1
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMA KONFESIONAL DALAM MENINGKATKAN KERUKUNAN SOSIAL BERAGAMA ANTAR SISWA DAN KESADARAN PLURALITAS AGAMA SISWA DI SMA NEGERI I MAGELANG DAN SMA NEGERI I MUNTILAN KABUPATEN MAGELANG TAHUN PELAJARAN 2014-2015 TESIS
Disusun Oleh: M.MISBAHUL MUTHI, S.Ag NIM : M113011 Tesis diajukan sebagai pelengkap persyaratan untuk gelar Magister Pendidikan Islam
PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) SALATIGA 2015
2
PERNYATAAN KEASLIAN
“ Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis ini merupakan hasil karya sendiri dan sepanjang pengetahuan dan keyakinan saya tidak mencantumkan tanpa pengakuan bahan-bahan yang telah di publikasikan sebelumnya atau ditulis oleh orang lain, atau sebagian bahan yang pernah diajukan untuk gelar atau ijasah pada Institut Agama Islam Negeri Salatiga atau perguruan tinggi lainnya.”
Salatiga, 26 September 2015 Yang membuat pernyataan
Muhammad Misbahul Muthi‟, S.Ag.
3
Implementation of confessional Religious Education in Enhancing Social Harmony Between Students of Religion and Religious Plurality Awareness Students at SMAN I Magelang and SMA I Muntilan Magelang District Academic Year 2014/2015
ABSTRACT The purpose of this research is to investigate the implementation of confessional religious education in promoting social harmony among students of religion and religious plurality awareness of students in SMA and SMA I Magelang Magelang regency I Muntilan school year 2014/2015. This research is descriptively qualitative approach to the sociology of religion. Taknik data collection using observation, interviews, and documentation. The study concluded that SMA I Magelang and SMA I Muntilan Kabupatn Magelang confessional religious education and taught by a teacher who co-religionists. With the implementation of this confessional religious education, students are increasingly convinced of the truth of his religion and considers religion is a religion which believes that most benar.Realita plurality of religions, making students tolerant and respect other religions with the interaction soisial harmonious and conducive. Problematic teaching of religious education is confessional schools do not group students into classes based on religion, and schools do not have lab religion for religious minorities, as well as the schools do not have permanent teachers for religious minorities.
4
PRAKATA
Alhamdulillahi robbil alamin, berkat limpahan rahmat dan kenikmatan yang di berikan Allah SWT kepada penulis yaitu nikmat kekuatan, nikmat kemudahan berpikir, nkmat kesehatan jasmani dan rohani, serta nikmat kesabaran akhirnya penulis bisa menyelesaikan tesis ini. Tesis
ini
membahahas
tentang
implementasi
pendidikan
agama
konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa dan kesadaran pluralitas agama siswa di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang Tahun Pelajaran 2014/2015. Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui bagaimana implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa dan kesadaran pluralitas agama siswa di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan. Dalam penyusunan tesis ini banyak sekali hambatan yang penulis hadapi, berkat bantuan, bimbingan, dan kerjasama darai berbagai pihak, sehingga tesis ini penulis selesaikan. Penulis awali dengan menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Rektor IAIN Salatiga Bapak Dr.H.Rahmat Hariyadi,M.Pd, Bapak Direktur Program Pasca Sarjana IAIN Salatiga Bapak Dr.H.Zakiyuddin,M.Ag, dan Bapak Dr.H.Saadi, M.Ag selaku pembimbing tesis ini, yang telah membimbing penulisan tesis ini dengan penuh kesabaran, sehingga tesis ini bisa selesai tepat waktu.
5
.Ungkapan terimakasih yang sedalam-dalamnya juga penulis sampaikan kepada: 1. Istriku, Sulistyowati, S.Pd.SD yang selalu membantu dan mendoakan penulis dalam segala hal ketika penulis menempuh pendidikan S.2 ini, sehingga akhirnya penulis bisa menyelesaikan tesis ini. 2. Anak-anakku Husnatuzzahroh dan Muhammad Zabarjad yang senantiasa mendoakan ayahnya dalam menempuh pendidikan S.2
dan dalam
penulisan tesis ini. 3. Bapak Muchtar Aziz dan Ibu Nok Sunantiyah yang memberikan dukungan moral dan mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan S.2 ini. 4. Keluarga Besar SMA Negeri I Magelang yang telah memberikan informasi-informasi yang penulis butuhkan dalam tesis ini. 5. Keluarga Besar SMA Negeri I Muntilan yang telah memberikan informasi-informasi yang penulis butuhkan dalam tesis ini. 6. Ibu Nur Solekhah,S.Pd yang memberikan motivasi penulis dalam menempuh pendidikan S.2 ini. 7. Ibu Santi Renaning Tyas,S.Pd yang membantu penulis dalam tatacara penulisan tesis ini. 8. Pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
6
Akhirnya tesis ini bisa diajukan kepada tim penguji, dan semoga tesis ini bisa memberikan manfaat kepada kita semua.
Salatiga, 26 September 2015
Penulis
7
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………………………...
i
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………….
ii
HALAMAN PERNYATAAN………………………………………………………
iii
ABSTRAK……………………………………………………………………….iv PRAKATA………………………………………………………………………..v DAFTARISI…………………………………………………………………… .vi DAFTARLAMPIRAN………………………………………………………… vii
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................... A. B. C. D. E. F.
BAB II
Latar Belakang Masalah............................................ Rumusan Masalah…………………………………. Signifikansi Penelitian…………………………… Kajian Pustaka…………………………………… Metode Penelitian………………………………… Sistematika Penulisan ……………………………
1 1 7 8 10 18 23
KAJIAN TEORI………………………………………
25
A. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional …… 1. Pengertian Pendidikan Agama Konfesional…… 2. Sejarah Pendidikan Agama Konfesional di Indonesia B. Kerukunan Sosial Umat Beragama…………………. 1. Pengertian Kerukunan Sosial Umat Beragama… 2. Sejarah Pembinaan Kerukunan Sosial Umat Beragama di Indonesia…………………………………… C. Pluralisme Agama………………………………… 1. Pengertian Pluralisme………………………… 2. Pengertian Pluralisme Agama ………………… 3. Sejarah dan Perkembangan Pluralisme Agama… 4. Tokoh-Tokoh Penganut Paham Pluralisme Agama……
25 25 29 32 32 33 36 36 37 43 47
8
5. Pandangan Agama-Agama Terhadap Pluralisme Agama… 50
BAB III
Presentasi Data Penelitian………………………………………… 54 A. Profil SMA Negeri I Magelang……………………………… 54 1. Gambaran Umum SMA Negeri I Magelang…………… 54 2. Sejarah Berdirinya SMA Negeri I Magelang…………… 55 3. Fasilitas SMA Negeri I Magelang………………………… 57 4. Keadaan Guru/Pegawai, dan Siswa……………………… 57 5. Kegiatan Ekstra Kurikuler SMA Negeri I Magelang……… 58 6. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional…………… 60 B. Profil SMA Negeri I Muntilan………………………………… 63 1. Gambaran Umum SMA Negeri I Muntilan……………… 63 2. Fasilitas SMA Negeri I Muntilan……………………… 63 3. Keadaan Guru/Siswa……………………………………… 64 4. Prestasi SMA Negeri I Muntilan………………………… 65 5. Kegiatan Ekstrakurikuler………………………………… 65 6. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional…………… 66
C. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa DanKesadaran Pluralitas Agama Siswa di SMA Negeri I Magelang……………………………………………………… 68 1. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa 68 2. Kesadaran Pluralitas Agama Siswa…………………… 87 D. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa Dan Kesadaran Pluralitas Agama Siswa di SMA Negeri I Muntilan…………………………………………………… 94 1. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa 94 2. Kesadaran Pluralitas Agama Siswa…………………… 108
BAB IV
Upaya Peningkatan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa
9
Dan Pluralitas Agama Siswa Di SMA Negeri I Magelang Dan SMA Negeri I Muntilan………………………………………… 111 A. Upaya Sekolah Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa Dan Pluralitas Agama Siswa……… 111 1. Upaya SMA Negeri I Magelang Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa Dan Pluralitas Agama Siswa…………………………………………… 111 2. Upaya SMA Negeri I Muntilan Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa Dan Pluralitas Agama Siswa…………………………………………… 112 B. Faktor-Faktor Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa…… 113 1. Faktor-Faktor Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa di SMA Negeri I Magelang……………………………… 113 2. Faktor-Faktor Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa Di SMA Negeri I Muntilan……………………………… 114 C. Aktifitas-Aktifitas Keagamaan Peserta Didik……………… 116 1. Aktifitas-Aktifitas Keagamaan Peserta Didik SMA Negeri I Magelang……………………………… 116 2. Aktifitas-Aktifitas Keagamaan Peserta Didik SMA Negeri I Muntilan……………………………… 117 D. Upaya Siswa Dalam Menyikapi Pluralitas Agama……… 118 1. Upaya Siswa SMA Negeri I Magelang Dalam Menyikapi Pluralitas Agama…………………………… 118 2. Upaya Siswa SMA Negeri I Muntilan Dalam Menyikapi Pluralitas Agama…………………………… 120 E. Implementasi Kebijakan Sekolah Terhadap Pendidikan Agama Konfesional………………………………………………… 121 1. Implementasi Kebijakan SMA Negeri I Magelang Terhadap Pendidikan Agama Konfesional………………………… 121 2. Implementasi Kebijakan SMA Negeri I Muntilan Terhadap Pendidikan Agama Konesional………………………… 124 F. Faktor-Faktor Pendukung Dan Penghambat Pembelajaran Pendidikan Agama Konfesional…………………………… 126 1. Faktor-Faktor Pendukung Dan Penghambat Pembelajaran
10
Pendidikan Agama Konfesional SMA Negeri I Magelang 126 2. Faktor-Faktor Pendukung Dan Penghambat Pembelajaran Pendidikan Agama Konfesional SMA Negeri I Muntilan 129
BAB V
PENUTUP………………………………………………………
131
A. Kesimpulan …………………………… B. Saran…………………………………………………………
131 135
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
137
LAMPIRAN…………………………………………………………………
139
BIOGRAFI PENULIS……………………………………………………… . 140
11
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Magelang merupakan salah satu daerah yang penduduknya multikultural dan plural, karena terdiri dari berbagai etnis, yakni Jawa, Arab, Tionghoa dan terdiri dari berbagai macam agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Sejarah mencatat berbagai konflik dan kerusuhan mengisyaratkan bahwa keragaman yang ada di dunia ini, apabila tidak disikapi secara jernih dan bijak maka akan menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat.1 Untuk menjaga agar konflik dan kerusuhan tidak tidak meledak perlu ditanamkan sikap toleransi, yakni kesiapan dan kemampuan batin untuk kerasan bersama orang lain yang berbeda secara hakiki meskipun terdapat konflik dengan pemahaman anda tentang apa yang baik dan jalan hidup yang layak.2 Penanaman sikap toleransi tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi melalui proses yang sangat panjang yaitu dengan memberikan pendidikan agama. Model penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia ada dua model, yaitu:
1
Fina „Ulya, “ Racikan Kesatuan Transendental ala Ibnu „Arabi, Rumi, dan Al-Jili “Studi Agama-agama, Volume 9, nomor 1 (Januari 2013), 142. 2 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005, 79.
12
1. Model Pendidikan Agama Konfesional Model pendidikan agama konfesional yaitu model penyelenggaraan pendidikan agama sesuai dengan agama peserta didik, dan diajarkan oleh guru yang seagama. 2. Model Pendidikan Agama Non-Konfesional Model pendidikan agama non-konfesional yaitu model penyelenggaraan satu macam pendidikan agama.3 Selain penanaman sikap toleransi perlu juga penanaman sikap multikulturalisme yaitu membantu pihak-pihak yang saling berbeda untuk dapat membangun sikap saling menghormati satu sama lain terhadap perbedaan-perbedaan dan kemajemukan yang ada, agar tercipta perdamaian dan kesejahteraan seluruh umat manusia.4 Kenyataan pluralitas juga ditegaskan dalam al-Qur‟an Surah al-Baqarah ayat 256:
ال اكراه يف الدين صلى قد تبني الرشد من الغيج فمن يكفر بالطغوت ويؤمن باهلل فقد 5 استمسك بالعروة الوثقى الانفصام ذلا قلى وهللا مسيع عليم “Tidak ada paksaan dalam menganut agama, sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
3
Muh Saerozi, Abstraksi Bahan Kuliah Perkembangan Pemikiran pendidikan Islam, Program Pasca Sarjana IAIN Salatiga, Semester II, 2014. 4 Ata, Ujan, & Andre, Teori Kerukunan Umat Beragama, Jakarta: Indeks, 2011, 15. 5 Al-Qur‟anul Karim, Surah 2:256.
13
Ajaran agama Islam meluruskan dan menyempurnakan ajaran agama yang dibawa para Nabi dan Rasul. Islam
disampaikan Nabi
Muhammad sebagai agama rahmatan lil „alamiin dan tidak ingin pemeluk agamanya merasa terpaksa dalam memeluk ajaran agama Islam tersebut. Islam sangat menginginkan supaya orang-orang yang memeluk agama Islam memang betul-betul atas kesadarannya sendiri dan mendapat hidayah dari Allah. Ayat tersebut sekaligus mempertegas, bahwa Islam sangat menghargai pluralitas agama. Pluralitas di sini bukan menganggap semua agama benar, tetapi menyangkut masalah-masalah sosial beragama, yakni Islam sangat menekankan kerukunan antar umat beragama dalam hal kehidupan sosial. Ayat tersebut juga menjelaskan tentang adanya jaminan untuk menjalankan ibadah dengan aman dan tenteram. Hanya tinggal kita yang mempertanggung jawabkan nanti dihadapan Allah SWT, dan hanya Allahlah yang berhak menentukan siapa yang benar-benar bertaqwa kepada Allah.6 Penanaman rasa toleransi beragama dan pluralisme agama yang paling efektif adalah melalui pendidikan, yakni memberikan pendidikan agama konfesional. Hal tersebut dipertegas lagi dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 12 ayat 1 bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai
6
Muhammad Abduh, Tafsir Juz „Amma, Bandung: Mizan, 1998, 384.
14
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.7 Pluralisme agama di Indonesia merupakan realitas empiris sosial, ia lahir bersifat sosiologis. Hal inilah yang menyebabkan pluralisme tidak bisa dihindari. Pluralisme beragama sangat dibutuhkan dalam penanaman nilai-nilai kemanusiaan demi terciptanya kerukunan hidup, baik intern umat beragama , kerukunan antar umat beragama, maupun kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Sebagaimana tiga prinsip dasar Kementrian Agama yang dapat dijadikan sebagai landasan toleransi antar umat beragama di Indonesia, ketiga prinsip dasar yang dimaksud adalah: (1) Kerukunan intern umat beragama. (2) Kerukunan antar umat beragama. (3) Kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.8 Islam sangat menghargai pluralitas, karena Islam ingin umat Islam hidup damai dan berdampingan dengan penganut agama-agama lain serta toleransi terhadap agama dan budaya-budaya yang berbeda. Pendapat tersebut dibenarkan dan mendapat pengakuan dari agama lain seperti Yahudi dan Kristen, walaupun Yahudi tidak mengakui Isa sebagai Tuhan dan Kristen tidak mengakui Muhammad sebagi Nabi, sebagaimana pendapatnya Mutahhari ( 2004 ):
7
UU Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 12. 8
Departemen Agama RI, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, 1982/1983, 13.
15
“ As far as social pluralism is concerned, Islam seek for peaceful co-existence and mutual tolerance between the people of different religions and cultures. Among the three Abrahamic religion, it is only Islam which has accorded recognition to Judaism and Christianity. Judaism does not recognize Jesus as the awaited Messiah or the prophet, and Christianity does not recognize Muhammad as the true prophet and messenger of God”.9 “Sejauh Pluralisme sosial yang bersangkutan, Islam menginginkan kedamaian dan saling toleransi antar umat beragama dan budaya yang berbeda. Di antara tiga agama Ibrahim; hanya Islam yang telah diberikan pengakuan agama Yahudi dan Kristen. Yahudi tidak mengakui Isa sebagai Tuhan atau Nabi, dan umat Kristen tidak mengakui Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Tuhan.” Pluralisme merupakan upaya membangun kesadaran sosial, di mana kita berada dalam masyarakat yang plural baik dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai ragam sosial budaya.10 Pluralisme juga tidak sekedar aspek teologis saja, tetapi mencakup aspek-aspek kehidupan yang lain. Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan hubungan dan kerjasama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.11 Untuk itu pendidikan agama konfesional sangat diperlukan, supaya pluralisme ini bisa menjadikan perantara penyatuan persepsi antar umat beragama, sehingga tidak akan terjadi lagi miscommunication dan misunderstanding. Berkaitan dengan teori kerukunan umat beragama, ada beberapa paradigma yang erat kaitannya dengan kerukunan beragama, di antaranya inklusivisme, toleransi, dan pluralisme. Inklusivisme adalah 9
Murtadha Mutahhari, Islam and Religious Pluralism, Canada: Islamic Publishing House, 2004, 4. 10 Moh Shofan, Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme-Konsrvatif di Tubuh Muhammadiyah, Jakarta: 2008, 87. 11 Toto Suryana, “ Konsep dan Aktualisasi Kerukunan antar Umat Beragama “, Ta‟lim, Volume 9, Nomor 2 (2011), 132.
16
suatu paham yang melihat bahwa kebenaran bukan hanya pada kelompoknya sendiri, melainkan terbuka dengan kelompok lain bahkan agama yang berbeda. Cak Nur memberikan penjelasan bahwa inklusivisme merupakan satu sikap yang bertujuan untuk menumbuhkan sikap kejiwaan yang melihat kemungkinan orang lain itu benar, karena didasari bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah.12 Selain teori kerukunan umat beragama diatas, masih ada beberapa pemikiran dalam mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, contohnya ajaran agama yang disampaikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri yang benar dengan tujuan supaya penganut agama lain masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan).13 Pendidikan
agama
di
sekolah-sekolah
diajarkan
dengan
menggunakan dua cara yaitu diajarkan secara konfesional dan diajarkan secara non konfesional, tergantung pada kebijakan di sekolah tersebut.
12
Sabara, “Potret Kerukunan Umat Beragama”, Al-Fikr, Volume 17, Nomor 3 (2013),
83-84. 13
Ali Imron, “Kearifan Lokal Hubungan antar Umat Beragama di Kota Semarang”, Riptek, Volume 5, nomor 1 (2011), 7-18.
17
Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pasal 12, tetapi kenyataanya masih ada sekolahsekolah yang mengajarkan pendidikan agama non konfesional, walaupun para siswanya plural. Berdasarkan penjelasan di atas penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Implementasi Pendidikan Agama Konfesional dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa dan Kesadaran Pluralitas Agama Siswa di SMA Negeri I Kota Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang Tahun Pelajaran 2014/2015, karena kedua SMA tersebut siswanya plural dan multikultural. B.
Rumusan Masalah Berkenaan implementasi pendidikan agama konfesional terdapat beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi: Pertama, konteks keberagamaan para siswa. Kedua, problematika pengajaran pendidikan agama konfesional. Ketiga, implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan beragama siswa dan pluralisme agama siswa. Untuk lebih jelasnya dalam pembahasan ini, maka penulis membatasi permasalahan yakni implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa dan kesadaran pluralitas beragama siswa di SMA Negeri I kota
18
Magelang dan SMA I Muntilan kabupaten Magelang Tahun pelajaran 2014/2015. Berdasarkan identifikasi dan pembatasan permasalahan diatas, maka penulis bisa bisa mengemukakan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa di SMA Negeri I Kota Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015? 2. Bagaimana kesadaran pluralitas beragama siswa di SMA Negeri I Kota Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015? 3. Apa problematika pengajaran pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I Kota Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015?
C. Signifikansi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a.
Mengetahui implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa di SMA
19
Negeri I kota Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015. b. Mengetahui kesadaran pluralitas beragama siswa di SMA Negeri I kota Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015. c.
Mengetahui problematika pengajaran pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I kota Magelang dan SMA Negeri I muntilan kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015.
2. Manfaat Penelitian a.
Manfaat Teoritik Secara akademis penelitian ini sebagai tambahan referensi dalam kajian pendidikan pendidikan agama Islam, khususnya tentang pendidikan agama konfesional, dan penelitian ini juga bisa digunakan sebagai alat evaluasi sejauh mana sekolah-sekolah yang siswanya plural menyelenggarakan pendidikan agama konfesional.
b. Manfaat Praktis 1) Bagi sekolah yang para siswanya plural, hasil dari penelitian ini bisa
digunakan
sebagai
referensi
dalam
melaksanakan
pembelajaran pendidikan agama konfesional. 2) Bagi guru yang mengajar di sekolah yang siswanya plural, hasil dari penelitian ini bisa di gunakan sebagai acuan melaksanakan pendidikan agama konfesional.
20
3) Bagi pengawas pendidikan agama, hasil penelitian ini dapat di gunakan sebagai bahan dalam pembinaan guru agama. 4) Bagi Kementrian Agama, hasil penelitian ini dapat di pakai dalam mengevaluasi implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan beragama antar siswa dan kesadaran pluralisme beragama siswa.
D.
Kajian Pustaka Terkait dengan implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan beragama antar siswa dan kesadaran pluralisme agama siswa terdapat beberapa penelitian yang relevan, diantaranya: Penelitian tentang Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme Telaah Historis Atas Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konfesional di Indonesia.14 Hasil penelitian ini menyatakan, bahwa politik pendidikan agama ini bertujuan untuk menemukan pola pendidikan agama yang sedang berlangsung di Indonesia dan menemukan akar historisnya serta menemukan rumusan teoritik pendidikan agama yang relevan dengan realitas kemajemukan. Hasil penelitian selanjutnya adalah: (1) Pendidikan agama yang sedang berlangsung di Indonesia berpola konfesional, yakni Negara memberikan
14
Muh Saerozi, Politik Agama dalam Era Pluralisme Telaah Historis Atas Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konfesional di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2003.
21
legitimasi pendidikan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik sesuai agamanya. (2) Pendidikan agama mendapat ijin untuk
diajarkan
di
sekolah-sekolah
pemerintah.
(3)
Indonesia
memerlukan kebijaksanaan pendidikan agama yang memberdayakan kelompok keyakinan minoritas, sehingga Negara bersih dari pola dominasi atau penelantaran. Pola pemberdayaan ini diusung dari konsep pluralisme agama konfesional. Penelitian yang lain mencermati tentang Posisi Strategis Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia.15 Hasil penelitian ini menyatakan, perkembangan pendidikan Islam mengalami kenaikan yang signifikan, yaitu sejak jaman sebelum kemerdekaan (zaman penjajahan) di mana pada masa itu pendidikan agama boleh diajarkan, kemudian masa Orde Lama pendidikan agama mulai diajarkan di tingkat sekolah sampai pada masa Orde Baru sampai sekarang pendidikan wajib diajarkan disekolah sekolah sejak dari tingkat SD sampai perguruan Tinggi. Jadi
Pendidikan Islam di Indonesia
berkembang karena Penguasa (Pemerintah) di Indonesia mendukung pendidikan Islam, seandainya Penguasa (Pemerintah) tidak mendukung pendidikan Islam baik dari masa penjajahan, orde lama, orde baru tentu Pendidikan Islam di Indonesia tidak akan mengalami perkembangan
15
Amin Haedari, “Posisi Strategis Pendidikan Agama”, dalam bukunya Nunu Ahmad An-Nahidl dkk, Pendiddikan Agama di Indonesia Gagasan dan Realitas, Jakarta, Puslitbang Pendidikan Agama dan keagamaan Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010, v-viii.
22
mungkin boleh jadi Pendidikan Islam tidak ada di Indonesia meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Penelitian yang lain mencermati tentang konsep multikulturalisme dan pluralisme dalam pendidikan agama upaya menguniversalkan pendidikan agama dalam ranah keIndonesiaan.16 Hasil penelitian ini menyatakan, konsep multikulturalisme dan pluralisme ini memang sudah wajar diterapkan di dunia pendidikan Indonesia, khususnya di mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama dengan harus bersyaratkan pada satu hal, yaitu komitmen yang kokoh dari peserta didik sebagai pemeluk agama ke agamanya masing-masing. Seorang multikulturalis dan pluralis dalam berinteraksi dengan beraneka ragam, suku, budaya, dan bahasa tentunya tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar menghormati mitra dialognya, tetapi yang paling terpenting ia harus komitmen terhadap agama yang dianutnya Penelitian yang lain mencermati tentang politik hukum kerukunan umat beragama di Indonesia sejak masa transisi politik 1998 sampai dengan tahun 2008.17 Hasil penelitian ini menyatakan, model-model politik hukum yang digunakan oleh setiap rezim tersebut dilakukan untuk mengukur sampai sejauh mana proses demokratisasi menyentuh persoalan yang lebih esensial di dalam kehidupan masyarakat, yaitu persoalan 16
Muhandis Azzuhri, Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama Upaya Menguniversalkan Pendidikan Agama Dalam Ranah keIndonesiaan, Forum Tarbiyah, Volume.10, No.1, Juni (2012), 27-28. 17 Abdi Kurnia, Politik Hukum Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Sejak Masa Transisi Politik 1998 Sampai dengan 2008, Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta: 2010.
23
kerukunan umat beragama, dan menyarankan agar pemerintah mendorong segera diterbitkanya sebuah undang-undang yang mengatur kerukunan umat beragama yang dengannya umat beragama benar-benar memperoleh jaminan kemerdekaan di dalam melaksanakan keagamaan. Penelitian yang lain mencermati tentang pemikiran Soren Kierkegaard tentang hakekat agama konstribusinya bagi dialog dan kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia.18 Hasil peneltian ini menyatakan, hakekat agama sebagai wilayah paradox berhadapan dengan hidup sebagai sebuah misteri, manusia terus menerus bergulat memberi makna kepada hidup itu baik secara bersama-sama maupun secara individu. Salah satu hal yang diandalkan manusia untuk berhadapan dengan misteri hidup itu adalah agama, karena melalui agama, manusia berharap bisa dibantu mengatasi berbagai persoalan hidup yang tidak bisa diatasi oleh nalar. Dan agama sebagai wilayah kebenaran subyektif memberikan berbagai kritik terhadap cara-cara tradisional manusia dalam memahami kebenaran yang semuanya bersifat obyektif. Penelitian yang lain mencermati tentang kerukunan intern umat beragama di kota Gerbang Salam melacak peran forum komunikasi ormas Islam (Fokus Pamekasan).19 Hasil dari penelitian ini menyatakan, bahwa kabupaten Pamekasan dilihat dari sisi keberagamaan masyarakatnya, 18
Hipolitus Kristoforus Kewuel, Pemikiran Soren Kierkegaard Tentang Agama: Kontribusinya Bagi Dialog dan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, Disertasi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: 2012. 19 Nor Hasan, Kerukunan Intern Umat Beragama di Kota Gerbang Salam: Melacak Peran Forum Komunikasi Ormas Islam (Fokus) Pamekasan, Nuansa, Volume 11, No.2 Juli-Desember (2014), 267-268.
24
termasuk masyarakat majemuk atau plural. Kemajemukan agama di kota Gerbang Salam ini (Pamekasan) ditandai dengan eksisnya semua agama resmi seperti: Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Khong Hucu. Namun demikian, kemajemukan pemeluk agama ini tidak menjadikan Pamekasan menjadi kota konflik antar pemeluk agama. Kerukunan ini dikarenakan keterlibatan aktif masyarakat dan tokoh agama dalam menciptakan suasana kondusif dalam bingkai kehidupan rukun antar maupun intern umat beragama. Keterlibatan Fokus Pamekasan ini memberikan kantribusi nyata terhadap penciptaan kerukunan umat beragama di Pamekasan. Penelitian yang lain mencermatai tentang Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Periode 1973-1983.20 Hasil dari penelitian ini menyatakan, bahwa: (1) eksistensi fungsional kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa terimbas pararel oleh pasang surut pemikiran keagamaan dan perjuangan idiologis para elit nasionalis islami dalam forum-forum legislatif yang demokratis yang dijamin secara legal konstitusional. (2)
eksistensi fungsional kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa juga dipengaruhi oleh berhasil atau tidaknya kalangan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. (3) Kerukunan hidup beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berprasyarat keterbukaan yang didukung oleh sosialisasi studi agama20
Mohammad Damami, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Periode 1973-1983 Sebuh Sumbangan Pemahaman Tentang Proses Legalisasi Konstitusional dalam Konteks Pluralisme Keberagamaan di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya: 2011.
25
agama sebagai pilar ilmiah. (4) Pemecahan masalah internal diserahkan kepada agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang bersangkutan. Penelitian yang lain, mencermati tentang Islam Radikal dan Pluralisme Agama.21 Hasil dari penelitian ini menyatakan, bahwa konstruksi para aktivis Hizb-al-Tahrir (HT) dan majelis Mujahidin (MM) dapat diklasifikasikan pada dua kategori yaitu teologis dan politis. Secara teologis, Kristen dan Yahudi dikonstruksi sebagai dua agama yang berupaya menghancurkan Islam, melalui kekerasan fisik dan kultural simbolik. Penolakan aktivis HT dan MM terhadap gagasan pluralisme agama didasarkan pada konsep monopoli kebenaran Islam. Keduanya juga dinilai sebagai agama yang melakukan penyimpangan teologis. Secara politis, orang-orang Yahudi dan Kristen dinilai berupaya menghancurkan akidah Islam, di antaranya melalui penyebaran gagasan pluralisme agama. Liberalisme pemikiran yang saat ini melanda para pemikir muslim, juga perlu diwaspadai sebagai hasil kerja Yahudi dan Kristen untuk melakukan hegemoni politik atas dunia Islam. Para aktivis menolak semua ide Barat dengan tujuan mengahiri dominasi teologis politik barat, tetapi mereka menerima sains dan teknologi barat. Penelitian yang lain mencermati tentang pola pendidikan pluralisme agama (studi di desa Wayame kecamatan Teluk Ambon kota 21
Umi Sumbulah, Islam Radikal dan Pulralisme Agama Studi Konstruksi Sosial Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang Tentang Agama Kristen dan Yahudi, Disertasi, IAIN Sunan Ampel, Surabaya: 2007.
26
Ambon).22 Hasil penelitian ini menyatakan, bahwa yang menjadi pola pendidikan pluralisme agama di desa Wayame yaitu dialog antar umat beragama biasa dilakukan di rumah ibadah, seperti masjid, dan gereja, membentuk mekanisme lokal yang biasa disebut tim 20 atau tim rujuk sosial. Pada saat konflik, tim ini bertugas untuk menjaga keamanan desa sekaligus menghadang isu atau informasi yang berbaur konflik. Dalam hal ini lewat pendekatan pendidikan-pendidikan, baik secara internal (IslamKristen) maupun secara eksternal. Secara internal, masing-masing pemeluk agama melakukan pendidikan kepada pengikutnya berdasarkan nilai-nilai toleransi. Secara eksternal pendidikan dilakukan secara umum dalam arti pembinaan dilakukan dengan menggabungkan dua komunitas. Penelitian
yang lain lagi mencermati tentang pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 12.a dan Peningkatan Sikap Keberagamaan Siswa Muslim SMP Kanisius dan SMP Smaratungga Ampel Boyolali.23 Hasil penelitian ini menyatakan, bahwa SMP non Muslim Ampel Boyolali berbeda dalam menyikapi UndangUndang Nomor 20 tahun 2003 pasal 12.a, ada yang secara terbuka memberikan pendidikan agama Islam bagi siswa Muslim, ada juga yang memberikan pelajaran religiusitas, yakni pelajaran yang membahas tentang pentingnya menjalankan ajaran agama secara umum.
22
La musni, Pola Pendidikan Pluralisme Agama (Studi di Desa Wayame Kecamatan Teluk Ambon Kota Ambon), Tesis UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2014. 23 Hidayatul Mualimah, Pelaksanaan UU No 20 Tahun 2003 Pasal 12.a dan Peningkatan Sikap Keberagamaan Siswa Muslim SMP Kanisius dan SMP Smaratungga Ampel Boyolali, Tesis, STAIN, Salatiga: 2013.
27
Dari
10
mengelompokkan
penelitian menjadi
yang 6
sudah
kelompok.
ada
di
Pertama,
atas,
penulis
penelitiannya
Muhandis Azzuhri mencermati tentang kewajaran penerapan konsep multikulturalisme dan pluralisme dalam pendidikan agama di Indonesia. Kedua, penelitiannya Muh Saerozi mencermati tentang proses legalisasi pendidikan agama di sekolah. Ketiga, penelitiannya Amin Haedari mencermati tentang kemajuan pendidikan Islam sejak sebelum kemerdekaan, orde lama, sampai orde baru. Keempat penelitiannya Abdi Kurnia, Hipolitus Kristoforus Kewuel, Nor Hasan, dan La Musni mencermati tentang kerukunan umat beragama. Kelima, penelitiannya Mohammad Damami mencermati tentang kerukunan antar umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keenam, penelitiannya Umi Sumbulah dan Hidayatul Mualimah mencermati tentang pluralisme agama. Dengan demikian beberapa deskripsi penelitian di atas berbeda dengan tema yang penulis angkat yakni implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa dan kesadaran pluralitas agama siswa di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015. Menurut Penulis, peneltian ini sangat perlu dilakukan karena tidak semua sekolah-sekolah favorit yang para siswanya plural menyelenggarakan pendidikan agama konfesional sebagaimana yang
28
dilaksanakan di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang.
E.
Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan model penelitian lapangan (field research), yaitu melakukan penelitian terhadap objek yang dituju untuk mendapatkan data yang benar dan akurat tentang implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa dan kesadaran pluralitas agama siswa di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang Tahun Pelajaran 2014/2015. Penelitian
ini
bersifat
kualitatif,
yakni
penelitian
yang
menghasilkan data deskriptif berupa tulisan atau lesan dari subjek yang diamati.24 Dengan kata lain penelitian ini disebut deskriptif kualitatif yaitu penulis menganalisis dan mendeskripsikan penelitian secara obyektif dan sedetil mungkin guna memperoleh hasil yang akurat dan bisa dipertanggung jawabkan.
24
S.Margono, Metode Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, 36.
29
2. Model dan Pendekatan Penulisan Penelitian ini berada pada bidang kajian implementasi pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang Tahun Pelajaran 2014/2015, artinya berupaya mencari jawaban bagaimana pemahaman pluralisme para siswanya di dua sekolah tersebut, dan apa problematika pengajaran pendidikan agama konfesional tersebut. Adapun metodologi penulisan, penulis menggunakan pendekatan sosilogi agama, yaitu melalui pengamatan dan penelitian mau mencari keterangan-keterangan ilmiah untuk dipergunakan sebagai sarana meningkatkan daya guna dan fungsi agama itu sendiri demi kepentingan masyarakat agama yang bersangkutan khususnya dan masyarakat luas umumnya.25 Agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, karena fungsi agama dalam masyarakat antara lain sebagai kontrol sosial yaitu agama sebagai pengawasan sosial kepada individu maupun kelompok dan sebagai pemupuk solidaritas yaitu agama mengajarkan kepada penganutnya untuk membantu dan memupuk rasa solidaritas di antara sesama manusia.26
25
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, .Yogyakarta: Kanisius, 2000, 9-10. Wahyuni, “ Peranan Agama Dalam Perubahan Sosial “ Al-Fikr, Volume 16, nomor 1 (2012),191. 26
30
Menyimak pada permasalahan penelitian ini yang berupaya mencari jawaban tentang implementasi pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang Tahun Pelajaran 2014/2015, maka penulis menggunakan pendekatan sosiologis yaitu penulis berinteraksi sosial dengan siswa. Pendekatan ini penulis lakukan agar siswa yang beragama non-muslim tidak merasa diteliti sehingga lebih terbuka dalam memberikan jawaban.
3. Lokasi Penelitian Kota Magelang memiliki SMA Negeri sejumlah lima sekolah, tetapi yang paling favorit adalah SMA Negeri I, karena SMA Negeri I merupakan sekolah RSBI walaupun istilah RSBI sekarang sudah dihapus, namun penghpusan status tersebut tidak mempengaruhi prestasi SMA Negeri I kota Magelang tersebut, sehingga peminatnya semakin banyak.Berdasar survey awal penulis pada hari sabtu 14 Maret 2015 para siswanya plural walaupun mayoritas muslim, tetapi siswa muslim tetap menghormati siswa non-Muslim. Begitu juga pada SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang, tidak jauh berbeda dengan SMA Negeri I Magelang. SMA Negeri I Muntilan ini juga merupakan sekolah favorit di Kabupaten Magelang di
31
mana para siswanya plural walaupun mayoritas muslim, tetapi mereka tampak berteman dengan baik, saling menghargai satu sama lain. 4. Sumber Data Untuk menghasilkan penelitian yang valid dan akurat, penulis mencari sumber data primer, yaitu dengan cara observasi, interview, dan dokumentasi data di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang. Selain sumber data primer tersebut, supaya penelitian ini lebih sempurna, penulis juga memanfaatkan sumber data sekunder dan tersier, yaitu berupa disertasi, tesis, skripsi, dan jurnal, sebagaimana yang penulis cantumkan dalam kajian pustaka diatas.
5.
Teknik Pengumpulan Data Dalam
pengumpulan
data
pada
penelitian
ini,
penulis
menggunakan cara atau teknik sebagai berikut: a. Observasi Dengan metode ini, penulis akan mengambil dan mengumpulkan data yang dibutuhkan dan berkaitan dengan judul penelitian dengan cara mengamati pembelajaran pendidikan agama dan mengamati interaksi antar siswa dan interaksi antar
32
guru agama di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang. b. Interview Metode ini, penulis gunakan untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan dengan cara wawancara terhadap beberapa siswa yang mewakili kelompok agama masing-masing dan mewancarai masing-masing guru agama. c. Dokumentasi Data Dokumentasi data yang penulis gunakan yaitu dengan mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dan berkaitan dengan implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan
kerukunan
beragama
antar
siswa
dan
kesadaran pluralisme agama siswa, baik berupa foto-foto tulisan, hasil dari wawancara dan observasi, serta data-data pendukung lainnya. 6.
Teknik Analisis Data Teknik analisa data yang penulis lakukan, yaitu mengolah datadata yang penulis peroleh dari hasil observasi, interview, maupun dokumentasi data. Selanjutnya untuk memperoleh gambaran yang valid, penulis menganalisa data yang sudah masuk. Untuk analisis data dilakukan dengan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
33
dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, serta membuat kesimpulan sehingga mudah di pahami oleh diri sendiri maupun orang lain.27 Untuk mendapatkan data yang valid, penulis melakukan analisa data dengan melalui tiga fase, yakni: a. Melakukan penyaringan dan pemilihan data yang diperoleh dengan memisahkan data yang diperlukan dan tidak diperlukan
oleh
pendidikan
peneliti,
agama
yakni
konfesional
tentang implementasi dalam
meningkatkan
kerukunan beragama antar siswa dan kesadaran pluralisme agama siswa. b. Menyajikan data dengan cara mendeskripsikan data-data yang sudah disaring dan dipilih. c. Menarik kesimpulan dari data-data yang sudah disaring dan disajikan, dimulai dari hal-hal yang sifatnya khusus kemudian dijabarkan menjadi sebuah gambaran yang sifatnya umum.
F.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan proposal tesis ini sebagai berikut:
27
Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta,2009, 335.
34
BAB I Pendahuluan. Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II. Pada bab ini lebih banyak memberikan tekanan pada kajian atau landasan teoritis dalam menunjang permasalahan yang berisikan konsep tentang implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan beragama antar siswa dan kesadaran pluralisme agama siswa. BAB III. Pada bab ini akan dikemukakan tentang gambaran umum SMA Negeri I Magelaang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015. BAB IV. Pada bab ini berisi pemaparan data beserta analisis deskriptif tentang implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerikunan beragama antar siswa dan kesadaran pluralisme agama siswa di SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan kabupaten Magelang tahun pelajaran 2014/2015. BAB V. Pada bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian, disertai saran.
35
BAB II KAJIAN TEORI A. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional 1. Pengertian Pendidikan Agama Konfesional Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlah
mulia,
serta
keterampilan
yang
diperlukan
dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara.28 Pendidikan agama konfesional adalah pendidikan agama sesuai dengan agama peserta didik dan diajarkan oleh guru yang seagama.29 Pendidikan agar bisa terarah dan mencapai tujuan harus memperhatikan
proses-proses
pembelajaran
yang
harus
dilaksanakan, sebagaimana pendapatnya Florence Beetlestone: a. Konsep
(concept)
–
generalisasi
yang
membantu
mengklasifikasikan dan mengorganisasikan pengetahuan dan pengalaman serta untuk memprediksi. b. Sikap (attitude) – ekspresi nilai-nilai dan kualitas personal yang menentukan tingkah laku dalam berbagai situasi.
28
UU No 20 Tahun 2003, op.cit, bab I pasal I. Op.cit, Abstraksi Bahan Kuliah Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam, Program Pasca Sarjana IAIN Salatiga, Semester II, 2014. 29
36
c. Skil (skill) – kapasitas atau kompetensi untuk melaksanakan sebuah tugas atau aktifitas. d. Pengetahuan (Knowledge) – informasi yang dibutuhkan untuk menjalankan sebuah tugas atau untuk memahami sebuah konsep.30 Proses-proses pembelajaran Florence Beetlestone tersebut sejalan dengan proses-proses pembelajarannya R.S.Peters, yakni: a. Training (Latihan) Consider, first of all, the learning of skills. This presents it self preeminently as a task to the learner. Pertimbangan pertama, membekali pengetahuan keterampilan sangat dibutuhkan, sekarang ini pelajar dituntut untuk ungggul. b. Instruction and learning by experience (Instruksi dan pemberian pengetahuan berdasarkan pengalaman) Knowing what things are and that certain things are the case is a matter of developing a conceptual scheme that has to be fitted to phenomena. Membangun pengetahuan dengan contoh benda secara nyata merupakan konsep sang sangat cocok. c. Teaching and the learning of principles (Mengajar dan belajar merupakan prinsip) If the knowledge of the human race had ended with Aristotle this account of knowledge and of the methods necessary to acquire it might be sufficient. Pengetahuan umat manusia sebagaimana pada akhir masa arestoteles untuk memperoleh pengetahuan yang cukup harus menggunakan metode yang tepat. d. The transmission of critical thought (Transmisi dari pikiran kritis) Societies can persist in which bodies of knowledge with principles immanent in them can be handed on without any systematic attempt to explain and justify them or to deal honestly with phenomena that do not fit. 30
Florence Beetlestone, Creative Learning Strategi Pembelajaran Untuk Melesatkan Kreatifitas Siswa, Bandung: Nusa Media, 2012, 39.
37
Budaya bisa bertahan dalam kerangka ilmu pengetahuan harus dengan prinsip yang bisa memegang teguh kebudayaan tersebut walaupun terhadap fenomena yang tidak pas. e. Conversation and „the whole man‟ (Dialog dan Manusia seutuhnya) What then of the processes which lead to the development of an educated man in the full sense of a man whose knowledge and understanding is not confined to one form of thought or awareness?.31 Proses-proses untuk perkembangan pendidikan tidak hanya dengan model formal saja tetapi bisa dari berbagai sumber dan dari siapa saja.
Agama yaitu ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan lingkungannya.32 Menurut Carl Jung agama itu penjelmaan tata cara yang diperkembang manusia untuk tata hidup disebabkan ketakutanketakutan dan kekecewaan-kekecewaan yang membenam kedalam bawah sadar (religion represents the method mankind has developed to live with those fears and frustrations which have been built into our subconscious).33
31
R.S.Peters, The Concept of Education, International Library of The Philosophy of Education, London: Taylor & Francis e-Library, volume 17, 2010, 1-15. 32 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka: 1991,12. 33 Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983, 17.
38
Menurut kamus bahasa arab agama yaitu:
وضع اذلي يدعو اصحاب العقول اىل قبول ما ىو عن:الدين 34
الرسول
Agama yaitu ketetapan Tuhan yang mengajak kepada orangorang yang berakal untuk melaksanakan apa-apa yang berasal dari Rasul. Agama mempunyai dua dimensi, yakni dimensi kolektif dan individual. Artinya ada pandangan-pandangan yang kebenarannya diterima secara kolektif, diyakini oleh sejumlah orang, oleh sekelompok orang, ada pula yang hanya diikuti oleh satu orang saja. Pada awalnya agama ini bersifat individual apalagi jika ini mengenai hal-hal yang tidak empiris atau dunia gaib, tetapi melalui proses komunikasi, pandangan-pandangan yang semula hanya diyakini oleh satu orang ini kemudian diterima oleh banyak orang, dan menjadi milik suatu kolektivitas atau kumpulan individu.35 Pendidikan
agama
adalah
pendidikan
yang
memberikan
pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta
34
didik
.362 ,1791
dalam
mengamalkan
ajaran
agamanya,
yang
, دار الكتب العلمية: لبنان- بيوت, قاموس لغوي عام,حممد ىادي اللحام
. Heddy Shri Ahimsa Putra, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama”, Walisongo, Volume 20, Nomor 2 (November 2012), 293-294. 35
39
dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.36 Konfesional berasal dari kata confess.37 yaitu pengakuan iman penganut agama. Pendidikan agama konfesional yaitu pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Pendidikan agama pada pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan sekurangkuranganya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama.38 2. Sejarah Pendidikan Agama Konfesional di Indonesia Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia mengalami peningkatan
dan
kemajuan,
misalnya
pada
masa
sebelum
kemerdekaan, pada abad XIII budaya pendidikan sudah mulai ditransfer dalam bentuk pondok pesantren, karena pada masa itu tradisi pendidikan keagamaan antara Hindu, Budha, Islam hampir sama. Sekitar abad XVIII, semangat mempelajari agama semakin berkembang, hal ini dibuktikan dengan banyaknya generasi muda Islam dari lulusan pesantren yang melanjutkan belajar ke Timur Tengah dan sepulang dari Timur Tengah mereka mengembangkan model pendidikan pesantren menjadi madrasah dengan mengadopsi sistem pendidikan sekolah Belanda, karena mereka menganggap
36
Peraturan Pemerintah RI No 55 tahun 2007, bab I pasal I. Op.cit, Kamus Inggris Indonesia, cetakan XXI, Jakarta; Gramedia, 1995,137. 38 Peraturan Pemerintah RI No 55, op.cit, Pasal 4 37
40
bahwa kurikulum sekolah Belanda sekuler sedangkan Madrasah masih terpusat pada pendidikan agama, untuk itu mereka mengadopsi kurikulum sekolah Belanda dan dipadukan dengan kurikulum pesantren, sehingga lahirlah sekolah yang di dalamnya terdapat kurikulum agama dan kurikulum umum. Pada masa Orde Lama perkembangan madrasah tidak lepas dari Departemen Agama yang berdiri pada 3 Januari 1946, di mana Departemen ini dengan gigihnya memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia yaitu: [1] Memberikan pengajaran agama di sekolah negeri maupun swasta, [2] Memberikan pelajaran umum di madrasah, [3] Mendirikan PGA dan PHIN. Selain itu pengakuan madrasah sebagai lembaga pendidikan resmi dikuatkan dengan UU No 12 Tahun 1954, yaitu mengatur tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran sekolah, khususnya pasal 10 ayat 2 tentang madrasah mendapat pengakuan Menteri Agama, karena belajar di Madrasah sudah memenuhi kewajiban belajar. Sejak PKI dengan G 30 S PKI dibubarkan yang menandai lahirnya Orde Baru, madrasah juga mengalami kemajuan, walaupun awalnya mengembalikan madrasah di bawah pengawasan Depdikbud dari
Depag,
namun
akhirnya
mendapat
pengakuan
dengan
dikeluarkanya pasal 4 TAP MPRS No XXVII/MPRS/1966 yang memuat tentang isi pendidikan yaitu dasar dan tujuan pendidikan yang berbunyi: [1] Mempertinggi mental, moral, budi pekerti, dan
41
memperkuat keyakinan beragama, [2] Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Pengakuan Madrasah juga dikuatkan UU No 2 tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional, bahwa tujuan pendidikan Nasional mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan pendidikan agama diajarkan sesuai dengan agama yang dianutnya dan selanjutnya dikuatkan lagi dengan kurikulum tahun 1994, pada kurikulum ini pendidikan agama juga ditempatkan pada seluruh jenjang pendidikan yakni mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. Dengan bergulirnya reformasi (1998) pendidikan agama (Islam) semakin diakui oleh pemerintah dibuktikan dengan diterapkannya Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 terutama pasal 12 ayat a: “Setiap peserta didik pada tiap-tiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama juga”. Sekaligus Undang-undang ini mengubur bagian dari Undang-undang No 2 tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah No 29 tahun 1990 tentang tidak wajibnya sekolah dengan latar belakang salah satu agama, umpamanya Islam mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa, misalnya sekolah Islam mengajarkan pelajaran agama
42
katholik bagi siswa yang beragama katholik dan sebaginya. Serta dipertegas lagi dengan pasal 37 ayat 1 yang berbunyi Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama.39 Dengan demikian perkembangan pendidikan Islam mengalami kenaikan signifikan, yaitu sejak zaman sebelum kemerdekaan (zaman penjajahan) di mana pada masa itu pendidikan agama boleh diajarkan, kemudian pada masa Orde lama pendidikan agama mulai diajarkan ditingkat sekolah sampai pada masa Orde Baru sampai sekarang pendidikan agama wajib diajarkan di sekolah-sekolah sejak tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Jadi pendidikan agama khususnya Islam di Indonesia berkembang karena penguasa (pemerintah) di Indonesia mendukung pendidikan agama khususnya Islam.
B. Kerukunan Sosial Umat Beragama 1. Pengertian Kerukunan Sosial Umat Beragama Kerukunan menurut istilah adalah hidup bersama dalam masyarakat dengan kesatuan hati dan bersepakat untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran.40
39
Op.cit, Abstraksi bahan Kuliah Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam, Program Pasca Sarjana IAIN Salatiga, Semester II, 2014. 40 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai pustaka, 1985, 850.
43
Kerukunan hidup antar agama, dan konsekuensinya antar umat beragama, berkaitan erat dengan dua hal: [1] Berkaitan dengan doktrin Islam tentang hubungan antar sesama manusia dan hubungan antara Islam dengan agama-agama lain. [2] Berkaitan dengan pengalaman historis manusia itu sendiri dalam hubungannya dengan agama-agama yang dianut oleh umat manusia.41 2. Sejarah Pembinaan Kerukunan Sosial Umat Beragama di Indonesia Pada masa Orde Lama, dalam membangun kerukunan umat beragama dengan mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 sesuai aslinya, meskipun mendapat penentangan karena pemerintah Orde lama juga mengembangkan politik Demokrasi Terpimpin dan Nasakom. Pada masa Orde Baru, untuk mempertahankan kerukunan umat beragama dan keutuhan bangsa tetap mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 sesuai aslinya dan mengganti Demokrasi Terpimpin dengan Demokrasi Pancasila untuk semua Ormas dan Orpol serta menghilangkan Nasakom. Pada era reformasi untuk menjaga keutuhan bangsa dan kerukunan umat beragama dengan tetap
mempertahankan
Pancasila
sesuai
aslinya
dan
mengamandemen beberapa pasal dalam UUD 1945. Pada masa
41
Azyumardi Azra, “ Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama: Perspektif Islam”, dalam Weinata Sairin (ed), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa, Butir-Butir Pemikiran, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006, 92.
44
reformasi ini selaku penanggung jawab dalam membina kerukunan umat beragama adalah Kementrian Agama.42 Pada era Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni hingga Menteri Agama Suryadarma Ali, kebijakan pembinaan kerukunan umat beragama yang bersifat normatif dan akademik tetap diteruskan, dengan mengembangkan wawasan multikultural umat beragama. Pengembangan wawasan multikultural ini secara teknis dilakukan melalui penekanan pada pendidikan agama dari SD sampai Perguruan Tinggi. 43 Selain dengan mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 sesuai aslinya serta penekanan pada pendidikan agama, usaha lain dalam membina kerukunan umat beragama yakni dengan pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian tempat ibadah. Dari aspek kebijakan yang paling normatif, Menteri Agama alm. Mukti Ali dikenal sebagai motor penggerak kerukunan umat beragama dengan mengedepankan konsep setuju dalam perbedaan. Kemudian dilanjutkan Menteri Agama alm. Ratu Perwira Negara dengan mengedepankan konsep trilogi kerukunan umat beragama, yakni kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Pada masa Menteri Agama Munawir Sjadzali, konsep trilogi kerukunan umat 42
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementrian Agama RI, Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Jakarta; Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, 2013, xiv-xx. 43 Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama, Jakarta: Saadah Cipta Mandiri, 2012, xviii.
45
beragama dilanjutkan dengan istilah tri kondial atau tiga kondisi ideal, yakni kondisi bangsa sangat ideal apabila trilogi kerukunan umat beragama terwujud. Pada masa Menteri Agama Tarmizi Taher, Kementrian
Agama
lebih
memfokuskan
pada
kebijakan
pengembangan Bingkai Teologi Kerukunan, yakni mengedepankan perlunya titik temu konsep ajaran semua agama yang bisa dijadikan landasan
kerukunan
umat
beragama.
Kebijakan
ini
terus
dikembangkan oleh Menteri-menteri Agama selanjutnya sampai pada masa Menteri Agama Suryadarma Ali.44 Kerukunan umat beragama di Indonesia selama ini dalam kondisi baik walaupun ada beberapa permasalahan, tetapi permasalahn tersebut bisa diatasi, karena masyarakat Indonesia pada umumnya masih tetap menghargai sesama manusia, menyukai hidup rukun, damai, toleran, gotong royong, bersatu, santun dan menghargai adanya pluralitas paham keagamaan, meskipun masih ada beberapa penyimpangan budaya, dan itu semua menjadi kewaspadaan umat beragama jangan sampai terprovokasi.
44
Atho‟ Mudhzar, “Memelihara kerukunan Umat Beragama: Jalan Landai atau Mendaki”, dalam Abdurrahman Mas‟ud dkk (ed), Kerukunan Umat Beragama dalam Sorotan: Refleksi dan Evaluasi 10 tahun Kebijakan dan Program Pusat Kerukunan Umat Beragama, Jakarta: Sekretariat Jendral Kementrian Agama, 2011, 19-38.
46
C. Pluralisme Agama 1. Pengertian Pluralisme Peter salim memberikan definisi pluralism yaitu: [1] Sifat, keadaan jamak. [2] Keadaan di mana kelompok yang besar dan kelompok yang kecil dapat mempertahankan identitas mereka dalam masyarakat tanpa menentang kebudayaan yang dominan. [3] Penganut atau pendukung pluralisme. [4] Teori filsafat yang mengatakan bahwa kenyataan terdiri dari dua unsur atau lebih. [5] Suatu sistem di mana seseorang memegang dua jabatan atau lebih sekligus, terutama yang menguntungkan.45 Alwi Sihab mendefinisikan, bahwa pluralisme disimpulkan menjadi empat yaitu: [1] Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan melainkan terlibat aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. [2] Pluralisme berbeda dengan kosmopolitanisme yaitu menunjuk suatu relitas di mana aneka ragam ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi tetapi tidak ada interaksi sosial. [3] Pluralisme berbeda dengan paham relativisme yakni paham yang menganggap semua agama sama. [4] Pluralisme agama bukan sinkretisme yaitu menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian
45
Peter silm, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English Press, 1985, 1436.
47
komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.46 Dalam kerangka pluralitas agama, mereka yang berbeda-beda syariat akan selamat jika mereka beriman kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa, beriman kepada hari akhir, dan beramal shaleh sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur‟an Surah Al-Maidah ayat 69.
ان الذين ءامنوا والذين ىادوا والصبئون والنصرى من ءامن باهلل واليوم 47
االخر وعمل صا حلا فالخوف عليهم والىم حيزنون
“ Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang yahudi, Shabiin, dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” 2. Pengertian Pluralisme Agama Pluralisme agama menurut definisi John Hick yaitu: “Religious pluralism is emphatically not a form of relativism. That would be a fundamental misunderstanding of critical realist principle, which requires criteria for distinguishing between perception and delusion. In contrast to this, for relativism anything goes”.48 Pluralisme agama adalah rasa empati bukan relativisme. Pluralisme beragama membangun pokok-pokok kesalahpahaman dari prinsip-prinsip realita kritis yang mana memerlukan criteria untuk membedakan antara persepsi dan khayalan. Dalam perbedaan ini, relativisme di hilangkan.
46
Alwi Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, Bandung: Mizan, 1999, 41-42. Al-Qur‟anul Karim, Surah 5 : 69 48 John Hick, Religious Pluralism and Islam, Lecture Delivered to The Institute to Islamic Culture and Thougt, Tehran: 2005, 15. 47
48
Masyarakat di Negara-negara maju pluralisme agama sangat prinsip, mereka saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, misalnya di Amerika. Madeline Albright dan David Gergen berpendapat: “Religious pluralism in free society requires both respect for individual difference and support for actions that contribute to the well-being of all; the absence of the first leads to repression and of the second to anarchy. The challenge for democracy is to ensure that exercise of personal freedom does not detract from-but in fact adds to-an overall sense of national unity. Amarica‟s great achievement is that we have generally been able to do this”.49 Pluralisme agama dalam masyarakat bebas sangat menhormati terhadap perbedaan individu dan mendukung aktifitas dengan memberikan kontribusi demi kebaikan semua. Tak adanya yang pertama atau yang kedua, maka yang timbul adalah peneindasan dan anarki. Tantangan untuk demokrasi adalah menjamin kemerdekaan individu. Tetapi fakta yang ada adalah saling melengkapi serta mengerti bahwa itu semua bagian dari kesatuan bangsa. Amerika Negara besar yang berprestasi membangun pluralisme ini. Tidak kalah dengan Amerika, bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk dan plural. Indonesia juga sudah menerapkan pluralisme agama tersebut walaupun masih ada pro dan kontra mengenai masalah pluralisme beragama ini. Penerapan pluralisme agama ini di antaranya melalui pelaksanaan pendidikan agama konfesional di sekolah-sekolah yang siswanya plural. Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan, pluralisme agama adalah toleransi terhadap agama lain dengan cara berinteraksi 49
Madeline Albrigt and David Gergen, Principled Pluralism Report of The Inclusive America Project, Whasington, D.C: The Aspen Institute, 2013, 8.
49
sosial di dalam masyarakat dengan prinsip “bagiku agamaku dan bagimu agamamu”. Adapun pluralisme agama menurut penulis yaitu menghormati dan menghargai terhadap pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Islam sendiri menghargai pluralitas agama, karena tidak ada paksaan dalam menganut agama sebagaimana dalam Surah alBaqarah ayat 256. Menurut M.Quraish Shihab tafsir ayat tersebut menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang sudah memilih satu akidah, misalnya akidah Islam, dia terikat
dengan
tuntunan-tuntunannya,
dia
berkewajiban
melaksanakan perintah-perintahnya. Dia terancam sanksi bila melanggar ketetapannya. Ayat ini menggunakan kata ( )رشدrusyd yang mengandung makna jalan lurus. Kata ini pada akhirnya bermakna ketepatan mengelola sesuatu serta kemantapan dan kesinambungan dalam ketepatan itu. Ini bertolak belakang dengan ( )الغيal-ghayy, yang terjemahannya adalah jalan
sesat. Jika
demikian, yang menelusuri jalan lurus itu pada akhirnya melakukan segala sesuatu dengan tepat, mantap, dan berkesinambungan.50
50
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, 669.
50
Yang enggan memeluk agama ini pada hakekatnya terbawa oleh rayuan thaghut, kata ( )طاغوتthaghut terambil dari akar kata yang berarti melampaui batas. Barang siapa yang ingkar dan menolak ajakan thaghut, meraka adalah orang-orang yang memiliki pegangan yang kukuh pada buhul tali yang amat kuat. Berpegang teguh pada buhul tali yang amat kuat disertai dengan upaya sungguh-sungguh, bukan sekedar berpegang, sebagaimana dipahami dari kata ( )استمسك istamsaka, yang menggunakan huruf-huruf sin dan ta bukan ()مسك masaka. Tali yang dipegangnya pun amat kuat, dilanjutkan dengan pernyataan tidak akan putus, sehingga pegangan yang berpegang itu amat kuat, materi tali yang dipegangnya kuat, dan hasil jalinan materi tali itu tidak akan putus.51 Kesungguhan untuk memegang gantungan itu disebabkan ayunan thaghut cukup kuat sehingga diperlukan kesungguhan dan kekuatan. Kata („ )عروةurwah yang diatas diterjemahkan dengan gantungan tali adalah tempat tangan memegang tali, seperti yang digunakan pada pada timba guna mengambil air dari sumur. Ini memberi kesan bahwa yang berpegang dengan gantungan itu bagaikan menurunkan timba untuk mendapatkan air kehidupan.52 Manusia membutuhkan air (H2O), yang merupakan gabungan dua molekul hidrogen dan satu molekul oksigen untuk kelangsungan
51 52
Ibid, 670. Ibid, 670-671.
51
hidup jasmaninya. Sedang untuk kebutuhan rohani manusia membutuhkan air kehidupan yang merupakan syahadatain, yakni gabungan dari kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa dan kepada kerasulan Nabi Muhammad. Ayat ini merupakan perumpamaan keadaan seseorang yang beriman. Betapapun sulitnya keadaan, walaupun ibarat menghadap ke suatu jurang yang amat curam, dia tidak akan jatuh binasa karena dia berpegang dengan kukuh pada seutas tali yang amat kukuh, bahkan seandainya ia terjerumus masuk ke dalam jurang itu, ia masih dapat
naik
karena
ia
tetap
berpegang
pada
tali
yang
menghubungkannya dengan dengan sesuatu yang diatas, bagaikan timba yang dipegang ujungnya.53 Tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama: Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian, maka agamaNya dinamai Islam yakni damai. Tidak ada paksaan dalam agama menurut Surah al-Baqarah ayat 256 tersebut dipertegas lagi dalam Surah al-Maidah ayat 48: صلئ
ولوشاء هللا جلعلكم امة وحدة ولكن ليبلوكم يف ما ءاتكم... 54
...
ج
فاستبقوا اخليت
“…Kalau Allah menghendaki , niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang 53 54
Ibid, 671. Al-Qur‟anul Karim, Surah 5: 48.
52
telah di berikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombak berbuat kebajikan…”
Maksud tidak ada paksaan dalam agama dalam tafsir yang lain adalah janganlah kamu memaksa seseorang siapapun untuk memasuki agama Islam, karena agama Islam itu sudah jelas dan terang. Dalil-dalil dan argumentasinya sudah nyata sehingga seseorang tidak perlu dipaksa supaya masuk Islam. Namun sudah jelas orang yang ditunjukkan kepada Islam, dilapangkan hatinya, dan disinari mata hatinya oleh Allah, maka ia akan masuk kedalamnya secara terang benderang. Adapun orang yang buta hatinya, tuli pendengarannya, dan buta penglihatannya, maka tidaklah berguna memaksanya untuk memeluk Islam.55 Faqih Imani menafsirkan, bahwa memeluk suatu agama tidak boleh dilakukan dengan paksaan atau kekerasan. Ayat 256 ini juga merupakan jawaban yang tegas bagi mereka yang membayangkan bahwa Islam menggunakan kekerasan dan telah berkembang dan menyebar berkat kekuatan pedang dan semangat mati syahid. Ayat ini ditutup dengan kalimat Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Sebagai isyarat bahwa masalah keimanan dan kekafiran bukanlah sesuatu yang bisa dipenuhi hanya dengan berpura-pura,
55
Muhammad Nasib Ar-Ria‟I, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, Jakarta: Gema Insani, 1999, 427.
53
karena Allah mendengar semua ucapan mereka, baik secara sembunyi maupun terbuka.56
3. Sejarah dan Perkembangan Pluralisme Agama Pluralisme agama muncul pada abad 18 atau pada masa pencerahan (Enlightement) Eropa, yaitu masa permulaan bangkitnya pemikiran modern, karena pada masa itu diwarnai dengan wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada kekuatan rasionalitas, di mana akal dibebaskan dari kungkungan-kungkungan gereja. Pergolakan-pergolakan tersebut muncul sebagai reaksi akibat konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata diluar gereja. Reaksi-reaksi tersebut melahirkan pahan liberalism, yaitu paham
mengutamakan
kebebasan,
toleransi,
persamaan
dan
keragaman atau pluralisme.57 Pemikir
Muslim
kontemporer
Muhammad
Legenhausen
berpendapat: Paham liberalisme pada di Eropa pada abad 18 muncul dan didorong oleh kondisi masyarakat yang carut marut akibat memuncaknya sikap-sikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sectarian yang menyebabkan terjadinya pertumpahan darah antar ras, sekte, dan mazhab pada masa reformasi keagamaan58.
56
Allamah Kamal Fqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, Jakarta: Al-Huda, 2006, 36. 57 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif, 2005, 16. 58 Ibid, 17.
54
Berawal dari paham liberalisme ini lahirlah pluralisme, tetapi pluralisme pada abad 18 ini hanya terbatas pada masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, baru pada abad 20 berkembang mencakup komunitas-komunitas di dunia. Meskipun konsep pluralisme telah mewarnai pemikiran Eropa pada saat itu, namun
beberapa
sekte
Kristen
ternyata
masih
melakukan
diskriminasi dari gereja seperti yang dialami sekte Mormon yang tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodox sampai pada akhir abad 19.59 Akibat situasi yang demikian itu munculah protes keras dari presiden Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908) dan adanya doktrin bahwa di luar gereja tidak aman, sehingga Vatikan mengadakan konsili atau yang dikenal dengan Konsili Vatikan II (Vatikan Council II) pada awal tahun 60-an abad 20, yang menghasilkan doktrin keselamatan umum bahkan bagi agama-agama selain Kristen.60 Selain klaim dari agama Nasrani di atas paham pluralime juga telah di klaim agama Yahudi, misalnya tokoh yahudi bernama Moses Mendelsohn ( 1729-1786), dia menggugat kebenaran eksklusif agama Yahudi. Menurut Mendelsohn: ajaran agama Yahudi mengakui bahwa seluruh penduduk bumi mempunyai hak yang sah
59
Ibid, 18 Ibid, 19-20.
60
55
atas keselamatan, dan sarana untuk mencapai keselamatan tidak hanya melalui agama Yahudi saja.61 Pluralitas agama dalam Islam dikuatkan lagi dengan beberapa pasal-pasal dari undang-undang piagam madinah yaitu:
ومن تبعهم فلحق هبم, من قريش واىل يثرب,ادلؤمن وادلسلمون وجاىد معهم امة واحدة من دون الناس “ Kaum mukminin dan kaum muslimin, dari Quraisy dan penduduk Yaatsrib, dan orang yang mengikuti mereka, maka bergabung dengan mereka dan berjuang bersama-sama. Mereka adalah umat yang satu, yang berbeda dari kelompok masyarakat lain.”
لليهود دينهم وللمسلمني دينهم,وان يهود امة مع ادلؤمنني “Orang-orang Yahudi adalah satu umat bersama kaum beriman, bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslimin agama mereka.”
وان على يهود نفقتهم.وان يهود ينفقون مع ادلؤمنني ما داموا حماربني وان بينهم النصر على من حارب اىل ىذه.وعلى ادلسلمني نفقتهم وان بينهم النصح والنصيحة والرب دون االمث.الصحيفة “Orang-orang Yahudi mengeluarkan biaya perang bersama kaum beriman, selama mereka sedang melakukan peperangan orang Yahudi menanggung biaya kebutuhan mereka sendiri dan kaum 61
1989, 17.
Harold Coward, Pluralisme: Tantangan Bagi Agama-agama, Yogyakarta: Kanisius,
56
Muslimin bertanggung jawab menanggung biaya kebutuhan mereka sendiri. Dan mereka semua saling membahu dalam menghadapi serangan luar terhadap orang-orang yang tergabung dalam piagam ini.”
وانو ما كان بني اىل ىذه الصحيفة من حدث او اشتجار خياف 62
.فساده فان مرده اىل هللا واىل حممد رسول هللا
“Jika ada sesuatu masalah atau pertengkaran di antara orangorang yang tergabung dalam piagam ini, yang ditakutkan akan membuat kerusakan maka masalahnya dikembalikan kepada Allah dan Muhammad Rasulullah.” Pasal-pasal dari undang-undang Piagam Madinah tersebut menguatkan, bahwa pluralitas agama disini sebatas kerukunan sosial antar umat beragama bukan kerukunan teologi antar umat beragama. Sebagai warga negara yang plural, kita harus hidup rukun dan bekerja sama dalam tatanan kehidupan sosial dengan umat yang beragama lain. Manusia sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri, karena manusia membutuhkan bantuan dan berinteraksi dengan manusia yang lain walaupun berbeda akidah dan keyakinan. Tidak bisa dipungkiri lagi, setiap umat beragama membutuhkan bantuan dari umat beragama laian. Sebagaimana dalam pasal-pasal Piagam Madinah diatas, umat Islam membutuhkan bantuan orangorang Yahudi,
begitu
juga
sebaliknya
orang-orang
Yahudi
membutuhkan bantuan umat Islam agar hidup mereka aman. 62
Muhammad Imarah, Al-Islam wat Ta‟addudiyah: Al-Ikhtilaf wat-Tanawwu fi IthaarilWihdah, Kairo, Mesir: Darur Rasyad, Cetakan I, 1997, 16-17.
57
4. Tokoh-Tokoh Penganut Paham Pluralisme Agama Beberapa tokoh-tokoh penganut paham pluralisme agama di antaranya: a. John Hick John Hick merupakan tokoh penganut paham pluralis terkemuka di kalangan Kristen, dia berpendapat bahwa tiap-tiap agama menjadi jalan untuk menemukan keselamatan dan pembebasan.63 Dia juga berpendapat, bahwa agama-agama dunia lainnya memiliki hal yang sama yaitu pengalaman religious dan respon kognitif terhadap yang transenden. Dengan demikian pengalaman religious merupakan dasar yang valid untuk kepercayaan religius. Menurut Hick, semua agama memiliki perbedaan-perbedaan historis dan substansi yang penting, dan pandangan bahwa semua agama memiliki esensi yang sama, berada dalam bahaya mengkompromikan integritas tradisi partukular dengan hanya menekankan
satu
aspek
dari
tradisi
tersebut.
Kesatuan
sesungguhnya dari agama-agama tersebut tidak ditemukan dalam doktrin atau pengalaman mistik tetapi di dalam pengalaman keselamatan atau pembebasan yang sama64.
63
Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, New York: Mac Millan Publishing Company, 1987, vol.12, 331. 64 Christian Sulistio,”Teologi Pluralisme Agama John Hick: Sebuah dialog Kritis dari Perspektif Partikularis”, Veritas, Volume 2, No 1 (April 2001) 56-58.
58
Hick berpendapat, bahwa klaim masing-masing agama-agama sebagai pembawa keselamatan adalah absah. Oleh sebab itu dia membangun teologi pluralisme agama dengan cara induktif, dari level dasar sebagaimana dalam kristologi ada istilah kristologi dari atas dan kristologi dari bawah. Dia memulai dengan menyebut dirinya sebagai seseorang yang berkomitmen kepada iman, yaitu bahwa pengalaman beragama Kristen bukan sematamata proyeksi manusia namun juga sebagai respons kognitif terhadap realitas transenden.65 b. Ernst Troeltsch Ernst Troeltsch adalah salah satu teolog Kristen yang terkenal sebagai pengusung paham ini, dia mengemukakan tiga sikap popular terhadap agama-agama, yaitu: [1] Semua agama adalah relative. [2] Semua agama, secara esensial adalah sama. [3] Semua agama memiliki asal usul psikologis yang umum. Yang dimaksud relative adalah, bahwa semua agama relative, terbatas, tidak sempurna, dan merupakan satu proses pencarian. Karena itu, kekristenen adalah terbaik untuk orang Kristen, Hindu terbaik untuk orang Hindu, Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan atau cara pandang teologis terhadap agama lain. [1] Eksklusivisme, yang memandang hanya orang-orang yang mendengar dan Bibel
65
Ibid, 59-60.
59
Kristen yang akan diselamatkan, di luar itu tidak selamat. [2] Inklusivisme, yang berpandangan, meskipun Kristen merupakan agama yang benar, tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain. [3] Pluralisme, yang memandang semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju inti dari realitas agama. Dalam pandangan ini, tidak ada agama yang dipandang superior dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan.66 c. Nurcholish Madjid Nurcholis Madjid adalah salah satu tokoh pembaharuan Islam di Indonesia. Terhadap paham pluralisme agama berpandangan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil, yaitu, [1] Sikap eksklusif dalam melihat agama lain, yaitu ajaran agamaagama lain adalah salah dan menyesatkan. [2] Sikap Inklusif, yaitu agama-agama lain merupakan bentuk implisit agama kita. [3] Pluralis, yaitu agama-agama yang lain sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama atau agama-agama lain berbicara secara berbeda tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah, serta setiap agama mengekspresikan bagian penting dari sebuah kebenaran.67 Bagi Nurcholis Madjid mengenai pluralisme agama, Islam bersifat inklusif, dan setiap agama sebenarnya merupakan bentuk 66
Adian Husaini, Pluralisme Agama-Agama: Pandangan Katholik, Protestan, Hindu dan Islam Terhadap Paham Pluralisme Agama, Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia, 2010, 4. 67 Nurcholish Madjid, Tiga Agama Satu Tuhan, Bandung: Mizan, 1999, xix.
60
ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa juga. Dia juga berpendapat, bahwa pluralisme merupakan sebuah aturan Tuhan yang tidak bisa ditolak dan dihindari.68 5. Pandangan Agama-Agama Terhadap Pluralisme Agama a. Pandangan Agama Katolik ( Oleh Magnis Suseno) Pandangan pendapatnya
pluralisme
agama
Magnis Suseno, dia
menurut
katolik
yakni
adalah tokoh Katolik
berpendapat: Sebagaimana yang diperjuangkan di kalangan Kristen oleh teolog-teolog seperti John Hick, Paul F Knitter (Protestan) dan Raimundo Panikar (Katolik) adalah paham yang menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya memperlihatkan kerendahan hati tidak menganggap lebih benar dengan semangat zaman, karena agama sebagai ranah moral.69 Paham Magnis Suseno tersebut ditolak Gereja Katolik tahun 2000 oleh Vatikan dengan menerbitkan Dominus Jesus, yakni menolak paham pluralisme agama, Vatikan menganggap bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantar keselamatan Ilahi dan tidak ada yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Tetapi banyak umat Katolik yang menolak Dominus Jesus tersebut dan memilih toleransi yang sebenar-benarnya, yakni menerima orang 68
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995, xxvii. Frans Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, Jakarta: Obor, 2004, 138-141. 69
61
lain, kelompok lain, keberadaan agama lain dengan baik dengan mengakui keberadaan mereka. b. Pandangan Agama Protestan ( oleh Paltak Y.P Sibarani dan Bernard Jody A.Siregar) Pluralisme agama menurut pandangan Protestan yaitu, tidak sekedar
menghargai
pluralitas
agama,
tetapi
sekaligus
menganggap agama lain setara dengan agamanya. Pandangan ini merupakan sikap menghargai dan memandang agama lain sebagai agama yang baik dan benar, serta mengakui adanya jalan keselamatan di dalamnya.70 c. Pandangan Agama Hindu ( oleh Ngaken Made Madrasuta) Agama Hindu menolak paham persamaan agama, karena agama Hindu agama yang plural di dunia. Ia mengajarkan ada banyak jalan, banyak orang suci, dan banyak kitab suci, serta tidak ada agama yang dapat mengklaim agama lain lebih eksklusive sendiri. Ini bukan berarti Agama Hindu tidak mengakui satu kesatuan atas kebenaran, sebaliknya Agama Hindu mengakui satu kesatuan total dan mendalam. Agama Hindu sendiri mempunyai banyak dewa-dewi, lebih banyak pustaka suci, lebih banyak orang suci, maharesi, avatara disbanding agama lain.71
70
Paltak Y.P Sibarani dan Bernard Jody A. Siregar, Beriman dan Berilmu: Panduan Pendidikan Agama Kristen Untuk Mahasiswa, Jakarta: Ramos Gospel Publishing House, 2005, 126. 71 Ngakan Made Madrasuta, Semua Agama Tidak Sama, Media Hindu, 2006, 209-210.
62
d. Pandangan Agama Budha (oleh Tosin) Budhisme tidak bertentangan dengan pluralisme, justru Budhisme sangat menghargai pluralisme. Ini dapat dilihat dari munculnya berbagai metode pengajaran agama Budha dengan cirri dan kekhasannya masing-masing sesuai dengan tempat dan budaya yang dilaluinya selama penyebarannya. Seperti Thailand dengan ciri Budha Theravada, Tionghoa dengan Budha Mahayana, dan Tibet dengan Tantrayana. Pengakuan pluralisme ini tidak hanya diakui oleh para penganut ajaran Budha jaman sekarang saja, tetapi dikatakan langsung oleh sang Budha “ Para bihkkhu, kuijinkan engkau mempelajari sabda Sang Bhagava dalam bahasamu sendiri”. Selain itu, Budha berpandangan bahwa ras, agama, suku, bangsa kitalah yang paling baik dan bagus. Tetapi di samping itu, kita tidak menganggap rendah yang lain. Ibarat sebuah seruling yang suaranya bagus dan merdu, demikian juga gitar mempunyai suara yang nyaring, gendering mempunyai suara berdegup dan kalau semua alat musik itu dipadukan dalam suatu paduan orchestra, maka akan menghasilkan suatu irama yang sangat luar biasa indahnya.72
72
Tosin, Serumpun Bambu, Yudharta Press, melalui: http://www.Universitas Yudharta Pasuruan.ac.id/bitstream. [30/06/2015].
63
e. Pandangan Agama Islam Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan:
Bahwa umat
Islam haram mengikuti paham pluralisme. Dalam masalah aqidah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur adukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. Dan bagi masyarakat Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama) dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan agama lain sepanjang tidak saling merugikan.73
73
Fatwa MUI 29 Juli 2005.
64
BAB III PRESENTASI DATA PENELITIAN A. Profil SMA Negeri I Magelang 1. Gambaran umum SMA Negeri I Magelang SMA Negeri I Magelang adalah sebuah sekolah menengah atas di kota Magelang. Sekolah ini didirikan pada tahun 1950. Sekolah ini merupakan sekolah favorit dan tertua di kota magelang. SMA Negeri I
Magelang
merupakan
mantan
Rintisan
Sekolah
Bertaraf
Internasional. SMA Negrei I Magelang ini menggunakan kurikulum 2013 dan di nahkodai atau dipimpin beliau Bapak Drs. Sucahyo Wibowo, M.Pd.74 SMA Negeri I Magelang terletak di Jalan Cepaka 1 kota Magelang, Jawa Tengah, Indonesia, tepatnya di titik koordinat 7°29′01″LS 110°12′44″BT / 7,483506°LS 110,212312°BT. Lebih mudahnya SMA Negeri I Magelang ini terletak di 2 km barat daya Alun-Alun kota Magelang sebagai pusat kota. Didirikan di atas tanah yang sedikit menonjol ke atas, setiap upacara bendera, para siswa dihibur dengan pemandangan indah Gunung Sumbing yang berada di sebelah Barat. Sekolah ini berada berdekatan dengan kantor KPUD kota Magelang di sebelah timur, objek pariwisata Taman Kyai
74
Tata Usaha SMA Negeri I Magelang, 22 Mei 2015.
65
Langgeng di sebelah barat daya, rumah dinas Walikota Magelang di sebelah barat, dan Gladiol Park di sebelah timur laut.75 2. Sejarah Berdirinya SMA Negeri I Magelang Menurut buku Kenang-kenangan Dasa Warsa SMA Negeri 1 Magelang tahun 1960 (diriwayatkan oleh B. Soemarto, mantan guru sekolah tersebut), setelah kemerdekaan pendidikan berkembang dengan pesatnya dan sekolah-sekolah didirikan, baik SR, SMP, SMA, bahkan Universitas. Pada tahun 1947 didirikan SMA Persiapan di bawah pimpinan Soedarsono (mantan Kepala Jawatan Kebudayaan Pusat) bertempat di gedung Christelijke MULO. Pengajar-pengajar
dipinjam
dari
berbagai
kantor.
Kebetulan Magelang memiliki banyak kaum intelektual, karena pada waktu itu Kementrian Kemakmuran dan Kementrian Keuangan dengan segala bagiannya berkedudukan di kota ini. Untuk menarik pemudapemuda, pada bulan Juli 1949 oleh pemerintah didirikan SMP dan SMA bertempat di gedung SMP 1 sekarang dengan Ir. Soeroto sebagai direktur. Pada bulan September 1949 didirikan SMA Darurat dengan menempati gedung SMA Al-Iman sekarang, di Jalan Bayeman di bawah pimpinan Siregar. Akhirnya, pada bulan Januari 1950 kedua SMA disatukan. SMA
bagian
Ambachtsschool dan bagian C di RST.
75
Ibid, 22 Mei 2015.
B
menempati
bekas
66
Tahun
1952
bagian
C
tersebut
ditutup,
sehingga
wilayah Karesidenan Kedu hanya mempunyai SMA bagian B. Pada bulan Agustus 1955 SMA bagian C dibuka kembali dilengkapi bagian A yang menempati gedung SMP. Kegiatan belajar mengajar berlangsung pada sore hari. Barulah pada tahun 1959 dengan resmi SMA Negeri Magelang mempunyai gedung sendiri di Jalan Cepaka. Bagian A, B, dan C bersama-sama masuk pagi dengan jumlah 23 kelas dan sekolah ini memiliki 835 orang siswa dan 36 orang guru. Pemimpin pada waktu itu adalah R. Tedjana. SMA Negeri 1 Magelang disamping menghasilkan siswa-siswinya yang
kemudian
mendapat
kepercayaan
masyarakat
maupun
Pemerintah untuk diserahi jabatan tertentu, juga berhasil pula membina guru-gurunya yang dipercaya pemerintah menjadi kepala SMA di berbagai tempat. Sekolah ini juga berperan dalam mendirikan SMASMA yang lain di Karesidenan Kedu. Pada tahun 1983, Kepala SMA Negeri 1 Magelang saat itu mendapat tugas untuk mengelola berdirinya SMA Negeri UGB di kota Mungkid yang terletak di Jalan Letnan Tukiyat Kota Mungkid dan sekarang bernama SMA Negeri I kota Mungkid. Salah satu guru SMA Negeri 1 Magelang juga menjadi kepala di sekolah tersebut. Pada tahun 1985, salah seorang guru SMA Negeri 1 Magelang juga mendapat tugas mengelola berdirinya SMA Negeri UGB di kota Magelang yang menempati bekas gedung SPG Negeri Magelang di
67
Jalan Medang 17 Kota Magelang yang selanjutnya hingga kini disebut SMA Negeri 3 Magelang.76 3. Fasilitas SMA Negeri I Magelang Gedung utama terdiri dari sebuah gedung tiga lantai yang disebut sebagai Gedung Induk. Bangungannya menggunakan lantai yang dilapisi dengan kayu.. Di Gedung Induk terdapat ruang administrasi, guru, ruang kepala sekolah dan beberapa kelas. Di sekitar Gedung Induk
terdapat
bangunan
tambahan
yang
didirikan
sesuai
perkembangan sekolah dengan skema yang memaksimalkan luas tanah yang terbatas. SMA Negeri I Magelang memiliki 30 ruang kelas, mempunyai 6 ruang laboratorium ( Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa, dan dua lab komputer). Fasiltis lain yang dimiliki yaitu: Mempunyai sebuah ruang multimedia, lapangan olah raga ( basket dan bola voli), serta memiliki perpustakaan, aula, juga mushola. 4. Keadaan Guru/ Pegawai, dan Siswa SMA Negeri I Magelang memiliki 100 Guru/Pegawai, terdiri dari 84 orang PNS dan 16 non PNS. SMA Negeri I Magelang memiliki 840 siswa terdiri dari: a. Kelas X 294 siswa ( 113 laki-laki dan 181 perempuan). 1) 246 siswa beragama Islam. 2) 31 siswa beragama Kristen.
76
Ibid, 22 Mei 2015.
68
3) 16 siswa beragama Katolik. 4) 1 siswa beragama Bidha b. Kelas XI 279 siswa ( 99 laki-laki dan 180 perempuan). 1) 245 siswa beragama Islam. 2) 22 siswa beragama Kristen. 3) 10 siswa beragama Katolik. 4) 1 siswa beragama Hindu. 5) 1 siswa beragama Budha. c. Kelas XII 267 siswa ( 86 laki-laki dan 181 perempuan). 1) 241 siswa beragama Islam. 2) 17 siswa beragama Kristen. 3) 8 siswa beragama Katolik. 4) 1 siswa beragama Budha.77 5. Kegiatan Ekstrakurikuler SMA
Negeri
I
Magelang
menyelenggarakan
ekstrakurikuler,
diantaranya: a. KIR Pisigma (Karya Ilmiah Remaja Pecinta Ilmu Sains SMA Negeri satu Magelang). b. SIBEMA (Redaksi Berita Smansa). c. PMR (Palang Merah Remaja). d. Paspara ( Pasukan Pengibar Bendera). e. Kossmansa (Koperasi Smansa).
77
Ibid, 22 Mei 2015.
69
f. Pramuka, Ambalan Cepaka. g. Glacial ( Gladiol Pecinta Alam) yang didirikan 6 November 1994. h. DIS (Dewan Islam Sekolah). i. ICC (Informatic Clinic Community). j. ESC (English Speaking Club). k. Mudika ( Muda-Mudi Katolik). l. PSK ( Persekutuan Siswa Kristen). m. Sepak bola. n. Sepak Takraw. o. Basket. p. Cheerleader. q. Musik. r. MRS (Melodi Radio Smansa). s. Tari (Khususnya Tari Kuntulan) t. Bulu Tangkis. u. Teater. v. Paduan Suara (Gladiola Choir).78
78
Ibid, 22 Mei 2015.
70
6. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional SMA Negeri I Magelang menyelenggarakan pendidikan agama sesuai dengan agama pesrta didik dan diajarkan oleh guru yang seagama juga. Semua peserta didik mendapatkan pendidikan agamanya walaupun peserta didik tersebut minoritas. Demi memenuhi hak setiap siswa akan kebutuhan pendidikan agama, sekolah mengambil kebijakan dengan menerapkan model pendidikan agama konfesional. Dalam mendukung implementasi pendidikan agama konfesional, sekolah menyediakan guru-guru agama yang sesuai dengan agama peserta didik. Adapun guru-guru agama tersebut adalah: a. Mudawamah, guru PAI, alumni S.1 Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo jurusan PAI
2004 dan alumni Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Pendidikan Agama Islam 2013. b. Fahmi Hakim, guru PAI alumni Fakultas Agama Islam, Prodi PAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2004. c. Agustin Fitriana, guru PAI alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prodi Siyasah Syariah 2004. d. Didit Sugiyarso, guru agama Katolik alumni Sekolah Tinggi Pastoral Yayasan Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang 2008. e. Widya, guru agama Buddha, dia tokoh agama Buddha di Magelang.
71
f. Ayu, guru agama Hindu, dia tokoh agama Hindu di Magelang.79
Selain menyiapkan guru agama yang sesuai dengan peserta didik sekolah juga memberikan tema-tema pendidikan agama sesuai dengan tema pendidikan agama Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan Nasional. Adapun tema-tema pendidikan agama adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan Agama Islam: (Menghayati nilai-nilai keimanan kepada Malikat-malaikat Allah SWT, Berpegang teguh kepada alQur‟an dan Hadits, Meyakini kebenaran hukum Islam, Berpakaian sesuai dengan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, Perilaku jujur dalam kehidupan sehari-hari, Hormat dan patuh kepada orang tua dan guru, Mujahadah an-nafs, Menghindarkan diri dari pergaulan bebas, Semangat menuntut ilmu, Sikap keluhuran budi, Menegakkan kebenaran, dan Sikap semangat ukhuwah).80 b. Pendidikan
Agama
Kristen:
(Mensyukuri
karunia
Allah,
Menghayati nilai-nilai Kristiani, Mengakui peran Roh Kudus dalam membarui kehidupan orang beriman, Meneladani Yesus dalam mewujudkan nilai-nilai kristiani, Bersedia hidup bersama dengan orang lain tanpa kehilangan identitas, Memberi kesaksian tentang peran roh kudus).81
79
Djaka Wiratna, Waka Kurikulum SMA Negeri I Magelang, 1 Juni 2015. Agustin Fitriana, Guru Agama Islam SMA Negeri I Magelang, 1 Juni 2015. 81 Op.cit, Waka Kurikulum SMA Negeri I Magelang, 1 Juni 2015. 80
72
c. Pendidikan Agama Katolik: (Panggilan hidup berkeluarga, Perkawinan dalam tradisi gereja Katolik, Tantangan dan peluang untuk membangun keluarga yang dicita-citakan, Panggilan hidup untuk membiara, Panggilan karya/profesi, Nilai-nilai penting dalam masyarakat yang diperjuangkan, Yesus Krestus pejuang keadilan, Keberagaman sebagai realitas asali kehidupan manusia, Memahami Kekhasan agama-agama di Indonesia, Kerjasama antar umat beragama dan berkepercayaan,Tantangan dan peluang umat Katolik dalam membangun Bangsa dan Negara seperti yang dikehendaki Tuhan).82 d. Pendidikan Agama Hindu: (Membiasakan mengucapkan salam agama Hindu, Membiasakan mengucapkan dainika upasana/do‟a sehari-hari, Menyayangi ciptaan Sang Hyang Widhi/Ahimsa, Berperilaku jujur/Satya, Masuknya agama Hindu, Nawa Widha Bhakti Tri Purusha, Dasa Yama Brata).83 e. Pendidikan Agama Buddha: (Manifestasi keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Mengembangkan sikap pluralisme, inklusivisme, dan toleransi dalam lingkungan sosial, Merumuskan peranan agama Buddha, Praktik jalan mulia berunsur delapan, Menghayati perbuatan dan akibatnya, Mengatasi masalah-masalah kehidupan sesuai dengan ajaran Buddha).84
82 83
Didit Sugiyarso, Guru Agama Katolik SMA Negeri I Magelang, 1 Juni 2015. Op.cit, Waka Kurikulum, SMA Negeri I Magelang, 1 Juni 2015. 84 Ibid, 1 Juni 2015.
73
Pembelajaran agama di SMA Negeri I Magelang diberikan 3 jam pelajaran setiap minggu.85
B. Profil SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang 1. Gambaran Umum SMA Negeri I Muntilan SMA Negeri I Muntilan berdiri pada tahun 1966. SMA ini terletak di Jalan Ngadiretno I Tamanagung, Muntilan, Kabupaten Magelang. Kurikulum yang digunakan adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). SMA Negeri I Muntilan ini di pimpin oleh bapak Suwardi, M.Pd. SMA Negeri I Muntilan merupakan SMA favorit di Kabupaten Magelang. Nilai masuk siswa terendah 33,00 dan nilai masuk siswa tertinggi 40,00, atau rata-rata nilai ujian nasional/ujian akhir sekolah siswa baru 36,71.86 Jarak sekolah dengan sekolah yang sejenis yang terdekat 0,2 km. Sedang jarak SMA Negeri I Muntilan dari pusat Kota Magelang kurang lebih 20 km, dan 10 km dari Kota Mungkid ibu kota kabupaten Magelang, 15 km dari Candi Borobudur. SMA Negeri I Muntilan ini terletak di tengah kota Muntilan dan terletak di tepi jalan raya Yogyakarta-Semarang, kurang lebih 20m dari jalan raya. 2. Fasilitas SMA Negeri I Muntilan SMA Negeri I Muntilan memiliki 27 ruang belejar,terdiri dari: 85 86
Ibid, 1 Juni 2015. Tata Usaha SMA Negeri I Muntilan, 23 Mei 2015
74
a. 10 ruang belajar untuk kelas X. b. 9 ruang belajar untuk kelas XI ( 5 ruang belajar IPA, 4 ruang belajar IPS). c. 8 ruang belajar untuk kelas XII (4 ruang belajr IPA, 4 ruang belakar IPS.
Selain ruang belajar memiliki 27 ruang belajar, SMA Negeri I Muntilan juga memiliki fasilitas yang lainnya, diantaranya:
a. 1 ruang Lab Kimia b. 1 ruang Lab Fisika c. 1 ruang Lab Biologi d. 1 ruang Lab Bahasa e. 1 ruang Lab Komputer f. 1 ruang Lab Multimedia g. 1 ruang perpustakaan konvensional h. 1 ruang Aula i. 1 ruang Multimedia.87
3. Keadaan Guru/Siswa SMA Negeri I Muntilan memiliki 56 Guru (42 PNS dan 14 non PNS), 22 tenaga administrasi (3 PNS, 19 non PNS). SMA Negeri I Muntilan memiliki 802 siswa, terdiri 765 siswa beragama Islam, 5
87
Ibid, 23 Mei 2015
75
siswa beragama Protestan, dan 32 siswa beragama Katolik. 802 siswa tersebut meliputi: a. Kelas X 293 siswa ( 86 laki-laki, 207 perempuan) b. Kelas XI 250 siswa ( 78 laki-laki, 172 perempuan) c. Kelas XII 259 siswa (73 laki-laki, 186 perempuan).88 4. Prestasi SMA Negeri I Muntilan a. SMA Negeri I Muntilan terakreditasi A b. Rangking 1 tingkat SMA Negeri se Kabupaten Magelang 5. Kegiatan Ekstrakurikuler SMA
Negeri
I
Muntilan
menyelenggarakan
diantaranya: a. KIR (Karya Ilmiah Remaja ). b. PMR (Palang Merah Remaja). c. Paspara ( Pasukan Pengibar Bendera). d. Pramuka. e. Kerohaniawan Islam. f. Kerohaniawan Kristen. g. Kerohaniawan Katolik. h. Sepak bola. i. Sepak Takraw. j. Basket. k. Musik.
88
Ibid, 23 Mei 2015.
ekstrakurikuler,
76
l. Bulu Tangkis. m. Teater.89
6. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional SMA Negeri I Muntilan menyelenggarakan pendidikan agama sesuai dengan agama pesrta didik dan diajarkan oleh guru yang seagama juga. Semua peserta didik mendapatkan pendidikan agamanya walaupun peserta didik tersebut minoritas. Demi memenuhi hak setiap siswa akan kebutuhan pendidikan agama, sekolah mengambil kebijakan dengan menerapkan model pendidikan agama konfesional. Dalam mendukung implementasi pendidikan agama konfesional, sekolah menyediakan guru-guru agama yang sesuai dengan agama peserta didik. Adapun guru-guru agama tersebut adalah: a. Munazir, guru PAI, alumni S.1 Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan PAI 1983. b. Makfud, guru PAI alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang jurusan PAI 1986. c. Aris Setiawan, guru PAI alumni Fakultas Agama Islam jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang 2014. d. Yustina, guru agama Katolik alumni Fakultas Agama Katolik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2003 .
89
Ibid, 23 Mei 2015.
77
e. Ikawati, guru agama Kristen, alumni Sekolah Tinggi Wesleyan Magelang jurusan Pendidikan Agama Kristen..90
Selain menyiapkan guru agama yang sesuai dengan peserta didik sekolah juga memberikan tema-tema pendidikan agama sesuai dengan tema pendidikan agama Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan Nasional. Adapun tema-tema pendidikan agama adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan Agama Islam: (Menghayati nilai-nilai keimanan kepada Malikat-malaikat Allah SWT, Berpegang teguh kepada alQur‟an dan Hadits, Meyakini kebenaran hukum Islam, Berpakaian sesuai dengan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, Perilaku jujur dalam kehidupan sehari-hari, Hormat dan patuh kepada orang tua dan guru, Mujahadah an-nafs, Menghindarkan diri dari pergaulan bebas, Semangat menuntut ilmu, Sikap keluhuran budi, Menegakkan kebenaran, dan Sikap semangat ukhuwah).91 b. Pendidikan
Agama
Kristen:
(Mensyukuri
karunia
Allah,
Menghayati nilai-nilai Kristiani, Mengakui peran Roh Kudus dalam membarui kehidupan orang beriman, Meneladani Yesus dalam mewujudkan nilai-nilai kristiani, Bersedia hidup bersama
90 91
Suraji, Waka Kurikulum SMA Negeri I Muntilan, 3 Juni 2015. Makfud, Guru Agama Islam SMA Negeri I Muntilan, 3 Juni 2015.
78
dengan orang lain tanpa kehilangan identitas, Memberi kesaksian tentang peran roh kudus).92 c. Pendidikan Agama Katolik: (Panggilan hidup berkeluarga, Perkawinan dalam tradisi gereja Katolik, Tantangan dan peluang untuk membangun keluarga yang dicita-citakan, Panggilan hidup untuk membiara, Panggilan karya/profesi, Nilai-nilai penting dalam masyarakat yang diperjuangkan, Yesus Krestus pejuang keadilan, Keberagaman sebagai realitas asali kehidupan manusia, Memahami Kekhasan agama-agama di Indonesia, Kerjasama antar umat beragama dan berkepercayaan,Tantangan dan peluang umat Katolik dalam membangun Bangsa dan Negara seperti yang dikehendaki Tuhan).93 Pembelajaran agama di SMA Negeri I Magelang diberikan 3 jam pelajaran setiap minggu.94
C. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa dan Kesadaran Pluralitas Agama Siswa di SMA Negeri I Magelang.
1. Implementasi
Pendidikan
Agama
Konfesional
Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa
92
Op.cit, Waka Kurikulum SMA Negeri I Muntilan, 3 Juni 2015. Ibid, Guru Agama Katolik SMA Negeri I Muntilan, 3 Juni 2015. 94 Ibid, 3 Juni 2015. 93
Dalam
79
SMA Negeri I Magelang pada tahun pelajaran 2014-2015 memilki 840 siswa, yaitu 732 siswa beragama Islam (87,14%), 70 siswa beragama Kristen (8,33%), 34 siswa beragama Katholik (4,05%), 3 Siswa beragama Budha (0,36%), dan 1 siswa beragama Hindu (0,12%).95Walaupun mayoritas siswanya Muslim SMA Negeri I Magelang menyelenggarakan pendidikan agama konfesional. Pendidikan
agama
diberikan
3
jam
pelajaran
setiap
minggu.96Pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I Magelang diberikan dengan cara mengelompokkan siswa sesuai dengan agamanya masing-masing. Proses pembelajarannya ada yang didalam kelas, ada yang di lab agama, dan ada yang di perpustakaan. Pendidikan agama Hindu dan Budha, sekolah tidak menyediakan guru agamanya, karena jumlah siswanya yang hanya sedikit, dimana tidak setiap kelas ada siswa yang beragama Hindu dan Budha. Proses pemebelajarannya dengan cara mendatangkan tokoh dari dua agama tersebut, dan dilaksanakan tidak setiap minggu tergantung sesuai dengan kebutuhan siswanya.97 Berdasarkan hasil wawancara dengan guru agama di atas, penulis menggaris bawahi bahwa SMA Negeri I Magelang menyelenggarakan pendidikan agama konfesional, walaupun siswanya hanya sangat minoritas misalnya siswa beragama Hindu dan siswa beragama Budha.
95
Op.Cit, SMA Negeri I Magelang, 22 Mei 2015. Ibid, SMA Negeri I Magelang, 22 Mei 2015. 97 Wawancara dengan guru agama SMA Negeri I Magelang, 12 Juni 2015. 96
80
Implementasi pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I Magelang sangat didukung oleh para siswanya dan guru agama dari masing-masing agama. Untuk memperoleh data yang valid tentang implementasi pendidikan agama konfesional selain dari jadual pelajaran, penulis melakukan wawancara dan questioner tertulis terhadap siswa dan guru agama. Adapun siswa yang penulis wawancarai dan yang penulis kasih questioner tertulis adalah siswa kelas XI yakni 279 siswa (33,21%) dari 840 siswa, yang terdiri dari 245 siswa Muslim, 22 siswa Kristen, 10 siswa Katolik, 1 siswa Hindu, dan 1 siswa Budha. a. Pendapat Siswa Muslim
1). Hasil wawancara
Berikut adalah pendapat 26 (10,4%) dari siswa muslim kelas XI SMA Negeri I Magelang tentang pendidikan agama konfesional: a) Hasna Nur Afifah Yasmin kelas XI IS 1, berpendapat bahwa: Dengan diberikannya pendidikan agama konfesional dia sangat bersyukur dapat menambah ketaqwaan dan keimanan kepada Allah. Dia sangat setuju sekali dengan pendidikan agama konfesional ini, karena setiap orang mempunyai keyakinan yang
berbeda,
sehingga
diperlukan
pendidikan
agama
konfesional. Dan dalam bersahabat dia tidak membedakan agama yang satu dengan yang lainnya. Dia merasa bahagia dan
81
nyaman bersahabat dengan teman yang berbeda agama, karena bisa menambah wawasan keagamaannya. b) Dezenia Zain kelas XI IS 1, dia berpendapat: Dengan diberikan pendidikan agama konfesional dapat menambah wawasan keagamaannya dan dia setuju diberikannya pendidikan agama konfesional, karena pendidikan agama konfesional bisa menambah keyakinan terhadap ajaran agamanya.Dan walaupun dia seorang muslim tetapi dia tetap bersahabat dengan teman yang beragama lain tanpa membedakan agama satu sama lain. c) Yulia Kartika Dewi kelas XI IS 1, berpendapat bahwa pendidikan
agama
konfesional
merupakan
sarana
mempertahankan ajaran agamanya, dan pendidikan agama merupakan hak asasi manusia. Dengan pendidikan agama konfesional ini dia semakin mendalami agamanya sehingga dia mau bersahabat dengan teman yang beragama lain tanpa ada diskriminasi. d)
Nofi Sulistyowati kelas XI IS 1, berpendapat: Sangat setuju dengan pendidikan agama konfesional, karena semua siswa mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan agama. Dan dia tidak membeda-bedakan teman, baik yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, maupun Buddha.
e)
Vania Kenya kelas XI IS 2, dia setuju dengan pendidikan agama konfesional ini, karena pendidikan agama konfesional
82
merupakan sarana meningkatkan keimanan selain yang diperoleh dari mengaji dirumah. Dengan demikian dia membuka diri dengan teman yang berbeda agama untuk bertukar wawasan tanpa ada yang ditutup-tutupi. f)
Muhammad Ersad kelas XI IS 2, dia berpendapat bahwa: pendidikan agama konfesional merupakan hak setiap siswa. Pendidikan agama tidak boleh dipaksakan karena melalui pendidikan
agama
konfesional
ini,
keyakinan
terhadap
ajarannya semakin kuat. Dia juga berpendapat setiap siswa berhak untuk bersahabat dengan siswa yang berbeda agama tanpa adanya diskriminasi. g) Riandy Herdeand kelas XI IS 2, dia berpendapat: Dengan pendidikan agama konfesional ini akan memperdalam ajaran yang diyakininya, dan merupakan hak setiap siswa. Dia juga berpendapat, demi terwujudnya kehidupan yang harmonis dan damai maka harus di perlukan persahabatan dengan teman yang berbeda agama. h)
Satria Fajar kelas XI IS 2, dia sangat setuju dengan pendidikan agama konfesional ini, karena pendidikan agama tidak boleh dicampur adukkan. Dia sangat menginginkan keharmonisan dan kerukunan hidup antar umat beragama.
i) Dewi Anngaraeni kelas XI IS 7, dia berpendapat: bahwa pendidikan konfesional merupakan hak semua siswa, karena di
83
Indonesia ada lima agama yang diakui pemerintah. Dan menurut dia untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama harus di hilangkan diskriminasi agama walaupun siswa Muslim mayoritas. j)
Nindya Lin Fajriyati kelas XI IS 2 , dia berpendapat: bahwa pendidikan agama konfesional ini hak semua siswa terpenuhi walaupun jumlahnya minoritas. Dalam persahabatan dia tidak membeda-bedakan masalah agama, dia menganggap sama antara teman yang beragama satu dengan yang lainnya.
k)
Charilia Riantanti Pramitha kelas XI IS 2, dia setuju dengan diberikannya pendidikan agama konfesional ini, karena dengan pendidikan agama konfesional ini tidak mendiskriminasikan siswa yang jumlahnya minoritas. Bahkan dia membuka diri untuk bersahabat dengan siswa yang beragama lain.
l)
Muhammad Bahar Faiz kelas XI IS 2, menurut dia pendidikan agama konfesional sarana mempertahankan keyakinannya, dan dia setuju dengan model pendidikan agama konfesional ini. Dalam pandangannya, untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dan damai disekolah harus diperlukan persatuan dan kesatuan antar umat beragama.
m) Farah Atika Zahra kelas XI MIA 6, dia setuju dengan penerapan model pendidikan agama konfesional ini, karena pendidikan agama konfesional ini merupakan perwujudan
84
keadilan bagi semua siswa dalam masalah pendidikan agama. Dia sangat menjunjung tinggi persamaan hak antar siswa yang beraga satu dengan yang beragama lain dalam berinteraksi. n) Qonita kelas XI MIA 2, dia sepakat dengan pendidikan agama konfesional ini, karena sekolahannya merupakan sekolah negeri dimana siswanya menganut bermacam-macam agama. Dia juga berpendapat, sebagai siswa SMA Negeri I Magelang tidak sepantasnya mendiskriminasikan agama terhadap siswa yang beragama lain. Oleh karena itu harus bersatu saling berkekeluargaan. o) Ramadanti Pratiwi kelas XI MIA 5, dia berpendapat bahwa pendidikan
agama
konfesional
sangat
tepat
diterapkan
disekolahnya, karena SMA Negeri I Magelang merupakan sekolah umum bukan sekolah yang bercirikan agama tertentu. Oleh karena itu harus bersatu padu menjadi keluarga besar SMA Negeri I Magelang tanpa dsikriminasi agama. p)
Yulia Malahayati siswa kelas XI IS 3, dia sangat setuju dengan model pendidikan agama konfesional ini, karena hidup dinegara demokrasi harus menghargai perbedaan agama dan semua siswa berhak untuk mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Dan sebagai warga negara Indonesia yang multikultural harus bersatu padu untuk
85
menjaga persatuan dan kesatuan antar umat beragama demi terwujudnya negara yang damai dan tenteram. q)
Aina Rizqi kelas XI IS 3, menurut dia pendidikan agama konfesional sangat tepat diberikan, karena setiap siswa berhak menerima dan memilih pendidikan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh guru yang seagama juga. Dia juga berpendapat, bahwa bersahabat dengan teman yang berbeda agama tidak menjadikan keyakinan akan agamanya lemah, bahkan dengan bersahabat dengan yang berbeda agama wawasan keimanannya bertambah.
r)
Rizca Nurul Istiqomah kelas XI IS 2, menurut dia pendidikan agama konfesional sangat bermanfaat dan menambah wawasan keagamaan. Dia tetap bersahabat dengan teman yang berbeda agama tanpa diskriminasi.
s) Ahmad Aldair Febriyanto kelas XI IS 3, dia setuju terhadap pelaksanaan pendidikan agama konfesional ini, karena setiap siswa mempunyai keyakinan dan kepercayaan terhadap agama tertentu.Dalam persahabatan dengan teman yang berbeda agama tetap dilakukan karena perbedaan agama hanya perbedaan akidah, tetapi kehidupan sosial tetap harus terjalin dengan erat. t)
Rafidha Aliy Rachmani kelas XI IS 3, dia sangat senang terhadap pendidikan agama yang diberikan sesuai dengan
86
agamanya, karena bisa memperkuat iman dan ketakwaannya. Dan bersahabat dengan teman yang berbeda agama
dapat
mengambil hikmah dan teladan yang baik yang sesuai dengan keyakinannya sendiri. u) Rifki Wira Prakasa kelas XI IS 3, menurut dia pendidikan agama konfesional ini dapat mendalami agamanya sendiri secara leluasa karena dipisahkan dengan siswa yang beragama lain. Dia merasa biasa saja bersahabat dengan teman yang beragama lain tanpa memandang bahwa itu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. v)
Zahara Yasmine Azaria kelas XI IS 3, menurut dia dengan diberikan pendidikan agama sesuai dengan agamanya berarti memberikan hak pendidikan agama sesuai dengan keyakinan agamanya. Dia juga berpendapat, bahwa bersahabat merupakan hak setiap siswa. Apakah mau bersahabat dengan yang beragama Islam, Kristen,Katolik,Hindu, maupun Buddha, yang paling penting terbina kerukunan hidup yang harmonis.
w) Wulan Anggraini kelas XI IS 3, dia setuju dengan diberikan pendidikan agama sesuai dengan agama siswa, karena kita hidup berdampingan dengan agama lain. Dia juga berpendapat, bahwa Islam menghargai perbedaan. Oleh Karena itu sebagai umat Islam harus bekerjasama dengan umat yang lain.
87
x) Offia Melda kelas XI MIA 5, dia mendukung dan setuju terhadap pendidikan agama konfesional ini, karena setiap siswa berhak
mendapatkan
pendidikan
agama
sesuai
dengan
pilihannya. Walaupun umat Islam di Indonesia,khususnya di Magelang
mayoritas,
namun
harus
berinteraksi
dan
bersosialisasi dengan umat yang lain supaya terwujud kehidupan yang aman, tenteram, dan harmonis. y) Delfi Permata Sari kelas XI MIA 5, menurut dia pemberian pendidikan agama konfesional ini berarti mewujudkan keadilan pendidikan agama siswa. Dalam mewujudkan kerukunan sosial beragama dia bersikap tidak membeda-bedakan agama dan menghargai pendapat mereka. z) Ariendya Rizqianne Achsan kelas XI MIA 5, dia sangat senang dan nyaman dengan model pendidikan agama yang diberikan, karena dipisahkan dengan temannya yang beragama lain. Walaupun dia Muslim, dia tetap menjalin persahabatan dengan siswa non-Muslim dalam konteks kehidupan sosial.98
2). Hasil Questioner Tertulis Siswa Muslim
Metode pengumpulan data tentang implementasi pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I Magelang adalah dengan menggunakan questioner tertulis. Metode ini penulis gunakan
98
Wawancara dengan siswa Muslim 21 Mei 2015
88
karena jumlah siswa muslim di SMA Negeri I Magelang muslim, sehingga tidak memungkinkan untuk mewawancarai semuanya. Adapun siswa yang penulis berikan questioner sebanyak 215 siswa (87,75%). Dari questioner yang penulis berikan, sebanyak 130 siswa (53,06%) menyatakan setuju terhadap implementasi pendidikan agama konfesional. Dan sisanya 85 siswa (34,69%) tidak memberikan jawaban.99 Walaupun siswa Muslim di SMA Negeri I Magelang mayoritas, meraka tetap menghargai temanteman lain yang beragama non Islam. Selain itu mereka tetap menjalin persahabatan dengan teman-teman yang beragama laian. Dan mereka menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan hak dan kewajiban sebagai siswa SMA Negeri I Magelang.
b. Pendapat Siswa Kristen
Pendapat siswa Kristen tentang implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa di SMA Negeri I Magelang, penulis peroleh dengan cara wawancara. Berikut pendapat siswa Kristen tentang implementasi pendidikan agama konfesional:
1) Timotheus Aditya Santoso kelas XI IS 4, menurut dia implementasi pendidikan agama konfesional ini sangat tepat
99
Qustioner 22 Mei 2015
89
sekali diterapkan di SMA Negeri I Magelang, karena pendidikan agama harus diberikan kepada siswa yang seagama dan pendidikan agama tidak bisa dipaksakan kepada siswa yang beragama lain. Dalam persahabatan dengan teman yang berbeda agama dia tidak menyinggung perasaan, tidak menjelekan agamanya, dan tetap menghormati agamanya. 2) Yohana Yovita Amadea kelas XI IS 4, dengan pendidikan agama konfesional ini dia merasa bersyukur, karena dia bisa belajar agama sesuai dengan agamanya dan terpisah dengan siswa lain yang berlainan agama. Dalam interaksi sehari-hari dengan teman yang beda agama, dia menjunjung tinggi nilainilai toleransi tanpa diskriminasi. 3) Hulda Gracius Scriptura kelas XI MIA 6, dia setuju dengan pelaksanaan pendidikan agama konfesional ini, dia bisa belajar agama sesuai dengan agama yang diyakininya dengan nyaman karena dipisahkan dengan siswa yang beragama lain. Selain itu, dalam masalah pelajaran dan aktifitas sosial, dia membuka diri dengan teman yang berbeda agama, karena menuntut ilmu tidak membedakan agama. 4) Natalia Febrianti kelas XI MIA 6, menurut dia dengan model pendidikan agama konfesional ini dia bisa belajar agama dengan menyenangkan. Dia bisa memperdalam iman dan keyakinannya melalui pendidikan agama ini yang diajarkan
90
oleh guru yang seagama juga. Dalam kehidupan sosial dia melakukan kegiatan yang positif dengan teman yang beda agama dengan komitmen salaing menghargai. 5) Septheeva Ratri Rhesandrea kelas XI MIA 6, dia sangat setuju sekali dengan pembelajaran pendidikan agama ini, karena dia bisa belajar agama sesuai dengan al-Kitab. Dia tetap berbaur dengan siswa yang berbeda agama dengan prinsip menghargai pemikiran temannya dengan berpegang teguh pada iman Kristen. 6) Diwidi Kumara Lituhayu kelas XI MIA 6, dia setuju dengan model pendidikan agama konfesional ini, karena semua siswa mendapat pendidikan agama sesuai dengan agamanya tanpa diskriminasi. Walaupun dia seorang Kristen dia tetap menghargai teman yang beragama lain dan tetap bersahabat dengan teman yang berbeda agama. 7) Happy Putra Jatmika kelas XI IS I, menurut dia pendidikan agama konfesional ini sangat tepat diterapkan di SMA Negeri I Magelang, karena siswanya menganut agama yang berbedabeda. Dia setuju dengan model ini, karena dia bisa memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama. Dan dia merasa biasa saja bersahabat dengan teman yang berbeda agama serta menghargai agama temannya.
91
8) Rizki Andriani kelas IS I, dia setuju dengan pendidikan konfesional ini, dia sangat asyik dan menarik dalam mengikuti pembelajarannya, karena terpisah dengan teman-temannya yang berbeda. Bahkan dia tetap mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan teman-temanya yang berbeda agama dengan tetap menghargai agama mereka. 9) Rut Dwi Ardiayantini kelas XI IS I, dia merasa senang hati dengan model pendidikan agama konfesional ini. Dia bisa menambah pengetahuan
tentang agamanya. Dia mau
bersahabat dengan teman yang beragama lain asalkan yang bersifat positif. 10) Bernadheta Fibriana kelas XI IS 1, dia setuju dengan model pendidikan agama konfesional ini, karena dia bisa menambah wawasan akan ajaran agamanya. Selain itu dia tetap menghargai dan menghormati temannya yang beragama lain, tanpa membanding-bandingkannya. 11) Stephanie Gracia kelas XI IS I, dia sangat setuju dengan penerapan pendidikan agama konfesional ini, karena dia bisa mempelajari agamanya tanpa adanya paksaan dan tekanan dari manapun. Agar terjalin persahabatan yang positif dengan teman yang berbeda agama dengan tukar pendapat, sarasehan, dan diskusi tentang masalah-masalah sosial keagamaan.
92
12) Immanuel Andrew Suryowidagdo kelas XI MIA 4, menurut dia pendidikan agama konfesional ini sangat bagus, karena semua siswa mendapat pendidikan agama sesuai dengan agamanya. Dia menganggap teman yang berbeda agama ibarat saudara sendiri sehingga diperlakukan sama. 13) Tan Steffi Louisa Della kelas XI MIA 4, menurut dia model pendidikan agama ini sangat baik sekali, karena tidak mendiskriminasikan siswa yang beragama lain. Dia tetap bersahabat dengan teman yang berlainan agama dengan prinsip menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. 14) Timothy Abdiel
kelasa XI MIA 4, dia setuju dengan
pendidikan agama konfesional ini, dan dia bersyukur mendapat pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama juga. Selain itu, guna menjalin kerukunan hidup sosial antar umat baragama dia tidak mendiskriminasikan agama tertentu. Dia merasa senang bersahabat dengan teman yang beragama lain. 15) Christhopher Prasetyo Darmanto kelas XI MIA 4, pendidikan agama konfesional sangat menyenangkan, karena dia mendapat kebebasan dalam mendapat pendidikan agama. Dia merasa tidak tertanggu bersahabat dengan teman yang beragama lain, karena bersahabat dengan teman yang beragama lain semakin meningkat wawasan kerukunan sosial antar umat beragama.
93
16) Liwiryon Sudarso kelas XI MIA 4, dia setuju sekali dengan model pendidikan agama konfesional ini, karena dia bisa menikmati pelajaran tanpa interfensi dari agama lain. Dengan teman
yang
menghormati,
berbeda dan
agama
menjunjung
dia tinggi
tetap
menghargai,
nilai-nilai
sosial
keagamaan. 17) Addson Theo
kelas MIA 4, dia setuju dengan pendidikan
agama konfesional ini, karena semua siswa mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan agama. Dia merespon positif ketika beraktifitas dengan teman yang berbeda agama. 18) Enrico Abi kelas XI MIA 4, dia setuju dengan pendidikan agama konfesional ini, karena hak semua siswa untuk mendapatkan pendidikan agama terpenuhi. Dan dia tetap menjalin kerjasama dengan teman yang berbeda agama tidak hanya disekolah saja, misalnya belajar kelompok di rumah.100
c. Pendapat Siswa Katolik Pendapat siswa Katolik tentang implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama, penulis peroleh dari wawancara dengan siswa
100
Wawancara dengan Siswa Kristen 21 Mei 2015
94
Katolik. Berikut hasil wawancara penulis dengan siswa Katolik: 1) Apolinaris, siswa kelas XI MIA 2. Dia setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional ini, karena dia bisa memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agamanya. Menurut dia, dengan model pendidikan agama konfesional ini dia bisa membuka diri bersahabat dengan teman-teman yang berbeda agama. Selain itu dia semakin memahami pentingnya hidup rukun dengan agama teman yang beragama lain, karena dia sadar bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain walaupun berbeda keyakinan dan agama. 2) Novena Berliana kelas XI MIA 2, dia sangat setuju dengan pendidikan agama konfesional ini. Dia merasa bisa menambah wawasan beragama Katolik dengan baik karena diajarkan oleh guru Katolik juga. Setelah mendapat pendidikan agama yang sesuai dengan agamanya, dia merasakan keharmonisan bersahabat dengan teman-teman yang berbeda agama. 3) Vara Diza Maharani kelas XI MIA 2, menurut dia, setelah mendapat pendidikan agama sesuai dengan agamanya dia merasa senang karena mendapat bimbingan yang baik dalam mendalami agama. Sehingga dalam bersahabat dia tidak
95
membeda-bedakan antara teman yang seagama dengan teman yang berbeda agama. 4) Theodore F.A kelas XI MIA 2, dia merasa senang dan merasa nyaman ketika memperoleh pendidikan agama, karena dia merasa sesuai dengan agamanya. Dia menganggap temantemanya sama walaupun berbeda agama, dan dia merasa bangga mempunyai teman yang berbeda agama. 5) Karlin Chandra kelas XI IS 2, dia setuju dengan model pendidikan agama konfesional ini, karena dia mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan haknya. Dia juga berpendapat, bahwa negara kita negara multikultural, dimana Negara kita mengakui 5 agama, maka dalam bersahabat tidak boleh diskriminasi terhadap teman yang berbeda agama. Dia mengaggap sama antar teman yang seagama dengan teman yang berbeda agama.101
d. Pendapat Siswa Hindu
Pendapat seorang siswa Hindu tentang implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama, penulis peroleh dari wawancara dengan seorang siswa Hindu. Berikut hasil wawancara penulis dengan seorang siswa Hindu:
101
Wawancara dengan siswa Katholik 21 Mei 2015
96
1) Nia Pradnya Dewanti kelas XI MIA 4, dia setuju dengan model pendidikan agama konfesional ini, karena pendidikan agama merupakan hak semua siswa. Pendidikan agama tidak boleh dipaksakan, karena agama merupakan keyakinan dan kepercayaan. Dia juga berpendapat, walaupun dia hanya seorang diri tetapi dia tetap membuka diri untuk bersahabat dengan siswa yang beragama lain. Dan dia sangat senang bisa bersahabat dengan teman yang berbeda agama, karena bersahabat dengan siswa yang berbeda agama dia merasakan arti pentingnya hidup rukun dan damai dengan siswa yang berbeda agama.102
e. Pendapat Siswa Buddha
Pendapat seorang siswa Buddha tentang implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama, penulis peroleh dari wawancara dengan seorang siswa Buddha. Berikut hasil wawancara penulis dengan seorang siswa Buddha: 1) Nella Zabrina Pramata siswa kelas XI MIA 4, dia setuju dengan pendidikan agama konfesional ini, dia bersyukur bisa mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang diyakininya dan diajarkan oleh guru yang seagama juga. Dia menyadari walaupun dia seorang diri beragama
102
Wawancara dengan siswa Hindu 21 Mei 2015
97
Buddha tidak membuat dia minder untuk bersahabat dengan teman yang berbeda agama. Oleh karena itu dia semakin membuka diri untuk bersahabat dengan teman yang berbeda agama, sebab hidup merasa indah apabila bisa berdampingan tanpa adanya konflik dengan agama lain.103
2.
Kesadaran Pluralitas Agama Siswa a. Pendapat Siswa Muslim Siswa Muslim kelas XI SMA Negeri I Magelang berpendapat: Bahwa semua agama mengajarkan akhlak. Semua agama mengatur umatnya untuk memiliki akhlak yang baik. Oleh karena itu, sebagai umat yang beragama harus berbuat baik kepada sesama manusia, baik terhadap sesama Muslim maupun terhadap umat yang lain. Selain itu sebagai umat Muslim harus bisa menciptakan hidup yang kondusif terhadap umat yang lain. Islam mengajarkan toleransi terhadap agama lain, tidak memaksakan orang lain untuk memeluk agama Islam. Karena Islam di syiarkan dengan damai. Selain kesimpulan tersebut, penulis juga akan menyampaikan beberapa pendapat siswa Muslim tentang kesadaran pluralitas agama siswa. Berikut pendapat beberapa siswa Muslim yang penulis wawancarai.
103
Wawancara dengan siswa Buddha 21 Mei 2015
98
1) Dezenia Zain kelas XI IS 1, dia berpendapat: Islam adalah agama yang paling benar, tetapi sebagai umat Islam harus tetap menghormati dan menghargai agama yang lain. Dan tidak boleh mencela, menghina, dan mendiskriminasikan agama yang lain. Oleh karena itu sebagai umat Muslim yang baik harus mempunyai sopan santun, berbudi luhur, dan berakhlakul karimah. 2) Yulia Kartika Dewi kelas XI IS 1, menurut dia Islam adalah agama yang paling benar, dan tidak bolah mencampur adukkan ajaran agama Islam dengan agama yang lain, karena agama Islam mempunyai Tuhan yang Esa berbeda dengan agama lain. Tetapi sebagai umat Islam yang taat, kita tetap harus menghormatinya, karena kita hidup di Negara Pancasila dimana Indonesia mengakui 5 agama yang resmi. 3) Vania Kenya Belinda kelas XI IS 2, dia berpandangan: bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Dia juga berpandangan, bahwa agama yang lain mengajarkan akhlak dan etika sosial, tetapi yang paling benar adalah Islam. Maka sebagai umat Muslim harus tetap toleransi dan menghargai agama yang lain. Selain itu harus tetap bekerja sama dalam kehidupan masyarakat. 4) Ramadanti Pratiwi kelas XI MIA 5, Menurut dia agama yang paling benar adalah Islam. Islam sudah terbukti dengan tanda-
99
tanda kekuasaan Allah di dunia dan sudah terbukti bahwa alQur‟an adalah kitab suci yang paling benar dan paling lengkap. Sebagai umat Islam sebaiknya menghargai agama lain walaupun berbeda dengan keyakinan kita. Dan jangan memiliki sikap arogan yang
dapat memicu perselisihan antar umat
beragama. 5) Yulia Malahayati kelas XI IS 3, menurut dia agama yang palin benar adalah Islam, namun kita tetap menghargai dan menghormati mereka. Semua agama memiliki ajaran yang bertujuan baik. Hanya saja siapa yang mereka sembah dan mereka percayai itu tidak masuk akal. Oleh karena itu kita tidak boleh menyalahkan mereka dan kita tetap toleran terhadap mereka. 6) Aina Rizqi Destriesa kelas XI IS 3, menurut dia agama yang paling benar adalah Islam. Aturan-aturan dalam Islam sungguh indah, misalnya dalam Q.S an-Nur ayat 31 yang isinya Allah menganjurkan para wanita untuk mengulurkan jilbab keseluruh tubuhnya agar terhindar dari gangguan/kejahatan. Dia juga berpendapat semua agama di ciptakan untuk melahirkan ketertiban, kedamaian dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu kita tidak boleh mencela agama lain, dan tetap menjalin hubungan baik dengan teman yang berbeda dalam kehidupan sosial.
100
7) Wulan Anggraini kelas XI IS 3, Menurut dia agama yang paling benar adalah Islam. Dan dia berpendapat :Setiap agama mengajarkan kebaikan, tetapi dalam mewujudkan kebaikan tersebut mereka memiliki jalan sendiri-sendiri sesuai dengan keyakinan mereka. Oleh karena itu kita harus menghargai perbedaan keyakinan tersebut dengan mengedepankan toleransi beragama agar terwujud kerukunan sosial antar umat beragama.104
b. Pendapat Siswa Kristen Pluralitas agama merupakan realita yang harus dihadapi di Indonesia. Indonesia merupakan negara plural, dimana Indonesia mengakui lima agama. Umat dari lima agama yang diakui pemerintah tersebut mempunyai persepsi yang bermacam-macam. Menurut siswa Kristen semua agama baik, karena semua agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan kepada umatnya. Akan tetapi meraka tetap komitmen bahwa agama yang paling benar adalah Kristen. Berikut pandangan siswa Kristen tentang pluralitas agama di Indonesia. 1) Natalia Febrianti kelas XI MIA 6, menurut dia setiap agama percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, hanya saja dengan cara yang berbeda. Tetapi dia tetap yakin bahwa agama yang paling
104
Op.cit, Wawancara dengan siswa Muslim 21 Mei 2015
101
benar adalah Kristen. Oleh karena itu dia tetap bersosialisasi dengan teman yang beragama dengan prinsip toleransi dan salaing menghargai agama lain. 2) Stepanie Gracia kelas XI 1, menurut dia agama yang paling benar adalah Kristen. Selain itu dia berpendapat, bahwa agama yang lain adalah benar dan baik. Tetapi yang sering menimbulkan konflik adalah umat yang tidak taat, sehingga muncul istilah yang menjelekkan agama lain misalnya Islam teroris. Dan setiap penganut agama menjalankan ajaran agamanya dengan taat dan benar, salaing menghargai dan mengembangkan
sikap
toleransi.
Sedangkan
mengenai
pluralitas agama yang ada di Indonesia dia toleran dan menghargai pemeluknya untuk beribadah sesuai dengan ajarannya.105
c. Pendapat Siswa Katolik Siswa Katolik berpandangan, bahwa agama-agama yang ada di Indonesia adalah benar dan baik, karena semua agama mengajarkan kebaikan moral. Namun mereka tetap yakin, bahwa agama yang mereka anut adalah agama yang paling benar dan tidak ada agama yang paling benar selain Katolik.
105
Op.cit, wawancara dengan siswa Kristen 21 Mei 2015.
102
Semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk saling menghormati, toleransi, dan saling bekerja sama dalam kehidupan sosial. Berikut pendapat beberapa siswa Katolik: 1) Vara Diza Maharani kelas XI MIA 2, menurut dia semua agama itu baik dan hubungan sosial umat beragama. Akan lebih indah apabila masing-masing pemeluk agama yang berbeda saling menghormati dan toleransi. Namun agama yang paling benar adalah Katolik. Walaupun agama Katolik adalah agama yang paling benar, dia tetap menghargai agama yang lain. 2) Karlin Chandra kelas XI IS 2, menurut dia agama yang paling benar adalah Katolik. Dia juga berpendapat, bahwa semua agama baik yaitu sama-sama menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa, hanya caranya saja yang berbeda. Selain itu semua agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, karena budi pekerti yang luhur merupakan alat bagi kerukunan sosial umat beragama. Oleh karena itu, dia menghormati dan mengakui keberadaan agama yang lain, dan dia tetap yakin bahwa agama yang paling benar adalah agama yang ia anut, yaitu agama Katolik.106
106
Op.cit, Wawancara dengan siswa Katholik 21 Mei 2015.
103
d. Pendapat Siswa Hindu 1) Nia Pradnya Dewanti kelas XI MIA 4, semua agama yang ada di Indonesia adalah benar bagi mereka yang memeluknya. Selain itu semua agama mengajarkan tatakrama dan kebaikan dalam kehidupan sosial. Semua agama mengajarkan kedamaian serta tidak ada agama yang mengajarkan pertengkaran dan permusuhan dengan umat yang lain. Dan dia tetap yakin agama yang paling benar adalah agama Hindu. Namun dia tidak menganggap agama yang lain salah, tetapi dia sangat menghormati agama lain.107
e. Pendapat Siswa Buddha 1) Nella Zabrina Pramata siswa kelas XI MIA 4, semua agama yang ada di Indonesia adalah baik, karena semua agama mengajarkan hidup rukun berdampingan dengan umat yang lain. Dan dia tetap yakin, bahwa agama yang palin benar di Indonesia adalah agama Buddha. Perbedaan agama ini harus disikapi dengan kerukunan kehidupan sosial antar umat beragama di masyarakat. Selain itu setiap umat beragama harus tetap menjaga komitmen masing-masing untuk saliang menghormati dan menghargai pemeluk agama yang lain.108
107 108
Op.cit, Wawancara dengan Siswa Hindu 21 Mei 2015. Op.cit, Wawancara dengan siswa Buddha 21 Mei 2015.
104
D. Implementasi Pendidikan Agama Konfesional dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa dan Kesadaran Pluralitas Agama Siswa di SMA Negeri I Muntilan.
1. Implementasi
Pendidikan
Agama
Konfesional
Dalam
Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa SMA Negeri I Muntilan pada tahun pelajaran 2014-2015 memilki 802 siswa, yaitu 765 siswa beragama Islam (95,38%), 5 siswa beragama Kristen (0,62%), 32 siswa beragama Katholik (3,99%). Walaupun mayoritas siswanya Muslim, SMA Negeri I Muntilan menyelenggarakan pendidikan agama konfesional.109
a. Pendapat Siswa Muslim 1). Hasil Wawancara Pengumpulan data tentang implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkat kerukunan sosial beragama antar siswa penulis melakukan wawancara dengan 26 (10,4%) dari 250 siswa Muslim. Berikut hasil wawancara penulis dengan siswa Muslim. a) Dhania Dwi kelas XI IS 4, dia sangat setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional. Setiap siswa
109
Tata usaha SMA Negeri I Muntilan, 26 Mei 2015
105
berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya, dan diajarkan oleh guru yang seagama pula. Walaupun dia seorang Muslim, dia tetap membuka diri untuk bersahabat dengan siswa yang berbeda agama dengan saling menghormati dan toleransi terhadap agama lain. Selain itu agama merpakan keyakinan seseorang yang tidak boleh dipaksakan. b) Ilham Fadhila Akbar kelas XI MS 2, dia berpendapat bahwa pendidikan agama harus diberikan sesuai dengan agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama pula. Dia setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional. Indonesia sangat menghargai perbedaan agama. Selain itu SMA Negeri Muntilan adalah sekolah negeri bukan sekolah yang bercirikan agama tertentu. Perbedaan agama harus disikapi dengan bijak, yakni bersahabat dengan pemeluk agama lain dalam masalah kehidupan sosial. c) Arum Kuncoro Wati kelas XI MS 2, menurut dia pendidikan agama konfesional sangat tepat diberikan di SMA Negeri Muntilan. Sebagai umat Muslim yang baik harus menghormati dan menghargai agama lain. Wujud dari menghormati dan menghargai agama lain yaitu bersahabat dan berkomunikasi dalam kehidupan sosial setiap hari.
106
d) Farida Diyan
kelas XI MS 2, dia sangat setuju dengan
implementasi pendidikan agama konfesional ini, karena di Indonesia memiliki beberapa macam agama. Dan agama Islam juga menganjurkan umatnya untuk tetap bekerja sama dengan umat yang lain dalam kehidupan sosial setiap hari dengan prinsip toleransi. e) Winda Kurnia indah kelas XI IS 4, dia setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional. Setiap siswa berhak menerima pendidikan agama yang sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama juga. Sebagai umat yang mayoritas, kita harus menghargai dan menghormati agama lain. Selain itu sebagai warga Negara Indonesia kita harus bekerja sama dalam kehidupan sosial, karena Indonesia mengakui agama-agama yang lain. f)
Anggun Khariesma kelas XI MS 2, menurut dia implementasi pendidikan agama konfesional sangat tepat sekali. Sebagai sesama umat beragama, semua wajib mendapatkan pendidikan agama walaupun siswa tersebut menganut agama yang minoritas. Dan sebagai umat yang mayoritas kita juga harus menghormati dan bekerja sama dalam sosial kemasyarakatan.
g) Diana Lestari kelas XI MS 2, dia setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional. Sebagai siswa yang belajar dalam satuan pendidikan yang sama, kita juga mempunyai hak
107
yang sama pula dalam memperoleh pendidikan agama sesuai agama yang di anutnya. Islam tidak mengajarkan toleransi terhadap agama lain dan bekerja sama dalam sosial kemasyarakatan tanpa diskriminasi agama tertentu. h) Hesti Setyawati kelas XI MS 2, dia sepakat dengan implementasi pendidikan agama konfesional, karena semua siswa mendapat pendidikan agama yang sesuai dengan agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama juga. Dan dia tetap bersahabat dengan teman lain yang berbeda agama dengan saling toleransi, serta saling membantu dalam bidang sosial. i)
Nur Peni kelas XI MS 2, dia setuju dengan implementasi pendidikn agama konfesional. Sebagai umat Muslim harus menghargai agama lain. Tidak pantas sebagai sekolah Negeri yang siswanya plural hanya mengajarkan satu pendidikan agama saja. Dan kita harus tetap bekerja sama dalam kehidupan sosial dengan umat yang lain.
j)
Hernata Danu Arta kelas XI MS 2, menurut dia model pendidikan agama konfesional sangat tepat sekali, karena setiap siswa berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan dengan guru yang seagama pula. Dan sebagai umat beragama kita harus saling
108
toleransi dan saling bekerja sama dalam sosial kemasyarakatan khususnya di sekolah. k) M Wahyu kelas XI MS 2, dia setuju dengan implementasi pendidikan
agama
konfesional.
Setiap
siswa
berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama juga, walaupun itu siswa minoritas. Dan sebagai umat Muslim kita harus menjaga dan bekerja sama dalam kehidupan sosial. l) Sintia Mashitoh
kelas XI MS 2, dia setuju dengan
implementasi pendidikan agama konfesional, karena model pendidikan agama seperti ini tidak ada diskriminasi agama baik yang mayoritas maupun minoritas. Dan sebagai warga negara yang ber bineka tunggal ika, kita tetap harus hidup rukun dengan umat yang lain. m) Siti Amirotul Umah kelas XI IS 4, dia setuju sekali dengan implementasi pendidikan agama konfesional. Dengan demikian sekolah
memberikan kesempatan siswa untuk belajar
pendidikan agama yang dianutnya. Model pendidikan agama seperti ini akan menciptakan toleransi dan salang menghargai anatar sesame umat beragama serta akan menumbuhkan semangat kerjasama sosial kemasyarakatan. n) Laila Nurhayati siswa kelas XI IS 4, dia setuju sekali dengan pendidikan agama konfesional ini. Model pendidikan seperti ini
109
semua siswa mendapatkan pendidikan agama baik yang mayoritas maupun minoritas. Dengan demikian tidak ada diskriminasi antara siswa yang mayoritas dengan minoritas. Dan sebagai siswa yang mayoritas kita tetap bekerja sama dalam proses pembelajaran setiap hari. o) Erwin Septi kelas XI IS 4, dia sangat bersyukur sekali, karena dia bisa mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dan diajarkan oleh guru yang seagama juga, sehingga dia bisa memperdalam wawasan keagamaannya. Model pendidikan agama seperti ini dia setuju sekali, karena semua siswa mendapat keadilan dalam pendidikan agama. Sebagai siswa muslim dia tetap bersahabat dengan siswa yang beragama lain dalam urusan pelajaran. p) Dina Fitriyani kelas XI IS 4, dia setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional. Dengan demikian setiap siswa terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan agama. Sebagai siswa Muslim dia setiap hari tetap bersahabat dengan siswa yang beragama lain dalam kehidupan sosial. q) Dimas Rama Bayu Pamungkas kelas XI IS 2, dia setuju dengan model pendidikan agama konfesional ini. Dia bisa menerima pendidikan agama Islam yang dapat memperdalam pengetahuan tentang agamanya sehingga dapat memperkuat iman dia. Selain itu siswa yang beragama lain juga bisa
110
menerima pelajaran agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama pula. Sebagai umat beragama yang taat harus toleransi dan bekerja sama dalam kehidupan kemasyarakatan. r) Dwi Nisa‟ul Husna kelas XI IS 2, dia setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional, karena semua siswa mendapat pendidikan agama sesuai dengan agamanya masing-masing. Pendidikan agama hak bagi semua siswa walaupun minoritas. Dan sebagai orang terpelajar harus hidup rukun dan saling bekerja sama dalam dunia pendidikan dengan sesama teman yang berlainan agama. s)
Sahara Citra Kharisma kelas XI MS 4, dia sangat setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional, karena dapat memperdalam keimanan. Pendidikan agama seperti ini sangat menghargai siswa yang beragama minoritas. Walaupun dia memeluk agama yang mayoritas, dia tetap bersahabat dengan
teman
yang
beragama
minoritas
dalam
batas
pembelajaran dan kehidupan sosial. t)
Achmad Mujaddid kelas XI MS 4, dia setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional, karena di lihat dari
sudut
pandang
pendidikan
semua
siswa
berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Dan sebagai umat Muslim
111
harus tetap menjaga kerukunan dengan umat yang lain dengan saling toleransi. u) Mardiyanti Dwi Pratiwi kelas XI MS 4, dia setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional, karena bisa memperdalam ilmu agama sehingga dapat menghindari pertentangan
antar
umat
beragama.
Dia
senantiasa
bersosialisasi dengan teman yang berbeda agama dengan saling toleransi. v) Lela Wahyu Anggraeni kelas XI MS 4, dia menilai implementasi pendidikan agama konfesional
sangat
tepat,
karena Indonesia adalah negara yang plural. Walaupun Islam agama mayoritas khususnya di SMA Negeri Muntilan, tetapi menerapkan pendidikan agama konfesional. Selain itu dia tetap menghargai, menghormati, bersahabat tanpa membeda-bedakan agama yang lain dengan tetap menjaga akidahnya sendiri. w) Novita Dyah Pratiwi kelas XI MS 4, dia setuju dengan implementasi
pendidikan
agama
konfesional.
Dengan
pendidikan agama konfesional ini memberikan manfaat dan kepuasan batin, karena bisa mendalami ilmu agama dengan lebih baik. Dia bersikap menghargai dan toleransi dengan teman yang beragama lain dengan tujuan tercipta kerukunan sosial antar umat beragama.
112
x) Widi Astuti kelas XI MS 4, dia berpendapat: Dengan adanya pendidikan agama konfesional ini dia menjadi semakin semangat
untuk
memperdalam
ilmu
agama.
Semakin
bertambahnya pengetahuan keagamaan yang di miliki, maka seseorang akan lebih berakhlak. Dia tetap membuka diri dengan teman yang beragama lain dalam masalah sosial, karena tidak boleh sebagai umat Muslim membenci umat yang lain. y) Muhammad Ridwan kelas XI MS 4, dia setuju dengan implementasi pendidikan agam konfesional ini, karena agama merupakan landasan utama akhlak seseorang. Terhadap teman yang beragama lain, dia tetap menjunjung rasa hormat dan toleran. Kerukunan akan menciptakan ketentraman dan kedamaian dalam berinteraksi. z) Wildan Akmal Ari kelas XI MS 1, dia setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional. Pendidikan agama konfesional dapat mendidik pribadi yang bertakwa dan berakhlak mulia. Dengan teman yang berbeda agama harus saling menghormati dan bersikap toleran.110
2). Hasil Questioner Tertulis
Untuk melengkapi data tentang implementasi pendidikan agama konfesional dalam meningkatkan kerukunan sosial antar 110
2015.
Wawancara dengan siswa Islam, Kristen, dan Katholik pada tanggal 26 Mei
113
umat beragama, penulis memberikan Qustioner tertulis kepada siwa Muslim. Adapun kesimpulan dari Qustioner yang dijawab oleh siswa Muslim adalah: Siswa muslim setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional ini, karena semua siswa menerima pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama pula. Pendidikan agama sesuai dengan agama dan diajarkan oleh guru yang seagama pula merupakan hak semua siswa. Karena SMA Negeri I Muntilan sudah menerapkan model pendidikan agama
konfesional,
SMA
Negeri
I
Muntilan
tidak
mendiskriminasikan siswa yang beragama tertentu, walaupun siswa tersebut sangat minoritas. Semua siswa Muslim tetap menjalin kerja sama dengan siswa yang beragama lain dalam konteks sosial keagamaan, misalnya belajar kelompok, kegiatan ekstra kurikuler sekolah, dan sebagainya. b. Pendapat Siswa Kristen 1). Hasil Wawancara Selain
mewawancarai
siswa
Muslim,
penulis
juga
mewawancarai seorang siswa Kristen. Berikut pendapat siswa Kristen yang penulis wawancarai.
114
a) Unggul Satrio Nugroho kelas X IS 3, dia setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional, karena dia bisa tahu secara lebih mendalam tentang ajaran agamanya. Dia merasa senang bersahabat dengan teman yang beragama lain untuk membina kerukunan sosial beragama dengan prinsip toleransi dan saling menghargai.111 2) Hasil Qustioner tertulis Walaupun hanya seorang, penulis memberikan questioner terhadap siswa Kristen yakni Unggul Satrio Nugroho. Dia setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional, karena dia merasa tidak di diskriminasi oleh sekolah walaupun hanya sangat minoritas. Selain itu, walaupun dia kelompok minoritas, tetapi teman-teman yang beragama mayoritas mau mengajak bekerja sama. Dan dia juga bisa berinteraksi sosial denga teman yang berbeda agama dengan prinsip toleransi dan saling menghargai.
c. Pendapat Siswa Katholik 1). Hasil Wawancara Berikut hasil wawancara penulis dengan siswa Katholik mengenai implementasi pendidikan agama konfesional: a) Gabriella Trisna Yudhati kelas X MS 3, dia merasa gembira menerima pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang
111
Ibid, 26 Mei 2015
115
diyakininya. Dia bisa memahami dan menerapkan ajaran-ajaran yang dia dapat. Untuk menjalin kerukunan sosial umat beragama dia tetap menghormati dan toleransi dengan teman yang beragama lain. b) Agata Mia Wira Omega kelas X IS 3, dia merasa luar biasa dengan
mendapat
pendidikan
agama
sesuai
dengan
keyakinannya. Beragama merupakan hak sestiap orang, pemenuhan pendidikan agama merupakan pemenuhan hak setiap siswa. Sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian dalam sebuah nasyarakat, dia menjalin kerja sama dengan teman yang beragama lain dengan prinsip toleransi. c) Cahyo Eko kelas X IS 5, dia setuju dengan implementasi pendidikan agama konfesional. Model seperti ini merupakan tidak ada paksaan terhadap siswa yang beragama tertentu untuk mendapatkan pendidikan agama. Apabila sekolah tidak memberikan pendidikan agama sesuai dengan agama siswa berarti sekolah tersebut melanggar UUD tentang kebebasan beragama. Dia senantiasa menjalin kerja sama dengan teman yang beragama lain dalam hal belajar bersama tanpa diskriminasi. d) Gabriela Sihnanda Ajeng kelas X IS 3, dia setuju sekali dengan implementasi pendidikan agama konfesional, karena semua siswa sama-sama percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
116
Dengan model ini dia bisa lebih memahami tentang ilmu agama. Selain itu dia semakin memahami akan arti penting kerukunan sosial antar umat beragama demi menjaga persatuan dan kesatuan antar umat beragama. e) Irene Sendi kelas X IS 3, dia merasa bersyukur dengan menerima pendidikan agama sesuai dengan agamanya sendiri, sehingga
dia
lebih
mendalami
dan
memahami
ajaran
agamanya. Dalam persahabatan dia tidak membeda-bedakan agama, karena sebagai umat beragama harus bekerja sama dalam kehidupan sosial. f)
Marcellus kelas X IS 3, dia merasa senang dengan implementasi pendidikan agama konfesional ini, karena dia dapat menambah ilmu agamanya. Untuk menjaga kekeluargaan dengan teman yang beragama lain dia senantiasa menghargai dan toleransi terhadap agama temanya.
g) Veronika Andhita kelas X IS 3, menurut dia menerima pendidikan sesuai dengan agamanya merupakan haknya terhadap pendidikan agama. Pendidikan agama merupakan kebutuhan batin setiap umat beragama. Walaupun berbeda agama dia tetap berinteraksi sosial dengan teman yang beragama lain demi mewujudkan kerukunan sosial antar umat beragama.
117
h) Yovita Javanika kelas X IS 3, dia merasa bersyukur menerima pendidikan agama sesuai yang diyakininya. Pendidikan agama merupakan hak semua siswa dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhannya. Walaupun dia Katholik dia tetap bersahabat dengan teman-teman yang beragama Islam dan Kristen.112
2). Hasil Questioner Siswa Katholik berpandangan, bahwa pendidikan agama konfesional sangat tepat diberikan di sekolah-sekolah Negeri seperti di SMA Negeri Muntilan ini. Mereka setuju sekali dengan pendidikan seperti ini, karena semua siswa mendapat pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama pula. Mereka juga berpendapat, setiap umat beragama harus hidup rukun dalam tatanan kehidupan sosial tanpa adanya perbedaan agama. Selain itu mereka tetap berinteraksi dengan teman yang beragama lain dalam mewujudkan kehidupan sosial yang kondusif.
112
Ibid, 26 Mei 2015
118
2. Kesadaran Pluralitas Agama Siswa a. Pendapat Siswa Muslim Siswa Muslim kelas XI SMA Negeri I Muntilan berpendapat: Bahwa agama- agama yang ada di Indonesia mengajarkan kebaikan. Semua agama mengatur umatnya untuk memiliki akhlak yang baik. Oleh karena itu, sebagai umat yang beragama harus berahlak baik kepada sesama manusia, baik terhadap sesama Muslim maupun terhadap umat yang lain. Selain itu sebagai umat Muslim harus bisa menciptakan hidup yang kondusif terhadap umat yang lain. Islam
mengajarkan
toleransi
terhadap
agama
lain,
tidak
memaksakan orang lain untuk memeluk agama Islam. Karena Islam di syiarkan dengan damai. Selain kesimpulan tersebut, penulis juga akan menyampaikan beberapa pendapat siswa Muslim tentang kesadaran pluralitas agama siswa. Berikut pendapat beberapa siswa Muslim yang penulis wawancarai. 1) Siti Anirotul Umah kelas XI IS 4, dia berpendapat, bahwa agama yang ada di Indonesia mengajarkan kebaikan terhadap umatnya. Dan semua agama tidak menginginkan perselisihan dengan umat yang beragama lain. Akan tetapi menurut dia agama yang paling benar adalah Islam. Agama Islam merupakan karunia yang diberikan Allah kepada umatnya kepada umat Islam karena telah mendapat hidayah. Selain itu ajaran Islam dari dulu sampai sekarang tidak berubah.
119
2) Lela Wahyu Anggraeni kelas XI MS 4, menurut dia setiap agama mempunyai kepercayaan sendiri-sendiri, selain itu setiap agama mengajarkan kebaikan kepada umatnya. Akan tetapi menurut dia agama yang paling benar adalah Islam, karena kitab sucinya sama diseluruh dunia yakni al-Qur‟an. 3) Erlin Dwi Sabna Rosdian kelas XI IS 1, menurut dia semua agama yang ada memiliki aturan-aturan dan ketentuan tertentu. Semua agama baik dimata pemeluknya, tergantung orang yang menilai agama manakah yang paling baik dan membawa kedalam kebenaran menuju ke Surga. Tetapi menurut dia agama yang paling benar adalah islam, karena ajaran Islam semuanya bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunnah serta tidak mengalami perubahan. 4) Erwin Septi kelas XI IS 4, menurut dia semua agama yang ada mengajarkan pemeluknya kebaikan dan semua agama mengajarkan pemeluknya untuk beribadah baik ibadah yang sifatnya vertikal maupun horisontal. Akan tetapi agama yang paling benar menurut dia adalah Islam, karena Tuhan dalam Islam adalah Esa yaitu Allah.113
b. Pendapat Siswa Kristen Unggul Satrio Nugroho kelas X IS 3, menurut pandangan dia semua agama yang ada mengajarkan kebaikan dan kebenaran.
113
Ibid, 26 Mei 2015
120
Namun kebaikan dan kebenaran yang diajarkan oleh agama berbeda caranya tergantung keyakinan dari pemeluknya. Menurut dia agama yang paling benar adalah Kristen, karena dia belum pernah memeluk agama yang lain.114
c. Pendapat Siswa Katholik 1) Andhita kelas X IS 3, Menurut dia semua agama sama, yakni mempunyai dan mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa. Semua agama mngajarkan kebaikan dan kebenaran, hanya saja berbeda dalam tata cara beribadahnya yang berbeda. Walaupun semua agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran, dia tetap yakin bahwa agama yang paling benar adalah Katholik. 2) Agata Mia Wira Omega kelas X IS 3, menurut pandangan dia semua agama benar, karena menyembah pada satu Tuhan saja, hanya saja cara menyembahnya yang berbeda. Namun dia tetap mengakui bahwa Katholik adalah agama yang paling benar. 3) Irene Sendi kelas X IS 3, dia berpendapat semua agama baik, karena ssemua agama tidak ada yang menyesatkan umatnya. Dan semua agama benar. Walaupun semua agama benar, dia mempunyai keyakinan bahwa agama Katholik yang paling benar. 115
114 115
Ibid, 26 Mei 2015 Ibid, 26 Mei 2015
121
BAB IV
UPAYA PENINGKATAN KERUKUNAN SOSIAL BERAGAMA ANTAR SISWA DAN PLURALITAS AGAMA SISWA DI SMA NEGERI I MAGELANG DAN SMA NEGERI I MUNTILAN
A. Upaya Sekolah Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa Dan Pluralitas Agama Siswa 1. Upaya SMA Negeri I Magelang Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa Dan Pluralitas Agama Siswa SMA Negeri I Magelang merupakan lembaga pendidikan Negeri, yang peserta didiknya plural dalam hal menganut agama berbeda-beda. Menyikapi pluralitas peserta didik, supaya rukun dalam sosial beragama, sekolah menyelenggarakan pendidikan agama konfesional. Sebagai landasan implementasi pendidikan agama konfesional adalah UU Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 dan Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama tahun 1982/1983.116 Selain memberikan pendidikan agama konfesional, sekolah juga memberikan ekstrakurikuler keagamaan sesuai dengan agama siswa, yaitu: Dewan Islam Sekolah (DIS), Muda- Mudi Katolik (Mudika), Persekutuan Siswa Kristen (PSK).117
116 117
Op.cit, Waka Kurikulum SMA Negeri I Magelang, 1 Juni 2015. Ibid, 1 Juni 2015.
122
Upaya sekolah dalam meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa, sekolah menyelenggarakan ekstrakurikuler yang diikuti oleh semua siswa, misalnya: Pramuka, Gladiol Pecinta Alam, Olahraga, Cheerleader, PMR, Koperasi Siswa, English Speaking Club, Musik, Tari Kuntulan, dan Paduan Suara.118
2. Upaya SMA Negeri I Muntilan Dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa Dan Pluralitas Agama Siswa SMA Negeri I Muntilan merupakan lembaga pendidikan Negeri, yang peserta didiknya juga plural dalam hal menganut agama-agama yang berbeda. Menyikapi pluralitas peserta didik, supaya rukun dalam sosial beragama, sekolah menyelenggarakan pendidikan agama konfesional. Sebagai landasan implementasi pendidikan agama konfesional adalah UU Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29.119 Untuk meningkatkan kerukunan sosial beragama antar siswa, sekolah memberikan ekstrakurikuler keagamaan sesuai dengan agama masing-masing siswa, yaitu: Kerohaniawan Islam, Kerohaniawan Kristen, dan Kerohaniawan Katolik.120 Selain itu sekolah juga memberikan ekstrakurikuler yang diikuti semua siswa dari berbagai
118
Ibid, 1 Juni 2015. Op.cit, Waka kurikulum SMA Negeri I Muntilan, 3 Juni 2015. 120 Ibid, 3 Juni 2015. 119
123
macam agama, Yaitu: Pramuka, Pasukan Pengibar Bendera, Palang Merah Remaja, Karya Ilmiah Remaja, Teater, dan Olah Raga.121
B. Faktor-Faktor Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa 1. Faktor-Faktor Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa di SMA Negeri I Magelang.
a. Faktor Materi Pendidikan Agama
Semua materi pendidikan agama mengajarkan kerukunan sosial antar umat beragama dan bersedia hidup rukun berdampingan dengan agama lain. Karena semua materi pendidikan agama mengajarkan kerukunan sosial antar umat beragama dan bersedia hidup rukun dengan agama lain, maka para siswa yang berbeda agama di SMA Negeri I Magelang hidup rukun.
b.Faktor Kultural
Kultur siswa di SMA Negeri I Magelang adalah jawa, dimana budaya jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan perdamaian. Sebagai bukti bahwa budaya jawa menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan perdamaian di tuangkan dalam pelajaran Bahasa Jawa. Contoh materi Bahasa Jawa yang mengajarkan persaudaraan dan perdamaian diantaranya adalah: Menunjukkan
121
Ibid, 3 Juni 2015.
124
perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleransi, damai), santun, responsive dalam menggunakan Bahasa Jawa melalui teks Serat Wedhatama Pupuh Gambuh.122
c.Faktor Pelajaran Lain
Selain pelajaran agama dan pelajaran bahasa Jawa, terdapat pelajaran lain yang juga menekankan toleransi dan menghargai orang lain supaya bisa hidup rukun dan damai, pelajaran tersebut adalah pelajaran PKn. Dalam pelajaran PKn terdapat materi tentang kerukunan, yaitu: Berinteraksi dengan teman dan orang lain berdasarkan prinsip saling menghormati, dan saling menghargai dalam keragaman suku, agama, ras, budaya, dan gender.123 2. Faktor-Faktor Kerukunan Sosial Beraagama Antar Siswa di SMA Negeri I Muntilan. Faktor-aktor kerukunan sosial beragama antar siswa di SMA Negeri I Muntilan hampir sama dengan faktor-faktor kerukunan sosial beragama antar siswa di SMA Negeri I Magelang, yaitu:
a. Faktor Materi Pendidikan Agama
Materi pendidikan agama di SMA Negeri I muntilan semua pendidikan agama mengajarkan kerukunan sosial antar umat beragama, dan mengajarkan toleransi beragama. Dengan pluralitas 122 123
Op.cit, Waka Kurikulum SMA Negeri I Magelang, 1 juni 2015. Ibid. 1 Juni 2015.
125
agama yang ada di SMA Negeri I Muntilan ini, para siswa yang berbeda agama semakin rukun dalam bidang sosial kemasyarakatan.
b. Faktor Kultural
Realita pluralitas agama yang ada di SMA Negeri I Muntilan, tidak membuat mereka berpecah belah, bahkan sebaliknya mereka tetap harmonis, kondusif, dan rukun. Kerukunan mereka di dasari, bahwa mereka sama-sama Jawa. Kultur Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Selain kultur Jawanya mere juga mempelajari kultur Jawa tersebut dengan melalui mata pelajaran bahasa Jawa. Adapun materi bahasa Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan adalah menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleransi, damai), santun, responsive dalam menggunakan Bahasa Jawa melalui teks Serat Wedhatama Pupuh Gambuh.124
c. Faktor Pelajaran Yang Lain
Pendidikan
Kewarganegaraan
merupakan
salah
satu
mata
pelajaran yang mendukung pelajaran agama dalam bidang kerukunan sosial antar umat beragama. Dalam materi PKn tersebut diajarkan materi tentang kerukunan umat beragama, yaitu: Berinteraksi dengan teman dan orang lain berdasarkan prinsip saling menghormati, dan
124
Op.cit, Waka Kurikulum SMA Negeri I Muntilan, 3 Juni 2015
126
saling menghargai dalam keragaman suku, agama, ras, budaya, dan gender.125
C. Aktifitas-Aktifitas Keagamaan Peserta Didik 1. Aktifitas-Aktifitas Keagamaan Peserta Didik SMA Negeri I Magelang Pluralitas agama siswa di SMA Negeri I Magelang membuat siswa semakin yakin terhadap ajaran agama yang dianutnya dan mengamalkannya. Aktifitas-aktifitas keagamaan siswa di sekolah ada yang dilaksanakan harian, mingguan, dan pada hari besar agama. Aktifitas keagamaan yang dilaksanakan harian adalah Shalat Dzuhur berjamaah di masjid sekolah bagi siswa Muslim, dan bagi siswa yang beragama Kristen dan Katholik mereka beribadah dan berdo‟a di laboratorium agama mereka masing-masing. Sedangkan bagi siswa yang beragama Hindu dan Buddha mereka berdo‟a sendirisendiri di dalam kelas.126 Dan aktifitas keagamaan yang dilakukan mingguan adalah Kajian Jum‟at Pagi. Kegiatan ini dilaksanakan di Auditorium sekolah bagi siswa Muslim yang dilaksanakan pada
jam 07.00-07.45. Sedang
Kajian Jum‟at pagi bagi siswa Kristen dan Katolik dilaksanakan di laboratorium agama Kristen dan Katolik. Sedang Kajian Jum‟at pagi 125 126
Ibid, 3 juni 2015. Agustin, Guru Pendidikan Agama Islam, 1 Juni 2015.
127
bagi siswa Hindu dan Buddha dilaksanakan di kelas. Dan kegiatan keagamaan ini dipandu oleh guru agama mereka masing-masing.127 Sedangkan kegiatan keagamaan pada hari besar agama, para siswa merayakannya seuai dengan hari besar agama masing-masing. Sebagai contoh siswa Muslim merayakan hari raya „Idul fitri dengan Halal bil Halal disekolah, siswa Kristen dan Katholik merayakan hari Natal dengan perayaan Natal di sekolah, sedangkan perayaan hari besar agama Hindu dan Buddha merayakannya di tempat peribadatan masing-masing karena hanya terdiri dari 2 orang siswa sehingga tidak merayakannya disekolah. Kegiatan ini bersifat perayaan bukan ritualitas.128 2. Aktifitas-Aktifitas Keagamaan Peserta Didik SMA Negeri I Muntilan Pluralitas agama siswa di SMA Negeri I Muntilan membuat siswa semakin
yakin
terhadap
ajaran
agama
yang
dianutnya
dan
mengamalkannya. Aktifitas-aktifitas keagamaan siswa di sekolah ada yang dilaksanakan harian, mingguan, dan pada hari besar agama. Aktifitas keagamaan yang dilaksanakan harian adalah Shalat Dzuhur berjamaah di masjid sekolah bagi siswa Muslim, dan bagi siswa yang beragama Kristen dan Katholik mereka beribadah dan berdo‟a di laboratorium agama mereka masing-masing.129
127
Op.cit, Wakaur Kurikulum SMA Negeri I Magelang, 1 Juni 2015. Akhmad Khariri, Wakaur Humas SMA Negeri I Magelang, 1 juni 2015. 129 Makfud, Guru Agama Islam SMA Negeri Muntilan, 3 juni 2015. 128
128
Dan aktifitas keagamaan yang dilakukan mingguan adalah Shalat Jum‟at di sekolah. Kegiatan ini dilaksanakan di Masjid sekolah. Sedang bagi siswa Kristen dan Katolik melaksanakan kegiatan mingguan ini pada hari yang sama di laboratorium agama Kristen dan Katolik. 130 Sedangkan kegiatan keagamaan pada hari besar agama, para siswa merayakannya seuai dengan hari besar agama masing-masing. Sebagai contoh siswa Muslim merayakan hari raya „Idul fitri dengan Halal bi Halal di sekolah, siswa Kristen dan Katholik merayakan hari Natal dengan perayaan Natal di sekolah. Dan kegiatan ini sifatnya perayaan bukan ritualitas.131
D. Upaya Siswa Dalam Menyikapi Pluralitas Agama 1. Upaya Siswa SMA Negeri I Magelang Dalam Menyikapi Pluralitas Agama Menyikapi pluralitas agama siswa di SMA Negeri I Magelang, siswa muslim berpendapat, bahwa agama yang paling benar adalah agama Islam. Agama Islam dari Nabi Muhammad sampai sekarang ajaran dan kitabnya yakni al-Qur‟an tidak pernah berubah. Islam hanya mempercayai Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah SWT. Adapun agama yang lain ajaran agama dan kitab-kitabnya mengalami perubahan yang
130 131
Munazir, Koordinator Guru Agama SMA Negeri I Muntilan, 3 Juni 2015. Ibid, 3 Juni 2015.
129
dirubah oleh umatnya sendiri, dan mereka mempercayai lebih dari satu Tuhan. Akan tetapi Islam tetap toleransi terhadap agama lain. Siswa Kristen dalam menyikapi pluralitas agama ini menganggap, bahwa semua agama baik dan benar, tetapi mereka menganggap yang paling baik dan paling benar adalah Kristen. Dalam menyikapi pluralitas agama, siwa Katolik berpandangan, bahwa agama-agama yang ada di Indonesia adalah benar dan baik, karena semua agama mengajarkan kebaikan moral. Akan tetapi mereka tetap meyakini agama yang baik dan benar adalah Katolik. Siswa Hindu dalam menyikapi pluralitas agama berpandangan, bahwa semua agama yang ada di Indonesia adalah benar bagi pemeluknya. Semua agama mengajarkan tatakrama dalam kehidupan sosial,
dan semua agama mengajarkan kedamaian, namun mereka
meyakini agamanya yang paling benar. Adapun siswa Buddha dalam menyikapi pluralitas agama ini berpendapat, semua agama yang ada di Indonesia adalah baik, karena semua agama mengajarkan hidup rukun berdampingan dengan umat yang lain. Dan agama yang paling baik adalah Buddha. Untuk mempererat hubungan sosial antar umat beragama siswa di SMA Negeri I Magelang para siswa dari masing-masing agama mengikuti kegiatan kesiswaan secara bersama-sama yang disebut
130
SMANSA Religions Day dengan tema “Indahnya Toleransi Antar Umat Beragama Dalam Era Modern”.132
2. Upaya Siswa SMA Negeri I Muntilan Dalam menyikapi Pluralitas Agama Pluralitas agama siswa yaitu siswa menganut agama yang berbeda-beda di SMA Negeri I Muntilan, siswa muslim berpendapat, bahwa agama yang paling benar adalah agama Islam. Agama Islam dari dulu yakni sejak Nabi Muhammad sampai sekarang ajaran dan kitabnya yakni al-Qur‟an tidak pernah berubah. Islam hanya mempercayai Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah SWT. Adapun agama yang lain ajaran agama dan kitab-kitabnya mengalami perubahan yang dirubah oleh umatnya sendiri, dan mereka mempercayai lebih dari satu Tuhan. Akan tetapi Islam tetap toleransi terhadap agama lain. Siswa Kristen dalam menyikapi pluralitas agama ini menganggap, bahwa semua agama baik dan benar, tetapi mereka menganggap yang paling baik dan paling benar adalah Kristen. Akan tetapi mereka tetap menghargai agama yang lain. Sedangkan siswa Katolik berpandangan, bahwa semua agama yang ada semua baik dan mengajarkan kebenaran, dan tidak ada agama yang mengajarkan permusuhan terhadap agama lain. Tetapi mereka
132
Rochani Purwanto, Waka Kesiswaan SMA Negeri I Magelang, 1 Juni 2015.
131
tetap percaya bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang paling benar, dan mereka tetap menghormati pemeluk agama lain.
E. Implementasi Kebijakan Sekolah Terhadap Pendidikan Agama Konfesional 1. Implementasi Kebijakan SMA Negeri I Magelang Terhadap Pendidikan Agama Konfesional
a. Dimensi Keyakinan
Dimensi keyakinan disini berhubungan dengan sejauh mana siswa SMA
Negeri I Magelang mempercayai Tuhan. Gambaran Tuhan
dengan sifat-sifatnya tercermin dalam alam semesta ini. Dalam alam semesta ini semuanya tidak ada yang kekal, yang kekal adalah Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan mereka akan Tuhannya tidak stabil, akan tetapi tergantung pada emosi kejiwaannya. Dan keyakinan mereka akan Tuhannya hanya mengikuti orang tuanya.133
b. Dimensi Peribadatan
Dimensi ini berisi tentang sejauh mana siswa di SMA Negeri I Magelang melakukan kewajiban ritual dalam agama. Mayoriitas siswa Muslim melaksanakan ritual keagamaan setiap hari, baik di sekolah
133
Arizka Kirana, Siswa Kelas XI IS 6, 21 Mei 2015.
132
maupun dirumah.134 Mayoritas siswa Kristen juga melaksanakan ritual keagamaan
setiap
hari.135Dan
mayoritas
siswa
Katolik
juga
melaksanakan ritual keagamaan setiap hari.136 Begitu juga siswa Hindu dan Buddha juga melaksanakan ritual keagamaan setiap hari.137 Hal ini terjadi karena sekolah memfasilitasi laboratorium agama yang digunakan tempat praktek ibadah siswa dari setiap masing-masing agama.
c.Dimensi Pengalaman
Dimensi ini menunjukkan apakah siswa SMA Negeri I Magelang pernah mengalami peristiwa spektakuler yang merupakan keajaiban Tuhan. Keadaan emosional siswa sangat mempengaruhi kondisi ini, kondisi emosi siswa yang tenteram berbeda keadaannya jika siswa tersebut sedang mengalami depresi. Dari beberapa siswa yang penulis wawancarai mayoritas belum pernah mengalami pengalaman keajaiban dengan Tuhan. Akan tetapi, walaupun mereka belum mengalami keajaiban yang spektakuler dengan Tuhan, mereka tetap membutuhkan Tuhan, karena Tuhan telah memberikan kepada mereka ketentraman batin.
134
Hasna Nur Afifah, Siswa kelas XI IS 1, 21 Mei 2015. Yohana Yovita Amadea, Siswa Kelas XI IS 4, 21 Mei 2015. 136 Novena Berliana, Kelas XI MIA 2, 21 Mei 2015. 137 Nia Pradnya dewanti dan Nella Zabrina Pramata, Kelas XI MIA 4, 21 Mei 2015. 135
133
d.Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini menggambarkan tentang seberapa jauh siswa SMA Negeri I Magelang mengetahui tentang ajaran agamanya. Mayoritas siswa SMA Negeri I Magelang memiliki pengetahuan agama yang cukup, karena orang tua mereka membekali pengetahuan agama dari rumah masing-masing. Orang tua mereka khawatir, apabila tidak dibekali pengetahuan agama yang cukup dari rumah, anak-anak mereka akan mengikuti ibadah agama lain, bahkan pindah agama, karena siswa SMA Negeri I Magelang plural yaitu
terdiri dari
beberapa penganut agama.138
e. Dimensi Pengamalan
Dimensi ini berisi tentang sejauh mana perilaku siswa SMA Negeri I Magelang konsisten dengan ajaran agamanya. Sebagaimana yang terjadi di SMA Negeri I Magelang mayoritas melaksanakan ajaran agamanya. Mereka beranggapan, dengan mengamalkan ajaran agamanya hidup menjadi tenang, dan mengamalkan ajaran agama merupakan kebutuhan pribadi.139 Faktor lain yang mempengaruhinya adalah adanya pluralitas agama siswa yaitu menganut agama yang berbeda, sehingga mereka merasa terpanggil hatinya untuk syiar terhadap agamanya.
138 139
Agustin, Guru Pendidikan Agama Islam SMA Negeri I magelang, 1 Juni 2015. Yulia Kartika Dewi, Kelas XI IS I SMA Negeri I MAgelang, 21 Mei 2015.
134
2. Implementasi Kebijakan SMA Negeri I Muntilan Terhadap Pendidikan Agama Konfesional a. Dimensi Keyakinan Dimensi keyakinan disini berhubungan dengan sejauh mana siswa SMA Negeri I Muntilan mempercayai Tuhan. Gambaran Tuhan dengan sifat-sifatnya tercermin dalam alam semesta ini. Dalam alam semesta ini semuanya akan fana, dan yang kekal adalah Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan mereka akan Tuhannya tidak stabil, akan tetapi tergantung pada emosi kejiwaannya. Dan keyakinan mereka akan Tuhannya hanya warisan nenek moyang mereka atau hanya mengikuti agama orang tuanya.140 b. Dimensi Peribadatan Dimensi ini berisi tentang sejauh mana siswa di SMA Negeri I Muntilan melakukan kewajiban ritual dalam agama. Mayoriitas siswa Muslim melaksanakan ritual keagamaan setiap hari, baik di sekolah maupun dirumah.141Sedangkan siswa Kristen dan Katolik juga melaksanakan ritual keagamaan setiap hari, baik dilaksanakan di sekolah maupun di rumah.142
140
Ilham Fadhila Akbar, Kelas XI MS 2 SMA Negeri I Muntilan. 22 Mei 2015. Winda Kurnia Indah, Kelas XI IS 4 SMA Negeri I Muntilan, 22 Mei 2015. 142 Unggul Satrio Nugroho dan Agata Mia Wira Omega, Siswa Kelas IS 3 SMA Negeri I Muntilan, 22 Mei 2015. 141
135
c. Dimensi Pengalaman Dimensi ini menunjukkan apakah siswa SMA Negeri I Muntilan pernah mengalami peristiwa yang belum pernah dialami sebelumnya dan ini merupakan keajaiban Tuhan. Keadaan emosional siswa sangat mempengaruhi kondisi ini, kondisi emosi siswa yang stabil berbeda keadaannya dengan siswa yang sedang mengalami depresi. Dari beberapa siswa yang penulis wawancarai mayoritas belum pernah mengalami pengalaman keajaiban dengan Tuhan. Akan tetapi, walaupun mereka belum mengalami keajaiban yang luar biasa dengan Tuhan, mereka tetap membutuhkan Tuhan, karena Tuhan telah memberikan segalanya kepada mereka.
d. Dimensi Pengetahuan Agama Dimensi ini menggambarkan tentang seberapa jauh siswa SMA Negeri I Muntilan mengetahui tentang ajaran agamanya. Mayoritas siswa SMA Negeri I Muntilan memiliki pengetahuan agama yang cukup, karena latar belakang siswa Muslim banyak yang bertempat tinggal di lingkungan pondok pesantren, maka mereka membekali pengetahuan agama kepada anak-anaknya dari rumah masing-masing.143Sedang bagi siswa Kristen dan Katolik banyak yang tinggal di lingkungan gereja,144 oleh karena itu orang tua mereka khawatir, apabila tidak dibekali pengetahuan agama 143 144
Makfud, Guru Agama Islam SMA Negeri I Muntilan, 3 Juni 2015. Gabriela Trisna Yudhati, Kelas X MS 3 SMA Negeri I Muntilan, 22 Mei 2015.
136
yang cukup dari rumah, anak-anak mereka akan mengikuti ibadah agama lain, bahkan pindah agama.
e. Dimensi Pengamalan
Dimensi ini berisi tentang sejauh mana perilaku siswa SMA Negeri I Muntilan konsisten dengan ajaran agamanya. Sebagaimana yang terjadi di SMA Negeri I Muntilan
mayoritas melaksanakan
ajaran agamanya. Mereka beranggapan, dengan mengamalkan ajaran agamanya hidup menjadi tenang, dan mengamalkan ajaran agama merupakan kebutuhan pribadi.145 Faktor lain yang mempengaruhinya adalah, Muntilan merupakan daerah di Kabupaten Magelang yang penduduknya mayoritas menganut agama Islam, Kristen, dan Katolik, dan mereka sama kuat.
F. Faktor-faktor
Pendukung
Dan
Penghambat
Pembelajaran
Pendidikan Agama Konfesional 1. Faktor-faktor
Pendukung
Dan
Penghambat
pembelajaran
Pendidikan Agama Konfesional SMA Negeri I Magelang a. Kebijakan Sekolah SMA Negeri I Magelang menerapkan pendidikan agama konfesional ini didasari pluralitas agama peserta didik. Pendidikan
145
Ahmad Mujaddid, Kelas XI MS 4 SMA Negeri I Muntilan, 22 Mei 2015.
137
agama merupakan hak bagi semua siswa, dan semua siswa harus dipenuhi haknya walaupun itu minoritas. Kebijakan sekolah ini disambut gembira oleh para siswa, karena mereka bisa memperdalam pendidikan agamanya di sekolah. Selain menyelenggarakan pendidikan agama konfesional secara kokurikuler, untuk menambah wawasan keagamaan siswa, sekolah juga menyelenggarakan ekstrakurikuler keagamaan dari setiap masing-masing agama. b. Laboratorium Agama Laboratorium agama merupakan salah satu faktor pendukung implementasi pendidikan agama konfesional. Dalam pembelajaran pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I Magelang laboratorium masing-masing agama terpenuhi, yakni; laboratorium agama Islam, laboratorium agama Kristen, laboratorium agama Katolik, laboratorium agama hindu, dan laboratorium agama Buddha, sehingga pelaksanaannya tidak mengalami kendala yang berarti. Walaupun laboratorium agama tercukupi, namun jumlah masing-masing laboratorium agamanya hanya satu-satu.146 Dengan demikian pembelajaran pendidikan agama dilaksanakan di kelas. Dan apabila ingin melaksanakan praktek agama harus menunggu
146
Op.cit, Tata usaha SMA Negeri I Magelang, 22 Mei 2015.
138
giliran yang lama, sehingga pembelajaran pendidikan agama hanya bersifat teori saja. c. Guru Agama Implementasi pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I Magelang
diajarkan
Ketersediaan
semua
oleh
guru-guru
guru
agama
yang
seagama
membuat
juga.
pelaksanaan
pembelajaran pendidikan agama konfesional sesuai dengan apa yang di programkan sekolah.147 Guru-guru agama yang disediakan sekolah sudah sesuai dengan kualifikasi pendidikannya. Dengan guru-guru agama yang ada semua siswa bisa memperoleh pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Penyediaan guru-guru agama hanya sebatas
penyediaan
jumlah minimal, yakni setiap jenjang kelas hanya disediakan satu orang guru agama. Oleh karena itu ketika praktek agama, dengan jumlah siswa yang begitu banyak dan guru agama hanya satu, membuat praktek agama tidak maksimal. d. Paserta Didik Kebijakan
implementasi
pendidikan
agama
konfesional
didukung oleh para siswa. Para siswa berpendapat, bahwa pendidikan agama konfesional yang diajarkan oleh guru yang seagama menjadi hak para siswa.
147
Fahmi Hakim, Guru Agama Islam SMA Negeri I Magelang, 1 Juni 2015.
139
Dengan pendidikan agama konfesional yang diajarkan oleh guru yang seagama dapat meningkatkan wawasan keagamaan mereka. Mereka menjadi lebih tahu bahwa ajaran agama yang dianutnya adalah benr. Adapun yang menjadi penghambat para siswa dalam pembelajaran pendidikan agama konfesional adalah, tidak setiap siswa lancar membaca al-Qur‟an bagi siswa Muslim, sedang bagi siswa non-Muslim tidak semuanya memahami kitabnya. e.
Kondisi Lingkungan Lingkungan di sekitar SMA Negeri I Magelang, penduduknya plural, sehingga implementasi pendidikan agama konfesional ini sesuai dengan kondisi masyarakat lingkungan sekitar, dan pelaksanaan pendidikan agama konfesional mendapat apresiasi positif dari masyarakat lingkungan sekitar. Dan yang menjadi penghambat dari kondisi lingkungan adalah, kurangnya interaksi sosial antara pihak sekolah dengan penduduk lingkungan sekitar, karena penduduk dilingkungan sekitar sibuk.
2. Faktor-faktor
Pendukung
Dan
Penghambat
pembelajaran
Pendidikan Agama Konfesional SMA Negeri I Muntilan a. Kebijakan Sekolah SMA Negeri I Muntilan menerapkan pendidikan agama konfesional ini didasari pluralitas agama peserta didik. Pendidikan
140
agama merupakan hak bagi semua siswa, dan semua siswa harus dipenuhi haknya walaupun itu minoritas. Kebijakan sekolah ini disambut gembira oleh para siswa, karena mereka bisa memperdalam pendidikan agamanya di sekolah. Selain menyelenggarakan pendidikan agama konfesional secara kokurikuler, untuk menambah wawasan keagamaan siswa, sekolah juga menyelenggarakan ekstrakurikuler keagamaan dari setiap masing-masing agama. b. Laboratorium Agama Pembelajaran pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I Muntilan, tempat praktek ibadah terpenuhi yaitu
laboratorium
agama dari masing-masing agama, yakni; laboratorium agama Islam, laboratorium agama Kristen, dan laboratorium agama Katolik, sehingga pelaksanaannya tidak mengalami problem yang berarti. Dengan
keterbatasan
lahan
dan
pembiayaan,
jumlah
laboratorium agama dari masing-masing agama hanya terpenuhi satu-satu.148 Dengan demikian pembelajaran pendidikan agama dilaksanakan sering dilaksanakan di kelas. Sehingga pembelajaran pendidikan agama tidak bisa praktek secara langsung, sehingga pembelajaran pendidikan agama hanya bersifat teori saja.
148
Op.cit, Tata usaha SMA Negeri I Muntilan, 22 Mei 2015.
141
c. Guru Agama Implementasi pendidikan agama konfesional di SMA Negeri I Muntilan
diajarkan
Ketersediaan
semua
oleh
guru-guru
guru
agama
yang
seagama
membuat
juga.
pelaksanaan
pembelajaran pendidikan agama konfesional sesuai dengan apa yang di programkan sekolah.149 Guru-guru agama yang disediakan sekolah sudah sesuai dengan kualifikasi pendidikannya. Dengan guru-guru agama yang ada semua siswa bisa memperoleh pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Penyediaan guru-guru agama hanya sebatas
penyediaan
jumlah minimal, yakni setiap jenjang kelas hanya disediakan satu orang guru agama. Oleh karena itu ketika praktek agama, dengan jumlah siswa yang begitu banyak dan guru agama hanya satu, membuat praktek agama tidak maksimal. d. Paserta Didik Kebijakan
implementasi
pendidikan
agama
konfesional
didukung oleh para siswa. Para siswa berpendapat, bahwa pendidikan agama konfesional yang diajarkan oleh guru yang seagama menjadi hak para siswa. Dengan pendidikan agama konfesional yang diajarkan oleh guru yang seagama dapat meningkatkan wawasan keagamaan
149
Makfud, Guru Agama Islam SMA Negeri I Muntilan, 3 Juni 2015.
142
mereka. Mereka menjadi lebih tahu bahwa ajaran agama yang dianutnya adalah benr. Adapun yang menjadi penghambat para siswa dalam pembelajaran pendidikan agama konfesional adalah, tidak setiap siswa lancar membaca al-Qur‟an bagi siswa Muslim, sedang bagi siswa Kristen dan Katolik tidak semuanya memahami kitabnya. e.
Kondisi Lingkungan Lingkungan disekitar SMA Negeri I Muntilan,
mayoritas
penduduknya Islam, Kristen, dan Katolik di mana ketiganya samasama kuat sehingga implementasi pendidikan agama konfesional ini sesuai dengan kondisi masyarakat lingkungan sekitar, dan pelaksanaan pendidikan agama konfesional mendapat apresiasi positif dari masyarakat lingkungan sekitar. Dan yang menjadi penghambat dari kondisi lingkungan adalah, kurangnya interaksi sosial antara pihak sekolah dengan penduduk lingkungan sekitar, karena rumah-rumah mereka sudah banyak yang diberi pagar yang tinggi, dan mereka semuanya sibuk dengan urasan mereka sendiri-sendiri.
143
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah pencarian data, pemaparan, dan analisis sesuai dengan permasalahan penelitian, maka pada bab ini dipaparkan kesimpulan penelitian yang bersifat menjawab rumusan masalah penelitian. Adapun kesimpulan penelitian dapat penulis deskripsikan sebagai berikut: 1. Menurut undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 12 ayat 1, bahwa setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. SMA Negeri I Magelang dan SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang sudah melaksanakan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 12 ayat 1 tersebut . Dengan implementasi pendidikan agama konfesional ini, para siswa di SMA
Negeri I Magelang dan
SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Magelang bisa berinterakasi sosial, dan mereka hidup rukun. Kerukunan mereka tersebut di pengaruhi oleh faktor materi pendidikan agama itu sendiri, dimana materi pendidikan agama mengajarkan kerukunan sosial antar umat beragama
dan
bersedia hidup rukun berdampingan dengan agama lain. Selain materi pendidikan agama, kerukunan mereka dipengaruhi oleh faktor pelajaran pendukung lain, seperti PKn dan bahasa Jawa serta faktor kultur jawa.
144
2. Pluralitas agama yang ada, para siswa berkeyakinan, bahwa agama yang mereka yakini adalah agama yang paling benar. Walaupun mereka meyakini bahwa agama yang di anutnya paling benar, tetapi mereka tetap toleransi dan menghormati terhadap agama yang lainnya. Misalnya pada waktu Dzuhur siswa Muslim berjamaah di Mushola sekolah, dan siswa non-Muslim beribadah di laboratorium agama masing-masing. Pada waktu hari raya Islam siswa non-Muslim mengucapkan selamat terhadap siswa Muslim, begitu juga sebaliknya, pada hari raya agama lain siswa Muslim juga mengucapkan selamat terhadap siswa non-Muslim. 3. Pembelajaran agama konfesional mengalami problematika, yaitu: Sekolah belum mengelompokkan siswa ke dalam kelas yang sesuai dengan agama siswa. Di samping itu, sekolah belum memiliki laboratorium agama sesuai dengan rasio jumlah siswa. Dan sekolah belum memiliki guru agama yang tetap bagi agama minoritas. Di SMA Negeri I Magelang belum memiliki guru tetap agama Hindu dan Buddha. Sedang di SMA Negeri I Muntilan Kabupaten Megelang belum memiliki guru tetap agama Kristen dan Katholik. Problematika implementasi pendidikan agama konfesional yang lain adalah tidak semua siswa mengerti kitab sucinya. Misalnya tidak semua siswa Muslim bisa membaca al-Qur‟an. Dan bagi siswa nonMuslim juga tidak semuanya mengerti dengan kitab sucinya sendiri.
145
B. Saran Pendidikan agama konfesional sebaiknya diberikan pada setiap sekolah yang siswanya plural, karena semua siswa berhak untuk memperoleh pendidikan agama yang sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama juga. Dan bagi sekolah yang sudah menerapkan
pendidikan
agama
konfesional
sebaiknya
memiliki
laboratorium agama sesuai dengan agama peserta didik, dan memiliki guru agama dari masing-masing agama secara tetap. Berikut saran penulis kepada: 1. Bagi Kementrian Agama Bagi Kementrian Agama, seyogyanya mengangkat/ menyediakan guru agama tetap sesuai dengan kebutuhan sekolah yang siswanya plural. Dan Kementrian Agama juga memberikan bantuan sarana dan perlengkapan praktek keagamaan dari masing-masing agama, sehingga pembelajaran agama konfesional bisa efektif. 2. Bagi Sekolah Bagi sekolah yang siswanya plural seyogyanya tetap menyediakan guru agama yang minoritas, sehingga siswa bisa melakukan konsultasi keagamaan dengan gurunya setiap hari.
146
3. Bagi Siswa Bagi siswa, menghargai pluralitas agama dan kerjasama dibidang sosial kemasyarakatan tidak hanya di sekolah saja, akan tetapi terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Bagi Masyarakat Bagi masyarakat seyogyanya tetap mendukung pelaksanaan implementasi pendidikan agama konfesional ini, walaupun berbeda agamanya.
147
Daftar Pustaka Abduh, Muhammad. Tafsir Juz Amma. Bandung: Mizan, 1998. Afifah, Hasna Nur. Siswa Kelas XI IS 1, SMA Negeri I Magelang. Akbar, Ilham Fadhila. Siswa kelas XI MS 2, SMA Negeri I Muntilan. Albright, Madeline. and Gergen, David.Principled Pluralism Report of The InclusiveAmerika Project, Whasington D.C: The Aspen Institute, 2013. Al-Qur‟anul Karim. Surah 2: 256 Amadea, yohana. Siswa Kelas XI IS 4, SMA Negeri I Magelang. Ar Ria‟i ,Muhammad Nasib. Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Katsir,Jakarta: Gema Insani, 1999.
Ibnu
Ata, Ujan, & Andre. Teori Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Indeks, 2011. Azzuhri, Muhandis. “ Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama Upaya Menguniversalkan Pendidikan Agama dalamRanah keIndonesiaan”, Forum Tarbiyah (2012): 27-28. Azra, Azyumardi. Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Beragama:Perspektif Islam,Jakarta: Gunung Mulia, 2006. Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005.
Agama
Antar
Umat
Berwawasan
Beetlestone, Florence. Creative Learning Strategi Pembelajaran MelesatkanKreatfiitas Siswa, Bandung: Nusa Media, 2012.
Untuk
Berhana, Novena. Kelas XI MIA 2, SMA Negeri I Magelang Coward, Harold. Pluralisme: Tantangan Bagi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius,1989. Damami, Mohammad. Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Periode 1973-1983, Disertasi IAIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta: 2011.
Pada
148
Departemen Agama RI. Pedoman Beragama. Jakarta: Proyek Pembinaan Beragama Departemen Agama, 1982/1983.
Dasar Kerukunan Kerukunan Hidup
Hidup Umat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1985. Dewanti, Nia Pradnya. dan Pramata, Nia Zabrina. Siswa Kelas XI MIA 4, SMANegeri I Magelang. Dewi, Yulia Kartika. Kelas XI IS 1, SMA Negeri I Magelang. Echols, John.M. dan Shadily, Hassan. Gramedia, 1995.
Kamus
Inggris
Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Relegion, PublishingCompany, 1987.
Indonesia, Jakarta:
New York:
Millan
Fatwa MUI 29 Juli 2005. Fitriana, Agustin. Guru Agama Islam, SMA Negeri I Magelang. Haedari, Amin. Posisi Strategis pendidikan Agama” dalam bukunya Nunu Ahmad An-Nahidl, dkk. Pendidikan Agama di Indonesia Gagasan dan Realitas, Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010. Hakim, Fahmi. Guru Agama Islam, SMA Negeri I Magelang. Hasan, Nor. “ Kerukunan Intern Umat Beragama di Kota Gerbang Salam Melacak Peran Forum Komunikasi Ormas Islam (Fokus) Pamekasan”,Nuansa (2014): 267-268. Hayat, Bahrul. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama, Jakarta: Saadah CiptaMandiri, 2012. Hendro, Puspito.D. Sosiologi Agama, Yogyakarta; Kanisius, 2009.
Hick, John. Religions Pluralism and Islam, Tehran: TheInstitute to Islamic Cilture and Thought, 2005.
Lecture
Delivered to
149
Husaini, Adian. Pluralisme Agama-Agama: Pandangan Katholik Protestan,Hindu,Dan Islam Terhadap Paham Pluralisme Agama, Dewan Da‟wah IslamiyahIndonesia, 2010. Imarah, Muhammad. Al-Islam wat Ta‟addudiyah: Al- Ikhtilaf wat Tanawwu fiIthaaril Wihdah, Kairo, Mesir: Darur Rasyad, 1997. Imron, Ali. “ Kearifan Lokal Hubungan Antar umat Semarang”, Riptek (2011): 7-18.
Beragama di Kota
Indah, Winda Kurnia. Kelas XI IS 4, SMA Negeri I Muntilan.
Kewuel, Hipolitus Kristoforus. Pemikiran Soren Kierkegaard Tentang Hakekat Agama Kontribusinya Bagi Dialog dan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, Disertasi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta:2012. Khariri, Akhmad. Wakaur Humas, SMA Negeri I Magelang. Kirana, Arizka. Siswa Kelas XI IS 6, SMA Negeri I Magelang. Kurnia, Abdi. Politik Hukum Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Sejak Masa Transisi Politik 1998-2008, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta:2010. Majid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995. ______________. Tiga Agama Satu Tuhan, Bandung: Mizan, 1999. Madrasuta, Ngakan Made. Semua Agama Tidak Sama, Media Hindu, 2006. Makfud, Guru Agama Islam, SMA Negeri I Muntilan. Margono, S. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Mualimah, Hidayatul. Pelaksanaan UU No 20 Tahun 2003 Pasal 12.a dan Peningkatan Sikap Keberagamaan Siswa Muslim SMP Kanisius dan SMP Smaratungga Ampel Boyolali, Tesis, STAIN, Salatiga: 2013. Mudhar, Atho‟. Memelihara Kerukunan Umat Beragama: Jalan Landai atau Mendaki, Jakarta: Sekretariat Jendral Kementrian Agama, 2011. Mujaddid, Ahmad. Kelas XI MS 4, SMA Negeri I Muntilan. Munazir. Koordinator Guru Agama, SMA Negeri I Muntilan.
150
Musni, La. Pola Pendidikan Pluralisme Agama (Studi di Desa Wayame Kecamatan Teluk Ambon Kota Ambon), Tesis, UIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta: 2014. Mutahhari, Murtadha. Islam and Religious Publishing House, 2004.
Pluralism,
Canada:
Islamic
Nugroho, Unggul Satrio. dan Omega Agata Mia Wira, Kelas XI IS 3, SMA Negeri I Magelang. Peraturan Pemerintah RI No 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Peters, R.S.“The Concept of Education, International Librari of The Philosophy Of Education”, London: Taylor Francis e-Library (2010): 1-15. Purwanto, Rochani. Waka Kesiswaan, SMA Negeri I Magelang. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementrian Agama RI, Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia, Jakarta: Badan LitbangDan Diklat Kementrian Agama, 2013. Sabara. “Potret Kerukunan Umat Beragama”, Al-Fikr (2013): 83-84.
Saerozi, Muh. Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme Telaah Historis atas Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konfesional di Indonesia, Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2003. __________. Abstraksi Bahan Kuliah Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam, Program Pasca Sarjana, IAIN Salatiga: 2014. Sibrani. Paltak Y.P. dan Siregar, Bernard Jody. A. Beriman Dan Berilmu: Panduan Pendidikan Agama Kristen Untuk Mahasiswa, Jakarta:Ramos Gospel Publishing House, 2005. Sihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, Bandung: Mizan, 1999.
Shihab, M.Quraish. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur‟an,Jakarta: Lentera Hati, 2002.
151
Slim, Peter. The Contemporari English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English Press, 1985. Sofan, Moh. Menegakkan Pluralisme Fundamentalisme Konservatif di Tubuh Muhammadiyah, Jakarta: LSAF, 2008. Sou‟yb, Joesoef. Agama-Agama Besar Di Husna,1983.
Dunia,
Jakarta: Pustaka
Al-
Sri, Ahimsa Putra Heddy. Fenomenologi Agama:” Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama”, Walisongo (2012): 293-294. Sugiyarso, Didit. Guru Agama Katholik, SMA Negeri I Magelang. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2009.
Kuantitatif, Kualitatif,
Sulistio, Christian.”Teologi Pluralisme Agama John Hick: Sebuah Dialog KritisDari Perspektif Partikularis” Veritas (2001), 56-58. Sumbulah, Umi. Islam Radikal dan Pluralisme Agama Studi Konstruksi Sosial Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang Tentang agama Kristen dan Yahudi, Disertasi, IAIN Sunan Ampel,Surabaya: 2007. Suraji, Waka Kurikulum, SMA Negeri I Muntilan. . Suryana, Toto. “Konsep dan Aktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama”, Ta‟lim (2011): 132. Seseno, Frans Magnis. Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat Majemuk,Jakarta: Obor, 2004. Toha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif, 2005. Tosim, Serumpun Bambu. Yudarta Press , htt p/www . universitas Pasuruan.ac.id (30/06/2015). Tata Usaha SMA Negeri I Magelang Tata Usaha SMA Negeri I Muntilan
yudharta,
152
„Ulya, Fina. “Racikan Kesatuan Transendental Ala Ibnu „Arabi, Rumi, dan alJili “ Studi Agama-agama (2013): 141. Undang undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003. Wahyuni, “Peranan Agama dalam Perubahan Sosial” Al-Fikr (2012): 191. Wiratna, Djaka. Waka Kurikulum, SMA Negeri I Magelang. Yudhati, Grabriela Tisna. Kelas XI MS 4, SMA Negeri I Muntilan.
1791 , دار الكتب العلمية: لبنان- بيوت, قاموس لغوي عام,حممد ىادي اللحام
153
154
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMA KONFESIONAL DALAM MENINGKATKAN KERUKUNAN SOSIAL BERAGAMA ANTAR SISWA DAN KESADARAN PLURALITAS AGAMA SISWA DI SMA NEGERI I MAGELANG DAN SMA NEGERI I MUNTILAN KABUPATEN MAGELANG TAHUN PELAJARAN 2014-2015 TESIS
Oleh: M.MISBAHUL MUTHI, S.Ag NIM : M113011 Tesis diajukan sebagai pelengkap persyaratan untuk gelar Magister Pendidikan Islam
PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) SALATIGA 2015
155
156
157