II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengeringan Beku
Pengeringan beku telah dikenal dan diakui sebagai metode pengeringan yang dapat memberikan mutu hasil pengeringan paling baik dibandingkan metode pengeringan lainnya (Liapis and Bruttini, 1995; Martinez et al., 2001; Horadczek dan Viernstein, 2004 ). Keunggulan produk hasil pengeringan beku antara lain adalah struktur yang tidak mengkerut sehingga memungkinkan rehidrasi yang sangat cepat, retensi flavor yang tinggi karena pengeringan berlangsung pada suhu rendah, serta daya hidup dan rekonstitusi sel-sel hidup pada produk kering-beku tetap tinggi.
Pengeringan beku sangat dikenal pada proses liofilisasi
(lyophilization) produk (Carapelle et al., 2001; Hua et al., 2003). Pengeringan beku telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Shishehgarha (2002) melakukan pengeringan beku untuk produk strawberry. Pengeringan beku untuk produk lain juga telah dilakukan oleh peneliti lain : Tambunan (2001) melakukannya untuk bahan pangan berbentuk pasta, Carapelle et al (2001) untuk kertas, Liu (2001) untuk liposome, Irzyniec et al (1995) untuk black currant juice, Grabowski et al (2002) untuk Cranberries dan Sagara (1984) untuk konsentrat larutan kopi. Shishehgarha (2002) mendapatkan bahwa waktu dehidrasi bertambah secara proporsional dengan ketebalan produk dan berkurang terhadap suhu plat pemanas. Selain itu juga didapatkan bahwa pada suhu lebih besar dari 50 oC, kemungkinan terjadinya collaps, yaitu gagalnya proses pengeringan beku karena adanya bagian yang mencair, bertambah besar. Pengeringan beku meskipun merupakan proses pengeringan terbaik, mempunyai kelemahan berupa laju pengeringan yang lambat
(Liapis dan
Bruttini,1995; Martinez et al.,2001; Horadczek dan Viernstein,2004). Hal ini disebabkan panas dari atas, yang akan digunakan untuk sublimasi, harus dirambatkan melalui lapisan kering produk. Lapisan kering produk yang berstruktur rongga (porous) mempunyai konduktivitas yang sangat rendah, sehingga penghantaran panas ke permukaan sublimasi sangat rendah Penelitian pengeringan beku dengan pemanasan dari atas ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu,
pengeringan bahan herbal oleh Tambunan et al. (2001),
7
pengeringan durian oleh Siregar (2004), dan pengeringan larutan kopi oleh Araki
et al. (2001). Selain itu sejumlah peneliti juga telah melakukan berbagai kajian yang berkaitan dengan optimalisasi proses Sung et al. (2002) dan
kajian
perpindahan panas dan massa selama proses, (Sagara 2001 ; Cheng et al. 2002). Pada penelitian Cheng et al. (2002), telah dilakukan analisa pemanasan dari bawah untuk memperbaiki efisiensi perambatan panas ke lapisan sublimasi, tetapi penelitian ini belum sampai pada tahap pengujian dengan pemanasan dari bawah. Penelitian Cheng et al (2002) menekankan pada analisa matematisnya saja. Tambunan (2001) melakukan pengeringan dengan siklus tekanan
dan
mendapatkan bahwa lama pengeringan ditentukan oleh tekanan pengering selain oleh suhu permukaan produk. Jika tekanan naik dan laju pembekuan juga naik maka waktu pengeringan primer dan waktu pengeringan sekunder turun. Xiang (2004) menyatakan suhu pengering mempunyai pengaruh yang besar terhadap laju sublimasi. Suhu pengering yang tinggi menyebabkan laju sublimasi yang juga tinggi. Xiang (2004) melakukan penelitiannya pada tekanan pengering 4 dan 133 Pa. Sejumlah peneliti juga telah melakukan berbagai kajian yang berkaitan dengan optimalisasi proses (Song, et al., 2002; Carapelle et al., 2001), kajian perpindahan panas dan massa selama proses (Sagara, 2001; Cheng, et al., 2002; Farial, et al.,2003), kajian mutu hasil pengeringan (Mishra, et al., 1996; Tambunan, et al., 2001; Martinez, et al., 2001), dan lain-lain. Disamping itu, Araki, et al. (2001) melakukan kajian yang lebih mendalam terhadap proses pembekuan yang mengawali proses pengeringan beku tersebut. Dalam kajian tersebut dilakukan penentuan titik beku larutan kopi dan mobilitasnya berdasarkan metode Differential Scanning Calorimeter (DSC).
2.2
Pembekuan Vakum
Kinetika pengeringan beku dipengaruhi oleh laju pembekuan dan laju perpindahan panas dan massa selama proses sublimasi. Disamping sangat berperan dalam menentukan kinetika pengeringan, pembekuan merupakan salah satu tahap pengeringan beku yang sangat intensif energi. Oleh sebab itu, pencarian metode yang lebih tepat merupakan salah satu upaya yang sangat diperlukan. 8
Proses pembekuan untuk pengeringan beku dapat dilakukan dengan metode lempeng sentuh, semburan udara, atau pemanfaatan bahan cyogenic, seperti nitrogen cair. Salah satu metode pembekuan yang jarang diterapkan, tetapi prospektif, adalah pembekuan vakum (Carapelle et al., 2001). Pada pembekuan vakum ini, efek pembekuan diperoleh dengan penguapan sebagian air bahan pada kondisi ruang bertekanan rendah. Penguapan ini memerlukan panas laten yang diambil dari produk, sehingga produk tersebut mengalami penurunan suhu bahkan sampai akhirnya membeku. Dalam hal ini efek pembekuan bukan karena perpindahan panas dari bahan ke media pembeku, tetapi karena pelepasan panas laten penguapan. Dengan demikian, energi yang dibutuhkan untuk proses pembekuan produk ini adalah energi untuk penurunan tekanan ruang pembekuan. Beberapa penelitian telah dilakukan diantaranya penelitian pembekuan vakum (Zainuddin 2003; Siregar 2004) dan penelitian konsumsi energi pengeringan beku bahan biologik (Sutanto, 2004). Pada penelitian terdahulu didapatkan laju pembekuan vakum udang windu berkisar pada 3,91 cm/jam, 4,49 cm/jam dan 7,23 cm/jam. Pembekuan ini tergolong pembekuan cepat sehingga kristal es yang terbentuk kecil. Kristal es yang kecil ini dapat mengurangi kerusakan sel produk. Selain itu pada penerapan metode pembekuan vakum untuk durian, didapatkan bahwa pembekuan vakum menghasilkan kandungan protein yang lebih tinggi dibanding pembekuan lempeng sentuh (Siregar, 2004). Penelitian lain menyatakan bahwa keunggulan sistem vakum terletak pada proses pengolahannya.
Dengan
sistem
pembekuan
vakum,
proses
pembekuan
mengurangi kemungkinan penularan penyakit, selain menyebabkan pembekuan lebih cepat (Tambunan, 2000). Hasil-hasil yang telah diperoleh, antara lain, ditunjukkan dalam bentuk perbandingan laju pembekuan vakum dengan pembekuan lempeng sentuh (Gambar 2.1), dan pengaruh tekanan operasi terhadap suhu berbagai produk yang dibekukan (Gambar 2.2). Terkait dengan ini, Krokida et al (1998) dan Irzyniec et al (1996) mendapatkan pengeringan beku dengan pembekuan vakum merupakan metode pengurangan kadar air terbaik yang menghasilkan produk dengan kwalitas tertinggi. Metode pengeringan beku ini juga digunakan secara luas untuk menghasilkan kopi instan berkualitas (Sagara dan Ichiba, 1998).
9
Pengembangan metode pembekuan vakum untuk produk-produk pertanian telah dilakukan oleh Tambunan (2000), Rochanah (2001), Wulandani, et al (2002) dan Zainuddin (2003). Pembekuan vakum ini diterapkan pada produk produk
Laju Pembekuan (cm/jam)
berupa jus jeruk dan pulp markisa pada berbagai konsentrasi, dan udang windu.
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 VF1
VF2
VF3
PF1
PF2
PF3
Keterangan : VF: vacuum freezing PF: plate freezing Suhu PF = -42 0C, tekanan VF = 0.01 kPa Kadar air sampel 1, 2, dan 3 masing-masing 60.2%,73.5% dan 86.7%
Suhu bahan (0C)
Gambar 2.1. Perbandingan laju pembekuan vakum dengan pembekuan lempeng sentuh (Tambunan, 2000).
0 -10 -20 -30 -40 0
50
100
150
Tekanan (Pa) Gambar 2.2. Pengaruh tekanan operasi terhadap suhu produk yang dibekukan (Tambunan, 2000).
10
2.3
Perambatan Panas
Laju perpindahan panas dan massa melalui lapisan kering bahan selama proses sublimasi sangat rendah akibat nilai konduktivitas termal dan permeabilitas uap air yang rendah (Tambunan dan Manalu, 2000; Sagara, 2001). Pada Tabel 1 ditunjukkan nilai konduktivitas termal dan permeabilitas uap air pada lapisan kering cabe jawa selama pengeringan beku, serta pengaruh tekanan dan laju pembekuan pada nilai-nilai tersebut. Pada penelitian tersebut, pemanasan dilakukan dengan cara radiasi panas dari lempeng pemanas ke permukaan bahan, dan selanjutnya dengan cara konduksi melalui lapisan kering bahan ke permukaan sublimasi. Struktur lapisan kering yang berongga mempunyai konduktivitas panas yang rendah sehingga ketika beda suhu dan ketebalan bahan yang digunakan adalah sama, dengan rumus perpindahan panas konduksi, didapatkan laju perambatan panas menjadi lambat sehingga efisiensi energi pemanasan menjadi rendah.
Tabel 1. Nilai konduktivitas termal dan permeabilitas uap air lapisan kering beku cabe jawa, sebagai pengaruh tekanan dan laju pembekuan (Tambunan et al, 2001) Tekanan (Pa) 24.0 48.0 76.0 kisaran: 73.3 to 76.0 Pa
Laju pembekuan (cm/h) kisaran: 3.3 hingga 4.3 cm/h 1.6 2.7 3.3
Ukuran rongga (10-3 mm2) 2.337 2.244 1.908 2.592 1.984 1.908
Konduktivitas termal (10-1 W/mK) 1.1 ± 0.1 1.1 ± 0.1 1.3 ± 0.1 1.1 ± 0.0 1.1 ± 0.2 1.3 ± 0.1
Permeabilitas (10-2 m2/s) 1.2 ± 0.2 1.0 ± 0.1 5.6 ± 0.4 6.7 ± 1.3 5.6 ± 0.9 5.6 ± 0.4
Berdasarkan kenyataan tersebut, pemanasan dengan perambatan panas melalui lapisan kering, dianggap kurang menguntungkan, sehingga pada penelitian ini akan dilakukan pemanasan melalui permukaan bawah bahan (lapisan beku produk). Karena nilai konduktivitas panas lapisan beku lebih tinggi daripada lapisan kering, metode ini diharapkan akan meningkatkan laju penghantaran panas ke permukaan sublimasi. Akan tetapi, masalah lain yang akan 11
dihadapi adalah kemungkinan terjadinya peleburan es atau terjadinya collaps (bahan beku mencair, bukan menyublim), sehingga perlu dicari mekanisme penyampaian panas yang efektip. Hal ini dilakukan misalnya dengan pembatasan jumlah panas yang dirambatkan melalui lapisan beku. Perpindahan panas dan massa terjadi secara simultan ketika dilakukan radiasi atau konduksi panas untuk mensublimasi es dan mengangkut uap air keluar produk secara permeasi. Oleh karena itu, ukuran produk yang dikeringbekukan akan sangat berpengaruh terhadap laju perpindahan panas dan massa ini. Cheng et al (2002) melakukan penelitian untuk menganalisa pergerakan lapisan permukaan es pada pengeringan beku dengan atau tanpa pemanasan dari bawah. Cheng mengunakan model sheng/peck (Sheng dan Peck 1975) dan model URIF (King, 1971). Model ini mengasumsikan proses pengeringan dibagi menjadi dua tahap : 1. Air yang dapat dibekukan selama proses pembekuan akan tersublimasi dan dikeluarkan bersama sebagian air terikat selama proses pengeringan primer. 2. Pengeluaran air melalui difusi pada proses pengeringan sekunder. Model
fisik pengeringan beku dengan pemanas atas ditunjukkan dengan
Gambar 1.1, sedangkan model dengan pemanas atas dan bawah ditunjukkan dengan Gambar 2.3. Pada penelitian ini, pengertian pemanas dari atas adalah penyampaian panas melalui permukaan luar bahan yang telah mengalami pengeringan, sehingga panas merambat melalui lapisan kering ke lapisan sublimasi. Sementara itu pemanasan dari bawah adalah proses pemanasan yang menyebabkan panas merambat ke lapisan sublimasi melalui lapisan beku bahan. Pemanas Atas Uap
x=0
Panas Bahan Kering Bahan Beku
x=L
Lapisan Sublimasi
Panas Pemanas Bawah
Gambar 2.3. Model fisik pengering beku dengan pemanas bawah 12
Pada pengeringan beku dengan pemanasan atas dan bawah, panas dipindahkan ke lapisan sublimasi melalui lapisan kering dan melalui lapisan beku. Panas ini digunakan untuk sublimasi dan mengeluarkan sebagian air terikat (Gambar 2.3). Pada pengeringan dengan pemanasan atas saja, suhu lapisan sublimasinya dianggap tetap sebesar Ttb, sedangkan pada pengeringan dengan pemanasan atas dan bawah, suhu lapisan sublimasi , TX, akan naik dari Ttb, (pada
TX = Ttb + (TL – Ti)(X/L)n, 0 ≤ X ≤ L.
x=0) ke TL (pada x=L).
[1]
merupakan faktor approksimasi profil suhu interface. Sedangkan flux massa airnya, N w = (W0 − WL ) Berdasarkan
Gambar 2.3,
dX . dt1
[2]
persamaan keseimbangan energi pada lapisan
sublimasinya adalah
kd
Ts − TX T − TX + kf L = NwHs X L− X
[3]
Dengan substitusi Persamaan 1 dan 2 ke Persamaan 3 maka akan didapat waktu pengeringan primer. Energi yang digunakan untuk pengeringan beku ini meliputi : energi pembekuan, energi pengeringan dan energi komponen pendukung seperti perangkap uap (cold trap). Energi pembekuan produk dapat dihitung dengan Persamaan 4.
Qb = mbh Cpbh (Tbh − T f ) + mi Li + mi Cpi (Tb − T f )
[4]
Sedangkan energi pengeringan dihitung dengan Persamaan 5. Qsb = msb H s + ma Cpk (Ta − Tsb )
[5]
Sementara itu untuk menghitung energi yang digunakan pada cold trap, digunakan pendekatan
bahwa energi untuk menangkap uap ke dinding pipa
tembaga cold trap (koil) adalah energi untuk mengubah uap menjadi lapisan es, atau kebalikan dari sublimasi. Dengan demikian energi cold trap per kg produk dapat diketahui dengan membaca nilai enthalpi hgi dari tabel uap. Selain itu, untuk menghitung Energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan kondisi vakum digunakan Persamaan 6. dWv = Vchdp,
[6]
13
sedangkan besarnya tekanan vakum pada detik tertentu ditunjukkan dengan Persamaan 7. ⎛ S pt ⎞ ⎟⎟ + p st p v = ( p o − p s t )exp⎜⎜ − ⎝ Vch ⎠
[7]
Dengan demikian maka Wv dihitung dengan mengintegralkan Persamaan 8 dari to = awal pemvakuman sampai tap = t akhir pemvakuman.
(
[
]
)
Sp Wv = Vch ∫ ( p0 − p st ) exp − Vch + p st dp
[8]
Penyelesaian Persamaan 8 dilakukan dengan integral numerik menggunakan metode simpson.
14