Kajian Peran Pemda Laporan Lapangan-4: Bengkulu
SITE REPORT - KOTA BENGKULU TIM KAJIAN PERAN PEMDA DALAM PENGUATAN KAPASITAS APARAT MENDUKUNG PROGRAM P2KP/PNPM PP1: Bagaimanan koordinasi antara berbagai badan pemerintah, Komite Belajar Perkotaan (KBP) dapat diperkuat dan diselaraskan di tingkat lokal dan kota? Mekanisme apa yang dapat menjadi lebih efektif untuk pengkoordinasian dan pengkomunikasian di antara berbagai pihak yang terlibat di berbagai tingkatan. MASYARAKAT • Koordinasi dan komunikasi dilakukan dan difasilitasi oleh lurah secara aktif. • Monitoring dilakukan dengan koordinasi pihak kecamatan dan kelurahan • Sepengetahuan masyarakat belum ada atau terbentuk KBK. KOTA BENGKULU • KBP telah terbentuk namun tidak ada keaktifan. Pertemuan KBP pernah dilakukan pada awal pembentukan sebanyak 2 X, namun selanjutnya tidak pernah lagi dilakukan. Forum sebatas pada pertemuan dalam ruang. Difasilitasi oleh Korkot. Terakhir kali pertemuan KBP membahas masalah kemiskinan dan peran pemda dalam program kemiskinan di bapelkes. Hadir PJOK, wakil Dinkes, Diknas, LSM, Perguruan Tinggi. • Forum pertemuan koodinasi SKPD dilakukan setahun 2 kali. Salah satu pertemuan membahas rencana anggaran APBD untuk setiap sektor. • Tim Koordinasi Pelaksana P2KP dibentuk dengan SK Kepala Bappeda dengan beranggotakan unsur Bappeda, PU, BPMPKB dan UKM. • Koordinasi dan komunikasi dengan Konsultan, dilakukan secara intensif hanya dengan pihak Bappeda. Koordinasi dengan dinas teknis sangat minim bahkan belum dilakukan. koordinasi yang sifatnya untuk memanfaatkan kompetensi teknis dinas-dinas teknis untuk keberlanjutan program P2KP belum terlaksana. Dilain pihak, dinas juga telah melakukan program-program Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan yang serupa dengan P2KP, begitupula dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan. • PJOK lebih banyak berhubungan dengan Senior faskel yang mengurus BAPPUK dan laporan. Laporan juga tidak rutin diterima PJOK, kemungkinan langsung diserahkan ke Korkot tidak ada copy ke PJOK. • Upaya untuk meningkatkan koordinasi antar SKPD pemerintah kota telah membuat ’Master Plan’ kawasan perkantoran kota Bengkulu di atas lahan seluas 73 Ha. • Proses koordinasi dalam Musrenbang baru sebatas memilah-milah program untuk menetapkan sumber dana yang akan dipakai untuk pelaksanaan, belum melakukan perencanaan bersama antara pemerintah (SKPD) dan masyarakat (BKM). • Hingga saat ini Satker PU melakukan koordinasi baru sebatas dengan Korkot Bengkulu dalam rangka mempelajari dan memahami P2KP.
1
Kajian Peran Pemda Laporan Lapangan-4: Bengkulu
•
Ketika pengalihan tugas dari Satker lama tidak ada alih informasi/ pengetahuan (file, data, fasilitas, dsb).
SATKER PBL PROPINSI • Koordinasi dalam pelaksanaan PNPM Perkotaan dilakukan melalui TKPP Kota Bengkulu, dengan susunan: Ketua: Kepala Bappeda; Wakil ketua: Kepala Dinas PU; Anggota: Dinas-dinas terkait. • Koordinasi dalam pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan di tingkat Provinsi dilakukan melalui TKPKD Provinsi Bengkulu, dengan susunan: Ketua: Wakil Gubernur Bengkulu; Pelaksana Harian: Badan Pemberdayaan Masyarakat; Anggota: Bappeda dan Dinas-dinas terkait. • Satker PBL Provinsi telah melaksanakan tugas untuk melakukan sosialisasi melalui lokakarya tingkat provinsi dengan peserta dinas-dinas di tingkat Provinsi serta kota/kabupaten pelaksana PNPM Perkotaan/P2KP. Selanjutnya bersedia menjadi nara sumber dalam acara sosialisasi tingkat kota/kabupaten. • Dalam menjalankan kegiatan pemberdayaan (yang bermacam-macam) dapat diistilahkan ’Cintaku terbagi-bagi’, misalnya : Hanya menjadi bagian dari kegiatan utama sebagai pejabat struktural; pejabat struktural penanggungjawab kegiatan pemberdayaan mutasi ke bagian lain sehingga tidak ada yang melanjutkan. KONSULTAN • Peran Lurah dalam pelaksanaan PNPM masih terbatas pada fasilitasi tempat serta aktif hadir dalam kegiatan BKM dan membubuhkan tanda tangan untuk pencairan BLM, namun belum secara substansi (seperti memberikan data untuk kepentingan memadukan/integrasi program, pemahaman kepada masyarakat, memfasilitasi kesalahfahaman di masyarakat, dsb) • Koordinasi belum berjalan, seperti ada kegiatan yang telah dianggarkan dengan dana BLM, tiba-tiba di lokasi yang sama dilaksanakan kegiatan oleh PU. • SKPD yang terlibat dalam PNPM masih terbatas (Bappeda, Satker, dan PPK). • TKPKD dan KBP sudah terbentuk, namun belum berfungsi. • Agar pelaksanaan nangkis dapat berjalan dengan baik, sebaiknya ditangani oleh lembaga fungsional, karena kalau ditangani pejabat struktural hanya menjadi prioritas ke sekian (hanya kalau ada waktu luang). • Sering terjadi pergantian pejabat terkait, sehingga perlu penjelasan yang berulang-ulang sebagai upaya agar koordinasi dapat berjalan. • Dalam proses koordinasi sering dihadiri oleh staf bukan penentu kebijakan.
2
Kajian Peran Pemda Laporan Lapangan-4: Bengkulu
•
•
•
• • •
•
Belum pernah dilakukan monitoring (ke lapangan) bersama dinas terkait, karena ’takut disalahkan jika terjadi masalah dan tidak mengambil tindakan’ Koordinasi dalam konsultan belum baik, terjadi kesalahfahaman pengertian ’channeling’ di tingkat faskel, dan dibiarkan oleh KMW (dana BLM dititipkan ke pihak ke III, hasil jasa dimanfaatkan untuk santunan). Penanganan nangkis sangat tergantung pada ’pimpinan daerah terpilih’. Pada tahun 2006 telah disusun SPKD berdasarkan hasil pemetaan orang miskin per nama dan alamat di Provinsi Bengkulu berdasarkan (9) kriteria setempat (dilakukan bersama BPS), namun ketika terpilih gubernur baru (beserta jajarannya) semuanya jadi berubah sesuai dengan janji politiknya ketika kampanye. Ketika datang dana 2 milyar untuk sensus dalam rangka BLT, BPS tidak menggunakan data di atas, padahal indikator yang dipakai sama. TKPKD sudah terbentuk, namun tidak aktif. KBP sulit diaktifkan, terutama di jajaran aparat pemerintah (tidak ada alat untuk menekan, TKPKD yang formal saja tidak dapat aktif). Jika diundang untuk pertemuan tidak dapat hadir jika tidak ada perintah/ijin atasan. Koordinasi yang ‘kurang baik’ pelaku di tingkat pusat membingungkan pelaku dan menyebabkan kekacauan di lapangan (surat tentang komposisi penggunaan dana BLM yang seharusnya untuk BKM lama di wilayah UPP2 salah kirim ke UPP3.
PP2: Sejauh mana pemahaman kebijakan pro-miskin dan perencanaan pemberdayaan antara pengelola manajemen program dan pemerintah tingkat kota di satu sisi dan diantara tingkat kota dan tingkat pusat di sisi lainnya. MASYARAKAT • Format-format yang harus dilaksanakan oleh masyarakat terlalu rumit, sedangkan kemampuan masyarakat (awam) masih rendah. • Masyarakat masih beranggapan semua proyek pemerintah sepenuhnya dibiayai pemerintah, sehingga partisipasi dan swadaya rendah. Bahkan masih ada kecenderungan untuk ’mengambil’ material pelaksanaan kegiatan.
KOTA BENGKULU • Pemerintah Kota Bengkulu melaksanakan upaya penanggulangan kemiskinan dengan 3 pilar (sesuai janji kampanye Walikota): yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi kerakyatan. Selain itu juga diluncurkan program ”Parduki Payah” dimana setiap warga kota yang meninggal diberi santunan uang sebesar Rp 300 Ribu dengan hanya menunjukan identitas KTP kota dan Kartu keluarga.
3
Kajian Peran Pemda Laporan Lapangan-4: Bengkulu
•
•
• •
• •
•
• • • • •
• • •
Kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan ”Jemput Sehat” dimana kegiatannya Puskesmas melakukan kunjungan lapangan memberikan penyuluhan, pendidikan dan pemeriksaan kesehatan diluar jam dinas dengan sasaran masyarakat miskin dan sulit diakses. Selain itu layanan Jamkesmas dan Jamkeskot. Untuk mendukung program penanggulangan kemiskinan bidang kesehatan selain jemput sehat yaitu program gizi, program pencegahan penyakit menular. Dalam APBD sudah sinkron untuk mendukung 3 pilar tersebut, termasuk prasarana penunjangnya (anggaran untuk pendidikan hampir sama dengan anggaran PU). Proses perencanaan dari bawah versi PNPM sudah bagus, namun masih ada masyarakat yang dominan. Capaian pekerjaan fisik yang direncanakan dan dilaksanakan oleh masyarakat secara partisipatif lebih efisien jika dilaksanakan oleh kontraktor, namun ketersediaan tenaga ahli teknis di masyarakat masih terbatas. Masyarakat lebih merasa memiliki program yang dilaksanakan sendiri dibandingkan dengan yang ’disediakan oleh pemerintah’. Dana yang langsung diberikan kepada masyarakat menjadi bermasalah jika masyarakat tidak dipersiapkan dengan matang, akibatnya terjadi konflik di antara masyarakat. Pemerintah kota (dibantu tenaga ahli setempat) telah melakukan kajiankajian dampak program nangkis, serta menyusun (review SPKD lama yang hanya terfokus pada ekonomi) SPKD baru yang lebih komprehensif. Hasil penelitian tentang dampak dari pelaksanaan P2KP dapat menjadi dasar agar APBD dapat melanjutkan program sejenis ’Bingung’ diundang ke Jakarta untuk membahas masalah kemiskinan di hotel berbintang 4. Sistem pelaksanaan program oleh 2 lembaga yang berbeda dapat mengurangi peluang ’penyelewengan’. Belum semua dinas ’ikhlas’ mengalokasikan anggaran untuk program pemberdayaan, karena ’anggaran besar namun tidak bisa menyentuh’ . Pemerintah kota tidak serius menyediakan dana pendamping untuk pelaksanaan PNPM. Seharusnya dibutuhkan Rp. 70 juta (minimal) untuk BOP dan Rp. 3,5 milyar untuk pendamping BLM. Namun hanya dianggarkan Rp. 517 juta. Kekurangan akan dimasukkan APBD Perubahan (namun tidak yakin akan berhasil, karena APBD-P hanya akan dipenuhi dari sisa anggaran) Kalau tidak dapat dianggarkan, baru dapat dilaksanakan tahun 2010 (demikian juga untuk NUSSP). DPRD juga kurang ’pro poor’, karena banyak caleg yang bermotivasi ’agar dapat hidup selama 5 tahun’ (menjadi golput dalam 2 kali pemilu legislatif). Proses pemberdayaan ’belum utuh sampai ke masyarakat’, masih terjadi pertikaian di antara masyarakat dan belum dapat menyelesaikan secara 4
Kajian Peran Pemda Laporan Lapangan-4: Bengkulu
•
musyawarah. Langsung mengadukan (tuduhan penyelewengan dana) ke polisi, ternyata tidak terjadi seperti yang dilaporkan. Partisipasi masyarakat masih rendah, hanya mau bantuan saja (’Ini kan bantuan pemerintah’), masyarakat beranggapan ini dana hibah jadi tidak perlu dikembalikan.
KONSULTAN • Kesadaran masyarakat masih rendah, jumlah relawan menurun dibandingkan pada awal pelaksanaan PNPM. • Masyarakat belum dapat merubah sikap yang ’hanya menerima proyek’ pemerintah. Partisipasi rendah, bahkan terjadi keributan antar kelompok warga karena ’kecurigaan’ pada pelaksana kegiatan PNPM. • SKPD terkait belum ’pro poor’. PU dengan anggaran Rp. 57 milyar tidak mau menyisihkan untuk pendamping BLM Rp. 3,5 milyar, namun hanya menyediakan Rp. 517 juta (termasuk BOP Rp. 70 juta). • Kekurangan masih tarik ulur dimasukkan dalam APBD-P, sehingga Walikota belum berani mencantumkan angka dalam kesediaan menyediakan dana pendamping BLM (menunggu Oktober). • Aparat terlibat dalam pelaksanaan PNPM belum mendalami substansi, namun masih terbatas hanya ’membubuhkan tanda tangan untuk pencairan BLM’ dokumen yang telah disiapkan. Apatis karena ’tidak mendapatkan apa-apa’ • Ada kejadian, kegiatan yang dilaksanakan oleh ’BKM’ difoto untuk diakui sebagai kegiatan mereka, karena sudah tercantum dalam anggaran SKPD • Pemahaman (kepedulian) masyarakat masih rendah, tidak menggunakan hasil RK & PS untuk menyusun PJM. Masyarakat di wilayah tidak miskin ’minta jatah’ wilayahnya juga dibangun dengan dana BLM
SATKER PBL PROPINSI • Sistem perencanaan ’bottom up’ sudah bagus, namun dalam pelaksanaan belum baik, karena belum semua pelaku ’memahami’ konsep tersebut (contoh: ketika ada pengaduan masyarakat, tidak diselesaikan secara partisipatif, namun langsung diadukan ke kepolisian dan kejaksaan). • Melalui program pemberdayaan telah terjadi ’perubahan’ dalam masyarakat (sikap-perilaku, cara pandang, kemampuan menyusun rencana dan melaksanakan program, sinergi sesama warga), namun masih banyak yang perlu disempurnakan. • Kemitraan baru akan dilaksanakan melalui PAKET-P2KP. • Telah membantu memasarkan BKM dengan menampilkan produk BKM dalam acara jambore pemuda.
5
Kajian Peran Pemda Laporan Lapangan-4: Bengkulu
PP3: Apakah kebutuhan peningkatan kapasitas dari aparat pemerintah di kelurahan dan badan-badan penting pemerintah maupun manajemen program di level kota atau kabupaten. MASYARAKAT • • •
Pemahaman mendalam mengenai program PNPM Perkotaan untuk kelurahan. Selama ini telah menerima pelatihan 2 x yaitu yang dilaksanakan oleh Korkot KMW 7 dan Pemda. Dalam posisi sebagai pembina masyarakat pada tingkat kelurahan mengharapkan. Channeling dengan badan usaha lain.
KOTA BENGKULU • Pembinaan masyarakat agar siap melaksanakan kegiatan secara benar, baik dari segi pemahaman pemanfaatan dana, administrasi, dan teknis. • Komitmen. • Tidak perlu pelatihan, cukup dengan langsung terjun ke lapangan untuk melihat dan mengatasi permasalahan. Pelatihan-pelatihan. KONSULTAN • Perlu pelatihan untuk Lurah tentang pemahaman dan proses PNPM Perkotaan, serta penekanan tentang ’daftar negatif’ (sebetulnya telah dilakukan beberapa kali pelatihan untuk Lurah, tapi tidak tahu siapa yang datang). • Design pelatihan. • Penguatan kelembagaan. • PJM . • Pelatihan.
SATKER PBL PROPINSI • Sosialisasi yang lebih intensif tentang ’konsep pemberdayaan masyarakat’ kepada semua pelaku (Aparat pemerintah kota, Camat, Lurah, masyarakat) agar mempunyai pemahaman yang sama’. PP4:
Sejauh mana hambatan struktural, lembaga dan kebijakan mempengaruhi mobilisasi dan kontinuitas dukungan pemerintah pada pemberdayaan masyarakat.
MASYARAKAT • Peran Lurah dalam PNPM/P2KP
6
Kajian Peran Pemda Laporan Lapangan-4: Bengkulu
•
• •
•
a) Program P2KP adalah proyek masyarakat. Oleh sebab itu lurah hanya sebatas sebagai pengawas untuk memantau pelaksanaan P2KP. Sebagai contoh ada masyarakat yang datang mengadu tentang kualitas bangunan/bestek P2KP yang tidak bagus kualitasnya. Lurah kemudian mendatangi penitia pelaksana dan meninjau bangunan, meminta untuk dibenahi (misalnya campuran semen adukan 1:10 yang seharusnya 1:6). b) Selain itu Lurah juga memberikan motivasi masyarakat untuk memelihara bangunan jalan yang telah selesai. c) Pada beberapa hal Lurah juga berperan untuk menjembatani perbedaan pendapat yang tidak segera ditangani bisa berpotensi konflik dalam masyarakat. Pada saat proses pencairan di pemerintah kota Bengkulu (PU) dipandang sebelah mata karena bukan proyek, waktu minta tanda tangan dari pukul 8.00 baru selesai pukul 16.00. Selama ini peran PJOK lebih banyak hanya pada tugas pencairan dana dengan memberikan tanda tangan pada dokumen untuk dimajukan ke PPK. Dana untuk monitoring sangat minim. Dalam setahun diperoleh dana monitoring untuk 5 hari monitoring. Sedangkan dana BOP tidak diperoleh. Karena itu seringkali kebutuhan untuk fotocopi laporan harus diambilkan dari dana pribadi atau tidak dilakukan sama sekali. Sesuai dengan tupoksi, PJOK melakukan tugas-tugas memfasilitasi hubungan antara BKM dan PPK kota dalam pencairan dana, melakukan koordinasi dengan BKM untuk kegiatan P2KP kelurahan serta monitoring pelaksanaan P2KP kelurahan. Tupoksi ini tidak bisa dilaksanakan secara maksimal terkait dengan kendala-kendala komunikasi dengan BKM dan kota.
KOTA BENGKULU • Pengganggaran dana pendamping PNPM dari APBD tidak dapat sinkron dengan pencairan dana APBN, karena pemberitahuan dari pemerintah pusat tidak sesuai dengan proses penyusunan anggaran di Kota Bengkulu (perlu waktu untuk proses pensyahan APBD). • DPRD ’dominan’ dalam penetapan anggaran, rencana yang telah disusun berbulan-bulan ’mentah’ oleh DPRD (untuk kepentingan partai maupun individu). • Kebijakan . • Kepala Dinas hanya menyerahkan tugas (penunjukan) sebagai Satker tanpa SK, tanpa pembekalan tentang substansi PNPM (kepala Dinas juga tidak memahami substansi P2KP) • Sudah berusaha mengurus SK Satker (agar dapat menjalankan tugasnya), namun hingga 2 bulan hanya bolak-balik Dinas PU – Setda, belum sampai ke Walikota. • Keberlanjutan program nangkis sangat tergantung komitmen walikota dan DPRD
7
Kajian Peran Pemda Laporan Lapangan-4: Bengkulu
•
Peningkatan kapasitas yang diperlukan antara lain meningkatkan pemahaman PNPM Perkotaan kepada seluruh SKPD.
KONSULTAN • Ketokohan dalam masyarakat masih dominan, sehingga para relawan yang tidak dilibatkan lagi dalam kegiatan BKM mengundurkan diri. • Belum semua lembaga pemerintah kota yang terkait dengan PNPM mendukung (BKM masih harus menyediakan amplop/uang photo copy/tunjangan hari raya untuk memperlacar pencairan dana). • Sosialisasi P2KP ke pemerintah kota lemah, jika dibandingkan dengan program yang dilaksanakan oleh Depdagri yang gaungnya sudah sampai ke tingkat kelurahan. • Merasa kurang dilibatkan, Lurah (sebagian tergantung dari pribadi Lurah) merasa terusik atas kegiatan ’liar’ dari P2KP yang langsung terjun ke masyarakat untuk melakukan PS dsb. • Dapat diibaratkan para pelaku PNPM kota Bengkulu di seluruh tingkatan masih dalam kategori ’pra-berdaya’. • Proses ’recruitment’ faskel pengganti (yang keluar) tidak melalui prosedur yang benar, tiba-tiba turun SK pengangkatan faskel dari Satker PBL Provinsi. Faskel pengganti tidak mengikuti pelatihan, namun hanya melalui ’coaching’ dan cenderung meniru faskel lama yang belum tentu ’utuh pemahaman’ tentang pemberdayaan (terdapat + 50% faskel belum ikut pelatihan). • Proses pendampingan tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena keterbatasan waktu, dan cenderung hanya memenuhi kebutuhan administratif ’Kalau administratif tidak dipenuhi, gaji tidak dibayar’. Di sisi lain, pelaksanaan di lapangan sangat tergantung dengan ’waktu yang tersedia’ dari para relawan • Proses pemilihan relawan tidak ’alamiah’ karena harus memenuhi ’quota’ (10% penduduk dewasa, 30% perempuan) untuk mengisi SIM (kalau tidak SIM merah) • Format-format yang harus diterapkan di lapangan seolah-olah semua BKM akan menjadi Bank dan menjadi kontraktor, padahal tidak semua BKM dapat merintis menjadi Bank karena dana bergulir sangat kecil untuk dapat membayar ’manajer profesional’ • Pola pendekatan komunal untuk nangkis kurang cocok diterapkan bagi penduduk Bengkulu yang bersifat ’individual’. Lebih cocok diterapkan peningkatan kualitas perorangan untuk mensejahterakan mereka. • TL & TA KMW yang berasal dari P. Jawa sering tidak berada di Bengkulu • Faskel yang keluar sebagian besar karena pindah ke program lain. • Design program yang tidak terencana dengan baik mengacaukan pelaksanaan di lapangan.
8
Kajian Peran Pemda Laporan Lapangan-4: Bengkulu
•
•
• •
• •
• •
•
•
• •
•
Pendampingan P2KP tahun 2006 menyampaikan P2KP sebagai suatu program pembelajaran tanpa embel-embel BLM, dan berjalan cukup baik, PJM tidak hanya terbatas pada BLM. Namun ketika mulai pelaksanaan PNPM 2007, masyarakat sudah tahu dari lokasi 2006 ada BLM, ketika faskel mulai sosialisasi masyarakat termasuk Lurah tidak mau mendengarkan dan hanya bertanya: kelurahan kami dapat bantuan berapa? Ada beberapa Lurah sudah menyiapkan BKM dan menempatkan ’orang-orangnya’. Seharusnya siklus P2KP dimulai dari aparat, kalau aparat belum ’disadarkan’ gampang sekali dirusak oleh paradigma lama (ada Lurah yang ikut meminjam dana bergulir dan tidak mengembalikan, malah menyampaikan kepada masyarakat dana pemerintah yang tidak perlu dikembalikan). Pelatihan tentang PNPM untuk Lurah baru diselenggarakan pada tahun 2008, padahal P2KP sudah dimulai tahun 2006 Dalam kegiatan sosialisasi yang ada sekarang lebih banyak menyangkut teknis (% keterlibatan masyarakat), dan kurang untuk perubahan paradigma. Substansi pelatihan (tentang Musrenbang) dibuat tidak berdasarkan realita lapangan, sehingga tidak dapat diterapkan di lapangan. Pemerintah pusat tidak konsisten antara ketetapan persyaratan pencairan yang selanjutnya harus dilanggar karena harus memenuhi target pencairan. Dana APBD tidak dapat selaras dengan pencairan dana APBN. Tidak semua staf WB memahami pemberdayaan, ketika melakukan supervisi berlaku seperti auditor, tidak memberikan ’saran perbaikan’, namun malah mematahkan semangat relawan. Perubahan kebijakan (pendamping PAKET menjadi dana tunai) merusak semangat yang sudah dibangun (KBP Kabupaten Kaur sekarang menjadi tidak bersemangat akibat penundaan pelaksanaan PAKET akibat belum mendapat NOL dari WB) Staf proyek yang arogan menyampaikan (di depan masyarakat banyak) tentang daerah yang keberatan untuk menyediakan dana pendamping: ’Ya tinggalkan saja’, sehingga para pendamping di lapangan mengalami kesulitan untuk mendekati kembali wilayah dampingan. Menko Infokom baru saja melakukan sosialisasi PNPM kepada aparatur pemerintah (padahal PNPM sudah mulai sejak 2007). Peran aparat dalam pelaksanaan sangat minim Ketika ada kegiatan peningkatan kapasitas (sosialisasi, pelatihan) yang hadir staf (bukan penentu kebijakan) dan berganti-ganti, untuk acara 4 hari hanya datang 2 hari (karena tidak mendapatkan apapun sehingga tidak antusias untuk mengikuti acara selanjutnya). Penugasan tenaga pendamping tidak disiapkan dengan matang:
9
Kajian Peran Pemda Laporan Lapangan-4: Bengkulu
•
a) Pemandu nasional (8 orang) yang telah disiapkan untuk pendampingan di provinsi Bengkulu berasal dari P Jawa dan Sulawesi, saat ini tinggal 1 orang, yang lain kembali ke daerah asalnya. b) Korkot yang berangkat dari lapangan (berasal dari SF) tidak dibekali dengan kemampuan penentuan kebijakan di tingkat kota/kabupaten, akibatnya kurang percaya diri, dan lebih memilih melakukan kegiatan di tingkat masyarakat. c) Faskel banyak yang baru lulus, belum punya pengalaman dan belum mengikuti pelatihan, sehingga bicara saja masih susah, apalagi ketrampilan teknik provokasi, agitasi, dsb. KMW sudah menyampaikan surat kepada Satker PBL: ’Siapapun yang akan ditugaskan sebagai faskel harus disiapkan terlebih dahulu’, dan mengupayakan relawanrelawan yang potensial untuk diajukan sebagai faskel. P2KP eksklusif, tidak mempersiapkan membuka peluang kerja sama dengan lembaga-lembaga lain, misalnya: a) Kerja sama dengan perguruan tinggi setempat: sosialisasi melalui KKN mahasiswa. b) Kerja sama dengan lembaga-lembaga lokal (kesenian, radio, koran lokal, dsb) untuk sosialisasi.
SATKER PBL PROPINSI • Kebijakan pusat yang sering berubah-ubah (salah satu contoh: persyaratan PAKET dari pendamping program atau dana tunai menjadi ’harus dana tunai’) merepotkan kota/kabupaten karena ’merubah’ APBD yang tidak mudah dan memerlukan waktu lama • Upaya untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dilakukan dengan cara: a)
Mengundang pemerintah pusat (yang terkait sebagai nara sumber) untuk menjelaskan kepada kota/kabupaten pelaksana PNPM Perkotaan/P2KP, seperti masalah pajak, kesalahan pencantuman no sumberdana (loan) dalam DIPA, pelaksanaan P2KP advance, dsb.
b)
Melakukan diskusi dengan KMW.
c)
Meminta keterangan yang disampaikan secara lisan dilengkapi dengan ’surat resmi’.
PP5: Bagaimana dukungan pemerintah ditingkat kota bagi proses pemberdayaan masyarakat dapat diarus utamakan agar menjadi lebih berkesinambungan. MASYARAKAT • Dalam proses pencairan dana BLM tidak mengalami masalah, karena Faskel telah memberi proposal yang benar dan lengkap. BKM tinggal menandatangani dokumen proposal. BKM terima bersih dari Faskel, dimana yang mengerjakan adalah Faskel. keterlibatan masyarakat 10
Kajian Peran Pemda Laporan Lapangan-4: Bengkulu
• •
• •
•
•
• • •
•
terutama pada proses penyusunan proposal antara lain menyampaikan ide-ide dan pendapat. Format –format cukup menyulitkan masyarakat untuk mengerjakan sendiri disebabkan oleh SDM yang ada. PJOK merasa kurang komunikasi dan koordinasi dengan BKM. BKM lebih banyak berhubungan dengan Faskel. Upaya-upaya untuk menghimbau BKM bertemu PJOK seperti mengirim surat ke BKM agar sering koordinasi ke PJOK tetapi tidak pernah terjadi dengan alasan sibuk. Koordinasi PJOK pada akhirnya lebih banyak dilakukan dengan pihak kelurahan. Pada awal P2KP PJOK sering diundang untuk menghadiri pertemuan musyawarah masyarakat. Pada 2 tahun terakhir ini tidak pernah lagi mendapat undangan untuk menghadiri pertemuan-pertemuan di tingkat masyarakat. Dalam peran sebagai PJOK P2KP kecamatan, dikeluhkan pejabat ka.si PMK kecamatan ini seringnya waktu yang sangat pendek untuk mempelajari BAPPUK yang harus ditandatangani dahulu untuk diajukan ke tingkat Pemko. Ia sering didesak untuk segera menandatangani karena sudah deadline untuk maju ke pencairan. Demikian pula dengan laporan yang dibawa oleh faskel, setelah dipelajari ternyata laporan lebih banyak bersifat narrative sedangkan yang menggambarkan angka-angka berkaitan dengan volume dan dana tidak terinci. Oleh karena itu, PJOK meminta BKM untuk memperbaiki laporan dengan memasukkan informasi terkait dana sosial dan dana simpan pinjam. Dengan laporan lebih terinci, PJOK berharap bisa mendeteksi lebih awal jika terjadi masalah-masalah dalam penggunaan dan penyaluran dana P2KP. BOP minim sehingga untuk melaksanakan kegiatan operasional harus mengeluarkan biaya sendiri. Belum pernah terlibat dalam ’Musrenbang’ (PJM Kelurahan dibawa langsung oleh FK ke tingkat kota). Perlu dukungan sosialisasi bagi masyarakat yang hingga saat ini masih beranggapan ’semua proyek pemerintah ada uangnya’ (para pelaksana masih dicurigai). Perlu pengarahan dan informasi untuk channeling.
KOTA BENGKULU • Hanya walikota yang dapat mem’veto’ jumlah anggaran yang berfihak untuk nangkis. Agar mengikat SKPD untuk mengganggarkan kegiatan yang berfihak untuk nangkis perlu dibuat dalam bentuk ’Perda’ agar mengikat. • Keadaan keuangan kota Bengkulu belum mampu menyediakan dana untuk keberlanjutan pendampingan masyarakat, di sisi lain masyarakat belum siap jika harus mengelola dana ’sendiri’ tanpa pendampingan. • Belum semua pelaku mendukung ’3 pilar’ janji Walikota. Faktor politik sangat dominan. 11
Kajian Peran Pemda Laporan Lapangan-4: Bengkulu
•
Dalam program apapun belum dapat berjalan di Bengkulu tanpa pendampingan konsultan, karena kondisi masyarakat yang masih ’rendah kualitasnya’.
KONSULTAN • Tim Faskel: BKM masih sering mengeluh BOP yang sangat minim dan tidak ada bantuan dari pemerintah kota. • KMW: Keberlanjutan. SATKER PBL PROPINSI • Kesinambungan. • kebijakan.
12