PENGGUNAAN GAYA BAHASA BERDASARKAN LANGSUNG TIDAKNYA MAKNA DALAM KUMPULAN PUISI MATA PISAU KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh Ayu Rizqi Pramulya Ningrum 1110013000044
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK AYU RIZQI PRAMULYA NINGRUM, NIM.1110013000044, Skripsi. “Penggunaan Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna dalam Kumpulan Puisi Mata Pisau Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. 2014. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Makyun Subuki, M.Hum. Penelitian ini membahas penggunaan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dalam kumpulan puisi Mata Pisau dengan mengacu pada teori gaya bahasa Gorys Keraf. Penulis memilih karya Sapardi Djoko Damono karena kata-katanya yang sederhana tetapi mengandung makna dan citraan yang kuat untuk itu juga penulis memilih gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna karena dianggap mampu menjelaskan makna dan citraan yang ada. Metode yang digunakan dalam penelitian karya ilmiah ini adalah kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui bentuk gaya bahasa yang digunakan Sapardi Djoko Damono dan efek yang dihadirkan dalam kumpulan puisinya yang berjudul Mata Pisau. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna terbagi menjadi dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dari 37 gaya bahasa penulis menemukan 16 gaya bahasa yang terdiri: anastrof, hiperbola, asindeton, polisindeton, elipsis, eufemismus, erotesis, aliterasi, asonansi (gaya bahasa retoris) dan simile, metafora, alegori, personifikasi, hipalase, sinekdoke, metonimia (gaya bahasa kiasan). Penulis menganalisis 99 data yang didapatkan dari 51 puisi yang ada. Penggunaan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna pada puisi ini memberi efek keindahan dan penggambaran suasana serta makna yang lebih kuat. Kata kunci: Stilistika, Bahasa, Gaya Bahasa, Puisi, Sapardi Djoko Damono.
i
ABSTRACT
AYU RIZQI PRAMULYA NINGRUM, NIM.1110013000044, “The Use Of Language Style Based on Direct Or Not The Meaning on The Collection Of Poems Mata Pisau By The Author Sapardi Djoko Damono, and Its Implications Towards The Learning Indonesia Language and Literature at School”. 2014. Departement of Indonesian and Literature Education, Faculty of Tarbiya and Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. 2014. Advisor: Makyun Subuki, M.Hum. The riserch is to critisize the use of language style based on direct or not the meaning on the collection of poems Mata Pisau by referring to theory of language style by Gorys Keraf. The writer choose poems written by Sapardi Djoko Damono because the words are simple but it contains meaning and strong imagery, therefore, the writer also choosee language style based on direct or not the meaning because it will be able to explain meaning and certain imagery. This study use descriptive qualitative method which has purpose to know the language style used by Sapardi Djoko Damono and the effects which is had on poem collections by the title Mata Pisau. Language style based on direct or not the meaning is divided to two groups, that is, rethorical language style and metaphor language style. Based on researc which is conducted, from 37 language styles, the writer found 16 language styles which is consisted: anastrof, hiperbola, asindeton, polisindeton, elipsis, eufemismus, erotesis, aliterasi, asonansi (rethorical language style) dan simile, metafora, alegori, personifikasi, hipalase, sinekdoke, metonimia (metaphor language style). The writer analyze 99 datas which is gotten from 51 poems. The use of language style is based on direcct or not the meaning on this poem, give beautification effect and the ilustration and the stronger meaning. Key word: stylistics, language, language style, poem, Sapardi Djoko Damono.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, serta kesehatan jasmani dan rohani kepada penulis sehingga diberikan kemudahan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penggunaan Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna dalam Kumpulan Puisi Mata Pisau Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Salawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rasulallah Muhammad saw. Skripsi ini penulis buat dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa proses pembuatan skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya pihak-pihak yang turut membantu, membimbing, dan memotivasi saya dalam pembuatan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Dra. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini; 2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis selama ini; 3. Dra. Hindun, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
iii
4. Makyun Subuki, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. terima kasih untuk arahan, bimbingan, dan kesabaran Bapak selama ini; 5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan; 6. Keluarga penulis tercinta, terutama Papa, Mama, dan adikku, yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis untuk terus berjuang dan selalu memberikan kasih sayangnya hingga detik ini; 7. Liza Amalia, Astuti Nurasani, Sri Wahyuningsih, Nur Amalina, Amalia Utami S., Dessy Khusnul Q., Nur Rafiqah, dan Ratna Agustina P., sahabatsahabat kuliah yang selalu menemani dan menghiburku hingga saat ini; 8. Teman-teman kosan, Aisyatul Fitriah, Sumirih, Tuti Alawiyah, Mabruroh, Nut Aolia, yang selalu menemani dan menyemangatiku. Terima kasih atas doa dan dukungan kalian; 9. Sahabat seperjuangan di PBSI angkatan 2010 khususnya kelas A yang tidak dapat disebutkan satu persatu; 10. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis senantiasa mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah swt. Amin. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kemajuan pendidikan dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Jakarta, 19 Agustus 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ABSTRAK ………………………………………………………….......
i
KATA PENGANTAR ……………………………………………….....
iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………...
v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………………………………………………......
1
B. Identifikasi Masalah …………………………………………….....
5
C. Pembatasan Masalah ……………………………………………....
5
D. Perumusan Masalah ………………………………………………..
5
E. Tujuan Penelitian …………………………………………………... 5 F. Manfaat Penelitian .....................……………………………………
5
1. Manfaat Teoretis ...……………………………………………..... 5 2. Manfaat Praktis ...……………………………………………....... 6 G. Metodologi Penelitian .………………………..................................
6
1. Metode Penelitian……………………………..............................
6
2. Sumber Data dan Data Penelitian ...………................................
7
3. Teknik Pengumpulan Data ……………………………................
7
4. Langkah Analisis Data ……………………………......................
8
BAB II LANDASAN TEORI A. Puisi 1. Pengertian Puisi ….......…………………………………………… 10 2. Unsur Intrinsik Puisi ……………………................……………... 11 B. Stilistika 1. Pengertian stilistika …………………………………………......... 12 2. Ranah kajian stilistika ….....…………………………………….... 12 C. Gaya Bahasa …..........………………………………………………… 13 1. Pengertian Gaya Bahasa ……………………………..................... 14 2. Ragam Gaya bahasa ……………………………........................... 16 v
D. Penelitian yang Relevan ………………………………………………. 32 BAB III HASIL PENELITIAN A. Biografi Pengarang ......................................………………………..
34
B. Analisis Data ….......…………………………………………………. 34 1. Anastrof .................................…………………………………...
35
2. Hiperbola …………………………………………............……… 36 3. Asindenton .................…………………………………………… 39 4. Polisindeton .........................……………………………………..
42
5. Elipsis ........................………………………………………........
44
6. Eufemismus ........................……………………………………... 47 7. Erotesis ........................…………………………………….. ........
48
8. Aliterasi ........................…………………………………….......... 54 9. Asonansi ........................……………………………………......... 54 10. Simile ........................……………………………………............. 56 11. Metafora ........................……………………………………......... 57 12. Alegori ........................……………………………………........... 72 13. Personifikasi ........................……………………………………..
73
14. Hipalase ........................……………………………………......... 88 15. Sinekdoke ........................……………………………………......
89
16. Metonimia ........................……………………………………...... 89 C. Implikasi Terhadap Pembelajaran ......………………………………. 90 BAB IV PENUTUP A. Simpulan ………………………………………………………….....
93
B. Saran ………………………………………………………………… 94 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
89
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa ini begitu banyak karya sastra yang telah dihasilkan oleh para penulis, seperti novel, cerpen, dan puisi. Berkembangnya dunia sastra di Indonesia membuat banyak peneliti yang melakukan penelitian mengenai karya sastra, baik itu tentang novel, cerpen, ataupun puisi. Perkembangan sastra diikuti oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang membuat masyarakat menyadari bahwa karya sastra itu ada dan ikut berperan dalam kehidupan. Karya sastra dapat berkembang itu juga karena para penikmat karya sastra atau pembaca yang semakin lama semakin meningkat dan kritis terhadap karya-karya yang ada. Sebuah karya sastra diciptakan oleh penulis dengan gagasan tertentu. Gagasan disampaikan penulis melalui bahasa atau kata-kata yang digunakan dalam karyanya. Gagasan atau pesan yang ada dalam sebuah karya sastra berbentuk abstrak. Pembaca perlu proses membaca hingga memahami gagasan atau pesan sebuah karya sastra melalui wujud konkretnya yaitu bahasa. Untuk memahami gagasan atau pesan sebuah karya sastra seorang pembaca harus mengetahui terlebih dahulu bahasa atau kata-kata yang digunakan penulis. Bahasa merupakan sarana dan alat seseorang dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup seorang diri. Untuk itu, bahasa memiliki peranan yang sangan penting dalam kehidupan manusia. Seperti halnya peran bahasa dalam kehidupan manusia, dalam sebuah karya sastra bahasa juga menduduki peran penting. Karya sastra tidak terlepas dari sebuah bahasa karena karya sastra tercipta dari bahasa dengan bentuk kata-kata yang indah dan bermakna. Bahasa juga sarana terpenting dalam penciptaan karya sastra. Selain itu bahasa juga berfungsi untuk menyampaikan informasi. Seseorang menyampaikan informasi kepada orang lain dengan menggunakan bahasa, baik dalam bentuk tulisan ataupun lisan. Untuk dapat menangkap informasi yang disampaikan kita
1
2
harus mengerti dan memahami bahasa yang digunakan oleh penyampai informasi. Karya sastra, baik itu novel, cerpen, puisi, dan karya sastra lainnya juga mempunyai pesan yang terkandung di dalamnya. Pesan atau informasi yang diberikan penulis kepada pembaca lewat karya sastranya akan sampai pada pembaca apabila pemabaca memahami bahasa yang digunakan penulis dalam karyanya. Untuk dapat memahami dan mempelajari sebuah karya sastra terlebih dahulu kita harus mempelajari bahasa yang digunakan dalam karya sastra tersebut. Dalam sebuah karya sastra banyak digunakan kata-kata yang cukup sulit dipahami khususnya pada puisi. Puisi adalah salah satu karya sastra yang mengutamakan keindahan kata-kata atau bahasanya, untuk itu para penulis puisi menggunakan gaya bahasa yang beraneka ragam untuk mencapai efek puitis. Untuk itu, jika ingin mempelajari puisi kita harus mempelajari diksi, gaya bahasa atau majas terlebih dahulu. Sekarang banyak buku yang membahas tentang diksi, gaya bahasa, dan majas yang biasanya sering digunakan dalam subuah karya sastra. Stilistika merupakan ilmu yang menjembatani kajian linguistik dan sastra dengan mengkaji aspek gaya bahasa yang digunakan dalam sebuah karya sastra. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertentangkannya dengan wacana nonsastra, meneliti deviasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer.1 Stilistika membahas tentang gaya yang dipakai oleh pengarang melalui bahasa yang digunakannya dalam memaparkan ide atau gagasan sesuai dengan efek yang ingin dihadirkan melalui karya-karyanya. Efek yang ingin dihadirkan oleh pengarang merupakan usaha memperkaya makna, penggambaran objek dan peristiwa yang imajinatif, maupun efek emotif bagi pembaca. Melalui kajian stilistika ini penulis akan mengkaji gaya bahasa dalam sebuah karya sastra, yaitu puisi serta efek yang dihadirkan. Seorang pembaca lebih sering fokus pada cerita dan keindahan kata-kata sebuah karya sastra, tanpa memperhatikan jenis atau gaya bahasa yang digunakan karya sastra tersebut. Kurangnya perhatian pembaca pada jenis dan gaya bahasa dalam sebuah karya sastra itulah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti 1
Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), h. 3
3
gaya bahasa yang digunakan Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisinya Mata Pisau. Sapardi merupakan penyair yang terkenal dengan puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata sederhana dan tema yang ringan, seperti puisi Hujan Dalam Komposisi yang menggambarkan hujan dan suasana alam, sehingga cocok untuk bahan pembelajaran di sekolah. Puisi adalah salah satu jenis karya sastra yang paling sederhana tetapi kompleks. Bahasa yang digunakan dalam sebuah puisi berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk berkomunikaasi sehari-hari, dalam sebuah puisi kata diseleksi, dimanipulasi, dan dikombinasi sedemikian rupa oleh penyair sehingga butuh pemahaman lebih dalam membaca puisi untuk memahami isinya. Jika dalam bahasa sehari-hari terdapat konteks yang membantu pemahaman penutur dan lawan tutur, dalam puisi tidak ada konteks yang membantu pembaca atau pendengar memahami puisi tersebut. Untuk itu, pembaca harus mengetahui makna dari setiap kata dalam sebuah puisi, salah satu cara untuk mengetahui makna dalam puisi adalah dengan mengetahui bentuk gaya bahasa yang digunakan penyair dalam puisinya. Puisi lebih menonjolkan gaya bahasa dan keindahan bunyi dalam penulisannya. Setiap sastrawan memiliki gaya yang berbeda dalam menulis sebuah karya. Puisi memiliki unsur-unsur pembangun, yaitu bunyi, diksi, bahasa kiasan, sarana retorika, citraan, bentuk visual, dan makna. Unsur-unsur pembangun puisi tersebut menggunakan kata-kata sebagai sarananya yang akhirnya kata-kata tersebut menjadi sebuah bahasa yang indah dan memiliki makna yang dalam dan tersirat. Sekarang di sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga tingkat atas sudah mempelajari karya sastra, seperti novel, cerpen, dan puisi mulai dari bahasa yang digunakan hingga unsur-unsur yang ada di dalamnya. Mata pelajaran di sekolah yang mempelajari gaya bahasa dan unsur-unsur pada karya sastra merupakan materi pelajaran Bahasa Indonesia. Gaya bahasa merupakan bahasa yang digunakan para penyair untuk membuat efek kepuitisan pada karya-karyanya. Gaya bahasa sering juga disebut dengan majas atau bahasa kiasan, bahasa yang memiliki keindahan dan mengandung arti tersirat. Sebenarnya bahasa kiasan bukan hanya digunakan oleh para penyair saja, tetapi juga oleh orang yang bukan
4
penyair. Bahasa kiasan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, namun jarang orang yang menyadarinya. Ungkapan yang sering kita dengar, seperti mata keranjang, tunawisma, lintah darat, itu semua merupakan gaya bahasa yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Gaya bahasa dalam sebuah puisi adalah suatu alat untuk melukiskan atau menggambarkan, menegaskan inspirasi atau ide dalam bentuk bahasa dengan gaya yang mempesona.2 Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang sering digunakan dalam sebuah karya sastra seperti prosa atau puisi. Gaya bahasa yaitu majas atau bahasa kiasan banyak macamnya dan macam-macam majas tersebut sudah dipelajari di bangku sekolah tingkat dasar (SD) hingga tingkat atas (SMA). Beberapa jenis majas yang dipelajari di bangku sekolah diantaranya, seperti metafora, simile atau perumpamaan, dan personifikasi. Jenis-jenis majas tersebut juga sering dijumpai dalam sebuah puisi. Gaya bahasa dalam puisi merupakan gaya yang dipakai penyair melalui katakata yang digunakannya dalam puisi atau pengungkapan perasaan penyair secara tersirat. Gaya bahasa di sini meliputi, pilihan kata, majas, dan sarana retorik. Majas merupakan bentuk bahasa yang imajinatif dan maknanya di luar batas kelaziman karena memiliki arti yang berbeda dengan arti yang ada di kamus. Para penyair pasti memiliki imajinasi yang tinggi karena mampu merangkaikan satu kata dengan kata yang lain sehingga memunculkan makna di luar batas kelaziman. Sarana retorik merupakan penataan atau struktur bahasa yang dipakai oleh penyair dalam puisinya. Dalam dunia pendidikan pembelajaran bahasa khususnya bahasa Indonesia sangat penting, itu dibuktikan dengan masuknya mata pelajaran bahasa Indonesia dalam UN (Ujian Nasional). Adanya penelitian ini, diharapkan dapat membantu para guru bahasa indonesia dalam mengajarkan materi terkait gaya bahasa serta membantu siswa agar dapat memahami dan membuat puisi dengan menggunakan gaya bahasa yang telah dipelajari, dengan melihat penggunaan gaya bahasa pada puisi-puisinya Sapardi Djoko Damono.
1
Dianie Abdul Jalil, Teori dan Periodisasi Puisi Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1990), h. 31
5
Berdasarkan uraian tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul “Penggunaan Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna dalam Kumpulan Puisi Mata Pisau Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah ada, maka penulis mengidentifikasi permasalahan dalam penelitian ini, meliputi: 1. Gaya bahasa lebih ditonjolkan dalam penulisan puisi. 2. Gaya bahasa digunakan penulis untuk menghasilkan efek kepuitisan. 3. Penulis menggunakan gaya bahasa untuk menyampaikan ide kepada pembaca. 4. Gaya bahasa memiliki peranan penting dalam karya sastra.
C. Pembatasan Masalah Pada bagian latar belakang telah dijelaskan bahwa gaya bahasa meliputi pilihan kata, majas, dan sarana retorik. Masalah yang dibahas pada penelitian ini adalah Penggunaan Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna dalam Kumpulan Puisi Mata Pisau Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. D. Perumusan Masalah Masalah yang sudah dijelaskan pada bagian latar belakang dapat dirumuskan dengan pertanyaan sebagai berikut. Bagaimana bentuk gaya bahasa yang digunakan Sapardi Djoko Damono dan efek yang dihadirkan dalam kumpulan puisinya yang berjudul Mata Pisau?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk gaya bahasa yang digunakan Sapardi Djoko Damono dan efek yang dihadirkan dalam kumpulan puisinya yang berjudul Mata Pisau. F. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoretis Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap hasil dari penelitian ini
dapat bermanfaat.
6
a. Bagi para guru terutama guru bahasa Indonesia dalam menerangkan materi tentang bab gaya bahasa dan dapat membantu guru dalam menjelasakan penggunaan gaya bahasa pada sebuah karya sastra khususnya puisi. Dan menambah referensi guru bahasa Indonesia mengenai jenis-jenis gaya bahasa. b. Bagi para siswa yang sedang mempelajari materi tentang gaya bahasa agar lebih memahami makna dan jenis-jenis gaya bahasa serta pemakaian gaya bahasa pada sebuah karya sastra seperti puisi. c. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan baru tentang gaya bahasa terutama gaya bahasa yang terdapat dalam puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono. 2. Manfaat Praktis a. Bagi para guru bahasa indonesia hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan tambahan dalam pembelajaran bahasa indonesia mengenai gaya bahasa dan puisi. b. Bagi para siswa dapat membantu dalam menganalisis bentuk-bentuk gaya bahasa dalam sebuah puisi. Dan juga dapat membantu dalam memahami makna puisi dengan lebih mengetahui bentuk-bentuk gaya bahasa yang digunakan dalam puisi tersebut. c. Bagi peneliti membantu dalam memahami makna yang terkandung dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif sebagai “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.3 Penelitian kualitatif ini digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Dalam penelitian kualitatif metode 2
4
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h.
7
yang
biasanya
dimanfaatkan
adalah
wawancara,
pengamatan,
dan
pemanfaatan dokumen. Dari penjelasan tersebut peneliti memutuskan untuk menggunakan metode kualitatif karena dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai instrumen kunci. Penelitian juga dilakukan pada objek yang alamiah, objek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak berpengaruh pada dinamika objek penelitian. Selain itu, metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikitpun belum diketahui. Metode ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui.4 Peneliti sebelumnya belum mengetahui sedikitpun gaya bahasa yang digunakan oleh Sapardi Djoko Damono dalam karyanya Mata Pisau. Untuk itu, peneliti memilih metode kualitatif deskriptif dalam menganalisis jenis gaya bahasa melalui pendeskripsian untuk mengungkap dan memahami bentuk gaya bahasa dalam kumpulan puisi Mata Pisau yang sulit diungkap dengan menggunakan metode kuantitatif. 2. Data dan Sumber Data Penelitian Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa fakta maupun angka.5 Peneliti menemukan data berupa puisi-puisi karya Sapardi yang berjumlah 51 puisi. Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.6 Sumber data dalam penelitian ini adalah buku kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Mata Pisau. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan pemanfaatan dokumen, dengan mengumpulkan catatan atau dokumen yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Guba dan Lincoln
3
Anselm Straus & Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 5 4 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Bandung: Rineka Cipta, 2006), h. 118Ibid., h. 129 5 ibid., h. 129
8
mendefinisikan dokumen sebagai setiap bahan tertulis ataupun film, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang peneliti.7 Berikut tahapan yang peneliti lakukan dalam pengumpulan data sebagai berikut. a. Pertama peneliti menentukan objek penelitian yaitu puisi karya Sapardi Djoko Damono dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Mata Pisau. b. Kedua, peneliti menentukan hal-hal apa saja yang akan diteliti dan dianalisis. Peneliti memutuskan untuk meneliti gaya bahasa yang digunakan oleh Sapardi Djoko Damono dalam puisi-puisinya. Setelah objek penelitian dan aspek yang diteliti sudah pasti, peneliti mengumpulkan buku-buku yang membantu peneliti dalam melakukan penelitian. c. Terakhir, peneliti melakukan triangulasi/penggabungan data. Dari data yang sudah diperoleh dari buku-buku yang ada peneliti menggabungkan data tersebut yang mendukung tujuan penelitian. 4. Langkah Analisis Data Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan langkah-langkah analisis data sesuai dengan metode yang digunakan. Langkah-langkah ini dibuat agar dalam proses analisis maupun pada hasil akhirnya tidak keluar dari tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Berikut langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam menganalisis data. a. Tahap persiapan Pada tahap persiaan ini, peneliti mempersiapkan data/objek yang akan dianalisis. Data yang akan peneliti analisis adalah puisi yang terdapat dalam buku kumpulan puisi Mata Pisau karya Sapardi Djoko Damono. Peneliti membaca puisi-puisi tersebut dan menentukan jenis gaya bahasa yang paling dominan untuk dianalisis, yakni gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terdiri dari gaya bahasa retoris dan kiasan. Setelah itu, peneliti mencari referensi pustaka yang mendukung penelitiannya. 6
Lexy J. Moleong, op. cit., h. 216 – 217
9
b. Tahap pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan, peneliti mulai menganalisis puisi-puisi dan menandai bagian yang termasuk ke dalam gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Pada tahap ini, gaya bahasa tersebut juga dijelaskan efek penggunaannya dalam kumpulan puisi Mata Pisau. c. Tahap penyelesaian Pada tahap penyelesaian, peneliti mengecek kembali analisisnya dan memperbaikinya bila ada kesalahan pada penulisan. Setelah itu peneliti menyimpulkan
dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
Gaya bahasa apakah yang paling dominan dalam puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono dan efek-efek yang dihadirkan oleh gaya bahasa tersebut dalam setiap puisi Sapardi Djoko Damono. Kesimpulan sementara yang diperoleh peneliti dari hasil membaca adalah bahwa penggunaan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yaitu gaya bahasa retoris dan kiasan yang paling dominan dalam Mata Pisau adalah gaya bahasa kiasan, terutama gaya bahasa metafora dan personifikasi.
BAB II LANDASAN TEORI A. Puisi 1. Pengertian Puisi Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh rima dan merupakan gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga
mempertajam
kesadaran
orang
akan
pengalaman
dan
membangkitkan tanggapan khusus melalui penataan bunyi, irama dan makna khusus.1 Puisi juga merupakan ekspresi pengalaman batin (jiwa) penyair mengenai kehidupan manusia, alam, dan Tuhan sang pencipta, melalui media bahasa yang estetik yang secara padu dan utuh, dalam bentuk teks yang dinamakan puisi. M. Atar Semi mengutip beberapa pendapat ahli sastra tentang pengertian puisi: a) William Worswoth: poetry is the best word in the best order (puisi adalah kata-kata yang terbaik dalam susunan yang terbaik); b) Leight Hunt: poetry is imaginative pasion (puisi adalah luapan perasaan yang imajinatif); c) Mathew Arnold: poetry is critism of life (puisi merupakan kritik kehidupan); d) Herbert Read: poetry is inuitive, imajinative, and synthetyc (puisi bersifat intuitif, imajinatif, dan sintetic).2 Puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna. Keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima, dan irama yang terkandung dalam karya sastra itu.3 Dari pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa puisi sangat mengutamakan keindahan bahasa bila dibandingkan dengan bentuk karya sastra lain. Untuk itu, peneliti memilih puisi sebagai objek penelitiannya, karena lebih mudah dan lebih menarik untuk melihat jenis gaya bahasa dalam sebuah puisi. Gaya bahasa merupakan unsur utama yang membangun puisi, gaya bahasa paling dominan dibandingkan dengan unsur-unsur pembangun puisi lain. 1
Abdul Rozak Zaidan, dkk., Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 160 Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006) h. 51 3 E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h. 97 2
10
11
Dominasi gaya bahasa dalam puisi itu semata-mata karena keterbatasan medium bentuk fisik puisi yang singkat dan padat tidak seperti prosa, sehingga unsur yang ditonjolkan adalah bahasa yang digunakan dalam puisi itu sendiri. 2. Unsur Intrinsik Puisi Puisi sebagai salah satu karya kreatif yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, mempunyai unsur-unsur di dalamnya. Berikut unsur-unsur intrinsik menurut Wijoko dan Endang. a. Tema adalah ide atau gagasan yang menduduki tempat utama di dalam cerita. Tema atau pokok persoalan, hanya terdapat pada satu puisi. Jadi, tidak bisa ada satu puisi mengandung dua tema, betapa pun panjangnya puisi tersebut. b. Rasa, disebut juga arti emosional. Dalam menghadapi suatu persoalan, seorang penyair, selain tersentuh secara rasional, ia tersentuh dan terlibat secara emosional. c. Nada, kita dapat menangkap sikap penyair lawat intonasi puisi tersebut. Penyair dapat terlihat menggurui, mencaci, merayu, merengek, menyindir, mengejek, dan sebagainya terhadap pembaca atau pendengarnya. Itulah yang disebut nada puisi. d. Amanat merupakan pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, pendengar, atau penonton. e. Diksi (pilihan kata) dalam puisi, merupakan hal yang penting, karena keberhasilan puisi dicapai dengan mengintensifkan pilihan kata. f. Imajeri atau daya bayang, ialah suatu kata atau kelompok kata yang digunakan untuk mengungkapkan kembali kesan-kesan panca indera dalam jiwa kita. g. Pusat pengisahan atau titik pandang yaitu cara penyampaian cerita, ide, gagasan, atau kisahan cerita. Puisi yang mencakup siapa yang berbicara dan kepada siapa ditujukan. h. Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa. i. Ritme atau irama adalah totalitas tinggi rendahnya suara, panjang pendek, dan cepat lambatnya suara waktu membaca puisi. Ritme di dalam puisi dibentuk oleh pengaturan larik, jumlah suku kata, dan pengaturan bunyi. j. Rima atau sajak adalah persamaan bunyi. Persamaan bunyi bisa terjadi di awal, tengah atau akhir. Di dalam puisi modern, rima tidak seteratur puisi lama. Walaupun demikian, bukan berarti tidak berirama. Puisi modern pun menggunakan rima, hanya tidak berpola seperti dahulu. Rima digunakan secara bebas sesuai dengan ekspresi yang diinginkan penyair.4 4
Widjojoko dan Endang Hidayat, op. cit., h. 61
12
Dari semua unsur intrinsik puisi yang sudah disebutkan, gaya bahasa akan menjadi pembahasan utama dalam penelitian ini. Untuk lebih memahami gaya bahasa dan jenis-jenisnya, terlebih dahulu peneliti akan menjelaskan mengenai pengertian gaya bahasa. B. Stilistika 1.
Pengertian Stilistika Makna stilistika (stylistic meaning) adalah makna yang berhubungan
dengan situasi sosial para penutur bahasa. stilistika di dalam bahasa Inggris stylistics adalah cabang dari linguistik yang mempelajari ciri-ciri pembeda secara situasional sebagai varietas bahasa, dan stilistika mencoba menyusun prinsip-prinsip yang dipertimbangkan untuk pilihan tertentu, disusun oleh individu atau kelompok sosial dalam menggunakan bahasanya.5 Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertentangkannya dengan wacana nonsastra, meneliti deviasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer.6 Stilistika bukan hanya mengkaji wacana sastra tetapi juga bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa stilistika itu adalah ilmu yang menjembatani kajian linguistik dan sastra dengan mengkaji aspek gaya bahasa yang digunakan dalam sebuah wacana sastra atau karya sastra. 2.
Ranah Kajian Stilistika Karya sastra adalah wacana khas yang di dalam ekspresinya
menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia. Dipandang dari sudut linguistik, dibandingkan dengan wacana yang lain, dalam wacana sastra terdapat gejala fonologis, semantis, sintaktik, dan gejala lingiustik tertentu lainnya dengan frekuensi yang lebih tinggi. kajian stilistik hendak mengungkapkan bagaimana caranya kemungkinan itu dimanfaatkan dan bagaimana efeknya. Sudjiman menegaskan, bahwa dalam pengkajian stilistik yang penting ialah menemukan ciri yang benar-benar
5 6
Fatimah Djadjasudarma, Semantik II: Pemahaman Ilmu Makna, (PT Eresco, 1993), h. 18 Panuti Sudjiman, op. cit., h. 3
13
memberikan efek tertentu kepada pembaca (atau pendengar), tidak sekedar menghitung frekuensi penggunaan sarana-sarana stilistik dalam suatu karya. 7 Secara akademis, linguistik memahami bahasa, sastra memahaminya lewat bahasa. baik pemahaman secara linguistik maupun literer dapat dimediasi oleh stilistika. Dengan pengertian lain, bahwa stilistika merupakan objek baik bagi ilmu bahasa maupun ilmu sastra. Perbedaannya, stilistika linguistik terbatas pada penelitian gejala bahasa secara deskriptif, yang dalam perkembangan kemudian disebut sebagai majas, sedangkan stilistika literer mengkaji lebih jauh pada aspek-aspek yang melatarbelakangi sekaligus tujuan yang hendak dicapai, sebagai penelitian evaluatif. Deskripsi terhadap barbagai jenis gaya bahasa dalam sebuah puisi atau novel merupakan kajian linguistik, sedangkan mengapa pengarang menggunakan gaya bahasa tersebut merupakan kajian sastra.8 Dari penjelasan tersebut penulis menggunakan kajian stilistika linguistik, yaitu hanya mengkaji gaya bahasa secara deskriptif yang digunakan oleh pengarang tanpa membahas alasan atau pun tujuan yang hendak dicapai oleh pengarang. C. Gaya Bahasa Persoalan gaya bahasa sastra bukanlah tentang efisiensi dan efektifitas penggunaan bahasa, melainkan tentang cara penggunaan bahasa untuk menghasilkan efek tertentu. Gaya bahasa sastra tidak saja dalam arti keindahan, melainkan juga dalam arti kemantapan pengungkapan. Efisiensi dan efektifitas berkaitan dengan tatabahasa (kalimat yang efektif adalah yang sesuai dengan kaidah bahasa, hemat dalam pengungkapan tetapi dapat menyampaikan banyak ide). Gaya bahasa sastra adalah persoalan bagaimana, sekalipun tidak efektif dan efisien menurut tatabahasa. Misalnya untuk menampilkan suasana senja, bermacam cara dapat dilakukan: “Matahari tinggal sejengkal dari permukaan laut; Warna kuning di ufuk barat telah semakin jelas; Bayang-bayang telah jauh melebihi ukuran badan”.9 7
Ibid., h. 7 Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 248 – 249 9 Atmazaki, Ilmu Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 94 8
14
1. Pengertian Gaya Bahasa Sebelum masuk pada pengertian gaya bahasa, terlebih dahulu akan dibahas tentang fungsi bahasa. seperti sudah diketahui bahwa bahasa merupakan alat komunikasi. Holliday secara seksama mengkaji sebuah teori yang mendalam mengenai fungsi-fungsi bahasa, yang melengkapi pandangan Hymes tentang kompetensi komunikatif. Teori fungsi-fungsi bahasa tersebut secara ekstensif menggali berbagai fungsi yang lazim dijalankan pada bahasa. a. Fungsi instrumental: menggunakan bahasa untuk memperoleh sesuatu. b. Fungsi regulatori: menggunakan bahasa untuk mengontrol perilaku orang lain. c. Fungsi interaksional: menggunakan bahasa untuk menciptakan interaksi dengan orang lain. d. Fungsi personal: menggunakan bahasa untuk mengungkapkan perasaan dan makna. e. Fungsi heuristik: menggunakan bahasa untuk belajar dan menemukan makna. f. Fungsi imajinatif: menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia imajinasi. g. Fungsi representasional: menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi.10 Bahasa memiliki banyak fungsi, dalam karya sastra terutama puisi bahasa juga bisa dikatakan alat penulis untuk berkomunikasi dengan pembaca. Kaitanya tujuh fungsi bahasa yang sudah dipaparkan sebelumnya, bahasa dalam puisi lebih pada fungsi personal, yaitu untuk mengungkapkan perasaan dan makna yang dalam. Untuk mengungkapkan perasaan dan makna dalam sebuah puisi biasanya penulis menggunakan berbagai gaya bahasa. Gaya bahasa adalah ekspresi linguistik, baik di dalam puisi maupun prosa (cerpen, novel, dan drama).11 Gaya bahasa merupakan salah satu unsur dari sebuah puisi. Gaya bahasa adalah cara yang khas seseorang dalam mengungkapkan atau menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Dalam puisi, penyair berusaha menyampaikan ide, perasaan, dan pikirannya dengan menggunakan bahasa yang dibuat sedemikian rupa sehingga 10
Furqanul Aziez dan Chaedar Alwasilah, Pengajaran Bahasa Komunikatif Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1996), h. 17 11 Nyoman Kutha Ratna, Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 22
15
tampak indah dan penuh makna. Oleh karena itu, untuk dapat membaca puisi dengan baik, memahami, memaknai, menganalisis, dan mengajarkan puisi, kita harus memahami gaya bahasa dalam puisi tersebut.12 Dari berbagai pengertian gaya bahasa yang sudah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan suatu gaya penulisan seseorang dengan menggunakan kata-kata yang jarang digunakan dan menjadi kekhasan bagi si penulis yang pada umumnya sebagai pengungkapan perasaan, ide, atau pikiran penulis. Selain gaya bahasa ada juga diksi yang juga menjadi unsur pembentukan puisi. Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca.13 Menurut Wren dan Martin “is a departure from the ordinary form of expression or the ordinary course of ideas in order to produce a greater effect” yang diartikan oleh Siswantoro bahwa gaya bahasa merupakan penyimpaangan dan bentuk ungkapan lumrah atau dan jalan pikiran umum dengan maksud memperoleh efek yang lebih luas. 14 Gaya bahasa sering disamakan dengan majas, majas merupakan bagian dari gaya bahasa, dalam dunia pendidikan khususnya di tingkat dasar hingga menengah atas kata majas lebih dikenal. Penggunaan majas lebih sering muncul pada puisi, untuk memahami sebuah puisi terlebih dahulu kita harus memahami bahasa yang digunakan. Majas adalah gaya bahasa dalam bentuk tulisan mau pun lisan yang dipakai dalam suatu karangan yang bertujuan untuk mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang.15 Menurut teori sastra kontemporer gaya bahasa berbeda dengan majas. Majas hanyalah sebagian kecil dari gaya bahasa, ruang lingkup gaya bahasa lebih luas dari majas dan majas termasuk dalam ruang lingkup gaya bahasa. Namun, sekarang gaya
12
Rachmat Djoko Pradopo, dkk., Puisi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 9.1 Ibid., h. 9.3 14 Siswantoro, Apresiasi Puisi-Puisi Sastra Inggris, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), h. 24 15 Ratih Mihardja, Buku Pintar-Sastra Indonesia, (Jakarta: Laskar Aksara, 2012), h. 28 13
16
bahasa dan majas seakan-akan memiliki ruang lingkup yang sama. Bahwa majas adalah gaya bahasa dan gaya bahasa itu adalah majas. 2. Ragam Gaya Bahasa Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Gorys Keraf meninjau gaya bahasa dari dua pandangan, yaitu dilihat dari segi nonbahasa dan dari segi bahasanya sendiri. Namun, gaya bahasa yang akan dibahas dan diteliti dalam skripsi ini adalah ragam gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang mengacu pada teori Gorys Keraf. Berikut ragam gaya bahasa menurut Gorys Keraf. a. Segi Nonbahasa 1) Berdasarkan pengarang: pengarang yang kuat dapat mempengaruhi orang-orang sejamannya, sehingga dapat membentuk sebuah aliran. 2) Berdasarkan Masa: gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal karena ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu. 3) Berdasarkan Medium: bahasa dalam arti alat komunikasi. 4) Berdasarkan Subyek: subyek yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan dapat mempengaruhi gaya bahasa sebuah karangan. Kita mengenal gaya filsafat, populer, dan didaktik. 5) Berdasarkan Tempat: ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau ekspresi bahasanya. Ada gaya Jakarta, gaya Medan. 6) Berdasarkan Hadirin: gaya bahasa seperti gaya populer yang cocok untuk rakyat banyak dan ada gaya sopan yang cocok untuk lingkungan istana atau lingkungan yang terhormat. Ada pula gaya intim (familiar) yang cocok untuk lingkungan keluarga. 7) Berdasarkan tujuan: ada gaya sentimental, sarkastik, diplomatis, dan ada gaya humor. 16 b. Segi bahasa 1) Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata. a. Gaya bahasa resmi, adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap,
gaya
yang
dipergunakan
dalam
kesempatan-
kesempatan resmi, gaya yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. 17
16
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 115
–116 17
ibid., h. 117
17
b. Gaya bahasa tak resmi, merupakan gaya dipergunakan
dalam
bahasa
standar,
bahasa yang
khususnya
dalam
kesempatan-kesempatan yang tidak formal atau kurang formal. Gaya ini biasanya dipergunakan dalam karya tulis, artikel-artikel mingguan.18 c. Gaya bahasa percakapan, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Namun di sini harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis, yang secara bersama-sama membentuk gaya bahasa percakapan ini.19 2) Gaya Bahasa Berdasarkan Nada a. Gaya sederhana, gaya bahasa ini biasanya cocok untuk memberi intruksi, perintah, pelajaran, perkuliahan, dan sejenisnya. Sebab itu, untuk mempergunakan gaya ini secara efektif, penulis harus memiliki kepandaian dan pengetahuan yang cukup.20 b. Gaya mulia dan bertenaga, gaya ini penuh dengan vitalitas dan energi, biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakkan sesuatu tidak saja dengan menggunakan tenaga dan vitalitas pembicara, tetapi juga dapat menggunakan nada keagungan dan kemuliaan.21 c. Gaya menengah, adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana senang dan damai, maka nadanya juga
bersifat
lemah-lembut,
penuh
kasih
sayang,
dan
mengandung humor yang sehat. Gaya bahasa ini diguanakan pada kesempatan khusus, seperti pesta, pertemuan, dan rekreasi, orang lebih menginginkan ketenangan dan kedamaian.22
18
ibid., h. 118 ibid., h. 120 20 ibid., h. 121 21 ibid., h. 122 22 ibid., 19
18
3) Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat a. Klimaks, adalah semacam gaya
bahasa yang mengandung
urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.23 Contoh: “Kesengsaraan
membuahkan
kesabaran,
kesabaran
pengalaman, dan pengalaman harapan.” b. Antiklimaks, pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.24 Contoh: “Ketua pengadilan negeri itu adalah seorang yang kaya, pendian, dan tidak terkenal namanya.” c. Paralelisme, adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasafrasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.25 Contoh: “Bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi juga harus diberantas.” d. Antitesis, adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.26 Contoh: “Ia sering menolak, tapi sekali pun tak pernah melukai hati.” e. Repetisi, adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.27 Contoh: “Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak...”
23
ibid., h. 124 Ratih Mihardja,Op. Cit., h. 35 25 Keraf, Op. Cit., h. 126 26 ibid., 27 ibid., h. 127 24
19
4) Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna a. Gaya Bahasa Retoris Gaya bahasa retoris atau non-perbandingan dilihat dari segi internal struktur linguistik, khususnya struktur sintaksisnya yang tidak menggunakan perbandingan atau perumpamaan untuk mendapatkan makna khusus. 28 a) Aliterasi Aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan.29 Contoh: Susah sungguh saya sampaikan Degub-degub di dalam kalbu (Rustam Effendi, Percikan Permenungan) b) Asonansi Asonansi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama.30 Misalnya: Ini muka penuh luka siapa punya Contoh lain dalam puisinya Goenawan Muhamad yang berjudul Perikesit, yaitu: Yang damai, terlalu damai bumi padamu melambai (Goenawan Muhamad, Perikesit) c) Anastrof Anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.31
28
Ngusman Abdul Manaf, Semantik Bahasa Indonesia, (Padang: UNP Press Padang, 2010),
h. 129 29
Keraf, op. cit., h. 130 Ibid., 31 Ibid., 30
20
Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat kepergiannya. (Ia pergi meninggalkan kami, kami heran melihat kepergiannya) d) Apofasis atau Preterisio Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya.32 Misalnya: Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara. Pada contoh tersebut, penulis menjelaskan bahwa ia tidak mau mengungkapkan atau ingin menyembunyikan suatu hal tetapi sebenarnya ia mengungkapkannya juga. e) Apostrof Adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu massa, sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang tidak hadir; kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau obyek khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada para hadirin.33 Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini.
32 33
Ibid., Ibid., h. 131
21
f) Asindeton Adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentukbentuk ini biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ucapan terkenal dari Julius Caesar: Veni, vidi, vici, “saya datang, saya lihat, saya menang”.34 g) Polisindeton Polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton.35 Dalam polisindeton beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung.36 Contoh: Dan kemanakan burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bullunya? h) Kiasmus Kiasmus adalah gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik
frasa
atau
klausa,
yang
sifatnya
berimbang
dan
dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya.37 Contoh: Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk malanjutkan usaha itu. Dalam Kamus Istilah Sastra kiasmus diartikan sebuah kalimat yang terdiri atas dua bagian yang seimbang. Unsur bagian kedua merupakan kebalikan dari unsur bagian pertama.38
34
Ibid., Ibid., 36 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1990), h. 143 37 Gorys Keraf, op.cit., h. 132 38 Abdul Rozak Zaidan, dkk., op. cit., h. 102 35
22
Contohnya: Diam dalam gerak Gerak dalam diam Menangis dalam gelak Gelak dalam bermuram (J.E Tatengkeng) i) Elipsis Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.39 Contoh; Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis... j) Eufemismus Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus. Contoh, “Maaf bapak ini pendengarannya sudah kurang”. (Orang tersebut tuli) 40 k) Litotes Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya, atau swuatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Misalnya, kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.41 l) Histeron Proteron Adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar,
39
Gorys Keraf, op.cit., h. 132 Ratih Mihardja, op.cit., h. 31 41 Gorys Keraf,op.cit., h. 132 – 133 40
23
misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Juga disebut hiperbaton.42 Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh dengan tenang. m) Pleonasme dan Tautologi Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan
kata-kata
lebih
banyak
daripada
yang
diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata lain. Misalnya, saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.43 Ungkapan tersebut adalah pleonasme karena acuannya itu tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun dihilangkan kata dengan telinga saya. Sedangkan ungkapan “globe itu bundar bentuknya” termasuk dalam tautologi karena kata berlebihan itu sebenarnya mengulang kembali gagasan yang sudah disebut sebelumnya, yaitu kata bundar sudah tercakup dalam globe. n) Perifrasis Sebenarnya perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat digantikan oleh satu kata saja, misalnya, ia telah beristirahat dengan damai (=mati atau meninggal).44
42
Ibid., h. 133 Ibid., h. 134 44 Ibid., 43
24
o) Prolepsis atau Antisipasi Adalah
semacam
gaya
bahasa
di
mana
orang
mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi.45 Contoh: Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sedan biru. p) Erotesis atau Pertanyaan Retoris Adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya ssuatu jawaban.46 Contoh: Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini? q) Silepsis dan Zeugma Silepsis
dan
zeugma
adalah
gaya
di
mana
orang
mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar.47 Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya. Zeugma merupakan silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.48 Contoh, “Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami”.
45
Ibid., Ibid., h. 134 – 135 47 Ibid., h. 135 48 Ratih Mihardja, op.cit., h. 38 46
25
r) Koreksio atau Epanortosis Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula
menegaskan
sesuatu,
tetapi
kemudian
memperbaikinya.49 Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali. s) Hiperbola Gaya bahasa ini, dimanfaatkan oleh penyair dalam upaya menggambarkan objek, ide, dan lain-lain dengan memberi bobot tekanan secara berlebihan untuk memperoleh efek yang intens.50 Moeliono menjelaskan bahwa “hiperbola ialah ungkapan yang melebih-lebihkan
apa
yang
sebenarnyan
dimaksudkan:
51
jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya”. Contoh: Bergelimpangan mayat, terpisah kepala dari badan disepanjang perbatasan t) Paradoks Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradok dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya.52 Musuh sering merupakan kawan yang akrab. Paradok merupakan pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar. Contoh, “Dia besar tetapi nyalinya kecil”.53 u) Oksimoron Adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Atau dapat
49
Gorys Keraf, op.cit., h. 135 Rachmat Djoko Pradopo, dkk., op. cit., h. 9.6 – 9.22 51 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 130 52 Gorys Keraf, op.cit., h. 135 53 Mihardja, op. cit., h. 38 50
26
juga dikatakan sebagai
gaya bahasa
yang mengandung
pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks.54 Keramah-tamahan yang bengis. b. Gaya Bahasa Kiasan Gaya bahasa kiasan atau perbandingan dibentuk dengan membandingkan sesuatu dengan hal lain yang mempunyai ciri yang sama. Kesamaan ciri antara objek terbanding dengan objek pembanding inilah yang menjadi sumber utama pemaknaan gaya bahasa kiasan.55 a. Persamaan atau Simile Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit.
Dalam
perbandingan
eksplisit
sesuatu
yang
dimaksudkan dengan sesuatu yang lain dengan menggunakan kata perumpamaan atau pembanding secara eksplisit, misalnya seperti, bagaikan, laksana, bak, sama dengan.56 Perbandingan antara benda-benda yang secara esensiel tidak selalu mirip.57 Contohnya: Pipinya bagaikan pauh dilayang. Pelitnya bak kepiting batu. b. Metafora Menurut
Cruse,
“Secara
sederhana
metafora
dapat
didefinisikan sebagai penggunaan kata atau frasa untuk makna yang berbeda dari makna literalnya”.58 Sama seperti simile, metaphor juga membandingkan antara objek-objek yang
54
Gorys Keraf, op.cit., h. 136 Ngusman Abdul Manaf, op.cit., h. 124 56 Abdul Rozak Zaidan, dkk., op. cit., h. 125 57 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaan Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 59 58 Makyun Subuki, Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa, (Jakarta: Trans Pustaka, 2011), h. 194 55
27
memiliki kesamaan, tetapi tanpa menggunakan kata-kata tertentu.59 Metafora Chairil Anwar yang sangat terkenal di dalam puisi “Aku”, yakni aku ini binatang jalang, adalah hasil dari penelusuran si penyair atas similaritas di antara binatang dan seorang manusia fiktif (aku-lirik), yang dipandang memiliki sifat yang sama-sama jalang.60 c. Alegori Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.61 Ratih memberikan pengertian alegori lebih singkat yaitu gaya bahasa yang menyatakan suatu hal dengan cara lain, melalui kiasan atau gambaran. Contohnya, “iman adalah kemudi dalam mengarungi zaman”.
62
Alegori ini hampir sama dengan metafora namun
lebih panjang, lebih pada pendeskripsian dengan menggunakan bahasa yang mengandung kiasan. d. Personifikasi Dengan gaya bahasa ini, benda-benda mati, seperti “dinding kamar” dan “hujan”, atau benda-benda alam seperti “matahari” dan “pohon”, seolah-olah bernyawa dan melakukan sesuatu atau menjadi manusiawi. Berikut ini adalah petikan sajak Eka Budianta; “Sketsa di Tepi Mahakam”: Duduk di tepianmu/ Aku adalah sepotong kayu/ Yang berlumut dan ditumbuhi bunga/ Sementara itu engkau, Mahakam/ Sabar, pemurah dan sudah
59
Rachmat Djoko Pradopo, dkk., op. cit., h. 9.6 – 9.22 Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), h. 85 61 Gorys Keraf, op.cit., h. 140 62 Ratih Mihardja, op.cit., h. 28 60
28
tua. Sepotong kayu dapat bercakap, sementara sungai Mahakam memiliki sifat-sifat manusia, seperti sabar, tua, dan murah hati.63 e. Alusi Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu referensi yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang terkenal. Misalnya, kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya.64 f. Eponim Adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya: Harcules dipakai untuk
menyatakan
kekuatan;
Hellen
dari
Troya
untuk
menyatakan kecantikan.65 g. Epitet Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang kgusus dari seseorang atau sesuatu hal.66 Contoh: Lonceng pagi untuk ayam jantan Raja rimba untuk singa h. Sinekdoke Sinekdoke
adalah
menggunakan sebagian
semacam
bahasa
figuratif
yang
dari sesuatu hal untuk menyatakan
keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). 67 Contoh:
63
Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra-Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, (Magelang: Indonesia Tera, 2006), h. 41 64 Gorys Keraf, op.cit., h. 141 65 Ibid., 66 Ibid., 67 Ibid., h. 142
29
Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,(pars pro toto) Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia di Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3 – 4. (totum pro parte) i. Metonimia Adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Metonimia dengan demikian adalah suatu bentuk dari sinekdoke.68 Pena lebih berbahaya dari pedang. Ia telah memeras keringat habis-habisan. j. Antonomasia Antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.69 Misalnya: Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini. k. Hipalase Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenalkan pada sebuah kata yang lain, atau secara singkat dapat dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan. Misalnya, Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya). 70
68
Ibid., Ibid., 70 Ibid., 69
30
l. Ironi, Sinisme, dan Sarkasme Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian katakatanya. Contoh: Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat! Kadang-kadang dipergunakan juga istilah lain, yaitu sinisme yang diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis. Dengan kata lain, sinisme adalah ironi yang lebih kasar sifatnya. Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini. Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir.71 Mulutmu harimaumu. Kelakuanmu memuakkan saya. m. Satire Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis. Satir mengandung kritik tantang kelemahan manusia. Tujuannya utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis.
71 72
Ibid., h. 143 Ibid., h. 144
72
Dalam buku lain dijelaskan bahwa satire merupakan
31
ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan.73 Contoh: Jamu aku dengan bicaramu. Kemakmuran, keadilan, kebahagiaan Sudah sepuluh tahun engkau bicara Aku masih tak punya celana Budak kurus pengangkut sampah n. Inuendo Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu.74 Contoh: Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu kebanyakan minum. o. Antifrasis Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat.75 Contoh: Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol) p. Paronomasia Paranomasia
adalah
kiasan
dengan
mempergunakan
kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.76 Contoh: Tanggal dua gigi saya tanggal dua. Dari penjelasan mengenai jenis-jenis gaya bahasa dari teori Gorys Keraf, penulis memilih jenis gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, 73
Ratih Mihardja, op.cit., h. 33 Keraf, op.cit., h. 144 75 Ibid., h. 144 – 145 76 Ibid., h. 145 74
32
yang kemudian dikelompokkan lagi menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Penulis memilih jenis gaya bahasa tersebut karena objek penelitian adalah puisi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya puisi merupakan jenis karya sastra yang menonjolkan keindahan kata-kata dan kedalaman makna. D. Penelitian yang Relevan Pada dasarnya penelitian tidak beranjak dari awal, akan tetapi pada umumnya ada acuan yang mendasari sebuah penelitian. Agar penelitian ini dapat diketahui keasliannya perlu adanya penelitian yang relevan dengan topik kajiannya. Penelitian yang relevan dengan topik kajian ini memberikan pemaparan tentang penelitian yang pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Sebelumnya, penelitian mengenai puisi karya Sapardi Djoko Damono dilakukan pada tahun 1990 oleh Yusak Irianto, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Indonesia dalam skripsinya yang berjudul Citraan dan Majas dalam Sajak-Sajak Sapardi Djoko Damono. Penelitian yang dilakukan Yusak Irianto ini membahas tentang citraan dan majas yang terdapat dalam dua puluh puisi karya Sapardi yang terdapat dalam buku kumpulan puisi Mata Pisau dan Perahu Kertas. Dari kedua puluh puisi yang dianalisis, ditemukan citraan pengelihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, gerakan, dan citraan intelektual, serta majas simile, metafora, personifikasi, alegori, simbolisme, ironi, sinekdoke, metonimi, kilatan, hiperbola, eufemisme. Penelitian lain dilakukan pada tahun 2010 oleh Kim Hong Eun, mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia dalam skripsinya yang berjudul Konsep Cinta dalam Puisi Yang Seong Woo dan Sapardi Djoko Damono. Penelitian ini membahas gambaran tentang cara pengungkapan konsep cinta dalam puisi Yang Seong Woo dan Sapardi Djoko Damono dengan cara membandingkan puisi-puisi dari kedua penyair tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sudut pandang dalam pengungkapan konsep cinta Yang Seong Woo dan Sapardi Djoko Damono. Perbedaan itu terlihat dari penggunaan pilihan kata dan gaya bahasa yang digunakan. Selain itu,
33
penggunaan unsur alam untuk mengungkapkan konsep cinta pun ditampilkan secara berbeda. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Septina Krismawati (Alumnus Sastra Indonesia, USD) dalam bentuk jurnal, yang dipublikasikan pada tahun 2013 oleh Lembaga Penelitian Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dengan judul Signifikansi Enam Puisi dalam Antologi Puisi Mantra Orang Jawa Karya Sapardi Djoko Damono: Kajian Semiotika Riffaterre. Penelitian ini pertujuan mencari signifikansi terhadap enam puisi yang terdapat dalam antologi puisi Mantra Orang Jawa yang disampaikan melalui tanda-tanda atau simbol, dengan menggunakan teori semiotika Riffaterre. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa enam puisi yang dianalisis memiliki signifikansi yang berbeda. Dalam masingmasing puisi tersebut, ditemukan adanya pandangan khusus dari masyarakat Jawa terhadap kehidupannya, pandangan hidup tersebut berfungsi untuk mendapat kesempurnaan hidup. Berdasarkan uraian tentang hasil penelitian terdahulu, maka dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan dalam menganalisis karya Sapardi Djoko Damono dan pada penelitian ini penulis akan membahas sesuatu yang berbeda dari penelitian yang sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya pencontekan atau plagiat terhadap hasil karya orang lain. Untuk itu, dalam penelitian kali ini, penulis mengangkat judul skripsi mengenai Penggunaan Gaya bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna dalam Kumpulan Puisi Mata Pisau Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Biografi Pengarang Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono merupakan seorang penyair yang sudah mulai menulis tahun lima puluhan dan memantapkan kedudukannya dalam sastra Indonesia dalam tahun tujuh puluhan. Ia lahir di Solo tanggal 20 Maret 1940. Setelah menamatkan Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada jurusan bahasa Inggeris, sedangkan pendidikan dasar sampai SMA ditempuh di Solo. Ia mengajar di IKIP Malang cabang Madiun, kemudian pindah ke Semarang dan menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang, kemudian pada tahun 1972, ia pindah ke Jakarta untuk untuk memimpin majalah sastra Horison serta dosen di Universitas Indonesia. Ia pernah menjadi redaktur puisi majalah Basis (1968 – 1975), lalu menjadi redaktur majalah Horison sambil menjabat Direktur Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah itu. selain menulis sajak, ia banyak menulis esai dan menterjemahkan. Buku kumpulan sajaknya yang sudah terbit ialah Dukamu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974). Terjemahannya yang sudah terbit, antara lain: Lelaki Tua dan Laut karya Hemingway (1973). Daisy Manis karya Henry James (1975), Puisi Brazillia Modern (1973), Sepilihan sajak George Seferis (1975), Puisi Klasik Cina (1976), Lirik Klasik Parsi (1977). Sapardi pernah mendapat kesempatan memperdalam pengetahuannya dalam bidang penulisan kreatif di Amerika, pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam dan aktif dalam berbagai seminar mengenai sastra dan bahasa. Sajak-sajaknya telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa asing seperti, Belanda, Inggeris, Prancis, Jepang.1 B. Analisis Data Gaya bahasa memiliki peran yang penting dalam sebuah puisi, dengan menggunakan gaya bahasa penyair menghadirkan kepuitisan dan makna yang
1
Majalah Horison, Sapardi Djoko Damono, (Jakarta: Majal Horison, 1985), h. 444
34
35
mendalam bagi pembacanya. Gaya bahasa sendiri memiliki banyak macam dan jenisnya, salah satu jenis gaya bahasa yang akan dianalisis oleh penulis adalah gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terdapat dalam buku kumpulan puisi Mata Pisau karya Sapardi Djoko Damono. Dalam buku kumpulan puisi tersebut terdapat 51 puisi, yang akan dianalisis penggunaan gaya bahasanya dan efek dari penggunaan gaya bahasa tersebut. Dalam teori Gorys Keraf, ada 37 jenis gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, dari 37 gaya bahasa yang ada, penulis hanya menemukan 16 gaya bahasa yang digunakan dalam kumpulan puisi Mata Pisau, sehingga penulis hanya menganalisi 16 gaya bahasa tersebut, yang terdiri: anastrof, hiperbola, asindeton, polisindeton, elipsis, eufemismus, erotesis, aliterasi, asonansi (gaya bahasa retoris) dan simile, metafora, alegori, personifikasi, hipalase, sinekdoke, metonimia (gaya bahasa kiasan). 1. Anastrof Gaya bahasa anastrof merupakan gaya bahasa yang membalikkan susunan kata yang biasa dalam sebuah kalimat biasanya disebut dengan inversi. Penggunaan gaya bahasa ini ditemukan dalam puisi “Di Beranda Waktu Hujan” dan “Hutan”. Penggunaan gaya bahasa anastrof pada puisi “Di Beranda Waktu Hujan” terdapat pada baris keempat belas. (1) “Di beranda kau duduk,” 2 Kalimat “di beranda kau duduk” merupakan kalimat inversi yang membalikkan susunan kata-katanya, kalimat tersebut dalam susunan yang biasanya atau wajarnya adalah “kau duduk di beranda”. Penggunaan gaya bahasa anastrof ini memberikan efek puitis pada kalimat tersebut karena memang penggunaan gaya bahasa tersebut sering sekali dan umumnya hanya terdapat dalam puisi dan karya sastra lain seperti prosa untuk membangun efek puitis atau keindahan pada karya sastra tersebut. Kalimat tersebut juga menghadirkan imaji atau citraan pengelihatan, yang membuat pembaca membayangkan sebuah beranda dan ada yang sedang duduk di beranda tersebut. Dari penggalan puisi tersebut, dapat dilihat pula penyampaian cerita 2
Sapardi Djoko Damono, Mata Pisau, cet. 4, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 19
36
dilakukan oleh penyair yang mengisahkan „kau lirik‟, tentang kenangankenangan yang dimiliki „kau lirik‟. Pada puisi “Hutan” penggunaan gaya bahasa anastrof terdapat pada baris kedua dan ketujuh dalam bentuk kalimat yang sama. (2) “Semakin sore hari.” 3 Kata-kata tersebut yang wajarnya “hari semakin sore” tetapi penyair mengubah susunannya menjadi “semakin sore hari” yang menghadirkan efek puitis dan juga memberi penekanan bahwa hari yang sudah sore menjadi semakin sore, penekanannya pada kata „semakin‟ bukan „hari‟. Penggunaan gaya bahasa ini dapat membantu pembaca dalam mengetahui makna dengan mengetahui penekanan pada kata „semakin‟. 2. Hiperbola Gaya bahasa hiperbola merupakan gya bahasa yang mengandung pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Gaya bahasa ini bertujuan untuk menegaskan atau menguatkan pandangan, perasaan, dan pikiran penulis. Ada lima puisi yang menggunakan gaya bahasa hiperbola ini, yaitu puisi “Hutan”, “Di Banjar Tunjuk, Tabanan”, “Malam Rama-Rama”, “Pada Suatu Pagi Hari”, dan “Hari Itu”. a) Puisi “Hutan” (3) “lengking kelepak burung”, 4 Kata “lengking” mengandung pernyataan yang berlebihan karena kata tersebut disandingkan dengan kata “kelepak”. Kata “lengking” memiliki arti bunyi nyaring dan keras, biasanya tentang suara jeritan manusia atau hewan5, sedangkan kata “kelepak” berarti tiruan bunyi sayap dikepakkepakkan; tiruan bunyi tangan menampar.6 Jadi, penyair melebihlebihkan bunyi sayap burung yang terbang seakan-akan nyaring dan keras. Hal ini, akan memberi rasa yang kuat pada pembaca dan memberi imaji suara sehingga pembaca ikut merasakan dan mendengar apa yang
3
Ibid, h. 52 Ibid, h. 52 5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 814 6 Ibid, h. 655 4
37
diungkapkan penyair, hal ini berkaitan dengan unsur intrinsik puisi yaitu pengimajian. b) Puisi “Di Banjar Tunjuk, Tabanan” Penggunaan gaya bahasa hiperbola dalam puisi “Di Banjar Tunjuk, Tabanan”, terdapat pada bait terakhir puisi tersebut. Pada bait terakhir puisi ini, menggambarkan tentang suara gong yang dipukul dengan keras dan „ia lirik‟ ketika mendengar suara gong itu tiba-tiba merasa ada ratusan kera yang mengepung dan merobek-robek tubuhnya. Gaya bahasa hiperbola dalam puisi ini digunakan dengan tujuan untuk memberi kesan yang berlebihan dan memberi rasa yang kuat bagi para pembacanya sehingga pembaca bisa merasakan apa yang diungkapkan penyair. (4) “ketika gong dipukul keras di tengah cerita ia tiba-tiba merasa beratus-ratus kera berloncatan mengepungnya dan merobekrobek tubuhnya lalu menguburkannya di bawah tumpukan batu dasar laut.” 7 Kata-kata “beratus-ratus kera” dan “merobek-robek tubuhnya” yang digunakan penyair untuk menegaskan atau menguatkan pandangan, perasaan, dan pikirannya agar para pembaca ikut menangkap serta merasakan apa yang diinginkan penyair melalui ungkapan-ungkapannya. Kata-kata “beratus-ratus kera” jika diganti dengan berpuluh-puluh kera tentu akan berbeda maknanya juga rasa yang dihadirkannya. Kata yang pertama akan memberi efek yang lebih kuat dan lebih menegaskan perasaan penyair. Begitu juga kata “merobek-robek tubuhnya”, kata „merobek-robek‟ memiliki makna yang lebih tegas dan dalam jika dibandingkan dengan kata „mencakar-cakar‟. Kata „merobek-robek tubuhnya‟
memiliki
nilai
rasa
yang
tinggi,
penyair
berusaha
menghadirkan rasa sakit melalui kata-kata tersebut, hingga pembaca seakan-akan merasakan rasa sakit itu, karena adanya imaji perabaan yang dibangun dari penggunaan kata-kata tersebut. Hal ini berkaitan dengan unsur intrinsik puisi, yaitu diksi dan pengimajian. 7
Sapardi, op. cit., h. 59
38
c) Puisi “Malam rama-Rama” Puisi “Malam rama-Rama” yang bercerita tentang seekor rama-rama yang berusaha mencapai cahaya dalam sebuah rumah. Puisi ini terdiri dari dua bait, penggunaan gaya bahasa hiperbola terdapat pada bait kedua. (5) “Ia ingin terbang menembus kaca menembus kelam menembus awan terlepas dari bumi.” 8 Penggunaan kata „menembus‟ yanng berulang-ulang menghadirkan efek yang berlebihan. Seorang manusia tidak mungkin bisa menembus kaca dan terbang tinggi hingga menembus awan, pernyataan yang memiliki kemungkinan terjadinya sangat kecil atau bahkan tidak mungkin menghadirkan efek berlebihah seperti pada penggalan puisi tersebut. Penggunaan kata „menembus‟ yang berulang-ulang juga berkaitan dengan unsur intrinsik puisi, yaitu nada. Dengan mengetahui jenis gaya bahasa hiperbola, pembaca akan mengetahui bagaimana nada atau intonasi saat puisi tersebut dibacakan. d) Puisi “Pada Suatu Pagi Hari” Puisi yang menggunakan gaya bahasa hiperbola selanjutnya adalah puisi “Pada Suatu Pagi Hari” yang bercerita tentang perasaan seseorang yang sedang sedih dan marah. Puisi ini terdiri dari dua bait, gaya bahasa hiperbola terdapat pada bait kedua yang menggambarkan kesedihan seseorang secara berlebihan. (6) “Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur.” 9 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menggambarkan kekesalan atau kemarahan seseorang dengan pernyataan yang berlebihan. Kata “menjerit-jerit” dan “berteriak-teriak” memiliki arti yang sama yaitu mengeluarkan suara yang keras secara berulang-ulang, tetapi di sini penyair menggunakan kedua kata tersebut. Penggunaan kata-kata “memecahkan 8 9
Ibid, h. 63 Ibid, h. 66
cermin”
dan
“membakar
tempat
tidur”
juga
39
menghadirkan efek yang berlebihan. Penggunaan kata-kata tersebut, bertujuan untuk menegaskan perasaan „ia lirik‟ yang sedang bersedih dan marah, sehingga sampai pada pembaca. Penggunaan kata-kata tersebut, merupakan usaha penyair untuk membangun emosi pembaca melalui gambaran emosional „ia lirik‟, ini berkaitan dengan unsur intrinsik puisi, yaitu rasa. Bukan hanya rasa, dengan mengetahui gaya bahasa hiperbola dan rasa yang digambarkan penyair, pembaca akan terbantu dalam menentukan nada puisi saat akan membacakan puisi. e) Puisi “Hari itu” Puisi yang terakhir adalah “Hari Itu”, pada puisi ini penggunaan gaya bahasa hiperbola terdapat pada bait pertama baris terakhir. (7) “Kita masih juga menanti ketika angin membawa derai ombak; kita bayangkan kuntum-kuntum karang terbuka menyambut ujung ombak, perciknya menutupi cakrawala.” 10 Kata-kata yang bergaris bawah merupakan pernyataan yang berlebihan karena pada pernyataan tersebut, penyair menggambarkan percik air ombak yang menghantam karang dapat menutupi cakrawala. Kata “percik” berarti titik air yang berhamburan11, dan “cakrawala” berarti lengking langit atau langit (tempat bintang-bintang).12 Melalui gaya bahasa hiperbola yang digunakan penyair dalam puisi ini, pembaca akan lebih dapat merasakan betapa besarnya ombak yang menghantam karang hingga perciknya dapat menutupi cakrawala yang begitu luas. Penggunaan gaya bahasa hiperbola ini juga menghadirkan imaji atau citraan pengelihatan dan pendengaran, yang membuat pembaca membayangkan lautan dengan ombak dan batu karangnya serta mendengar percik-percik ombak yang menghantam karang. 3. Asindeton Asindeton merupakan gaya bahasa bersifat padat dan mampat yang terdiri dari beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat namun tidak dihubungkan dengan kata sambung. Dalam hal ini, penulis menemukan gaya bahasa 10
Ibid, h. 46 Depdiknas, op. cit., h. 1053 12 Ibid, h. 237 11
40
asindeton pada tiga puisi karya Sapardi yang terdapat dalam kumpulan puisi Mata Pisau, yaitu “Hujan dalam Komposisi, 2”, “Variasi Pada Suatu Pagi”, dan “Malam Itu Kami Di Sana”. Puisi pertama yang menggunakan gaya bahasa asindeton yaitu “Hujan dalam Komposisi, 2” Pada bait pertama penyair menggunakan kata-kata sambung seperti, lalu, kemudian, dan untuk menghubungkan frasa satu dengan frasa lainnya, namun, tidak semua frasa diberi kata sambung. Berikut kutipannya. (8) “mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, terglincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi”13 Jadi, dalam bait puisi tersebut penyair menggunakan gaya bahasa asindenton sekaligus juga polisindeton. Pada bait kedua, penyair juga menggunakan gaya bahasa asindeton, ia menghubungkan frasa-frasa tanpa menggunakan kata sambung. Penggunaan gaya bahasa ini memberi efek penguatan pada penggambaran keadaan dan suasana, sehingga memberi rasa dan kesan yang kuat bagi pembaca. (9) “hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan”14 Puisi selanjutnya yang menggunakan gaya bahasa asindeton adalah “Variasi Pada Suatu Pagi” Sama halnya dengan puisi “Hujan dalam Komposisi, 2”, polisindeton dan asindeton juga digunakan dalam puisi “Variasi Pada Suatu Pagi” pada bait satu, dua, dan tiga. Penyair menggunakan tanda koma (,) dan ada beberapa penggunaan kata sambung pada bait pertama. (10) (i) sebermula adalah kabut; dan dalam kabut senandung lonceng, ketika selembar daun luruh, 13 14
Sapardi, op. cit., h. 14 Ibid.
41
setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput (kau dengarkan juga seperti suara mengaduh) (ii) dan cahaya (yang membasuhmu pertama-tama) bagi capung, kupu-kupu, dan bunga; cahaya (yang menawarkan kicau burung) susut tiba-tiba pada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisa (iii) menjelma bayang-bayang. Bayang-bayang yang tiba-tiba tersentak ketika seekor burung, menyambar capung (selamat pagi pertama bagi matahari), risau bergerak-gerak Ketika sepasang kupu-kupu merendah ke bumi basah, bertarung15 Pada bait pertama tersebut, penyair menggambarkan beberapa kejadian dengan menggunakan penghubung berupa tanda koma (,) serta kata penghubung „dan‟, „ketika‟ ini menandakan kejadian-kejadian yang terjadi padat, tidak berselang atau tanpa jeda. Jadi, ketika daun jatuh, saat itu juga daun tersebut setengah bermimpi, dan daun itu jatuh ke bumi, setelah itu hilang (luput). Hal yang sama, juga terdapat pada bait kedua dan ketiga. Sama halnya dengan bait pertama, pada bait kedua dan ketiga efek yang dihadirkan pun sama, citraannya juga, yaitu citraan pengelihatan. Penyair dengan lugas memaparkan kejadian-kejadian yang ada dengan padat tanpa mengurangi gambaran suasana yang ada dan tidak mengurangi efek puitisnya. Sehingga pembaca dapat langsung menangkap imaji penyair melalui citraan pengelihatan yang dihadirkan. Pembaca secara otomatis akan membayangkan bagaimana daun itu luruh sambil setengah bermimpi, hingga akhirnya jatuh ke bumi, dan hilang dari pandangan. Puisi ketiga yaitu “Malam Itu Kami Di Sana”, penggunaan gaya asindeton terdapat pada baris kesembilan hingga baris ketiga belas. (11) “...ketika tiada orang yang bergegas, yang cemas, yang menantinanti hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras tiba-tiba; sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udara;”16 Sama halnya dengan puisi sebelumnya, dengan penggunaan gaya bahasa ini penyair 15 16
Ibid., h. 16 Ibid., h. 18
menggambarkan
beberapa
kejadian
dengan
menggunakan
42
penghubung berupa tanda koma (,) sehingga bersifat padat dan mampat. Penggunaan gaya bahasa ini terkait dengan ritme atau irama ketika puisi tersebut dibaca. 4. Polisindeton Gaya bahasa polisindeton kebalikan dari asindeton, jika asindeton tidak menggunakan kata sambung untuk menghubungkan kata, frasa, dan klausa, polisindeton justeru menggunakan kata sambung untuk menghubungkan kata, frasa, atau klausa. Dalam hal ini, penulis menemukan gaya bahasa asindeton pada empat puisi karya Sapardi yang terdapat dalam kumpulan puisi Mata Pisau, yaitu “Hujan dalam Komposisi, 2”, “Variasi Pada Suatu Pagi”, “Catatan Masa Kecil, 1”, “Catatan Masa Kecil, 3”, dan “Akuarium”. Puisi pertama yang menggunakan gaya bahasa polisindeton yaitu “Hujan dalam Komposisi, 2” Pada bait pertama penyair menggunakan kata-kata sambung seperti, lalu, kemudian, dan untuk menghubungkan frasa satu dengan frasa lainnya, yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian yang berurutan tanpa selang waktu yang lama. (12)“mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, terglincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali kebumi”17 Gaya bahasa polisindeton juga digunakan dalam puisi “Variasi Pada Suatu Pagi” pada bait pertama. Pada puisi ini, penggambaran keadaan dan suasana menggunakan gaya bahasa yang sama dengan puisi “Hujan dalam Komposisi,
2”
penyair
menggunakan
gaya
polisindenton
untuk
menggambarkan suasana dengan padat tanpa penjabaran yang panjang, namun pembaca dapat menangkapnya. Penyair menggunakan kata sambung untuk menghubungkan frasa-frasa yang menggambarkan suatu kejadian pada bait pertama. (13)(i) sebermula adalah kabut; dan dalam kabut senandung lonceng, ketika selembar daun luruh, 17
Ibid., h. 14
43
setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput (kau dengarkan juga seperti suara mengaduh)18 Pada bait pertama tersebut, penyair menggambarkan beberapa kejadian dengan menggunakan penghubung berupa tanda koma (,) serta kata sambung dan, ketika ini menandakan kejadian-kejadian yang terjadi padat, tidak berselang atau tanpa jeda, seperti yang sudah dijelaskan pada penggunaan gaya asindeton sebelumnya. Penggunaan gaya bahasa polisindenton juga terdapat dalam puisi “Catatan Masa Kecil, 1”. Penyair menggunakan kata sambung dan secara berturutturut dalam satu kalimat untuk menggambarkan kondisi sebuah sumur mati dan „ia lirik‟. (14)“Ia menjenguk ke dalam sumur mati itu dan nampak garis-garis patah dan berkas-berkas warna perak dan kristal-kristal hitam yang pernah disaksikannya ketika ia sakit dan mengigau dan memanggil-manggil ibunya.”19 Penggunaan kata sambung dan menghadirkan efek kepadatan dan kejelasan gambaran tentang suatu kondisi sumur mati yang dilihat oleh „ia lirik‟, yang juga digunakan untuk menggambarkan kondisi „ia lirik‟ ketika sedang sakit ia mengigau memanggil-manggil ibunya. Pada puisi “Catatan Masa Kecil, 3” penggunaan gaya bahasa polisindeton ini terdapat pada keseluruhan puisi, karena memang puisi ini berbentuk seperti cerita sehingga hanya terdiri dari satu bait saja. Berikut kutipannya. (15)“ia turun dari ranjang lalu berjingkat dan membuka jendela lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di luar luar-semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada yang akan lewat memberitahukan hal itu padanya dan ia terus bertanya-tanya sampai akhirnya terdengar ayam jantan berkokok tiga kali dan ketika ia menoleh tampak ibunya sudah berdiri di belakangnya....”20 Pada puisi tersebut, penyair menggunakan kata sambung atau penghubung „dan‟ untuk menghubungkan antar klausa yang membentuk puisinya seperti
18
Ibid., h. 16 Ibid., h. 37 20 Ibid., h. 39 19
44
sebuah cerita. Penyair menggunakan kata penghubung „dan‟ untuk merangkaikan suatu kejadian atau keadaan dengan keadaan lainnya yang dialami oleh „ia lirik‟ yang juga bertindak sebagai pelaku. Kata sambung atau penghubung „dan‟ juga digunakan dalam puisi “Akuarium”. Penyair menggunakan kata „dan‟ berturut-turut untuk menghubungkat kata-kata yang sederajat. (16)“kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan!”21 Penyair menggambarkan bahwa seluruh bagian tubuh „nya lirik‟ adalah ikan, tetapi penyair menggunakan gaya bahasa polisindeton ini untuk menggambarkan dengan detail, bagian demi bagian fisik „nya lirik‟ pada pembaca. Penggunaan gaya bahasa ini memberi efek penguatan pada penggambaran fisik, sehingga memberi rasa dan kesan yang kuat bagi pembaca hingga pembaca tersentuh dan terlibat secara emosional, pembaca juga akan terdorong untuk berimajinasi, ikut membayangkan tentang apa yang telah digambarkan oleh penyair dalam puisinya. Sama seperti gaya bahasa asindeton, gaya bahasa polisindeton juga dapat membangun ritme atau irama terkait dengan cepat lambatnya suara saat membacakan puisi. 5. Elipsis Gaya bahasa elipsis merupakan suatu gaya yang menghilangkan suatu unsur dalam kalimat dan menggantinya dengan tanda titik tiga (...) yang dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca. Gaya bahasa ini terdapat pada empat puisi yang terdapat dalam buku kumpulan Mata Pisau, yaitu “Akuarium”, “Sajak, 1”, “Muara”, dan “Bola Lampu”. Gaya bahasa elipsis yang terdapat dalam puisi “Akuarium” terletak pada akhir puisi tersebut. Penggunaan gaya elipsis pada puisi ini bertujuan untuk mengajak pembaca berpikir dan berimajinasi untuk melanjutkan lirik puisi tersebut. (17)“Aku adalah air,” teriakmu, “adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah ...”22 21 22
Ibid., h. 48 Ibid.
45
Pada penggalan puisi tersebut penyair memberikan citraan pengelihatan dengan menggambarkan „aku lirik‟ adalah air, ganggang, lumut, gelembung udara, dan kaca, setelah itu penyair menghilangkan bagian dari puisinya dan menggantinya dengan tanda titik tiga (...). Penggunaan gaya bahasa elipsis oleh penyair dengan tujuan untuk memberi kebebasan pada pembaca agar menafsirkan sendiri bagian yang dihilangkan dengan mengimajinasikannya. Di sini, pembaca memiliki peran dan kewenangan untuk berimajinasi tidak sekedar membaca begitu saja dengan begitu pembaca juga akan memahami makna dari puisi tersebut. Penggunaan gaya bahasa elipsis pada puisi “Sajak, 1” juga terdapat pada bagian akhir puisi. Sama halnya dengan puisi “Akuarium” penggunaan gaya bahasa elipsis oleh penyair juga bertujuan agar pembaca menafsirkan sendiri bagian yang dihilangkan oleh penyair. Setiap pembaca memiliki imajinasi dan penafsiran yang berbeda, pembaca akan menafsirkan bagian yang tidak dicantumkan oleh penyair dengan penafsirannya sendiri. (18)“Baiklah, kamu pun bercakap sepanjang malam: “Tetapi begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai beterbangan dan menyesakkan udara dan ...”23 Puisi “Sajak, 1” bercerita tentang „kami lirik‟ yang sedang asik bercakap sepanjang malam saat turun hujan. Penyair menggambarkan kata-kata yang diucapkan oleh „kami liri‟ menjadi abu dan mulai beterbangan yang menyesakkan udara. Penyair menggunakan kata penghubung „dan‟ sebelum meberi tanda elipsis (...) yang menandakan bahwa ada bagian yang tidak diungkapkan oleh penyair dan mendorong pembaca untuk menafsirkan bagian yang hilang tersebut. Penggunaan gaya elipsis juga terletak di akhir lirik puisi “Muara”, berbeda dengan puisi sebelumnya yang menggunakan kata penghubung „dan‟ sebelum elipsis. Puisi “Muara” ini tidak menggunakan kata penghubung „dan‟ atau kata penghubung yang lainnya untuk menandakan ada bagian yang tidak diungkapkan.
23
Ibid., h. 49
46
(19)“dan, sungguh, aku tak berhak mengusutnya sebab bahkan lubuklubukku, dan juga lubuk-lubukmu, tidaklah sedalam ...”24 Pada penggalan puisi tersebut dapat terlihat bahwa penyair tidak menggunakan kata penghubung, walaupun demikian, pembaca akan tetap dapat mengetahui bahwa ada bagian dari puisi tersebut yang tidak diungkapkan oleh penyair. Pembaca dapat mengetahui hal tersebut karena pada bagian akhir puisi kata yang digunakan sebelum elipsis (...) merupakan kata yang membutuhkan penjelas atau keterangan. Kata-kata „tidaklah sedalam‟ masih kurang lengkap dan akan terasa ganjil jika tidak diberi keterangan, dan tentunya pembaca akan bertanya-tanya „sedalam apa?‟ yang nantinya akan mendorong pembaca untuk menerka-nerka dan menafsirkan sendiri bagian yang hilang tersebut. Selanjutnya puisi “Bola Lampu” yang terdiri dari dua bait, dan penggunaan elipsisi terletak pada bagian akhir bait pertama puisi tersebut. Sama halnya dengan puisi “Muara” pada puisi “Bola Lampu” ini penyair juga tidak menggunakan kata penghubung sebelum tanda elipsis (...). Penggunaan tanda elipsis (...) pada puisi “Bola Lampu” ini sebenarya memiliki makna yang sama dengan dll (dan lain-lain). (20)“Itu harimau.” Hore!” Itu gajah, itu babi hutan, itu kera ...”25 Pada baris puisi tersebut, penyair menyebutkan nama-nama binatang secara berturut-turut kemudian penyair memberi tanda elipsis (...) pada bagian akhir baris puisi. Hal tersebut menandakan bahwa masih ada namanama binatang lain yang tidak disebutkan oleh penyair. Penyair memberi kesempatan kepada pembaca untuk berimajinasi dan menafsirkan binatangbinatang apa saja selanjutnnya. Gaya bahasa elipsis yang terdapat dalam puisi-puisi tersebut, dapat mempengaruhi ritme atau irama saat puisi tersebut dibacakan.
24 25
Ibid., h. 56 Ibid., h. 64
47
6. Eufemismus Gaya bahasa eufemisme atau eufemismus ini merupakan gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang mengandung arti lebih baik atau ungkapan yang halus agar tidak menyinggung perasaan orang. Penggunaan gaya bahasa ini terdapat pada puisi “Kepada I Gusti Ngurah Bagus” puisi tersebut mengungkapkan tentang dewa yang menciptakan padi, bunga, dan gadis yang menjunjung untaian padi di kepalanya dan menaruh bunga di telinganya dan menggambarkan dewa yang sedang menegur perempuan tua, untuk mempersiapkan kematiannya sesuai adat orang yang beragama Hindu. Penyair menggunakan gaya bahasa eufemisme ini untuk mengungkapkan kematian seorang perempuan tua dengan ungkapan yang lebih halus agar tidak terdengan kasar serta untuk memberikan efek puitis yang lebih. (21)“dewa akan berdiri di gerbang pura pada suatu hari nanti dan menegur perempuan yang berjalan lewat itu, katanya: “perempuan tua, tumpuklah padimu di lumbung dan hanyutkan bunga itu di sungai; biar kuperintahkan orang-orang itu membuat api di tanah lapang agar terbakar sempurna jasadmu mengabu”26 Pada kutipan puisi tersebut terdapat ungkapan “jasadmu mengabu” yang merupakan suatu ungkapan yang mengandung arti “mati”. Namun, penyair menggunakan ungkapan lain yang lebih halus dari kata mati, meninggal, wafat yang juga menyesuaikan dengan makna keseluruhan puisi yang menggambarkan kebiasaan atau kepercayaan orang Bali. Penyair memberi judul puisi “Kepada I Gusti Ngurah Bagus” untuk puisinya ini, karena memang I Gusti Ngurah Bagus merupakan seorang intelektual yang berasal dari Bali. Masyarakat Bali mayoritas beragama Hindu, dalam agama Hindu orang mengenal Tuhannya dengan sebutan dewa, dan pada puisi tersebut penyair menggunakan kata dewa bukan Tuhan. Kebiasaan orang Hindu apabila ada orang yang sudah mati, jasadnya akan dibakar hingga menjadi abu. Hal tersebutlah yang mendasari ungkapan “jasadmu mengabu” yang berarti bahwa seseorang tersebut sudah mati. Kata-kata “jasadmu mengabu”
26
Ibid., h. 61
48
terdapat kesamaan bunyi vokal /u/ yang akan memperindah puisi saat dibacakan. 7. Erotesis Gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris merupakan gaya bahasa yang menggunakan kalimat tanya tanpa menghendaki adanya susatu jawaban. Penggunaan kalimat tanya tersebut hanya bertujuan untuk memberi penekanan dan efek yang lebih mendalam untuk pembaca. Berikut analisis tentang penggunaan gaya bahasa erotesis yang terdapat pada puisi-puisi Mata Pisau. a) Puisi “Hujan dalam Komposisi, 1” Penggunaan gaya bahasa erotesis pada puisi “Hujan dalam Komposisi, 1” terdapat pada bait pertama dan ada dua kalimat tanya. Penggunaan gaya bahasa ini untuk memberi efek yang baik dan penekanan yang wajar dari suatu objek. (22)“Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan?”27 Pertanyaan retoris tersebut
bertujuan untuk memberi penekanan
bahwa „kau lirik‟ sesungguhnya tidak menangkap apapun dari swara hujan, dari daun bugenvil, dari bau tanah, atau pun dari ricik air. Penggunaan gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris ini, juga akan mempengaruhi nada. Nada akan menggambarkan sikap penyair melalui intonasi yang ditimbulkan oleh penggunaan gaya bahasa erotesis. Melalui penggunaan gaya bahasa ini, sebenarnya penyair mengajak pembaca untuk menangkap sesuatu yang tersembunyi di balik suara hujan, daundaun yang basah yang teratur mengetuk jendela, dari bau tanah, dari suara ricik air yang turun ke selokan. Dengan menggunakan kata-kata yang membangun imaji pembaca, imaji pendengaran yang mendorong pembaca membayangkan suara air hujan, suara ketukan daun bugenvil,
27
Ibid., h. 13
49
dan suara ricik air di selokan, serta imaji pencuman yang mengajak pembaca membayangkan mencium bau tanah. b) Puisi “Hujan Dalam Komposisi, 2” Pada puisi kedua “Hujan dalam Komposisi, 2”, masih tentang hujan, pertanyaan retorisnya terdapat pada bair pertama baris pertama “apakah yang kita harapkan dari hujan?” dan pertanyaan retoris selanjutnya pada bait kedua baris pertama “apakah yang kita harapkan?”. Pertanyaan retoris tersebut menekankan bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari hujan, hujan hanyalah air yang jatuh ke bumi. Pertanyaan retoris yang kedua lebih menekankan lagi bahwa memang tidak ada yang bisa diharapkan dari hujan. Puisi ini terdiri dari tiga bait, baris pertama pada setiap bait merupakan pertanyaan retoris. (23)“Apakah yang kita harapkan dari hujan?”28 Pada bait pertama, penyair menuliskan pertanyaan tersebut, bertujuan untuk menegaskan bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari “hujan” dan “kita” tidak bisa mengharapkan sesuatu hal dari hujan karena hujan hanyalah air yang jatuh ke bumi karena proses alam. Pada bait kedua, penyair mempertegas pertanyaan pada bait yang pertama dengan pertanyaan „Apakah yang kita harapkan?‟ yang tujuannya sama seperti pertanyaan yang pertama, bahwa memang tidak ada yang bisa diharapkan dari hujan yang jatuh di jalan dan mengalir menyusuri selokan. Pada bait terakhir, penyair hanya menggunakan kata tanya „Apakah?‟ untuk menggambarkan perasaan penyair tentang rasa penasaran terhadap hujan. Namun, sebenarnya penyair mengungkapkan bahwa sebenarnya, selalu ada hal yang diharapkan dari hujan. Penggunaan gaya bahasa erotesis pada puisi akan mempengaruhi nada saat puisi dibacakan dan melalui nada tersebutlah dapat ditangkap sikap penyair yang mengajak pendengar atau pembaca untuk memahami hujan, bahwa hujan bukan hanya air yang turun dari langit dan jatuh ke lautan, bahwa ada sesuatu yang lain dari hujan yang bisa diharapkan. 28
Ibid., h. 14
50
c) Puisi “Kabut Pagi” Puisi ini terdiri dari dua bait, yang pada setiap baitnya terdapat pertanyaan retoris yang sama, yaitu: (24) “siapa berbisik di seberang kabut?”29 Pertanyaan tersebut tidak membutuhkan jawaban dan bukan untuk mencari sebuah informasi tentang “siapa” yang berbisik, tetapi pertanyaan tersebut bertujuan menegaskan dan memberi imaji suara atau citraan pendengaran kepada pembaca bahwa tentang suara berbisik di balik kabut. d) Puisi “Malam Itu Kami Di Sana” Pertanyaan retoris yang terdapat pada puisi tersebut terletak pada baris pertama, yaitu: (25)“kenapa kau bawa aku ke mari, saudara?”30 Pertanyaan retoris tersebut menekankan bahwa „aku lirik‟ sudah mengetahui bahwa „kau lirik‟ tidak memiliki alasan dan tujuan kenapa „kau lirik‟ membawa „aku lirik‟ ke sebuah stasiun sehingga pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab. e) Puisi “Di Beranda Waktu Hujan” Puisi ini terdiri dari tiga bait, pada setiap bait terdapat penggunaan gaya bahasa erotesis. Penggunaan gaya bahasa ini untuk membangun efek yang lebih mendalam dan penekanan tentang suatu hal yang dipertanyakan. (26)“ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan tak pernah kaulihat,
yang
menjelma
semacam
nyanyian,
semacam
keheningan) terbang; ke mana pula siut daun yang berayun jauh dalam setiap impian?”31 Pada penggalan bait pertama puisi tersebut, penyair menggambarkan suasana sepi yang digambarkan melalui pertanyaan retoris tersebut, bahwa tidak ada kicauan burung dan tidak ada angin yang menjatuhkan daun-daun, hanya ada „kau lirik‟ yang sedang duduk sendiri di beranda 29
Ibid., h. 17 Ibid., h. 18 31 Ibid., h. 19 30
51
melamunkan hal-hal yang dahulu. Melalui gambaran suasana yang sepi tersebut, penyair membangun rasa, agar pembaca dapat terlibat secara emosional dan ikut merasakan apa yang „kau lirik‟ rasakan, sehingga pembaca atau pendengar bisa merasakan kesepian yang dirasakan „kau lirik‟ (27)“di mana pula sekawanan kupu-kupu itu, menghindar dari pandangku; di mana pula (ah, tidak!) rinduku yang dahulu?”32 Pada bait kedua, pertanyaan retoris digunakan untuk menggambarkan suasaan dan perasaan „kau lirik‟ yang sedang duduk di beranda. Melalui pertanyaan retoris, penyair menggambarkan perasaan „kau lirik‟ yang gelisah, membayangkan kenangannya yang dahulu, tentang kupu-kupu yang tak lagi dilihatnya, tentang rasa rindu yang dulu pernah dirasakan. Hal ini juga terkait dengan rasa emosional dalam puisi, yang membawa pembaca atau pendengar ikut merasakan kegelisahan. (28)“Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar kepada hujan, sendiri, “Di manakah sorgaku itu: nyanyian yang pernah mereka ajarkan padaku dahulu, kata demi kata yang pernah kuhafal bahkan dalam igauanku?””33 Pertanyaan-pertanyaan retoris tersebut digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dan suasana di mana „kau lirik‟ sedang mengenang kenangan-kenangannya dahulu. Hal ini memberi efek yang lebih dalam dan kuat mengenai keadaan atau suasana yang digambarkan penyair karena nilai rasa emosional yang terdapat dalam puisi tersebut yang dihadirkan melalui sebuah pertanyaan dalam ujaran langsung „kau lirik‟ yang sama sekali tidak menghendaki adanya sebuah jawaban. f) Puisi “Taman Jepang Honolulu” (29)“inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil: jalan setapak yang berbelit, matahari yang berteduh di bawah bunga-bunga, ricik air
32 33
Ibid., h. 19 Ibid.
52
yang membuat setiap jawaban tertunda”34 Gaya bahasa erotesis pada puisi tersebut bertujuan untuk menekankan sebuah bentuk ketentraman, bahwa ketentraman adalah di mana hutan kecil dengan segala keindahannya dan hal-hal yang ada di dalamnya. Dengan
menggunakan
pertanyaan
retoris
tersebut,
penyair
menggambarkan sebuah ketentraman yang ditemukan di sebuah hutan kecil yaitu Taman Jepang, Honolulu. Kata-kata yang digunakan dalam kutipan puisi tersebut juga membangun imaji pengelihatan yang akan membuat pembaca atau penddengar membayangkan sebuah hutan kecil dengan jalan setapak dan bunga-bunga yang ada di dalamnya. g) Puisi “New York, 1971” (30)“Tetapi kaudengarkah swara-swara itu?”35 Pertanyaan
retoris
tersebut
terdapat
di
akhir
puisi,
yang
mengungkapkan bahwa ada suara-suara yang didengar oleh si penanya. Pertanyaan tersebut juga menunjukkan adanya keraguan dalam diri si penanya tentang suara-suara yang didengarnya apakah juga didengar oleh orang lain. Penyair menggambarkan sebuah keraguan tokoh dalam lirik puisinya dengan gaya bahasa erotesis, yang juga dapat memberi efek yang kuat bagi pembaca sehingga membuat pembaca penasaran dan berusaha membayangkan suara-suara yang dipertanyakan itu. h) Puisi “Cahaya Bulan Tengah Malam Hari” (31)“adakah hujan sudah reda sejak lama?”36 Pertanyaan tersebut diajukan oleh penyair bukan untuk mendapatkan jawaban dari pembaca melainkan untuk memberi penegasan. Penggunaan gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris tersebut memberikan efek penegasan tentang suasana malam yang cerah oleh cahaya bulan karena hujan memang sudah tidak turun sejak lama. i) Puisi “Narsisus” (32)“seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
34
Ibid., h. 23 Ibid., h. 25 36 Ibid., h. 33 35
53
Pertanyaan tersebut merupakan gaya bahasa erotesis, sama halnya dengan puisi sebelumnya, pertanyaan tersebut tidak membutuhkan jawaban. Pertanyaan tersebut memberikan penekanan bahwa “siapa” sama seperti “aku”. Kata “siapa” menunjukkan seseorang yang sedang merasakan kerinduan. (33)“pandangmu berpendar, bukan?”37 Pertanyaan kedua pada puisi ini, menggambarkan perasaan “siapa” yang sudah terobati rasa rindunya. Jadi, pertanyaan tersebut bukan untuk mendapatkan jawaban melainkan untuk menegaskan atau menekankan suatu gambaran suasana hati. j) Puisi “Matahari Menepi” (34)“Siapa mengajarmu menatapku begitu?”38 Pertanyaan pada puisi tersebut, bertujuan untuk memberi penekanan sebuah gambaran tentang sebuah tatapan “mu” terhadap “ku” yang tidak seperti biasanya. Pada penggalan puisi tersebut juga terdapat rima atau persamaan bunyi vokal /u/ pada kata mengajarmu, menatapku, begitu, yang akan memperindah puisi saat dibacakan. k) Puisi “Perjalanan” (35)“hei, siapa mengatakan bahwa telah bertebaran serbuk baja dalam dendang nina bobok nenek tua?”39 Penyair menggunakan gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris untuk memberi suatu penekanan yang diungkapkannya dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan pada kitipan puisi tersebut, menekankan bahwa ada seseorang yang telah mengatakan sesuatu yang tidak baik tentang dendang nina bobok oleh nenek tua, bahwa ada sesuatu yang tersirat dalam dendang nina bobok yang sering didendangkan oleh para nenek. Penggunaan gaya bahasa erotesis pada penggalan puisi tersebut juga menimbulkan nada atau intonasi yang akan membantu pembaca atau pendengar menangkap sikap penyair, dari penggalan puisi tersebut dibaca
37
Ibid., h. 34 Ibid., h. 44 39 Ibid., h. 45 38
54
dengan nada yang mengancam, dengan menggunakan kata hei pada awal kalimat. l) Puisi “Hutan” (36)“Kalau malam tiba nanti, siapa akan menuduh bahwa aku telah membunuhmu?”40 Penggunaan gaya bahasa erotesis yang terlihat pada penggalan puisi tersebut, merupakan salah satu upaya penyair membangun suasana dan memberi penekanan tentang „aku lirik‟ yang telah membunuh „mu lirik‟. Dari penggunaan gaya bahasa erotesis pada penggalan puisi tersebut juga terdengar nada yang menantang, bahwa tidak ada yang akan menuduh „aku lirik‟ tentang pembunuhan yang telah dilakukannya. Nada tersebut akan terasa saat puisi tersebut dibacakan, dengan mengetahui makna melalui penggunaan gaya bahasa, pembaca akan dapat mengetahui pula nada saat membacakan puisi tersebut. 8. Aliterasi Gaya bahasa aliterasi merupakan bentuk pengulangan bunyi konsonan yang sama. Gaya bahasa ini sering dijumpai dalam puisi untuk menghadirkan efek irama yang merdu dan puitis dan terkadang pada prosa untuk memberi penekanan pada makna atau maksud yang ingin disampaikan. Penggunaan gaya bahasa aliterasi ini terdapat pada puisi “Hujan dalam Komposisi, 2” tepatnya pada bait kedua. Pengulangan bunyi yang dihadirkan adalah pengulangan bunyi konsonan [j]. Gaya bahasa ini menghadirkan efek yang sama dengan asonansi, yaitu memberikan efek puitis dan kemerduan irama saat membaca puisi tersebut. (37)“hujan juga jatuh di jalan yang panjang....”41 9. Asonansi Gaya bahasa asonansi yaitu gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Gaya bahasa ini terdapat pada empat puisi dalam kumpulan puisi Mata Pisau, yaitu “Hujan dalam Komposisi, 2”, “Variasi Pada Suatu
40 41
Ibid., h. 52 Ibid., h. 14
55
Pagi”, “Ketika Berhenti Di Sini”, dan “Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago”. Dalam puisi “Hujan dalam Komposisi, 2” gaya bahasa asonansi terdapat pada bait pertama, baris keenam dan ketujuh. Gaya bahasa ini memang sering digunakan oleh para penyair dalam puisi-puisinya. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek puitis dan kemerduan irama saat puisi tersebut dibacakan. (38)“melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi”42 Pengulangan bunyi vokal [i] pada kata „melenting‟ dan „genting‟ yang membentuk suku kata yang sama yaitu „ting‟ dan pada kata „kembali‟ dan „bumi‟. Pengulangan bunyi vokal [a] pada kata „tumpah‟, „pekarangan‟, dan „rumah‟. Pengulangan bunyi vokal [i] dan [a] membangun efek kemerduan irama saat baris puisi tersebut dibacakan. Dalam puisi “Variasi Pada Suatu Pagi” gaya asonansi terdapat pada bait kedua, baris ketiga, empat, dan lima yaitu berupa pengulangan bunyi vokal [a]. (39)“...Cahaya (yang menawarkan kicau burung) susut tiba-tiba pada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisa”43 Gaya bahasa ini menghadirkan efek irama yang merdu dan puitis ketika membacanya. Pengulangan bunyi vokal [a] pada puisi ini tidak semua pada akhir kata, tetapi hampir semua kata-kata terdapat vokal [a]. Sama halnya dengan penggunaan gaya asonansi pada puisi sebelumnya. Dalam puisi “Ketika Berhenti Di Sini” pengulangan bunyi vokal yang sama pun tidak teratur, maksudnya tidak semua pengulangan bunyi vokal terletak pada akhir kata setiap kata, tetapi setiap kata mengulang bunyi vokal yang sama yaitu vokal [i]. (40)“ketika berhenti di sini ia mengerti...”44 Puisi terakhir yang menggunakan gaya asonansi adalah “Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago” yang terdapat pada bait pertama, baris terakhir. 42
Ibid., h. 14 Ibid., h. 16 44 Ibid., h. 20 43
56
Penggunaan gaya asonansi ini berupa pengulangan bunyi vokal [a] yang terdapat pada setiap kata-kata dalam baris puisi tersebut. Sama halnya dengan puisi-puisi sebelumnya, pengulangan bunyi vokal [a] ini juga memberikan efek kemersuan irama dan kepuitisan bahasa yang terasa saat membacanya. (41)“...sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga.”45 Dari semua puisi yang menggunakan gaya asonansi, penyair hanya menggunakan gaya tersebut pada baris-baris tertentu saja, tidak pada setiap baris yang ada dalam bait-bait puisinya. Hal ini membuat baris yang terdapat pengulanga bunyi vokal dalam puisi-puisi tersebut lebih menonjol dari barisbaris yang lainnya dan dengan penggunaan gaya bahasa asonansi ini pembaca dapat menangkap penekanan-penekanan pada setiap kata yang memiliki pengulangan bunyi vokal serta dapat menimbulkan kemerduan ketika puisi tersebut dibacakan. 10. Simile Gaya bahasa simile merupakan agaya bahasa yang membandingkan suatu hal dengan suatu yang lain melalui penggunaan kata-kata: bagaikan, seperti, laksana yang berfungsi untuk membandingan dua hal yang dianggap memiliki kesamaan. Dalam buku kumpulan puisi Mata Pisau hanya ada dua puisi yang menggunakan gaya bahasa simile, yaitu puisi “Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago” dan “Hutan”. Pada puisi “Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago” penyair menggunakan kata „seperti‟ untuk membandingkan dua hal yang dianggap sama. Gaya bahasa ini terdapat pada bait pertama, baris ketiga: (42) Kata
“beberapa wajah yang seperti mata tombak,”.46 “seperti”
dalam
penggalan
puisi
tersebut
berfungsi
untuk
membandingkan wajah dengan mata tombak, di mana tombak itu sendiri berarti senjata tajam dan runcing, bermata dua, bertangkai panjang, untuk menusuk dari jarak dekat atau jauh (dengan cara melemparkannya47, yang berarti mata tombak itu sendiri merupakan bagian dari tomabak yang
45
Ibid., h. 26 Ibid. 47 Depdiknas, op. cit., h. 1478 46
57
runcing dan tajam, sedangkan wajah adalah bagian depan dari kepala.48 Berarti makna dari ungkapan simile beberapa wajah yang seperti mata tombak itu bahwa beberapa wajah tersebut memiliki sifat seperti mata tombak yaitu tajam dan runcing maksud tajam dan runcing adalah sebuah ekpresi wajah yang serius dan tegang. Pada penggalan puisi tersebut juga dapat ditangkap adanya citraan pengelihatan, yang membuat pembaca membayangkan wajah-wajah dengan ekspresi yang tajam seperti mata tombak. Pada puisi “Hutan” penyair menggunakan kata „bagai‟ untuk membandingkan dua hal yang dianggap sama. Penggunaan gaya bahasa simile terletak pada bait terakhir puisi, penyair membandingkan suasana yang mulai sepi dengan bulu burung, daun, dan rambut seseorang yang hanyut di aliran kali/sungai. (43)
“suara-suara mereda bagai bulu burung, daun, dan rambutmu
yang lepas lalu hanyut di alir kali.”49 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menggambarkan suasana yang awalnya ribut dengan berbagai suara dan akhirnya mulai sunyi yang disamakan seperti bulu burung, daun, dan rambut seseorang yang jatuh lalu hanyut dan menghilang terbawa aliran sungai. Bulu burung yang lepas, daun yang gugur, dan rambut yang lepas dari kulit kepala tidak menghasilkan bunyi yang kemudian disamakan dengan suara yang mulai mereda dan tergambar suasana yang sunyi. 11. Metafora Gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal dengan singkat. Gaya bahasa metafora ini hampir sama dengan simile, tetapi metafora membandingkan hal-hal tanpa menggunakan kata-kata: bagaikan, seperti, dan laksana, seperti pada simile. Puisi dalam buku kumpulan puisi Mata Pisau yang menggunakan gaya bahasa metafora, di antaranya adalah puisi “Rupanya Kita”, “Jangan Ceritakan”, “Mata Pisau”, dan “Prometheus”. 48 49
Ibid., h. 1553 Sapardi, op. cit., h. 52
58
a) Puisi “Kabut Pagi” (44)
“menyusup suara burung bernyanyi, di sela pepohonan”50
Pada penggalan puisi tersebut, penyair membandingkan suara burung dengan nyanyian. Kata burung bernyanyi merupakan bentuk citraan pendengaran, yang membuat pembaca atau pendengar membayangkan suara burung berkicau dengan merdunya, begitu merdunya suara burung seperti sebuah nyanyian yang merdu sehingga bukan bising yang dirasakan tetapi kenyamanan. Penggunaan gaya bahasa metafora ini menghasilkan efek puitis dan suasana yang kuat. Jika kata bernyanyi digantikan dengan berkicau tentu akan berbeda efek yang dihasilkannya. Kata burung bernyanyi memiliki keindahan yang lebih jika dibandingkan dengan burung berkicau dan juga akan mempengaruhi makna yang dikandungnya. b) Puisi “Di Beranda Waktu Hujan” Dalam puisi ini, penyair banyak menggunakan gaya bahasa metafora yang menghadirkan efek keindahan dan puitis. Penyair bercerita tentang „kau lirik‟ yang sedang di beranda sendiri, mengingat kembali kenangaan-kenangan dulu. (45)
“kusebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari yang
menerbitkan debu jalanan, yang menajamkaan warna-warni bunga yang dirangkaikan) yang menghapus jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang dalam hujan.”51 Pada penggalan bait pertama puisi tersebut, penyair membandingkan sebuah kenangan „kau/mu lirik‟ dengan nyanyian. Kata „kenangan‟ berasal dari kata „kenang‟ dan mendapat imbuhan –an menjadi „kenangan‟ yang berarti sesuatu yang membekas dalam ingatan52, sedangkan „nyanyian‟ dari kata dasar „nyanyi‟ yang berarti mengeluarkan suara bernada; berlagu yang kemudian mendapat imbuhan –an menjadi „nyanyian‟ yang berarti hasil menyanyi; yang
50
Ibid., h. 17 Ibid., h. 19 52 Depdiknas, op. cit., h. 971 – 972 51
59
dinyanyikan; lagu.53 Dari makna kedua kata tersebut dapat dibedakan jika kenangan berbentuk ingatan yang ada dalam pikiran manusia, sedangkan nyanyian merupakan sesuatu bentuk seni rangkaian katakata yang bernada dan berirama yang dapat dinikmati dengan mendengarkannya. Dalam puisi tersebut, penyair menggambarkan bahwa kenangan „kau/mu lirik‟ adalah sebuah nyanyian yang dapat didengar dan dinikmati keindahan nada dan iramanya. Melalui gaya bahasa ini penyair
menyampaiakan
perasaan
dan
pikirannya
dengan
menghadirkan imaji suara atau citraan pendengaran bagi pembaca, sehingga pembaca akan ikut membayangkan sebuah nyanyian dan ikut merasakan apa yang diungkapkan oleh penyair melalui rasa emosional yang dihadirkan dalam diri „mu lirik‟. Pada bait kedua puisi ini, penyair mengungkapkan melalui „kau lirik‟ bahwa cinta yang dimiliki „kau lirik‟ adalah penghujan panjang yang membersihkan debu dan bernyanyi (menghasilkan suara yang merdu) di halaman. (46)
“kausebut cintamu penghujan panjang, yang tak habis-
habisnya membersihkan debu, yang bernyanyi di halaman.”54 Cinta adalah perasaan suka, sayang yang dimiliki makhluk hidup (manusia), sedangkan penghujan panjang merupakan musim hujan dimana hujan turun dengan intensitas yang lebih tinggi. Penyair menggambarkan bahwa cinta yang dimiliki „kau lirik‟ seperti penghujan panjang yang terus menghujani bumi dan membersihkan debu, penghujan yang turun di halaman menghasilkan bunyi yang merdu dari tetesan airnya yang menimpa bumi. Kata bernyanyi pada kutipan puisi tersebut merupakan bentuk citraan pendengaran, yang akan membuat pembaca atau pendengar membayangkan suara hujan turun.
53 54
Ibid., h. 666 Sapardi, op. cit., h. 19
60
Pada bait ketiga (terakhir), penyair mengungkapkan bahwa hidup „kau lirik‟ adalah sore hari yang basah setelah hujan reda, dengan sisa air hujan yang mengalir perlahan yang hanyut semakin jauh. (47)
“dan kausebut hidupmu sore hari (dan bukan siang yang
bernafas dengan sengit, yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari) yang basah, yang meleleh dalam senandung hujan, yang larut.”55 Hidup merupakan keadaan dimana makhluk hidup masih bisa bergerak dan bekerja sebagaimana mestinya, sedangkan sore hari menunjukkan waktu petang di mana matahari mulai tenggelam dan sinarnya meredup. Penyair membandingkan hidup „kau lirik‟ dengan sore hari, penyair menggambarkan bahwa hidup „kau lirik‟ layaknya sore hari yang basah karena hujan yang telah turun kebumi. Pada bait ketiga tersebut juga terdapat frasa senandung hujan yang juga termasuk dalam metafora. Senandung berarti nyanyian atau alunan lagu dengan suara lembut untuk menghibur diri atau menidurkan bayi56, sedangkan hujan adalah titik-titik air yang berjatuhan dari udara
karena
proses
pendinginan.57
Tetapi
di
sini
penyair
menyandingkan dua kata tersebut, untuk menggambarkan bahwa air hujan yang turun ke bumi menghasilkan bunyi yang lembut yang dapat menghibur diri dan menidurkan bayi. Hal ini menghadirkan efek yang kuat bagi pembaca tentang citraan pendengaran yang diungkapkan penyair. c) Puisi “Rupanya Kita” Dalam puisi “Rupanya Kita” terdapat gaya bahasa metafora yaitu „suara dingin‟, yang apabila dipahami suara yang dihasilkan atau dikeluarkan oleh dingin, sedangkan „dingin‟ merupakan suhu atau keadaan yang hanya bisa dirasakan oleh tubuh, tidak dapat menghasilkan atau mengeluarkan suara yang dapat didengar. Jadi, dari frasa „suara dingin‟ dapat diketahui bahwa penyair membandingkan 55
Ibid. Depdiknas, op. cit., h. 1266 57 Ibid., h. 509 56
61
„dingin‟ dengan sesuatu yang dapat menghasilkan suara. Sesuatu yang dibandingkan dengan „dingin‟ akan lebih sepesifik jika dilihat bagian selanjutnya dari puisi tersebut. (48)
“Tetapi bukankah hanya suara dingin yang bergoyang di
bawah lindap langit;”58 Dari baris puisi tersebut dapat diketahui bahwa „dingin‟ dibandingkan dengan sesuatu yang bisa bersuara dan bergoyang, seperti lonceng, dengan begitu pembaca atau pendengar akan membayangkan suara dingin seperti suara lonceng yang pernah didengar. d) Puisi “Lembah Manoa, Honolulu” Puisi ini hanya terdiri dari empat baris. Penggunaan gaya bahasa metafora terletak pada baris ke tiga, berupa frasa. (49)
“mula-mula jalan setapak yang berakhir di sebuah lorong kecil. Mula-mula matahari pertama yang membimbing kita ke kaki bukit tak berakhir di mana pun”59
Frasa kaki bukit merupakan bentuk gaya bahasa metafora, kata kaki memiliki arti anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan60 yang biasanya dimiliki makhluk hidup seperti manusia dan binatang, sedangkan bukit berarti tumpukan tanah yang lebih tinggi dari pada tempat sekelilingnya, lebih rendah dari pada gunung.61 Pada frasa kaki bukit, kata kaki menerangkan bagian atau tempat dari bukit. Gaya bahasa metafora merupakan gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara langsung, frasa kaki bukit, merupakan perbandingan antara bukit dengan manusia/binatang yang memiliki kaki. Tetapi makna kaki bukit itu sendiri adalah tempat yang terletak di bawah bukit. Kata kaki sendiri sudah sering dan umum digunakan untuk menerangkan tempat atau bagian dari suatu benda atau daerah yang tinggi, seperti kaki meja, kaki gunung, kaki langit. 58
Sapardi, op. cit., h. 21 Ibid., h. 22 60 Depdiknas, op. cit., h. 605 61 Ibid., h. 217 59
62
e) Puisi “Kartu Pos Bergambar: Taman Umum, New York” Puisi ini terdiri dari dua bait, tiap baitnya terdiri dari empat baris yang berisi tentang suasana akhir musim semi di Taman Umum, New York. Dalam puisi ini terdapat penggunaan gaya bahasa metafora pada baris terakhir. (50)
“Lonceng menggoreskan akhir musim semi”62
Pada penggalan puisi tersebut terdapat kata menggoreskan dan sebelumnya terdapat kata lonceng. Kata mengoreskan berasal dari kata dasar gores yang artinya garis, garit, corek, parut dan mendapat imbuhan me-kan menjadi menggoreskan yang berarti menggunakan pisau, pena dan sebagainya untuk menggarit, contoh: pemuda itu menggoreskan pisau pada kayu untuk mengukir namanya.63 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menghadirkan imaji bagi pembaca bahwa lonceng tidak hanya bisa mengeluarkan bunyi yang hanya dapat didengar saja, tetapi juga dapat memberi tanda yang nampak (dapat dilihat oleh mata) dalam bentuk goresan seperti halnya pisau yang dapat mengukir kayu, pena yang dapat menuliskan kata-kata pada kertas. f) Puisi “Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago” (51) “Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa sajalah.”64 Pada penggalan puisi di atas, penyair membandingkan sesuatu hal yang konkret dengan sesuatu yang abstrak. Pada kutipan di atas dapat dilihat ada kata ia yang berarti orang yang dibicarakan, tidak termasuk pembicara dan kawan bicara65 yang disandingkan dengan ketakutan dari kata dasar takut, yang berarti perihal takut, perasaan takut, keadaan takut66 yang bersifat abstrak. Penyair berusaha membangun imaji dengan menggunakan kata ia untuk menggambarkan sesuatu
62
Sapardi, op. cit., h. 24 Depdiknas, op. cit., h. 459 64 Sapardi, op. cit., h. 26 65 Depdiknas, op. cit., h. 515 66 Ibid., h. 1382 63
63
yang abstrak, yang tidak diketahui wujud dan bentuknya. Hal ini, akan mendorong pembaca untuk ikut mengimajinasikan hal-hal yang digambarkan oleh si penyair dalam puisinya. g) Puisi “Jangan Ceritakan” Puisi ini hanya terdiri dari empat baris, dan terdapat dua penggunaan gaya bahasa metafora. Puisi ini menggambarkan tentang panasnya matahari dan dinginnya malam. (52) “bibir-bibir bunga yang pecah-pecah mengunyah matahari, jangan ceritakan padaku tentang dingin yang melengking malam-malam – lalu mengembun”67 Pada baris pertama dan kedua, penyair membandingkan kuntum bunga seperti layaknya bibir manusia yang dapat
mengunyah sesuatu.
Pemggunaan gaya bahasa metafora ini merupakan usaha penyair untuk membangun pendengaran
imaji
atau
sehingga
citraan
pengelihatan,
membuat
pembaca
perabaan, atau
dan
pendengar
membayangkan kelopak bunga yang kering, panas matahari, dingin, dan suara yang melengking. Terlihat pada baris pertama dan kedua, penyair menggambarkan betapa panasnya sinar matahari hingga bibirbibir bunga pecah-pecah, kering karena panasnya. Pada
baris
selanjutnya,
terdapat
kata
melengking
yang
menerangkan kata sebelumnya yaitu dingin. Kata melengking dari kata dasar lengking memiliki arti berbunyi (bersuara) nyaring dan keras68, dari arti tersebut dapat diketahui bahwa melengking bukanlah sifat dari dingin. Dingin hanya dapat dirasakan oleh tubuh dan tidak menghasilkan bunyi. Tetapi, penyair menggambarkan seakan-akan dingin itu mengeluarkan suara yang sangat keras yang memberi efek penguatan bahwa rasa dingin itu begitu dingin. Dengan penggunaan gaya bahasa metafora tersebut, penyair membangun imaji atau citraan pendengaran dan perabaan yang menghadirkan rasa dingin yang 67 68
Sapardi, op. cit., h. 28 Depdiknas, op. cit., h. 814
64
melengking, sehingga pembaca akan ikut merasakan apa yang penyair ungkapkan melalui kata-kata yang digunakannya. Kata melengking memperkuat makna dingin saat malam, bahwa dingin itu bukan sekedar rasa dingin tetapi dingin itu begitu dingin, hingga menghasilkan embun. h) Puisi “Tulisan Di Batu Nisan” (53)
“Tolong tebarkan atasku bayang-bayang hidup yang lindap
kalau kau berziarah ke mari tak tahan rasanya terkubur, megap di bawah terik si matahari”69 Pada penggalan puisi tersebut, penyair membandingkan bayangbayang seperti bunga yang bisa di tebarkan di atas makan saat sedang berziarah. Penyair menggunakan kata tebarkan untuk membangun efek puitis dan suasana dalam kuburan yang begitu panas, sehingga bayangan yang lindap pun bisa menyejukkan. Dalam puisi tersebut, pembaca atau pendengar juga dapat menangkap amanat bahwa seseorang yang sudah mati juga butuh dikunjungi dan yang hidup jangan melupakan yang sudah mati. Dari kata tebarkan atasku bayangbayang hidup yang lindap dapat diketahui pokok persoalan atau tema yang dikemukakan penyair, bahwa puisi tersebut membicarakan tentang ziarah. Hal tersebut juga dapat diketahui pada baris selanjutnya, penyair menuliskan kata berziarah. i) Puisi “Mata Pisau” (54) “mata pisau itu tak berkejap menatapmu”70 Frasa mata pisau yang terdapat pada penggalan puisi di atas merupakan bentuk gaya bahasa metafora. Kata mata sering diartikan sebagai indra pengelihatan yang dimiliki oleh manusia ataupun binatang, tetapi kata mata juga memiliki arti bagian yang tajam pada alat pemotong (pada pisau, kapak, dsb).71 Jadi, mata pisau merupakan bagian ujung pisau yang runcing dan tajam, namun penyair 69
Sapardi, op. cit., h. 29 Ibid., h. 30 71 Depdiknas, op. cit., h. 886 70
65
membandingkan kata mata pada mata pisau sama seperti halnya mata sebagai indera pengelihatan karena penyair menggunakan kata berkejap setelahnya. Kata berkejap dari kata dasar kejap yang memiliki arti berkedip: aku memandangnya dengan tidak berkejap sedikitpun karena terpesona.72 Dari arti tersebut dapat dilihat bahwa berkejap merujuk pada mata sebagai alat pengelihatan. Melalui penggunaan gaya bahasa metafora ini, penyair menghadirkan rasa emosional pada diri pembaca atau pendengar, sehingga membuat pembaca atau pendengar tersentuh perasaannya dan ikut merasakan ketegangan, seakan-akan mata pisau yang tajam itu sedang menatapnya. j) Puisi “Cahaya Bulan Tengah Malam Hari” (55) “aku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku dari genting kaca” 73 Pada penggalan puisi di atas, terdapat kata-kata cahaya bulan jatuh, kata jatuh menunjukkan adanya pembandingan antara cahaya bulan dengan sesuatu benda yang dapat turun atau meluncur ke bawah. Penyair menggambarkan cahaya bulan itu seperti jatuh dan menimpa wajah seseorang yang sedang duduk di kursi. Kata jatuh
yang
digunakan penyair memberi efek penguat pada penggambaran suatu keadaan di mana wajah seseorang terkena cahaya bulan yang memantul dari genting kaca. Jika kata jatuh diganti dengan kata menyinari atau menerangi, tentu akan berbeda efek dan juga makna yang dihadirkannya. Kata jatuh akan menghadirkan efek yang lebih puitis jika dibandingkan dengan kata menyinari atau menerangi yang tidak mengandung makna tersirat. Kata jatuh juga memperkuat imaji pengelihatan pada puisi tersebut, yang mendorong pembaca untuk membayangkan cahaya bulan menerangi wajah „aku lirik‟.
72 73
Ibid., h. 648 Sapardi, op. cit., h. 33
66
k) Puisi “Prometheus” (56) “dan setelah sepi terasa pada denyut bongkah batu itu.” 74 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menggunakan kata-kata denyut bongkah batu untuk menggambarkan suasana yang sepi tanpa suara. Kata denyut biasanya digunakan untuk organ tubuh seperti, nadi, jantung, dan ubun-ubun, tetapi di sini penyair menggunakan kata tersebut untuk bongkahan batu yang jelas-jelas bukan termasuk organ tubuh yang berdenyut. Kata denyut memiliki arti gerakan turun naik (pada urat nadi, ubun-ubun, dsb).75 Pada puisi Prometheus ini, penyair menggambarkan sebuah bongkahan batu seperti memiliki denyut, hal tersebut bertujuan untuk membangun suasana yang kuat sehingga pembaca dapat ikut merasakan apa yang penyair ungkapkan. Selain gambaran suasana yang sepi dengan menggunakan gaya bahasa metafora, penyair juga memberikan makna emosional yang akan membuat pembaca terlibat secara emosional hingga merasakan sepi seperti yang digambarkan oleh penyair, inilah yang disebut rasa yang kuat pada sebuah puisi. l) Puisi “Waktu Kau Tidur” Pada puisi yang hanya terdiri dari dua baris ini ditemukan penggunaan gaya bahasa metafora dengan bentuk frasa. (57) “waktu kau tidur darahmu bersikeras bermimpi tentang denyut-denyut air yang membual dari rahim bumi” 76 Pada bagian akhir puisi tersebut terdapat penggunaan frasa rahim bumi yang bermakna tempat di dalam bumi di mana ada air yang keluar darinya. Tempat di dalam bumi, biasanya sering dinamakan perut bumi, tetapi di sini penyait menggunakan kata rahim yang menghadirkan makna yang lebih khusus dari kata perut. Kata rahim berarti kantong selaput dalam perut, tempat janin (bayi); peranakan; kandungan77, rahim dalah tempat di mana kehidupan dimulai, dari 74
Ibid., h. 35 Depdiknas, op. cit., h. 314 76 Sapardi, op. cit., h. 36 77 Depdiknas, op. cit., h. 1133 75
67
rahim lahir makhluk hidup penghuni bumi. Jadi, frasa rahim bumi pada puisi tersebut bermakna tempat di dalam bumi di mana ada air yang menjadi sumber kehidupan bagi setiap makhluk yang hidup di bumi. Penyair membandingkan bumi seperti seorang wanita dan seorang ibu yang melahirkan anak-anaknya ke dunia. Air yang membual dari rahim bumi seperti anak yang lahir dari rahim seorang ibu. m) Puisi “Catatan Masa Kecil, 2” Dalam puisi ini, penyair menggunakan kata rahang untuk bunga, laut, dan langit. (58) “...menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam-menerkam.” “...dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan” 78 Kata rahang memiliki arti kedua bagian tulang, atas dan bawah, dalam rongga mulut tempat gigi tumbuh79, sedangkan laut, bunga, dan langit tidak memiliki tulang atau pun gigi. Penyair membandingkan ketiga benda tersebut seperti makhluk hidup yang memiliki rahang yang dapat menggigit atau menerkam. Melalui penggunaan kata rahangrahang, penyair mencoba menunjukkan kepada pembaca bahwa laut, bunga, dan langit dapat saling terkam, memangsa, memuntahkan sesuatu dari rahang-rahangnya. Hal ini, menghadirka efek puitis pada puisi tersebut dan suasana tegang dan serius yang digambarkan melalui kata-kata yang indah. Kata-kata tersebut juga dapat membuat daya bayang pembaca muncul, pembaca dapat membayangkan ada rahangrahang yang saling terkam yang akan menimbulkan perasaan tegang dan serius.
78 79
Sapardi, op. cit., h. 38 Depdiknas, op. cit., h. 1132
68
n) Puisi “Hari Itu” (59) “Kita masih juga menanti ketika angin membawa derai ombak: kita bayangkan
kuntum-kuntum karang
terbuka
mennyambut ujung ombak” 80 Pada penggalan puisi tersebut, terdapat penggunaan gaya bahasa metafora pada baris kedua. Penyair membandingkan karang seperti bunga yang kuncup. Kata kuntum memiliki arti kuncup bunga yang hampir mekar (berkembang): kuntum mawar merah81, kata ini digunakan untuk bunga, untuk menyebutkan jumlah bunga, seperti lima kuntum bunga teratai. Namun, dalam puisi ini penyair menggunqkan kata kuntum untuk batu karang. Penyair mencoba menggambarkan batu karang yang ada dilautan seperti kuncup bunga yang hampir mekar tersiram ombak. Dengan penggunaan gaya bahasa metafora ini menghadirkan imaji visual yang kuat, sehingga membuat pembaca ikut membayangkan batu-batu karang yang terkikis karena dihantam ombak. o) Puisi “Kwatrin” (60) “semalam suntuk suara nafasmu merayap di dinding lalu terjatuh satu demi satu di lantai” 82 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menggunakan kata merayap untuk menggambarkan suasana di mana terdengan suara nafas dalam sebuah ruangan. Penyair membandingkan suara nafas seperti cecak yang merayap di dinding rumah, kata merayap sendiri memiliki arti bergerak maju dengan tangan dan kaki serta badan bertumpu ke tanah.83 Melalui kata merayap, penyair menghadirkan imaji visual, seakan-akan suara nafas itu dapat kita lihat, merayap atau menyusuri dinding dan berkerumun semakin banyak kemudian jatuh satu persatu ke lantai.
80
Sapardi, op. cit., h. 46 Depdiknas, op. cit., h. 795 82 Sapardi, op. cit., h. 47 83 Depdiknas, op. cit., h. 1149 81
69
p) Puisi “Akuarium” Puisi ini menggambarkan tentang akuarium dan ikan, penyair menggambarkan seorang manusia dengan membandingkannya seperti ikan. (61) “kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan!”84 Pada kutipan puisi tersebut, penyair menggambarkan anggota badan yang dimiliki manusia yang diumpamakan seperti ikan. Penggunaan pronomina kau menunjukkan bahwa penyair berada di luar sajak. Penyair bercerita tentang kau dan nya. Setiap anggota badan yang disamakan seperti ikan memiliki nilai kewanitaan, seperti dada, pinggul, dan paha lebih identik dengan wanita. Jadi, dapat diketahui dari penggunaan gaya bahasa metafora ini, bahwa penyair bercerita tentang „kau lirik‟ yang membandingkan seorang wanita seperti ikan. Melalui penggambaran tersebut, penyair menghadirkan imaji visual terhadap pembaca, sehingga pembaca akan berimajinasi tentang apa yang diungkapkan penyair bahwa pinggulnya adalah ikan, pahanya adalah ikan dan bagian yang lainnya adalah ikan sampai terbangun gambaran sosok manusia atau wanita. Penggunaan akhiran –nya pada setiap kata dan penghubung dan akan memperindah ritme atau irama puisi saat dibacakan sehingga pendengar dapat merasakan atau memahami isi puisi tersebut. Pada baris sebelumnya penyair menggambarkan sosok nya yang seperti ikan. Pada baris terakhir puisi ini, penyair menggambarkan sosok kau. (62) “Aku adalah air,” teriakmu, “adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah ....” 85 Pada baris puisi tersebut, „aku lirik‟ menggambarkan dirinya adalah air, di mana air adalah tempat ikan hidup. Dalam akuarium terisi air, 84 85
Sapardi, op. cit., h. 48 Ibid.
70
ganggang, lumut, gelembung udara yang dipagari oleh kaca. Penyair membandingkan „aku lirik‟ di mana „aku lirik‟ mengacu pada akuarium, penggunaan gaya bahasa metafora ini bertujuan untuk mengumpamakan seorang wanita yang seperti ikan dan seorang lakilaki seperti akuarium. Dengan mengetahui gaya bahasa yang digunakan penyair, pembaca dapat mengetahui makna dari puisi tersebut bahwa kau yang mengumpamakan dirinya seperti akuarium adalah seorang laki-laki yang dibutuhkan oleh seorang wanita yang diumpamakan seperti ikan. Akuarium merupakan tempat hidup ikan, jadi puisi ini bercerita tentang cinta seorang laki-laki kepada seorang wanita.
Melalui
penggunaan
gaya
bahasa
ini,
penyair
juga
menghadirkan imaji visual yang kuat sehingga puisi tersebut dapat dinikmati oleh pembaca atau pendengar dengan membayangkan sebuah akuarium dan semua yang ada di dalamnya dengan gambaran yang berbeda-beda sesuai daya bayangnya masing-masing. q) Puisi “Sajak, 1” (63) “Begitulah kami bercakap sepanjang malam: berdiang pada suku kata yang gosok-menggosok dan membara.” 86 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menggambarkan seseorang yang sedang bercakap-cakap sepanjang malam ketika hujan turun dan berusaha menghangatkan diri dan menghindari kantuk dengan bercakap-cakap. Untuk memperkuat gambaran, penyair menggunakan gaya bahasa metafora dengan membandingkan suku kata seperti kayu yang jika saling digosok-gosokkan akan terbakar dan menghangatkan orang yang berada di dekatnya. Begitu lama dan begitu banyak yang „kami lirik‟ obrolkan hingga setiap suku kata percakapan mereka menghangatkan mereka dan membuat mereka terjaga sepanjang malam. (64)
“Baiklah, kami pun bercakap sepanjang malam: “Tetapi
begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai berterbangan dan menyesakkan udara” 87 86
Ibid., h. 49
71
Pada bait berikutnya, penyair kembali menggunakan gaya bahasa metafora, seperti pada bait pertama penyair kembali membandingkan kata seperti kayu yang bisa menjadi abu bila terbakar. Suku kata yang gosok-menggosok dan membara sudah mulai menjadi rangkaian kata demi kata yang begitu cepat menjadi abu. Dari penggunaan gaya bahasa metafora tersebut dapat dipahami bahwa semakin lama mereka (kami lirik) bercakap kata-kata dari percakapan mereka semakin tidak menarik dan bermakna hingga menimbulkan kebosanan. Dengan menggunakan gaya bahasa metafora, penyair dapat menggambarkan suasana dengan kata-kata yang sederhana. Namun kata-kata sederhana tersebut justru memperkuat gambaran suasana karena makna yang dikandungnya dan juga menghadirkan imaji visual yang akan menghadirkan daya bayang pembaca tentang abu yang berterbangan di udara. r) Puisi “Hutan” (65) “Mendadak ribut: lengking kelepak burung, jerit daun jatuh, gemuruh batu menahan air kali, teriak mereka yang telah terpisah dari kita.” 88 Pada penggalan puisi tersebut, terdapat kata-kata jerit daun jatuh yang merupakan jenis gaya bahasa metafora. Kata-kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan bahwa penyair membandingkan dua hal yaitu daun yang jatuh dengan manusia yang jatuh. Sama halnya seperti manusia yang menjerit saat jatuh dari ketinggian, penyair juga menggambarkan daun pun dapat menjerit ketika jatuh. Penyair membangun imaji pendengaran pembaca melalui gaya bahasa metafora yang digunakannya yang juga menghadirkan efek puitis dalam puisinya. Efek puitis ditimbulkan dari adanya imaji pendengaran yang berulang-ulang, yaitu lengking, jerit, dan gemuruh yang akan mempengaruhi nada, ritme atau irama saat puisi tersebut dibacakan.
87 88
Ibid. Ibid., h. 52
72
s) Puisi “Sungai, Tabanan” (66) “Para perempuan sedang menebarkan bibit-bibit kabut di arus yang riciknya terdengar dari kejauhan” 89 Pada penggalan puisi tersebut, penyair membandingkan dua hal yaitu, kabut dengan tanaman. Penyair menggambarkan seakan-akan kabut berasal dari bibit-bibit kabut yang ditebarkan di sungai oleh para petani hingga tumbuh kabut seperti tanaman yang bibitnya ditebarkan di sawah lalu tumbuh. Penggunaan gaya bahasa metafora ini memberi efek puitis dan membangun imaji visual pembaca tentang suasana di sekitar sungai yang dipenuhi kabut. 12. Alegori Gaya bahasa alegori ini hampir sama dengan metafora namun lebih panjang, lebih pada pendeskripsian dengan menggunakan bahasa yang mengandung kiasan. Gaya bahasa ini terdapat dalam puisi “Tentang Matahari”, puisi ini berisi tentang deskripsi atau gambaran matahari. Untuk lebih jelasnya berikut puisi “Tentang Matahari” karya Sapardi Djoko Damono dam buku kumpulan puisi Mata Pisau. (67)
Matahari yang di atas kepalamu itu adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu waktu kau kecil, adalah bola lampu yang diatas meja ketika kau menjawab surat-surat yang teratur kau terima dari sebuah Alamat, adalah jam weker yang berdering sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan yang dituding anak kecil itu sambil berkata: “Ini matahari! Ini matahari!” Matahari itu? ia memang di atas sana supaya selamanya kau menghela bayang-bayangmu itu. 90
Dari puisi tersebut dapat dilihat bahwa penyair menggambarkan matahari dengan menggunakan bahasa yang mengandung kiasan. Penyair menggambarkan matahari seperti balonan gas, seperti bola lampu, seperti jam weker yang berdering, seperti gambar bulan yang dituding anak kecil. Penyair menggambarkan bulan seperti balonan gas yang bulat berisi udara 89 90
Ibid., h. 60 Ibid., h. 31
73
sebagai mainan anak-anak, seperti bola lampu yang bersinar menerangi kegelapan dan panas, seperti jam weker yang berdering sama halnya dengan matahari yang terbit menandakan pagi dan mengisyaratkan kepada orangorang untuk bangun, seperti gambar bulan yang tidak bisa dibedakan oleh anak kecil karena sama dengan matahari. Dalam puisi tersebut, kata adalah dapat menimbulkan imaji, adalah memberi keterangkan tentang matahari, bahwa matahari seperti balonan gas, bola lampu, gambar bulan yang merupakan bentuk imaji visual dan matahari adalah jam weker yang berdering merupakan imaji pendengaran. Kata-kata tersebut menghadirkan daya bayang yang membuat pembaca atau pendengar membayangkan balonan gas, bola lampu, dan gambar bulan yang kemudian disamakan dengan matahari serta bunyi jam weker yang membangunkan mereka dari tidur. 13. Personifikasi Gaya bahasa personifikasi ini merupakan gaya bahasa yang menggambarkan benda mati atau sesuatu selain manusia tetapi memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Dalam kumpulan puisi Mata Pisau karya Sapardi Djoko Damono, penulis menemukan penggunaan gaya bahasa personifikasi pada 23 puisi. a) Puisi “Hujan dalam Komposisi, 1” Puisi “Hujan dalam Komposisi, 1” terdiri dari empat bait yang tiap baitnya menceritakan tentang hujan. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan gaya bahasa personifikasi yang fungsinya untuk menggambarkan keadaan dan suasana dan memberi efek yang lebih hidup dan nyata. Keadaan dan suasana yang digambarkan adalah hujan yang turun membasahi tanah dan menimpa daun-daun bugenvil di dekat jendela. Hal tersebut dilukiskan pada kutipan di bawah ini. (68) “Apakah yang kau tangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dan ricik air yang turun di selokan?” 91 91
Ibid., h. 13
74
Kutipan di atas menggambarkan bahwa keadaan sedang hujan, untuk memberikan efek kepada pembaca penyair menggunakan gaya bahasa personifikasi yaitu “daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela”. Penyair memberikan gambaran atau imaji visual dan pendengaran melalui daun bugenvil yang teratur mengetuk jendela, seakan-akan daun-daun bugenvil tersebut sengaja mengetuk jendela. Kata mengetuk dan ricik air juga menghadirkan imaji suara atau pendengaran yang merangsang daya ingat pembaca tentang bunyi-bunyi tersebut dan membayangkan suara ketukan dan ricik air yang pernah didengarnya. Pada bait pertama ini penyair juga menempatkan tanda tanya yang tidak berjawab, yang menghadirkan efek bagi pembaca seakan-akan kata “kau” pada puisi tersebut adalah pembaca. Pembaca diajak untuk berpikir dan ikut merasakan suasana yang dihadirkan penyair dalam puisi tersebut. Pada bait kedua juga terdapat gaya bahasa personifikasi. (69) “Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.” 92 Kata-kata “hubungan gaib antara tanah dan hujan” menandakan bahwa tanah dan hujan telah menjalin suatu hubungan (gaib) yang tidak diketahui oleh siapa pun, seakan-akan tanah dan hujan memiliki sifat seperti halnya manusia yang menjalin hubungan dalam kehidupannya. Pada bait kedua kata-kata “rahasia daun basah” juga mengungkapkan seakan-akan daun basah memiliki sifat seperti manusia yang memiliki rahasia yang disembunyikan dari orang-orang di sekitarnya. Personifikasi yang digunakan penyair menimbulkan efek bagi pembaca bahwa tanah, hujan, dan daun itu sama halnya seperti manusia, memiliki hubungan dan rahasia. Pada bait ketiga terdapat kata-kata “bisik yang membersit dari titik air” dan “suku kata yang akan mengantarmu tidur” yang merupakan personifikasi. Kata “bisik” yang umumnya digunakan untuk manusia, 92
Ibid.
75
misalnya “seringkali terdengar bisik rayumu” tetapi di sisni penyair menggunakan kata “bisik” untuk “titik air” yang menghadirkan efek seakan-akan titik air itu berbisik seperti manusia, padahal titik air hanya menghasilkan bunyi yang tidak bermakna tidak seperti halnya kata-kata yang diucapkan manusia. Bentuk personifikasi yang berikutnya adalah kata “mengantar” yang diperuntukkan “suku kata” seolah-olah “suku kata” itu memiliki kemampuan seperti manusia manusia. Kata “mengantar” diperuntukkan manusia, misalnya “ibu mengantarku ke kamar untuk tidur”. Dari penggalan puisi tersebut, juga dapat ditemukan sebuah pesan kepada pembaca tentang arti hujan, menyimak dan merasakan suasana saat hujan turun mungkin dapat mengingatkan pembaca pada hal-hal lain. Hujan memang hanya air yang turun dari langin karena proses alam, tetapi belum tentu hanya berarti hujan, mungkin bagi beberapa orang hujan memiliki kesan atau makna tersendiri. b) Puisi “Hujan dalam Komposisi, 2” (70)“Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kemabli kebumi” 93 Puisi “Hujan dalam Komposisi, 2” ini terdiri dari tiga bait yang merupakan lanjutan dari “Hujan dalam Komposisi, 1” yang menceritakan tentang hujan. Gaya bahasa personifikasi terdapat pada bait pertama dan kedua, pada bait pertama penyair menggunakan kata ganti “ia” untuk hujan, sedangkan kata ganti tersebut diperuntukkan untuk orang/manusia. Penyair menggambarkan hujan seperti manusia “mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas” sama halnya dengan manusia yang bebas, tanpa beban dalam hidupnya. Runtutan kejadian yang ada dalam penggalan puisi tersebut juga merupakan
93
Ibid., h. 14
76
bentuk imaji visual yang dapat lihat melalui imaji pembaca dengan membayangkan kejadian dan suasana saat turun hujan. (71)“...terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan.” 94 Pada bait kedua, penyair menggambarkan hujan yang mampu “bercakap tentang lautan” seolah-olah hujan seperti manusia yang mampu berbicara bahkan bercerita tentang lautan. Pada bait pertama dan kedua, penyair menggambarkan hujan seolah-olah hidup sama halnya dengan manusia, hujan juga memiliki kebebasan dan mampu bercerita tentang lautan tempat di mana air hujan bermuara. Dengan penggunaan gaya bahasa personifikasi ini penyair mengungkapkan imajinasinya
kepada
pembaca
sehingga
pembaca
pun
ikut
membayangkan hujan yang turun dan suaranya yang mericik seakanakan bercakap tentang lautan. c) Puisi “Variasi pada Suatu Pagi” (72)“sebermula adalah kabut; dan dalam kabut senandung lonceng, ketika selembar daun luruh, setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput (kaudengarkah juga seperti Suara mengadu)” 95 Gaya bahasa personifikasi terdapat pada bait pertama dan kedua. Pada bait pertama, penyair menggambarkan daun yang luruh setengah bermimpi dan menepi ke bumi. Kata “bermimpi” dan “menepi” diperuntukkan daun, padahal daun adalah benda mati yang tidak mungkin bisa bermimpi seperti halnya manusia. Mimpi merupakan suatu hal yang terlihat atau dialami pada saat tidur dan tidur tidak mungkin dilakukan oleh daun melainkan oleh manusia. Kata “menepi” berasal dari kata dasar “tepi” yang artinya pinggir, jadi “menepi” artinya pergi ke pinggir atau merupakan kata aktif yang menggambarkan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang. Namun, kata “menepi” ini diperuntukan daun yang sifatnya diam atau 94 95
Ibid., h. 14 Ibid., h. 16
77
mati. Penyair menggambarkan daun seolah-olah memiliki kemampuan seperti manusia yang bisa bermimpi dan melakukan suatu kegiatan. Kata menepi juga memberikan efek puitis pada puisi tersebut karena memiliki kesamaan bunyi vokal /i/ dengan kata bermimpi dan bumi, sehingga menimbulkan kemerduan irama yang merdu saat dibacakan. Selain itu, menepi juga merupakan pilihan kata atau diksi yang menimbulkan keindahan bunyi, berbeda bila kata yang digunakan adalah jatuh, tentu akan mengurangi keindahan dan mempengaruhi makna puisi tersebut. (73)“dan cahaya (yang membasuhmu pertama-tama) bernyanyi bagi capung, kupu-kupu, dan bunga; Cahaya (yang menawarkan kicau burung) susut tiba-tiba pada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisa” 96 Pada bait kedua, penyair menggambarkan cahaya seolah-olah memiliki sifat dan kemampuan seperti halnya manusia. Pada bait kedua
ini
terdapat
kata
“membasuhmu”,
“bernyanyi”,
dan
„menawarkan‟ yang semuanya merupakan kata kerja aktif yang biasanya dilakukan oleh manusia, tetapi penyair menggunakan katakata tersebut untuk cahaya. Kata “membasuh” yang artinya membersihkan dengan menggunakan air, seharusnya tidak digunakan untuk cahaya karena itu bukan sifat cahaya, seharusnya menerangi atau menyinari. Namun, penyair menggunakan kata membasuh seolah-olah cahaya itu hidup dan membersihkan „mu lirik‟ dengan menggunakan air, seperti seorang ibu yang membasuh badan anaknya. Kata bernyanyi juga mengacu pada cahaya, penyair menggambarkan seolah-olah cahaya dapat mengeluarkan suara yang berirama layaknya manusia yang sedang bernyanyi. Kata “menawarkan kicau burung” yang seolah-olah cahaya dapat menawarkan kepada „mu lirik‟ tentang kicau burung untuk didengarkan. Sedangkan kata menawarkan menunjukkan suatu kegiatan yang biasanya dilakukan oleh manusia kepada manusia lain. Kata bernyanyi dan kicau burung juga 96
Ibid., h. 16
78
membangun imaji suara yang membuat pembaca membayangkan suara nyanyian dan kicau burung yang ada dalam ingatannya. d) Puisi “Malam Itu Kami Di Sana” (74)“kenapa kau bawa aku ke mari, saudara?”; sebuah stasiun di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihletihnya meloncat, merapat ke Sepi.” 97 Gaya bahasa personifikasi pada puisi ini terdapat pada baris ketiga dan empat, jarum-jarum jam tak letih-letihnya meloncat penyair menggambarkan bahwa jarum jam yang merupakan benda mati tetapi bisa meloncat dan seolah-olah dapat merasakan keletihan seperti manusia yang dapat meloncat dengan kakinya dan merasa letih setelah melakukannya. Rasa letih hanya dirasakan oleh makhluk hidup seperti manusia, rasa letih ini terjadi bila manusia melakukan kegiatan yang menguras
tenaganya,
sama
halnya
dengan
manusia
penyair
menggambarkan jarum-jarum jam itu seolah-olah memiliki rasa letih saat jarum jam itu meloncat (berputar) dari detik ke menit, dari menit ke jam. Penggunaan gaya bahasa personifikasi ini menghadirkan efek puitis dan memberi penekanan pada waktu yang terus berlalu. Efek puitis dapat dirasakan bila puisi tersebut dibacakan karena adanya pengulangan bunyi akhir /at/ pada kata meloncat dan merapat. e) Puisi “Di Beranda Waktu Hujan” (75)“(dan bukan siang yang bernafas dengan sengit, yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari)” 98 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menggambarkan “siang” seolah-olah memiliki kemampuan dan perasaan seperti manusia yang dapat bernafas dengan sengit. Penggunaan gaya bahasa personifikasi ini puitis dan penggambaran suasana yang kuat. Kata-kata “siang yang bernafas dengan sengit” menggambarkan suasana siang yang begitu panas. Penggunaan kata sengit pada penggalan puisi tersebut juga 97 98
Ibid., h. 18 Ibid., h. 19
79
mengandung arti emosional terkait rasa yang dihadirkanya pada pembaca. Kata sengit menggambarkan sikap penyair dalam melihat suatu obyek, yaitu matahari, sehingga pembaca juga merasakan sengit pada matahari di siang hari yang begitu panas. f) Puisi “Ketika Berhenti Di Sini” (76)“Beberapa patah kata yang segera dijemput angin begitu diucapkan, dan tak sampai ke siapa pun” 99 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menggambarkan tentang kata-kata yang diucapkan tak didengar oleh siapa pun. Untuk membangun
efek
puitis,
penyair
menggunakan
gaya
bahasa
personifikasi dengan menggunakan kata “dijemput angin”, di mana kata “dijemput” dari kata dasar jemput berarti sambut, undang.100 Penyair mengumpamakan “kata” seolah-olah seperti manusia yang dapat dijemput dan “angin” yang seolah-olah dapat menjemput kata hingga tak sampai pada siapa pun. g) Puisi, “Lembah Manoa, Honolulu” (77)“Mula-mula matahari pertama yang membimbing kita ke kaki bukit” 101 Pada penggalan puisi tersebut, penyair mengumpamakan matahari seolah-olah seperti manusia yang dapat membimbing. Penyair menggambarkan matahari pagi membimbing „kita lirik‟ menuju ke suatu bukit. Kata “membimbing” dari kata dasar bimbing yang berarti pimpin; asuh; tuntun, sedangkan membimbing berarti memegang tangan untuk menuntun; memimpin.102 h) Puisi “Taman Jepang, Honolulu” (78)“jalan setapak yang berbelit, matahari yang berteduh di bawah bunga-bunga,” 103
99
Ibid., h. 20 Depdiknas, op. cit., h. 576 101 Sapardi, op. cit., h. 22 102 Depdiknas, op. cit., h. 193 103 Sapardi, op. cit., h. 23 100
80
Pada
penggalan
puisi
tersebut,
terdapat
kata-kata
yang
mengungkapkan bahwa “matahri sedang berteduh” di bawah bungabunga. Kata berteduh dari kata dasar teduh yang mendapat imbuhan ber- menjadi berteduh memiliki arti berlindung (supaya jangan kehujanan atau kepanasan), bernaung.104 Kata berteduh merupakan suatu kegiatan yang biasa dilakukan oleh manusia untuk melindungi diri dari hujan atau panas, namun pada puisi tersebut penyair mengungkapkan matahari yang berteduh di bawah bunga-bunga seperti manusia yang berteduh di bawah pohon untuk menghindari panas. Ungkapan tersebut juga merupakan bentuk imaji atau citraan pengelihatan
yang
membuat
pembaca
membayangkan
dalam
pikirannya rupa bunga-bunga yang disinari cahaya matahari. i) Puisi “New York, 1971” (79) “Hafalkan namamu baik-baik di sini. Setelah baja dan semen yang mengatur langkah kita, lampu-lampu dan kaca.” 105 Pada penggalan puisi tersebut, kata-kata yang bergaris bawah menunjukkan penggunaan gaya bahasa personifikasi. Pada bagian puisi yang bergaris bawah, menggambarkan bahwa baja dan semen (yang berarti bangunan/gedung) dapat mengatur langkah seseorang (kita lirik). Sedangkan yang biasanya “mengatur” adalah manusia, pada puisi tersebut penyair menggambarkan bahwa “baja dan semen” memiliki kemampuan dan kekuasaan seperti manusia yang dapat mengatur sesuatu. Melalui penggunaan gaya bahasa personifikasi tersebut, penyair menghadirkan imaji pengelihatan dengan berusaha menggambarkan perkembangan dan perubahan kota New York yang semakin maju dan modern dengan pembangunan gedung-gedung yang mempengaruhi kehidupan orang-orang di dalamnya, agar pembaca juga dapat membayangkan perubahan kota New York dengan imajinasi yang dimiliki.
104 105
Depdiknas, op. cit., h. 1417 Sapardi, op. cit., h. 25
81
j) Puisi “Kartu Pos Bergambar: Jembatan “Golden Gate”, San Francisco” (80) kabut yang likat dan kabut yang pupur lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan matahari menggeliat dan kembali gugur tak lagi di langit! berpusing di pedih lautan106 Melalui penggunaan gaya bahasa personifikasi pada puisi tersebut, penyair menggambarkan matahari seolah-olah memiliki sifat seperti manusia yang suka menggeliat. Kata “menggeliat” memiliki arti meregang-regang serta menarik-narik tangan dan badan (seperti setelah bangun dari tidur).107 Penyair berusaha menghadirkan efek dan imaji yang kuat kepada pembaca, imaji visual mengenai matahari yang begitu lelahnya setelah sekian lama menyinari bumi dan akhirnya terbenam di lautan. k) Puisi “Mata Pisau” (81) mata pisau itu tak berkejap menatapmu; kau yang baru saja mengasahnya berfikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam; ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.108 Pada baris terakhir puisi tersebut, penyair mengungkapkan seolaholah pisau memiliki kemampuan seperti manusia yang bisa melihat atau membayangkan suatu hal dalam pikirannya. Kata “terbayang” berasal dari kata bayang yang mendapat imbuhan ter- sehingga menjadi terbayang yang memiliki arti seakan-akan tampak: wajah kekasihnya terbayang di pandangannya.109 Dalam puisi Mata Pisau, penyair menggambarkan sebuah pisau yang bisa melihat seolah-olah hidup seperti manusia ketika pisau yang sudah diasah oleh pemiliknya dapat membayangkan urat leher pemiliknya. Pada puisi Mata Pisau ini
106
Ibid., h. 27 Depdiknas, op. cit., h. 431 108 Sapardi, op. cit., h. 30 109 Depdiknas, op. cit., h. 152 107
82
dapat diketahui bahwa pusat pengisahan ada pada sebilah pisau, yang diceritakan oleh si pencerita yang berada di luar sajak. l) Puisi “Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari” Dalam puisi ini, penyair menggunakan gaya bahasa personifikasi untuk membangun imaji pembaca tentang matahari yang seolah-olah hidup seperti manusia manusia. Hal tersebut digambarkan saat matahari mengikuti „aku lirik‟ yang sedang berjalan ke barat di waktu pagi dan ketika „aku lirik‟ mengungkapkan bahwa ia dan matahari tidak bertengkar tentang siapa yang menciptakan bayang-bayang. (82) “waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang” (83) “aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang” 110 Pada baris terakhir puisi ini, sama halnya dengan penggambaran matahari, penyair juga menggambarkan “bayang-bayang” seolah-olah memiliki sifat kemanusia. Penyair menggambarkan seolah-olah aku lirik, matahari, dan bayang-bayang dapat berkomunikasi hingga akhirnya tidak terjadi pertengkaran di antara mereka. (84) “aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan” 111 Dengan gaya bahasa personifikasi, penyair mengungkapkan hal-hal yang sederhana tetapi tetap puitis dan bermakna, misalnya gaya bahasa personifikasi yang terdapat pada baris terakhir puisi. Penyair mengungkapkan bahwa „aku lirik‟ dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa yang harus berjalan di depan, yang sesungguhnya di antara keduanya tidak ada yang mungkin bisa mendahului, tetapi penyair menghadirkan hal yang sederhana menjadi kompleks. Dari kutipan puisi tersebut juga terdapat imaji pengelihatan, yang akan mendorong pembaca membayangkan sebuah bayang-bayang dan pemilik bayang-bayang itu. 110 111
Sapardi, op. cit., h. 32 Ibid., h. 32
83
m) Puisi “Prometheus” (85) “Ada saatnya selembar bulu yang lepas dari garuda itu memperhatikanmu ketika kau menatapnya” 112 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menggambarkan “selembar bulu” dari burung garuda dapat memperhatikan seseorang yang sedang menatapnya seolah-olah bulu tersebut hidup seperti manusia. Melalui penggunaan gaya bahasa personifikasi ini, penyair membangun imaji pembaca tentang selembar bulu yang lepas dari garuda dapat memperhatikan seseorang yang sedang menatapnya yaitu „kau lirik‟, penggunaan gaya bahasa ini juga menghadirkan imaji visual yang membuat pembaca membayangkan bahwa ada selmbar bulu burung garuda yang lepas dan sedang memperhatikannya. n) Puisi “Catatan Masa Kecil, 2” (86) “Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin dan ia kesal lalu menyepak sebutir kerikil.” 113 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menggambarkan angin yang begitu ringan dan bebas serta dapat menggoga bunga dan laut seperti manusia yang menggoda lawan jenisnya. Penyair menggambarka seolah-olah “angin” itu hidup seperti manusia dapat merasakan kebebasan dan dapat menggoda, penyair juga menggambarkan “laut” dan “bunga” seperti manusia yang bisa digoda. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan kekesalan „ia lirik‟ yang dalam puisi ini adalah manusia, yang merasa kesal karena tidak seperti angin yang bebas dan bisa menggoda siapa saja. pada penggalan puisi tersebut juga terdapat imaji visual tentang angin yang seolah memiliki rupa atau betuk yang dapat dilihat ketika angin sedang meluncur ke sana- ke mari, yang menggoda bunga dan laut.
112 113
Ibid., h. 35 Ibid., h. 38
84
o) Puisi “Catatan Masa Kecil, 3” Puisi ini lebih seperti cerita yang berisi tentang seorang anak yang terjaga sepanjang malam, melihat bintang-bintang dari jendela dan bertanya-tanya tentang alam semesta dan di luar alam semesta hingga pagi datang dan ibunya menyuruhnya tidur. Penggunaan gaya bahasa personifikasi pada puisi ini terdapat dalam dialog sang ibu yang memperingatkan anaknya untuk tidur. (87) “biar kututup jendela ini kau tidurlah saja setelah semalam suntuk
terjaga
sedang
udara
malam
jahat
sekali
perangainya”114 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menggambarkan udara malam yang seolah-olah memiliki sifat atau watak seperti manusia dan dapat berpikir serta berbuat sesuatu. Penyair menggunakan kata “perangai” untuk menggambarkan udara malam, yang berarti sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatan atau watak.115 Melalui penggunaan kata tersebut penyair membangun imaji visual pembaca tentang udara malam yang dapat berbuat jahat terhadap seseorang sehingga harus dihindari. p) Puisi “Nokturno” (88) “kubiarkan angin, yang pucat dan tak habis-habisnya gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu”116 Pada penggalan puisi tersebut, gaya bahasa personifikasi digunakan untuk menggambarkan angin yang seolah-olah hidup seperti manusia. Penyair menggambarkan seolah-olah angin memiliki fisik dan perasaan seperti layaknya manusia. Kata “pucat” menggambarkan angin seolaholah memiliki wajah yang sedang pucat dan menunjukkan kegelisahan, serta memiliki anggota tubuh yang seolah-olah memberi isyarat. Kata isyarat memiliki arti segala sesuaru (gerakan tangan, anggukan kepala, dsb) yang digunakan sebagai tanda atau alamat.117 Penggunaan gaya 114
Ibid., h. 39 Depdiknas, op. cit., h. 1052 116 Sapardi, op. cit., h. 43 117 Depdiknas, op. cit., h. 552 115
85
bahasa personifikasi menghadirkan efek puitis dan imaji visual yang mendorong pembaca membayangkan rupa angin yang pucat dan gelisah. q) Puisi “Sajak, 1” (89) “hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita dan menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini!” 118 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menggambarkan seolaholah hujan memiliki kemampuan seperti layaknya manusia yang dapat melakukan kegiatan atau bertindak. Dalam puisi tersebut, penyair menggambarkan hujan dapat menidurkan dan menyelimuti „kita lirik‟ serta dapat mengunci pintu kamar. Penggunaan gaya bahasa personifikasi ini, dapat membangun imaji pembaca dan menghadirkan efek puitis. r) Puisi “Percakapan Malam Hujan” Dalam puisi ini, penyair menggambarkan percakapan yang terjadi di malam hari antara “hujan” dengan “lampu jalan”. Hujan yang menyuruh lampu jalan untuk tidur dan biarkan hujan yang menjaga malam. Dan kemudian disahut oleh lampu jalan yang mengatakan bahwa hujan itu suka kelam, gaib, suara desah dan menyuruh hujan untuk tidak menggodanya tidur karena manusia suka terang. (90) “Hujan yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan. “Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.” “Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang.”” 119 Pada baris pertama, penyair menggambarkan “hujan” seolah-olah seperti manusia yang dapat mengenakan mantel, sepatu, dan payung yang berdiri di samping sebbuah tiang listrik. Kemudian pada baris kedua, penyair menggambarkan hujan bercakap dengan lampu jalan 118 119
Sapardi, op. cit., h. 49 Ibid., h. 53
86
yang kemudian disahut oleh lampu jalan pada baris ketiga, seolah-olah “hujan” dan “lampu jalan” adalah makhluk hidup. Penyair berusaha membangun imaji pembaca dengan gaya bahasa yang digunakannya. Melalui dialog lampu jalan, penyair mengungkapkan pandangannya tentang hujan yang kelam, gaib, dan sunyi, tentang hujan yang berasal dari laut, yang kemudian ke langit, dan kembali turun ke bumi, serta pandangan bahwa manusia lebih suka terang dari pada kelam. s) Puisi “Muara” Dalam puisi Muara ini, penyair juga menggambarkan percakapan muara dengan laut, seperti seorang manusia yang saling bercakap. (91) “Kalau kebetulan dibawanya air dari gunung, katanya, “Inilah lambang cinta sejati, sumber denyut kehidupan.” Kalau hanya sampah dan kotoran yang dimuntahkannya ia berkata, “tentu saja bukan maksudku mengotori hubungan kita yang suci, tentu saja aku tak menghendaki sisa-sisa ini untukmu.”” 120 Sama seperti pada puisi “Percakapan Malam Hujan”, melalui gaya bahasa personifikasi dalam bentuk dialog muara, penyair juga mengungkapkan pandangannya tentang sebuah hubungan yang terjalin antara dua makhluk yang diibaratkan seperti muara dan laut. Jika ada sesuatu yang baik, diakuinya sebagai bentuk cinta dan jika ada sesuatu yang tidak baik dielaknya. t) Puisi “Katanya Kau” (92) “katanya kau keturunan pisau yang terengah dan mengucurkan darah”121 Pada penggalan puisi tersebut, penyair menggambarkan pisau seperti manusia yang dapat terengah dan mengucurkan darah, serta memiliki keturunan yaitu „kau lirik‟. Penyair memberi kedudukan pisau seperti seorang manusia dengan menyebutkan „kau lirik‟ sebagai keturunannya. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan penyair ini menghadirkan efek puitis dan kedalaman makna yang harus digali oleh pembaca. 120 121
Ibid., h. 56 Ibid., h. 57
87
u) Puisi “Sepasang Sepatu Tua” Dalam puisi ini, penyair menggambarkan sepasang sepatu tua yang seakan-akan memiliki kemampuan seperti manusia
yang dapat
mengenang dan mengingat suatu peristiwa, dapat merasakan jatuh cinta, dapat menerka dan mengira, serta dapat saling berbisik dan memahami. (93) “yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa Sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua” 122 Penyair menggambarkan bahwa sepasang sepatu tua itu juga memiliki perasaan dan pikiran seperti manusia dan mereka dapat saling berbisik tentang suatu hal yang hanya dapat dimengerti mereka. Penggunaan gaya bahasa personifikasi ini, membangun imaji dan efek puitis dalam puisi tersebut. v) Puisi “Bola Lampu” (94) “Sebuah bola lampu ingin memejamkan dirinya. Ia merasa di tengah hutan. Ia bising mendengar hingar-bingar kawanan binatang buas itu. Ia tiba-tiba merasa asing dan tak diperhatikan.” 123 Pada pengalan bait puisi tersebut, penyair menggambarkan sebuah bola lampu seolah-olah memiliki perasaan dan kemampuan seperti makhluk yang bernyawa. Bola lampu tersebut seolah-olah memiliki perasaan layaknya manusia dan bisa merasakan sesuatu dan juga bisa mendengar suara dan merasa bising. Penggunaan gaya bahasa personifikasi ini memberikan efek puitis dan juga penggambaran suasana yang kuat bagi pembaca. Suasana di mana seorang ayah dan 122 123
Ibid., h. 58 Ibid., h. 64
88
anak-anaknya begitu asik bermain bayangan yang dibuatnya dengan menyusun jari-jarinya yang menyerupai berbagai jenis binatang, hingga bola lampu pun dapat merasakan kebisingan dan merasa tidak diperhatikan. w) Puisi “Percakapan Dalam Kamar” Pada puisi ini, penyair menggambarkan suasana dalam kamar dengan segala benda-benda yang ada di dalamnya. Sama halnya seperti pada puisi “Percakapan Malam Hujan” yang berisi tentang percakapan hujan dengan lampu jalan. Puisi “Percakapan Dalam kamar” ini juga berisis tentang percakapan benda-benda yang ada dalam kamar, seperti puntung rokok, kursi, bunga plastik, lukisan, jam dinding, penanggalan, dan topeng yang tergantung di dinding. Bendabenda tersebut digambarkan oleh penyair memiliki kemampuan seperti manusia yang dapat melakukan percakapan tentang suatu hal. (95) “Puntung rokok dan kursi bercakap tentang seorang yang tibatiba menghela nafas panjang lalu berdiri” 124 Melalui
percakapan
menggambarkan
antara
suasana
dan
benda-benda keadaan
tersebut,
dalam
sebuah
penyair kamar.
Penggunaan gaya bahasa personifikasi ini memberi efek puitis dan membangun imaji pagi pembaca tentang suasana yang digambarkan penyair. 14. Hipalase Gaya bahasa hipalase semacam gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada kata lain. Dalam kumpulan puisi Mata Pisau terdapat dua puisi yang menggunakan gaya bahasa hipalase, yaitu puisi “Variasi Pada Suatu Pagi” dan “Waktu Kau Tidur”. Puisi “Variasi Pada Suatu Pagi” ini terdiri dari tiga bait dan masingmasing bait terdiri dari empat baris. Puisi ini berisi tentang suasana pagi yang dihiasi kabut dan senandung lonceng, daun-daun yang gugur, serta cahaya matahari yang menerangi capung, kupu-kupu, burung dan bunga, 124
Ibid., h. 65
89
cahaya matahari yang panasnya membakar daun kering. Penyair menggambarkan keadaan di pagi hari dari hal-hal yang kecil yang jarang diperhatikan orang. (96)“Bayang-bayang yang tiba-tiba tersentak”125 Pada bait ketiga, baris pertama terdapat kata-kata “bayang-bayang yang tiba-tiba tersentak”, kata “tersentak” digunakan untuk menerangkan kata “bayang-bayang” yang seharusnya kenakan pada kata lain (bukan bayangbayang) yaitu pemilik bayang-bayang tersebut. Artinya, yang tersentak bukanlah bayang-bayang melainkan pemilik dari bayang-bayang itu. Penggalan puisi tersebut juga merupakan bentuk imaji visual yang akan mendorong pembaca membayangkan senuah bayang-bayang yang tersentak. Puisi “Waktu Kau Tidur”, terdapat penggunaan gaya bahasa hipalase yang menggambarkan seseorang yang sedang tidur dan bermimpi. (97)“Waktu kau tidur darahmu bersikeras bermimpi”126 Pada penggalan puisi tersebut, terlihat bahwa darah dalam tubuh seperti berusaha bermimpi, padahal yang berusaha bermimpi bukan darah tetapi pikiran seseorang yang sedang tidur yang berusaha bermimpi. 15. Sinekdoke Puisi “Hujan dalam Komposisi, 3” hanya terdiri dari satu bait dan penulis hanya menemukan satu gaya bahasa yaitu sinekdok totum pro parte, yaitu penggunaan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Pada puisi tersebut, penyair menggunakan kata “indera” untuk merujuk pada indera pendengaran saja karena kata sebelumnya merupakan bunyi jam “tik-tok”, jadi yang dimaksud oleh penyair kata “indera” bukan semua indera yang dimiliki manusia tetapi hanya indera pendengaran saja. (98)“dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya: terpisah dari hujan” 127 16. Metonimia Gaya bahasa metonimia merupakan gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata atau nama untuk menyebutkan hal lain, karena memiliki 125
Ibid., h. 16 Ibid., h. 36 127 Ibid., h. 15 126
90
hubungan pertalian yang dekat. Gaya bahasa ini terdapat dalam puisi “Kartu Pos Bergambar: Taman Umum, New York”. Dalam puisi ini, penyair menggunakan nama suatu negara yaitu New York yang mengacu pada seseorang yang hidup di New York sudah dikenal oleh „kau lirik‟. Hal ini dapat dilihat pada bait pertama. (99)“Di sebuah taman kausapa New York yang memutih rambutnya duduk di bangku panjang, berkisah dengan beberapa ekor merpati. Tetapi tak disahutnya anggukmu; tak dikenalnya sopan santun itu” 128 Pada baris pertama penyair menggambarkan bahwa „kau lirik‟ menyapa „New York‟ di sebuah taman di New York yang menandakan bahwa „kau lirik‟ sudah mengenal „New York‟. Dari bait pertama puisi tersebut, juga dapat diketahui bahwa New York yang penyair maksud adalah seseorang yang hidup di New York adalah dari kata-kata yang menerangkan sifat-sifat kemanusiaan yang dimiliki oleh „New York‟, seperti rambutnya yang memutih dan duduk di bangku panjang, berkisah dengan beberapa ekor merpati di taman umum New York dan tidak mengenal lagi sopan santun yang dulu pernah dimiliki oleh „New York‟. Pada bait kedua juga terdapat penggunaan nama „New York‟ yang juga mengacu pada seseorang yang sama dengan „New York‟ bait pertama. Pada bait puisi tersebut juga katakata yang mengungkapkan kesan panca indera terkait dengan indera pengelihatan, mengenai ramut yang memutih, bangku panjang, dan burung merpati. C. Implikasi terhadap Pembelajaran Manusia tidak bisa lepas dari bahasa, untuk itu pendidikan bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, untuk berinteraksi dengan sesama manusia harus memahami bahasa dan perkembangannya. Dalam dunia pendidikan, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa melalui sebuah karya sastra. Pemanfaatan karya
128
Ibid., h. 24
91
sastra dalam pengajaran bahasa dapat memperkaya kosakata, wawasan, serta meningkatkan pengetahuan. Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004 adalah agar: 1) peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan
kehidupan,
serta
meningkatkan
pengetahuan
dan
kemampuan berbahasa; dan 2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.129 Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.130 Pada kurikulum pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA kelas X semester ganjil dan genap terdapat materi tentang puisi mulai dari keterampilan mendengarkan, membaca, menulis, hingga berbicara. Materi puisi sudah diperkenalkan dari pendidikan dasar hingga menengah atas. Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang sangat menonjolkan penggunaan bahasa yang indah dan kaya akan makna. Gaya bahasa merupakan salah satu unsur pembangun puisi yang sangat penting dan tidak dipungkiri bahwa gaya bahasa juga sering digunakan tanpa disadari. Untuk itu, dalam pembelajaran bahasa dan sastra indonesia dipelajari jenis-jenis gaya bahasa, dengan memahami dan mengetahui gaya bahasa siswa 129 130
Siswanto, op. cit., h. 170 – 171 Ibid., h. 171
92
dapat menangkap informasi yang ada dalam sebuah wacana, karya sastra atau media masa yang biasanya menggunakan gaya bahasa. Pengetahuan tentang gaya bahasa dapat membantu siswa untuk memahami isi puisi dan dapat menangkap pesan serta informasi yang ada di dalamnya. Hasil dari penelitian ini dapat dipergunakan oleh para guru sebagai bahan ajar khususnya dalam materi puisi dan gaya bahasa. Semakin banyak puisi-puisi yang dihadirkan akan memperluas pengetahuan siswa tentang jenis dan bentuk puisi serta pengetahuan tentang sastrawan, begitu juga dengan gaya bahasa, semakin banyak siswa dihadapkan pada pemakaian bahasa dalam berbagai ranah kehidupan semakin banyak informasi yang didapat oleh siswa. Melalui pembelajaran tentang penggunaan gaya bahasa yang ada dalam puisi akan memperkaya pengetahuan siswa tentang jenis dan contoh gaya bahasa serta fungsinya. Bukan hanya itu, hasil analisis ini dapat dipergunakan oleh guru dalam membantu siswa menghadapi berbagai bahan pengajaran, misalnya mengarang, bercerita dan menulis puisi. Apabila siswa memahami dan mengetahui berbagai jenis gaya bahas dan penggunaanya, maka siswa juga akan dapat menghasilkan sebuah karya, siswa mampu menulis puisi yang indah dan bermakna dengan menggunakan gaya bahasa yang sesuai, serta menulis karya sastra lainnya dengan penggunaan gaya bahasa yang akan memperindah karyanya.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Penggunaan gaya bahasa dalam buku kumpulan puisi Mata Pisau banyak yang menggunakan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dari teori Gorys Keraf. Dari semua jenis gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang berjumlah 37 jenis gaya bahasa, ditemukan 16 penggunaan gaya bahasa dari semua puisi dalam buku kumpulan puisi Mata Pisau. Dalam buku kumpulan puisi Mata Pisau karya Sapardi Djoko Damono, terdapat 51 judul puisi, dari puisi-puisi tersebut penulis menganalisis 99 data yang sudah dikelompokkan sesuai dengan jenis gaya bahasanya. Dari semua jenis gaya bahasa yang telah dianalisis, gaya bahasa personifikasi dan metafora adalah yang paling banyak. Gaya bahasa personifikasi terdapat 27 data dan gaya bahasa metafora terdapat 23 data. Penggunaan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terdapat dalam kumpulan puisi Mata Pisau memberi efek penekanan, rasa emosional, dan keindahan. Melalui penggunaan gaya bahasa, penulis membangun imaji pembaca dan memberi penguatan terhadap ide dan perasaan yang dituangkan dalam puisinya. Efek penekanan, misalkan pada puisi Di Beranda Waktu Hujan, kata “semakin sore hari” yang menghadirkan efek penekanan bahwa hari yang sudah sore menjadi semakin sore, penekanannya pada kata „semakin‟ bukan „hari‟. Efek emosional, bagaimana penyair menghadapai suatu persoalan dalam puisinya yang akan melibatkan rasa emosional pembaca dan pendengar puisinya, misalkan pada puisi Pada Suatu Pagi Hari. Efek keindahan pada puisi biasanya ditimbulkan akibat perngulangan bunyi dan tanda baca pada puisi yang akan terlihat saat sebuah puisi dibacakan, misalkan penggunaan gaya bahasa asonansi pada puisi Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago. Hampir sebagian besar puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono bertemakan cinta. Penyair mengemukakan pokok persoalan atau tema secara tidak langsung, sehingga pembaca perlu memahami makna puisi terlebih dahulu dengan 93
94
mengetahui penggunaan gaya bahasa yang digunakan oleh penyair. Misalnya, pada puisi “Akuarium” terdapat penggunaan gaya bahasa metafora, dengan mengetahui gaya bahasa yang digunakan penyair, pembaca dapat mengetahui makna dari puisi tersebut bahwa kau yang mengumpamakan dirinya seperti akuarium adalah seorang laki-laki yang dibutuhkan oleh seorang wanita yang diumpamakan seperti ikan. Seringkali seorang laki-laki bersedia menjadi apa saja untuk orang yang dicintainya, bukan hanya memberikan suatu barang. Hal tersebut dilakukan agar orang tersebut menjadi miliknya. Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diperoleh simpulan, kaitannya dengan penggunaan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang ada dalam buku kumpulan puisi Mata Pisau dan efek yang dihadirkan melalui penggunaan gaya bahasa tersebut. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makan adalah gaya bahasa yang dominan dalam puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono, hal tersebut bertujuan untuk membangun makna yang kuat dan imaji pagi para pembaca. Pada kumpulan puisi Mata Pisau, Sapardi lebih sering menggunakan gaya bahasa yang membandingkan benda-benda mati dengan makhluk yang bernyawa sebagai usaha untuk menampilkan citraan dan keindahan bunyi saat dibacakan. B. Saran Penelitian mengenai gaya bahasa dalam sebuah karya sastra ternyata memiliki cakupan yang luas. Hal ini terlihat dari banyaknya hal dapat dikaji melalui penelitian gaya bahasa pada kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono. Oleh karena itu, penulis menyadari bahwa penelitian ini belum mengkaji keseluruhan cakupan gaya bahasa, sehingga perlu diadakan penelitian lebih lanjut. Berdasarkan dari implikasi dan simpulan yang ada, penulis dapat memberikan saran bagi guru, siswa, dan peneliti selanjutnya. 1. Guru hendaknya lebih memanfaatkan karya sastra seperti puisi dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, selain menambah pengetahuan siswa tentang jenis gaya bahasa, siswa juga akan lebih banyak mengenal puisi-puisi dan penyair Indonesia.
95
2. Siswa harus lebih banyak mengetahui jenis gaya bahasa karena akan membantu siswa memahami isi dari sebuah karya sastra, serta membantu siswa dalam membuat sebuah karangan. 3. Peneliti selanjutnya dapat menggunakan hasil penelitian ini sebgai referensi dalam melakukan penelitian mengenai gaya bahasa dalam karya sastra. Penelitian ini belum mengkaji keseluruhan gaya bahasa, sehingga perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA Atmazaki. Ilmu Sastra. Padang: Angkasa Raya, 1990. Jalil, Dianie Abdul. Teori dan Periodisasi Puisi Indonesia. Bandung: Angkasa, 1990. Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: CV. Sinar Baru, 1987. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Bandung: Rineka Cipta, 2006. Aziez, Furqanul dan Chaedar Alwasilah. Pengajaran Bahasa Komunikatif Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1996. Budianta, Melani, dkk.. Membaca Sastra-Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera, 2006. Budiman, Kris. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra, 2011. Damono, Sapardi Djoko. Mata Pisau. Jakarta: Balai Pustaka, 1993. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi IV. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. I, 2008. Djadjasudarma, Fatimah. Semantik II: Pemahaman Ilmu Makna. PT Eresco, 1993. Effendi. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya, 2002. E. Kosasih. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Nobel Edumedia, 2008. --------------. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya, 2012. Eun, Kim Hong. Skripsi: Konsep Cinta dalam Puisi Yang Seong Woo dan Sapardi Djoko Damono. Depok: Universitas Indonesia, 2010. Horison. Sapardi Djoko Damono. Jakarta: Majalah Horison, 1985. Irianto, Yusak. Skripsi: Citraan dan Majas dalam Sajak-Sajak Sapardi Djoko Damono. Depok: Universitas Indonesia, 1990. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
96
97
Krismawati, Septina. Jurnal: Signifikansi Enam Puisi dalam Antologi Puisi Mantra Orang Jawa karya Sapardi Djoko Damono: Kajian Semiotika Riffaterre. Yogyakarta: LPPM USD, 2013. Mihardja, Ratih. Buku Pintar-Sastra Indonesia. Jakarta: Laskar Aksara, 2012. Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaan Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013. M.S. Hutagalung. Telaah Puisi Penyair Angkatan Baru. TT: Tulila, TT. Pradopo, Rachmat Djoko. dkk.. Puisi. Jakarta: Universitas Terbuka, 2007. Ratna, Nyoman Kutha. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. ----------------------------. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008. Siswantoro. dkk.. Apresiasi Puisi-Puisi Muhammadiyah University Press, 2002.
Sastra
Inggris.
Surakarta:
Straus, Anselm & Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Trans Pustaka, 2011. Sudjiman, Panuti. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2007. Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa, 1990. ------------------------------. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa, 1985. Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori Sejarah dan Sastra Indonesia. Bandung: UPI Press, 2006. Zaidan, Abdul Rozak. dkk.. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Sekolah
: SMP Darussalam Ciputat
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas/Semester
: X/1
Pertemuan Ke-
: 1
Alokasi Waktu
: 2 x 45 menit (1 x Pertemuan)
Aspek pembelajaran
: Mendengarkan
Standar Kompetensi
: Memahami puisi yang disampaikan secara langsung/tidak langsung
Kompetensi Dasar
: 5.2 Mengungkapkan isi suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman
Indikator
:
1. Mampu
mengidentifikasi
struktur pembangun puisi 2. Mampu mengungkapkan isi puisi yang disampaikan secara langsung
ataupun
melalui
rekamam Tujuan Pembelajaran
: 1. siswa dapat mengidentifikasi struktur pembangun puisi 2. siswa dapat mengungkapkan isi
puisi
yang
sudah
disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman
Karakter siswa yang diharapkan: 1. Kerja keras 2. Kreatif 3. Mandiri 4. Tanggung jawab : Materi pokok:
Materi Ajar
1. Lapis struktur puisi 2. Lapis makna puisi
: Ceramah
Metode Pembelajaran
Diskusi Tanya jawab Inkuiri Sumber Belajar :
Sri Utami, Sugiarti, Suroto, Alexander Sosa. Bahasa dan Sastra Indonesia 1: untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. 2008
Rekaman pembacaan puisi
a. Pemilihan Media Pembelajaran Analisis tujuan
Aktivitas siswa
Pembelajaran
Jenis Media yang
Sifat Pengadaan
dipilih
1
2
3
4
Berdasarkan
Siswa
Media audio
Mendengarkan
indikator-
mendengarkan
dengan format
pembacaan puisi
indikator maka,
rekaman
rekaman
yang telah
tujuan
pembacaan puisi
pembelajaran
kemudian
merujuk pada
Mengidentifikasi
ranah kognitif,
unsur intrinsik
afektif, dan
drama
pembacaan puisi
disediakan oleh guru
Psikomotorik
b. Isi Program Media Judul
Indikator keberhasilan
Rincian materi
Referensi
Durasi
3
4
5
melalui media 1 Judul
2
puisi
Siswa mendengarkan pembacaan puisi yang telah disediakan oleh
Siswa mendengarkan pembacaan puisi dengan cermat dan
Rekaman
teliti
pembacaan puisi
guru Siswa
Siswa dapat mengidentifikasi unsur intrinsik puisi
mengidentifikasi unsur intrinsik puisi kemudian megungkapkan isi puisi yang sudah
Siswa mampu mengungkapkan isi puisi yang dibaca
diperdengarkan
c. Sifat Pemanfaatan Media yang dipergunakan bersifat sekunder karena hanya sebagai sumber belajar pendukung dalam proses belajar-mengajar. Langkah-langkah : Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa
Waktu
Nilai Karakter
Kegiatan Awal: Guru
membuka
pelajaran
Siswa
bersama-sama
dengan mengucapkan salam
menjawab
salam
dan
dan berdoa.
berdoa dengan dipimpin
10
Bersahabat/
menit
komunikatif
oleh ketua kelas. Guru mengabsensi siswanya Setelah keadaan kelas kondusif, guru memulai pelajaran hari ini dengan
Siswa mendengarkan
menjelaskan tujuan
tujuan pembelajaran yang
pembelajaran hari ini
disampaikan guru
Guru mengaitkan pembelajaran hari ini dengan pelajaran pada pertemuan
Siswa mendengarkan dengan cermat
sebelumnya Kegiatan Inti:
Eksplorasi Guru menanyakan kepada siswa apa itu puisi.
Siswa mengungkapkan pendapat mereka
20 menit
Guru menjelaskan materi mengenai struktur puisi dan lapis makna puisi
Siswa memperhatikan dengan cermat
Guru memperdengarkan
Siswa mendengarkan
rekaman pembacaan puisi
rekaman pembacaan puisi
kepada siswa
dengan cermat dan
Demokratis/ mandiri
mengidentifikasi unsur intrinsik puisi
Elaborasi Guru meminta siswa
Siswa berdiskusi dengan
membentuk kelompok
kelompok yang telah
diskusi guna
ditentukan guna
25
mendiskusikan hasil
membahas hasil
menit
identifikasi struktur puisi
temuannya
Guru meminta siswa untuk Salah satu siswa mengungkapkan isi puisi
mengutarakan pendapat
yang telah didengarkan
mengenai isi puisi yang telah diperdengarkan kemudian siswa yang lain memperhatikannya
Konfirmasi Bersama guru, siswa
Setiap siswa
mengidentifikasi
mengomentari atau
kesulitan-kesulitan yang
memberikan tanggapan
Demokratis
dialami saat
terhadap apa yang telah
Mandiri
mengidentifikasi struktur
dipelajari.
puisi dan memahami isi dari puisi yang telah didengarkan.
25 menit
Siswa menanyakan Guru bertanya jawab
kesulitan yang mereka
Demokratis
dengan para siswa tentang
alami ketika
Mandiri
hal-hal yang belum
mengidentifikasi struktur
Kreatif
diketahui
sebuah puisi
Kegiatan Akhir: Guru bersama-sama
Siswa membuat
dengan siswa/ sendiri
rangkuman/kesimpulan
membuat
pelajaran hari ini
10 menit
rangkuman/kesimpulan pelajaran hari ini Guru membuat penilaian terhadap kegiatan belajar siswa
d. Penilaian Latihan 1! Setelah membaca kutipan puisi tersebut, kerjakan soal-soal berikut ini! 1) Apakah tema dan amanat puisi tersebut? 2) Jelaskan rima yang terdapat dalam puisi tersebut! 3) Nilai apa yang terdapat dalam puisi tersebut? Jelaskan! 4) Bagaimana pendapat anda mengenai puisi tersebut? 5) Tuliskan hasil diskusi anda? Latihan 2! (menentukan lapis makna puisi) No. Lapis makna puisi 1
Tema
2
Perasaan/feeling
3
Nada dan suasana
4
Amanat
Jawaban
Demokratis
Skor maksimal = 100 Keterangan: Latihan 1: setiap soal benar bernilai 20 (20 x 5= 100) Latihan 2: jawaban tepat bernilai (25), kurang tepat (15), sedangkan tidak tepat (10) Jawaban tepat x 4 = 25 x 4 = 100 Nilai akhir = perolehan skor latihan 1 + perolehan skor latihan 2 2 = 100
Rubrik Penilaian Proses
No. 1.
Nama Siswa XX
Aktif dan penuh inovatif + (3)
Menghargai pendapat teman + (3)
Kesediaan mengerjakan tugas + (3)
Nilai
Catatan: (+) Bersedia mengerjakan tugas, menghargai pendapat teman, dan aktif mengikuti seluruh proses pembelajaran. Skor 3 (-) Tidak bersedia mengerjakan tugas, tidak menghargai pendapat teman, dan tidak aktif mengikuti seluruh proses pembelajaran. Skor 1
Mengetahui,
Ciputat, 04 Agustus 2014
Kepala Sekolah SMP
Guru Bhs Indonesia
Darussalam
( Drs. Asnawie ) NIP :
( Ayu Rizqi P., S. Pd ) NIM : 1110013000044
9
LAMPIRAN Tabel Data Gaya Bahasa yang terdapat dalam Kumpulan Puisi “Mata Pisau” No.
Gaya Bahasa
1
Anastrof
2
Hiperbola
Kalimat
Hlm.
Di beranda kau duduk
19
Semakin sore hari.
52
Lengking kelepak burung
52
ketika gong dipukul keras di tengah cerita ia tiba-
59
tiba merasa beratus-ratus kera berloncatan mengepungnya dan merobek-robek tubuhnya lalu menguburkannya di bawah tumpukan batu dasar laut Ia ingin terbang menembus kaca menembus kelam
63
menembus awan terlepas dari bumi Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak
66
mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Kita masih juga menanti ketika angin membawa
46
derai ombak; kita bayangkan kuntum-kuntum karang terbuka menyambut ujung ombak, perciknya menutupi cakrawala. 3
Asindeton
mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu
14
mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, terglincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik
14
sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan sebermula adalah kabut; dan dalam kabut
16
senandung lonceng, ketika selembar daun luruh, setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput (kau dengarkan juga seperti suara mengaduh)
dan cahaya (yang membasuhmu pertama-tama) bagi capung, kupu-kupu, dan bunga; cahaya (yang menawarkan kicau burung) susut tiba-tiba pada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisa
menjelma bayang-bayang. Bayang-bayang yang tiba-tiba tersentak ketika seekor burung, menyambar capung (selamat pagi pertama bagi matahari), risau bergerak-gerak Ketika sepasang kupu-kupu merendah ke bumi basah, bertarung ketika tiada orang yang bergegas, yang cemas, yang
18
menanti-nanti hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras tiba-tiba; sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udara; 4
Polisindeton
mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, terglincir dari daun-daun, melenting di
14
atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali kebumi sebermula adalah kabut; dan dalam kabut
16
senandung lonceng, ketika selembar daun luruh, setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput (kau dengarkan juga seperti suara mengaduh) Ia menjenguk ke dalam sumur mati itu dan nampak
37
garis-garis patah dan berkas-berkas warna perak dan kristal-kristal hitam yang pernah disaksikannya ketika ia sakit dan mengigau dan memanggilmanggil ibunya ia turun dari ranjang lalu berjingkat dan membuka
39
jendela lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di luar luar-semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada yang akan lewat memberitahukan hal itu padanya dan ia terus bertanya-tanya sampai akhirnya terdengar ayam jantan berkokok tiga kali dan ketika ia menoleh tampak ibunya sudah berdiri di belakangnya kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan
48
pundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan! 5
Elipsis
Aku adalah air,” teriakmu, “adalah ganggang
48
adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah ... Baiklah, kamu pun bercakap sepanjang malam: “Tetapi begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai beterbangan dan menyesakkan udara dan ...
49
sungguh, aku tak berhak mengusutnya sebab
56
bahkan lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubukmu, tidaklah sedalam ... Itu harimau.” Hore!” Itu gajah, itu babi hutan, itu
64
kera ... 6
Eufemismus
dewa akan berdiri di gerbang pura pada suatu hari
61
nanti dan menegur perempuan yang berjalan lewat itu, katanya: “perempuan tua, tumpuklah padimu di lumbung dan hanyutkan bunga itu di sungai; biar kuperintahkan orang-orang itu membuat api di tanah lapang agar terbakar sempurna jasadmu mengabu 7
Erotesis
Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari
13
daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kau tangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan? Apakah yang kita harapkan dari hujan?
14
siapa berbisik di seberang kabut?
17
kenapa kau bawa aku ke mari, saudara?
18
ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan tak
19
pernah kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian, semacam keheningan) terbang; ke mana pula siut daun yang berayun jauh dalam setiap impian? di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,
19
menghindar dari pandangku; di mana pula (ah, tidak!) rinduku yang dahulu? Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar kepada hujan, sendiri, “Di manakah sorgaku itu: nyanyian yang pernah mereka ajarkan padaku
19
dahulu, kata demi kata yang pernah kuhafal bahkan dalam igauanku? inikah ketentraman?
23
Tetapi kaudengarkah swara-swara itu?
25
adakah hujan sudah reda sejak lama?
33
seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
34
pandangmu berpendar, bukan? Siapa mengajarmu menatapku begitu?
44
hei, siapa mengatakan bahwa telah bertebaran
45
serbuk baja dalam dendang nina bobok nenek tua? Kalau malam tiba nanti, siapa akan menuduh
52
bahwa aku telah membunuhmu? 8
Aliterasi
hujan juga jatuh di jalan yang panjang
14
9
Asonansi
melenting di atas genting, tumpah di pekarangan
14
rumah, dan kembali ke bumi Cahaya
16
(yang menawarkan kicau burung) susut tiba-tiba pada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisa ketika berhenti di sini ia mengerti
20
sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku
26
sepenuhnya terjaga. 10
Simile
Bangku-bangku yang separo kosong, beberapa
26
wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela: siluet di atas dasar hitam. suara-suara mereda bagai bulu burung, daun, dan
52
rambutmu yang lepas lalu hanyut di alir kali. 11
Metafora
menyusup suara burung bernyanyi, di sela
17
pepohonan berdering pada berkas-berkas cahaya matahari kusebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari
19
yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkaan warna-warni bunga yang dirangkaikan) yang menghapus jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang dalam hujan. kausebut cintamu penghujan panjang, yang tak
19
habis-habisnya membersihkan debu, yang bernyanyi di halaman dan kausebut hidupmu sore hari (dan bukan siang
19
yang bernafas dengan sengit, yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari) yang basah, yang meleleh dalam senandung hujan, yang larut. Tetapi bukankah hanya suara dingin yang
21
bergoyang di bawah lindap langit; mula-mula jalan setapak yang berakhir
22
di sebuah lorong kecil. Mula-mula matahari pertama yang membimbing kita ke kaki bukit tak berakhir di mana pun Lonceng menggoreskan akhir musim semi
24
Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan,
26
atau apa sajalah bibir-bibir bunga yang pecah-pecah
28
mengunyah matahari, jangan ceritakan padaku tentang dingin yang melengking malam-malam – lalu mengembun Tolong tebarkan atasku bayang-bayang hidup yang
29
lindap kalau kau berziarah ke mari tak tahan rasanya terkubur, megap di bawah terik si matahari mata pisau itu tak berkejap menatapmu
30
aku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di
33
wajahku dari genting kaca dan setelah sepi terasa pada denyut bongkah batu
35
itu. waktu kau tidur darahmu bersikeras bermimpi
36
tentang denyut-denyut air yang membual dari rahim bumi Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-
38
rahang bunga lalu berfikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam-menerkam. Kita masih juga menanti ketika angin membawa
46
derai ombak: kita bayangkan kuntum-kuntum karang terbuka mennyambut ujung ombak semalam suntuk suara nafasmu merayap di dinding
47
lalu terjatuh satu demi satu di lantai kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan
48
pundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan! Aku adalah air,” teriakmu, “adalah ganggang
48
adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca Begitulah kami bercakap sepanjang malam:
49
berdiang pada suku kata yang gosok-menggosok dan membara Baiklah, kami pun bercakap sepanjang malam:
49
“Tetapi begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai berterbangan dan menyesakkan udara Mendadak ribut: lengking kelepak burung, jerit daun jatuh, gemutuh batu menahan air kali, teriak
52
mereka yang telah terpisah dari kita. Para perempuan sedang menebarkan bibit-bibit
60
kabut di arus yang riciknya terdengar dari kejauhan 12
Alegori
Matahari yang di atas kepalamu itu
31
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu waktu kau kecil, adalah bola lampu yang diatas meja ketika kau menjawab surat-surat yang teratur kau terima dari sebuah Alamat, adalah jam weker yang berdering sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan yang dituding anak kecil itu sambil berkata: “Ini matahari! Ini matahari!” Matahari itu? ia memang di atas sana supaya selamanya kau menghela bayang-bayangmu itu. 13
Personifikasi
Apakah yang kau tangkap dari swara hujan, dari
13
daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dan ricik air yang turun di selokan? Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan
13
hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu
14
mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun terus mericik sejak sore, mericik juga di malam
14
gelap ini, bercakap tentang lautan sebermula adalah kabut; dan dalam kabut senandung lonceng, ketika selembar daun luruh,
16
setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput (kaudengarkah juga seperti Suara mengadu) dan cahaya (yang membasuhmu pertama-tama)
16
bernyanyi bagi capung, kupu-kupu, dan bunga; Cahaya (yang menawarkan kicau burung) susut tiba-tiba pada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisa kenapa kau bawa aku ke mari, saudara?”; sebuah
18
stasiun di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letih-letihnya meloncat, merapat ke Sepi dan bukan siang yang bernafas dengan sengit, yang
19
tiba-tiba mengeras di bawah matahari Beberapa patah kata yang segera dijemput angin
20
begitu diucapkan, dan tak sampai ke siapa pun Mula-mula matahari pertama yang membimbing
22
kita ke kaki bukit jalan setapak yang berbelit, matahari yang berteduh
23
di bawah bunga-bunga Hafalkan namamu baik-baik di sini. Setelah baja
25
dan semen yang mengatur langkah kita, lampulampu dan kaca. kabut yang likat dan kabut yang pupur lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan matahari menggeliat dan kembali gugur tak lagi di langit! berpusing di pedih lautan
27
mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
30
kau yang baru saja mengasahnya berfikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam; ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari
32
mengikutiku di belakang aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di
32
antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang
32
siapa di antara kami yang harus berjalan di depan Ada saatnya selembar bulu yang lepas dari garuda
35
itu memperhatikanmu ketika kau menatapnya Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana
38
pun dan bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin dan ia kesal lalu menyepak sebutir kerikil biar kututup jendela ini kau tidurlah saja setelah
39
semalam suntuk terjaga sedang udara malam jahat sekali perangainya kubiarkan angin, yang pucat dan tak habis-habisnya
43
gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita
49
dan menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini! Hujan yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan. “Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.”
53
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang. Kalau kebetulan dibawanya air dari gunung,
56
katanya, “Inilah lambang cinta sejati, sumber denyut kehidupan.” Kalau
hanya
sampah
dan
kotoran
yang
dimuntahkannya ia berkata, “tentu saja bukan maksudku mengotori hubungan kita yang suci, tentu saja aku tak menghendaki sisa-sisa ini untukmu. katanya kau keturunan pisau yang terengah dan
57
mengucurkan darah yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan
58
teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa Sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua Sebuah bola lampu ingin memejamkan dirinya. Ia
64
merasa di tengah hutan. Ia bising mendengar hingar-bingar kawanan binatang buas itu. Ia tibatiba merasa asing dan tak diperhatikan Puntung rokok dan kursi bercakap tentang seorang yang tiba-tiba menghela nafas panjang lalu berdiri
65
14
15
Hipalase
Sinekdoke
Bayang-bayang yang tiba-tiba tersentak
16
Waktu kau tidur darahmu bersikeras bermimpi
36
dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya:
15
terpisah dari hujan 16
Metonimia
Di sebuah taman kausapa New York yang memutih rambutnya duduk di bangku panjang, berkisah dengan
beberapa
ekor
merpati.
Tetapi
disahutnya anggukmu; tak dikenalnya sopan santun itu
tak
24
Hujan Dalam Komposisi, 1 “Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan?” ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang. “Tidak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang dibalik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur.” Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya.
Hujan Dalam Komposisi, 2 Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi. Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan. Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan. Selamat malam.
Hujan dalam Komposisi, 3 dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya: terpisah dari hujan
Variasi Pada Suatu Pagi (i) sebermula adalah kabut; dan dalam kabut senandung lonceng, ketika selembar dauh luruh, setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput (kaudengarkah juga seperti Suara mengaduh?) (ii) dan cahaya (yang membasuhmu pertama-tama) bernyanyi bagi ca pung, kupu-kupu, dan bunga; Cahaya (yang menawarkan kicau burung) susut tiba-tiba pada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisa (iii) menjelma baying-bayang. Bayang-bayang yang tiba-tiba tersentak ketika seekor burung, menyambar capung (Selamat pagi pertama bagi matahari), risau bergerak-gerak ketika sepasang kupu-kupu merendah ke bumi basah, bertarung
Kabut Pagi “siapa berbisik di seberang kabut?”; kita berjalan mencari batas kabut pagi menyusup suara burung bernyanyi, di sela pohonan berdering pada berkas-berkas cahaya matahari ketika menyeberang sungai kau berkata, “siapa berbisik di seberang kabut?” sementara kabut pagi semakin susut, menipis risik dan terbit sunyi. Hutan kecil di bawah matahari
Malam Itu Kami Di Sana “kenapa kaubawa aku ke mari, saudara?”; sebuah stasiun di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letih-letihnya meloncat, merapat ke Sepi. Barangkali saja kami sedang menanti kereta yang biasa tiba setiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda, barangkali saja kami sekedar ingin berada di sini ketika tiada orang yang bergegas, yang cemas, yang menanti-nanti hanya nafas kami menyusur batang-batang rel, mengeras tiba-tiba; sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udara; sementara bayang-bayang putih di seluruh ruangan, “Tetapi katakan dahulu, saudara, kenapa kaubawa aku ke mari”
Di Beranda Waktu Hujan Kusebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan warna-warni bunga yang dirangkaikan) yang menghapus jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang dalam hujan. Kau di beranda, sendiri, “Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan tak pernah kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian, semacam keheningan) terbang; ke mana pula siut daun yang berayun jauh dalam setiap impian?” (Dan bukan kemarau yang membersitkan langit, yang pelahan mengendap di udara) kausebut cintamu penghujan panjang, yang tak habis-habisnya membersihkan debu, yang bernyanyi di halaman. Di beranda kau duduk, sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu, menghindar dari pandanganku; di mana pula (ah, tidak!) rinduku yang dahulu?” Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar kepada hujan, sendiri, “Di manakah sorgaku itu: nyanyian yang pernah mereka ajarkan padaku dahulu, kata demi kata yang pernah kuhafal bahkan dalam igauanku?” Dan kau sebut hidipmu sore hari (dan bukan siang yang bernafas dengan sengit, yang tiba-tiba mengeras di bawah sinar matahari) yang basah, yang meleleh dalam senandung hujan, yang larut. Amin.
Ketika Berhenti Di Sini ketika berhenti di sini ia mengerti ada yang telah musnah. Beberapa patah kata yang segera dijemput angin begitu diucapkan, dan tak sampai ke siapa pun
Rupanya Kita rupanya kita yang harus menjawab suara itu. tetapi bukankah hanya suara dingin yang bergoyang di bawah lindap langit; bukankah hanya selembar daun yang putus, ke bumi bukankah hanya nafas kita sendiri. Rupanya kita yang masih harus menyebut sebuah nama di suatu tempat pada suatu waktu; tetapi adakah kita kenal bahasa itu
Lembah Manoa, Honolulu mula-mula jalan setapak yang berakhir di sebuah lorong kecil. Mula-mula matahari pertama yang membimbing kita ke kaki bukit tak berakhir di mana pun
Taman Jepang, Honolulu inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil: jalan setapak yang berbelit, matahari yang berteduh di bawah bunga-bunga, ricik air yang membuat setiap jawaban tertunda Kartu Pos Bergambar: Taman Umum, New York Di sebuah taman kausapa New York yang memutih rambutnya duduk di bangku panjang, berkisah dengan beberapa ekor merpati. Tapi tak disahutnya anggukmu; tak dikenalnya sopan-santun itu New York yang senjakala, yang hitam panggilannya, membayangkan dirinya turun dari kereta dari selatan nun jauh. Beberapa bunga ceri jatuh di atas koran hari ini. Lonceng menggoreskan akhir musim semi
New York, 1971 Hafalkan namamu baik-baik di sini. Setelah baja dan semen yang mengatur langkah kita, lampu-lampu dan kaca. Langit hanya dalam batin kita, tersimpan setia dari lembah-lembah di mana kau dan aku lahir, semakin biru dalam dahaga. Hafalkan namamu. Tikungan demi tikungan, warna demi warna tanda-tanda jalanan yang menunjuk ke arah kita, yang kemudian menjanjikan arah yang kabur ke tempat-tempat yang dulu pernah ada dalam mimpi kanak-kanak kita. Berjalanlah merapat tembok sambil mengulang-ulang menyebut nama tempat dan tanggal lahirmu sendiri, sampai di persimpangan ujung jalan itu, yang menjurus ke segala arah sambil menolak arah. Ketika semakin banyak juga orang-orang di sekitar kita, dan terasa bahwa sepenuhnya sendiri. Kemudian bersiaplah dengan jawaban-jawaban itu. Tetapi kaudengarkah swara-swara itu?
Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago “Siapakah namamu?” barangkali aku setengah tertidur waktu kautanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong, beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela: siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu, bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku, sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga. Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa sajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang pahlawan, atau seorang budak, atau pak guru yang mengajar anak-anak bernyanyi – tetapi manakah yang lebih deras denyutnya, jantung manusia atau arloji (yang biasa menghitung nafas kita), ketika seorang membayangkan sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kita namakan apa-apa; kau pun sibuk mengulang-ulang pertanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo terjaga. Seandainya -
Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco kabut yang likang dan kabut yang pupuh lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan matahari menggeliat dan kembali gugur tak lagi di langit berpusingdi perih lautan
Jangan Ceritakan bibir-bibir bunga yang pecah-pecah mengunyah matahari, jangan ceritakan padaku tentang dingin yang melengking malam-malam – lalu mengembun
Tulisan Di Batu Nisan tolong tebarkan atasku bayang-bayang hidup yang lindap kalau kau berziarah ke mari tak tahan rasanya terkubur, megap di bawah terik si matahari
Mata Pisau mata pisau itu tak berkejap menatapmu: kau yang baru saja mengasahnya berfikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam; ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.
Tentang Matahari Matahari yang di atas kepalamu itu adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu waktu kau kecil, adalah bola lampu yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat yang teratur kau terima dari sebuah Alamat, adalah jam weker yang berdering sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan yang dituding anak kecil itu sambil berkata: "Ini matahari! Ini matahari!" – Matahari itu? Ia memang di atas sana supaya selamanya kau menghela bayang-bayanganmu itu.
Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
Cahaya Bulan Tengah Malam Hari aku terjaga di kursi ketika cahaya balan jatuh di wajahku dari gentingan kaca adakah hujan sudah reda sejak lama? masih terbuka koran yang tadi belum selesai kubaca terjatuh di lantai: di tengah malam itu ia nampak begitu dingin dan fana Narsisus seperti juga aku: namamu siapa, bukan? pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam tetapi jangan saja kita bercinta jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan? cemaskan aku kalau nanti air hening kembali cemaskan aku kalau gugur daun demi daun lagi
Prometheus Ada saatnya selembar bulu yang lepas dari garuda itu memperhatikanmu ketika kau menatapnya: yakni setelah dewa-dewa berlalu bosan pada sekaratmu dan setelah sepi terasa pada denyut bongkah batu itu. Ada saatnya selembar bulu menangkap kata-kata yang tak sempat kauucapkan yakni ketika para manusia itu berdiang dalam gua-gua meski masih saja kau terikat pada bongkah batu itu.
Waktu Kau Tidur waktu kau tidur darahmu bersikeras bermimpi tentang denyut-denyut air yang membual dari rahim bumi
Catatan Masa Kecil 1 Ia menjenguk kedalam sumur mati itu dan nampak garis-garis patah dan berkas- berkas warna perak dan kristal-kristal hitam yang pernah disaksikannya ketika ia sakit dan mengigau dan memanggilmanggil ibunya. Mereka bilang ada ular menjaga di dasarnya. Ia melemparkan batu ke dalam sumur mati itu dan mendengar suara yang pernah dikenalnya lama sebelum ia mendengar tangisnya sendiri yang pertama kali. Mereka bilang sumur mati itu tak pernah keluar airnya. Ia mencoba menerka kenapa ibunya tidak pernah mempercayai mereka.
Catatan Masa Kecil 2 Ia mengambil jalan lintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkah-langkahnya. Langit belum berubah juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga lalu berfikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam-menerkam. Langit belum berubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin dan ia kesal lalu menyepak sebutir kerikil. Ada yang terpekik di balik semak. Ia tak mendengarnya. Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuh sekuntum bunga lalu tersangkut pada angin dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tak mendengarnya dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di tanggul sungai tetapi mereka yang berjanji menemuinya di sini ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Ia memperhatikan ekor srigunting yang senantiasa bergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya ke seberang sungai belum juga tiba lalu ia menyaksikan butir-butir hujan mulai jatuh ke air dan ia memperhatikan lingkaran-lingkaran itu melebar dan ia membayangkan mereka tiba-tiba mengepungnya dan melemparkannya ke air. Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tidak melihatnya. Ada.
Catatan Masa Kecil 3 Ia turun dari ranjang lalu bersijingkat dan membuka jendela dan menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di luar luar-semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada yang akan lewat memberitahukan hal itu padanya dan ia terus bertanya-tanya sampai akhirnya terdengar ayam jantan berkokok tiga kali dan ketika ia menoleh nampak ibunya sudah berdiri di belakangnya berkata “biar kututup jendela ini kau tidurlah saja setelah semalam suntuk terjaga sedang udara malam jahat sekali perangainya” NOKTURNO kubiarkan cahaya bintang memilikimu kubiarkan angin, yang pucat dan tak habis-habisnya gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu – entah kapan kau bisa kutangkap Matahari Menepi I matahari menepi. Ketika udara memadat tiba-tiba “Siapa mengajarmu menatapku begitu?” II ketika udara menebal dan kita saling luput terbayang kembali: suara-suara yang mengucilkan kita Perjalanan kemudian aku berjalan-setengah-bermimpi menembus udara yang semakin tebal asapnya, (kolam-kolam yang penuh ganggang dan ikan mas itu masih tersimpan rapih dalam kedua telapak tanganku) menyusur tiang-tiang listrik dua belas warna; “hei, siapa mengatakan bahwa telah bertebaran serbuk baja dalam dendang nina bobok nenek tua?” Hari Itu Kita masih juga menanti ketika angin mebawa derai ombak; kita bayangkan kuntum-kuntum karang terbuka menyambut ujung ombak, perciknya menutupi cakrawala. “Ia belum tiba juga,” katamu; kembali suara itu membentur dinding dan susut dalam dingin. Kita masih mengharap juga ketika di luar terdengar langkahlangkah kaki; kita bayangkan pembawa berita itu berhasil menyebrang samudra, segera kan mengumumkan pembebasan kita. Tetapi waktu selalu cepat lewat sebelum kata pertama dikumandangkan, entah apa yang akan meredakan dingin yang hampir mengkristal dalam pembuluh darah kita.
Kwatrin semalam suntuk suara nafasmu merayap di dinding lalu terjatuh satu demi satu di lantai pagi hari kau bangun dan tercium olehmu bau yang mengingatkanmu akan sesuatu yang kini sudah bukan lagi milikmu kalubuka jendela: cahaya matahari meloncat ke dalam dan nampak olehmu seperti ada yang satu demi satu bangkit dari lantai menjelma semacam gas namun masih kaudengar engahnya mendaki berkas-berkas sinar matahari.
AKUARIUM kau yang mengatakan: matanya ikan! kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya ikan! kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan! "Aku adalah air," teriakmu, "adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah ..."
Sajak 1 Begitulah, kami bercakap sepanjang malam: berdiang pada suku kata yaqng gosok-menggosok dan membara. “Jangan diam, nanti hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita dan menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini!” Baiklah, kami pun bercakap sepanjang malam: “Tetapi begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai bertarbangan dan menyesakkan udara dan ...”
Sajak 2 Telaga dan sungai itu kulipat dan kusimpan kembali dalam urat nadiku. Hutan pun gundul. Demikianlah maka kawanan kijang itu tak mau lagi tinggal dalam sajak-sajakku sebab kata-kata di dalamnya berujut anak panah yang dilepas oleh Rama. Demikianlah maka burung-burung tak betah lagi di sela-sela kalimatkalimatku sebab sudah begitu rapat tak ada lagi tersisa ruang. Tinggal beberapa orang pemburu yang terpisah dari anjing mereka menyusur jejak darah, membalikkan dan menggeser setiap huruf kata-kataku, mencari binatang korban yang terluka pembuluh darahnya itu.
Di Kebon Binatang Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular yang melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan lidahnya, katanya kepada suaminya: “Alangkah indahnya kulit ular itu untuk tas dan sepatu.” Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat menarik lengan istrinya, meninggalkan tempat terkutuk itu.
Hutan Hah, kita sampai di sini lagi! “Kita telah tersesat rupanya,” katamu. Semakin sore hari. Pohon-pohon cemara tak teratur, jalan setapak menuruni tebing, suara air mengepung batu kali. Masih terdengar suara memanggil dari arah sana, mereka telah meninggalkan kita. Di seberang itu juga pohon-pohon cemara. Juga suara-suara yang sama. Dan semakin sore hari. Mendadak ribut: lengking kelepak burung, jerit daun jatuh, gemuruh batu menahan air kali, teriak mereka yang telah terpisah dari kita. Hutan semakin merah oleh sore hari. Tak kaudengar aku memanggil namamu ketika kau bersorak dan tercebut dalam tamasya itu. Sewaktu angin bertiup dari arah malam, suara-suara mereda bagai bulu burung, daun, dan rambutmu yang lepas lalu hanyut di alir kali. Kalau malam tiba nanti, siapa akan menuduh bahwa aku telah membunuhmu?
Percakapan Malam Hujan Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.” “Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang.”
Telor Ada sebutir telor tepat di tengah tempat tidurmu yang putih rapih, Kau, tentu saja, terkejut ketika pulang malam-malam dan melihatnya di situ. Barangkali itulah telor yang kadang hilang kadang nampak di tangan tukang sulap yang kautonton sore tadi. Barangkali telor itu sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau isterimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya.
Sehabis Suara Gemuruh sehabis suara gemuruh itu yang nampak olehku hanyalah tubuhmu telanjang dengan rambut terurai mengapung di permukaan air bening yang mengalir tenang – tak kau sahut panggilanku.
Muara Muara yang tak pernah pasti sifatnya selalu mengajak laut bercakap. Kalau kebetulan dibawanya air dari gunung, katanya, “Inilah lambang cinta sejati, sumber denyut kehidupan” Kalau hanya sampah dan kotoran yang dimuntahkan ia berkata, “Tentusaja bukan maksudku mengotori hubungan kita yang suci, tentu saja aku tidak menghendaki sisa-sisa ini untukmu” Dan ketika pada suatu hari ada bangkai manusia terapung di muara itu, di sanasini timbul pusaran air, dan tepi-tepi muara itu tiba-tiba bersuara rebut, “Tidak! Bukan aku yang memberinya isyarat ketika ia tiba-tiba berhenti di jembatan itu dan, tanpa memejamkan mata, membiarkan dirinya terlempar ke bawah dan, sungguh, aku tak berhak mengusutnya sebab bahkan lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubukumu,tidaklah sedalam…”
Katanya Kau katanya kau keturunan pisau katanya kau keturunan pisau yang terengah katanya kau keturunan pisau yang darah katanya kau keturunan pisau yang darah sehabis menikam ombak laut dan terkubur di rahimnya
terengah
dan
mengucurkan
terengah
dan
mengucurkan
Sepasang Sepatu Tua sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu yang kiri menerka mereka mungkin besok dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiakan membusuk bersama makanan sisa sepasang sepatu tua saling membisikkan sesutau yang hanya bisa mereka pahami berdua
Di Banjar Tunjuk, Tabanan Pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rama yang mengiringkan Sinta memasuki hutan Pemukul gendang itu membayangkan dirinya Garuda yang membawa Sinta di antara kuku-kukunya Pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rawana yang memperkosa Sinta di Taman Raja Ketika gong dipukul keras di tengah cerita ia tiba-tiba merasa beratus-ratus kera berloncatan mengepungnya dan merobek-robek tubuhnya lalu menguburkannya di bawah tumpukan batu di dasar laut
Sungai, Tabanan kami berhenti dan memandang kearah sungai para perempuan sedang menebarkan bibit-bibit kabut di arus yang riciknya terdengar dari kejauhan kami berteriak, “apa nama sungai itu?”, tetapi hanya tawa mereka menyahut, berderai dan ketika kami mencapai tepi sungai, para perempuan itu ternyata tak ada – dan kabut menutupi arus sungai sehingga kami tak tahu ia mengalir ke selatan atau utara
Kepada I Gusti Ngurah Bagus dewa telah menciptakan butir-butir padi dewa telah menciptakan bunga dewa telah menciptakan gadis yang menjunjung untaian padi di kepala dan menyematkan bunga di telinga dewa akan berdiri di gerbang pura pada suatu hari nanti dan menegur perempuan yang berjalan lewat itu, katanya: “perempuan tua, tumpuklah padimu di lumbung dan hanyutkan bunga itu di sungai; biar kuperintahkan orang-orang itu membuat api di tanah lapang agar terbakar sempura jasadmu mengabu”
Seekor Ulat Seekor ulat akhirnya mencapai sekuntum bunga lalu berhenti di sana. Ia telah memakan beberapa lembar daun muda di ranting itu, dan kini ia berada di atas sekuntum bunga: ia pun diam. Sekali-sekali angin lewat menggoyang bunga itu, yang kebetulan tidak dipetik oleh anak lelaki yang suka iseng merusak tanaman dan mengejek bunga.
Malam Rama-Rama Sehabis hujan seekor rama-rama keluar dari tanah melihat cahaya terang di dalam sebuah rumah lalu terbang ke arahnya. Ia tertumbuk kaca jendela dan jatuh di pinggirnya. Ia merayap kian ke mari di pinggir kaca, berusaha menembusnya. Ia bahkan melepaskan sayap-sayapnya, tetapi tetap tak bisa mencapai cahaya. Di balik kaca jendela itu, di bawah lampu, seseorang sedang duduk, mencoba menembus kelam yang di luar. Ia ingin terbang menembus kaca menembus kelam menembus awan terlepas dari bumi. Ia ingin sekali melihat bintangbintang. Bola Lampu Sebuah bola lampu menyala tergantung dalam kamar. Lelaki Itu menyusun jari-jarinya dan baying-bayangnya Tampak bergerak di dinding; ”Itu kijang,” katanya. “Hore!” teriak anakanaknya, “sekarang harimau!” “Itu harimau.” Hore! “Itu gajah, itu babi hutan, itu kera ...” Sebuah bola lampu ingin memejamkan dirinya. Ia merasa berada di tengah hutan. Ia bising mendengar hingar-bingar kawanan binatang buas itu. ia tiba-tiba merasa asing dan tak diperhatikan.
Percakapan Dalam Kamar Puntung rokok dan kursi bercakap tentang seorang yang tiba-tiba menghela nafas panjang lalu berdiri. Bunga plastik dan lukisan dinding bercakap tentang seorang yang berdiri seperti bertahan terhadap sesuatu yang akan menghancurkannya. Jam dinding dan penanggalan bercakap tentang seorang yang mendadak membuka pintu lalu cepat-cepat pergi tanpa menutupkannya kembali. Topeng yang tergantung di dinding itu, yang mirip wajah pembuatnya, tak berani mengucapkan sepatah kata pun; ia merasa bayangan orang itu masih bergerak dari dinding ke dinding; ia semakin mirip pembuatnya karena sedang menahan kata-kata. Pada Suatu Pagi Hari Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa. Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-tintik di lorong sepi pada suatu pagi.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
AYU RIZQI PRAMULYA NINGRUM, dilahirkan di Brebes, pada 08 Juli 1993 ini bisa disapa Ayu. Ia adalah anak pertama dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan suami istri, Kaprawi dan Muldiasih. Ia memulai pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda Kalipucang tahun 1998 dan lulus tahun 2004, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP NU Sunan Kalijaga, Adiwerna dan lulus tahun 2007. Setelah lulus dari SMP, ia melanjutkan di MAN Babakan, Lebaksiu, Tegal tahun 2007 dan memutuskan untuk tinggal di pondok pesantren Al-Fajar. Setelah lulus MA/SMA pada tahun 2010, ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di sebuah universitas Islam terkemuka di Jakarta, yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.