PERANAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM MEMBERIKAN ADVOKASI HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK: Studi di Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia, Medan SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Oleh : RIKKI JOSUA SILITONGA NIM : 040200025 Departemen Hukum Administrasi Negara Program Kekhususan Hukum Perburuhan Disetujui oleh : Ketua Departemen Hukum Administrsi Negara
DR. Pendastaren Tarigan,SH.,MS Nip.131410462
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Kelelung Bukit,SH Nip. 131652411
DR. Budiman Ginting,SH.,M.Hum Nip. 131570456
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Rikki Josua Silitonga : Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Memberikan Advokasi Hukum Terhadap Pekerja Anak: Studi di Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia, Medan, 2008. USU Repository © 2009
2
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dan semoga Tuhan tetap melindungi pada hari yang akan datang. Telah menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa yang hendak menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis memberanikan diri untuk menyusun suatu skripsi dengan judul “Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Memberikan Advokasi Hukum Terhadap Pekerja Anak: Studi di LSM Yayasan Pusaka Indonesia Medan”. Kepada Ayahanda T.Silitonga dan Ibunda Dra.N.Pasarib,Msi, terima kasih atas kasih sayang, doa, dan dukungannya, baik dukungan moril maupun materil. Tanpa doa dari kalian mungkin skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membreri dukungan serta doanya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan, khususnya penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. DR. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof.Dr. Suhaedi,SH., M.H, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ; 3. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS, selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3 4. Bapak Kalelung Bukit, SH., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan begitu banyak nasehat dan dukungan yang tak terhingga selama penulis berada di kampus, penulis tidak akan pernah melupakan semua kebaikan dan perhatian beliau; 5. Bapak Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang membantu dan mendukung penulis di dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih buat kemaklumanya terhadap keterbatasan penelitian ini. 6. Bang Edy Ikhsan, yang telah mengijinkan penulis untuk riset di Pusaka Indonesia, dan seluruh staf Pusaka yang telah membantu penulis dalam memberikan masukan-masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Seluruh Dosen dan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ; 8. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpusatakaanserta para Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ; 9. Buat sahabat-sahabatku di group A stambuk 04; Sabtia, Tias dkk(jangan kebanyakan gossip di kelas), Ade, Samuel E to`o dkk (sory ya kwn2, kalau berkawan jangan sama sibiru saja, sekali-sekali berbaurla ama si MeRAh, itu kalau ga di marahi ama senior kalian atau doktrinnya emang seperti itu), SoeGoendo dan 131 IS-nya (makasih ya buat kepercayaanya dalam Pemira, semangat trus ya di PKPA), Rico, Manda, wanda, Dery dkk(woi da lama kita ga main bola ya ama anak PRM)….buat semua kawan-kawan lamaku aku akan tetap mengingat kalian semua.
4 10. Kepada teman-teman satu jurusanku: Dedy Yusznizar(thanks ya lae buat dukungan lae dalam PT), Hamdhani dan Firdawaty(my new friend), Edy dan Julianto(bisa la kalian sarja duluan, itupun ga bilang-bilang) ; 11. Buat adik-adik ku Stambuk'07 Akmal, Rio, Adre, dll (sorry ya). 12. Buat Adik-adikku Rebecca Sonia Issabel Silitonga (si gen-gen), Geraldo Silitonga (si brebet), Sarah Silitonga, Adytia Pandapotan Silitonga , Jeremya Silitonga (jangan nakal & rajin belajar ya); 13. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu persatu ; Oleh karena keterbatasan penulis dalam mengerjakan skripsi ini, maka penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya, sehingga penulis mengharapkan saran ataupun masukan dari pembaca semua. Akhir kata dari penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua. Dan ilmu yang diperoleh penulis dapat dipergunakan dan diterapkan oleh penulis untuk Nusa dan Bangsa.
Harapan Penulis semoga Tuhan Yang Maha Kuasa tetap melindungi kita semua.
Medan, Agustus 2008 Penulis
RIKKI JOSUA SILITONGA
5 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………...
i
DAFTAR ISI …………………………………………………………..
v
ABSTRAKSI …………………………………………………………..
viii
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………..
1
A. Latar Belakang ……………………………………....
1
B. Perumusa masalah……………………..……………..
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……..………………..
9
D. Keaslian Penulisan ……………………………….….. 11 E. Tinjauan Kepustakaan ……………………………….
11
1.
Tinjauan Konseptual …. ……………….………... 11
2.
Tinjauan Historis, Budaya dan Ekonomi Pekerja Anak……………………………..…..………….... 15
F. Metode Penelitian ……………………………………. 17 1. Jenis Penelitian …………………………………... 17 2. Jenis Data dan sumber data ……………………… 17 3. Metode Pengumpulan Data ……………………… 18 G. Sistematika Penulisan ………………………………... 19
BAB II
PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM MEMBERIKAN ADVOKASI HUKUM TERHADAPPEKERJA ANAK ..……………………….. 20
A. Lembaga Swadaya Masyarakat Bagi Pekerja Anak di Sumatera Utara ……………………………….…………………..……20
6 B. Kehadiran Yayasan Pusaka Indonesia Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang Proaktif Dalam Memberikan Advokasi Hukum Terhadap
Pekerja
Anak
……………....……………………………………...……….. 29 C. Program-program yang dilakuan Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak pekerja anak ....………………………………………………..32 D.Kerja sama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan pihak-pihak terkait dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak ………………...…………………………………………42
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM YANG DIBERIKAN OLEH PUSAKA INDONESIA ………………. 57 A. Asas-asas Hukum Perlindungan Pekerja Anak…....…..... …….57 B. Perlindungan Pekerja Anak dalam Proses Pemeriksaan Penyidikan ……………….……………………………………....................58 C. Perlindungan pekerja anak dalam proses pemeriksaan penuntutan ………………………………………………………………….64 D. Perlindungan pekerja anak dalam proses peradilan…………...67 E. Perlindungan pekerja anak pada Lembaga Pemasyarakatan..…72
BAB IV
KENDALA YANG DIHADAPI PUSAKA INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN ADVOKASI HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK……………………………….76 A. Minimnya akses bantuan hukum bagi pekerja anak yang berkonflik dengan hukum……………………………..……...76
7 B. Minimnya Perhatian Pemerintah dalam Persoalan Pekerja Anak yang Berkonflik Dengan Hukum ..………………………..…78 C. Upaya yang dilakukan Pusaka Indonesia untuk Menekan angka Pekerja Anak yang berkonflik dengan hukum ………………..81
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………. 84 A. Kesimpulan ………………………………………………… 84 B. Saran ……………………………………………………….. 88
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
8 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Anak sebagai generasi penerus bangsa dan sumber daya penggerak pembangunan yang utama dimasa mendatang harus memperoleh kesempatan agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental, intelektual maupun sosialnya. Persoalan pekerja anak sebagai salah satu jenis tenaga kerja telah lama menjadi persoalan dalam dunia hukum ketenagakerjaan/perburuhan. Diizinkannya seorang anak bekerja dalam suatu lapangan kerja menimbulkan respon yang berbagai macam dari masyarakat. Banyak kekhawatiran yang muncul dengan keberadaan pekerja anak ini. 1 Permasalahan pekerja anak di Indonesia ternyata tidak dapat disikapi dengan pilihan boleh atau tidak. Kenyataan menunjukkan keluarga miskin sangat membutuhkan pekerjaan bagi anak-anaknya, baik untuk membantu perekonomian keluarganya maupun melangsungkan kehidupannya sendiri. Asalkan anak-anak tersebut masih mempunyai kesempatan untuk sekolah dan juga sebagai pekerja anak yang mengerjakan pekerjaan yang masih dalam batas kemampuannya, maka hal ini dapat dibenarkan. 2 Pernyataan ini sesungguhnya menyebutkan bahwa anak-anak sebaiknya dibolehkan bekerja, tetapi harus dilindungi dari eksploitasi pihak-pihak yang mempekerjakannya dan menjaga agar hak-haknya senantiasa dipenuhi. Konvensi PBB mengenai hak anak pada tahun 1989 mengemukakan hak-hak yang harus diperhatikan pada kehidupan anak. Hak-hak yang dimaksud mencakup :
1
Tadjuddin Effendi Noer, Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan, Jakarta, Tiara Wacana, 1995, hal. 2 2 Pandji Putranto, Berbagai Upaya Penanggulangan Pekerja Anak, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal. 15
9 1. Hak untuk kelangsungan hidup (hak untuk hidup dan memperoleh perlakuan dan perawatan kesehatan yang mandiri), tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, 2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan; 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orangtua; 4. Hak mengetahui orangtuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orangtuanya sendiri; 5. Dalam hal karena suatu sebab orangtuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial; 7. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan bakatnya; 8. Hak memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak yang menyandang cacat dan hak mendapatkan pendidikan khusus
bagi anak yang memiliki
keunggulan; 9. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan;
10 10. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri; 11. Hak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi anak yang menyandang cacat.
3
Indonesia merupakan salah satu Negara yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Anak, melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 36 tanggal 25 Agustus 1990. Berkaitan dengan pekerja anak, Pasal 32 Konvensi Hak anak tersebut menegaskan bahwa anak harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan anak atau merugikan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, berarti secara hukum Negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak, baik hak sipil, politik, sosial, budaya dan ekonomi. Di samping telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai hak-hak anak tersebut, Indonesia juga telah meratifkasi berbagai Konvensi ILO seperti : 1. Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum Anak untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi menjadi Undang-undang No. 20 Tahun 2000 dan 2. Konvensi ILO No.. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera untuk menghapuskan bentuk-bentuk terburuk pekerjaan anak, yang telah diratifikasi menjadi Undang-undang No. 1 Tahun 2000. Fakta tersebut penting untuk diperhatikan dalam relevansinya dengan situasi pekerja anak di Indonesia. Badan Pusat Statistika (BPS) mencatat bahwa angkatan
11 kerja anak-anak berusia 11 sampai 14 tahun mengalami kenaikan secara absolut dari sekitar 2 juta pada tahun 1980 menjadi 2,5 juta pada tahun 1990. Pada tahun 2006 tercatat bahwa di Indonesia ada sekitar 4,2 juta anak yang bekerja, 1,5 juta anak diantaranya adalah anak perempuan. Tercatat juga ada 2,6 juta anak yang bekerja menjadi Pembantu Rumah Tangga, 93% diantaranya adalah anak perempuan. Datadata tersebut masih akan meningkat, jika tidak karena keterbatasan pelaporan tentang anak-anak yang bekerja di instansi pemerintahan yang masih rendah.
Menurut
Nachrowi D Nahcrowi dan Salahudin A.M, yang khusus menyoroti perburuhan anak di Indonesia menyatakan ada 6 alasan mengapa buruh anak Indonesia mendapat sorotan yaitu: 1. Meningkatnya jumlah pekerja anak akan menimbulkan dinamika tersendiri dalam proses pembangunan sumber daya manusia selama 25 tahun mendatang (PJP II); 2. Upaya mengantisipasi secara dini permasalahan yang mungkin timbul sebagai akibat bertambahnya jumlah absolut pekerja anak dari tahun ke tahun permasalahan ketenagakerjaan yang mungkin muncul sebagai akibat adanya persaingan dan peningkatan investasi dalam sektor industri; 3. Era ekonomi global telah mengubah sistem perdagangan dunia internasional; 4. Melonjaknya jumlah pekerja anak berimplikasi terhadap pasar kerja; 5. Banyaknya perusahaan industri manufaktur
yang mempergunakan tenaga
kerja dibawah umur;
3
Edy Ikhsan, Pekerja Anak di Perkebunan Tebu, Lembaga Advokasi Anak Indonesia dan American Center for International Labour Solidarity, Jakarta, 2000, hal. 1
12 6. Masih banyaknya pekerja di bawah umur yang harus bekerja tanpa mengetahui hak-hak yang mereka miliki dalam peningkatan kesejahteraan mereka. 4 Anak berhak untuk dapat berkembang menjadi orang dewasa yang positif yang mampu mengambil alih tugas dan tanggung jawab orang dewasa di dalam masyarakat. Agar anak dapat berkembang dengan wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya, anak harus diberi kesempatan berada dalam lingkungan keluarga yang bertanggung jawab atas kesejahteraannya. Pada hakekatnya anak tidak boleh bekerja karena waktu mereka selayaknya dimanfaatkan untuk bermain-main, bergembira dan mendapat kesempatan mengikuti pendidikan untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan perkembangan fisik, psikologis, intelektual dan sosialnya. Berkaitan dengan kondisi di atas, wacana yang berkembang berkaitan dengan fenomena pekerja anak belakangan ini memberikan gambaran bahwa anak-anak bekerja baik sebagai sumber tenaga produktif keluarga maupun sebagai penyumbang dalam ekonomi rumah tangga merupakan fenomena yang tidak selayaknya dibiarkan. Sekalipun Indonesia telah meratifikasi berbagai Konvensi ILO namun pemerintah Indonesia tidak dapat memberlakukannya dengan tegas. Telah sejak lama Indonesia lebih memilih kebijakan untuk
mentolerir
keberadaan pekerja anak
dengan
memberikan
perlindungan terhadap mereka. Sekalipun berbagai peraturan telah ditetapkan untuk melindungi pekerja anak, pada kenyataannya tidak sedikit pengusaha atau majikan yang masih memperlakukan anak-anak dengan buruk, seperti praktik eksploitasi, menempatkan anak-anak pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi fisik dan mental si anak dan bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Dalam masyarakat sendiri masih
4
banyak dijumpai anak-anak yang bekerja dalam lingkungan kerja,
Nachrowi D. Nachrowi dan Salahudin A.M. , Prisma, 2 Februari 1997, hal. 18
13 peralatan, bahan-bahan produksi, lokasi kerja, lingkungan alam, bahan fisik dan mental yang mengganggu pertumbuhan anak, jam kerja yang berkepanjangan juga mengalami kekurangan gizi akibat pekerjaan yang dilakukan. Secara umum pemerintah juga membuat suatu undang-undang tentang perlindungan anak, yaitu Undang-undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tersebut diberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat, lembaga swadaya masyarakat untuk menyelenggarakan perlindungan anak. Dalam Undang-undang Perlindungan anak diatur tentang peran masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap seorang anak yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini diberikan kesempatan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat, Serikat Pekerja, Organisasi Buruh untuk turut serta memberikan perlindungan terhadap anak. Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan organisasi kemasyarakatan yang memberikan kepedulian
terhadap pembangunan baik
di tingkat nasional,
kawasan internasional maupun pada tingkat lokal. LSM merupakan mitra pemerintah, yang kegiatannya dapat bergerak dalam bidang keagamaan, politik, ekonomi, sosial budaya atau yang lain. Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok masyarakat yang perduli secara individual memang memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam penanganan masalah buruh anak. Harus kita akui bahwa LSM memang sudah senantiasa berjuang mulai dari sejak dahulu dan senantiasa terus berjuang dalam penegakan HAM. Fenomena LSM memang pada awalnya dipandang negatif oleh pemerintah yang dianggap mencampuri secara usil kebijakan-kebijakan pemerintah serta senantiasa melakukan kritik tanpa solusi. Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengangkat judul : “Peranan Lembaga Swadaya
14 Masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap Pekerja Anak: Studi di Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia, Medan.
B. Perumusan Masalah Adapun masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap Perkerja Anak. 2. Bagaimana proses advokasi hukum / perlindungan hukum yang diberikan kepada Pekerja Anak yang bermasalah dengan hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Kendala apa saja yang dihadapi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dalam mewujudkan advokasi hukum terhadap Pekerja Anak. C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. TujuanPenulisan Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan
sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap Perkerja Anak. 2.Untuk mengetahui proses advokasi hukum / perlindungan hukum yang diberikan kepada Pekerja Anak yang bermasalah dengan hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3.Untuk mengetahui
Kendala apa saja yang dihadapi oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat dalam mewujudkan advokasi hukum terhadap Pekerja Anak.
15 2. Manfaat Penulisan 1. Secara Teoritis hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum di Indonesia. 2. Secara Praktis Pembahasan terhadap permasalahan yang diangkat diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya bagi para pekerja anak mengenai peran lembaga swadaya masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak dan juga mengenai proses hukum yang berlaku untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Bagi masyarakat luas, selain daripada pekerja/ buruh dan pengusaha, seperti pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), aktivis buruh dan lainnya yang berjuang untuk kepentingan pekerja/ buruh kiranya penulisan skripsi ini dapat menjadi pola upaya perlindungan terhadap pekerja anak juga bahan bacaan yang bisa berguna dalam pengorganisiran dan advokasi pekerja/ buruh dalam mencapai tatanan ketenagakerjaan yang lebih baik sesuai dengan prinsip Hubungan Industrial Pancasila. D. Keaslian Penulisan Penulisan ini tentang “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap Pekerja Anak (Studi pada Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia)”, yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya yang ditulis secara objektif, ilmiah melalui data-data referensi dari buku-buku, bantuan dari para narasumber dan pihak-pihak lain. Skripsi ini juga bukan merupakan jiplakan atau merupakan judul skripsi yang sudah pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain.
16 E. Tinjauan kepustakaan E.1. Tinjauan Konseptual Menurut Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian tenaga kerja sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 butir 2 (satu) adalah “ Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/ atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”. Payaman Simanjuntak memberikan definisi tenaga kerja atau man power adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan dan yang melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Dan secara peraktis pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja dibedakan hanya oleh batas umur.5 Iman Soepomo memberikan definisi hukum ketenagakerjaan/ perburuhan sebagai himpunan peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.6 Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dimaksud dengan ketenagakerjaan menurut Pasal 1 butir 1 (satu) adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Sedangkan hubungan industrial dalam Pasal 1 butir 16 Jo Pasal 1 butir 1 (satu) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial didefinisikan sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/ atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/ buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
17 Menurut Manulang bahwa tujuan Hukum Ketenagakerjaan ialah: a. Untuk mencapai/ melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan. b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha.7 Butir (a) lebih menunjukan bahwa hukum ketenagakerjaan harus menjaga ketertiban, keamanan dan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dalam proses produksi, untuk dapat mencapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha. Sedangkan butir (b) dilatarbelakangi adanya pengalaman selama ini yang kerap kali terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja/ buruh. Untuk itu diperlukan suatu perlindungan hukum secara komprehensif dan konkret dari pemerintah.8 Hukum Ketenagakerjaan dapat bersifat perdata (privat) dan dapat bersifat publik. Dikatakan bersifat perdata oleh karena sebagaimana kita ketahui bahwa hukum perdata mengatur kepentingan orang perorangan, dalam hal ini adalah antara tenaga kerja dan pengusaha, yaitu dimana mereka mengadakan suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian kerja, sedangkan mengenai hukum perjanjian terdapat atau diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Buku III, disamping bersifat perdata juga bersifat publik (pidana), alasannya adalah: 1. Dalam hal-hal tertentu Negara atau pemerintah turut campur tangan dalam masalah-masalah ketenagakerjaan, misalnya dalam masalah pemutusan hubungan kerja (PHK);
5
Payaman Simanjuntak, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia (SDM), Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1985, hal 10. 6 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan. Penerbit Djambatan, Jakarta, 1992, hal 3. 7 Sendjun H. Manulang, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal 2.
18 2. Adanya sanksi-sanksi atau aturan-aturan hukum di dalam setiap undang atau peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Adapun tujuan pembangunan ketenagakerjaan menurut Pasal 4 undangundang Nomor 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut: a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.; c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Pasal 3 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menegaskan bahwa pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan menyangkut multi dimensional dan terkait dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/ buruh. Budiono membagi sifat hukum ketenagakerjaan menjadi 2 (dua), yaitu bersifat imperatif dan bersifat fakultatif. Hukum bersifat imperatif atau dwingenrecht (hukum memaksa) artinya hukum yang harus ditaati secara mutlak, tidak boleh dilanggar. Sedang hukum bersifat fakultatif atau regelendrecht/ aanvul-lendrecht (hukum yang mengatur/ melengkapi), artinya hukum yang dapat dikesampingkan pelaksanaannya.
8
Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 7.
19 Konsepsi anak dalam Konvensi Hak Anak dan juga Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditetapkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu, sebaliknya dianggap tidak pernah ada apabila anak meninggal pada waktu dilahirkan.9 Ketentuan ini juga penting untuk mencegah adanya tindakan dari orang yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin yang dikandung seseorang. Untuk Indonesia terdapat konsepsi yang berbeda-beda dalam penentuan batasan usia anak. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 6 ayat 2
misalnya memberikan batasan 21 tahun sebagai usia seseorang untuk kawin.
Sementara itu Undang-undang kesejahteraan anak No. 4 Tahun 1979 mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. Dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-12/M/BW/ 1997, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Memperhatikan berbagai batasan tersebut, maka anak dapat didefinisikan sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Berkaitan dengan konsep pekerja anak, Indikator Kesejahteraan Rakyat tahun 1996 memberi batasan bahwa yang termasuk pekerja anak adalah penduduk yang berusia 10-14 tahun yang melakukan kegiatan untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan minimal 1 jam dalam seminggu. Dalam hal ini pekerja anak tidak selalu identik dengan buruh anak. Buruh anak didefinisikan sebagai anak yang bekerja dalam
situasi
yang
biasanya
mengandung
membahayakan dan unsur eksploitatif.
9
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 2
unsur
lingkungan
kerja
yang
20 Batasan lainnya diungkapkan oleh Horiuchi yang menyebutkan pekerja anak sebagai anak-anak yang bekerja kurang lebih seperti pekerja pada umumnya, yang bertujuan membiayai dirinya dan keluarganya.10 Dalam hal ini aspek usia pekerja anak sama sekali tidak ditentukan. Namun di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 69 disebutkan bahwa pekerja anak adalah seseorang yang berusia antara 13 sampai 15 tahun (kategori ini ditujukan untuk jenis pekerjaan yang ringan). E.2. Tinjauan Historis, Budaya dan Ekonomi Pekerja Anak Fenomena pekerja anak di Indonesia bukanlah hal yang berkembang saat ini saja. Anak-anak yang bekerja di perkebunan misalnya telah ditemui sejak awal abad keduapuluh. Menurut Yasuo Uemura menunjukkan bahwa pada masa itu pemakaian buruh wanita dan anak-anak
telah semakin banyak digunakan dalam proses
pembudidayaan tebu di suatu perkebunan yang bernama Krian, pada afdeling Sidoarjo.11 Buruh wanita dan anak-anak ini terutama bekerja untuk pemupukan tanaman tebu. Pada waktu yang bersamaan, penggunaan tenaga wanita dan anak-anak juga telah terjadi di perkebunan-perkebunan tembakau di daerah Sumatera Utara. Pekerjaan yang biasanya mereka lakukan adalah menggantungkan daun tembakau yang sudah dipetik di lumpung pengeringan, mencari ulat tembakau dan menggaru tanah pada masa pemeliharaan tanaman. Pada perkebunan karet di Sumatera Utara pekerja anak biasanya bekerja untuk mengorek karet atau mengangkat sekeranjang karet untuk ditimbang. Penggunaan tenaga kerja anak dalam ekonomi rumah tangga dengan bekerja mendapatkan upah sendiri juga dapat dilihat pada kehidupan masyarakat pedesaan
10
Ahmad Sofian, dkk, Kekerasan Seksual terhadap Anak Jermal, Kerjasama Fored Foundation dengan Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1999,hal 7.
21 yang mengalami transisi dan golongan miskin di kota, perubahan kondisi ekonomi akan menuntut adaptasi keluarga dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia terutama dengan memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Jika tenaga kerja wanita, terutama ibu rumah tangga belum dapat memacahkan masalah yang dihadapi, biasanya anak-anak yang belum dewasa pun diikutsertakan dalam menopang kehidupan ekonomi keluarga. Diluar hal-hal di atas, fenomena pekerja anak dapat dipahami dalam kerangka sistem perekonomian yang kapitalistik. Yaitu untuk meningkatkan produksi dan teknologi dengan menekan biaya produksi dengan jalan menekan biaya pengeluaran untuk upah. Salah satu jalan yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan wanita dan anak-anak. Oleh karena di kebanyakan Negara berkembang wanita dan anakanak secara kultural dipandang sebagai pencari nafkah kedua dan karenanya dapat dibayar murah, pemilik modal lebih menyukai memperkerjakan mereka sebagai buruh dengan upah yang rendah. Walaupun demikian tidak dapat diabaikan struktur makro yang membingkai fenomena pekerja anak di perkebunan. F. Metode Pengumpulan Data Suatu karya tulis ilmiah haruslah disusun berdasarkan data-data yang benar dan bersifat objektif sehingga dapat diuji kebenarannya. Data adalah kumpulan keterangan-keterangan baik tulisan maupun lisan untuk membantu dan menunjang penelitian. 1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian empiris.
11
Uemura Yasuo, Perkebunan Tebu dan masyarakat pedesaan di Jawa, dalam Akira Nagazami (editor),Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX dan XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia, Jakarta, 1986, hal 18.
22 Metode penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan prilaku manusia yang dianggap pantas.12 2. Jenis Data Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari : a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa undangundang, peraturan pemerintah dan sebagainya. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang peran lembaga swadaya masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak seperti seminar hukum, majalah-majalah, karya tulis ilmiah yang terkait dengan peran lembaga swadaya masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. c. Bahan Hukum Tersier Semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain, Sedangkan data primer diperoleh dari penelitian lapangan dengan melakukan wawancara.
12
Amiruddin, Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
23 3. Metode Pengumpulan Data Dalam Penulisan skripsi ini dipergunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan, yang berasal dari buku-buku, makalah-makalah, situs internet maupun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan judul skripsi ini. b. Penelitian Lapangan (Field Research) Yaitu dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan. Dalam hal ini penulis langsung mengadakan penelitian ke Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia. Data sekunder dan primer yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan skripsi ini, yaitu dengan apa yang diperoleh dari penelitian dilapangan yang kemudian dipelajari secara utuh dan menyeluruh untuk memperoleh jawaban permasalahan dalam skripsi ini G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Urutan bab-bab tersebut tersusun secara sistematik dan saling berkaitan satu dengan yang lain. Uraian singkat bab-bab dan sub bab-sub bab tersebut adalah sebagai berikut: BAB I
: Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar
belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Persada, Jakarta, hal 118.
24 BAB II
: Merupakan bab yang berisi tentang peran lembaga sawadaya
masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak, bab ini terdiri dari Lembaga Swadaya Masyarakat bagi pekerja anak yang ada di Sumatera Utara, Kehadiran Yayasan Pusaka Indonesia sebagai LSM yang proaktif dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak, Program-program yang dilakukan LSM Yayasan Pusaka Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak pekerja anak, Kerja sama LSM dengan pihak terkait dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak. BAB III
: Merupakan bab yang di berisi tentang bagaimana proses
advokasi hukum/ perlindungan hukum yang diberikan kepada pekerja anak yang bermasalah dengan hukum menurut peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, bab ini terdiri dari Asas-asas Hukum Perlindungan Pekerja Anak, Perlindungan Pekerja Anak dalam Proses Pemeriksaan Penyidikan, Perlindungan pekerja anak dalam proses pemeriksaan penuntutan, Perlindungan pekerja anak dalam proses peradilan, Perlindungan pekerja anak pada Lembaga Pemasyarakatan. BAB IV
: Merupakan bab yang menguraikan tentang kendala-kendala
apa saja yang dihadapi oleh lembaga swadaya masyarakat dalam mewujudkan advokasi hukum/ perlindungan hukum terhadap pekerja anak, bab ini terdiri dari Minimnya akses bantuan hukum bagi pekerja anak yang berkonflik dengan hukum, Minimnya Perhatian Pemerintah dalam Persoalan Pekerja Anak yang Berkonflik Dengan Hukum, Upaya yang dilakukan Pusaka Indonesia untuk Menekan angka Pekerja Anak yang berkonflik dengan hukum. BAB V
: Merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan
terhadap skripsi dan saran-saran terhadap peranan LSM dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak.
25 BAB II PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM MEMBERIKAN ADVOKASI HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK
A. Lembaga Swadaya Masyarakat bagi pekerja anak yang ada di Sumatera Utara Memperhatikan percaturan sosial dan politik di Indonesia pada akhir abad ke20 ini
kiranya kita tidak dapat mengabaikan peranan yang dimainkan oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Mulai bermunculan pada awal tahun 1970, kini LSM hadir dalam setiap bidang kehidupan dan dalam beberapa kasus menjadi penggerak utama perubahan di dalamnya. Peranan LSM tersebut adalah melakukan apa yang tidak dilakukan oleh pemerintah, yang selama ini menjadi pengendali perubahan dalam skala besar atau melakukan hal yang sama dengan pemerintah tetapi dengan cara yang berbeda. Dengan mempertimbangkan semangatnya yang hendak menciptakan perbedaan ini, serta keberhasilan relatif di tengah ketiadaan kekuatan lain yang berani berhadapan dengan pemerintah, wajar saja kiranya untuk menyebut LSM sebagai salah satu pendorong dinamika sosial dan politik masyarakat. Dalam hubungan dan situasi seperti inilah maka sebagian orang lebih suka menyebut lembaga-lembaga ini sebagai Organisasi Non-Pemerintah, atau Ornop, yang merupakan terjemahan lurus dari istilah Inggris Non-Governmental Organization (NGO). Dalam situasi politik Indonesia di akhir abad ke-20 yang baru saja terbebas dari otoritarinisme ini, LSM boleh jadi tidak perlu lagi menjadi kekuatan penentang pemerintah, melainkan, sesuai dengan namanya sebagai penganjur keswadayaan, berperan sebagai pelopor masyarakat sipil yang masih jauh dari kuat. Namun demikian, terlepas dari apapun peranan mereka, yang jelas dalam periode sepuluh sampai limabelas tahun terakhir ini telah sangat banyak bermunculan LSM di Indonesia. LSM tidak hanya menawarkan jalan alternatif yang praktis untuk
18
26 kegiatan-kegiatan yang bersifat pembangunan sosial dan ekonomi, tetapi juga kegiatan yang bersifat penyadaran dan pembelaan kepentingan umum. Mereka semua berharap dapat
memberdayakan masyarakat dalam berhadapan dengan kekuatan
besar pemerintah dan bisnis swasta. Tetapi ada pula LSM yang bergerak dalam bidang-bidang yang sesungguhnya merupakan kepentingan semua orang, seperti lingkungan hidup dan hak konsumen. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemunculan mereka didorong oleh dua hal, kebutuhan riil masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya serta adanya dana bantuan masyarakat luar negeri yang disalurkan langsung kepada masyarakat. Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berasal dari suatu seminar yang diselenggarakan Sekretariat Bina Desa (SBD) di Ungaran, Jawa Tengah 1978. Penulis berkonsultasi dengan Prof. Dr. Sayogyo minta pendapat beliau tentang istilah yang sebaiknya dipakai untuk menyebut berbagai kelompok, lembaga atau organisasi yang bermunculan pada waktu itu, yang sangat aktif dalam upaya-upaya pembangunan terutama diantara lapisan masyarakat bawah. Di kalangan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), kelompok, lembaga atau organisasi tersebut disebut Non Government Organization (NGO) yang kemudian dalam suatu konferensi (1976) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) diterjemahkan menjadi Organisasi Non Pemerintah (disingkat ORNOP). Penulis merasa kurang "sreg" dengan istilah tersebut. Pertama, karena pengertian organisasi Non Pemerintah dapat mencakup berbagai organisasi yang luas (asalkan bukan organisasi Pemerintah) baik organisasi bisnis, kalangan
pers, paguyuban seni, olah raga dan lain-lain,
padahal dengan NGO yang dimaksud lebih khusus yaitu yang berhubungan langsung dengan pembangunan.
27 Kedua, dalam sejarah pergerakan, kita mengenal istilah ''Non" dan "Co". Pada waktu pendudukan Belanda ada kelompok masyarakat yang bekerjasama dengan Belanda disebut "golongan Co" dan ada kelompok yang menolak kerjasama disebut "golongan Non". Istilah NGO dapat diartikan atau dituduh sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerjasama dengan Pemerintah. Padahal untuk mencapai tujuan dari kelompok, lembaga atau organisasi tersebut, yaitu meningkatkan keswadayaan dan kemandirian masyarakat yang dilayani, sering perlu banyak bekerjasama dengan Pemerintah. Dalam mencari istilah Indonesia bagi NGO, penulis kemudian menemukan istilah yang sering dipakai oleh Kementrian Kerjasama International Jerman (Barat) yaitu Self Help Promoting Institute (SHPI) dan Self Help Organization (SHO), masing-masing dimaksudkan sebagai lembaga yang didirikan dengan tujuan menolong yang lain, sedang yang kedua dimaksudkan untuk menolong diri sendiri. Penulis pikir istilah ini cocok untuk Indonesia. Dan atas saran Prof. Sayogyo kemudian diperkenalkan istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) untuk SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk SHO. Dalam Seminar (kerjasama antara SBD dan WALHI) di Gedung YTKI 1981 antara lain dimaksudkan memberi masukan pada Undang-undang Lingkungan Hidup yang sedang disusun DPR, untuk memudahkan pemahaman di masyarakat disepakati menggunakan satu istilah saja yaitu LSM. Istilah LSM lalu didefinisikan secara tegas dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990, yang ditujukan kepada gubernur di seluruh Indonesia tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat. Lampiran II dari Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warganegara Republik Indonesia yang secara sukarela atau
28 kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Dalam Pilot Proyek Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PPHBK) istilah LSM mencakup pengertian LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat) dan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). PPHBK yang dikelola oleh Bank Indonesia dimaksudkan menghubungkan Bank (formal) dengan KSM (non formal) dalam bidang permodalan. Sejak diperkenalkan Bank Indonesia tahun 1988,
skema HBK telah berjalan sangat baik, hingga September 2001,
dilaksanakan di 23 propinsi, mencakup lebih dari 1000 kantor bank partisipan, 257 LPSM, 34.227 kelompok swadaya masyarakat dengan anggota sekitar 1.026.810 KK, menyalurkan kredit (akumulasi) Rp 331 milyar, memobilisasi tabungan beku (akumulasi) Rp 29,5 milyar, dan tingkat pengembalian kredit 97,3%. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian LSM mencakup dua kategori yaitu KSM dan LPSM. Disamping itu ada kategori ketiga yang disebut LSM Jaringan, yaitu suatu bentuk kerjasama antara LSM dalam bidang kegiatan atau minat tertentu, misalnya : 1.
Sekretariat Bina Desa (SBD), berdiri 1974, merupakan forum dari LSM yang bekerja di kawasan pedesaan
2.
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), berdiri 1976, merupakan wadah kebersamaan LSM yang memusatkan perhatian pada upaya pelestarian lingkungan
29 3.
Forum Indonesia untuk Keswadayaan Penduduk (FISKA), berdiri 1983,
merupakan
forum
LSM
yang
bergerak
dibidang
kependudukan 4.
Forum Kerjasama Pengembangan Koperasi (FORMASI), berdiri 1986, merupakan forum LSM yang bekerja mengembangkan koperasi
5.
Forum Pengembangan Keswadayaan (Participatory Development Forum- PDF), berdiri 1991, merupakan peningkatan dari Forum Kerjasama LSM -- PBB (NGO - UN Cooperation Forum) yang didirikan pada 1988. PDF menggabungkan berbagai LSM berinteraksi dengan Pemerintah, dunia usaha dan badan-badan Internasional dalam suatu forum untuk mengembangkan peran serta berbagai aktor dalam pembangunan.
LSM tidak hanya muncul dalam dekade 70-an, ada pula yang telah berdiri pada dekade 50-an dan 60-an. Bahkan Budi Utomo dan Serikat Islam yang telah didirikan jauh lebih lama adalah LSM juga. Walaupun pada prinsipnya tujuan LSM dari berbagai jaman adalah sama yaitu mencapai tingkat kemandirian yang lebih tinggi dari masyarakat yang dilayani, tetapi mereka mempunyai motivasi kerja yang berbeda dari jaman ke jaman. LSM jaman penjajahan didirikan dengan motivasi membebaskan diri dari kungkungan penjaiahan dengan upaya pendidikan dan usaha di bidang ekonomi. Sementara LSM dalam jaman Orde Lama menghadapi situasi yang berbeda. Penjajahan oleh bangsa asing sudah tiada, diganti dengan arus berbangsa dan bernegara yang kita kenal dengan istilah "politik komando" atau politik nomor satu. Pada situasi semacam itu motivasi LSM memperjuangkan agar pembangunan mendapat tempat
yang memadai yaitu melalui upaya-upaya
30 peningkatan keswadayaan rakyat kecil, para petani dan nelayan di desa-desa dan lain sebagainya sambil memperjuangkan suatu kebijakan yang kondusif bagi upaya-upaya tersebut dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian karena situasi dan kondisi berbeda, berbeda pula motivasi kerja LSM di jaman Orde Baru. Pada orde pembangunan ini, LSM berusaha mempersiapkan masyarakat agar berkemampuan memanfaatkan berbagai peluang yang muncul dari proses pembangunan meningkatkan keswadayaan mereka sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan nasional. Selanjutnya dari berbagai pengalaman pelayanan kepada masyarakat disusun model-model pendekatan yang dapat direkomendasikan untuk perbaikan pendekatan pembangunan yang sedang berjalan. Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan organisasi kemasyarakatan yang memberikan kepedulian terhadap pembangunan baik di tingkat nasional, kawasan internasional maupun pada tingkat lokal. LSM merupakan mitra pemerintah, yang kegiatannya dapat bergerak dalam bidang keagamaan, politik, ekonomi, sosial budaya atau yang lain. Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok masyarakat yang perduli secara individual memang memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam penanganan
masalah buruh anak. Harus kita akui bahwa LSM
memang sudah
senantiasa berjuang mulai dari sejak dahulu dan senantiasa terus berjuang dalam penegakan HAM. Fenomena LSM memang pada awalnya dipandang negatif oleh pemerintah yang dianggap mencampuri secara usil kebijakan-kebijakan pemerintah serta senantiasa melakukan kritik tanpa solusi. Sebagai lembaga non-pemerintah yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan kaum lemah dan tertindas, LSM telah memberikan suatu kontribusi yang sangat besar dalam mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial.
31 Tanpa adanya dorongan advokasi, baik melalui lembaga-lembaga yuridis maupun lembaga non-yuridis dan berbagai fungsi mediasi yang dilakukan oleh berbagai LSM, kecil kemungkinan eksploitasi pekerja anak muncul menjadi isu nasional bahkan internasional. Meskipun, sementara kalangan beranggapan bahwa keberadaan LSM merupakan
sesuatu
yang
kontra-produktif
dan
bahkan
anasionalis
karena
menggunakan sumber daya internasional yang disinyalir mendapat dukungan politik dari pihak-pihak tertentu untuk menciptakan instabilitas di dalam negeri. LSM
di dalam menangani masalah pembinaan, pengembangan dan
perlindungan anak mengusahakan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan seperti misalnya: 1. Menerbitkan buku-buku, poster yang dapat membangkitkan kesadaran hukum masyarakat terhadap hak-hak anak dan mencegah pelanggaran terhadap hakhaknya; 2. Mengusahakan/memperjuangkan kerjasama dengan Departemen-departemen ataupun instansi terkait
dalam rangka mewujudkan
peraturan perundang-
undangan tentang pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak dan pengawasan dalam masyarakat; 3. Menyelenggarakan kursus-kursus kader penyuluhan hukum; 4. Menyelenggarkan forum-forum pertemuan dengan pengusaha agar lebih aktif berpartisipasi dalam pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak demi masa depan generasi penerus bangsa.13 Di Sumatera Utara tercatat ada beberapa LSM yang perduli dengan keberadaan pekerja anak, yaitu: 1. Yayasan Pusaka Indonesia
32 2. LAAI (Lembaga Advokasi Anak Indonesia) 3. KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkitaan) 4. Yayasan Handal Mardika 5. Kelompok Pelita Sejahtera 6. PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) 7. PPAI (Perserikatan Perlindungan Anak Indonesia) 8. Save The Children 9. Anti-Slavery International (ASI); 10. Lembaga Pengkajian Sosial "Humana" (GIRLI); 11. The Indonesian Child Advocacy Institute (LAAI); 12. Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (P4A); 13. International Programme on the Elimination of Child Labour IPEC - ILO ; dan 14. Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia.14 Meskipun demikian, masih terdapat berbagai LSM yang tidak secara khusus memfokuskan pada perlindungan pekerja anak di Indonesia akan tetapi memasukkan hal tersebut sebagai salah satu programnya. LSM seperti ini antara lain: Yayasan Rumah Singgah, Suara Ibu Peduli (SIP), dan Lembaga Perlindungan Anak. Dengan telah diratifikasinya konvensi tentang Hak-hak Anak, Indonesia terikat dalam suatu jaringan perlindungan anak dunia yang berada dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Konvensi tersebut kemudian akan dituangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Draft Undang Undang tersebut secara eksplisit memberikan suatu legitimasi keberadaan LSM sebagai salah satu infrastuktur Perlindungan Anak yang turut serta dalam kegiatan pembimbingan, pembinaan, advokasi, maupun pengumpulan data tentang permasalahan-permasalahan.
13
K Irsan, Peran Masyarakat dan Penegak hukum. Jurnal Konvensi Vol. III No. 1, Jakarta, 1999, hal. 18.
33 Permasalahan pekerja anak sebenarnya hampir menyerupai sebuah gunung es. Kompleksitas pada dasar permasalahannya tidak tampak, sedangkan aktualisasi pada permukaan berupa tindakan-tindakan eksploitasi terhadap anak juga hanya muncul sedikit. Budaya masyarakat yang lebih cenderung bersifat patriarchi dan kemiskinan secara struktural menciptakan suatu iklim yang permisif terhadap pekerja anak di Indonesia. Terbatasnya studi dan perhatian terhadap kondisi pekerja anak di Indonesia memberikan suatu kontribusi terhadap terbelenggunya nasib pekerja anak. Dari waktu ke waktu, perlindungan terhadap pekerja anak di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan. Perlindungan secara yuridis yang merupakan faktor penting terhadap keberadaan pekerja anak
mengandung ambivalensi yang
mengindikasikan kemenduaan sikap pemerintah terhadap masalah ini. Penerapan discretion clausule dalam berbagai aturan hukum tentang ketenagakerjaan, sering menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda bahkan memberikan suatu celah hukum terhadap eksploitasi pekerja anak. Hal inipun ternyata masih dijumpai pada Undang Undang Ketenagakerjaan yang baru, yaitu UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Keadaan sosial dan ekonomi masyarakat yang sebagian terbesar berada pada batas garis kemiskinan mendorong terjadinya enkulturasi "bekerja membantu keluarga" yang sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara sehat. Komitmen mungkin merupakan salah satu kata kunci untuk sementara ini yang dapat digunakan untuk mempertahankan momentum pemberdayaan dan advokasi terhadap pekerja anak, seperti yang telah dilakukan oleh LSM-LSM dalam usaha untuk menghilangkan praktek pekerja anak di Indonesia. Ditengah krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 dan belum ada tanda-tanda berakhir, perlu kiranya ditempuh berbagai alternatif program cepat dan tepat sasaran
14
http:/www.LSM dan Perlindungan Terhadap Pekerja Anak, diakses tanggal 11 agustus.
34 sebelum keadaan yang lebih buruk terjadi. Penjajagan dan pengembangan jaringan kerja sama baik nasional, regional, maupun internasional merupakan alternatif penting. Jaringan kerjasama ini diharapkan dapat membantu membe-rikan pemecahan terhadap permasalahan mendasar yang dihadapi oleh pekerja anak di Indonesia, yaitu: kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah. B. Kehadiran Yayasan Pusaka Indonesia Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang Proaktif Dalam Memberikan Advokasi Hukum Terhadap Pekerja Aanak Yayasan Pusaka Indonesia sebagai Lembaga Advokasi penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) khususnya advokasi perlindungan dan penanganan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus di Sumatera Utara. Lembaga yang berbadan hukum yayasan ini didirikan pada tanggal 10 Desember 2000 yang bertepatan pada hari Hak Asasi Manusia sedunia. Pendirian lembaga ini dipicu oleh komitmen dari beberapa aktivis hak asasi anak untuk mengambil peran dalam menjawab tantangan keprihatinan yang sangat mendalam tentang nasib anak-anak Indonesia dan generasi Sumatera Utara khususnya yang diterjang berbagai persoalan.15 Nama Pusaka Indonesia ditetapkan dan dipilih secara demokratis dan dibungkus dengan sebuah makna bahwa aktivis-aktivis sosial ingin terus memelihara komitmen untuk secara bersama-sama berjuang dan bahu membahu untuk mengurangi beban persoalan bangsa sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam isuue strategis yang selama ini menjadi pilihan mereka, yakni bagaimana memperjuangkan dan melahirkan kebijakan (isi, struktur dan kultur) yang lebih baik bagi perlindungan dan penegakan terhadap hak-hak anak dan masyarakat pencari keadilan (justiabelen). Menggeluti issue strategis dalam memperjuangkan perlindungan terbaik bagi anak bangsa ini merupakan pilihan pergumulan yang utama hari ini, taktala Negara
15
Pusaka Indonesia, Pusaka Indonesia Foundation Profile, Medan, 2000, hal. 1.
35 masih menjadikannya sebagai persoalan yang dinomor duakan. Isu-isu sentral seputar kebijakan perlindungan pekerja anak di Indonesia masih sering diselipkan kedalam pengorganisasian bidang-bidang lain tanpa adanya prioritas yang diuatamakan. Sehingga masyarakat masih kurang memahami rencana aksi pemerintah untuk menyelesaikan persoalan pekerja anak ini. Kemunculan lembaga ini juga didasarkan pada tingkat struktural, kita masih melihat lemahnya apresiasi dan keberpihakan para pejabat, aparat pemerintah untuk mengedepankan kepentingan terbaik untuk pekerja anak dan masyarakat pencari keadilan. Sehingga berdampak pada koneskuensi anggaran untuk perlindungan yang rendah dan tidak jelas indikatornya. Catatan lain adalah betapa lemahnya pemahaman para aparatur negara tentang hak-hak anak. Disamping itu, rendahnya partisipasi dan apresiasi dari segi nilai budaya hukum masyarakat dalam merespon kebutuhan dasar anak dalam upaya kelanjutan generasi juga menjadi persoalan. Lemahnya peran institusi budaya lokal (sebagai salah satu transformasi budaya kota) adalah merupakan salah satu penyebab dominan yang berpengaruh pada implementasi perlindungan anak di Indonesia seperti yang kita lihat dewasa ini. Sejalan dengan kenyataan di atas, kita melihat bahwa perubahan konfigursi politik yang begitu cepat di tanah air (utamanya dalam wacana demokratisasi dan otonomi) telah memberi peluang dan juga tantangan dalam mempercepat perubahan kebijakan publik yang berkaitan dengan pekerja anak. Satu persoalan lainnya yang juga menjadi konsentrasi lembaga ini adalah dalam isu seputar lemahnya penegakan hukum, terutama dalam bidang peradilan anak di Indonesia. Walaupun beberapa peraturan hukum nasional telah dilahirkan dalam penaganan dan perlindungan anak di Indonesia, namun dalam kenyataan impelementasinya masih terjadi kesalahan-kesalahan dan kecurangan dari aparatur
36 pelaksana hukum yang ada. Masyarakat umum telah sering menilai betapa amburadulnya peradilan Indonesia, Korupsi, kolusi dan nepotisme, maia peradilan, pembusukan hukum, jual beli kasus, moralitas aparat penegak hukum yang tidak baik adalah sesuatu yang tidak terbantahkan lagi dalam penegakan hukum di Indonesia. Meskipun demikian merupakan sebuah kemajuan dan kebanggaan anak bangsa, ketika pemerintah melahirkan beberapa produk hukum nasional maupun lokal tentang perlindungan dan penegakan anak seperti halnya Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak walaupun masih terdapat kelemahan dan kekurangan yang perlu diperbaiki. Diperlukan ribuan halaman kertas untuk menuliskan segi-segi persoalan anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia. Belum lagi bila kita lihat dalam bagimana anak-anak kita yang diperjualbelikan untuk tujuan pelacuran (trafficking), anak di bawah umur yang di pekerjakan di tempat berbahaya, kesejahteraan anak, pendidikan anak dan berbagai persoalan anak baik pada tingkat keluarga, masyarakat maupun dengan pemerintah. Kita tidak bisa dengan hanya menyalahkan kemiskinan, tetapi munculnya berbagai persoalan anak di Indonesia tidak terlepas dari lemahnya penegakan hukum dan minimnya perhatian pemerintah. Melihat dari segi kebijakan hukum, sebelum lahirnya Undang-undang Pengadilan Anak dan instrument hukum internasional yang telah diadopsi dan diratifikasi oleh Indonesia. Namun sejauh dan sebanyak itu pula muncul persoalan dan pelanggaran hak-hak anak di Indonesia. Fenomena demikian hanya menggambarkan sedikit dari banyak persoalan yang ada, yang sering sekali justru menjadi penyebab terampasnya hak-hak anak dan kaburnya posisi anak dalam mendapatkan perlindungan hukum dari Negara dan jaminan pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak sebagai generasi muda.
37 Meskipun demikian, kita tetap harus optimis dan menyakini bahwa undangundang dan peraturan hukum merupakan patokan dan sandaran utama yang dapat dijadikan alas perjuangan advokasi penegakan hak-hak anak ke depan. Walaupun dengan harapan yang sempurna dalam perlindungan anak masih membutuhkan perjalanan advokasi yang panjang, tetapi kita mengakui bahwa perjuangan bagi sebuah perubahan adalah sebuah proses yang harus dirangkai, digelutik, dicermati dan dirancang secara terarah dan terencana. Paling tidak perjuangan advokasi yang dilakukan diharapkan dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak-hak untuk kepentingan terbaik bagi anak khususnya anak yang berkonflik dengan hukum. Kita akan tetap melakukan advokasi pada tataran penguatan dan pendampingan hukum, advoksi pada tataran kebijakan lokal maupun nasional dalam konteks perlindungan terhadap anak. Harapan baru juga sudah mulai muncul dalam sistem pemerintahan yang baru saat ini, termasuk dalam hal penegakan hukum di seluruh Indonesia. Perubahanperubahan dan kemajuan saat ini, sangat membuka ruang gerak publik untuk ikut berperan serta membantu, saling membahu dalam mengatasi setiap persoalan bangsa ini termasuk dalam hal penaganan dan perlindungan anak sebagai generasi penerus bangsa. C. Program-program yang dilakuan Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak pekerja anak Di tahun 1990, Indonesia mengikatkan diri untuk memberikan perlindungan dan penegakan Hak Anak dengan merativikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the rights of the child) lewat Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. konvensi Anak tersebut dalam pasal menegaskan bahwa Negara peserta (state parties) mempunyai kewajiban untuk menjamin anak-anak terhindar dari eksploitasi ekonomi dan
38 pemaksaan setiap pekerjaan yang berbahaya bagi anak, menggangu pendidikan, kesehatan dan perkembangan fisik, mental maupun spiritual dan moral atau social anak. Upaya penaggulangan anak sebagaimana dimaksukan diatas, diarahkan secara konfrenhensip meliputi aspek hukum (legislasi), pendidikan dan administrative guna mendukung menjamin anak terlepas dari cengkraman eksploitasi ekonomi. Dengan demikian upaya penghapusan pekerja anak tersebut harus inter-departemtal, konseptual, praktis dan aplikatif. Jadi bukan tugas satu departemen seperti Departemen Tenaga Kerja dan bukan sekedar membuat hukum melainkan program aksi kongkrit. Namun amat disayangkan, hingga kini program aksi penggulangan pekerja anak masiih belum dilakukan pemerintah. Hampir satu dekade, sejak kasus anak-anak yang bekerja di Jermal ditemukan pertama kali oleh aktivis perlindungan anak di Sumatera Utara, telah begitu banyak waktu, tenaga, pikiran dan uang yang dialokasikan untuk mengakhiri penderitaan anak-anak tersebut. Kampanye untuk kasus pekerja anak di Jermal sudah mencapai klimaksnya pada 5 atau 6 tahun yang lalu, ketika Republik Indonesia diajukan ke siding komisi ILO di Jenewa yang intinya meminta pertanggung-jawaban pemerintah Indonesia terhadap isu eksploitasi pekerja anak di Jermal, khususnya yang ada di sepanjang perairan pantai Timur Sumatera Utara Di Sumatera Utara, persolan buruh anak Jermal menjadi salah satu bentuk kondisi pekerja anak yang dikategorikan sebagai jenis pekerjaan yang dapat mengganggu perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau jiwa social si anak tersebut. Yang akhirnya secara aklamasi pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja menerbitkan Surat Edaran Menaker No. 12/M/BW/1997 tentang petunjuk pelaksanaan anak yang bekerja, dan mengategorikan bahwa jermal adalah merupakan salah satu tempat yang
39 terlarang bagi anak untuk bekerja. Dalam level propinsi kebijakan serupa muncul kembali dengan lahirnya sebuah kebijakan dari Gubernur Sumatera Utara melalui Surat Edaran No. 560/17372, tangal 15 Desember 1998, tentang larangan pengusaha jermal mempekerjakan anak-anak di lokasi jermal. Namun, dalam kenyataannya jumlah anak yang bekerja di jermal masih tetap ada. Hal mana dengan terungkapnya beberapa kasus anak jermal yang tidak tahan dengan perlakuan di jermal dan akhirnya melarikan diri dari jermal di perairan Salah Nama, Kabupaten Asahan. Walupun di Indonesia telah ada peraturan yang dapat melindungi pekerja anak, namun pada kenyataanya belum bisa memberikan kenyamanan bagi pekerja anak tersebut. Oleh karena itu Pusaka Indoesia sebagai Lembaga Swadya Masyarakat yang konsentrasi memberikan perlindungan hukum terhdap pekerja anak memiliki program-program yang berkaitan dengan pemberian advokasi terhadap pekerja anak yang bemasalah dengan hukum, yaitu: 1. Melakukan perlindungan bagi anak yang berkonflilk dengan hukum. Aktivitas: a.Pemberian layanan hukum agi anak-anak yang menjadi korban dan pelaku tindak
pidana.
b.Melakukan kajian dan kritisi terhadap peraturan yang berkaitan dengan anak berkonflik dengan hukum. c.Mendorong terbentuknya lembaga restroatif dan diversi bagi anak sebagai pelaku tindak pidana. d.Penyusunan dokumentasi kasus-kasus kekerasan yang dialami anak dan perempuan.
40 2. Melakukan upaya untuk melawan dan mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan, termasuk perdagangan anak dan perempuan. Aktivitas: a.Penguatan kapasitas organisasi masyarakat dalam memerangi perdagangan anak dan perempuan di Sumatera Utara. b.Kampanye kesadaran public tentang bahaya praktek perdagangan anak dan perempuan di Sumatera Utara. c.Penguatan kapasitas aparatur pemerintah da dukungan bagi Komite Aksi Propinsi dalam melakukan pencegahan praktek perdagangan anak dan perempuan. d.Dukungan bagi penguatan aparatur penegak hukum dalam perlindungan dan penanganan korban perdagangan anak dan perempuan, khususnya dalam pendirian shelter/crisis centre bagi anak dan perempuan korban kekerasan. e.Melakukan pendampingan hukum bagi korban tindak kekerasan dan trafficking.
3. Melakukan pencegahan anak-anak yang bekerja di sector terburuk. Aktivitas: a.Penyusunan draf Peraturan Daerah Sumatera Utara dalam mencegah anakanak bekerja disektor terburuk di Sumatera Utara. b.Penyusunan buku proses pembuatan dan pengesahan Peraturan Daerah dalam mencegah anak bekerja di sector terburuk. c.Monitoring terpadu dengan aparat pemerintah dan penegak hukum terhadap anak-anak yang bekerja di jermal.
41 d.Bantuan hukum bagi anak-anak yang bekerja di sector terburuk. e.Pembuatan publikasi untuk kampanye public menentang pekerja anak di sector terburuk dan keluarga. 4. Melakukan penyelamatan anak-anak kprban tsunami dan gempa bumi di Aceh dan Nias. Aktivitas: a.Pendataan anak-anak yang terpisah dengan orangtua dan keluarga akibat tsunami dan gempa di Aceh dan Pulau Nias. b.Pemberian logistic (child food, hygiene kids and scholl kids) kepada anak-anak Koran tsunami dan gempa bumi di Aceh dan Nias. c.Pemberian/pelayanan perwalian (guardianship) agi anak-anak korban tsunami. d.Program lifeskill dan livehood bagi kelompok perempuan korban konflik dan tsunami di Nangroe Aceh Darusalam. e.Pelayanan traumatic, pendidikan emergency (psikososial) bagi anak-anak korban tsunami dan gempa bumi di Aceh dan Nias. 5. Melakukan penguatan kapasitas kelompok anak dan perempuan dalam isu lingkungan dan demokrtisasi. Aktivitas: a.Program penguatan aktivitas anak dan lingkungan. b.Program pendidikan polotik bagi perempuan. c.Program penguatan kapasitas kelompok rakyat dalam konservasi hutan dan orang utan. d.Program pendidikan lingkungan disekolah.16 Program-program yang telah dijalankan:
16
Ibid., hal.8.
42 a. Penaganan dan pendampingan korban perdagangan manusia. b. Monitoring penyusunan Draf Rancangan Peratuaran Daerah Tentang Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak-anak. c. Perlindungan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta penyadaran hukum bagi anak jalanan di kota Medan. d. Pendokumentasian kasus dan pembuatan buku saku pendampingan. e. Membangun koordinasi penaganan perempuan dan anak korban trafficking di Sumatera Utara. f. Advokasi
pengembangan
kapasitas
propinsi
Sumatera
Utara
untuk
memberantas perdagangan anak dan perempuan di Indonesia. g. Penigkatan kapasitas peer group dalam penanganan anak jalanan berkonflik dengan hukum. h. Workshop penyusunan program bagi anak jalanan di kota Medan. i.
Pendataan anak korban gempa da tsunami Aceh dan Nias yang ada di kota Medan.
j.
Workshop evaluasi dan refleksi penaganan anak jalanan yang ada di Sumatera Utara.
k. Pencetakan buku “Membangun Kekuatan di Atas Ketidakpastian Perlindungan Hukum”. l.
Kampanye anti trafficking di propinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD).
m. Penaganan dan penaggulangan trafficking di Sumatera Utara. n. Pemberdayaan anak yang berkonflik dengan hukum yang di bina di Lembaga Pemasyarakatan (LP) anak Tanjung Gusta Medan. o. Progam bantuan bagi anak dan perempuan korban kekerasan dan trafficking.17
17
Ibid., hal.10
43 Program-program yang sedang berjalan: a.
Program penaggulangan dan penegakan hak-hak anak korban gempa bumi dan tsunami di aceh dan Nias.
b.
Program pengembagan Chidren Centre di Aceh dan Nias. Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, perjalanan advokasi penanganan dan
pendampingan hukum bagi terpenuhinya hak-hak normatif bagi pekerja anak telah dilakukan oleh lembaga ini. Seperti yang kita ketahui bahwa hak-hak anak yang harus dipenuhi ketika anak tersebut melakukan pekerjaan adalah: a. Hak mendapat upah b. Hak mendapatkan pendidikan c. Hak perlindungan kesehatan d. Hak istirahat baik harian maupun mingguan e. Hak cuti tahunan maupun cuti besar f. Hak libur di hari-hari raya g. Hak mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja Secara umum ada empat hal yang menjadi target advokasi yang dilakukan oleh Pusaka Indonesia dalam konteks perlindungan hukum bagi pekerja anak yaitu: 1. Pendampingan Hukum bagi pekerja anak sebagai dampingan mitra LSM anak. Tujuannya adalah agar anak mendapat bantuan hukum ketika berkonflik dengan hukum. Sudah ada sekitar 67 kasus anak baik sebagai korban maupun sebagai pelaku yang mana bantuan hukum dari Pusaka Indonesia. Hal ini harus dilakukan mengingat kurangnya partisipasi orangtua dan juga masih banyaknya pekerja anak yang belum mendapat penyuluhan hukum. 2. Penyuluhan Hukum pada tingkat shelter.
44 Tujuannya adalah agar pekerja anak memperoleh penyadaran dan peningkatan pengetahuan tentang proses hukum. Hal tersebut harus dilakukan mengingat pekerja anak kurang memahami tentang pentingnya penyuluhan hukum tersebut. 3. Penerbitan buku saku untuk anak. 4. Pemberian kartu klien kepada pekerja anak. 18 Dengan adanya berbagai program yang dilakukan diatas Pusaka Indonesia mengharapkan dapat mewujudkan hak-hak normatif yang harus dipenuhi ketika seorang anak dipekerjakan. Dalam hal kebijakan hukum, Pusaka Indonesia juga telah melakukan beberapa hal, seperti misalnya: 1. Mendorong lahirnya Perda Kota Medan tentang perlindungan anak jalanan; Melakukan kajian dan analisis terhadap kebijakan hukum tentang anak yang berkonflik dengan hukum; 2. Mendorong adanya revisi UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Semua kegiatan yang telah dilakukan oleh LSM ini merupakan pengalaman bagi kita semua baik tingkat masyarakat, NGO Anak maupun pemerintah bahwa sistem penyelenggaraan haruslah ditetapkan secara partisipatif
dan berkeadilan
sehingga dapat menghasilkan output kebijakan yang diharapkan. Kini saatnya kita saling merangkul dan bekerjasama dalam mengatasi semua persoalan sosial yang ada khususnya di Kota Medan. Kita yakin bahwa persoalan itu akan dapat lebih ringan jika semua unsur terlibat dalam penanganan dan penyelesaiannya dengan memperhatikan tingkat kepentingan masyarakat bawah. Komitemen mungkin merupakan salah satu kata kunci untuk sementara ini yang dapat digunakan untuk mempertahankan momentum pemberdayaan dan advokasi terhadap pekerja anak,
45 seperti yang telah dilakukan LSM-LSM dalam usaha untuk menghilangkan pekerja anak di Indonesia ataupun jikalau seorang anak harus bekerja, pemenuhan terhadap hak-hak normatifnya harus dilakukan. Ditengah krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 dan belum ada tanda-tanda berakhir, perlu kiranya ditempuh berbagai alternatif program cepat dan tepat sasaran sebelum keadaan yang lebih buruk terjadi. Penjajakan dan pengembangan jaringan kerja sama baik nasional, regional maupun internasional merupakan alternatif penting. Jaringan kerjasama ini diharapkan dapat membantu memberikan pemecahan
terhadap permasalahan
mendasar yang dihadapi oleh pekerja anak di Indonesia yaitu kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah. Bila dikaji pergerakan advokasi penaganan pekerja anak yang dilakukan selama ini oleh Pusaka Indonesia adalah yang lebih dominant bergerak pada tingkat penaganan krisis (protection) bagi kasus-kasus yang sudah terjadi. Sementara dari segi penelusuran asal usul atau upaya preventif belum ditanggulangi secara maksimal. Karena persoalan ini tidak dapat diselesaikan kalau penyelesaian akar masalah belum dilakukan secara malsimal dan total. Dalam penanganan anak yang membutuhkan perlindungan khusus (child in need special protection) khususnya bagi pekerja anak, ada beberapa hal yang menjadi rekomendasi dalam rencana tindak lanjut penanganan. Usulan rekomendasi kedepan yang menjadi gagasan Pusaka Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum khususnya bagi pekerja anak, yaitu: 1. Tahap pencegahan (Preventif) Pada tahap ini, aktivitas lebih diarahkan pada upaya-upaya pencegaha dan analisis akar masalah. Sehingga dengan dilakukan upaya pencegahan ini dapat mempermudah dan meringankan penganan lanjutan. Serta dapat mengurangi anak
18
Edy Ikhsan ,dkk, Membangun Kekuatan di atas Ketidak Pastian Hukum, penerbit Yayasan
46 turun ke jalan untuk bekerja, dapat menghindarkan anak berkonflik dengan hukum dan lainnya. Pendekatan yang dilakukan adalah lebih pada tingkat komunitas anak, keluarga, orangtua, lingkungan, sekolah dan target lainnya yang disesuaikan dengan awal persoalan. Setelah ditemukan akae persoalan seperti halnya persoalan ekonomi berarti penguatan ekonomi keluarga yang perlu ditopang. Masalah perpecahan keluarga berarti peran orangtua dan penyadaran masyarakat yang perlu didorong dan sebagainya. Tanpa adanya pencegahan ini, maka sulit untuk mengurangi persoalan pekerja anak. 2. Tahap penaganan dan perlindungan (protection) a. Dalam tahap ini lebih disarankan pada penanggulangan anak-anak yang sudah bekerja.sehingga upaya penaganan dan perlindungan harus tetap dilakukan. Baik dari segi perlindungan hukum, pembenahan pendidikan, kesehatan dan lainya. Selama pekerja anak belum ada penanganan yang kuat, upaya ini harus tetap dilakukan. b. Perlu dilakukan upaya pendanpingan dan perlindungan hukum bagi pekerja anak. c. Perlu dilakukan kajian dan analisis terhadap beberapa produk hukum lakal dan nasional yang belum mengakomodir kepentingan terbaik untuk anak. d. perlu melahirkan kebijakan local tentang perlindungan pekerja anak dan anak jalanan. e. Perlu penyadaran dan sosialisasi untuk membangun stigma positif terhadap pekerja anak dan anak jalanan. f. Perlu dibenahi system pendidikan formal bagi pekerja anak dan anak jalanan yang sudah putus sekolah.
Pusaka Indonesia, Medan, 2005, hal. 38.
47 g. Perlu dilakukan pembenahan dan penguatan pendampingan pekerja anak dan anak jalanan. h. Perlu penanganan alternative pelayanan kesehatan. i. Perlu pengembangan dan persiapan keterampilan khusus bagi pekerja anak dan anak jalanan. j. Perlu penyadaran dan pembinaan agar memiliki prilaku dan disiplin yang kuat. k. Perlu membangun kerjasama dan koordinasi terpadu dari unsure yang terkait untuk penanggulangan pekerja anak. l. Perlu melakukan dorongan untuk penigkatan anggaran pembinaan pekerja anak. m. Perlu dilakukan pendekatan dan penyadaran bagi aparat pemerintah dan aparat hukum dalam penanganan dan perlindungan pekerja anak. 3. Tahap rehabilitasi (reintegrasi) Pada tahap ini sebenarnya tinggal melanjutkan upaya-upaya yang telah disiapkan pada tahap pencegahan dan penganan bagi pekerja anak. Dalam langkah ini bagaimana kita akan mengembalikan status sosisal dan dapat kembali ke komunitas anak-anak pada lazimnya dimasyarakat dengan mengikuti pendidikan formal dan lainya serta dapat diterima di lingkungan sosialnya.19 D. Kerja sama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan pihak-pihak terkait dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak D.1. Kerja sama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan Pemerintah Pusat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak
dalam
Indonesia sebagai negara hukum sebetulnya sudah mulai sejak zaman kolonial mempunyai serta menekankan perlunya perlindungan terhadap buruh anak dan perempuan yang dirasakan sangat rentan (fragile) terhadap pelanggaran norma dan
19
Ibid., hal.44
48 hak asasi manusia. Sejak zaman kolonial keberadaan pekerja anak Indonesia sesungguhnya sudah mengalami pergeseran dari ruang privat (keluarga) kepada ruang publik (masyarakat), apalagi kondisi kolonialisme sangat memberi peluang yang sangat besar dan bahkan mengarahkan agar anak-anak pada waktu itu memasuki sektor-sektor
publik (kerja di luar lingkungan keluarga) karena ruang untuk
mengalihkan anak dalam mengisi waktu luangnya sangat sedikit misalnya sekolahsekolah pada waktu ini hanya dimasuki oleh keturunan ningrat (bangsawan). Persoalan pekerja anak sebagai persoalan multifaset dan kompleks menurut penanganan yang holistik dan kotinuitas yang integratif baik pada tingkat makro maupun mikro dengan memanfaatkan seluruh institusi dan realitas anak sendiri. Puncak dalam penanganan pekerja anak adalah kewajiban mutlak sebuah negara dan untuk Indonesia hal ini diatur melalui Konstitusi Dasar Negara UUD 1945 (Obligation of state) namun peran serta masyarakat juga mutlak diperlukan karena isu permasalahan terletak pada level masyarakat sendiri. Menurut data ketenagakerjaan pemerintah, kebanyakan pekerja anak bekerja di sektor pertanian, meskipun jumlah pekerja anak di kota-kota telah meningkat secara berarti sebagai akibat urbanisasi. Anak-anak lebih banyak bekerja di sektor informal daripada di sektor formal. Seperti bersama-sama dengan orangtua mereka di industri rumah tangga dan perkebunan, di toko milik keluarga atau pabrik kecil, terutama pabrik yang merupakan “satelit” dari industri besar. Ada juga anak-anak yang bekerja di industri besar meskipun jumlahnya tidak diketahui, terutama mungkin karena mungkin dokumen yang membuktikan usia mereka mudah dipalsukan. Di sektor informal, mereka menjadi tukang koran, tukang semir, tukang parkir, atau cara lain untuk mendapatkan upah. Banyak anak-anak bekerja di lingkungan yang
49 berbahaya seperti menjadi pemulung dan tukang sampah atau di bagian-bagian ikan dan kapal nelayan. Banyak juga pembantu rumah tangga yang masih anak-anak. Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah dari dahulu menyadari fenomena ini, walaupun pemerintah terkesan lamban dalam melihat permasalahan anak sebagai sesuatu hal yang urgent (mendesak) untuk ditangani. Secara jujur harus diakui bahwa perlindungan terhadap pekerja anak juga merupakan refleksi pemerintah kita terhadap hak-hak asasi manusia yang bolong-bolong dan jangankan perlindungan untuk pekerja anak, pekerja dewasa yang juga notabene dilindungi dengan berbagai macam perundang-undangan serta serikat pekerja dan keberadaannya adalah legal juga mengalami hal yang dialami oleh pekerja anak apalagi pekerja anak yang naif dan keterlibatannya dalam dunia kerja tidak diharapkan oleh undang-undang dan pemerintah. Pemerintah memang terkesan selalu berlindung dalam paradigma kemampuan ekonomi
yang terbatas serta cita-cita pembangunan yang menetes
kebawah (trickle down effect). Kebijakan yang secara umum dapat dilakukan pemerintah dalam mengelimir pekerja anak dalam berbagai lapangan pekerjaan merupakan program secara nasional. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil pemerintah dalam mengeliminir pekerja anak secara nasional antara lain: 1. Program penyempurnaan/ pembaharuan perundang-undangan; 2. Program-program penanganan langsung untuk mencegah terjadinya atau setidaknya mengurangi keterlibatan anak dalam dunia kerja; 3. Program-program
promosi/pembinaan
pada
upaya
peningkatan
kesejahteraan anak; 4. Program-program rehabilitasi ditujukan pada anak-anak yang menjadi pekerja/telah bekerja.
50 Persoalan anak di Indonesia sekarang sudah menjadi lingkaran setan (vicious circle), karena akar persoalan dan penyelesaiannya sudah menjadi dilema. Pemerintah Indonesia sekarang memang masih menempatkan persoalan anak sebagai persoalan marginal dan belum menjadi sentral dari keseluruhan strategi pembangunan bangsa, padahal sesungguhnya Indonesia sudah menempatkan persoalan anak dalam wacana publik dengan meratifikasi berbagai instrumen-instrumen (perangkat-perangkat) internasional. Pengeliminiran terhadap pekerja anak secara nasional dapat kita bagi dalam tiga kategori usaha, yakni: Usaha Pertama
yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani pekerja anak
adalah membuat berbagai peraturan dan usaha-usaha yang berfungsi untuk mengisi waktu si anak dalam masa kanak-kanak (childhood), yakni: 1. Permenaker No. 1 Tahun 1987 tentang perlindungan anak yang bekerja; 2. Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1989 tentang pembinaan kesejahteraan anak; 3. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar; 4. Keputusan Menteri Sosial No. 52/Huk/1996 tentang Pembentukan Lembaga Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GN-OTA); 5. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Kualitas Anak; 6. Keputusan
MENKOKESRA
No.
04/Kep/Menko/Kesra/III/1997
tentang
penyelenggaraan pembinaan kualitas anak dalam dasawarsa anak Indonesia 19962000; 7. Surat Edaran Menaker No. 12 Tahun 1997 tentang petunjuk penanganan anak yang bekerja; dan
51 8. Berbagai peraturan perundangan lainnya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan upaya mengurangi jumlah pekerja anak di Indonesia. Usaha Kedua pemerintah adalah kebijakan makro, yaitu kebijakan yang menangani persoalan pekerja anak dari konteks keseluruhan dalam lingkup yang besar dari alasan-alasan keterlibatan anak yang bekerja. Alasan kemiskinan menjadi akar seluruh persoalan dalam keterlibatan anak dalam dunia kerja, sehingga memerangi kemiskinan adalah upaya makro pemerintah. Strategi-strategi pemerintah dalam hal ini antara lain dengan memberdayakan ekonomi masyarakat dengan: 1. Program Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) yang diatur PP No. 42 tahun 1981 tentang pelayanan kesejahteraan sosial bagi fikir miskin; 2. Kebijakan program inpres desa tertinggal (IDT) yaitu program kebijakan menumbuhkan dan memperkuat kemampuan masyarakat miskin untuk kesempatan berusaha diarahkan untuk mempercepat upaya penduduk miskin dan jumlah desa dan kelurahan yang tertinggal; 3. Pengembangan program keluarga bina sosial. Yang khusus memberi modal kerja kepada keluarga yang tergabung pada usaha produktif; 4. Bimbingan dan pembinaan kesejahteraan sosial keluarga melalui tabungan kesejahteraan keluarga (Takesra); 5. Usaha pemerintah dalam pemberian kredit usaha keluarga sejahtera (Kukesra); 6. Pembentukan Bina Keluarga Muda Mandiri (BKMM). Kebijakan ketiga pemerintah adalah kebijakan mikro yakni usaha-usaha pemerintah yang bersinggungan langsung dengan keberadaan anak, hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk mengeliminir/mengurangi, memberdayakan ataupun menghapus pekerja anak. Usaha ini dilakukan dengan pendirian lembaga-lembaga ataupun institusi yang langsung berhadapan dengan anak, diantaranya:
52 Memperkuat akses anak terhadap sekolah. Hal ini dilakukan dengan: 1. Program wajib belajar 9 tahun (Inpres No. 1 Tahun 1994); 2. Lembaga Gerakan Nasional Orangtua Asuh; 3. Pengadaan Dana JPS bagi anak-anak sekolah; 4. Penghapusan biaya SPP bagi menunjang program wajib belajar 9 tahun. Program penegakan hukum terhadap anak-anak yang bekerja, usaha ini dilakukan dengan adanya pegawai pengawas perburuhan (Labour Inspector) untuk menegakkan semua ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pembentukan lembaga-lembaga yang khusus menangani persoalan anak, diantaranya: -
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang diatur dalam SK Mensos 081/HUK/1997;
-
Komite Nasional Hak Asasi Anak (Komnas HAM Anak)
-
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)
Intervensi langsung birokrat pemerintah terhadap pekerja anak dilakukan dengan: Mengadakan razia terhadap anak-anak yang bekerja, misalnya terhadap pengamen, anak jalanan, pekerja pabrik, dan lain-lain Menyediakan sarana-sarana perlindungan anak, misalnya dengan pendirian rumah singgah dan rumah bermain anak. Beberapa hal lain yang dilakukan Pemerintah Pusat dalam hal penanggulangan pekerja anak adalah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak, dimana dalam Pasal 5 disebutkan bahwa : Penanggulangan Pekerja Anak akan dilakukan dengan cara: 1. Pelarangan dan penghapusan segala bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak;
53 2. Pemberian perlindungan yang sesuai bagi pekerja anak yang melakukan pekerjaan ringan; 3. Perbaikan pendapatan keluarga agar anak tidak bekerja dan menciptakan suasana tumbuh kembang anak secara wajar; 4. Pelaksanaan sosialisasi program Penanggulangan Pekerja Anak kepada pejabat birokrasi, pejabat politik, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat. Program Khusus Penanggulangan Pekerja Anak akan meliputi: Mengajak kembali pekerja anak yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan memberikan bantuan beasiswa; Pemberian Pendidikan non forrmal; Pelatihan ketrampilan bagi anak. Program-program yang dicanangkan pemerintah ini sampai sekarang masih terus diperjuangkan dan dilanjutkan, walaupun harus kita akui sejauhmana kemampuan negara dalam menanggung beban perekonomian di tengah-tengah kondisi krisis bangsa. Kondisi ini seharusnya menjadi alasan bagi semua komponenkomponen atau kelompok yang terberdayakan untuk terlibat di dalamnya. Dalam hal pemerintah pusat melakukan kegiatan untuk melindungi pekerja anak yang keterlaksanaannya diserahkan kepada Departemen Dinas Tenaga Kerja, Lembaga Swadaya Masyarakat dalam hal ini sebagai perwakilan dari masyarakat umum melaksanakan tugas pengawasan. Yaitu untuk dapat terlaksananya ketentuan dalam perundang-undangan yang ada berlaku saat ini. D.2. Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak Anak sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus. Kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara, demikian juga kelanjutan pembanguan nasional akan sangat ditentukan oleh perkembangan dan pertumbuhan anak yang optimal, maka anak harus
54 terbebas dari hal-hal yang mengambat pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani dan sosial anak seperti memperkerjakannya pada tempat-tempat yang terburuk bagi anak. Pada hakekatnya anak tidak boleh bekerja karena waktu mereka selayaknya dimanfaatkan untuk belajar, bermain, bergembira dalam suasana damai dan mendapat kesempatan serta fasilitas untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan perkembangan fisik, psikologi, intelektual dan sosialnya. Konfik pada tatanan internasional, regional maupun nasional dan lokal serta konflik yang sifatnya struktual
dan horizontal
kultural telah menghempaskan anak-anak dalam situasi sulit yang berkepanjangan serta anak mejadi kelompok yang rentan untuk dipinggirkan. Pada tatanan budaya lokal, nilai anak masih dianggap
sebagai sebuah nilai kebendaan dan ekonomi
semata, sedangkan pada tatanan struktural suara anak yang merupakan kebutuhan praktis dan strategis kaum muda dimasa depan diabaikan. Banyak anak di bawah usia 18 tahun yang terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi, antara lain di sektor-sektor usaha seperti perikanan, perkebunan, industri, hiburan dan pariwisata yang justru membahayakan anak. Alasan tekanan ekonomi yang dialami orangtua atau faktorfaktor lain seperti budaya dan kebiasaan setempat selalu dijadikan alasan pembenaran memperkerjakan anak termasuk pada
sektor-sektor usaha yang berpotensi
membahayakan keselamatan, kesehatan dan masa depan anak. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention Concerning The Prohibition and immediate Action for the elimination of the worst forms child labour. Setahun sebelumnya Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for
55 admission to employment. Sementara itu dalam lingkup nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 telah mencanangkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak yang dalam bidang penegakan hukum adalah penyusunan dan penetapan kebijakan dan upaya serta tindakan pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di tingkat daerah baik secara pre-emtif, preventif maupun represif. Untuk itu pemerintah juga telah melahirkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang di dalamnya mengatur tentang pekerja anak, termasuk tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Aturan ini kemudian telah dijelaskan lebih lanjut di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor : Kep. 235/MEN/2003. Namun demikian, hal-hal yang mengatur tentang upaya perlindungan, pencegahanan dan rehabilitasi bagi bentukbentuk pekerjaan terburuk bagi anak perlu diatur kembali di tingkatan daerah. Propinsi Sumatera Utara sebagai bagian integral
dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki posisi dan letak yang sangat strategis yang menyebabkan daerah ini sejak dahulu tumbuh sebagai kawasan perkebunan, perikanan, pariwisata dan lain sebagainya yang menyumbang pada pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional. Sementara itu pada satu sisi yang lain pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dalam berbagai sektor tadi memperkerjakan tenaga kerja yang juga sebagian turut memperkerjakan anak-anak, termasuk diantaranya anakanak tersebut ditempatkan pada tempat-tempat yang berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosialnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memandang perlu untuk memulai sebuah kebijakan dan upaya dalam rangka
56 mencegah para pengusaha dan perusahaan untuk memperkerjakan anak pada bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Agar upaya penghapusan, pencegahan dan penanggulangan terhadap
anak-anak yang diperkerjakan
pada bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak ini dapat berjalan efektif, terarah dan terencana maka dipandang perlu untuk meletakkannya dalam satu kerangka aturan yang jelas dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam suatu Peraturan Daerah. Pada tanggal 6 Juli 2004 Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak, dengan keluarnya Peraturan Daerah ini, terlihat jelas upaya pemerintah Sumatera untuk melindungi pekerja anak di Sumatera Utara. Keluarnya Peraturan Daerah ini juga diikuti dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 463/1211/K/tahun 2002 tentang Pembentukan Komite Aksi Provinsi Sumatera Utara tentang Pembentukan Komite Aksi Propinsi Sumatera Utara tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Komite Aksi Propinsi (KAP) ini bertugas untuk : 1. Menyusun Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. 2. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan Rencana Aksi Provinsi tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. 3. Menyampaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan Rencana Aksi Provinsi tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
57 Untuk Anak kepada instansi atau pihak lain yang berwenang guna penyelesaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 20
Adapun anak-anak yang menjadi sasaran KAP ini adalah: 1. Kelompok sasaran langsung 2. Kelompok sasaran tidak langsung Penanganan terhadap permasalahan pekerja anak adalah pekerjaan yang besar, membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang banyak. Karena akar permasalahan pekerja anak sangat rumit dan kompleks. Upaya yang akan dilakukan biasanya mengacu kepada kondisi dan situasi dimana pekerja anak tersebut berada. Komite Aksi Provinsi Sumatera Utara sebagai sebuah wadah kolaborasi lintas sektoral yang dimandatkan untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak memiliki peranan yang strategis untuk mengkoordinasi para stake holders di level propinsi dan Kabupaten/kota. Peran dan tanggung jawab Komite Aksi Provinsi yang selanjutnya menjadi kebijakan institusi antara lain: -
Menentukan dan menetapkan
skala prioritas penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk bagi anak di Sumatera Utara; -
Penentuan skala prioritas dilakukan melalui pemetaan dan kajian yang cermat dengan mempertimbangkan besaran dan kompleksitas masalah pekerja anak. Hasil pemetaan dan kajian ini selanjutnya ditetapkan sebagai tahapan program untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Kebijakan tahapan program yang
tersusun
untuk
selanjutnya
didistribusikan
kepada
masing-masing
stakeholders.
20
Ariffani, Edy Ikhsan,dkk, Menuju Perlindungan Anak Yang Holistik, penerbit Pusaka
58 -
Mengkoordinasikan Stakeholders yang terkait di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota. Instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi serta pihak-pihak terkait lainnya tidak akan mampu menyelesaikan masalah pekerja anak secara sendiri-sendiri. Dibutuhkan adanya kolaborasi yang terpadu dan terkoordinasi dengan baik. Sehingga program-program yang dilakukan oleh masing-masing pihak tidak terkesan parsial dan sektoral. Komite Aksi Provinsi memiliki peranan
yang
sangat
penting
dalam
mengkoordinasikan dan
mensinergiskan program-program dan kebijakan-kebijakan yang dimiliki oleh instansi/lembaga terkait. -
Membangun kerjasama dan Bantuan teknis dengan lembaga-lembaga ditingkat lokal, nasional dan internasional. Menyadari berbagai keterbatasan sumber dan kemampuan dalam mewujudkan program Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak, maka kerjasama dan bantuan teknis dari berbagai institusi, lembaga diperlukan untuk mendukung terlaksananya program-program aksi. Dengan segenap kemampuannya, KAP
dapat menggalang berbagai institusi,
lembaga yang potensial sebagai mitra dalam mewujudkan program-programnya. -
Advokasi kebijakan publik. KAP berperan sebagai leading sektor dalam mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan lokal untuk pelarangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, sehingga
dapat mengefektifkan pelaksanaan
program-program aksi secara holistik dan komprehensif. -
Penguatan kapasitas institusi. Untuk meningkatkan kapasitas stakeholders dalam menjalankan fungsi masing-masing institusi/lembaga, KAP memiliki kewajiban untuk memberikan penguatan dalam bentuk penyuluhan, diskusi., pelatihanpelatihan dan sosialisasi berbagai kebijakan yang terkait dengan bentuk-bentuk
Indonesia, Medan, 2005, hal. 48
59 pekerjaan terburuk bagi anak. Sehingga secara bertahap tingkat kemampuan dan pemahaman stakeholders semakin terarah dan sinergi. -
Pertemuan Berkala. KAP melakukan pertemuan secara berkala sesuai ketetapan
bersama untuk mengetahui perkembangan
implementasi Aksi Provinsi yang dilakukan oleh KAP dan para stakeholders. Pertemuan ini dilakukan minimal 1 kali per enam bulan. 21 Selain itu, pihak-pihak terkait juga harus berperan dan mengambil tanggung jawab dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak yang dimaksudkan dalam Perda ini adalah: -
Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
-
Segala
pekerjaan
menawarkan
anak
yang untuk
memanfaatkan, pelacuran,
menyediakan produksi
atau
pornografi,
pertunjukan porno atau perjudian; -
Segala
pekerjaan
yang
memanfaatkan,
menyediakan
atau
melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya; Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak. Penanggung jawab kebijakan penyelesaian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak ada di tangan Pemerintah Daerah Sumatera Utara (Pemda-SU). Pemda-SU seharusnya berusaha semaksimal mungkin mempergunakan seluruh komponenkomponen lain yang tersangkut diatas secara holistik agar beban dan tanggungjawab
21
Ibid., hal. 86
60 terdistribusi pada setiap kelompok sesuai dengan porsi dan kemampuan masingmasing.
61 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUMYANG DIBERIKAN OLEH PUSAKA INDONESIA A. Asas-asas Hukum Perlindungan Pekerja Anak Meletakkan asas Hukum Perlindungan Pekerja Anak menjadi prasyarat untuk mengelompokkan hukum perlindungan pekerja anak sebagai institusi hukum dari subsistem Hukum Acara Pidana. Sebagaimana sifat dari hukum itu sendiiri bahwa menciptakan suatu system yang struktiral harus diutamakan berfungsinya unsur legalitas yang menjadi dasar peletakan sanksi, meghilangkan resiko korban dan lainlain dari pembatasan formal dalam proses hukum pidana dan hukum acara pidana. Asas hukum perlindungan pekerja anak dalam ketentuan yang menjadi esensi utama dari dari ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana. Ketentuan-ketentuan tersebut dikarenakan sifatnya yang proporsional yang terdapat dalam hukum pidana dan hukum acara ppidana. Juga disebabkan keberadaan hukum perlindungan pekerja anak itu sendiri sebagai subsistem hukum dan tujuan hukum pidana pada umumnya yang baru disosialisasikan. Ketentuan ini meliputi pemahaman dasar terhadap asas-asas hukum pidana. Dimulainya perumusan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, di Indonesia terjadi babak pencerahan bagi hukum yang mengkhususkan ketentuan dasar sebagai ketentuan Hukum Acara Peradilan anak yang persuasive dan kondusif. Pengkajian dalam hal asas-asas hukum pidana dan hukum acara pidana semakin rasional dari system politik hukum di Indonesia. Kepentingan hukum acara pidaqna menjadi sentral dalam merumuskan tujan hukum, demokratisasi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai citra suremasi hukum dalam masyarakat. Ketentuan yang mengikat dari asas umum Hukum Acara Pidana tetap menjadi proporsional dalam
54
62 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dengan ketentuan asas lex spesialis de rogat, lex general. Ketentuan dasar Hukum Acara Pidana Anak dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, meliputi asas-asas sebagai berikut: (1) Asas Belum Dewasa Asas belum dewasa menjadi syarat ketentuan untuk menentukan seseorang dapat diproses dalam peradilan anak. (2) Asas Keleluasaan Pemeriksaan Ketentuan asal keleluasaan pemeriksaan dimaksudkan, yaitu dengan memberikan keleluasaan bagi penyidik, penuntut umum, hakim mupun petugas lembaga pemasyarakatan dan atau petugas probation/social worker untuk melakukan tindakan-tindakan atau upaya berjalannya penegakan hak-hak asasi anak, mempermudah system peradilan dan lain-lain. (3) Asas Pembimbing Kemasyarakatan/Social Worker Kedudukan social worker yang diterjemahkan dengan arti pekerja social lebih diutamakan kepada system penerjemahan ketidakmampuan seorang anak menjadi lebih transparan dalam sebuah proses peradilan anak. B. Perlindungan Pekerja Anak dalam Proses Pemeriksaan Penyidikan Pada hakikatnya ketentuan KUHAP tentang penyidikan didefenisikan sebagai berikut, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan cara yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana.22
22
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 161
63 Penyidik yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, harus dipandang sama sebagaimana layaknya status dan fungsi seorang penyidik yang ditetapkan oleh KUHP. Ditentukan penyidik adalah seorang anggota polisi yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedudukan penyidik menurut pasal 1 butir 1, menyebutkan penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan weweanag khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pernyataan KUHP ini memberikan tugas utama bagi penyidik yang harus dijalankan untuk menangani tindak pidana yang diterima dari bentuk-bentuk: (a) tertangkap tangan; (b) pengaduan; (c)laporan; maka KUHP menentukan juga bahwa tindakan yang dilakukan seorang pinyidik sebagai berikut: 1. penagkapan; 2. penahanan; 3. mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian; 4. melakukan penggeledahan; 5. pemeriksaan tersangka dan interogasi; 6.
membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP);
7. penyitaan; 8. penyimpangan perkara; 9. melimpahkan perkara; Secara garis besar tugas-tugas penyidik ini terdiri dari tugas menjalankan operasi lapangan dan tugas administrasi hukum. Untuk memahami Hkum Acara Pidana Anak yang ditentukan berdasarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan anak, kiranya perlu untuk dikemukakan, tugas penyidik yang berhubungan langsung,
64 dengan sisi-sisi penegakan hak-hak Asasi Anak. Ketentuan tugas ini meliputi hal-hal berikut: 1. Penangkapan Ketentuan Hukum Acara Pidana yang menjadi sorotan esensial dari proses penyidikan adalah pengkapan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. Tugas pengkapan
berbatasan dengan ketentuan
hukum yang
menegakkan hak-hak asasi pekerja anak, yang dapat menjadi tuntutan keadilan hukum terhadap petugas penegakan hukum dari pemerintah (lembaga kepolisian). Tentu batas-batas toleransi terhadap tindakan-tindakan dan nuansa penagkapan pekarja anak yang melakukan tindak pidana menjadi sujektivitas hukum terhadap advokasi dan hukum perlindungan pekerja anak. Ketentuan dasar hukum perlindunga pekerja anak harus dapat mengetengahkan bentuk-bentuk tindakan dan upaya yang rasional dan berdimensi rasa keadilan hukum terhadap pekerja anak. Tindakan-tindakan yang layak dari proses pengkapan pekerja anak, telah dirumuskan oleh lembaga Prayuwana dengan rumusan-rumusan dasar seperti yang telah terjadi dalam delinkuensi pekerja anak (pekerja anak yang melakukan kejahatan) dan kindermoor (pekerja anak sebagai saksi Koran) diddsyaratkan penyidik yang ditugaskan untuk melakukan penangkapan pekerja anak adalah Polwan yang telah memenuhi syarat perundang-undangan. Alasan Prayuwana ini sangat sederhana, bahwa untuk memahami persoalan pekerja anak dalam kehidupan social dan psikologis sudah menjadi budaya, yang akan lebih dinamis anak-anak diurus oleh seorang ibu atau wanita. Ibu atau wanata dipandang sebagai subjek yang langsung secara kodrati lebih memahami masalah anak secara konprehensif. Dalam masah psikologis sainstis, seperti temperamental, emosionalitas dan lingkungan social
65 maupun masalah pekerja anak dalam psikologis komtemporer, seperti watak, bakat dan lain-lain yang menjdi dasar eksistensi anak dalam lingkungan sosial. Wewenag pengkapan dan penahanan terhadap pekerja anak menurut Undangundang Peradilan Anak menentukan bahwa kegiatan yang berhubungan dengan penangkapan
dan
penahanan
mengikuti
HukumAcara
Pidana.
Wewenang
penangkapan harus memperhatikan asas hukum pidana yaitu asas praduga tak bersalah, untuk dihormati dan di junjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabat pekerja anak sebagi kelompok yang tidak mampu atau belum mengetahui tentang masah hukum yang terjadi pada diri pekerja anak tersebut. Persoalan hukum yang timbul dari proses pengkapan yang dilakukan kepolisian sebagai penyidik dan kejaksaan sebagi penuntut umum dalam penggunaan upaya paksa dilakukan sematamata harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (a) wewenang penangkapan; (b) perintah penangkapan.23 Bentuk dasar penahanan KUHAP yang demikian ini, diperuntukkan bagi semua subjek hukum yang dipandang telah mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatan hukum. Persoalan baru akan muncul, yaitu bentuk penangkapan terhadap seorang pekerja anak atau seorang yang belum dewasa. Jika penagkapan dilakukan pada seorang anak maka akan timbul hak-hak pekerja anak yang dilindungi hukum sebagai akibat belum dewasa, akan menjadi factor pertimangan yang prinsip bagi seorang penyidik dan penuntut umum sebagai upaya membatasi tindakan upaya paksa. Ditentukan sebagai factor pertimbangan dikarenakan, pernyataan hukum telah dilindungi status anak atau orang yang belum dewasa sebagi unsur ex-officio dari penyidik dan penuntut umum.
23
hlm. 42-43
Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa di Tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985,
66 Kedudukan pekerja anak dalam proses pemeriksaan penyidikan terdapat nuansa yang menimbulkan hak-hak pekerja anak secara khusus. Hak-hak pekerja anak yang dimaksud untuk dapat mengesampingkan upaya paksa dan tindakan paksa dari proses pemeriksaan penyidik (penangkapan dan penahanan) terhadap pekerja anak sebagai berikut: 1. terhadap keluarga pekerja anak sebagi tersangka untuk wajib diberitahukan terlebih dahulu baik melalui surat maupun lisan sebelum proses penangkapan berakhir; 2. penangkapan terhadap pekerja anak tidak dibolehkan dengan menggunakan alat atau senjata sebagi upaya paksa atau wewenag paksa; 3. tersangka pekerja anak harus segera mendapat bantuan hukum secara wajib dan cuma-cuma ; 4. tersangka pekerja anak atau orang yang belum dewasa harus segera mendapat proses pemeriksaan; 5. hak untuk mendapat atau menuntut ganti rugi, sebagai akibat dari kesalahan pengkapan, penahanan atau hal-hal lain yang menghilangkan penderitaan fisik dan moril anak tersebut. Ketentuan-ketentuan Hukum Acara Pidana lain seperti penangkapan, yaitu upaya untuk melakukan tindakan pelumpuhan terhadappekerja anak yang melakukan tindak pidana kejahatan tidak dianjurkan untuk menggunakan alat yang dikategorikan sebagai pelumpuh atau alat pemaksa yang digunakan oleh rasio undang-undang militer. Kedudukan pekerja anak tergolong dalam sebagai kurang mampu atau belum dewasa, akan mempermudah proses sosialisasi pengkapan dan mempermudah interogasi dalam kepentingan pemeriksaan. Hak-hak anak yang menjadi sorotan utama dalam proses ini, sebagi berikut:
67 1. sebagai tersangka a. Hak-hak pekerja anak yang bersandar pada asas praduga tak bersalah; b. hak-hak pekerja anak yang diperoleh sebagai tindakan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan; c. hak untuk didampingi pengacara; d. hak untuk mendapat fasilitas. 2. sebagai saksi korban (viktima) a. hak pekerja anak dilayani karena penderitaan mental, fisik, dan rohani atau penyimpangan perilaku sosial; b. Hak untuk didahului di dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporan, pengaduan dan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan; c. hak untuk dilindungi dari bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari akibat laporan dan pengaduan yang diberikan. 2. Penahanan Masalah penahanan terhadap pekerja anak yang melakukan tindak pidana, memiliki klasifikasi yang khusus. Penahanan terhadap tersangka yang digolongkan dalam KUHAP dengan Tahanan Rumah Negara, Tahanan Rumh (Keluarga), dan Tahanan Kota mendapat dispensasi dari ketentuan-ketentuan yang dirumuskan oleh Undang-undang Peradilan Anak, yaitu penahanan anak yang melakukan tindak pidana harus diletakkan ditempat khusus di lingkungan Rumah Tahanan Negara, atau cabang Rumah Tahanan. Perbedaan status tahanan pekerja anak yang melakukan tindak pidana dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana,dapat juga pada skala waktu penahanan pekerja anak di rumah tahanan pada waktu pemeriksaan. Penahanan tehadap seorang pekerja anak ditentukan dalam batas waktu 20 hari dengan masa penahanan masa perpanjangan 10 hari; dalam jangka waktu 30 hari penyidik sudah
68 harus melimpahkan perkara pekerja anak tersebut ke Penuntut Umum. Berbagai persoalan yang dihadapi hukum tentang penahanan pada umumnya, memberikan arti kepada petugas penegak hukum untuk merumuskan secara transparan tentang masalah-masalah penahanan pekerja anak. Penahanan terhadap pekerja anak yang melakukan tindak pidana, juga berkenaan dengan batas waktu penahanan, ketentuan KUHAP telah merumuskan batas waktu penahanan yang sangat efektif untuk masa penahanan dalam pemeriksaan,penyidik, yaitu 20 hari dan perpanjangan lagi 20 hari. Hal ini berarti penahanan pekerja anak yang sesuai dengan Undang-undang Peradilan Anak hanya mengemukakan agar demi kepentingan hak-hak asasi anak dan perkembangan pendidikan anak maka pemeriksaan perkara tindak pidana anak ditetapkan uuntuk secepatnya dan diprioritaskan terlebih dahulu dari pemeriksaan lain dengan batas waktu penahanan paling lama 30 hari atau 1 (satu) bulan. Pekerja anak yang melakukan tindak pidana dan perbuatan yang dilarang oleh hukum, harus ditafsirkan sebagai ketidak mampuan akal (pikiran), fisik (adan) atau moral dan mentalitas yang ada pada diri pekerja anak yang ditentukan pada nilai kodrat. Penahanan penyidik harus lebih diklasifikasikan kedudukan pekerja anakl yang terlibat tindak pidana. Untuk itu diperlukan penafsira untuk mengelompokkan perbuatan anak yang lebih trasparan dalam pengertian hukum. Kenyataan dimaksud untuk menghindari kesalahan pengkapan dan atau penahanan terhadap hak-hak pekerja anak. C. Perlindungan pekerja anak dalam proses pemeriksaan penuntutan Banyak sarjana hukum yang mengemukakan perbedaan pengertian penuntutan kepada umum. Karena terdapatnya pemahaman, tuntutan jaksa adalah kelajutan dari penyerahan berkas perkara kepada pihak kejaksaan. Untuk tidak membuat jurang
69 perbedaan yang lebih mendasar tentang penuntutan khususnya penuntutan terhadap pekerja anak, terlebih dahulu harus dipahami tugas-tugas seorang jaksa. Kedudukan seorang jaksa dalam menjalankan tugas dalam penuntutan terhadap pekerja anak diartikan oleh undang-undang peradilan anak dengan mengelompokan secara umum, bahwa penuntutan yang dilakukan seorang jaksa hanya dilakukan kepada anak nakal. Pengertian anak nakal dimaksud ditujukan kepada pengelompokan tiap-tiap pekerja anak yang melakukan tindak pidana dan pelanggaran. Syarat-syarat seorang jaksa yang layak dan dapat ditugaskan untuk menangani pekerja anak yang melakukan tindak pidana, sebagai berikut: 1. penuntut umum yang ditetapkan berdasarka Surat Keputusan Jaksa Agung; 2. penuntut umum yang telah berpengalaman dalam menangani masalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. 3. penuntut umum yang mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak; 4. dalam hal tertentu dapat ditugaskan kepada penuntut umum yang telah melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan ileh orang dewasa. Kedudukan jaksa sebagai penuntut umum menjalankan tugasnya dalam perkara pekerja anak wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan dan melakukan penahanan terhadap pekerja anak sebagai penahanan lanjutan selama 10 hari dan dapat diperpanjang selama 10 hari. Dalam jangka waktu 25 hari dakwaan penuntut umum terhadap pekerja anak yang melakukan tindak pipdana kejahatan sudah dilimpahkan ke pengadilan anak. Jaksa Penuntut Umum dianjurkan untuk mengenal dasr psikologi anak pada berbagai usia atau jenjang umur dari batas bawah 0 tahun sampai atas 18 tahun.
70 Dimana dalam usia anak yang terkategori belum dewasa perlu dapat ketetapan hukum yang dapat melindungi hak pekerja anak dalam hubungan dengan penuntutan. Hakhak pekerja anak yang perlu mendapat perhatian dalam proses penuntutan meliouti hak-hak sebagi berikut: 1. Menetapkan masa tahanan terhadap pekerja anak, Cuma pada sudut urgensi pemeriksaan; 2. Membuat dakwaan yang dimengerti oleh pekerja anak; 3. Secepatnya melimpahkan perkara ke pengadilan negeri; 4. Melaksanakan penetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan ataumengadakan rehabilitasi. Tindakan untuk memberikan terhadap pekerja anak sebagai terdakwa, dilakukan oleh jaksa berdasarkan pertimbangan yang yang ditetapkan oleh hukum, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1959 tentang bagaimana memperlakukan system peradilan anak yang sebenarnya. dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut diatur mengenai sikap dan cara jaksa dalam melakukan tugas penuntutan terhadap anak yang menjadi seorang terdakwa, yaitu: 1. Jaksa dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, pembacaan dakwaan dalam persidangan tidak diperbolehkan mengunakan toga atau pakaian-pakaian dinas masing-masing. 2. Kejaksaan harus menunjuk seorang jaksa khusus sebagai penuntut umum untuk perkara anak. 3. Surat dakwaan harus dibuat sederhana, agar tidak menyulitkan anak untuk memahami dan mengikuti tujuan persidangan. Perlindungan hak pekerja anak yang diketengahkan dari ketentuan tersebut menimbulkan hak-hak pekerja anak pada saat pemeriksaan di kejaksaan dan
71 pembacaan dakwaan di depan pengadilan, akan menimbulkan hak-hak pekerja anak yang dilindungi oleh hukum sebagai berikut: 1. Hak untuk mendapat keringanan dari masa penahanan kajaksaan. 2. Hak untuk mengganti status penahanan dari penahanan Rumah Tahanan Negara menjadi berada dalam tahanan rumah atau tahanan kota/. 3. Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara. 4. Hak untuk mendapat fasilitas dalam rangka waktu pemeriksaan dan penuntutan. 5. Hak untuk didampingi oleh penasihat hukum.
D. Perlindungan pekerja anak dalam proses peradilan Untuk meletakan proses advokasi dan hukum perlindungan pekerja anak sebagai institusi hukum perlu terlebih dahulu dipahami perspektif dari hukum pidan dan hukum acara pidana yang khusus mengatur tentang masalah anak. Permasalahan peradilan anak te;lah dan sudah memiliki karakter tersendiri dalam linkup peradilan umum yaitu dengan diadajan atau diundangkanya Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tetang Peradilan Anak. Undang-undang ini berfungsi sebagai Hukum Acara Pidana yang khusus untuk disediakan menangani masalah tindak pidana dalam kejahatan dan atau pelanggaran. Keistimewaan dalam undang-undang Peradilan Anak dapat terlihat pada ketentuan yang dimuat dalam pasal 1 butir (1) dan (2) yang mengklasifikasikan anak sebagai berikut:
72 1. anak adalah anak yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umumr 8 (delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 2. anak nakal adalah a. anak yang melakukan tindak pidana; atau b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum yang lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kekhususan untuk menggolongkan anak dimaksud untuk membedakan eksisten Peradilan Anak dengan peradilan yang berada dalam pengawasan Peradilan Umum. Sebagimana ketentuan yang diletakan dalam KUHAP bahwa system pemeriksaan dalam peradilan terdapat pengklasifikasian yang prinsip. System ini dapat diklsifikasikan oleh DR. Andi Hamzah, S.H., sebagai berikut: pemeriksaan perkara biasa, system pemeriksaan perkara singkat, dan system pemeriksaan perkara cepat. System pemeriksaan perkara cepat dibagi dua, yaitu pemeriksaan tindak pidana ringan dan pemeriksaan tindak pidana lalu lintas. System pembagian lain yang mengklasifikasikan peradilan adalah peradilan anak yang dapat ditemukan pada Undang-undang No. 3Tahun 1997 tetang Peradilan Anak. Demikian juga dengan system pemeriksaan masalah Peradilan Anak, menurut ketentuan pasal 2 undang-undang peradilan anak, peradilan anak adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkunga peradilan umum. Dalam hal pelaksanaan proses dan dan penamaan peradilan untuk dapat disebut sebagai proses atau sidang peradilan anak menurut ketentuan pasal 3 undang-undang peradilan anak menyebutkan bahwa Sidang Pengdilan Anak yang selanjutnya disebut sidang anak,
73 bertugas dan berwenang memerisa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini. Kebijaksanaan ini akhirnya mengelompokkan bahwa peradilan anak adalah sebuah badan peradilan yang khusus disediakan untuk menagani masalah anak yang melakukan tindak pidana kejahatan dan atau pelanggaran. Meskipun demikian, sebelum dipraktekkan Undang-undang Peradilan Anak, di Indonesia telah juga dipraktekkan Peradilan Anak berdasarkan ketentuan-ketentuan secara sistematis yang diatur dalam: 1. system pemeriksaan peradilan menurut KUHAP sebagai pedoman umum dari peradilan; 2. system pemeriksaan peradilan menurut ketentuan Lembaga Prayuwana, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri KehakimanRepulik Indinesia; 3. system pemeriksaan yang ditentukan berdasarka Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1959; 4. system pemeriksaan peradilan menurut Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Peradilan anak masih menjadi perdebatan praktisi-praktisi hukum yang menunjukan adanya perbedaan-perbedaan dari peradilan anak baik secara struktur hukum kedudukan sebagai lembaga peradilan yang berada dalam pengawasan peradilan umum. Peradilan anak yang dikehendaki adalah peradilan yang berlangsung dari Peradilan Tingkat Pertama, Peradilan Tinigkat Banding dan Peradilan Mahkamah Agung sebagimana layaknya fungsi peradilan yang ditentukan oleh hukum dan perundang-undang di Negara Indonesia. Pada hakikatnya, system pemeriksaan peradilan anak yang dimuat dari ketentuan-ketentuan Undang-undang Peradilan Anak dengan meletakkan hak-hak pekerja anak Indonesia ke dalam sistem kodifikasi
74 hukum untuk dan unifikasi hukum yang dapat meliputu masa depan pekerja anak itu sendiri. Perlindungan hak-hak pekerja anak dalam proses persidangan dimulai dari penentuan hakim yang ditetapkan untuk menangani peradilan dimaksud. Menurut ketentuan pasal 9 Undang-undang Peradilan anak menyebutkan bahwa hakim ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui ketua Pengadilan Tinggi. Keutamaan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, yaitu dalam hal perkara pekerja anak, sebelum sidang dibuka atau dimulai, hakim memerintah agar pembimbing kemasyarakatan untuk
menyampaikan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan mengenai pekerja anak yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan pembimbing
kemayarakatan
adalah
petugas
pemasyarakatan
pada
balai
pemasyarakatan yang melakukan bimbingan warga binaan pemasyarakatan. Petugas pemimbing kemasyarakatan ditentukan oleh Departemen Kehakiman yang bertugas mulai dari awal penyidikan sampai pada penuntutan, persidangan dan pemasyarakatan anak atau berdampingan dengan penyidik, penuntut umum, tingkatan pembimbing kemasyarakatan harus memberikan hasil penelitiannya terhadap pekerja anak yang melakukan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Dari hasil penelitian ini maka pada tiap-tiap tingkatan pemeriksaan tindak pidana dan pelanggaran yang dilakukan pekerja anak dapat dihentikan atau sebaliknya dapat diteruskan pemeriksaannya. Masa penahanan oleh hakim terhadap pekerja anak yang melakukan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran dibatasi 15 haridan kemudian dapat diperpanjang menjadi 30 hari. Apabila jangka waktu 45 hari pemeriksaan perkara pekerja anak belum selesai maka pekerja anak tersebut harus dikeluarkan dari tahanan.tindakan pembatasan waktu pemeriksaan terebut mengingat bahwa pekerja anak memiliki hak-
75 hak yang dilindungi oleh hukum pada saat pemeriksaan di persidangan. Hak-hak pekerja anak yang dimaksud adalah sebagi berikut: 1. Sebagai pelaku kejahatan, terdiri dari: a. Hak untuk mendapat penjelasasn mengenai tata cara pelaksanaan persidangan pada kasusnya; b. Hak intuk mendapat penasihat hukum; c. Hak untuk mendapatkan fasilitas yang memperlancar persidangan; d. Hak untuk didampingi oleh kedua orang tuanya dan seorang probation, social worker; e. Hak untuk memohon ganti kerugian perlakuan yang menimbulkan penderitaan atau kesalahan penangkapan/penahanan/penuntutan/pemeriksaan tanpa putusan perkara praperadilan; f. Hak untuk dapat menyatakan pendapat dan keberatan-keberatan terhadap kasus yang melibatkan dirinya; g. Hak untuk mendapat proses persidangan tertutup. 2. Sebagai korban kejahatan, terdiri dari: a. Hak untuk mendapat penjelasan mengenai kejahatan yang dilakukan terhadap diri pekerja anak; b. Hak untuk mendapat perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang mengancam, menganiaya dan memeras yang menimbulkan kerugian material dan spiritual; c. Hak untuk memohon ganti kerugian atas penderitaan yang dialami oleh pekerja anak; d. Hak untuk memohon persidangan tertutup; e. Hak untuk didampingi oleh pengacara/penasihat hukum; f. Hak untuk mendapat fasilitas-fasilitas persidangan.
76 3. Sebagai saksi, terdiri dari: a. Hak pekerja anak untuk mendapatkan fasilitas untuk menghadiri persidangan; b. Hak untuk mendapat penjelasan mengenai tata cara persidangan; c. Hak untuk mendapatkan perlindungan keamanan; d. Hak untuk mendapat izin dari lembaga-lembaga pendidikan dan pembinaan yang menjadi tempat belajar. Reposisi hak-hak pekerja anak dalam proses peradilan, menjadi kedudukan peradilan anak harus dilihat secara cermat dan dapat menimbulkan nuansa yang kondusif. Faktor hukum harus dapat memerikan jaminan terhadap kedudukan hak-hak pekerja anak yang menjadi pelaku kejahatan, Korban kejahatan maupun pekerja anak sebagai saksi dari kejahatan-kejahatan untuk dilindungi dengan pertimbangan hukum positif. E. Perlindungan pekerja anak pada Lembaga Pemasyarakatan Tugas perlindungan pekerja anak pada Lembaga Pemasyarakatan Anak dalam prosedur hukum dibebankan pada ketentuan Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
Sebagaimana
ditelaah
pada
Undang-undang
Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya berfungsi sebagai berikut: 1. Perlindungan hukum; 2. Mendapat hukuman; 3. Memperaiki; 4. Rehabilitas. Sasaran akhir dari kehadiran Lembaga Pemasyarakatan Anak, yaitu pembinaan. Untuk mengenal fenomena lembaga Pemasyarakatan yang menjadi esensial adalah pengenalan terhadap pengelompokan anak yang diletakkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Anak. Dalam pemaknaan Undang-undang No.12 Tahun
77 1995 tentang Pemasyarakatan, mengelompokkan anak ke dalam tiga kategori sebagai berikut: 1. Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan paling lama sampai umur 18 tahun. 2. Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Negara untuk dididik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berusia 18 tahun. 3. Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperol;eh penetapan pengadilan untuk dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling kama sampai 18 tahun. Dalam advokasi dan perlindungan pekerja anak, yang menyoroti tentang hakhak pekerja anak dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak, akan memiliki perbedaan yang diakibatkan dari pengklasifikasian yang timbul dari Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Meskipun demikian, perbedaan itu tetap berpatokan pada ketentuan-ketentuan yang menjadi sendi dasardari peraturan perundang-undangan. Dalam hal jaksa penuntut umum, sebagai institusi yang bertugas untuk menjalani eksekusi amar keputusan pengadilan, sebagaimana disinyalir oleh M. Utrecht sebagai berikut: Menyelenggarakan keputusan Hakim atau hukuman. Ketentuan ini telah diperluas oleh ketentuan pasal 24 Undang-undang Peradilan Anak yang menentukan beberapa alternatif sistem eksekusi terhadap anak yang melakukan delinkuensi, yaitu terhadap anak dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. Atas dasar ketentuan dimaksud, hak pekerja anak yang timbul dalam Lembaga Pemasyarakatan sebagai berikut: 1. Pekerja anak sebagai nara pidana:
78 a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan; b. Mendapat perawatan baik jasmani maupun rohani; c. Mendapatkan kesempatan untuk sekolah; d. Menerima kunjungan keluarga; e. Mendapat pengurangan masa menjalani pidana 2. Pekerja anak sebagai anak Negara dan anak sipil: a. Mendapat kewajiban mengikuti program pembinaan; b. Mendapatkan jaminan keselamatan dan ketertiban; c.Mendapatkan kesempatan sekolah. Penanggulangan terhadap kejahatan delinkuensi pekerja anak yang demikian banyak ini menimbulkan perbedaan pemikiran di antara lembaga-lembaga penegak hukum, masyrakat, dan instansi-instansi swasta lain yang ada dalam negara Indonesia. Karena keputusan yang dimaksud, apakah pekerja anak telah diproses terlebih dahulu dari tindak pidana yang dilakukannya ataukah dengan tanpa diproses melalui ketentuan hukum, pekerja anak tersebut dapat dijatuhkan hukuman di tingkat pertama pemeriksaan, tingkat penuntutan dan tingkat pemerisaan persidangan. Berbagai kemungkinan dapat terjadi dari diktum penjelasan ketentuan pasal 24 Undang-undang Peradilan Anak, mengisyaratkan agar proses pemeriksaan terhadap pekerja anak tetap dilakukan untuk sampai pada keputusan hakim yang mengadili pekerja anak tersebut dan atau dapat diikuti dengan ketentuan hukum acara pemeriksaan sebagaimana mestinya. Dewasa ini peraturan-peraturan mengenai hukum anak semakin luas dan trasparan. Untuk mewujudkan tujuan hukum pidana, pemerintah Indonesia mendirikan beberapa Lembaga Pemasyarakatan yang diklsifikasikan khusus untuk golongan pria dewasa, golongan wanita dan golongan anak. Masing-masing Lembaga
79 Pemasyarakatan dimaksud ditentukan untuk membedakan kedudukan hukum dan perlindungan terhadap hak-hak dari masing-masing golongan terhukum, yang termasuk untuk menegakkan hak-hak pekerja anak yang melakukan tindak pidana atau kejahatan-kejahatan pidana lain. Adanya Lembaga Pemasyarakatan Anak merupakan salah satu bentuk dari perlindungan hukum terhadap hak-hak anak khususnya pekerja anak. Hal ini ditujukan sebagai upaya agar pekerja anak yang dipidana tetap dapat melakukan aktivitasnya
sebagaimana
Pemasyarakatan.
mestinya
anak
yang
berada
di
luar
Lembaga
80 BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI PUSAKA INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN ADVOKASI HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK
A. Minimnya akses bantuan hukum bagi pekerja anak yang berkonflik dengan hukum Bantuan hukum atau Advokasi Hukum terkadang masih sering dianggap sebagai hal yang mahal dan sulit diakses/di konsumsi oleh masyarakat miskin. Namun ternyata hal itu tidak seperti yang diduga, bahwa banyak lembaga-lembaga advokasi yang secara khusus mengabdikan dirinya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan perlindungan khusus seperti halnya Pusaka Indonesia Medan, LBH Medan, LBG Apik Suumut, BBH Fakultas Hukum USU dan lainnya. Lembaga ini merupakan lembaga advokasi penanganan dan perlindungan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dan lembaga advokasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Kemudian kurangnya sosialisasi dari lembaga advokasi ini yang menyebabkan masih banyak masyarakat yang belum mengetahui mekanisme dan prosedur dalam mendapatkan bantuan hukum tersebut. Hal ini yang sering menyebabkan orang tua anak khususnya pekerja anak yang berkonflik dengan hukum engan untuk melapor atau meminta bantuan hukum secara langsung ke lembagalembaga advokasi hukum ini. Kondisi awal wadah dan lembaga penanganan khusus dan pemberian bantuan hukum yang dilakukan bagi pekerja anak yang berkonflik dengan hukum masih sangat minim. Dari hasil investigasi data yang dilakukan oleh Pusaka Indonesia ke Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta pertengahan tahun 2005, dari 465 orang penghuni Lapas Anak tersebut, hanya sekitar 70 orang yang didampingi oleh Penasihat Hukum atau sekitar 15%.
81 Sangat kita sadari baik dari Pusaka Indonesia sebagai Lembaga Advokasi dan Perlindungan hak-hak anak yang membutuhkan perlindungan khusus maupun lembaga pengacara lainnya masih kurang maksimal dalam memberikan perlindungan 76 hukum bagi pekerja anak yang berkonflik dengan hukum. Secara prediktif dapat digambarkan dari tahum 2000 sapai dengan tahun 2004 dengan data diatas, disimpulkan bahwa hanya sekitar 7% kasus pekerj anak yang berkonflik dengan hukum dapat kita dampingi kepentingan hukumnya dalam proses peradilan. Dan tidak tertutup juga sering terjadi kasus-kasus pekerja anak yang berkonflik dengan hukum tidak didampingi oleh penasihat hukum. Dari hasil pengamatan Pusaka Indonesia ada beberapa factor yang menyebabkan pekerja anak kurang mendapatkan akses bantuan hukum seperti: 1. Kurangnya pertisipasi aparat hukum, baik , penyidik, penuntut umum maupun hakim untuk menghubungi lembag advokasi huikum anak atau kantor pengacara agar pekerja anak yang berkonflik dengan hukum segera mendapat bantuan hukum. 2. Kurangnya pemahaman pekerja anak dan orang tua anak tetang proses hukum, sehingga menimbulkan stigma “takut” apabila berhadapan dengan proses hukum apalagi dengan aparat hukum. 3. Pekerja anak atau orang tua anak tidak mengetahui adanya Lembaga Advokasi Hukum yang memberikan bantuan hukum. 4. Kurangnya partisipasi orang tua anak untuk mencari alternative pendampingan hukum bagi anaknya yang berkonflik dengan hukum. 5. Kurangnya informasi baik dari pendamping pekerja anak, media masa atau laporan langsung dari masyarakat ke Pusaka Indonesia atau lembaga pengacara lain ketika ada pekerja anak yang berkonflik dengan hukum.
82 B. Minimnya Perhatian Pemerintah dalam Persoalan Pekerja Anak yang Berkonflik Dengan Hukum Pekerja anak merupakan salah satu anak yang berkonflik dengan hukum dan merupakan kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Persoalan pekerja anak di Sumatera Utara khususnya kota Medan sebagi ibu kota propinsi, belum ada titik terang penyelesaian dan penanggulangan yang jelas hingga sekarang. Dari evaluasi dan monitoring yang dilakukan Pusaka Indonesia selama dapat disimpulkan bahwa persoalan pekerja anak ini tidak sanggup hanya dilakukan oleh pemerintah tanpa ada dukungan oleh masyarakat, begitu juga halnya dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada belum begitu mampu membantu pemerintah dalam hal penaganan pekerja anak ini. Sehingga saat ini dibutuhkan sebuah pola koordinasi yang utuuh untuk penyelesaian persoalan pekerja anak tersebut secara efektif dan parsipatif. Sama halnya dengan penaganan dan pembinaan pekerja anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta. Dimana masih minimnya apresiasi dan partisipasi pemerintah dalam mendukung upaya pembinaan anak-anak yang digolongkan undang-undang sebagi anak nakal. Satu hal yang sangat memprihatinkan adalah akibat kurangnya pembinaan yang dilakukan di Lembag Pemasyarakatan Anak tersebut dikhawatirkan akan melahirkan generasi-generasi baru yang rentan melakukan perbuatan melawan hukum. Artinyajika pembenahan dan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak tersebut sangat minim, maka lembaga tersebut yang tadinya merupakan lembaga pembinaan anak akan menjadi lembag yang memproduksi penjahat-penjahat baru. Kekhawatiran itu juga muncul pada persoalan pekerja anak. Kita sangat mengkhawatirkan anak-anak jalanan atau pekerja anak yang ada saat ini, kalu tidak dibina dan dibenahi dengan baik, kita tidak tahu kelak bagaimana mereka dewasa
83 dengan kebebasan hidup dijalanan. Sementara penanganan dan penaggulangan pekerja anak yang dilakukan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab dapat dikatakan belum meletakkan konsentarsi penaganan bagi pekerja anak yang membutuhkan perhatian khusus tersebut. Secara umum dapat disimpulkan lemahnya konsentrasi pemerintah dalam penganan pekerja anak terlihat dari sisi: 1. Belum adanya peraturan perundang-undangan baik local maupun nasional yang dikhususkan bagi penanganan dan perlindungan pekerja anak. Pada hal pekerja anak merupakan generasi penerus bangsa yang mempunyai perjuangan dan kemandirian yang kuat. 2. Di Sumatera Utara khususnya di kota Medan belum ada konsep pembinaan dan perlindungan yang jelas terhadap pakerja anak. Hal ini yang menyebabkan gerakan penganan dan penaggulangan pekerja anak yang selama ini belum bersatu-padu secara terkoordinasi, baik antara pemerintah maupun pemerintah dengan masyarakat. 3. Minimnya dana yang dianggarkan untuk menangani persoalan kesejahteraan anak secara umum. Kita melihat betapa minimnya dana yang dianggarkan dalam upaya peningkatan kapasistas pembinaan anak di Sumatera Utara secara umum. Baik dalam bidang pendidikan, kesejahteraan maupun dalam hal kesehatan. 4. Belum tepatnya sasaran solusi yang dilakukan pemerintah dalam hal penanganan pekerja anak. 5. Adanya tindakan akresif dari aparat pemerintah dalam penanganan dan pembersiahan anak jalanan di kota Medan.
84 6. dan beberapa faktor lain yang menunjukkan kurangnya konsentrasi pemerintah dalam penaganan dan perlindungan pekerja anak di kota Medan khususnya Sumatera Utara pada umumnya. Secara keseluruhan dapat disimpulkan kendala-kendala yang dihadapi dalam perwujudan perlindungan hukum terhadap pekerja anak, yaitu: 1. Walaupun beberapa aturan hukum nasional maupun internasional telah dilahirkan dalam penanganan dan perlindungan pekerja anak di Indonesia namun dalam kenyataan implementasinya masih terjadi kesalahankesalahan dan kecurangan-kecurangan dari aparatut pelaksana hukum ataupun dari pihak perusahaan; 2. Kondisi latar belakang keluarga yang mendorong seorang anak untuk bekerja tanpa memperhatikan kembali jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan; 3. Minimnya perhatian keluarga terhadap kondisi pekerjaan yang dilakukan oleh si anak karena orangtua tidak lagi mementingkan hal tersebut melainkan lebih memikirkan jumlah upah yang akan didapatkan oleh si anak, sehingga prosedur yang harusnya dilewati oleh perusahaan untuk mempekerjakan seorang anak tidak lagi diperhatikan, misalnya tentang adanya izin dari orangtua. Sekarang ini pada prakteknya ada ataupun tidak ada izin, anak-anak ini tetap bekerja. 4. Kurangnya sanksi tegas dari pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan anak-anak dibawah umur; 5. Rendahnya partisipasi dan apresiasi
dari segi nilai budaya hukum
masyarakat dalam merespon kebutuhan dasar anak dalam upaya kelanjutan generasi;
85 6. Lemahnya peran institusi budaya lokal yang merupakan salah satu penyebab dominan. C.Upaya yang dilakukan Pusaka Indonesia untuk Menekan angka Pekerja Anak yang berkonflik dengan hukum Salah satu target dalam proses advokasi pekerja anak adalah melahirkan anak-anak yang matang dan mandiri sadar dengan tinggkah laku yang baik sehingga pekerja anak yang tadinya masih harus didampingi akan mampu melanjutkan perjuangan pendampingan pada tingkat komunitasnya, khususnya dalam pemahaman tentang akibat,proses dan penanganan hukum ketika mereka berkonflikdengan hukum, sehingga secara perlahan diantara pekerja anak dampingan tersebut akan lahir generasi yang mempunyai kemampuan dan kekuatan dalam penguatan dan pembinaan komunitas pekerja anak tentang pemahaman hukum. Seperti halnya dalam penanganan kasus anak jalanan yang berkonflik dengan hukum, tanpa pendampingan anak-anak jalanan akan mampu melakukan tindakan segera untuk membantu kepentingan hak-haknya ketika berkonflik dengan hukum. Untuk mempersiapkan kelompok anak yang sadar hukum, perlu dilakukan pembenahan bagi anak maupun pendamping yang ingin melakukan pendampingan hukum bagi pekerja anak yang berkonflik dengan hukum. Langkah ini sebagai upaya membangun partisipasi anak secara langsung dalam upaya penguatan dan perlindungan komunitas anak-anak yang berada di jalanan. Pada tingkat shelter, pendampingan pekerja anak tidak selamanya berada disisi anak-anak tersebut, sehingga persiapan peer edukater dalam tingkat shelter sangat dibutuhkan. Adapun upaya-upaya yang dilakukan Pusaka Indonesia untuk mencegah pekerja anak berkonflik dengan hukum adalah sebagai berikut: 1. Penguatan dan penyuluhan pada hukum pada tingkat shelter atau rumah singgah.
86 Pada umunya anak-anak rentan berkonflik dengan hukum baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Salah satunya adalah pekerja anak yang berada dijalanan. Denga kehidupan dunia yang bebas dijalanan mengakibatkan merka lebih rentan berkonflik dengan hukum bila diandingkan dengan anak-anak lain pada umumnya. Tidak hanya pada anak jalanan, seperti halnya anak sekolahan, anak didik di Lapas Anak juga rentan untuk berkonflik dengan hukum walaupun tidak separah dengan anak-anak yang berada dijalanan. Oleh karena itu, memberikan penyuluhan dan penyadaran bagi kelompok pekerja anak terseut tentang hukum adalah merupakan hal yang penting untuk dapat mencegah dan melindungi pekerja anak berkonflik dengan hukum. Sehingga ketika pekerja anak berkonflik dengan hukum baik sebagai korban maupun pelaku, mereka sudah mengetahui langkah-langkah awal untuk dapat menolong diri mereka sendiri dengan segera. Advokasi penanganan dan perlindungan hukum bagi pekerja anak mencakup beberapa aktivitas dan peran dari beberapa unsur yang ada. Advokasi yang dilakukan tidak hanya pada kebijakan hukum, pemerintah dan masyarakat saja, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah menggali partisipasi anak dalam upaya pengembangan dan perlindungan hukum bagi pekerja anak. Salah satu upaya yang dilakukan dalam melibatkan anak secara langsung untuk pengutan dan upaya melindungi mereka adalah dengan melakukan penyuluhan pada tingkat shelter atau rumah singgah. 2. Penguatan pendampingan anak tentang penanganan hukum bagi pekerja anakyang berkonflik dengan hukum Sebagai orang yang mendampingi pekerja anak, pendamping juga selayaknya mengetahui proses atau prosedur ketika pekerja anak dampingannya berkonflik dengan hukum. Kita melihat dari pengalaman advokasi selama ini masih banyak pendamping pekerja anak yang belum mengetahui proses-proses tersebut. Ketika
87 pekerja anak dampingannya berkonflik dengan hukum baik sebagi korban maupun pelaku sering tidak melakukan upaya-upaya yang dapat membantu pekerja anak menghadapi proses tersebut dengan segera seperti, menghubungi penasihat hukum, mencari dan mengamankan barang bukti, membuat kronologis dan upaya-upaya lain yang dapat mempercepat pekerja anak memperoleh bantuan. Oleh karena itu, pendampingan juga harus diberikan penguatan-penguatan tentang prosedur hukum penanganan pekerja anak yang berkonflik dengan hukum. Selain dari pada itu dengan pengetahuan proses-proses dan akibat berkonflik dengan hukum, pendamping dapat lebih mudah untuk memberikan arahan-arahan dan penyuluhan-penyuluhan bagi pekerja anak dampingannya agar terhindar dari persoalan hukum.
88 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari uraian mengenai peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak, khususnya pada Yayasan Pusaka Indonesia Medan, maka dapatlah ditarik kesimpulan dari uraian-uraian tersebut dan juga dari tinjauan kepustakaan dan lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pusaka Indoesia sebagai Lembaga Swadya Masyarakat yang konsentrasi memberikan perlindungan hukum terhdap pekerja anak memiliki programprogram yang berkaitan dengan pemberian advokasi terhadap pekerja anak yang bemasalah dengan hukum, yaitu: Pertama : Melakukan perlindungan agi pekerja anak yang berkonflik dengan hukum. Kedua
: Melakukan upaya untuk melawan dan mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan, termasuk perdagangan anak dan perempuan.
Ketiga
: Melakukan pencegahan terhadap anak yang melakukan pekerjaan di sektor terburuk.
Keempat : Melakukan penyelamatan anak-anak korban tsunami. Kelima : Melakukan penguatan kapasitas kelompok anak dan perempuan dalam isu lingkungan dan demokratisasi. 2. Strategi penanganan pekerja anak yang dilakukan oleh pemerintah bersama sama dengan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dilakukan pada dasarnya dengan 3 penanganan yaitu:
89 a) Pendekatan dengan penghapusan total keberadaan anak dari sektor pekerjaan; b) Perlindungan buruh anak; c) Pemberdayaan terhadap anak. 4. Proses perlindungan hukum yang diberikan terhadap seorang pekerja anak yang diberikan oleh Pusaka Indonesia dilakukan dengan tetap membedakan prosedur yang dilalui Pekerja anak dengan orang dewasa, yang didasarkan pada Undang-undang Peradilan Anak. 5. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Pusaka Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum terhap pekerja anak adalah bersifat praktek di lapangan, seperti: minimnya akses bantuan hukum agi pekerja anak yang berkonflik dengan hukum, Minimnya perhatian pemerintah dalam persoalan pekerja anak yang berkonflik dengan hukum.
B. SARAN Dari penelitian dan pemaparan di atas maka beberapa hal yang dapat penulis sarankan yaitu: 1. Masyarakat yang permisif dan cenderung serba boleh dalam memandang anak yang bekerja sebagai sesuatu yang wajar, hal ini harus segera disadarkan dengan usaha-usaha publik melalui inseminasi konvensi hak anak (KHA) kepada publik dan menjadikan persoalan anak menjadi persoalan public, dan untuk mensosialisasikan hal ini kepada masyarakat maka LSM memiliki peran dalam hal ini; 2. Pentingnya upaya perlindungan hukum bagi pekerja anak, sesuai dengan isi Konvensi Hak-Hak Asasi Anak, pasal 32 Alinea 1 yang menyatakan
90 Pemerintah wajib mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan penuh resiko. Dengan landasan konvensi tersebut , pemerintah wajib memberikan sanksi berat kepada para pengusaha yang masih mengeksploitasi pekerja anak; 3. Dalam hal seorang pekerja anak berkonflik dengan hukum, aparat penegak hukum sebaiknya menghargai hak-hak seorang anak.
91 Daftar Pustaka A. BUKU Amrinal, B., Masalah Ketenagakerjaan dalam Perlindungan Anak. Semiloka draf RUU Perlindungan Anak, Badan Pekerja FK-PPAI, Jakarta, 1998. Aulia, W. Amil, Berjuta-juta dari Deli; Satoe Hikajat Koeli Contrac, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006. Hakim, Abdul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Ikhsan, Edy, Pekerjaan Anak di Perkebunan Tebu, Lembaga Advokasi Anak Indonesia American Center for International Labour Solidarity, Jakarta, 2000. Ikhsan, Edy dkk, Menuju Perlindungan Anak Medan, 2005.
yang Holistik, Pusaka Indonesia,
Ikhsan, Edy dkk, Membangun Kekuatan di atas KetidakPastian Perlindungan Hukum, Pusaka Indonesia, Medan, 2005. Putranto, Pandji, Berbagai Upaya Penanggulangan Pekerja Anak, Rajawali Press, Jakarta, 1995. Sendjun H. Manulang, sendjun H., Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2001. Sinaga, K. Peran LSM dalam Penganan dan Perlindungan HAM dalam Membangun Jaringan Kerjasama HAM, Jakarta, Komnas HAM, 1998. Sofian, Ahmad dkk, Kekerasan Seksual terhadap Anak Jermal, Kerjasama Fored Foundation dengan Penelitian Kependudukan Universitas Gajah nada, Yogyakarta, 1999. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia UI Press, Jakarta, 1986. Soepomo, Imam, Pengantar Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja, PT Pradnya PAramita, Jakarta, 1988. Tabatabi, Hamid, Aksi-aksi Utama Untuk Mengatasi Masalah Pekerja Anak Dalam Pembangunan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan, ILO-IPEC, Juni 2003. Tjandraningsih, Indrasari, Pemberdayaan Pekerja Anak, Studi Pendampingan Pekerja Anak, Penerbit Akatiga, Bandung, 1995.
Mengenai
Tjandraningsih, Indrasari, Buruh Anak dan Dinamika industri Kecil, Akatiga, Bandung, 1995.
92 Usman, Hardius dan Nachrowi Djalal, Pekerja Anak di Indonesia, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2004. Wadong, Maulana Hasan, Pengantar advokasi dan hukum perlindungan anak, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2000. Yasuo,Uemura, Perkebunan Tebu dan Masyarakat Pedesaandi Jawa, dalam Akira Nagazami, Indonesia dalam kajian sarjana Jepang perubahan social ekonomi abad XIX dan XX dan berbagai aspek nasionalisme Indonesi, Jakarta,1986. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Kitab Undang-undang Hukum Perdata Ktab Undang-undang Hukum Acara Pidana
C. SITUS INTERNET www.balipost.com.,Perspektif Global pekerja anak oleh Indra Ismawan,2005.
D. MEDIA CETAK Konvensi Vol.III Tertanggal 1 Februari 1999 Majalah Tempo Pada Tanggal 23 Desember 2004 Koran Kompas, Sabtu 25 April 2007