 105 sampai 1.0 x 106 koloni/gram berat kering. Kadar air yang dihasilkan pada penelitian ini masih sangat tinggi, yaitu 29.76% (bb) - 50.47% (bb). Sedangkan penambahan 10% sukrosa menghasilkan kultur kering dengan kadar air yang lebih besar, karena sukrosa mengikat air sehingga sulit dilepaskan sewaktu proses pengeringan. Pengeringan Semprot Proses utama dalam pengeringan semprot adalah pembentukkan butiranbutiran halus (droplets) dari cairan yang akan dikeringkan dengan semprotan, kemudian dikontakkan dengan udara. Langkah pengabutan dalam bentuk butiran halus yang dihasilkan dengan percikan atau semprotan adalah untuk mengoptimumkan kondisi penguapan air sehingga menghasilkan produk yang
14
spesifik. Pengabutan diakibatkan oleh semprotan cairan yang dicurahkan dalam bentuk butiran-butiran kecil (Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado 1996). Metode pengeringan semprot dilakukan dengan alat pengering semprot yang dilengkapi dengan pompa peristaltik untuk membawa suspensi mikroba kedalam siklon pengering. Udara masuk dipanaskan dengan pemanas elektrik dan suspensi mikroba dialirkan dengan semprotan kedalam siklon pengering, sedangkan hasil pengeringan terkumpul pada bagian bawah siklon.
Proses
pengeringan semprot untuk mengeringkan beberapa spesies bakteri asam laktat dengan suhu udara masuk 220 0C dan suhu udara keluar 70 0C – 90 0C selama 30 menit, menghasilkan viabilitas hanya 15 - 34% (To dan Etzel 1997). Menurut Salgado-Cervantes (2003), penggunaan khamir kering Saccharomyces cerevisiae yang diproses dengan pengeringan semprot dalam pembuatan bir, menunjukkan aktivitas fermentasi yang lebih rendah. Kadar alkohol yang diperoleh adalah 1.4 – 1.8%, sedangkan dengan khamir segar kadar alkohol yang diperoleh adalah 5.5%. Selanjutnya juga dilaporkan khamir kering yang dihasilkan banyak terkontaminasi dengan mikroba lain. Pengeringan tipe Fluidized-bed Proses pengeringan Fluidized-bed biasa dilakukan untuk produksi khamir roti secara komersial dalam bentuk instant. Pada proses ini bahan awal dalam bentuk krim dengan kadar air sekitar 80 %, dirobah ke dalam bentuk partikelpartikel (diameter 0.2 – 0.5 mm) dengan suatu tekanan, kemudian partikelpartikel dikeringkan dengan hembusan udara panas 100 0C- 150 0C. Waktu pengeringan adalah 2 – 4 jam, suhu yang tertinggal pada partikel khamir adalah sekitar 25 0C - 42 0C, dan kadar air produk akhir adalah 4 – 6% (Reed dan Nagodawithana 1991). Menurut Anonim (2004c), proses pengeringan untuk khamir kering instan hanya menggunakan sistem fluidized-bed. Proses pembuatannya yaitu dengan memampatkan krim khamir melalui pelat berlubang (alat ekstruder) sehingga diperoleh bentuk seperti spageti tipis atau partikel-partikel massa khamir dengan diameter 0.5 – 1 mm, lalu dikeringkan. Sebelumnya krim khamir ditambah asam askorbat untuk membantu memperkuat adonan dan penambahan sorbitan monostearate (suatu emulsifer) untuk membantu rehidrasi. Bentuk partikel
15
massa khamir kering instant lebih kecil dari khamir kering aktif dan untuk pembuatan khamir kering aktif tidak ditambahkan asam askorbat dan emulsifer. Sedangkan untuk pembuatan khamir kering aktif proses pengeringannya selain dengan sistem fluidized-bed dapat juga dengan metoda lain seperti metoda pengeringan terowongan melalui suatu rangkaian kamar pengering pada tingkatan suhu berbeda. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan alat pengering tipe drum, yaitu pada drum yang berputar. Kultur Mikroba Kering Bentuk Kultur Kering Berdasarkan proses pengeringannya kultur kering dibedakan atas : 1) kultur starter yang dikeringkan dengan menambahkan media tumbuh atau bahan lain yang berperan dalam proses pengeringan. Kultur kering yang dihasilkan disebut dengan ragi, 2) kultur starter yang dikeringkan tanpa media tumbuh, tetapi dapat ditambahkan bahan lain dengan jumlah maksimal 2%. Bahan tambahan tersebut dapat berupa emulsifier atau rehydrating agent, kultur kering yang dihasilkan adalah berupa kultur kering murni, contohnya kultur kering aktif dan kultur kering aktif instan. a. Ragi Di Indonesia dikenal ragi tape yang dibuat secara tradisional dari tepung beras.
Pertumbuhan mikroba seperti kapang, khamir dan bakteri diperoleh
secara alamiah melalui infeksi dari lingkungan, peralatan yang digunakan dan melalui seleksi akibat ditambahkannya bermacam-macam bumbu kedalam tepung beras. Spesies kapang, khamir dan bakteri dalam ragi tersebut dapat memproduksi gula, asam serta alkohol dari substrat karbohidrat. Menurut Saono (1982) mikroflora yang lazim terdapat didalam ragi yang sangat berperan dalam fermentasi tape biasanya didominasi oleh kapang dari genus Mucor, Rhizopus dan Amylomyces, dan dari khamir yang termasuk kedalam genus endomycopsis, Saccharomyces, Hansenula dan Candida. Sedangkan bakteri yang sering terdapat pada ragi adalah dari genus Pediococcus dan Bacillus.
16
Fungsi dari masing-masing mikroba adalah: kapang berfungsi sebagai pemecah pati, serta penghasil enzim-enzim alpha amilase, beta amilase dan glukoamilase.
Khamir berfungsi sebagai penghasil alkohol selama proses
fermentasi, serta dapat menghasilkan enzim-enzim invertase, karboksilase, maltase dan melibiase. Sedangkan bakteri berfungsi sebagai penghasil asam laktat dan sakarida (Saono 1982). b. Kultur Murni Kering Penyediaan kultur starter dalam bentuk kultur kering, selain ditujukan untuk pemeliharaan kultur murni, juga untuk menghasilkan kultur kering aktif secara komersial. Berbeda dengan ragi, kultur starter kering lebih spesifik untuk satu spesies tertentu atau galur tertentu. Dalam proses pengeringan kultur murni ini hanya boleh ditambahkan bahan kimia yang berfungsi sebagai pelindung sel, seperti metil selulosa atau kaboksilmetil selulosa dalam jumlah 1-2% (Langejan 1980). Disamping itu juga dapat ditambahkan bahan pengemulsi seperti monogliserida, gliserol polyester dan sorbitan ester dalam jumlah 0.2-1% (Hill 1987). Proses pembuatan khamir kering aktif adalah
dengan memampatkan
padatan sel khamir pada plat berlubang alat ekstrusi, untuk menghasilkan butiran-butiran sangat kecil dari massa khamir. Selanjutnya proses pengeringan dilakukan menggunakan pengering tipe terowongan pada suhu sekitar 60 0C, selama 2 – 4 jam. Kadar air yang tersisa dalam bahan kering adalah sekitar 7.5 – 8.3%. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan metoda fluidized-bed
atau
metoda lainnya (Reed dan Nagodawithana 1995). Untuk menghasilkan krim khamir, padatan sel khamir pada akhir fermentasi sekitar 5%, dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 4000 rpm. Tahap awal pemisahan konsentrasi
padatan sel dalam cairan dapat
ditingkatkan menjadi 20 %. Sentrifus kedua akan menghasilkan cairan supernatan yang bebas sel khamir. Padatan sel yang diperoleh kemudian dicuci dan dilakukan penyaringan dengan menggunakan tekanan pada 125 - 150 lb/in2 ( 646 - 775 cm Hg), sehingga kadar padatan menjadi 27 – 32%. Padatan sel yang diperoleh disebut krim khamir (yeast cream) dalam bentuk plastis semi padat. Krim khamir ini dapat disimpan pada suhu 0 0C selama 2 minggu, atau digunakan untuk produksi khamir kering aktif (Reed dan Nagodawithana 1991).
17
Menurut Beker dan Rapoport (1987) dalam pengeringan khamir roti dengan metoda pengering terowongan, titik inversi pengeringan terdapat pada kadar air 20%. Diatas titik ini perubahan viabilitas sel dan permiabilitas dinding sel adalah kecil. Kadar air dibawah 20% respirasi berhenti dan unsur sel lepas jika kultur kering khamir direhidrasi dalam air. Pengeringan dapat dilanjutkan sampai batas kadar air 7.5-8.5% untuk khamir kering aktif dan 4-6% untuk khamir kering aktif instan. Beberapa bentuk khamir roti yang diperdagangkan di Indonesia masih merupakan produk impor, diantaranya dikenal dengan nama fermipan yang (diimpor dari Amerika) dan saf-instant (Perancis). Komposisi kedua produk tersebut terdiri dari khamir instan Saccharomyces cerevisiae, bahan pengemulsi (emulsifer) dan rehydrating agent. Kegunaan Kultur Kering Produksi kultur khamir kering aktif terkait dengan industri-industri besar makanan dan minuman hasil fermentasi serta industri obat-obatan, karena umumnya industri ini menggunakan kultur murni dalam bentuk kering aktif. Jenis-jenis khamir kering aktif yang digunakan adalah khamir untuk industri roti, khamir untuk industri bir, khamir untuk produksi etanol, khamir untuk fermentasi sake, dan khamir untuk makanan ternak (Peppler dan Perlman 1979). Menurut Nuraida et al. (1995) penyediaan kultur starter dalam bentuk kering akan memudahkan cara penanganan, memungkinkan penggunaan kultur starter baru pada setiap lot fermentasi, sehingga fermentasi lebih terkontrol dan kualitas produk lebih terjamin. Disamping itu ketersediaan kultur starter kering akan mempermudah distribusi dan transportasi, karena kultur starter kering dapat ditransportasikan dalam jarak jauh tanpa kehilangan aktivitas yang nyata. Selanjutnya menurut Malik dan Hoffmann (1993) kultur kering khamir lebih stabil dan tidak terjadi mutasi atau kehilangan sifat-sifatnya yang diperlukan selama proses pengeringan dan penyimpanan. Dengan demikian metode pengeringan lebih dipilih sebagai cara untuk pengawetan kultur untuk jangka waktu yang lama pada sejumlah spesies khamir.
18
Penyimpanan Kultur Kering Umumnya kultur kering aktif tidak membutuhkan penyimpanan suhu rendah, bagaimanapun umur simpan dapat bervariasi dari 1-12 bulan, pada kondisi penyim-panan suhu ruang. Stabilitas kultur kering adalah berbanding terbalik dengan suhu penyimpanan dan kadar air. Demikian juga jumlah oksigen dalam udara berakibat buruk terhadap stabilitas kultur kering Kultur khamir kering aktif konvensional yang mempunyai kadar air 8% dapat disimpan 1-2 bulan, atau bila disimpan dalam kemasan yang diberi nitrogen atau vakum dapat disimpan 1 tahun pada suhu kamar. Pengeringan kultur kering aktif sampai kadar air yang lebih rendah (4-6%) meningkatkan stabilitas terhadap panas, tetapi tidak dapat menghilangkan pengaruh kerusakan oleh oksigen. Cara penyimpanan dan pendistribusian khamir roti digunakan kantong kemasan yang kedap udara atau udara dihilangkan dengan memasukan gas. Kemasan juga dapat berupa kantong aluminium foil dengan permeabilitas rendah terhadap uap air dan gas oksigen. Aluminium foil harus bebas dari lobang-lobang penjepit, dilaminasi dengan plastik film yang direkatkan dengan menggunakan panas seperti saran atau pliofilm. Hill (1987) telah memberikan komposisi dari empat lapis film komposit sebagai berikut : poliester 20 µ ; aluminium , 12 µ ; polyester, 12 µ ; polyethylen, 8 µ . Plastik film cocok untuk kemasan vakum berukuran 500 g dan 10 kg. Ukuran kecil 907 g juga digunakan kemasan vakum.
Kemasan lebih besar
10 kg dengan kaleng harus diberi
nitrogen untuk mencegah pengempisan dibawah kondisi vakum. Bila kemasan dibuka kultur harus cepat digunakan karena udara dengan kelembaban yang tinggi akan mempengaruhi stabilitas dari kultur. Hubungan antara kadar air dan kelembaban terhadap beberapa khamir dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil penelitian Nuraida et al. (1995) terhadap kultur starter yoghurt yang dikeringkan dengan metode pengeringan beku, dan perlakuan pencampuran kultur dengan tapioka atau maizena (rasio tepung/kultur 1:2) serta penambahan media skim 16 % + MSG 1.5%, menghasilkan viabilitas tertinggi. Aktivitasnya tetap bertahan setelah disimpan 1 bulan pada suhu 7 0C dalam kemasan kantong polietilen.
19
Gambar 2. Keseimbangan kadar air khamir tanpa kemasan terhadap kelembaban relatif pada suhu ruang (Dobbs et al. 1982) Stres Kering pada Mikroba Stres pada mikroba merupakan tekanan biologi akibat terganggunya proses metabolisme penting didalam sel. Stres kering terjadi karena kehilangan air dari sel, sehingga mengurangi turgor sel dan mempengaruhi tekanan osmotik. Hal ini dapat mempengaruhi kestabilan makromolekul, sehingga menimbulkan kekakuan membran dan merusak struktur protein (Brown 1990 dan Wiggins 2001).
Disamping itu perubahan aktivitas air intrasellular juga menyebabkan
berkurangnya kekuatan ikatan hidrogen dan interaksi elektrostatik lainnya, sehingga mengganggu struktur dan fungsi makromolekul
termasuk asam
nukleat, protein, dan lemak (Brown 1990). Stres dan Kerusakan Mikroba Kebanyakan mikroorganisme untuk dapat tumbuh haruslah kontak dengan air,
karena sel hidup memperoleh semua atau sebagian kebutuhan
nutrien secara langsung berupa larutan. Status ketersediaan air atau potensial air
20
yang tidak menguntungkan dapat menyebabkan terjadinya stres pada mikroba. Stres akibat perubahan potensial air ini disebut ‘solute stress’ dan ’dilution stress’. Solute stress disebabkan oleh peningkatan konsentrasi atau aktivitas dari larutan ekstraselular dalam lingkungan zat cair.
Sedangkan dilution stress
disebabkan karena rendahnya aktivitas larutan ekstraselular (Brown 1990). Teixeira et al. (1995) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa sel mikroba yang berada pada kondisi stres menunjukkan telah terjadi kerusakan membran sitoplasma. Hal ini diketahui dengan peningkatan sensitivitas terhadap NaCl, peningkatan aktivitas β galaktosidase dan kebocoran isi sel pada fase stasioner. Selanjutnya menurut Bunduki et al. (1995) kebocoran dari substansi intraseluler juga dapat diketahui dengan menguji material intraseluler yang dikeluarkan seperti protein dan asam nukleat dengan metoda penyerapan pada 280 dan 260 nm pada spektofotometer. Demikian juga Hurst et al. (1984) sebelumnya melakukan penelitian pemanasan terhadap S. aureus dan menyatakan bahwa penyebab utama kerusakan pada sel akibat stres pemanasan adalah karena kehilangan Mg++ dari sel mikroba. Kehilangan ion-ion mineral dari sel mikroba ini menandakan telah terjadi kerusakan membran sel, dan jumlah ion mineral yang hilang dapat diukur dengan menggunakan Atomic absorption spectroscopy (AAS). Salah satu bentuk kerusakan membran sel mikroba ditunjukkan dengan menurunnya atau hilangnya permiabilitas sel, akibatnya terjadi kebocoran dari komponen-komponen sel. Dalam hal ini Niven dan Mulholland (1998) telah mengembangkan suatu metode untuk mengukur tingkat permiabilitas sel, prinsipnya adalah dengan pemberian suatu senyawa marker DNA yang bila kontak dengan DNA akan berfluoresensi, dengan spektrofluorimeter.
kemudian fluoresensinya diukur
Tetapi cara ini hanya efektif tehadap organisme
prokariotik, sedangkan eukariotik letak DNAnya pada inti sel yang terlindung oleh membran. Pengamatan secara visual juga dapat dilakukan untuk mengetahui bentuk kerusakan sel yaitu dengan menggunakan mikroskop elektron scaning (SEM) untuk mengamati perubahan morfologi sel dan mikroskop elektron transmisi (TEM) untuk mengamati bagian dalam sel. Pada Gambar 3 dapat dilihat bentuk
21
kebocoran dinding sel dan membran plasma Saccharomyces cerevisiae akibat perlakuan dengan detergen. Terlihat bentuk dinding sel yang retak atau robek, dan membran plasmanya hancur, sedangkan mikrostruktur sel yang lainnya tidak kelihatan. Tanda panah pada Gambar 3 menunjukan sel yang bocor dan dinding sel yang rusak.
Gambar 3. Kebocoran dinding sel dan membran plasma Saccharomyces cerevisiae akibat perlakuan dengan detergen (Y-PER) pembesaran 12 000X, (Nowicki dan Liermann 2002) Kematian Mikroba Akibat Kekeringan Secara garis besar antara stres dan kematian sulit didefinisikan. Umumnya stres dapat disebabkan oleh peningkatan sensitivitas terhadap adanya inhibitor. Inhibitor ini pada mikroba tertentu seperti bakteri gram negatif dapat menyebabkan kerusakan pada membran sitoplasma, sehingga sel kehilangan cairan, dan terjadi beberapa perubahan biokimia pada organisme. Perubahan ini dapat memulai stres dan akhirnya menyebabkan kematian (Hurst 1984). Kematian dinilai, bila tidak ada koloni dalam medium optimal (kompleks). Medium optimal adalah medium yang dapat ditumbuhi oleh mikroba yang stres maupun tidak stres (sehat). Sedangkan stres dinilai dengan menghitung koloni yang terbentuk pada medium optimal, tetapi tidak ada
pada medium yang
mengandung NaCl 7.5%. Oleh karena medium dengan garam yang tinggi hanya
22
dapat ditoleransi oleh mikroba yang tidak stres. (Hurst 1984), dalam hal ini garam sering digunakan sebagai media selektif untuk mikroba. Menurut Soekarto (1979) kondisi aw makanan selama penyimpanan dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Staphylococcus aureus adalah salah satu mikroba yang sangat toleran pada aw rendah. Pada Gambar 4 dapat dilihat Staphylococcus aureus dari contoh makanan pada berbagai aw yang disimpan selama 32 hari, jumlah sel yang hidup (pada media TSAY) masih tinggi pada aw yang sangat rendah (aw primer), demikian pula dengan sel yang tidak stres (pada media TSAYS).
Gambar 4. Jumlah Staphylococcus aureus yang tumbuh dari contoh makanan pada aw berbeda setelah 32 hari penyimpanan, pada suhu 21.70 C (Soekarto 1979) Meningkatnya aw selama penyimpanan (pada daerah sekunder) maka jumlah sel yang tidak stres menurun tajam hingga aw mendekati 0.8, disamping itu juga terlihat menurunnya jumlah mikroba yang hidup. Sedangkan pada aw > 0.8 (aw tersier) jumlah sel yang tidak stres meningkat dengan tajam, dan viabilitasnya lebih tinggi dari viabilitas pada aw primer. Hal ini disebabkan karena pada daerah tersier kondisi uap air dalam ruang penyimpanan dapat
23
meningkatkan kadar air contoh makanan pada penelitian ini atau media tumbuh lainnya. Kondisi sangat menunjang untuk pertumbuhan dan perkembang biakan mikroba. Dormansi Mikroba Dormansi adalah suatu fenomena kehidupan organisme secara luas yang sebagian besar ditandai dengan berhentinya sintesa protein dan pembelahan sel. D idalam protista banyak jenis parasit mengubah bentuk menjadi kista sebagai respon terhadap kondisi lingkungan (Taurancheau et al. 1999). Sel mikroorganisme yang kondisinya dorman tetap masih hidup atau tidak mati, tetapi juga tidak dapat tumbuh karena tidak melakukan proses metabolisme. Dormansi pada mikroba dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor lingkungan dan pengolahan. Mikroba dikatakan dorman apabila mengalami masa istirahat, yaitu dengan membentuk spora. Masa istirahat ini dapat berlangsung relatif lama dan mungkin diperlukan suatu cara tertentu untuk mengakhiri
masa istirahat ini.
Seperti halnya benih, untuk
mempersingkat masa dormannya diperlukan perlakuan khusus, misalnya dengan menaikan kelembaban secara perlahan-lahan (Julianti 2003). Kondisi dorman dapat terjadi benih apabila benih yang disimpan mempunyai kadar air dibawah 4%.
Benih dikatakan dorman apabila benih
mengalami istirahat total, dimana benih tidak menunjukkan gejala atau fenomena pertumbuhan meskipun dalam keadaan media pertumbuhan yang optimum. Benih dorman dapat dilihat melalui proses perkecambahan. Apabila benih tidak mengalami imbibisi, bearti benih dorman, yang ditandai dengan volume benih yang tidak berubah sampai akhir proses perkecambahan atau biji tetap keras (Saenong et al. 1989 di dalam Julianti 2003). Beberapa teori mengemukakan faktor kunci mengenai mekanisme dormansi pada spora bakteri adalah pertahanan terhadap dehidrasi di pusat protoplasma. Dalam hal ini inti sel dijaga dalam kondisi air yang sangat rendah, tetapi air tetap ada. Korteks peptidoglikan dilibatkan dalam mengelilingi inti sel dan berfungsi untuk menekan air keluar, atau sebagai osmoregulatory organelle (Gould dan Dring 1978).
24
Menurut
Algie (1980) dormansi adalah tindakan perlawanan terhadap
inti yang tertutup atau tumbuh secara radial supaya menekan air tidak ke luar dari inti, terutama oleh reverse osmoses atau kebalikan osmosa. Sedangkan menurut Warth (1983) pengurangan aktivitas air (aw) yang efektif di dalam inti mendekati 0.75 menyebabkan mikroba akan lebih tahan terhadap panas, yakni dengan membentuk spora, sehingga enzim didalam mikroba akan
tahan
terhadap panas. Pembentukan spora oleh khamir merupakan suatu proses survival di lingkungan kurang baik, atau perlawanan terhadap proses pengawetan pada makanan. Spora Saccharomyces cerevisiae adalah askospora yang dibentuk oleh konjugasi dua sel khamir yang diakibatkan oleh penggabungan sel induk dengan sel tunas. Banyaknya spora yang dibentuk di dalam suatu askus bervariasi menurut jenis khamir. Pada lingkungan yang sesuai masing-masing spora tumbuh kembali menjadi sel khamir. Bentuk askus yang berisi spora dewasa dari Saccharomyces cerevisiae dapat dilihat
pada Gambar 5. Berdasarkan elektron mikrograf (Gambar 5)
bagian dalam atau lapisan yang jernih adalah manan dan glukan, sedangkan lapisan sebelah luar yang lebih gelap adalah kitosan dan ditirosin. Material dinding spora ( SW) dibentuk di dalam lumen pada kompartemen membran prospora (Prm) (Anonim 2004a).
Gambar 5. Saccharomyce cerevisiae dengan askus berisi spora dewasa, SW adalah dinding spora, PrM adalah promembran dan N adalah inti sel (Anonim 2004a)
25
Dinding spora berfungsi memberi ketahanan pada spora terhadap stres lingkungan. Setelah penutup prospora membran, sel membangun dinding spora di dalam lumen antara kedua membran derivat yang diperoleh dari membran prospora. Dinding dewasa terdiri dari empat lapisan berbeda: satu predominan manoprotein (lapisan manan); satu residu ikatan beta-1,3 glukosa (lapisan glukan); satu residu ikatan 1,4 alfa glukosamin ( lapisan kitosan); dan suatu lapisan struktur indeterminan yang unsur utamanya adalah tirosin ikatan silang dimers (lapisan ditirosin). Lapisan dinding spora diatur, dari paling dalam ke paling luar sebagai berikut: manan, glukan, kitosan, dan ditirosin. Manan dan glukan juga ditemukan di dalam dinding sel tumbuh-tumbuhan. Adanya kitosan dan ditirosin adalah sangat unik pada spora (Anonim 2004a dan Wagner et al. 1999). Saccharomyces cerevisiae Saccharomyces cerevisiae
termasuk dalam Filum Ascomycota, Kelas
Hemiascomycetes; Subkelas Hemiascomycetidae; Ordo Endomycetales; Famili Saccharomycetaceae; Subfamili Saccharomyces. Saccharomyces berasal dari nama Yunani yaitu sakehar dan mykes. Sakehar artinya gula dan mykes artinya fungi. Setengah abad yang lalu konsep awal penamaan jenis-jenis khamir berdasarkan pada penelitian pelopor mengenai teknik pemurnian kultur oleh Emil Christian Hansen di Carlsberg Laboratories. Hansen membedakan dan mengelompokan kultur kamir yang diisolasinya dalam bentuk murni berdasarkan perbedaan morfologi selular dan askospora, asimilasi gula dan karakteristik fermentasi, serta toleransi khamir terhadap suhu berbeda (Reed dan Nagodawithana 1991). Morfologi dan Struktur Sel Sel khamir berbentuk bulat, lonjong, oval, silinder, ogival yaitu bulat panjang dengan salah satu ujung runcing, segitiga melengkung (triangular), bentuk apikulat atau lemon dan sebagainya. Ukuran dari sel khamir sangat bervariasi tergantung media dan kondisi pertumbuhannya serta umur dari sel
26
tersebut, tetapi secara umum panjang sel adalah 1– 50 ì m dan lebar adalah 1 – 10 ì m (Miller 1982). Menurut Pelczar et al. (1977) mikrostruktur sel khamir terdiri dari dinding sel, membran sitoplasma, matriks sitoplasma, inti sel, vakuola, retikulum endoplasma, mitokondria, ribosom dan globula lemak. Bagian luar dinding sel khamir secara umum ditutupi oleh lapisan transparan yang merupakan polisakarida, termasuk fosfomanan (polimer yang menyerupai pati) dan heteropolisakarida yaitu polimer yang mengandung lebih dari satu macam unit gula seperti pentosa, heksosa dan asam glukuronat. Komponen dinding sel pada Saccharomyces cerevisiae terdiri dari 15 – 30% berat kering sel, penyusun dinding sel terutama adalah manoprotein, β-1,3 glukan, β-1,6 glukan dan kitin dalam jumlah sangat kecil, tetapi berperan sangat penting. Kompleks β-1,3 glukan-kitin adalah unsur utama dinding sel bagian dalam, β-1,6 glukan menghubungkan komponen dinding sebelah luar dan bagian dalam. Pada permukaan luar dinding adalah manoprotein, komponen ini sangat rapat dan membatasi permeabilitas dinding terhadap larutan (Lipke dan Ovalle 1998). Selanjutnya menurut Miller (1982) glukan meliputi 30-35% dari berat kering dinding sel, manan adalah sekitar 30%, protein sekitar 6-8%, lemak sekitar 8.5-13.5% dan kitin sekitar 1-2%. Pada bagian sebelah dalam dinding sel terdapat membran sitoplasma dengan ketebalan kira-kira 8 ì m.
Membran ini berperanan penting dalam
permiabilitas selektif dan transfor zat makanan ke dalam sel. Irisan tipis membran dibawah mikroskop terlihat sebagai lapisan ganda.
Skema dan
struktur dinding sel dari khamir dapat dilihat pada Gambar 6. Mikrostruktur sel khamir lainnya adalah : (1) Sitoplasma khamir yang mengandung glikogen, asam ribonukleat dan protein terutama di dalam granula yang mengandung RNA dan ribosom. (2) Inti sel dikelilingi membran inti dan berisi kumpulan kromosom; (3) Vakuola berisi cairan bening dan encer, dan juga dilapisi membran yang tertanam pada sitoplasma; (4) Mitokondria juga dilapisi oleh dua lapis membran dan berfungsi dalam aktivitas respirasi; dan (5) Globula lemak dalam berbagai bentuk dan ukuran, tergantung jenis khamir (Van der Rest et al. 1995).
27
Bila dibandingkan dengan bakteri beberapa komponen dinding selnya berbeda tergantung jenis bakterinya. Sel bakteri mengandung peptidoglikan yang terdiri dari turunan gula yaitu asam N-asetiglukosamin dan asam N-asetimurat serta asam amino L-alanin, D-alanin dan lisin. Bakteri gram positif mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan
negatif.
Bakteri Gram negatif
hanya
mengandung
5-20%
peptidoglikan dan dilapisi dengan protein, lipopolisakarida, fosfolipid dan lipoprotein (Cano dan Colome 1986).
A
B Gambar 6. A. Skema sel khamir (Van der Rest et al. 1995), B. struktur dinding dan membran sel khamir (Watson et al. 1987)
28
Selanjutnya pada Gambar 7 terlihat dinding sel bakteri Gram positif yang mempunyai lapisan peptidoglikan yang tebal banyak mengandung asam amino alanin yang bersifat hidrofobik. sedangkan bakteri Gram negatif mempunyai sisi hidrofilik yaitu karboksil, amino, dan hidroksil (Franklin dan Snow 1989 dan Gorman 1991).
Gambar 7. Struktur dinding dan membran sel bakteri (a) Gram positif, (b) Gram negatif, (c) lapisan peptidoglikan (Cano dan Colome 1986) Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae sama dengan semua organisme hidup lainnya yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh, yakni dipengaruhi oleh media, umur, serta lingkungan dimana sel tersebut tumbuh. Pola pertumbuhan dari kultur Saccharomyces cerevisiae secara umum ada empat fase yaitu fase lag, fase pertumbuhan logaritmik, fase stasioner, dan fase kematian. Konsentrasi khamir yang dihasilkan dalam suatu proses produksi dapat mencapai 5 x 108 sel per ml dengan viabilitas lebih dari 98%. Waktu propagasi adalah 24 - 48 jam. Pertumbuhan atau perkembangan khamir dalam medium
29
produksi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan standar pertumbuhan mikroba dalam sistem bath culture (Priest dan Campbell 1996). Disamping itu laju pertumbuhan juga dapat dihitung berdasarkan peningkatan jumlah sel atau berat sel dalam periode waktu tertentu. Biasanya digambarkan dengan peningkatan berat kering biomassa persatuan waktu (jam). Selanjutnya Stanley et al. (1997) juga menyatakan bahwa laju pertumbuhan maksimum dihitung dengan regresi liner dari plot log jumlah sel selama fase eksponensial. Menurut Macy dan Miller (1983) di dalam Priest dan Campbell (1996) sel khamir akan tumbuh di dalam media sederhana yang mengandung karbohidrat untuk penyediaan biosintesis rangka karbon, nitrogen yang cukup untuk sintesis protein, garam mineral dan beberapa faktor pertumbuhan. Biasanya oksigen juga diberikan, walaupun ada beberapa jenis khamir tidak membutuhkannya. Proses untuk memproduksi biomasa, biasanya sel khamir ditumbuhkan pada berbagai medium yang mengandung komponen karbon, fosfat dan nitrogen sebagai sumber energi, dan kondisi aerobik. Selama fase pertumbuhan khamir dalam proses fed-batch ditambahkan kandungan gula kedalam medium, biasanya cairan molase, dengan jumlah tertentu untuk meminimalkan akumulasi etanol. Proses fed-batch merupakan metoda dasar untuk produksi khamir roti, beberapa khamir makanan (food yeasts), produk biomasa untuk ekstraksi enzim dan untuk persiapan khamir autolisat (Reed dan Nagodawithana 1995). Laju pertumbuhan sel khamir
secara garis besar tidak sama
dalam
berbagai media (Parviz dan Heideman 1998). Diantara sumber karbon untuk pertumbuhan dan produksi sel kering Saccharomyces cerevisiae, ternyata sukrosa dan fruktosa paling baik daripada glukosa.
Berat kering sel yang
dihasilkan dari masing-masing sumber karbon fruktosa dan sukrosa lebih tinggi dari glukosa. Demikian pula untuk samber nitrogen yang paling baik adalah ekstrak khamir, dimana berat kering sel yang dihasilkan adalah dua kali lebih tinggi dibandingkan pepton. Sedangkan garam mineral yang paling baik adalah MgSO4 (Liu et al. 1999). Penggunaan molases dari beet atau tebu sebagai media fermentasi, dapat mensuplai gula, mineral-mineral esensial, asam-asam amino dan vitamin-
30
vitamin.
Untuk produksi khamir roti digunakan molases dari beet + 20%
dicampur dengan molases tebu, untuk mencukupi kebutuhan biotin karena molases dari tebu kaya akan biotin, asam pantotenat, tiamin, magnesium dan kalsium (Reed dan Nagodawithana 1995). Menurut Nancy et al. (1998) beberapa strain Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dan melakukan aktivitas fermentasi terhadap medium yang mengandung silosa, walaupun tidak seefektif terhadap medium glukosa, tetapi dengan kofermentasi glukosa dan silosa, akan sangat efektif menghasilkan etanol secara simultan. Kegunaan Saccharomyces cerevisiae Menurut Jaworski (2004)
Sacharomyces cerevisiae merupakan jenis
yang terkenal pada industri penghasil khamir, seperti khamir roti (baker’s yeast) dan khamir padat (compressed yeast). pertengahan abad yang lalu.
Khamir roti telah dikenal sejak
Disamping itu juga diaplikasikan untuk
menghasilkan ekstrak khamir yang banyak digunakan untuk menghasilkan komponen flavor atau cita rasa gurih yang ditambahkan pada produk-produk makanan seperti mie instan, bubur instan dan berbagai produk ekstrusi (Asnani 1999). Jenis atau spesies Saccharomyces cerevisiae terutama digunakan dalam tiga proses industri; pertama untuk memproduksi minuman beralkohol seperti anggur atau wine, bir, sake, potable spirits (sejenis minuman beralkohol), dan sebagian besar industri alkohol, kedua adalah untuk industri kue dan roti atau produksi khamir, khususnya untuk memenuhi keperluan pertumbuhan industri kue dan roti, dan ketiga adalah untuk memproduksi biomassa, ekstrak khamir, otolisat dan komponen flavor. Khamir yang digunakan dalam proses ini adalah dari pertumbuhan primer atau diperoleh dari industri bir. Sebagai kategori keempat Saccharomyces cerevisiae juga digunakan untuk produksi protein rekombinan melalui rekayasa genetika (Reed dan Nagodawithana 1991). Sampai sekarang produk-produk dari khamir masih diimpor dari beberapa negara, dan total impor Indonesia untuk produk-produk khamir dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2003 dapat dilihat pada Tabel 1.
31
Data pada Tabel 1 menunjukkan total impor yang sangat berfluktuasi, tetapi jumlah dan nilainya cenderung meningkat. Tabel 1. Total impor khamir kering aktif, khamir kering tidak aktif dan autolisat khamir dari tahun 1998-2003 (BPS 1999 s/d 2004) Tahun
Khamir kering aktif Jumlah (kg)
Nilai (US$)
Khamir kering tidak aktif Jumlah Nilai (kg) (US$)
Autolisat khamir Jumlah (kg) 46 581
Nilai (US$)
1998
1 654 783 4 627 191
221 200
185 370
316 348
1999
1 253 398 3 059 782
400 806
205 295
229 804 1 408 602
2000
2 344 552 5 267 634
348 644
227 619
176 872
854 652
2001
2 857 931 6 030 204
487 608
235 778
214 789
961 953
2002
2 725 580 5 590 753
596 279
307 609
127 693
771 585
2003
2 277 538 5.464 114 1 390 663
680 060
186 434
600 183
Selanjutnya Saccharomyces cerevisiae juga merupakan inokulum yang menjadi perhatian untuk produksi protein heterologous, karena dapat mengglikosilasi protein dan membentuk modifikasi. Hal ini juga sangat penting untuk mengfungsikan secara penuh protein eukariotik (Vasavada 1995). Dalam industri farmakologi adalah sebagai proinsulin manusia, factor pembekuan protein darah, dan hormon pertumbuhan manusia (Carlsen et al. 1997). Demikian pula Saccharomyces cerevisiae adalah endotoksin bebas yang umumnya dianggap aman, dan penggunaan khamir secara ekstensif dalam beberapa proses-proses sederhana telah menghasilkan banyak informasi tentang fisiologinya dan daya guna dalam produksi skala besar (Nielson dan Villadsen 1992 di dalam Carlsen et al. 1997). Kesetimbangan Kadar Air dan Sorpsi Isotermi Air Kesetimbangan kadar air berperan sebagai kontrol pengeluaran air di dalam proses pengeringan, sedangkan aktivitas air dan isotermi sorpsi air yang menunjukan tingkat keterikatan air di dalam bahan pangan, adalah sebagai faktor penentu stabilitas penyimpanan, laju dan waktu pengeringan (Fellows 1990).
32
Kesetimbangan Air Semua bahan padat memiliki kadar air kesetimbangan tertentu bila kontak dengan udara pada suhu dan kelembaban tertentu.
Bahan akan
cenderung kehilangan atau menangkap air selama waktu tertentu untuk mencapai nilai kesetimbangan (Rizvi dan Mittal 1992). Perpindahan air dari bahan pangan ke lingkungan tergantung pada kadar air dan komposisi bahan pangan, serta suhu dan kelembaban udara. Akhirnya bahan pangan tidak akan lagi bertambah atau berkurang beratnya, dan dikenal bahwa bahan tersebut berada pada kadar air kesetimbangan (Fellows 1990). Berdasarkan teori perubahan fasa dalam bahan makanan yang ditempatkan diudara terbuka akan berubah sampai mencapai kondisi seimbang dengan kelembaban nisbi udara yang bersangkutan. Apabila kadar air bahan cukup tinggi, maka sebagian akan berubah menjadi gas yang kemudian masuk ke dalam udara sebagai uap air. Namun kalau kadar air suatu bahan rendah dan udaranya lembab, maka uap air dalam udara akan terserap oleh bahan sehingga kadar airnya meningkat. Definisi kadar air kesetimbangan menurut Brooker et al. (1982) adalah kadar air bahan pangan setelah disimpan pada kondisi lingkungan tertentu pada waktu yang cukup lama.
Kadar air kesetimbangan tergantung pada suhu
lingkungan bahan tersebut (Rizvi dan Mittal 1992) serta RH udara. Menurut Soekarto dan Syarief (1991) akan tejadi kesetimbangan antara RH dengan kadar air (Me), dan RH yang berkesetimbangan dengan Me disebut RH kesetimbangan (Equilibrium Relative Humidity / ERH). ERH sangat penting baik secara teoritik untuk analisis isotermi sorpsi maupun penggunaan praktis dalam praktek penggudangan, penyimpanan dan pengemasan. Kadar air kesetimbangan berperan penting dalam perlindungan terhadap pertukaran air dalam kemasan dan penyimpanan bahan pangan, serta kontrol pengeluaran air pada pengeringan (Herrington dan Vernier 1995). Terdapat dua metode statik dimana bahan dibiarkan pada ruangan dengan udara yang diam,
33
dan metode dinamik dimana air yang mengenai bahan berada pada kondisi bergerak secara mekanik (Brooker et al. 1982).
Aktivitas Air Air dalam bahan makanan bersifat unik, secara umum senyawa ini diperlukan didalam proses kimia, biokimia, fisika, maupun kimia fisika. Maka oleh sebab itu secara teoritis aktivitas air dapat dipakai sebagai dasar didalam perencanaan, pengolahan, pengemasan, dan distribusi bahan makanan (Soekarto 1978). Menurut Soekarto dan Syarief (1992) aktivitas air atau aw adalah sifat termodinamik dari produk pangan dalam interaksinya dengan lingkungan udara. Nilai aw berkaitan dengan kecendrungan atau kemampuan air suatu produk untuk berinteraksi dengan udara disekitarnya. Selanjutnya aktivitas air (aw) merupakan potensi kimia relatif dari air. Air murni potensi kimianya ditetapkan sebesar satu, air yang terkandung dalam bahan makanan memiliki potensi kimia kurang dari satu, oleh sebab itu nilai aw adalah nir-satuan atau tidak bersatuan. Aktivitas air dalam bahan pangan berperanan penting bagi terjadinya proses kemunduran mutu. Penyebab kemunduran mutu tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam (1) reaksi
kimiawi atau enzimatik dan (2)
kegiatan mikroba. Bagi bahan makanan kering yang berada di dalam kemasan, proteksi utama yang harus diberikan adalah untuk mencegah penyebab kelompok pertama. Adapun untuk produk yang aktivitasnya besar atau berkadar air tinggi, maka penyebab kerusakkan oleh kelompok kedua harus lebih mendapat perhatian disamping kerusakan oleh rekasi kimiawi dan enzimatik. Bentuk kurva stabilitas bahan makanan sebagai fungsi aw dalam bentuk grafik yang dikenal sebagai peta stabilitas bahan makanan
dari Labuza et al.
(1970) dapat dilihat pada Gambar 8. Dari Gambar 8 diketahui bahwa bahan makanan terbagi atas 3 kelompok, daerah A (primer) adalah bahan makanan dengan aw rendah (< 0.25) atau bahan kering, kestabilannya tinggi. Daerah B (sekunder) adalah bahan makanan pada aw 0.25-0.8 atau makanan semi basah, kerusakan dapat terjadi karena reaksi kimia dan aktivitas enzim. Daerah C
34
(tersier) adalah
bahan makanan segar, kerusakan terjadi karena aktivitas
mikroba. Besarnya aw bahan dapat berubah-ubah menurut sifat relatifnya terhadap air murni, dan hal tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat produk serta kondisi lingkungannya. Apabila kadar air bahan cukup tinggi, maka sebagian akan berubah menjadi gas yang kemudian masuk ke dalam udara sebagai uap air. Namun kalau kadar air suatu bahan rendah dan udara disekitarnya lembab, maka uap air dalam udara akan terserap oleh bahan sehingga kadar airnya meningkat. Kondisi seimbang tercapai apabila kadar air bahan sudah konstan. Besar kecilnya kadar air seimbang suatu bahan dipengaruhi oleh sifat bahan dan kelembaban nisbi udara di sekelilingnya. Kelembaban nisbi udara merupakan perbandingan antara tekanan parsial uap air jenuh pada suhu yang sama dikalikan 100%.
Gambar 8. Peta stabilitas bahan makanan (Labuza et al. 1970) Apabila kadar air bahan makanan sudah mencapai keseimbangan dengan udara disekellingnya, maka aw pada bahan makanan tersebut adalah sama
35
dengan aktivitas air di udara.
Oleh sebab itu, aw suatu suatu bahan dapat
ditentukan bardasarkan kelembaban nisbi seimbang udara (equilibrium relative humidity = ERH) dalam persamaan berikut : aw = (ERH) /100
(ERH = kelembaban nisbi seimbang udara)
Cara yang paling banyak dilakukan untuk mengendalikan RH udara adalah menggunakan berbagai jenis larutan garam atau asam sulfat yang ditempatkan di dalam suatu wadah yang dapat ditutup rapat, misalnya desikator dan ditempatkan di dalam suatu ruangan yang suhunya konstan. Keuntungan pemakaian larutan garam jenuh adalah adanya penyerapan atau penguapan air pada sampel selama ekuilibrasi tidak berpengaruh terhadap aw. Isotermi Sorpsi Air Kurva isotermi sorpsi air (ISA) adalah untuk menyatakan hubungan antara jumlah air yang terikat oleh bahan makanan padat dengan kelembaban nisbi udara (RH) seimbang pada suhu tertentu. Pada RH = 0%, isotermi absorpsi dan desorpsi suatu bahan makanan kering bertemu pada satu titik (Warth 1983). Labuza (1984) mengelompokan kurva ISA menjadi tiga jenis; yaitu tipe I, II dan III (Gambar 9 ).
36
Gambar 9. Klasifikasi kurva isotermi sorpsi air (Labuza 1984) Tipe I mewakili sifat isotermi air bahan berbentuk kristal, misalnya gula murni. Bahan tersebut hanya menyerap sedikit air sampai aw sekitar 0.7 – 0.8. Hal itu terjadi karena ikatan air melalui jembatan hidrogen hanya terjadi pada gugus hidroksil bebas yang terdapat dipermukaan kristal saja. Bahan makanan kering termasuk khamir umumnya termasuk isotermi sorpsi air tipe II yang menyerupai huruf S adalah disebabkan oleh pengaruh akumulatif dari ikatan hidrogen, hukum Raoult, kapiler, dan interaksi antara permukaan bahan dengan molekul air. Pada kurva tersebut terdapat dua lengkungan. Lengkungan pertama, pada aw sekitar 0.2 – 0.4 dan yang lain pada aw : 0.7 – 0.8. kedua lengkungan ini merupaan akibat perubahan sifat kimiafisika pengikatan air oleh bahan. Isotermi sorpsi air tipe III merupakan bentuk khas dari kelompok senyawa anti kempal (contohnya kalsium silikat dan kalsium stearat),
kurva ini
37
menunjukkan kenaikkan vertikal yang tajam pada aw rendah. ketika seluruh gugus polar sudah mengikat air, maka setiap tambahan kadar air menyebabkan kenaikkan aw yang besar. Hal ini terjadi karena bahan tersebut tidak larut, sehingga tambahan air hanya akan berinteraksi dengan air yang sudah ada dan bersifat seperti air bebas. Air Terikat Air yang terikat dalam makanan padat dapat diklasifikasikan kedalam tiga kelompok sesuai dengan kekuatan ikatannya. Pertama adalah air yang terikat dengan energi paling besar yaitu melalui ikatan hidrogen oleh gugus-gugus aktif seperti hidroksil, kelompok ini identik dengan air terikat primer (Soekarto 1978). Kedua, yaitu air yang terikat dengan jembatan hidrogen oleh molekul lain yang sudah terikat pada molekul makro sehingga kekuatannya lebih lemah, ini disebut air ikatan sekunder. Adapun yang ketiga adalah air yang yang terikat secara lemah sehingga aktivitasnya mendekati air bebas dan disebut air terikat tersier. Menurut sifat ikatan air yang terdapat dalam bahan makanan, kurva ISA dapat dibagi kedalam tiga wilayah yang disajikan dalam Gambar 10. Gambar 10 juga memberi gambaran histerisis dari isotermi sorpsi air yang sering ditemui, dan tergantung pada bertambahnya air pada bahan kering (absorpsi) atau berkurangnya (mengering) air dari bahan basah (desorpsi). Histeresis ini disebabkan perubahan struktural yang tak dapat balik dan pengaruh ketidak seimbangan. Ada beberapa persamaan empiris untuk menguraikan perilaku ini, tetapi dengan cara ini sifatnya kurang teliti dan sebaiknya isotermi sorpsi air untuk masing-masing bahan harus ditentukan dengan percobaan. Daerah A adalah zona air terikat lapis tunggal (monolayer) atau air terikat primer; daerah B adalah zona air terikat sekunder dan air kapiler; dan daerah C adalah zona air terikat tersier yang terkondensasi didalam pori-pori (air bebas) serta air pelarut bagi senyawa-senyawa terlarut. Terlihat adanya garis absorpsi dan desorpsi bahan makanan kering yang berbentuk seperti huruf S, serta fenomena histerisis yaitu ketidak samaan posisi antara dua garis absorpsi dan desorpsi. Kurva isotermi dapat berubah dengan meningkatnya tekanan atau suhu (Chaplin 2004).
38
Gambar 10. Bentuk umum kurva ISA dengan tiga zona air terikat (Chaplin 2004)