PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN, KOMITE MANAJEMEN RISIKO, REPUTASI AUDITOR DAN KONSENTRASI KEPEMILIKAN TERHADAP PENGUNGKAPAN ENTERPRISE RISK MANAGEMENT (DIMENSI COSO ERM FRAMEWORK) ( Studi Empiris pada Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2009-2011 )
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh : Enesti Eka Putri NIM : 109082000200
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 M / 1434 H
ii
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI 1. Nama
: Enesti Eka Putri
2. Tempat & Tanggal Lahir : Sukoharjo, 19Agustus1991 3. Jenis Kelamin
: Perempuan
4. Agama
: Islam
5. Alamat
: Jalan Cipulir II RT/RW. 009/004 No. 32, Cipulir, Kebayoran Lama, Jaksel
6. Telepon
: 08999158330/ (021) 7267038
7. Email
:
[email protected]
II. PENDIDIKAN FORMAL 1997-2003 : SD Negeri 04 Kartasura Jateng 2003-2006 : SMP Negeri 2Surakarta Jateng 2006-2009 : SMK Muhammadiyah 09 Jakarta 2009-2013 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akuntansi
III.PENGALAMAN ORGANISASI 1. Anggota ektrakurikuler Mading SMP Negeri 2 Surakarta 2. Anggota Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) SMK Muhammadiyah 09 Jakarta periode 2006-2009 3. Anggota KBA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
ABSTRACT The purpose of this research is to determine the influences of independent commissioners, existence of risk management committee, auditor reputation and concentrated ownership toward Enterprise Risk Management (ERM) implementation in nonfinancial companies listed in Indonesia Stock Exchange from 2009 to 2011. The sampling method in this research is purposive sampling with 123 companies as population and 41 companies as samples. The ERM practice is measured based on ERM index, which considers the eight dimension of ERM by COSO framework. This research uses multiple regression linear analysis method. The analysis technique used in this research is assumption classic test, the hypothesis Fstatistic to test the effect together with the 5% confidence level and using the tstatistics for testing the partial regression coefficient. The result of this research that simultaneously independent commissioners, existence of risk management committee, auditor reputation and concentrated ownership (P = 0.000 < α = 0.05) had significant influence toward the disclosure of enterprise risk management by COSO ERM framework. While partially risk management committee, auditor reputation (P = 0.000 < α = 0.05) and concentrated ownership (P = 0.040 < α = 0.05) had significant influence toward the disclosure of enterprise risk management but independent commissioners (P = 0.855 > α = 0.05) did not have significant influence toward the disclosure of enterprise risk management.
Keywords: independent commissioners, risk management committee, auditor reputation, concentrated ownership and disclosure of enterprise risk management (ERM)
vii
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komisaris independen, keberadaan komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan terhadap implementasi manajemen risiko perusahaan (ERM) pada perusahaan nonfinansial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah populasi sebesar 123 perusahaan dan sampel sebesar 41 perusahaan. Penerapan ERM diukur berdasarkan indeks ERM dengan mempertimbangkan delapan dimensi COSO ERM framework. Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah uji asumsi klasik, uji hipotesis F-statistik untuk menguji pengaruh secara bersama-sama dengan tingkat kepercayaan 5% serta menggunakan t-statistik untuk menguji koefisien regresi parsial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan (P = 0.000 < α = 0.05) berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM dengan COSO ERM framework. Sementara secara parsial komite manajemen risiko, reputasi auditor (P = 0.000 < α = 0.05) dan konsentrasi kepemilikan (P = 0.040 < α = 0.05) berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM, sedangkan komisaris independen (P = 0.855 > α = 0.05) tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM.
Kata Kunci : komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor, konsentrasi kepemilikan dan pengungkapan manajemen risiko perusahaan (ERM)
viii
KATA PENGANTAR
Al ‘ilmu bilaa ‘amalin kaassyajarin bilaa tsamarin Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Segala puji dan syukur hanya bagi ALLAH SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kita semua karena hanya dengan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan Terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM) Berdasarkan Dimensi COSO ERM Framework” (Studi Empiris Pada Perusahaan Nonfinansial Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2009-2011) ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, selaku uswatun hasanah bagi setiap rangkaian kehidupan kita, beserta para sahabat, keluarga dan pengikutnya. Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak lepas dari berbagai hambatan dan rintangan, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materi dalam penyusunan skripsi ini kepada: 1. Keluargaku tercinta, Ayahanda dan Ibunda, Suparman dan Mariana, serta adik-adikku, Lina, Tantri, Riffa dan Fattah, atas do’a, dukungan, kesabaran dan keikhlasan yang tidak henti-hentinya. Semoga kita dapat menjadi anak yang menjalani harapan setiap kedua orang tua yang ada di dunia ini. Amiiin. 2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. Yahya Hamja, MM selaku Dosen Pembimbing I atas waktu yang telah diluangkan untuk ilmu, arahan dan nasehatnya selama penyusunan skripsi ini
ix
4. Ibu Atiqah, SE, Ak, M.Si selaku Dosen Pembimbing II atas waktu yang telah diluangkan untuk ilmu, bantuan dan motivasinya selama penyusunan skripsi ini 5. Ibu Dr. Rini, SE, Ak., M.Si selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6.
Bapak Hepy Prayudiawan, SE, Ak., MM selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Dosen Penguji komprehensif penulis.
7. Ibu Rahmawati, SE., MM. selaku Dosen Penguji komprehensif penulis. 8. Bapak Yoghi Citra Pratama, M.Si. selaku Dosen Penguji komprehensif penulis. 9. Bapak Ady Cahyadi, SE. selaku Dosen Pembimbing Akademik 10. Para Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan ilmu dan perhatiannya kepada para mahasiswanya tidak terkecuali penulis 11. Seluruh Staff Bagian Keuangan, Akademik, Jurusan dan Fakultas atas pelayanannya selama ini 12. Kawan-kawan Akuntansi E dan Audit B ’09 Semoga ALLAH SWT membalas semua kebaikan mereka serta ilmu, amal dan iman yang kita miliki dapat diterima di sisi-Nya. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis mempersembahkan skripsi ini kelak dapat bermanfaat kepada semua pihak yang berkepentingan. Semoga ALLAH SWT senantiasa mengiringi setiap langkah kita. Amiiin yaa rabbal ‘aalamiin.
Jakarta, 8 Juli 2013
Enesti Eka Putri
x
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Skripsi ..................................................................... ii Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ................................................... iii Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ........................................................... iv Surat Pernyataan Keaslian Skripsi .......................................................... v Daftar Riwayat Hidup ....................................................................................... vi Abstract ................................................................................................................. vii Abstrak ........................................................................................................ viii Kata Pengantar .......................................................................................... ix Daftar Isi ..................................................................................................... xi Daftar Tabel ............................................................................................... xv Daftar Gambar ........................................................................................... xvi Daftar Lampiran ........................................................................................ xvii BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................ 19 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 20 1. Tujuan Penelitian ................................................................ 20 2. Manfaat Penelitian .............................................................. 20 a. Bagi Ilmu Pengetahuan ................................................... 20 b. Bagi Perusahaan ............................................................. 21 c. Bagi Bagi Akuntan Publik .............................................. 21 d. Bagi Investor dan Analis Pasar Modal ........................... 21
xi
e. Bagi Regulator…….. ……………………………………. 21 BABII. TINJAUAN PUSTAKA…..……………………...……………... 22 A. TinjauanLiteratur…...………………………………...……… 22 1. Agency Theory (TeoriKeagenan).……..…………...………..22 2. Signalling Theory….………………..….….…...………..... 26 3.Risiko (Risk)………….…..…………….……………........
27
4. Enterprise Risk Management (ERM)………….…...………. 28 5. ERM Framework………………………………………..
31
6.Mekanisme Corporate Governance..……………………….. 35 7. Komisaris Independen……………………………………. 41 8. Risk Management Committee …………………………....
43
9. Reputasi Auditor …………………………………………. 36 10. Struktur Kepemilikan……………………………………. 46 11. Konsentrasi Kepemilikan………………………………… 48 B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis…........... 56 1. Komisaris Independen dengan Pengungkapan ERM............ 56 2. Risk Management Committee (RMC) dengan Pengungkapan ERM……………………………………….….................
58
3. Reputasi Auditor dengan Pengungkapan ERM…………… 59 4.Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM....... 60 5. Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM……………………………………………………….. 61
xii
C. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu...………………...………… 61 D. Kerangka Pemikiran…….……………….……..………......... 69 BABIII. METODOLOGI PENELITIAN.………………….………....... 70 A. Ruang Lingkup Penelitian………………………………....... 70 B. Metode Penentuan Sampel…...…………………………........ 70 C. Metode Pengumpulan Data…..……………………………….71 D. Metode Analisis Data.…………………………………......... 72 1. Analisis Stasistik Deskriptif……..……………………....... 73 2. Uji Asumsi Klasik…….………………………………........ 74 a. Uji Normalitas Data…………………………….….…… 74 b. Uji Multikolonieritas……….…………………….…….. 77 c. Uji Heteroskedastisitas…………..………….…………. 78 d. Uji Autokorelasi ...…………….…...…………….…...... 79 3. Analisis Regresi Berganda…………………...…….....…… 81 4. Koefisien Determinasi……………………………………. 82 5. Pengujian Hipotesis……………………………………...... 84 a. Pengujian secara Simultan (Uji F)……………………… 84 b. Pengujian secara Parsial (Uji t)..……………………….. 84 E. Operasional Variabel Penelitian………………….…….....
85
1. Variabel Dependen…..………………………………….... 85 a. Pengungkapan ERM………….. …………………..…. 85 2. Variabel Independen……………...……………….……... 87 a. Komisaris Independen………………………………..… 87 b. Komite Manajemen Risiko (RMC)……..……...……... 87
xiii
c. Reputasi Auditor………..……………......………..….
88
d. KonsentrasiKepemilikan……………………...…..….
89
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN…………………...……….. 93 A. Gambaran Umum Objek Penelitian…………...…………..… 93 B. Hasil Analisis dan Pembahasan……………………………… 95 1. Statistik Deskriptif……………………………………….... 95 2. Uji Asumsi Klasik……………………………................... 100 a. Uji Normalitas...………………………...……………… 100 b. Uji Multikolonieritas………………………………….... 105 c. Uji Heteroskedastisitas..……………………..………..... 106 d. Uji Autokorelasi…………………………………..……. 108 3. Koefisien Determinasi.……………………………………. 110 4. Pengujian Hipotesis….……………………………………. 111 a. Pengujian secara Simultan (Uji F)..…………………….. 112 b. Pengujian secara Parsial (Uji t)………………………… 113 BAB V. PENUTUP………………………………………………………. 122 A. Kesimpulan……………………………………………..…….... 122 B. Implikasi……………………………………………...………... 123 C. Saran………………………………………............................... 125 DAFTAR PUSTAKA…………...…………………………………….….. 127 LAMPIRAN………………………………………………………………..134
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor
Keterangan
Halaman
2.1
Penelitian Terdahulu
65
3.1
Definisi Operasional Variabel dan Indikatornya
91
4.1
Rincian Sampel Penelitian
93
4.2
Daftar Nama Perusahaan
94
4.3
Hasil Statistik Deskriptif
96
4.4
Daftar Perusahaan dengan RMC terpisah dari komite audit
99
4.5
Hasil Uji Skewnessdan Kurtosis
101
4.6
Uji Normalitas : Nilai Kolmogrov Smirnov
103
4.7
Uji Multikolinieritas
106
4.8
Uji Autokorelasi
108
4.9
Uji Autokorelasi Run Test
109
4.10
Uji Goodness of Fit
110
4.11
Uji Simultan (F test)
112
4.12
Uji Parsial (t Test)
113
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Keterangan
Halaman
2.1
Operasionalisasi kerangka kerja dan proses manajemen risiko
30
2.2
Infrastruktur Manajemen Risiko
31
2.3
COSO ERM Framework
32
2.4
Kerangka Pemikiran
69
4.1
Uji Normalitas: Grafik Normal Plot
104
4.2
Uji Normalitas: Grafik Histogram
104
4.3
Uji Heteroskedastisitas – Grafik Scatterplot
107
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Keterangan
Halaman
1.
Dimensi Pengungkapan ERM
134
2.
Data Sampel Penelitian
140
3.
Hasil Uji Regresi Berganda
143
xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Isu mengenai risk management berkembang dengan pesat seiring dengan meningkatnya jumlah perusahaan yang mulai mengungkapkan keberadaan Risk Management Committee sebagai salah satu bentuk nyata adanya Enterprise Risk Management. Tetapi di lain pihak, banyak perusahaan yang belum mengetahui pentingnya manajemen risiko perusahaan. Manajemen risiko perusahaan atau Enterprise Risk Management (ERM) merupakan suatu strategi yang digunakan untuk mengevaluasi dan mengelola semua risiko dalam perusahaan. Pendekatan terhadap pengelolaan risiko organisasi sering disebut dengan manajemen risiko. Manajemen risiko adalah salah satu disiplin yang menjadi popular menjelang akhir abad ke dua puluh. Disiplin ini mengajak untuk secara logis, konsisten dan sistematis melakukan pendekatan terhadap ketidakpastian masa depan, sehingga memungkinkan kita untuk secara lebih hati-hati (prudent) dan produktif menghindari hal-hal yang tidak berguna karena membuang sumber daya secara tidak perlu dan mencegah hal-hal yang merugikan atau bahkan meraup dan mengejar hal-hal yang bermanfaat. Ini semua dilakukan lebih dari sekedar berdasarkan keyakinan dan keberuntungan, karena dalam mengelola masa depan, kita harus mulai dengan mempelajari kemungkinan terjadinya suatu
peristiwa
(event),
dan
bila
1
terjadi
bagaimana
dampaknya
(consequences). Hal ini ditunjang dengan kemampuan untuk mempelajari dan lebih memahami apa yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa (source of risk) tersebut. Karena bila dasarnya hanya keberuntungan, maka manajemen risiko menjadi tidak ada artinya, dan bahkan mengaburkan suatu kebenaran dan sekaligus memisahkan makna penyebab dari suatu peristiwa (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2011). Krisis keuangan global pada tahun 2008 menimbulkan banyak perdebatan mengenai pentingnya good corporate governance. Kegagalan dalam penerapan good corporate governance telah dibahas dalam Sarbanes Oxley Act yang selanjutnya menekankan pentingnya penerapan manajemen risiko dalam perusahaan untuk mencegah terjadinya kecurangan pelaporan keuangan. Penerapan manajemen risiko tersebut erat kaitannya dengan pelaksanaan good corporate governance, yaitu prinsip transparansi yang menuntut diterapkannya enterprise-wide risk management. Beasley (2007) dalam Andarini dan Indira (2010) mengemukakan bahwa lingkungan perusahaan yang berkembang pesat juga mengakibatkan makin kompleksnya risiko bisnis yang harus dihadapi perusahaan. Berbagai profil risiko yang dihadapi perusahaan saat ini berbeda dengan profil risiko pada dekade sebelumnya. Perubahan teknologi, globalisasi dan perkembangan transaksi bisnis seperti hedging dan derivative menyebabkan makin tingginya tantangan yang dihadapi perusahaan dalam mengelola risiko yang harus dihadapinya. Akibatnya, untuk menghadapi segala tantangan tersebut, penerapan sistem manajemen risiko secara formal dan terstruktur merupakan
2
suatu keharusan bagi perusahaan. Apabila dilaksanakan dengan efektif, sistem manajemen risiko dapat menjadi sebuah kekuatan bagi pelaksanaan good corporate governance. Menurut
Handayani
dkk.
(2006)
dalam
Restuningdiah
(2010)
mekanisme corporate governance dapat mengawasi manajemen dan pengambil keputusan, sehingga memudahkan untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Corporate Governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan dan diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. GCG digunakan sebagai sistem dan struktur yang mengatur hubungan antara manajemen dengan pemilik baik mayoritas maupun minoritas suatu perusahaan dengan kata lain sebagai bentuk perlindungan investor adanya perbedaan kepentingan pemegang saham (principle)
dengan
pihak
manajemen
(agent).
Penerapan
corporate
governance menuntut adanya perlindungan yang kuat terhadap hak-hak pemegang saham terutama pemegang saham minoritas. Beberapa hal yang yang terkait dengan mekanisme corporate governance adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, peran dewan komisaris (jumlah dewan komisaris serta independensi dewan komisaris). Dechow, et al., (1996) dan Beasley (1996) menemukan hubungan yang signifikan antara peran dewan komisaris dengan pelaporan keuangan. Mereka menemukan bahwa ukuran dan independensi dewan komisaris
3
mempengaruhi kemampuan mereka dalam memonitor proses pelaporan keuangan. Menurut Peasnell, et al.,(2005) dalam Restuningdiah (2010), dewan komisaris dipercaya dapat memegang peranan penting dalam corporate governance, terutama dalam memonitor manajemen puncak. Davidson, et al., (2005) dalam Restuningdiah (2010) menyatakan bahwa governance yang kuat merupakan keseimbangan
antara kinerja perusahaan
dengan
tingkat
pengawasan (level of monitoring) yang cukup. Beberapa hal yang terkait dengan monitoring melalui mekanisme internal governance adalah dewan komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal dan pemilihan audit eksternal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandungan informasi dalam laporan keuangan menjadi salah satu isu penting dalam pasar modal (Subiyantoro, 2006). Pasar modal yang efisien harus dapat memberikan perlindungan kepada investor publik dari praktik bisnis yang tidak sehat (Suta, 2000). Perlindungan kepada investor publik dapat berupa pemberian informasi dan fakta-fakta yang relevan mengenai perusahaan yang diatur melalui peraturan pemerintah. Peraturan mengenai praktik pengungkapan informasi perusahaan di Indonesia, khususnya yang bersifat wajib diatur oleh Bapepam dan lembaga profesi. Selanjutnya, perusahaan dapat juga memberikan pengungkapan
yang
bersifat
sukarela
(voluntary)
sebagai
tambahan
pengungkapan minimum yang telah ditetapkan (Meliana Benardi, dkk., 2009).
4
Pengungkapan laporan keuangan dapat mengurangi masalah keagenan dengan cara menjembatani asimetri informasi yang terjadi antara manajemen dengan pemegang saham. Banyaknya indikator yang diungkapkan dalam laporan keuangan mampu meningkatkan nilai perusahaan. Perusahaan yang telah mengungkapkan manajemen risiko dalam laporan tahunan perusahaan memberikan sinyal positif bagi stakeholders bahwa perusahaan telah menerapkan manajemen risiko sebagai salah satu aspek penting dalam tata kelola
perusahaan.
Pandangan
ini
menunjukkan
luas
pengungkapan
perusahaan erat kaitannya dengan mekanisme untuk mengurangi asimetri informasi guna menekan konflik kepentingan yang muncul akibat adanya pemisahan kepemilikan dengan pengelolaan (Meliana Benardi, dkk., 2009). Aspek pengawasan (monitoring) merupakan kunci penting demi berjalannya sistem manajemen risiko perusahaan yang efektif. Dewan komisaris berperan dalam mengawasi penerapan manajemen risiko untuk memastikan perusahaan memiliki program manajemen risiko yang efektif (Krus dan Orowitz, 2009) dalam Andarini dan Januarti (2010). Untuk meringankan beban tanggung jawabnya yang begitu luas, dewan komisaris dapat mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite pengawas manajemen. Komite tersebut diharapkan dapat mendiskusikan kebijakan dan panduan untuk mengatur proses manajemen risiko perusahaan (Krus dan Orowitz, 2009). Menurut Subramaniam, et al., (2009) dalam Andarini dan Januarti (2010), komite pengawas manajemen bisa merupakan komite audit atau komite lain yang terpisah dari audit dan berdiri sendiri, meskipun
5
demikian tanggung jawab utama dari pengawasan manajemen risiko tetap di tangan dewan komisaris secara penuh. Beberapa perusahaan masih mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite auditnya (Beasley, 2007; Bates dan Leclerc, 2009; Krus dan Orowitz, 2009; COSO, 2009). Namun, luasnya tanggung jawab dan tugas komite audit yang semakin berat semakin menimbulkan keraguan mengenai kemampuannya untuk berfungsi secara efektif (Harrison, 1987; Bates dan Leclerc, 2009). Tugas pengawasan manajemen risiko membutuhkan pemahaman yang cukup mengenai struktur dan operasi perusahaan secara keseluruhan beserta risiko-risiko yang terkait, seperti risiko produk, risiko teknologi, risiko kredit, risiko peraturan, dan sebagainya (Bates dan Leclerc, 2009). Alasan inilah yang menjadi landasan beberapa perusahaan untuk menerapkan fungsi pengawasan tersebut pada suatu komite pengawas manajemen yang terpisah dari audit dan berdiri sendiri, yang secara khusus menangani peran pengawasan dan manajemen risiko perusahaan, atau disebut dengan risk management committee (RMC). Di Indonesia sendiri, perkembangan RMC mulai meningkat. Pemerintah mulai memandatkan pembentukan RMC sebagai komite pengawas risiko pada industri perbankan. Tetapi, berbeda dari industri perbankan dan finansial yang diregulasi secara ketat, pembentukan RMC pada sektor industri lainnya di Indonesia masih bersifat sukarela. Dalam sektor perbankan, istilah RMC disebut sebagai Komite Pemantau Risiko melalui Peraturan Bank Indonesia No.8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum sebagai suatu kewajiban.
6
Aspek lain yang turut mendukung efektivitas penerapan manajemen risiko perusahaan adalah auditor eksternal. Kualitas audit yang baik biasanya berasal dari auditor skala besar. Auditor skala besar adalah auditor yang bekerja sama dengan auditor internasional/luar negeri. Auditor skala besar memiliki insentif lebih untuk mendeteksi dan melaporkan masalah kliennya dan lebih memungkinkan mendeteksi praktik-praktik akuntansi yang masih meragukan. Oleh karena itu, kualitas auditor dapat menjadi indikator yang baik untuk meningkatkan nilai perusahaan. Auditor skala besar diyakini mampu bekerja lebih profesional dan dapat mendeteksi adanya risiko-risiko bisnis yang mungkin terjadi. Auditor yang berafiliasi dengan auditor internasional juga memiliki reputasi yang lebih baik sehingga diharapkan mampu mengurangi asimetri informasi. Pemegang saham pengendali juga merupakan salah satu mekanisme tata kelola internal jika terdapat satu atau lebih pemegang saham besar dalam perusahaan. Desender (2010) berpendapat bahwa mungkin ada pengaruh substitusi atau komplementer antara dimensi struktur kepemilikan (konsentrasi /dispersi) dan dewan direksi dalam hal pemantauan manajerial. Pada struktur kepemilikan yang lebih terkonsentrasi, investor besar memiliki insentif untuk mengumpulkan informasi dan memantau manajemen secara langsung (Shleifer dan Vishny, 1997), sehingga mereka tidak bergantung pada dewan untuk masalah pemantauan. Selain itu, investor besar mampu memantau kemampuan dewan, karena mereka memiliki akses informasi dan nilai yang relevan (Heflin dan Shaw, 2000). Investor besar terlibat dengan manajemen
7
dalam menetapkan kebijakan perusahaan (Davies, 2002), memiliki beberapa kemampuan untuk mempengaruhi voting dan mungkin mendapat perhatian khusus dari manajemen (Useem, 1996). Oleh karena itu, pemegang saham pengendali dapat memantau ketidaksinambungan manajerial yang terjadi dalam perusahaan (Desender, 2010). Isu mengenai ERM menjadi perdebatan banyak pihak terutama setelah adanya krisis finansial global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008. Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat terjadi akibat macetnya kredit properti (subprime mortgage), sejenis kredit kepemilikan rumah (KPR) di Indonesia. Hal tersebut diikuti dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika Serikat. Sebelum krisis, Alan Greenspan, selaku Ketua The Fed, bank sentral Amerika Serikat, menerapkan suku bunga rendah pada kisaran 1 hingga 2 persen. Yang menjadi masalah, lembaga keuangan pemberi kredit pemilikan rumah (KPR) di Negeri Paman Sam itu banyak menyalurkan kredit kepada penduduk yang sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan pembiayaan (Depkominfo, 2008:2). Para lembaga penyalur kredit properti bersaing untuk mendapat konsumen melalui penawaran produk kredit properti yang cukup bervariasi tanpa mengenal secara mendalam karakteristik risiko serta melunakkan ketentuan mendapatkan kredit properti. Di sisi lain, ketika kredit perumahan disekuritisasi menjadi produk instrumen investasi derivatif bertingkat, maka gelembung likuiditas makin besar. Produk sekuritas juga diperjualbelikan antarlembaga keuangan di pasar modal sehingga letusan gelembung likuiditas
8
turut mempengaruhi banyak lembaga keuangan dari berbagai penjuru dunia (Depkominfo, 2008:4). Kemudahan pemberian kredit terjadi justru ketika harga properti di AS sedang naik. Pasar properti yang bergairah membuat spekulasi di sektor ini meningkat. Kredit properti memberi suku bunga tetap selama tiga tahun yang membuat banyak orang membeli rumah dan berharap bisa menjual dalam tiga tahun sebelum suku bunga disesuaikan. Sementara, untuk memberikan kredit, lembaga-lembaga itu umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak lain, termasuk lembaga keuangan. Perusahaan pembiayaan kredit rumah juga menjual surat utang (mirip subprime mortgage securities) kepada lembagalembaga investasi dan investor di berbagai negara. Beberapa perusahaan pembiayaan kredit rumah, seperti Fannie Mae & Freddie Mac mendapatkan dana dengan menjual surat utang ke bank komersial, bank devisa, atau perusahaan asuransi, diantaranya Lehman Brothers atau AIG (Depkominfo, 2008:2). Pada tanggal 14 September 2008, Lehman Brothers, bank investasi terbesar ke-4 di Amerika Serikat mengumumkan kebangkrutannya akibat krisis solvabilitas/permodalan. Lehman Brothers yang telah berumur 158 tahun dan mampu bertahan dari beberapa krisis sebelumnya termasuk The Great Depression, mengalami kesulitan menambah modal guna menutup kerugian terkait eksposurnya terhadap unsecured debt termasuk subprime mortgage di AS. Jatuhnya Lehman Brothers secara sederhana disebabkan oleh kemandekan di pasar keuangan. Krisis kepercayaan melonjak menyebabkan
9
perbankan menolak untuk melakukan transaksi dengan Lehman Brothers. Penyebab jatuhnya Lehman Brothers hampir sama dengan yang menimpa Nothern Rock di Inggris. Lehman Brothers yang merupakan salah satu bank investasi terbesar di AS memiliki bisnis trading yang sangat kompleks, memiliki eksposur sekuritas yang berisiko tinggi seperti sekuritas berbasis kredit properti subprime dan segala produk turunannya. Bangkrutnya Lehman Brothers pada awal September 2008 ditandai oleh kondisi keuangan dengan utang yang mencapai sekitar 613 miliar dolar AS dengan kreditur utama Mizuho Bank dan Citigroup HongKong. Untuk meredam kepanikan investor, Lehman Brothers berusaha mengumumkan lebih awal laporan keuangan triwulan III-2008 yang mencatat kerugian sekitar 3,9 miliar dolar AS dan akan menjual 55% aset unit pengelolaan investasi, serta divestasi 25-30 miliar dolar AS kepemilikannya pada real estate komersial. Namun upaya tersebut tidak berhasil, harga saham Lehman Brothers telah jatuh hingga dinilai sebesar 29 sen dolar AS per lembar. Lehman Brothers mengajukan petisi bangkrut kepada US Bankcruptcy Court setelah upaya penyelamatan bank investasi yang berumur 158 tahun tersebut gagal. Kebangkrutan Lehman menyebabkan sekitar 5000 tenaga kerja di PHK. Kejatuhan Lehman ini juga memicu lonjakan persepsi risiko di pasar keuangan global sehingga krisis kepercayaan antar pelaku pasar keuangan memuncak dan likuiditas sulit diperoleh. Hal tersebut kembali memicu penarikan dana asing dari emerging market secara besar-besaran sehingga
10
menekan stabilitas nilai tukar dan pasar keuangan global (Bank Indonesia, 2009). Kondisi keuangan global menghadapi tekanan yang berat disusul dengan krisis keuangan Eropa setelah krisis keuangan Amerika Serikat pada tahun 2008. Krisis keuangan Eropa berawal dari defisit anggaran pemerintah yang semakin besar di negara-negara kawasan Eropa terutama negara-negara lapisan pertama yaitu Yunani, Irlandia, dan Portugal. Sementara itu melebarnya defisit anggaran pemerintah dibarengi dengan rasio hutang per PDB yang menyebabkan kemampuan memperoleh pembiayaan defisit terbatas. Tidak berfungsinya kebijakan moneter dalam kawasan Eropa, terbatasnya ruang gerak fiskal, serta tidak terlihatnya upaya pemulihan, mendorong perlambatan bahkan penurunan perekonomian pada beberapa negara kawasan Eropa (Bappenas, 2011). Krisis keuangan Eropa dikhawatirkan dapat melebar tidak hanya di kawasan Eropa bahkan global. Proses perambatan krisis keuangan Eropa diperkirakan bersumber dari sistem perbankan yang saling terkait dan kompleks didalam kawasan Eropa maupun dengan luar kawasan Eropa seperti Amerika dan Jepang. Dengan demikian, pada saat satu negara pada lapisan pertama (Yunani, Irlandia, Portugal) mengalami default, maka akan mempengaruhi perbankan negara lain terutama Perancis. Krisis global tidak berpengaruh besar terhadap jalur perdagangan langsung (direct trade) antara Indonesia dengan Eropa maupun dengan Amerika Serikat. Tetapi, jalur perdagangan tidak langsung (indirect trade) Indonesia dengan Eropa dan
11
Amerika akan terpengaruh melalui China. China yang merupakan importir terbesar
barang
Indonesia
diperkirakan
akan
mengurangi
impornya
disebabkan permintaan negara-negara maju menurun terhadap barang China. Dalam jangka waktu yang lebih panjang (menengah panjang), krisis global diperkirakan akan memberi dampak yang besar pada sektor riil terutama perdagangan terkait perlambatan perekonomian dunia terutama pada negaranegara maju (Bappenas, 2011). Beberapa risiko yang berpotensi muncul akibat melemahnya perekonomian Amerika Serikat dan Uni Eropa adalah pelemahan permintaan dari AS dan Uni Eropa, perebutan pasar perdagangan ke Asia, serta upaya melakukan global rebalancing. Pelemahan permintaan dari negara Amerika Serikat dan Uni Eropa akan berpotensi menurunkan ekspor Indonesia ke kedua negara tersebut. Amerika Serikat dan Uni Eropa (terutama: Belanda, Jerman, dan Inggris) merupakan mitra dagang utama Indonesia, dimana pangsa pasar ekspor nonmigas ke kedua negara ini terlihat dalam trend yang menurun dengan indeks intensitas perdagangan (trend intensity index) yang tidak terlalu tinggi. Salah satu alternatif dari proses penyeimbangan global (global rebalancing) adalah Amerika harus meningkatkan ekspornya (untuk mengurangi defisit) dan negara-negara berkembang (seperti: China dan negara Asia lainnya) harus mengurangi ekspornya. Proses ini tentunya akan memberikan risiko terhadap penurunan kinerja ekspor Indonesia, terutama karena Indonesia merupakan salah satu supplier bahan baku/bahan mentah ke China dan India (Bappenas, 2011).
12
Kisah Lehman Brothers dan krisis finansial global yang melanda Amerika Serikat dan Eropa memberikan pelajaran penting bagi semua institusi keuangan untuk menjaga keseimbangan dalam pengelolaan risiko dan upaya memaksimalkan keuntungan. Dalam hal pengelolaan aset, menjadi penting untuk mendiversifikasikan jenis penempatan sehingga potensi risiko tidak terkonsentrasi pada suatu jenis penempatan (Bank Indonesia, 2008). Sementara itu, Lehman Brothers merupakan salah satu dari sekian banyak perusahaan yang mengalami krisis finansial pada tahun 2008. Dengan adanya krisis finansial tahun 2008, perusahaan di seluruh dunia menjadi lebih menyadari pentingnya penerapan Enterprise Risk Management untuk mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik dan menjaga kesinambungan (going concern) perusahaan, karena ERM diyakini memiliki peran penting dalam efektivitas penerapan good corporate governance sebagai tata kelola internal perusahaan. Selain itu, menjadi penting bagi perusahaan untuk lebih mempertimbangkan situasi dan kondisi eksternal perusahaan selain tata kelola internal yang baik. Peristiwa yang dialami oleh Lehman Brothers memberikan bukti bahwa perusahaan besar yang memiliki tata kelola internal perusahaan yang baik dan mampu bertahan dari gejolak perekonomian dunia, belum menjadi jaminan sepenuhnya bahwa perusahaan telah menerapkan manajemen risiko untuk mengelola eksposur risiko yang mungkin terjadi. Pada era globalisasi keuangan saat ini, perusahaan pada dasarnya dihadapkan dengan risiko yang
13
kompleks, tidak hanya risiko yang berasal dari internal perusahaan, tetapi juga risiko yang berasal dari eksternal perusahaan. Krisis keuangan global menyadarkan perusahaan dan lembaga keuangan di seluruh dunia untuk lebih berhati-hati dalam mengelola risiko keuangan, seperti risiko kredit, risiko mata uang asing, risiko tingkat suku bunga, risiko likuiditas, risiko harga pasar dan risiko harga lainnya. Hal ini juga tidak terkecuali bagi perusahaan-perusahaan non finansial, karena perusahaan non finansial selain memiliki eksposur risiko yang tinggi terkait keuangan tetapi juga risiko yang terkait dengan operasional perusahaan seperti risiko reputasi; risiko persaingan usaha; risiko katastropik (bencana alam); risiko harga komoditas; risiko produk; risiko biaya modal; risiko hukum dan regulasi; risiko lingkungan sosial, politik dan budaya; serta risiko informasi dan teknologi. Mencermati hal di atas bahwa perusahaan non finansial juga memiliki eksposur risiko yang tinggi terkait operasional perusahaan selain risiko keuangan, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana penerapan manajemen risiko pada perusahaan non finansial melalui pengungkapan pada laporan tahunan perusahaan. Mengingat saat ini di Indonesia, pengungkapan manajemen risiko hanya diwajibkan bagi perusahaan perbankan dan lembaga keuangan, sedangkan bagi perusahaan non finansial masih bersifat voluntary (sukarela). Penelitian sebelumnya mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada penerapan ERM telah dilakukan namun menunjukkan hasil yang tidak
14
konsisten. Kleffner et al. (2003) menemukan bahwa adanya Chief Risk Officer, jumlah dewan direksi, dan kepatuhan atas pedoman yang dikeluarkan bursa efek merupakan kunci sukses penerapan ERM. Hasil penelitian Beasley et al,. (2005) dan Desender (2007) menunjukkan bahwa keberadaan Chief Risk Officer, komisaris independen, tipe auditor dan ukuran perusahaan berpengaruh pada tingkat pengungkapan ERM. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa dewan direksi merupakan pihak yang berperan penting dalam penerapan ERM (Lam, 2001; Walker et al., 2002). Selain itu, sebagian besar penelitian terdahulu yang membahas hubungan karakteristik dewan dan perusahaan terhadap keberadaan komite hanya berfokus mengenai komite audit (Carson, 2002; Firth dan Rui, 2006; Chen, et al., 2009), komite nominasi (Carson, 2002 dan Ruigrok, et al., 2006), dan komite remunerasi (Carson, 2002). Carson (2002) menemukan hasil yang berbeda pada keberadaan komite audit, komite remunerasi, dan komite nominasi. Keberadaan komite audit ditemukan berhubungan positif dengan auditor Big Six dan jumlah hubungan intercorporate komisaris dalam perusahaan. Komite remunerasi berhubungan positif dengan auditor Big Six, hubungan intercorporate dan tingkatan yang tinggi dari investasi institusional. Sementara itu, keberadaan komite nominasi tidak berhubungan dengan auditor Big Six, komisaris, maupun investor, namun berhubungan dengan ukuran dewan dan leverage (Carson, 2002). Penelitian Ruigrok, et al. (2006) menemukan bahwa perusahaan dengan komite nominasi cenderung memiliki jumlah komisaris independen
15
dengan keragaman kebangsaaan dalam perusahaan yang lebih tinggi. Selanjutnya, Firth dan Rui (2006) menunjukkan bahwa perusahaan dengan kepemilikan saham terdispersi, proporsi komisaris independen yang lebih tinggi, dan auditor eksternal non Big Five cenderung untuk mengadopsi komite audit secara sukarela. Chen, et al. (2009) juga menemukan bahwa faktor-faktor seperti leverage, ukuran perusahaan, ukuran dewan, proporsi komisaris independen, dan CEO independen berhubungan positif dengan pembentukan komite audit secara sukarela. Namun demikian, hasil penelitian Andarini dan Indira (2010) menunjukkan bahwa komisaris independen, ukuran dewan komisaris, reputasi auditor, kompleksitas, risiko pelaporan keuangan dan leverage tidak berpengaruh terhadap keberadaan risk management committee. Sedangkan ukuran perusahaan berhubungan positif terhadap keberadaan risk management committee baik yang tergabung dengan komite audit maupun terpisah dengan komite audit dan berdiri sendiri. Penelitian mengenai Risk Management Committee oleh Restuningdiah (2010) yang merupakan kelanjutan dari penelitian Davidson, et al., (2005) menunjukkan bahwa mekanisme internal governance yang diproksi dengan dewan komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal dan risk management committee tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini mengindikasikan bahwa mekanisme internal governance yang diharapkan dapat mengatasi masalah keagenan terkait dengan manajemen laba (income smoothing) belum merupakan jaminan sepenuhnya bagi perusahaan dalam memaksimalkan fungsi pengawasan.
16
Penelitian selanjutnya juga mengangkat isu serupa mengenai pengaruh Corporate Governance dan Konsentrasi Kepemilikan pada Pengungkapan Enterprise Risk Management oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komisaris independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan RMC, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan dengan pengungkapan ERM yang diukur melalui dimensi COSO ERM Framework dengan kriteria 108 pengungkapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komisaris independen dan ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh pada pengungkapan ERM. Sementara itu, keberadaan RMC, reputasi
auditor
dan
konsentrasi
kepemilikan
berpengaruh
terhadap
dilakukan
meskipun
pengungkapan ERM. Penelitian
mengenai
ERM
belum
banyak
perkembangan ERM telah berkembang pesat. Oleh karena itu, penelitian mengenai ERM sangat menarik untuk dilakukan mengingat ERM merupakan isu yang masih baru. Selain itu implementasi ERM erat kaitannya dengan penerapan good corporate governance. Hal ini karena aspek pengawasan yang dilakukan dewan komisaris, komite pengawas manajemen risiko, eksternal auditor dan kepemilikan yang terkonsentrasi merupakan kunci penting terlaksananya sistem manajemen risiko yang efektif. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang mereplikasi variabel pengungkapan Enterprise Risk Management sebagai variabel dependen pada penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011).
17
Untuk membedakannya dengan penelitian sebelumnya, maka peneliti melakukan beberapa perubahan diantaranya adalah: 1.
Penelitian ini tidak mengikutsertakan variabel ukuran dewan komisaris dalam penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011), karena variabel komisaris independen yang menggunakan proksi proporsi komisaris independen terhadap jumlah keseluruhan dewan komisaris telah mencerminkan ukuran dewan komisaris seluruhnya.
2.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) kecuali perusahaan sektor keuangan pada periode 2009 hingga 2011. Sedangkan populasi yang digunakan dalam penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009.
3.
Variabel Komite Manajemen Risiko dalam penelitian ini diukur dengan variabel dummy dimana nilai satu diberikan untuk perusahaan yang memiliki komite manajemen risiko terpisah dari komite audit dan berdiri sendiri, sedangkan pada penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) nilai satu diberikan untuk perusahaan dengan komite manajemen risiko. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
karena adanya perbedaan dari beberapa hasil peneliti terdahulu. Maka penulis akan mengajukan penelitian dengan judul : “Pengaruh Komisaris Independen,
Komite
Manajemen
Risiko,
Reputasi
Auditor
dan
Konsentrasi Kepemilikan terhadap Pengungkapan Enterprise Risk
18
Management (Dimensi COSO ERM Framework)” (Studi Empiris pada Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2009-2011) B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dirumuskan di atas bahwa aspek pengawasan merupakan salah satu kunci berjalannya sistem manajemen risiko di perusahaan yang efektif dan penerapan enterprise risk management (ERM) pada perusahaan tidak terlepas dari upaya untuk mewujudkan good corporate governance, maka rumusan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)? 2. Apakah komite manajemen risiko (RMC) yang terpisah dari audit memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)? 3. Apakah reputasi auditor memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)? 4. Apakah konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)? 5. Apakah komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara simultan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?
19
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris mengenai hal-hal sebagai berikut: a. Menganalisis besarnya pengaruh komisaris independen secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM). b. Menganalisis besarnya pengaruh keberadaan komite manajemen risiko (RMC) yang terpisah dari audit secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM). c. Menganalisis besarnya pengaruh reputasi auditor secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM). d. Menganalisis besarnya pengaruh konsentrasi kepemilikan secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM). e. Menganalisis
besarnya
pengaruh
komisaris
independen,
komite
manajemen risiko (RMC), reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan secara simultan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM). 2. Manfaat Penelitian Adapun hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dan kontribusi sebagai berikut: a. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memperkuat penelitian sebelumnya terutama mengenai pengaruh
20
komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan ERM. b. Bagi Manajemen Perusahaan Dengan adanya penelitian ini diharapkan manajemen perusahaan lebih transparan dalam mengungkapkan informasi mengenai perusahaan dan menganalisis arti penting penerapan manajemen risiko oleh perusahaan serta dalam rangka mewujudkan Good Corporate Governance. c. Bagi profesi akuntan publik Dengan adanya penelitian ini diharapkan akuntan publik lebih memahami tentang penerapan manajemen risiko perusahaan sebagai bahan pertimbangan dalam menilai efektivitas pengendalian internal perusahaan dan memberikan opini audit yang sesuai. d. Bagi Investor dan Analis Pasar Modal Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan pada saat melakukan investasi dan memberikan kredit dengan melihat bagaimana penerapan manajemen risiko yang dilakukan oleh perusahaan. e. Bagi Regulator (Pembuat Kebijakan) Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pembuat regulasi yang berkaitan dengan arti penting penerapan manajemen risiko bagi perusahaan nonfinancial di Indonesia mengingat pengungkapan manajemen risiko perusahaan (ERM) masih bersifat voluntary.
21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur 1. Agency Theory Agency theory sering digunakan sebagai landasan dalam penelitianpenelitian sebelumnya mengenai corporate governance, khususnya tentang keberadaan komite yang diharapkan dapat memitigasi adanya konflik antara agen dan prinsipal. Hal ini dikarenakan pentingnya aspek pengawasan (monitoring) demi terwujudnya good corporate governance. Teori agensi merupakan teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang telah dipakai selama ini. Teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) dengan pihak yang menerima wewenang (agen) dalam bentuk sebuah kontrak kerjasama. Fama dan Jensen (1983) dalam Meisaroh dan Lucyanda (2011) menyatakan bahwa teori ini adalah serangkaian mekanisme untuk menyatukan kepentingan pemegang saham dan manajer seperti adanya mekanisme pengawasan internal oleh dewan komisaris dan komite audit pengawasan dari pemegang saham mayoritas (Shleifer dan Vishny, 1986), adanya pengendalian internal (Matsumura dan Tucker, 1992), serta pengawasan eksternal yang dilakukan eksternal auditor atas laporan keuangan perusahaan (Watts dan Zimmerman, 1986). Sistem kontrol
22
diatas dirancang untuk memantau kinerja perusahaan dan diharapkan dapat menjelaskan konflik keagenan yang terjadi. Dalam teori agensi, baik principal maupun agent diasumsikan sebagai orang-orang ekonomi yang rasional dan semata-mata termotivasi oleh kepentingan pribadinya masing-masing. Dari situasi ini timbullah konflik kepentingan antara principal dan agent. Ada beberapa kemungkinan konflik dalam hubungan antara prinsipal dengan agen (agency conflict), konflik yang timbul sebagai akibat dari keinginan manajemen (agen) untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan kepentingannya yang dapat mengorbankan kepentingan pemegang saham (prinsipal) untuk memperoleh return dan nilai jangka panjang perusahaan. Jensen dan Meckling dalam Larasati (2009) yang berpendapat bahwa agency conflict timbul pada berbagai hal sebagai berikut: a. Moral-Hazard Manajemen memilih investasi yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya dan bukan yang paling menguntungkan bagi perusahaan. b. Earning Retention Manajemen
cenderung
mempertahankan
tingkat
pendapatan
perusahaan yang stabil, sedangkan pemegang saham lebih menyukai distribusi kas yang lebih tinggi melalui beberapa peluang investasi internal yang positif.
23
c. Risk Aversion Manajemen cenderung mengambil posisi aman untuk mereka sendiri dalam mengambil keputusan investasi. Dalam hal ini, mereka akan mengambil keputusan investasi yang sangat aman dan masih dalam kemampuan manajer. Mereka akan menghindari keputusan investasi yang dianggap menambah resiko bagi perusahaannya walaupun mungkin hal itu bukan pilihan yang terbaik bagi perusahaan. d. Time Horizon Alijoyo dan Zaini (2004) dalam Setyarini (2011) menyatakan bahwa manajemen cenderung hanya memperhatikan cashflow perusahaan sejalan dengan waktu penugasan mereka. Hal ini dapat menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan yaitu berpihak pada proyek jangka pendek dengan pengembalian akuntansi yang tinggi dan kurang atau tidak berpihak pada proyek jangka panjang dengan pengembalian net present value yang jauh lebih besar. Masalah lain yang mungkin timbul dari hubungan keagenan ini yaitu agen memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan prinsipal, sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi yaitu kondisi ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan stakeholder sebagai pengguna informasi (Indrayati, 2010). Untuk meredam tindakan para agent yang tidak sesuai dengan kepentingannya, principal memiliki dua cara (Jensen dan Meckling, 1976 dan Subramaniam, et al., 2009):
24
a. Mengawasi perilaku agent dengan mengadopsi fungsi audit dan mekanisme corporate governance lain yang dapat meluruskan kepentingan agent dengan kepentingan principal. b. Menyediakan insentif kepegawaian yang menarik kepada agent dan mengadakan struktur reward yang dapat membujuk para agent untuk bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik principal. Secara umum, keberadaan komite-komite seperti komite audit, komite nominasi, komite remunerasi, serta komite manajemen risiko. merupakan mekanisme pengawasan internal di dalam perusahaan dan keberadaan komite pengawas yang dibentuk oleh dewan komisaris tersebut menyediakan kualitas pengawasan yang lebih baik dan menuntun untuk menurunkan perilaku oportunistik yang dilakukan oleh manajer. Komite-komite yang dibentuk oleh dewan komisaris tersebut diperkirakan ada dalam situasi dimana biaya agensi tinggi, seperti leverage tinggi serta kompleksitas dan ukuran perusahaan yang lebih besar (Subramaniam, et al., 2009). Firth dan Rui (2006) menyatakan teori agensi juga mengemukakan bahwa moral hazard yang melekat dalam hubungan prinsipal dan agen dapat menimbulkan biaya keagenan (agency cost). Komite audit merupakan salah satu cara untuk mengurangi masalah biaya keagenan ini. Komite audit yang efektif dapat meningkatkan kualitas dan kredibilitas laporan keuangan tahunan yang telah diaudit dan hal ini dapat membantu
25
pekerjaan dewan direksi yang bertugas menjaga dan memajukan kepentingan para pemegang saham. 2. Signalling Theory Salah satu teori yang dapat melatarbelakangi masalah asimetri informasi dalam pasar adalah signalling theory (Kartika, 2009). Teori sinyal membahas mengenai dorongan perusahaan untuk memberikan informasi kepada pihak eksternal. Teori sinyal muncul karena adanya permasalahan asimetri informasi antara pihak manajemen dan pihak eksternal. Oleh karena itu, untuk mengurangi asimetri informasi yang akan terjadi perusahaan harus mengungkapkan informasi yang dimiliki, baik informasi keuangan maupun informasi non keuangan (Setyarini, 2011). Penggunaan
signaling
theory
dalam
praktik
pengungkapan
perusahaan, secara umum menguntungkan bagi perusahaan untuk mengungkapkan praktik corporate governance yang baik, sehingga dapat menciptakan kualitas perusahaan yang baik dalam pasar (Subramaniam, et al., 2009). Salah satu bentuk sinyal tentang kualitas perusahaan tersebut adalah pembentukan komite, yang memberikan informasi bahwa perusahaan tersebut lebih baik dalam segi pengawasan dibandingkan dengan perusahaan lain (Andarini dan Indira, 2010). Berdasarkan signalling theory, walaupun belum ada peraturan yang memandatkan mengenai penerapan ERM secara khusus, tetapi perusahaan tetap dapat menerapkan dan mengungkapkan ERM dalam komitmennya
26
menuju praktik good corporate governance dan dengan harapan dapat meningkatkan reputasi serta nilai perusahaan. 3. Risiko (Risk) Sonnidwiharsono (1996) dalam Setyarini (2011) menunjukkan bahwa dari perspektif kegiatan usaha, pengaruh kegiatan usaha modern khususnya dalam sektor industri bertambah kompleks. Bertambah kompleksnya kegiatan usaha ini telah membawa pengaruh pula pada kebutuhan untuk lebih memperhatikan risiko-risiko yang dihadapi perusahaan. Menurut ISO Guide 73:2009 definisi 1.1 yang dimaksud dengan risiko adalah dampak ketidakpastian pada sasaran (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2011). Dalam konteks keterkaitan risiko dan proses organisasi, maka risiko adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi sasaran organisasi (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2011). Salah satu atribut risiko adalah ketidakpastian, baik dari sesuatu yang sudah diketahui maupun dari sesuatu yang belum diketahui. Dengan demikian strategi yang baik haruslah juga memperhatikan risiko-risiko yang mungkin terjadi dalam konteks eksternal organisasi maupun konteks internal organisasi dan melakukan antisipasi perlakuan risiko bila memang risiko tersebut menjadi kenyataan. Untuk risiko-risiko eksternal perlu diperhatikan antara lain harapan dari tiap-tiap pemangku kepentingan terhadap organisasi yang bila tidak dipenuhi akan menimbulkan konflik dan mempengaruhi pencapaian sasaran organisasi. Begitu pula risiko yang mungkin terjadi akibat
27
perubahan situasi politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Risiko juga dapat mengakibatkan kehancuran organisasi, karena itu risiko penting untuk dikelola. Risiko juga diyakini tidak dapat dihindari, oleh karena itu pemahaman terhadap risiko merupakan suatu langkah untuk menentukan prioritas strategi dan program dalam pencapaian tujuan organisasi (Setyarini, 2011). 4. Enterprise Risk Management (ERM) Manajemen risiko perusahaan merupakan suatu strategi yang digunakan untuk tetap bertahan dalam lingkungan usaha yang kompetitif. Pesatnya pertumbuhan ekonomi menjadikan ERM sebagai bagian penting perusahaan dalam mempertahankan kinerja dan tingkat profitabilitas perusahaan. Kesadaran yang tinggi terhadap manajemen risiko sebagian besar sebagai akibat dari beberapa bencana yang dihadapi perusahaan dan kegagalan bisnis yang tidak diharapkan (Walker, et al., 2009). Oleh karena itu, setiap perusahaan membutuhkan Entreprise Risk Management (ERM) untuk mengurangi dan menangani setiap risiko perusahaan yang mungkin muncul. Elemen yang mendasari ERM, antara lain:
Komitmen Chief Executive Officer (CEO)
Kebijaksanaan risiko dan misi perusahaan
Laporan unit bisnis dan jajaran eksekutif
Pengembangan kerangka kerja (framework) risiko
Pengembangan bahasa risiko yang umum
Teknik untuk mengidentifikasi risiko
28
Perangkat untuk memperkirakan risiko
Perangkat untuk melaporkan dan memonitor risiko
Keterkaitan risiko pada pihak-pihak yang sesuai dan bertanggung jawab
Keterkaitan risiko dengan fungsi keuangan dan pendanaan
Identifikasi risiko dan perkiraan risiko ke strategi perusahaan yang terintegrasi Penerapan manajemen risiko juga bertujuan untuk mengidentifikasi
risiko perusahaan pada setiap kegiatan, serta mengukur dan mengatasinya pada level toleransi tertentu (Meisaroh dan Lucyanda, 2011). Oleh karena itu, struktur manajemen risiko yang tepat dapat membantu dalam mengelola risiko bisnis secara lebih efektif dan mengungkapkan hasil manajemen risiko kepada stakeholders organisasi (Subramaniam et al., 2009 dalam Setyarini, 2011). Menurut KNKG (2011), manajemen risiko adalah bagian terpadu dari proses organisasi, maka proses manajemen risiko merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manajemen umumnya dan harus masuk menjadi bagian dari budaya organisasi, praktik terbaik organisasi, dan proses bisnis organisasi. Dalam Pedoman Manajemen Risiko (KNKG, 2011), proses manajemen risiko meliputi lima kegiatan, yaitu komunikasi dan konsultasi, menentukan konteks, asesmen risiko, perlakuan risiko serta monitoring dan review, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.1 pada halaman berikutnya:
29
Gambar 2.1 Operasionalisasi kerangka kerja dan proses manajemen risiko
Sumber: diadopsi dari Broadleaf Capital International Pty, Ltd. (2008) Menurut KNKG (2011), tidak terdapat model atau panduan baku dalam penyusunan infrastruktur pengelolaan manajemen risiko. Hal yang terpenting adalah kejelasan akuntabilitas dan tanggung jawab untuk mendorong pelaksanaan manajemen risiko. Setiap organisasi harus menyusun infrastruktur organisasi manajemen risiko sesuai dengan kebutuhan dan jenis-jenis risiko yang dihadapi. Model ini adalah contoh
30
infrastruktur manajemen risiko yang lebih tepat diaplikasikan pada organisasi yang cukup besar, dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut: Gambar 2.2 Infrastruktur Manajemen Risiko
Sumber: Pedoman Manajemen Risiko (diadopsi dari berbagai sumber oleh KNKG, 2011) 5. ERM Framework Pada tahun 2004, COSO (Committee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission) menerbitkan Enterprise Risk ManagementIntegrated Framework yang menggambarkan komponen-komponen penting, prinsip dan konsep dari manajemen risiko perusahaan untuk seluruh organisasi, tanpa memandang ukurannya. Definisi Enterprise Risk Management menurut COSO, yaitu: “A process, effected by an entity’s board of directors, management and other personnel, applied in strategy setting and across the enterprise, designed to identify potential events that may affect the entity, manage risk to be within its risk appetite, and provide reasonable assurance regarding the achievement of entity objectives.” (COSO, 2009) 31
Definisi COSO mengandung makna bahwa ERM sebagai suatu proses yang dipengaruhi manajemen perusahaan, yang diimplementasikan dalam setiap strategi perusahaan dan dirancang untuk memberikan keyakinan memadai agar dapat mencapai tujuan perusahaan. COSO ERMIntergrated Framework memberi gambaran secara garis besar sebuah pendekatan untuk memahami risiko-risiko dan mengatasinya. COSO ERM Framework terdiri dari delapan komponen yang harus ada dan berjalan agar dapat dikatakan sebagai ERM efektif yang dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut: Gambar 2.3 COSO ERM Framework
Sumber: COSO ERM Integrated Framework (2004)
32
a. Internal Environment Komponen ini mencerminkan selera perusahaan terhadap risiko yang dapat memberikan gambaran risiko dan pengendalian yang harus didasari atau diketahui oleh seluruh jajaran perusahaan. Manajemen bertanggung jawab dalam menetapkan sikap terhadap risiko kepada seluruh jajaran dalam perusahaan sebagai guidelines. b. Objective Settings Perusahaan perlu menetapkan tujuan-tujuan strategis secara luas dan risiko yang dapat diterima. Strategic Objectives mencerminkan pilihan manajemen mengenai bagaimana perusahaan meningkatkan nilai perusahaan khususnya bagi pemegang saham. Selanjutnya, perusahaan harus menetapkan juga risiko yang berkaitan dengan tujuan perusahaan. Kategori objek tersebut, antara lain:
Strategi: tujuan akhir yang mendukung misi organisasi
Operasi: menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien
Laporan Keuangan
Kepatuhan (compliance): sesuai dengan hukum dan regulasi yang berlaku
c. Events Identification Mengikuti konsep dari COSO Internal Control, manajemen harus memiliki proses-proses yang dilakukan untuk mengidentifikasi kejadian yang mempunyai pengaruh positif maupun negatif terhadap strategi risiko yang berhubungan. Berdasarkan risiko yang dapat
33
ditoleransi, perusahaan dapat mempertimbangkan kejadian internal atau eksternal yang dapat menjadi risiko baru atau malah mengurangi risiko yang ada. Contoh kejadian-kejadian tersebut antara lain perubahan lingkungan kompetisi dan tren sosial ekonomi. d. Risk Assessments Pada saat terdapat suatu kejadian yang merupakan suatu risiko, manajemen perlu mempertimbangkan bagaimana dampak yang dapat ditimbulkan dari kejadian tersebut terhadap ERM Objectives perusahaan yang dilihat dari frekuensi dan seberapa besar pengaruh kejadian tersebut. e. Risk Responses Manajemen harus menetapkan berbagai pilihan tanggapan (response) terhadap risiko dan mempertimbangkan konsekuensinya melalui intensitas dan besarnya pengaruh dari kejadian tersebut yang berkaitan dengan toleransi risiko perusahaan. Tanggapan terhadap risiko yang dapat dilakukan adalah: 1) Menghindari risiko (avoidance) 2) Mengurangi risiko (reduction) 3) Membagi risiko (sharing) 4) Menerima risiko (acceptance) Penelaahan terhadap tanggapan atas risiko dan jaminan keyakinan bahwa beberapa risk responses diambil dan diimplementasikan merupakan suatu komponen kunci dari suatu ERM Framework.
34
f. Control Activities Kebijakan dan prosedur harus ada untuk meyakinkan bahwa tanggapan terhadap risiko yang memadai telah dilakukan. Control Activities harus ada pada setiap level dan fungsi dalam perusahaan, termasuk approval, authorizations, performance review, safety and security issues, dan segregations of duties yang memadai. g. Information and Communication Informasi atas risiko yang berkaitan dengan perusahaan baik yang berasal dari pihak luar ataupun pihak internal harus diidentifikasi, diolah, dan dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang mempunyai kaitan dan tanggung jawab. Komunikasi yang efektif harus mengalir ke seluruh level perusahaan dan juga ke pihak-pihak eksternal seperti pelanggan, pemasok, pemerintah, maupun pemegang saham. h. Monitoring Prosedur yang terus-menerus dilakukan untuk mengawasi program ERM dan kualitasnya dari waktu ke waktu. 6. Mekanisme Corporate Governance a. Pengertian Corporate Governance Menurut Cadburry dalam Sutedi (2011), Good Corporate Governance adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya
35
kepada para shareholders khususnya, dan
stakeholders pada
umumnya. Kelompok negara maju Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Surya dan Yustiavandana (2008), mendefinisikan Good Corporate Governance adalah: “Sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan, board, pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Corporate Governance juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. Corporate governance yang baik dapat memberikan rangsangan bagi board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan kepentingan perusahaan dan pemegang saham harus memfasilitasi pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan menggunakan sumber daya dengan lebih efisien”. Adapun Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP-177/M-MBU/2002 dalam Surya dan Yustiavandana (2008), corporate governance adalah: “Suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika”. Sedangkan menurut Price Waterhouse Coopers dalam Surya dan Yustiavandana (2008). “Corporate governance terkait dengan pengambilan keputusan yang efektif dan dibangun melalui kultur organisasi, nilai-nilai, sistem, berbagai proses, kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan untuk mencapai bisnis yang menguntungkan, efisien, dan efektif dalam mengelola risiko dan bertanggung jawab dengan memerhatikan kepentingan stakeholders”.
36
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan: 1) Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder lainnya. 2) Suatu sistem pengecekan dan pertimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang:
pengelolaan
yang salah dan penyalahgunaan aset
perusahaan. 3) Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya. b. Prinsip-prinsip Corporate Governance Di Indonesia, dalam Code of Corporate Governance yang diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) 2006, terdapat 5 prinsip Corporate Governance (CG) yang harus diterapkan oleh setiap perusahaan yaitu transparency, accountability, responsibility, independency dan fairness. 1) Transparency (Transparansi) Untuk
menjaga
objektivitas
dalam
menjalankan
bisnisnya,
perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh para pemangku kepentingan.
Perusahaan
harus
mengambil
inisiatif
untuk
mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
37
peraturan perundang-undangan tetapi juga hal-hal yang penting dalam pengambilan keputusan bagi pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. 2) Accountability (Akuntabilitas) Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. 3) Responsibility (Tanggung Jawab) Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung
jawabnya
terhadap
masyarakat
dan
lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka yang panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. 4) Independency (Kemandirian) Untuk melancarkan pelaksanaan azas GCG, perusahaan harus dikelola
secara
independen
sehingga
masing-masing
organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 5) Fairness (Kewajaran)
38
Dalam melaksanakan kegiatannya perusahaan harus selalu senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran. Adapun Prinsip-prinsip GCG terdapat lima aspek yang dijabarkan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) sebagai pedoman pengembagan kerangka kerja legal, institutional, dan regulatory untuk corporate governance di suatu negara. Lima aspek tersebut antara adalah: 1) Hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan: Hak-hak pemegang saham harus dilindungi dan difasilitasi. 2) Perlakuan setara terhadap seluruh pemegang saham: Seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing harus diperlakukan setara. Seluruh pemegang saham harus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan perhatian bila hak-haknya dilanggar. 3) Peran stakeholders dalam corporate governance: Hak-hak para pemangku kepentingan (stakeholders) harus diakui sesuai peraturan perundangan yang berlaku, dan kerjasama aktif antara perusahaan dan para stakeholders harus dikembangkan dalam upaya bersama menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan keberlanjutan perusahaan. 4) Disclosure dan transparansi: Disclosure atau pengungkapan yang tepat waktu dan akurat mengenai segala aspek material perusahaan,
39
termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan governance perusahaan. 5) Tanggung
jawab
Pengurus
Perusahaan
(Corporate
Boards):
Pengawasan Komisaris terhadap pengelolaan perusahaan oleh Direksi harus berjalan efektif, disertai adanya tuntutan strategik terhadap manajemen, serta akuntabilitas dan loyalitas Direksi dan Komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham. Good corporate governance terdiri dari dua unsur, yaitu unsur yang berasal
dari
dalam
perusahaan
(corporate
governance
internal
perusahaan) dan unsur yang berasal dari luar perusahaan (corporate governance eksternal perusahaan). Corporate governance internal perusahaan adalah unsur yang selalu diperlukan dalam perusahaan dan sangat berperan dalam mengelola perusahaan. Jika kinerja corporate governace internal baik maka kinerja perusahaan pun baik dan sebaliknya. Unsur-unsur
Corporate
governance
internal
perusahaan
menurut
Kresnohadi (2000:9) terdiri dari pemegang saham, direksi, dewan komisaris, manajer, karyawan, sistem, dan komite audit. Internal Governance merupakan bagian dari mekanisme Corporate Governance yang telah menjadi pokok bahasan yang penting bagi para pelaku bisnis di seluruh dunia. Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan tuntutan persaingan global menjadi salah satu faktor pendorong dilakukannya reformasi GCG (Alijoyo dan Zaini, 2004). Saat ini terdapat tuntutan yang besar dan ada kecenderungan bahwa manajemen
40
perusahaan-perusahaan publik diwajibkan mempertanggungjawabkan pengelolaan perusahaan kepada publik (Syakhroza, 2004). Istilah internal governance pada penelitian ini mengacu pada penelitian Davidson, et al., (2005) yang menyatakan bahwa pengungkapan laporan keuangan dapat mengurangi masalah keagenan dengan melakukan monitoring terhadap perilaku agent. Beberapa hal yang terkait dengan monitoring melalui mekanisme internal governance adalah dewan komisaris independen, komite audit, fungsi internal audit, dan pemilihan auditor eksternal. Tetapi dalam penelitian ini tidak memasukkan variabel pemilihan auditor eksternal karena pernyataan Subramaniam, et al. (2009) bahwa pemilihan auditor eksternal bukan merupakan mekanisme internal governance melainkan external governance. c. Komisaris Independen Keberhasilan penegakan GCG sangat ditentukan oleh kualitas pimpinannya yaitu komisaris sebagai pengawas dan direksi sebagai pelaksana. Dalam mekanisme corporate governance, dewan komisaris memiliki peranan dan tugas yang sangat penting. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, dewan komisaris dapat memberikan kontribusi terhadap proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas dan mengandung informasi yang relevan bagi para stakeholders. Di Indonesia saat ini, keberadaan komisaris independen sudah diatur dalam Code of Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh KNKG. Komisaris menurut kode tersebut, bertanggung jawab dan
41
mempunyai kewenangan untuk mengawasi kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh direksi dan memberi nasihat bila diperlukan (Juwitasari, 2008). Namun terkadang dewan komisaris di suatu perusahaan belum bisa melaksanakan fungsi kontrol terhadap direksi dengan baik (Kusuma, 2004 dalam Yuliandri, 2010). Pengertian komisaris independen seperti yang dikemukakan oleh Alijoyo dan Zaini (2004) dalam Setyarini (2011), yaitu: “Komisaris Independen adalah anggota komisaris yang berasal dari luar
perusahaan
(tidak
memiliki
hubungan
afiliasi
dengan
perusahaan) yang dipilih secara transparan dan independen, memiliki integritas dan kompetensi yang memadai, bebas dari pengaruh yang berubungan dengan kepentingan pribadi atau pihak lain, serta dapat bertindak secara objektif dan independen dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip Good Corporate Governance (transparency, accountability, responsibility, fairness).
PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) melalui Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta No: Kep-305/BEJ/07-2004 di dalam Pencatatan Efek No.1A: tentang Ketetentuan Umum Pencatatan Saham dan Efek yang bersifat Ekuitas di bursa, dalam pasal 1-a menyebutkan tentang rasio komisaris independen
yaitu
komisaris
independen
yang
jumlahnya
secara
proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh yang bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari seluruh jumlah anggota komisaris.
42
d. Risk Management Committee (RMC) RMC menjadi populer sebagai mekanisme pengawas risiko yang penting bagi perusahaan (Subramaniam, et al., 2009). Hal ini makin diperkuat dengan survey oleh KPMG (2005) pada perusahaan-perusahaan Australia, yang menyatakan bahwa lebih dari setengah responden (54%) telah memiliki RMC, di mana sebesar 70% tergabung dengan komite audit. Menurut Subramaniam, et al. (2009), secara umum area tugas dan wewenang RMC adalah : a. Mempertimbangkan strategi manajemen risiko organisasi b. Mengevaluasi operasi manajemen risiko organisasi c. Menaksir pelaporan keuangan organisasi d. Memastikan bahwa organisasi dalam prakteknya memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku. Peranan yang tidak boleh dilakukan oleh internal audit dan disarankan untuk dilakukan oleh RMC sebagai unit yang independen, antara lain: a. Menetapkan batasan dan selera risiko (risk appetite) b. Memastikan
berlangsungnya
proses
manajemen
risiko
pada
perusahaaan c. Melakukan validasi atas risiko yang telah teridentifikasi dan terukur Dalam pembentukannya, RMC dapat tergabung dengan audit atau dapat pula menjadi komite yang terpisah dan berdiri sendiri. Komite terpisah yang secara khusus berfokus pada masalah risiko (RMC), dinilai
43
dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam mendukung dewan komisaris untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam tugas pengawasan risiko dan manajemen pengendalian internal (Subramaniam, et al., 2009). RMC yang terpisah dari audit akan lebih dapat mencurahkan lebih banyak waktu dan usaha untuk menggabungkan berbagai risiko yang dihadapi perusahaan secara luas dan mengevaluasi pengendalian terkait secara keseluruhan (Subramaniam, et al., 2009). Selain itu, RMC yang terpisah dari audit juga lebih memungkinkan dewan komisaris dalam memahami profil risiko perusahaan dengan lebih mendalam (Bates dan Leclerc, 2009). Pada sektor perbankan, RMC disebut pula dengan Komite Pemantau Risiko. Berdasarkan PBI No.8/4/PBI/2006 salah satu prasyarat yang harus dilengkapi oleh Bank Umum yaitu tentang Penerapan GCG bagi Bank Umum adalah pembentukan Komite Pemantau Risiko. Komite ini merupakan komite yang berada di bawah dewan komisaris, yang memiliki fungsi membantu dewan komisaris dalam tugas pengawasan, khususnya di bidang manajemen risiko. Dibandingkan dengan sektor non-perbankan, ternyata risiko sektor perbankan lebih banyak dan jauh lebih kompleks. Tercatat kurang lebih ada 9 (sembilan) risiko yang dihadapi mulai dari risiko operasional, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan (Fajri, 2007). Oleh karena itu, Bank Indonesia mengakomodir hal ini dengan mewajibkan pembentukan Komite
44
Pemantau Risiko yang
memiliki fungsi untuk melaksanakan evaluasi
tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaan kebijakan tersebut dan melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko di tingkat direksi. Pembentukan Komite Pemantau Risiko menjadi efektif dengan mempertimbangkan tingkat kegunaannya bagi perusahaan. e. Reputasi Auditor Auditor merupakan kunci mekanisme pengawasan eksternal dari sebuah organisasi, dan dalam beberapa tahun ini menjadi pusat perhatian bagi manajemen risiko (Subramaniam, et al., 2009). Auditor eksternal juga dapat mempengaruhi sistem pengawasan internal klien dengan membuat rekomendasi
post-audit
pada
peningkatan
desain
dari
sistem
(Subramaniam, et al., 2009). Auditor dengan reputasi baik seperti Big Four juga cenderung untuk lebih memilih berhubungan dengan klien yang memiliki nilai yang baik dalam komunitas bisnis, oleh karena itu auditor Big Four akan mempengaruhi klien untuk bertindak sesuai dengan praktek terbaik. (Carson, 2002 dalam Andarini dan Indira, 2010). Auditor Big Four dapat meningkatkan kualitas mekanisme pengawasan internal yang lebih tinggi kepada kliennya dibandingkan dengan auditor non-Big Four (Cohen et al., 2004 dalam Subramaniam et al., 2009).
45
f. Struktur Kepemilikan Pengelolaan memakmurkan
perusahaan pemiliknya.
pada Semakin
umumnya tinggi
bertujuan nilai
untuk
perusahaan
menggambarkan semakin sejahtera pemiliknya. Nilai perusahaan akan tercermin dari harga pasar sahamnya (Fama, 1978 dalam Untung dan Hartini, 2006 dalam Pujiati 2010). Untuk mencapai tujuan tersebut, para pihak yang berkepentingan seperti pemilik modal (sebagai principal) bisa mempercayakan kepada para profesional (managerial) untuk mengelola perusahaan dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan teori keagenan (agency theory), adanya pemisahan kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan masalah keagenan (agency problems), yaitu ketidaksejajaran antara principal (pemilik atau pemegang saham) dan agent (manajer). Adanya beberapa penyatuan kepentingan pemegang saham, debtholders dan manajemen dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap tujuan perusahaan, seringkali menimbulkan masalah-masalah. Untuk itu, diperlukan sebuah kontrol dari pihak luar dimana peran monitoring dan pengawasan yang baik akan mengarahkan tujuan sebagaimana mestinya. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham.
46
Struktur kepemilikan dapat dibedakan menurut dua sudut pandang yang berbeda, yakni: a. Pendekatan keagenan Struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. b. Pendekatan informasi asimetri Struktur kepemilikan sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi. Menurut Untung dan Hartini (2006), struktur kepemilikan dikelompokkan atas proporsi saham yang dimiliki yaitu: a. Kepemilikan manajerial (Managerial Ownership) Merupakan proporsi pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (direktur dan komisaris). b. Kepemilikan institusional (Institusional Ownership) Merupakan proporsi pemegang saham yang dimiliki oleh pemilik institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan lain kecuali anak perusahaan dan institusi lain yang memiliki hubungan istimewa (perusahaan afiliasi dan perusahaan asosiasi) atas laporan yang dibuat menurut data di Bursa Efek Indonesia serta kepemilikan saham oleh pihak blockholders yaitu saham yang dimiliki perseorangan diatas 5% selama tiga tahun
47
berturut-turut tetapi tidak termasuk dalam golongan kepemilikan insider. g. Konsentrasi Kepemilikan Pemegang saham dalam sebuah perusahaan bisa merupakan individu, keluarga atau kelompok keluarga, perusahaan, bank, investor, institusi (perusahaan keuangan, perusahaan asuransi, lembaga pensiun, atau lembaga pendanaan), atau perusahaan non keuangan (Gunarsih, 2002).
Menurut
Nuryaman
(2008)
struktur
kepemilikan
saham
mencerminkan distribusi kekuasaan dan pengaruh di antara pemegang saham atas kegiatan operasional perusahaan. Salah satu karakteristik struktur kepemilikan adalah konsentrasi kepemilikan. Kepemilikan terkonsentrasi merupakan fenomena yang lazim ditemukan di negara dengan ekonomi sedang bertumbuh seperti Indonesia dan di negara-negara continenal Europe. Sebaliknya, di negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat, struktur kepemilikan relatif sangat menyebar (La Porta dan Silanez, 1999). Kepemilikan saham dikatakan terkonsentrasi jika sebagian besar saham dimiliki oleh sebagian kecil individu atau kelompok, sehingga pemegang saham tersebut memiliki jumlah saham yang relatif dominan dibandingkan dengan lainnya. Kepemilikan saham dikatakan menyebar, jika kepemilikan saham menyebar secara relatif merata ke publik, tidak ada yang memiliki saham dalam jumlah sangat besar dibandingkan dengan lainnya (Dallas, 2004). Apabila kepemilikan saham perusahaan cenderung
48
menyebar, maka pengendalian pemilik akan lemah karena lemahnya pengawasan (monitoring). Apabila kepemilikan saham terkonsentrasi, maka pemilik saham terbesar dapat melakukan pengawasan total terhadap manajemen (Rini dan Aida, 2006). Teori yang dikemukakan oleh La Porta et al. (2000) dalam Rini dan Aida (2006) menyatakan bahwa pemegang saham mayoritas biasanya lebih banyak berperan dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan perusahaan pada negara-negara di Asia. Penelitian yang dilakukan oleh Rini dan Aida (2006) tentang pengaruh kepemilikan saham minoritas (publik) dan kepemilikan saham mayoritas terhadap kebijakan deviden menggunakan proksi persentase pemilik saham terbesar untuk mengukur kepemilikan saham mayoritas. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) menggunakan proksi pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan saham lebih dari 50% untuk mengukur konsentrasi kepemilikan. Adapun pengertian kepemilikan saham mayoritas sesuai dengan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Saham) UU No.5 Tahun 1999 adalah bentuk penguasaan terhadap bagian modal perusahaan yang berakibat bahwa pemegang saham yang bersangkutan memegang kendali terhadap manajemen, penentuan arah, strategi, dan kebijakan perusahaan termasuk tapi tidak terbatas pada kebijakan pengambilan tindakan korporasi (corporate actions), penentuan direksi/komisaris, pelaksanaan hak veto,
49
akses terhadap informasi sensitif (private information), pembagian keuntungan, penggabungan, peleburan, dan atau pengambilalihan. Untuk mengetahui apakah suatu kepemilikan saham mayoritas oleh suatu pelaku usaha dilarang oleh UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pelaku usaha memiliki saham mayoritas pada dua atau lebih perusahaan/perseroan; 2. Kepemilikan saham mayoritas tersebut, dengan tetap memperhatikan apa yang diatur dalam anggaran dasar perseroan, memberikan kewenangan yang lebih besar dengan melakukan pengendalian atas perseroan; 3. Dua atau lebih perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang sejenis; 4. Dua atau lebih perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha pada pasar bersangkutan yang sama; dan 5. Kepemilikan pelaku usaha pada dua atau lebih perusahaan tersebut mengakibatkan satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai pangsa pasar sebesar 50% atas suatu barang/jasa atau menguasai pangsa pasar sebesar 75% atas suatu barang/jasa. Kepemilikan saham mayoritas yang dilarang adalah bentuk penguasaan terhadap modal perusahaan yang berakibat pada pemegang saham tersebut dapat memegang kendali terhadap manajemen, penentuan
50
arah, strategi, dan kebijakan perusahaan, termasuk tapi tidak terbatas pada penentuan direksi/komisaris, penentuan hak veto, akses terhadap informasi sensitive (private information), pembagian keuntungan dan tindakan korporasi (corporate actions) termasuk tetapi tidak terbatas pada penggabungan,
peleburan,
pengambilalihan,
pemisahan,
divestasi,
investasi, pencatatan saham pada bursa, privatisasi. Kendali yang dimaksud adalah baik kendali dengan memiliki proporsi jumlah saham secara kumulatif lebih besar yang dimiliki oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha dibandingkan dengan jumlah saham yang dimiliki oleh pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha lain atas badan usaha yang sama. Misalkan suatu perusahaan dimiliki oleh tiga pelaku usaha dengan komposisi kepemilikan 40%, 35%, dan 25%, maka yang disebut sebagai saham mayoritas pada contoh ini adalah kepemilikan 40%. Pemilikan saham mayoritas yang diatur oleh undang-undang ini adalah kepemilikan saham mayoritas pada dua atau lebih perusahaan. Jadi dalam hal pemilikan saham mayoritas pada satu perusahaan, maka kepemilikan saham tersebut tidak melanggar ketentuan pasal 27 UU No. 5/1999. Selain itu dikenal juga kendali bentuk lain yaitu walaupun memiliki saham tidak dalam jumlah terbanyak tetapi cukup untuk pengambilan keputusan strategis dalam rapat umum pemegang saham. Perbedaan pola kepemilikan ini memberi implikasi yang berbeda dalam penelitian. Demsetz dan Villalonga (2001) melakukan penelitian
51
dengan menggunakan sampel perusahaan di Amerika Serikat dan Inggris tidak menemukan hubungan yang signifikan antara struktur kepemilikan dengan kinerja perusahaan. Chen (2001) dengan mengambil sampel perusahaan di negara berkembang menemukan hubungan positif antar struktur kepemilikan dengan kinerja perusahaan. Sedangkan Morck dan Shivdasani (1988) menghasilkan kesimpulan bahwa hubungan konsentrasi kepemilikan
dengan
kinerja
bersifat
nonmonotonic.
Konsentrasi
kepemilikan dapat menjadi mekanisme internal pendisiplinan manajemen, sebagai salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas monitoring, karena dengan kepemilikan yang besar menjadikan pemegang saham memiliki akses informasi yang cukup signifikan untuk mengimbangi keuntungan informasional yang dimiliki manajemen. Jika ini dapat diwujudkan maka tindakan moral hazard manajemen berupa manajemen laba dapat dikurangi seperti yang telah dikemukakan oleh Hubert dan Langhe (2002) dalam Nuryaman (2008). Di negara-negara dengan derajat perlindungan terhadap investor rendah (seperti halnya Indonesia), pemegang saham merasa khawatir akan kemungkinan berbedanya pendapatan yang diperoleh dengan yang diekspektasikan. Akibatnya, mereka memperbesar persentase kepemilikan atas perusahaan sebagai salah satu cara untuk melindungi diri. Mereka dapat mengendalikan perusahaan melalui voting power, atau representasi mereka di manajemen sehingga hak-hak mereka terlindungi (La Porta dan Silanez 1999). Musnadi (2006) melakukan penelitian tentang struktur
52
kepemilikan sebagai mekanisme corporate govenrnance, serta dampaknya terhadap kinerja keuangan perusahaan, dengan menggunakan emiten non financial yang berkapitalisasi menengah besar yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (sekarang BEI). Hasilnya menunjukan bahwa kepemilikan terkonsentrasi terbesar memiliki pengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hasil ini bermakna bahwa kepemilikan saham terkonsentrasi dapat berperan sebagai mekanisme corporate governance dalam mengurangi persoalan keagenan, sebab konsentrasi kepemilikan dapat menjadikan pemegang saham pada posisi yang kuat untuk dapat mengendalikan
manajemen
secara
efektif,
sehingga
mendorong
manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Pada struktur kepemilikan yang lebih terkonsentrasi, investor besar memiliki insentif untuk mengumpulkan informasi dan memantau manajemen secara langsung (Shleifer dan Vishny, 1997), sehingga mereka tidak bergantung pada dewan untuk masalah pemantauan. Selain itu, investor besar mampu memantau kemampuan dewan, karena mereka memiliki akses informasi dan nilai yang relevan (Heflin dan Shaw, 2000). Investor besar terlibat dengan manajemen dalam menetapkan kebijakan perusahaan (Davies, 2002), memiliki beberapa kemampuan untuk mempengaruhi voting dan mungkin mendapat perhatian khusus dari manajemen (Useem, 1996). Oleh karena itu, pemegang saham pengendali dapat memantau ketidaksinambungan manajerial yang terjadi dalam perusahaan (Desender, 2010).
53
Penelitian sebelumnya (La Porta, et al., 1999 dan Faccio, Lang dan Young, 2001), menentukan perusahaan dengan kepemilikan terkonsentrasi jika individu, kelompok keluarga atau perusahaan memiliki saham minimal 20% dari total saham perusahaan. Kepemilikan langsung dan kepemilikan tidak langsung dianggap menentukan struktur kepemilikan (menggunakan ambang batas tingkat 20% untuk menentukan kontrol kepemilikan tidak langsung, misalnya, jika seorang investor memiliki 80% saham dari perusahaan X yang memiliki 20% saham dari perusahaan Y, maka investor ini menguasai 20% saham dari perusahaan Y melalui kepemilikan saham tidak langsung). Perusahaan tanpa pemegang saham pengendali diklasifikasikan sebagai perusahaan dengan kepemilikan tersebar. Desender (2010) mengklasifikasikan perusahaan menjadi tiga jenis kepemilikan yaitu, keluarga, perusahaan dan bank. Pemegang saham pengendali adalah pemegang saham terbesar dengan setidaknya 20% saham pada setiap jenis saham dengan mempertimbangkan kepemilikan saham langsung dan tidak langsung, serta hubungan keluarga. Selanjutnya, kepemilikan keluarga diidentifikasi jika ada hubungan kekerabatan antara pemegang saham individu. Misalnya, dalam kasus SOS Cuétara, dimana pemegang saham individu terbesar (melalui kepemilikan saham langsung dan tidak langsung) adalah dua bersaudara Jesús Ignacio (16,0%) dan Raúl Jaime Salazar Bello (9,7%). Untuk menghitung saham kepemilikan
54
pemegang saham terbesar, beliau menyatakan bahwa keluarga Salazar Bello menguasai lebih dari 25%. Desender berpendapat bahwa mungkin ada pengaruh substitusi atau komplementer antara dimensi struktur kepemilikan (konsentrasi /dispersi) dan dewan direksi dalam hal pemantauan manajerial. Untuk mendukung hipotesisnya, Desender (2010) menggunakan ambang batas alternatif 25% serta dua langkah berkelanjutan (indeks konsentrasi kepemilikan Herfindahl dan total kepemilikan saham dari pemegang saham terbesar) untuk memperhitungkan konsentrasi kepemilikan. Pemegang saham pengendali merupakan mekanisme tata kelola internal jika terdapat satu atau lebih pemegang saham besar dalam perusahaan. Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.38 (Revisi 2011): Kombinasi Bisnis Entitas Sepengendali, yang mengatur tentang kombinasi bisnis antara entitas yang berada di bawah pengendalian yang sama mendefinisikan pengendalian sebagai kekuasaan untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasional suatu entitas untuk memperoleh manfaat dari aktivitas entitas tersebut. Adapun pengertian pemegang saham pengendali sesuai dengan Keputusan Badan Pengawas Pasar Modal No.05/PM/2002 Tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka adalah: 1) Pihak yang memiliki saham 25 % (dua puluh lima perseratus) atau lebih, kecuali pihak tersebut dapat membuktikan tidak mengendalikan Perusahaan Terbuka; atau
55
2) Pihak yang mempunyai kemampuan, baik langsung maupun tidak langsung untuk mengendalikan Perusahaan Terbuka dengan cara : a)
Menentukan
diangkat
dan
diberhentikannya
direksi
atau
komisaris; atau b)
Melakukan perubahan anggaran dasar Perusahaan Terbuka.
Sedangkan pengertian pemegang saham pengendali sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.14/24/PBI/2012 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia adalah badan hukum dan/atau perorangan dan/atau kelompok usaha yang: 1. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara; 2. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung. B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis Adapun keterkaitan antar variabel dependen dan independen dalam penelitian ini adalah: 1. Komisaris Independen dengan Pengungkapan ERM Proporsi komisaris independen dalam dewan komisaris dikatakan sebagai indikator independensi dewan. Kehadiran komisaris independen dapat meningkatkan kualitas pengawasan karena tidak terafiliasi dengan
56
perusahaan sehingga bebas dalam pengambilan keputusan. Teori ini sering disebut dengan the monitoring effect theory (Fama dan Jensen, 1983). Penelitian Beasley (1996) menunjukkan adanya hubungan terbalik antara proporsi komisaris independen dengan tingkat kecurangan pelaporan keuangan. Perusahaan dengan proporsi komisaris independen yang tinggi cenderung lebih memperhatikan risiko perusahaan dibandingkan proporsi komisaris independen yang rendah (O’Sullivan, 1997). Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian Dionne dan Thouraya (2004) menunjukkan bahwa kehadiran komisaris independen tidak berpengaruh pada tingkat adopsi ERM. Begitu juga dengan penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) menemukan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengungkapan ERM. Namun, penelitian Kleffner et al. (2003) dan Beasley et al. (2005) menunjukkan bahwa kehadiran komisaris independen meningkatkan kualitas pengawasan atas implementasi manajemen risiko dan kualitas audit sehingga dapat mengurangi kecurangan dan perilaku oportunistik manajer. Dengan demikian, keterkaitan antara komisaris independen dan pengungkapan ERM yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan melalui hipotesis alternatif pertama yang diajukan adalah: Ha1: Komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management.
57
2. Risk Management Committee (RMC) dengan Pengungkapan ERM Risk Management Committee (RMC) merupakan salah satu unsur penting dalam pengelolaan manajemen risiko perusahaan. Tugas dan wewenang RMC adalah mempertimbangkan strategi, mengevaluasi manajemen risiko, dan memastikan bahwa perusahaan telah memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku (Subramaniam, et al., 2009). Pembentukan RMC itu sendiri belum banyak dilakukan perusahaan. Saat ini pemerintah melalui peraturan BI No.8/4/PBI/2006 tentang Good Corporate Governance bagi Bank Umum hanya mewajibkan perbankan untuk membentuk RMC sebagai komite pengawas risiko. Berbeda dari industri perbankan yang diregulasi secara ketat, pembentukan RMC pada sektor industri lain di Indonesia masih bersifat sukarela. Meskipun demikian, mengingat pengelolaan manajemen risiko membutuhkan pemahaman yang cukup atas struktur dan operasi perusahaan maka banyak perusahaan selain perbankan tetap membentuk komite pengawas manajemen risiko. Dalam pembentukannya, RMC dapat tergabung dengan komite audit atau menjadi komite terpisah dan berdiri sendiri yang khusus berfokus pada masalah risiko. Perusahaan yang memiliki RMC dapat lebih banyak mencurahkan waktu, tenaga, dan kemampuan untuk mengevaluasi pengendalian internal dan menyelesaikan berbagai risiko yang mungkin dihadapi perusahaan (Andarini dan Indira, 2010). RMC juga lebih memungkinkan
dewan
komisaris
untuk
memahami
profil
risiko
58
perusahaan dengan lebih mendalam (Bates dan Leclerc, 2009). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) yang menunjukkan bahwa keberadaan RMC berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM. Untuk itu, hipotesis yang dikemukakan adalah: Ha2: Komite Manajemen Risiko (RMC) yang terpisah dari audit memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM). 3. Reputasi Auditor dengan Pengungkapan ERM Auditor Big Four dipandang memiliki reputasi baik. Secara umum akan memberikan panduan kepada kliennya mengenai praktek corporate governance terbaik, khususnya mengenai penerapan ERM (Chen, et al., 2009). Penelitian ini menggunakan Big Four sebagai proksi dari reputasi auditor karena Big Four dipandang memiliki reputasi dan keahlian yang baik untuk mengidentifikasi risiko perusahaan yang mungkin terjadi. Big Four dapat memberikan panduan mengenai praktek good corporate governance, membantu internal auditor dalam mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko sehingga meningkatkan kualitas penilaian dan pengawasan risiko perusahaan (Chen et al., 2009 dalam Meisaroh dan Lucyanda, 2011). Penelitian Beasley et al. (2005) dan Desender (2007) menemukan adanya pengaruh antara keberadaan Big Four dengan tingkat adopsi ERM. Terdapat tekanan yang lebih besar pada perusahaan yang diaudit Big Four untuk menerapkan dan mengungkapkan
59
ERM (Chen et al., 2009). Dengan demikian, hipotesis yang dapat dikemukakan adalah: Ha3: Reputasi Auditor memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM). 4. Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM Hasil penelitian Demsetz dan Lehn (1985) menemukan adanya pengaruh antara risiko bisnis dan konsentrasi kepemilikan. Semakin besar tingkat konsentrasi kepemilikan maka semakin kuat tuntutan untuk mengidentifikasi risiko yang mungkin dihadapi seperti risiko keuangan, operasional, reputasi, peraturan, dan informasi. Shleifer dan Vishny (1986) menyatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kualitas manajemen risiko adalah memastikan adanya minimal satu pemegang saham besar dalam perusahaan. Penelitian Desender (2007) menemukan bahwa pada perusahaan dengan kepemilikan terkonsentrasi, pemegang saham mayoritas memiliki preferensi yang kuat untuk mengendalikan manajemen,
mengurangi
biaya
agensi
dan
meningkatkan
peran
pengawasan pada perusahaan tempat mereka berinvestasi. Oleh karena itu, hipotesis yang dapat dikemukakan adalah: Ha4: Konsentrasi Kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara
parsial
terhadap
Pengungkapan
Enterprise
Risk
Management (ERM).
60
5. Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM. Hasil penelitian Nuryaman (2008) menunjukkan bahwa komposisi dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, tetapi konsentrasi
kepemilikan,
ukuran
perusahaan
dan
kualitas
audit
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) menunjukkan bahwa dewan komisaris independen dan ukuran dewan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan ERM, tetapi keberadaan
RMC,
reputasi
auditor
dan
konsentrasi
kepemilikan
berpengaruh terhadap pengungkapan ERM. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Venny Fathimiyah, dkk. (2012) yang menemukan bahwa
kepemilikan
manajemen,
kepemilikan
institusi
domestik,
kepemilikan institusi asing dan kepemilikan publik memiliki pengaruh secara bersama-sama (simultan) terhadap risk management disclosure. Untuk itu, hipotesis yang akan dikemukakan adalah: Ha5: Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara simultan terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM). C. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian telah dilakukan sebelumnya dan berhubungan dengan pengaruh mekanisme
internal
governance
seperti
komisaris
independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor, dan konsentrasi
61
kepemilikan terhadap pengungkapan ERM. Kleffner et al. (2003) menemukan bahwa adanya Chief Risk Officer, jumlah dewan direksi, dan kepatuhan atas pedoman yang dikeluarkan Bursa Efek merupakan kunci sukses penerapan ERM. Hasil penelitian Beasley et al. (2005) dan Desender (2007) menunjukkan bahwa keberadaan Chief Risk Officer, komisaris independen, tipe auditor, dan ukuran perusahaan berpengaruh pada tingkat pengungkapan ERM. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa dewan direksi merupakan pihak yang berperan penting dalam penerapan ERM (Lam, 2001 dan Walker et al., 2002). Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian – penelitian sebelumnya, yang peneliti jadikan landasan dasar pengujian hipotesis dalam penelitian ini diantaranya penelitian yang telah dilakukan oleh: 1.
Kurt A. Desender (2007) Penelitian mengenai kualitas ERM, karakteristik dewan dengan proksi independensi dewan, pemisahan jabatan CEO dan komisaris, Cost Agency: free float dan leverage, ukuran perusahaan, beta (risk of nvestors) dan tipe KAP pada 75 perusahaan farmasi yang terdaftar di Bursa Efek Spanyol membuktikan bahwa independensi dewan tidak berhubungan dengan kualitas ERM. Pemisahan CEO dengan dewan komisaris dan kombinasi antara independensi dewan dengan pemisahan CEO dan dewan komisaris berhubungan signifikan terhadap kualitas ERM.
2.
Subrabamaniam et al. (2009)
62
Penelitian yang dilakukan terhadap 200 perusahaan teratas yang terdaftar dalam Australia Stock Exchange (ASX). Penelitian ini menguji hubungan antara karakteristik dewan dan karakteristik perusahaan terhadap keberadaan RMC di sebuah perusahaan. Penelitian ini juga untuk mengetahui tipe RMC, apakah RMC tergabung dengan komite audit atau terpisah dari komite audit dan berdiri sendiri (SRMC). Karakteristik dewan dalam penelitian ini terdiri dari proporsi komisaris independen, CEO Duality, dan ukuran dewan. Sedangkan karakteristik perusahaan terdiri dari tipe auditor eksternal, tipe industri, kompleksitas, risiko pelaporan keuangan, dan leverage. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa: (1) CEO independen dan ukuran dewan berpengaruh positif dan signifikan terhadap keberadaan RMC, (2) CEO independen dan ukuran dewan berhubungan positif dengan keberadaan SRMC (3) kompleksitas berhubungan negatif dengan keberadaan SRMC. 3. Yatim (2009) Penelitian mengenai hubungan antara pembentukan RMC dan struktur dewan. Penelitian ini menggunakan sampel 690 perusahaan yang listing pada Bursa Malaysia pada tahun 2003. Variabel independen yang digunakan yaitu proporsi komisaris independen, CEO independen, keahlian dewan, dan kerajinan dewan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) proporsi komisaris independen dan CEO independen berhubungan positif dengan pembentukan RMC yang berdiri sendiri (terpisah dari komite audit), (2) Perusahaan dengan keahlian dan
63
kerajinan dewan yang tinggi juga berpengaruh positif terhadap pembentukan RMC. 4. Andarini dan Januarti (2010) Penelitian ini menguji hubungan karakteristik dewan komisaris (proporsi komisaris independen dan ukuran dewan) dan karakteristik perusahaan (reputasi auditor, kompleksitas, risiko pelaporan keuangan, leverage, dan ukuran perusahaan) terhadap pengungkapan RMC. Penelitian ini menggunakan sampel 248 perusahaan nonfinansial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2007-2008. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya ukuran perusahaan secara signifikan berhubungan positif dengan keberadaan RMC dan SRMC. 5. Nurika Restuningdiah (2011) Penelitian
mengenai
Risk
Management
Committee
oleh
Restuningdiah (2011) yang merupakan pengembangan dari penelitian Davidson, et al., (2005) menunjukkan bahwa mekanisme internal governance yang diproksi dengan dewan komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal, dan risk management committee tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini mengindikasikan bahwa mekanisme internal governance yang diharapkan dapat mengatasi masalah terkait dengan manajemen laba (income smoothing) belum merupakan jaminan sepenuhnya bagi perusahaan saat ini dalam memaksimalkan fungsi pengawasan. 6. Meisaroh dan Lucyanda (2011)
64
Penelitian mengenai pengaruh Corporate Governance dan Konsentrasi Kepemilikan
pada
Pengungkapan
Enterprise
Risk
Management
berdasarkan dimensi COSO ERM Framework. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komisaris independen, ukuran dewan komisaris,
keberadaan
RMC,
reputasi
auditor,
dan
konsentrasi
kepemilikan dengan pengungkapan ERM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komisaris independen dan ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh pada pengungkapan ERM. Sementara itu, keberadaan RMC, reputasi auditor, dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap pengungkapan ERM. Adapun beberapa penelitian yang menjadi acuan dan referensi bagi penulis untuk melakukan penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
NAMA Meisaroh dan Lucyanda (2011)
VARIABEL Pengungkapan ERM (COSO Framework) Proporsi Komisaris Independen Ukuran Dewan Komisaris Keberadaan Risk Management Committee Reputasi Auditor Konsentrasi Kepemilikan
METODE
HASIL
Regresi Linier Berganda
Komsaris independen dan ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh pada pengungkapan ERM Keberadaan RMC, reputasi auditor, dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh pada
65
Nurika Restuning diah (2011)
Andarini dan Januarti (2010)
Yatim (2009)
Manajemen Laba (income smoothing) Mekanisme Internal Governance: Proporsi Dewan Komisaris Independen, Efektivitas Komite Audit (jumlah pertemuan), Keberadaan fungsi Internal Audit, Keberadaan RMC (terpisah dari komite lainnya) Keberadaan RMC dan tipe RMC (Tergabung atau Terpisah dari Komite Adit) Proporsi Komisaris Independen Ukuran Dewan Tipe Auditor Eksternal Tipe Industri Kompleksitas Risiko Pelaporan Keuangan Leverage Ukuran Perusahaan Pembentukan RMC Proporsi Komisaris Independen CEO Independen Keahlian Dewan Kerajinan Dewan
Regresi Logistik
pengungkapan ERM Semua variabel tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
Regresi Logistik
Hanya ukuran perusahaan yang berhubungan positif dan signifikan terhadap keberadaan RMC maupun SRMC.
Regresi Logistik
Proporsi komisaris independen dan CEO independen berhubungan positif dengan pembentukan RMC yang berdiri sendiri (terpisah dari komite audit). Perusahaan dengan keahlian dan kerajinan dewan yang tinggi juga
66
Subramani am et al. (2009)
Keberadaan RMC dan tipe RMC (Tergabung atau Terpisah dari Komite Adit) Proporsi Komisaris Independen CEO Duality Ukuran Dewan Tipe Auditor Eksternal Tipe Industri Kompleksitas Risiko Pelaporan Keuangan Leverage
Regresi Logistik
Kurt A. Desender (2007)
Kualitas ERM Karakteristik Dewan: Independensi, pemisahan jabatan CEO dan Komisaris Cost Agency: free float dan leverage Ukuran Perusahaan Beta (risk of investors) Tipe KAP
Ordinary Least Squares
berpengaruh positif terhadap pembentukan RMC. CEO independen dan ukuran dewan berpengaruh positif dan signifikan terhadap keberadaan RMC. CEO independen dan ukuran dewan berhubungan positif dengan keberadaan SRMC dan kompleksitas berhubungan negatif dengan keberadaan SRMC. Independensi dewan tidak berhubungan dengan Kualitas ERM Pemisahan CEO dengan dewan komisaris dan kombinasi antara independensi dewan dengan pemisahan CEO dan dewan komisaris berhubungan signifikan terhadap
67
kualitas ERM
D. Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian sebelumnya mengenai gambaran menyeluruh yang merupakan kerangka konseptual mengenai pengaruh komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan terhadap
pengungkapan
ERM,
maka
penulis
menuangkan
kerangka
pemikirannya dalam bentuk skema kerangka pemikiran yang dapat dilihat pada gambar 2.4 di halaman berikutnya.
68
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran
Adanya Krisis Ekonomi Global pada tahun 2008
Variabel Independen Komisaris Independen (Meisaroh dan Lucyanda, 2011)
Variabel Dependen Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM): Dimensi COSO ERM Framework (Meisaroh dan Lucyanda, 2011)
Komite Manajemen Risiko (Restuningdiah, 2011)
Reputasi Auditor (Meisaroh dan Lucyanda, 2011)
Konsentrasi Kepemilikan (Meisaroh dan Lucyanda, 2011)
Purposive Sampling
Regresi Berganda
Uji Asumsi Klasik: 1. Normalitas 2. Multikolinearitas 3. Autokorelasi 4. Heteroskedastisitas
Koefisien Determinasi (R2) Uji Hipotesis: 1. Uji F 2. Uji t
Kesimpulan, Implikasi dan Saran
69
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penelitian ini termasuk ke dalam kelompok data time series dengan melihat dari dimensi waktu yang digunakan selama periode penelitian yaitu tiga tahun, dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kausal komparatif yaitu penelitian yang menggambarkan hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih (Indriantoro dan Supomo, 2002). Peneliti bermaksud untuk menganalisis pengaruh variabel independen yakni komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan terhadap variabel dependen yakni pengungkapan ERM berdasarkan dimensi COSO ERM Framework baik secara parsial maupun simultan. B. Metode Penentuan Sampel Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Kristianto, 2010). Sampel adalah sebagian anggota dari populasi yang dipilih menggunakan proses tertentu sehingga dapat mewakili populasi. Metode pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling yaitu tipe pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh dengan
70
menggunakan pertimbangan tertentu. Adapun kriteria pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah : 1. Perusahaan nonfinancial yang terdaftar di BEI pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 2. Perusahaan yang mempublikasikan laporan keuangan dan laporan tahunan (annual report) secara konsisten yang berakhir pada tanggal 31 Desember selama periode 2009-2011 dan disajikan dalam rupiah 3. Perusahaan yang memiliki kelengkapan data mengenai komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan. 4. Perusahaan yang telah mengungkapkan manajemen risiko dalam laporan tahunannya secara konsisten selama tahun 2009 sampai dengan tahun 2011. 5. Perusahaan yang memiliki satu atau lebih pemegang saham besar dengan kepemilikan lebih dari ambang batas 50%. C. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data kuantitatif yang merupakan data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain) (Indriantoro dan Supomo, 2002) sedangkan informasi KAP diperoleh dari Indonesian Capital Market Directory. Selain itu, informasi mengenai pengungkapan manajemen risiko perusahaan diperoleh dari laporan tahunan perusahaan (annual report) yang dipublikasikan oleh Bursa Efek Indonesia
71
(BEI) selama tiga tahun berturut-turut mulai periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 dan website perusahaan yang telah dipublikasikan. Data kuantitatif tersebut diukur dalam suatu skala rasio dan skala nominal. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dan didapatkan dengan cara: 1.
Metode dokumentasi, yaitu dengan cara mengumpulkan, mencatat, mengkaji data sekunder secara tidak langsung melalui media perantara yang berupa annual report dari seluruh perusahaan go public kecuali perusahaan financial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode tahun 2009 sampai dengan 2011. Data dalam penelitian ini diunduh melalui situs www.idx.co.id. Dengan data-data tersebut bisa digunakan untuk perhitungan variabel dalam penelitian ini, yaitu komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor, konsentrasi kepemilikan dan pengungkapan ERM.
2.
Metode studi pustaka, yaitu dengan melakukan telaah pustaka, eksplorasi dan mengkaji berbagai literatur pustaka seperti jurnal, tesis, surat kabar, dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penelitian. Hal ini disebabkan kepustakaan adalah bahan utama dalam penelitian data sekunder (Indriantoro dan Supomo, 2002).
D. Metode Analisis Data Terdapat beberapa teknik statistik yang dapat digunakan untuk menganalisis data. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mendapatkan informasi yang relevan yang terkandung dalam data tersebut dan
72
menggunakan hasilnya untuk memecahkan suatu masalah. Sebelum analisis regresi dilakukan, maka harus diuji terlebih dahulu dengan uji asumsi klasik untuk memastikan apakah model regresi yang digunakan tidak terdapat masalah normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokolerasi. Jika terpenuhi maka model analisis layak untuk digunakan. Dalam penelitian ini, pengujian hipotesis dan pengujian asumsi klasik dilakukan dengan menggunakan alat analisis statistik yaitu berupa output SPSS. SPSS yang digunakan adalah SPSS versi 20. 1. Analisis Statistik Deskriptif Statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan cara menggambarkan sampel data yang telah dikumpulkan dalam kondisi sebenarnya tanpa maksud membuat kesimpulan yang berlaku umum dan generalisasi. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk memberi gambaran umum mengenai demografi responden dalam penelitian dan deskripsi mengenai variabel-variabel penelitian (komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor, konsentrasi kepemilikan dan pengungkapan ERM). Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, maksimum, minimum (Ghozali, 2011). Mean digunakan untuk mengetahui rata-rata data yang bersangkutan. Standar deviasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar data yang bersangkutan bervariasi dari rata-rata. Nilai maksimum digunakan untuk mengetahui jumlah terbesar data yang
73
bersangkutan. Nilai minimum digunakan untuk mengetahui jumlah terkecil data yang bersangkutan bervariasi dari rata-rata. 2. Uji Asumsi Klasik Untuk mengetahui apakah model regresi benar-benar menunjukkan hubungan yang signifikan, maka model tersebut harus memenuhi asumsi klasik sebagai berikut: a. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti diketahui, bahwa uji t dan uji F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar, maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil. Jika terdapat normalitas, maka residual akan terdistribusi secara normal dan independen (Ghozali, 2011). Hal ini menujukkan bahwa terdapat perbedaan antara nilai prediksi dengan skor yang sesungguhnya atau error akan terdistribusi secara simetri disekitar nilai mean sama dengan nol. Jadi, salah satu cara untuk mendeteksi normalitas adalah melalui pengamatan setiap masing-masing variabel penelitian dan nilai residual. Dasar pengambilan keputusan melalui analisis ini, jika data menyebar disekitar garis diagonal sebagai representasi pola distribusi normal, berarti model regresi memenuhi asumsi normalitas. Dalam penelitian uji normalitas dilakukan dengan dua metode, yaitu:
74
1)
Analisis Statistik a)
Uji Skewness dan Kurtosis Analisis uji skewness dan kurtosis dilakukan dengan melihat nilai kurtosis dan skewness dari masing-masing variabel penelitian baik variabel independen maupun variabel
dependen.
Skewness
adalah
derajat
ketidaksimetrisan suatu distribusi. Skewed variabel (variabel menceng) adalah variabel yang nilai mean-nya tidak ditengah-tengah distribusi. Sedangkan kurtosis adalah derajat keruncingan suatu distribusi (biasanya diukur relatif terhadap distribusi normal). Uji Skewness dan Kurtosis adalah salah satu carauntuk mendeteksi normalitas melalui pengamatan setiap masing-masing variabel penelitian Nilai z statistik untuk skewness dapat dihitung dengan rumus:
√ ⁄ Sedangkan nilai z kurtosis dapat dihitung dengan rumus:
√
⁄
Nilai Z ini kita bandingkan dengan nilai kritisnya yaitu untuk alpha 0,05 nilai kritisnya 1,96. b)
Uji Statistik Kolmogrov-Smirnov (K-S) Untuk mendeteksi normalitas data dapat juga dilakukan dengan uji Kolmogrov-Smirnov. Uji statistik kolmogrov-
75
smirnov adalah salah satu pengujian yang dilakukan untuk mendeteksi normalitas melalui pengamatan nilai residual. Kelebihan dari pengujian ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat yang lain, yang sering terjadi pada uji normalitas dengan menggunakan grafik. Konsep dasar dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov membandingkan distribusi data (yang akan diuji normalitasnya) dengan distribusi normal baku. Distribusi normal baku adalah data yang telah ditransformasikan dalam bentuk Z-Score dan diasumsikan normal. Jadi sebenarnya uji Kolmogorov-Smirnov adalah uji beda antara data yang diuji normalitasnya dengan data normal baku. Seperti pada uji beda biasa, jika signifikansi di bawah 0,05 berarti terdapat perbedaan yang signifikan, dan jika signifikansi di atas 0,05 maka tidak terjadi perbedaan yang signifikan. Caranya adalah dengan menentukan terlebih dahulu hipotesis pengujian yaitu : Ho : Data residual terdistribusi secara normal Ha : Data residual tidak terdistribusi secara normal Penerapan pada uji Kolmogorov Smirnov adalah bahwa jika signifikansi di bawah 0,05 berarti data yang akan diuji
76
mempunyai perbedaan yang signifikan dengan data normal baku, berarti data tersebut tidak normal dan Ho ditolak. Sedangkan, jika signifikansi di atas 0,05 maka tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara data yang akan diuji dengan data normal baku, artinya data yang diuji normal karena tidak berbeda dengan normal baku dan Ho diterima. 2)
Analisis Grafik Analisis grafik dilakukan dengan melihat hasil ouput SPSS, berupa grafik normal probability plots dan grafik histogram. Jika titik-titik pada grafik normal probability plots mendekati garis diagonal dan tidak terdapat kemencengan maka model regresi tersebut dapat dikatakan terdistribusi secara normal. Kenormalan tidaknya suatu data yang dideteksi melalui grafik normal probability plots dan grafik histogram, kadang-kadang dapat menyesatkan karena kelihatan distribusinya normal tetapi secara statistik sebenarnya tidak normal.
b.
Uji Multikolinieritas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen (Ghozali, 2011). Untuk mendeteksi ada atau
77
tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi adalah sebagai berikut: 1)
Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel independen banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen.
2)
Menganalisis matriks korelasi variabel independen. Jika antar variabel ada korelasi yang cukup tinggi (> 0.90) maka hal tersebut merupakan indikasi adanya multikolinieritas.
3)
Dilihat dari nilai tolerance dan lawannya Variance Inflation Factor
(VIF).
Tolerance
mengukur
variabilitas
variabel
independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi. Nilai yang umum digunakan adalah nilai tolerance > 0.10 atau sama dengan nilai VIF <10 (Ghozali, 2011). c.
Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual suatu pengamatan
terhadap
pengamatan
lain
tetap,
maka
disebut
homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model
78
regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak ada heteroskedastisitas (Ghozali, 2011). Salah satu cara untuk mendeteksi heteroskedastisitas adalah dengan melihat grafik scatter plot antara lain prediksi variabel terikat (dependen) yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED dimana sumbu Y adalah Y yang diprediksi dan sumbu X adalah residual (Y prediksi – Y sesungguhnya) yang telah distudentized. Jika ada titik pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian
menyempit)
maka
mengindikasikan
telah
terjadi
heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2011). Analisis dengan grafik plots memiliki kelemahan yang cukup signifikan. Oleh karena, jumlah pengamatan mempengaruhi hasil ploting. Semakin sedikit jumlah pengamatan semakin sulit menginterpretasikan hasil grafik plot. d.
Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu (problem autokorelasi) pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada
79
periode t-1 (sebelumnya). Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi, salah satunya dapat dilihat dari angka Durbin Watson (D-W) sebagai berikut: 1)
Bila nilai D-W terletak antara batas atas (du) dan (4-du) maka koefisien autokorelasi sama dengan nol dan berarti tidak ada autokorelasi.
2)
Bila nilai D-W lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound (dl) maka koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol dan berarti ada autokorelasi positif.
3)
Bila nilai D-W lebih besar daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil daripada nol dan berarti ada autokorelasi negatif.
4)
Bila nilai D-W terletak di antara batas atas (du) dan batas bawah (dl) ataupun terletak antara (4-du) dan (4-dl) berarti hasilnya tidak dapat disimpulkan. Selain uji Dubin Watson, uji statistik lain yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu uji run test. Jika nilai run test memiliki tingkat signifikan di atas > 0,05 berarti tidak terjadi autokorelasi (Ghozali, 2011).
80
3. Analisis Regresi Berganda Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan alat analisis regresi berganda. Penggunaan regresi ini dimaksudkan untuk mengetahui secara terpisah (parsial) berbagai variabel independen yang ada (dalam hal ini komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan) tanpa ada pengaruh unsur variabel lain. Sedangkan pengujian hipotesis menggunakan alat analisis regresi berganda. Selain dapat melihat pengaruh masing-masing variabel independen, analisis regresi berganda dapat juga digunakan untuk melihat sejauh mana pengaruh interaksi variabel independen terhadap variabel dependen. Persamaan regresi berganda yang digunakan adalah sebagai berikut: Y = 0 + 1X1 +2X2 +3X3 +4X4+ Keterangan: Y
: Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)
0 : Konstanta 1 : Koefisien regresi pertama, yaitu besarnya perubahan Y apabila X1 berubah 1 satuan X1 : Komisaris Independen 2 : Koefisien regresi kedua, yaitu besarnya perubahan Y apabila X2 berubah 1 satuan X2 : Komite Manajemen Risiko
81
3 : Koefisien regresi ketiga, yaitu besarnya perubahan Y apabila X3 berubah 1 satuan X3 : Reputasi Auditor 4 : Koefisien regresi keempat, yaitu besarnya perubahan Y apabila X4 berubah 1 satuan X4 : Konsentrasi Kepemilikan E
: Error term
4. Koefisien Determinasi Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti menunjukkan bahwa kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas dan semakin lemah kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Hal ini berarti semakin kuat kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen (Ghozali, 2011). Dalam analisis koefisien determinasi, dilakukan pula analisis koefisien korelasi yang digunakan untuk mengetahui apakah diantara dua variabel terdapat hubungan. Jika terdapat hubungan maka bagaimana arah hubungan tersebut untuk mengetahui ada tidaknya hubungan diantara dua
82
variabel maka digunakan tingkat signifikan sebesar 0,05. Jika nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 maka Ha ditolak dan sebaliknya jika nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka Ha diterima. Analisis koefisien korelasi digunakan untuk mengetahui derajat atau tingkat keeratan hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Dari hasil perhitungan tersebut berlaku ketentuan, jika : Positif (+) : Menunjukkan hubungan yang searah antara kedua variabel. Negatif (-) : Menunjukkan hubungan yang berlawanan arah antara kedua variabel. Kekuatan hubungan dua variabel secara kualitatif dapat dibagi dalam empat area yaitu : a.
Jika nilai r berada antara 0,00 sampai dengan 0,25, maka tidak ada hubungan atau hubungan lemah antara variabel dependen dengan variabel independen.
b.
Jika nilai r berada antara 0,26 sampai dengan 0,50, maka hubungan sedang antara variabel dependen dengan variabel independen.
c.
Jika nilai
r berada antara 0,51 sampai dengan 0,75, maka
hubungan kuat antara variabel dependen dengan variabel independen. d.
Jika nilai r berada antara 0,76 sampai dengan 1, maka hubungan sangat kuat atau sempurna antara variabel dependen dengan variabel independen.
83
5. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji F untuk uji simultan dan Uji t untuk uji parsial. a.
Pengujian secara Simultan (Uji F) Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen atau terikat (Ghozali, 2011). Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat analisis statistik SPSS. Kriteria pengujian yang digunakan sebagai berikut: 1)
Ha ditolak apabila nilai signifikansi probabilitas pada hasil output analisis SPSS untuk uji F berada di atas 0,05 (> 0,05). Artinya variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.
2)
Ha diterima apabila nilai signifikansi probabilitas pada hasil output analisis SPSS untuk uji F berada di bawah 0,05 (< 0,05). Artinya variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.
b.
Pengujian secara Parsial (Uji t) Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas/independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2011). Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat analisis statistik SPSS.
84
Kriteria pengujian yang digunakan sebagai berikut : 1)
Ha ditolak apabila signifikan t hitung > 0,05 artinya variabelbebas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabelterikat.
2)
Ha diterima apabila signifikan t hitung < 0,05 artinya variabel bebas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.
E. Operasionalisasi Variabel Penelitian Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu variabel dengan memberi arti atau menspesifikasikan kegiatan atau membenarkan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut. Penelitian ini menggunakan dua jenis variabel, yaitu variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel independen (bebas). Variabel independen adalah variabel yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel lain. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Dependen a. Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM) Variabel dependen yaitu variabel yang dipengaruhi atau tertanggung oleh variabel lain. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengungkapan ERM. Pengungkapan ERM merupakan gambaran dari penerapan manajemen risiko perusahaan. Semakin
banyak
item
yang
diungkapkan,
diharapkan
dapat
85
mencerminkan penerapan manajemen risiko yang efektif. Menurut Amran et al., (2009) dalam Venny (2012) risk management disclosure dapat diartikan sebagai pengungkapan atas risiko-risiko yang telah dikelola perusahaan atau pengungkapan atas bagaimana perusahaan dalam mengendalikan risiko yang berkaitan di masa mendatang. Risk management disclosure berpotensi memiliki manfaat untuk para analis, investor, dan stakeholders. Dalam penelitian ini, pengungkapan ERM menggunakan kriteria 108 pengungkapan berdasarkan dimensi COSO ERM Framework yang mencakup delapan dimensi yaitu lingkungan internal, penetapan tujuan, identifikasi kejadian, penilaian risiko, respon atas risiko, kegiatan pengawasan, informasi dan komunikasi, dan pemantauan sesuai dengan penelitian Desender (2010) dan Meisaroh dan Lucyanda (2011). Selain itu, perhitungan item-item menggunakan pendekatan dikotomi yaitu setiap item ERM yang diungkapkan diberi nilai 1, dan nilai 0 apabila tidak diungkapkan. Setiap item akan dijumlahkan untuk memperoleh keseluruhan indeks ERM masing-masing perusahaan dengan menghitung jumlah pengungkapan dan dibagi dengan total item
pengungkapan
sebanyak
108
item.
Informasi
mengenai
pengungkapan ERM diperoleh dari laporan tahunan (annual report) dan situs perusahaan (Meisaroh dan Lucyanda, 2011).
86
2. Variabel Independen Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependen, baik yang pengaruhnya positif maupun yang pengaruhnya negatif. Adapun variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: a. Komisaris Independen Proporsi jumlah komisaris independen dapat menggambarkan tingkat independensi dan objektivitas dewan dalam pengambilan keputusan (Spira dan Bender, 2004). Independensi dewan komisaris dinyatakan dalam presentase jumlah anggota komisaris independen dibandingkan dengan jumlah seluruh anggota dewan komisaris (Subramaniam, et al., 2009) yang diperoleh dari perhitungan: COM_IND
b. Komite Manajemen Risiko (RMC) Dalam penelitian ini keberadaan RMC (FIRM_RMC) diklasifikasikan menjadi: a) RMC
yang
tergabung,
ketika
dalam
laporan
tahunan
perusahaan mengungkapkan keberadaan suatu komite di bawah komite audit. b) RMC yang terpisah, ketika dalam laporan tahunan keberadaan perusahaan mengungkapkan sebuah komite yang terpisah dari
87
komite audit yang secara khusus mengawasi risiko perusahaan yang disebut sebagai “RMC”. Pada penelitian ini, keberadaan RMC diukur dengan menggunakan
variabel
dummy,
dimana
perusahaan
yang
mengungkapkan keberadaan RMC yang terpisah dari komite audit dan berdiri sendiri diberi nilai satu (1), sedangkan nilai nol (0) apabila perusahaan mengungkapkan keberadaan RMC yang tergabung dengan audit maupun komite lainnya di bawah komite audit dalam laporan tahunannya (Nurika Restuningdiah, 2010). c. Reputasi Auditor
Reputasi auditor merupakan prestasi dan kepercayaan publik yang disandang auditor atas nama besar yang dimiliki auditor tersebut. Reputasi auditor dinyatakan dengan apakah auditor yang digunakan oleh perusahaan termasuk dalam Big Four atau tidak. Perusahaan yang menggunakan KAP Big Four sebagai auditor eksternalnya diberikan nilai satu (1) dan sebaliknya diberikan nilai nol (0) (Subramaniam, et al., 2009).
Variabel reputasi auditor dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan variabel dummy. Dimana KAP yang mengaudit laporan keuangan perusahaan dinilai berdasarkan reputasi KAP tersebut. Dalam penelitian ini reputasi auditor (AUD_REP) diproksikan dengan afiliasi KAP TheBig Four. Jika KAP termasuk dalam kategori The Big Four Auditors diberi nilai 1, jika tidak
88
diberi nilai 0. KAP di Indonesia yang berafiliasi dengan The Big Four Auditors yaitu (Cahyadi, 2009): a) KAP Purwantono, Sarwoko, Sandjaja berafiliasi dengan KAP Ernst and Young. b) KAP Osman Bing Satrio dan rekan berafiliasi dengan KAP Deloitte Touche Tohmatsu. c) KAP Sidharta, Sidharta, Widjaja berafiliasi dengan KAP KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler). d) KAP Haryanto Sahari dan rekan berafiliasi dengan KAP Price Waterhouse Coopers. d. Konsentrasi Kepemilikan
Faccio, Lang dan Young (2001) mengidentifikasi perusahaan dengan
kepemilikan
terkonsentrasi
jika
terdapat
individu,
kelompok keluarga atau perusahaan dengan kepemilikan saham minimal 20% dari total saham perusahaan. Kepemilikan langsung dan kepemilikan tidak langsung dianggap menentukan struktur kepemilikan (menggunakan ambang batas tingkat 20% untuk menentukan kontrol kepemilikan tidak langsung, misalnya, jika seorang investor memiliki 80% saham dari perusahaan X yang memiliki 20% saham dari perusahaan Y, maka investor ini menguasai 20% saham dari perusahaan Y melalui kepemilikan saham tidak langsung). Perusahaan tanpa pemegang saham
89
pengendali
diklasifikasikan
sebagai
perusahaan
dengan
kepemilikan tersebar. Desender (2010) mengklasifikasikan perusahaan menjadi tiga jenis kepemilikan yaitu, keluarga, perusahaan dan bank. Pemegang saham pengendali adalah pemegang saham terbesar dengan setidaknya 20% saham pada setiap jenis saham dengan mempertimbangkan kepemilikan saham langsung dan tidak langsung, serta hubungan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Rini dan Aida (2006) tentang pengaruh kepemilikan saham minoritas (publik) dan kepemilikan
saham
mayoritas
terhadap
kebijakan
deviden
menggunakan proksi persentase pemilik saham terbesar untuk mengukur kepemilikan saham mayoritas. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) menggunakan
proksi
pemegang
saham
mayoritas
dengan
kepemilikan saham lebih dari 50% untuk mengukur konsentrasi kepemilikan.
Perusahaan
dengan
konsentrasi
kepemilikan
(OWN_CON) dalam penelitian ini adalah perusahaan dengan pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan saham lebih dari 50%. Pisah batas ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011). Selengkapnya untuk definisi dan pengukuran operasional variabel penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1 di halaman berikutnya.
90
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel dan Indikatornya Variabel Dependen (Y) Pengungka pan ERM
Independen (X1) Komisaris Independen
Definisi Operasional Diproksikan berdasarkan dimensi COSO ERM Framework dengan kriteria 108 item pengungkapan
Diproksikan dengan persentase dewan komisaris independen Independen Diproksikan (X2) dengan Komite mengklasifi Manajemen kasikan Risiko keberadaan RMC yang tergabung dengan komite audit dan RMC yang terpisah dengan audit dan komite lainnya Independen Diproksikan (X3) denganMeng Reputasi kualifikasika Auditor nKAP atau skala auditor yang digunakanpe rusahaan
Pengukuran
Skala
Sumber
Nomi Menggunakan variabel nal dummy, nilai satu jika mengungkapkan dan nilai nol jika tidak mengungkapkan
Desender (2010) dan Meisaroh dan Lucyanda (2011)
Indeks ERM = Rasio Komisaris Independen =
Rasio
Meisaroh dan Lucyanda (2011)
Menggunakan variabel dummy yaitu satu untuk perusahaan dengan RMC terpisah dengan audit dan komite lainnya sedangkan nol untuk perusahaan dengan keberadaan RMC tergabung dengan komite audit.
Nomi nal
Nurika Restuning diah (2010)
Menggunakan variabel dummy yaitu satu untuk perusahaan yang diaudit oleh KAP Big Four dan nol untuk perusahaan yang diaudit oleh KAP non Big Four
Nomi nal
Meisaroh dan Lucyanda (2011)
91
yang dilihat melalui ukuran KAP yang terdiri dari dua macam yaitu KAP Big Fourdan KAP non Big Four Independen Diproksikan (X4) dengan Konsentrasi adanya Kepemilik pemegang -an saham mayoritas dengan kepemilikan saham lebih dari 50%
Jumlah persentase kepemilikan saham lebih dari ambang batas 50%
Rasio
Meisaroh dan Lucyanda (2011)
92
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan nonfinancial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling. Berdasarkan kriteria sampel diperoleh sampel penelitian sebanyak 41 perusahaan per tahun untuk periode 2009 sampai dengan 2011 sehingga total keseluruhan sampel yang digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
sebanyak
123
perusahaan.
Selengkapnya mengenai rincian sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini. Tabel 4.1 Rincian Sampel Penelitian Kriteria
Jumlah
Perusahaan yang terdaftar di BEI selama tahun 2011
436
Perusahaan yang terdaftar setelah 31 Desember 2008
(61)
Perusahaan sektor keuangan selama periode 2009-2011
(65)
Perusahaan tidak konsisten menerbitkan annual report selama periode 2009-2011
(242)
Perusahaan dengan data tidak lengkap : a). Konsentrasi kepemilikan kurang dari ambang batas 50% b). Tidak mengungkapkan ERM secara konsisten selama periode 2009-2011
(11) (16)
Jumlah perusahaan yang digunakan
41
Total keseluruhan sampel selama 3 tahun (41 x 3)
123
Sumber: Data sekunder diolah 93
Adapun nama perusahaan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut. Tabel 4.2 Daftar Nama Perusahaan NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
EMITEN PT Astra Agro Lestari Tbk. PT Ace Hardware Indonesia Tbk. PT AKR Corporindo Tbk. PT Astra International Tbk. PT Astra Otoparts Tbk. PT Indofood Sukses Makmur Tbk. PT Indosat Tbk. PT Indo Tambangraya Megah Tbk. PT Jaya Konstruksi Manggala Prata Tbk. PT Jaya Real Property Tbk. PT Jasa Marga (Persero) Tbk. PT Jasuindo Tiga Perkasa Tbk. PT Kimia Farma Tbk. PT First Media Tbk. PT Kalbe Farma Tbk. PT Limas Centric Indonesia Tbk. PT Lippo Cikarang Tbk. PT Lautan Luas Tbk. PT Mas Murni Indonesia Tbk. PT Mitra Adiperkasa Tbk. PT Modern Internasional Tbk. PT Multi Indocitra Tbk. PT Mitra Investindo Tbk. PT Media Nusantara Citra Tbk. PT Metrodata Electronics Tbk.
KODE AALI ACES AKRA ASII AUTO INDF ISAT ITMG JKON JRPT JSMR JTPE KAEF KBLV KLBF LMAS LPCK LTLS MAMI MAPI MDRN MICE MITI MNCN MTDL
Berlanjut ke halaman berikutnya
94
Tabel 4.2 (Lanjutan) 26
PT Asia Pacific Fibers Tbk. PT Pool Advista Indonesia Tbk. 27 28 PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. 29 PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. 30 PT Bentoel Internasional Investama Tbk. 31 PT Sampoerna Agro Tbk. 32 PT Sierad Produce Tbk. 33 PT Smart Tbk. 34 PT Holcim Indonesia Tbk. 35 PT Suryamas Dutamakmur Tbk. 36 PT Semen Gresik (Persero) Tbk. 37 PT Sorini Agro Asia Corporindo Tbk. 38 PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk. 39 PT Mandom Indonesia Tbk. 40 PT United Tractors Tbk. 41 PT Unilever Indonesia Tbk. Sumber: Data diolah
POLY POOL PTBA RALS RMBA SGRO SIPD SMAR SMCB SMDM SMGR SOBI SULI TCID UNTR UNVR
B. Hasil Analisis dan Pembahasan 1. Statistik Deskriptif Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskriptif suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, maksimum, dan minimum, dari masing-masing variabel (Ghozali, 2011). Mean digunakan untuk mengetahui rata-rata data yang bersangkutan. Standar deviasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar data yang bersangkutan bervariasi dari rata-rata. Nilai maksimum digunakan untuk mengetahui jumlah terbesar data yang bersangkutan. Nilai minimum digunakan untuk mengetahui jumlah terkecil data yang bersangkutan bervariasi dari ratarata. Variabel yang digunakan meliputi variabel independen yaitu 95
komisaris
independen
(IND_COM),
konsentrasi
kepemilikan
(OWN_CON), reputasi auditor (AUD_REP) dan komite manajemen risiko (FIRM_RMC) serta variabel dependen yaitu pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM). Dari hasil pengujian statistik deskriptif atas keempat variabel independen, satu variabel dependen, melalui data asli, maka diperoleh hasil sesuai dengan tabel 4.3 berikut: Tabel 4.3 Hasil Statistik Deskriptif Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
IND_COM
123
.300
.800
.43432
.116111
OWN_CON
123
.500
.997
.66830
.128540
AUD_REP
123
.000
1.000
.60163
.491566
FIRM_RMC
123
.000
1.000
.21951
.415609
ERM
123
.796
.981
.88385
.046603
Valid N (listwise)
123
Sumber: Data sekunder diolah Dari tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa variabel independen komisaris independen (IND_COM) diperoleh dari jumlah komisaris independen dibagi dengan total dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Proporsi komisaris independen memiliki nilai minimum sebesar 0,30 yang diperoleh dari PT Indofood Sukses Makmur Tbk. yang memiliki 3 komisaris independen dari
10 dewan komisaris yang ada dalam
perusahaan pada tahun 2009 dan 2010. Sedangkan nilai maksimum
96
sebesar 0,80 diperoleh dari PT Unilever Indonesia, Tbk. dengan 4 komisaris independen dari 5 dewan komisaris yang ada dalam perusahaan pada tahun 2011. Nilai rata-rata IND_COM sebesar 0,43432 atau 43,43% yang menunjukkan bahwa perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini telah memenuhi ketentuan yang disyaratkan oleh Bapepam untuk jumlah komisaris independen yaitu sekurang-kurangnya 30% dari seluruh jumlah anggota komisaris dan nilai standar deviasi IND_COM sendiri adalah sebesar 0,11611. Nilai standar deviasi dibawah nilai ratarata. Hal ini menggambarkan bahwa kesenjangan antara nilai maksimum dengan nilai minimum komisaris independen rendah. Variabel
independen
konsentrasi
kepemilikan
(OWN_CON)
menunjukkan nilai minimum sebesar 50% yang diperoleh dari PT Indofood Sukses Makmur Tbk. dimana salah satu pemegang saham terbesar yaitu CAB Holdings Limited memiliki 50,05% saham pada tahun 2009 dan 2010. Sedangkan pada tahun 2011 kepemilikan saham meningkat menjadi 50,07%. Nilai maksimum sebesar 99,7% diperoleh dari PT Bentoel International Investama, Tbk. dimana salah satu pemegang saham terbesar yaitu British American Tobacco, Ltd. memiliki 99,74% saham perusahaan pada tahun 2009. Nilai rata-rata konsentrasi kepemilikan (OWN_CON) sebesar 0,66830 atau 66,83% menunjukkan bahwa mayoritas sampel dalam penelitian ini memiliki salah satu pemegang saham terbesar dengan kepemilikan lebih dari 50% sesuai dengan pisah batas dalam penelitian sebelumnya yaitu Desender (2007)
97
dan Meisaroh dan Lucyanda (2011). Sedangkan nilai standar deviasi sebesar 0,1285 atau 12,85% dibawah nilai rata-rata sebesar 66,83%. Hal ini menggambarkan bahwa kesenjangan antara nilai maksimum dengan nilai minimum konsentrasi kepemilikan rendah. Variabel independen reputasi auditor (AUD_REP) menggunakan ukuran kantor akuntan publik (KAP) atau skala auditor dengan menggunakan variabel dummy yaitu nilai satu untuk perusahaan yang diaudit oleh KAP Big Four dan nilai nol untuk perusahaan yang diaudit oleh KAP Non Big Four. Reputasi auditor menunjukkan nilai rata-rata sebesar 0,60163 atau berkisar 60,16%. Hal ini menggambarkan bahwa lebih dari 50% sampel dalam penelitian ini telah diaudit oleh KAP Big Four. Sedangkan nilai standar deviasi sebesar 0,4915 atau 49,15% dibawah nilai rata-rata sebesar 60,13%. Hal ini menggambarkan bahwa kesenjangan antara nilai maksimum dengan nilai minimum konsentrasi kepemilikan masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan nilai rata-rata. Variabel independen komite manajemen risiko (FIRM_RMC) diproksikan dengan variabel dummy yaitu nilai satu untuk perusahaan yang memiliki komite manajemen risiko terpisah dari komite audit dan nilai nol untuk perusahaan yang memiliki komite manajemen risiko tergabung dengan komite audit maupun komite lainnya. Nilai rata-rata komite manajemen risiko (FIRM_RMC) sebesar 0,21951 atau 21,95% menunjukkan bahwa mayoritas sampel dalam penelitian ini memiliki komite manajemen risiko yang masih tergabung dengan komite audit
98
maupun komite lainnya. Dari 123 sampel dalam penelitian ini, 9 sampel diantaranya telah memiliki komite manajemen risiko yang terpisah dari komite audit seperti yang terlihat dalam tabel 4.4 berikut: Tabel 4.4 Daftar Perusahaan dengan Komite Manajemen Risiko Terpisah dari Komite Audit EMITEN PT Astra International Tbk. PT Indosat Tbk. PT Indo Tambangraya Megah Tbk. PT Jasa Marga (Persero) Tbk. PT Kalbe Farma Tbk. PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. PT Sampoerna Agro Tbk. PT Semen Gresik (Persero) Tbk. PT United Tractors Tbk.
KODE ASII ISAT ITMG JSMR KLBF PTBA SGRO SMGR UNTR
Sumber: Data diolah Variabel dependen pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM) menggunakan proksi dimensi COSO ERM Framework dengan kriteria 108 pengungkapan sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Desender (2007) dan Meisaroh, Lucyanda (2011). Nilai minimum pengungkapan ERM sebesar 0,796 atau 79,6% yang diperoleh dari tingkat pengungkapan PT Mas Murni Indonesia, Tbk. sedangkan nilai maksimum pengungkapan ERM sebesar 0,981 atau 98,1% yang diperoleh dari tingkat pengungkapan PT Kalbe Farma, Tbk. Nilai rata-rata pengungkapan ERM sebesar 0,88385 atau 88,38%. Hal ini mencerminkan bahwa mayoritas sampel dalam penelitian ini telah mengadopsi COSO ERM Framework
99
dan menerapkan manajemen risiko perusahaan serta mengungkapkan secara konsisten dalam laporan tahunannya selama periode 2009 hingga 2011. Sedangkan nilai standar deviasi sebesar 0,046603 atau berkisar 4,6% jauh di bawah nilai rata-rata sebesar 88,38%. Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan antara nilai maksimum dengan nilai minimum pengungkapan ERM sangat rendah bila dibandingkan dengan nilai rata-rata. 2. Uji Asumsi Klasik Sebelum melakukan interpretasi terhadap hasil regresi, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi klasik sehingga hasil tersebut layak digunakan. Pengujian ini diperlukan agar model regresi menjadi suatu model yang lebih representatif. Analisis data uji asumsi klasik dalam penelitian ini antara lain melalui uji normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. a.
Uji Normalitas Uji normalitas pada dasarnya bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel independen dan variabel dependen atau keduanya telah terdistribusi secara normal atau tidak. Suatu model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Dalam menguji normalitas suatu nilai residual umumnya dideteksi dengan grafik atau uji statistik. 1)
Analisis Statistik Pengujian normalitas dengan menggunakan grafik dapat menyesatkan jika tidak hati-hati karena secara visual kelihatan
100
normal tetapi secara statistik sebaliknya. Pengujian normalitas dengan menggunakan analisis statistik dapat menggunakan dua metode, yaitu: a)
Uji Skewness dan Kurtosis Uji statistik sederhana dapat dilakukan dengan melihat nilai kurtosis dan skewness dari masing-masing variabel penelitian baik variabel independen maupun variabel dependen. Skewness berhubungan dengan simetri distribusi. Sedangkan kurtosis berhubungan dengan puncak dari suatu distribusi. Hasil uji skewness dan kurtosis dapat dilihat dibawah ini: Tabel 4.5 Hasil Uji Skewness dan Kurtosis Skewness Statistic 1.224
Zskewness
OWN_CON
0.939
AUD_REP
Kurtosis
5.54164
Statistic 0.776
Zkurtosis 1.75691
4.25363
0.196
0.44475
-0.42
-1.90304
-1.854
-4.19660
FIRM_RMC
1.372
6.21234
-0.12
-0.27078
ERM
0.261
1.18037
-0.615
-1.39215
IND_COM
Valid N (listwise)
Sumber: Data sekunder diolah Hasil perhitungan Zskewness dan Zkurtosis dari beberapa variabel penelitian mendekati nilai tabel yaitu sebesar ± 1,96 dengan tingkat signifikansi 0,05. Variabel penelitian yang paling mendekati nilai tabel adalah variabel 101
dependen pengungkapan ERM (ERM), sedangkan variabel independen menunjukkan nilai Zskewness dan Zkurtosis bervariasi lebih dari nilai tabel. Hal ini disebabkan nilai skewness dari data beberapa variabel penelitian yang tidak terdistribusi normal bernilai positif dan bentuk histogram dari data tersebut berbentuk substansial positive skewness. Secara keseluruhan nilai Zkurtosis dari variabel independen dan
dependen
mendekati
nilai
tabel,
maka
dapat
disimpulkan bahwa data telah berdistribusi normal. b) Uji Kolmogrov Smirnov Hasil uji normalitas dengan menggunakan uji statistik non parametric kolmogrov-smirnov (K-S) menunjukkan nilai kolmogrov smirnov (K-S) sebesar 1,130 dengan nilai signifikansi 0,155. Hal ini menunjukkan bahwa nilai signifikansi di atas 0,05 (α> 0,05) maka tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara data yang akan diuji dengan data normal baku, artinya data yang kita uji normal karena tidak berbeda dengan normal baku dan Ho diterima. Hal ini menunjukkan bahwa model regresi memenuhi asumsi normalitas karena tingkat signifikansinya melebihi 0,05 (α > 0,05).
102
Tabel 4.6 Uji Normalitas : Nilai Kolmogrov-Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N
123
Normal Parametersa,b
Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation
.0000000 .03842592
Absolute
.102
Positive
.102
Negative
-.067
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
1.130 .155
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Sumber : Output SPSS 20 2)
Analisis grafik Dalam penelitian ini, pengujian analisis grafik dilakukan dengan menggunakan metode Probability Plot (P-Plot) atau model Uji Normalitas residual dan Grafik Histogram. Hasil Pengujian ini dapat dilihat pada gambar 4.1 dan 4.2 halaman berikutnya:
103
Gambar 4.1 Uji Normalitas : Grafik Normal Plot
Sumber: Output SPSS 20 Gambar 4.2 Uji Normalitas : Grafik Histogram
Sumber: Output SPSS 20 104
Pada gambar 4.1, grafik normal plot menunjukkan titik-titik menyebar disekitar garis diagonal dan penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Sedangkan pada gambar 4.2, grafik histogram memberikan pola distribusi yang mendekati normal. Maka dapat disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini telah terdistribusi secara normal. Terkait dengan data hasil uji normalitas, maka data tersebut akan digunakan dalam pengujian asumsi klasik yang lainnya dan uji hipotesis selanjutnya. b.
Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas ini pada dasarnya bertujuan untuk menguji apakah di dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Multikolinearitas dapat dilihat dari perhitungan nilai tolerance serta Varian Inflation Factor (VIF). Suatu model regresi dikatakan
tidak
memiliki
kecenderungan
adanya
gejala
multikolinearitasadalah apabila memiliki nilai VIF yang lebih kecil dari 10 dan Tolerance lebih besar dari 0,10 (Ghozali, 2011). Hasil pengujian model regresi diperoleh nilai-nilai VIF untuk masingmasing variabel ini dapat dilihat dari tabel 4.7 pada halaman berikutnya:
105
Tabel 4.7 Uji Multikolinearitas Coefficientsa Model
Collinearity Statistics Tolerance
VIF
Keputusan
(Constant)
1
AUD_REP
.883
1.133
FIRM_RMC
.848
1.180
IND_COM
.951
1.051
OWN_CON
.956
1.046
Tidak ada multikolinearitas Tidak ada multikolinearitas Tidak ada multikolinearitas Tidak ada multikolinearitas
Sumber: Data sekunder diolah Dari tabel 4.7 diatas menunjukkan bahwa semua variabel independen memiliki nilai Tolerance> 0,10 dan VIF < 10. Hasil perhitungan nilai Tolerance juga menunjukkan tidak ada variabel independen yang memiliki nilai Tolerance kurang dari 0,10 yang berarti tidak ada korelasi antar variabel independen. Maka dapat disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini telah terbebas dari masalah multikolinearitas. Hal ini menunjukkan bahwa semua variabel bebas tersebut layak digunakan sebagai prediktor. c.
Uji Heteroskedastisitas Model regresi yang baik adalah model yang homoskodestisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Dalam penelitian ini, uji heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan analisis grafik scatter plot antara nilai prediksi variabel terikat ZPRED dengan
106
residualnya SRESID. Dari grafik scatter plot terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi (Ghozali, 2011). Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Model regresi yang baik adalah model regresi yang terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Untuk menentukan
heteroskedastisitas
dapat
menggunakan
grafik
scatterplot. Hasil uji heteroskedastisitas dengan menggunakan grafik scatterplot ditunjukkan pada gambar 4.3 berikut: Gambar 4.3 Uji Heteroskedastisitas – Grafik Scatterplot
Sumber: Output SPSS 20 Gambar uji scatterplot diatas menunjukkan bahwa data sampel tersebar secara acak dan tidak membentuk suatu pola tertentu. Data
107
tersebar baik berada di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini menunjukkan tidak terdapat heteroskedastisitas dalam model regresi yang digunakan sehingga layak dipakai untuk kemudian dilanjutkan ke pengujian hipotesis. d.
Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode
t
dengan
kesalahan
pengganggu
pada
periode
t-1
(sebelumnya) jika terjadi korelasi, maka dinyatakan terdapat masalah autokorelasi (Ghozali, 2011). Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin Watson (D-W). Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode tertentu dengan periode sebelumnya. Model regresi yang baik adalah model regresi yang bebas dari masalah autokorelasi. Selengkapnya mengenai hasil uji autokorelasi penelitian dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini: Tabel 4.8 Uji Autokorelasi Model Summaryb Change Statistics Model 1
R Square Change F Change df1 .320 13.891 4
Sig. F Durbindf2 Change Watson 118 .000 1.922
a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC b. Dependent Variable: ERM
Sumber: Output SPSS 20
108
Dari tabel 4.8 di atas menunjukkan bahwa nilai D-W sebesar 1,922. Dengan jumlah predictors sebanyak 4 buah (k=4) dan sampel sebanyak 123 sampel (n=123), berdasarkan tabel D-W dengan tingkat signifikansi 5% dapat ditentukan nilai batas atas (du) adalah sebesar 1,76. Dengan demikian, berdasarkan nilai du < d < 4-du menunjukkan bahwa nilai DW 1,922 lebih besar dari batas atas (du) 1,76 dan kurang dari 2,24 (4-1,76), maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi positif atau negatif. Untuk memperkuat hasil penelitian ini maka digunakan uji run test, di mana gangguan autokorelasi terjadi jika signifikansi di bawah 0,05. Berikut adalah pengujian autokorelasi dengan menggunakan run test pada tabel 4.9 berikut ini: Tabel 4.9 Uji Autokorelasi-Run Test Runs Test Unstandardized Residual a Test Value -.00435 Cases < Test Value 61 Cases >= Test Value 62 Total Cases 123 Number of Runs 69 Z 1.178 Asymp. Sig. (2-tailed) .239 a. Median Sumber : Output SPSS 20 Dari
hasil
pengujian
yang
diperoleh
dalam
tabel
4.9
menunjukkan nilai test adalah -0,00435 dengan probabilitas 0,239 yang berarti diatas tingkat signifikansi 0,05 (0,239> 0,05). Hal ini
109
menunjukkan bahwa nilai residual acak atau random, sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini tidak terjadi autokorelasi antar nilai residual. 3. Koefisien Determinasi Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi (R2) adalah nol sampai dengan satu. Apabila angka koefisien determinasi semakin mendekati satu maka pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen adalah semakin kuat, yang berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali,2011). Pengujian goodness of fit dari model regresi yang diperoleh dari nilai adjusted R2diperoleh sebagai berikut: Tabel 4.10 Uji Goodness of Fit Koefisien Determinasi Model Summaryb Model 1
R R Square a .566 .320
Adjusted R Square .297
Std. Error of the Estimate .039072
a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC b. Dependent Variable: ERM
Sumber: Output SPSS 20 Dari tampilan output SPSS 20 terlihat bahwa besarnya nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,566 menunjukkan bahwa derajat hubungan (korelasi) antara variabel independen dengan variabel dependen sebesar
110
56,6%. Hal ini juga membuktikan bahwa pengungkapan ERM (ERM) mempunyai hubungan yang kuat (0,51 – 0,75) dengan komisaris independen (IND_COM), komite manajemen risiko (FIRM_RMC), reputasi auditor (AUD_REP) dan konsentrasi kepemilikan (OWN_CON) dengan nilai koefisien korelasi berada antara 0,51 sampai dengan 0,75 (0,51 – 0.75), sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan kuat antara variabel dependen dengan variabel independen. Adapun besarnya adjusted R2 diperoleh sebesar 0,297. Hal ini berarti bahwa hanya 29,7%, dari variabel dependen yaitu pengungkapan ERM (ERM) dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen yaitu komisaris independen (IND_COM), komite manajemen risiko (FIRM_RMC), reputasi auditor (AUD_REP) dan konsentrasi kepemilikan (OWN_CON), sedangkan sisanya sebesar 70,3% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model regresi. Hal ini mencerminkan bahwa masih rendah atau lemahnya kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel
dependen.
Adapun
variabel
lain
yang
mungkin
dapat
mempengaruhi pengungkapan ERM yaitu ukuran perusahaan, latar belakang dan keahlian dewan komisaris, komite audit, scope bisnis perusahaan. 4. Pengujian Hipotesis Uji hipotesis dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengungkapan ERM, sedangkan
111
variabel independen dalam penelitian ini adalah komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikian. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji F untuk uji simultan dan uji t untuk uji parsial. a.
Pengujian secara Simultan (Uji F) Ha5: Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara simultan terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM). Uji simultan dapat diketahui dengan melakukan uji statistik F. Uji statistik F digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen secara bersama-sama atau simultan dapat mempengaruhi variabel independen (Ghozali, 2011). Uji statistik F dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut ini: Tabel 4.11 Uji Simultan (F test) ANOVAb Model 1 Regression Residual Total
Sum of Squares .085 .180 .265
df 4 118 122
Mean Square F .021 13.891
Sig. .000a
.002
a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC b. Dependent Variable: ERM
Sumber: Output SPSS 20 Dari tabel 4.11 menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 13,891 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Hal ini menandakan bahwa
112
model regresi dapat digunakan untuk memprediksi
variabel
pengungkapan ERM, karena nilai signifikansi < alpha (α = 5%). Maka dapat disimpulkan Ha5 diterima yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara komisaris independen, komite
manajemen
risiko,
reputasi
auditor
dan
konsentrasi
kepemilikan serta berpengaruh secara bersama-sama atau simultan terhadap pengungkapan ERM. b.
Pengujian secara Parsial (Uji t) Dari hasil pengujian terhadap asumsi klasik, diperoleh model regresi tersebut telah memenuhi asumsi normalitas, multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menguji model persamaan regresi secara parsial terhadap masing-masing variabel bebas. Hasil pengujian model regresi secara parsial diperoleh sebagai berikut: Tabel 4.12 Uji Parsial (t Test) Coefficientsa
Model 1 (Constant) IND_COM FIRM_RMC AUD_REP OWN_CON
Unstandardized Coefficients Std. B Error
.813 .006 .035 .036 .059
.025 .031 .009 .008 .028
Standardized Coefficients Beta
.014 .315 .375 .162
t 33.060 .184 3.820 4.648 2.081
Sig. .000 .855 .000 .000 .040
a. Dependent Variable: ERM
Sumber: Output SPSS 20
113
Untuk melihat besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dapat dilihat dari nilai beta unstandardized, sedangkan untuk melihat dominasi variabel independen terhadap variabel dependen tercermin pada beta standardized. Berdasarkan tabel uji parsial (t test) maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : ERM = 0,813 + 0,006 IND_COM + 0,035 FIRM_RMC + 0,036 AUD_REP + 0,059 OWN_CON + ε Dari persamaan regresi diatas dapat diketahui bahwa konstanta sebesar 0,813 menyatakan bahwa jika variabel independen dianggap konstan, maka rata-rata pengungkapan ERM (ERM) sebesar 0,813. Variabel IND_COM, FIRM_RMC, AUD_REP dan OWN_CON memiliki koefisien regresi dengan arah positif. Hal ini berarti bahwa perusahaan dengan
IND_COM, FIRM_RMC, AUD_REP
dan
OWN_CON yang tinggi akan menyajikan pengungkapan ERM yang tinggi dalam laporan tahunannya. Hasil pengujian signifikansi variabel bebas secara parsial sebagaimana pada pembahasan berikut: 1) Variabel Komisaris Independen Ha1:
Komisaris
independen
memiliki
pengaruh
yang
signifikan secara parsial terhadap pengungkapan ERM Pengujian hipotesis mengenai pengaruh variabel komisaris independen terhadap pengungkapan ERM menunjukkan koefisien
114
regresi sebesar 0,006 yang berarti setiap penambahan satu komisaris independen akan meningkatkan pengungkapan ERM sebesar 0,006. Nilai t hitung sebesar 0,184 dengan nilai signifikansi sebesar 0,855 yang berada di atas 0,05. Ini berarti menunjukkan bahwa
komisaris
independen
tidak
berpengaruh
terhadap
pengungkapan ERM. Hal ini mungkin disebabkan karena kualitas fungsi pengawasan bukan ditentukan oleh tingkat independensi tetapi lebih ditentukan oleh kualitas dan latar belakang pendidikan anggota dewan komisaris. Pengangkatan komisaris independen dilakukan
untuk
melaksanakan
memenuhi
good
regulasi
corporate
semata,
governance
tidak
(Meisaroh
untuk dan
Lucyanda, 2011). Latar belakang pendidikan dan keahlian dewan komisaris selain berhubungan dengan keuangan dan manajerial, hendaknya juga memiliki keahlian untuk menganalisis adanya peristiwa yang berasal dari eksternal perusahaan, seperti peristiwa ekonomi makro dan mikro. Hal ini dibuktikan dengan adanya krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008 bahwa gejolak ekonomi makro dan mikro berpotensi mengganggu stabilitas keuangan
perusahaan
dan
menimbulkan
risiko
baru
jika
perusahaan tidak dapat mengelola risiko dengan baik. Untuk itu, jajaran dewan komisaris dan direksi lebih baik juga diutamakan memiliki keahlian di bidang ekonomi makro dan mikro.
115
Selain itu, ketentuan mengenai proporsi komisaris independen sebesar 30% mungkin belum cukup tinggi bagi komisaris untuk mendominasi kebijakan perusahaan termasuk dalam penerapan ERM (Andarini dan Indira, 2010). Hasil penelitian ini mendukung penelitian Dionne dan Thouraya (2004), Andarini dan Indira (2010) dan Meisaroh dan Lucyanda (2011) yang menunjukkan kehadiran komisaris independen tidak berpengaruh pada tingkat adopsi ERM. Dengan demikian hipotesis alternatif pertama yang menyatakan komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan ERM ditolak. 2) Variabel Komite Manajemen Risiko Ha2: Komite manajemen risiko yang terpisah dari audit memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan ERM Pengujian hipotesis mengenai pengaruh variabel komite manajemen risiko terhadap pengungkapan ERM menunjukkan koefisien regresi sebesar 0,035 yang menunjukkan bahwa setiap penambahan satu komite manajemen risiko akan meningkatkan pengungkapan ERM sebesar 0,035. Nilai t hitung sebesar 3,820 dengan signifikansi sebesar 0,000. Dengan nilai signifikansi di bawah 0,05 maka hal ini berarti bahwa komite manajemen risiko memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan ERM. Dengan demikian hipotesis alternatif dua yang menyatakan
116
bahwa interaksi antara komite manajemen risiko yang terpisah dari audit memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan ERMditerima. Dalam penelitian ini, komite manajemen risiko yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM adalah komite yang terpisah dari audit dan berdiri sendiri. Hal ini disebabkan, perusahaan yang memiliki RMC yang terpisah dari audit dan berdiri sendiri lebih independen dan dapat lebih banyak mencurahkan
waktu,
tenaga
maupun
kemampuan
untuk
mengevaluasi seluruh pengendalian internal dan menangani risiko yang mungkin terjadi, RMC yang terpisah dari audit memiliki kinerja pengawasan dan penilaian risiko yang lebih terstruktur serta dapat melakukan kajian atas risiko secara mendalam. Selain itu, sebagian besar anggota RMC memiliki latar belakang pendidikan di bidang akuntansi dan keuangan, serta sebagian lagi memiliki latar belakang pendidikan sesuai aktivitas bisnis perusahaan. Kombinasi ini merupakan sumber daya penting bagi RMC untuk membantu komisaris dalam menjalankan pengawasan manajemen risiko dan memahami profil risiko perusahaan (Andarini dan Indira, 2010). Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Subramaniam, et al.(2009), yang menyatakan bahwa komite terpisah yang secara khusus berfokus pada masalah risiko (RMC), dinilai dapat menjadi
117
mekanisme yang efektif dalam mendukung dewan komisaris untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam tugas pengawasan dan pengendalian
internal
serta
manajemen
risiko
perusahaan
(Subramaniam, et al., 2009).
3) Variabel Reputasi Auditor Ha3: Reputasi auditor memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan ERM Pengujian hipotesis mengenai pengaruh variabel reputasi auditor terhadap pengungkapan ERM menunjukkan koefisien regresi sebesar 0,036 dan nilai t hitung sebesar 4,648 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 yang berada di bawah 0,05. Hal ini berarti bahwa reputasi auditor memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan ERM. Dengan demikian hipotesis alternatif tiga yang menyatakan bahwa reputasi auditor memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan ERM diterima. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Beasley et al. (2005), Desender (2007), Chen et al. (2009)
dan Meisaroh
Lucyanda (2011) yang menemukan adanya pengaruh Big Four sebagai eksternal auditor dengan tingkat adopsi ERM. Alasan yang mungkin mendasari adalah Big Four biasanya membantu internal auditor dalam mengevaluasi dan menilai keefektifan manajemen
118
risiko. Hal ini karena Big Four dianggap memiliki keahlian untuk mengidentifikasi risiko sehingga meningkatkan kualitas penilaian dan pengawasan risiko perusahaan. Selain itu terdapat tekanan yang lebih besar pada perusahaan yang diaudit Big Four untuk menerapkan dan mengungkapkan ERM (Meisaroh dan Lucyanda, 2011). Dalam kasus ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang sangat bergantung pada manajemen risiko perusahaan telah mengungkapkan ERM secara konsisten dalam laporan tahunannya dan menunjukkan bahwa auditor dengan reputasi baik mendorong lingkup audit yang lebih besar dalam rangka untuk memastikan tingkat yang tepat dari kualitas kontrol internal. Temuan ini relevan, karena sinyal bahwa kehadiran sistem pengendalian internal dan penerapan praktik manajemen risiko tidak hanya menciptakan kondisi untuk pengawasan internal yang lebih baik, tetapi juga memfasilitasi pekerjaan auditor eksternal, yang berarti pengurangan jumlah waktu yang dibutuhkan oleh auditor eksternal (Desender, 2010). 4) Variabel Konsentrasi Kepemilikan Ha4 : Konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan ERM
119
Pengujian hipotesis mengenai pengaruh variabel konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan ERM menunjukkan koefisien regresi sebesar 0,059 dan nilai t hitung sebesar 2,081 dengan nilai signifikansi sebesar 0,040 yang berada di bawah 0,05. Hal ini berarti bahwa konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan ERM. Dengan demikian hipotesis alternatif empat yang menyatakan bahwa konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan ERM diterima. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Demsetz dan Lehn (1985), Shleifer dan Vishny (1986) dan Meisaroh dan Lucyanda (2011) yang menyatakan bahwa salah satu cara meningkatkan kualitas manajemen risiko adalah memastikan adanya atau setidaknya satu pemegang saham besar dalam perusahaan. Bukti ini menunjukkan bahwa perusahaan dengan kepemilikan
saham
yang
terkonsentrasi
memiliki
tingkat
pengungkapan manajemen risiko yang lebih tinggi. Semakin besar tingkat konsentrasi kepemilikan dalam perusahaan maka semakin kuat tuntutan untuk mengidentifikasi risiko yang mungkin dihadapi seperti risiko keuangan, operasional, reputasi, peraturan, dan risiko informasi (Meisaroh dan Lucyanda, 2011). Perusahaan yang memiliki setidaknya satu pemegang saham besar akan cenderung mengungkapkan ERM secara konsisten
120
dalam laporan tahunannya. Demsetz dan Lehn (1985) menyatakan bahwa perusahaan dengan situasi dan kondisi lingkungan yang lebih pasti, cenderung menyebabkan tingkat pengawasan internal rendah. Dengan adanya satu atau lebih pemegang saham besar dalam perusahaan diharapkan mampu meningkatkan pengawasan dalam perusahaan, mengingat situasi dan kondisi lingkungan saat ini tidak dapat diprediksi. Selain itu, investor besar memiliki insentif untuk berinteraksi lebih dekat dengan sistem pengawasan dan pengendalian manajemen, dalam rangka untuk mengurangi biaya agensi dan meningkatkan peran pengawasan mereka dalam perusahaan dimana mereka berinvestasi (Desender, 2010).
121
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh komisaris independen, komite manajemen risiko (RMC), reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM). Dari lima hipotesis yang diajukan, hanya empat hipotesis yang diterima dan satu hipotesis lainnya ditolak. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1.
Komisaris Independen tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap Pengungkapan ERM. Hal ini berarti bahwa peningkatan atau penurunan
komisaris
independen
tidak
berpengaruh
terhadap
pengungkapan ERM. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Dionne dan Thouraya (2004), Andarini dan Indira (2010) dan Meisaroh dan Lucyanda (2011) yang menunjukkan kehadiran komisaris independen tidak berpengaruh pada tingkat adopsi ERM. 2.
Komite Manajemen Risiko (RMC) yang terpisah dari audit memiliki pengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap Pengungkapan ERM. Hal ini berarti bahwa dengan adanya RMC yang terpisah dengan komite lainnya berpengaruh secara langsung terhadap pengungkapan ERM. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011).
122
3.
Reputasi Auditor dengan proksi KAP Big Four memiliki pengaruh positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan atau penurunan jasa audit oleh KAP Big Four berpengaruh secara parsial terhadap pengungkapan ERM. Temuan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011).
4.
Konsentrasi Kepemilikan menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan. Hal ini berarti peningkatan atau penurunan dari konsentrasi kepemilikan berpengaruh secara parsial terhadap pengungkapan ERM. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Demsetz dan Lehn (1985), Shleifer dan Vishny (1986) dan Meisaroh dan Lucyanda (2011) yang menyatakan bahwa salah satu cara meningkatkan kualitas manajemen risiko adalah memastikan adanya atau setidaknya satu pemegang saham besar dalam perusahaan.
5.
Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Pengungkapan ERM. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan secara bersama-sama (serentak) terhadap Pengungkapan ERM.
B. Implikasi Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dijadikan implikasi bagi ilmu pengetahuan dan beberapa pihak diantaranya yaitu perusahaan, investor, pemerintah, akuntan publik, akademisi dan peneliti serta pembaca lainnya.
123
1.
Bagi Ilmu Pengetahuan Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti manajemen perusahaan, pemerintah, investor dan analis pasar modal, akuntan publik dan akademisi, peneliti serta pembaca. Selain itu, temuan ini dapat memperkuat serta memperluas penelitian sebelumnya terutama mengenai pengaruh komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan ERM.
2. Bagi Manajemen Perusahaan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengungkapan ERM erat kaitannya dengan penerapan good corporate governance. Apabila dilaksanakan dengan efektif, manajemen risiko dapat menjadi sebuah kekuatan bagi pelaksanaan good corporate governance yang dapat diterapkan menjadi budaya organisasi. Oleh karena itu, setiap perusahaan hendaknya meningkatkan kualitas dan kuantitas pengungkapan ERM sesuai dengan kerangka ERM yang dikeluarkan COSO. Hal ini mengingat semakin kompleksnya aktivitas dunia usaha serta tingginya tantangan bisnis yang harus dihadapi perusahaan sehingga semakin mempertegas pentingnya manajemen risiko yang dapat diandalkan. Selain itu, menjadi penting bagi perusahaan untuk menempatkan jajaran dewan komisaris dan direksi dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang tidak hanya berhubungan dengan keuangan dan manajerial, tetapi
124
juga memiliki keahlian untuk menganalisis adanya peristiwa yang berasal dari eksternal perusahaan, seperti peristiwa ekonomi makro dan mikro. 3.
Bagi Profesi Akuntan Publik Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi akuntan publik untuk lebih memahami dan mendorong perusahaan untuk menerapkan manajemen risiko perusahaan sebagai bahan pertimbangan dalam menilai efektivitas pengendalian internal perusahaan dan memberikan opini audit yang sesuai. Selain itu, temuan ini dapat dijadikan sebagai sarana evaluasi auditor eksternal atau akuntan publik dalam melaksanakan audit atas suatu laporan keuangan sehingga dapat menghasilkan laporan audit yang berkualitas yang dapat meningkatkan nilai perusahaan.
4. Bagi Investor dan Analis Pasar Modal Harapan setiap investor adalah mendapatkan profit atau keuntungan dari setiap investasi yang dilakukannya. Dengan adanya temuan ini, setiap investor diharapkan untuk lebih menyadari pentingnya penerapan manajemen risiko perusahaan, mengingat situasi dan kondisi dalam dunia bisnis yang tidak pasti sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para investor sebelum mengambil keputusan untuk melakukan investasi selanjutnya. 5.
Bagi Regulator (Pembuat Kebijakan) Dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat berguna bagi pemerintah dan pihak regulator yang terkait dengan arti penting
125
penerapan manajemen risiko bagi perusahaan non financial di Indonesia sebagai tinjauan untuk mengkaji ulang penerapan manajemen risiko pada perusahaan non financial. C. Saran Peneliti menyadari adanya beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, maka penulis dapat mengemukakan beberapa saran yang dapat digunakan untuk semua pihak terutama yang akan melakukan penelitian serupa: a. Indikator penelitian dapat diganti dengan proxy yang lain ataupun ditambah dengan variabel yang lain seperti ukuran perusahaan, latar belakang dan keahlian dewan komisaris, komite audit, scope bisnis perusahaan. Pengungkapan ERM dimensi COSO ERM framework dapat dipertahankan atau diganti dengan kriteria lain sesuai dengan adopsi ERM terbaru seperti ISO 31000 yang telah diterapkan oleh beberapa perusahaan mulai tahun 2011. Selain data sekunder juga menggunakan data yang lain seperti kuesioner ataupun interview untuk mengetahui informasi lebih lengkap mengenai keberadaan dan struktur RMC. b.
Perlu mempertimbangkan sampel yang lebih luas dengan menambah sampel penelitian. Hal ini dimaksudkan agar kesimpulan yang dihasilkan dari peneliti tersebut memiliki cakupan yang lebih luas, sehingga mungkin akan didapatkan hasil yang lebih kuat dan akurat.
c.
Sebaiknya objek penelitian ditambah menjadi seluruh perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasi dan lebih menjelaskan variabilitas data yang sesungguhnya.
126
DAFTAR PUSTAKA Andarini, Putri dan Indira Januarti. “Hubungan Karakteristik Dewan Komisaris dan Perusahaan terhadap Pengungkapan Risk Management Committee (RMC) pada Perusahaan Go Public Indonesia”. Simposium Nasional Akuntansi 13 Purwokerto, 2010. Bank Indonesia.”Peraturan Bank Indonesia No.8/4/PBI/206 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum”. Jakarta, 2006. Bank Indonesia. “Peraturan Bank Indonesia No.14/24/PBI/2012 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia”. Jakarta, 2012. Bapepam. “Keputusan Badan Pengawas Pasar Modal No.05/PM/2002 Tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka”. Jakarta, 2002. Bappenas. “Krisis Keuangan Eropa: Dampak Terhadap Perekonomian Indonesia”. Tinjauan Ekonomi Triwulanan. Triwulan IV. Jakarta, 2011. Barton.“The effect of Corporate Governance on The Use of Enterprise Risk Management”. Risk Management and Insurance Review. Vol 6 (1), pages 53–73, 2003. Bates, William E., dan Robert J. Leclerc. “Boards of Directors and Risk Committees”. The Corporate Governance Advisor. Vol. 17, No.6, 2009. Beasley, Mark. “An Empirical Analysis of the Relation between the Board of Director Composition and Financial Statement Fraud”. The Accounting Review 71, pages 443-465, 1996. Beasley, Mark., Clune R. dan Hermanson, D. R. “Enterprise Risk Management: An Empirical Analysis of Factors Associated with the Extent of Implementation”. Journal of Accounting and Public Policy, Vol.24 (6), pages 521-531, 2005. Benardi, Meliana dkk. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan dan Implikasinya terhadap Asimetri Informasi”. SNA XII. Palembang, 2012. Chen, J. “Ownership Structure as Corporate Governance Mechanism: Evidence from Chinese Listed Companies”. Economic of Planning 34, pg 53-72. 2001.
127
Chen, Gongmeng, Michael Firth, Daniel N.Gao and Oliver M.Rui. “Ownership structure, Corporate Governance, and Fraud: Evidence from
China”.
Journal of Corporate finance. 2005. Chen, Key,Y, Kuen Lin Lin, Jian Zhou. “Audit Quality and Earnings Management for Taiwan IPO Firms”. Managerial Auditing Journal, Vol 20.1.pp.86-104. 2005. Chen, Li, Kilgore A. dan R. Radich. “Audit Committees: Voluntary Formation by ASX Non-Top 500”. Managerial Auditing Journal, Vol. 24, No. 5, pages 475-493, 2009. Craswell, Allen T., Jere R. Francis dan Stephen L. Taylor. “Auditor Brand Name and Reputations and Industry Specialization”. Journal of Accounting and Economics (20). 297-322. 1995. Committee of the Sponsoring Organizations of the Treadway Commission. Enterprise Risk Management, Integrated Framework (COSO-ERM Report). New York: AICPA, 2004. Dallas, George. “Governance and Risk. Analytical Hand books for Investors, Managers, Directors and Stakeholders”. p.21. Standard and Poor. Governance Services, MC. Graw Hill. New York. 2004. Dechow, R.G.Sloan and A.P Sweeney. “Detecting Earnings Management”. The Accounting Review, Vol 70, No.2, hal 193-225. 1995. Demsetz, H. dan K. Lehn. “The Structure of Corporate Ownership: Causes and Consequences”. Journal of Political Economy, Vol.93, pages 1155–1177, 1985. Departemen Komunikasi dan Informatika. “Memahami Krisis Keuangan Global, Bagaimana Harus Bersikap”. Jakarta, 2008. Desender, Kurt. “On The Determinants of Enterprise Risk Management Implementation”. Information Resources Management Association Annual Meeting Paper, 2007. Desender, Kurt. “The Relationship between Enterprise Risk Management and External Audit Fees: Are They Complements or Substitutes?”. 2010. www.ssrn.com/id1484862.
128
Dionne, Georges dan Thouraya Triki. “On Risk Management Determinants: What Really Matters?” Working Paper. Canada Research Chair in Risk Management. HEC Montréal, 2004. Fama, E. F. dan M. C. Jensen. “Agency Problems and Residual Claims”. Journal of Law and Economics, Vol.26(2): pages 327-349, 1983. Fathimiyah, Venny dkk. “Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Risk Management Disclosure (Studi Survei Industri Perbankan yang Listing di Bursa Efek Indonesia Tahun 2008-2010)”, 2012. Ghozali, Imam. “Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011. Gunarsih, T. (2002). Struktur Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan: Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Strategi Diversifikasi Terhadap Kinerja Perusahaan. Unpublished Disertasi, UGM, Yogyakarta. Hamid, Abdul. “Panduan Penulisan Skripsi”. Cetakan 1, Grafika Karya Utama, Jakarta, 2007. Hendriksen, Eldon S., dan Breda, Michael F. Van. “Teory Accounting”. Edisi kelima. Terjemahan Hermawan Wibowo. Penerbit Interaksara. Batam. Herawaty, Vinola. “Peran Praktek Corporate Governance sebagai Moderating Variable dari Pengaruh Earnings Management terhadap Nilai Perusahaan" , Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 10, No. 2, pp. 97108, 2008. Hermalin, Benjamin dan Michael Weisbach. “The Effects of Board Composition and Direct Incentives on Firm Performance”. Financial Management Journal. Vol.20, Iss.4, pages 101-112, 2003. IAI. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.38 (Revisi 2011): Kombinasi Bisnis Entitas Sepengendali, IAI, Jakarta, 2011. IAI. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.60 (Revisi 2010): Instrumen Keuangan: Pengungkapan, IAI, Jakarta, 2010. Indriantoro, Nur dan Supomo, Bambang. “Metodologi Penelitian Bisnis, Untuk Akuntansi dan Manajemen”. Edisi 1, BPFE Yogyakarta, 2002. Jensen, M.C. and Meckling, W.H. “Theory of the firm: managerial behavior, agency cost, and ownership structure”, Journal of Financial Economics, Vol. 76, pp. 305-360, 1976.
129
Kleffner, A., R. Lee dan B. Mc Gannon. “The Effect of Corporate Governance on the Use of Enterprise Risk Management: Evidence from Canada”. Risk Management and Insurance Review, Vol.6 (1), pages 53–73, 2003. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). "Pedoman Penerapan Manajemen Risiko Berbasis Governance", 2011. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. “Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Saham) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”. Jakarta, 2011. Lam, J. “The CRO is Here to Stay”. Risk Management, Vol. 48 (4) (April), pages 16-22, 2001. La Porta, R. F., Lopez-De-Silanes, A., Shleifer, R.W., Vishny. (2000). Agency Problems and Dividend Policies Around The World. CD-Room, STIE Malangkucecwara, Malang. La Porta, R. F., Lopez-De-Silanes; A., Shleifer; R.W., Vishny. (2000) Investor Protection and Corporate Governance. Liebenberg, A dan R. Hoyt. “The Determinants of Enterprise Risk Management: Evidence from the Appointment of Chief Risk Officers”. Risk Management and Insurance Review, Vol.6 (1), pages 37–52, 2003. Matsumura, E. M. dan R. Tucker. “Fraud Detection: A Theoretical Foundation”. Accounting Review, Vol.67, pages 753–782, 1992. Meizaroh dan Jurica Lucyanda. “Pengaruh Corporate Governance dan Konsentrasi Kepemilikan pada Pengungkapan Enterprise Risk Management”. Simposium Nasional Akuntansi XIV. Banda Aceh, 2011. Meulbroek, Lisa K. “Integrated Risk Management for The Firm: A Senior Manager’s Guide”, 2002. www.ssrn.com.id301331 Miccolis, J. dan Shah S. “Enterprise risk management: An Analytic Approach”. Tillinghast – Towers Perrin, 2000. www.tillinghast.com. Namoga, Morris O. “Board Size, Board Process, and Board Performance: Empirical Evidence from Pasific Island Countries”. The 3’rd International Accounting and The 2’nd Doctoral Colloquium. Bali-Indonesia, 2010.
130
Nuryaman. “Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Mekanisme Corporate Governance terhadap Manajemen Laba”. SNA XI. Pontianak, 2008. O´Sullivan, N. “Insuring the Agents: The Role of Directors and Officers Insurance in Corporate Governance”. Journal of Risk and Insurance, Vol.64 (3), pages 545-556, 2007. Peasnell, Ken, Peter Pope, Steve Young. “Board Monitoring and Earnings Management: Do Outside Directors Influence Abnormal Accruals ?”. Working Paper. The Department of Accounting and Finance Lancaster University Management Scholl, Lancaster, UK. 2001. PricewaterhouseCoopers. “Mandatory Rotation of Audit Firms: Will It Improve Audit Quality?”. New York: Pricewaterhouse Coopers LLP, 2002. Restuningdiah, Nurika. “Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, Internal Audit, dan Risk Management Committee terhadap Manajemen Laba”. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol.15, No.3, hlm.351-362, 2011. Rini dan Aida. “Pengaruh Kepemilikan Saham Minoritas (Publik) dan Kepemilikan Saham Mayoritas (Pemilik Saham Terbesar) Terhadap Kebijakan Dividen”. SN KNA Trisakti. Jakarta, 2006. Shleifer. A. dan R. Vishny. “Large Shareholders and Corporate Control”. Journal of Political Economy, pages 461-488, 1986. Subramaniam, Nava., L. McManus. dan Jiani Zhang. “Corporate Governance, Firm Characteristics, and Risk Management Committee Formation in Australia Companies”. Managerial Auditing Journal, Vol. 24, No. 4, pages 316-339, 2009. Sutedi, Adrian. “Good Corporate Governance”. Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Surya, Indra dan Ivan Yustivandana. “Penerapan Good Corporate Governance, Mengesampingkan Hak-Hak istimewa Demi Kelangsungan Usaha”. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008. Walker, P. L., Shenkir, W. G. dan Barton, T. L. “Enterprise Risk Management: Putting it all together”. Institute of Internal Auditors Research Foundation, Altamonte Springs, FL, 2002. Watts, R. L. dan J. L. Zimmerman. “Positive Accounting Theory”. Englewood Cliffs, NJ:Prentice-Hall, 1986.
131
Zahra, S. A. dan Pearce, J. A. “Boards of Directors and Corporate Financial Performance: A Review and Integrative Model”. Journal of Management, Vol.15(2), pages 291-334, 1989. Zainal, Arifin., dan Nina Rahmawati. “ Pengaruh Corporate Governance terhadap Efektifitas Mekanisme Pengurang Masalah Agensi”, Jurnal Siasat Bisnis, Vol. 11, No.3, pp. 237-247, 2006.
132
LAMPIRAN - LAMPIRAN
133
Lampiran 1: Dimensi Pengungkapan Enterprise Risk Managements No
Dimensi Manajemen Risiko Perusahaan
Kode
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
A. Lingkungan internal Apakah ada pedoman kerja (charter) dewan? Informasi tentang kode etik / etika? Informasi tentang bagaimana kebijakan kompensasi menyelaraskan kepentingan manajer dengan pemegang saham? Informasi tentang target kinerja individu? Informasi tentang prosedur pengangkatan dan pemecatan anggota dewan dan manajemen? Informasi tentang kebijakan remunerasi anggota dewan dan manajemen? Informasi tentang program pelatihan, pembinaan dan pendidikan? Informasi tentang pelatihan dalam nilai-nilai etis? Informasi tentang tanggung jawab dewan? Informasi tentang tanggung jawab komite audit? Informasi tentang tanggung jawab CEO? Informasi tentang eksekutif senior yang bertanggung jawab untuk manajemen risiko? Informasi tentang pengawasan dan manajerial?
A.1 A.2 A.3 A.4 A.5 A.6 A.7 A.8 A.9 A.10 A.11 A.12 A.13
14 15 16 17 18
B. Tujuan Mengatur Informasi tentang misi perusahaan? Informasi tentang strategi perusahaan? Informasi tentang tujuan bisnis perusahaan? Informasi tentang benchmark diadopsi untuk mengevaluasi hasil? Informasi tentang persetujuan strategi dengan dewan?
B.14 B.15 B.16 B.17 B.18
134
19
20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Informasi tentang hubungan antara strategi, tujuan, dan nilai pemegang saham? C. Identifikasi Kejadian Risiko Keuangan Informasi tentang tingkat likuiditas? Informasi tentang tingkat suku bunga? Informasi tentang kurs mata uang asing? Informasi tentang belanja modal? Informasi tentang akses ke pasar modal? Informasi tentang instrumen jangka panjang utang? Informasi tentang risiko default? Informasi tentang risiko solvabilitas? Informasi tentang risiko harga ekuitas? Informasi tentang risiko komoditas? Risiko Kepatuhan Informasi tentang masalah litigasi? Informasi tentang kepatuhan terhadap peraturan? Informasi tentang kepatuhan dengan kode industri? Informasi tentang kepatuhan dengan kode sukarela? Informasi tentang kepatuhan dengan rekomendasi Corporate Governance? Risiko Teknologi Informasi tentang pengelolaan data? Informasi tentang sistem komputer?
B.19
C.20 C.21 C.22 C.23 C.24 C.25 C.26 C.27 C.28 C.29 C.30 C.31 C.32 C.33 C.34 C.35 C.36
135
41 42 43 44
Informasi tentang privasi informasi yang berkaitan dengan pelanggan? Informasi tentang keamanan perangkat lunak? Risiko Ekonomis Informasi tentang sifat persaingan? Informasi tentang makro-ekonomi peristiwa yang dapat mempengaruhi perusahaan? Risiko reputasi Informasi tentang isu-isu lingkungan? Informasi tentang masalah etika? Informasi tentang kesehatan dan isu-isu keselamatan? Informasi tentang saham yang lebih rendah / tinggi atau peringkat kredit?
45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
D. Penilaian Risiko Penilaian risiko tingkat likuiditas? Penilaian risiko suku bunga? Penilaian risiko nilai tukar asing? Penilaian risiko dari belanja modal? Penilaian risiko dari akses ke pasar modal? Penilaian risiko instrumen utang jangka panjang? Penilaian risiko default? Penilaian risiko solvabilitas? Penilaian risiko harga ekuitas? Penilaian risiko komoditas? Penilaian risiko masalah litigasi?
37 38 39 40
C.37 C.38 C.39 C.40 C.41 C.42 C.43 C.44
D.45 D.46 D.47 D.48 D.49 D.50 D.51 D.52 D.53 D.54 D.55
136
56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
Penilaian risiko kepatuhan terhadap regulasi? Penilaian risiko kepatuhan dengan kode industri? Penilaian risiko kepatuhan dengan kode sukarela? Penilaian risiko kepatuhan dengan rekomendasi Corporate Governance? Penilaian risiko manajemen data? Penilaian risiko sistem komputer? Penilaian risiko privasi informasi yang berkaitan dengan pelanggan Penilaian risiko pada keamanan software? Penilaian risiko sifat persaingan? Penilaian risiko isu-isu lingkungan? Penilaian risiko dari masalah etika? Penilaian risiko masalah kesehatan dan keselamatan? Penilaian risiko saham yang lebih rendah / tinggi atau peringkat kredit? Informasi tentang teknik yang digunakan untuk menilai dampak potensial dari kombinasi kejadian?
D.56 D.57 D.58 D.59 D.60 D.61 D.62 D.63 D.64 D.65 D.66 D.67 D.68 D.69
70 71 72 73 74 75 76
E. Respon Risiko Gambaran umum proses untuk menentukan bagaimana resiko harus dikelola? Informasi tentang pedoman tertulis tentang bagaimana risiko harus dikelola? Respon terhadap risiko likuiditas? Respon terhadap risiko suku bunga? Respon terhadap risiko kurs mata uang asing? Respon terhadap risiko yang terkait dengan belanja modal? Respon untuk akses ke pasar modal?
E.70 E.71 E.72 E.73 E.74 E.75 E.76
137
77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 .91 92 93 94 95
Respon untuk instrumen utang jangka panjang? Respon terhadap risiko litigasi? Respon terhadap risiko default? Respon terhadap risiko solvabilitas? Respon terhadap risiko harga ekuitas? Respon terhadap risiko komoditas? Respon untuk mematuhi peraturan? Respon untuk mematuhi kode industri? Respon untuk mematuhi kode sukarela? Respon untuk mematuhi rekomendasi dari Corporate Governance? Respon terhadap risiko data? Respon terhadap risiko sistem komputer? Respon terhadap privasi informasi yang berkaitan dengan pada pelanggan? Respon untuk risiko keamanan perangkat lunak? Respon terhadap risiko persaingan? Respon terhadap risiko lingkungan? Respon terhadap risiko etis? Respon untuk kesehatan dan resiko keselamatan? Respon terhadap risiko saham yang lebih rendah / tinggi atau peringkat kredit?
E.77 E.78 E.79 E.80 E.81 E.82 E.83 E.84 E.85 E.86 E.87 E.88 E.89 E.90 E.91 E.92 E.93 E.94 E.95
96 97
F. Pengendalian Kegiatan Informasi tentang pengendalian penjualan? Informasi tentang penelaahan terhadap fungsi dan efektivitas kontrol?
F.96 F.97
138
98 99 100 101 102
Informasi tentang isu-isu otorisasi? Informasi tentang dokumen dan catatan sebagai kontrol? Informasi tentang prosedur verifikasi independen? Informasi tentang kontrol fisik? Informasi tentang proses pengendalian?
104 105
G. Informasi dan Komunikasi Informasi tentang verifikasi kelengkapan, akurasi dan validitas informasi? Informasi tentang saluran komunikasi untuk melaporkan dugaan pelanggaran undang-undang, peraturan atau kejanggalan lainnya? Informasi tentang saluran komunikasi dengan pelanggan, vendor dan pihak eksternal lainnya?
106 107 108
H. Pemantauan Informasi tentang bagaimana proses yang dipantau? Informasi tentang audit internal? Informasi tentang anggaran Internal Audit?
103
F.98 F.99 F.100 F.101 F.102
G.103 G.104 G.105
H.106 H.107 H.108
139
Lampiran 2: Data sampel Penelitian 2009 AALI SGRO SMAR ITMG MITI PTBA SIPD SMCB SMGR SOBI SULI ASII AUTO POLY INDF KAEF KLBF RMBA TCID UNVR JKON JRPT LPCK SMDM ISAT JSMR ACES AKRA JTPE KBLV LMAS LTLS MAMI MAPI MDRN MICE MNCN MTDL POOL RALS UNTR
IND_COM 0.429 0.400 0.375 0.333 0.333 0.400 0.400 0.429 0.500 0.333 0.400 0.500 0.333 0.333 0.300 0.600 0.333 0.333 0.400 0.750 0.400 0.400 0.600 0.667 0.400 0.333 0.500 0.333 0.333 0.750 0.500 0.400 0.667 0.400 0.333 0.333 0.400 0.333 0.333 0.500 0.375
OWN_CON AUD_REP FIRM_RMC 0.797 1 0 0.671 1 1 0.952 0 0 0.737 1 1 0.623 0 0 0.650 1 1 0.613 0 0 0.773 1 0 0.510 1 1 0.695 1 0 0.516 1 0 0.501 1 1 0.957 1 0 0.607 0 0 0.501 1 0 0.900 0 0 0.630 1 1 0.997 1 0 0.608 1 0 0.850 1 0 0.677 0 0 0.653 0 0 0.513 0 0 0.737 1 0 0.650 1 1 0.700 0 1 0.600 0 0 0.708 1 0 0.643 0 0 0.551 0 0 0.543 0 0 0.630 1 0 0.656 0 0 0.588 1 0 0.583 1 0 0.604 0 0 0.716 1 0 0.770 1 0 0.808 0 0 0.561 1 0 0.595 1 1
ERM 0.944 0.833 0.889 0.917 0.907 0.907 0.907 0.954 0.972 0.889 0.898 0.907 0.907 0.833 0.907 0.880 0.898 0.889 0.889 0.889 0.852 0.852 0.824 0.824 0.954 0.880 0.843 0.898 0.880 0.880 0.843 0.880 0.796 0.833 0.843 0.815 0.972 0.870 0.815 0.843 0.972 140
2010 AALI SGRO SMAR ITMG MITI PTBA SIPD SMCB SMGR SOBI SULI ASII AUTO POLY INDF KAEF KLBF RMBA TCID UNVR JKON JRPT LPCK SMDM ISAT JSMR ACES AKRA JTPE KBLV LMAS LTLS MAMI MAPI MDRN MICE MNCN MTDL POOL RALS UNTR
IND_COM 0.429 0.400 0.375 0.333 0.500 0.400 0.667 0.571 0.500 0.333 0.400 0.455 0.300 0.333 0.300 0.600 0.333 0.500 0.400 0.750 0.400 0.400 0.600 0.667 0.400 0.333 0.500 0.333 0.500 0.571 0.333 0.400 0.667 0.400 0.333 0.333 0.400 0.333 0.333 0.500 0.500
OWN_CON AUD_REP FIRM_RMC 0.797 1 0 0.671 1 1 0.952 0 0 0.650 1 1 0.676 0 0 0.650 1 1 0.586 0 0 0.807 1 0 0.510 1 1 0.688 1 0 0.516 1 0 0.501 1 1 0.957 1 0 0.607 0 0 0.501 1 0 0.900 0 0 0.670 1 1 0.991 1 0 0.608 1 0 0.850 1 0 0.677 0 0 0.662 0 0 0.575 0 0 0.737 1 0 0.650 1 1 0.700 0 1 0.600 0 0 0.592 1 0 0.643 0 0 0.551 0 0 0.546 0 0 0.630 1 0 0.501 0 0 0.588 1 0 0.561 1 0 0.604 0 0 0.717 1 0 0.769 1 0 0.808 0 0 0.559 1 0 0.595 1 1
ERM 0.944 0.833 0.889 0.917 0.944 0.907 0.907 0.954 0.972 0.889 0.898 0.907 0.907 0.833 0.907 0.880 0.898 0.889 0.889 0.889 0.852 0.852 0.824 0.824 0.954 0.880 0.843 0.898 0.880 0.880 0.843 0.880 0.796 0.833 0.843 0.815 0.972 0.870 0.815 0.843 0.972
141
2011 IND_COM OWN_CON AUD_REP FIRM_RMC 0.429 0.797 1 0 AALI 0.400 0.671 1 1 SGRO 0.375 0.972 0 0 SMAR 0.333 0.650 1 1 ITMG 0.500 0.679 0 0 MITI 0.333 0.650 1 1 PTBA 0.667 0.586 0 0 SIPD 0.571 0.807 1 0 SMCB 0.333 0.510 1 1 SMGR 0.333 0.980 1 0 SOBI 0.400 0.516 1 0 SULI 0.455 0.501 1 1 ASII 0.400 0.957 1 0 AUTO 0.333 0.600 0 0 POLY 0.333 0.501 1 0 INDF 0.400 0.900 0 0 KAEF 0.333 0.640 1 1 KLBF 0.500 0.856 1 0 RMBA 0.400 0.608 1 0 TCID 0.800 0.850 1 0 UNVR 0.400 0.677 0 0 JKON 0.400 0.662 0 0 JRPT 0.600 0.578 0 0 LPCK 0.667 0.737 0 0 SMDM 0.400 0.650 1 1 ISAT 0.333 0.700 0 1 JSMR 0.500 0.600 0 0 ACES 0.333 0.597 1 0 AKRA 0.500 0.636 0 0 JTPE 0.500 0.551 0 0 KBLV 0.333 0.546 0 0 LMAS 0.400 0.630 1 0 LTLS 0.667 0.501 0 0 MAMI 0.400 0.560 1 0 MAPI 0.333 0.561 1 0 MDRN 0.333 0.604 0 0 MICE 0.400 0.700 1 0 MNCN 0.333 0.595 1 0 MTDL 0.333 0.808 0 0 POOL 0.500 0.559 1 0 RALS 0.500 0.595 1 1 UNTR
ERM 0.944 0.833 0.889 0.917 0.944 0.907 0.907 0.954 0.972 0.889 0.898 0.907 0.907 0.833 0.907 0.880 0.981 0.889 0.889 0.889 0.852 0.852 0.824 0.824 0.954 0.880 0.843 0.898 0.880 0.880 0.843 0.880 0.796 0.833 0.843 0.815 0.972 0.870 0.815 0.843 0.972
142
Lampiran 3: Hasil Uji Regresi Berganda Variables Entered/Removedb Variables Variables Model Entered Removed Method 1 OWN_CON, . Enter IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: ERM Model Summaryb Model 1
R R Square a ,566 ,320
Adjusted R Std. Error of Square the Estimate ,297 ,039072 Model Summaryb Change Statistics
R Square Sig. F DurbinModel Change F Change df1 df2 Change Watson 1 ,320 13,891 4 118 ,000 1,922 a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC b. Dependent Variable: ERM ANOVAb Sum of Squares
Model 1
df
Regression Residual
,085 ,180
4 118
Total
,265
122
Mean Square ,021 ,002
F 13,891
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC b. Dependent Variable: ERM
143
Model 1 (Constant) AUD_REP FIRM_RMC IND_COM
Coefficientsa Unstandardized Coefficients B Std. Error ,813 ,025 ,036 ,008 ,035 ,009 ,006 ,031
OWN_CON
,059
,028
Coefficientsa
Model 1
Standardized
Collinearity
Coefficients
Statistics
Beta
t
(Constant)
Sig.
33,060
,000
Tolerance
VIF
AUD_REP
,375
4,648
,000
,883 1,133
FIRM_RMC
,315
3,820
,000
,848 1,180
IND_COM
,014
,184
,855
,951 1,051
OWN_CON
,162
2,081
,040
,956 1,046
a. Dependent Variable: ERM
144
Charts
145
146