ANALISIS LATAR DALAM NOVEL JALAN TAK ADA UJUNG KARYA MOCHTAR LUBIS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh Hardiyani Windari 1111013000084
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
LEMBAR PENGESAIIAN SKRIPSI
ANALI$S LATAR DALAM NOVEL IALAN TAK AT}A AJWG KARYA MOCHTAR, LTJBIS SERTA IMPLIKA,ST}IYA TERIIADAP PEMBEI,AJARAN APRESIASI SASTRA DI SEKOLAII MENENGAE ATAS (SMA) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tmbiyah dan Keguruan untuk lvIerlen&hi Persyaratan Memperoleh Gelar Ssrlarn Peadidika$ (S,Pd.)
Oleh
Hardivani Wi*dari I\rIM. 1111013000084
Mengetahui, Dosen Pemlfmhing
/
A /l / ,.4
/'l\
[c,
Ahmrd Bahtier. M.Eum. IIIIP. r97501182m9n tD02
JURUS$I PENDIDIKAI\I BAIIASA DAI\I SASTRA INDOFTESIA FAKULTAS ILMU TARBTYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIT IIIDAYATI]LL"A,II
JAKARTA 2015
LE',MBAR PENGESAHA}I Skripsi beq'udul 66Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra di
SMA", disusun oleh Hardiyani Windari, Nomor Induk
Mahasiswa: 1111013000084, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqosah pada
tanggal 12 Oktober 2075, di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S-1 (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta,
l2 Oktober
2015
Panitia Ujian Munaqosah Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)
Makyun Subuki. M.Hum. NIP. 19800305 200901 I 015
Tanggal
l%-"
Tanda Tangan
rflnout
'. t. "'.....'..
Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi)
Dona Aii Karunia Putra. M.A. NIP. 19840409 20110l 1 015 Penguji I Novi Diah Haryanti. M.Hum. NIP. 19841t26 20t503 2 007
Penguji
II
Rosida Erowati, M.Hum. NIP. 19771030 200801 2 009
l\:v^i e*l
qol(
lto
23/,o
Mengetahui:
us
0,,#'
KEiIENTERTAN AGAITiA UIN JAKARTA FITK Jt. lr. H.
Jtflda
tlo S5
eiilnd
15412
FORM (FR)
ln&nega
No. Dokumen : Tgl.Terbit : No. Revisi: :
01
Hal
1t1
FITK-FR-AKD-089
1Maret2010
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI Saya yang bertanda tan gan di bawah
ini,
Nama
Hardiyani Windari
Tempat/Tgl.Lahir
Tangerang/O4 September I 993
NIM
I l l r013000084
Jurusan / Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sasta Indonesia
Judul Skripsi
Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Sasta di SekolahMenengah Atas (SMA)
Dosen Pembimbing
: Ahmad Bahtiar,
M.Hum.
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pemyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakart4 15 September 2015
NIM. r1r1013000084
ABSTRAK
Hardiyani Windari. NIM: 1111013000084. “Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis Serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Menengah Atas”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M.Hum. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan latar yang tergambar dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dengan melakukan analisis objektif dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam analisis novel Jalan Tak Ada Ujung adalah pendekatan objektif dengan tinjauan sosiologi sastra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar bukan saja mengenai tempat, waktu dan keadaan sosial di dalam novel. Tetapi latar juga berkaitan dengan karakter tokoh di dalam cerita, latar berkaitan dengan waktu peristiwa dan dalan novel Jalan Tak Ada Ujung memiliki latar sosial tentang keadaan ekonomi dan juga kondisi politik. Ditinjau dengan sosiologi sastra terdapat relevansi dengan peristiwa di luar karya sastra yang merupakan refleksi dari peristiwa yang terjadi pada masa novel Jalan Tak Ada Ujung dibuat. Melalui penelitian ini peserta didik akan mengetahui bahwa dalam memahami sebuah novel, latar dapat menciptakan setiap kemunculan peristiwa yang terdapat pada cerita dalam novel. Penelitian tentang analisis latar dapat diimplikasikan dalam pembelajaran apresiasi sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai upaya memberikan pengetahuan lebih mendalam terhadap latar dalam materi analisis unsur intrinsik.
Kata Kunci: Latar, Novel Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis.
i
ABSTRACT
Hardiyani Windari. NIM: 1111013000084. "Analysis of the setting in the Novel the road with no end by Mochtar Lubis as well as implications for Literary appreciation of Learning in Senior High School". The Department of Language and Indonesian Literature Education, Faculty of Tarbiya and Teacher Sciences. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. Mentor: Ahmad Bahtiar, M. Hum. This study aims to describe the setting reflected in the novel A Road with No End novel by Mochtar Lubis did an analysis of the objective and the implications for learning literature in school. The methods used in this research is descriptive, qualitative approach. While the approach used in the analysis of the novel A Road with No End is an objective approach with literaty sociology study. Based on the results of the research that has been done, it was found that the setting is not just about place, time and social circumstances in the novel. But also with regard to the character of the character in the story, the setting related to time and events in the novel A Road with No End of social setting about economy and also political conditions. Reviewed by sociology of literature there is relevance to the events outside of literary works that are a reflection of events taking place during the novel A Road with No End is created. Through these studies the learners will know in understanding a novel, the setting can create each occurrence of the events in the story in the novel. Research about analysis setting can be implied in a literary appreciation of learning in Senior High School in an effort to give more in-depth knowledge against the setting of the intrinsic elements of the analysis in the material.
Keywords: Setting, Novel of A Road with No End, Mochtar Lubis
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur ke hadirat Ilahi Robbi Yang Maha Kuasa akan segala sesuatu, pencipta segala yang dikehendaki-Nya dan pemberi rahmat serta karunia, sehingga proses penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Salawat dan salam semoga senantiasa Allah Swt. limpahkan kepada Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Ide penulisan skripsi ini berawal dari mata kuliah “sejarah sastra” saat membahas tentang novel Jalan Tak Ada Ujung yang digunakan penulis sebagai tugas akhir semester, dari situlah penulis berusaha mendalami kembali dengan menganalisis novel tersebut. Akhirnya dalam pencarian, penulis menemukan bahasan tentang latar yang terdapat dalam novel. Proses penyusunan skripsi ini menggunakan beberapa kajian. Kajian-kajian tersebut digunakan sebagai alat untuk menganalisis novel Jalan Tak Ada Ujung dengan asumsi bahwa adanya keterkaitan latar dengan unsur intrinsik lainnya dalam novel dan karya sastra tidak lepas dari konteks sosialnya. Skripsi berjudul “Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Menengah Atas” ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana. Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis tidak dapat terlepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan pribadi-pribadi yang senantiasa mendampingi dan membimbing dalam proses penyelesaian skripsi sebagai tugas akhir menempuh Strata satu. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terimakasih sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
2. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ahmad Bahtiar, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis. 4. Dosen-dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang dengan senang hati membagi ilmu dan memberikan arahan kepada penulis selama penyusunan skripsi. 5. Bapak Harno dan Ibu Sri Winda, orangtuaku tercinta, yang selalu menguatkan hati dan pikiran ketika lemah dan lelah, yang tak hentinya memberikan kasih sayang, perhatian, pengertian, motivasi, semangat, serta doa untuk setiap langkah penulis dalam menuntut ilmu dan menyelesaikan skripsi. Terimakasih yang tak terhingga untuk mereka. 6. Dhandi Laksono, Haris Tri Suseto dan Bayu Adji Ramadhan, adik-adikku tersayang terima kasih atas waktu canda dan tawa ketika rasa penat menghampiri. 7. Said Kurniawan, S.Kom., yang selalu memberikan perhatian, dukungan, doa dan
juga
meluangkan
waktunya
untuk
membantu
penulis
hingga
terselesaikannya skripsi ini. 8. Risma Nurpadilah dan Aprilia Dwi Permatasari, sahabat yang selalu meluangkan waktu, teman berbagi keluh kesah terima kasih atas saran, dukungan dan doa kalian. 9. Sahabat-sahabat tercinta dan seperjuangan Widiyowati Tria Rani Astuti, Rifqi Faizah, Amanah Ari Rachmanita, Aminah Ratna Ningsih, Silviani Marlinda dan Hadiyati Wulan Dani yang telah meluangkan waktu untuk saling mendoakan dan saling membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 10. Teman-teman mahasiswa Jurusan PBSI, khususnya kelas C angkatan 2011 atas segala pengalaman, dukungan dan doa.
iv
Terima kasih pula kepada semua pihak yang telah membantu proses penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, semoga Allah membalas kebaikan yang telah diberikan serta senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca, serta dapat memberikan sumbangsih bagi khazanah ilmu pengetahuan.
Jakarta, 04 September 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ABSTRAK ..................................................................................................... i ABSTRACT.. ................................................................................................... ii KATA PENGANTAR.. .................................................................................. iii DAFTAR ISI.. ................................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR... ................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ......................................................................... 1 B. Identitas Masalah…. ................................................................ 5 C. Pembatasan Masalah ................................................................ 6 D. Perumusan Masalah ................................................................. 6 E. Tujuan Penulisan ...................................................................... 6 F. Manfaat Penelitian ................................................................... 7 G. Metode Penelitian..................................................................... 8 1. Sumber Data/Objek Penelitian. .......................................... 9 2. Teknik Pengumpulan Data. ................................................ 9 3. Teknik Analisis Data. ......................................................... 9
BAB II
KAJIAN TEORI A. Novel ........................................................................................ 11 1. Pengertian Novel ............................................................... 11 2. Jenis-jenis Novel. ............................................................... 12 3. Unsur-unsur Intrinsik Novel… .......................................... 16 4. Unsur Ekstrinsik Novel. ..................................................... 24 5. Sosiologi Sastra. ................................................................. 25 B. Penelitian Relevan .................................................................... 27 vi
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG A. Biografi Pengarang................................................................... 30 B. Penghargaan ............................................................................. 31 C. Pemikiran Mochtar Lubis......................................................... 32 D. Pembicaraan Beberapa Karya Mochtar Lubis.......................... 35
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sinopsis Novel Jalan Tak Ada Ujung. .................................... 38 B. Analisis Objektif Novel Jalan Tak Ada Ujung. ...................... 40 1. Tema.. ................................................................................ 40 2. Alur.................................................................................... 41 3. Tokoh dan Penokohan ....................................................... 48 4. Latar .................................................................................. 57 5. Sudut Pandang ................................................................... 71 6. Gaya Bahasa. ..................................................................... 72 7. Amanat. ............................................................................. 73 C. Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung ................. 74 1. Hubungan dengan Tema.................................................... 74 2. Hubungan Penokohan ....................................................... 75 3. Hubungan Waktu Peristiwa............................................... 79 4. Hubungan dengan Kondisi Sosial Ekonomi...................... 81 5. Hubungan dengan Sosial Politik ....................................... 83 D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah ............................................................................... 85
BAB V
PENUTUP A. Simpulan ................................................................................... 89 B. Saran ......................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 91 LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Alur Novel Avontur Gambar 2 Alur Novel Psikologis Gambar 3 Alur Novel Detektif Gambar 4 Alur Novel Sosial dan Novel Politik Gambar 5 Alur Novel Kolektif
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Lampiran 2 Surat Bimbingan Skripsi Lampiran 3 Surat Pernyataan Uji Referensi Lampiran 4 Daftar Uji Referensi Lampiran 5 Profil Penulis
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah dan sosial yang mempengaruhi pengarang.1Karya sastra merupakan suatu cerminan atau gambaran keadaan yang terjadi di masyarakat. Seorang pengarang membuat karya sastra karena ia menangkap keadaan di masyarakat. Masyarakat dan kehidupannya ini dijadikan suatu sumber data untuk penulisan karya sastra. Realita yang ada dalam masyarakat diangkat dan diceritakan dalam sebuah karya sastra. Proses penciptaan (produksi karya sastra) serta penyebaran dan penggandaannya sastra melibatkan berbagai macam pihak. Pencipta karya sastra, yakni pengarang, berdasarkan kreativitas, imajinasi, dan kerjanya menuliskan atau menciptakan suatu karya. Bagi banyak orang, karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan buruk. Ada pesan yang sangat jelas disampaikan, ada pula yang bersifat tersirat secara halus. Karya sastra juga dapat dipakai untuk menggambarkan apa yang ditangkap sang pengarang tentang kehidupan di sekitarnya. Sastra merupakan media komunikasi, yang melibatkan tiga komponen, yakni pengarang sebagai pengirim pesan, karya sastra sebagai pesan itu sendiri, dan penerima pesan yakni pembaca karya sastra maupun pembaca yang tersirat dalam teks atau yang dibayangkan oleh pengarangnya. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Unsur yang dimaksud, misalnya peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. 1
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, terj. Ida Sundari Husen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005) h. 8
1
2
Latar menunjukkan pada tempat, yaitu lokasi di mana cerita itu terjadi, waktu, kapan cerita itu terjadi dan lingkungan sosial-budaya, keadaan kehidupan bermasyarakat tempat tokoh dan peristiwa terjadi. Sebagaimana dikemukakan di atas, latar terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu tempat, waktu dan lingkungan sosial-budaya. Latar yang berisi tentang sejarah Indonesia terdapat dalam kumpulan cerita pendek karya Idrus yang berjudul Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. Dalam kumpulan cerita pendek tersebut terdapat 2 latar waktu yang berbeda masa, yaitu masa masa penjajahan Jepang dan setelah kemerdekaan. Salah satu novel yang menarik latarnya adalah novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis yang juga berisi tentang sejarah Indonesia. Latar atau setting dalam novel tersebut menggambarkan keadaan sosial masyarakat Indonesia pada tahun 1946-1947 yang mencakup latar fisik yaitu latar tempat dan waktu yang berlatarkan pascakemerdekaan, juga terdapat di dalamnya yaitu latar sosial saat terjadinya revolusi. Mochtar Lubis menangkap apa yang terjadi pada masa itu. Ketika itu Indonesia yang sudah merdeka karena kedatangan sekutu yang membuat Jepang menyerah. Kedatangan sekutu disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia, karena diketahui bahwa tugas sekutu hanyalah untuk membebaskan tawanan perang serta melucuti pasukan Jepang. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa dalam pasukan sekutu terdapat
serdadu
Belanda
dan
aparat
Netherland
Indies
Civil
Administration (NICA) yang terang-terangan bermaksud menegakkan kembali pemerintah Hindia Belanda. 2 Kedatangan sekutu yang diikuti dengan Belanda atau NICA mempengaruhi kondisi sosial budaya, ekonomi, politik, dan pendidikan di Indonesia. Pasukan Belanda bersenjata tank, dibantu oleh pasukan udara yang kuat, langsung menyusup ke dalam wilayah Republik Indonesia. Dalam dua minggu, Belanda berhasil menguasai hampir semua kota besar dan kota-kota penting di Jawa Barat dan Jawa Timur.3
2
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. (Jakarta: Balai Pustaka, 2008) h.186 3 George McTurnan Kahin. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, terj. Tim Komunitas Bambu , (Depok: Komunitas Baru, 2013) h.305
3
Pada karya Mochtar Lubis yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung, penulis mengkaji analisis latar (setting) dalam novel tersebut dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra. Dengan latar (setting) dalam novel tersebut, Mochtar Lubis ingin menceritakan tentang apa yang terjadi di Indonesia pada masa setelah proklamasi. Melalui karya sastra yang dibuat dengan latar cerita tentang pascakemerdekaan bangsa Indonesia akan memberikan pengetahuan lebih kepada pembaca, tentang fakta yang disampaikan melalui karya sastra. Terkait analisis novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis yang pernah dilakukan sebelumnya, terdapat tesis dan skripsi yang menjadikan novel JTAU karya Mochtar Lubis sebagai objek penelitian. Dengan judul “Pandangan Kemanusiaan Mochtar Lubis”, “Tinjauan Psikologis Tokoh”, dan “Patriotisme dalam Novel JTAU”.4 Terdapat jurnal yang menganalisis novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Jurnal tersebut menganalisa pola struktur cerita dari Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Dari sisi struktur ceritanya, plot dari JTAU dan kesatuan maknanya dihasilkan dengan menghubungkan bagian peristiwa, orang dan latar belakang secara dekat. Makna kehidupan diinterpretasikan Guru Isa sebagai ketakutan yang amat sangat dapat mengembangkan makna lebih lanjut dan selanjutnya menghadirkan makna kehidupan merusak pikiran.5 Sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra harus dipandang sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Pengajaran sastra jika dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan terhadap keberhasilan dalam proses belajar dan mengajar. 6 Hal ini juga berhubungan dengan konsep Horace tentang dulce dan utile, yakni bahwa sastra itu indah dan bermanfaat. Maka dalam hal ini, sastra dapat berguna untuk mengajarkan sesuatu, yaitu melalui pendidikan sastra khususnya di mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. 4
Tesis, Agus R. Sarjono, “Citra Rumah dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis dan Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer” Program Studi Ilmu Susastra, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2002. Selanjutnya mengenai Judul Skripsi lainnya terdapat dalam BAB II pada penelitian relevan. 5 Charles Butar-butar, Analisis Struktur pada Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, Indonesia Scientific Journal Database, 6, 2008, h.338 6 B. Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. (Yogyakarta: Kanisius, 1988) h.15
4
Masalah penting yang sering dihadapi guru dalam kegiatan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah memilih atau menentukan bahan pembelajaran yang tepat dalam rangka membantu siswa mencapai kompetensi yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam kurikulum atau silabus, bahan pembelajaran hanya ditulis secara garis besar dalam materi pokok. Dalam kompetensi tersebut, siswa diharapkan dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan minatnya. 7 Tugas gurulah untuk menjabarkan materi pokok tersebut sehingga menjadi bahan pembelajaran yang lengkap. Selama ini guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA) cenderung menggunakan teknik atau metode pembelajaran secara teoretik dan monoton sehingga menimbulkan kebosanan dan ketidaktertarikan siswa untuk belajar mata pelajaran ini. Padahal dari pembelajaran Apresiasi Sastra Indonesia ini guru diharapkan bisa
lebih
mengeksplorasikan
cara
pengajarannya
untuk
lebih
mengenalkan siswa kepada sejarah tentang Indonesia yang di ceritakan melalui karya sastra. Oleh karena itu, siswa dituntut berpikir kritis dan menggunakan imajinasinya dalam usaha menganalisis karya sastra dan mengapresiasi sastra. Selain hanya teori, siswa juga harus memiliki pengalaman sastra, misalnya dengan membaca karya sastra atau membuat karya sastra. Sebagai contoh, untuk memperoleh teori tentang unsur-unsur dalam novel atau karya sastra lain, seorang guru harus memperkenalkan novel tersebut dengan cara mengkaji dan mengapresiasinya. Dalam sastra dimanfaatkan antara realitas sejarah dengan rekaan. Fungsinya adalah mempertegas kebenaran dan ketepatan isi cerita seluruhnya dalam rangka membawa message (pesan) teksnya. 8 Dengan mengajak siswa untuk mengapresiasi karya sastra dapat juga memberikan pengetahuan baru bahwa peristiwa 7
Depdiknas, Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006), h. 107. 8 Sugihastuti. Teori Apresiasi Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h.168
5
yang terjadi dalam kehidupan nyata dapat pula tergambarkan melalui karya sastra, dalam hal ini adalah novel. Maka dari penjabaran tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul penelitian “Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada
Ujung
Karya
Mochtar
Lubis
serta
Implikasinya
terhadap
Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Menengah Atas”. Tinjauan sosiologi sastra digunakan untuk mengkaitkan kondisi keadaan di luar karya sastra dengan apa yang diceritakan dalam novel. Diharapkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dalam materi apresiasi sastra tidak hanya memberikan pengetahuan tentang unsur-unsur yang terdapat dalam novel, melainkan dapat juga mengkaitkan sejarah dengan cerita dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis.
B. Identifikasi Masalah Sesuai dengan latar belakang tersebut, penelitian ini difokuskan pada latar yang tergambarkan dalam cerita pada novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis yang menggambarkan Indonesia di tahun 1946-1947 atau tepatnya saat Indonesia pascakemerdekaan. 1. Belum adanya analisis novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis
terkait
latar
fisik
maupun
latar
sosial
Indonesia
pascakemerdekaan. 2. Belum adanya analisis karya sastra mengenai perjuangan pergerakan nasional bangsa Indonesia yang tergambarkan dalam latar (setting) yang terdapat dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. 3. Kurangnya
metode
yang
dilakukan
guru
dalam
materi
pembelajaran apresiasi sastra dalam pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA). 4. Kurangnya bahan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA).
6
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah, pembatasan masalah pada penelitian ini adalah, penulis mengkaji dan memaparkan “Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA”
D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan batasan masalah seperti telah diuraikan di atas maka diperlukan suatu perumusan masalah dalam penelitian ini, adapun perumusan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana latar yang tergambarkan dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis? 2. Bagaimana implikasi novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis terhadap pembelajaran Apresiasi Sastra Indonesia di SMA?
E. Tujuan Penulisan Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan latar yang tergambarkan dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. 2. Mendeskripsikan implikasi novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis terhadap pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA.
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis a. Memberikan pengetahuan dalam mengkaji salah satu unsur pembangun cerita novel yakni latar yang terdapat dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis.
7
b. Memberikan pengetahuan tentang keadaan sosial dan politik zaman pascakemerdekaan. c. Memberikan pengetahuan mengenai hasil kajian tentang latar dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).
2. Manfaat Praktis a. Siswa SMA, dengan adanya pembelajaran karya sastra diharapkan meningkatkan kemampuan siswa untuk menganalisis sebuah karya sastra yang berhubungan dengan keadaan sosial di luar karya sastra tersebut. b. Diharapkan penelitian ini juga berguna bagi para peneliti lain yang ingin melakukan penelitian dengan tema yang sejenis. c. Dapat
dimanfaatkan
pembelajaran
apresiasi
oleh
guru
sastra
di
sebagai
alternatif
bahan
sekolah/madrasah,
untuk
meningkatkan kemampuan apresiasi siswa dalam pembelajaran sastra. Terutama dalam mengapresiasi sebuah karya yang diangkat berdasarkan sejarah yang terjadi di Indonesia dan dapat menambah pengetahuan bagi siswa. d. Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang kesusastraan pascakemerdekaan.
G. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara,
8
pengamatan, dan pemanfaatan dokumen. Sedangkan deskripsi yaitu berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.9 Metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu prosedur yang menggunakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang diamati. Dalam hal ini objek yang diamati adalah novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan implikasinya terhadap pembelajaran apresiasi sastra di SMA. Metode ini dimaksud untuk memberikan gambaran, analisis dan penjabaran secara objektif agar dapat mengungkapkan hubungan antar unsur-unsur cerita di dalam teks dan dapat menggambarkan sejarah Indonesia yang terkandung di dalamnya. Metode ini digunakan untuk menggambarkan hal-hal faktual yang terdapat dalam karya sastra sehingga pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai sejarah Indonesia yang terkandung dalam latar pada novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis novel ini adalah pendekatan objektif lalu juga ditinjau berdasarkan sosiologi sastra yang penelitiannya dipusatkan kepada keterkaitan dengan yang terjadi di luar karya sastra. Lalu jenis penelitian yang akan peneliti pergunakan adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan menghubungkan cerita dalam novel Jalan Tak Ada Ujung dengan keadaan sosial, yakni pergerakan perjuangan yang tergambar pada latar cerita dalam novel tersebut dan latar kejadian pada cerita dalam novel, yaitu pada zaman pascakemerdekaan Indonesia 19461947.
9
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2009) h. 4&11
9
1. Sumber Data/Objek Penelitian a. Data Primer Data penelitian ini bersumber pada novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia dan merupakan cetakan kelima pada 2002. b. Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari karya tulis ilmiah, buku-buku, dan juga artikel dari koran.
2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah untuk mendapatkan data. Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan membaca teks sastra dalam hal ini novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis kemudian menyimak secara seksama untuk pada akhirnya peneliti melakukan pencatatan. Langkah berikutnya penelitian kepustakaan berkenaan dengan kajian latar (setting) dalam novel.
3. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar data-data tersebut dapat dipahami bukan saja oleh peneliti, tetapi juga oleh orang lain yang ingin mengetahui hasil penelitian itu. Setelah data terkumpul, lalu dianalisis berdasarkan pendekatan sosiologi sastra untuk mengungkapkan pokok masalah yang diteliti sehingga dapat diperoleh kesimpulannya.
10
Metode penulisan yang dipakai adalah analisis teks dengan awal penulisan dimulai mengenai pembahasan secara intrinsik tentang cerita tersebut untuk melihat secara lebih jelas permasalahanpermasalahan yang timbul dalam cerita serta pendukungpendukung isi penceritaan berupa penokohan, alur, latar, tema dan gaya bahasa. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai unsur intrinsik lebih mendalam tentang latar dari cerita tersebut dengan keadaan yang relevan berdasarkan latar dalam cerita pada novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Novel Dalam pembicaraan karya sastra rekaan atau imajinasi kita dapat membaginya menjadi tiga bagian, yakni fiksi, puisi, dan drama. Orang sering menggolongkan hasil-hasil sastra menjadi prosa dan puisi. Termasuk prosa di dalamnya adalah novel, cerita pendek, dan esai.
1. Pengertian Novel Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena bila dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul kemudian.1 Novel merupakan suatu bentuk karya sastra. Novel atau prosa rekaan adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu, dengan peranan, latar serta tahapan dalam rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi (dan kenyataan) sehingga menjalin suatu cerita.2 Novel adalah suatu cerita yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan, yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.3 Pada hakikatnya sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri dan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial dan fenomena sosial itu bersifat konkret yang terjadi di sekeliling kita sehari-hari. Karya sastra adalah karya yang dimaksudkan oleh pengarang sebagai karya sastra, berwujud karya sastra, dan diterima 1
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011) h.167 Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008) h. 125-126 3 Tarigan, op.cit., h,164 2
11
12
oleh masyarakat sebagai karya sastra.4 Novel tidak melukiskan kenyataan, tetapi menampilkan segala macam hubungan dan kaitan yang kita kenal kembali, berdasarkan pengalaman kita sendiri mengenai kenyataan. Itulah sebabnya mengapa teks novel sangat cocok untuk melukiskan segi-segi yang khas dalam kenyataan.5 Novel adalah produk masyarakat. Novel berada di masyarakat karena novel dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakandesakan emosional atau rasional dalam masyarakat.6 Dengan melukiskan sebuah peristiwa yang jarang terjadi, maka teks sastra dapat memperlihatkan masalah-masalah yang berlaku umum, atau suatu aspek umum dari suatu kehidupan manusia umumnya. Dapat dikatakan bahwa novel adalah salah satu bentuk karya sastra yang mempunyai unsur-unsur intrinsik untuk membangun ceritanya. Novel bisa diangkat dari berbagai tema dari realita kehidupan yang terjadi di masyarakat. Bahasa yang digunakan juga bahasa sehari-hari dengan penggarapan unsur-unsur intrinsik yang lengkap. 2. Jenis-jenis Novel Menurut Mochtar Lubis, novel itu ada bermacam-macam, antara lain:7 a. Novel Avontur Dalam KBBI, avontur berarti petualangan. Novel avontur adalah novel yang menjelaskan cerita dengan memusatkan pada seorang lakon atau pemeran utama. Pengalaman pemeran utama dinilai dari awal hingga akhir. A B C---------------------------- Z *
*
*
*
*
*
Gambar 1. Alur novel avontur 4
Wahyudi Siswanto. op.cit., h. 92. Jan Van Luxemburg, dkk., Pengantar Ilmu Sastra, Terj. Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1996) h.23 6 Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010) h.47 7 Tarigan, op.cit., h.165-169 5
13
Gambar di atas adalah gambar bentuk novel avontur, yang dipusatkan pada seorang lakon atau hero utama. Pengalaman lakon mulai pada titik A, dan melalui pengalam-pengalaman yang lain (titik-titik B,C,D, dan seterusnya) hingga ke titik Z, yang merupakan akhir cerita. Titik itu biasanya pada novel avontur adalah heroine atau lakon wanita. Sering titik-titik B, C, D, dan seterusnya itu merupakan rintangan-rintangan bagi lakon untuk mencapai tujuan, yaitu Z. Novel Maryam karya Okky Madasari termasuk dalam novel avontur.
b. Novel Psikologis Novel psikologis berisi cerita mengutamakan pemeriksaan seluruhnya dari pikiran-pikiran para pelakunya. A
B
C
D
E
*
*
*
*
*
Gambar 2. Alur novel psikologis Gambar di atas menunjukkan bentuk novel psikologis. Perhatian tidak ditujukan pada avontur yang berturut-turut terjadi (baik avontur lahir maupun rohani), tetapi lebih diutamakan pemeriksaan seluruhnya dari semua pikiran-pikiran para pelaku, yang dalam gambar ditunjukkan oleh A, B, C, D, E, dan seterusnya. Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis termasuk dalam novel psikologis.
c. Novel Detektif Dalam novel ini, mengungkapkan bagian-bagian cerita untuk membongkar rahasia kejahatan dan bukti-bukti yang dijadikan jalan
untuk
mencapai
penyelesaian
cerita.
mengutamakan pelacakan (clue) atau tanda bukti.
Dalam
cerita
14
Gambar 3. Alur novel detektif
Bentuk novel seperti gambar di atas biasa terdapat dalam cerita detektif. Setiap anak panah merupakan sebuah clue atau tanda bukti, baik dalam rupa seorang pelaku maupun tanda-tanda lain, dan setiap anak panah ini (kecuali yang sengaja dipergunakan untuk meragukan pikiran para pembaca), menunjukkan jalan mencapai penyelesaian cerita. Contoh novel detektif yang terkenal adalah karya-karya dari Agatha Chistie.
d. Novel Sosial dan Novel Politik Novel sosial dan novel politik memiliki kesamaan, baik pelaku pria dan wanita tenggelam dalam masyarakat, dalam kelasnya atau golongannya. Dengan adanya kepentingan di antara masingmasing golongan yang pada suatu waktu akan bentrok, pemogokan, keributan, dan revolusi. Dalam novel ini persoalan ditinjau bukan dari sudut persoalan orang-orang sebagai individu, tetapi persoalan ditinjau melengkapi persoalan golongan-golongan masyarakat. Reaksi setiap golongan terhadap masalah-masalah yang timbul, dan pelaku hanya digunakan sebagai pendukung jalan cerita saja. A B Gambar 4. Alur novel sosial dan novel politik Gambar di atas adalah gambar bentuk novel sosial. Kedua garis A dan B merupakan tenaga atau kepentingan masing-masing golongan yang pada suatu waktu akan bentrok, berbenturan,
15
keributan, revolusi dan sebagainya. Novel Pulang karya Laila S. Chudori termasuk dalam novel sosial dan novel politik.
e. Novel Kolektif Novel kolektif merupakan bentuk novel yang paling sukar dan banyak seluk-beluknya.
…………………………………………………….. …………………………………………………….. ……………………………………………………..
Gambar 5. Alur novel kolektif
Dalam
novel
kolektif,
individu
sebagai
pelaku
tidak
dipentingkan. Novel kolektif tidak terutama membawa “cerita”, tetapi lebih mengutamakan cerita masyarakat sebagai suatu totalitas suatu keseluruhan. Novel seperti ini mencampuradukkan pandangan antropologis dan sosiologis dengan cara mengarang novel atau roman. Contohnya adalah novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral.
3. Unsur-Unsur Intrinsik Novel Novel yang utuh terdiri dari berbagai unsur pembentuknya. Secara garis besar berbagai macam unsur tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya. Unsur instrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri.
16
Melalui unsur instrinsik dapat ditemukan informasi-informasi yang membangun karya sastra tersebut.
a. Tokoh, Watak, dan Penokohan Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita. Sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan.8 Watak atau karakter menurut Stanton, dibagi menjadi dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk kepada individuindividu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu.9
b. Tema Brooks dalam Tarigan mengatakan bahwa tema adalah pandangan hidup tertentu
atau perasaan tertentu mengenai
kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.10 Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan pengarangnya.11 Tema merupakan gagasan pokok yang ingin disampaikan pengarang dalam karya sastranya. Tema biasanya
8
Siswanto, Op. Cit. h. 142 Robert Stanton, Teori Fiksi, terj. Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h.33 10 Tarigan, op. cit., h.125 11 Siswanto, op. cit., h. 161 9
17
selalu berkaitan dengan pengalaman kehidupan sosial, cinta, ideologi, religious dan sebagainya. Dengan demikian, tema adalah bagian dari suatu cerita yang menggambarkan kondisi emosi dan kejiwaan pengarang yang membentuk dasar gagasan utama sebuah cerita. c. Alur Alur atau Plot merupakan rangkaian peristiwa dalam suatu cerita rekaan. Rangkaian peristiwa direka dan dijalin dengan seksama membentuk alur yang menggerakan jalannya cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian. Plot atau alur memiliki beberapa tahapan yaitu tahap pengenalan, tahap pemunculan konflik, klimaks, peleraian dan tahap penyelesaian.12 1) Tahap Pengenalan Tahap pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita yang memperkenalkan tokoh atau latar cerita. Ciri yang dikenalkan dari tokoh ini, misalnya nama, asal, fisik, dan sifatnya. 2) Tahap Pemunculan Konflik Tahap konflik adalah tikaian, ketegangan, pertentangan antara dua kepentingan di dalam cerita rekaan. Pertentangan ini dapat terjadi dalam diri satu tokoh, antara dua tokoh, antara tokoh dan masyarakat atau lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta antara tokoh dan Tuhan. 3) Tahap Komplikasi Bagian tengah alur atau cerita rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. Dalam tahap ini konflik yang terjadi semakin
tajam
karena
berbagai
sebab
kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh.
12
Ibid, h.159
dan
berbagai
18
4) Tahap Klimaks Bagian alur cerita yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca. 5) Tahap Peleraian Pada
tahap
ini
peristiwa-peristiwa
yang
terjadi
menunjukkan perkembangan ke arah penyelesaian. 6) Tahap Penyelesaian Tahap akhir suatu cerita rekaan. Dalam tahap ini semua masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman dijelaskan.
d. Latar atau Setting Latar yang dimaksud dalam karya sastra naratif adalah tempat dan suasana lingkungan yang mewarnai peristiwa. Ke dalamnya mencakup lokasi peristiwa dan sosial budaya setempat. Perlu diperhatikan adalah hubungan latar dengan peran tokoh.13 Tidak semua jenis latar cerita itu ada di dalam cerita rekaan. Dalam cerita rekaan, mungkin saja yang menonjol hanya latar waktu dan latar tempat. Pengambaran latar ini ada yang secara terperinci atau ada pula yang tidak. Hal itu semua, dilihat dari bagaimana sastrawan menciptakan karya fiksinya. Latar ini biasanya diwujudkan dengan menciptakan kondisikondisi yang melengkapi cerita. Baik dalam dimensi waktu maupun tempatnya, suatu latar bisa diciptakan dari tempat dan waktu imajiner ataupun faktual. Hal yang paling menentukan bagi keberhasilan suatu latar, selain deskripsinya, adalah bagaimana novelis memadukan tokoh-tokohnya dengan latar di mana mereka melakoni perannya.14
13
Atmazaki, Ilmu Sastra: Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990) h.62 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) h.74 14
19
1) Hakikat Latar Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.15 Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan.
2) Penekanan Unsur Latar Penekanan latar dapat mencakup ketiga unsur sekaligus atau hanya satu-dua unsur saja. Unsur latar yang ditekankan akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh. Jika elemen tempat mendapat penekanan dalam sebuah novel, ia akan dilengkapi dengan sifat khas keadaan geografis setempat yang mencirikannya, yang disebut sebagai Landmark, yang berbeda dengan tempat-tempat yang lain.16 Penekanan peranan waktu juga banyak ditemui dalam berbagai karya fiksi di Indonesia. Elemen waktu biasanya dikaitkan dengan peristiwa faktual, peristiwa sejarah, yang dapat mempengaruhi pengembangan plot dan penokohan. Peristiwa-peristiwa sejarah tertentu yang diangkat ke dalam cerita fiksi memberikan landasan waktu secara konkret.17 Plot dan tokoh cerita tinggal menyesuaikannya dan kadang-kadang seolah-olah
membuat
tokoh
menjadi
tidak
berdaya
menghadapinya sebab hal itu memang di luar jangkauan pemikirannya. 15
Burhan Nurgiantoro. op. cit., h. 302 Ibid, h.310 17 Ibid, h.311 16
20
3) Latar dan Unsur Fiksi yang Lain Sastra merupakan produk budaya yang menggambarkan aktivitas sosial masyarakat yang diwakili oleh tokoh-tokohnya dalam suatu Setting dan waktu tertentu.18 Latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat dan bersifat timbal balik. Bahkan, barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karakter seseorang akan dibentuk oleh keadaan latarnya. Dapat dikatakan bahwa sifat-sifat dan tingkah laku tertentu yang ditunjukkan oleh seorang tokoh mencerminkan
dari
mana
dia
berasal.
Tokoh
akan
mencerminkan latar.19 Penokohan dan pengaluran memang tidak hanya ditentukan oleh latar, namun setidaknya peranan latar harus diperhitungkan. Latar dalam kaitannya dengan hubungan waktu, akan berpengaruh terhadap cerita dan pemlotan, khususnya waktu yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan. Peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah novel, jika ada hubungan dengan peristiwa sejarah, harus tidak bertentangan dengan kenyataan sejarah itu. Hal ini penting sebab pembaca akan menjadi sangat kritis terhadap masalah yang demikian.20
4) Unsur Latar Latar memiliki tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial yang masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda, namun ketiganya saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Ketiga unsur pokok tersebut sebagai berikut:21
18
Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012) h. 3 19 Nurgiantoro. op.cit., h.313 20 Ibid, h.315 21 Ibid, h.227-237
21
a) Latar Fisik Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisik yaitu bangunan, daerah, dan sebagiannya. Latar fisik dibagi menjadi dua bagian yaitu latar tempat dan latar waktu. Karena latar tempat secara jelas menunjuk pada lokasi tertentu, yang dapat dilihat dan dirasakan kehadirannya, disebut sebagai latar fisik. Keadaan yang agak berbeda adalah latar yang dihubungkan dengan waktu. Latar waktu jelas tidak dapat dilihat, namun bekas kehadirannya dapat dilihat pada tempat-tempat tertentu berdasarkan waktu kesejarahannya.22 (1) Latar tempat. Dalam sebuah novel, latar menyarankan kepada lokasi terjadinya peristiwa. Tempat yang dipergunakan
biasanya
menggunakan
nama-nama
tertentu, inisial tertentu, juga mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. (2) Latar waktu. Berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Masalah “kapan” dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang berkaitan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dapat bermakna ganda: di satu pihak menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan di lain pihak menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. b) Latar sosial. Unsur ini menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat, berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta keadaan sosial lainnya seperti status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau atas. 22
Ibid, h.304
22
e. Sudut Pandang Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dan gayanya sendiri.23 Sudut pandang memiliki tipe tersendiri sesuai dengan tujuannya, tipe-tipe sudut pandang tersebut, yaitu:24 1) Orang Pertama-utama, yaitu sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. 2) Orang Pertama-sampingan, adalah cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan) 3) Orang Ketiga-terbatas, yaitu dengan cara pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja. 4) Orang Ketiga-tidak terbatas, pengarang mengacu kepada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga dengan begitu pengarang juga dapat membuat beberapa karakter, seperti melihat mendengar atau berpikir.
f. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah yang mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh emosi pembaca.25
23
Siswanto, op.cit., h.151 Stanton, op.cit., h.53-54 25 Siswanto, op.cit., h.158 24
23
g. Amanat Amanat adalah pesan atau nasihat merupakan kesan yang ditangkap
pembaca
setelah
membacanya.26
Saat
mengungkapkan masalah apa yang terjadi kehidupan dan kemanusiaan lewat karya prosanya, pengarang berusaha memahami secara dalam keseluruhan masalah itu secara internal yang dihubungkannya dengan keberadaan suatu individu maupun dalam hubungan antara individu dengan kelompok masyarakatnya.
4. Unsur Ekstrinsik Novel Unsur berikutnya dalam pembangun sebuah novel adalah unsur ekstrinsik. Sebagai mana dikatakan Burhan, bahwa unsur ekstrinsik merupakan sebuah unsur yang berada di luar bagian dari karya sastra tetapi mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra.27 Seperti latar belakang atau biografi pengarang dan situasi atau kondisi sosialbudaya yang mempengaruhi. Meskipun unsur ekstrinsik berada di luar karya sastra bukan berarti tidak penting, karena unsur itulah yang sangat berpengaruh terhadap totalitas cerita yang dihasilkan. Karya sastra memang pada umumnya lebih peka terhadap persoalan sosial suatu masyarakat pada suatu masa tertentu, sebab ada keleluasaan untuk menggunakan bahasa dan kata untuk melukiskan, menguraikan, dan menafsirkan lewat adegan, situasi, dan tokoh-tokoh yang bermacam ragam watak dan latar belakangnya.
28
Unsur-unsur itu pulalah yang berpengaruh besar
terhadap cerita yang dihasilkan dan dengan adanya unsur ekstrinsik maka dalam karya tersebut akan dapat terungkap cara pengarang dalam menangkap situasi sosial yang terjadi pada zamannya. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa novel merupakan cerita rekaan yang 26 27 28
Ibid., h.62
Nurgiantoro, op.cit., h.23 Andre Hardjana, Kritik Sastra: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1983) h.78
24
menyajikan tentang aspek kehidupan manusia. Novel juga tidak hanya dikatakan sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk dari segisegi kehidupan serta nilai-nilai yang terkandung di dalam kehidupan masyarakat. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari unsur ekstrinsik dari sebuah novel.
5. Sosiologi Sastra Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk mengkaji novel yang akan diteliti, maka dari itu perlu dijelaskan mengenai sosiologi sastra. Terlebih dahulu akan dibahas pengertian dari sosiologi. Secara etimologi kata sosiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu sosio/socius (yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman, masyarakat) dan logi/logos (bersabda, perkataan, perumpamaan). Jadi, sosiologi merupakan ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan masyarakat atau ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan antar manusia dalam masyarakat yang bersifat umum, rasional dan empiris.29 Sedangkan kata sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra yang berarti latar atau sasaran. Jadi, sastra merupakan kumpulan atal untuk mengajar, atau dengan kata lain, sastra sebagai buku petunjuk juga sebagai buku pengajaran yang baik.30 Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam 29
Nyoman Khuta Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet.II, h.1 30 Ibid.,
25
kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya sastra baru. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.31 Terdapat tiga paradigma pendekatan dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca.32 Pertama, sosiologi pengarang; inti dari analisis sosiologi pengarang ini adalah memaknai pengarang sebagai bagian dari masyarakat yang telah menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci utama dalam memahami relasi sosial karya sastra dengan masyarakat, tempat pengarang bermasyarakat. Kedua, sosiologi karya sastra; analisis sosiologi yang kedua ini berangkat dari karya sastra. Artinya, analisis terhadap aspek sosial dalam karya sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan memaknai hubungan dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya. Ketiga, sosiologi pembaca; kajian terhadap sosiologi pembaca berarti mengkaji aspek nilai sosial yang mendasari pembaca dalam memaknai karya sastra. Sosiologi sastra adalah model penelitian interdisiplin yang mengaitkan karya sastra dengan masyarakat. Maka, model penelitian dilakukan dengan tiga macam,33 sebagai berikut: 1) Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai unsur ekstrinsik sastra, model hubungan yang terjadi disebut refleksi. 2) Sama seperti di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antar struktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika. 31
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra. (Yogyakarta: CAPS. 2013), h.77 Kurniawan, op.cit., h. 11 33 Nyoman Khuta Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.339-340 32
26
3) Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi
tertentu.
Model
analisis
yang
pada
umumnya
menghasilkan penelitian karya sastra sebagai gejala kedua. Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood dalam buku Metodologi Penelitian Sastra, terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.34 Ketiga hal tersebut dapat berdiri sendirisendiri dan atau diungkapkan sekaligus dalam suatu penelitian sosiologi sastra. Hal ini tergantung kemampuan penelitibuntuk menggunakan salah satu perspektif atau ketiga-tiganya sekaligus.
B. Penelitian Relevan Penelitian terhadap novel Jalan Tak Ada Ujung pernah dilakukan oleh mahasiswa Universitas Sanata Dharma dengan judul skripsinya “Pandangan Kemanusiaan Mochtar Lubis dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra” oleh Raden Rosa Dewi mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma tahun 2007. Hasil dari penelitiannya adalah sebagai berikut: (1) struktur tekstual (alur). Berdasarkan struktur lahir novel Jalan Tak Ada Ujung memiliki 35 sekuen dan alur yang digunakan adalah maju. (2) pandangan kemanusiaan Mochtar Lubis dalam novel Jalan Tak Ada Ujung, meliputi nilai kemanusiaan utama dan nilai kemanusiaan pendukung. Nilai kemanusiaan utama yaitu nilai keberanian, yang meliputi (a) nilai kemanusiaan Guru Isa menghadapi perjuangan, (b) nilai keberanian Guru Isa menghadapi krisis ekonomi, (c) nilai keberanian Guru Isa menghadapi impotensinya, dan (d) nilai keberanian Guru Isa menghadapi perselingkuhan.
34
Endraswara, op.cit., h.79
27
Penelitian terhadap novel Jalan Tak Ada Ujung juga pernah diteliti oleh mahasiswa Universitas Pancasakti Tegal dengan judul skripsinya adalah “Tinjauan Psikologis Tokoh Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra Di SMA” yang ditulis Aditya Candra Jun Soekarno mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma tahun 2014. Kajian psikologi yang menonjol dalam novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis adalah aspek psikologi kepribadian tokoh dengan jumlah kutipan tujuh belas kutipan, aspek psikologi tingkah laku tokoh dengan jumlah tiga kutipan, dan aspek psikologi sifat tokoh dengan jumlah dua puluh kutipan. Penelitian terhadap novel Jalan Tak Ada Ujung juga pernah diteliti oleh mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo dengan judul skripsinya adalah “Patriotisme dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis” yang ditulis Asni Alimun mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo tahun 2014. Hasil dari penelitiannya adalah tokoh Hazil dan Rachmat yang berani melemparkan bom pada para tentara Belanda, dan Tuan Hamidy sebagai juragan beras yang menyumbangkan truknya untuk kepentingan kemerdekaan. Para tokoh menggambarkan memiliki sikap patriotisme. Sikap patriotisme yaitu rela berkorban, menempatkan persatuan dan kesatuan, berjiwa pembaharu dan tidak kenal menyerah. Penelitian lain terkait novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis juga pernah dilakukan pada Tesis yang ditulis oleh Agus R. Sarjono berjudul “Citra rumah dalam novel 'Jalan tak ada ujung' Mochtar Lubis dan 'Keluarga Gerilya' Pramoedya Ananta Toer” Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, tahun 2002. Hasil penelitiannya yaitu, Rumah dalam KG bukan rumah yang baik. Buruknya rumah KG disebabkan oleh perilaku dan sosok kaum tua keluarga Gerilya, yakni kopral Paidjan (sang ayah) dan Amilah (Sang Ibu). Meskipun demikian, peluang untuk menjadikan rumah keluarga gerilya sebagai rumah yang baik dan membuat krasan masih terbuka di tangan kaum muda. Namun, revolusi kemerdekaan membuat semua kaum muda keluarga gerilya memilih untuk merelakan hancurnya rumah mereka demi rumah yang lebih besar dan lebih mulia yakni nasion. Hal yang berbeda terjadi pada JTU. Pada dasarnya rumah keluarga Guru Isa adalah rumah yang baik.
28
Namun revolusi menebarkan ketakutan pada Guru Isa yang menyebabkan isa mengalami impotensi. Impotensi guru Isa menjadikan rumah mereka sekedar menjadi rumah tanpa rasa krasan. Situasi ini diperparah oleh perselingkuhan Fatimah dengan Hazil, sahabat Guru Isa. buruk secara moral, dan tidak memiliki idealisme, sementara kaum muda digambarkan sebagai sosok yang penuh idealisme dan cita-cita. Penelitian tentang latar (setting) pernah dilakukan oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dengan judul skripsinya adalah “Analisis Latar (setting) dalam novel Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer” yang ditulis Adianto mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Hasil penelitiannya yaitu: (1) latar tempat dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer bervariasi. Latar tempat yaitu di daerah Yogyakarta dan Jakarta yaitu di rumah, di kamar, di jalan, di rumah sakit, di gedung, di pinggir jalan, di rumah orang Arab, dan lain-lain. (2) latar waktu seperti pada waktu pagi hari, pada waktu sore hari, malam hari yang menegangkan dan pada tahun-tahun tertentu yang dapat menonjolkan suasana tertentu dalam novel, (3) Latar sosial yang ditampilkan di dalam novel Larasati sangat berpengaruh pada kehidupan tokoh dalam novel. Melihat penelitian sebelumnya terhadap novel Jalan Tak Ada Ujung, penelitian tentang ”Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra Indonesia di SMA” Penelitian ini mencari gambaran latar yang terdapat dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis selain itu mengkaitkan hasil penelitian tersebut dengan pembelajaran sastra di sekolah. Implikasi tersebut berupa Rencana Pembelajaran Sastra tentang Materi Intrinsik Novel. Bahan pembelajaran dilakukan melalui pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
BAB III BIOGRAFI PENGARANG A. Biografi Pengarang Mochtar Lubis, pengarang ternama ini dilahirkan pada 7 Maret 1922 di Padang. Setelah tamat HIS Sungai Penuh, Mochtar Lubis sekolah ekonomi di Kayutanam pimpinan M. Syafei, di Kayutanam diajarkan pula untuk mengembangkan
bakat melukis, mematung, bermusik dan
sebagainya. Sejak zaman Jepang ia telah aktif dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita ‘Antara’, kemudian mendirikan dan memimpin Harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horison bersama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir 9 tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Selain sebagai wartawan, ia dikenal sebagai sastrawan. Mochtar Lubis merupakan pengarang yang karya-karyanya harus dilihat dalam hubungan dengan Angkatan 45. Cerita-cerita pendeknya dikumpulkan dalam buku Si Jamal (1950) dan Perempuan (1956). Sedangkan novelnya yang telah terbit: Tidak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1952) yang mendapat hadiah sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), Senja di Jakarta yang mula-mula terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta (1963) dan terbit dalam bahasa Melayu pada tahun 1964. Selain itu, romannya yang mendapat sambutan luas dengan judul Harimau! Harimau! (Pustaka Jaya 1975) telah mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai buku terbaik tahun 1975. Sedangkan Maut dan Cinta (Pustaka Jaya 1971) mendapat hadiah Yayasan Jaya Raya. Kadang-kadang ia pun menulis esai dengan nama samaran Savitri dan juga menterjemahkan beberapa karya sastra asing seperti Tiga Cerita dari Negeri Dollar (1950), Kisah-kisah dari Eropa (1952). Pada 1950 ia
29
30
mendapat hadiah atas laporannya tentang Perang Korea dan 1966 mendapat hadiah Magsaysay untuk karya-karya jurnalistiknya.1 Di zaman Jepang Mochtar Lubis bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio sekutu di luar negeri. Sebagai wartawan dia berpindah dari Medan ke Jakarta. Dia memperoleh pengakuan sebagai wartawan waktu menjabat sebagai ketua pengarang surat kabar bebas Indonesia Raya, dia berani menentang konsepsi-konsepsi politik Soekarno dengan garang, hingga mengakibatkan dia ditahan di rumah dan dalam penjara antara tahun 1957 hingga 1966. Sebelum ini, dia telah banyak mengelilingi dunia, dan kisah-kisah kunjungannya
yang bersifat
kewartawanan sebagian dikumpulkan dalam buku-buku tersendiri. Bukubuku tersebut merupakaan bacaan yang baik. Hal ini bukan saja karena fakta-fakta yang terkandung, tetapi juga karena penyampaiannya yang menarik.
Malah
dalam
karya-karya
sastranya
didapati
bahwa
tahun
2004,
kewartawanan dalam dirinya itu tak pernah tidak ada.2
B. Penghargaan 1. Bidang Pers Presiden
Megawati
Soekarnoputri
pada
menganugerahkan bintang tanda jasa kepada tokoh pers Mochtar Lubis (alm). Mochtar Lubis dinilai telah memberikan pengabdian luar biasa kepada Negara. Tanda Bintang Mahaputera merupakan tanda jasa tertinggi setelah Bintang Republik Indonesia. Ia diberi penghargaan tidak dinilai berdasarkan pengabdiannya kepada pemerintah, tetapi kepada negara.3
1
Mochtar Lubis. Jalan Tak Ada Ujung. (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.2003) h. 166-167 A. Teeuw. Sastra Baru Indonesia. Cet. 1 (Flores: Indonesia Nusa Indah, 1980) h.261 3 Harian Tempo, “Mochtar Lubis Dianugerahi Bintang Mahaputera”, edisi Minggu, 15 Agustus 2004. 2
31
2. Bidang Sastra Mochtar Lubis terpilih sebagai sastrawan pertama penerima Hadiah Sastra “Chairil Anwar” yang baru pertama kali diselenggarakan. Hadiah ini merupakan penghargaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), bahkan sebagai pengakuan atas mutu karya-karyanya. Penyerahan hadiah berlangsung dalam sebuah upacara yang dirancang khusus di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki. 4 Menurut pihak DKJ, Mochtar Lubis terpilih sebagai orang pertama penerima hadiah karena dua alasan. Alasan pertama adalah, totalitas karya-karyanya telah sangat memperkaya khazanah sastra Indonesia. Alasan kedua yaitu karya-karyanya secara khusus memuat realita sosial, diwarnai dengan wawasan tentang manusia Indonesia dengan berbagai dimensinya yang digambarkan cukup tajam dengan penguasaan masalah hampir tanpa cacat. Buku fiksinya Jalan Tak Ada Ujung meraih Hadiah Sastra BMKN, disusul
hadiah
sama
untuk
Perempuan-Perempuan.
Bukunya
Harimau-Harimau mendapat Hadiah Sastra Yayasan Buku Utama.
C. Pemikiran Mochtar Lubis 1. Kebebasan Kreatif Sebagai sastrawan, Mochtar Lubis melihat bahwa sastra Indonesia sebenarnya kaya dengan pengarang potensial. Yang kurang katanya adalah iklim kreatif menyeluruh, artinya iklim sehat yang bisa menggerakan seluruh masyarakat. Ia menganggap seniman cukup kreatif dalam berbagai bidang penciptaan. Tapi, karya sastra katanya terbelenggu oleh berbagai pembatasan baik dari dalam maupun luar. Hambatan luar dalam itu bermuara pada suatu hal, yaitu ketakutan. “Penerbit ngeri menerbitkan dan mengedarkan karya-karya yang mengritik keadaan sosial politik atau kekuasaan, pengarang tidak 4
Kompas, “Hadiah Sastra Chairil Anwar untuk Sastrawan Mochtar Lubis”, edisi Sabtu, 15 Agustus 1992.
32
berani menulisnya,” tuturnya. “Itu sebabnya tak ada kita baca karya fiksi yang menyoroti realita sosial semacam itu, yang bisa menciptakan gambaran nyata tentang kondisi sosial budaya kita.” Sastrawan dan wartawan terkemuka yang juga melukis ini, mengatakan berbagai hambatan itu bukan kesalahan 25 tahun orde baru saja, tapi juga Orde Lama selama 20 tahun. Keduanya melakukan hal serupa, misalnya melarang berbagai buku. Meski demikian, ia optimis sastra Indonesia modern tetap berkembang dengan munculnya banyak pengarang baru yang berbakat. Ia mengharapkan agar majalah sastra tidak lagi hanya sebuah yaitu Horison saja, tetapi muncul berbagai majalah sastra yang terbit dari berbagai kota seperti Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Ujungpandang. Dengan demikian walaupun baru merupakan “sastra media
masa”
perkembangannya
bisa
dipercepat.
“Bagaimana
pengarang muda bergairah kalau menunggu lebih dari satu tahun untuk melihat karyanya terbit?” katanya.5
2. Hadiah Sastra Menurut pihak Dewan Keseniasn Jakarta (DKJ), alasan pokok penyelenggaraan hadiah sastra adalah bahwa sastra akan terus memberi kontribusinya dalam kehidupan sosial, khususnya bagi dinamika kehidupan intelektual. Mereka juga mengharap hadiah ini menjadi semacam simbol, bahwa kehadiran sastra bermakna dan penting dalam kehidupan sosial. Isma Savitri, ingin menyelenggarakan hadiah sastra ini menjadi tradisi. Sebelum ini DKJ memang pernah menyelenggarakan Hadiah Sastra, tapi tidak rutin, dengan model memilih karya terbaik pada tahun yang berjalan. Untuk membuat penyelenggaraan menjadi tradisi bukan saja dibutuhkan dana, tapi juga aturan main termasuk kriteria pemilihan yang lebih sempurna. Dengan demikian, kata Sawitri, 5
Ibid
33
siapapun penilainya nanti, sikap lembaga pemberi hadiah tidak berubah. Dengan kriteria sementara kali ini, para penilai yang bekerja adalah para sastrawan DKJ yaitu Isma savitri, Abrar Yusra, Leon Agusta, Slamet Sukirnanto, ditambah HB. Jassin dan Hamsad Rangkuti. Menurut penyair Isma Sawitri, Ketua Komite Sastra DKJ, dalam menanggapi karya-karya Mochtar Lubis ada alasan lebih khusus, yaitu Mochtar Lubis konsisten mencipta dalam kurun waktu cukup panjang. Setiap karyanya merefleksikan gejala dan gejolak zamannya.6 Sebagai
pengarang
Mochtar
Lubis,
tidak
pernah
bosan
memperjuangkan kehidupan sastra Indonesia, sejak zaman revolusi, sampai pada masa Orde Baru, memang pantas mendapatkan hadiah tertinggi dalam bidang sastra. Budayawan dan wartawan yang juga pernah menerima Hadiah Magsaysay dari pemerintah Pilipina (1966), dinilai selain teguh dalam pendiriannya, juga selalu bersikap jujur dan ksatria dalam memperjuangkan hak dan martabat manusia. Terkait hadiah sastra yang diberikan, Mochtar Lubis mengatakan hadiah itu membuatnya merenung. Mochtar Lubis mengatakan “Tiap kali meraih suatu penghargaan saya selalu bertanya, ‘Apa benar?’ Saya tidak pernah berpikir untuk mendapat hadiah kalau membuat karangan. Saya mengarang karena ingin menyampaikan sesuatu kepada rakyat banyak, bukan untuk merebut hadiah”. Tambahnya, “Saya malah merenung kalau menghadapi hal seperti ini. Saya mengulas kekurangan-kekurangan karya saya. Tapi rasanya saya beruntung, karena saya memang tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah saya hasilkan. Dengan itu saya tetap berusaha untuk menulis lebih baik lagi. Kalau puas, itu artinya saya berhenti.”
6
Ibid
34
3. Karakter Mochtar Lubis Sikapnya kerap kali direpresentasikan baik dalam karya, pendapat atau perbuatan. Salah satu karya yang begitu kental menggambarkan sikapnya adalah Jalan Tak Ada Ujung. Lewat tokoh Guru Isa, ia mengatakan bahwa tak ada orang yang berani kerena semua orang selalu diliputi rasa takut. Dalam sebuah peristiwa, Guru Isa dipukul dan disiksa. Namun, ia justru menemukan kenyataan yang menrik bahwa antara kesakitan badan dan kecemasan jiwa tidak ada hubungan yang langsung. Sikap ini terlihat dari caranya yang berani dalam mengungkapkan kebenaran baik dalam tulisan maupun dalam karyakaryanya, jusnalistik atau sastra.7 Mochtar Lubis adalah seorang sastrawan dan budayawan yang berani menerima penyiksaan fisik dan mental akibat sikapnya, memberitakan hal-hal yang sensitive bahkan terhadap tokoh yang kelewat “agung” dalam pemerintahan Republik Indonesia pada elite dan lembaga struktural di pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Sekalipun untuk hal itu dia harus menerima keluar-masuk penjara.
D. Pembicaraan Beberapa Karya Mochtar Lubis Sastrawan tidak hanya menghibur pembaca melalui karyanya, tetapi juga menyodorkan berbagai ragam kehidupan yang penting direnungkan kemudian dipahami bersama-sama. Karya-karya sastra seperti novel, cerita pendek, puisi dan esai, merupakan dunia tersendiri yang banyak mempersoalkan
mengenai
eksistensi
manusia
serta
nilai-nilai
kehidupannya dari berbagai aspek. Dengan demikian, memahami sebuah karya sastra berarti seseorang itu telah berhasil menyelusup ke dalam dunia pengarang. Beberapa karya fiksi Mochtar Lubis, khususnya dalam dekade tujuh puluhan, banyak memberikan sumbangan kepada pembaca. Sumbangan 7
Harian Sinar Harapan, “Idealisme Bersastra dan Melawan Takut: Pelajaran dari Mochtar Lubis”, edisi Sabtu, 14 Agustus 2004.
35
yang dimaksud di sini tidak terlepas dari moralitas manusia dalam kaitannya sebagai suatu bangsa yang perlu cita-cita. Mochtar Lubis mengangkat persoalan moralitas dalam karya-karyanya sebagai usaha menumbuhkan jiwa yang berbudaya bagi setiap manusia di dalam melaksanakan fungsi kehidupannya. Pada umumnya karya-karya Mochtar Lubis mampu berbicara secara wajar tentang manusia dalam perang, manusia dan kebangsaan. Hal itu tidak mengherankan sebab Mochtar Lubis sendiri pernah terlibat dalam peristiwa-peristiwa revolusi. Suatu peristiwa yang cukup dahsyat dalam pengalaman hidup manusia. Pengalaman-pengalaman itu mempengaruhi jiwa Mochtar Lubis sehingga tidak sedikit novel atau cerita pendeknya yang cenderung menonjolkan aspirasi dan ide-ide si pengarang itu sendiri.8 Bentuk pengungkapan yang diterapkan Mochtar Lubis dalam karyakaryanya sebenarnya masih lebih akrab dengan masyarakat pembaca dibanding dengan cara yang ditempuh oleh Iwan Simatupang dan Putu Wijaya. Kalau Iwan dan Putu masing-masing bertolak dari sudut pandang filsafat dan psikologi, maka Mochtar Lubis nampak masih bertahan pada sudut pandang sosiologis dan budaya masyarakat. Titik tolak inilah yang membedakan mereka di dalam sistem penggarapan novel. Selain itu, orientasi mereka pun tidak sama. Orientasi Mochtar Lubis jelas tidak mengarah kepada penemuan bentuk penggarapan, melainkan bagaimana ide cerita itu mudah dipahami oleh masyarakat pembaca. Karena itulah sehingga Mochtar Lubis menggunakan karya sastra sebagai media untuk menyampaikan amanah, gagasan atau ide-ide kemanusiaannya kepada masyarakat. Sebagai sastrawan, Mochtar Lubis memiliki kepekaan batin terhadap gejala-gejala
yang
muncul
di
sekitarnya.
Baik
berupa
gejala
kemasyarakatan maupun yang lebih mendasar lagi, yakni gejala kemanusiaan. Kegelisahan, kegembiraan, kesedihan dan ketakutan yang 8
Pedoman Rakyat, 02 Februari 1984. “Pembicaraan Singkat Beberapa Karya Mochtar Lubis”.
36
tidak pernah lepas dari eksistensi hidup manusia, merupakan persoalan yang cukup menarik bagi pengarang. Dikatakan menarik sebab gejalagejala seperti itu merupakan Jalan Tak Ada Ujung bagi sejarah kehidupan manusia. Dalam karya lainnya yang berjudul Kuli Kontrak. Cerita ini menuturkan kekhawatiran tokoh “sang Ayah” kepada anaknya.9 Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung (1952) dapat kita lihat bagaimana masalah ketakutan yang dialami oleh tokoh Isa berhasil diangkat oleh Mochtar Lubis sebagai persoalan manusia secara universal. Isa, dalam novel tersebut, adalah wujud dari sekian juta anak manusia yang pernah atau sedang mengalami persoalan-persoalan hidup yang serba kompleks, penuh ketidakpastian, sebagaimana halnya di dalam suasana peperangan (revolusi).
9
Harian Sinar Harapan, Loc.cit.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sinopsis Novel Jalan Tak Ada Ujung Jakarta, pascakemerdekaan menjadi kota yang mencekam. Serdaduserdadu Belanda kembali datang untuk merebut kembali kemerdekaan yang
sudah
didapat
Bangsa
Indonesia.
Mereka
datang
dengan
kekejamannya, menembaki siapa saja yang tidak bersalah. Selama berbulan-bulan Jakarta menjadi kota yang penuh ancaman, setiap penduduk tidak bisa beraktivitas dengan aman dan nyaman dikala siang hari dan tidur pun selalu penuh dengan ketakutan, ketakutan kalau-kalau serdadu Belanda datang tiba-tiba atau ketakutan akan peluru yang menembus kulit mereka. Guru Isa adalah seorang yang penuh dengan rasa takut, bukan hanya takut dengan keadaan yang sedang tejadi di Jakarta, tetapi juga takut terhadap pikiran-pikiran yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri. Guru Isa mempunyai seorang istri bernama Fatimah dan juga memiliki satu anak angkat bernama Salim. Guru Isa dan Fatimah tidak dikaruniai anak karena Guru Isa mengidap penyakit impotensi. Saat Guru Isa hendak berangkat ke sekolah untuk mengajar, terjadi penyerangan yang dilakukan oleh serdadu Belanda, Guru Isa bertemu dengan Hazil, seorang pemuda pemberani yang penuh semanagat nasionalisme, pemuda yang tidak ingin bangsanya ditindas kembali oleh orang-orang asing, yang pada saat terjadi penembakan dia salah satu pemuda yang memiliki senjata pistol, bukan hanya untuk membalas tembakan dari serdadu Belanda melainkan juga untuk melindungi dirinya. Mereka berteman karena merasa cocok dalam satu hal bukan dalam semangat nasionalisme melainkan dalam seni musik. Hazil lalu mengajak Guru Isa ikut dalam kelompoknya melawan serdadu Belanda, Hazil ternyata mempunyai banyak teman yang tergabung dalam pemuda-pemuda
37
38
yang siap melawan serdadu Belanda. Hazil bersama temannya Rahmat, Otong,
Kiran,
dan
Imam
telah
merancang
sebuah
rencana
menyelundupkan senjata yang mereka sembunyikan untuk dibawa ke Karawang,
menyembunyikannya
dari
serdadu
dan
dipakai
saat
penyerangan yang akan dilakukan Hazil terhadap serdadu Belanda. Sudah banyak tetangga dan orang-orang yang dikenal oleh Guru Isa pergi untuk pindah keluar kota, pindah ke tempat yang mereka anggap lebih aman untuk dijadikan tempat tinggal, jauh dari ancaman tembakan yang datang dengan tiba-tiba. Dapat tidur lebih nyenyak dibandingkan saat mereka tinggal di Jakarta. Guru Isa tidak bisa menolak, dengan terpaksa ia ikut ke dalam kelompok yang menginginkan revolusi, walaupun penuh dengan ketakutan tetapi Guru Isa selalu menyembunyikan ketakutannya itu di hadapan Hazil dan teman-temannya. Tiba saatnya penyerangan yang sudah direncanakan dilaksanakan. Hazil, Rahmat, dan Guru Isa akan menyerang serdadu Belanda dengan granat di bioskop Rex di Senen, Jakarta. Hazil dan Rahman bertugas melempar granat ke bioskop, sedangkan Guru Isa bertugas melihat kondisi dan situasi setelah Hazil dan Rahmat melaksanakan tugasnya. Setelah kejadian pembalasan di bioskop Hazil, Rahmat dan juga Guru Isa berpencar demi keamanan mereka semua. Hazil dan Rahmat pergi keluar kota sedangkan Guru Isa dengan ketakutan dan penuh cemas kembali ke rumahnya. Setelah beberapa minggu penyerangan di bioskop Hazil datang menemui Guru Isa mengabarkan bahwa Rahmat telah tertangkap oleh serdadu Belanda dan Hazil pun memberi tahu bahwa kini ia sedang dicaricari pula oleh serdadu Belanda, mengingatkan Guru Isa agar selalu berhati-hati kalau-kalau serdadu Belanda datang ke rumahnya. Serdadu Belanda pun datang ke rumah Guru Isa membawanya ke markas, sampai di markas Guru Isa disiksa agar mengakui apa yang sudah direncanakannnya oleh Hazil dan Rahmat yang pada saat itu sudah tertangkap, Guru Isa tetap bungkam dan penuh memar karena dipukuli
39
oleh serdadu-serdadu, saat Guru Isa tidak sadarkan diri ia dibawa ke sebuah ruangan jeruji, saat sadarkan diri ia melihat Hazil dengan muka yang sudah penuh luka akibat disiksa, Hazil hanya berucap kata maaf kepada Guru Isa, dan di tempat itu Hazil menghembuskan nafas yang terakhir dan akhirnya Guru Isa dibebaskan.
B. Analisis Objektif Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis 1. Tema Tema dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis adalah mengenai rasa takut tentang eksistensi sebagai manusia. Manusia selalu ketakutan dalam hidupnya, takut terhadap banyak hal dan hal tersebut juga dapat dilihat dengan jelas pada semboyan buku itu yang dipetik dari Jules Romains yang terdapat pada halaman awal. “Apakah yang harus kita punyai, agar kita bebas dari ketakutan?” Dalam hal ini, rasa takut itu ialah rasa takut yang terdapat dalam kehidupan Guru Isa, seorang guru biasa yang dengan tidak sepenuh hati terpaksa turut serta dalam perjuangan rahasia menentang musuhmusuh asing. Ketakutan yang dialami Guru Isa lantaran keadaan sosial pada saat itu yang membuat ia terpaksa menahan rasa takutnya. “Engkau tahu mengapa akau terima? Bukan karena semangat revolusiku berapi-api, semangat cinta tanah airku berapi-api, aku memang cinta tanah air, tetapi dalam darahku tidak ada atau belum ada itu tradisi yang mendorong aku berkorban darah dan jiwa untuk tanah air, untuk itu aku belum pernah hidup dalam tanah air yang mesti dibela dengan darah, jadi jika ada orang berkata mempunyai semangat seperti ini, maka itu semangat palsu dan dibikin-bikin. Aku terima karena aku takut. Dan aku bertambah takut setelah menerimanya.”1 Keterlibatan Guru Isa dalam revolusi tidak didasari semangat patriotisme dan nasionalisme untuk merebut kemerdekaan, melainkan karena ketakutanya yang senantiasa menteror jiwanya sehingga tanpa
1
Mochtar Lubis, Op. Cit, h.74
40
sadar ia menerima segala amanah perjuangan yang dibebankan kepadanya. Rasa takut tidak hanya dirasakan oleh Guru Isa, hampir semua tokoh mengalami ketakutannya masing-masing. Termasuk ketakutan yang dialami oleh Fatimah saat Guru Isa ditangkap oleh Polisi. “Hatinya takut, bercampu pahit.”2 Takut yang dialami Fatimah lantaran Guru Isa yang ditangkap oleh polisi, memang dia tidak lagi mencintai Guru Isa tapi kini dia harus menyadari bahwa tidak ada lagi orang yang mencari nafkah untuk dirinya dan Salim. Hazil memiliki rasa takut, hanya saja Hazil mampu untuk melawan takutnya, dalam perjuangan dia bukanlah seseorang yang ingin menuai pujian dari apa yang dilakukannya. Hazil berjuang demi bangsanya, demi terlepas dari penjajahan yang dilakukan bangsa asing terhadap bangsanya. Dapat dilihat pada penokohan bagian Hazil. Ketakutan juga dialami oleh Mr. Kamarudin, Ayah Hazil, saat mengetahui dan merelakan anak satu-satunya pergi untuk berjuang melawan Belanda. “Haziiiilll kembaliii!”3 “Dalam teriak itu tersembunyi perasaan yang lebih besar dari kemarahan.” 4 Mr. Kamarudin tidak sanggup menahan Hazil untuk tidak pergi berperang melawan Belanda. Teriakannya saat ingin menahan Hazil untuk tidak pergi meninggalkan dirinya, terselip rasa takut jika anak satu-satunya tak akan pernah kembali, takut kehilangan Hazil untuk selamanya. Salim, anak usia 4 tahun juga mengalami ketakutannya sendiri. Dia takut saat tidur dalam kamar yang gelap. Dapat dilihat pada penokohan bagian Salim. 2
Ibid, h.153 Ibid, h. 20 4 Ibid, h.20 3
41
2. Alur Alur dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis adalah alur maju, atau dapat dikatakan alur yang menceritakan rangkaian peristiwa kejadian yang akan datang. a. Pengenalan Cerita Pengenalan cerita dalam novel ini adalah diawali dengan keterangan waktu yaitu pada Jakarta tahun 1946. Dalam pengenalan cerita dalan novel JTAU sudah menggambarkan kondisi Jakarta yang penuh ancaman. “jalan-jalan kosong dan sepi. Beberapa orang bergegas lari dari hujan. Dan lari dari ancaman yang telah lama memeluk seluruh kota.”5 Dilanjutkan dengan kejadian tiga anak kecil yang sedang bermain layang-layang, beberapa orang opas yang hendak berangkat kerja mampir ke warung Pak Damrah, terdapat pula tukang becak dan tukang loak di warung untuk sekedar minum kopi atau membicarakan tentang serbuan-serbuan yang dilakukan oleh serdadu-serdadu Belanda. “Di warung Pak Damrah enam orang sedang duduk minumminum. Empat orang opas Kantor Kotapraja di Kebon sirih. Mereka hendak masuk kerja.”6 “Kemaren kampung Tanah Tinggi digeledah lagi sama si ubelubel,” cerita tukang loak, mulutnya penuh pisang goreng. Tukang beca yang sedang menghirup kopinya yang panas, menghapus mulutunya dengan lengan kirinya yang kotor.”7 b. Pemunculan Konflik Awal Pemunculan konflik awal terjadi saat serdadu Belanda menyerang dari arah Kebon Sirih menuju warung Pak Damrah di Gang Jaksa. Serdadu Belanda menyerang dengan bertubi-tubi terlebih lagi jika mereka melihat ada seseorang yang berlari, serdadu Belanda menembaki siapa saja yang melintas, tembakan 5
Ibid, h.1 Ibid, h.3 7 Ibid, h.3 6
42
yang tidak tentu arah, tidak peduli kepada siapa pun peluru yang mereka hempaskan bersarang. “Tiba-tiba suara gemuruh mengejutkan, orang berteriak, siaap! Siaaapp! Dari arah Kebon Sirih dua buah truk penuh berisi serdadu memakai topi masuk ke Gang Jaksa.”8 “Melihat mereka lari, serdadu-serdadu di atas truk itu mulai menembak. Letusan senapan dan sten mengoyak udara jalan yang sunyi itu.”9 Dari tembakan yang dilepaskan oleh serdadu Belanda, dua orang opas dan satu anak kecil yang masih memegang benang layangannya menjadi korban tembakan. Mereka semua mati sebelum pertolongan datang. Tukang beca terkena tembakan di kakinya dan terus mengerang kesakitan. Setelah mereka melihat sudah beberapa orang tersungkur ke jalan
tidak
berdaya,
serdadu-serdadu
tersebut
masih
saja
menembaki dan mencaci maki. “Tiga menit kemudia truk itu masih menembak-nembak juga ke kiri dan ke kanan, sambil berteriak-teriak memaki-maki, “Mampus lu, anjing Sukarno! Mau merdeka? Ini merdeka!” dan sten-gun dan senapan ditembakkan tidak tentu arah.”10 Setelah beberapa menit kejadian penembakan dan serdaduserdadu telah pergi, pemuda-pemuda yang membawa senjata, yang bersembunyi di balik rumah memberanikan diri untuk keluar menolong korban yang berjatuhan, beberapa ada yang menelpon mobil ambulans, beberapa ada yang menggotong anak kecil yang sudah tidak bergerak ke tepi jalan dan beberapa berkumpul di warung Pak Damrah untuk mencari tahu siapa saja korban yang terkena tembakan. Saat terjadi penembakan di Gang Jaksa, Guru Isa sedang dalam perjalanan menuju sekolah tempat ia mengajar di Tanah Abang. 8
Ibid, h.5 Ibid, h.6 10 Ibid, h.6 9
43
Ketika itu terjadi pula penembakan dan kali ini serangan yang dilakukan oleh serdadu Belanda tidak hanya lewat peluru-peluru yang ditembaki tak tentu arah dari truk, mereka juga melakukan penggeledahan ke dalam rumah. “Hands up!” perintah serdadu Sikh dengan garang. Belum sempat Guru Isa berdiri dan menaikkan tangannya, ketika pintu belakang ditendang pula terbuka, dan tiga orang serdadu masuk. Guru Isa berdiri mengangkat tangannya, dan dengan cepat seorang serdadu menggeledah badannya. Isa tidak membawa senjata, dan dia disuruh berdiri di tengah kamar.11 c. Komplikasi Dalam tahapan ini konflik yang terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan berbagai kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh. Di dalam novel JTAU tahap komplikasi terjadi ketika Guru Isa mengenal Hazil seorang pemuda pemberani bersenjata pistol dan mereka berteman karena keduanya memiliki selera musik yang sama. Dari pertemanan mereka Hazil mengajak Guru Isa hadir dalam rapat
untuk berperang melawan kebengisan serdadu
Belanda yang selama ini mengancam kota. Hazil sudah resah dia ingin segera membalaskan dendamnya dengan menyerang balik serdadu Belanda. “Tidak banyak yang diingatnya dari rapat yang penuh bersemangat itu. Semua orang bersumpah berani mati dan berani berkorban untuk kemerdekaan.”12 Hazil tidak hanya mengajak Guru Isa tetapi juga mengajak teman-temannya yang lain untuk ikut dalam perjuangan melawan serdadu Belanda. Hazil sering sekali memimpin rapat untuk perjuangan. Tidak hanya itu Hazil juga mengatur strategi dalam menyeludubkan senjata keluar kota, senjata yang akan digunakan untuk melakukan penyerangan balik terhadap serdadu Belanda.
11 12
Ibid, h.11 Ibid, h.39
44
“Ini bisa berbahaya,” kata Hazil, “kita pergi mengambil senjata dan membawanya ke Manggarai. Di sana kita sembunyikan dan kemudian akan diselundupkan ke Karawang.” 13 d. Klimaks Klimaks pada novel ini adalah pada saat serdadu melakukan penyerangan tanggal dua puluh satu. Hazil melakukan balas dendam. Hazil, Rakhmat dan juga Guru Isa melaksanakan pembalasan dari yang sudah mereka rencanakan. Mereka akan melempar granat atau bom tangan ke bioskop Rex di Pasar Senen. Di tempat itu terdapat beberapa serdadu Belanda, Hazil dan Rakhmat pun melempar granat itu dan mengenai beberapa serdadu Belanda. “Mereka akan melempar granat tangan itu bersama-sama, dan kemudian lari. Melempar granat ke tengah-tengah serdadu Belanda yang berdesak-desak keluar dari bioskop.”14 Saat setelah mereka melalukan penyerangan balik terhadap serdadu Belanda. Hazil, Rakhmat dan Guru Isa berpencar, Hazil memberitahu Isa kalau untuk beberapa hari mereka tidak akan bertemu sampai nanti situasi aman. Setelah penyerangan itu Guru Isa kembali ke rumah dengan perasaan yang takut, padahal dia hanya bertugas melihat situasi, Hazil dan Rakhmat yang melempar granat tersebut. Setelah beberapa hari Guru Isa membaca surat kabar yang mengabarkan bahwa salah satu pelaku pelemparan granat di bioskop Rex telah tertangkap. Berita tersebut seketika mengejutkan Guru Isa, tidak diberiathu nama dalam berita itu, Guru Isa cemas, takut dan menebak-nebak siapa yang sudah tertangkap. “Karena itu berita yang dibacanya amat menakutkannya, dan melandanya sebagai sambaran kilat: Seorang dari pelempar granat tertangkap.”15 13
Ibid, h.78 Ibid, h.129 15 Ibid, h.148 14
45
Tidak lama dari berita yang dibaca Guru Isa tentang pelaku pelemparan granat yang tertangkap. Guru Isa dijemput oleh polisi militer dan membawanya ke sebuah markas, Guru Isa pun sadar mengapa ia dibawa, di sana ia diberikan banyak pertanyaan tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukannya bersama Hazil. dan ditahan dalam sebuah ruangan, di ruangan tersebut ia melihat Hazil dengan muka yang pucat, penuh bekas pukulan. “Mulutnya telah pecah-pecah. Dua buah giginya atas telah hilang. Dikeningnya luka besar yang mongering. Dan mukanya pucat dan kurus. Matanya merah, urat-uratnya gembung berdarah.” 16 Guru Isa tidak menjawab pertanyaan yang diberikan, dia tidak ingin memberitahu polisi, lantas ia disiksa dan dipaksa untuk memberikan seluruh informasi tentang perjuangan yang dilakukan bersama Hazil, tapi Guru Isa tidak menjawab, ia disiksa hingga pingsan. “Kemudian dia hanya merasa tiba-tiba sesuatu yang besar, yang berat dan keras memukul dadanya dan tulang dadanya serasa remuk. Jantungnya menjerit perih, dan ketika tendangan kedua datang, akhirnya dia hanyut dalam kegelapan.”17 e. Peleraian atau Antiklimaks Peleraian atau antiklimaks dalam novel ini adalah setelah penyikasaan yang didapat oleh Hazil dan Guru Isa, membuat Hazil akhirnya
menyerah
dan
mengakui
semua
perbuatannya,
menceritakan seluruhnya yang telah dia lakukan untuk perjuangan melawan Serdadu Belanda. “Hazil menceritakan semuanya. Sebuah tempeleng di kepalanya sudah cukup untuk menyuruhnya bercerita.”18
16
Ibid, h.158 Ibid, h.160 18 Ibid, h.162 17
46
Setelah pengakuan Hazil, Guru Isa sedih melihat pemuda yang dikenalnya dulu seorang yang penuh gairah, pemberontak, dan yang berani melawan serdadu Belanda atau NICA, kini lemah tak berdaya. “Dan dia merasa sedih buat Hazil. Hazil yang muda yang duduk bersandar tembok di ujung, tidak pernah berkata-kata, dengan mata yang redup, pipi yang cekung dan pucat pasi. Dan tiba-tiba Guru Isa tahu, bahwa Hazil akan mati.”19 f. Penyelesaian Tahap penyelesaian dalam novel ini adalah terlepasnya rasa takut yang dimiliki oleh Guru Isa. Dia seperti telah belajar hidup bersama rasa takut seolah-olah sepak-terjang musuhnya itu merupakan pembebasan bagi dirinya, dan dia dibebaskan dari penjara. Seperti pada kutipan berikut: “Dan ketika Guru Isa mendengar derap sepatu datang ke pintu kamar mereka, dia merasa damai dengan rasa takutnya yang timbul. Dia tahu teror mereka tidak akan bisa menyentuhnya lagi. Dia telah bebas.”20 3. Tokoh dan Penokohan Tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam cerita pada novel JTAU karya Mochtar Lubis. Tokoh utamanya adalah Guru Isa dan Hazil. Adapun yang lain adalah tokoh-tokoh tambahan. a. Guru Isa Guru Isa adalah tokoh utama dalam novel ini, ia digambarkan sebagai seorang Guru berusia 35 tahun. “Kemudian jadi guru tahun-tahun sebelum Perang Dunia Kedua. Waktu itu dia masih muda. Berumur 31 tahun. Sekarang umurnya telah tiga puluh lima tahun.”21 Terkait usia Guru Isa, menunjukkan bahwa Guru Isa adalah seorang yang mengalami masa pendewasaan saat Belanda 19
Ibid, h.164 Ibid, h.165 21 Ibid, h.25 20
47
menjajah. Hal tersebut mempengaruhi sikapnya yang selalu menerima segala perintah yang diberikan kepadanya. Penerimaan keadaan secara kompromi pada masa penjajahan Belanda dilakukan oleh kaum intelektual Indonesia sebelum perang, dalam hal ini adalah Guru Isa. Pada satu pihak, mungkin saja Guru Isa sadar akan perjuangan kemerdekaan, Guru Isa memang tidak menjadi pejuang yang militan, tapi profesinya sebagai guru dapat memberikan pendidikan semangat kemerdekaan kepada anak didiknya. Guru Isa digambarkan sebagai tokoh yang memiliki rasa takut, bukan hanya takut dengan keadaan yang sedang terjadi, bukan hanya takut kepada serdadu Belanda yang sedang mengancam setiap penduduk, terkadang ketakutannya juga ditimbulkan sendiri oleh pikiran-pikirannya, menimbulkan kekhawatiran yang belum tentu terjadi. Guru Isa juga merupakan seorang Guru yang lembut yang tidak suka dengan kekerasan, seperti dalam kutipan berikut; “Aku takut sebenarnya, Fat,”katanya,“tidak pernah aku berorganisasi seperti ini. Main senjata lagi. Memakai pistol saja aku tidak tahu. Tetapi kalau tidak ikut, engkau tahu apa yang akan orang katakana.”22 Penggambaran tentang Guru Isa juga dikuatkan oleh bagaimana ia melewati masa kecilnya yang sama sekali tidak mengenal kekerasan. Tidak pernah berlaku kasar kepada siapa pun. Hal ini seperti pada kutipan berikut. “Semenjak dia melewati masa kanak-kanak yang tidak suka berkelahi, maka Guru Isa selama hidupnya tidak pernah memakai kekerasan terhadap orang lain. Atau mengalami dirinya ditundukkan dengan kekerasan badan oleh orang lain. Tinjunya tidak pernah dikepalkan untuk memukul orang. Dan tinju orang tidak pernah memukul biru dikulit mukanya.”23
22 23
Ibid, h.39 Ibid, h. 28
48
Ketakutan yang dialami oleh Guru Isa tidak hanya saat Guru Isa dalam keadaan sadar, saat dalam keadaan tertidur, istrinya sering mendengar Guru Isa menjerit ketakutan. “Dia tidak tahu bahwa aku sering mendengar dia menjerit dalam mimpinya dan mengucapkan kata-kata yang menunjukkan ketakutannya.”24 Guru
Isa
juga
memiliki
kesabaran
yang
dilandaskan
kesadarannya yang tidak bisa memberikan kebahagiaan lahir dan batin kepada istrinya. Hal tersebut terlihat saat dia mengetahui bahwa istrinya telah selingkuh dengan Hazil sahabatnya sendiri.. Seperti pada kutipan berikut: “Dan ketika dia mulai mengerti, mula-mula dia amat marah. Marah dan ingin menghancurkan Hazil dan Fatimah.”25 Semula ia marah, tetapi akhirnya dia bersikap menerima apa yang dilakukan Fatimah lantaran ia sadar bahwa ia tak bisa membahagiakan Fatimah selama hidupnya b. Fatimah Fatimah adalah istri Guru Isa, Fatimah adalah orang yang bersikap kasihan termasuk kepada suaminya sendiri, walau hubungan Fatimah dan Guru Isa tidak lagi harmonis namun Fatimah masih menghormati Guru Isa sebagai suaminya. Fatimah selalu bersikap baik, walau sebenarnya dia tidak bahagia hidup bersama Guru Isa. “Dia amat benci dan sedih melihat sinar mata Fatimah yang tiada mengandung kasih dan cinta. Hanya sinar mata seorang asing yang merasa belas kasihan kepada orang lain. Tidak ada lagi yang lain. Yang lebih dalam dan lebih mesra.”26 Fatimah merasa dirinya tidak bahagia hidup bersama Guru Isa, Fatimah bertahan dengan Guru Isa lantara ia kasihan. Fatimah 24
Ibid, h. 119 Ibid, h.124 26 Ibid, h.59 25
49
sadar bahwa rumah tangganya tak lagi harmonis layaknya sebuah keluarga. Fatimah tak lagi mencintai Guru Isa. “Apa yang tinggal dari perkawinan kita kalau demikian?” Guru Isa bertanya malam itu. Dan Fatimah menjawab, “Aku akan menjadi istri yang baik bagimu. Hanya itu.” “Tidak ada cinta?” desak Guru Isa. “Tidak ada cinta,” jawabnya.27 Fatimah hanya ingin menjadi istri yang baik, perlakuan baik yang dilakukan sebatas menyiapkan segala yang diperlukan Guru Isa, seperti menyiapkan makana dan minumnya. Namun, kebaikannya tidak diimbangkan dengan kesetiaannya sebagai seorang istri. Fatimah berani berselingkuh dengan Hazil dan Fatimah tidak menyesali perbuatan yang dilakukannya dengan Hazil. “Fatimah merasa penyesalan.”28
senang.
Dia
tidak
merasa
sesuatu
Tidak adanya penyesalan yang dirasakan Fatimah tentang hubungannya dengan Hazil. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama ini Fatimah begitu lama menahan hasrat birahinya lantaran hal tersebut tidak dapatkan dari Guru Isa yang mengidap penyakit impotensi. Bagaimanapun juga seorang istri selalu ingin diberikan kebahagiaan lahir dan batin, termasuk salah satunya adalah kepuasan birahinya. Kebahagiaan itu tidak didapati dengan Guru Isa, Fatimah merasa senang lantaran Hazil mampu memberikan kepuasan birahinya dan tak ada penyesalan bagi Fatimah. c. Hazil Hazil adalah seorang pemuda pemberani, keras kepala dan memiliki tekad yang kuat, Hazil juga digambarkan mempunyai badan yang kurus dan perokok. Hazil adalah pemuda yang 27 28
Ibid, h.61 Ibid, h.118
50
memimpin kelompoknya untuk menyerang Serdadu Belanda, yang menyusun rencana dalam kegiatan revolusi. “Berikan pistol itu ke sini!” perintahnya. Hazil mundur selangkah. “Jangan Ayah! Kita perlu senjata kemerdekaan.”29
untuk
perjuangan
Hazil sangat bersemangat dalam hal perjuangan, dia terus meyakinkan kepada kawan-kawannya tentang perjuangan yang sedang ia lakukan: membebaskan diri dari Belanda. “Dalam perjuangan kemerdekaan ini, tidak ada tempat pikiran kacau dan ragu-ragu,” kata Hazil….”Sekali kita memilih perjuangan, maka itu jalan tak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku, semuanya telah memilih jalan perjuangan.”30 Hazil juga memiliki rasa takut, hanya saja Hazil mampu untuk melawan takutnya, dalam perjuangan dia bukanlah seseorang yang ingin menuai pujian dari apa yang dilakukannya. “Saya juga takut mana ada orang yang tidak takut? Tapi ini perjuangan harus dijalankan. Karena pemberontakan terus biar dibawa mati, adalah satu kemenangan. Musuh tidak bisa kuasai selama-lamanya.” Hazil berjuang demi bangsanya, demi terlepas dari penjajahan yang dilakukan bangsa asing terhadap bangsanya. d. Salim Salim anak laki-laki berumur empat tahun, anak angkat Fatimah dan Guru Isa. Seorang anak yang masih polos dan hanya takut saat tidur dengan kamar yang gelap. “Demikian anak pungut mereka, laki-laki kecil, Salim, berumur empat tahun, datang ke dalam penghidupan mereka.”31 “Salim, mengapa engkau menangis? Mimpi?” Suaranya sendiri agak gemetar, tetapi tidak dirasakannya.
29
Ibid, h. 20 Ibid, h. 49 31 Ibid, h. 30 30
51
Ketakutan Salim pada kamar yang gelap, memang banyak dirasakan oleh anak seusia Salim. Ketakutannya karena mimpi atau membayangkan hal-hal yang menyeramkan. “Salim takut…,” katanya perlahan-lahan. “Takut? Apa yang engkau takutkan?” tanyanya lembut. “Salim takut tidur sendiri dalam gelap,” jawab anak itu. “Kalau pakai lampu engkau takut juga?” Salim menggelengkan kepalanya. Guru Isa berdiri, dan memutar knop listrik. Salim tersenyum berterimakasih kepadanya.32 Ketakutan yang dialami oleh Salim adalah ketakutan yang terjadi pada anak usia 4 tahun yang belum begitu mengerti tentang kondisi peperangan yang terjadi yang dia takutkan hanya saat tidur dengan kamar yang gelap. e. Rakhmat Seorang pemuda anggota Laskar Rakyat dari Bekasi yang juga teman Hazil, membantu Hazil dalam revolusi, selalu menurut dengan rencana yang dibuat oleh Hazil, tidak sekalipun ia tidak setuju dengan apa yang direncanakan oleh Hazil. “Sekarang Guru Isa dapat memperhatikan Rakhmat lebih terang dan jelas. Sebaya dengan Hazil. Sekilas Guru Isa terpikir, muda-muda benar anak-anak yang berevolusi ini.”33 Dari penggambaran tentang Rakhmat dapat dikatakan bahwa, kaum muda menjadi penggerak revolusi, yang melakukan perlawanan agar bangsanya tak dijajah kembali. f. Mr. Kamarudin Ayah dari Hazil, berumur enam puluh tahun yang juga merupakan pensiunan dari Kepala Landraad. Seorang Ayah yang tidak pernah mendukung anaknya dalam revolusi melawan serdadu NICA. “Engkau mau bertempur? Berapa kali Ayah sudah melarang. Engkau jangan campur-campur dengan bertempur-tempur! Apa engkau pikir engkau bisa menang dengan pistol kecil itu?”34 32 33
Ibid, h. 143-144 Ibid, h. 80
52
Mengatakan bahwa apa yang dilakukan anaknya adalah hal yang sia-sia. Ternyata alasan mengapa Mr. Kamaruddin melarang Hazil berperang bukan karena mengakui serdadu NICA lebih kuat melainkan kekhawatiran akan keselamatan anak satu-satunya itu. Mr. Kamaruddin menggerakan tangannya hendak menyentakkan pistol itu dari tangan anaknya. Tapi Hazil cepat berbalik, berbalik, dan ketika dia tiba di pintu pagar rumah, dan melihat ke kiri ke kanan memeriksa jalan yang kosong, teriak ayahnya mengejarnya, “Haziiiilll kembaliii!”35 “Dalam teriak itu tersembunyi perasaan yang lebih besar dari kemarahan.” 36 Perasaan kesayangan kepada ayah pada anak, dan rasa takut mengetahui anaknya pergi menemui bahaya maut. Dalam teriak itu juga tersembunyi rasa takut yang dipendamkannya jauh-jauh di dalam hatinya. Takut melihat perubahan pada diri anaknya sendiri. g. Serdadu Belanda (NICA) Tidak memiliki belas kasihan, kasar, dan menembaki siapa saja yang tidak bersalah. Menggeledah atau melakukan penyerangan kapanpun mereka siap. Seperti pada beberapa kutipan berikut. “Tiba-tiba suara gemuruh mengejutkan, orang berteriak, siaap! Siaaapp! Dari arah Kebon Sirih dua buah truk penuh berisi serdadu memakai topi masuk ke Gang Jaksa.”37 Tiga menit kemudia truk itu masih menembak-nembak juga ke kiri dan ke kanan, sambil berteriak-teriak memaki-maki, “Mampus lu, anjing Sukarno! Mau merdeka? Ini merdeka!” dan sten-gun dan senapan ditembakkan tidak tentu arah.38 Tidak hanya melakukan penyerangan tiba-tiba dengan menembaki siapa saja yang lari, serdadu Belanda juga melakukan penggeledahan, dengan masuk ke dalam rumah dan memeriksa lalu dengan berlaku kasar. “Hands up!” perintah serdadu Sikh dengan garang. Belum sempat Guru Isa berdiri dan menaikkan tangannya, ketika pintu belakang ditendang pula terbuka, dan tiga orang serdadu 34
Ibid, h. 19 Ibid, h. 20 36 Ibid, h.20 37 Ibid, h.5 38 Ibid, h.6 35
53
masuk. Guru Isa berdiri mengangkat tangannya, dan dengan cepat seorang serdadu menggeledah badannya. Isa tidak membawa senjata, dan dia disuruh berdiri di tengah kamar.39 h. Abdullah Supir yang membawa truk Tuan Hamidi untuk mengantarkan Guru Isa dan Hazil membawa senjata. Dullah tidak takut dan tidak keberatan membantu mereka membawa senjata walau apa yang dilakukannya itu berbahaya jika ketahuan oleh serdadu NICA. “Engkau tahu kita mau bawa apa?” Dullah tertawa menyeringai, hingga keluar giginya yang besarbesar dan kuning kotor. Dia meludah ke jalan, memukul tangannya ke setir, dan berkata, “Bawa apa saja, saya ikut pak!” “Ini bisa berbahaya,” kata Hazil, “kita pergi mengambil senjata dan membawanya ke Manggarai. Di sana kita sembunyikan dan kemudian akan diselundupkan ke Karawang. Engkau masih berani?” Dullah berkata, “Kalau Bapak Guru dan Bapak berani mengapa saya tidak berani?”40 Keberanian Abdullah membantu Hazil dalam menyeludupkan senjata, secara tidak langsung menjadi seseorang yang ikut membantu dan terlibat dalam revolusi. i. Ontong, Kiran, dan Imam Teman Hazil dan Rakhmat yang membantu menyembunyikan senjata. Namun Ontong mempunyai sikap seperti algojo, membunuh orang tanpa jelas alasannya, hanya karena Ontong mengganggap
orang
yang
dibunuh
merupakan
mata-mata.
Sedangkan Kiran dan Imam tidak banyak digambarkan tentang mereka, mereka adalah pengikut Ontong yang menuruti perintah Ontong. “Ontong yang duduk di sebelah kiri Hazil adalah rupa buaya Senen yang jika dibayangkan oleh Guru Isa haruslah berupa si Ontong ini. Raut muka yang kasar, hampir persegi empat, kening yang sempit, rambut yang lurus dan kasar seperti ijuk, bibir yang tebal lonjong, dan mata yang merah berapi-api. Dia hanya memakai celana katok hitam, dan kemeja seperti kemeja kelasi berstrip-strip yang telah using. Pahanya yang besar dan 39 40
Ibid, h.11 Ibid, h.78
54
gemuk terlihat telanjang, kotor, penuh panau. Kepalanya diikat dengan sehelai kain belacu merah. Di pinggangnya terselip golok.”41 Tidak hanya terlihat kumal dan kotor, Ontong juga dengan mudah berbuat hal yang keji lantaran menuduh seseorang sebagai mata-mata. “Ontong ini benar algojo. Kita semua tidak ada yang berani potong. Dia yang potong,” kata Kiran “Kita buang ke dalam sumur. Ini masih bau, kamu berdua tidak tutup benar,” kata Otong memarahi Kiran dan Imam.42 Ontong dengan penampilannya yang kumal, menunjukkan karakternya yang dianggap sebagai algojo oleh teman-temannya. Ontong menjadi cerminan latar sosial yang terjadi pada saat itu, menjadi seseorang yang dengan mudahnya membunuh orang lain yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Pembunuhan keji yang tidak selayaknya dilakukan tanpa alasan atau bukti yang kuat.
j. Kapten Muda Sesampainya Guru Isa di markas polisi militer, dibawanya Guru Isa kesebuah ruangan yang sudah ada kapten muda yag siap memberikan pertanyaan-pertanyaan mengenai penyerangan di bioskop rex. Kapten muda ini siap memberikan pukulan jika Guru Isa tidak menjawab pertanyaan yang diberikan. “Kita sudah tahu semuanya,” katanya memberi ingat, suaranya menajam dan mengandung ancaman, “kamu lebih baik mengaku. Kawan yang sudah tertangkap telah mengakui semuanya.” “Dia memandang dengan kehilangan akal kepada kapten itu. Lidahnya menjadi kaku, dia tidak bisa berkata sesuatu apa. Di dadanya seakan sebuah gendang besar dipukul keras-keras, gedebuk-gedebuk, semakin lama semakin keras. Dan kemudian semuanya menjadi gelap baginya. Guru Isa jatuh pingsan.”43 41
Ibid, h.79-80 Ibid, h.82 43 Ibid, h.157 42
55
Penyiksaan yang dilakukan oleh Kapten Muda, bukan karena dia berlaku kasar, tetapi memang hal tersebut selalu dilakukan aparat saat yang dituduh tidak memberikan penjelasan yang dibutuhkan.
4. Latar a. Latar Waktu 1) September-Desember 1946 Pada tahun 1946 keadaan Kota Jakarta yang sedang menghadapi
ancaman
dari
NICA,
penyerangan
dan
penembakan gencar dilakukan oleh NICA. “Jakarta. Bulan September 1946. Pagi. Tiga orang kanakkanak kecil sedang bermain-main di jalan Gang Jaksa.”44 “Melihat mereka lari, serdadu-serdadu di atas truk itu mulai menembak. Letusan senapan dan sten mengoyak udara jalan yang sunyi itu.”45 Sejak awal-awal penyerangan yang dilakukan oleh serdadu NICA,
pemuda
setempat
tidak
tinggal
diam,
mereka
menyiapkan peralatan untuk berjaga diri dari serangan yang datang. “Mereka titipkan dua pistol dan lima granat tangan padaku, disimpan dalam keranjang loak, dan aku pergi duduk menunggu geledahan habis dekat truk si ubel-ubel”46 “Bukan takut sama si ubel-ubel, tetapi sama pemuda. Mereka ancam gua bakal disiap kalau tidak mau sembunyikan senjata. Setelah si ubel-ubel pergi, mereka datang dan ambil kembali. Baru gua lega.”47 Di bulan November, pertemanan Guru Isa dan Hazil semakin akrab, mereka menyatu tidak hanya karena mereka menyukai
44
Ibid, h.2 Ibid, h.6 46 Ibid, h.4 47 Ibid, 45
56
musik, tapi pada bulan ini mereka bersatu dalam organisasi yang melawan serdadu NICA. Seperti pada kutipan berikut: “Gesekan biolamu, meskipun belum lancar dan mahir, mengandung tenaga, kata Guru Isa kepada Hazil memuji.”48 Di bulan ini semua anggota yang tergabung dalam organisasi perjuangan mulai mengadakan rapat, mereka menyusun rencana menyeludupkan senjata. “Pemuda-pemuda di Kebon Sirih berkumpul, dan karena dia menjadi wakil ketua panitia keamanan rakyat, maka dia dipanggil hadir.”49 “Kita pergi mengambil senjata dan membawanya ke Manggarai. Di sana kita sembunyikan dan kemudian akan diselundupkan ke Karawang.”50 Hal tersebut memberikan penjelasan bahwa rakyat sudah mulai mengatur siasat, mereka saling membantu dalam perjuangan melawan Belanda, mereka tidak lagi akan tinggal diam saat serdadu yang semakin hari semakin bertindak sesuka hati mereka. “Sebagai kebanyakan orang di hari-hari pertama revolusi itu, Guru Isa belum menganalisa benar-benar kedudukannya, kewajibannya dan pekerjaannya dalam revolusi. Selama ini dia membiarkan dirinya dibawa arus. Arus semangat rakyat banyak.”51 Di akhir tahun ini menjadi tahun awal-awal revolusi. Semangat perjuangan melawan serdadu NICA dilakukan oleh Hazil dan teman-temannya, Hazil ada seorang pemuda pemberani, berani melakukan apapun demi tanah air. Seperti pada kutipan berikut: “Ini musik hidupku. Ini perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya 48
Ibid, h.37 Ibid, h.38 50 Ibid, h.78 51 Ibid, h.27 49
57
alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia.”52 Selama berbulan-bulan, pada tahun 1946 Guru Isa terpaksa harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang membuat dia harus ikut serta dalam perjuangan dan mengatur siasat bersama Hazil dan teman-temannya melawan serdadu NICA. 2) Januari-April 1947 Pada awal tahun 1947, semakin banyak orang-orang yang mengatasnamakan perjuangan tetapi mereka malah mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Bahkan mereka juga memeras sesama rakyat Indonesia yang sedang berjuang membebaskan diri dari Belanda. “Tapi perlahan-lahan aku lihat bertambah banyak orang yang memakai perjuangan untuk kedok mencari untung bagi dirinya sendiri. Banyak pula yang telah mulai memeras rakyat, minta beras, sapi, uang. Dan kekejaman-kekejaman yang berlaku.”53 Pada tahun ini, tidak hanya semangat revolusi yang kian bertambah dari masyarakat. Namun, beberapa orang berjuang mengatasnamakan revolusi sebagai kedok mereka yang hanya ingin memeras rakyat. “Saya maksud mau pindah saja ke Purwakarta. Sama orang tua. Tidak tahan terus-terus begini. Saban malam tidak bisa tidur. Sebentar-sebentar geledahan.”54 Keadaan yang makin hari seperti itu membuat orang-orang terdekat Guru Isa mulai ketakutan, mereka tidak tahan dengan kondisi yang saat itu sedang terjadi. Salah satunya adalah Guru Saleh yang merupakan teman Guru Isa di sekolah, dia
52
Ibid, h.46 Ibid, h.97 54 Ibid, h.94 53
58
memutuskan untuk pindah keluar kota yang dia rasa cukup aman untuk menjalani kehidupan. “Guru Isa baru kembali dari sekolah. Ketika dia sedang membuka bajunya di kamar, Fatimah masuk ke kamar tidur dari dapur dan berkata, “Is, engkau tahu, Tuan Hamidi di sebelah telah pergi mengungsi ke Yogya. Hanya tinggal pamannya yang menjaga rumah.”55 Saat Guru Isa mengetahui bahwa tetangganya juga menyusul jejak Guru Saleh yang mengungsi keluar kota karena tidak tahan dengan ancaman yang terjadi di Jakarta, Guru Isa engga mengikuti
jejak
teman-temannya
yang
mengungsi,
dia
menganggap bahwa ancaman di luar kota sama besarnya dengan ancaman yang terjadi di Jakarta. Dalam tahun ini terjadi pula tepatnya pada bulan Maret 1947 terjadi peristiwa Perjanjian Linggarjati. Seperti pada kutipan berikut: “Jadi meskipun persetujuan Linggarjati telah diparap, orang di dalam tidak percaya akan berhasil.”56 Perjanjian Linggarjati dibuat Belanda lantaran Belanda sudah mengetahui
banyak
rakyat
yang
sudah
bergerak
dan
menyiapkan diri untuk melawan. Adanya perjanjian itu dilakukan sebagai bentuk upaya Belanda menghalau rakyat menjadi kaum revolusi. 3) Pagi Saat pagi hari, waktu saat banyak orang ingin menghirup udara pagi dengan santai, tapi hal ini tidak terjadi karena serdadu NICA menyerang tanpa mengenal waktu. Saat itu Mr. Kamarudin ingin menikmati pagi dengan duduk di teras rumahnya, menghirup udara pagi yang sejuk, tapi yang di dapat 55 56
Ibid, h.108 Ibid, h.100
59
adalah pagi yang penuh gemuruh suara senapan yang dilancarkan oleh serdadu NICA. “Persetan! Sumpahnya. “Kenapa mesti saban pagi mesti ada tembakan? Dunia ini sudah mau kiamat. Orang semua sudah gila.”57 “Pagi-pagi pukul lima serdadu-serdadu itu telah bersiap-siap. Serdadu-serdadu berlompatan turun, dan mulai mengadakan pengurungan di kampung sekitar pabrik itu.58 Penyarangan yang dilakukan Serdadu Belanda pagi hari karena di pagi hari, semua orang mulai keluar rumah untuk melakukan aktivitas. Ketika Serdadu Belanda melakukan penyerangan akan semakin banyak korban yang berjatuhan, itulah yang diinginkan oleh serdadu Belanda.
4) Siang Ketika
Hazil,
Guru
Isa,
dan
Rakhmat
hendak
menyelundupkan senjata untuk dibawa ke Karawang, mereka mengatur siasat agar penyelundupan senjata ini berhasil, mereka tidak melakukannya pada siang hari. “Jika kita angkat terang-terang, siang-siang, maka tidak seorang juga serdadu Inggris yang akan curiga kita membawa mesiu,” tulis Hazil dalam suratnya.”59 Rencana penyelundupan senjata tidak akan menarik perhatian jika dilakukan pada siang hari, karena siang hari segala aktivitas yang orang lakukan akan dianggap sebagai kegiatan yang tidak mencurigakan.
5) Malam Pada waktu malam hari, saat semua orang ingin melepaskan penatnya 57
Ibid, h.19 Ibid, h.102 59 Ibid, h.72 58
dan
menghilangkan
lelahnya
setelah
sehari
60
beraktifitas, mereka selalu dikhawatirkan oleh bunyi senapan yang belum juga usai. “Gemuruh tembakan-tembakan di seluruh berkurang seperti malam-malam biasa.”60
kota
tidak
Guru Isa, Hazil, dan juga Rakhmat akan melancarkan rencana penyerangan terhadap serdadu Belanda dengan melemparkan granat ke arah mereka. Hal ini menjadi pembalasan dendam mereka terhadap serdadu Belanda yang selama ini banyak menyerang rakyat. “Malam di Pasar Senen. Malam Minggu. Di Kramatplein amat ramainya…., Mereka akan melemparkan granat tangan itu bersama-sama, dan kemudian lari. Melempar granat ke tengah-tengah serdadu-serdadu Belanda yang berdesak-desak keluar dari bioskop.”61 Penyerangan yang dilakukan oleh Guru Isa, Hazil, dan Rakmat pada malam hari tidak dengan alasan, mereka memilih menyerang dengan melempar granat ke arah serdadu Belanda disaat serdadu Belanda sedang tidak menjalankan tugas mereka dan sedang menghabiskan waktu untuk bersenang-senang disaat itulah Hazil dan Rakhmat menyerang. Keadaan di waktu pagi, siang, dan malam menunjukkan bahwa setiap hari rakyat mengalami kondisi darurat dan keadaan yang tidak normal dari bangun tidur hingga ingin kembali tidur. Kondisi pada saat itu menunjukkan bahwa sepanjang hari rakyat harus diliputi rasa cemas, takut dan gelisah terhadap penyerangan yang dilakukan oleh serdadu Belanda yang tidak mengenal waktu.
60 61
Ibid, h.63 Ibid, h.128-129
61
b. Latar Tempat Jakarta, kota besar yang penuh ancaman dari serdadu NICA. Kedatangan mereka menjadi ancaman bagi siapa saja yang tak bersalah, serdadu NICA tidak mengenal ampun, di Jakarta, saat waktu bermain bagi anak-anak pun, mereka bermain dengan penuh ancaman penyerangan yang dilakukan oleh serdadu NICA. “Jakarta. Bulan September 1946. Pagi. Tiga orang kanakkanak kecil sedang bermain-main di jalan Gang Jaksa.”62 “Melihat mereka lari, serdadu-serdadu di atas truk itu mulai menembak. Letusan senapan dan sten mengoyak udara jalan yang sunyi itu.”63 Karena sebagian besar serdadu NICA bermarkas di Jakarta, yang lebih sering menjadi lokasi penyerangan NICA yaitu di daerah
Jakarta
Pusat
yang
kemudian
tempatnya
lebih
dispesifikasikan sebagai berikut:
1) Kebon Sirih Di jalan tidak luput dari serangan yang dilakukan oleh serdadu NICA, penembakan yang dilakukan oleh serdadu itu menewaskan satu anak kecil yang sedang bermain layanglayang. “Kebon Sirih ketika orang mulai berteriak siap. Dengan tidak berpikir mereka melompat, hendak lari masuk ke pekarangan rumah di tepi jalan. Melihat mereka lari, serdaduserdadu di atas truk itu mulai menembak.”64 “Seorang mengangkat anak kecil yang kena tembak itu dan membaringkannya di atas pinggir jalan. Benang layanglayangnya masih tergenggam dalam tangannya yang kecil dan kotor itu. Dia tidak bergerak-gerak lagi.”65
62
Ibid, h.2 Ibid, h.6 64 Ibid, h.6 65 Ibid, h.7 63
62
2) Tanah Tinggi Menjadi salah satu tempat yang diserang oleh serdadu NICA. “Kemaren kampung Tanah Tinggi digeledah lagi sama si ubel-ubel,” cerita tukang loak, mulutnya penuuh pisang goreng.”66 “Aku tolong tiga orang pemuda kemaren di Tanah Tinggi,” kata tukang loakmeneruskan ceritanya.67 3) Gang Jaksa Tempat penyerangan yang dilakukan oleh NICA. “Ketika tembakan pertama di Gang Jaksa itu memecah kesunyian pagi Guru Isa sedang berjalan kaki menuju sekolahnya di Tanah Abang.”68 4) Kebon Sirih Wetan Gang I Tempat ini juga menjadi lokasi yang serbu oleh serdadu NICA,
seiap
serdadu
NICA
melintas
mereka
selalu
melepaskan tembakan. Tidak peduli sekalipun yang mereka tembak perempuan ataupun anak-anak. “Perempuan yang menggendong anak itu bergegas lari, masuk dan menghilang ke dalam Kebon Sirih Wetan Gang I.”69 5) Laan Holle dan Jalan Asam Lama Jalan ini juga tidak luput dari penyerangan yang dilakukan oleh serdadu-serdadu. “Teriak siap! Siaaap! Yang gemuruh itu disambut oleh kampung-kampung sekitar Laan Holle dan Jalan Asam Lama, hingga akhirnya kedua jalan besar itu sunyi pula.”70
66
Ibid, h.3 Ibid, h.4 68 Ibid, h.5 69 Ibid, h.7 70 Ibid, h.8 67
63
6) Tanah Abang Tempat Guru Isa menjual buku tulis yang ada di sekolah. Hal ini
dia
lakukan
karena
untuk
mendapatkan
uang,
memberikannya kepada Fatimah untuk biaya makan seharihari. “Setelah menjual buku tulis kepada warung Tionhoa di Pasar Tanah Abang, Guru Isa bergegas pulang.”71 7) Sekolah Selama penyerangan yang dilakukan oleh serdadu NICA, Guru Isa selalu mendapati sekolah tempat ia mengajar sepi, tidak ada murid yang datang, teman-teman sesama guru pun lekas pulang. “Guru Isa memejamkan telinganya. Sekolah itu sepi. Guruguru lain sudah pulang. Dia merasa kepalanya agak pening.”72 8) Di Kelas Saat Guru Isa masuk ke dalam kelas, ia mendapati kelas kosong tidak ada satu murid pun yang masuk, hal ini terjadi karena serdadu NICA sering kali melakukan penyerangan. “Langkahnya agak tegap, ketika dia masuk ke dalam kelas. Seakan-akan kelas itu tidak kosong, tetapi penuh dengan murid-murid yang menunggu kedatangannya. Perasaannya yang segar itu tidak berkurang melihat kelas yang kosong dan sepi.”73 9) Warung Pak Damrah Dalam tempat ini sering menjadi tempat yang ramai saat jamjam orang berangkat kerja, terdapat sebuah warung tempat orang-orang yang hendak kerja mampir sebentar untuk sarapan, mereka bercerita tentang serdadu NICA.
71
Ibid, h.99 Ibid, h.23 73 Ibid, h.25 72
64
“Di warung Pak Damrah enam orang sedang duduk minumminum.”74 “Empat orang opas kantor Kotapraja di Kebon Sirih. Mereka hendak masuk kerja, dan singgah setiap pagi di sana minum secangkir kopi dan makan sepotong dua potong pisang goreng.”75 10) Rumah Guru Isa Hazil selalu datang ke rumah Guru Isa, mereka berteman baik, bahkan di rumah Guru Isa mereka membicarakan tentang perjuangan, atau kadang hanya sekedar bermain musik bersama. “Sejak saat itu Hazil kerap datang ke rumahnya. Dan perlahan-lahan dalam dua bulan yang terakhir ini mulai tumbuh semacam persahabatan antara mereka.”76 11) Asam Reges Tempat Hazil dan Rakhmat menyembunyikan senjata untuk diseludupkan ke luar kota. “Barang-barang itu disimpan di Asam Reges, dan harus mereka bawa ke Manggarai. Di Manggarai akan di sembunyikan di ruamah seorang kawan, dan berangsurangsur akan diselundupkan ke Karawang di dalam lokomotif.”77 “Ke mana kita sekarang pak?” katanya. “Asam Reges, depan pabrik limun,” kata Hazil.78 12) Manggarai Setelah mengambil senjata di Asam Reges kemudian mereka menaruhnya kembali di rumah seorang kawan di Manggarai, dari situ akan dibawa dengan kereta menuju Karawang Bekasi. “Truk disuruh berhenti oleh Hazil di sebuah rumah di jalan samping di belakang tempat pemandian Manggarai.”79
74
Ibid, h.3 Ibid, h.3 76 Ibid, h.39 77 Ibid, h.72 78 Ibid, h.77 79 Ibid, h.86 75
65
13) Karet Tempat serdadu NICA melakukan penyerangan tidak hanya kepada rakyat biasa, namun juga kepada polisi. “Engkau ingat serbuan NICA ke dalam pos pilisi di Karet? Aku ada di sana. Semua polisi yang dalam pos itu habis ditembak dan dipancung.”80 14) Gang Sentiong Tempat serdadu NICA melakukan penggeledahan di rumahrumah, tidak hanya penggeledahan, tetapi serdadu NICA juga melakukan penyiksaan kepada orang tua. Penyiksaan itu dilakukan karena dia kenal dengan Rakhmat dan menceritakan pekerjaan Rakhmat kepada mereka. “Serdadu nica mengadakan penggeledahan di Gang Sentiong. Orang tua di rumah itu ikut terbawa dengan beberapa orang muda lain. Tetapi dia menceritakan semua pekerjaan Rakhmat kepada mereka. Cerita orang tua dari Gang Sentiong yang ditangkap dan disiksa Belanda itu, membuat Guru Isa berdebar-debar.”81 15) Restoran Tempat Hazil, Rakhmat, dan Guru Isa menunggu untuk melancarkan aksinya di bioskop Rex. “Guru Isa telah lama merasa perutnya dingin. Dia ingin dia seribu kilo meter jauhnya dari restoran itu, dan dari bioskop Rex.”82 16) Biosop Rex di Pasar Senen Hazil dan Rakhmat melancarkan rencananya untuk membalaskan dendam kepada serdadu NICA dengan melemparkan granat ke arah serdadu-serdadu yang keluar dari bioskop. “Malam di Pasar Senen. Malam minggu. Di Kramatplein amat ramainya. Bioskop yang hanya main satu kali pada sore 80
Ibid, h.92 Ibid, h.113 82 Ibid, 81
66
hari, karena jam malam yang diperlekas telah hampir keluar.”83 “Mereka akan melempar granat tangan itu bersama-sama, dan kemudian lari. Melempar granat ke tengah-tengah serdaduserdadu Belanda yang berdesak-desak keluar dari bioskop.”84 17) Laan Trivelli Setelah penyerangan yang dilakukan oleh Hazil, Rakhmat, dan juga Guru Isa di bioskop, walaupun Guru Isa tidak ikut ambil bagian dari pelemparan itu,namun Hazil berhasil ditangkap dan mengatakan siapa saja yang terlibat dalam organisasi perjuangan. Guru Isa ditangkap dan dibawa k markas. Di tempat itu Guru Isa di siksa karena tidak menjawab pertanyaan yang diberikan. “Dia dimasukkan di kamar kecil di tangsi polisi militer di Laan Trevelli. Kamar itu kosong. Hanya untuk dia sendiri. Tidak ada meja, tidak ada kursi, tidak ada bale-bale, tidak ada tikar. Jendelanya berjeriji besi.”85 Kapten muda itu sudah mengetahui segalanya dan ditempat ini Guru Isa dipriksa agar mengakui dan memberikan keterangan terkait dengan perjuangan yang dilakukannya bersama Hazil. Di tempat ini pula Guru Isa di siksa hingga hilang kesadarannya. “Kita sudah tahu semuanya,” katanya memberi ingat, suaranya menajam dan mengandung ancaman, “kamu lebih baik mengaku. Kawan yang sudah tertangkap telah mengakui semuanya.” “Dia memandang dengan kehilangan akal kepada kapten itu. Lidahnya menjadi kaku, dia tidak bisa berkata sesuatu apa. Di dadanya seakan sebuah gendang besar dipukul keras-keras, gedebuk-gedebuk, semakin lama semakin keras. Dan kemudian semuanya menjadi gelap baginya. Guru Isa jatuh pingsan.”86
83
Ibid, h.128 Ibid, h.129 85 Ibid, h.155 86 Ibid, h.157 84
67
Terkait latar tempat yang terdapat dalam novel JTAU adalah latar tempat yang bersifat latar tipikal. Latar tipikal memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu dan sosial-budaya.87 Tempat-tempat yang terdapat dalam novel JTAU adalah lokasi penyerangan serdadu Belanda. Sehingga kondisi yang tergambar dari latar tempat menunjukkan kondisi penuh ancaman dari NICA di wilayah Jakarta. Lokasi yang menjadi tempat serdadu Belanda melakukan penyerangan adalah lokasi yang pada tahun 1946-1947 telah berubah nama dari Batavia menjadi Jakarta. Pergantian nama tersebut dilakukan oleh pihak Jepang saat mengalahkan penjajahan Belanda pada tahun 1942. Jakarta dijadikan markas besar serdadu NICA. Karena sejak zaman Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC), dari kota inilah VOC mengendalikan perdagangan dan kekuasaan militer dan politiknya di Nusantara. Kembalinya Belanda ke Jakarta karena ingin menduduki kembali pemerintahan yang mereka bangun. Pasukan Belanda bersenjata tank, dibantu oleh pasukan udara yang kuat, langsung menyusup ke dalam wilayah Republik Indonesia. Dalam dua minggu, Belanda berhasil menguasai hampir semua kota besar dan kota-kota penting di Jawa Barat dan Jawa Timur.88 Belanda menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Agresi Belanda yang sering terjadi di wilayah Jakarta sebagai upaya Belanda untuk memperluasan wilayah kekuasaannya ke daerah Jawa Barat.
c. Latar Sosial Latar sosial pada novel ini adalah keadaan sosial yang menunjukkan kondisi pada waktu itu harga sembako yaitu beras 87 88
Nurgiyantoro, op. cit., h.308 George McTurnan Kahin. loc.cit.
68
yang makin mahal untuk dibeli oleh rakyat, bukan hanya itu beraspun susah untuk di dapat. Seperti pada kutipan berikut. “Kasih saya beras dua liter,” katanya pada anak Baba Tan yang menjaga warung. Anak itu membungkus beras dua liter dan diletakkannya di atas meja di depan perempuan itu. “Enam rupiah!” “Ah, naik lagi. Kemaren dulu juga seringgit,” bantah perempuan itu. “Beras susah masuk sekarang,” anak itu membela harganya.89 Kehidupan sosialnya pun rakyat yang selalu penuh ancaman atau takut serangan atau penggeledahan yang dilakukan oleh serdadu NICA. Parahnya lagi adalah orang dengan mudahnya mengecap siapa saja yang menolak untuk ikut dalam perjuangan akan dianggap sebagai mata-mata dan ada beberapa orang yang bukan merupakan seorang serdadu berlaku keji dengan berani membunuh seseorang lainnya lantaran hanya dituduh sebagai matamata tanpa bukti yang kuat. Seperti pada kutipan berikut. “Tidak perlu engkau takut, Is,” kata Fatimah membalas, “bukankah semua orang ikut? Kalau engkau tidak ikut, janganjangan nanti kita di cap mata-mata musuh lagi. Engkau tahu betapa mudahnya orang dipotong kerena soal yang bukan-bukan saja.”90 Latar sosial yang terjadi pada saat itu, memberikan pengaruh terhadap sikap Guru Isa. Membuat Guru Isa yang memiliki rasa takut yang amat besar, terpaksa menjadi anggota organisasi perjuangan. Dia pencinta damai selama hidupnya dia tidak pernah berkelahi, dia takut dengan hal-hal yang berbau kekerasan, di sisi lain Guru Isa takut dengan keadaan, berlatarkan cerita pada saat serdadu-serdadu
NICA
kerap
melakukan
penyerangan,
penembakan dan penggeledahan, membuat orang yang menolak berjuang dalam revolusi dianggap sebagai mata-mata lalu akan dibunuh. 89 90
Lubis, op.cit, h.5 Ibid, h.39
69
“Dua orang perempuan Tionghoa. Kita potong tiga hari yang lalu. Ketangkep lagi lewat di kampung. Diperiksa tidak mau mengaku, katanya mau menagih hutang. Hutang apa, hah, terus dibeginiin. “Dia menggerakkan tangannya seakan orang yang hendak mencabut golok, kemudian dengan jari telunjuknya digoresnya lehernya.”91 Kutipan di atas juga sebagai bukti betapa kejamnya seseorang yang belum terbukti sebagai mata-mata tetapi dengan mudahnya mereka mengambil tindakan keji seperti itu. Perlakuan yang tidak seharusnya dilakukan terhadap manusia.
5. Sudut Pandang Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.92 Sudut pandang novel ini adalah orang ketiga serba tahu. Mochtar Lubis sebagai pengarang berada di luar cerita tetapi mengetahui semua yang ada dalam novel ini, yang mengetahui segala hal tentang semua tokoh, peristiwa, dan tindakan. Seperti contoh berikut: “Sebenarnya dia tidak suka dan amat enggan hadir. Tidak ada dalam jiwanya kegembiraan membicarakan cara-cara mengawal kampung pada malam hari, mengatur siasat pembelaan, dan sebagainya. Melihat anak-anak muda itu membawa pistol timbul rasa kecut hatinya. Tetapi, bagaimana dia akan menolak? Jika ditolaknya, dia akan disyak dan dimusuhi orang sekampung. Lebih hebat dia mungkin dituduh mata-mata musuh.”93 Walaupun sudut pandang yang digunakan adalah orang yang berada di luar cerita, namun sudut pandang dalam novel JTAU mampu menceritakan serangkaian peristiwa yang terjadi dalam alur cerita dan mampu menggambarkan ketakutan yang dialami Guru Isa selama kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 1946-1947. 91
Ibid, h.82 Nurgiyantoro, op. cit., hlm 151 93 Lubis. op.cit. h.38 92
70
“Peluh dingin membasahi dada, perut dan sepanjang tulang punggung Guru Isa. Dia ingin menjerit, menangis, melolong, dan lari, lari dan lari. Tetapi dia tidak menjerit. Tidak menangis. Tidak melolong. Dan tidak habisnya dia bertanya dalam hatinya mengapa dia sampai di sini.”94 6. Gaya Bahasa Bahasa yang digunakan dalam novel JTAU karya Mochtar Lubis adalah bahasa keseharian. Tidak banyak kata atau kaliamat-kalimat yang menggunakan perumpamaan atau bahasa yang indah dalam setiap dialog atau saat mendeskripsikan keadaan. Penggunaan perumpamaan lebih tepatnya dalah penggunaan majas personifikasi terdapat di dalamnya saat menggambarkan kekhawatiran yang dirasakan Guru Isa. Seperti pada kutipan berikut: “Kemudian dia sadar, bahwa suara berisik-bisik yang didengarnya hanyalah desau angin dan nangka yang bergeser-geser dihembus angin”95 Personifikasi adalah majas yang yang mengkaitkan sifat-sifat manusiawi pada suatu benda mati sehingga seolah-olah memiliki sifat seperti benda hidup. Kata bergeser-geser pada kutipan tersebut dalam kenyataannya hanya dapat dilakukan oleh manusia. Kutipan tersebut dirasakan oleh Guru Isa saat dia mencemaskan suara malam yang dianggapnya merupakan serbuan yang akan dilakukan oleh serdadu Belanda. Saat menyampaikan ketakutannya, Guru Isa menggunakan bahasa yang membuat lawan bicaranya memahami betapa takutnya dia dengan situasi yang dia hadapi saat itu dengan bahasa keseharian yang mudah dipahami dan tegas saat diucapkan. Menunjukkan bahwa Guru Isa ikut dalam organisasi perjuangan hanya karena terpaksa, dia takut dengan keadaan pada masa revolusi ini. Karena ini adalah novel tentang
94 95
Ibid, h.129 Ibid, h.142
71
perjuangan, adapula penggunaan bahasa yang kasar seperti pada kutipan berikut: “Mampus lu, anjing Sukarno! Mau merdeka? Ini merdeka!” dan sten-gun dan senapan ditembakkan tidak tentu arah.96 “Persetan! Sumpahnya. “Kenapa mesti saban pagi mesti ada tembakan? Dunia ini sudah mau kiamat. Orang semua sudah gila.”97 Dapat
disimpulkan
bahwa
penggunaan
bahasa
untuk
mendeskripsikan segala tentang tokoh dan peristiwa yang terjadi dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis jauh dari penggunaan estetika bahasa atau kata-kata indah.
7. Amanat Amanat yang terkandung dalam novel ini adalah selama kita memiliki sebuah keinginan, cita-cita, ataupun sebuah pengharapan selama itu pula terdapat jalan yang harus dilalui walau tidak mudah, tetap harus yakin bahwa kita akan mendapatkan hasil dari apa yang kita perjuangkan. Jangan biarkan rasa takut menghentikan kita dalam sebuah perjuangan, karena rasa takut yang muncul bukan hanya faktor yang sedang terjadi tetapi juga rasa takut itu mucul dari dalam diri kita. Bahwa setiap orang memiliki rasa takutnya masing-masing, hanya bagaimana caranya kita dapat mengatasi ketakutan yang hadir dalam diri sendiri dan melawannya, mengatasi dengan melakukan yang terbaik sebisa yang dapat kita lakukan. Seperti pada kutipan berikut: “Manusia mesti belajar menguasai ketakutannya. Merasa takut adalah satu perasaan yang sehat, dan kerja kita adalah melawan rasa takut.”98
96
Ibid, h.6 Ibid, h.19 98 Ibid, h.120 97
72
C. Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal itu penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Latar juga mempunyai hubungan dengan unsur novel yang lain. 1. Hubungan dengan Tema Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakan.99 Kaitan tema dengan latar tempat yaitu Kota Jakarta yang diliputi ancaman penyerangan dan penyerbuan yang dilakukan oleh serdadu Belanda pada tahun 1946-1947. Rasa takut dialami oleh Guru Saleh dan juga Tuan Hamidi. “Saya maksud mau pindah saja ke Purwakarta. Sama orang tua. Tidak tahan terus-terus begini. Saban malam tidak bisa tidur. Sebentar-sebentar geledahan.”100 “Is, engkau tahu, Tuan Hamidi di sebelah telah pergi mengungsi ke Yogya. Hanya tinggal pamannya yang menjaga rumah.”101 Keadaan yang terjadi di Jakarta membuat orang-orang terdekat Guru Isa memilih pergi, pindah ke luar kota yang aman dibanding dengan Jakarta. Mereka meninggalkan kota karena takut menjadi korban kebrutalan serdadu Belanda. Tema berkaitan dengan unsur novel yang lain, salah satunya terkait dengan latar. Karena, tema yang dibangun pengarang dalam menciptakan karya sastra harus didukung oleh latar yang menguatkan tema. Tema yang terdapat dalam novel Jalan Tak Ada Ujung adalah rasa takut. Rasa takut yang tidak hanya dialami oleh tokoh utama yaitu Guru Isa dan Hazil, namun juga rasa takut yang dialami oleh banyak tokoh. 99
Siswanto, op.cit, h.161 Ibid, h.94 101 Ibid, h.108 100
73
2. Hubungan Penokohan Latar yang dimaksudkan adalah tempat dan suasana lingkungan yang mewarnai peristiwa. Ke dalamnya tercakup lokasi peristiwa, suasana lokasi, sosial budaya setempat, dan bahkan suasana hati tokoh. Yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara latar dengan peran yang dimainkan oleh tokoh.102 Karakter seseorang akan dibentuk oleh keadaan latarnya. Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung berlatarkan cerita pada saat awal revolusi yaitu tepatnya pada tahun 1946-1947, di mana serdadu Belanda atau lebih dikenal dengan NICA menjadi ancaman di Jakarta, novel ini yang lebih mendominasi adalah tokoh Guru Isa dan Hazil, mereka memiliki karakter yang berbeda. Guru Isa seorang yang menginginkan ketenangan. Hazil, pemuda yang pemberontak dan memiliki semangat untuk perjuangan yang dipilihnya. “Melihat anak-anak muda itu membawa pistol tumbuh rasa kecut hatinya. Tetapi bagaimana ia akan menolak? Jika ditolaknya, dia akan disyak dan dimusuhi orang sekampung. Lebih hebat dia mungkin dituduh mata-mata musuh.”103 Latar sosial yang terjadi pada saat itu, memberikan pengaruh terhadap sikap Guru Isa. Membuat Guru Isa yang memiliki rasa takut yang amat besar, terpaksa menjadi anggota organisasi perjuangan. Dia pencinta damai selama hidupnya dia tidak pernah berkelahi, dia takut dengan hal-hal yang berbau kekerasan, di sisi lain Guru Isa takut dengan keadaan, berlatarkan cerita pada saat serdadu-serdadu NICA kerap melakukan penyerangan, penembakan dan penggeledahan, membuat orang yang menolak berjuang dalam revolusi dianggap sebagai mata-mata lalu akan dibunuh. “Aku takut sebenarnya Fat, katanya. Tidak pernah aku berorganisasi seperti ini. Main senjata. Memakai pistol saja aku 102 103
Atmazaki. loc. cit, Lubis, op. cit, h.38
74
tidak tahu. Tetapi kalau tidak ikut, engkau tahu apa akan kata orang.” “Tidak perlu engkau takut, Is,” kata Fatimah membalas, “bukankah semua orang ikut? Kalau engkau tidak ikut, jangan-jangan nanti kita di cap mata-mata musuh lagi. Engkau tahu betapa mudahnya orang dipotong kerena soal yang bukan-bukan saja.”104 Karakter Guru Isa selain berkaitan dengan latar cerita yang terjadi pada novel JTAU, juga berkaitan dengan profesinya sebagai seorang Guru. Pendidikan dan tugas Guru menyebabkan ia mengutamakan sikap-sikap tertentu. Misalnya, Guru Isa mengutamakan pengajaran yang lemah lembut. Ia mesti mengutamakan pendidikan ke arah kebaikan, sehingga pembunuhan binatang pun akan dianggap kejam olehnya. “Engkau lihat, aku seorang Guru. Aku tidak suka pada kekerasan. Semenjak dahulu aku tidak pernah ikut berkelahi. Aku benci berkelahi. Aku anggap berkelahi pekerjaan kasar dan orang biadab. Tetapi mereka pilih aku menjadi salah seorang pemimpin.” 105 Dari kutipan berikut menunjukkan bahwa Guru Isa ikut dalam organisasi perjuangan hanya karena terpaksa, dia takut dengan keadaan pada masa revolusi ini. Rasa takut yang dialami oleh Guru Isa adalah rasa takut yang terdapat dalam kehidupan Guru Isa, seorang guru biasa yang sepanjang tahun 1946-1947 dengan tidak sepenuh hati, terpaksa turut serta dalam perjuangan menentang musuh-musuh asing. “Engkau tahu mengapa aku terima? Bukan karena semangat revolusiku berapi-api, semangat cinta tanah airku berapi-api, aku memang cinta tanah air, tetapi dalam darahku tidak ada atau belum ada itu tradisi yang mendorong aku berkorban darah dan jiwa untuk tanah air, untuk itu aku belum pernah hidup dalam tanah air yang mesti dibela dengan darah, jadi jika ada orang berkata mempunyai semangat seperti ini, maka itu semangat palsu dan dibikin-bikin.
104 105
Ibid, h.39 Ibid, h.73
75
Aku terima karena aku takut. Dan aku bertambah takut setelah menerimanya.”106 Di satu sisi yang lain profesi Guru Isa dapat menguntungkan bagi organisasi yang dipelopori oleh Hazil. Profesinya sebagai guru memungkinkan
gerak-gerik
yang dilakukan Guru
Isa dalam
perjuangan melawan Belanda tidaklah diketahui atau dicurigai. “Dia ikut jadi anggota jaga kampung. Malahan karena kedudukannya sebagai guru, maka dia menjadi wakil ketua panitia keamanan rakyat di kampungnya, dan menjadi penasehat Badan Keamanan Rakyat, lebih terkenal dengan nama BKR.”107 “Alangkah terkejutnya dia, ketika dia terpilih menjadi kurir, pengantar senjata dan surat-surat di dalam kota Jakarta. Alasanalasan pemuda-pemuda itu ialah, karena dia guru sekolah, maka orang tidak akan curiga padanya.”108 Karakter berbeda ditunjukkan oleh Hazil, seorang pemuda yang pemberani dan pemberontak. Pemberontakan yang dilakukan Hazil adalah saat ia tidak mendengarkan perkataan Ayahnya untuk tidak berjuang melawan Belanda. “Jangan Ayah! Kita perlu senjata ini untuk perjuangan kemerdekaan.” “Kemerdekaan? Nah!” Sumpah Mr. Kamaruddin. “Kamu anak-anak muda sudah gila. Apa engkau pikir kamu bisa menang berperang melawan Belanda? Berontak-berontak seperti orang gila!”109 Kedatangan Belanda pada saat itu membuat Hazil memilih jalan perjuangan, membela tahan air lantaran ia tidak ingin bangsanya dijajah kembali. Dengan gigih ia berjuang, melakukan perlawanan atau mengatur strategi dalam perjuangannya. “Ini jalan perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan.”110
106
Ibid, h.74 Ibid, h.27 108 Ibid, h.39 109 Ibid, h.20 110 Ibid, h.46 107
76
“Manusia Indonesia sebagai gerombolan dapat dijajah oleh Belanda lebih dari 350 tahun. Itu massa begitu saja tidak ada artinya. Gerombolan pun hanya dapat bergerak karena ada individu-individu yang dapat mengangkat diri mereka di atas gerombolan-gerombolan itu. Maka musikku bukan musik gerombolan, tetapi musik manusia seorang-seorang.”111 Apa dilakukan Hazil, ia tidak begitu memperdulikan berapa banyak orang yang mengikuti jejaknya, berjuang melawan serdadu Belanda pada saat itu, yang dia lakukan hanyalah menjalankan apa yang sudah menjadi pilihannya. “Ini bisa berbahaya,” kata Hazil, “Kita pergi mengambil senjata dan membawanya ke Manggarai. Di sana kita sembunyikan dan kemudian akan diselundupkan ke Karawang. Engkau Masih berani?”112 “Dan ketika Hazil kemudian berkata, bahwa yang akan melempar granat ialah Rakhmat dan dia, dan Guru Isa perlu ikut hanya untuk melihat apa mereka berhasil.”113 Hazil dapat dikatakan sebagai penggerak perjuangan melawan serdadu NICA, ia yang mengatur siasat dan rencana dalam melawan serdadu Belanda dengan mengatur untuk menyeludupkan senjata keluar kota dan melakukan penyerangan kepada serdadu Belanda dengan melemparkan granat ke arah mereka. Berdasarkan perbadaan antara Guru Isa dengan Hazil juga berdasarkan usia mereka yang berbeda. Guru Isa relatif tua sedangkan Hazil relatif muda dan juga seorang bujang. Maka, Guru Isa seorang yang menjadi dewasa pada masa ketenangan sebelum kedatangan Jepang, sehingga tak heran kalau ia menginginkan ketenangan. Hal yang berbeda dengan Hazil yang mengalami pendewasaan pada masa pendudukan Jepang dan revolusi, sehingga ia memang terbiasa pada kehidupan yang resah. Guru Isa terpaksa menjadi kaum revolusioner
111
Ibid, h.47 Ibid, h.78 113 Ibid, h.131 112
77
lantaran keadaan sosial yang menuntutnya, sedangkan Hazil memilih menjadi pejuang revolusi karena ingin terbebas dari ancaman NICA.
3. Hubungan Waktu Peristiwa Latar atau setting novel setelah kemerdekaan berbicara tentang masa ditulisnya yaitu tahun 50-an, meskipun setengah dari setting kekinian itu berupa pula setting masa yang belum lama berlaku, yakni kisah-kisah revolusi.114 Peristiwa-peristiwa sejarah tertentu yang diangkat ke dalam cerita fiksi memberikan landasan waktu secara konkret. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan waktu, langsung atau tidak langsung, harus berkesesuaian waktu sejarah yang menjadi acuannya. Hal ini terjadi pada novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis pertama kali terbit yaitu pada tahun 1952, namun cerita di dalamnya berlatarkan cerita pada tahun 1946-1947. Novel JTAU berlatarkan saat Belanda atau yang dikenal dengan NICA kembali ke Indonesia untuk melakukan penjajahan kembali. Namun, semangat revolusi pada cerita ini tergambarkan oleh peran Hazil, Guru Isa, dan Rakhmat yang berjuang melawan serdadu yang mengancam kota. Dalam novel JTAU secara jelas digambarkan penyerangan yang dilakukan oleh NICA, seperti pada kutipan berikut; “Tapi setelah Belanda menyerang tanggal dua puluh satu yang lalu, maka sekarang kita harus bergerak dalam kota.”115 Hal tersebut dalam sejarah Indonesia memang benar terjadi. Sekitar bulan Mei 1947 pihak Belanda sudah memutuskan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam pihak Belanda melancarkan ‘aksi polisional’. Pasukanpasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa
114
Jacob Sumardjo. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. (Bandung: Alumni, 1999)
h.41 115
Lubis. op.cit, h.122
78
Barat (tidak termasuk banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur.116 Latar dalam kaitannya dengan hubungan waktu, langsung tidak langsung, akan berpengaruh terhadap cerita dan pemlotan atau alur cerita, khususnya waktu yang dikaitkan dengan unsur kesejarahan.117 Terkait dengan latar waktu yang terdapat dalam novel JTAU karya Mochtar Lubis memberikan pengaruh terhadap alur yang terdapat dalam cerita. Alur yang terdapat dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis yaitu alur maju, dimana kisah yang diceritakan bersifat kronologis, yaitu peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa berikutnya. Hal tersebut diperkuat oleh latar waktu setelah terjadinya peristiwa perjanjian Linggarjati, Belanda justru menunjukkan agresinya dengan menyerang pada tanggal dua puluh satu, klimaksnya adalah Hazil, Rakhmat dan juga Guru Isa melaksanakan pembalasan dari yang sudah mereka rencanakan. Mereka akan melempar granat atau bom tangan ke bioskop Rex di Pasar Senen. Di tempat itu terdapat beberapa serdadu Belanda, Hazil dan Rakhmat pun melempar granat itu dan mengenai beberapa serdadu Belanda. Novel JTAU merupakan novel yang menceritakan peristiwaperistiwa yang berhubungan dengan peristiwa sejarah. Karena jika latar cerita dengan hubungan waktu tidaklah sesuai, maka novel tersebut merupakan novel anakronisme, yaitu ketidaksesuaian latar waktu dalam cerita yang menjadi acuannya yang berupa waktu dalam realitas sejarah.
4. Hubungan dengan Kondisi Sosial Ekonomi Datangnya kembali Belanda pascakemerdekaan mempengaruhi keadaan ekonomi di Indonesia, hal ini tergambar pula pada novel 116
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995) h.338 117 Nurgiyantoro, op. cit., h.313
79
Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Dalam novel ini keadaan ekonomi yang karut marut sesuai dengan keadaan kondisi ekonomi masyarakat pada saat itu, yang tejadi adalah kekurangan akan kebutuhan pokok mengakibatkan barang susah didapat seperti halnya beras dan mengalami lonjakan harga yang tinggi. Seperti pada kutipan berikut; “Kasih saya beras dua liter,” katanya pada anak Baba Tan yang menjaga warung. “Enam rupiah!” “Ah, naik lagi. Kemaren dulu juga seringgit.” Bantah perempuan itu. “Beras susah masuk sekarang.”118 Keadaan yang membuat harga beras melonjak juga dikuatkan oleh pernyataan Tuan Hamidi yang menjadi saudagar beras yang mengalami kesulitan dalam pemasokan beras. “Selamat pagi, Tuan Hamidy,” Katanya membalas senyum ramah, dan dia berhenti, “bagaimana beras dari Karawang?” tanyanya. “Minggu ini tidak sekarung yang bisa masuk. Semuanya ditahan di Cikarang.”119 Mahalnya harga beras dan sulitnya mendapatkan kebutuhan pokok mengakibatkan masyarakat kecil hanya bisa mengharapkan hutang beras untuk makan sehari-hari. “Saya ngutang saja,” sahut perempuan itu, dan tangannya menjangkau bungkusan beras. “Tidak boleh bon lagi sekarang,” kata Baba Tan dari pintu warung. “Tapi saya langganan lama.” “Ya, tapi sekarang semua susah, saya juga banyak yang susah. Tidak bisa kasih hutang. Tidak bisa!”120 Keadaan sulit seperti itu juga dirasakan oleh Guru Isa yang merupakan seorang guru namun gajinya tidak cukup untuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Belum lagi setiap hendak berangkat
118
Lubis. Op.Cit, h. 5 Ibid, h.66 120 Ibid, h.5 119
80
kerja, Fatimah selalu mengharapkan Guru Isa pulang dengan membawa uang untuk membeli kebutuhan makan esok. “Kalau hari ini engkau tidak dapat uang, aku tidak tahu lagi ke mana harus menghutang beras,” kata Fatimah padanya. “Gula pun telah habis. Kepada Bibi Tatang aku telah menghutang beras lima liter. Belum aku ganti sudah seminggu. Sedanga aku berjanji mengembalikannya dalam dua hari. Membon di warung susah benar sekarang. Hutang pada tukang sayur telah lama amat tidak dibayar.”121 Sehingga untuk memenuhi kebutuahn pokok kehidupannya Guru Isa melakukan tindakan di luar norma seperti mencuri. Kesulitan ekonomi membuat ia mencuri buku di sekolahnya. Padahal, Guru Isa dikenal sebagai seorang yang lembut, orang yang baik-baik dan tidak mengenal kekerasan. Guru Isa berdiri dan pergi ke lemari menyimpan buku-buku yang telah diperiksanya. Ketika dia hendak menutup lemari kembali, tiba-tiba pandangannya terpaut pada bungkusan buku-buku tulis yang baru….Sesuatu berkata, bahwa dengan mengambil dan menjual beberapa puluh buku itu dia akan dapat uang. Guru Isa tertegun. Perkelahian terjadi dalam hatinya. Tiba-tiba dia merasa malu pada dirinya, bahwa pikirannya sendiri menyuruh ia mencuri. Ia sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang guru, tapi apa daya untuk menghidupi dirinya dan keluarganya, tindakan ini ia lakukan walau terselip rasa malu. “Aku juga telah jatuh begitu rendah, mencuri dari sekolahku sendiri,” pikir Guru Isa amat pahit dan amat malu. “Ambillah barang sepuluh atau lima belas, tidak ada orang yang akan tahu.” pikirannya menyuruh mencuri. “Dijual sebentar laku di toko Tionghoa di Pasar Tanah Abang itu. Dapat terjuang tujuh rupiah setengah sebuah. Sepuluh dapat uang tujuh puluh lima rupiah. Lumayan.” “Mulutnya rasanya kering. Dan dengan tangan tangan yang gemetar Guru Isa membuku bungkusan buku-buku tulis baru itu, diambilnya sepuluh, dan kemudian lemari ditutup kembali. Buku 121
Ibid, h.65
81
tulis yang baru itu cepat-cepat dan tergesa-gesa dimasukkannya ke dalam tasnya. Baru setelah tas dikuncinya, dia merasa lega sedikit.”122 Guru Isa terpaksa mencuri buku di sekolahnya. Ia menjual buku tersebut, sedangkan uangnya untuk makan. Keadaan ekonomi pada pada saat itu membuat Guru Isa sampai tidak hanya sekali saja mencuri. Saat persediaan makan di rumahnya habis, Guru Isa mencuri lagi. Keadaan ekonomi pada saat itu mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, mereka harus hidup seadanya bahkan kesusahan, terlebih lagi dalam keadaan ekonomi sulit pada tahun 1946-1947 masyarakat dihadapkan oleh serangan atau perang yang dilakukan oleh NICA.
5. Hubungan Sosial Politik Pada tahun 1946-1947 latar waktu yang terdapat dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, Indonesia sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan yang sudah didapat, hal tersebut terjadi
karena
kembalinya
Belanda
untuk
merebut
kembali
kemerdekaan yang sudah didapat. Pada novel Jalan Tak Ada Ujung diceritakan perjuangan politik generasi muda mempertahankan kemerdekaan yang telah berhasil diraihnya. Tokoh Guru Isa ikut andil dalam perjuangan tersebut. Ia bergabung dalam organisasi perjuangan laskar rakyat. Guru Isa mengikuti revolusi dan menjadi bagian dari BKR (Badan Keamanan Rakyat). Pada masa itu BKR adalah badan resmi yang di bentuk oleh pemerintah untuk menjaga keamanan rakyat. “Sebagai kebanyakan orang dihari-hari pertama revolusi itu, Guru Isa belum menganalisa benar-benar kedudukannya, kewajibannya dan pekerjaannya dalam revolusi. Selama ini ia membiarkan dirinya dibawa arus. Arus semangat rakyat banyak. Arus pikiranpikiran dan kata-kata yang deras keluar dari macam-macam orang. Dia ikut jadi anggota jaga kampung. Malahan karena kedudukannya sebagai guru, maka ia menjadi wakil ketua panitia 122
Ibid, h.68-69
82
keamanan rakyat di kampungnya, dan menjadi penasihat Badan Keamanan Rakyat, lebih terkenal dengan nama BKR.”123 Tidak hanya membentuk organisasi, Hazil bersama Guru Isa dan Rakhmat membuat rencara lain yaitu menyeludupkan senjata ke luar kota, hal tersebut mereka lakukan untuk persediaan di luar kota, karena kaum revolusioner seperti Hazil, Guru Isa, dan Rakhmat mengambil langkah politik menyerang di luar kota yang tidak terlalu kuat pertahanan dari tentara Belanda. “Ini bisa berbahaya,” kata Hazil, “kita pergi mengambil senjata dan membawanya ke Manggarai. Di sana kita sembunyikan dan kemudian akan diselundupkan ke Karawang.” “Kalau mau perang juga bukan di Jakarta lagi,” kata Hazil. “Di sini kita tidak bisa perang. Musuh terlalu kuat. Karena itu sekarang kita bikin persediaan di luar kota. Sebab itu senjata-senjata mesti dikirim ke luar kota.”124 Langkah politik tidak hanya dilakukan oleh Hazil dan Guru Isa, Belanda pun memiliki strategi politik dengan membuat perjanjian linggarjati. Perjanjian ini digunakan untuk memecah halangan yang muncul dari rakyat. Mereka menipu rakyat dengan iming-iming perdamaian. Rakyat merasa damai setelah penandatanganan perjanjian Linggarjati. Rakyat berharap dengan adanya perjanjian tersebut kondisi Indonesia tidak kacau lagi dan dapat hidup damai. “Bukankah persetujuan Linggarjati sudah ditandatangani. Masa kita msih terus berperang? Bukankah kita disuruh berdamai?” …. Ketika perjanjian Linggarjati ditandatangani dengan upacara yang hebat tanggal 25 Maret yang lalu, maka sebentar Guru Isa mengecap sejuk udara kebebasan.”125 Padahal perjanjian Linggarjati sebenarnya digunakan oleh Belanda untuk menipu dunia Internasional. “Linggarjati dipakai Belanda hanya untuk menipu dunia internasional saja. Kita mesti lekas bersiap-siap.” Hazil memukulmukul meja dengan tangannya.”126 123
Ibid, h.27 Ibid, h.78 125 Ibid, h.106 126 Ibid, h.107 124
83
Perjanjian Linggarjati menghendaki pembentukan sistem federasi, ditetapkan secara jelas bahwa sistem itu merupakan hasil kerja sama antara Belanda dan Republik. Van Mook secara sepihak menciptakan suatu sistem federasi yang sesuai ketetapan-ketetapan yang ia rasa cocok. Kaum Republiken melihat sistem yang mulai ia bangun tak ubahnya kebijakan memcahbelah dan menguasai yang terselubung rapi dan yang pada akhirnya direncanakan sebagai upaya hegemoni Belanda atas seluruh Indonesia.127 Meskipun Perjanjian Linggarjati telah disepakati, namun hal itu tidak meruntuhkan niat Hazil untuk membebaskan Indonesia dari Belanda. Hazil tetap menjalankan rencananya untuk menyerang serdadu Belanda, bersama dengan Rakhmat dan Guru Isa mereka menyerang serdadu Belanda dengan melemparkan granat di Bioskop Rex yang saat itu banyak terdapat serdadu Belanda.
D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dapat dimanfaatkan menjadi bahan pembelajaran apresiasi sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu disesuaikan dengan fungsi, unsur-unsur dan ketepatan pemilihan bahan ajar sehingga dapat diterapkan dalam silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Hal itu dilakukan agar bahan ajar yang disampaikan kepada peserta didik dapat tersampaikan dengan baik sesuai dengan tujuan pembelajaran. Tujuan pengajaran apresiasi sastra sebenarnya dapat dikembalikan kepada pemahaman hakikat cipta sastra itu sendiri. Dalam hal ini sastra dipandang
sebagai
rekaman
usaha
manusia
(sastrawan)
untuk
mengekspresikan dan mengkomunikasikan gagasannya dengan harapan manusia,
impian,
cita-cita,
perasaan,
pikiran,
pengalaman
dan
hubungannya dengan masyarakat. Tujuan umum tersebut harus dapat 127
Kahin, Op.Cit., h.278-279
84
dijabarkan oleh guru menjadi tujuan-tujuan yang lebih khusus yang hasil pencapaiannya akan menghasilkan berbagai aspek unit pengajaran yang menyarankan aktivitas siswa.128 Mengekspresikan karya sastra dengan demikian berarti menanggapi sastra dengan kemampuan afektif yang di satu pihak peka terhadap nilainilai yang dikandung karya yang bersangkutan, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Di lain pihak, kepekaan tanggapan tersebut berupaya memahami
nilai
yang
diperoleh
dari
bacaan
dengan
konteks
persoalannya.129 Pembelajaran apresiasi karya sastra, khususnya pada novel berfungsi sebagai cara memotivasi siswa agar dapat belajar secara optimal. Penggunaan novel JTAU sebagai bahan pembelajaran menarik siswa untuk mengetahui keadaan sejarah pada masa setelah kemerdekaan. Siswa diharapkan agar dapat lebih tertarik untuk mengembangkan daya imajinasinya dengan bahan pembelajaran karya sastra bernuansa sejarah yang belum diketahui sebelumnya, terlebih lagi siswa dapat mengkaitkan latar pada novel JTAU dengan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa itu. Dari segi latar waktu, tempat dan juga latar sosial pada novel JTAU menceritakan tentang keadaan masyarakat pada tahun 19461947, tidak hanya itu dalam kurun waktu yang terdapat dalam novel JTAU mereka juga mendapatkan semangat dalam mempertahankan kemerdekaan yang sudah didapat Indonesia namun Belanda atau NICA datang kembali dan melakukan penyerangan terhadap rakyat sipil. Dalam proses mengapresiasi sastra siswa akan mengetahui bahwa karya sastra bukan hanya karya rekaan atau fiksi yang dibuat, tetapi juga dapat berisikan informasi sejarah atau merefleksikan berdasarkan zaman sastra itu dibuat. Hakikat pengajaran ialah memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang dikandung karya sastra dan mengajak siswa ikut menghayati 128
Mukhsin Ahmadi. Strategi Belajar-Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. (Malang: Yayasan Asah Asuh Asih, 1990) h.87-88 129 Bambang Kaswanti Purwo. Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa. (Yogyakarta: Kanisius, 1991) h. 58
85
pengalaman-pengalaman yang disajikan itu. Secara khusus, pengajaran sastra bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial.130 Dalam bentuknya yang paling sederhana, pembinaan apresiasi sastra membekali siswa dengan keterampilan mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara. Nilai-nilai yang dapat diambil dari novel JTAU adalah nilai keberanian dalam berjuang mempertahankan tanah air yang dilakukan Hazil untuk melawan musuh asing, terdapat pula kerja sama yang baik untuk saling tolong-menolong dan yang terpenting adalah dalam novel JTAU keberanian melawan rasa takut, karena semua orang memiliki ketakutannya masing-masing. Nilai-nilai tersebut diharapkan dapat diapliksikan oleh siswa, untuk saling bekerja sama dan tolong-menolong sesama teman maupun orang disekitarnya. Berbagai metode dicetuskan untuk melaksanakan tugas pengajaran seefektif mungkin, baik metode dasar yang bersifat umum maupun metode yang khusus untuk kondisi siswa dan juga kondisi kelas tertentu dan juga mata pelajaran tertentu. Namun, pada kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa kunci keefektifan pengajaran terletak pada cara komunikasi yang terjalin antara guru dan siswa. Agar bahan pembelajaran tersebut dapat dipelajari oleh siswa dengan baik maka diperlukan metode pengajaran yang sesuai. Beberapa metode pembelajaran, yaitu metode ceramah, tanya jawab, diskusi dan penugasan. Kombinasi keempat metode tersebut secara bergantian dengan tujuan agar siswa tidak mudah jenuh dan dari metode tersebut diharapakan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan efektif dan mencapai tujuan dari pembelajaran. Metode ceramah dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atau informasi mengenai bahan pembelajaran yang akan dibahas dalam diskusi, sehingga diskusi dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Dalam kegiatan diskusi ini terdapat 130
Ibid, h.61
86
proses mempresentasikan hasil kerja kelompok, tidak hanya itu perwakilan anggota harus berdialog terkait kutipan yang digunakan. Dilanjutkan proses tanya jawab dari siswa satu ke siswa yang lain atau dapat juga tanya jawab antara guru dengan siswa. Pada akhir kegiatan diskusi, siswa diberikan beberapa tugas yang harus dikerjakan baik saat itu juga ataupun dikerjakan di rumah. Maksudnya untuk mengetahui hasil yang dicapai siswa melalui diskusi tersebut. Dengan demikian, tugas ini sekaligus merupakan umpan balik bagi guru terhadap hasil diskusi dan proses tanya jawab yang dilakukan siswa. Bahan pembelajaran ini diterapkan pada pembahasan materi yang sesuai dengan panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam KTSP terdapat Kompetensi Dasar yang mengamati siswa untuk terampil dalam memahami novel. Di kelas XI (sebelas) semester ganjil pada Standar Kompetensi 6 (keenam) (memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan) kompetensi dasar 6.2 (menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan).
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Dari sejumlah uraian yang dilakukan oleh penulis, mengenai latar atau setting dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan pemanfaatannya sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA), maka dapat disimpulkan: 1. Novel Jalan Tak Ada Ujung (JTAU) karya Mochtar Lubis berhasil merefleksikan zaman revolusi melalui latar atau setting pada tahun 1946-1947, pada saat itu adalah masa kembalinya Belanda atau NICA yang ingin kembali menguasai Indonesia setelah Indonesia merdeka. Novel JTAU dapat dikatakan sebagai dokumen sejarah bangsa Indonesia berupa karya sastra, pada saat itu latar atau setting yang terdapat dalam novel memaparkan banyak tentang peristiwa yang terjadi di berbagai tempat dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun saat keberadaan NICA di Indonesia, tidak hanya itu dalam novel JTAU juga menjelaskan latar sosial berupa keadaan ekonomi dan politik pada saat kembalinya Belanda ke Indonesia. Pada saat itu pergerakan nasional dilakukan oleh kaum muda untuk memberontak dan melawan serdadu NICA, para kaum revolusioner pada saat itu membentuk kelompok perlawanan dengan mendirikan sebuah organisasi. Bentuk perlawanan lainnya adalah dengan berjuang melawan serdadu NICA dengan aksi penyerangan yang dilakukan kaum revolusioner pada masa itu. 2. Karya sastra sebagai salah satu bahan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki peran yang cukup besar dalam menyampaikan pesan atau amanat yang ingin disampaikan penulisnya kepada pembaca. Amanat itu antara lain, semangat perjuangan nasional terhadap bangsa dan Negara kepada peserta didik. Salah satu
87
88
kompetensi yang harus dicapai peserta didik dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah memahami karya sastra. Pemahaman tentang latar atau setting dalam novel JTAU menjadi penting dalam pembelajaran apresiasi sastra. Tujuan dari pengajaran novel JTAU agar siswa dapat mengetahui latar waktu, tempat, sosial yang mencakup keadaan ekonomi dan politik pada saat itu dengan mengkaitkan dengan peristiwa yang benar terjadi pada saat itu. Selain itu, lewat karya sastra dapat meelatih peserta didik untuk berpikir logis dan memperoleh pengetahuan baru yaitu mendapatkan informasi tentang sejarah bangsa Indonesia. Berdasarkan hal itu, novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis sebagai karya sastra yang menjadi dokumen sejarah perjuangan revolusioner saat melawan serdadu NICA dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah.
B. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka ada beberapa saran yang penulis ajukan: 1. Penelitian yang membahas tentang latar atau setting yang terdapat dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penelitian-penelitian yang mengangkat masalah serupa masih perlu dilakukan. Pernyataan tersebut berkaitkan dengan esensi penelitian yang pada hakekatnya adalah suatu penyempurnaan yang bersifat melengkapi penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. 2. Guru diharapkan tuntas dalam menyampaikan teori mengenai analisis unsur intrinsik karya sastra, karena pembahasan mengenai karya sastra tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur pembentuknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Mukhsin. Strategi Belajar-Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang: Yayasan Asah Asuh Asih. 1990. Atmazaki. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya. 1990. Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010. Butar-butar, Charles. Analisis Struktur pada Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Indonesia Scientific Journal Database. Vol.6, 2008. Depdiknas, Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2013. Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra, terj. Ida Sundari Husen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005. Hardjana, Andre. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. 1983. Harian Sinar Harapan. “Idealisme Bersastra dan Melawan Takut: Pelajaran dari Mochtar Lubis”. Edisi Sabtu, 14 Agustus 2004. Harian Tempo. “Mochtar Lubis Dianugerahi Bintang Mahaputera”. Edisi Minggu, 15 Agustus 2004. Kahin, George McTurnan. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Terj. Tim Komunitas Bambu. Depok: Komunitas Baru. 2013. Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012. Kompas. “Hadiah Sastra Chairil Anwar untuk Sastrawan Mochtar Lubis”. Edisi Sabtu, 15 Agustus 1992. Lubis, Mochtar. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.2003. Luxemburg, Jan Van dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia. 1996. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2009.
89
90
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2013. Oesman, Boen S. “Pembinaan Apresiasi Sastra Dalam Proses Belajar Mengajar” dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed). Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa. Yogyakarta: Kanisius. 1991. Pedoman Rakyat. “ Pembicaraan Singkat Beberapa Karya Fiksi Mochtar Lubis”. Edisi 02 Februari 1984. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. 2008. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988. Ratna, Nyoman Khuta. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. _____. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1995. Santosa, Wijaya Heru dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma Pustaka. 2010. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo, 2008. Stanton, Robert. Teori Fiksi. Terj. Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Sugihastuti. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Sumardjo, Jacob. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Alumni. 1999. Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 2011. Teeuw, A. Sastra Baru Indonesia. Cet. 1. Flores: Indonesia Nusa Indah. 1980.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Sekolah
: SMA Budi Mulia Ciledug
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas/Semester
: XI/1 (satu)
Alokasi Waktu
: 4 x 45 menit (2 x pertemuan)
A. Standar kompetensi 6. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan.
B. Kompetensi dasar 6.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik novel Indonesia/novel terjemahan.
C. Indikator KD 1. Siswa mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, latar, dan amanat) novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis 2. Siswa mampu memahami latar yang terjadi dalam cerita pada novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan mengkaitkan peristiwa yang terjadi pada tahun 1946-1947. 3. Siswa mampu mengkaitkan latar yang terdapat dalam novel dengan peristiwa yang benar terjadi dalam sejarah Indonesia.
D. Tujuan Pembelajaran Siswa mampu menganalisis unsur-unsur intrinsic dan mampu memahami latar yang terjadi pada cerita dalam novel JTAU dan mengetahui apa saja peristiwa yang terjadi pada latar waktu novel tersebut.
E. Target Penanaman Karakter Dapat dipercaya (Trustworthines) Rasa hormat dan perhatian (Respect) Tekun (Diligence) Tanggung jawab (Responsibility) Berani (Courage) Percaya diri (Self-Confident) Santun (Polite)
E. Materi Pembelajaran Memahami novel dan unsur-unsur yang terdapat dalam novel.
F. Metode Pembelajaran 1. Metode
: Ceramah, diskusi, tanya jawab dan penugasan.
2. Strategi
: observasi, eksplorasi, dan implementasi.
G. Langkah-langkah Pembelajaran Pertemuan 1 Tahap
Kegiatan
Waktu (menit)
Kegiatan Awal
Guru memberi salam dan memeriksa kesiapan kelas. Guru menjelaskan materi yang akan dibahas dan 10’
tujuannya. Guru memberikan apersepsi. Guru
membagi
kelompok.
siswa
ke
dalam
beberapa
Kegiatan
Guru menjelaskan tentang novel Indonesia
Inti
Guru menjelaskan tentang unsur intrinsik novel
55’
dan mengklasifikasikan latar yang terdapat dalam novel. Guru dan siswa bertanya jawab mengenai unsur intrinsik novel dan klasifikasikan latar yang terdapat dalam novel Guru memberikan contoh penggalan novel untuk dianalisis unsur-unsur intrinsiknya Guru menjelaskan cara mengklasifikasikan latar yang terdapat dalam novel. Siswa
secara
berkelompok
membaca
novel
kemudian menentukan unsur intrinsik dan latar yang terdapat dalam novel. Guru
menugaskan
kepada
siswa
secara
berkelompok untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik dan latar yang terdapat dalam novel Jalan Tak Ada Ujung. Guru memberikan novel Jalan Tak Ada Ujung untuk tugas kelompok. Perwakilan kelompok menyampaikan hasil kerja kelompoknya. Guru memberi penguatan terhadap hasil kerja yang disampaikan siswa. Kegiatan Akhir
Siswa dan guru membuat kesimpulan akhir materi hari ini Guru menindaklanjuti pelajaran pada pertemuan berikutnya.
10’
Guru menyampaikan salam penutup Guru dan siswa merancang pembelajaran yang akan datang.
Pertemuan 2
Kegiatan Awal
Kegiatan
Waktu
Guru memberi salam dan memeriksa kesiapan
10’
kelas Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai Guru dan siswa bertanya jawab tentang tugas kelompok
yang
diberikan
pada
pertemuan
sebelumnya Kegiatan Inti
Siswa
berkelompok
mendiskusikan
tugas
55’
rumahnya dengan bimbingan guru Guru mengarahkan proses diskusi Masing-masing
kelompok
mempresentasikan
hasil tugas rumahnya secara bergantian Kelompok lain memberikan tanggapan tentang hasil analisis dari kelompok lain Seluruh siswa bertanya jawab mengenai hasil analisis Kegiatan
Guru memberikan penilaian
Penutup
Siswa dan guru membuat kesimpulan akhir materi hari ini Guru menyampaikan salam penutup
15’
H. Sumber Belajar/ Alat/ Bahan 1. Buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kelas XI 2. Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis 3. Sumber lain yang mendukung, seperti buku, majalah, artikel dll. I.
Penilaian Hasil Belajar Penilaian Indikator
Teknik
Bentuk
Instrumen
Instrumen 1. Siswa menganalisis unsurunsur intrinsik novel
1. Bacalah novel Tes
2. Siswa dapat
Penugasan
Tertulis
Jalan Tak Ada Ujung, kemudian
mengidentifikasi latar atau
menganalisis
setting yang terdapat dalam
unsur intrinsik
novel
2. Kemukakan latar
3. Mampu mengkaitkan
yang terdapat
peristiwa yang benar-benar terjadi berdasarkan latar
dalam novel 3. Mengkaitkan
waktu pada novel
latar dengan peristiwa sejarah yang benar terjadi
J. Rubrik Penilaian dan Pedoman Penskroran 1. Jelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel! No.
Aspek
Skor
1.
Tepat dan disertai kutipan
5
2.
Tepat dan tidak disertai kutipan
4
3.
Kurang tepat dan disertai kutipan
3
4.
Kurang tepat dan tidak disertai kutipan
2
2. Jelaskan Macam-macam latar yang digunakan dalam novel tersebut! No.
Aspek
Skor
1.
Tepat dan disertai kutipan
5
2.
Tepat dan tidak disertai kutipan
4
3.
Kurang tepat dan disertai kutipan
3
4.
Kurang tepat dan tidak disertai kutipan
2
3. Peristiwa apa saja yang terdapat dalam novel yang sesuai dengan peristiwa sejarah! No.
Aspek
Skor
1.
Tepat dan disertai kutipan
5
2.
Tepat dan tidak disertai kutipan
4
3.
Kurang tepat dan disertai kutipan
3
4.
Kurang tepat dan tidak disertai kutipan
2
Perhitungan Nilai Akhir Skor yang diperoleh Nilai =
x 100= Skor Maksimum Jakarta, Agustus 2015
Mengetahui, Kepala Sekolah SMA Budi Mulia
Guru Bidang Studi
Dr. H. Moh. Suryadi Syarif, S.E.,M.M.
Hardiyani Windari
1r
KEMENTERIAN AGAMA UIN JAKARTA FITK
No.
Tgl.
FORM (FR)
: Terbit :
Dokumen
FITK-FR-AKD-08i
1 Maret 2010
Jl. b. H. JuaNa No 95 Ciputat 15412 lndonesia
SURAT BIMBINGAN SKRIPSI Nomor
La.p.
Hal
: Un.O :-
lff. l/KM .01.3t..1!.?.l.DOt4
: Bimbingan
Jakarta, 3 Desember 2014
Skripsi
Kepada Yth.
Ahmad Bahtiar, M. Hum Pembimbing Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. As s alamu' al aikum wr.w b
Dengan
ini
diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing I/II
(materi/teknis) penulisan Skripsi mahasiswa: Nama
Hardiyani Windari
NIM
I I I 1013000084
Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Semester
VII (Tujuh)
Judul Skripsi
: Nasionalisme Dalam Novel Jalan
Tak Ada ujung karya Mochtar Lubis dan rmplementasinya Terhadap pemberajaran Bahasa dan Sastra fndonesia di SMA.
Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal I Desember abstraksi/outline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional pada judul , tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon pembimbing menghubungi Jurusan terlebih dahulu. 2014
Bimbingan skripsi ini diharapkan setesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat.perpanjangan.
Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih. Was
s
al amu' alailatm wr -wb.
Ketua Jurusan . Buhuru dan Sastraj
\
Tembusan: Dekan FITK Mahasiswa ybs
1. 2.
nesla
l
lr
f;.'r
6.
In'
LEMBAR UJI RDFERENSI
V
i:
it ls
Seluruh referensi yang digsnakan dalam penelitian slaipsi berjudul "Analisis Latar
dalm Novel Jalan
Tak Ada (IjungKarya Mochar Lubis serta lmplikasinya
terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra
di Sekolatr Menengah Atas (SMA)" yang
disusun oleh HARDIYANI WINDARI,
NIM
11il013000084,
Jurusan
Perdidikan Bahasa dan Sastra Indonesiq Fakultas Ihnu Tarbiyah dan Kegrruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, telah disetujui kebenarannya oleh dosen pembimbing skrip'si pada selasa, 15 September 2015.
Jakarta, 15 September 201 5
DosenPembimbing I
!::.
/
.: t.
ii,
"i t
/(L^ / t(, 'l
Ahmad Bahtiar. M.Hum.
NIP. 19760118 200912 I 002
I !
:"
'
$'
Daftar Referensi
No 1.
Referensi
Robert Escarpit. Sosiologi
HalamanBuku Sa.stra,
I
ted. Ida Sundari Husen,
Jakarta: Yayasan Obor lndonesi4 2005.
2.
3.
Paraf Pembimbing
,\
Burhan Nurgiantoro.
Teori Pengkajian Filcsi, Yogyakarta: 1:^i^L f,r.^l^ nn ra \JA.J.III MA.rr4 rT-.:-,^-^:+-, r,JtlrVvrtraJ/ rT)-^^^ rv!D, /-WLJ.
Marwati Djoened
23,151,302-304 & ano 11r JVA.J IJ
1
Poesponegoro
dan Nugroho Notosusanto. Sejamh Nasionai lncionesia t/l. (Jakarta:
96
Balai Pustaka, 2008) 4.
t 6.
George McTurnan
Kahin. Nasionalisme Revolusi Indonesia, terj. Tim Komunitas Bambu. Depok: Komunitas Baru, 2013.
dan
305
& 278-279
,\
B. Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1 988.
15
Depdiknas, Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasor dan
107
Menengah, Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan, 20A6. 7.
8.
a
A
Sugihastuti. Teari Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Fustaka Pelaia,r, 2W7.
l6R
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
4& II
,)nn0 D.a*oi. D^.,1-1-^-,^ rwrrr4J(a r\vrsanJ 4. -vw ).
A A
,1
qt I
i.
,+ 9.
Henry Guntur Tarigan. PrinsipPrinsip Dasar Sastra, Bandung:
12s
&,164-t69
Angkasa,2011. 10,
/-,
Wahyudi Siswanto. Pengantar 92, 142,151, Teori Sastra. Jakarta: PT. & t6t
159-159
Grasindo,2008. 11.
12.
Jan Yan
Luxqmburg, dkk. Pengantar llmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia" 1996.
8
Wrjaya Heru Santosa dan
Sri Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma Pustaka.2010.
Wahyuningtyas.
I?
A
47
4
R.obert Stanton, Tccri Fihc;, teq.
Sugihastuti
dan Rossi Abi Al
Irsyad. Yogyakarta:
33 & 53-54
Pustaka
Pelajar,20A7.
fr
t4. Atmazaki. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya,
62
E
1990. 15.
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim,
Mengonalisis
Fiksi:
Pengantar. Bogor:
Sebuah
74
E
Ghalia
Indonesia,20i0. 16.
Heru Kurniawan, Tenri, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra.
3&
Yogyakarta: Graha llmu, 20 I 2. 17.
Andre Hardjana. Kritik Sastra. Sebuah Pengantar. Jakarta
78
Gramedia, 1983. 18.
Nyoman Khuta Ratna, Paradigma Sos i ol ogi Sastr a, Yogyakarta: Pustaka Pelaiar. 20A9. cet.Il.
I
t1
E A
:F
ii
i
s f.
t
rD i
19.
Suwardi Endraswara, Metadologi
Penelrtian Sastra.
ti
Yogyakarta:
77-79
A
CAPS.2OI3, 20.
Nyoman Khuta Ratna, Teori, Metode, dan Telmik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka
339-340
Pelajar,2009.
A
Jhlan Tak Ada 1-8, 11, lg-20,23,25, Jakarta:Yayasan Obor 27-28,30,37-39,46Wmg lndonesia.2003. 47,59,61,65-66,69-
21. Mochtar Lubis.
69,73-74,7',1,79,79, 80 82 86 e? 94 e7 99, 100, 102, 106,
,4
107, 109, 113, 119,
l22,l2g-129, '14? 14R
131,
1{r 1{{
157, 164-165, 166167
t
22.
A. Teeuw Sastra Baru Indonesia. (aat \-/vL.
1 r,
Itrl^-^^. lvrvD,
f-,{^-^^:^ itriJiJiiusiai
IrL,^^ i.tUsA
141I /,w
Indah, 1980.
./.).
l-{tgiau ,rq, turt
tT^*^^ etttpu.
"\l[^^L+^o rVlvvttai'a
T.rLiiJijuis
I
t
4
I
Dianugerahi Bintang Mahaputera", edisi Minggu, 15 Agustus 2004. L+.
Konrpus. "Hacliah Sasfu'a Ciiairii Anwar unfuk Sastrawan Mochtar Lubis", edisi Sabtu, 15 Agustus 1992.
I
h
25. Harian Sinar Harapan. "Idealisme Bersastra dan Melawan Takut: Peiajaran dari iviochtnr Lubis", edisi Sabtu, 14 Agustus 2004.
\
I r*" t;
[* ff'n fi
E
Ic t,r g5
26. Pedoman Rakyat.
I
t
"
Pembicaraan
Singkat Beberapa Karya Fiksi Mochtar Lubis". Edisi 02 Februari
laL h i
I
A
1984.
::
I
27.
Jacob Sumardio. Konteks Sosial
Novel Indonesia
1920-1977.
4t
Bandung: Alumni, 1999. 28
M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, I 995.
29. M,:khsin Alumadi. St"at egi Be I aj arMe ngaj ar K e t eramp i I an B erb ahas a dan Apresiasi Sastra. Malang: Yayasan Asah Asuh Asih, 1990. I
l-
30.
S. Oesman '?embinaan Apresiasi Sastra Dalam Proses
338
A
57-58
h
Boen
Belaj ar Mengajat'' dalam Bambang
Kas'wanti Pui**o (ed). Bulir-Bulir
Sastra dan Bahasa. Yogyakartra: Kanisius, 1991.
\
A
58
1
PROFIL PENULIS Hardiyani Windari lahir di Tangerang pada
04
September
pendidikannya
dimulai
1993. dari
Riwayat SDN
Paninggilan 04 Ciledug, SMP Negeri 219 Jakarta Barat, dan SMA Budi Mulia Ciledug.
Kemudian
melanjutkan
pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tujuan utamanya menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah untuk ikut perperan terhadap kemajuan bangsa melalui pendidikan. Putri dari Bapak Harno dan Ibu Sri Winda mempunyai impian untuk menjadi seorang guru dan anak yang bermanfaat bagi kedua orang tua dan keluarga yang dicintainya. Semoga karya pertamanya ini skripsi dengan judul “Analisis Latar dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung Karya Mochtar Lubis serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA)” menjadi awal dari kesuksesan yang akan mendatang.